guru prof dan bebabn kerjanya
DESCRIPTION
guru professional harus tau beban kerjanyaTRANSCRIPT
GURU PROFESIONAL DAN BEBAN KERJANYA
Oleh:Drs. SURIADI
Kepala SMP Negeri 1 Tanjung MorawaE-mail: [email protected]
Kata kunci: guru, profesional, beban, kerja
A. Pendahuluan
Abad 21 yang bercirikan globalisasi yang serba kompetitif dengan perubahan yang
terus menggesa merupakan abad profesional. Sangat mustahil, jika ada organisasi yang
bisa bertahan tanpa profesionalisme. Bahkan, bukan hanya sekedar profesionalisme biasa
tetapi profesionalisme kelas tinggi (world-class professionalism) yang memampukan kita
sejajar dan bermitra dengan orang-orang dan organisasi-organisasi terbaik dari seluruh
dunia (Jansen, 2007:http://www.duniaguru.com).
Kaum profesional dari pelbagai disiplin kerja sekarang sudah merambah ke seluruh
dunia. Bagi mereka batas-batas negara tidak lagi relevan. Wawasan mereka sudah
kosmopolitan. Mereka adalah warga dunia yang bisa memberikan kontribusi mereka di
mana saja di muka bumi. Mereka bisa bekerja di mana saja di planet ini. Bangsa kita jelas
memerlukan sekelompok besar kaum profesional untuk mengisi pembangunan masyarakat
di segala bidang. Jika tidak mampu, maka kita terpaksa harus mengimpor mereka dengan
harga yang sangat mahal. Sesungguhnya, Indonesia berpotensi pula mengekspor tenaga-
tenaga kerja profesional dalam pelbagai kelas ke mancanegara dalam bidang perminyakan,
pertambangan, kehutanan, sastra, seni, dan lain-lain.
Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas yang merupakan produk pendidikan
merupakan kunci keberhasilan pembangunan suatu negara (Depdiknas, 2008.a:1).
Menurut Supriano (2007:3) banyak bukti empirik yang menunjukkan bahwa suatu negara
yang lebih memprioritaskan pendidikan dari pada pranata lainnya, ternyata mampu
menghasilkan SDM yang lebih unggul, produktif dan inovatif dalam percaturan kehidupan
global. Sebaliknya, negara yang mengecilkan pranata pendidikan lebih cepat mengalami
keterpurukan disebabkan SDMnya tidak mampu bersaing dalam percaturan kehidupan
global. Hal ini didukung Gultom yang mengutip United Nations (2004:2) bahwa
pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental dalam meningkatkan kualitas SDM.
1
Bahkan Rusmana (2000:36), Djuwita (2004:12) dan Rochaeni (2004:42) lebih menegaskan
bahwa untuk mendapatkan SDM berkualitas harus ditempuh melalui pendidikan yang
berkualitas.
Kenyataan menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat
memprihatinkan (Depdiknas, 2003:http://www.depdiknas.go.id). Hal ini didukung Umaedi
(2002:2) yang mengatakan bahwa kualitas pendidikan nasional terus mengalami
penurunan. Menurut laporan ASPBAE (Asian South Pacific Beurau of Adult Education)
and GCE (Global Campaign for Education) yang dikutip Firdaus (2005:7) penelitian
terhadap kualitas Pendidikan Dasar di 14 negara Asia Pasifik, Indonesia hanya menempati
peringkat 10 di bawah Kamboja dan India. Tilaar yang dikutip Anwar (2003:13)
mengemukakan masalah pokok dalam pendidikan nasional, yaitu (1) menurunnya akhlak
dan moral peserta didik, (2) pemerataan kesempatan belajar, (3) masih rendahnya efisiensi
internal sistem pendidikan, (4) status kelembagaan, (5) manajemen pendidikan yang tidak
sejalan dengan pembangunan, dan (6) SDM yang belum profesional. Menurut
Poedjinoegroho (2008: http://www.duniaguru.com) hampir separuh dari lebih kurang 2,6
juta guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak
mencukupi untuk mengajar di sekolah. Yang tidak layak mengajar atau menjadi guru
berjumlah 912.505, terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA,
dan 63.961 guru SMK. Selanjutnya, menurut Fattah yang dikutip Poedjinoegroho (2008:
http://www.duniaguru.com) pada uji kompetensi Matematika, dari 40 pertanyaan rata-rata
hanya dua pertanyaan yang diisi dengan benar dan pada Bahasa Inggris hanya satu yang
diisi dengan benar oleh guru yang berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris. Selain itu,
Kompas (9 Desember 2005) menyebutkan tercatat 15% guru mengajar tidak sesuai dengan
keahlian yang dipunyainya atau bidangnya. Berapa banyak peserta didik yang mengenyam
pendidikan dari guru-guru tersebut? Berapa banyak yang dirugikan? Memprihatinkan,
mengenaskan, bencana untuk dunia pendidikan. Apakah guru seperti itu merupakan guru
profesional?
Fenomena tersebut menegaskan bahwa masalah SDM pendidikan yang belum
profesional merupakan salah satu akar permasalahan yang dihadapi dalam upaya
peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Laporan ASPBAE and GCE yang dikutip
Firdaus (2005:7) menunjukkan bahwa kualitas guru Indonesia menempati peringkat
terakhir atau paling rendah di antara 14 negara di Asia Pasifik. Hal ini didukung Lubis
2
(2008:4) yang mengatakan bahwa salah satu indikator rendahnya kualitas pendidikan
adalah human capital (mental/SDM dan skill manusianya). Sedangkan, Tampubolon
(2008:14) mengatakan bahwa salah satu sebab mendasar dan utama dari rendahnya
kualitas pendidikan nasional adalah sistem pemberdayaan guru yang tidak berkualitas.
Sedangkan, Dharma (2008:http://www.duniaguru.com) mengatakan mantan Mendikbud
Fuad Hassan ketika dimintai pendapatnya tentang perkembangan pendidikan Indonesia
pernah berkata “Jangan terlalu ribut soal kurikulum dan sistemnya. Itu semua bukan apa-
apa, justru pelaku-pelakunya itulah yang perlu diperhatikan”.
Mendiknas Bambang Sudibyo yang dikutip Suhendro (2008:http:
//www.duniaguru.com) pernah mencanangkan bahwa pekerjaan guru adalah sebagai
profesi seperti halnya dokter, wartawan dan profesi lainnya. Seperti halnya dokter, maka
guru pun dituntut memiliki kompetensi dan kemampuan akademik yang memadai dalam
melaksanakan profesinya. Tidak semua orang dapat bertindak sebagai dokter karena
menyangkut keselamatan seseorang, begitupun dengan profesi guru, tidak semua orang
dapat bertindak sebagai guru karena menyangkut masa depan bangsa dan negara.
Masih banyaknya guru mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan
atau kelimuannya adalah salah satu bukti nyata tidak terstandarnya kualitas guru. Menurut
Sumargi yang dikutip Suhendro (2008:http://www.duniaguru.com) profesionalisme guru
dan tenaga kependidikan masih belum memadai, terutama dalam hal bidang keilmuannya.
Dilihat dari presfektif keterlaksanaan pembelajaran dapat dikatakan tidak bermasalah,
tetapi dari presfektif ketuntasan atau tuntutan kurikulum mungkin saja konsep
pembelajarannya menjadi bias, mengambang, dan tidak terarah karena boleh jadi materi
yang diajarkan kepada siswa sebatas apa yang diketahui guru saja. Kondisi ini yang
menyebabkan guru mengembangkan konsep asal mengajar dan menggugurkan tugas, tanpa
mau tahu target kurikulum yang telah diprogramkan. Suhendro (2008:http://www.
duniaguru.com) kelemahan guru adalah
(1) masih banyak guru yang bersikap tidak profesional seperti tidak dimilikinya jiwa kreatif dan inovatif dalam menyampaikan materi pelajaran, (2) kebanyakan guru merasa cukup dengan keilmuan yang telah mereka dapat di bangku kuliah, dan (3) kebanyakan guru mengajar tanpa program yang jelas dengan alasan mereka merasa hafal di luar kepala terhadap materi yang akan disampaikan.
Idealisme profesi guru dan komitmen membangun pendidikan berkualitas
merupakan kunci jawaban dari persoalan pendidikan yang dihadapi selama ini. Sebuah
data yang disajikan Portal www.duniaguru. com pada Desember 2007 lalu telah
3
melakukan jajak pendapat dengan pertanyaan ”Jika Anda seorang guru dan
'diberi' kesempatan untuk ganti profesi, maukah Anda?”. Jawaban para guru adalah tetap
memilih profesi guru (55,8%), tetap sebagai guru dan mencari tambahan penghasilan
(27,9%), ganti profesi (15,4%), dan bingung (1%). Ini berarti, lebih dari 80% guru ingin
setia pada profesinya. Artinya lagi, tingkat kepuasan menjalani profesi keguruan cukup
tinggi. Tentu saja ini kabar baik, karena sulit kita membayangkan kalau para guru mogok
atau ogah-ogahan menjalani profesinya.
Implementasi Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 menjadi harapan terkuat
dalam mendongkrak pendidikan ke arah yang lebih maju, sehingga mampu mensejajarkan
diri dengan negara lain, seperti era tahun enam puluhan silam, dimana kualitas pendidikan
Indonesia jauh lebih baik dari pada Malaysia.
B. Guru Profesional
Istilah “guru profesional” berasal dari kata “guru” dan “profesional. Guru adalah
padanan dari pendidik, yang menurut pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun
2003 merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta
melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Kata “profesional” merujuk kepada dua
hal, yakni (1) orang yang menyandang suatu profesi, dan (2) kinerja atau performance
seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya (Danim, 2002:22-
23). Dengan demikian, yang dimaksud dengan guru profesional dalam kajian ini adalah
orang yang menyandang profesi guru yang memiliki kinerja atau performance dalam
melaksanakan tugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan
pengabdian masyarakat sesuai dengan profesi guru.
Menurut mantan Mendikbud Fuad Hasan yang dikutip Dharma (2008:
http://www.duniaguru.com) di Indonesia, di Jepang, Finlandia, Amerika Serikat, dan di
manapun di dunia ini kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas gurunya, bukan oleh
besarnya dana pendidikan dan juga bukan oleh hebatnya fasilitas. Jika guru berkualitas
baik, maka baik pula kualitas pendidikannya. Sejalan dengan itu, Danumihardja (2001:39)
yang mengatakan tidak mungkin pendidikan dapat meningkatkan kualitasnya, jika tidak
ditunjang oleh guru-guru profesional dan inovatif. Hal ini didukung Brand yang dikutip
4
Gultom (2007:2) yang mengemukakan hasil studi dari pakar pendidikan menyimpulkan
bahwa guru merupakan faktor kunci yang paling menentukan dalam keberhasilan
pendidikan dinilai dari prestasi belajar siswa. Sedangkan menurut Gibson yang dikutip
Danim (2002:145) hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan sekolah dalam
meningkatkan kualitas lulusannya sangat dipengaruhi oleh kapasitas kepala sekolahnya, di
samping adanya guru-guru yang kompeten di sekolah itu. Selanjutnya, menurut Nursito
(2002:5) hasil penelitian yang dilakukan Bardley di 16 negara, menunjukkan bahwa faktor
guru memberikan kontribusi sebesar 34%, manajemen 22%, sarana 26%, dan waktu belajar
18% terhadap hasil belajar siswa.
Untuk melihat tingkat kemampuan profesional guru dilakukan melalui dua
presfektif, yaitu (1) tingkat pendidikan minimal dari latar belakang pendidikan untuk
jenjang sekolah tempat guru tersebut menjadi guru, dan (2) penguasaan guru terhadap
materi bahan ajar, mengelola proses pembelajaran, mengelola siswa, melaksanakan tugas-
tugas bimbingan (Danim, 2002:30). Selanjutnya, Semiawan yang dikutip Danim (2002:31)
mengemukakan hierarki profesi tenaga kependidikan, yaitu
(1) tenaga profesional merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi pendidikan sekurang-kurangnya S1 atau yang setara, dan memiliki wewenang penuh dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengendalian pendidikan/pengajaran, (2) tenaga semi profesional merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi tenaga kependidikan D3 atau yang setara yang telah berwenang mengajar secara mandiri, tetapi masih harus melakukan konsultasi dengan tenaga kependidikan yang lebih tinggi jenjang profesionalnya, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengendalian pendidikan/pengajaran, dan (3) tenaga paraprofesional merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi tenaga kependidikan D2 ke bawah, yang memerlukan pembinaan dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengendalian pendidikan/pengajaran.
Seorang guru disebut sebagai guru profesional karena kemampuannya dalam
mewujudkan kinerja profesi guru secara utuh yang dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
dalam mencapai tujuan pendidikan. Guru profesional akan tercermin dalam penampilan
pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian, baik dalam materi,
maupun metode. Menurut Surya (2005:1) keahlian yang dimiliki guru profesional adalah
keahlian yang diperoleh melalui suatu proses pendidikan dan pelatihan yang diprogramkan
secara khusus untuk itu. Keahlian tersebut mendapat pengakuan formal yang dinyatakan
dalam bentuk sertifikasi, akreditasi, dan lisensi dari pihak yang berwenang. Dengan
keahliannya itu, guru mampu menunjukkan otonominya, baik secara pribadi, maupun
sebagai pemangku profesinya.
5
Selain keahliannya, sosok guru profesional ditunjukkan melalui tanggung
jawabnya dalam melaksanakan seluruh pengabdiannya. Guru profesional dituntut untuk
mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawabnya sebagai guru kepada peserta didik,
orangtua, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya. Menurut Surya (2005:1) guru
profesional mempunyai tanggung jawab (1) pribadi, (2) sosial, (3) intelektual, dan
(4) moral dan spiritual.
Tanggung jawab pribadi merupakan tanggung jawab terhadap dirinya untuk
mampu memahami dirinya, mengelola dirinya, mengendalikan dirinya, menghargai
dirinya, dan mengembangkan dirinya sendiri. Tanggung jawab sosial merupakan tanggung
jawab yang diwujudkan melalui kompetensi guru dalam memahami dirinya sebagai bagian
yang tak terpisahkan dari lingkungan sosial, serta memiliki kemampuan interaktif yang
efektif. Tanggung jawab intelektual merupakan tanggung jawab yang diwujudkan melalui
penguasaan berbagai perangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk
menunjang tugas-tugasnya. Tanggung jawab moral dan spiritual merupakan tanggung
jawab yang diwujudkan melalui penampilan guru sebagai mahluk yang beragama yang
perilakunya senantiasa tidak menyimpang dari norma agama dan moral.
Idealnya guru profesional harus memiliki (1) bakat, (2) minat, (3) panggilan jiwa,
(4) idealisme, (5) komitmen, (6) kualifikasi akademik, (7) kompetensi, (8) tanggung jawab,
dan (9) prestasi kerja (http://www.istiqlal-delitua-medan.blogspot.com).
Perwujudan unjuk kerja profesional guru ditunjang jiwa profesionalisme, yaitu
sikap mental yang senantiasa mendorong dirinya untuk mewujudkan diri sebagai guru
profesional. Dalam the American Heritage Dictionary yang dikutip Muhtar (2003:6)
profesionalisme merupakan suatu status, metode, karakteristik, atau standar tertentu untuk
menghasilkan dan/atau ukuran kualitas suatu karya, produk dan jasa yang dihasilkan
seorang yang profesional di dalam menjalankan tugas bidangnya. Menurut Djojonegoro
yang dikutip Gultom (2007:5) profesionalisme dalam suatu pekerjaan/jabatan ditentukan
oleh tiga faktor penting, yakni (1) memiliki keahlian khusus yang dipersiapkan oleh
program pendidikan keahlian atau spesialisasi, (2) memiliki kemampuan untuk
memperbaiki kemampuan (keterampilan dan keahlian khusus), dan (3) memperoleh
penghasilan yang memadai sebagai imbalan terhadap keahlian yang dimiliki tersebut.
Pada dasarnya profesionalisme merupakan motivasi intrinsik pada diri seseorang
sebagai pendorong untuk mengembangkan dirinya ke arah perwujudan profesional.
Menurut Surya (2005:2) profesionalisme guru mempunyai makna penting, karena
6
profesionalisme (1) memberikan perlindungan dan kesejahteraan, (2) merupakan suatu cara
untuk memperbaiki profesi pendidikan, dan (3) memberikan kemungkinan perbaikan dan
pengembangan diri yang memungkinkan guru dapat memberikan pelayanan sebaik
mungkin dalam memaksimalkan kompetensinya. Lebih lanjut lagi, Surya (2005:2-3)
mengatakan bahwa kualitas profesionalme ditunjukkan oleh lima unjuk kerja, yakni
(1) keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal,
(2) meningkatkan dan memelihara citra profesi, (3) keinginan untuk senantiasa mengejar
kesempatan pengembanangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki
kualitas pengetahuan dan keterampilannya, (4) mengejar kualitas dan cita-cita dalam
profesi, dan (5) memiliki kebanggaan terhadap profesinya.
Menurut Suhendro (2008:http://www.duniaguru.com) selain kualifikasi pendidikan,
profesionalisme guru dapat dilihat dari
(1) tingginya rasa tanggungjawab dan komitmen guru dalam membangun pendidikan bermutu; (2) adanya kemauan dan keseriusan guru untuk mengembangkan potensi kependidikan atau kompetensi dasar sesuai dengan tuntutan IPTEK; (3) kemampuan untuk berfikir analitis, sistematis dan bersikap aktif, kreatif serta inovatif dalam mengembangkan program pendidikan; dan (4) kemampuan membangun konsep belajar bermakna, menarik dan menyenangkan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi.
Karakteristik guru profesional adalah (1) mengembangkan kemampuan berpikir
kritis, memecahkan masalah, dan kreativitas siswa, (2) mempunyai sikap yang positif dan
moral yang tinggi, dan (3) melakukan belajar berkesinambungan dan pengembangan
profesi.
Guru yang terjamin kualitasnya diyakini mampu melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya dengan baik, yakni: (1) menyusun program pembelajaran, (2) melaksanakan
proses pembelajaran, (3) melaksanakan evaluasi hasil belajar, (4) menganalisis hasil
evaluasi, dan (5) menyusun dan melaksanakan remidial dan pengayaan. Penjaminan guru
berkualitas perlu dilakukan dari waktu ke waktu demi terselenggaranya pembelajaran yang
bermakna. Guru yang berkualitas niscaya mampu melaksanakan pendidikan, pengajaran
dan pelatihan secara efektif dan efisien. Selanjutnya, guru yang profesional diyakini
mampu memotivasi siswa untuk mengoptimalkan potensinya dalam kerangka pencapaian
standar nasional pendidikan yang ditetapkan.
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menurut Gultom
(2007:6) dalam pelaksanaannya memiliki sembilan misi sebagai berikut
7
(1) mengangkat martabat guru, (2) menjamin hak dan kewajiban guru, (3) meningkatkan kompetensi guru, (4) memajukan profesi serta karir guru, (5) meningkatkan mutu pembelajaran, (6) meningkatkan mutu pendidikan nasional, (7) mengurangi kesenjangan ketersediaan guru antar daerah dari segi jumlah, mutu, kualifikasi akademik, dan kompetensi, (8) mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antar daerah, dan (9) meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 juga menyebutkan bahwa
kompetensi guru mencakup kompetensi (1) pedagogik, (2) kepribadian, (3) profesional,
dan (4) sosial. Keempat kompetensi tersebut selanjutnya dijabarkan sebagai berikut
1. Kompetensi pedagogik, meliputi (a) memahami peserta didik, (b) merancang
pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan
pembelajaran, (c) melaksanakan pembelajaran, (d) merancang dan melaksanakan
evaluasi pembelajaran, dan (e) mengembangkan peserta didik untuk
mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya,
2. Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan
kepemilikan terhadap (a) kepribadian yang mantap dan stabil, (b) kepribadian yang
dewasa, (c) kepribadian yang arif, (d) kepribadian yang berwibawa, dan (e) akhlak
mulia untukdan dapat menjadi teladan,
3. Kompetensi profesional, meliputi (a) menguasai substansi keilmuan yang terkait mata
pelajaran, dan (b) menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk
menambah wawasan dan memperdalam pengetahuan/materi mata pelajaran,
4. Kompetensi sosial, berkenaan dengan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat
untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif yang meliputi kemampuan
berkomunikasi secara dan bergaul secara efektif dengan (a) peserta didik, (b) sesama
pendidik dan tenaga kependidikan, dan (c) orangtua/wali peserta didik dan masyarakat.
C. Mentalitas Profesional
Menurut (Jansen, 2007:http://www.duniaguru.com) ada tujuh mentalitas
profesional, yakni (1) mentalitas mutu, (2) mentalitas altruistik, (3) mentalitas melayani,
(4) mentalitas pembelajar, (5) mentalitas pengabdian, (6) mentalitas kreatif, dan
(7) mentalitas etis.
8
1. Mentalitas Mutu
Seorang profesional menampilkan kinerja terbaik yang mungkin. Dengan sengaja
dia tidak akan menampilkan the second best (kurang dari terbaik) karena tahu tindakan itu
sesungguhnya adalah bunuh diri profesi. Seorang profesional mengusahakan dirinya selalu
berada di ujung terbaik (cutting edge) bidang keahliannya. Dia melakukannya karena
hakikat profesi itu memang ingin mencapai suatu kesempurnaan nyata, menembus batas-
batas ketidakmungkinan praktis, untuk memuaskan dahaga manusia akan ideal mutu:
kekuatan, keindahan, keadilan, kebaikan, kebergunaan. Jelas, profesionalisme tidak identik
dengan pendidikan tinggi. Yang utama adalah sikap dasar atau mentalitas. Maka seorang
pengukir batu di pelosok Bali misalnya, meskipun tidak lulus SMP, namun sanggup
mengukir dengan segenap hati sampai dihasilkan suatu karya ukir terhalus dan terbaik,
sebenarnya adalah seorang profesional. Seorang guru SD di udik Papua yang mengajar
dengan segenap dedikasi demi kecerdasan murid-muridnya adalah seorang profesional. Di
pihak lain, seorang dokter yang menangani pasiennya dengan tergesa-gesa karena
mengejar kuota pasien bukanlah profesional. Demikian pula seorang profesor yang
mengajar asal-asalan, meneliti asal jadi, membina mahasiswa terlalu banyak sampai
mengorbankan kualitas, bukanlah profesional. Atau, seorang insinyur yang dengan sengaja
mengurangi takaran bahan bangunannya demi laba yang lebih besar bukanlah profesional.
2. Mentalitas Altruistik
Seorang profesional selalu dimotivasi oleh keinginan mulia berbuat baik. Istilah
baik di sini berarti berguna bagi masyarakat. Aspek ini melengkapi pengertian baik dalam
mentalitas pertama, yaitu mutu. Baik dalam mentalitas kedua ini berarti goodness yang
dipersembahkan bagi kemaslahatan masyarakat. Profesi seperti guru, dokter, atau advokat
memang jelas sangat bermanfaat bagi masyarakat. Demikian pula pialang saham, computer
programmer, atau konsultan investasi. Taat asas dengan pengertian ini, tidak mungkin ada
pencuri profesional atau pembunuh profesional. Mungkin saja teknik mencurinya atau
metoda membunuhnya memang canggih dan hebat, tetapi menggelari mereka sebagai
kaum profesional adalah sebuah kerancuan istilah. Mutu kerja seorang profesional tinggi
secara teknis, tetapi nilai kerja itu sendiri diabdikan demi kebaikan masyarakat yang
didorong oleh kebaikan hati, bahkan dengan kesediaan berkorban. Inilah altruisme. Di
fihak lain, paradoksnya, karena kualitas kerjanya tinggi, berbasiskan kompetensi teknis
yang tinggi, maka masyarakat menghargai jasa kaum profesional ini dengan tinggi pula.
9
Artinya, imbalan kerja bagi kaum profesional umumnya selalu mahal. Permintaan atas
jasa mereka selalu lebih tinggi dari ketersediaannya. Itulah yang mengakibatkan imbalan
kerja kaum profesional menjadi tinggi. Oleh karena itu pula, status sosial kaum profesional
dari segi moneter umumnya berada di lapisan tengah ke atas. Ini bukan karena kaum
profesional menuntut untuk didudukkan di kelas tersebut, tetapi sebagai akibat logis dari
eksistensi profesionalnya.
3. Mentalitas Melayani
Kaum profesional tidak bekerja untuk kepuasan diri sendiri saja tanpa peduli pada
sekitarnya. Sebaliknya, kepuasannya muncul karena konstituen, pelanggan, atau pemakai
jasa profesionalnya telah terpuaskan lebih dahulu melalui interaksi kerja. Kaum
profesional lahir karena kebutuhan masyarakat pelanggan. Seorang profesional bahkan
dengan tegas mematok nilai moneter atas jasa profesionalnya. Dengan ketegasan ini berarti
sang profesional berani berdiri di mahkamah tawar-menawar rasional dengan para
pelanggannya. Maka seorang profesional harus bisa melayani pelanggannya sebaik-
baiknya. Dan sang profesional diharapkan melakukannya secara konsisten dengan segenap
ketulusan dan kerendahan hati sebagai apreasiasi atas kesetiaan pelanggannya di sepanjang
karir profesionalnya.
4. Mentalitas Pembelajar
Di bidang olahraga, seorang pemain profesional, sebelum terjun penuh waktu,
terlebih dahulu menerima pendidikan dan pelatihan yang mendalam. Dan di sepanjang
karirnya ia terus-menerus mengenyam latihan-latihan tiada henti. Begitu juga di bidang
lain, seorang pekerja profesional adalah dia yang telah mendapat pendidikan dan pelatihan
khusus di bidang profesinya. Bahkan untuk profesi-profesi yang sudah mapan, sebelum
seseorang diberi hak menyandang status profesional, dia harus menempuh serangkaian
ujian. Bila lulus barulah dia mendapatkan sertifikasi profesional dari asosiasi profesinya.
Kompetensi tinggi tidak mungkin dicapai tanpa disiplin belajar yang tinggi dan
berkesinambungan. Dan karena tuntutan masyarakat semakin lama semakin tinggi, tak
pelak lagi, belajar dan berlatih seumur hidup harus menjadi budaya kaum profesional.
Tanpa itu maka sajian nilai sang pekerja profesional semakin lama semakin tidak relevan.
Bahkan bisa tak bersentuhan dengan realitas sekitarnya. Pada saat itulah seorang pekerja
gagal menjadi profesional.
10
5. Mentalitas Pengabdian
Seorang pekerja profesional memilih dengan sadar satu bidang kerja yang akan
ditekuninya sebagai profesi. Pilihannya ini biasanya terkait erat dengan ketertarikannya
pada bidang itu, bahkan ada semacam rasa keterpanggilan untuk mengabdi di bidang
tersebut. Mula-mula, pilihan itu dipengaruhi oleh bakat dan kemampuannya yang
digunakannya sebagai kalkulasi peluang suksesnya di sana. Tetapi kemudian berkembang
sebuah hubungan cinta antara sang pekerja dengan pekerjaannya.
Hubungan ini mirip dengan hubungan jejaka-gadis yang jatuh cinta. Semakin mereka
mengenal, rasa cinta makin kental, dan akhirnya mengokohkan hubungan itu secara
marital. Demikian juga seorang profesional, semakin ia menekuni profesinya semakin
timbul rasa cinta. Dan bila hatinya sudah mantap betul maka ia memutuskan untuk hanya
menekuni bidang itu sampai tuntas dan menyatu padu dalam sebuah ikatan cinta yang
kekal. Demikianlah, seorang profesional mengabdi sepenuh cinta pada profesi yang
dipilihnya.
6. Mentalitas Kreatif
Seorang olahragawan profesional menguasai sepenuhnya seni bermain. Baginya
permainan tidak melulu soal teknis, tetapi juga seni. Ia beranjak dari seorang jago menjadi
seorang maestro seperti Rudy Hartono di bulutangkis, Pele di sepakbola, atau Muhammad
Ali di tinju. Sedangkan pemain amatir, tidak pernah sampai ke jenjang seni; asal
menguasai teknik-teknik dasar maka memadailah untuk ikut pertandingan-pertandingan.
Seorang pekerja profesional, sesudah menguasai kompetensi teknis di bidangnya,
berkembang terus ke tahap seni. Dia akan menemukan unsur seni dalam pekerjaannya. Dia
akan menghayati estetika dalam profesinya. Mata hatinya terbuka lebar melihat kekayaan
dan keindahan profesi yang ditekuninya. Seterusnya, perspektif, keindahan, dan kekayaan
ini akan memicu kegairahan baru bagi sang profesional yang pada gilirannya
memampukannya menjadi pekerja kreatif, berdaya cipta, dan inovatif.
7. Mentalitas Etis
Seorang pekerja profesional, sesudah memilih untuk "menikah" dengan profesinya,
menerima semua konsekuensi pilihannya, baik manis maupun pahit. Profesi apa pun pasti
terlibat menggeluti wacana moral yang relevan dengan profesi itu. Misalnya profesi hukum
11
menggeluti moralitas di seputar keadilan, profesi kedokteran menggeluti moralitas
kehidupan, profesi bisnis menggeluti moralitas keuntungan, begitu seterusnya dengan
profesi lain. Maka seorang profesional sejati tidak akan menghianati etika dan moralitas
profesinya demi uang atau kekuasaan atau yang lainnya. Penghianatan profesi disebut juga
sebagai pelacuran profesionalisme yakni ketidaksetiaan pada moralitas dasar kaum
profesional. Di pihak lain, jika profesinya dihargai dan dipuji orang, dia juga akan
menerimanya dengan wajar. Kaum profesional bukanlah pertapa yang tidak membutuhkan
uang atau kekuasaan, tetapi mereka menerimanya sebagai bentuk penghargaan masyarakat
yang diabdinya dengan tulus.
D. Tugas Guru
Tugas guru meliputi (1) merencanakan pembelajaran; (2) melaksanakan
pembelajaran (a) kegiatan awal tatap muka, (b) kegiatan tatap muka, (c) membuat resume
proses tatap muka; (3) menilai hasil pembelajaran (a) penilaian dengan tes, (b) penilaian
non tes berupa pengamatan dan pengukuran sikap, (c) penilaian non tes berupa penilaian
hasil karya; (4) membimbing dan melatih peserta didik (a) bimbingan dan latihan pada
kegiatan pembelajaran, (b) bimbingan dan latihan pada kegiatan intrakurikuler,
(c) bimbingan dan latihan dalam kegiatan ekstrakurikuler; dan (5) melaksanakan tugas
tambahan sebagai (a) kepala sekolah, dan (b) wakil kepala sekolah.
E. Beban Kerja dan Tunjangan Profesi Guru
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 35
ayat (2) dinyatakan bahwa beban kerja guru mengajar sekurang-kurangnya 24 jam dan
sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka per minggu. Bahkan menurut Depdiknas
(2008.d:3) sebagai tenaga profesional, guru baik PNS maupun bukan PNS dalam
melaksanakan tugasnya berkewajiban memenuhi jam kerja yang setara dengan beban kerja
pegawai lainnya yaitu 37,5 (tiga puluh tujuh koma lima) jam kerja (@ 60 menit) per
minggu.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi
Bagi Guru Dalam Jabatan mengamanatkan bahwa guru yang telah memperoleh sertifikat
pendidik, nomor registrasi, dan telah memenuhi beban kerja mengajar minimal 24 jam
tatap muka per minggu memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.
Selanjutnya, pasal 1 ayat 1 Permendiknas Nomor 36 Tahun 2007 menyebutkan bahwa
12
guru yang telah memiliki sertifikat pendidik dan nomor registrasi guru dari Departemen Pendidikan Nasional diberikan tunjangan profesi dengan ketentuan (1) beban kerja guru sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam pelajaran tatap muka dalam satu minggu bagi guru kelas dan guru mata pelajaran, (2) beban kerja guru sekurang-kurangnya 6 (enam) jam pelajaran tatap muka dalam satu minggu bagi guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah, (3) beban kerja guru sekurang-kurangnya 12 (dua belas) jam pelajaran tatap muka dalam satu minggu bagi guru yang mendapat tugas tambahan sebagai wakil kepala sekolah, dan (4) tugas bimbingan kepada sekurang-kurangnya 150 (seratus lima puluh) peserta didik bagi guru bimbingan dan konseling.
Guru yang tidak dapat memenuhi bebabn kerja minimum 24 jam tatap muka karena
struktur program kurikulum dapat diberi tugas sebagai berikut (1) mengajar di Sekolah
atau Madrasah lain baik negeri, maupun swasta sesuai dengan mata pelajaran yang diampu,
(2) menjadi Guru Bina/Pamong pada Pendidikan Terbuka, atau (3) mengajar pada Program
Kelompok Belajar Paket A, Paket B, dan Paket C sesuai bidangnya, namun wajib
melaksanakan beban kerja minimum 12 (dua belas) jam tatap muka per minggu pada
satuan pendidikan tempat guru diangkat sebagai Guru Tetap. Pembagian tugas bagi guru
tersebut diterbitkan bersama oleh Kepala Sekolah pada Satuan Pendidikan tempat guru
diangkat sebagai guru tetap dan Kepala Sekolah/Kepala Kelompok Belajar tempat guru
mendapat tambahan jam mengajar serta diketahui oleh Kepala Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota.
Menurut Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara (2008:20) alternatif
pemenuhan beban kerja guru adalah
(1) mengajar pada sekolah lain, pendidikan terbuka, dan kelompok belajar: (a) mengajar pada sekolah atau madrasah lain sesuai mata pelajaran yang diampu, namun wajib mengajar 12 jam pelajaran per minggu di sekolah asal, Surat Tugas diterbitkan bersama antara Kepala Sekolah Asal dan Kepala Sekolah tambahan, serta diketahui oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, (b) menjadi Guru Bina/Pamong pada SMP Terbuka maksimal 2 jam pelajaran, dan (c) menjadi Tutor pada program kelompok belajar Paket A, Paket B, dan Paket C maksimal 2 jam pelajaran; (2) melaksanakan Team Teaching, namun wajib mengajar 12 jam pelajaran secara mandiri; dan (3) melaksanakan Pengayaan dan Remedial khusus (guru yang medapat tugas tersebut disetarakan dengan beban mengajar 2 jam pelajaran per minggu).
Guru yang tidak memenuhi beban kerja minimum 24 jam tatap muka dan bertugas
pada Satuan Pendidikan Layanan Khusus, berkeahlian khusus, dan dibutuhkan atas dasar
pertimbangan kepentingan nasional dapat diusulkan oleh Kepala Dinas Pendidikan
13
Kabupaten/Kota kepada Menteri Pendidikan Nasional untuk memperoleh tunjangan
profesi.
Guru yang tidak memenuhi beban kerja minimum 24 jam tatap muka karena
sebaran guru tidak sesuai dengan kebutuhan guru dalam satu Satuan Pendidikan dalam satu
wilayah, maka harus dilakukan relokasi pada Satuan Pendidikan Lain sesuai bidang
tugasnya.
F. Team-Teaching
Team-Teaching adalah pembelajaran yang ditangani oleh lebih dari satu orang guru
dan dilakukan secara tim (Depdiknas, 2004:26).
a. Pola Team-Teaching
Team-Teaching dapat dilakukan dengan dengan tiga pola sebagai berikut:
1) Pola 1, dua orang guru atau lebih secara tim, melaksanakan pembelajaran pada mata
pelajaran yang sama, pada kelas yang sama dan pada saat yang bersamaan pula. Pola
ini dikenal sebagai pola Team-Teaching penuh atau pola Team-Teaching yang utuh,
2) Pola 2, dua orang guru atau lebih secara tim, melaksanakan pembelajaran pada mata
pelajaran yang sama, pada kelas yang sama untuk topik yang berbeda dan pada saat
yang berbeda. Pola ini dikenal sebagai pola Semi Team-Teaching,
3) Pola 3, dua orang guru atau lebih secara tim, melaksanakan pembelajaran pada mata
pelajaran yang sama, pada kelas yang berbeda. Pola ini dikenal sebagai Semi Team-
Teaching.
Pola team-teaching yang dimaksud dalam memenuhi beban kerja guru untuk
mendapatkan tunjangan profesional adalah team-teaching pola 1 atau team-teaching
penuh.
b. Perencanaan Team-Teaching
Perancanaan Team-Teaching dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Menetapkan anggota tim dan koordinator tim,
2) Menyusun silabus dan sistem penilaian secara tim,
3) Menyusun satuan pembelajaran secara tim,
4) Menyiapkan hand-out secara tim,
5) Menyiapkan alat bantu/media secara tim,
6) Merencanakan pembagian tugas secara tim,
14
7) Merencanakan pembagian tugas dalam penilaian.
c. Pelaksanaan Team-Teaching
1) Pada pola 1, kelas ditangani secara ber-tim sesuai dengan pembagian tugasnya untuk
masing-masing guru,
2) Pada pola 2, kelas ditangani secara ber-tim sesuai dengan pembagian topik/kompetensi
masing-masing guru,
3) Pada pola 3, kelas ditangani secara ber-tim sesuai dengan pembagian kelas masing-
masing guru.
d. Pengendalian Team-Teaching
Agar Team-Teaching dapat berjalan baik dan mencapai target yang diharapkan,
perlu dilakukan pengendalian melalui:
1) Mendorong kebersamaan antar anggota tim,
2) Memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran Team-Teaching oleh Kepala
Sekolah dan atau Pembantu Kepala Sekolah Bidang Kurikulum,
3) Mengadakan pertemuan-pertemuan rutin dan berkala yang bersifat koordinatif antara
koordinator dengan anggota tim.
G. Penutup
Profesionalisme merupakan suatu tuntutan dari perubahan yang mesti dipenuhi oleh
organisasi. Guru profesional merupakan tuntutan yang esensial dalam upaya peningkatan
kualitas SDM yang berkualitas dan kompetitif di era globalisasi yang ditempuh melalui
pendidikan yang berkualitas. Untuk mewujudkan suatu perubahan dalam organisasi sangat
dibutuhkan perubahan kesadaran dari individu-individu dalam organisasi tersebut, karena
hakikat dari perubahan adalah kesadaran.
Masalah SDM pendidikan yang belum profesional merupakan salah satu akar
permasalahan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Kelemahan guru adalah (1) masih banyak guru yang bersikap tidak profesional seperti
tidak dimilikinya jiwa kreatif dan inovatif dalam menyampaikan materi pelajaran,
(2) kebanyakan guru merasa cukup dengan keilmuan yang telah mereka dapat di bangku
kuliah, dan (3) kebanyakan guru mengajar tanpa program yang jelas dengan alasan mereka
merasa hafal di luar kepala terhadap materi yang akan disampaikan.
15
Guru profesional dalam kajian ini adalah orang yang menyandang profesi guru
yang memiliki kinerja atau performance dalam melaksanakan tugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan
dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat sesuai dengan
profesi guru.
Guru profesional mempunyai tanggung jawab (1) pribadi, (2) sosial, (3) intelektual,
dan (4) moral dan spiritual. Profesionalisme guru dapat dilihat dari (1) tingginya rasa
tanggungjawab dan komitmen guru dalam membangun pendidikan bermutu; (2) adanya
kemauan dan keseriusan guru untuk mengembangkan potensi kependidikan atau
kompetensi dasar sesuai dengan tuntutan IPTEK; (3) kemampuan untuk berfikir analitis,
sistematis dan bersikap aktif, kreatif serta inovatif dalam mengembangkan program
pendidikan; dan (4) kemampuan membangun konsep belajar bermakna, menarik dan
menyenangkan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi.
16
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Qomari. (2003). ”Analisis Kurikulum Masa Depan”, Jakarta: Formasi, Jurnal Kajian Manajemen Pendidikan, No.8, Tahun IV, Nopember 2003:12-16.
Dharma, Satria. (2008). Mencetak Guru Berkualitas: Tantangan Dunia Pendidikan,
http://www.duniaguru.com. [11 Jun 2008].
Danim, Sudarwan. (2002). Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Bandung: Pustaka Setia.
Danumihardja, Mintarsih. (2001). ”Peran Guru sebagai Inovator”, Jakarta: Formasi, Jurnal Kajian Manajemen Pendidikan, No.6, Tahun III, September 2001:32-40.
Depdiknas. (2003). Program Pembangunan Nasional Bidang Pendidikan, http://www.depdiknas.go.id. [25 Mar 2005].
--------. (2004). Manajemen Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Ditjen Dikdasmen.
--------. (2007.a). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan, Jakarta: Ditjen PMPTK.
--------. (2007.b). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 36 Tahun 2007 Tentang Penyaluran Tunjangan Profesi bagi Guru, Jakarta: Ditjen PMPTK.
.--------. (2008.a). Informasi Program Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama,
Jakarta: Direktorat Pembinaan SMP.
--------. (2008.b). Pedoman Pemberian Subsidi Peningkatan Kualifikasi Guru ke S1/D4, Jakarta: Ditjen PMPTK.
--------. (2008.c). Program Kegiatan Direktorat Profesi Pendidik Tahun 2008, Jakarta: Ditjen PMPTK.
---------. (2008.d). Pedoman Perhitungan Beban Kerja Guru, Jakarta: Dotjen PMPTK.
Djuwita, Tita Meirina. (2004). ”Analisis Teoritik tentang Pentingnya Sumber Daya Manusia bagi Pembangunan”, Jakarta: Formasi, Jurnal Kajian Manajemen Pendidikan, No.9, Tahun V, Maret 2004:8-15.
Firdaus, M. (2005). ”Kualitas Pendidikan Indonesia di Bawah Kamboja”, Medan: Harian Sinar Indonesia Baru, 5 Juli 2005:7.
Gultom, Syawal. (2004). Pengembangan dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, [Makalah], Disampaikan pada Seminar Nasional, tanggal 30 September 2004, di Unimed.
17
--------. (2007). Sertifikasi Guru: Peluang dan Tantangan bagi Guru Profesional, [Makalah], Dipresentasikan pada Seminar Nasional tanggal 14 Juli 2007, di Unimed.
Harian Kompas. (15 Desember 2007). Memperihatinkan, Mengenaskan, Bencana untuk Dunia Pendidikan, http://www.duniaguru.com. [11 Jun 2008].
Istiqlal. (2007). Pengetahuan, Keahlian dan Persiapan Akademik sebagai Penopang Profesionalisme Guru, http://www.istiqlal-delitua-medan.blogspot.com. [11 Jun 2008].
Jansen, H. Sinamo. (2007). Membangun Mentalitas Profesional, http://www. duniaguru.com (11 Jun 2008).
Lubis, Mukhlis. (2008). ”Indikator Penyebab Mutu Pendidikan Rendah”, Medan: Mingguan Indonesiaku, No. 214, Tahun V, 2-8 Juni 2008:4.
Muhtar, Entang Ardhy. (2003). ”Etos Kerja dan Profesionalisme Birokrasi”, Jakarta: Formasi, Jurnal Kajian Manajemen Pendidikan, No.7, Tahun IV, Maret 2003:3-8.
Nursito. (2002). Peningkatan Prestasi Sekolah Menengah, Surabaya: Insan Cendekia.
Presiden dan DPR R.I. (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Eka Jaya.
--------. (2005). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Jakarta: Ditjen Manajemen Dikdasmen.
Poedjinoegroho, Baskoro. (2007). Guru Profesional, Adakah?, http://www. duniaguru.com [11 Jun 2008].
Rochaeni, Atiek. (2004). ”Hubungan Antar Manusia dalam Organisasi”, Jakarta: Formasi, Jurnal Kajian Manajemen Pendidikan, No.9, Tahun V, Maret 2004:40-47.
Rusmana, Maman. (2000). ”Kebijakan Pembangunan Pendidikan di Daerah dalam Kerangka Otonomi Daerah”, Jakarta: Formasi, Jurnal Kajian Manajemen Pendidikan, No.3, Tahun II, September 2000:36-44.
Slamet. (2007). Kompetensi Guru dan Strategi Pencapaiannya, [Makalah], Dipresentasikan pada Seminar Nasional tanggal 14 Juli 2007 di Unimed.
Supriano. (2007). Pengembangan Mutu Sumber Daya Manusia Indonesia dan Daya Saing Global Melalui Pendidikan, [Makalah], Dipresentasikan pada Seminar Nasional tanggal 14 Juli 2007 di Unimed.
Suhendro, Haryono. (2008). Idealisme Profesi Guru, http://www.duniaguru.com. [11 Jun 2008].
18
Suriadi. (2008). Esensi Kepala Sekolah Profesional dalam Membangun Pendidikan Berkualitas, [Makalah], Dipresentasikan pada Seminar Nasional Membangun Pendidikan Berkualitas di Nanggroe Aceh Darussalam, yang dilaksanakan pada tanggal 5-6 Juli 2008 di Lab School Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Surya, Mohammad. (2003). Percikan Perjuangan Guru, Semarang: Aneka Ilmu. --------. (2005). Pengembangan Profesi Guru, [Makalah], Dipresentasikan pada Simposium
Guru VII Tingkat Nasional, tanggal 21-25 Nopember 2005, di Hotel Purnama, Cisarua, Bogor.
Tampubolon, DP. (2008). ”Sistem Pemberdayaan Guru Bermutu”, Medan: Harian Sinar Indonesia Baru, No. 11.185 Tahun XXXVIII, 3 Juni 2008:14.
Umaedi. (2002). Kemampuan Manajerial Kepala SLTP yang Melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah, [Sinopsis Disertasi], Jakarta: PPs Universitas Negeri Jakarta.
19
20