hadits ahad

73
BAB I ‘AQIDAH ISLAMIYYAH 'Aqidah Menurut Pengertian Bahasa (Literal) Secara literal, ‘aqidah berasal dari kata ‘aqada yang bermakna al-habl, al- bai’, al-‘ahd (tali, jual beli, dan perjanjian). 1 Kata al-‘aqiidah, al-‘ilm, al-yaqiin, dan al-iiman bermakna sama. Kata al- yaqiin bermakna al-‘ilmu. 2 Menurut istilah, yaqiin memiliki arti, “menyakini sesuatu dengan keyakinan bahwa sesuatu yang diyakininya itu tidak mungkin berbeda dengan keyakinannya. Sebab, keyakinannya sesuai dengan kenyataan yang tidak mungkin berbeda....3 Dr. Mohammad Husain 'Abdullah mengatakan, "al-'aqiidah berasal dari kata 'aqada. Wa 'aqada al-habl wa al-bai', al-'ihdah, wa al-'ahd, ya'qiduhu syaddahu" (mengikat tali, transaksi jual beli, perjanjian, yakni, mengikatnya, atau menjalinnya dengan kuat). 'Aqidah secara bahasa juga bermakna semua hal yang mengikat hati dan hati menjadi tenang terhadapnya". 4 Dalam Tafsir Mafaatih al-Ghaib, karya Imam Fakhruddin al-Raziy dinyatakan, "...Pengarang Tafsir al-Kasysyaaf menuturkan, "Kata iman berasal dari wazan if'aal dari kata al-amnu (aman); lalu dinyatakan: aamanahu idzaa shadaqahu, wa haqiiqatuhu aamanahu min al-takdziib wa al-mukhaalifah (ia mengimani suatu perkara jika ia membenarkannya; dan hakekatnya adalah melindunginya (mengamankannya) dari kedustaan dan pelanggaran". 5 Di dalam Kitab al-Wajiz fiy 'Aqiidah al-Salaf al-Shaalih (Ahlu al-Sunnah), dinyatakan; secara bahasa, 'aqidah berasal dari kata al-'aqd (akad), yang bermakna al-rabth (tali), al-ibraam (penetapan), al-ihkaam (penguatan), al-tautsiq (kepercayaan), al-syadd bi quwwah (ikatan yang kuat), al-tamaasuk (berpegang teguh), al-muraashah (pengikatan), al-itsbaat (penetapan), al-yaqiin (yakin), wa al- jazm (kepastian) 6 . Imam Ibnu Mandzur menyatakan, "Tokoh ahli bahasa Azujaj, mendefinisikan iman dengan, “Sikap ketundukan, kepatuhan, dan kesediaan untuk menerima syari'at Islâm.” Sikap ini harus terefleksi pula dalam menerima apa-apa yang disampaikan Rasulullah saw (sunnah). Sunnah harus diyakini dan dibenarkan di dalam hati. Siapa saja yang bersikap seperti itu, dan menyakini bahwa melaksanakan suatu kewajiban itu merupakan keharusan tanpa ragu-ragu lagi, maka hakekatnya ia adalah seorang mukmin dan Muslim yang keimanannya tidak ragu-ragu lagi. Allah swt berfirman, "....dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar..." 7 1 Mohammad Ibnu Abiy Bakar al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, Daar al-Fikr, 1401 H/1971 M, hal. 444. Bila dikatakan i’taqada fulaan al-amr (seseorang telah beri’tiqad terhadap suatu perkara), maknanya adalah, shadaqahu, wa ‘aqada ‘alaihi qalbuhu, wa dlamiiruhu, (seseorang itu telah membenarkan perkara tersebut, hatinya telah menyakininya, dan ia bersandar kepada perkara tersebut). Lihat al-Mu’jam al-Wasith, jilid I, bab ‘aqada. 2 Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 743 3 Al-Jurjaniy, al-Ta’riifaat, hal. 113 4 Dr. Mohammad Husain 'Abdullah, Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, hal. 35 5 Fakhruddin al-Raaziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, hal. 290. 6 'Abdullah bin 'Abdul Hamid al-Atsariy, al-Wajiz fii 'Aqiidah Salaf al-Shaalih (Ahlu al- Sunnah wa al-Jama'ah), juz 1, hal. 11 7 Al-Quran, Yusuf:17.

Upload: belajar-ngaji

Post on 27-Jun-2015

210 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: HADITS AHAD

BAB I‘AQIDAH ISLAMIYYAH

'Aqidah Menurut Pengertian Bahasa (Literal)Secara literal, ‘aqidah berasal dari kata ‘aqada yang bermakna al-habl, al-

bai’, al-‘ahd (tali, jual beli, dan perjanjian).1

Kata al-‘aqiidah, al-‘ilm, al-yaqiin, dan al-iiman bermakna sama. Kata al-yaqiin bermakna al-‘ilmu.2 Menurut istilah, yaqiin memiliki arti, “menyakini sesuatu dengan keyakinan bahwa sesuatu yang diyakininya itu tidak mungkin berbeda dengan keyakinannya. Sebab, keyakinannya sesuai dengan kenyataan yang tidak mungkin berbeda....”3

Dr. Mohammad Husain 'Abdullah mengatakan, "al-'aqiidah berasal dari kata 'aqada. Wa 'aqada al-habl wa al-bai', al-'ihdah, wa al-'ahd, ya'qiduhu syaddahu" (mengikat tali, transaksi jual beli, perjanjian, yakni, mengikatnya, atau menjalinnya dengan kuat). 'Aqidah secara bahasa juga bermakna semua hal yang mengikat hati dan hati menjadi tenang terhadapnya".4

Dalam Tafsir Mafaatih al-Ghaib, karya Imam Fakhruddin al-Raziy dinyatakan, "...Pengarang Tafsir al-Kasysyaaf menuturkan, "Kata iman berasal dari wazan if'aal dari kata al-amnu (aman); lalu dinyatakan: aamanahu idzaa shadaqahu, wa haqiiqatuhu aamanahu min al-takdziib wa al-mukhaalifah (ia mengimani suatu perkara jika ia membenarkannya; dan hakekatnya adalah melindunginya (mengamankannya) dari kedustaan dan pelanggaran".5

Di dalam Kitab al-Wajiz fiy 'Aqiidah al-Salaf al-Shaalih (Ahlu al-Sunnah), dinyatakan; secara bahasa, 'aqidah berasal dari kata al-'aqd (akad), yang bermakna al-rabth (tali), al-ibraam (penetapan), al-ihkaam (penguatan), al-tautsiq (kepercayaan), al-syadd bi quwwah (ikatan yang kuat), al-tamaasuk (berpegang teguh), al-muraashah (pengikatan), al-itsbaat (penetapan), al-yaqiin (yakin), wa al-jazm (kepastian)6.

Imam Ibnu Mandzur menyatakan, "Tokoh ahli bahasa Azujaj, mendefinisikan iman dengan, “Sikap ketundukan, kepatuhan, dan kesediaan untuk menerima syari'at Islâm.” Sikap ini harus terefleksi pula dalam menerima apa-apa yang disampaikan Rasulullah saw (sunnah). Sunnah harus diyakini dan dibenarkan di dalam hati. Siapa saja yang bersikap seperti itu, dan menyakini bahwa melaksanakan suatu kewajiban itu merupakan keharusan tanpa ragu-ragu lagi, maka hakekatnya ia adalah seorang mukmin dan Muslim yang keimanannya tidak ragu-ragu lagi. Allah swt berfirman, "....dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar..."7

1 Mohammad Ibnu Abiy Bakar al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, Daar al-Fikr, 1401 H/1971 M, hal. 444. Bila dikatakan i’taqada fulaan al-amr (seseorang telah beri’tiqad terhadap suatu perkara), maknanya adalah, shadaqahu, wa ‘aqada ‘alaihi qalbuhu, wa dlamiiruhu, (seseorang itu telah membenarkan perkara tersebut, hatinya telah menyakininya, dan ia bersandar kepada perkara tersebut). Lihat al-Mu’jam al-Wasith, jilid I, bab ‘aqada.

2 Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 7433 Al-Jurjaniy, al-Ta’riifaat, hal. 1134 Dr. Mohammad Husain 'Abdullah, Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, hal. 355 Fakhruddin al-Raaziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, hal. 290.6 'Abdullah bin 'Abdul Hamid al-Atsariy, al-Wajiz fii 'Aqiidah Salaf al-Shaalih (Ahlu al-

Sunnah wa al-Jama'ah), juz 1, hal. 117 Al-Quran, Yusuf:17.

Page 2: HADITS AHAD

Imam al-Jurjani di dalam kitab al-Ta'rifaat menyatakan, "Secara literal, iman adalah tashdiiq al-qalb (pembenaran dalam hati). Sedangkan menurut syariat, iman adalah al-i'tiqaad bi al-qalb wa al-iqraar bi al-lisaan (keyakinan dalam hati dan diucapkan dengan lisan)".8

Makna iman adalah tashdiq (pembenaran). Dalam kitab al-Tahdzib, disebutkan bahwa iman berasal dari kata amana - yu'minu- îmânan, yang artinya membenarkan. Ahli bahasa sepakat bahwa iman bermakna tashdiq (pembenaran).

Di dalam Kitab al-Ta'riifaat disebutkan, "al-'ilmu adalah I'tiqaad al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi' (ilmu (keyakinan) adalah keyakinan pasti yang sejalan dengan realitas)"…Ada pula yang mendefinisikan ilmu dengan memahami hakekat yang terkandung di dalam sesuatu". Ada pula yang mengartikannya dengan hilangnya kesamaran dari sesuatu yang hendak diketahui; dan lawannya adalah al-jahlu (kebodohan)".9

Lawan dari yaqin (atau ‘ilmu dan iiman) adalah dzan.10 Menurut bahasa, dzan bermakna tahammuh (prasangka/dugaan).11 Al-Jurjaniy, dalam Kitab al-Ta'riifaat, menyatakan, "al-Dzann adalah i'tiqaad al-raajih ma'a ihtimaal al-naqiidl (keyakinan kuat yang disertai dengan kemungkinan adanya kontradiksi". Kata "al-dzann" juga digunakan dengan makna "al-yaqiin (yakin) dan al-syakk (ragu)". Ada pula yang menyatakan, dzann adalah dua sisi yang sama-sama rajih, tapi salah satu sisinya meragukan".12

Imam Zamakhsyariy berkata, “Bi’r dzannuun: la yutsaaq bi maa’iha.[Sumur yang meragukan adalah sumur yang airnya tidak bisa dipercaya]; rajul dzannuun: la yutsaaq bi khabarihi [laki-laki yang meragukan adalah laki-laki yang beritanya tidak bisa dipercaya].”13

Di dalam Kamus al-Muhiith disebutkan, "Al-dzann : al-taraddud al-raajih bain tharaf al-i'tiqaad al-ghair al-jaazim (Dzann adalah prasangka kuat di antara sisi keyakinan yang tidak pasti".14

Di dalam Kamus Taaj al-'Uruus min Jawaahir al-Qamuus disebutkan, " Dituturkan dari 'Ali al-Syaraf al-Dimyaathiy, bahwasanya dzann adalah al-taraddud al-raajih bain tharaf al-i'tiqaad al-ghair al-jaazim (Dzann adalah sebuah prasangka kuat di antara sisi keyakinan yang tidak pasti. Al-Manawiy menyatakan; dzann adalah al-i'tiqaad al-raajih ma'a ihtimaal al-naqiidl (dzann adalah keyakinan kuat yang disertai kemungkinan adanya kontradiksi) ".15

Di dalam Tafsir Qurthubiy disebutkan, "Dituturkan dari Imam al-Anbariy dari Yahya bin Ahmad al-Nahwiy, bahwasanya orang-orang Arab menggunakan kata dzann dengan pengertian al-'ilm (keyakinan), al-syakk (keraguan), dan al-kadzb (kedustaan). Jika bukti-bukti yang menyakinkan lebih banyak daripada bukti-bukti yang meragukan, maka dalam konteks semacam ini, al-dzann bermakna ilmu (yakin). Namun, jika bukti-bukti yang menyakinkan setara dengan bukti-bukti yang

8 Imam al-Jurjaniy, al-Ta'rifaat, juz 1, hal. 129 Imam al-Jurjaniy, al-Ta'riifaat, juz 1, hal. 4910 Al-Raghib al-Isfahaaniy, Mufradaat al-Faadz al-Quran, hal.32711 Dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah disebutkan; kata dzan kadang-kadang digunakan

dengan makna al-‘ilmu (yaqiin) [lihat juga Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, hal 218]. Fathi Mohammad Salim menyatakan; kata "dzann" adalah keyakinan kuat yang masih mengandung makna yang berlawanan. Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 406. Kata "dzan" kadang-kadang digunakan dengan makna yaqiin dan syakk (keraguan). [lihat Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 20].

12 Al-Jurjaniy, al-Ta'rifaat, juz 1, hal. 4613 Asaas al-Balaaghah, hal. 30314 Al-Fairuz al-Abadiy, al-Qamus al-Muhiith, juz 3, hal. 34515 Al-Zaabidiy, Taaj al-'Uruus min Jawaahir al-Qamuus, juz 1, hal. 8012

Page 3: HADITS AHAD

meragukan, maka dzann di sini bermakna al-syakk. Dan jika bukti yang meragukan lebih kuat dibandingkan bukti yang menyakinkan, maka dzann semacam ini bermakna al-kadzb (kedustaan)."16

Di dalam kitab al-Ta'riifaat, al-Jurjaniy menyatakan, "al-Syakk (keraguan) adalah dua makna kontradiktif yang salah satu maknanya tidak bisa dikuatkan. Ada pula yang menyatakan; al-syakk adalah dua sisi yang kontradiktif sama-sama kuatnya. Dengan kata lain, al-syakk adalah abstain terhadap dua perkara yang hati tidak bisa condong ke salah satunya. Jika ada salah satu makna (dari dua makna kontradiktif itu) ada yang lebih kuat, maka ini disebut dengan dzann".17

Al-Shaahib ibn al-'Ibaad di dalam al-Muhiith fi al-Lughah menyatakan, "al-Dzann bisa bermakna al-syakk dan yaqiin. Firman Allah swt, "Wa dzannuu an laa malja`a min al-Allah illa ilaihi", maka dzann di sini bermakna yaqiin wa al-'ilm".18

Adapun penggunaan kata "dzann" beserta maknanya dapat dilihat pada bab selanjutnya.

'Aqidah Dalam Tinjauan IstilahMenurut istilah, kata i’tiqad (keyakinan) bermakna, tashdiiq al-jaazim al-

muthaabiq li al-waaqi’ ‘an al-daliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan kenyataan dan ditunjang dengan bukti).19 Ini adalah pendapat Prof Mahmud Syaltut.

Imam al-Baghawiy, di dalam Tafsir al-Baghawiy menyatakan, "Hakekat iman adalah tashdiiq bi al-qalbi (pembenaran di dalam hati). Allah swt berfirman, "Dan sesungguhnya engkau tidak akan percaya kepada kami".[Yusuf:17], maksudnya adalah mushaddiq lanaa (mempercayai kami). Sedangkan menurut syariat, iman adalah i'tiqaad di dalam hati, diakui dengan lisan, dan amalkan dengan rukun-rukun tertentu. Pengakuan dan amal disebut dengan iman, karena keduanya merupakan bagian dari syariat-syariat yang berhubungan erat dengan iman".20

Imam al-Nasafiy, berpendapat, "Îman adalah pembenaran hati sampai pada tingkat kepastian dan ketundukan."21

Imam Ibnu Katsir menjelaskan,"Îman yang telah ditentukan oleh syara' dan diserukan kepada kaum Muslimîn adalah berupa i’tiqâd (keyakinan), ucapan, dan perbuatan. Inilah pendapat sebagian besar Imam-imam madzhab. Bahkan, Imam Syafi'iy, Ahmad bin Hanbal,dan Abu Ubaidah menyatakan, pengertian ini sudah menjadi suatu ijma' (kesepakatan)".22

Imam Nawawi menyatakan, "Ahli Sunnah dari kalangan ahli hadits, para fuqaha, dan ahli kalam, telah sepakat bahwa seseorang dikategorikan Muslim apabila orang tersebut tergolong sebagai ahli kiblat (melakukan sholat). Ia tidak kekal di dalam neraka. Ini tidak akan didapati kecuali setelah orang itu mengimani dienul Islâm di dalamnya hatinya, secara pasti tanpa keraguan sedikitpun, dan ia mengucapkan dua kalimat syahadat."23

Imam al-Ghazali menyatakan,"Îman adalah pembenaran pasti yang tidak ada keraguan maupun perasaan bersalah yang dirasakan oleh pemeluknya."24

16 Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 2, hal. 617 Al-Jurjaniy, al-Ta'riifaat, juz 1, hal. 4118 Al-Shaahib bin 'Ibaad, Al-Muhiith fi al-Lughah, juz 2, hal. 38719 Prof. Mahmud Syaltut, Islam; 'Aqidah wa Syari'ah, ed. III, Daar al-Qalam, 1966,

hal.56. Lihat juga, Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 22.

20 Imam al-Baghawiy, Tafsir al-Baghawiy, juz 1, hal. 6021 Imam al-Nasafiy, Al-'Aqâid al-Nasafiyyah, hal. 27-4322 Ibnu Katsîr, Tafsir Ibnu Katsîr, jilid.I, hal. 4023 Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid I, hal. 4924 Imam Al-Ghazali, Iljâm al-'Awam 'an 'Ilm al-Kalâm, hal. 112

Page 4: HADITS AHAD

Di dalam Kitab al-Wajiz fii 'Aqiidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaa'ah dinyatakan, "Secara istilah, aqidah adalah perkara-perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan menentramkan jiwa, sehingga perkara-perkara tersebut menjadi sebuah keyakinan yang tidak disusupi oleh keraguan dan bercampur dengan persangkaan (al-syakk). Dengan kata lain, 'aqidah adalah keimanan pasti (al-iiman al-jaazim) yang tidak dihinggapi keraguan pada diri orang yang menyakininya; dan ia harus sesuai dengan kenyataan, tidak mengandung keraguan dan persangkaan. Dan jika sebuah keyakinan tidak mencapai taraf al-iiman al-jaazim (iman yang pasti), maka perkara itu tidak dinamakan dengan aqidah. Disebut 'aqidah karena, manusia akan mengikatkan hatinya kepada perkara tersebut (aqidah)"25.

Prof Mahmud Syaltut menyatakan, "Aqidah adalah sudut pandang yang harus diimani pertama kali, sebelum mengimani yang lain, dengan keimanan yang tidak disusupi keraguan, dan tidak dipengaruhi oleh kesamaran. Secara tabi'iy, 'aqidah ditetapkan berdasarkan nash-nash yang jelas (qath'iy) yang jumlahnya sangat banyak (mutawatir)..".26

Dr. Mohammad Husain 'Abdullah menyatakan, "'Menurut istilah, 'aqiidah adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta kehidupan sebelum dunia dan sesudahnya, dan keterkaitannya (alam semesta, kehidupan, dan manusia ) dengan kehidupan sebelum dan sesudahnya. Pemikiran menyeluruh inilah yang akan mengurai simpul besar (masalah besar) yang lahir dari pertanyaan manusia mengenai; siapa yang menciptakan seluruh eksistensi ini dari ketiadaannya; dan untuk apa hidup di dunia, dan ke mana tempat kembali manusia?".27

Imam Fakhruddin al-Raziy berkata, "Para ahli kiblat berbeda pendapat dalam mendefinisikan iman menurut konteks syariat. Mereka terbagi menjadi empat kelompok. Kelompok pertama berpendapat; iman adalah sebutan untuk perbuatan-perbuatan hati dan anggota badan, serta pengakuan dengan lisan. Pendapat ini dipegang oleh Mu'tazilah, Khawarij, Ziyadiyyah, dan Ahli Hadits. Sedangkan kaum Khawarij sepakat bahwa iman kepada Allah mencakup juga makrifat kepada Allah dan makrifat pada semua perkara yang telah ditetapkan Allah dengan dalil aqliy maupun naqliy dari al-Quran dan Sunnah. Iman kepada Allah mencakup juga taat kepada Allah dalam semua perkara yang diperintahkan Allah dan meninggalkan semua dosa, baik kecil maupun besar. Selanjutnya, kumpulan dari seluruh perkara di atas adalah iman, dan meninggalkan salah satu bagian dari bagian-bagian tersebut adalah kekufuran. Sedangkan Mu'tazilah bersepakat bahwa kata iman menjadi "muta'addiy"28 dengan adanya huruf "ba'"; dan maknanya adalah tashdiiq. Oleh karena itu dinyatakan: fulaan aamana billahi wa birasuulihi; dan maksudnya adalah al-tashdiiq (pembenaran). Sebab, iman tidak mungkin bermakna "melaksanakan kewajiban-kewajiban" jika sudah dalam bentuk muta'addiy. Atas dasar itu, tidak mungkin dinyatakan si fulan telah beriman bila ia telah sholat dan puasa; akan tetapi mesti dinyatakan si fulan telah beriman kepada Allah, sebagaimana dinyatakan si fulan puasa dan sholat karena Allah. Kata iman yang menjadi muta'ddiy dengan adanya huruf "ba'" merupakan konsensus para ahli bahasa. Adapun, jika kata iman disebut secara mutlak tanpa dita'addikan, maka para ahli bahasa sepakat bahwa kata tersebut telah dipindahkan dari makna literalnya, yakni al-tashdiiq (pembenaran), ke makna yang lain. Kemudian, mereka

25 'Abdullah bin 'Abdul Hamid al-Atsariy, Al-Wajiiz fii 'Aqiidah Salaf al-Shaalih, juz 1, hal. 11-13

26 Prof Mahmud Syaltut, al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah, hal. 12.27 Dr. Mohammad Husain 'Abdullah, Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, hal. 3528 Yang disebut muta'addiy adalah "membutuhkan obyek" agar maknanya menjadi

sempurna. Fi'il muta'addiy (kata kerja muta'addiy) adalah kata kerja yang membutuhkan obyek (maf'ul bihi).

Page 5: HADITS AHAD

berselisih pendapat dari beberapa sisi: pertama, ada yang berpendapat bahwa iman adalah ungkapan dari "melaksanakan seluruh ketaatan, baik yang berhukum wajib maupun mandub, atau hanya berkaitan dengan perkataan-perkataan, atau perbuatan-perbuatan, atau keyakinan-keyakinan (i'tiqadaat). Ini adalah pendapat dari Washil bin 'Atha', Abu al-Hudzail, dan Qadliy 'Abdul Jabar bin Ahmad. Kedua, iman merupakan ungkapan dari perbuatan-perbuatan wajib saja, tidak untuk perbuatan sunnah. Ini adalah pendapat Abu 'Ali dan Abiy Hisyam. Ketiga; iman adalah ungkapan dari "penjauhan diri dari semua perkara yang di dalamnya terdapat ancaman (siksa). Menurut Allah, mukmin adalah siapa saja yang menjauhi semua dosa besar, dan mukmin menurut kita adalah setiap orang yang menjauhi perkara-perkara yang di dalamnya terdapat ancaman (siksa). Ini adalah pendapat al-Nadzam. Sebagian pengikut al-Nadzam berpendapat, syarat mukmin menurut kita dan Allah adalah menjauhi semua dosa besar. Adapun ahli hadits; mereka mengetengahkan dua pendapat. Pertama: sesungguhnya makrifat adalah keimanan yang sempurna, dan ia adalah perkara yang mendasar (pokok). Setelah itu, setiap ketaatan adalah keimanan pada batas tertentu. Ketaatan-ketaatan ini tidak bisa menjadi keimanan kecuali jika disandarkan kepada pokoknya, yakni makrifat. Mereka berkeyakinan, bahwa penolakan dan pengingkaran hati adalah kekufuran. Setelah itu, setiap kemaksiyatan yang dilakukan setelahnya adalah kekufuran pada batas-batas tertentu. Mereka tidak menjadikan setiap ketaatan sebagai sebuah keimanan selama tidak ada makrifat dan pengakuan, dan mereka tidak menjadikan setiap kemaksiyatan sebagai kekufuran, selama tidak ada penolakan dan pengingkaran. Sebab, perkara yang cabang tidak akan berarti tanpa keberadaan asalnya. Ini adalah pendapat 'Abdullah bin Sa'iid bin Kalaab. Kedua; mereka berkeyakinan bahwa iman adalah sebutan untuk ketaatan secara menyeluruh, dan ia adalah keimanan yang satu. Mereka menjadikan seluruh perkara fardlu dan nawaafil bagian dari keseluruhan iman. Siapa saja meninggalkan satu perkara fardlu maka tanggallah imannya, sedangkan orang yang meninggalkan nawaafil, tidak tanggal imannya. Sebagian dari mereka berpendapat; iman adalah sebutan untuk kewajiban saja, bukan untuk nawaafil. Kelompok kedua;mereka yang berpendapat; iman itu di dalam hati dan lisan secara bersamaan. Hanya saja, mereka terbagi lagi menjadi beberapa pendapat. Pertama; iman adalah pengakuan lisan dan makrifat dengan hati. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan mayoritas ahli fikih. Lalu, mereka berbeda pendapat dalam dua topik; pertama; mereka berselisih pendapat mengenai "apa hakekat dari makrifat itu". Sebagian dari mereka mengartikan makrifat dengan "i'tiqaad al-jaazim" (keyakinan pasti), sama saja apakah keyakinan itu diperoleh dengan jalan taqlid (i'tiqaad taqliidiyyan) maupun dari ilmu (keyakinan) yang bersumber dari dalil. Dan mayoritas di antara mereka menghukumi muqallid (dalam hal iman) sebagai seorang Muslim. Sebagian lagi mengartikan makrifat dengan ilmu (keyakinan) yang lahir dari istidlaal (penalaran terhadap dalil). Kedua, mereka berbeda pendapat dalam hal, "ilmu (keyakinan) yang dianggap bisa mewujudkan iman itu ilmu (keyakinan) terhadap apa? Sebagian ahli kalam berpendapat; itu adalah ilmu (keyakinan) terhadap Allah dan SifatNya secara sempurna dan lengkap. Lalu, perbedaan pendapat dalam hal Sifat Allah swt telah mengantarkan mereka saling mengkafirkan satu dengan yang lain. Ahlu al-Inshaaf berpendapat; ilmu (keyakinan) yang diakui di sini adalah ilmu (keyakinan) terhadap setiap perkara yang telah diketahui secara dlaruriy termasuk bagian dari agama Mohammad saw. Berdasarkan pendapat ini, maka keyakinan terhadap keberadaan Allah apakah Ia mempunyai Sifat Mengetahui karena Dzatnya sendiri, atau karena adanya Sifat Tambahan, dan lain sebagainya, bukanlah termasuk bagian dari iman. Pendapat kedua: sesungguhnya, iman adalah tashdiiq bi al-qalb wa al-lisaan ma'an (keimanan adalah pembenaran dengan hati dan lisan secara bersamaan). Ini adalah pendapat Basyar bin Ghiyaats al-Muriisiy, Abu Hasan

Page 6: HADITS AHAD

al-'Asy'ariy. Yang dimaksud dengan tashdiiq bi al-qalb adalah perkataan yang berdiri sendiri. Pendapat ketiga; pendapat dari sebagian ahlu sufi: iman adalah pengakuan dengan lisan dan keikhlasan dalam hati. Kelompok ketiga; orang yang berpendapat bahwa iman adalah ungkapan dari perbuatan hati saja. Mereka terbagi lagi menjadi dua pendapat; pertama; iman adalah ungkapan dari makrifat kepada Allah dengan hati; sehingga, siapa saja yang telah makrifat kepada Allah dengan hatinya, kemudian ia mengingkari dengan lisannya dan mati sebelum sempat ia mendekatkan diri dengan Allah, maka orang itu adalah Mukmin sejati. Ini adalah pendapat Jahm bin Shofwaan. Adapun makrifat terhadap Kitab-kitab Suci, Rasul-rasul, hari akhir, mereka berkeyakinan bahwa masalah ini bukan termasuk dalam batas-batas iman. Al-Ka'biy menuturkan dari Jahm, bahwasanya iman adalah makrifat kepada Allah dan makrifat terhadap semua perkara yang secara dlaruriy termasuk bagian dari agama Nabi Mohammad saw. Kedua: iman adalah pembenaran dengan hati saja (mujarrad tashdiq al-qalb). Ini adalah pendapat Al-Husain bin al-Fadlal al-Bajaliy. Kelompok keempat; mereka yang berpendapat bahwa iman adalah pengakuan dengan lisan saja. Kelompok ini terbagi lagi menjadi dua. Pertama; yang berpendapat pengakuan dengan lisan adalah iman sajal akan tetapi pengakuan tersebut baru disebut iman jika telah ada makrifat di dalam hati. Oleh karena itu, makrifat di dalam hati merupakan syarat agar pengakuan dengan lisan tersebut dianggap sebagai keimanan, namun makrifat itu sendiri tidak termasuk dalam sebutan iman. Ini adalah pendapat Ghilan bin Muslim al-Dimasyqiy dan Fadlal al-Riqaasyiy. Akan tetapi, al-Ka'biy menyanggah pendapat Ghilan ini. Kedua; iman adalah hanyalah pengakuan dengan lisan saja. Ini adalah pendapat al-Karaamiyyah. Mereka berkeyakinan bahwa orang munafiq itu Mukmin secara dzahir, namun kafir secara bathin. Lalu, mereka dihukumi mukmin di dunia, namun kafir di akherat. Inilah pendapat-pendapat ulama seputar definisi iman menurut konteks syariat".29

Selanjutnya, setelah menjelaskan panjang lebar seputar masalah iman, Imam Fakhruddin al-Raaziy mengetengahkan pendiriannya sebagai berikut, "..Jika anda telah memahami penjelasan pendahuluan ini, maka kami berpendapat bahwa, iman adalah ungkapan dari pembenaran terhadap semua perkara yang telah diketahui secara dlaruriy (pasti) bahwa keberadaannya termasuk bagian dari agama (tashdiiq bi kulli ma 'urifa bi al-dlaruurah kaunuhu min diin); dengan batasan sebagai berikut. Batasan pertama; iman adalah ungkapan dari tashdiiq (pembenaran). Ini ditunjukkan oleh hal-hal berikut ini. (1) Sesungguhnya, menurut konteks bahasa (literal), makna asal dari iman adalah tashdiiq. Seandainya dalam konteks syariat maknanya berubah menjadi selain makna tashdiiq, berarti orang yang mengucapkannya sedang berbicara di luar konteks kalamnya (pengucapan) orang Arab. Hal ini tentunya akan menganulir eksistensi al-Quran sebagai kalamnya orang Arab. (2) Iman adalah lafadz yang sering diucapkan oleh kaum Muslim. Seandainya maknanya dipindahkan kepada makna lain di luar konteks aslinya (makna bahasa), niscaya makna (sebutan) itu akan diketahui secara luas, masyhur, dan bahkan mencapai derajat mutawatir. Namun, selama kenyataannya tidak seperti itu, maka kita memahami bahwa iman tetap harus dipahami dalam konteks makna asalnya (makna bahasa). (3) Kita sepakat bahwa kata iman yang menjadi muta'addiy dengan penambahan huruf "ba'", maknanya harus dipahami sesuai dengan konteks asli bahasa (makna literal). Sehingga, jika kata iman tidak menjadi muta'addiy, maka ia harus dimakna seperti itu juga. (4) Sesungguhnya, ketika Allah swt menyebut kata iman di dalam al-Quran, Ia menyandarkannya dengan al-qalb (hati). Allah swt berfirman, " yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman".[al-Maidah:41];

29 Imam Fakhruddin al-Raaziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, hal. 292

Page 7: HADITS AHAD

"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar".[TQS An Nahl (16):106]; " Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka".[TQS Al Mujadilah (58):22]; "Orang-orang Arab Badwi itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk", karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu".[TQS Al Hujurat (49): 14].

Allah swt setiap kali menyebut kata iman, Ia mengkaitkannya dengan amal sholeh. Seandainya amal sholeh termasuk bagian dari iman, hal ini pasti akan disebutkan berulang-ulang. (6) Allah swt kerapkali menyebut iman dan mengindikasikannya dengan kemaksiyatan. Allah swt berfirman;" Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk".[TQS Al An'aam (6):82]; " Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil".[TQS Al Hujurat (49):9]

Ibnu 'Abbas berhujjah dengan surat al-Baqarah:178, " Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.."[TQS Al Baqarah (2):178], tiga pendapat. Pertama, sesungguhnya qishash itu hanya diwajibkan atas pembunuh yang melakukan pembunuhan dengan sengaja. Selanjutnya, Allah swt berfirman, "Ya ayyuhal ladziina aamanuu"; ini menunjukkan bahwa orang tersebut adalah Mukmin. Kedua, Allah swt berfirman, "Faman 'ufiya lahu min akhiihi syai'un" (TQS Al Baqarah (2): 178); persaudaran di sini adalah persaudaraan iman". Ini didasarkan pada firman Allah swt, "Innamaa al-mukminuun ikhwah" (sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara)". (TQS Al Hujurat:10). Ketiga, firman Allah swt, "Dzaalika takhfiif min rabbikum wa rahmah" (ini adalah keringanan dan rahmat dari Tuhan kalian) (TQS Al Baqarah (2): 178); keringanan dan rahmat ini tentunya tidak akan diberikan kecuali bagi orang Mukmin. Pengertian senada juga ditunjukkan oleh firman Allah swt, "Walladziina aamanuu wa lam yuhaajiruu" (TQS Al-Anfaal (8):72). Ayat ini menunjukkan bahwa sebutan iman tetap diberikan kepada orang yang tidak berhijrah. Padahal, ada ancaman yang sangat besar atas perbuatan meninggalkan hijrah dalam firman Allah swt surat al-Nahl :28, dan al-Anfaal:72. Akan tetapi, Allah swt tetap menjadikan mereka sebagai orang-orang Mukmin. Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah swt, " Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang.."[TQS Al Mumtahanah (60):1]; " Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui".[TQS Al Anfaal (8):27]; "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu.."[TQS At Tahriim (66):8].

Page 8: HADITS AHAD

Perintah taubat yang ditujukan kepada orang yang tidak berdosa adalah sesuatu yang mustahil. Allah swt berfirman, "Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung".[TQS An Nuur (24):31]

Batasan kedua; iman bukanlah ungkapan dari tashdiiq al-lisaan (pembenaran perkataan). Dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah swt, " Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman."[TQS Al Baqarah (2):8]. Ayat ini menafikan keimanan mereka. Seandainya iman kepada Allah adalah ungkapan dari pembenaran lisan, tentunya penafian di dalam ayat tersebut tidak sah.

Batasan ketiga; iman bukanlah ungkapan dari kemutlakan tashdiiq (pembenaran terhadap sesuatu secara mutlak). Sebab, orang yang membenarkan al-Jibt dan al-Thaghut tidaklah disebut orang Mukmin.

Batasan keempat; tashdiq terhadap semua sifat Allah swt tidak termasuk persyaratan iman. Sebab, Rasulullah saw tetap mengakui keimanan orang yang tidak mengetahui apakah Allah Mengetahui karena DzatNya sendiri atau karena IlmuNya. Seandainya tashdiq terhadap semua sifat Allah termasuk syarat pentahqiqan iman, lalu mengapa Rasulullah saw mengakui keimanan orang tersebut, padahal beliau saw belum mengujinya apakah ia telah mengetahui semua sifat Allah atau belum? Ini adalah penjelasan mengenai pentahqiqan iman. Jika ada orang bertanya terhadap dua buah kasus; kasus pertama; ada orang yang telah mengetahui Allah sw dengan dalil dan bukti. Setelah pengetahuan itu sempurna, orang tersebut meninggal, namun ia tidak memiliki kesempatan untuk mengucapkan kalimat syahadat. Dalam kasus ini, jika orang tersebut anda hukumi Mukmin, maka anda pun mengakui bahwa pengakuan lisan (iqraar al-lisaan) bukanlah faktor penentu keimanan. Dan pendapat ini menyalahi konsensus (ijma'). Namun, jika anda menghukumi dirinya bukan Mukmin, maka inipun bathil; berdasarkan sabda Rasulullah saw, "Akan keluar dari neraka, setiap orang yang di dalam hatinya ada keimanan walaupun seberat dzarrah." Qalbu di dalam hadits ini telah berisi iman. Lantas, bagaimana mungkin ia tidak termasuk orang Mukmin? Kedua, ada orang yang mengetahui Allah swt berdasarkan dalil, dan ia masih memiliki kesempatan untuk mengucapkan kalimat syahadat, namun ia tidak mengucapkannya. Jika anda menyatakan bahwa ia Mukmin, maka ini telah menyalahi konsensus. Jika anda katakan ia bukan Mukmin, maka perkataan itu bathil, berdasarkan sabda Rasulullah saw, "Akan keluar dari neraka, setiap orang yang di dalam hatinya ada keimanan walaupun seberat dzarrah". Padahal, iman itu tidak akan hilang dari hati, meskipun tidak diucapkan. Jawabnya: sesungguhnya Imam al-Ghazaliy menolak ijma'30 dalam dua kasus ini. Dan ia menghukumi orang yang berada dalam dua keadaan itu sebagai orang Mukmin; sedangkan keengganan untuk mengucapkannya (melafadzkan syahadat) terkategori perbuatan maksiyat setelah hadirnya iman".31

Inilah pendapat-pendapat para ulama mengenai aqidah. Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, mereka berbeda pendapat dalam mendefinisikan aqidah serta cakupan-cakupan aqidah. Hanya saja, mereka semua sepakat bahwa, aqidah merupakan pembenaran yang bersifat pasti, sesuai dengan realitas, dan ditunjang oleh bukti. Pasalnya, sesuatu tidak dianggap sebagai aqidah atau keimanan, jika sesuatu itu tidak dibenarkan secara pasti. Aqidah juga harus sejalan dengan realitas. Untuk itu, suatu keyakinan yang tidak sejalan dengan realitas juga tidak bisa dianggap sebagai keimanan. Sebab, keyakinan yang tidak

30 Maksudnya, konsensus dalam hal keimanan itu harus diucapkan dengan lisan. Dalam dua kasus semacam ini, menurut al-Ghazaliy, seseorang tidak boleh dihukumi kafir, alias tidak Mukmin.

31 Imam Fakhruddin al-Raaziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, 290-294

Page 9: HADITS AHAD

sejalan dengan realitas (penginderaan) adalah khayalan. 'Aqidah atau keimanan juga harus ditunjang oleh bukti. Keimanan yang tidak ditunjang oleh bukti akan mengantarkan pemeluknya kepada taqlid-taqlid yang justru dilarang di dalam Islam. Keimanan harus didapatkan dengan jalan berfikir mandiri, bukan dengan cara taqlid. Dengan kata lain, untuk mencapai iman, seseorang mesti melakukan pengamatan, perenungan, dan penyimpulan secara mandiri.

Kesimpulan1. Aqidah atau keimanan adalah pembenaran pasti (tashdiq al-jazim) yang

sejalan dengan realitas, dan ditunjang oleh bukti. Untuk itu, aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil yang menyakinkan, baik dari sisi sumber maupun penunjukkannya (qath'iy al-tsubut wa qath'iy al-dilaalah). Perkara-perkara yang tidak ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang sumber dan penunjukkannya tidak pasti, maka perkara-perkara tersebut tidak boleh dimasukkan dalam perkara aqidah. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, aqidah menuntut adanya keyakinan pasti tanpa disusupi kesamaran maupun keraguan. Atas dasar itu, perkara-perkara yang masih mengandung keraguan dan kesamaran tidak dianggap dalam perkara aqidah. Imam Nawawi di dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, "Ahlu al-Sunnah dari kalangan ahli hadits, fikih, dan ahli kalam telah sepakat bahwa seorang mukmin yang dihukumi sebagai ahli kiblat dan tidak akan kekal di dalam neraka tidak lain tidak bukan adalah seseorang yang menyakini diinul Islam di dalam hatinya dengan keyakinan yang pasti dan bebas dari keraguan, dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Jika salah satu syarat itu kurang, pada konteks awalnya dia tidak termasuk ahli kiblat. Kecuali, jika ia tidak mampu mengucapkan kalimat syahadat karena cacat lisannya, atau ia tidak mungkin mengucapkannya karena keburu meninggal dunia, atau karena sebab-sebab lain, maka ia tetaplah seorang Mukmin"32.

2. Masalah-masalah yang masih diperselisihkan oleh ulama-ulama kaum Muslim, dikarenakan dalil-dalilnya yang dzanniy atau maknanya masih mengandung kesamaran, tidak boleh dimasukkan dalam perkara aqidah. Sebab, perkara aqidah merupakan perkara pasti yang tidak boleh diperselisihkan maupun diperdebatkan oleh kaum Muslim. Seandainya, kaum Muslim boleh berbeda pendapat dalam masalah aqidah, sungguh, akan muncul banyak aqidah (keimanan) yang saling bertentangan di tengah-tengah kaum Muslim. Akibatnya, akan terjadi saling mengkafirkan dan menyesatkan sesama Muslim. Untuk itu, masalah-masalah yang masih didiskusikan dan diperselisihkan oleh kaum Muslim, tidak boleh dianggap sebagai perkara aqidah yang berimplikasi kepada keimanan dan kekufuran.

3. Para 'ulama membedakan antara keyakinan dan amal sholeh. Pembedaan ini tidak ditujukan untuk memisahkan keduanya, akan tetapi untuk menunjukkan perbedaan karakter keduanya dan implikasi hukum yang diakibatkan oleh keduanya. Orang yang melanggar pokok-pokok aqidah yang pasti, dihukumi murtad alias kafir. Sedangkan kaum Mukmin yang melanggar hukum-hukum syariat, maka ia tidak boleh dianggap keluar dari Islam atau murtad. Orang yang meninggalkan sholat, namun tidak disertai keyakinan atau penolakan terhadap pensyariatan sholat lima waktu, tidak boleh dihukumi kafir. Ini adalah pendapat Imam Syafi'iy dan mayoritas ulama. Namun, jika perbuatan itu disertai dengan keyakinan atau penolakan terhadap pensyariatan sholat, maka tidak ada keraguan lagi, orang tersebut telah keluar dari Islam, alias murtad. Yang dituntut oleh syariat adalah pengamalan. Sedangkan yang dituntut oleh aqidah atau keimanan adalah pembenaran yang bersifat pasti.

32 Imam Al Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 1, hal. 69

Page 10: HADITS AHAD
Page 11: HADITS AHAD

BAB IIJALAN PENETAPAN 'AQIDAH

Kepastian Harus Dibangun di Atas Dalil Yang PastiPada dasarnya, para 'ulama telah sepakat bahwa, aqidah ditetapkan

berdasarkan dalil 'aqliy dan naqliy. Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam menilai kehujjahan dalil 'aqliy dan naqliy dalam masalah 'aqidah.

Professor Mahmud Syaltut di dalam bukunya, Islam: 'Aqidah wa Syari'ah menyatakan; para ‘ulama sepakat bahwa, dalil ‘aqliy yang didasarkan pada penginderaan atau dlaruriy menghasilkan keyakinan, dan absah dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Dengan kata lain, akal merupakan asas paling mendasar untuk menetapkan pokok-pokok aqidah Islam. Adapun pokok-pokok aqidah yang dibuktikan berdasarkan akal adalah; iman terhadap eksistensi Allah swt, kenabian Mohammad saw, dan iman bahwa al-Quran adalah Kalamullah33.

Sedangkan dalil-dalil naqliyyah, sebagian besar ulama berpendapat bahwa dalil-dalil semacam ini tidak menghasilkan keyakinan, tidak menghasilkan keimanan yang telah digariskan oleh syariat, dan tidak absah dijadikan hujjah untuk menetapkan ‘aqidah. Alasannya, dalil-dalil naqliy masih membuka ruang yang sangat luas bagi kesamaran-kesamaran (kenisbian).34

Sedangkan ulama yang berpendapat dalil naqliy absah dijadikan hujjah dalam penetapan aqidah, mensyaratkan kepastian dalam sumber (qath'iy wurud) dan penunjukkannya (qath'iy dilalah). Dengan kata lain, penetapan aqidah harus didasarkan pada dalil yang sumber dan dilalahnya qath'iy. Pendapat ini lebih rajih dan kuat. Pasalnya, dalil naqliy itu terklasifikasi menjadi empat bentuk; sumber dan dilalahnya qath'iy (qath'iy al-tsubut wa qath'iy al-dilaalah), sumbernya qath'iy namun dilalahnya dzanniy (qath'iy al-tsubut dzanniy al-dilaalah), sumbernya dzanniy namun dilalahnya qath'iy (dzanniy al-tsubut wa dzanniy al-dilaalah), sumbernya dzanniy dan dilalahnya juga dzanniy (dzanniy al-tsubut wa dzanniy al-dilalah). Dari empat bentuk dalil naqliy tersebut, hanya dalil naqliy qath'iy tsubut wa qath'iy dilaalah (sumber dan dilalahnya pasti) saja yang absah membangun perkara-perkara aqidah35. Ini bisa dimengerti karena, aqidah atau keimanan yang dituntut oleh syariat adalah keimanan pasti yang tidak disusupi oleh kemungkinan salah atau kesamaran; dan dalil naqliy yang bisa memenuhi syarat ini hanyalah dalil yang qath'iy al-tsubut wa al-dilaalah (sumber dan penunjukkannya pasti).

Di dalam Haasyiyyah Radd al-Mukhtaar karya Ibnu 'Abidin disebutkan, "...Saya berpendapat bahwa dalil sam'iyyah itu terkategori menjadi empat macam. Pertama, qath'iy tsubut wa al-dilaalah, seperti nash-nash al-Quran yang tertafsirkan atau muhkam, dan sunnah mutawatir yang maknanya qath'iy. Kedua, qath'iy tsubut dzanniy dilaalah, seperti ayat-ayat al-Quran yang membuka ruang adanya perbedaan interpretasi (al-ayat al-muawwalah). Ketiga, kebalikan dari dalil di atas (dzanniy tsubut qath'iy dilaalah), seperti khabar al-ahad yang mafhumnya qath'iy, dan keempat, dzanniy tsubut dzanniy dilaalah, seperti khabar ahad yang mafhumnya dzanniy".36

Di dalam Syarah al-Thahaawiy 'ala Maraaqiy al-Falaah, Imam al-Thahawiy menyatakan bahwa, fardlu itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama, fardlu qath'iy,

33 Dr. Mohammad Husain 'Abdullah, Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, hal. 1034 Mahmud Syaltut, ibid, hal. 5635 Mahmud Syaltut, ibid, hal. 56-5736 Ibnu 'Abidin, Hasyiyyah Radd al-Mukhtaar, juz 1, hal. 102; Lihat juga Kasyf al-Asraar, juz

1, hal. 226; al-Taqriir wa al-Tahbiir, juz 4, 401; juz 6, hal. 220, dan lain-lain

Page 12: HADITS AHAD

yakni fardlu yang ditetapkan berdasarkan dalil qath'iy yang menghasilkan ilmu al-badiihiy (keyakinan pasti), dan orang yang mengingkarinya dihukumi kafir. Kedua, fardlu dzanniy, yakni fardlu yang ditetapkan oleh dalil qath'iy, namun di dalamnya masih mengandung kesamaran (syubhat). Orang yang mengingkarinya dihukumi kafir. Selanjutnya beliau berkata, "Ketahuilah, dalil itu terbagi menjadi empat kelompok. Pertama, qath'iy al-tsubut wa al-dilaalah (sumber dan penunjukkannya pasti). Misalnya, ayat-ayat al-Quran dan hadits mutawatir yang maknanya tidak membuka ruang adanya interpretasi (ta`wil). Kedua, qath'iy al-tsubut wa dzanniy al-dilaalah (sumbernya pasti, dilalahnya tidak pasti). Misalnya, ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits yang membuka adanya perbedaan interpretasi. Ketiga, dzanniy tsubut qath'iy dilalah (sumbernya dzanniy namun dilalahnya pasti). Misalnya, hadits-hadits ahad yang maknanya sharih (jelas, dan tidak membuka ruang adanya penafsiran ganda). Keempat, dzanniy al-tsubut wa al-dilalah (sumber dan dilalahnya dzanniy). Misalnya, hadits ahad yang maknanya masih samar (membuka ruang adanya interpretasi)."37

Ibnu 'Arafah menyatakan, "..Menurut kami, cabang-cabang syari'ah cukup disangga oleh dalil-dalil dzann, sedangkan perkara-perkara keyakinan (I'tiqaad) harus didasarkan kepada dalil-dalil yang menyakinkan (al-ilmu).."38 Beliau juga menyatakan, "..Sebab, yang dituntut dari keimanan adalah keyakinan pasti (al-'ilm al-yaqiin), dan tidak boleh dzann".39

Di dalam Fatawa al-Azhar pada bab al-'Amal bi Ahaadiits al-Ahaad (Beramal dengan Hadits Ahad) disebutkan, "Pertanyaan : Kami membaca beberapa kitab tatkala beristidlal dengan hadits Nabawiy untuk menggali sebagian hukum-hukum syariat, di situ dinyatakan bahwasanya hadits tersebut adalah hadits ahad yang menghasilkan keyakinan. Lantas, apa hadits ahad itu; dan bagaimana kedudukannya dalam istidlal hukum-hukum agama? Jawab: Hadits ahad adalah hadits yang perawinya tidak mencapai batas mutawatir yang menghasilkan kepastian dan keyakinan (qath'iy wa yaqiin). Sedangkan hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok rawi dari sekelompok rawi lainnya, yang bisa dipercaya (diyakini) bahwa mereka tidak mungkin berdusta. Hadits ahad itu dibagi menjadi beberapa macam. Diantaranya adalah hadits masyhur, yakni hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang atau lebih. Ada pula hadits 'Aziiz, yakni hadits yang diriwayatkan dua orang; dan ada pula hadits gharib, yakni hadits yang diriwayatkan oleh satu orang. Hadits ini dibagi lagi menjadi hadits shahih, hasan, dla'if, dan hadits maudlu' (buatan). Dan masih banyak lagi pembagian-pembagian hadits semacam ini di dalam ilmu mushthalah al-hadits. Nah, yang dibahas sekarang adalah hadits shahih yang terklasifikasi dalam hadits ahad dan mutawatir. 'Ulama ushul berpendapat; sesungguhnya hadits-hadits ahad yang berbicara masalah hukum-hukum syariat amaliyyah wajib untuk diamalkan, dengan asumsi bahwa ia adalah perkara cabang. Akan tetapi, hadits ahad tidak diamalkan dalam perkara-perkara 'aqidah yang dianggap sebagai ushuluddin. Kesimpulan semacam ini dinukil dari mayoritas para shahabat, tabi'in, sekaligus sebagai pendapat ulama-ulama fiqh dan ushul. Tidak ada satupun ulama yang menyelisihi hal ini (hadits ahad bukanlah hujjah dalam perkara aqidah), kecuali sebagian fuqaha ahli dzahir, dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat yang dituturkan dari beliau. Oleh karena itu, betapapun kuatnya hadits ahad, seperti hadits-hadits masyhur, sesungguhnya ia tidak menghasilkan ilmu al-yaqiin (kepastian) yang bisa dijadikan sandaran (hujjah) untuk membangun perkara-perkara aqidah. Akan tetapi, hadits ahad hanya menghasilkan dzann yang wajib diamalkan dalam masalah-masalah furu' (cabang).

37 Imam al-Thahaawiy , Syarah al-Thahaawiy 'ala Maraaqiy al-Falaah, juz 1, hal. 3738 Ibnu 'Arafah, Tafsiir Ibnu 'Arafah, juz 1, hal. 11639 Ibnu 'Arafah, Tafsiir Ibnu 'Arafah, juz 1, hal. 189

Page 13: HADITS AHAD

Pendapat semacam ini banyak disebutkan dalam kitab-kitab rujukan. Imam Nawawiy sudah menjelaskan masalah ini dengan sangat jelas di dalam Syarah Shahih Muslim, juz 1, hal. 20. Penjelasan ini beliau terapkan dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, sebagai bantahan beliau atas pendapat Ibnu Shalah yang menyatakan, bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim menghasilkan keyakinan. Dari sinilah dapat diketahui bahwa hadits ahad yang shahih tidak menghasilkan apa-apa kecuali hanya sekedar dzann. Namun, ia wajib untuk diamalkan dalam masalah-masalah furu', bukan dalam masalah aqidah. Ke-dzann-an atau ke-yakin-an yang dihasilkan dari hadits, kadang-kadang berasal dari sisi perawinya. Hadits mutawatir menghasilkan keyakinan, sedangkan hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan. Kadang-kadang, kedzann-an atau ke-yakinan-an suatu hadits berasal dari sisi dilalah lafadznya (makna/penunjukkannya; dan ini bisa saja terjadi pada hadits-hadits maupun al-Quran. Suatu lafadz, jka hanya mengandung satu makna saja, maka ia qath'iy dilalah. Jika suatu lafadz mengandung banyak kemungkinan makna, maka ia menjadi dzanniy dilalah. Seperti halnya lafadz al-'ain yang kadang-kadang bermakna mata, sumber air, emas, dan mata-mata. Lafadz fitnah, kadang-kadang bermakna ujian (imtihan), kekufuran (al-kufr), 'adzab, dan persengketaan diantara manusia. Bukti-bukti untuk masalah semacam ini (dzanniy dilalah) sangatlah banyak. Atas dasar itu, jika ada perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu' yang dalilnya adalah khabar ahad (hadits ahad), maka orang yang menolak berhujjah dengan khabar ahad dalam masalah semacam ini, tidak menjadi kafir atau fasiq. Jika tidak seperti ini, tentunya predikat fasik dan kafir akan divoniskan kepada para ulama fikih yang berbeda pendapat satu dengan yang lain dalam berbagai masalah...(Fatawa Ma'aashirah karya Syaikh Jaad al-Haq 'Ali Jaad al-Haq, hal.49-60)".40

Tatkala memberikan syarah (wa laa yakfuru jaahiduhu), Ibnu 'Abidin berkata, "Sesungguhnya perkara yang berhukum wajib itu tidak harus diyakini hakekatnya bila wajibnya perkara itu ditetapkan berdasarkan dalil dzanniy. Pasalnya, keyakinan (i'tiqaad) harus dibangun di atas dalil yang menyakinkan (yakin). Akan tetapi, perkara yang berhukum wajib harus diamalkan, dikarenakan adanya dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya mengikuti (dalil-dalil) dzanniy. Orang yang mengingkarinya (dalil dzanniy) tidaklah kafir. Adapun orang yang tidak mengamalkannya, jika hal itu dilakukan karena penafsirannya, maka ia tidak fasik dan sesat. Sebab, penafsiran dalam perkara-perkara yang masih samar (meragukan) telah ditempuh oleh para ulama salaf41. Adapun jika tidak seperti itu; bila ia meninggalkan perkara wajib tersebut karena meremehkannya, maka ia sesat, karena telah menolak khabar ahad. Dan qiyas itu adalah bid'ah. Jika ia meninggalkan perkara wajib itu bukan karena meremehkan dan juga bukan karena penafsiran, maka orang itu fasiq, karena telah keluar dari ketaatan dengan cara meninggalkan perkara yang diwajibkan kepadanya".42

Di dalam kitab Adaab al-Hiwaar wa Qawaa'id al-Ikhtilaaf disebutkan, "..Telah diketahui bahwa nash-nash syariat itu ada sebagian yang dzanniy al-tsubut wa dzanniy al-dilaalah (sumber dan penunjukkannya dzanniy), dan ada pula yang dzanniy tsubut qath'iy al-dilaalah (sumbernya dzanniy , penunjukkannya jelas). Ada pula yang qath'iy al-tsubut wa dzanniy al-dilaalah (sumbernya pasti, penunjukkannya dzanniy); dan ada pula yang qath'iy tsubut, qath'iy al-dilaalah (sumber dan penunjukkannya pasti). Qath'iy tsubut (sumbernya pasti) adalah al-

40 Fatawa al-Azhar, al-'Amal bi Ahaadiits al-Ahad, juz 8, hal. 12641 Maksudnya, para ulama salaf pun berbeda pendapat dalam menginterpretasikan dalil-

dalil yang bersifat dzanniy. Perbedaan interpretasi ini menghasilkan pendapat yang beragam, bahkan kadang-kadang saling bertentangan. Namun, mereka tidak pernah saling memberikan predikat fasik dan kafir karena perbedaan pendapat tersebut.

42 Ibid, juz 1, hal. 102

Page 14: HADITS AHAD

Quran, sunnah mutawatir, dan hadits ahad shahih yang didukung oleh qarinah dan telah disepakati oleh umat.."43

'Abdul Qadir al-Audah di dalam Kitab al-Tasyrii' al-Janaaiy al-Islaamiy Muqaaranan bi al-Qanuun al-Wadl'iy, menyatakan, "....Sesungguhnya, keumuman nash-nash al-Quran dan Sunnah Mutawatir tidak bisa dikhususkan oleh qiyas dan khabar yang tidak mutawatir (ahad) pada konteks awalnya. Sebab, keduanya (qiyas dan khabar tidak mutawatir) dzanniy dilalah. Sedangkan yang qath'iy tidak bisa dikhususkan oleh yang dzanniy. Namun, jika yang keumuman nash tersebut dikhususkan oleh nash yang qath'iy, maka setelah itu, ia boleh dikhususkan oleh qiyas dan khabar yang tidak mutawatir. Sebab, nash umum yang telah dikhususkan tadi berubah menjadi dzanniy dilalah. Ketika ia menjadi dzanniy dilalah, maka ia boleh dikhususkan oleh dalil-dalil dzanniy lainnya."44

Imam Ibnu Taimiyyah di dalam Kitab Majmuu' al-Fataway menyatakan, "..Adapun "ijma'', apakah ia qath'iy dilalah atau dzanniy dilalah?" Sebagian orang menetapkan keberadaannya secara mutlak dengan ini dan itu. Sedangkan yang lain menafikannya secara mutlak karena ini dan itu.."45

Di dalam Kitab Mausuu' al-Fiqh al-Islaamiy disebutkan sebagai berikut, "...Sesungguhnya wahyu ilahiy yang turun kepada Rasulullah saw, baik Al-Quran maupun Sunnah yang menerangkan hukum-hukum amaliyyah, kadang-kadang dalilnya ada yang qath'iy tsubut dan qath'iy dilalah. Dalil-dalil semacam ini bukan tempat untuk ijtihad, walaupun ia boleh untuk dikaji. Dari dalil-dalil ini (qath'iy tsubut qath'iy dilalah) dihasilkan hukum-hukum dlaruriy dan syi'ar Islam, seperti wajibnya sholat, zakat, puasa, dan haji....Kadang-kadang ada pula yang qath'iy tsubut dzanniy dilalah. Ada pula yang dzanniy tsubut qath'iy dilalah; dan ada pula yang dzanniy tsubut dan dzanniy dilalah.."46

Di dalam Tafsir al-Raaziy, ketika mendiskusikan sanksi potong tangan dalam kasus pencurian, disebutkan, "..Kami berpendapat bahwa qiraat syadzdz tidak bisa menganulir qiraat mutawatir. Dan kami tetap berpegang teguh kepada qiraat mutawatir untuk menetapkan madzhab kami. Selain itu, bagi kami, qiraat syadzdz bukanlah hujjah. Karena itu, kami memastikan bahwa riwayat itu47 bukanlah al-Quran. Sebab, seandainya riwayat itu dianggap Quran, tentunya ia adalah riwayat mutawatir. Seandainya kita boleh menetapkan satu ayat di dalam Al-Quran bukan dengan jalan mutawatir, niscaya ini akan memberikan ruang kepada kaum Rawafidl dan Mulaahid untuk menikam al-Quran".48

Dalam masalah penetapan al-Quran, Imam Ibnu Katsir di dalam Kitab Tafsirnya menyatakan, "...Adapun jika riwayat itu dinyatakan sebagai al-Quran,

43 'Umar bin 'Abdillah al-Kamil, Adaab al-Hiwaar wa Qawaa'id al-Ikhtilaaf, juz 1, hal. 42 44 'Abdul Qadir al-Audah, al-Tasyrii' al-Janaaiy al-Islaamiy Muqaaranan bi al-Qanuun al-

Wadl'iy,juz 1, hal. 21445 Imam Ibnu Taimiyyah, Majmuu' al-Fataway, juz 2, hal. 8846 Mausuu' al-Fiqh al-Islaamiy, bab Ma'nay al-Fiqh, juz 1, hal. 147 Riwayat yang dimaksud adalah hadits yang dituturkan dari Ibnu Mas'ud ra,

bahwasanya beliau membaca firman Allah swt, "Faqtha'uu aidiyahuma" dengan "Faqtha'uu aimanahuma".[Lihat Tafsir al-Raaziy, juz 6, hal. 56]

48 Kaum Rawafidl menolak keotentikan Mushhaf Ustmaniy dengan menyatakan, bahwa Mushhaf Utsmaniy tidak mencantumkan qiraat-qiraat dan mushhaf shahabat; sehingga al-Quran Mushhaf Ustmaniy telah mengalami pengurangan dan penambahan. Padahal, qiraat-qiraat dan mushhaf shahabat tersebut diriwayatkan secara ahad, sehingga tidak layak menetapkan al-Quran yang qath'iy. Atas dasar itu, Utsman bin 'Affan menolak menetapkan riwayat-riwayat tersebut sebagai bagian dari al-Quran. Menurut Imam Abu Hanifah, qiraat syadz yang diriwayatkan oleh perawi adil, kedudukannya seperti hadits ahad yang wajib diamalkan. Atas dasar itu, beliau membolehkan membaca qiraat syadz di dalam sholat, bukan karena menganggapnya sebagai al-Quran, tetapi untuk mengamalkan hadits ahad.

Page 15: HADITS AHAD

sesungguhnya, riwayat ini49 bukanlah al-Quran; dan al-Quran tidak ditetapkan berdasarkan riwayat-riwayat ahad semacam ini. Atas dasar itu Amirul Mukminin 'Utsman bin 'Affan tidak menulis riwayat ini di dalam Mushhaf al-Imam. Selain itu, tak satupun Qura' –yang dengan bacaan mereka hujjah bisa ditetapkan— yang membaca riwayat ini, baik dari qiraat sab'ah (7 dialek) maupun qiraat yang lain".50

Di dalam kitab Mafaatih al-Ghaib, Imam Muhammad Fakhr al-Diin al-Raaziy berkata, "…..Kedua, asumsi ini pun bathil. Sebab, khabar ahad tidak berfaedah apapun kecuali sekedar dzann. Seandainya kita menjadikannya (hadits ahad) sebagai jalan untuk penetapan al-Quran, niscaya lenyaplah keberadaan al-Quran sebagai hujjah yang menyakinkan, dan jadilah ia hujjah yang meragukan. Seandainya hal ini boleh, tentunya, benar juga dakwaan kaum Rawaafidl bahwa al-Quran telah menerima tambahan, pengurangan, pengubahan, dan penyimpangan. Dan sesungguhnya hal ini telah membatalkan Islam sendiri".51

Di dalam kitab al-Tahriir wa al-Tanwiir, Ibnu 'Asyur menyatakan, "… Imam al-Baqilaaniy berkata, "Seandainya al-tasmiyyah (bismillahirrahmaanirrahiim) termasuk al-Quran, bisa saja jalan penetapannya didasarkan pada riwayat mutawatir atau ahad. Asumsi pertama (diriwayatkan secara mutawatir) adalah bathil. Sebab, seandainya keberadaan bismillah sebagai al-Quran ditetapkan berdasarkan riwayat mutawatir, tentunya hal ini menghasilkan ilmu dlaruriy (ilmu yakin), dan tidak akan terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Kedua: asumsi ini juga bathil. Sebab, khabar ahad tidak berfaedah apapun kecuali sekedar dzann. Jika kita menjadikan hadits ahad sebagai jalan untuk penetapan al-Quran, maka hilanglah sifat al-Quran sebagai hujjah yang menyakinkan, dan jadilah ia menjadi hujjah yang dzanniyyah. Seandainya hal ini boleh, maka benarlah tuduhan-tuduhan kaum Rawafidl bahwa al-Quran telah mengalami penambahan, pengurangan, pengubahan, dan penyimpangan".52

Ibadliy dalam Himyaan al-Zaad menyatakan, "…Sebab, khabar ahad tidak bisa menetapkan al-Quran walaupun bisa menetapkan hukum".53

Di dalam kitab Ushuul al-Sarkhasiy, Imam Sarkhasiy menyatakan sebagai berikut, "....Fardlu adalah sebutan untuk "kadar tertentu" yang secara syar'iy tidak mengandung penambahan atau pengurangan; dan ia bisa dipastikan kebenarannya. Sebab, fardlu ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang menghasilkan keyakinan secara pasti ('ilm qath'iy) baik yang bersumber dari al-Quran, Sunnah Mutawatir, atau Ijma'...Secara syar'iy hukum untuk kategori semacam ini menghasilkan keyakinan pasti; sebab, fardlu ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti. Oleh karena itu, siapa saja yang mengingkari hukum semacam ini (fardlu) dianggap kafir. Perkara yang fardlu harus diamalkan dengan anggota badan. Orang yang menunaikannya adalah orang yang taat kepada Rabbnya, dan siapa saja yang meninggalkannya adalah orang-orang yang maksiyat. Sebab, ketika ia tidak menunaikannya, berarti ia telah membatalkan amal perbuatan, namun tidak membatalkan keyakinannya. Sedangkan melanggar ketaatan termasuk kemaksiyatan. Oleh karena itu, orang yang meninggalkan perbuatan yang termasuk rukun agama atau ushulul diin, tidak boleh dianggap kafir; kecuali jika orang yang meninggalkan perbuatan itu disertai dengan unsur meremehkan atau menolak hukum. Pasalnya menolak atau meremehkan perintah Allah swt termasuk kekufuran. Namun, jika ia meninggalkan perbuatan fardlu tersebut tidak disertai dengan penolakan atau peremehan, maka

49 Riwayat yang dimaksud adalah hadits yang dituturkan oleh Hafshah ra, "Hafidzuu 'ala al-Shalawaat wa al-Shalaati al-Wustha wa Shalaat al-'Ashr".[Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsiir, juz 1, hal. 652-653]

50 Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 1, hal. 65351 Imam Fakhruddin al-Raaziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, hal. 17652 Ibnu 'Asyur , al-Tahriir wa al-Tanwiir, juz 1, hal. 253 Ibadliy, Himyaan al-Zaad, juz 1, 468

Page 16: HADITS AHAD

orang tersebut hanya terkategori orang yang berbuat maksiyat . Pasalnya, ia telah meninggalkan kewajiban tanpa ada udzur. Orang tersebut terkategori fasiq, jika ia keluar dari ketaatan kepada Tuhannya. Sebab, al-fisq (fasik) bermakna al-khuruj (keluar)....Atas dasar itu, orang fasik masih dianggap Mukmin. Sebab, secara i'tiqaad, ia belum keluar dari ushul al-diin dan rukun-rukun agama; namun secara amaliy, ia keluar dari ketaatan.."54 Selanjutnya, beliau menerangkan tentang "hukum wajib" sebagai berikut, "Semua perbuatan yang dibebankan kepada seseorang sebagai manifestasi keterikatannya dengan perbuatan tersebut, namun perbuatan itu ditetapkan berdasarkan dalilnya yang tidak menghasilkan keyakinan secara pasti, maka hal ini disebut dengan wajib. Dengan kata lain, wajib adalah perkara yang "kemestian untuk diyakini secara pasti" telah gugur secara qath'iy; walaupun perkara itu secara amaliy wajib untuk diamalkan...."55

Selanjutnya, di dalam kitab yang sama, Imam Sarkhasiy menjelaskan, "...Hanya saja, Imam Syafi'iy menolak klasifikasi ini56, dan menyamakan antara wajib dan fardlu. Jika penolakan Syafi'iy terhadap klasifikasi ini lebih kepada "penamaannya" (penyebutan) saja, maka, kami telah menerangkan makna dari sebutan tersebut (makna fardlu dan wajib secara bahasa). Jika penolakannya ditujukan kepada maknanya, sesungguhnya, penolakan tersebut adalah penolakan yang fasid. Sebab, penetapan hukum itu sejalan dengan dalil. Tidak ada perbedaan antara kami dan beliau, bahwa perbedaan ini harus dikembalikan kepada dalil. Sesungguhnya, khabar ahad itu tidak menghasilkan ilmu yakin, karena masih mengandung kesalahan dari perawinya. Dan hadits ahad adalah dalil yang wajib diamalkan karena adanya persangkaan baik kepada perawi, dan karena sisi kebenarannya lebih dikuatkan karena keadilan perawi. Oleh karena itu, penetapan hukum untuk kategori ini harus disesuaikan dengan dalilnya; yakni, orang yang mengingkari perkara wajib tidak boleh dianggap kafir. Sebab, dalilnya tidak menghasilkan ilmu yakin. Hanya saja, perkara semacam ini harus diamalkan; karena, dalilnya mengharuskan untuk diamalkan. Orang yang menolaknya, jika bukan karena penafsirannya, akan tetapi karena penolakannya terhadap khabar ahad, maka ia dianggap sesat. Jika penolakannya dikarenakan penafsirannya, namun ia tetap berpendapat bahwa hadits ahad wajib diamalkan, maka ia tidak boleh dianggap sesat..."57

Yang dimaksud qath’iy wurud (pasti sumbernya) adalah kepastian dari sisi sumbernya. Artinya, dalil tersebut benar-benar pasti berasal dari Rasulullah saw tanpa ada kesamaran (syubhat) sedikitpun. Dalil naqliy yang bisa memenuhi persyaratan ini hanyalah dalil-dalil yang diriwayatkan secara mutawatir; misalnya, al-Quran dan hadits mutawatir. Sedangkan dalil-dalil yang diriwayatkan secara ahad tidak bisa memenuhi persyaratan ini; misalnya hadits ahad. Sebab, dalil-dalil semacam ini, masih mengandung kesamaran (syubhat) dari sisi sumbernya (tsubut).58

54 Imam Sarkhasiy, Ushuul al-Sarkhasiy, juz 1, hal. 11255 Ibid, juz 1, hal. 112-11356 Imam Syafi'iy menolak pembedaan fardlu dan wajib yang diketengahkan oleh

Imam Abu Hanifah dan pengikutnya. Menurut beliau, wajib dan fardlu itu sama, tidak berbeda. Sedangkan Imam Abu Hanifah membedakan fardlu dan wajib. Menurut beliau, fardlu adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang menghasilkan keyakinan secara pasti, misalnya al-Quran, Sunnah Mutawatir, dan Ijma' Shahabat. Sedangkan wajib, adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil dzanniy, misalnya hadits ahad. Semua ini menunjukkan bahwa, kategorisasi dalil qath'iy dan dzanniy telah dikenal di kalangan ulama-ulama yang memiliki kredibilitas ilmu dan taqwa.

57 Imam Sarkhasiy, Ushuul al-Sarkhasiy, juz 1, hal. 11258 Masalah ini akan dibahas lebih detail pada bab berikutnya.

Page 17: HADITS AHAD

Ibnu 'Arafah menyatakan, "..Menurut kami, cabang-cabang syari'ah cukup disangga oleh dalil-dalil dzann, sedangkan perkara-perkara keyakinan (I'tiqaad) harus didasarkan kepada dalil-dalil yang menyakinkan (al-ilmu).."59 Beliau juga menyatakan, "..Sebab, yang dituntut dari keimanan adalah keyakinan pasti (al-'ilm al-yaqiin), dan tidak boleh dzann".60

Dalam hal penetapan al-Quran, Imam al-Raziy menyatakan, "..Seandainya kita boleh menjadikan khabar ahad untuk menetapkan al-Quran (itsbat al-Quran), niscaya hal ini akan melenyapkan karakter al-Quran sebagai bukti yang menyakinkan, dan jadilah ia sebagai bukti yang dzanniy. Seandainya ini dibolehkan, niscaya benarlah tuduhan kaum Rafaawidl yang menyatakan bahwa al-Quran telah mengalami penambahan, pengurangan, perubahan, dan penyimpangan. Dan ini justru akan membatalkan Islam."61

Adapun yang dimaksud dengan qath’iy dilalah adalah kepastian yang terkandung dalam sebuah dalil dari sisi makna atau penunjukkannya. Dengan kata lain, makna yang ditunjukkan oleh dalil tersebut pasti, dan tidak membuka ruang adanya penafsiran atau makna ganda. Persyaratan ini hanya bisa dipenuhi oleh dalil-dalil hanya menunjuk kepada satu makna saja, dan tidak menunjuk kepada dua makna atau lebih. Bila makna yang terkandung dalam sebuah dalil masih membuka ruang adanya penafsiran, atau mengandung dua makna atau lebih, maka dilalahnya dzanniy; sehingga tidak absah digunakan hujjah dalam perkara ‘aqidah. 62 Pasalnya, perkara aqidah mengharuskan persamaan, dan melarang adanya perbedaan. Jika seseorang berbeda pendapat dalam masalah aqidah, hanya ada dua kemungkinan hukum bagi dirinya; ia masih menyandang predikat Mukmin, atau telah terjatuh kepada kekufuran. Sedangkan dalil-dalil yang dilalahnya dzanniy justru memungkinkan dan membuka ruang selebar-lebarnya bagi perbedaan penafsiran. Perbedaan penafsiran ini bisa jadi karena kemusytarakan lafadznya, belum jelasnya arah makna yang dituju, dan lain sebagainya. Dalam keadaan seperti ini, adanya perbedaan merupakan perkara yang lazim. Jika perkara-perkara semacam ini dianggap bagian dari 'aqidah yang memestikan adanya persamaan, tentunya 'aqidah yang dipegang oleh kaum Muslim sangat beragam bahkan saling bertentangan; dan tentunya akan terjadi aktivitas saling mengkafirkan satu dengan yang lain. Padahal. Kaum Muslim boleh berbeda pendapat dalam masalah-masalah yang dalilnya dzanniy dilalah. Atas dasar itu, dalil-dalil yang dilalahnya dzanniy tidak boleh dimasukkan dalam perkara aqidah.

Jika sebuah dalil memenuhi dua persyaratan di atas (qath'iy tsubut dan qath'iy dilalah), maka ia menghasilkan keyakinan, dan layak dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah.63 Contohnya, ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang tauhid, risalah, hari akhir, kenabian dan kerasulan Mohammad saw, kitab suci, kafirnya orang yang menyakini paham trinitas, serta hal-hal yang berhubungan dengan ushul al-diin lainnya. Dalil-dalil tersebut, sumber dan maknanya bersifat pasti (qath’iy wurud dan dalalah). Sebab, selain ditetapkan oleh Al-Quran dan riwayat-riwayat mutawatir, ayat-ayat tersebut hanya menunjukkan satu makna saja, dan tidak membuka ruang bagi penafsiran yang beragam. Dalam perkara-perkara semacam inilah kaum Muslim tidak boleh berbeda pendapat. Perbedaan pendapat dalam perkara-perkara yang dibangun di atas dalil yang sumber dan dilaalahnya qath'iy, akan menjatuhkan seseorang pada kekafiran. Contoh dalil yang sumber dan dilalahnya qath'iy adalah firman Allah swt berikut ini;

59 Ibnu 'Arafah, Tafsiir Ibnu 'Arafah, juz 1, hal. 11660 Ibnu 'Arafah, Tafsiir Ibnu 'Arafah, juz 1, hal. 18961 Imam al-Raziy, Mafaatih al-Ghaib, juz 1, hal. 176.62 Mahmud Syaltut, ibid, hal.56-57. Yang dimaksud 'aqidah di sini adalah ushul 'aqidah,

bukan furu' 'aqidah. 63 Ibid, hal.57

Page 18: HADITS AHAD

م م� م�ت�ق�ل�ب�ك� ه� ي�ع�ل� ن�ات� و�الل� م�ؤ�م�ن�ين� و�ال�م�ؤ�م� ل�ذ�ن�ب�ك� و�ل�ل� ه� و�اس�ت�غ�ف�ر� ه� إ�ل�ا الل� ه� ل�ا إ�ل� ف�اع�ل�م� أ�ن�و�م�ث�و�اك�م

"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.”[TQS Muhammad (47):19]

ز�ع�م� ال�ذ�ين� ك�ف�ر�وا أ�ن� ل�ن� ي�ب�ع�ث�وا ق�ل� ب�ل�ى و�ر�ب0ي ل�ت�ب�ع�ث�ن� ث�م� ل�ت�ن�ب�ؤ�ن� ب�م�ا ع�م�ل�ت�م� و�ذ�ل�ك� ع�ل�ىالل�ه� ي�س�ير

"Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: "Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah..”[TQS At Taghabun (64):7]

ق�ل� ي�ح�ي�يه�ا ال�ذ�ي أ�ن�ش�أ�ه�ا أ�و�ل� م�ر�ة7 و�ه�و� ب�ك�ل0 خ�ل�ق7 ع�ل�يم6“Katakanlah,”Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang

pertama. Dan Dia Mengetahui tentang segala makhluk.”[TQS Yaasiin (36):79]

ه� و�ك�ت�ب�ه ب�الل�ه� و�م�ل�ائ�ك�ت� ن� لD ء�ام� ن�ون� ك� ه� و�ال�م�ؤ�م� ن� ر�ب0 ه� م� ل� إ�ل�ي� م�ا أ�ن�ز� ن� الر�س�ول� ب� ء�ام�و�ر�س�ل�ه� ل�ا ن�ف�ر0ق� ب�ي�ن� أ�ح�د7 م�ن� ر�س�ل�ه� و�ق�ال�وا س�م�ع�ن�ا و�أ�ط�ع�ن�ا غ�ف�ر�ان�ك� ر�ب�ن�ا و�إ�ل�ي�ك� ال�م�ص�ير

"Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami ta`at". (Mereka berdo`a): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". [TQS Al Baqarah (2):285]

ل�ي�س� ال�ب�ر� أ�ن� ت�و�لOوا و�ج�وه�ك�م� ق�ب�ل� ال�م�ش�ر�ق� و�ال�م�غ�ر�ب� و�ل�ك�ن� ال�ب�ر� م�ن� ء�ام�ن� ب�الل�ه� و�ال�ي�و�مت�ام�ى ب�ى و�ال�ي� ه� ذ�و�ي ال�ق�ر� ل�ى ح�ب0 م�ال� ع� ت�ى ال� ن� و�ء�ا ت�اب� و�الن�ب�ي0ي ك�ة� و�ال�ك� ل�آخ�ر� و�ال�م�ل�ائ� ا و�ال�م�س�اك�ين� و�اب�ن� الس�ب�يل� و�الس�ائ�ل�ين� و�ف�ي الر0ق�اب� و�أ�ق�ام� الص�ل�اة� و�ء�ات�ى الز�ك�اة� و�ال�م�وف�ون ب�ع�ه�د�ه�م� إ�ذ�ا ع�اه�د�وا و�الص�اب�ر�ين� ف�ي ال�ب�أ�س�اء� و�الض�ر�اء� و�ح�ين� ال�ب�أ�س� أ�ول�ئ�ك� ال�ذ�ين� ص�د�ق�وا

و�أ�ول�ئ�ك� ه�م� ال�م�ت�ق�ون"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu

kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." [TQS Al Baqarah (2):177]

Adapun perkara-perkara yang sumbernya tidak qath’iy, atau sumbernya qath’iy akan tetapi maknanya (dalalahnya) samar dan masih diperdebatkan oleh para ‘ulama, maka perkara-perkara tersebut tidak termasuk bagian dari perkara ‘aqidah

Page 19: HADITS AHAD

yang membawa implikasi kekufuran atau keimanan.64 Perkara-perkara semacam ini sangatlah banyak jumlahnya, dan terus diperselisihkan di kalangan ‘ulama. Misalnya, masalah “melihat Allah swt dengan mata”, “Sifat-sifat tambahan yang dilekatkan pada Dzat Allah, pelaku dosa besar, kehadiran Imam Mahdiy, Dajjal, turunnya Nabi Isa as, siksa kubur, letak surga yang dihuni Nabi Adam as, dan lain sebagainya.

Imam Mawardi, dalam tafsirnya menyatakan,”Ada dua pendapat tentang surga yang dihuni Adam as. Pertama, ia adalah surga abadi. Kedua, ia merupakan surga yang disediakan Allah swt untuk Adam dan Hawa sebagai tempat ujian, bukan surga abadi sebagai Daar al-Jazaa’ (negeri pembalasan). Pendapat yang terakhir ini terbagi menjadi dua; (1) surga ini terletak di langit. Mereka beralasan, bahwa Allah menurunkan Adam dan Hawa dari surga. Pendapat ini dipegang oleh Imam Hasan. Imam Bahr berpendapat, bahwa surga ini terletak di bumi. Alasannya, Allah hendak menguji keduanya di bumi dengan cara melarang mereka memakan buah khusus.65

Imam Ibn al-Khathib, dalam tafsirnya mengatakan, bahwa para ‘ulama berbeda pendapat tentang surga yang dihuni Nabi Adam dan Hawa. Ia terletak di langit ataukah di bumi? Sekiranya di terletak di langit, apakah ia surga abadi yang disediakan sebagai balasan amal? Atau, apakah ia surga yang lain? Abu al-Qasim al-Balkhi dan Abu Muslim al-Ashbahani berkata, “Surga dihuni Adam ini terletak di dunia”. Pendapat ini juga dipegang oleh Imam Abu Hanifah. Pendapat lain menyatakan, bahwa surga yang dihuni Nabi Adam as terletak di langit tujuh. ‘Ulama lain berpendapat, bahwa surga tersebut adalah negeri pembalasan (daar al-jazaa’). Ini merupakan pendapat mayoritas ‘ulama. Pendapat lain menyatakan bahwa, semua pendapat itu sama-sama mungkin, karena dalilnya saling bertentangan dan tidak pasti.

Imam Abu Zaid al-Maliki berkata bahwa, ia bertanya kepada Imam Abu Nafi’, apakah surga itu makhluk? Imam Nafi’ menjawab, “Diam dalam masalah ini lebih baik.” 66

Para ‘ulama juga berbeda pendapat dalam hal melihat Allah swt dengan mata (pandangan) di hari kiamat. Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa manusia akan melihat Allah swt di hari akhir. Mereka mengajukan dalil-dalil sebagai berikut:

ل�ل�ذ�ين� أ�ح�س�ن�وا ال�ح�س�ن�ى و�ز�ي�اد�ة6 و�ل�ا ي�ر�ه�ق� و�ج�وه�ه�م� ق�ت�ر6 و�ل�ا ذ�ل�ة6 أ�ول�ئ�ك� أ�ص�ح�اب� ال�ج�ن�ة� ه�مف�يه�ا خ�ال�د�ون

"Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya." [TQS Yunus (10):26] Menurut sebagian ulama, maksud dari pecahan kata “..dan tambahannya..” adalah kenikmatan melihat Allah swt.

)ع�ل�ى ال�أ�ر�ائ�ك� ي�ن�ظ�ر�ون�22إ�ن� ال�أ�ب�ر�ار� ل�ف�ي ن�ع�يم7(“Sesungguhnya, orang yang berbakti itu benar-benar dalam kenikmatan yang

besar. Mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang.”[TQS Al Muthaffifiin (83):22-23]

64 Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, hal. 58. Beliau menambahkan, bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah seperti ini disebutkan di dalam banyak kitab, misalnya Kharidat al-Dardiir, Jauharah karya Imam Laqaniy, dan sebagainya.

65 Abd al-Qadir Ahmad ‘Atha, al-Thaariq Ila al-Jannah, ed.II, 1987, Daar al-Jiil, Beirut, Libanon

66 Ibid.

Page 20: HADITS AHAD

)إ�ل�ى ر�ب0ه�ا ن�اظ�ر�ة226و�ج�وه6 ي�و�م�ئ�ذ7 ن�اض�ر�ة6(“Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah

mereka melihat.”[TQS Al Qiyamah (75):22-23]Akan tetapi, sebagian ulama tidak sepakat dengan pendapat ini. Mereka

menyatakan, bahwa manusia tidak akan melihat Allah swt . Mereka berargumentasi dengan mengetengahkan firman Allah swt yang menafikan adanya ru’yat al-Allah; misalnya firman Allah swt;

ل�ا ت�د�ر�ك�ه� ال�أ�ب�ص�ار� و�ه�و� ي�د�ر�ك� ال�أ�ب�ص�ار� و�ه�و� الل�ط�يف� ال�خ�ب�ير�“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat

segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” [TQS Al An’am (6):103]

Nash-nash seperti ini tidak absah digunakan dalil untuk membangun perkara-perkara ‘aqidah yang membawa implikasi iman dan kufur. Seorang Muslim yang berpendapat bahwa Allah bisa dilihat di hari akhir, tidak boleh menjatuhkan predikat kafir kepada saudaranya yang berpendapat bahwa Allah tidak bisa dilihat di hari akhir. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalalah (makna) yang ditunjukkan oleh nash-nash tersebut tidak qath’iy (dzanniy dilalah).67

Pada dasarnya, perbedaan pendapat dalam masalah-masalah semacam ini (furu' 'aqidah) lahir, tatkala di tengah-tengah kaum Muslim bermunculan pemikiran-pemikiran, kelompok-kelompok, dan aliran-aliran ilmu kalam. Kelompok ini terus berdebat dan berdiskusi untuk mempertahankan pendapat mereka masing-masing. Bahkan, perdebatan dan diskusi mereka mulai memasuki wilayah 'aqidah. Akhirnya, perkara-perkara ‘aqidah dijadikan obyek ijtihad yang menyebabkan mereka berselisih dan berbeda pendapat. Masing-masing kelompok dan aliran mengetengahkan pendapat dan pemikirannya dengan disertai dalil-dalil naqliy yang mendukungnya. Akibatnya, muncullah perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu' 'aqidah. Dalam kondisi semacam ini, seorang Muslim mesti toleran, dan tidak boleh menjatuhkan predikat kafir kepada saudaranya yang berseberangan pendapat dengan dirinya.

Namun demikian, banyak perkara ‘aqidah yang seluruh kaum Muslim bersepakat dan tidak berselisih pendapat di dalamnya. Misalnya, seluruh kaum Muslim sepakat bahwa Allah swt suci dari kekurangan, dan disifati dengan seluruh kesempurnaan. Ini adalah keyakinan pasti yang diimani oleh seluruh kaum Muslim, dan tidak pernah diperselisihkan oleh para ‘ulama. Perbedaan pendapat terjadi tatkala mereka membahas perkara-perkara yang berhubungan Allah swt. Misalnya, apakah Allah swt wajib berbuat yang terbaik bagi hambaNya? Apakah manusia yang menciptakan sendiri perbuatan-perbuatan ikhtiyariyah? Apakah maksiyat yang dilakukan oleh seorang hamba telah dikehendaki Allah?

Kelompok Mu’tazilah berpendapat bahwa, Allah wajib berbuat yang terbaik bagi hambaNya, manusia adalah pencipta perbuatannya sendiri, dan Allah tidak menghendaki kemaksiyatan. Kelompok lain berpendapat, bahwa Allah tidak wajib berbuat yang terbaik untuk hambaNya, Allah adalah pencipta perbuatan manusia, dan Allah swt menghendaki kemaksiyatan.

Dari sini dapat disimpulan bahwa, seluruh kelompok tersebut tidak berbeda pendapat dalam masalah sucinya Allah dari kekurangan (ketidaksempurnaan). Mereka juga sepakat bahwa Allah disifati dengan kesempurnaan. Sebab, keyakinan terhadap kesucian Allah dari sifat lemah dan ketidaksempurnaan, merupakan keyakinan pasti yang tidak membuka ruang bagi adanya perbedaan penafsiran.

67 Prof Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, hal.61

Page 21: HADITS AHAD

Mereka hanya berbeda pendapat dalam hal, “Apakah perkara ini dan itu termasuk kekurangan, sehingga Allah tidak mensifati diriNya dengan sifat itu; dan apakah perkara ini dan itu bukan termasuk kekurangan Allah, sehingga Allah mensifati dirinya dengan sifat itu?

Menurut Mahmud Syaltut, di dalam kitab-kitab Tauhid telah dirinci perkara mana yang disepakati oleh para ‘ulama, dan mana yang masih diperselisihkan; serta dalil-dalil naqliy yang dijadikan sandaran argumentasi masing-masing pihak.

Atas dasar itu, jalan untuk menetapkan masalah-masalah ‘aqidah haruslah mudah dan diketahui oleh seluruh manusia, Jalan tersebut tidak boleh hanya diketahui sebagian orang saja. Sebab, ‘aqidah adalah pokok agama (ushul al-diin) yang menjadikan seseorang menyandang predikat Muslim atau kafir. Seandainya jalan untuk menetapkan keimanan hanya diketahui oleh sebagian orang saja, niscaya banyak orang yang sulit untuk memperoleh predikat mukmin; sebab, ia tidak mengetahui jalan untuk mendapatkan keimanan. Contohnya adalah ilmu mantiq dan logika yang digunakan oleh ahli filsafat sebagai jalan untuk mendapatkan keimanan. Jalan seperti ini adalah jalan salah yang bertentangan dengan manhaj berfikir yang benar. Sebab, tidak semua orang menguasai ilmu manthiq dan logika. Jika untuk mendapatkan keimanan, seseorang harus menguasai ilmu mantiq terlebih dahulu, tentunya orang yang tidak menguasai ilmu manthiq tidak akan pernah bisa memperoleh keimanan dengan jalan yang benar? Kalaupun ia menyandang gelar mukmin, maka keimanannya pasti didapatkan dari jalan taqlid. Padahal, jalan semacam ini (taqlid dalam masalah ‘aqidah) dilarang oleh syara’.

Agar masalah aqidah benar-benar bisa dimengerti oleh seluruh umat manusia, maka perkara-perkara ‘aqidah tersebut haruslah sesuatu yang pasti, tidak diperselisihkan atau masih menjadi bahan perbincangan di kalangan ‘’ulama dalam hal penetapan dan penafiannya. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa kebanyakan masyarakat awam tidak mampu menjangkau argumentasi-argumentasi para ‘ulama, jika perkara-perkara ‘aqidah tersebut masih dalam ranah perselisihan dan perdebatan. Keadaan semacam ini tentunya akan membuka ruang yang sangat lebar bagi adanya taqlid dalam perkara ‘aqidah. Padahal, taqlid dalam perkara ‘aqidah adalah sesuatu yang diharamkan. Sebab, banyak orang awam yang tidak memahami dalil dan argumentasi masing-masing ‘ulama. Lantas, bagaimana ia bisa menyakini perkara-perkara yang dia sendiri tidak mengetahuinya?

Atas dasar itu, 'aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil yang sumber dan dilalahnya pasti (qath'iy tsubut wa qath'iy al-dilalah). Jika sebuah dalil tidak memenuhi dua syarat ini, maka ia tidak absah membangun perkara aqidah. Dari sini pula bisa disimpulkan bahwa, hadits ahad tidak absah dijadikan hujjah dalam perkara-perkara aqidah.

Perbedaan Yang Mengharamkan Takfir dan TadlliilPada dasarnya, perbedaan pendapat yang terjadi di antara kelompok-

kelompok Islam dalam masalah ru’yatullah, kehadiran Dajjal, siksa kubur, letak surga yang dihuni Nabi Adam as, dan lain-lain, tak ubahnya dengan perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh dalam masalah-masalah furu’. Sebab, tidak ada satupun nash qath’iy yang bisa dijadikan hujjah untuk masalah-masalah tersebut. Atas dasar itu, perbedaan pendapat dalam masalah-masalah itu masih dalam kategori perbedaan yang diperbolehkan (ikhtilaaf tanawwu’). Sebuah perbedaan yang mengharamkan seseorang untuk mencap saudaranya telah keluar dari jalan yang lurus (kafir), sesat, fasik, atau telah mengingkari masalah-masalah agama.68

68 Ibid, hal. 59-60. Prof Mahmud Syaltut menambahkan, bahwa sikap seperti ini telah dipegang oleh ‘ulama-‘ulama tauhid. Lihat, al-Milal wa al-Nihal, karya Ibnu Hazm, al-Qawaa’id al-Kubra karya ‘Izzi ‘Abd al-Salam, dan kitab-kitab Ushul dan Ilmu Kalam lainnya.

Page 22: HADITS AHAD

Sayangnya, fanatisme madzhab telah membawa kaum Muslim pada sikap-sikap tercela dan jauh dari tuntunan Islam. Dengan sangat mudah, mereka mencap saudara seimannya dengan cap kafir, fasiq, dan sesat. Padahal, mereka berselisih pada perkara-perkara yang masih mengandung kesamaran, bukan berselisih pada perkara-perkara yang pasti.

Semua ini disebabkan karena, kaum Muslim telah terpuruk dan terperosok dalam kemerosotan berfikir. Kemerosotan berfikir kaum Muslim telah menjatuhkan mereka pada sikap-sikap tercela dan bodoh. Akibatnya, perpecahan, perselisihan, dan permusuhan di kalangan kaum Muslim tidak bisa dihindari lagi. Sekali lagi, semua ini diakibatkan karena kebodohan dan ketergesa-gesaan mereka dalam bersikap dan berpendapat. Lebih parah lagi, adanya ikhtilaf dan perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslim telah dieksploitasi sedemikian rupa oleh musuh-musuh Islam dan kaum Muslim untuk menimbulkan perpecahan dan perselisihan, agar kaum Muslim terus lemah dan sibuk dengan masalah-masalah cabang, seraya melupakan dan meninggalkan persoalan utama mereka, yakni tegaknya hukum-hukum Islam dalam koridor sistem Islam.

Kesalahan Metodologi Ilmu Kalam; Filsafat Bukan Jalan Penetapan AqidahSesungguhnya, ilmu kalam (ilmu mantiq) yang diadopsi dari pemikiran Yunani

bukanlah metodologi berfikir yang benar. Lebih dari itu, metodologi berfikir ilmu kalam sama sekali tidak mengasilkan satupun pemikiran, akan tetapi ia hanya menghasilkan konklusi premistik belaka. Padahal konklusi premistik tidak bisa disebut sebagai pemikiran. Sedangkan benar tidaknya konklusi yang dihasilkan dari premis-premis yang disusun pada kaedah-kaedah logika, sebenarnya tidak ditentukan oleh premis-premis, atau kaedah-kaedah logika itu sendiri, akan tetapi ditentukan oleh metode berfikir rasional. Dimana, dalam menentukan benar tidaknya sebuah natijah (kesimpulan), metode berfikir rasional ini tidak bertumpu pada premis, akan tetapi bertumpu kepada pengamatan fakta dan informasi sebelumnya. Ini menunjukkan, bahwa kebenaran premis-premis dan natijah dalam kaedah-kaedah mantiq tidak ditentukan oleh premis dan susunan premisnya, akan tetapi ditentukan oleh metode berfikir lain, yakni metode berfikir rasional. Dengan kata lain, kebenaran premis dan konklusi harus didasarkan pada asas penginderaan terhadap fakta, bukan didasarkan pada premis dan susunan premisnya. Adapun kesalahan metodologi berfikir ilmu kalam dapat diringkas sebagai berikut;

Pertama; dalam menentukan kesimpulan-kesimpulannya, metode ini bersandar kepada asas mantiq (logika), bukan bersandar kepada penginderaan. Akibatnya, metode berfikir mantiq (kalam) berpeluang menimbulkan kesalahan, meskipun metode berfikir ini telah mensyaratkan kebenaran premis-premisnya serta susunan-susunan premisnya. Sebab, kebenaran kesimpulan (natijah) ditetapkan berdasarkan kebenaran premis dan kesesuaiannya dengan susunan logikanya, dan bukan disandarkan pada indera secara langsung. Kadang-kadang, kesalahan kesimpulan disebabkan karena kesalahan premis-premisnya. Kesalahan premis di sini bukan diakibatkan karena ketidaksesuaiannya dengan realitas terindera. Oleh karena itu, natijah yang dihasilkan dari metodologi berfikir mantiq tidak bisa diyakini kebenarannya, sampai fakta membuktikan kebenarannya. Jika kesimpulannya (konklusi) bertentangan dengan fakta, meskipun kesimpulan itu didasarkan pada premis dan susunan logika yang benar, maka kesimpulan itu harus ditolak dan dianggap salah. Sebab, kesimpulan tersebut telah bertentangan dengan fakta. Semua ini menunjukkan, bahwa yang wajib diakui kebenarannya adalah kesimpulan yang didasarkan pada fakta terindera, bukan kesimpulan yang didasarkan pada kebenaran-kebenaran premis dan susunan premis semata. Untuk itu, metodologi berfikir mantiq yang hanya bertumpu pada kebenaran premis dan susunannya, bukanlah asas berfikir yang benar. Bahkan, ia sendiri tidak bisa menetapkan

Page 23: HADITS AHAD

kebenaran dari premis dan kesimpulannya. Yang menetapkan benar atau tidaknya suatu premis dan kesimpulan adalah penginderaan, bukan premis maupun susunan premisnya itu sendiri.

Contohnya, premis pertama menyatakan, "Al Qur’an kalam Allah yang tersusun dari huruf-huruf yang rapi dan berkesinambungan". Premis kedua menyatakan, "Setiap kalam yang tersusun dari huruf-huruf yang rapi dan berkesinambungan adalah muhdats (diciptakan diadakan). Natijah dari kedua premis itu adalah, " al Qur’an adalah muhdats dan makhluk". Susunan premis-premis tersebut telah menghasilkan suatu natijah yang tidak dapat dijangkau oleh indera. Padahal, akal tidak bisa membahas dan menetapkan sesuatu yang berada diluar jangkauan inderanya. Atas dasar itu, kesimpulan yang dihasilkan dari susunan premis tersebut hanyalah dugaan atau perkiraan semata, bukan realita sesungguhnya. Lebih-lebih lagi, masalah yang diperbincangkan terkategori perkara yang akal dilarang untuk membahasnya. Sebab, pembahasan mengenai masalah ini –al-Quran Makhluk atau tidak-- termasuk dalam pembahasan sifat Allah. Sedangkan sifat Allah, seperti halnya Dzat Allah, tidak boleh dibahas oleh akal secara langsung, bagaimanapun caranya. Bahkan, jika kita menggunakan metode berfikir yang sama, kita juga bisa membuat kesimpulan yang bertentangan dengan kesimpulan di atas. Contohnya, premis pertama dinyatakan, "al Qur’an adalah kalam Allah dan ia adalah sifat bagiNya". Premis kedua menyatakan, "Segala sesuatu yang merupakan sifat Allah itu adalah Qadim". Kesimpulan dari dua premis ini adalah, "Al-Quran itu adalah Qadim (kekal) bukan makhluk". Hal ini menunjukkan, bahwa metodologi berfikir kalam (mantik) membuka ruang seluas-luasnya bagi adanya konklusi-konklusi yang saling bertentangan dan kontradiktif dalam satu permasalahan yang sama. Lebih dari itu, metodologi berfikir mantik (kalam) telah menghasilkan sejumlah kesimpulan yang aneh, ganjil, dan bertentangan dengan fakta.

Fakta di atas menunjukkan, bahwa kebenaran premis dan konklusi, harus didasarkan pada penginderaan terhadap realitas, bukan berdasarkan premis dan susunan premis saja. Berarti, jika premis-premis dan konklusinya berkesesuaian dengan fakta, yakni benar menurut fakta yang ada, maka konklusinya adalah benar. Sebab, lebenaran premis-premis dan natijahnya didasarkan kepada realitas bukan berdasarkan premis dan susunan premis-premis semata. Hanya saja, metodologi berfikir mantiqiy tidak menggunakan urutan-urutan berfikir seperti ini. Dalam menentukan hakekat kebenaran sesuatu, metodologi berfikir mantiqiy (kalam) hanya memperhatikan premis dan susunan premis. Jika premis-premis dan susunan premisnya benar, maka konklusinya juga dianggap benar. Padahal, bila kita amati realitas berfikir mantiqiy, kita akan mendapati kenyataan berikut ini. (1) Kadang-kadang ada premis yang diduga termasuk bagian dari sesuatu, padahal dalam kenyataannya ia tidak termasuk bagian dari sesuatu itu. Contohnya; premis pertama menyatakan, "Penduduk Spanyol bukan Muslim.", premis kedua menyatakan, "Setiap negeri yang penduduknya bukan Muslim bukanlah negeri Islam." Konklusinya adalah, "Negeri Spanyol bukanlah negeri Islam." Konklusi semacam ini adalah konklusi yang salah, walaupun premis, susunan premis, dan konklusinya dianggap benar menurut metodologi berfikir mantiqiy. Padahal, kesimpulan semacam ini jelas-jelas salah dikarenakan bertentangan dengan fakta sesungguhnya. Kesalahan konklusi tersebut disebabkan karena kesalahan premis kedua. Sebab, suatu negeri layak disebut sebagai negeri Islam, tidak didasarkan pada agama penduduknya, tetapi didasarkan pada hukum yang diterapkan di negeri tersebut dan jaminan keamanannya. Jika hukum yang diterapkan di negeri itu adalah hukum Islam, dan jaminan keamanannya ditanggung oleh kaum Muslim, maka negeri itu disebut sebagai negeri Islam, walaupun seluruh penduduknya beragama non Islam. (2) kadang-kadang ada premis umum yang hanya mencakup partikular-partikularnya, namun tidak mencakup partikular yang lain; sehingga jika

Page 24: HADITS AHAD

ada premis yang dianggap berkesesuaian dengan partikular tersebut, maka keseluruhannya juga dianggap berkesesuaian. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. Misalnya, premis pertama menyatakan, "Abu Sofyan pernah melihat dan berkumpul dengan Rasulullah saw." Premis kedua menyatakan, "Setiap orang yang melihat dan berkumpul dengan Rasulullah saw adalah shahabat". Konklusinya, "Abu Sofyan adalah Shahabat." Berdasarkan metodologi berfikir mantiqiy, natijah semacam ini adalah benar. Padahal, kesimpulan semacam ini bertentangan dengan realitas. Seandainya kesimpulan itu dianggap benar, niscaya Abu Lahab juga termasuk dari shahabat, sebab ia telah bertemu dan berkumpul bersama Rasulullah saw. Sebab, seseorang dianggap Shahabat jika ia telah bergaul intens dan mengikuti majelis beliau selama 1 hingga 2 tahun, dan turut berperang bersama Rasulullah saw, satu atau dua kali. (3) Kadang-kadang ada premis yang dzahirnya dianggap benar, padahal realitasnya adalah salah. Akibatnya, premis ini dianggap benar, padahal ia salah. (4) Kadang-kadang kesimpulan (konklusi) yang dihasilkan dari premis-premis itu benar, padahal, premis-premisnya adalah salah; sehingga, kebenaran sebuah konklusi dianggap memastikan pula kebenaran premis-premisnya. Padahal, premis-premisnya jelas-jelas salah. Misalnya, premis pertama dinyatakan,"Setiap negara yang memiliki pendapatan ekonomi tinggi adalah negara maju." Premis kedua dinyatakan, "Amerika adalah negara yang memiliki pendapatan ekonomi tinggi." Kesimpulannya, "Amerika adalah negara maju." Kesimpulan ini benar jika dinisbahkan kepada negara Amerika. Namun, salah satu premisnya tidak benar, yaitu, premis pertama. Sebab, negara yang memiliki pendapatan ekonomi tinggi belum tentu disebut negara maju. Tetapi, sebuah negara disebut negara maju diukur dari ketinggian berfikirnya, bukan pendapatan ekonominya semata. Ini menunjukkan, bahwa ada premis yang sebenarnya salah, tetapi menghasilkan konklusi yang benar.

Kenyataan di atas menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa metodologi berfikir mantiq (kalam) tidak layak dijadikan pegangan untuk menentukan hakekat kebenaran sesuatu. Sebab, dalam menentukan hakekat kebenaran sesuatu, metodologi berfikir mantiq hanya menyandarkan kepada premis dan susunan premis semata. Padahal, kenyataan di atas telah menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa adanya premis dan susunan premis tidak menjamin benar tidaknya sebuah kesimpulan; bahkan kebenaran premis itu sendiri. Yang layak dijadikan pegangan untuk menentukan kebenaran adalah realitas yang bisa ditangkap oleh indera, bukan premis dan susunan premisnya semata.

Kedua, metodologi berfikir mantiq digunakan untuk membahas perkara-perkara yang berada di luar jangkuan indera manusia; yakni digunakan untuk membahas sesuatu yang ada di luar alam semesta, manusia, dan kehidupan. Dengan kata lain, metode berfikir ini juga membahas obyek-obyek yang sampai kapanpun tidak bisa didekati oleh akal manusia. Ahli ilmu Kalam membahas perkara-perkara metafisika, Dzat Allah, dan Sifat-sifatNya, sesuatu yang tidak bisa indera. Mereka mencampuradukkan perkara-perkara metafisika dengan perkara-perkara yang bisa diindera. Mereka melakukan analogi antara hal-hal yang tidak bisa diindera dengan hal-hal yang bisa diindera. Artinya, mereka menganalogkan Allah dengan manusia; kemudian mewajibkan Allah swt dengan sejumlah sifat yang dipahami oleh manusia di dunia. Misalnya, mereka mewajibkan adanya sifat adil kepada Allah seperti adilnya manusia. Mereka juga mewajibkan Allah untuk melakukan perbuatan yang mengandung kemashlahatan; sebagian lagi bahkan mengharuskan Allah untuk berbuat lebih mashlahat. Alasannya, Allah itu bersifat bijaksana dan tidak melakukan suatu perbuatan kecuali karena hikmah tertentu; dan sebagainya.

Inilah yang menjadikan mereka berkecimpung untuk membahas hal yang tidak bisa diindera, dan tidak mungkin bisa ditetapkan kebenarannya melalui akal

Page 25: HADITS AHAD

manusia. Akhirnya, mereka terjatuh kepada kesalahan demi kesalahan, akibat metode berfikir mereka yang rusak. Mereka lupa, bahwa akal hanya mampu menjangkau hal-hal yang bisa diindera oleh manusia, dan ia tidak mampu menjangkau hal-hal yang berada di luar jangkauan inderanya, misalnya, Dzat Allah, Sifat Allah, dan lain-lain. Sedangkan sesuatu yang tidak bisa diindera tidak bisa dianalogkan dengan sesuatu yang bisa diindera. Misalnya, keadilan Allah tidak bisa dianalogkan dengan keadilan manusia. Selain itu, Allah tidak boleh ditundukkan dengan peraturan-peraturan alam semesta ini. Sebab, Dia yang menciptakan alam ini, dan Allahlah yang mengaturnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah diciptakanNya. Di sisi yang lain, pemahaman manusia terhadap sesuatu kadang-kadang berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan pemahamannya. Jika pemahaman manusia masih sempit, tentunya ia akan memahami keadilan secara sempit pula. Dalam kondisi semacam ini, ia akan memahami keadilan Allah juga secara sempit. Namun, jika pemahamannya telah berkembang dan berubah menjadi luas, maka pemahaman dirinya terhadap keadilan pun juga akan berubah dan berkembang. Ini membawa sebuah konsekuensi pada perubahan persepsi terhadap keadilan Allah juga. Lantas, bagaimana mungkin kita bisa menganalogkan Tuhan semesta alam yang ilmuNya meliputi segala sesuatu dengan manusia, seraya melekatkan sifat adil kepadaNya dengan keadilan yang kita persepsi?

Adapun kemaslahatan dan kemaslahatan yang lebih, semua itu lahir dari persepsi mereka terhadap keadilan. Padahal, sebagaimana masalah keadilan, persepsi manusia terhadap kemashlahatan juga berkembang dan berubah sesuai dengan tingkat persepsinya. Jika pandangannya terhadap mashlahat masih sempit, tentunya ia juga akan sempit dalam mempersepsi kemashlahatan yang harus diperbuat oleh Allah. Sebaliknya, jika persepsi tentang kemashlahatan berkembang, niscaya persepsi dirinya terhadap kemashlahatan yang harus diperbuat Allah juga berkembang alias berubah. Lalu, bagaimana kita bisa menyatakan bahwa Allah wajib melakukan perbuatan yang memberikan mashlahat menurut persepsi manusia; padahal, pada saat yang sama, manusia telah berbeda pendapat dalam menentukan sesuatu itu mashlahat atau tidak. Seandainya kita menobatkan akal sebagai penentu hukum terhadap sesuatu, maka akan kita melihat kenyataan, bahwa Allah telah melakukan suatu perbuatan yang menurut akal kita tidak mengandung kemaslahatan sedikitpun. Kemaslahatan apa yang terdapat dalam penciptaan Iblis dan setan dan penciptaan kekuatan kepada mereka untuk menyesatkan manusia? Kenapa Allah memanjangkan umur iblis sampai hari kiamat serta mewafatkan Saiyyidina Muhammad Saw ? Apakah yang demikian itu lebih maslahat dalam penciptaan? Kenapa Allah menghapus hukum-hukum Islam dimuka bumi ini, dan mengangkat hukum-hukum kufur serta merendahkan kaum Muslim, dan menjadikan musuh-musuh menguasai mereka? Apakah yang demikian itu lebih maslahat bagi hamba-hambaNya?

Seandainya kita mengkaji seluruh perbuatan, lalu perbuatan tadi kita analogkan dengan akal dan pemahaman kita terhadap makna kemaslahatan dan lebih maslahah, tentunya, kita tidak akan pernah menemukan kecocokan. Atas dasar itu, kita tidak boleh menganalogkan Allah dengan manusia dan mewajibkan sesuatu kepada Allah. Allah swt berfirman;

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang akan

ditanyai”.[TQS Al Anbiyaa' (21): 23]

Page 26: HADITS AHAD

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. [TQS Asy Syura (42):11]

Ketiga, metode berfikir mantiq (kalam) memberikan kebebasan kepada akal untuk membahas semua perkara, baik yang bisa diindera maupun yang tidak bisa diindera secara langsung. Hal ini secara pasti menyebabkan akal membahas sesuatu yang sejatinya ia sendiri tidak mungkin mampu memberikan penilaian atas perkara tersebut. Akibatnya, ahli kalam membahas hal-hal yang masih bersifat asumtif, dugaan, dan khayalan. Mereka berargumentasi dengan hal-hal yang bersifat asumtif yang kadang-kadang ada wujudnya, kadang-kadang tidak ada wujudnya sama sekali. Metode berfikir ini telah memberikan implikasi yang cukup pelik; yakni kemungkinan untuk mengingkari sesuatu yang sebenarnya wujud, atau menyakini sesuatu yang sebenarnya tidak wujud. Contohnya, mereka –dengan metode berfikir kalam ini-- membahas Dzat Allah dan Sifat-sifatnNya. Diantara mereka ada yang berpendirian, bahwa Sifat Allah sama dengan Dzat Allah sendiri. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa Sifat Allah berbeda dengan Yang Disifati (Dzat Allah). Mereka juga membahas tentang Ilmu Allah swt. Sebagian berpendapat, bahwa Ilmu Allah menyingkap perkara-perkara ma'lum (diketahui) yang berada di atas cakupan PengetahuanNya. Sedangkan perkara-perkara yang ma'lum itu terus berubah dari awal hingga akhir. Allah mengetahui sehelai daun akan jatuh, meskipun daun itu belum jatuh. Allah swt berfirman:

“dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya

(pula)”. [TQS Al An’aam (6): 59]Dengan kata lain, ilmu Allah mampu menyingkap sesuatu; sebelum sesuatu

itu terjadi, sekaligus mengetahui bahwa sesuatu itu akan terjadi. Ia mengetahui sesuatu, jika dalam IlmuNya sesuatu itu akan terjadi, dan Dia mengetahui ketiadaan sesuatu, jika dalam IlmuNya sesuatu itu tidak ada. Lantas, bagaimana Ilmu Allah bisa berubah mengikuti perubahan sesuatu yang wujud? Jika Ilmu Allah bisa berubah dengan perubahan sesuatu yang wujud, ini berarti bahwa, PengetahuanNya bersifat muhdats (baru). Padahal, Allah swt tidak bertindak dengan sesuatu yang bersifat muhdats (baru alias tidak azali). Sebab, sesuatu yang berhubungan dengan perkara-perkara yang muhdats (tidak azali), berarti sesuatu itu juga tidak azali. Jika demikian, apakah berarti Ilmu Allah juga tidak azali? Sebagian ahli kalam menjawab masalah ini dengan jawaban, "Sesungguhnya, pengetahuan kita tentang Zaid akan mendahului kita, berbeda dengan pengetahuan kita, bahwa Zaid memang telah mendahului kita secara faktual. Perbedaan ini disebabkan karena ilmu yang kita miliki selalu berkembang, dari yang awalnya tidak tahu menjadi tahu --setelah sesuatu itu benar-benar terjadi. Hanya saja, hal ini terjadi pada diri manusia, yang pengetahuannya selalu berkembang dan diperbarui. Sebab, sumber pengetahuan manusia, yakni penginderaan dan pemahamaan, senantiasa berkembang dan berubah. Sedangkan Ilmu Allah tidak seperti ilmu manusia. Tidak ada perbedaan antara Pengetahuan Allah swt bahwa sesuatu itu akan terjadi, dengan PengetahuanNya bahwa sesuatu itu telah terjadi secara faktual. Semua maklumat (informasi) jika dinisbahkan kepada Allah (Ilmu Allah) tetap berada dalam satu keadaan." Sedangkan ahli kalam yang lain menjawab, "Allah swt mengetahui dengan DzatNya apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi. Semua informasi (maklumat) adalah informasi bagi Allah dengan IlmuNya yang sama. Sedangkan perbedaan antara sesuatu yang akan terjadi dengan sesuatu yang telah terjadi dikembalikan kepada perubahan yang terjadi pada "sesuatu itu sendiri", bukan dikembalikan kepada perubahan Ilmu Allah."

Page 27: HADITS AHAD

Pada dasarnya, seluruh kajian di atas adalah kajian terhadap sesuatu yang tidak bisa diindera, dan tidak bisa diputuskan oleh akal secara langsung. Untuk itu, akal tidak diperkenankan untuk membahasnya. Sayangnya, metode berfikir ilmu kalam telah menjadikan mereka mengkaji masalah-masalah yang sebenarnya tidak termasuk dalam wilayah jangkauan akal. Ahli kalam seringkali membuat asumsi-asumsi yang tidak berdasar. Contohnya, sebagian ahli kalam telah mempersepsi Iradah Allah (Kehendak Allah) dengan KehendakNya ketika seorang hamba hendak mengerjakan suatu perbuatan. Artinya, Allah swt merupakan Pihak yang menciptakan perbuatan seorang hamba berdasarkan kemampuan dan kehendak hamba tersebut. Dengan kata lain, perbuatan itu terjadi bukan karena kesanggupan dan kehendak seorang hamba, tetapi tetap karena kehendak Allah berdasarkan kehendak dan kesanggupan manusia.

Sesungguhnya, pendapat semacam ini muncul akibat kekeliruan metodologi berfikir yang mereka gunakan, yakni metodologi berfikir ilmu kalam. Sebab, mereka telah membahas sesuatu yang berada di luar jangkauan akal manusia. Akhirnya, mereka membuat asumsi-asumsi terhadap suatu fakta yang tidak bisa diindera. Akibatnya, mereka terjatuh ke dalam kesalahan dan kekeliruan yang sangat fatal. Anehnya, mereka menetapkan pendapat-pendapat mereka ini sebagai pendapat yang mutlak diyakini kebenarannya. Padahal, pendapat mereka lahir dari asumsi-asumsi yang tidak berdasar sama sekali. Mereka memberikan kebebasan kepada akal kebebasan untuk membahas masalah-masalah yang tidak bisa diindera dan dijangkau oleh akal secara langsung.

Keempat; metodologi berfikir ilmu kalam telah menjadikan akal sebagai dasar untuk mengkaji seluruh masalah keimanan. Akibatnya, mereka menjadikan akal sebagai asas untuk memahami al-Quran, bukan menjadikan al-Quran sebagai asas bagi berfikir. Akhirnya, mereka menafsirkan al-Quran berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh akal mereka; misalnya, pensucian mutlak, kebebasan berkehendak, keadilan, melakukan keadilan yang lebih maslahah dan lain-lain. Tidak hanya itu saja, mereka juga menjadikan akal sebagai pemutus untuk mengkompromikan ayat-ayat yang tampak kontradiksi. Mereka juga menjadikan akal sebagai hakim untuk menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat serta menta’wil ayat-ayat yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip berfikir yang mereka anut. Akibatnya, mereka menjadikan ta’wil sebagai metode untuk menafsirkan al-Quran. Pada dasarnya, metodologi berfikir seperti ini, diakui atau tidak telah dianut oleh mu’tazilah, ahlu sunnah, dan jabariyah. Pasalnya, mereka telah menafsirkan al-Quran berdasarkan prinsip-prinsip yang telah mereka tetapkan, seperti kasb al-ikhtiyariy, pensucian mutlak, keadilan, dan lain sebagainya. Metodologi berfikir semacam ini telah mengakibatkan kesalahan baik dalam yang berkaitan dengan aspek pembahasannya, maupun obyek yang dibahas. Sekiranya mereka menjadikan al-Quran sebagai asas pembahasan, niscaya mereka tidak akan terjatuh ke dalam kekeliruan.

Memang benar, beriman kepada Al-Quran harus didasarkan pada akal semata. Hanya saja, ketika kita telah mengimani al-Quran, maka kita wajib menjadikan al-Quran sebagai asas untuk berfikir dan mengimani sesuatu. Bukan sebaliknya, menjadikan akal sebagai asas untuk memahami al-Quran. Oleh karena itu, ayat-ayat al Qur’an harus dimaknai berdasarkan konteks ayat itu sendiri, bukan dimaknai berdasarkan akal pikiran kita. Dalam kondisi semacam ini, akal hanya berfungsi untuk memahami saja. Sebaliknya, para ahli ilmu kalam telah menjadikan akal sebagai asas untuk memahami al-Qur’an. Akhirnya, mereka terjatuh pada penakwilan-penakwilan yang sejatinya maknanya justru bertentangan dengan kandungan isi al-Qur’an.

Kelima; para ahli kalam menjadikan perbedaan pendapat di kalangan filosof sebagai asas berfikir mereka. Mu’tazilah mengadopsi pemikiran filsafat Epikurisme

Page 28: HADITS AHAD

untuk membangun prinsip dan pendapat-pendapat mereka. Sedangkan Jabariyyah dan Ahlu Sunnah muncul untuk menjawab pendirian-pendirian Mu'tazilah. Hanya saja, mereka juga mengambil pendapat-pendapat para filosof untuk menolak pendirian kelompok Mu'tazilah. Padahal, yang menjadi topik perbincangan adalah Islam, bukan perbedaan pendapat, baik perbedaan pendapat di kalangan filosof, maupun perbedaan pendapat dengan selain filosof. Harusnya, mereka mengkaji apa yang telah disebutkan di dalam al-Quran dan Sunnah dengan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan Sunnah sendiri, serta membatasi diri pada kajian-kajian yang hanya menjadi cakupan keduanya, tanpa memandang lagi pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh para filosof Yunani. Akan tetapi, mereka tidak melakukan hal ini. Akibatnya mereka telah mengalihkan dakwah Islam dan pembahasan 'aqidah Islam ke arah diskusi dan debat yang justru mematikan ruh 'aqidah; dan menggantikannya dengan debat kusir yang justru memadamkan cahaya Islam yang ada di dalam hati mereka.

Inilah beberapa kesalahan metode berfikir ilmu kalam yang ditempuh oleh para ahli kalam. Cara berfikir semacam ini telah memberikan pengaruh yang sangat mengerikan bagi Islam dan kaum Muslim. Benar, metode berfikir ilmu kalam telah mengubah aqidah Islam sebagai wahana da’wah kepada Islam agar seluruh umat manusia dapat memahami Islam, menjadi ilmu-ilmu akademik tak ubahnya ilmu nahwu, sharaf, dan lain sebagainya. Aqidah Islam, yang dahulu menjadi motivasi tertinggi bagi kaum Muslim untuk menghancurkan kekufuran dan kesyirikan, serta mampu menjadi spirit kaum Muslim untuk menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia justru telah ditempatkan menjadi ilmu yang terus dijadikan lahan perdebatan dan diskusi yang justru mematikan spiritnya. Meskipun, Islam tidak melarang kita untuk menciptakan metodologi berfikir atau ilmu alat yang bisa dipakai untuk memahami ajaran Islam, akan tetapi, yang tidak boleh –jika dinisbahkan kepada aqidah islamiyah— adalah metodologi berfikir dan ilmu alat itu justru memadamkan aktivitas da’wah dan ruh ajaran Islam. Oleh karena itu, kita sebagai seorang Muslim wajibn menjadikan al-Quran dan Sunnah sebagai asas dalam berfikir dan mempersepsi sesuatu. Selanjutnya, kita wajib menyampaikan seluruh ajaran Islam kepada umat manusia, agar mereka mau bisa memahami ajaran Islam dengan benar, serta rela masuk ke dalam agama Islam.

Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kita wajib berpaling dari metodologi berfikir ilmu kalam (ilmu mantiq) dan harus kembali kepada metodologi berfikir yang berasaskan al-Qur’an semata. Sedangkan akal hanya ditempatkan untuk memahami nash, serta fakta-fakta yang bisa diindera saja, tidak lebih.

KesimpulanDari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan beberapa point berikut ini.

1. Aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil yang qath'iy tsubut (pasti sumbernya) dan dilalahnya (pasti penunjukkannya). Perkara-perkara aqidah yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qath'iy tsubut dan dilalahnya, misalnya; keberadaan Allah swt, adanya malaikat, Rasul dan Nabi, Kitab Suci, hari akhir, taqdir, berakhirnya kenabian setelah Mohammad saw wafat, orang kafir pasti masuk neraka, Islam adalah agama paripurna, dan lain-lain. Dalam perkara-perkara semacam ini tidak boleh ada perbedaan pendapat diantara kaum Muslim. Sebab, perkara-perkara semacam ini telah ditetapkan berdasarkan nash-nash yang qath'iy tsubut dan dilalah; sehingga tidak membuka ruang bagi adanya interpretasi ganda. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan pendapat dalam perkara-perkara tersebut. Siapa saja yang menyimpang dari perkara itu, berarti telah keluar dari Islam alias kafir.

2. Jika dalil-dalilnya tidak qath’iy, baik sumber maupun dilaalahnya, dan para ‘ulama berbeda pendapat di dalamnya, maka perkara-perkara tersebut tidak boleh

Page 29: HADITS AHAD

dikategorikan sebagai bagian dari perkara ‘aqidah yang bisa menjatuhkan seseorang ke dalam kekafiran. Seseorang tidak boleh menyakini bahwa salah satu pendapat di antara pendapat-pendapat tersebut pasti benarnya, sedangkan yang lain pasti salahnya. Sebab, salah dalam perkara ‘aqidah akan menjatuhkan seseorang kepada kekafiran. Perkara-perkara semacam ini tidak terkategori ushul 'aqidah (pokok 'aqidah), akan tetapi dimasukkan dalam perkara furu' al-'aqidah (cabang aqidah) yang kaum Muslim boleh berbeda pendapat. Contohnya, perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai melihat Allah kelak di surga, keberadaan surga yang ditempati Nabi Adam as dan surga yang kelak akan dihuni oleh kaum Muslim, dan lain sebagainya. Masalah-masalah seperti ini masih diperdebatkan oleh ulama-ulama kaum Muslim. Oleh karena itu, kaum Muslim tidak boleh mengkafirkan atau menyesatkan saudaranya yang Muslim, karena berbeda pendapat dalam masalah-masalah semacam ini.

3. Sesungguhnya, kebanyakan kitab tauhid tidak membahas masalah-masalah ushul ‘aqidah --masalah 'aqidah yang tidak diperselisihkan oleh kaum Muslim. Sebaliknya, kebanyakan buku tauhid justru membahas masalah-masalah 'aqidah yang masih diperdebatkan oleh kaum Muslim. Biasanya, buku-buku tauhid hanya membahas beberapa pendapat dan pemikiran yang mengupas makna dzahir dari suatu nash, yang selanjutnya dijadikan lahan ijtihad oleh para ‘ulama. Oleh karena itu, kebanyakan masalah yang dibahas di dalam kitab Tauhid terkategori dalam furu' al-'aqidah (cabang 'aqidah) yang membuka ruang selebar-lebarnya bagi perbedaan pendapat. Dengan kata lain, perkara-perkara semacam ini terkategori dalam perkara khilafiyyah yang kaum Muslim boleh berbeda pendapat, dan tidak boleh saling mengkafirkan dan menfasiqkan satu dengan yang lain.

4. Sejatinya, munculnya aktivitas saling menyesatkan dan mengkafirkan disebabkan karena fanatisme madzhab yang berlebihan, serta adanya upaya sengaja yang dilakukan oleh orang-orang kafir dan antek-anteknya untuk menyebarkan permusuhan dan perpecahan di kalangan kaum Muslim melalui isyu-isyu khilafiyyah. Bahkan, mereka dengan sengaja menyebarkan dan mengobarkan masalah-masalah khilafiyyah ini di tengah-tengah kaum Muslim agar satu dengan yang lain saling bermusuhan dan tidak mau bersatu. Oleh karena itu, kaum Muslim wajib waspada dan berhati-hati terhadap upaya-upaya semacam ini, dan tidak menjadikan masalah-masalah khilafiyyah sebagai lahan perpecahan dan permusuhan. Sebaliknya, kaum Muslim mesti mengembangkan sikap toleransi (tasamuh) kepada saudara-saudaranya yang tidak sejalan dengan pendapatnya.

Page 30: HADITS AHAD

BAB III'ILMU WA DZAN

Pada dasarnya, terminology ilmu dan dzan digunakan untuk menggambarkan derajat (tingkat) kebenaran yang dikandung suatu dalil, baik dari sisi sumber maupun penunjukkannya. Ilmu digunakan untuk mendiskripsikan tingkat kebenaran yg terkandung di dalam sebuah dalil yang tarafnya mencapai derajat kepastian dan keyakinan; misalnya, dalil-dalil yang disandarkan pada bukti-bukti inderawi. Contohnya, penciptaan alam semesta, kenabian Mohammad saw, al-Quran Kalamullah, matahari bersinar, pergantian musim, sirkulasi udara, manusia mengalami kematian, makhluk hidup membutuhkan nutrisi, dan lain sebagainya. Tingkat kebenaran yang terkandung dalam statement "matahari bersinar", telah mencapai derajat kepastian (keyakinan). Sebab, statemen ini bukan sekedar statemen yang memiliki arti, akan tetapi kebenarannya telah terbukti berdasarkan dalil inderawi yang tak bisa diingkari oleh siapapun. Begitu pula dengan adanya pergantian musim; masalah ini telah mencapai derajat kepastian dan keyakinan. Sebab, realitas inderawi telah membuktikan kebenarannya dengan sangat jelas dan pasti. Begitu pula dengan dalil-dalil yang didasarkan pada riwayat-riwayat mutawatir; seperti al-Quran dan hadits mutawatir, keduanya merupakan dalil yang mengandung kepastian ('ilmu), jika dilihat dari sisi sumbernya (wurud).

Adapun dzan, ia digunakan untuk mendiskripsikan tingkat kebenaran yang belum mencapai derajat kepastian, alias masih mengandung kemungkinan salah. Hanya saja, bukti yang membenarkannya lebih kuat, bahkan hampir-hampir mencapai derajat keyakinan dan kepastian. Misalnya, kesaksian yang disodorkan saksi adil kepada seorang qadliy atas kasus tertentu. Kesaksian tersebut, walaupun menyakinkan bagi saksi –orang yang menyaksikan dan terlibat dalam kasus itu secara langsung--, namun, bagi hakim, kesaksian yang disampaikan saksi tersebut tidak mencapai derajat kepastian (dzann). Sebab, hakim tidak memiliki bukti menyakinkan yang mengharuskan dirinya menyakini kesaksian saksi seratus persen. Hanya saja, hakim memiliki prasangka kuat (ghalabat al-dzan) atas kebenaran kesaksian saksi, karena keadilan dan kejujurannya. Berbeda dengan saksi, ia memiliki bukti inderawi yang menyakinkan, hingga ia menyakini apa yang ia lihat dan saksikan. Hanya saja, seorang hakim tidak harus memutuskan perkara berdasarkan kesaksian saksi, akan tetapi berdasarkan persangkaan kuatnya. Sebab, seandainya kesaksian yang disodorkan saksi menghasilkan ilmu qath'iy, niscaya seorang qadli wajib memutuskan perkara berdasarkan kesaksian saksi. Padahal, seorang hakim memutuskan suatu perkara berdasarkan prasangka kuatnya. Dalil-dalil dzanniy, semacam hadits ahad, derajat kebenarannya tidak setara dengan al-Quran dan Mutawatir. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat mengenai bolehnya men-takhshiish al-Quran dengan hadits ahad. Jumhur ulama membolehkannya secara mutlak; sedangkan sebagian ulama Hanabilah menolaknya secara mutlak.69

69 Lihat penjelasan masalah ini pada Imam al-Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 158. Di dalam Kitab Raudlah al-Naadzir, Imam Ibnu Qudamah menuturkan, "Khabar ahad adalah khabar yang tidak mutawatir. Ada perbedaan riwayat dari Imam kami, apakah hadits ahad menghasilkan keyakinan (al-'ilm). Dituturkan, bahwasanya khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan. Ini adalah pendapat mayoritas dan ulama mutaakhir dalam kalangan madzhab kami. Sebab, kita mengetahui dengan pasti bahwa kita tidak akan membenarkan semua berita yang kita dengar. Seandainya semua berita yang kita dengar itu menghasilkan keyakinan, tentunya sah juga kita menerima dua buah berita yang saling

Page 31: HADITS AHAD

Dari sini bisa disimpulkan bahwa, perkara-perkara yang mengharuskan adanya keyakinan dan kepastian, harus dibangun berdasarkan bukti-bukti yang menyakinkan (ilmu) pula. Sebaliknya, perkara-perkara yang tidak membutuhkan keyakinan dan kepastian, tidak harus dibangun berdasarkan bukti-bukti yang menyakinkan. Perkara aqidah misalnya, ia mewajibkan adanya kepastian dan keyakinan. Oleh karena itu, tidak semua dalil absah dijadikan hujjah untuk membangun aqidah. Dalil yang absah digunakan untuk berhujjah dalam perkara-perkara aqidah haruslah dalil yang tingkat kebenarannya mencapai derajat kepastian dan keyakinan, baik dari sisi sumber maupun penunjukkannya. Sebab, aqidah memang menuntut adanya kepastian dan kebenaran 100%. Sedangkan dalil-dalil dzanniyyah tidak absah digunakan untuk berhujjah dalam masalah aqidah. Pasalnya, dalil-dalil dzanniyyah tidak menghasilkan ilmu (keyakinan). Hanya saja, dalil-dalil dzanniyyah absah digunakan hujjah dalam perkara hukum syariat. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, dalil-dalil qath'iy -- al-Quran dan sunnah mutawatir-- telah menetapkan kehujjahan dalil-dalil dzanniy dalam perkara-perkara amal (hukum syariat), namun tidak dalam perkara aqidah atau keimanan. Oleh karena itu, seorang Muslim boleh berbuat berdasarkan dalil-dalil dzanniy.

Ilmu dan Dzan Dalam Al-QuranAl-‘Ilmu sering diartikan dengan iman atau yakin70. Iman sendiri bermakna

pembenaran (tashdiiq)71 pasti yang berkesesuaian dengan fakta dan dibangun berdasarkan dalil72. Keyakinan hati yang tidak sampai ke derajat kepastian, tidak absah disebut sebagai ilmu atau iman. Keyakinan semacam ini disebut dengan al-dzan. Allah swt berfirman;

"Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akherat,

mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai pengetahuan (al-ilmu) tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan sesungguhnya persangkaan itu (al-dzan) tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran." (TQS An Najm (53): 27-28)

bertentangan dan tidak mungkin dikompromikan; dan sah juga kita menasakh al-Quran dan hadits mutawatir dengan hadits ahad, dikarenakan ia sepadan dengan al-Quran dan hadits mutawatir dalam hal menghasilkan ilmu (keyakinan). Dan seandainya semua berita yang kita dengar menghasilkan keyakinan, niscaya vonis hukum wajib ditegakkan karena kesaksian seorang saksi.."[Imam Ibnu Qudamah, Raudlah al-Naadzir, juz 1, hal. 99]

70 Imam Abu Bakar al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, bab yaqana, hal. 74371 Ibid, bab amana, hal. 2672 Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199

M , hal. 22. Lihat pula, Mahmud Syaltut, Islam, Aqidah wa Syari'ah, hal. 56

Page 32: HADITS AHAD

"...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama da isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.." (TQS Al Baqarah (2): 230)

"dan karena ucapan mereka:" Sesungguhnya kami telah membunuh Al-

Masih, 'Isa putera Maryam, Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya, dan tidak pula menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan 'Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) 'Isa, benar-benar dalam keraguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan , tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa". (TQS An Nisaa' (4): 157)

Di dalam al-Quran, kata al-'ilmu kadang-kadang bermakna al-qath'iy (pasti) dan al-yaqiin (yakin). Penyebutan kata al-'ilmu dengan makna al-dzan (prasangka kuat) sangatlah sedikit. Allah swt berfirman;

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai

pengetahuan (al-'ilm) tentangnya..." (TQS Al Isra' (17): 36)

"..Maka jika kamu telah mengetahui (al-'ilm) bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. (TQS Al Mumtahanah (60): 10)

Kata al-‘ilm pada ayat-ayat di atas bermakna al-dzan (prasangka kuat). Kata al-dzan bisa juga bermakna al-wahm (dugaan tanpa dasar). Al-Quran

telah menyatakan hal ini dalam surat An Najm ayat 28:

"Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedangkan sesungguhnya persangkaan itu (al-dzan) tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran." (TQS An Najm (53): 28)

Kadang-kadang al-dzan juga bermakna al-qath'i dan al-yaqiin. Kata dzan dengan makna qath'iy dan yaqin terdapat di dalam firman Allah swt surat al-Baqarah ayat 46. Allah swt berfirman;

"(yaitu) Orang-orang yang menyakini (yadzunnuun), bahwa mereka akan menemui Tuhan-Nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." (TQS Al Baqarah (2): 46)

Al-dzan kadang bermakna tarjiih (prasangka kuat). Allah swt berfirman;

Page 33: HADITS AHAD

"...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama dari isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.." (TQS Al Baqarah (2): 230)

Al-dzan dengan makna al-wahm (sangkaan ilutif) tidak boleh dijadikan dalil dalam perkara keyakinan (al-'aqaaid), dan hukum syara'. Orang yang mengatakan bahwa malaikat itu berjenis kelamin perempuan, sesungguhnya, perkataan mereka itu tidak didasarkan pada dalil, ataupun syubhah dalil.73 Mereka tidak memiliki bukti apapun kecuali sekedar persangkaan saja. Jenis al-dzan semacam ini (al-wahm) tidak membawa kebenaran sedikitpun baik dalam masalah keyakinan ('aqaaid) maupun hukum syara’.

Al-dzan yang berma'na tarjiih al-ra'yi (pendapat kuat) absah digunakan dalil dalam persoalan hukum syara', namun tidak untuk masalah 'aqidah. Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman Allah swt;

"…jika ia mentalaknya, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk rujuk kembali, bila keduanya berpendapat (in dzanna) akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah." [TQS Al Baqarah (2):230].

Ayat ini berbicara mengenai kasus seorang laki-laki yang menthalaq tiga isterinya. Jika laki-laki tersebut ingin kembali kepada isterinya kembali, maka isterinya harus menikah dengan laki-laki lain terlebih dahulu. Jika suami kedua menceraikannya, barulah ia boleh kembali kepada isterinya yang pertama. Allah swt telah menyatakan ketetapan ini dengan sangat jelas, "..jika keduanya berpendapat (in dzanna) akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah" [TQS Al Baqarah (2):230].

Suami boleh ruju’ kembali dengan isterinya, meskipun pelaksanaan ruju’ tersebut didasarkan pada dzan (prasangka kuat). Sedangkan ruju’ termasuk bagian dari hukum syariat. Ini menunjukkan bahwa, dalam melaksanakan hukum-hukum syariat, tidak harus didasarkan pada al-‘ilm (keyakinan), akan tetapi cukup didasarkan pada al-dzan (prasangka kuat) saja.

Walaupun dalil dzanniy absah digunakan hujjah dalam masalah syariat, akan tetapi, ia tidak absah digunakan hujjah dalam masalah 'aqidah. Ketentuan semacam ini sejalan dengan kisah diangkatnya Nabi Isa as yang termuat dalam surat al-Nisaa':157. Ayat itu menjelaskan bahwa orang-orang yang menyangka 'Isa as telah tertawan, dibunuh, dan disalib, memiliki bukti yang sangat kuat. Persangkaan mereka bukan sekedar wahm. Sebab, mereka menyaksikan 'Isa as berada di dalam rumah bersama murid-muridnya, sedangkan para tentara telah mengepung rumah itu. Kemudian, Allah menyerupakan salah seorang muridnya seperti beliau as. Akan tetapi, tanpa sepengetahuan para tentara, Allah mengangkat

73 Syubhat dalil adalah dalil-dalil istidlal (sumber penggalian hukum) yang masih diperbincangkan keabsahannya di kalangan 'ulama ushul, semisal al-mashlahat al-mursalah, istihsan, syar'u man qablanaa, jalb al-mashalih wa dar`u al-mafaasid, dll. Dalil adalah Al-Quran, Sunnah, Ijma' Shahabat, dan Qiyas. Syubhat dalil kadang-kadang juga digunakan untuk menyebut suatu pendapat yang dianggap lemah.

Page 34: HADITS AHAD

nabi 'Isa as ke atas langit. Ketika para tentara memasuki rumah dan menangkap orang yang berada di dalam rumah, mereka menyangka bahwa orang yang diserupakan dengan Isa adalah 'Isa as. Mereka menangkap orang yang diserupakan 'Isa as tersebut, dan menyalibnya hingga mati. Peristiwa ini disaksikan oleh khalayak ramai, sekaligus merupakan bukti kuat bagi orang yang menyangka bahwa Isa as telah tersalib.

Namun, bukti yang mereka sodorkan tidak sampai kepada keyakinan, bahkan mengandung keraguan dilihat dari dua sisi. Pertama, penyerupaan itu tidak sempurna. Wajah orang yang diserupakan Isa itu, adalah wajah 'Isa as, akan tetapi, tubuhnya bukan tubuh 'Isa as. Kedua, bahwa jumlah orang yang bersama Isa as di dalam rumah berkurang satu. Padahal, di dalam rumah itu terdapat 13 orang, 'Isa as dan 12 muridnya. Akan tetapi, tatkala para tentara masuk ke dalam rumah, mereka tidak mendapatkan kecuali 12 orang laki-laki. Karena ada perbedaan pada wajah dan jumlah, timbullah keraguan. Persoalan itu akhirnya jatuh dari derajat yakin inderawiy ke derajat dzan.

"Mereka tidak mempunyai keyakinan , tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka. Dan mereka tidak yakin telah membunuhnya". (TQS An Nisaa' (4): 157).

Dzan semacam ini tidak boleh digunakan dalil dalam masalah 'aqidah (keyakinan), walaupun dalil tersebut rajih (kuat). Dengan kata lain, 'aqidah tidak boleh dibangun di atas dalil-dalil yang bersifat dzanniyyah (persangkaan kuat ). ‘Aqidah harus dibangun di atas dalil-dalil yang menyakinkan (qath’iy). Allah telah menyatakan", mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa" (al-Nisaa':157). Orang yang menyakini bahwa Isa as telah terbunuh tidak memiliki bukti yang menyakinkan; dan keyakinan semacam ini dicela Al-Quran.

Page 35: HADITS AHAD

BAB IV CELAAN AL-QURAN

TERHADAP DZAN

Al-Quran dengan tegas mencela orang yang mengikuti persangkaannya dalam masalah keyakinan (‘aqidah). Adanya celaan dari Allah swt, menunjukkan bahwa perbuatan tersebut –mengikuti dzan dalam masalah keyakinan (‘aqidah)-- terkategori perbuatan haram. Al-Quran telah menerangkan masalah ini dengan sangat jelas. Allah swt berfirman;

إ�ن� ه�ي� إ�ل� أ�س�م�اء6 س�م�ي�ت�م�وه�ا أ�ن�ت�م� و�ء�اب�اؤ�ك�م� م�ا أ�ن�ز�ل� ال� ب�ه�ا م�ن� س�ل�ط�ان7 إ�ن� ي�ت�ب�ع�ونإ�ل� الظ�ن� و�م�ا ت�ه�و�ى ا�ل�ن�ف�س � و�ل�ق�د� ج�اء�ه�م� م�ن� ر�ب0ه�م� ال�ه�د�ى

“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.”[TQS An Najm (53):23]

إ�ن� ال�ذ�ين� ل�ا ي�ؤ�م�ن�ون� ب�ال�آخ�ر�ة� ل�ي�س�مOون� ال�م�ل�ائ�ك�ة� ت�س�م�ي�ة� ال�أ�ن�ث�ى“Sesungguhnya orang-orang yang tiada berîman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan.”[TQS An Najm (53):27]

و�م�ا ي�ت�ب�ع� أ�ك�ث�ر�ه�م� إ�ل�ا ظ�نkا إ�ن� الظ�ن� ل�ا ي�غ�ن�ي م�ن� ال�ح�ق0 ش�ي�ئiا إ�ن� الل�ه� ع�ل�يم6 ب�م�ا ي�ف�ع�ل�ون�“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”[TQS Yunus (10):36]

و�ق�و�ل�ه�م� إ�ن�ا ق�ت�ل�ن�ا ال�م�س�يح� ع�يس�ى اب�ن� م�ر�ي�م� ر�س�ول� الل�ه� و�م�ا ق�ت�ل�وه� و�م�ا ص�ل�ب�وه� و�ل�ك�ن ش�ب0ه� ل�ه�م� و�إ�ن� ال�ذ�ين� اخ�ت�ل�ف�وا ف�يه� ل�ف�ي ش�كo م�ن�ه� م�ا ل�ه�م� ب�ه� م�ن� ع�ل�م7 إ�ل�ا ات0ب�اع� الظ�ن0 و�م�ا

ق�ت�ل�وه� ي�ق�ينiا“..Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) `Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah `Isa….”[TQS An Nisâ’ (4):157]

إ�ن� الل�ه� ل�ا ي�غ�ف�ر� أ�ن� ي�ش�ر�ك� ب�ه� و�ي�غ�ف�ر� م�ا د�ون� ذ�ل�ك� ل�م�ن� ي�ش�اء� و�م�ن� ي�ش�ر�ك� ب�الل�ه� ف�ق�دض�ل� ض�ل�الiا ب�ع�يدiا

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”[TQS An Nisâ’ (4):116]

Page 36: HADITS AHAD

ك�ذ�ل�ك� ك�ذ�ب� ال�ذ�ين� م�ن� ق�ب�ل�ه�م� ح�ت�ى ذ�اق�وا ب�أ�س�ن�ا ق�ل� ه�ل� ع�ن�د�ك�م� م�ن� ع�ل�م7 ف�ت�خ�ر�ج�وه� ل�ن�ا إ�نت�ت�ب�ع�ون� إ�ل�ا الظ�ن� و�إ�ن� أ�ن�ت�م� إ�ل�ا ت�خ�ر�ص�ون

“Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.”[TQS An An’am (6):148]

أ�ل�ا إ�ن� ل�ل�ه� م�ن� ف�ي الس�م�و�ات� و�م�ن� ف�ي ال�أ�ر�ض� و�م�ا ي�ت�ب�ع� ال�ذ�ين� ي�د�ع�ون� م�ن� د�ون� الل�ه� ش�ر�ك�اءإ�ن� ي�ت�ب�ع�ون� إ�ل�ا الظ�ن� و�إ�ن� ه�م� إ�ل�ا ي�خ�ر�ص�ون

“Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi. Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan). Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga.”[TQS Yunus (10):66]

Allah swt juga berfirman,

ق�ال�وا ات�خ�ذ� الل�ه� و�ل�دiا س�ب�ح�ان�ه� ه�و� ال�غ�ن�يO ل�ه� م�ا ف�ي الس�م�و�ات� و�م�ا ف�ي ال�أ�ر�ض� إ�ن� ع�ن�د�ك�مم�ن� س�ل�ط�ان7 ب�ه�ذ�ا أ�ت�ق�ول�ون� ع�ل�ى الل�ه� م�ا ل�ا ت�ع�ل�م�ون

“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?[TQS Yunus (10):68]

و�م�ا خ�ل�ق�ن�ا الس�م�اء� و�ال�أ�ر�ض� و�م�ا ب�ي�ن�ه�م�ا ب�اط�لiا ذ�ل�ك� ظ�نO ال�ذ�ين� ك�ف�ر�وا ف�و�ي�ل6 ل�ل�ذ�ين� ك�ف�ر�وام�ن� الن�ار

“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.”[TQS Shaad (38):27]

و�إ�ذ�ا ق�يل� إ�ن� و�ع�د� الل�ه� ح�قD و�الس�اع�ة� ل�ا ر�ي�ب� ف�يه�ا ق�ل�ت�م� م�ا ن�د�ر�ي م�ا الس�اع�ة� إ�ن� ن�ظ�نO إ�ل�ا ظ�نkاو�م�ا ن�ح�ن� ب�م�س�ت�ي�ق�ن�ين

“Dan apabila dikatakan (kepadamu): "Sesungguhnya janji Allah itu adalah benar dan hari berbangkit itu tidak ada keraguan padanya", niscaya kamu menjawab: "Kami tidak tahu apakah hari kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak menyakini (nya)".[TQS Al-Jaatsiyyah (45):32]

و�ذ�ل�ك�م� ظ�نOك�م� ال�ذ�ي ظ�ن�ن�ت�م� ب�ر�ب0ك�م� أ�ر�د�اك�م� ف�أ�ص�ب�ح�ت�م� م�ن� ال�خ�اس�ر�ين�“Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Tuhanmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.”[TQS Fushshilat (41):23]

و�أ�ن�ه�م� ظ�نOوا ك�م�ا ظ�ن�ن�ت�م� أ�ن� ل�ن� ي�ب�ع�ث� الل�ه� أ�ح�دiا“Dan sesungguhnya mereka (jin) menyangka sebagaîmana persangkaan kamu (orang-orang kafir Mekah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasul) pun”[TQS Al Jin (72):7]

Page 37: HADITS AHAD

و�م�ن�ه�م� أ�م0يOون� ل�ا ي�ع�ل�م�ون� ال�ك�ت�اب� إ�ل�ا أ�م�ان�ي� و�إ�ن� ه�م� إ�ل�ا ي�ظ�نOون�“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.”[TQS Al Baqarah (2):78].

Ayat-ayat di atas merupakan celaan yang pasti (jâzim) bagi orang yang mengikuti dzan dalam masalah ‘aqidah, atau keyakinan. Kata "dzan" di dalam ayat-ayat di atas berlaku baik bagi kaum Muslim maupun non Muslim.

Sedangkan dalam masalah hukum syari’at tidak perlu bukti yang menyakinkan. Allah swt berfirman, “

أ�ن� ي�ق�يم�ا ح�د�ود� الل�ه� و�ت�ل�ك� ح�د�ود� الل�هإ�ن� ظ�ن�ا ف�ل�ا ج�ن�اح� ع�ل�ي�ه�م�ا أ�ن� ي�ت�ر�اج�ع�ا "...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama da isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.." (TQS Al Baqarah (2): 230).

Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa, untuk melaksanakan ruju’ – (‘amal)— tidak perlu didasarkan pada dalil (bukti) yang menyakinkan, akan tetapi cukup hanya didasarkan pada prasangka kuat (dzan). Ini terlihat dengan gamblang pada pecahan ayat di atas, “in dzanna an yuqiimaa hudud al-Allah” [jika keduanya berdzan (berprasangka kuat] akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah]. Secara syar’iy, orang yang hendak melaksanakan ruju’ (syari’at) tidak harus menyakini dengan pasti bahwa ia mampu menjalankan aturan Allah swt, akan tetapi cukup berdasarkan prasangka kuat mereka berdua, bahwa mereka mampu menjalankan aturan Allah swt.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa, amal perbuatan (syariat) tidak harus disandarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan, akan tetapi cukup didasarkan pada prasangka kuat saja (dzan). Namun, ketentuan ini tidak berlaku untuk perkara-perkara aqidah atau keimanan. Pasalnya, aqidah mengharuskan adanya kepastian dan menafikan adanya keraguan maupun dugaan. Oleh karena itu, ‘aqidah harus disandarkan pada dalil yang menyakinkan, baik tsubût maupun dilâlahnya. Sedangkan untuk amal perbuatan (syari’at) tidak perlu disandarkan pada dalil-dalil yang menyakinkan.

Page 38: HADITS AHAD

BAB VHADITS AHAD &

PENETAPAN AQIDAH

Definisi Hadits AhadDi dalam Kitab Irsyaad al-Fuhuul, Imam Syaukaniy menyatakan, "Hadits

ahad adalah khabar yang dengan dirinya sendiri tidak menghasilkan keyakinan (ilmu);baik dari asalnya maupun berdasarkan qarinah (indikasi) dari luar. Atas dasar itu, tidak ada pertengahan antara hadits ahad dan mutawatir. Ini adalah pendapat mayoritas para ulama."74

Imam Nawawiy, dalam Muqaddimah Syarah Shahih Muslim menyatakan, "Khabar al-Wahiid adalah khabar yang tidak memenuhi syarat mutawatir, sama saja apakah perawinya berjumlah satu atau lebih".75

Al-Amidiy menyatakan, "Hadits (khabar) ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir".76

Dr. Husain 'Abdullah, di dalam Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, menyatakan, "Secara literal, aahad merupakan bentuk plural dari ahad, yang artinya satu orang. Khabar al-Aahad adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan menurut istilah, khabar aahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir".77

Di dalam Kitab Taisiir Mushthalaah al-Hadits, Dr. Mahmud al-Thahhaan menyatakan, "Hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir".78

Syarif al-Jurjaniy dalam Kitab Mukhtashar fi Ushuul al-Hadits menyatakan, "Hadits ahad adalah hadits yang belum mencapai derajat mutawatir. Hadits ahad meliputi khabar mustafidl (masyhur) maupun yang tidak".79

Menurut Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, hadits ahad adalah hadits yang perawinya tidak mencapai batas mutawatir, baik perawinya berjumlah satu orang atau empat orang. Dengan kata lain, hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi empat syarat hadits mutawatir.80

Faedah Hadits Ahad Menurut Para UlamaPara ulama berbeda pendapat dalam menilai "derajat kebenaran" yang

dihasilkan hadits ahad81. Mayoritas ulama, diantaranya adalah Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'iy, dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat, berpendapat bahwa, hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan, namun hanya berfaedah pada

74 Imam Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haqq min 'Ilm al-Ushuul, hal. 48.75 Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 1, hal. 6476 Al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz I, hal. 218. Lihat juga, Imam al-

Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushuul, hal. 116.77 DR. Husain 'Abdullah, Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, hal. 11878 Dr. Mahmud al-Thahhaan, Taisiir Mushthalaah al-Hadits, hal. 2279 Syarif al-Jurjaniy, Mukhtashar Ushuul al-Hadits, juz 1, hal. 1. 80 Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 33781 Yang dimaksud hadits ahad di sini tentunya adalah hadits-hadits yang telah ditetapkan

sebagai hadits shahih (hadits yang tsabit) melalui perawi-perawi yang adil dan bersambung hingga Rasulullah saw; dan bukan hadits ahad secara mutlak yang belum melalui proses itsbat (penetapan).

Page 39: HADITS AHAD

dzann belaka.82 Sedangkan ulama lain, misalnya, Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebuah riwayat, berpendapat bahwa, hadits ahad menghasilkan keyakinan (ilmu).

Menurut Prof Mahmud Syaltut, hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan, akan tetapi hanya menghasilkan dzan belaka. Oleh karena itu, hadits ahad tidak absah digunakan hujjah dalam perkara aqidah, dan orang yang menolaknya tidak boleh dianggap kafir.83 Ini disebabkan karena, hadits ahad masih mengandung kesamaran dari sisi tsubutnya (sumber).84

Di dalam kitab al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam,Imam al-Amidiy menyatakan, "Para ulama berbeda pendapat mengenai khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh seorang perawi adil (hadits ahad), apakah haditsnya menghasilkan keyakinan? Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits semacam ini (hadits ahad) menghasilkan ilmu. Namun, di antara mereka ada perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan "menghasilkan ilmu" adalah menghasilkan dzann, bukan menghasilkan keyakinan. Sebab, kata "ilmu" kadang-kadang diungkapkan dengan makna dzann. Sebagian yang lain berpendapat bahwa, hadits ahad menghasilkan ilmu yakin, meskipun tanpa qarinah (indikasi). Hanya saja, mereka juga berbeda pendapat, apakah semua hadits ahad menghasilkan ilmu, atau hanya sebagian saja? Sebagian ulama berpendapat bahwa semua hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan); seperti pendapat ahli Dzahir. Madzhab ini juga dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebuah riwayat yang dituturkan dari beliau. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa, hanya sebagian hadits ahad saja yang menghasilkan ilmu yakin, tidak semua. Ini adalah madzhab sebagian ahli hadits. Ulama lain, misalnya al-Nadzam dan pengikutnya, berpendapat bahwa, hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan) jika diindikasikan oleh qarinah. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa, hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan secara mutlak, baik dengan qarinah maupun tanpa qarinah". Imam al-Amidiy sendiri memilih pendapat bahwa, hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan) bila diperkuat oleh sejumlah indikasi (qarinah). 85

Di dalam Kitab Ushuul al-Sarkhasiy, pada bab al-Kalaam fi Qubuul Akhbaar al-Ahad wa al-'Amal bihaa (Bab Menerima Hadits Ahad dan Beramal dengan Hadits Ahad) dinyatakan, "Para fukaha amshar berpendapat bahwa khabar al-ahad (hadits ahad) yang adil adalah hujjah yang harus diamalkan dalam urusan agama, dan ia tidak mengitsbatkan ilmu dan yakin (menetapkan ilmu dan keyakinan)86. Ada sebagian orang yang pendapatnya tidak perlu diperhitungkan, menyatakan, "Menurut asalnya, khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam urusan agama. Sebagian ahli hadits berpendapat bahwa, hadits hadits mengitsbatkan ilmu yaqin. Hanya saja diantara mereka mensyaratkan jumlah kesaksian agar ia layak dijadikan hujjah, dan ada pula yang mensyaratkan dengan jumlah maksimal kesaksian, yakni 4 orang saksi......"87 Setelah membantah pendapat yang menyatakan bahwa hadits ahad tidak layak dijadikan hujjah dalam urusan agama, Imam Sarkhasiy menyatakan, "Adapun orang yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan, mereka berhujjah dengan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw berkata kepada Mu'adz tatkala beliau saw mengutusnya ke Yaman, "Lalu, beritahulah mereka bahwa Allah swt telah mewajibkan zakat atas harta benda mereka". Maksud hadits ini adalah pemberitahuan terhadap suatu informasi

82 Prof Mahmud Syaltut, Islaam; 'Aqidah wa Syari'ah, hal. 63-6583 Prof. Mahmud Syaltut, Islaam, 'Aqidah wa Syarii'ah, hal. 64. 84 Ibid, hal. 6385 Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 1, hal. 21386 Maksudnya hadits ahad tidak bisa digunakan hujjah untuk menetapkan perkara-

perkara yang membutuhkan keyakinan dan ilmu. Hadits ahad yang adil wajib diamalkan dalam perkara-perkara syariat, bukan dalam perkara aqidah.

87 Imam Sarkhasiy, Ushuul al-Sarkhasiy, juz 1, hal. 322

Page 40: HADITS AHAD

(khabar). Seandainya khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan (ilmu) bagi pendengarnya, maka penyampaian itu tidak disebut pemberitahuan. Sebab, amal tersebut diwajibkan dengan hadits ahad, dan amal itu tidak diwajibkan kecuali dengan keyakinan (ilmu). Pasalnya, Allah swt berfirman, "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya".[TQS Al Israa` (17):36). Selain itu, Allah swt juga berfirman mengenai beritanya orang fasik, "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu".[TQS Al Hujurat (49):6]. Lawan "tidak tahu" (al-juhalah) adalah al-'ilm (tahu); sedangkan lawan fasik adalah adil. Ini menjelaskan bahwa al-'ilm (keyakinan) tidak dihasilkan oleh berita fasik. Ilmu hanya ditetapkan berdasarkan berita yang adil. Selain itu, telah ditetapkan berdasarkan hadits-hadits ahad, berita-berita yang telah diyakini kebenarannya, misalnya, siksa kubur, pertanyaan Malaikat Mungkar dan Nakir, serta melihat Allah kelak di hari kiamat. Semua ini menunjukkan bahwa khabar ahad menghasilkan keyakinan". Selanjutnya, Imam Sarkhasiy membantah argumen di atas dengan menyatakan, "Hanya saja kami perlu nyatakan bahwa, sesungguhnya, orang yang menyatakan pendapat itu, tidak bisa membedakan antara ketentraman dan ketenangan hati dengan ilmu yakin (keyakinan pasti). Sesungguhnya, selama masih ada kemungkinan dusta pada sebuah berita yang tidak terjaga, maka berita itu (berita orang yang adil) tidak mungkin diingkari, meskipun di dalamnya ada keraguan (syubhat). Sedangkan ihtimal (kemungkinan) tidak bisa menetapkan keyakinan. Ihtimaal hanya bisa menetapkan ketentraman dan ketenangan hati karena adanya sisi kebenaran yang lebih menonjol. Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan bahwa hadits masyhur tidak bisa menetapkan keyakinan pasti (ilmu yaqiin), apa lagi khabar ahad. Ketenangan dan ketentraman hati termasuk jenis keyakinan jika ditinjau dari sisi dzahirnya, dan inilah maksud sabda Nabi saw, "Lalu, beritahulah mereka". Atas dasar itu, seseorang boleh beramal dengan anggapannya, sebagaimana bolehnya beramal pada kasus menghadap kiblat di saat ada keraguan88. Sedangkan ketidaktahuannya telah dieleminasi karena sisi kebenaran berita itu lebih kuat, disebabkan karena hadirnya keadilan perawi. Ini berbeda dengan beritanya orang fasik. Berita orang fasik masih mengandung kontradiksi yang salah satu sisinya tidak bisa dikuatkan89. Adapun riwayat-riwayat (atsar) yang menuturkan tentang siksa kubur dan lain sebagainya; sesungguhnya

88 Yg dimaksud dengan ketenangan dan ketentraman hati adalah prasangka kuat yang bisa menumbuhkan perasaan tenang dan tentram di dalam hati, karena sisi kebenaran yang dikandung oleh suatu berita lebih kuat dibandingkan kedustaannya. Prasangka kuat ini muncul karena hadirnya keadilan orang yang membawa berita tersebut. Keadaan ini sama persis dengan kasus menghadap kiblat ketika seorang musholliy ragu-ragu tentang arah kiblat. Ia boleh menghadap ke arah yang dianggapnya lebih benar, dan menentramkan hatinya; walaupun ia sendiri tidak bisa memastikan kebenaran arah kiblat yang dipilihnya. Sesungguhnya, khabar ahad jika telanjur diyakini, sesungguhnya keyakinan ini muncul dari ketenangan dan ketentraman hati, bukan muncul dari ilmu yakin (keyakinan yang pasti). Atas dasar itu, khabar ahad tidak bisa menghasilkan ilmu yakin (keyakinan hati). Akan tetapi, ia bisa menetapkan dan menghasilkan ketenangan dan ketentraman hati.

89 Berita yang disampaikan oleh orang fasik mengandung dua sisi yang saling kontradiksi, benar atau dusta. Hanya saja, salah satu sisi itu tidak bisa dikuatkan salah satunya, apakah sisi dustanya ataukah sisi benarnya yang lebih kuat. Akibatnya, seseorang tidak bisa memilih mana yang lebih kuat, dustanya atau kebenarannya. Atas dasar itu, berita orang fasik tidak bisa menghadirkan ketenangan dan ketentraman hati karena kefasikan orang yang membawa berita itu.

Page 41: HADITS AHAD

sebagian riwayat itu ada yang masyhur dan sebagian lagi riwayat ahad. Dan sesungguhnya, riwayat-riwayat ini telah mengharuskan hati untuk mengikatkan dirinya pada perkara-perkara tersebut. Sedangkan pengetahuan mengenai wajibnya hati mengikatkan diri kepada suatu perkara, kedudukannya sama dengan pengetahuan terhadap suatu amal atau sesuatu yang lebih penting. Hanya saja, semua ini tidak muncul dari ilmu dlaruriy (ilmu kepastian). Pasalnya, Allah swt berfirman, "Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan".[TQS An Naml (27):14]. Allah swt juga berfirman, "Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui".[TQS Al Baqarah (2):146]. Ayat di atas menjelaskan bahwa, mereka (orang-orang kafir) meninggalkan keyakinan hati yang telah terbukti kebenarannya, sesudah ada pengetahuan terhadapnya. Semua ini menunjukkan bahwa, atsar-atsar (riwayat-riwayat) tersebut tidak terlepas dari makna "wajibnya mengamalkan hadits-hadits tersebut".90

Di dalam Kitab al-Mahshuul disebutkan, "Adapun dalil naqliy, sesungguhnya, ada yang mutawatir dan ahad. Yang pertama (riwayat mutawatir) menghasilkan keyakinan, sedangkan yang kedua (riwayat ahad) menghasilkan dzann.."91

Dr. Husain 'Abdullah di dalam kitab Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy menyatakan, "Yufiid al-khabar al-aahad al-hukm al-nadhriy, aiy al-'ilm al-mutawaqqaf 'ala al-nadhr wa al-istidlaal, wa huwa yufiid al-dzann, wa laa yakfur jaahiduhu" (hadits ahad berfaedah pada al-hukm al-nadhr, yakni ilmu (keyakinan) yang disandarkan atas pengamatan dan pengkajian; dan hadits ahad hanya menghasilkan dzan belaka. Oleh karena itu, orang yang menolaknya tidak boleh dianggap kafir).92

Dr. Mahmud al-Thahhaan menyatakan, "Hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat hadits mutawatir. Hadits ahad menghasilkan al-'ilm al-nadzriy, aiy al-'ilm al-mutawaqqaf 'ala al-nadhr wa al-istidlaal".93

Di dalam Kitab Raudlah al-Naadzir , Imam Ibnu Qudamah menuturkan, "Khabar ahad adalah khabar yang tidak mutawatir. Ada perbedaan riwayat dari Imam kami, apakah hadits ahad menghasilkan keyakinan (al-'ilm). Dituturkan, bahwasanya khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan. Ini adalah pendapat mayoritas dan ulama mutaakhir dalam kalangan madzhab kami. Sebab, kita mengetahui dengan pasti bahwa kita tidak akan membenarkan semua berita yang kita dengar. Seandainya semua berita yang kita dengar itu menghasilkan keyakinan, tentunya sah juga kita menerima dua buah berita yang saling bertentangan dan tidak mungkin dikompromikan; dan sah juga kita menasakh al-Quran dan hadits mutawatir dengan hadits ahad, dikarenakan ia sepadan dengan al-Quran dan hadits mutawatir dalam hal menghasilkan ilmu (keyakinan). Dan

90 Imam Sarkhasiy, Ushuul al-Sarkhasiy, juz 1, hal. 329-330. Dari keterangan beliau ini dapat disimpulkan bahwa riwayat-riwayat ahad yang bertutur tentang siksa kubur, melihat Allah, dan lain sebagainya tidak menghasilkan ilmu dlaruriy. Apabila selama ini umat menyakini dan qana'ah dengan riwayat-riwayat itu, sesungguhnya semua ini tidak muncul dari ilmu dlaruriy, akan tetapi muncul dari ketenangan dan ketentraman hati karena riwayat-riwayat itu dituturkan oleh perawi adil. Hanya saja, keimanan dan aqidah harus disangga oleh dalil-dalil yang menghasilkan ilmu dlaruriy.

91 Al-Mahshuul, juz 1, hal. 20392 Dr. Mohammad Husain 'Abdullah, Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, hal. 11893 Dr. Mahmud al-Thahhan, Taisiir Mushthalah al-Hadiits, hal. 22

Page 42: HADITS AHAD

seandainya semua berita yang kita dengar menghasilkan keyakinan, niscaya vonis hukum wajib ditegakkan karena kesaksian seorang saksi.."94

Dalam Hasyiyyah al-Dasuqiy dituturkan, "..Sebab, hadits mutawatir menghasilkan kepastian (qath'iy), dan ini berbeda dengan khabar ahad. Hadits ahad hanya menghasilkan dzann belaka."95

Di dalam Kitab Kasyf al-Asraar disebutkan, "Khabar wahid (hadits ahad) wajib diamalkan, namun tidak menghasilkan ilmu yakin (keyakinan pasti). Dengan kata lain, hadits ahad tidak mewajibkan ilmu yakin maupun ilmu thuma'ninah (keyakinan pasti yang menentramkan jiwa). Ini adalah pendapat mayoritas ahli ilmu dan para fukaha".96

Salah seorang pakar tafsir Syaikh Mohammad Jamaluddin al-Qasimi dalam kitab tafsirnya, Mahasinu Ta’wil, telah menyatakan bahwa mengkritik hadits ahad sudah biasa terjadi dan popular sejak periode shahabat. Selanjutnya beliau menyebutkan penegasan al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, dan al-Fanari, bahwa yang mengkritik dan menolak hadits ahad tidak dapat dianggap kafir atau fasik dan sesat. Sebab, hal ini pernah terjadi dan dilakukan oleh para shahabat dan para ulama seperti penolakan ‘Aisyah ra terhadap hadits yang menyebutkan bahwa seorang mayit akan disiksa karena ditangisi oleh keluarganya, juga penolakan ‘Umar atas riwayat dari Hafshah.97

Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menyatakan, bahwa, hadits ahad tidak bisa dijadikan sandaran (hujjah) dalam menerima masalah ‘aqidah. Al-Quranlah rujukan yang benar, dan kemutawatirannya adalah syarat dalam menerima pokok-pokok ‘aqidah.98

Perhatikan komentar dari Imam Bazdawiy, “Adapun siapa saja yang menyerukan bahwa ia menghasilkan ilmu yaqin –maksudnya adalah hadits ahad--, tanpa diragukan lagi, itu adalah seruan bathil. Sebab, setiap orang pasti menolaknya. Semua ini disebabkan karena, khabar ahad masih mengandung syubhat. Tidak ada keyakinan bila masih mengandung syubhat (kesamaran). Siapa saja yang menolak hal ini, sungguh ia telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat akalnya.”99

Prof. Mahmud Syaltut100 menyatakan,”Sesungguhnya jalan satu-satunya untuk menetapkan masalah ‘aqidah adalah al-Quran al-Karim; yakni ayat-ayat Quran yang qath’iy dilalahnya –ayat yang tidak mengandung dua makna atau lebih--, sebagaimana ayat-ayat yang digunakan untuk menetapkan keesaan Allah, risalah, dan keyakinan kepada hari akhir. Ayat-ayat yang tidak qath’iy dilalahnya –mengandung dua makna atau lebih--, maka ayat-ayat semacam ini tidak absah dijadikan dalil dalam masalah ‘aqidah……Walhasil, apakah ‘aqidah bisa ditetapkan dengan al-Quran atau tidak, tergantung dari dilalahnya, qath’iy atau dzanniy. Jika ‘aqidah tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan nash yang qath’iy baik dari sisi wurud (tsubut) dan dilalahnya, maka….. ”101

94 'Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisiy Abu Mohammad, Raudlah al-Naadzir, juz 1, hal. 99

95 Mohammad 'Arafah al-Dasuqiy, Haasyiyah al-Dasuqiy, juz 3, hal. 91. Lihat pula Imam al-Dimyathiy, I'aanah al-Thaalibiin, juz 1, hal. 64; Muhyidin bin Syaraf, al-Majmuu', juz 7, hal. 16; Ibnu Badran, al-Madkhal, juz 1, hal. 311. Al-Raaziy, al-Mahshuul, juz 5, hal. 157.

96 Kasyf al-Asraar, juz 4, hal. 378.97 Syaikh Mohammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahaasinu Ta’wil, juz 17 hal.304-30598 Sayyid Qutub, Fi Dzilalil Quran, juz 30, hal. 293-29499 Prof. Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, hal.

63.100 Prof Mahmud Syaltut adalah mantan guru besar di Universitas al-Azhar .101 Ibid, hal.61-62

Page 43: HADITS AHAD

Imam Syaukani menyatakan, “Khabar ahad adalah berita yang dari dirinya sendiri tidak menghasilkan keyakinan. Ia tidak menghasilkan keyakinan baik secara asal, maupun dengan adanya qarinah dari luar…Ini adalah pendapat jumhur ‘ulama. Imam Ahmad menyatakan bahwa, khabar ahad dengan dirinya sendiri menghasilkan keyakinan. Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Hazm dari Dawud al-Dzahiriy, Husain bin ‘Ali al-Karaabisiy dan al-Harits al-Muhasbiy.’102

Prof Mahmud Syaltut menyatakan, ‘Adapun jika sebuah berita diriwayatkan oleh seorang, maupun sejumlah orang pada sebagian thabaqat –namun tidak memenuhi syarat mutawatir [pentj]—maka khabar itu tidak menjadi khabar mutawatir secara pasti jika dinisbahkan kepada Rasulullah saw. Ia hanya menjadi khabar ahad. Sebab, hubungan mata rantai sanad yang sambung hingga Rasulullah saw masih mengandung syubhat (kesamaran). Khabar semacam ini tidak menghasilkan keyakinan (ilmu)."103

Beliau melanjutkan lagi, ‘Sebagian ahli ilmu, diantaranya adalah imam empat (madzhab) , Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’iy dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan.”104

Imam Bazdawiy menyatakan, “Adapun yang mendakwakan ilmu yaqin –maksudnya adalah hadits hadits--, maka itu adalah dakwaan bathil tanpa ada keraguan lagi. Sebab, setiap orang pasti menolaknya. Semua ini disebabkan karena, khabar ahad masih mengandung syubhat. Tidak ada keyakinan bila masih mengandung syubhat (kesamaran). Siapa saja yang menolak hal ini, sungguh ia telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat akalnya.”105

Al-Ghazali berkata, ‘Khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan. Masalah ini –khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan—merupakan perkara yang sudah dimaklumi. Apa yang dinyatakan sebagian ahli hadits bahwa ia menghasilkan ilmu, barangkali yang mereka maksud dengan menghasilkan ilmu adalah kewajiban untuk mengamalkan hadits ahad. Sebab, dzan kadang-kadang disebut dengan ilmu.”106

Imam Asnawiy menyatakan, “Sedangkan sunnah, maka hadits ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali dzan".107

Imam Bazdawiy menambahkan lagi, ‘Khabar ahad selama tidak menghasilkan ilmu tidak boleh digunakan hujah dalam masalah i’tiqad (keyakinan). Sebab, keyakinan harus didasarkan kepada keyakinan. Khabar ahad hanya menjadi hujjah dalam masalah amal".108

Imam Asnawiy menyatakan, “Riwayat ahad hanya menghasilkan dzan. Namun, Allah swt membolehkan dalam masalah-masalah amal didasarkan pada dzan….”109

Al-Kasaaiy menyatakan, “Jumhur fuqaha’ sepakat, bahwa hadits ahad yang tsiqah bisa digunakan dalil dalam masalah ‘amal (hukum syara’), namun tidak dalam masalah keyakinan…”110

102 Imam Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushuul, hal.48. Diskusi tentang hadits ahad, apakah ia menghasilkan keyakinan atau tidak, bisa diikuti dalam kitab Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, karya Imam al-Amidiy; [lihat Al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz I, Daar al-Fikr, 1417 H/1996 M, hal.218-223].

103 Prof. Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, hal. 63104 Ibid. hal. 63105 Ibid.hal.63106 Ibid, hal.64107 Ibid. hal.64108 Ibid.hal.64109 Ibid, hal.64110 Al-Kasaaiy, Badaai’ al-Shanaai’, juz.I, hal.20

Page 44: HADITS AHAD

Imam Al-Qaraafiy salah satu ‘ulama terkemuka dari kalangan Malikiyyah berkata, “..Alasannya, mutawatir berfaedah kepada ilmu sedangkan hadits ahad tidak berfaedah kecuali hanya dzan saja.”111

Al-Qadliy berkata, di dalam Syarh Mukhtashar Ibn al-Haajib berkata, “’Ulama berbeda pendapat dalam hal hadits ahad yang adil, dan terpecaya, apakah menghasilkan keyakinan bila disertai dengan qarinah. Sebagian menyatakan, bahwa khabar ahad menghasilkan keyakinan dengan atau tanpa qarinah. Sebagian lain berpendapat hadits ahad tidak menghasilkan ilmu, baik dengan qarinah maupun tidak.”

Syeikh Jamaluddin al-Qasaamiy, berkata, “Jumhur kaum Muslim, dari kalangan shahabat, tabi’in, dan ‘ulama-ulama setelahnya, baik dari kalangan fuqaha’, muhadditsin, serta ‘ulama ushul; sepakat bahwa khabar ahad yang tsiqah merupakan salah satu hujjah syar’iyyah; wajib diamalkan, dan hanya menghasilkan dzan saja, tidak menghasilkan ‘ilmu.”112

Dr. Rifat Fauziy, berkata, “Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang,dua orang, atau lebih akan tetapi belum mencapai tingkat mutawatir, sambung hingga Rasulullah saw. Hadits semacam ini tidak menghasilkan keyakinan, akan tetapi hanya menghasilkan dzan….akan tetapi, jumhur ‘Ulama berpendapat bahwa beramal dengan hadits ahad merupakan kewajiban.”113

Dari uraian di atas dapat disimpulkan; mayoritas ulama berpendapat, bahwa hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan, dan tidak absah digunakan hujjah untuk membangun perkara-perkara yang membutuhkan ilmu dan kepastian. Menurut Prof Mahmud Syaltut, pendapat ini rajih dan layak untuk diikuti. Atas dasar itu, masih menurut beliau, hadits ahad tidak boleh digunakan hujjah dalam masalah aqidah. Bahkan masalah ini seharusnya tidak diperselisihkan oleh kaum Muslim.

Oleh karena itu, ’aqidah harus dibangun berdasarkan dalil-dalil yang menyakinkan, baik tsubut maupun dilalahnya. Sebab, keyakinan (‘aqidah) yang dituntut oleh syara’ adalah ‘aqidah yang tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya. Dengan kata lain, ‘aqidah harus menyakinkan dan pasti kebenarannya. Atas dasar itu, dalil yang absah membangun pokok-pokok ‘aqidah haruslah dalil yang menyakinkan, baik dari sisi tsubut maupun dilalahnya.

Sesungguhnya, hadits ahad adalah hadits yang sanadnya masih mengandung syubhat atau kesamaran.114 Oleh karena itu, dari sisi tsubut (penetapan), hadits ahad tidak bisa menghasilkan kepastian atau keyakinan. Karena tidak menghasilkan keyakinan, alias hanya menghasilkan dzan saja, maka hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah untuk perkara-perkara yang membutuhkan keyakinan (ilmu). Pendapat semacam ini dipegang dan dianggap paling kuat oleh jumhur ‘ulama.

Selain itu, seluruh ‘ulama tidak berbeda pendapat bahwa, al-Quran dan hadits mutawatir yang qath’iy dilalahnya merupakan sumber yang menyakinkan (qath’iy tsubut) untuk menetapkan pokok keyakinan. Namun, bila dilalahnya tidak qath’iy maka ia tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Sebab, 'aqidah menuntut adanya kepastian baik dari sisi sumbernya maupun dilalahnya (makna yang ditunjukkan oleh nash). Sedangkan nash-nash yang dilalahnya dzanniy masih membuka ruang terjadinya multi interpretasi, sehingga tidak bisa dipastikan mana makna yang hendak dituju oleh nash tersebut. Jika nash-nash seperti ini layak dijadikan hujjah untuk membangun 'aqidah, tentunya akan terjadi perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslim mengenai suatu masalah yang seharusnya mereka tidak boleh berbeda pendapat. Bahkan, bisa-bisa kaum Muslim akan menyakini dua hal yang kontradiktif, akibat dilalah nash yang dzanniy (tidak pasti). 111 Imam al-Qaraafiy, Tanqiih al-Fushuul , hal.192.112 Al-Qasaamiy, Qawaa’id al-Tahdiits, hal.137,138.113 Dr. Rifat Fauziy, al-Madkhal ila Tautsiiq al-Sunnah, ed.I, tahun 1978.114 Ibid, hal. 63

Page 45: HADITS AHAD

Oleh karena itu, masalah aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil yang tsubut dan dilalahnya pasti.

Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, hadits ahad tidak absah dijadikan hujjah dalam perkara-perkara yang membutuhkan kepastian dan keyakinan (masalah aqidah). Pasalnya, hadits ahad dari --sisi tsubutnya-- tidak menghasilkan keyakinan yang pasti. Atas dasar itu, Prof Mahmud Syaltut, di dalam Kitab al-Islaam 'Aqiidah wa Syarii'ah, menyatakan, "Demikianlah, kami telah mendapati pendapat-pendapat ulama ahli kalam dan ushul yang bersepakat bahwa, khabar ahad (hadits ahad) tidak menghasilkan keyakinan dan tidak boleh menetapkan perkara aqidah. Kami juga mendapati para ulama muhaqqiq telah menetapkan masalah ini sebagai masalah dlaruriy yang tak seorangpun boleh berselisih pendapat". Masih menurut Prof Mahmud Syaltut, pendapat yang menyatakan bahwa "hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan)", sesungguhnya yang dimaksud ilmu di sini adalah adalah dzann, atau ilmu bi wujuub al-'amal (kepastian dalam hal wajibnya mengamalkan hadits ahad); bukan keyakinan pasti. Untuk itu, hadits ahad tidak absah dijadikan hujjah untuk membangun perkara-perkara aqidah. Dengan kata lain, perkara aqidah tidak boleh ditegakkan di atas hadits-hadits ahad. Menurut Prof Mahmud Syaltut, kesimpulan semacam ini telah mencapai derajat ilmu dlaruriy yang tidak boleh diperselisihkan oleh orang-orang yang memiliki akal pikiran115.

115 Prof Mahmud Syaltut, Al-Islaam, 'Aqiidah wa Syarii'ah, hal. 65.

Page 46: HADITS AHAD

BAB VKEHUJJAHAN HADITS AHAD DALAM MASALAH AQIDAH

Meskipun diskusi seputar hadits ahad (apakah menghasilkan keyakinan atau sekedar dzan) telah menjadi bahan perdebatan di kalangan kaum Muslim dan para ‘ulama, namun demikian perbedaan pendapat dalam masalah ini tidak pernah menyulut pertentangan maupun tindakan-tindakan gegabah untuk saling mengkafirkan dan menyesatkan sesama Muslim. Para ‘ulama yang berpendapat hadits ahad tidak menghasilkan ilmu tidak pernah mengeluarkan sepatah kata “pengkafiran” kepada ‘ulama yang berpendapat bahwa khabar ahad menghasilkan keyakinan; begitu pula sebaliknya. Mereka tetap menjalin ukhuwah dan bersaudara di bawah naungan kalimat tauhid yang suci.

Kerukunan dan kesatuan mereka telah mengobarkan kemarahan dan kedengkian di hati orang-orang kafir dan munafik. Mereka tidak rela dan ridla melihat kesatuan dan kerukunan kekasih-kekasih Allah. Akhirnya, melalui antek dan agen-agen setianya, mereka terus berusaha menyulut perselisihan dan permusuhan di tengah-tengah kaum Muslim. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengoyak dan merobohkan sendi-sendi ukhuwah. Salah satu caranya adalah, mengobarkan masalah-masalah khilafiyyah dan berusaha mengadu domba kaum Muslim. Mereka menyebarkan masalah khilafiyyah yang sejatinya tidak perlu menjadi masalah, dan menanamkan sikap tercela di kalangan kaum Muslim, yakni fanatisme madzhab yang berlebihan. Mereka tidak mau atau pura-pura tidak tahu bahwa berbeda pendapat dalam masalah-masalah dzanniy adalah sesuatu yang wajar dan diperbolehkan di dalam Islam. Tidak hanya itu saja, mereka memprovokasi umat agar mereka saling berperang demi mempertahankan dan menyebarkan madzhab mereka. Ironisnya lagi, mereka justru berdiam diri terhadap pemerintahan kufur dan sistem kufur yang diterapkan di tengah-tengah kaum Muslim, seraya menyerukan hadits-hadits yang menuturkan kewajiban taat kepada pemimpin fasik. Padahal, hadits-hadits tersebut tidak bisa diterapkan pada konteks pemimpin-pemimpin di dunia Islam sekarang. Bahkan, mereka berusaha menyerang individu maupun gerakan Islam yang berusaha mengubah sistem dan pemerintahan kufur dengan cara pembunuhan karakter. Misalnya, mereka melontarkan cap kafir, sesat, ahli bid'ah, dan fasik kepada gerakan atau individu yang berbeda pendapat dengan mereka, atau yang berusaha merobohkan sistem kufur untuk diganti dengan sistem Islam.

Salah satu isyu khilafiyyah yang mereka angkat dan dijadikan pemicu untuk menyebarkan permusuhan dan pertengkaran di tengah-tengah kaum Muslim adalah ikhtilaf mengenai hadits ahad. Lebih dari itu, mereka menjadikan isyu ini untuk membunuh karakter pengemban dakwah dan kelompok Islam yang berusaha menegakkan syariat Allah dengan penuh keikhlasan. Dengan gegabah dan prematur mereka menyesatkan kaum Muslim yang berpendapat bahwa khabar ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Padahal pendapat yang menyatakan bahwa khabar ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan saja adalah pendapat terkuat yang dipilih oleh mayoritas ‘ulama. Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan adalah pendapat rapuh yang didasarkan pada dalil-dalil yang lemah. Bahkan orang yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan ilmu (keyakinan), sungguh ia telah merendahkan akal pikirannya sendiri.

Page 47: HADITS AHAD

Untuk menepis pendapat yang menyatakan bahwa, hadits ahad wajib dijadikan hujjah dalam masalah ‘aqidah, sekaligus untuk membuktikan kelemahan dan kerapuhan pendapat mereka, akan kami paparkan secara ringkas beberapa argumentasi berikut ini.

1. Ijma’ Shahabat Tatkala Mengumpulkan al-Quran al-Kariim.Jika kita perhatikan dengan seksama proses pengumpulan al-Quran dalam

mushhaf Imam, pastilah anda berkesimpulan bahwa, riwayat ahad tidak bisa digunakan hujjah dalam perkara-perkara yang membutuhkan keyakinan (aqidah). Tidak hanya itu saja, menyakini khabar ahad wajib dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah akan berimplikasi serius bagi kesempurnaan dan keotentikan al-Quran. Pada dasarnya, al-Quran merupakan salah satu pilar aqidah Islam. Seorang mukmin tidak boleh meragukan keotentikan dan kesempurnaan al-Quran yang terlembaga dalam mushhaf ‘Utsmaniy. Apabila ada riwayat shahih yang dianggap al-Quran, namun tidak diriwayatkan dengan jalan mutawatir, atau tidak tercantum di dalam Mushhaf; riwayat itu tidak boleh diyakini sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran.

Sesungguhnya, al-Quran yang sampai ke tangan kita, seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang dianggap sebagai al-Quran, tidak boleh diyakini sebagai Al-Quran. Para shahabat sendiri tidak pernah melembagakan riwayat-riwayat ahad yang dianggap al-Quran ke dalam mushhaf Imam.

Kenyataan ini saja sudah cukup untuk menggugurkan wajibnya menjadikan riwayat ahad sebagai hujjah dalam masalah ‘aqidah. Sebab, al-Quran adalah pokok dan sumber ‘aqidah kaum Muslim; dan semua ayat yang tertulis di dalam mushhaf Imam tidak diriwayatkan kecuali secara mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang dianggap sebagai al-Quran namun tidak ditulis dan dicantumkan di dalam Mushhaf, harus ditolak sebagai bagian dari al-Quran116.

Al-Hafidz al-Suyuthiy dalam kitab al-Itqan fi ‘Uluum al-Quran menyatakan; “Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa semua bagian dari al-Quran harus (wajib) mutawatir, baik dari sisi pokoknya, bagian-bagiannya, tempatnya, topiknya dan urut-urutannya. Kalangan pentahqiq ahlu sunnah juga berpendapat bahwa al-Quran harus diriwayatkan secara qath’iy (mutawatir). Sebab, biasanya sesuatu yang menghasilkan kepastian harus mutawatir. Sebab, al-Quran adalah mukjizat agung yang menjadi pokok agama yang lurus (ashl al-diin al-qawiim). Ia juga sebagai shirath al-mustaqim (jalan yang lurus), baik pada aspek global, maupun terperincinya. Adapun, riwayat yang diriwayatkan secara ahad dan tidak mutawatir , maka secara qath’iy ia bukan merupakan bagian dari al-Quran. Sebagian besar kalangan ushuliyyin berpendapat bahwa mutawatir merupakan syarat penetapan apakah riwayat tersebut termasuk al-Quran.“ 117

Mayoritas ‘ulama ushul telah bersepakat bahwa, mutawatir merupakan syarat itsbat (penetapan), apakah suatu riwayat dianggap sebagai bagian dari al-Quran atau tidak. Riwayat-riwayat ahad yang dinyatakan sebagai al-Quran tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Dengan kata lain, khabar ahad tidak boleh digunakan hujjah untuk menetapkan al-Quran. Atas dasar itu, pada saat pengumpulan al-Quran, Zaid bin Tsabit tidak hanya menyandarkan kepada hafalan para shahabat belaka. Akan tetapi, beliau juga memastikan bahwa hafalan tersebut ditulis dihadapan Nabi saw. Zaid bin Tsabit tidak menerima akhir surat al-Taubah, walaupun surat itu telah ia hafal dan sering dibaca Nabi saw di saat sholat, hingga ia

116 Lihat Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 1, hal. 113-115117 Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, juz I, ed. III, 1951, Daar al-Fikr,

hal.79.

Page 48: HADITS AHAD

mendapatkan bukti tulisan dari Khuzaimah al-Anshori ra.118 Ini adalah sikap yang sangat hati-hati.

Al-Quran adalah pokok dari 'aqidah Islam. Mengingkari al-Quran, atau menyakini bahwa al-Quran telah mengalami penambahan ataupun pengurangan adalah keyakinan bathil yang harus dijauhi oleh orang-orang beriman. Sebab, keyakinan semacam ini akan menjatuhkan seseorang –baik sadar maupun tidak sadar—pada sebuah keyakinan bahwa, al-Quran tidak lagi otentik dan asli.

Di dalam kitab-kitab hadits shahih banyak dituturkan riwayat ahad yang dinyatakan sebagai al-Quran, namun tidak dilembagakan di dalam mushhaf 'Utsmaniy. Kita juga menjumpai adanya mushhaf para shahabat yang kadang-kadang jumlah ayat dan urut-urutannya tidak sama dengan Mushhaf 'Utsmaniy. Seandainya riwayat-riwayat dan mushhaf para shahabat tersebut harus diyakini, dan layak dijadikan hujjah dalam penetapan al-Quran, sama artinya kita telah menuduh para shahabat telah berkonsensus untuk menambah atau mengurangi al-Quran, atau mengubah susunan al-Quran. Padahal, hal ini adalah sebuah kemustahilan bagi para shahabat. Untuk itu, hadits ahad tidak boleh digunakan hujjah dalam perkara ‘aqidah (keyakinan). Al-Quran adalah pokok keimanan kaum Muslim, dan ia harus ditetapkan dengan riwayat-riwayat yang mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran harus ditolak sebagai bagian dari al-Quran.

Berikut ini akan kami ketengahkan riwayat-riwayat ahad yang dianggap al-Quran, akan tetapi tidak boleh diyakini sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran.

• Bukhari dalam kitab Tarikhnya menyatakan sebuah riwayat dari Hudzaifah, ia berkata;

ية7 م�ا ق�ر�أ�ت� س�و�ر�ة� الح�ز�اب� ع�ل�ى الن�ب�ي ص�ل�ى ال� ع�ل�ي�ه� و�س�ل�م� ف�ن�س�ي�ت� م�ن�ه�ا س�ب�ع�ي�ن� آو�ج�د�ت�ه�ا

” Saya membaca surat al-Ahzab di hadapan Nabi saw dan tujuh puluh ayat darinya saya sudah lupa, dan saya tidak mendapatkannya di dalam al-Quran sekarang.’119

Riwayat ini adalah riwayat ahad. Seandainya riwayat ini bisa digunakan hujjah dalam masalah ‘aqidah, tentu kita harus menyakini juga bahwa surat al-Ahzab yang tertuang dalam mushhaf Imam, tidak lengkap. Sebab, ada 70 ayat dalam surat al-Ahzab yang telah hilang. Padahal, keyakinan semacam ini tentu akan berakibat fatal bagi kebersihan dan keotentikan al-Quran al-Karim sebagai kalamullah dan mukjizat terbesar dari Rasulullah saw. Menyakini riwayat ini sama artinya menuduh al-Quran telah mengalami tahrif (perubahan). Riwayat ini juga tidak boleh dipahami sebagai ayat al-Quran yang telah dihapus. Pasalnya, al-Quran harus ditetapkan berdasarkan periwayatan mutawatir. Penurunan, penjagaan, dan pembukuan al-Quran dilakukan dengan jalan mutawatir. Imam terhadap al-Quran termasuk bagian dari aqidah yang tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan dalil yang qath'iy tsubut wa al-dilaalah120.

118 Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit mengenai masalah ini sebagai berikut, "....Maka aku (Zaid bin Tsabit) pun menelusuri al-Quran dan mengumpulkannya dari pelepah-pelepah kurma, batu-batu yang tipis, dan hafalan orang-orang, sampai aku menemukan akhir surat al-Taubah pada diri Abu Khuzaimah al-Anshoriy, dan aku tidak menemukannya pada seseorang pun kecuali dirinya.." Di dalam Kitab Manaahil al-'Irfaan, juz 1, hal. 245, dituturkan, "Imam al-Sakhawiy dalam Majaal al-Qurraa menyatakan, yang dimaksud dengan dua saksi adalah dua orang adil. Lalu ia berkata, "Yang dimaksud adalah dua orang itu bersaksi bahwa apa yang tertulis itu ditulis dihadapan Nabi saw".

119 Al-Hafidz al-Suyuthiy, Durr al-Mantsur, jilid 6, hal. 560120 Dr. Mohammad Ali Hasan, Al-Manaar fi 'Uluum al-Quraan, hal. 126

Page 49: HADITS AHAD

• Riwayat semacam ini juga diketengahkan oleh Abu Ubaid di dalam al-Fadlaail; Ibnu Al-Anbaariy, dan Ibnu Mardawaih dari ‘Aisyah, bahwasanya beliau ra berkata;

ك�ان�ت� س�و�ر�ة� ا�ل�ح�ز�اب� ت�ق�ر�أ� في� ز�م�ان� الن�ب�ي ص�ل�ى ال� ع�ل�ي�ه� و�س�ل�م� م�ائ�ت�ي� آي�ة7 ف�ل�م�اك�ت�ب� ع�ث�م�ان� ا�لم�ص�اح�ف� لم� �ي�ق�د�ر� م�ن�ه�ا إ�ل� ع�ل�ى م�ا ه�و� الن

“Pada masa Nabi saw, surat al-Ahzab dibaca sebanyak dua ratus ayat. Akan tetapi, ketika ‘Utsman menulis mushhaf dia tidak bisa mendapatkannya kecuali sebagaimana yang ada sekarang ini.”121

Seandainya riwayat ahad ini harus diyakini dan wajib dijadikan hujjah dalam masalah 'aqidah, tentunya kita harus menyakini lebih dari separuh surat al-Ahzab telah hilang, tepatnya seratus dua puluh tujuh ayat. Sebab, surat al-Ahzab yang ada di dalam Mushhaf Imam hanya berjumlah tujuh puluh tiga ayat. Oleh karena itu, riwayat ini tidak boleh diyakini bahkan harus ditolak untuk dijadikan hujjah dalam masalah ‘aqidah. Seorang Muslim dilarang menyakini ada ayat Quran yang tidak terlembaga dalam mushhaf ‘Utsmaniy. Riwayat ini juga tidak menunjukkan adanya nasakh tilawah. 'Allamah Taqiyyuddin al-Nabhaniy di dalam Kitab al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah menyatakan bahwa, tidak ada nasakh tilawah. Menurut beliau, pendapat semacam ini dipegang oleh mayoritas 'ulama. Sebab, seluruh ayat al-Quran ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath'iy, dan ayat-ayat yang tidak ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath'iy tidak boleh dianggap sebagai al-Quran. Selain itu, tidak adanya satupun dalil qath'iy yang menunjukkan adanya nasakh tilawah. Adapun riwayat-riwayat dzanniy yang mengesankan adanya nasakh tilawah, sesungguhnya riwayat-riwayat seperti ini tidak bernilai sama sekali. Sebab, sesuatu yang qath'iy tidak bisa dihapus oleh sesuatu yang dzanniy. Yang qath'iy hanya bisa dihapus oleh yang qath'iy.122

• Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Zuhri dalam hadits panjang yang menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran, disana disebutkan, "Abu Bakar ra memerintah seorang mu’adzin untuk mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-Quran agar mereka menyerahkannya. Hafshah salah seorang Ummul Mukminin berkata, "Jika kalian sampai pada ayat ini , beritahulah aku! (Hafidzu 'ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha...). Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah berkata, "Tulislah, hafidzu...wa al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-'Ashr..". 'Umar ra bertanya, "Apakah kamu punya saksi?" Hafshah menjawab, "Tidak!". 'Umar berkata, "Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang perempuan sedangkan ia tak punya bukti."

Riwayat Hafshah ini juga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Sebab, jika riwayat ini diyakini sebagai bagian dari al-Quran sama artinya kita menyakini bahwa, al-Quran telah mengalami pengurangan. Sebab, kata “al-‘Ashr” tidak dilembagakan di dalam mushhaf 'Utsmaniy. Tidak boleh dinyatakan bahwa riwayat ini telah dinasakh (dihapus) tilawahnya. Tidak bisa dinyatakan seperti itu, sebab, dari sisi istbat, riwayat itu tidak terbukti sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran. Alasannya, riwayat di atas adalah riwayat ahad; sedangkan al-Quran tidak ditetapkan kecuali dengan riwayat mutawatir. Lantas, bagaimana ia bisa dinyatakan al-Quran yang dihapus, sedangkan riwayat itu tidak terbukti

121 Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi 'Uluum al-Quran, jilid II, hal.25, lihat juga Duur al-Mantsur, jilid 6; hal.560

122 Taqiyyuddin al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 273.

Page 50: HADITS AHAD

sebagai al-Quran?123 Di dalam Kitab Irsyaad al-Fuhuul disebutkan bahwa, Imam Sarkhasiy menolak adanya nasakh tilawah. Sebab, menurut beliau, hukum tidak ditetapkan kecuali dengan dalil; dan tidak ada hukum tanpa ada dalil124.

• Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwatha', dan Ibnu Dawud dalam Mashahif dari Ummul Mukminin 'Aisyah ra, ia berkata, "Telah turun ayat tentang 10 (kali isapan) susuan yang mengharamkan (menjadikan mahram), kemudian dihapus dengan 5 kali (isapan) susuan. Kemudian Rasulullah saw meninggal, sedangkan beliau menyatakan ia adalah al-Quran." Namun demikian, tak seorangpun shahabat yang memperhatikan riwayat ini. Mereka tidak menulisnya di dalam Mushhaf. Juga tidak boleh dipahami bahwa, riwayat tersebut merupakan al-Quran yang telah dihapus. Sebab, tidak ada nasakh tilawah di dalam al-Quran. Meskipun sebagian ulama berpendapat adanya nasakh tilawah, namun pendapat itu lemah dan tidak layak diikuti. Adapun mengapa nasakh tilawah tidak terdapat di dalam al-Quran; sebab, riwayat-riwayat yang menuturkan adanya nasakh tilawah adalah hadits ahad; sehingga, tidak menghasilkan kepastian dan keyakinan. Selain itu, riwayat-riwayat tersebut tidak boleh dianggap sebagai al-Quran maupun bagian dari al-Quran; sehingga harus diimani dan diyakini sebagai al-Quran yang dihapus125.

• Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dalam Mashahif, al-Haakim, dan selain keduanya dari Mushhafnya Ubay bin Ka'ab, ia menuturkan ayat tentang kifarah (denda) budak. Di dalam mushhafnya Ubay tersebut disebutkan, "fa shiyaam tsalaats ayaam mutatabi'aat fi kifaarat al-yamiin"[berpuasa tiga hari berturut-turut untuk kifarat al-yamin].”

Riwayat ini juga tidak dicantumkan ke dalam mushhaf Imam. Riwayat ini juga tidak boleh dianggap sebagai al-Quran. Sebab, seandainya hadits ini harus diyakini, maka al-Quran yang terlembaga di dalam mushhaf ‘Utsmaniy tidak lagi otentik, alias telah mengalami pengurangan. Dalam masalah ini, Imam Syafi’iy menolak berhujjah dengan riwayat ini, sebab ia dinukil dengan jalan ahad.126

• Imam Ahmad, Haakim dari Katsir bin Shalat, ia berkata, "Adalah Ibn al-'Ash dan Zaid bin Tsabit sedang menulis mushhaf. Lalu, sampailah mereka kepada ayat ini, maka Zaid berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, "al-Syaikh wa syaikhaat idza zanaya [kakek dan nenek jika berzina].", 'Umar berkata, "Bukankah engkau tahu bahwa seorang kakek, jika ia tidak muhshon akan dijilid, sedangkan jika seorang pemuda berzina, dan ia muhshon, maka dirajam".127

• Dalam riwayat Muwatha' 'Umar berkata dalam khutbahnya, "Seandainya bukan karena orang-orang mengatakan bahwa 'Umar bin Khaththab telah menambah Kitabullah, sungguh aku akan menulisnya (ayat rajam), sungguh kami telah membacanya".

Dua riwayat di atas bukanlah al-Quran dan tidak boleh diyakini sebagai ayat Quran yang dihapus (mansukh). Alasannya, riwayat-riwayat di atas adalah khabar ahad, sehingga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Bagaimana kita bisa menyatakan bahwa riwayat ini adalah al-Quran yang dihapus, padahal riwayat ini tidak terbukti sebagai al-Quran? Seperti halnya riwayat-riwayat

123 Dr. Mohammad Ali Hasan, al-Manaaf fiy 'Uluum al-Quran, hal. 126124 Lihat Imam Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 190125 Lihat dan bandingkan dengan Dr. Mohammad Ali al-Hasan, al-Manaar fi 'Uluum al-Quran,

hal. 126. Lihat juga penjelasan Imam al-Suyuthiy, al-Itqaan fi 'Uluum al-Quran, jilid 2, hal. 26. Di dalam kitab itu al-Suyuthiy menjelaskan bahwa Ibnu Dzafar menolak adanya nasakh tilawah (namun hukumnya tetap), dengan alasan khabar ahad (hadits ahad) tidak bisa menetapkan al-Quran."[Al-Hafidz Suyuthiy, al-Itqaan fi 'Uluum al-Quran, hal. 26]

126 Imam Al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 1, hal. 113 127 Lihat Imam al-Suyuthiy, al-Itqaan fi 'Uluum al-Quran, bagian ke 2, hal. 25

Page 51: HADITS AHAD

sebelumnya, riwayat ini dituturkan secara ahad, dan al-Quran tidak ditetapkan kecuali berdasarkan riwayat mutawatir. Riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran tidak boleh diyakini sebagai Al-Quran.128

• Ada pula riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad, al-Bazari, Thabarani, Ibnu Mardawaih dengan jalan shahih dari Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud bahwa, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas tidak memasukkan al-Mu'awidzatain (surat al-Falaq dan al-Naas) dalam mushhafnya. Keduanya menyatakan bahwa al-Quran tidak tercampur dengan sesuatu yang bukan dari Kitabullah. Menurut kedua shahabat itu, al-mu’awidzatain bukan termasuk al-Quran, namun hanya perintah Allah kepada Nabi saw untuk berlindung dengan keduanya”.

• Imam Fakhr al-Raziy menuturkan, bahwa sebagian kitab-kitab terdahulu telah menyebutkan bahwa Ibnu Mas’ud telah mengingkari surat al-Fatihah dan al-Mu’awidzatain sebagai bagian dari al-Quran. 129

Imam Nawawiy dalam Syarh al-Muhadzdzab menyatakan, " Seluruh kaum Muslim telah bersepakat bahwa, al-Mu’awidzatain dan al-Fatihah merupakan bagian dari al-Quran. Siapa saja yang mengingkari keduanya [sebagai bagian dari al-Quran] telah terjatuh dalam kekafiran. Sedangkan riwayat yang dinukil dari Ibnu Mas’ud adalah bathil, dan sama sekali tidak shahih."130

Al-Bazariy menyatakan, "Tak seorang pun dari kalangan shahabat yang mengikuti pendapat Ibnu Mas'ud. Telah disahkan dari Nabi saw bahwa, beliau saw membaca keduanya dalam sholat dan mu'awidzatain ditetapkan dalam mushhaf."131 Walhasil, para shahabat ra menolak khabar dari shahabat Ibnu Mas'ud ra, karena ia adalah khabar ahad yang tidak sampai kepada derajat mutawatir dan qath'iy.

Ibnu Hazm di dalam kitabnya al-Qadh al-Ma’aliy Tatmiim al-Majaliy, berkata, “Riwayat ini merupakan pendustaan atas nama Ibnu Mas’ud.”132

Ibnu Hajar dalam Syarh al-Bukhari menyatakan: “Telah dishahihkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ia telah mengingkari al-Mu’awidzatain.” Riwayat senada juga dituturkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Hibban, bahwa Ibnu Mas’ud tidak menulis al-Mu’awidzatain di dalam mushhafnya.133

Lalu, apakah berdasarkan riwayat ahad ini, anda akan menarik kesimpulan bahwa al-Mu’awidzatain bukanlah bagian dari al-Quran? Seandainya anda menyatakan bahwa, riwayat Ibnu Mas’ud ini harus diyakini, tentunya al-Quran telah mengalami tahrif (perubahan). Seandainya kita menyatakan, bahwa hadits ahad yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ini tidak boleh diyakini, maka anda telah menyelamatkan al-Quran dari adanya tahrif.

• Hujjaaj menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu Juraij, dari Hamidah binti Abi Yunus, bahwasanya ia berkata, "Dibacakan di depan ayahku, Mushhaf 'Aisyah ra, di mana saat itu ayahku masih berumur 8 tahun. Di dalam Mushhaf itu tercantum ayat, "Innallaha wa malaaikatahu yushalluuna 'alan Nabiy, ya ayyuhal ladziina aamanuu shalluu 'alaihi wa sallimuu tasliima wa 'alal ladziina yushalluuna al-shufuuf al-awwal". Ia membacanya sebelum 'Utsman mengubah Mushhaf-Mushhaf".134 Riwayat ini juga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran yang telah

128 Dr. Mohammad Ali al-Hasan, al-Manaar fi 'Uluum al-Quran, hal.26129 al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79. Lihat juga, Al-Amidiy, al-

Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 1, hal. 114130 al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi 'Uluum al-Quran, hal.79131 Ibid, hal. 79132 al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79133 Ibid,hal.79134 Ibid, bagian ke 2, hal. 25

Page 52: HADITS AHAD

dihapus tilawahnya. Sebab, riwayat ini dituturkan secara ahad, sehingga tidak boleh dianggap sebagai al-Quran yang telah dihapus.

• Masih banyak riwayat-riwayat ahad lain yang dinyatakan sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran yang tidak dilembagakan di dalam Mushhaf 'Utsmaniy. Riwayat-riwayat semacam ini jumlahnya sangat banyak. Seandainya kita harus menyakini riwayat-riwayat ini, sama artinya dengan menyakini bahwa Mushhaf 'Utsmaniy telah mengalami tahrif (penyimpangan).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, riwayat ahad tidak boleh digunakan hujjah untuk membangun pokok keimanan. Perilaku para shahabat dengan tidak melembagakan riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran merupakan bukti nyata, bahwa khabar ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Seandainya riwayat ahad bisa menetapkan Al-Quran, niscaya lenyaplah eksistensi al-Quran sebagai bukti yang menyakinkan, dan jadilah ia sebagai bukti yang dzanniy.

2. Para Shahabat Mensyaratkan Jumlah Tertentu Pada Saat Pelembagaan al-Quran

Kami juga akan memaparkan riwayat-riwayat yang menuturkan bahwa, tatkala mengumpulkan al-Quran al-Karim pada masa Abu Bakar ra, para shahabat telah mensyaratkan jumlah tertentu, hingga riwayat mereka dianggap sebagai al-Quran.

• Ibnu Abi Dawud dalam Mashahif dari Abu Bakr, meriwayatkan, “Sesungguhnya Abu Bakar memerintahkan kepada 'Umar dan Zaid ra agar keduanya duduk di pintu masjid, dan memerintahkan keduanya agar siapapun yang membawa sesuatu dari al-Quran dengan membawa dua orang saksi, maka keduanya harus mencatatnya”.

• Dari jalan Ibnu Sa'ad, ia berkata,” Keduanya duduk di pintu masjid, dan tak seorangpun yang membawa sesuatu dari Al-Quran yang disaksikan oleh dua orang, kecuali akan ditulis dan tidak akan diingkari oleh keduanya”.

• Menurut Ibnu Abu Dawud dalam Mashahif dari Yahya bin 'Abd al-Rahman bin Haatib berkata, 'Umar berkata, "Siapa saja yang menyimpan sesuatu –al-Quran-- dari Rasulullah, maka serahkanlah. Sedangkan para shahabat menulis ayat-ayat Quran dalam shuhuf, batu tulis, tulang. ‘Umar ra tidak menerima apapun dari seseorang, sampai orang tersebut menghadirkan dua orang saksi”.

• Dari jalan Ibn Sa'ad dan Ibn Abi Dawud dan Ahmad bin Hanbal dan selainnya, dari Khuzaimah bin Tsabit berkata, "Saya menyampaikan ayat (laqad jaa`akum) kepada 'Umar ra dan Zaid bin Tsabit. Zaid bertanya, siapakah orang yang menyaksikan bersamamu.. Saya menjawab, "Demi Allah saya tidak tahu!" 'Umar berkata, "Saya menyaksikan hal itu bersamamu".

• Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir dan selainnya meriwayatkan dari 'Ubaid bin 'Umair, bahwa ia berkata, "Umar tidak menerima satu ayat dari Kitabullah sampai ada dua orang saksi yang menyaksikan".

• Dalam shahih Bukhari dan Ibnu Abi Dawud dan selain keduanya dari Zaid bin Tsabit berkata, "Ketika kami menulis Mushhaf, saya kehilangan sebuah ayat dari kitabullah, dimana aku pernah mendengarnya dari Rasulullah saw, dan aku menemukannya pada Khuzaimah bin Tsabit "Minal mukminiin rijaalun.. ", sedangkan Khuzaimah memiliki dua orang saksi. Rasulullah saw membolehkan persaksian dengan saksi dua orang".

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan, bahwa para shahabat telah menetapkan syarat-syarat tertentu tatkala melembagakan al-Quran dalam mushhaf ‘Utsmaniy. Seandainya, khabar ahad bisa dijadikan hujjah dalam

Page 53: HADITS AHAD

pelembagaan al-Quran, tentu para shahabat tidak perlu mensyaratkan dua orang saksi. Jikalau berita satu orang bisa digunakan sandaran untuk menetapkan pokok ‘aqidah (al-Quran) tentu para shahabat tidak perlu lagi mensyaratkan dua orang saksi dan tulisan. Akan tetapi, para shahabat menolak untuk melembagakan khabar yang diklaim sebagai al-Quran jika tidak mendatangkan dua orang saksi dan mendatangkan bukti otentik lainnya (tulisan).

Perhatikan riwayat berikut ini:• Dalam shahih Bukhari, Zaid berkata, "Saya kehilangan satu ayat dari surat al-

Ahzab, kemudian aku mendapatkannya pada Khuzaimah, karena ia menyimpannya. Seandainya tidak, tentu hilanglah ayat tersebut. Kemudian ayat tersebut ditulis.

• Dalam riwayat Ibnu Abi Dawud dari 'Umar, ia berkata, "Barangsiapa mendapatkan dari Rasulullah sesuatu dari al-Quran, maka serahkanlah”. Perawi berkata, "Mereka menulis dalam shuhuf, batu, dan tulang".

Riwayat di atas menunjukkan dengan pasti, bahwa para shahabat ra tidak mencantumkan satupun ayat dalam mushhaf kecuali bisa dipastikan bahwa ayat tersebut adalah al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah saw.

• Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Zuhri dalam hadits panjang yang menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran, disana disebutkan, "Abu Bakar ra memerintah seorang mu’adzin untuk mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-Quran agar mereka menyerahkannya. Hafshah salah seorang Ummul Mukminin berkata, "Jika kalian sampai pada ayat ini , beritahulah aku! (Hafidzu 'ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha...). Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah berkata, "Tulislah, hafidzu...wa al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-'ashr..". 'Umar ra bertanya, "Apakah kamu punya saksi?" Hafshah menjawab, "Tidak!". 'Umar berkata, "Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang perempuan sedangkan ia tak punya bukti."

Berdasarkan riwayat ini, kita tidak mungkin lagi menyatakan bolehnya membangun pokok keimanan dengan khabar ahad. Riwayat di atas telah menunjukkan, bahwa ‘Umar telah menolak khabar yang disampaikan oleh Hafshah. Sebab, Hafshah tidak memiliki saksi. Seandainya khabar ahad bisa diterima untuk menetapkan al-Quran, tentunya ‘Umar ra akan menulis khabar Hafshah di dalam mushhaf.

3. Argumentasi ‘Aqliyyah Secara ‘aqliy, ketika anda menyaksikan suatu peristiwa secara langsung, dan

terlibat di dalamnya, anda pasti akan menyakini kebenaran peristiwa yang anda saksikan tersebut. Sebab, peristiwa tersebut menyakinkan dari sisi anda. Namun, ketika anda menyampaikan peristiwa itu kepada orang yang tidak menyaksikannya secara langsung, tentu orang itu tidak langsung mempercayai ucapan anda, meskipun anda sangat menyakini peristiwa itu. Peristiwa tersebut hanya menyakinkan dari sisi anda, namun tidak bagi orang yang tidak menyaksikan peristiwa itu secara langsung. Di sinilah pentingnya itsbat (penetapan); apakah berita yang anda sampaikan itu benar-benar menyakinkan atau tidak.

Hal ini tidak ubahnya dengan kesaksian yang diberikan seorang saksi kepada seorang qadliy. Seorang saksi harus membangun kesaksiannya dengan bukti-bukti yang menyakinkan. Ia tidak boleh bersaksi, kecuali jika menyaksikan kejadiannya secara langsung, menyakinkan dan pasti. Dalam sebuah hadits yang dituturkan oleh Ibnu 'Abbas ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah ditanya tentang kesaksian. Kemudian beliau bertanya, "Apakah kamu melihat matahari? Lalu dijawab, "Ya."

Page 54: HADITS AHAD

Kemudian beliau saw bersabda, "Seperti itu juga. Jika kalian melihat (seperti melihat matahari) maka bersaksilah, atau jangan bersaksi (jika tidak melihatnya seperti melihat matahari)".135 Dalam redaksi lain, Nabi saw bersabda;

ف�إ�ذ�ا ر�أ�ي�ت� م�ث�ل� الش�م�س� ف�اش�ه�د� و� إ�ل� ف�د�ع�"Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah.

(Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah".136

Namun demikian, apa yang disaksikan oleh seorang saksi hanya menyakinkan dari sisi saksi saja, tidak bagi qadliy. Ketika qadli menerima kesaksian seorang saksi, tidak secara otomatis “kesaksian itu” menyakinkan dari sisi qadliy -- meskipun kesaksian itu menyakinkan dari sisi saksi. Atas dasar itu, seorang qadliy tidak harus menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian seorang saksi. Perhatikan riwayat Ummu Salamah berikut ini; Nabi saw bersabda:

إ�ن�م�ا أ�ن�ا ب�ش�ر6 و�إ�ن�ك�م� ت�خ�ت�ص�م�ون� إ�ل�ي� و�ل�ع�ل� ب�ع�ض�ك�م� أ�ن� ي�ك�ون� أ�ل�ح�ن� ب�ح�ج�ت�ه� م�ن� ب�ع�ض و�أ�ق�ض�ي� ل�ه� ع�ل�ى ن�ح�و� م�ا أ�س�م�ع� ف�م�ن� ق�ض�ي�ت� ل�ه� م�ن� ح�ق0 أ�خ�يه� ش�ي�ئiا ف�ل�ا ي�أ�خ�ذ� ف�إ�ن�م�ا أ�ق�ط�ع

ل�ه� ق�ط�ع�ةi م�ن� الن�ار"Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa

masalah-masalah yang kalian perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang hujjahnya sangat memukau dari pada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara ada hak bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi dirinya itu merupakan bagian dari api neraka."137

Nash ini menunjukkan bahwa, Rasulullah saw memutuskan perkara berdasarkan prasangkanya. Kesaksian yang diberikan kepada saksi hanya menyakinkan dari sisi saksi, tidak bagi qadliy. Buktinya, Rasulullah saw menyatakan kemungkinan adanya vonis yang salah. Seandainya, berita yang disampaikan seorang saksi juga menyakinkan dari sisi qadliy, tentu Rasulullah saw tidak akan menyatakan kemungkinan adanya kesalahan dalam hal vonis. Sekiranya kesaksian saksi menghasilkan kepastian dan keyakinan, niscaya seorang qadli harus memutuskan perkara berdasarkan kesaksian saksi. Padahal, Rasulullah saw telah menyatakan dengan jelas, bahwa seorang hakim itu memutuskan sesuatu berdasarkan dzan, bukan sekadar dengan keterangan yang disampaikan oleh seorang saksi.

Dari ‘Amru bin al-‘Ash, beliau mendengar Rasulullah saw bersabda;

إ�ذ�ا ح�ك�م� ال�ح�اك�م� ف�اج�ت�ه�د� ث�م� أ�ص�اب� ف�ل�ه� أ�ج�ر�ان� و�إ�ذ�ا ح�ك�م� ف�اج�ت�ه�د� ث�م� أ�خ�ط�أ� ف�ل�ه� أ�ج�ر6"Jika seorang hakim memutuskan suatu perkara, lantas ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala. Namun, jika seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad, dan ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala."[HR. Imam Bukhari]

Imam Nasaaiy juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda:

�د� ف�أ�خ�ط�أ� ف�ل�ه� أ�ج�راج�ت�ه�دإ�ذ�ا ح�ك�م� ال�ح�اك�م� ف�اج�ت�ه�د� ف�أ�ص�اب� ف�ل�ه� أ�ج�ر�ان� و�إ�ذ�ا 135 Imam al-Baihaqiy, Sya'b al-Iiman, juz 22, hal. 363.136 Lihat pada Ahmad al-Da’ur, al-Ahkaam al-Bayyinaat, hal.6, 1965, tanpa penerbit137 HR. Mutafaq ‘Alaih

Page 55: HADITS AHAD

"Jika seorang hakim memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia berijtihad dan ijtihadnya salah, maka ia mendapatkan satu buah pahala".[HR. Imam Nasaaiy]

Kenyataan seperti ini, sama persis dengan si anu yang menyampaikan sebuah khabar kepada si fulan. Meskipun khabar itu menyakinkan dari sisi si anu, namun dari sisi si fulan, khabar itu tidaklah menyakinkan. Oleh karena itu, si fulan bisa menolak, atau menerima berita dari si anu. Ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa khabar yang disampaikan oleh seorang yang adil, tetaplah tidak menyakinkan bagi orang yang menerima berita tersebut; walaupun bagi orang yang adil berita itu menyakinkan. Namun demikian, jika berita itu telah masyhur dan menyakinkan, maka dengan sendirinya, siapapun yang menyampaikan berita itu, wajib kita yakini. Secara ‘aqliy khabar yang disampaikan seseorang atau lebih yang tidak mengantarkan kepada keyakinan, hanya akan menghasilkan dzan belaka, tidak menyakinkan.

4. Perilaku Ulama Dalam BerhaditsDalam prakteknya, para ahli hadits berbeda pendapat dalam menilai suatu

riwayat, apakah mutawatir atau tidak, shahih atau tidak. Perbedaan penilaian ini disebabkan banyak faktor, diantaranya adalah perbedaan dalam menetapkan kriteria kemutawatiran suatu berita, penilaian terhadap personalitas perawi, dan perbedaan dalam hal ushulul hadits.

‘Ulama hadits berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah perawi yang bisa mengantarkan kemutawatiran suatu berita.138 Jumhur ‘ulama berpendapat bahwa kemutawatiran suatu berita tidak boleh dikaitkan dengan jumlah tertentu, akan tetapi harus disandarkan pada “sampainya keyakinan yang bersifat pasti” (hushuul al-ilm al-dlaruriy).139 Sebagian ‘ulama, diantaranya adalah al-Qadliy Abu Thayyib al-Thabariy, mensyarakatkan jumlah perawi lebih dari empat orang. Jika suatu berita diriwayatkan lebih dari empat orang, maka berita tersebut bisa dianggap sebagai khabar mutawatir.140 Al-Sam’aniy menyatakan, bahwa pengikut madzhab Syafi’iy menetapkan batas minimal sebanyak 5 orang perawiy. Menurut Abu Manshur, al-Jubaiy juga menganut pendapat ini dengan menganalogkan pada jumlah para nabi yang termasuk dalam ulul ‘azmiy. 141 Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 7 orang karena dianalogkan dengan jumlah ashhabul kahfiy. ‘Ulama yang lain berpendapat bahwa jumlah yang bisa mengantarkan kepada derajat mutawatir adalah 10 orang. Pendapat ini dipegang oleh al-Ashthakhriy. Ada pula yang menentukan sekurang-kurangnya 12 orang. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hudzail dan ulama-ulama lain dari kalangan Mu’tazilah. Sebagian kelompok ‘ulama menetapkan sekurang-kurangnya 40 orang142. Sedangkan ulama lain menentukan sekurang-kurangnya 310 orang, dan sebagainya.143

Perbedaan dalam menetapkan jumlah perawi tentunya akan berakibat pada perbedaan dalam menetapkan kemutawatiran sebuah berita. Akibatnya, ada suatu berita yang menurut sebagian ‘ulama mutawatir, sedangkan yang lain tidak. Di sisi yang lain, seluruh ‘ulama sepakat bahwa berita mutawatir harus diyakini (yufiidz al-‘ilm). Jika berita mutawatir harus diyakini, lantas apakah kita akan menyesatkan dan mengkafirkan ‘ulama yang tidak memutawatirkan berita tersebut, karena adanya penetapan kriteria yang berbeda? Jawabnya, kita dilarang menyesatkan

138 Imam Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushuul, hal.47139 Ibid, hal. 47140 Ibid, hal.47141 Ibid, hal.47142 Ahmad Mohammad Syakir, Syarah Alfiyat al-Suyuuthiy, hal.46; Mohammad Mahfudz al-Turmusy, Manhaaj Dzawiy al-Nadzar, hal. 68-69.143 Ibid, hal.47-48

Page 56: HADITS AHAD

atau mengkafirkan ‘ulama yang menganggap berita yang kita yakini mutawatir bukan sebagai berita mutawatir. Ini bisa dimengerti karena perbedaan pendapat dalam masalah semacam ini merupakan suatu hal yang lazim.

Perbedaan lain berhubungan dengan kaedah-kaedah ushul hadits, misalnya jarh wa ta’diil. Dalam hal menjarh dan menta’dilkan, minimal ada empat pendapat yang berbeda. Pendapat pertama menyatakan bahwa jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’adilnya lebih banyak daripada jarhnya. Pendapat kedua mengatakan bahwa ta’dil harus didahulukan daripada jarh. Pendapat ketiga, menyatakan bahwa bila mu’addilnya lebih banyak daripada jarhnya, maka ta’dil harus didahulukan. Pendapat keempat, selama pertentangan antara yang menjarhkan dan menta’dilkan belum bisa dikompromikan, maka ia tetap dalam “perselisihan”.

Dalam hal penilaian terhadap perawiy, ulama hadits juga berbeda pendapat. Misalnya, jarh wa ta'dil terhadap perawiy kadang-kadang disebutkan sebab-sebabnya (mufassar) dan ada kalanya tidak disebutkan sebab-sebabnya (mubham). Untuk mubham ini para ulama hadits berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa, menta'dilkan perawi tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, diterima. Sedangkan jika mentajrih perawi harus disebutkan sebab-sebabnya. Ada pula yang berpendapat, untuk ta'dil harus disebutkan sebab-sebabnya, sedangkan jika men-jarh-nya tidak harus disebutkan sebab-sebabnya. Ada pula yang berpendapat, baik menta'dil maupun menjarh, harus disebutkan sebab-sebabnya. Ada pula yang berpendapat, untuk keduanya tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya.

Para ulama hadits juga berbeda pendapat dalam menentukan jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta'dil-kan dan men-jarh-kan perawiy. Sebagian ulama mensyaratkan minimal 2 orang, baik dalam hal syahadah maupun dalam hal riwayah. Pendapat ini dipegang oleh fukaha Madinah dan lain sebagainya. Sebagian yang lain mensyaratkan 1 orang saja dalam hal riwayah, bukan dalam hal syahadah. Sedangkan yang lain, cukup 1 orang saja, baik dalam hal riwayat maupun syahadah.

Ikhtilaf dalam masalah ushul hadits ini tentunya berakibat pada perbedaan pendapat dalam menilai keshahihan sebuah berita. Atas dasar itu, kadang-kadang ada suatu riwayat dianggap shahih oleh seorang ulama namun dianggap lemah oleh ulama yang lain.

Para ulama hadits juga berbeda pendapat dalam menilai personalitas perawiy. Kadang-kadang, ada ulama hadits yang menta'dilkan seorang perawi, namun ulama hadits lain menjarhnya. Contohnya, adalah perbedaan penilaian para ulama hadits terhadap seorang tabi'in tengah bernama Habib bin Salim dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Imam Ahmad berkata, "Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy telah meriwayatkan sebuah hadits kepada kami; di mana ia berkata, "Dawud bin Ibrahim al-Wasithiy telah menuturkan hadits kepadaku (Sulaiman bin Dawud al-Thayalisiy). Dan Dawud bin Ibrahim berkata, "Habib bin Salim telah meriwayatkan sebuah hadits dari Nu'man bin Basyir; dimana ia berkata, "Kami sedang duduk di dalam Masjid bersama Nabi saw, --Basyir sendiri adalah seorang laki-laki yang suka mengumpulkan hadits Nabi saw. Lalu, datanglah Abu Tsa'labah al-Khusyaniy seraya berkata, "Wahai Basyir bin Sa'ad, apakah kamu hafal hadits Nabi saw yang berbicara tentang para pemimpin? Hudzaifah menjawab, "Saya hafal khuthbah Nabi saw." Hudzaifah berkata, "Nabi saw bersabda, "Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa Kekhilafahan 'ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa

Page 57: HADITS AHAD

raja dictator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah 'ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, beliau diam".[HR. Imam Ahmad]

Habib bin Salim al-Anshoriy termasuk tabi'iy tengah. Nasab beliau adalah al-Anshoriy. Hadits beliau sah untuk dijadikan hujjah. Ibnu Hibban menganggapnya tsiqqah. Abu Hatim al-Raziy dan Abu Dawud al-Sajastaniy mengatakan, "Dia tsiqqah". Imam Bukhari mengatakan, "Fiihi nadzar" (haditsnya perlu diteliti). Ibnu 'Adiy mengatakan, "Hadits yang diriwayatkan darinya ada idldlirab di sanad-sanadnya".

Lantas, apakah kita akan menyematkan gelar fasik dan sesat kepada ulama hadits yang menolak riwayat Imam di atas, hanya gara-gara perbedaan pendapat dalam hal menilai personalitas rawiy?

Contoh lain, Imam Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amru bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Kaum mukmin itu saling menanggung darahnya” Salah satu perawi hadits ini, ‘Amru bin Syu’aib mendapatkan hadits ini dari bapaknya dan dari kakeknya. Sebagian ‘ulama hadits menerima haditsnya sebagian lagi menolaknya. Imam Turmudziy berkata, “Mohammad Isma’il berkata, “Saya melihat bahwa Ahmad, Ishaq menerima haditsnya ‘Amru bin Syu’aib sebagai hujjah.” ‘Ali bin Abi ‘Abdillah bin al-Madani berkata, “Yahya bin Sa’id berkata, “Menurut kami hadits ‘Amru bin Syu’aib adalah hadits yang lemah.”

Seandainya ada orang menolak riwayat ahad karena dianggap lemah, sementara yang lain menshahihkan, lantas apakah kita akan mengkafirkan ‘ulama yang menolak keshahihan hadits ahad tersebut? Seandainya pendapat yang menyatakan bahwa, hadits ahad wajib diyakini adalah pendapat paling kuat, lantas, apakah kita akan mengkafirkan dan menyesatkan ‘ulama yang menolak hadits tersebut?

Para ulama hadits juga berbeda pendapat dalam hal faedah yang dihasilkan oleh hadits ahad. Sebagian berpendapat; hadits ahad menghasilkan keyakinan dan layak untuk mengitsbatkan perkara-perkara aqidah, dan sebagian lain berpendapat hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan dan tidak sah dijadikan hujjah untuk membangun masalah-masalah aqidah.

Demikianlah, para ulama hadits berbeda pendapat dalam berbagai macam aspek yang menyangkut ilmu hadits. Perbedaan ini merupakan kekayaan khazanah ilmu yang begitu luas dan mendalam bagi kaum Muslim. Hanya orang-orang kerdil dan berhati dangkal yang tidak mampu menyelami keluasaan dan kedalaman khazanah keilmuan di dalam Islam. Hal ini juga membuktikan kepada kita semua bahwa, perbedaan pendapat dalam hal "apakah hadits ahad menghasilkan keyakinan atau tidak" merupakan perbedaan pendapat yang lazim dan diakui dalam Islam. Meskipun, pendapat yang menyatakan bahwa hadits ahad hanya menghasilkan dzann belaka dan tidak absah membangun perkara-perkara aqidah adalah pendapat rajih, namun, kita tidak boleh menyesatkan apalagi sampai mengkafirkan saudara-saudara kita yang memiliki pendapat wajibnya membangun perkara-perkara aqidah dengan hadits ahad.

Page 58: HADITS AHAD

BAB VIPERSEPSI SALAH

YANG HARUS DILURUSKAN

Syubhat Pertama; Rasulullah Mengutus Utusan Seorang DiriRasulullah saw mengutus seorang utusan untuk menyampaikan Islam –baik

masalah ‘aqidah dan hukum— kepada kabilah-kabilah Arab dan para raja; lalu, apakah diutusnya seorang atau beberapa orang shahabat di wilayah-wilayah Islam, baik untuk mengajarkan masalah ‘aqidah maupun hukum syara’, menunjukkan bahwa hadits ahad bisa digunakan sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dibedakan terlebih dahulu antara itsbat khabar (penetapan berita), khabar (berita), dengan tabligh khabar (menyampaikan berita), syahadah (kesaksian).

Itsbat adalah penetapan suatu berita dari sisi, apakah berita itu benar-benar qath’iy (pasti) berasal dari sumber asal berita, ataukah tidak pasti. Contohnya, dalam al-Sunan terdapat hadits yang diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya dari anggur itu bisa dibuat khamer, dan dari kurma itu bisa dibuat khamer, dari madu itu bisa dibuat khamer, dari gandum itu bisa dibikin khamer dan dari biji syair itupun bisa dibuat khamer.” Yang dimaksudkan itsbat khabar, adalah penetapan apakah khabar yang dibawa oleh Nu’man bin Basyir benar-benar pasti (qath’iy) berasal dari Rasulullah saw, atau tidak? Bila berita itu bisa dibuktikan benar-benar berasal dari Rasulullah saw, karena periwayatannya mutawatir, maka dari sisi itsbat berita tersebut adalah qath’iy berasal dari Rasulullah saw. Contoh lain adalah al-Quran al-Karim. Apakah al-Quran yang dibukukan dalam mushhaf ‘Utsmani itu benar-benar pasti berasal dari Rasulullah saw, ataukah tidak pasti? Jika ia bisa dibuktikan memang benar-benar berasal dari Rasulullah saw, maka al-Quran tersebut adalah pasti berasal dari Rasulullah saw. Inilah yang disebut dengan itsbat. Namun, jika berita tersebut tidak bisa dipastikan berasal dari Nabi saw, karena periwayatannya tidak mutawatir, maka hadits itu masih mengandung syubhat.

Khabar adalah, berita, informasi yang dibawa oleh seseorang. Khabar bisa meliputi masalah ‘aqidah ataupun hukum syara’. Pada hadits di atas, yang disebut khabar adalah matan hadits itu sendiri, yakni, “Sesungguhnya dari anggur itu bisa dibuat khamer, dan dari kurma itu bisa dibuat khamer, dari madu itu bisa dibuat khamer, dari gandum itu bisa dibikin khamer dan dari biji syair itupun bisa dibuat khamer”.

Kesaksian (syahadah) adalah penyampaian khabar (berita) oleh saksi di hadapan qadliy di dalam majelis peradilan. Kesaksian ini ditetapkan berdasarkan syarat-syarat tertentu. Kesaksian dianggap batal bila tidak memenuhi nishab kesaksian. Misalnya, kesaksian dalam masalah perzinaan nishabnya adalah empat orang. Jika kurang dari empat orang saksi (laki-laki) maka kesaksiannya ditolak. Dalam ru’yatul hilal, saksi cukup satu orang saja. Untuk masalah mu’amalah disyaratkan dua orang saksi. Atas dasar itu, kesaksian (syahadah) berbeda dengan periwayatan maupun tabligh. Pasalnya, periwayatan maupun tabligh tidak mensyaratkan jumlah tertentu agar periwayatan dan tabligh itu bisa diterima. Sedangkan dalam hal kesaksian, kesaksian baru diterima jika telah memenuhi syarat jumlah dan keadilan perawi.

Adapun mengenai masalah tabligh, sesungguhnya, dalam tabligh tidak disyaratkan jumlah tertentu. Satu orang dianggap sah untuk mentablighkan Islam, baik menyangkut masalah ‘aqidah maupun hukum syara’.

Page 59: HADITS AHAD

Tabligh khabar adalah menyampaikan informasi kepada orang lain. Misalnya, ada informasi tentang kecelakaan lalu lintas. Kemudian anda menyampaikan informasi ini kepada orang lain yang jauh dari lokasi kecelakaan dan tidak melihat secara langsung peristiwa kecelakaan tersebut. Aktivitas menyampaikan informasi kepada orang lain ini disebut dengan tabligh khabar. Misalnya, Ali ra menyampaikan surat al-Taubah kepada penduduk Yaman. Apa yang dilakukan oleh ‘Ali ra tersebut termasuk bagian dari tabligh khabar.

Tabligh berbeda dengan istbat khabar. Tablig adalah menyampaikan khabar tanpa memandang shahih atau tidaknya berita yang disampaikan, dan juga tidak disyaratkan jumlah tertentu (sebagaimana kesaksian). Tabligh akan terjadi hingga akhir masa. Penetapan sebuah berita (itsbat) apakah mutawatir atau tidak sudah selesai, dan hanya terjadi pada thabaqat pertama, kedua, dan ketiga (masa shahabat, tabi’un dan tabi’ut tabi’in). Memang benar, Rasulullah saw telah mengutus seorang shahabat atau beberapa orang shahabat untuk menyampaikan Islam kepada sekelompok masyarakat, dan raja-raja. Rasulullah saw juga pernah mengutus ‘Ali ra untuk membacakan surat Taubah kepada sekelompok masyarakat. Riwayat-riwayat semacam ini jumlahnya sangatlah banyak.

Akan tetapi, riwayat ini hanya menunjukkan diterimanya khabar ahad dalam masalah tabligh. Baik tabligh yang berhubungan dengan ‘aqidah maupun hukum. Akan tetapi, riwayat-riwayat semacam ini tidak menunjukkan diterimanya khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah. Tidak boleh dikatakan bahwa penerimaan terhadap tabligh Islam sama juga artinya dengan menerima khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah. Tidak bisa dinyatakan seperti itu, sebab, penerimaan terhadap tabligh Islam berbeda dengan penerimaan khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah.

Buktinya, muballigh (orang yang menyampaikan berita) harus bisa membuktikan dengan akalnya bahwa apa yang ia sampaikan itu benar-benar menyakinkan. Jika berita yang dibawa itu benar-benar menyakinkan (qath’iy), muballigh harus menyakini berita yang dibawanya itu, dan dianggap kafir jika ia tidak menyakini berita yang telah nyata-nyata qath’iy itu. Ini menunjukkan bahwa khabar yang dibawa oleh muballigh harus melalui proses itsbat terlebih dahulu. Artinya ia harus melakukan proses itsbat terlebih dahulu sebelum ia menyampaikan berita kepada masyarakat. Ini berbeda dengan orang yang menerima tabligh. Ia bisa menolak khabar yang dibawa oleh seseorang, sama saja apakah khabar itu berkaitan dengan masalah ‘aqidah atau hukum. Penolakan dirinya terhadap tabligh khabar tentang Islam tidak dianggap sebagai kekafiran. Akan tetapi jika ia menolak Islam yang telah ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti (qath’iy), hal semacam inilah yang bisa dianggap sebagai tindak kekufuran. Sebab, para shahabat ra terbiasa melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap berita yang mereka terima. Shahabat ‘Umar ra pernah menolak penyampaian khabar dari Hafshah ra. 'Aisyah ra juga menolak hadits yang menyatakan bahwa mayit akan disiksa karena ratapan.

Para ‘ulama hadits juga telah mengamalkan hal ini. Sebagian ‘ulama hadits menolak riwayat yang oleh ‘ulama hadits lainnya dianggap sebagai hadits yang shahih. Riwayat yang dishahihkan oleh sebagian ‘ulama belum tentu dishahihkan oleh ‘ulama yang lain. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, kadang-kadang dilemahkan atau ditolak oleh sebagian ahli hadits lain. Contohnya adalah, Imam Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amru bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Kaum mukmin itu saling menanggung darahnya” Perawi hadits ini, ‘Amru bin Syu’aib mendapatkan hadits ini dari bapaknya dan dari kakeknya. Sebagian ‘ulama hadits menerima haditsnya sebagian lagi menolaknya. Imam Tirmidziy berkata, “Mohammad Isma’il berkata, “Saya melihat bahwa Ahmad, Ishaq menerima haditsnya ‘Amru bin Syu’aib sebagai hujjah.” ‘Ali bin Abi ‘Abdillah bin al-Madani

Page 60: HADITS AHAD

berkata, “Yahya bin Sa’id berkata, “Menurut kami hadits ‘Amru bin Syu’aib adalah hadits yang lemah.”

Contoh lain adalah, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Ahmad, al-Nasaa’iy, Ibnu Majah, dan Tirmidziy dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, kami tengah berlayar di lautan, sedangkan bekal air (tawar) kami sangat sedikit. Jika kami berwudlu’ dengan bekal air kami, maka kami akan kehausan, Apakah kami boleh berwudlu’ dengan air laut? Rasulullah saw menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya halal.” Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidziy dari Imam Bukhari, sedangkan ia menshahihkannya. Ibnu ‘Abdi al-Barr dan Ibnu Mundzir juga menshahihkan hadits ini. Ibnu al-Asiir dalam Syarh al-Musnad menyatakan, “Ini adalah hadits shahih dan masyhur, dan diriwayatkan oleh para ‘ulama dalam kitab-kitab mereka. Mereka menggunakan hadits ini sebagai hujjah. Rijalnya juga tsiqat (terpercaya). Imam Syafi’iy tatkala mengomentari isnad hadits ini ia berkata, “Ia termasuk orang yang tidak saya ketahui.”

Dalam kitab Tanaaqudlaat, juga disebutkan, bahwa Nashiruddin al-Albani telah menolak (melemahkan) hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sebagian ahli hadits.

Bila penolakan terhadap tabligh riwayat ahad [ telah dibuktikan bahwa ia adalah riwayat ahad], dianggap kekufuran, betapa para ‘ulama sekaliber Imam Syafi’iy, Abu Daud, Tirmidziy, serta ‘ulama-‘ulama lain telah kafir seluruhnya. Atau apakah anda akan menyatakan bahwa Nashiruddin al-Albani telah kafir karena menolak khabar ahad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, serta Imam-imam ahli Hadits lainnya? Alasannya, karena ia telah menolak tabligh khabar ahad dari perawi-perawi yang lain. Apakah anda berani mengkafirkan ‘ulama-‘ulama besar tersebut, hanya karena mereka menolak riwayat-riwayat ahad!

Ini membuktikan bahwa penolakan terhadap tabligh khabar tidak berujung kepada kekafiran. Akan tetapi menolak tabligh Islam, yang khabarnya telah dibuktikan kepastiannya [itsbatnya qath’iy], misalnya al-Quran, dan Kenabian Mohammad saw, serta hadits-hadits mutawatir, bisa menjatuhkan seseorang dalam kekafiran!! Orang yang menolak al-Quran yang telah nyata-nyata dibuktikan berdasarkan bukti-bukti yang menyakinkan, maka dirinya telah keluar dari Islam tanpa ada khilaf. Artinya, jika sebuah berita telah ditetapkan (berdasarkan proses itsbat (penetapan)) sebagai berita yang menyakinkan (qath’iy) berasal dari Rasulullah saw, maka menolak berita semacam ini bisa menjatuhkan seseorang ke dalam kekafiran. Jumhur ‘ulama telah menetapkan bahwa hanya berita mutawatir saja yang menghasilkan keyakinan, dari sisi itsbat. Berita ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan (keraguan).

Adapun masalah menjadikan hadits ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah itu adalah masalah lain. Bila ‘aqidah harus didasarkan kepada dalil yang menyakinkan, maka dalil-dalil yang membangun ‘aqidah pun harus qath’iy dan menyakinkan, baik dari sisi sumber dan dilalahnya. Bila ‘aqidah harus menyakinkan dan tidak boleh meragukan, maka dalil yang bisa membangunnya haruslah dalil yang bersifat menyakinkan. Iman semacam ini tidak mungkin diwujudkan dengan dalil-dalil yang bersifat dzanniyyah seperti halnya hadits ahad.

Adapun kenyataan bahwa umat Islam telah "menyakini" riwayat-riwayat ahad yang bertutur tentang siksa kubur, melihat Allah, dan lain sebagainya, sesungguhnya "keyakinan tersebut" bukan berasal dari ilmu dlaruriy (keyakinan pasti), akan tetapi berasal dari kepuasaan dan ketentraman hati untuk menerima berita tersebut. Imam Sarkhasiy menjelaskan, "Hanya saja kami perlu nyatakan

Page 61: HADITS AHAD

bahwa, sesungguhnya, orang yang menyatakan pendapat itu144, tidak bisa membedakan antara ketentraman dan ketenangan hati dengan ilmu yakin (keyakinan pasti). Sesungguhnya, selama masih ada kemungkinan dusta pada sebuah berita yang tidak terjaga, maka berita itu (berita orang yang adil) tidak mungkin diingkari, meskipun di dalamnya ada keraguan (syubhat). Sedangkan ihtimal (kemungkinan) tidak bisa menetapkan keyakinan. Ihtimaal hanya bisa menetapkan ketentraman dan ketenangan hati karena adanya sisi kebenaran yang lebih menonjol. Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan bahwa hadits masyhur tidak bisa menetapkan keyakinan pasti (ilmu yaqiin), apa lagi khabar ahad. Ketenangan dan ketentraman hati termasuk jenis keyakinan jika ditinjau dari sisi dzahirnya, dan inilah maksud sabda Nabi saw, "Lalu, beritahulah mereka". Atas dasar itu, seseorang boleh beramal dengan anggapannya, sebagaimana bolehnya beramal pada kasus menghadap kiblat di saat ada keraguan145. Sedangkan ketidaktahuannya telah dieleminasi karena sisi kebenaran berita itu lebih kuat, disebabkan karena hadirnya keadilan perawi. Ini berbeda dengan beritanya orang fasik. Berita orang fasik masih mengandung kontradiksi yang salah satu sisinya tidak bisa dikuatkan146. Adapun riwayat-riwayat (atsar) yang menuturkan tentang siksa kubur dan lain sebagainya; sesungguhnya sebagian riwayat itu ada yang masyhur dan sebagian lagi riwayat ahad. Dan sesungguhnya, riwayat-riwayat ini telah mengharuskan hati untuk mengikatkan dirinya pada perkara-perkara tersebut. Sedangkan pengetahuan mengenai wajibnya hati mengikatkan diri kepada suatu perkara, kedudukannya sama dengan pengetahuan terhadap suatu amal atau sesuatu yang lebih penting. Hanya saja, semua ini tidak muncul dari ilmu dlaruriy (ilmu kepastian). Pasalnya, Allah swt berfirman, "Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan".[TQS An Naml (27):14]. Allah swt juga berfirman, "Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui".[TQS Al Baqarah (2):146]. Ayat di atas menjelaskan bahwa, mereka

144 Orang yang berpendapat bahwa hadits ahad harus dijadikan hujjah dalam perkara aqidah beralasan bahwa, umat telah menyakini riwayat ahad yang bertutur tentang siksa kubur, melihat Allah, dan lain sebagainya. Jika riwayat-riwayat ahad ini tidak bisa menetapkan 'aqidah, tentunya ini akan bertentangan dengan realitas umat telah menyakini riwauyat-riwayat tersebut.

145 Yg dimaksud dengan ketenangan dan ketentraman hati adalah prasangka kuat yang bisa menumbuhkan perasaan tenang dan tentram di dalam hati, karena sisi kebenaran yang dikandung oleh suatu berita lebih kuat dibandingkan kedustaannya. Prasangka kuat ini muncul karena hadirnya keadilan orang yang membawa berita tersebut. Keadaan ini sama persis dengan kasus menghadap kiblat ketika seorang musholliy ragu-ragu tentang arah kiblat. Ia boleh menghadap ke arah yang dianggapnya lebih benar, dan menentramkan hatinya; walaupun ia sendiri tidak bisa memastikan kebenaran arah kiblat yang dipilihnya. Sesungguhnya, khabar ahad jika telanjur diyakini, sesungguhnya keyakinan ini muncul dari ketenangan dan ketentraman hati, bukan muncul dari ilmu yakin (keyakinan yang pasti). Atas dasar itu, khabar ahad tidak bisa menghasilkan ilmu yakin (keyakinan hati). Akan tetapi, ia bisa menetapkan dan menghasilkan ketenangan dan ketentraman hati.

146 Berita yang disampaikan oleh orang fasik mengandung dua sisi yang saling kontradiksi, benar atau dusta. Hanya saja, salah satu sisi itu tidak bisa dikuatkan salah satunya, apakah sisi dustanya ataukah sisi benarnya yang lebih kuat. Akibatnya, seseorang tidak bisa memilih mana yang lebih kuat, dustanya atau kebenarannya. Atas dasar itu, berita orang fasik tidak bisa menghadirkan ketenangan dan ketentraman hati karena kefasikan orang yang membawa berita itu.

Page 62: HADITS AHAD

(orang-orang kafir) meninggalkan keyakinan hati yang telah terbukti kebenarannya, sesudah ada pengetahuan terhadapnya. Semua ini menunjukkan bahwa, atsar-atsar (riwayat-riwayat) tersebut tidak terlepas dari makna "wajibnya mengamalkan hadits-hadits tersebut".147

Syubhat Kedua; Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Perkara ‘Aqidah = Tidak Pernah Dikatakan oleh ‘Ulama Salaf

Pendapat semacam ini adalah pendapat premature yang tidak bisa diterima akal sehat. Sebab, pembahasan semacam ini –hadits ahad menghasilkan keyakinan atau tidak—termasuk dalam pembahasan ushul dan pondasi bagi kaedah-kaedah fiqhiyyah. Padahal ilmu ushul fiqh, ilmu mushthalah hadits, ilmu nahwu, sharaf, balaghah, dan seterusnya adalah ilmu yang dibuat setelah periode ‘ulama salaf. Lalu, apakah anda akan menolak ilmu-ilmu ini, hanya dengan alasan karena tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf?

Kita harus memahami terlebih dahulu definisi salaf, tatkala kita menyinggung ‘aqidah salaf dan hal-hal yang mereka pegangi. Jika yang dimaksudkan generasi salaf adalah sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, dan kemudian generasi berikutnya”, maka tidak secara otomatis pendapat yang bertentangan dengan pendapat ulama salaf, atau yang tidak pernah dikatakan oleh mereka terkategori bid’ah dan sesat. Jika anda konsisten untuk memegang ‘aqidah salaf dan hukum yang digali salaf, sedangkan pendapat ulama lain yang tidak termasuk salaf adalah pendapat yang tidak benar dan bid’ah, atau tidak boleh diikuti –karena mereka bukan ulama salaf--, lalu bagaimana komentar anda tentang ilmu ushul fiqh yang digagas pertama kali oleh Imam Syafi’iy. Bukankah beliau adalah orang yang pertama kali meletakkan landasan ilmu ushul fiqh melalui bukunya yang sangat masyhur, al-Risalah? Selain itu, bukankah beliau hidup setelah masa tiga masa itu; dan bukankah beliau tidak termasuk tabi’in, maupun tabi’ut tabi’in? Apakah anda akan mengatakan bahwa yang diperbuat imam Syafi’i itu bid’ah karena tidak pernah dibicarakan oleh ulama salaf? Seandainya merujuk hanya kepada ulama salaf sebuah keharusan, sedangkan yang lain harus ditinggalkan, mengapa anda memakai kitab Shahih Bukhari dan Muslim? Bukankah keduanya dibukukan setelah periode salaf ? Apakah anda menyatakan bahwa Imam Bukhari dan Muslim melakukan tindakan bid’ah?

Oleh karena itu, masalahnya bukan apakah suatu pendapat telah dikemukakan dan dibicarakan oleh ulama salaf atau belum, maupun apakah pendapat itu sesuai dengan ‘ulama salaf atau tidak. Masalah yang terpenting adalah apakah sebuah pendapat sejalan dengan al-Quran dan Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas? Kita tidak perlu menyatakan apakah pendapat itu diketengahkan oleh ulama salaf atau tidak. Pasalnya, pendapat ulama salaf bukanlah dalil syariat. Bahkan, pendapat shahabat bukanlah dalil syariat bagi kita, bahkan bisa jadi pendapat mereka salah. Oleh karena itu, yang menjadi tolok ukur adalah kebenarannya sendiri, bukan dikatakan ulama salaf atau tidak. Sebab, ulama salaf tidaklah ma’shum, dan dalil syariat hanyalah al-Quran, Sunnah, Ijma' Shahabat, dan Qiyas.

Di sisi yang lain, ijtihad untuk menggali hukum dari al-Quran dan Sunnah harus dilakukan hingga akhir jaman. Padahal, ada masalah-masalah maupun kejadian-kejadian yang tidak dijumpai di generasi salaf; namun, kita tetap harus

147 Imam Sarkhasiy, Ushuul al-Sarkhasiy, juz 1, hal. 329-330. Dari keterangan beliau ini dapat disimpulkan bahwa riwayat-riwayat ahad yang bertutur tentang siksa kubur, melihat Allah, dan lain sebagainya tidak menghasilkan ilmu dlaruriy. Apabila selama ini umat menyakini dan qana'ah dengan riwayat-riwayat itu, sesungguhnya semua ini tidak muncul dari ilmu dlaruriy, akan tetapi muncul dari ketenangan dan ketentraman hati karena riwayat-riwayat itu dituturkan oleh perawi adil. Hanya saja, keimanan dan aqidah harus disangga oleh dalil-dalil yang menghasilkan ilmu dlaruriy.

Page 63: HADITS AHAD

menggali hukum untuk masalah-masalah tersebut berdasarkan nash-nash al-Quran dan Sunnah, dan metodologi istinbath yang shahih.

Syubhat Ketiga; Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Masalah ‘Aqidah = Menolak Hadits Ahad

Ini adalah kesimpulan premature yang menunjukkan ketidaktahuan dirinya mengenai ushul fiqh.

Hadits ahad yang tsiqat dan terpercaya wajib diamalkan, dan bisa digunakan hujjah dalam perkara syari’at (amal). Sedangkan dalam perkara ‘aqidah, yang membutuhkan keyakinan (ilmu) , maka hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah di dalamnya. Sebab, 'aqidah mensyaratkan adanya keimanan dan keyakinan pasti seratus persen tanpa ada syubhat ataupun kesamaran. Sedangkan hadits ahad masih mengandung syubhat dan kesamaran. Walhasil, jika iman mengharuskan adanya keyakinan, maka keimanan (‘aqidah) tidak mungkin dibangun dengan hadits ahad yang masih mengandung kesamaran.

Lalu mereka mengeluarkan sebuah statement,” Kalau anda tidak menjadikan hadits ahad sebagai hujjah dalam perkara ‘aqidah, mengapa anda mesti mengerjakannya? Bukankah ini berarti bahwa apa yang anda kerjakan tidak didasarkan pada keyakinan atau iman? Padahal, bukankah kita diperintah untuk mengerjakan perbuatan apapun atas landasan iman?

Benar, kita harus mengerjakan perbuatan apapun karena keimanan kita. Kita tidak boleh mengerjakan perbuatan bukan karena motivasi iman. Namun, masalah ini (perbuatan yang harus berlandaskan motivasi iman) harus dibedakan dengan berhujjah dengan dalil ahad dalam masalah ‘aqidah. Dalil dalam masalah amal (perbuatan) tidak disyaratkan harus menyakinkan dan pasti. Syariat telah menggariskan bahwa, dalam perkara amal, Allah dan Rasulnya mencukupkan kepada kita untuk bersandar dengan dalil-dalil yang dzan baik dilalah maupun tsubutnya. Syariat tidak mensyaratkan bahwa, amal harus dibangun di atas dalil-dalil yang menyakinkan. Ini semua menunjukkan; tatkala kami beramal menggunakan hadits ahad dibarengi dengan sebuah keyakinan (keimanan) bahwa Allah dan RasulNya memang membolehkan kita untuk beramal dengan dalil-dalil dzan (hadits ahad). Namun, Allah melarang kita menggunakan dalil-dalil dzan (hadits ahad) untuk membangun pokok ‘aqidah.

Atas dasar itu, ketika kami beramal dengan hadits ahad sama sekali tidak berarti bahwa, kami mengerjakan perbuatan tersebut tidak didasarkan pada motivasi iman.

Perhatikan juga contoh berikut ini. Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata “menyentuh” pada ayat tentang bersuci. Sebagian ulama –madzhab Syafi’iy— berpendapat bahwa kata “menyentuh” di ayat tersebut diartikan secara hakiki. Artinya, jika orang yang telah berwudlu’ menyentuh wanita, maka batallah wudlu’nya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa kata menyentuh di situ bermakna “bersetubuh”. Walhasil, menurut Imam Malik, seseorang tidak batal wudlu’nya bila menyentuh wanita, kecuali jika ia telah menyetubuhinya. Sesungguhnya, orang yang berpegang kepada pendapat pertama bersandar kepada dalil yang dilalahnya dzanniy; begitu pula orang yang memegang pendapat kedua. Dengan kata lain, sesungguhnya mereka berbuat berdasarkan prasangka kuatnya (dzan) dan tidak berdasarkan dilalah yang menyakinkan. Namun demikian, tidak boleh disimpulkan bahwa kedua orang itu beramal tanpa dengan motivasi dan landasan iman.

Jadi tidak benar, ketika kami mengerjakan sebuah perbuatan yang didasarkan pada hadits ahad tidak dibarengi dengan keimanan. Yang benar adalah,sesungguhnya kami menyakini bahwa, Allah swt dan RasulNya membolehkan kami beramal dengan bersandar kepada hadits ahad.

Page 64: HADITS AHAD

Perhatikan riwayat berikut ini, dari Ummu Salamah, Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa masalah-masalah yang kalian perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang hujjahnya sangat memukau dari pada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara ada hak bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi dirinya itu merupakan bagian dari api neraka"148.

Ini menunjukkan bahwa tatkala Rasulullah menjatuhkan vonis, beliau tidak menyandarkan pada dalil (bukti) yang menyakinkan. Sebab, kesaksian yang disampaikan kepada beliau tidak menyakinkan dari sisi beliau saw . Bahkan beliau menyatakan bahwa vonis beliau bisa jadi salah. Akan tetapi, beliau tetap menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian yang beliau anggap kuat (ghalabat dzan). Beliau menjatuhkan saksi bukan karena dalil (bukti) yang menyakinkan. Sedangkan penjatuhan vonis termasuk bagian dari amal. Ini menunjukkan bahwa amal tidak harus disandarkan dengan dalil yang qath’iy.

Lalu, apakah anda akan mengatakan, bagaimana Rasulullah bisa menjatuhkan vonis sedangkan dalil yang membangun vonis tersebut tidak menyakinkan? Apakah anda akan menyimpulkan bahwa Rasulullah saw mengerjakan suatu perbuatan namun tidak didasarkan pada keimanannya?

Untuk itu, kami tidak mengingkari atau menolak hadits ahad. Sebab, mengingkari hadits ahad sama dengan mengingkari orang yang adil. Akan tetapi, ada dalil lain yang menunjukkan bahwa, Al-Quran telah melarang kita mengambil dalil-dalil dzan dalam perkara ‘aqidah. Sedangkan dalam masalah-masalah hukum (amal), hadits ahad wajib untuk diamalkan dan sah digunakan sebagai hujjah.

Demikianlah, kami telah menjelaskan kepada anda dengan penjelasan yang jelas dan gamblang. Seluruh penjelasan di atas telah menjelaskan bahwa hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Pendapat ini merupakan pendapat terkuat yang wajib untuk diikuti. Siapa saja yang menolak perkara ini sungguh ia telah merendahkan akal pikirannya sendiri. Semoga Allah menyadarkan orang-orang yang bebal, dan menunjukkan orang-orang yang ragu.

Wahai kaum Muslim, berhati-hatilah kalian dalam perkara ‘aqidah ini. Sebab, ‘aqidah yang bersih menjadi jaminan keselamatan kita. ‘Aqidah bersih yang sanggup memurnikan dan mensucikan ‘aqidah Islam hanya akan tegak dengan hujjah yang kuat dan menyakinkan.

148 HR. Muttafaq ‘Alaih

Page 65: HADITS AHAD

BAB VIISIKSA KUBUR

Adanya siksa kubur banyak disebutkan di dalam sunnah. Akan tetapi, juga banyak ayat di dalam al-Quran yang menunjukkan tidak adanya siksa sebelum hari kiamat. Misalnya firman Allah swt, artinya,

"Dan janganlah sekali-kali kamu (Mohammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata mereka terbelalak." (Ibrahim:42).

"Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa, "mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat saja". Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran)." (al-Ruum:55)

"Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka berkata, "Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)? Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-RasulNya." (Yasiin:51-52).

Ayat-ayat ini menunjukkan dengan jelas tidak adanya siksa sebelum hari kiamat. Meskipun demikian, di dalam sunnah banyak dituturkan tentang adanya siksa kubur, bahkan sebagian ahli hadits menyatakan bahwa hadits-hadits tentang siksa kubur mencapai derajat mutawatir maknawiy.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa, ada nash yang menyatakan adanya siksa kubur, sedangkan nash yang lain menafikan adanya siksa sebelum hari kiamat. Bila dipandang sekilas, kedua kelompok nash-nash ini saling bertentangan satu dengan yang lain. Lalu, bagaimana kita mengkompromikan nash-nash yang bertentangan tersebut?

Pada dasarnya, wahyu dari Allah swt tidak mungkin saling bertentangan. Atas dasar itu, pertentangan-pertentangan yang terdapat di dalam nash tidak boleh dipandang sebagai pertentangan yang tidak mungkin dikompromikan, akan tetapi harus diupayakan untuk dikompromikan untuk menyelamatkan nash dari pertentangan. Allah swt telah berfirman, artinya:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran? Kalau sekiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allah swt, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”[al-Nisaa’:82]

Benar, banyak hadits menuturkan tentang siksa kubur. Beberapa ayat al-Quran juga mengisyaratkan adanya siksa kubur. Namun demikian, ayat-ayat tersebut dilalahnya (penunjukkannya) tidak qath'iy. Kami akan mengetengahkan sebagian ayat tersebut. Allah swt berfirman, artinya,

"Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46)

"Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu, dalam kehidupan dunia dan di akherat." (Ibrahiim:27)

"Kalau kamu melihat ketika pada malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata),"Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar," (tentulah kamu akan merasa negeri). (al-Anfaal:50)

Page 66: HADITS AHAD

Ayat terakhir surat al-Anfaal ini dalalahnya qath'iy, bahwa malaikat menyiksa orang kafir saat mencabut nyawa mereka. Ayat seperti itu juga disebutkan dalam surat Mohammad, "Bagaimanakah keadaan mereka apabila para malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? (Mohammad:27). Juga dalam surat al-An'am, "Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang dzalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, sambil berkata, "Keluarkanlah nyawamu" (al-An'aam:93).

Ayat-ayat di atas tidak menunjukkan adanya siksa kubur, namun menunjukkan adanya siksa menjelang kematian. Ayat-ayat semacam ini tidak menunjukkan secara pasti (qath’iy) tentang adanya siksa kubur, akan tetapi hanya menunjukkan adanya siksa menjelang kematian. Karena dilalahnya tidak qath’iy, ayat-ayat ini tidak boleh dijadikan dalil untuk menyakini adanya siksa kubur. Sebab, keyakinan harus didasarkan kepada nash-nash yang dilalahnya pasti (qath’iy)149.

Penjelasan Mengenai Surat al-Ghafir : 46 & Ibrahim:27 dan Jalan Komprominya

Surat al-Ghafir ayat 46 dan surat Ibrahim ayat 27 adalah surat Makkiyah. Dalam shahih Bukhari dan Muslim, Musnad Ahmad dituturkan dengan sangat jelas, bahwa Rasulullah saw tidak mengetahui siksa kubur kecuali ketika di Medinah. Itupun pada saat terakhir ketika terjadi gerhana matahari, dan kematian puteranya Ibrahim. Disebutkan dalam shahih Bukhari, "Dari 'Amrah binti 'Abd al-Rahman dari 'Aisyah isteri Nabi saw, bahwa orang-orang Yahudi bertanya kepada 'Aisyah. Kemudian 'Aisyah bertanya kepada mereka, "Apakah kamu berlindung kepada Allah dari siksa kubur? Kemudian 'Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw, "Apakah manusia akan disiksa di dalam kuburnya? Rasulullah saw menjawab, "Berlindunglah kepada Allah dari hal itu!" (Fath al-Baariy, juz.2, hal.431).

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan isnad atas syarat Bukhari dari Sa'id bin 'Amru bin Sa'id al-Amwiy dari 'Aisyah ra, "Orang-orang Yahudi ingin melayani 'Aisyah, akan tetapi mereka tidak mendapat kebaikan apapun dari 'Aisyah, kecuali mereka bertanya kepada 'Aisyah, "Apakah kamu berlindung kepada Allah dari siksa kubur?" 'Aisyah berkata, "Saya kemudian bertanya kepada Rasulullah saw, "Wahai Rasulullah apakah di dalam kubur ada siksa? Rasul menjawab, "Dustalah orang Yahudi!" Tidak ada siksa kecuali pada hari Kiamat. Kemudian beliau diam. Setelah itu atas kehendak Allah tetap diam. Kemudian pada suatu hari, yaitu ketika tengah hari, beliau menyeru dengan suara yang tinggi, "Wahai manusia mohonlah kepada Allah dari siksa kubur. Sesungguhnya siksa kubur adalah haq".

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan Ibnu Syihaab dari 'Urwah dari 'Aisyah ra berkata, "Seorang wanita Yahudi mendatangiku ('Aisyah) dan bertanya, "Apakah kamu merasa bahwa kamu akan disiksa di dalam kubur? Kemudian Aisyah datang kepada Rasulullah saw dan berkata, "Sesungguhnya orang Yahudi disiksa (di dalam kubur), kemudian 'Aisyah berkata, "Kemudian Rasulullah diam selama satu malam.kemudian berkata. "Apakah kamu merasa, bahwa telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan disiksa dalam kubur?" 'Aisyah berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw berlindung dari siksa kubur."

Allah swt berfirman, "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu, dalam kehidupan dunia dan di akherat." (Ibrahiim:27). Ini adalah surat Makiyyah yang mengisyaratkan adanya siksa kubur.

Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini berkata, "Bukhari berkata, hadatsana....dari Bara' bin 'Aazib ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Seorang Muslim bila ditanya di dalam kubur akan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah

149 Prof Mahmud Syaltut, Islaam, ‘Aqidah wa Syarii’ah, hal.61-63

Page 67: HADITS AHAD

dan Mohammad Utusan Allah.” Ini senada dengan firman Allah, artinya, "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu, dalam kehidupan dunia dan di akherat." (Ibrahiim:27). Imam Muslim juga meriwayatkan hadits, dan sebagian Jama'ah. “ Walhasil, sebagian ‘ulama tafsir telah menyatakan, bahwa surat Ibrahim ayat 27 ini mengisyaratkan adanya siksa kubur. Namun, kesimpulan ini disandarkan dari mafhum bukan manthuq ayat tersebut --Ibrahim ayat 27.

Pada ayat lain, Allah swt telah berfirman, artinya, "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46)

Imam Ibnu Katsir berkata, "Ayat ini adalah ayat paling asal, yang digunakan istidlal oleh ahlu sunnah tentang adanya siksa barzakh di dalam kubur.” Selanjutnya, Ibnu Kastir berkata,"Tidak ragu lagi bahwa ayat ini adalah ayat Makiyyah".

Kita bisa mengajukan pertanyaan kritis atas tafsir kedua surat di atas –surat Ibrahim;27 dan al-Ghafir:46. Bagaimana mungkin dua ayat ini bisa digunakan dalil untuk menunjukkan adanya siksa kubur, padahal ayat-ayat ini turun di Mekah sebelum hijrah? Sedangkan Rasulullah saw tidak mengetahui siksa kubur kecuali setelah beliau berada di Medinah dan saat-saat akhir beliau? Ayat itu tidak mungkin berbicara tentang siksa kubur, sebab Rasulullah saw tatkala di Mekah belum mengetahui tentang adanya siksa kubur. Beliau mengetahui siksa kubur setelah berada di Medinah. Lalu, bagaimana jalan komprominya? Para ‘ulama berusaha memecahkan persoalan ini dengan berbagai macam pendekatan.

Imam Ibnu Katsir berupaya untuk menjawab persoalan ini, dengan menyatakan,”Jawabnya adalah, surat al-Ghafir:46 ini, "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat.", menunjukkan, bahwa siksa neraka akan ditampakkan kepada arwah pada saat pagi dan petang di alam barzakh. Ayat ini tidak menunjukkan siksa atas jasadnya di dalam kubur. Sebab yang demikian itu dikhususkan untuk ruh. Adapun yang terjadi pada jasad di dalam barzakh dan penyiksaannya, tidak ditunjukkan oleh ayat tersebut, namun ditunjukkan dalam sunnah”. Kemudian beliau menyambung, "Ada yang menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan penyiksaan terhadap orang kafir di barzakh, akan tetapi, ayat itu tidak berhubungan dengan siksa bagi kaum Muslimin atas dosa-dosanya di dalam kuburnya.”

Imam Ibnu Hajar juga berupaya memecahkan persoalan itu sebagai berikut, "Sungguh hal ini sangat sulit, sebab surat Ibrahim :27 dan al-Ghafir:46 adalah surat Makiyah. Pemecahannya adalah sebagai berikut,” Adanya siksa kubur lebih tepat diambil dari jalan mafhum (kontekstual). Surat Makiyah itu menunjukkan, bahwa siksa kubur adalah siksa kubur yang ditujukan bagi orang yang tidak memiliki iman. Manthuq (tekstual) pada surat al-Ghafir:46, menunjukkan bahwa siksa kubur tersebut akan ditujukan kepada Fir'aun dan pengikutnya, serta bagi orang yang termasuk dalam golongan orang-orang kafir. Sedangkan yang diingkari oleh Rasulullah saw –dalam hadits riwayat ‘Aisyah-- adalah terjadinya siksa kubur atas orang-orang yang mentauhidkan Allah. Selanjutnya, Rasulullah saw mengetahui bahwa siksa kubur itu bisa terjadi pada orang yang dikehendaki oleh Allah dari golongan orang mukmin. Kemudian Rasulullah saw menetapkannya, mengingatkan akan adanya siksa kubur, dan menyampaikan agar berlindung dari siksa kubur, sebagai pemberitahuan, dan petunjuk bagi umatnya. Maka selesailah ta'arudl (pertentangan ayat tersebut) dengan pujian kepada Allah swt”. Inilah pendapat Imam Ibnu Hajar al-Asqalaniy.[lihat Fath al-Baariy, Juz. III, hal. 183]

Page 68: HADITS AHAD

Walhasil, menurut Imam Ibnu Katsir, surat al-Ghafir:46 dan Ibrahim:27 hanya menunjukkan tentang dinampakkannya siksa neraka bagi para arwah di alam barzakh. Masih menurut beliau, ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan adanya siksa atas jasad di dalam kubur. Sebab, siksa yang terjadi di alam kubur hanya akan menimpa pada ruh, bukan jasad. Beliau menambahkan, ayat ini tidak menunjukkan adanya siksa atas jasad di alam barzakh.

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengkompromikan pertentangan tersebut dengan penjelasan sebagai berikut; Surat al-Ghafir:46 dan Ibrahim:27 hanya menunjukkan adanya siksa bagi orang-orang kafir di dalam kuburnya. Tatkala, Rasulullah saw masih di Mekah beliau telah mengetahui adanya siksa kubur bagi orang kafir, namun beliau belum memahami, apakah orang mukmin juga akan dikenai siksa kubur. Setelah beliau di Medinah, barulah beliau mengetahui bahwa siksa kubur itu bisa mengenai kaum mukmin. Jadi, penolakan tentang adanya siksa kubur pada hadits riwayat ‘Aisyah itu, hanya berhubungan dengan penolakan beliau atas adanya siksa kubur bagi orang mukmin, bukan penolakan adanya siksa kubur atas orang kafir. Beliau telah memahami sejak di Mekah, bahwa siksa kubur itu akan ditimpakan kepada orang kafir. Namun beliau belum mengetahui, apakah siksa kubur itu bisa juga dijatuhkan kepada orang mukmin. Setelah di Medinah, barulah beliau mengetahui bahwa orang mukmin juga bisa terkena siksa kubur.

Bila dikaji secara mendalam, baik Ibnu Hajar maupun Ibnu Katsir belum menyelesaikan secara tuntas persoalan ini. Keduanya hanya melihat dari satu sisi belaka, dan mengesampingkan sisi yang paling penting; yaitu, apakah boleh bagi Rasulullah saw menyampaikan sesuatu –yang berhubungan dengan masalah agama-- tanpa ilmu pengetahuan. Apakah boleh bagi rasul salah dalam tablighnya, dan berkali-kali melakukan kesalahan?"

Permasalahan mengenai siksa kubur berbeda dengan permasalahan penyerbukan kurma; sehingga bila Rasulullah saw salah dalam masalah tersebut, beliau saw bisa berkata, "Kalian lebih mengerti urusan kalian." Persoalan adanya siksa kubur menyangkut persoalan kemurnian agama Islam. Masalah ini juga berhubungan dengan masalah ghaib. Tak seorangpun bisa memahami alam ghaib, kecuali ada keterangan dari Allah swt. Bila Rasulullah saw ditanya perkara semacam ini, beliau tidak memberikan jawaban, sampai datangnya wahyu dari Allah swt. Sebagian ‘ulama dan ahli ilmu menyatakan, bahwa “pertentangan nash-nash ini sangat sulit untuk dikompromikan ”. Mereka mengambil kesimpulan, bahwa hadits 'Aisyah dengan wanita Yahudi harus ditolak dirayahnya (dari sisi matannya). Langkah ini mereka tempuh untuk menghindari penakwilan-penakwilan yang justru telah menyimpang dan bertentangan dengan nash-nash yang qath’iy tsubutnya.

Walhasil, kami berpendapat bahwa nash-nash yang berbicara tentang siksa kubur, dalalahnya tidak qath'iy, baik siksa kubur yang berhubungan dengan ruh saja, atau ruh dan jasad. Ibnu Hajar berkata," Pengarang (Bukhari) tidak mengingkari penjelasan mengenai adzab kubur yang menimpa atas ruh saja, atau atas ruh dan jasad. Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat yang sangat masyhur di kalangan para 'ulama mutakalimin. Masalah ini seakan-akan telah ditinggalkan. Sebab, dalalah yang ditunjukkan tidak qath'iy (pasti). Tidak ada nash yang menunjukkan secara pasti, yang mengarah pada salah satu dari dua penunjukkan itu (ruh saja, atau ruh dan jasad). Walhasil, tidak satu hukum saja yang bisa diambil dalam masalah ini. Dan cukuplah dengan adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini, yakni orang (yang berpendapat) menafikan sama sekali 'adzab kubur, sebagaimana orang-orang Khawarij dan sebagian 'ulama Mu'tazilah semisal, Dlarar bin 'Amru, Basyar al-Marisiy; dan orang yang menerima adanya siksa kubur". [Fath al-Baariy, juz.3, hal. 180]. Ibnu Hajar menyambung, "Ibnu Haram dan Ibnu Habirah menyatakan bahwa persoalan ini terjadi pada ruh saja, tidak menimpa pada jasad. Jumhur 'ulama menolak pendapat ini dan berkata,

Page 69: HADITS AHAD

"..terjadi pada ruh dan jasad." Kompromi dari dua pendapat ini adalah, siksa kubur itu hanya terjadi pada ruh saja. Adapun mengenai mayit yang bersaksi dalam kuburnya, ini adalah masalah yang berbeda, dan (juga) tidak berhubungan dengan diamnya mayit di kubur, atau yang lain, atau sempit atau luasnya kubur mereka. "[hal.182].

Adapun firman Allah swt, "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang" (al-Ghafir:46), dalalahnya tidak pasti (qath'iy). Ayat ini memberikan arah pengertian bahwa penyiksaan itu ada yang terjadi sebelum hari kiamat. Namun ada pula ayat yang memberikan arah pengertian yang bertentangan, yakni, siksa itu hanya akan terjadi pada hari kiamat. Nash-nash seperti ini cukup banyak. Allah swt berfirman dalam surat al-Kahfi, "..kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya. Dan kami nampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan jelas." (18:99-100).

Penjelasan Tentang Surat al-Ghafir:46, Beserta Jalan Komprominya Allah swt telah berfirman, artinya, "Kepada mereka dinampakkan neraka

pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46)

Sebagian orang berpendapat bahwa kata "yaum taquumu al-saa’ah” (hari kiamat) yang disambungkan pada kata "ghadwan wa ghasyiyyan" (pada pagi dan petang) adalah dua hal yang terjadi pada dua keadaan yang berbeda. Mereka menyatakan, bahwa neraka yang ditampakkan pada “pagi dan petang” itu terjadi sebelum hari kiamat, bukan terjadi pada hari kiamat. Dengan penjelasan semacam ini, mereka ingin berdalil dengan ayat ini, bahwa siksa itu bisa saja terjadi sebelum hari kiamat, yakni adanya siksa kubur. Pendapat ini tidak tepat. Sebab 'athaf tidak selalu menunjukkan dua keadaan yang berbeda (terpisah). Misalnya, Allah swt berfirman, "Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui." (al-Zukhruf:84). Seandainya wawu 'athaf selalu menetapkan bahwa ma'thuf (yang disambung) berbeda (terpisah) sama sekali dengan ma'thuf 'alaihi (yang menyambung), maka ayat tersebut (al-Zukhruf) memiliki makna bahwa ilah (sesembahan) di langit berbeda (terpisah) dengan ilah di bumi. Maha Suci Allah Tidak ada Tuhan selain Dia.

Walhasil, firman Allah swt, "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46); harus dibawa kepada pengertian, bahwa neraka akan ditampakkan kepada mereka setelah peniupan sangkakala pada awal terjadinya hari kiamat Pada saat itulah, awal terjadinya 'adzab (siksa). Selanjutnya, mereka dimasukkan ke dalam siksa yang sangat pedih.

Namun demikian, hadits shahih yang meriwayatkan tentang adanya siksa kubur jumlahnya sangat banyak. Ibnu Hajar menyatakan, "Ada hadits-hadits yang meriwayatkan tentang siksa kubur selain hadits-hadits ini (kemudian ia menyebut enam buah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari pada bab ini), sebagian diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu 'Abbas, Abu Ayyub, Said, Zaid bin Arqam, Ummu Khalid dalam shahih Bukhari Muslim atau di salah satu dari keduanya; juga dari Jabir, Abu Sa'id menurut Ibnu Mardawaih, dari 'Umar, 'Abd al-Rahman bin Hasanah, dan 'Abd al-Amru menurut Abu Dawud, dan dari Ibnu Mas'ud menurut al-Thahawiy, dari Abu Bakrah, Asma' bin Yazid menurut al-Nasaiy, dan dari Ibnu Mubasysyir menurut Ibnu Abi Syaibah, dan dari selain mereka." [Fath al-Baariy; juz.III, hal.186]

Page 70: HADITS AHAD

Sebagian 'ulama menyatakan, bahwa hadits ini telah mencapai derajat mutawatir. Seandainya tidak ada nash-nash yang saling bertentangan, sungguh kami juga akan menyatakan bahwa hadits tentang siksa kubur mutawatir. Akan tetapi nash-nash tersebut “bertentangan” sehingga menurunkan derajat kemutawatirannya. Sebab, kemutawatiran sebuah khabar tidak hanya disandarkan kepada jumlah yang banyak saja. Namun, ada persoalan lain yang lebih penting, yakni menyelamatkan khabar dari pertentangan. Kemutawatiran sebuah khabar bisa diragukan, jika maknanya saling bertentangan. Imam Al-Amidy berkata, "Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah minimal yang dapat menghasilkan 'ilmu (kepastian). Sebagian menyatakan, 5 orang. Sebab, , jika kurang dari lima orang, misalnya, empat orang saksi yang bersaksi dalam masalah syari'ah, maka qadli boleh menetapkan hukum berdasarkan kesaksian empat orang yang bersepakat pada suatu tujuan yang dzanniy. Seandainya 'ilmu (kepastian) dihasilkan dari pendapat empat orang, mengapa bisa terjadi seperti itu (ada kesepakatan dalam hal yang dzanniy)? Qadli Abu Bakar memutuskan bahwa empat adalah jumlah yang kurang. Beliau juga masih meragukan lima orang. Sebagian 'ulama menyatakan jumlah minimal perawi adalah 12 orang, ada pula yang menyatakan paling sedikit 20. Ada pula yang menyatakan 40, 70, 313. Ada pula yang menyatakan bahwa jumlah minimal yang mengantarkan ilmu hanya diketahui oleh Allah, dan kita tidak mengetahui. Dan ini yang terpilih. "[al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz.II/39] Beliau menambahkan, "Di samping jumlah, jaminan kemutawatiran sebuah berita adalah ilmu yang dihasilkan oleh perkataan para pembawa berita (rawi), bukan ilmu yang dihasilkan oleh jumlah tertentu." Kemudian beliau menyatakan lagi, "Oleh karena itu, kami berpendapat, bahwa jaminan mutawatir adalah ilmu yang dihasilkan dari sebuah berita. Berita yang tidak menghasilkan ilmu tidak boleh dijadikan sandaran untuk berdalil. Sebab, dalilnya sendiri telah jatuh ke dalam wijdaan (persangkaan). Ini adalah syarat-syarat yang telah diakui keabsahannya untuk menetapkan kemutawatiran sebuah berita."

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Imam Ahmad, dll dari 'Aisyah ra, tentang perempuan Yahudi, menyatakan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw menafikan adanya siksa kubur bagi manusia di alam barzakh sebelum hari kiamat. Kemudian, datang wahyu kepada beliau dan mengabarkan bahwa siksa kubur adalah haq (benar). Hadits ini pun, maudlu'nya masih mengandung perselisihan.

Penjelasan Mengenai Ayat-Ayat Tentang Penangguhan Siksa Hingga Hari Kiamat

Al-Quran telah menyatakan,"Dan janganlah sekali-kali kamu (Mohammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak." (14:42). Ayat ini ma'udlu'nya juga masih mengandung perselisihan. Ayat ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Allah swt memberi tangguh siksa atas orang-orang yang dzalim hingga hari kiamat. Sebab, yang dimaksud dengan “hari dimana mata mereka terbelalak” adalah hari kiamat. Ayat-ayat yang senada dengan ayat tersebut, adalah,

"Jikalah Allah menghukum manusia karena kedzalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya." (al-Nahl:61).

"Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makluk yang

Page 71: HADITS AHAD

melatapun, akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan mereka) sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hambaNya." [35:45]. Al-Ajal al-Musammay (waktu yang ditentukan) adalah hari kiamat.

Secara qath’iy, ayat-ayat ini menunjukkan adanya penangguhan siksa hingga hari kiamat. Sebab, dalalah yang ditunjukkan oleh ayat-ayat di atas adalah qath'iy. Akan tetapi, ada hadits-hadits shahih yang mengkhususkan pengertian ayat tersebut. Hadits-hadits tersebut menjelaskan, bahwa Allah swt telah mendahulukan beberapa siksa, sebagian diwujudkan di dunia, sebagian lagi diwujudkan di akherat; dan sebagian besar lagi kelak di hari akhir. Mengkhususkan pengertian yang ada di dalam al-Quran dengan sunnah, adalah perkara yang telah disepakati. Walhasil, seseorang tidak boleh mengatakan, bahwa ayat-ayat tersebut –yang berbicara tentang penangguhan siksa-- tidak mungkin dikompromikan dengan hadits-hadits tentang siksa kubur. Selain itu, hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur tidak boleh ditolak dirayahnya, hanya karena “bertentangan dengan ayat-ayat tersebut di atas”. Akan tetapi, harus dibawa kepada takhsiish al-quran bi al-Sunnah.

Penjelasan Tentang Surat Yasiin ; 51-52Allah swt, "Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan

segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka berkata, "Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)? Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-RasulNya." (Yasiin:51-52). Mau'dlu' ayat ini pun masih mengandung keraguan. Ayat ini menggambarkan, bahwa orang-orang yang ada di dalam kubur, berada dalam kondisi tertidur. Ayat ini tidak menunjukkan, bahwa mereka terjaga (tidak tidur) di dalam kubur, atau dalam kondisi terkena siksa. Walhasil, ayat ini telah menafikan adanya siksa di dalam kubur. Mengkompromikan ayat ini dengan hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur --dengan jalan mentakhshih ayat ini dengan hadits-hadits tentang siksa kubur yang telah kami sebutkan sebelumnya-- adalah perkara yang sangat sulit. Sebab, kami tidak mendapatkan hadits shahih yang menjelaskan adanya masa jeda barzakh yang menceritakan tentang adanya siksa kubur dan kondisi bahwa si mayat tidak tidur di dalam kuburnya.

Sebagian shahabat dan tabi'in berdiam diri terhadap ayat ini dan hadits-hadits tentang siksa kubur. Imam Ibnu Katsir menyatakan, "Ubay bin Ka'ab, Mujahid, Hasan, dan Qatadah ra berkata, "Mereka tidur sebelum hari kiamat." Qatadah berkata, "Hal itu itu terjadi diantara dua tiupan, sehingga mereka mengatakan, "Siapakah yang membangkitkan kami dari tidur kami." Kompromi semacam ini dianggap sebagai jalan keluar.

Walhasil, pendapat yang menyatakan, " Pertentangan antara ayat ini dengan hadits-hadits tentang siksa kubur, tidak mungkin dikompromikan dengan berbagai bentuk kompromi”, adalah pendapat yang tidak tepat. Argumen semacam ini tidak bisa diterima. Seseorang tidak boleh mengatakan, bahwa hadits tentang siksa kubur harus ditolak dirayahnya karena bertentangan dengan ayat ini.

Penjelasan Tentang Surat al-Ruum:55Ayat lain yang berbicara tentang penangguhan siksa sebelum hari akhir,

adalah surat al-Ruum:55. Al-Quran telah menyatakan, "Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa, "mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat saja." (al-Ruum:55). Namun, maudlu' ayat ini juga mengandung keraguan. Yang menjadi pertanyaan adalah, dimanakah orang-orang yang berdosa itu tinggal pada waktu yang sangat singkat itu – seperti yang telah disampaikan oleh para pendosa itu? Sebagian ahli tafsir berkata, “Yang mereka

Page 72: HADITS AHAD

maksud adalah tinggal di dalam kubur. Sebagian ahli tafsir lain menyatakan, bahwa yang mereka150 maksud adalah tinggal di dalam kehidupan dunia. Ada sebagian ahli tafsir yang menyatakan bahwa, yang mereka maksud adalah tidur, yakni mereka tidur diantara dua tiupan; antara tiupan yang mematikan seluruh makhluk, dan tiupan pada saat hari kebangkitan (qiyamah). Waktunya sekitar 40 tahun menurut sebagian atsar.

Orang yang mengambil penafsiran pertama akan menyatakan, bahwa ketika hari kiamat orang-orang yang berdosa itu bersumpah, bahwa mereka tinggal di dalam kuburnya dalam waktu yang sangat singkat, yakni sejak kematiannya sampai terjadinya hari kebangkitan. Orang yang mengambil penafsiran ini akan mendapatkan kesulitan. Jika mereka menafsirkan seperti itu, ia justru akan membawa ke arah pengertian, bahwa orang-orang yang berdosa itu tidak mendapatkan siksa di dalam kuburnya. Sebab orang yang dikenai siksa di dalam kuburnya, akan merasakan waktu yang sangat panjang.151 Pendapat semacam ini tidak berarti menerima qiyas yang ghaib (tidak nampak) atas yang syahid (nampak); atau mengqiyaskan siksa kubur atas siksa dunia, akan tetapi nash itu sendiri yang menunjukkan pengertian tersebut.

Jika kita mengambil penafsiran kedua atau ketiga, bahwa orang-orang yang berdosa itu tinggal di dunia (penafsiran ke dua), atau mereka tinggal diantara dua tiupan (penafsiran ke tiga), maka hal itu bukanlah perkara yang sulit. Akan tetapi, qarinah di dalam ayat itu dengan jelas menunjukkan bahwa mereka berdiam di dalam kubur mereka, sejak kematian mereka hingga hari kiamat, bukan tinggal di dunia. Qarinah ini terdapat pada ayat sesudahnya. Allah berfirman, "Dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir):"Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit; maka inilah hari berbangkit itu, akan tetapi kamu selalu tidak menyakininya." (30:56).

Berdasarkan qarinah yang ditunjukkan oleh ayat ini, kalangan ahli 'ilmu dan iman menyatakan, bahwa orang-orang yang berdosa itu tinggal di dalam kuburnya hingga hari kiamat, bukan berdiam di kehidupan dunia. Orang yang menafsirkan, bahwa orang-orang yang berdosa itu tinggal di kehidupan dunia telah mengambil penafsiran yang salah.

Penafsiran yang menyatakan, bahwa orang-orang yang berdosa itu tidur diantara dua tiupan, adalah penafsiran yang tidak kuat. Bahkan, penafsiran semacam ini tidak bisa dikompromikan. Sebab, ia tidak didasarkan pada nash-nash syara'.

Namun, demikian agar kita keluar dari kesulitan ini, maka kami mengambil jalan keluar, bahwa orang-orang yang berdosa itu tidur diantara dua tiupan sangkakala, dan mereka tidak tinggal di dalam kuburnya melainkan dalam waktu yang sangat singkat --sesaat di dalam tidurnya saja.

Hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur adalah shahih. Hadits-hadits itu masih mungkin untuk dikompromikan dengan ayat-ayat Quran yang maknanya terlihat kontradiksi. Seorang Muslim tidak boleh mengingkari hadits-hadits tersebut. Mengingkari hadits-hadits itu sama artinya mengingkari hadits shahih. Ini adalah perbuatan dosa. Sebab, mengingkari hadits shahih akan mengakibatkan tersia-sianya amal.

150 Mereka di sini adalah orang-orang berdosa yang bersumpah ketika hari kiamat bahwa mereka tidaklah berdiam diri di dalam kubur, melainkan sesaat saja. Lihat dalam surat al-Ruum;55.

151 Sebab, pada ayat 55 surat al-Ruum, para pendosa bersumpah bahwa mereka tidak tinggal di kuburnya kecuali sesaat saja (pendek waktunya). Jika mereka di siksa di kuburnya dengan siksa yang pedih, maka seharusnya mereka akan merasakan waktu yang demikian lama di kuburnya, karena mereka begitu menderita dalam kuburnya.

Page 73: HADITS AHAD

Namun demikian, dilalah yang ditunjukkan oleh hadits-hadits siksa kubur adalah dzanniy. Keimanan seorang Muslim tidak boleh didasarkan kepada nash-nash yang tsubut dan dilalahnya dzanniy. Sebab, iman menuntut adanya pembenaran yang bersifat pasti. Pembenaran yang tidak sampai ke derajat pasti, tidak akan mengantarkan kepada keyakinan, atau keimanan.

Demikianlah, anda telah dijelaskan dengan gamblang, bahwa hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur, dilalahnya tidaklah qath’iy. Seandainya hadits-hadits tentang siksa kubur mutawatir dan tidak ada pertentangan makna dengan riwayat-riwayat mutawatir lainnya, tentu kita harus mengimani keberadaannya tanpa ada keraguan sedikitpun. Allahul Haadiy wal Muwaffiq ila Aqwaamith Thaariq