hak anak dalam islam dan hak asasi...
TRANSCRIPT
Jurnal Misykat, Vol.III No. 1 Pebruari 2010
HAK ANAK DALAM ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA
Muhammad Maksum
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Abstrak: Konsep hak anak dalam Islam dan HAM memiliki banyak kemiripan.
Perbedaan prinsipnya pada pijakan filosofisnya, hak anak dalam Islam
dipengaruhi oleh aturan-aturan agama, sedangkan hak anak menurut HAM
berdasarkan pengalaman manusia. Konsep hak anak dalam Islam dan HAM
berpengaruh pada konsep hak anak yang diadopsi oleh peraturan perundang-
undangan di Indonesia.
Kata kunci: Islam, hak asasi manusia, anak, hak anak
A. Latar Belakang
Anak juga manusia yang memiliki hak asasi sebagaimana manusia
lainnya. Posisi anak termasuk rentan karena kelemahan yang dimilikinya.
Anak belum bisa secara mandiri mengambil keputusan dan bertindak. Anak
memiliki peluang untuk mendapatkan tindakan-tindakan yang tidak adil, baik
dari keluarga sendiri, termasuk orang tua, dari masyarakat, maupun dari
negara. Karena itu, perlindungan terhadap hak anak perlu dimajukan.
Meski ada perbedaan konsep hak anak menurut Islam dan hak asasi
manusia, penghormatan hak anak tetap menjadi prioritas. Agama-agama,
terutama Islam, memberi perhatian yang serius terhadap hak anak bahkan
sebelum anak lahir.1
Perbedaan konsep itu berpengaruh pada penggunaan konsep hak anak
di Indonesia. Konsep Islam dan HAM turut menyumbang konsep hak anak
yang dianut di Indonesia. Persoalannya apakah perbedaan itu mendasar atau
komplementer.
B. Pembahasan
1. Pengertian Anak
1Abu Hadian Shafiyarrahman, Hak-hak Anak dalam Syariat Islam, dari Janin hingga
Paska Kelahiran, (Muntilan: Al-Manar, 2003)
Anak menurut pengertian Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun
1990, adalah setiap manusia di bawah umur delapan belas tahun kecuali
menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai
lebih awal.
Usia delapan belas tahun menjadi batas bagi masa anak-anak dan
remaja (dewasa). Setiap orang sejak lahir hingga usia sebelum delapan
belas tahun disebut sebagai anak. Ada pengecualian dari usia anak, yaitu
mereka yang dianggap dewasa menurut peraturan perundang-undangan.
Ketentuan pengecualian ini seperti terjadi dalam peraturan tentang pemilu.
Menurut Undang-Undang Pemilihan Umum, seorang yang berhak memilih
dalam pemilu adalah mereka yang telah berusia delapan belas tahun atau
sudah menikah. Artinya, meskipun seseorang itu belum berusia delapan
belas tahun tetapi sudah menikah, menurut Undang-Undang ini tidak
dikategorikan sebagai anak-anak. Karenanya, ia berhak memilih.
2. Pengertian Hak-hak Anak
Pengertian hak secara bahasa adalah lawan dari kebatilan,
ketidakbenaran, ketidakadilan, atau bertentangan dengan kenyataan.2
Secara istilah, hak merupakan sesuatu yang dianggap sebagai hak bagi
seseorang maka merupakan kewajiban bagi orang lain. Misalnya hak
rakyat adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah dan hak
orang yang berhutang merupakan kewajiban bagi orang yang berpiutang.3
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan negara. Secara generik, hak asasi diartikan sebagai
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai mahkluk Tuhan YME dan merupakan anugerahnya, yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
2 Ibnu Mandzur, Lisan al-'Arab, (Kairo: Dal al-Ma'arif, tt.), j. 2. hal. 942. 3 Raf'at Farid Swilam, al-Islam wa huquq al-Thifl, (Kairo: Dar Mahsyin, 2002), hal. 19
harkat dan martabat manusia.4 Pengertian di atas mengandung makna,
bahwa hak asasi merupakan hak yang given dimiliki oleh manusia. Hak
Asasi, sesuai definisinya, memiliki prinsip-prinsip universal, non
diskriminasi, dan imparsial.5
Hak anak dalam Islam berlaku dengan mempertimbangkan
ketentuan dalam agama. Sedangkan hak anak versi hak asasi manusia
disesuaikan dengan pengalaman manusia.
3. Kedudukan Anak
Sebelum kedatangan Islam, posisi anak laki-laki sangat mulia
dibandingkan anak perempuan. Bahkan anak perempuan dikubur hidup-
hidup karena dianggap aib bagi keluarga.6 Islam datang merubah
paradigma dan struktur sosial masyarakat Arab. Islam menempatkan setara
antara anak laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki
hak yang sama.
Kovenan Hak-hak Anak mengakui seperangkat hak asasi yang
melekat pada anak sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat
kemanusiaan. Negara berkewajiban menjamin terpenuhinya hak-hak anak
tersebut. Meski menempatkan anak sebagai individu, kovenan mengakui
peran penting orang tua dan masyarakat untuk memenuhi hak-hak anak.
Pasal 5 kovenan hak anak menyatakan: "Negara-negara Pihak harus
menghormati tanggung jawab, hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang
tua, atau apabila dapat diberlakukan, para anggota keluarga yang diperluas
atau masyarakat seperti yang diurus oleh kebiasaan lokal, wali hukum,
atau orang-orang lain yang secara sah bertanggung jawab atas anak itu,
untuk memberikan dalam suatu cara yang sesuai dengan kemampuan anak
yang berkembang, pengarahan dan bimbingan yang tepat dalam
pelaksanaan oleh anak mengenai hak-hak yang diakui dalam Konvensi
ini".
4 Pasal 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 5 David Weissbrodt, Hak Asasi Manusia: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, 1994, h. 1 6 Abdul Razaq Husein, al-Islam wa al-Thifl, (Riyadh: tp.,tt.), hal. 9
4. Hak Anak
Perbedaan Islam dan HAM dalam mengatur hak anak terletak pada
waktu dimilikinya hak tersebut dan beberapa kriteria hak anak. Islam
mengakui hak anak sebelum lahir dan setelah lahir, sedangkan HAM
hanya mengakui hak anak setelah lahir.
Islam memandang kehidupan anak dimulai sejak pembuahan sel
telur (ovum) dan sperma di dalam rahim seorang perempuan. Saat itu,
kehidupan mulai muncul dan saat itu pula melekat pada dirinya hak-hak
yang harus dilindungi.
a. Hak Anak Sebelum Lahir
1) Hak Mendapat Orang Tua Yang Shaleh
Hak mendapat orang tua yang baik ini menjadi kewajiban
pasangan suami dan istri. Islam menetapkan pranata perkawinan
sebagai gerbang mencetak keturunan yang baik. Pranata ini harus
dilalui oleh setiap pasangan yang akan mengikatkan diri pada
hubungan keluarga dan menghalalkan untuk berhubungan seks.
Untuk mencetak kader yang baik, Islam mengajarkan agar
calon mempelai memilih pasangan yang memenuhi criteria bobot,
bibit, dan bebet. Dalam sebuah hadis dinyatakan ketika memilih
calon istri memperhatikan kriteria agama, harta, nasab, dan
kecantikannya.7
2) Hak Hidup
Para pemikir muslim klasik (fukaha) sepakat bahwa janin
berusia empat bulan dilarang untuk diaborsi. Pada usia ini, Allah
telah meniupkan ruh ke dalam jasad bayi itu yang berarti
kehidupan telah dimulai. Sejak saat itu janin harus dipenuhi haknya
untuk hidup oleh kedua orang tuanya atau orang lain.
Sebagian pendapat, seperti kalangan Malikiyah8 dan al-
7 Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, j.2, hadis nomor 4700, (Beirut:
Dar al-Qalam, 1987), hal. 395 8 Mazhab Malikiyah adalah sebuah paham pemikiran hukum Islam yang didirikan oleh
Ghazali, mengatakan bahwa aborsi dilarang sejak pertumbuhan
bayi dimulai. Artinya, sejak pembuahan janin dilarang untuk
diaborsi karena sejak saat itu pertumbuhan bayi sudah mulai.
Pertumbuhan adalah salah satu bukti adanya suatu kehidupan.
3) Hak Perlindungan dan Perawatan
Islam memandang bahwa pertumbuhan anak dimulai sejak
berada dalam kandungan bukan setelah kelahiran. Hal ini dapat
dipahami dari penjelasan al-Qur’an yang menyatakan “Dialah yang
menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah
itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai
seorang anak”. (QS. Al-Mukmin (40) : 67)
Sebagai konsekuensi dari hak hidup dan untuk memelihara
pertumbuhan janin, orang tua harus memenuhi hak perlindungan
dan perawatan bagi janinnya. Semua perlidungan dan perawatan
ini akan menjaga eksistensi anak sesuai dengan fitrahnya yang
suci.9
b. Hak-hak Anak Setelah Lahir
Islam menganut paham keseimbangan antara hak dan
kewajiban. Hak dan kewajiban tidak bisa dipisahkan. Hak dan
kewajiban adalah hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi.
Adanya hak yang harus diterima berarti kewajiban yang harus
dilaksanakan. Adapun hak-hak yang melekat pada anak, menurut Islam
adalah sebagai berikut:
1) Hak Hidup. Hak hidup merupakan hak yang paling dasar dalam
Islam dan HAM, karena hak hidup merupakan pemberian dari
Tuhan, dan hanyalah Dia yang berhak untuk mencabut kehidupan
dari diri seseorang. Islam melarang mencabut hak hidup anak
dengan alasan apapun, seperti karena alasan kemiskinan, alasan
kehormatan, alasan malu, dan sebagainya. Bukti pengakuan Islam
Imam Malik bin Anas. Mazhab ini berkembang di Timur Tengah, terutama Madinah.
9 Suharsono, Mencerdaskan Anak, (Depok: Inisiasi Press, 2004), hal. 171
atas hak hidup dengan mengecam praktik pembunuhan anak yang
terjadi pra-Islam. Sejarah pra-Islam menggambarkan pencabutan
hak anak secara semena-mena karena alasan kemiskinan dan
kehormatan.10
Saking berharganya hak hidup ini, Tuhan secara langsung
dan tegas membenci dan memurkai orang yang mencabut hak
hidup orang lain. Kemurkaan Allah ini ditunjukkan pada komentar
Tuhan atas mereka yang membunuh orang, ”Karena dosa apakah
ia (anak perempuan) dibunuh”.11
Quraish Menafsirkan ayat ini sebagai bentuk kemarahan
Allah atas mereka yang menyia-nyiakan hak hidup manusia. Ayat
ini tidak saja berlaku bagi kalangan jahiliyah, melainkan berlaku
pula untuk konteks sekarang.12
Hak hidup merupakan hak yang paling dasar bagi seorang
anak. Untuk memenuhi hak ini, seorang anak harus mendapatkan
pelayanan kesehatan yang baik, mengikuti kegiatan imunisasi, dan
mendapatkan dukungan lingkungan dan masyarakat yang sehat
pula.13 Selain orang tua, negara berperan menyediakan sarana dan
prasarana kesehatan yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas.
2) Hak Mendapatkan Identitas
Seorang anak berhak mendapatkan identitas dirinya terkait
dengan nama dan status keluarganya (hubungan nasab). Islam
memandang nama tidak sebatas sebagai identitas julukan
seseorang, tetapi lebih dari itu. Nama adalah doa dan cita-cita dari
maksud arti yang dikandung di dalam nama itu. Karena itu, Islam
mengajarkan agar seorang anak diberi nama dengan nama-nama
yang baik. Dengan nama yang baik itu diharapkan menjadi
pembeda dari nama-nama yang lain dan dapat membangkitkan
10 Rahim Umran dan M. Hasyim, Islam dan Keluarga Berencana, (Jakarta: Lentera,
1997), hal. 36 11 QS. AL-Takwir (81) : 9 12 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 15, (Jakarta: Lentera, 2007), cet. ke-7, hal.
87 13 Irwanto, Anak Tanpa Jaminan Dasar, (Jakarta: LPDS dan Unicef, 2000), hal. 11
cita-cita mulia.14
Selain nama, anak berhak mendapat identitas keturunan
(nasab). Identitas keturunan sangat penting karena memiliki akibat
hukum pada masalah kewarisan, perwalian, dan perkawinan. Salah
satu sebab kewarisan karena hubungan nasab (darah), salah satu
sebab adanya perwalian karena nasab (orang tua), dan salah satu
larangan menikah disebabkan karena hubungan darah (muhrim).
Selain nama, identitas menurut HAM adalah status
kewarganegaraan. Status kewarganegaraan ini akan menempatkan
hak dan kewajiban seseorang dalam konteks suatu negara hukum.
Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari
suatu penduduk yang menjadi unsur negara. Setiap warga negara
mempunyai persamaan hak di hadapan hukum. Semua warga
negara memiliki kepastian hak, privasi, dan tanggungjawab.15
3) Hak Ekonomi (makanan)
Sejak kelahirannya seorang anak berhak atas makanan yang
halal dan bergizi. Makanan dasar yang dibutuhkan oleh seorang
anak adalah air susu ibu (ASI). Islam mengajarkan agar seorang
ibu menyusui anaknya selama genap dua tahun. Firman Allah
menyatakan:
”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama
dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan”.16
Makanan halal adalah sesuatu yang jika dikonsumsi tidak
mengakibatkan mendapat siksa (dosa).17 Sedangkan haram adalah
sesuatu yang oleh Allah dilarang dilakukan dengan larangan tegas
dimana orang yang melanggarnya diancam siksa oleh Allah di
14 Abu Hadiyan Syafiyarrahman, Hak-hak Anak dalam Syariat Islam, hal. 64 15 Ahmad Ubaidillah (et.al), Pendidikan Kewargaan (civic Education) : Demokrasi,
Haka Azasi Manusia & Masyarakat Madani. Jakarta : IAIN Press, hal 59.. 16 QS. Al-Baqarah (2) : 233 17 Al-Jurjani (w. 816 H), al-Ta’rifat, Mesir: Maktabah wa mathba’ah Mushthafa al-Babi
al-Halabi wa Auladih, 1936, h. 82.
akhirat.18 Banyak teks ayat atau hadis yang memerintahkan untuk
mengonsumsi yang baik dan halal.
Hak ekonomi tetap berlaku meskipun kedua orang tua
berpisah (bercerai). Seorang bapak wajib memenuhi kebutuhan
ekonomi mantan istri dan anaknya manakala mereka bercerai.
Biaya-biaya yang mendukung pelaksanaan pemenuhan hak
ekonomi menjadi tanggung jawab orang tuanya.
4) Hak Kesehatan
Anak memiliki hak untuk mendapatkan kesehatan jiwa dan
raganya. Kesehatan jiwa dan raga adalah faktor penting untuk
mendukung tumbuh-kembang anak. Bukti perhatian Islam terhadap
kesehatan ini ditunjukkan dengan diperkenalkannya berbagai
praktik yang dianggap dapat menciptakan kesehatan. Di antara
praktik itu adalah khitan,19 mencukur rambut, menjaga kebersihan,
dan sebagainya.
Pasal 24 kovenan menetapkan bahwa negara mengakui hak
anak atas penikmatan standar kesehatan yang paling tinggi dan atas
berbagai fasilitas untuk pengobatan penyakit dan rehabilitasi
kesehatan. Negara harus berusaha menjamin bahwa tidak seorang
anak pun dapat dirampas haknya atas akses ke pelayanan
perawatan kesehatan tersebut.
Hak atas kesehatan sangat terkait dengan hak anat untuk
tumbuh dan berkembang dengan baik. Untuk dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik, anak tidak saja cukup hanya dengan
terpenuhi kesehatan, melainkan harus terpenuhi pula hak
memenuhi jiwanya melalui pendidikan, hak untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan, dan tumbuh menjadi dewasa sehingga
18 Yusuf al-Qardhawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, t.t.: Dar al-Ma’rifah, 1985, h.
15. 19 Khitan adalah tempat atau letak pemotongan tutup kemaluan laki-laki maupun
perempuan. Mengkhitankan anak laki-laki berarti memotong tutup dzakarnya. Abu Hadiyan
Syafiyarrahman, Hak-hak Anak dalam Syariat Islam, hal. 76
dapat bertanggung jawab untuk dirinya sendiri atau orang lain.20
Hak untuk tumbuh dan berkembang atau hak untuk
kelangsungan hidup (survival rights) ini harus berlaku secara
seimbang untuk pertumbuhan jiwa dan raganya. Dua komponen
anak ini menuntut pemenuhan dari segmen yang berbeda, segmen
jasmaniah dan ruhaniah.
Terpenuhinya hak kesehatan merupakan indikator dari
terpenuhinya prasarat untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
Negara harus menempatkan program kesehatan sebagai salah satu
program primer, terutama untuk meningkatkan kesehatan anak.
Kovenan sendiri telah menetapkan beberapa indikator dari upaya
pemenuhan hak kesehatan bagi anak, yaitu berupa:
a) Pengurangan kematian bayi dan anak.
b) Jaminan penyediaan bantuan kesehatan yang diperlukan dan
perawatan kesehatan untuk semua anak dengan penekanan
pada perawatan kesehatan primer.
c) Perang terhadap penyakit dan kekurangan gizi yang termasuk
dalam kerangka kerja perawatan kesehatan primer melalui,
antara lain, penerapan teknologi yang dengan mudah tersedia
dan melalui penyediaan pangan bergizi yang memadai dan air
minum bersih, dengan mempertimbangkan bahaya-bahaya dan
resiko-resiko pencemaran lingkungan.
d) Jaminan perawatan kesehatan sebelum dan sesudah kelahiran
yang tepat untuk para ibu.
e) Jaminan bahwa semua bagian masyarakat, terutama orang tua
dan anak, diinformasikan, mempunyai akses ke pendidikan dan
ditunjang dalam penggunaan pengetahuan dasar mengenai
kesehatan dan gizi anak, manfaat-manfaat ASI, kesehatan dan
sanitasi lingkungan dan pencegahan kecelakaan.
f) Pengembangan perawatan kesehatan yang preventif, bimbingan
20 Irwanto, Anak Tanpa Jaminan Dasar, hal. 12
bagi orang tua dan pendidikan dan pelayanan keluarga
berencana.
5) Hak Pengasuhan dan Perlindungan
Seorang anak berhak mendapatkan hadhanah21 dari kedua
orang tuanya. Pengasuhan orang tua berlangsung terus, bahkan
ketika terpaksa orang tuanya harus bercerai karena sebab tertentu,
pengasuhan terhadap anak tetap menjadi tanggung jawab kedua
orang tuanya. Pengasuhan di sini mengandung pula makna
perlindungan. Perlindungan anak mencakup perlindungan fisik dan
psikologis dari ancaman luar. Perlindungan fisik menyangkut
keamanan jiwa raganya dan perlindungan psikologis menyangkut
perkembangan emosi dan jiwanya.
HAM memerinci aspek-aspek perlindungan anak, yaitu:22
a) Perlindungan dari perlakuan diskriminasi. Anak berhak
diperlakukan secara adil dalam pemenuhan haknya tanpa harus
mempertentangkan perbedaan latar belakang. Perlakuan
diskriminasi adalah bentuk pengebirian terhadap anak yang
sejatinya memiliki kesempatan sama untuk mendapatkan hak-
haknya. (Pasal 2 KHA).
b) Perlindungan dari perlakuan eksploitatif. Perlakuan eksploitatif
terhadap anak dapat berupa perdagangan anak untuk keperluan
pemenuhan seks, pemaksaan anak untuk bekerja, atau
pemaksaan anak untuk melakukan sesuatu demi mendapatkan
tertentu yang tidak layak dikerjakan oleh anak.
c) Perlindungan dari perlakuan menyimpang. Tindakan yang
menyimpang itu dapat berupa kekerasan fisik atau mental,
luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan
alpa, perlakuan buruk atau eksploitasi, termasuk
penyalahgunaan seks selama dalam pengasuhan (para) orang
21 Hadhanah adalah kewajiban terhadap anak untuk mendidik dan melaksanakan
penjagaan, serta menyusun perkara-perkara yang berkait dengannya. 22 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademika Presindo, 1985), hal.
21
tua, wali hukum atau orang lain manapun yang memiliki
tanggung jawab mengasuh anak.
d) Perlindungan dari penelantaran yakni dengan sengaja
mengabaikan perawatan dan pengurusan anak.
e) Perlindungan dari kekejaman yakni tindakan yang keji, bengis,
tidak menaruh balas kasihan anak.
f) Perlindungan dari kekerasan dan penganiayaan yakni perbuatan
mencederai, meluaki anak baik fisik, mental dan sosial.
g) Perlindungan dari ketidakadilan yakni kesewenang-wenangan
terhadap anak.
h) Perlindungan dari perlakuan salah lainnya yakni perbuatan
cabul terhadap anak23
6) Hak Pendidikan
Pendidikan merupakan proses transformasi ilmu dan
internalisasi nilai yang berlangsung secara terus-menerus. Sejak
kelahirannya di muka bumi, seorang anak memulai proses belajar
untuk menangkap, memaknai dan merespon setiap gejala yang ada
di hadapannya. Proses pendidikan demikian merupakan proses
pendidikan yang paling umum dan dasar, yang dilakukan oleh
semua manusia.
Anak berhak mendapatkan pendidikan yang baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah. Pendidikan yang
diselenggarakan pemerintah diharapkan tidak saja mampu
mengatrol kemampuan kognitif bagi anak, tetapi juga mampu
menebalkan afektif dan menguatkan kemampuan motorik anak.
Karena itu, pemerintah diharuskan menyelenggarakan pendidikan
yang baik.
Kovenan hak anak telah menetapkan standar pendidikan
yang harus diselenggarakan oleh pemerintah. Pada pasal 28
dinyatakan: negara mengakui hak anak atas pendidikan, dan
23 Apong Herlina, dkk., Perlindungan Anak Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, (Jakarta: 20030, hal. 24
dengan tujuan mencapai hak ini secara progresif dan berdasarkan
kesempatan yang sama, mereka harus, terutama:
a) Membuat pendidikan dasar diwajibkan dan terbuka bagi semua
anak;
b) Mendorong perkembangan bentuk-bentuk pendidikan
menengah yang berbeda-beda, termasuk pendidikan umum dan
pendidikan kejuruan, membuat pendidikan-pendidikan tersebut
tersedia dan dapat dimasuki oleh setiap anak, dan mengambil
langkah-langkah yang tepat seperti memperkenalkan
pendidikan cuma-cuma dan menawarkan bantuan keuangan
jika dibutuhkan;
c) Membuat pendidikan yang lebih tinggi dapat dimasuki oleh
semua anak berdasarkan kemampuan dengan setiap sarana
yang tepat;
d) Membuat informasi pendidikan dan kejuruan dan bimbingan
tersedia dan dapat dimasuki oleh semua anak;
e) Mengambil langkah untuk mendorong kehadiran yang tetap di
sekolah dan penurunan angka putus sekolah.
Pemenuhan hak pendidikan sangat dipengaruhi oleh
kemampuan ekonomi suatu negara dan komitmen aparat
pemerintahnya. Tidak sedikit negara yang kemampuan
ekonominya rendah tetapi memiliki komitmen tinggi untuk sektor
pendidikan, seperti Korea dan India. Indonesia dapat dikategorikan
sebagai negara yang komitmen untuk pendidikannya tidak
maksimal, meskipun sebenarnya penetapan 20% anggaran
pendidikan dalam APBN adalah cermin political will pemerintah.
Namun nyatanya angka itu hingga kini belum terpenuhi.
7) Hak untuk Berpartisipasi (participation rights)
Meski statusnya sebagai anak, hak untuk didengar
pendapatnya harus dijamin. Seorang anak dijamin untuk
menentukan pandangannya sendiri dan diberikan kesempatan
untuk menyampaikan pendapatnya sesuai kemampuan akalnya.
Terutama dalam kebijakan tentang anak, mereka harus diberi
kesempatan dan dilibatkan untuk menyampaikan aspirasinya
sendiri. Pengambil kebijakan harus mendengar aspirasi anak
sebagai bahan pertimbangan pembuatan kebijakan. (Pasal 12
KHA).
8) Hak untuk beribadah menurut agamanya
Hak untuk beragama dan beribadah sesuai agamanya
adalah hak asasi yang mendasar bagi anak. Kovenan mengakui
kebebasan anak untuk memilih agama sesuai dengan tingkat
kemampuannya untuk memilih agama yang sesuai. Pilihan untuk
menentukan agama dalam konteks anak tentu akan sangat
dipengaruhi oleh informasi yang diterima seputar agama dan
lingkungan di sekitarnya.
Meski kebebasan berfikir dan beragama bagi anak dijamin,
kovenan mengakui adanya pembatasan-pembatasan yang diatur
secara resmi berdasarkan peraturan perundangan. Pembatasan itu
hanya dapat dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan anak
sendiri dan kepentingan masyarakat secara luas. Pembatasan hak
ini dituangkap pada pasal 14 ayat (3) yang menyatakan:
”Kebebasan untuk menyatakan agama seseorang atau kepercayaan
seseorang, dapat tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan
seperti yang ditentukan oleh undangundang dan yang diperlukan
untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban umum, kesehatan
atau kesusilaan atau hak-hak atau kebebasan-kebebasan dasar
orang lain”.
Pembatasan hak asasi manusia ini dikenal pula di negara-
negara Barat, terutama Eropa. Mereka mengenal teori margin of
appreciation doctrin, yaitu suatu doktrin yang memungkinkan
suatu negara dapat mengesampingkan hak-hak asasi manusia
karena pertimbangan ketertiban masyarakat dan stabilitas negara.
Menanggapi tentang pembatasan ini, Muladi berpendapat:
“… berkembang di masyarakat Eropa, mereka memiliki
human rights sendiri justru menentang instrumen-instrumen
internasional yang terlalu jauh, dia tidak bicara relativisme kultural
yang berbenturan universalisme, tetapi mereka merasa ada aspirasi
yang muncul di regional eropa sendiri yang seringkali harus
menyimpang dari standar-standar universal yang disebut margin of
appreciation doctrin, dikaji untuk pembenaran perbuatan
pelanggaran baik penyimpangan untuk derogable maupun non
derogable rights”.24
Dalam Islam, posisi orang tua sangat menentukan bagi
agama anaknya. Orang tua dapat menjadikan agama memeluk
agama tertentu.
9) Hak Pengangkatan Anak
Dalam hal karena suatu sebab orangtuanya tidak dapat
menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan
terlantar maka anak tersebut diasuh atau diangkat sebagai anak
asuh atau anak angkat oleh orang sesuai dengan ketentuan
peraturan perindang-undangan yang berlaku.
Pengangkatan anak diakui dalam Islam. Hanya saja, Islam
mengakui bolehnya pengangkatan anak, namun pengangkatan anak
itu tidak berdampak pada hubungan hukum anak angkat dengan
orang tua angkat, seperti perwalian dan waris.
10) Hak memperoleh pendidikan luar biasa bagi anak yang
menyandang cacat dan hak mendapatkan pendidikan khusus bagi
anak yang memiliki keunggulan.
Setiap anak memiliki potensi berada yang telah melekat
pada dirinya. Sebagian memiliki keunggulan-keunggulan tertentu,
namun sebagian lain juga ada yang memiliki kekurangan-
kekurangan. Dalam memperoleh pendidikan, kedua anak ini tidak
bisa diberikan model pendidikan yang sama. Pemenuhan
24 Lihat Penelitian “Hukuman Mati Ditinjau dari Sudut Pandang HAM”, yang dilakukan
oleh Badan Litbang HAM Departemen Hukum dan HAM dengan Puskum-HAM UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
pendidikan kedua anak ini harus memperhatikan kelebihan dan
kekurangannya. Perlu penanganan khusus bagi keduanya, baik
penanganan khusus untuk menguatkan potensi bagi mereka yang
memiliki kelebihan, dan penanganan khusus untuk mereka yang
memiliki kecacatan.
Negara berkewajiban menyediakan sarana pendidikan yang
memungkinkan penyandang cacat dapat menikmati akses
pendidikan. Mereka tidak bisa disamakan dengan kemampuan rata-
rata umumnya anak. Karena kekurangannya itu, perlu penanganan
yang khusus.
11) Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, dan berekreasi sesuai dengan
minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Dunia anak tidak bisa dilepaskan dari dunia bermain dan
rekreasi. Orang tua harus memberikan arahan yang tepat agar
anaknya dapat menikmati rekreasi dengan baik dan benar. Bentuk-
bentuk rekreasi yang diberikan kepada anak harus memperhatikan
umur dan kecenderungan anak. Dengan begitu, anak akan merasa
terpenuhi kebutuhan istirahatnya karena mendapatkan suasana
rekreasi sesuai yang diharapkan.
Perwujudan rekreasi dapat dituangkan dalam bentuk
budaya dan seni. Sarana budaya dan seni sebagai saluran
menyalurkan rekreasi anak tentu harus disesuaikan dengan tingkat
kemampuan anak. Dan yang terpenting sarana budaya dan seni
tidak dijadikan alat eksploitasi bagi anak. Hal itu jelas tidak sesuai
dengan amanat dari konvensi hak anak ini.
5. Titik Persinggungan Islam dan HAM
Pada dasarnya Islam dan HAM memiliki banyak kesamaan dalam
mengatur hak-hak anak. Kedua norma hukum ini sama-sama mengakui
anak sebagai kelompok yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena
kelemahan dan kekurangannya. Namun demikian, kedua norma hukum ini
mendudukkan anak sebagai manusia bermartabat yang memiliki hak asasi
yang melekat pada dirinya. Karena kelemahannya, pemenuhan hak asasi
ini menjadi tanggung jawab orang tua, negara, dan masyarakat.
Beberapa hak asasi anak yang menjadi konsen Islam dan HAM
merupakan hak yang secara umum melekat pada manusia. Selain itu, ada
hak-hak khusus anak yang karena kekurangannya harus diatur secara
khusus sebagai hak anak.
Hak hidup anak merupakan hak paling inti dalam Islam dan HAM.
Islam menempatkan dosa membunuh anak setara dengan dosa
menyekutukan Allah (QS. Al-An’am (6):151). Sama halnya dalam HAM,
sebagaimana ditegaskan pada pasal 6 KHA negara-negara penandatangan
konvensi hak anak harus mengakui hak hidup anak. Dengan segala upaya
negara harus menjamin sampai pada jangkauan semaksimum mungkin
memenuhi hak hidup itu.
Pemberian nama bagi anak juga merupakan hak yang harus
diberikan kepada anak. Islam memberi perhatian etik atas pentingnya
sebuah nama. Nama, bagi Islam, seharusnya mengandung makna yang
baik dan menyiratkan cita-cita yang dipikulkan pada pundak anak.25 Hak
anak lain yang menjadi konsen Islam dan HAM adalah hak ekonomi,
pendidikan, dan kesehatan. Sebagai kelompok rentan yang tidak mampu
memenuhi kebutuhannya sendiri, anak mempunyai hak ekonomi yang
harus dipenuhi orang tua, negara, dan masyarakat. Hak ekonomi paling
dasar bagi anak, Islam dan HAM sepakat, yaitu pemberian ASI sejak
kelahiran anak. Bahkan anak berhak untuk mendapatkan ASI ekslusif
setidaknya selama 6 bulan. Meskipun Islam sendiri menyarankan agar
pemberian ASI dilakukan sampai usia anak mencapai dua (2) tahun.26
Anak juga berhak untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya
sendiri. Pengasuhan (hadhanah) anak oleh orang tuanya memiliki
kelebihan secara psikologis, karena memiliki hubungan emosional yang
25 Dalam sebuah hadis Nabi dikatakan: ”Berilah nama anakmu dengan nama-nama para
nabi”. (HR. Abu Dawud) 26 QS. Al-Baqarah (2) : 233. ”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”.
lebih dalam ketimbang diasuh oleh orang lain. Islam dan HAM
memandang betapa pentingnya pemenuhan hak ini bagi anak. Titik temu
Islam dan HAM dalam hal hak anak yang lain terletak pada pengakuannya
atas hak perlindungan anak dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, dan
penelantaran. Islam menempatkan anak lelaki dan perempuan setara dan
memiliki hak yang sama. Islam tidak memperkenankan perlakuan
diskriminatif terhadap salah satunya. Seperti penegasan dalam sebuah
hadis Nabi ”Berbuat adillah kepada anak-anakmu dalam pemberian”.27
Disamping memiliki persamaan, dalam beberapa konsep hak anak
antara Islam dan HAM berbeda. Hak asasi bagi anak, menurut Islam,
adalah hak-hak asasi yang diberikan Tuhan.28 Islam meletakkan al-Qur’an
dan hadis Nabi sebagai dasar dan penentuan konsep hak anak. Standar hak
anak diukur dari apa yang disebutkan dalam dua sumber hukum Islam itu,
termasuk apa yang dilarang dari sumber tersebut. Sementara HAM
meletakkan pengalaman kemanusiaan sebagai pijakannya. Pertimbangan
rasional-kemanusiaan menjadi filosofi dari terbentuknya konsep hak
anak.29
Konsep hak yang didasarkan pada pemikiran manusia akan
berubah sesuai dengan kebutuhan. Perubahan hukum (termasuk konsep
hak anak) senantiasa mengikuti perubahan yang terjadi dalam sistem
sosial. Dengan teorinya hukum rasional dan irrasional, Weber ingin
menjelaskan bahwa penyesuaian-penyesuaian hukum (hak anak) akan
selalu terjadi pada taraf-taraf perubahan sosial tertentu.30
Berangkat dari perbedaan pijakan filosofis di atas, perbedaan Islam
dan HAM dalam mengatur hak anak dapat dilihat dalam tabel berikut:31
Perbedaan Islam dan HAM
27 Al- Bukhary, Sahîh al-Bukhâry, hadis nomor 2397 28 Abul A’la Al-Maududi dalam Tahir Mahmood (ed.), Human Rights in Islamic Law,
(New Delhi, Jamia Nagar, 1993), hal. 2 29 Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam, Menyingkap Persamaan dan
Perbedaan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), hal. 36 – 37 30 A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, (Jakarta:
Sinar Harapan, 1988), hal. 368 – 403 31 Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam, hal. 40
No HAM Islam
1 Bersumber pada pemikiran
filosofis semata
Bersumber pada ajaran al-Qur’an dan
hadis Nabi Muhammad
2 Bersifat antrhoposentris Bersifat teosentris
3 Lebih mementingkan hak
daripada kewajiban
Keseimbangan antara hak dan
kewajiban
4 Lebih bersifat individualistik Kepentingan sosial (kebersamaan)
diperhatikan
5 Manusia dilihat sebagai pemilik
sepenuhnya hak-hak dasar
Manusia dilihat sebagai makhluk yang
dititipi hak-hak dasar oleh Tuhan, dan
oleh karena itu mereka wajib
mensyukuri dan memeliharanya
Perbedaan mendasar lain terletak pada penentuan usia anak. HAM
menetapkan batas usia anak 18 tahun, sebelum tahun itu disebut anak,
ketika lebih masuk orang dewasa. Sementara Islam menempatkan kualitas
sebagai pembeda anak dan dewasa. Ketika seorang telah bermimpi basah
(mimpi bersenggama dan mengeluarkan mani) bagi laki-laki dan telah
mendapat menstuasi bagi perempuan serta mampu membedakan yang baik
dan buruk maka saat itu ia telah memasuki usia dewasa. Meski tidak ada
standar yang ketat tentang batas usia anak dalam Islam, para pemikir
hukum Islam (fuqaha) memperkirakan usia kedewasaan seorang laki-laki
dicapai pada usia sekitar 15 – 17 tahun, sementara perempuan lebih cepat
yaitu usia 12 – 15 tahun.
Dari sisi kapan hak anak diberikan, Islam menetapkan sebelum
lahir anak sudah memiliki hak. Islam menetapkan adanya hak anak
meskipun masih dalam kandungan, sementara HAM tidak mengakui hak
anak prakelahiran. Dalam Islam, anak yang berada dalam kandungan
diakui sebagai orang yang hidup, dengan bukti adanya perkembangan
janin.
Kebebasan dalam menentukan agama merupakan hak anak yang
diperdebatkan antara Islam dan HAM. Dalam kovenan hak anak dijelaskan
pasal tentag kebebasan beragama dan beribadah bagi anak. Kebebasan ini
diberikan sesuai tingkat kecerdasan anak dalam memilih agama. Artinya,
kebebasan beragama diakui dalam kovenan hak anak. Islam pada
prinsipnya mengakui hak kebebasan beragama karena Islam menyakini
pemilihan seseorang terhadap Islam karena merupakan petunjuk (hidayah)
dari Allah. Namun dalam konteks agama anak, orang tua memiliki
intervensi besar untuk menentukannya. Agama anak dapat dikatakan
ditentukan oleh pilihan dari orang tuanya.
Perbedaan penting lain antara Islam dan HAM adalah pengakuan
adanya kewajiban anak dalam Islam. Islam mengakui keseimbangan
antara hak dan kewajiban. Selain menetapkan hak-hak anak, Islam juga
menetapkan kewajiban-kewajiban anak. Dengan adanya kewajiban, hak
akan timbul dengan sendirinya.32 Kewajiban yang harus dipenuhi oleh
anak, menurut Mahmud Syaltut, menyangkut kewajiban terhadap Tuhan,
terhadap sesama manusia, dan terhadap kehidupan dan alam seluruhnya.33
Kewajiban anak terhadap Tuhan adalah beriman kepada-Nya dan
Rasul-Nya serta dengan tulus ikhlas menyembah-Nya.34 Kewajiban
terhadap sesama manusia, terutama orang tuanya, seorang anak harus
menghormati dan berbuat baik kepadanya (ihsan). Anak dilarang
bertindak durhaka kepada orang tuanya. Tindakan durhaka ini termasuk
kategori dosa besar.35
6. Konteks Indonesia
Konsep hak anak Indonesia mengadopsi hak anak dalam hak asasi
manusia. Namun demikian, konsep hak anak tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh konsep hak anak yang ada di dalam Islam. Artinya, konsep hak
32 Rusjdi Ali Muhammad, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Syariat Islam, (Aceh:
IAIN Al-Raniry, 2004), hal. 35 – 36 33 Mahmud Syaltut, Al-Islam, ‘Aqidah wa Syariah, (Mesir: Dar al-Qalam, 1966), cet. ke-
3, hal. 12 34 Harun Nasution dan Bahtiar Effendy, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1987), hal. vii – viii; juga Abu A’la Al-Maududi, Towards Understanding Islam,
hal. 155 35 QS. Al-Baqarah (2) : 83; lihat juga Al-Nisah (4) : 36 dan Al-Isra (18) : 23
anak yang ada di Indonesia lahir dan dipengaruhi oleh konsep hak anak
menurut HAM, konsep Islam, dan konsep budaya yang berkembang di
Indonesia.
Konsep anak dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, memasukkan anak yang masih dalam kandungan.
Janin dimasukkan sebagai anak dengan tujuan mencegah adanya tindakan
dari orang yang tidak bertanggung jawab terhadap usaha penghilangan
janin yang dikandung seseorang.36 Definisi dalam UU ini sama dengan
definisi anak yang digunakan dalam Islam.
Konsep hak anak Indonesia mengakui adanya keseimbangan antara
hak dan kewajiban. Selain mengakui hak-hak yang mengikat pada anak,
juga mengakui adanya kewajiban bagi anak. Kewajiban anak seperti
disebutkan pada pasal 19 meliputi: menghormati orang tua, wali, dan guru;
mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; mencintai tanah
air, bangsa, dan negara; menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran
agamanya; dan melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Demikian halnya dengan kebebasan beragama. Anak dapat
menentukan agama ketika anak sudah dapat menentukan sendiri
pilihannya. Artinya, ketika anak belum menentukan pilihan agamanya,
maka agama anak adalah agama yang dipeluk oleh orang tuanya.
C. Penutup
Islam dan HAM pada dasarnya memiliki konsep yang sama mengenai
hak-hak anak. Keduanya mengakui bahwa hak anak melekat pada diri anak
sejak kelahirannya. Bedanya, Islam menempatkan keseimbangan antara hak
dan kewajiban. Hal ini berbeda dalam HAM yang hanya mengenal hak anak
dan tidak mengakui adanya kewajiban anak. Perbedaan konsep Islam dan
HAM tentang hak anak yang paling mendasar terletak pada filosofinya. Hak-
hak anak dalam Islam bersumber dari teks suci, sedangkan hak-hak anak
dalam HAM bersumber dari budaya manusia.
36 Apong Herlina, dkk., Perlindungan Anak, hal. 7
Konsep hak anak di Indonesia mengadaptasi konsep hak anak dalam
HAM dan dipengaruhi oleh konsep hak anak dalam Islam. Ada beberapa
konsep yang selaras antara Islam dan konsep Indonesia, yaitu pengakuan hak
anak semasa di kandungan, menerapkan keseimbangan antara hak dan
kewajiban, dan pengakuan peran orang tua dalam menentukan agama anak.
Daftar Pustaka
Abdul Razaq Husein, al-Islam wa al-Thifl, (Riyadh: tp.,tt.)
Abul A’la Al-Maududi dalam Tahir Mahmood (ed.), Human Rights in Islamic
Law, (New Delhi, Jamia Nagar, 1993)
Abu Hadiyan Syafiyarrahman, Hak-hak Anak dalam Syariat Islam (Dari Janin
Hingga Paska Kelahiran), Terj. (Yogyakarta: Al-Manar, 2003), cet. ke-1
Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam, Menyingkap Persamaan dan
Perbedaan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003)
Ahmad Ubaidillah (et.al), Pendidikan Kewargaan (civic Education) : Demokrasi,
Haka Azasi Manusia & Masyarakat Madani. (Jakarta : IAIN Press)
Al-Jurjani, al-Ta’rifat, (Mesir: Maktabah wa mathba’ah Mushthafa al-Babi al-
Halabi wa Auladih, 1936)
Apong Herlina, dkk., Perlindungan Anak Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, (Jakarta: 2003)
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademika Presindo, 1985)
A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial,
(Jakarta: Sinar Harapan, 1988)
David Weissbrodt, Hak Asasi Manusia: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Yayasan
Obor Indonesia, 1994, h. 1
Harun Nasution dan Bahtiar Effendy, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1987)
Muhammad Maksum, dkk., “Hukuman Mati Ditinjau dari Sudut Pandang HAM”,
yang dilakukan oleh Badan Litbang HAM Departemen Hukum dan HAM
dengan Puskum-HAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ibnu Mandzur, Lisan al-'Arab, (Kairo: Dal al-Ma'arif, tt.), j. IV
Irwanto, Anak Tanpa Jaminan Dasar, (Jakarta: LPDS dan Unicef, 2000)
Mahmud Syaltut, Al-Islam, ‘Aqidah wa Syariah, (Mesir: Dar al-Qalam, 1966), cet.
ke-3
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 15, (Jakarta: Lentera, 2007),
cet. ke-7
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, j.2, hadis nomor 4700,
(Beirut: Dar al-Qalam, 1987)
Raf'at Farid Swilam, al-Islam wa huquq al-Thifl, (Kairo: Dar Mahsyin, 2002), hal.
14; lihat pula M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera
Hati, 2003), Vol. 1
Rahim Umran dan M. Hasyim, Islam dan Keluarga Berencana, (Jakarta: Lentera,
1997)
Rusjdi Ali Muhammad, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Syariat Islam,
(Aceh: IAIN Al-Raniry, 2004)
Suharsono, Mencerdaskan Anak, (Depok: Inisiasi Press, 2004)
Yusuf al-Qardhawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (t.t.: Dar al-Ma’rifah,
1985)