hakekat ilmu : mencari alternatif kebenaran baru

8
Hakekat Ilmu : “Mencari Alternatif Kebenaran Baru” Mengkaji Pemikiran Jujun Suparjan Suriasumantri 1 Oleh : Ali Murfi 2 A. Pendahuluan Membincangkan pemikiran Jujun S. Suriasumantri tidaklah mudah, karena terlalu luas spectrum pemikiranya, merambah mulai dari social, budaya, pendidikan, sampai filsafat. Pemikiranya dapat dilihat dari pelbagai aspek, tapi basis analisinya dalam melihat realitas tetap sama, yaitu filsafat. Sebagai seorang yang telah lama berkecimpung dalam dunia kademik dan berinteraksi dengan pelbagai teks- teks yang membebaskan, tidak mengherankan jika dia telah memiliki paradigm atau pandangan dasar yang khas. Cara pendang yang khas tersebut merupakan stand point, tempat berpijak, atau paradigma. Basis analisisnya dalam melihat realitas dengan filsafat inilah, yang hendak penulis lihat sebagai bahan konstruksi pemikiran Jujun Suparjan Suriasumntri tentang hakikat ilmu untuk mencari kebenaran baru. B. Mencari Alternatif Kebenaran Baru 1 Jujun Suparjan Suriasumantri. Lahir di Tasikmalaya, tanggal 9 April 1940. Setelah melalui pendidikan di SD V, SMP III dan SMA II, yang semuanya berada di Bandung melanjutkan ke institute Pertanian (IPB) di Bogor, dan lulus tahun 1969 sebagai insinyur pertanian. Pada tahun 1970, sebagai dosen IPB, mewakili Konsorsium Ilmu-Ilmu Pertanian dalam Latihan Educational System Analysis selama 8 bulan, yang diselenggarakan Unesco di Jakarta. Selesai dari latihan tersebut, pada tahun 1971 melanjutkan studi ke Harvard University sebagai Unesco fellow, dan lulus tahun 1975, dengan disertasi yang berjudul The Utilities of PPBS and Organization Development Planning: An Indonesian Case. 2 Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Kependidikan Islam 2011, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 1

Upload: ali-murfi

Post on 30-Jun-2015

2.752 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hakekat Ilmu : Mencari Alternatif Kebenaran Baru

Hakekat Ilmu : “Mencari Alternatif Kebenaran Baru”

Mengkaji Pemikiran Jujun Suparjan Suriasumantri1

Oleh : Ali Murfi2

A. Pendahuluan

Membincangkan pemikiran Jujun S. Suriasumantri tidaklah mudah, karena

terlalu luas spectrum pemikiranya, merambah mulai dari social, budaya, pendidikan,

sampai filsafat. Pemikiranya dapat dilihat dari pelbagai aspek, tapi basis analisinya

dalam melihat realitas tetap sama, yaitu filsafat. Sebagai seorang yang telah lama

berkecimpung dalam dunia kademik dan berinteraksi dengan pelbagai teks- teks yang

membebaskan, tidak mengherankan jika dia telah memiliki paradigm atau pandangan

dasar yang khas. Cara pendang yang khas tersebut merupakan stand point, tempat

berpijak, atau paradigma.

Basis analisisnya dalam melihat realitas dengan filsafat inilah, yang hendak

penulis lihat sebagai bahan konstruksi pemikiran Jujun Suparjan Suriasumntri tentang

hakikat ilmu untuk mencari kebenaran baru.

B. Mencari Alternatif Kebenaran Baru

Pengetahuan

Pengetahuan diartikan secara luas, mencakup segala hal yang kita ketahui

tentang suatu obyek tertentu. Pengetahuan adalah terminology generic yang mencakup

segenap pengetahuan yang kita miliki. Manusia mendapatkan pengetahuan tersebut

berdasarkan kemampuanya selaku makhluk berpikir, merasa, dan mengindera. Di

samping itu manusia bisa juga mendapatkan pengetahuanya lewat intusi dan wahyu dari

Tuhan yang disampaikan lewat utusan-Nya.

Secara garis besar kita dapat menggolongkan pengetahuan menjadi tiga kategori utama

yakni :

(1) Pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk (etika)

1 Jujun Suparjan Suriasumantri. Lahir di Tasikmalaya, tanggal 9 April 1940. Setelah melalui pendidikan di SD V, SMP III dan SMA II, yang semuanya berada di Bandung melanjutkan ke institute Pertanian (IPB) di Bogor, dan lulus tahun 1969 sebagai insinyur pertanian. Pada tahun 1970, sebagai dosen IPB, mewakili Konsorsium Ilmu-Ilmu Pertanian dalam Latihan Educational System Analysis selama 8 bulan, yang diselenggarakan Unesco di Jakarta. Selesai dari latihan tersebut, pada tahun 1971 melanjutkan studi ke Harvard University sebagai Unesco fellow, dan lulus tahun 1975, dengan disertasi yang berjudul The Utilities of PPBS and Organization Development Planning: An Indonesian Case.

2 Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Kependidikan Islam 2011, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

1

Page 2: Hakekat Ilmu : Mencari Alternatif Kebenaran Baru

(2) Pengetahuan tentang yang indah dan yang jelek (estetika)

(3) Pengetahuan tentang yang benar dan yang salah (logika).

Apakah Ilmu ?

Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan baru yang mempunyai cirri-ciri tertentu

yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainya. Cirri-ciri keilmuan

didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap tiga matra kefalsafahan, yakni

Apa yang ingin kita ketahui ? Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan ? Dan

apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita ?

Pengetahuan mempunyai cabang berbagai cabang pengetahuan dan ilmu merupakan

salah satu dari cabang pengetahuan tersebut. Karakteristik keilmuan itulah yang

mencirikan hakikat keilmuan dan sekaligus membedakan dari berbagai cabang

pengetahuan lainya atau dengan perkataan lain, karakteristik keilmuan menjadikan ilmu

merupakan suatu oengetahuan yang bersifat ilmiah. Dengan demikian, maka sinonim

dari ilmu adalah pengetahuan ilmiah (scientific knowledge).

Apakah kebenaran ?

Ilmu, dalam upaya untuk menemukan kebenaran, mendasarkan dirinya kepada

beberapa criteria kebenaran. Kriteria tersebut seringkali disebut sebagai teori, adalah

kriteria koherensi, korespondensi dan pragmatisme.

Koherensi merupakan terori kebenaran yang mendasarkan diri kepada criteria tentang

konsistensi argumentasi. Sekiranya terdapat konsistensi dalam alur berpikir, maka

kesimpulan yang ditariknya adalah benar. Sebaliknya, jika terdapat argumentasi yang

bersifat tidak konsisten, maka kesimpulan yang ditariknya adalah salah. Secara

keseluruhan argumentasi yang bersifat konsisten tersebut juga harus bersifat koheren

untuk dapat disebut benar. artinya, jalur - jalur pemikiran yang masing-masing bersifat

konsisten seluruhnya, maka juga harus terpada secara utuh (koheren), baik ditinjau dari

lingkup argumentasi, maupun dikaitkan dengan pengetahun-pengetahuan sebelumnya

yang dianggap benar. landasan koherensi inilah yang dipakai sebagai dasar kegiatan

keilmuan untuk menyusun pengetahuan yang bersifat sistematis dan konsisten.

Korespondensi merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada criteria

tentang kesesuaian antara materi yang dikandung oleh suatu pernyataan dengan obyek

yang dikenai pernyataan tersebut. Artinya, bila kita menyatakan bahwa “gula itu rasany

manis”, maka pernyataan itu adalah benar sekiranya dalam kenyataanya gula itu rasanya

memang manis. Sebaliknya, jika kenytaanya tidak sesuai dengan materi pernyataan

yang dikandungnya, maka pernyataan itu adalah salah. Umpamanya saja, pernyataan

2

Page 3: Hakekat Ilmu : Mencari Alternatif Kebenaran Baru

yamg menyebutkan bahwa “gula itu rasanya asin”. Dapat disimpulkan bahwa sifat salah

atau benar dalam teori korespondensi disimpulkan dalam proses pengujian (verifikasi)

untuk menentukan sesuai atau tidaknya suatu pernyataan dengan kenyataan yang

sebenarnya.

Pragmatisme merupkan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada criteria tentang

berfungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Jadi,

bila suatu teori keilmuan secara fungsional mampu menjelaskan, meramalkan dan

mengontrol suatu gejala alam tertentu, maka secara pragmatis teori iu adalah benar.

sekiranya, dalam kurun waktu yang berlainan, muncul teori lain yang (lebih) fungsional,

maka kebenaran kita alihkan kepada teori tersebut. Dalam dunia keilmuan, nilai

kegunaan pengetahuan didasarkan kepada preferensi kepada teori yang bersifat lebih

meyakinkan dan lebih bersifat umum (universal) dibandingkan dengan teori-teori

sebelumnya. Bukankah ilmu sekadar alat yang berfungsi untuk menjelaskan,

meramalkan, dan mengontrol gejala alam ?

Mencari Alternatif Paradigma Kebenaran Baru

Tidak puas dengan paradigma kebenaran keilmuan konvensional, terutama

paradigma kebenaran keilmuan yang bersifat pragmatis, akhir-akhir terdapat

kecenderungan untuk mncari alternative paradigma kebenaran baru. Alternatif ini

berorientasikan pada kebenaran yang bersifat mutlak dan deterministic dibandingkan

dengan paradigma keilmuan dewasa ini yang bersifat pragmatis dan probabilistic.

Sumber paradigma kebenaran baru ini ialah Agama.

Dalam khazanah kemerdekaan berpikir, tentu saja upaya semacam ini patut dihargai,

apalagi terdapat alas an-alasan kuat bagi orientasi pemikiran keilmuan yang baru itu.

Ilmu dan penerapanya yang bernama teknologi, ternyata tidak dapat memecahkan

semua permasalahan manusia, dan bahkan memberikan dampak yang bersifat negative

seperti dehumanisasi kebudayaan dan degradasi moral.3 Menghadapi kenyataan ini, ada

kalangan yang berpendapat bahwa kesemrawutan tersebut bersumber dari materi

kebenaran keilmuan itu sendiri. Atau secara filosofis, bila kita mempergunakan criteria

hakikat pengetahuan terkait denagn asas ontolohi dan epistemoloho keilmuan.

Bila kita mencoba menempuh jalan ini, terutama bila kita mengaitkanya dengan

kebenaran yang bersumber pada ajaran agama, maka terdapat beberapa hal yang patut

diperhatikan. Pertama, apakah pernyataan yang terkandung dalam ajaran agama

tersebut bersifat factual atau sombolik. Factual disini diartikan bahwa pernyataan yang

3 Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu,( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1984), hal. 229-236

3

Page 4: Hakekat Ilmu : Mencari Alternatif Kebenaran Baru

terkandung didalamnya dapat ditafsirkan secara harfiah. Gejala-gejala fisik untuk

dinyatakan secara harfiah, tetapi tubuh teori keilmuan tidak sekadar menganalisis gejala

namun lebih dalam dari itu, yakni mengkaji konsepsi yang merupakan reduksi dan

abstraksi dari gejala tersebut. Kedua, apakah pernyataan yang terkait denagan keilmuan

itu memang bersifat mengandung hakikat kebenaran itu sendiri (kognitif), ataukah

sekadar ilustrasi yang bersifat mengajak manusia untuk memepelajari alam dan

kehidupan (afektif).4 Permasalahan tentang factual-simbolik dan kognitif-afektif inilah

yang harus kita perhatiakan secara sungguh-sungguh sebelum kita melangkah lebih

jauh.

Saya sendiri berpendapat bahwa agama dapat berfungsi sebagai kendali moral bagi hal

tersebut. Dalam hal ini, saya juga berpendapat bahwa terdapat nilai-nilai universal

dalam berbagai agama yang dapat dijadikan rujukan bagi kendali moral kegunaan ilmu

tersebut. Agama mengajarkan kebaikan kepada manusia, dan ilmu didasarkan kepada

ajaran agama, seyogyanya diamalkan untuk kebaikan manusia. Impetus (energy gerak)

intelektual Muslim untuk mengkaji ilmu dikaitkan dengan ajaran agamanya, ditinjau

dari segi aksiologis ini, diharapkan bukan saja akan membawa berkah bagi umat Islam

itu sendiri, tetapi akan membawa berkah bagi umat manusia dengan mengajak

intelektual dari agama-agama lain untuk menemukan rujukan moral yang universal.

C. Kesimpulan

Dilihat dari perspektif makro, posisi Jujun Suria Sumantri dapat dikategorikan

sebagai kritikus diskursus filsafat. Kritik utamanya adalah ketidakpuasan dengan

paradigma kebenaran keilmuan konvensional, terutama paradigma kebenaran keilmuan

yang bersifat pragmatis, dia menawarkan pencarian alternatif paradigma kebenaran

baru. Alternatif ini berorientasikan pada kebenaran yang bersifat mutlak dan

deterministic dibandingkan dengan paradigma keilmuan dewasa ini yang bersifat

pragmatis dan probabilistic. Sumber paradigma kebenaran baru ini ialah Agama.

Dalam khazanah kemerdekaan berpikir, tentu saja upaya semacam ini patut

dihargai, apalagi terdapat alas an-alasan kuat bagi orientasi pemikiran keilmuan yang

baru itu. Ilmu dan penerapanya yang bernama teknologi, ternyata tidak dapat

memecahkan semua permasalahan manusia, dan bahkan memberikan dampak yang

bersifat negative seperti dehumanisasi kebudayaan dan degradasi moral.5 Menghadapi

kenyataan ini, ada kalangan yang berpendapat bahwa kesemrawutan tersebut bersumber 4 Lihat Jujun S, Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik, (Jakarta: Gramedia, 1986), hal.

194-2055 Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu,( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1984), hal. 229-236

4

Page 5: Hakekat Ilmu : Mencari Alternatif Kebenaran Baru

dari materi kebenaran keilmuan itu sendiri, atau secara filosofis, bila kita

mempergunakan criteria hakikat pengetahuan terkait denagn asas ontologi dan

epistemologi keilmuan.

D. Daftar Pustaka

Suriasumantri, S. Jujun. 1997. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

. 1984. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

. 1986. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik. Jakarta:

Gramedia

Saefuddin, M. Ahmad. 1991. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi.

Bandung: Penerbit Mizan

5