halaman judul oligarki dan demokrasi: kajian sumber...
TRANSCRIPT
HALAMAN JUDUL
OLIGARKI DAN DEMOKRASI:
Kajian Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara di Banten
Tesis
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pengkajian Islam
dalam Bidang Agama dan Politik
Oleh:
Ahmad Munjin
NIM: 13.2.00.1.37.01.0009
Promotor:
Ali Munhanif, Ph.D.
NIP: 196512121992031004
Konsentrasi Agama dan Politik
Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2017/2018
ii
iii
KATA PENGANTAR
Alhamd lilla>h, dengan rasa penuh syukur ke hadirat Allah SWT, penulis
mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan Program Magister (S2),
Sekolah Pascasarjana (SPs), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, sebuah pascasarjana yang menerapkan metodologi interdisciplinary. Saat
dinyatakan lolos pada medio 2013 sebagai mahasiswa SPs, muncul dua perasaan
yang campur aduk. Di satu sisi, senang tapi di lain sisi, khawatir atas kewajiban
yang dibebankan sebagai konsekuensi menjadi mahasiswa pascasarjana. Namun
demikian, peneliti sadar bahwa menerima amanat ini merupakan salah satu wujud
syukur terhadap Yang Maha Kuasa. Salah satu wujud syukur tersebut adalah
dengan menjalankan amanat menuntut ilmu sebaik-baiknya. Sebab, secara spiritual,
tugas penelitian ini bukan hanya berasal dari UIN Jakarta melalui SPs, tapi juga
dari Allah SWT melalui kitab sucinya, yang berbunyi, Iqra’. Peneliti dan semua umat Islam sangat bangga memiliki kitab suci yang
ayat pertamanya diturunkan berisi perintah riset tersebut. Peneliti berharap tesis
ini, Oligarki dan Demokrasi: Kajian Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara di Banten menjadi sebagian kecil dari pelaksanaan perintah iqra. Sebagai salah satu
noktah dari umat Islam, peneliti merasa terpanggil demikian dan bercita-cita Islam
benar-benar menjadi agama yang rahmatan lil-alamin melalui pencapaian ilmu dan
sains tertinggi para penganutnya.
Selanjutnya, dalam proses penelitian, betapapun sederhananya tentu
merupakan hasil dari proses-proses yang justru tidak sederhana dan melibatkan
banyak pihak. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada
Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., rektor UIN Jakarta dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah,
M.A., Direktur Sekolah Pascasarjana yang telah memberikan suasana dan sarana
yang kondusif untuk pembelajaran di level pascasarsajana baik secara fisik maupun
sistem. Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE, M.A. yang telah mewanti-wanti peneliti
untuk menghindari tema penelitian yang terlalu luas sehingga perlu dipersempit.
Selain untuk mempermudah juga untuk menghemat waktu, tenaga, dan biaya
penelitian.
Ali Munhanif, Ph.D, sebagai promotor penelitian ini yang telah
memberikan pencerahan bahwa pembatasan penelitian bukan hanya pada ruang,
waktu, dan lingkup penelitian, tapi juga teori penelitian. Oleh karena itu, penelitian
ini hanya fokus pada empat sumber daya kekuasaan, yakni: koersif, jabatan resmi,
hak politik formal, mobilisasi, dan material. Yang disebut terakhir merupakan
sumber daya kekuasaan oligarkis sedangkan empat lainnya merupakan basis
kekuasaan elite dalam sistem demokrasi. Doktor Ali juga, di tengah jadwalnya yang
padat dan sibuk, tak henti-henti mengkritisi isi tesis ini. Dalam banyak diskusi
bimbingan dengan peneliti, Doktor Ali lebih banyak bersikap skeptis terhadap
posisi tesis ini terutama perihal oligarki yang sumber daya kekuasaannya bukan
material yang dinegasikan oleh tesis ini.
iv
Prof. Dr. Murodi, M.A. sebagai penguji Ujian Proposal penelitian ini yang
dengan tanpa kompromi menekankan pentingnya untuk menghilangkan sikap
tendensius dalam penulisan ilmiah. Jika dibiarkan sikap tersebut akan menggerus
kadar keilmiahan sebuah karya. Apalagi jika penulisan yang tendensius itu tidak
dilengkapi dengan data-data.
Kemudian, Prof. Dr. Salman Harun, M.A. yang telah menyarankan kepada
peneliti untuk mengungkapkan teori oligarki secara jernih dan utuh sehingga tuntas
dan lengkap. Atas saran tersebut, peneliti mengungkapkan teori oligarki mulai dari
definisi, proses pembentukkannya yang berbasis stratifikasi material, siapa oligark
dan bagaimana oligarki, rezim pertahanan harta, hingga efek oligarki, yakni
ketidaksetaraan materi yang ekstrem menyebabkan ketidaksetaraan politik yang
ekstrem pula. Prof. Andi Faisal Bakti, M.A. Ph.D yang telah memberikan terobosan
metodologis dalam proses penelitian ini. Terobosan dimaksud adalah menurunkan
teori ke dalam konsep-konsep yang ditemukan di lapangan penelitian. Metodologi
yang disodorkan Prof. Andi sangat berdaya guna dan aplikatif dalam proses
penelitian ini. J.M. Muslimin, M.A. Ph.D perihal teknik penulisan terutama
footnote yang beruntun. Lalu, Yusuf Rahman, Ph.D. yang menekankan tentang
aspek Islam dari penelitian ini sebagai program studi pengkajian Islam dengan
konsentrasi agama dan politik yang disintesiskan menjadi politik Islam.
Prof. Dr. Zulkifli, M.A., penguji Ujian Work in Progress (WIP) I yang
menyarankan pengemasan kembali oligarki dalam perspektif Islam. Begitu juga
Prof. Dr. Ahmad Rodoni, M.M., penguji II Ujian WIP I yang menyarankan
pentingnya konsistensi penulisan nama orang dalam teknik penulisan tesis ini. Dr.
Kusmana, M.A. penguji I Ujian Work in Progress (WIP) II yang telah menyarankan
untuk melakukan abstraksi atas temuan penelitian ini. Temuan tersebut harus
dibandingkan dengan temuan-temuan dalam tema-tema yang serupa dari para
peneliti dan akademisi lain. Begitu juga dengan Dr. M. Arief Mufraini, Lc., M.Si
penguji II Ujian Work in Progress (WIP) II yang telah memberikan saran tentang
pentingnya melakukan abduction dalam ilmu sosial di mana peneliti disarankan
untuk keluar dari kungkungan teori oligarki Jeffrey A. Winters. Doktor Arief
menyarankan untuk melakukan teorizing dari temuan-temuan di lapangan—from
nothing to teorizing.
Prof. Dr. Masykuri Abdillah, Ketua Sidang yang merangkap Penguji Ujian
Pendahuluan atas sarannya untuk menambahkan teori demokrasi yang tampak
kurang terlihat di bab II. Sebab, peneliti terlalu fokus pada teori oligarki. Begitu
juga dengan pembatasan masalah yang sejatinya meliputi: konsep, tempat dan
waktu. Peneliti juga diminta untuk memberikan uraian yang jelas mengenai term
"pemberdayaan" dan "money politics" sehingga terlihat perbedaan dari keduanya.
Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, M.A., sebagai Penguji I atas sarannya untuk berani
"menabrak" teks sehingga tidak terkooptasi olehnya. Peneliti juga
diingatkan untuk menambah wawancara dengan informan. Begitu juga
dengan pengecekan kembali penggunaan bahasa Inggris dalam tesis ini.
Peneliti juga diminta untuk memperkuat kembali literature review. Peneliti
diingatkan tentang banyaknya kata yang berulang-ulang.
v
Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si. yang mempertanyakan riset ini apakah
mencakup isu-isu aktual, misalnya tentang posisi penguasaan akses dengan
masuknya Andika Hazrumy sebagai Wakil Gubernur Banten saat ini.
Peneliti disarankan untuk melihat komparasi oligarki di zaman Tubagus
Chasan Sochib dengan oligarki yang diteruskan oleh keturunannya, seperti
Ratu Atut Chosiyah. Peneliti juga diminta untuk memiliki data tentang
bisnis keluarga Tubagus Chasan Sochib dan korelasinya dengan kekuasaan
di Banten. Intinya, Dr. Gun Gun menyarantkan untuk update data, bangun
logika dengan lebih koheren, dan perkuat analisis terutama tentang asumsi
yang berkembang di masyarakat bahwa oligarki di Banten tidak dapat
dipatahkan. Untuk itu, alangkah baiknya jika uraian mengenai kekuatan
ekonomi keluarga Tubagus Chasan Sochib dibuat bagan. Kepada Asep Muhammad Saepul Islam, sahabat setia peneliti yang telah
memberikan inspirasi tentang pencapaian pengetahuan terdalam secara efektif,
produktif dan tanpa lelah. Aceng Abdul Qodir yang telah memberikan rujukan
kitab-kitab hadis dalam bentuk PDF. Kepada Abdul Aziz Nurizun yang telah
membantu kelancaran penelitian di Banten. Alimani yang telah membawa peneliti
lebih dekat dengan aspek budaya, politik, dan ekonomi Banten. Peneliti telah
ditemani mengunjungi kawasan industri baja PT Krakatau Steel Tbk, industri kimia
PT Chandra Asri Tbk, dan energi listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
yang menyuplai setrum untuk Jawa-Bali, Pelabuhan Merak yang super sibuk di
Cilegon yang menjadi salah satu basis sumber daya kekuasaan material Provinsi
Banten. Peneliti juga dibawa ke Masjid Agung Serang dan berziarah ke Makam
Sultan Maulana Hasanuddin dengan jutaan nilai historis di dalamnya. Keesokan
harinya, peneliti ditemani untuk wawancara dengan pihak Badan Pusat Satitik
(BPS) Provinsi Banten di Kota Serang. Di atas semua itu, terima kasih atas
sambutan, keramahtamahan dan telah menjadi guide yang baik. Ali juga telah
menjadi penutur ulang sejarah jawara dan kiai yang baik. Peneliti juga berutang budi kepada Prof. Jeffrey A. Winters, Prof. M.A.
Tihami, Syarif Hidayat, Leo Agustino, Abdul Hamid dan Okomato Masaaki.
Dengan segala kerendahan hati, peneliti berani mengatakan, tanpa karya-karya
mereka yang luar biasa, karya ini mungkin tidak akan pernah ada. Secara khusus,
Profesor Jeffrey A. Winters, ilmuwan politik Northwestern University, Amerika
Serikat yang dengan baik hati memberikan masukkan kepada peneliti untuk coba
menulis pembukaan tesis dengan serangkaian kalimat deklaratif yang jernih, tegas,
dan berani. Kata dia, sering mahasiswa mondar mandir dengan halaman pembuka
yang seperti air di panci yang hangat terlebih dahulu dan baru kemudian mendidih.
Prof. Winters menyarankan kepada peneliti untuk membuat pembaca kaget dengan
kalimat pertama.
Secara kelembagaan, peneliti juga berterima kasih kepada BPS Provinsi
Banten, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), dan Indonesian Corruption Watch (ICW). Lembaga-lembaga
tersebut memiliki peran yang sangat penting dalam penyediaan data-data sekunder
vi
yang kredibel dan eligible dalam penelitian ini. Begitu juga dengan Perpustakaan
nasional atas akses jurnal internasional secara daring dan gratis.
Kepada kedua orang tua peneliti, H. Ojidin, S.Pd.I. dan Popon Fatimah
yang telah mendorong anak-anaknya untuk cinta pengetahuan. Kepada istriku
tercinta, Eva Syaripatunnisa, S.E.Sy. atas pengertian dan bantuannya dalam proses-
proses penelitian ini. Begitu juga adik-adik tercinta, Lala Nurlatipah, S.Psi., Eni
Nuraeni, S.Sos., dan Mahbub Hamdani yang selalu menjadi semangat dan inspirasi
bagi peneliti.
K.H. Irfan Hielmy (almarhum), pengasuh Pondok Pesantren Darussalam
Ciamis, Jawa Barat yang terus menginspirasi untuk cinta ilmu di mana saja dan
kapan saja sehingga mendorong semangat peneliti untuk melanjutkan studi ke
jenjang yang lebih tinggi. Salah satu moto Kiai Irfan adalah ‘bukalah satu pintu,
niscaya terbuka pintu-pintu lainnya.’ Tesis ini pun diharapkan menjadi pembuka
pintu-pintu lain tersebut. Oleh karena itu, karya ini diharapkan menjadi sebab
dipertemukannya peneliti dengan ilmuwan-ilmuwan lain dari berabagai bidang
keilmuan baik secara fisik ataupun gagasan setelah melalui proses membaca dunia
dan dibaca dunia.
Dr. Herdi Sahrasad dan Kakak Emi yang telah menjadi ‘orang tua’ peneliti
di Jakarta. Terima kasih banyak atas akomodasi, diskusi, dan dorongannya kepada
peneliti untuk terus menulis. Tema penelitian ini pun pada dasarnya lahir dari
diskusi panjang di rumah Dr. Herdi. Di lapangan, Adam Sofian, Kepala Seksi
Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten dan Fitron Nur
Ikhsan, juru bicara keluarga besar Ratu Atut Chosiyah. Terima kasih banyak telah
menjadi informan yang ramah dan baik.
Terima kasih kepada Muchlis Hasyim Jahya dan Fahmi Alamsyah yang
telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mencari nafkah di PT
Indonesia News Center (INC) dengan bendera Inilahcom. Terima kasih kepada PT
INC yang telah memberikan keleluasan waktu sehingga peneliti bisa bekerja kapan
saja dan di mana saja menyesuaikan dengan proses pengerjaan penelitian ini.
Meskipun demikian, pekerjaan tersebut tetap saja menguras banyak waktu sehingga
memaksa peneliti melakukan penelitian dalam waktu yang sangat kikir. Akan
tetapi, bekerja di mana saja dan kapan saja telah menjadi win-win solution dan
menjadi jembatan bagi pekerja sekaligus menjadi peneliti.
Dindien Ridhotulloh, Pemimpin Redaksi, Wahid Ma’ruf, dan Iwan
Purwantono, Redaktur Pelaksana yang telah menanggung beban pekerjaan peneliti
saat absen dari tugas sehari-hari karena kuliah. Mereka semua pasti sangat
direpotkan di saat-saat peneliti mengikuti jam-jam perkulian dan melakukan
penelitian lapangan. Terima kasih dan mohon maaf atas semua itu. Moh. Nabil,
Luthfi Syarkawi, Irham Yuanamu, Nengsih, Moh. Shofan dan Dr. Abdul Karim
yang telah dengan setia mendengarkan ‘ocehan’ dan ‘curhatan’ peneliti perihal
oligarki yang menjadi tema penelitian ini dan memberikan feedback yang cerdas
dan mencerahkan.
Tanpa mengurangi rasa hormat dan terima kasih, tentu masih banyak nama
dan lembaga yang belum disebutkan di sini. Akan tetapi, itu bukan berarti peran
mereka sedikit dan tidak penting dalam proses penelitian ini. Semoga peran
vii
masing-masing menjadi amal ibadah yang tidak ternilai demi kemajuan ilmu
pengetahuan dan kemanusiaan dan mendapat pahala tak terhingga di sisi Allah
SWT.
Di atas semua itu, meski peran mereka semua sangat besar dan penting
dalam proses-proses penelitian ini, semua kekeliruan dalam penulisan karya ilmiah
ini sepenuhnya tetap merupakan tanggungjawab peneliti pribadi. Selebihnya,
peneliti mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari para pembaca yang
budiman untuk perbaikan penulisan penelitian ini dan penelitian-penelitian
selanjutnya di masa yang akan datang.
Jakarta, Agustus 2018
Ahmad Munjin
viii
x
xii
xiv
xvi
xvii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengelaborasi profil sumber daya kekuasaan kiai
dan jawara di Banten. Metodologi penelitian ini adalah kualitatif yang
mengombinasikan studi literatur yang luas dan penelitian lapangan. Sumber data
primer dalam penelitian ini adalah wawancara dengan beberapa kiai di Banten, juru
bicara keluarga besar Ratu Atut Chosiyah dan Kepala Seksi Neraca Konsumsi Badan
Pusat Statistik Provinsi Banten. Sedangkan sumber sekunder adalah data-data ekonomi
Provinsi Banten tahun 2000-2017, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
(LHKPN) yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan literatur
lainnya, seperti buku, jurnal, tesis, disertasi, majalah, koran, makalah seminar dan
media berbasis daring. Data-data yang dihasilkan dibaca dengan teori oligarki Jeffrey
A. Winters, Oligarchy. New York: Cambridge University Press, 2011.
Penelitian ini membuktikan, kekayaan yang menjadi basis sumber daya
kekuasaan oligarkis sangat dominan dalam sistem demokrasi di Banten. Temuan tesis
ini memperkuat penelitian-penelitan sebelumnya yang juga menunjukkan dominasi
kekuasaan oligarkis dalam sistem demokrasi di Indonesia. Jeffrey A. Winters (2011)
menyimpulkan, kekayaan secara inheren tidak bisa dilepaskan dari sumber daya
kekuasaan yang potensial. Richard Robison dan Vedi R Hadiz (2004) mengatakan,
politik Indonesia kontemporer merupakan kelanjutan dari politik oligarkis yang
dibangun dan dibesarkan Orde Baru.
Dalam konteks Banten, Okamoto Masaaki dan Abdul Hamid (2008)
menyatakan, jawara mungkin selalu eksis sebagai kekuatan sosial tapi tidak sebagai
aktor politik tanpa dukungan kuat secara politik dan ekonomi dari pemerintah pusat.
Leo Agustino (2010) menyatakan, rezim Soeharto menunjuk jawara yang dianggap
kuat (local strongman) sebagai kaki tangan yang saling menguntungkan di Banten
untuk menjaga ketenteraman politik dan mengeksploitasi ekonomi.
Tesis ini berbeda dengan kesimpulan akademisi lain yang tidak melihat dominasi
kekuasaan oligarkis. M.A. Tihami (1992) menyatakan, kelestarian kepemimpinan di
Banten merupakan hasil dari perilaku kiai dan jawara dalam sistem sosial yang
mempunyai hubungan sibernetik dengan agama dan magi dalam sistem budaya.
Michael Buehler (2014) mengatakan, politik lokal di Indonesia tidak dihasilkan oleh
oligarki melainkan oleh elite-elite negara yang telah menyesuaikan diri dengan watak
perubahan politik pasca-Orde Baru. R. William Liddle (2013) menyebutkan basis
kewenangan kekuasaan personal di Indonesia sudah bertransformasi secara fundamental
menjadi kekuasan legal-konstitusional yang otonom.
Thomas B. Pepinsky (2014) menilai teori oligarki terlalu kaku karena hanya
fokus pada sumber daya kekuasaan material dibandingkan non-material. Marcus
Mietzner (2014) menyatakan, politik Indonesia dicirikan dengan level fragmentasi yang
tinggi di mana terdapat baik elemen-elemen oligarki maupun non-oligarki. Edward
Aspinall (2014) menyatakan, Indonesia tetap merupakan tempat kontestasi politik yang
setara. Teri L. Caraway dan Michele Ford (2014) menilai para teoretikus oligarki gagal
mengakui kemunculan gerakan kelas pekerja yang dinamis sebagai pengembangan
empiris dalam politik Indonesia kontemporer.
Kata kunci: hak politik formal, kekuasaan koersif, mobilisasi, jabatan resmi, kekuasaan material, elite, oligarki, dan demokrasi
xviii
xix
ABSTRACT
This research aims at elaborating the resource profile of kyai’s and strongmen
(jawara) power in Banten. The research methodology employed in this study was
qualitatively combined with literature study and field research. The primary source of
data in this study was interviewed with the extended family of Ratu Atut Chosiyah and
the Head of Consumption Balance of Central Bureau of Statistics of Banten Province.
In addition, the secondary source of data was taken from economic data of Banten
Province released by Corruption Eradication Commission (KPK) and other literature,
as books, journals, theses, dissertations, magazines, newspapers, seminar papers, and
online media. The data gained were analyzed by using the theory of oligarchy by
Jeffrey A. Winters, Oligarchy, New York: Cambridge University Press, 2011.
The result proved that wealth was the basis of source of oligarchy power was
very dominant in the democratic system in Banten. The findings of this study
strengthened previous studies showing the dominance of oligarchic power in the
democratic system in Indonesia. Jeffrey A. Winters (2011) concluded that wealth
inherently cannot be released from potential power sources. Richard Robison and Vedi
R. Hadiz (2004) stated that contemporary Indonesian politics was the continuation of
the oligarchic politics built and grown by New Order.
In the context of Banten, Okamoto Masaaki and Abdul Hamid (2008)
mentioned that strongmen might always exist as a social power but not as political
power without strong support politically and economically from the central
government. Leo Agustino (2010) added that the Suharto’s reign pointed local
strongmen as his accomplice who was mutually benfecial from Banten to maintain
political peace and exploit economy.
This thesis is different from other conclusions mentioned by other
academicians who did not discuss the dominant of oligarchy power. M.A. Tihami
(1992) contended that sustainability of leadership was the result of kyai and strongmen
behaviors in a social system which had a cybernetic relationship with religion and
magic in a cultural system. Michael Buehler (2014) said that local politics in Indonesia
was not generated from oligarchy but from country’s elites who have adjusted with the
character of politcal change post-New Order. R. William Liddle (2013) mentioned that
the basis of the authority of personal power in Indonesia has transformed
fundamentally into an autonomous legal-constitutional power.
Thomas B. Pepinsky (2014) judged that the oligarchy theory is to rigid since it
focused only on material power resouces than non-material. Marcus Mietzner (2014)
stated that Indonesia politic is characterized by high fragmented level consisting of
both oligarchy and non-oligarchy elements. Edward Aspinall (2014) added that
Indonesia is a place of equal political contestation. Teri L. Caraway and Michele Ford
(2014) stressed that oligarchy theorists failed to admit the growth of dynamic working
class movement as an empirical development in contemporary Indonesian politics.
Keywords: formal political rights, coercive power, mobilization, official position, material power , elite, oligarchy, and democracy
xx
xxi
ملخصالدراسة إىل عرض تفاصيل موارد القوة للعلماء واألبطال )جاوارا( يف منطقة بنتان. وتتبٌتى ىذه ىذه هتدف
الدراسات املكتبية الواسعة وبني الدراسات امليدانية. مصادر البيانات الدراسة منهجا نوعيا جيمع الباحث من خاللو بنياألساسية هلذه الدراسة ىي املقابلة مع املتحدث الرمسي لعائلة امللكة )راتو( أتوت خاشية ورئيس قسم امليزانية االستهالكية
عطيات االقتصادية حملافظة بنتان، وتقرير رروات هليئة املركز اإلحصائي حملافظة بنتان، وأما مصادر بياناهتا الثانوية فهي: املاملسؤولني احلكوميني الذي أصدره ىيئة مكافحة الفساد، واملصادر املكتبية كاجملالت ورساالت املاجستري واألطروحات
شية جليفري أ. والكتب واجلرائد وأوراق املؤدترات ومواقع اإلنًتنت. مت تفسري البيانات احملصولة على أساس النظرية األوليغار .3122( األوليغارشية، نيو يورك: جامعة كامربيج للنشر، Jeffrey A. Wintersوينًتس )
أربتت ىذه الدراسة أن الثروات اليت انبنت عليها السلطة األوليغارشية ىي مهيمنة بدرجة كبرية يف املنظومة السابقة اليت تشري إىل ىيمنة السلطة األوليغارشية يف املنظومة الدميوقراطية حملافظة بنتان. ىذه الدراسات تؤكد نتائج الدراسات
مستنتجا أن الثروة التتسٌت بطبيعتها أن تنفصل من موارد السلطة. وقال (2011الدميوقراطية لدولة إندونيسيا. قال جيفري )رة عن امتداد السياسة ( مبيىنني أن السياسة اإلندونيسية املعاصرة ىي عبا2004ريتشارد روبنسون وفيدي ر. ىادز )
(.Orde Baruاألوليغارشية اليت انبنت وتطورت يف عهد النظام اجلديد )معلىقني فيما يرتبط مبحافظة بنتان إن األبطال )جاوارا( بإمكاهنم (2008قال أوكاموتو مساكي وعبد احلميد )
ا ذلك كاملمثلني الساسيني بدون دعم قوي من أن ينالوا مكانة ما يف املنظومة االجتماعية يف كل األحيان لكنهم لن ينالو ( أن نظام سوىارتو كان يعنيى بعض األبطال 2010جانب سياسي واقتصادي من قبل احلكومة املركزية. أشار ليو أغسطينو )
( ممن حيتمل أن يكون مفيدا لصاحلو كاملتواطئني لو من أجل القيام باحملافظة على االستقرارlocal strongmanالقوية ) السياسي ومن أجل االستغالل االقتصادي.
ختتلف نتيجة ىذه الدراسة عن الدراسات األخرى الىت ال ترى وجود اهليمنة يف السلطة األوليغارشية. يرى م. أ. ( أن امتداد القيادة يف بنتان عبارة عن نتيجة سلوك العلماء واألبطال يف املنظومة االجتماعية اليت هلا عالقة1992هتامي )
أن السياسة احمللية يف إندونيسيا ال (2014سربانية مع الدين والتقاليد احمللية يف املنظومة الثقافية. أشار ميخائيل بوحيلري )تولد من السلطة األوليغارشية ولكن بناىا خنبة الدولة اليت تكيىفت مع تغري عقلية السياية بعد اهنيار النظام اجلديد. وأضاف
( أن قاعدة السلطة الفردية يف إندونيسيا قد حتولت بشكل جذري إىل السلطة الرمسية القانونية 2013ر. ويليام ليدل ) واملستقلة.
أن النظرية األوليغارشية ىي جامدة للغاية ألهنا تركز أكثر على موارد (2014يرى توماس ب. بيبينسكي )أن السياسة يف إندونيسيا تتسم بدرجة (2014وس ميتزنري )السلطة املادية منها على موارد السلطة الغري املادية. وقال مرك
مبيىنا أن (2014عالية من التفتيت حيث تعيش فيها الطبقات األوليغارشية والغري األوليغارشية. وقال إيدوارد أسبينال )ظريني األوليغارشيني إندونيسيا ستبقى ميدانا للمنافسة السياسية املتساوية. ويرى تريي ل. كراواي وميخائيل فورد أن الن
فاشلون لالعًتاف بنشأة حركة طبقة العمال احليوية كالتطور التجرييب يف السياسة اإلندونيسية املعاصرة.
احلقوق السياسية الرمسية، القوة القسرية، التحريك، املنصب الرمسي، والسلطة املادية. الكلمات األساسية:
xxii
xxiii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi Arab-Latin dalam Tesis ini mengacu pada pedoman ALA-LC
Romanization Tables, sebagaimana berikut:
b = ب
t = ت
th = ث
j = ج
h{ = ح
kh = خ
d = د
dh = ذ
r = ر
z = ز
s = س
sh = ش
s{ = ص
d{ = ض
t{ = ط
z{ = ظ
ع = ‘
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
h = ه
w = و
y = ي
Short : a = ´ ; i = ِ ; u = ِ
Long : a< = ا ; i> = ي ; ū = و Diphthong : ay = ا ي ; aw = ا و
xxiv
xxv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .....................................................................................................iii
PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI ............................................. ix
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ............................................................... xi
SURAT PERSETUJUAN PROMOTOR .......................................................................xiii
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN ..................................................... xv
ABSTRAK .................................................................................................................... xvii
ABSTRACT ................................................................................................................... xix
xxi ........................................................................................................................ ملخص
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................................xxiii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. xxv
TABEL, GRAFIK, BAGAN, DAN GAMBAR .......................................................... xxvii
SINGKATAN DAN AKRONIM ................................................................................. xxix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................... 1
B. Permasalahan ......................................................................................................... 13 1. Identifikasi Masalah .............................................................................................. 13
2. Perumusan Masalah ............................................................................................... 13
3. Pembatasan Masalah ............................................................................................. 13
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ........................................................................ 14
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................................. 16 1. Tujuan Penelitian ................................................................................................... 16
2. Manfaat Penelitian................................................................................................. 16
E. Metodologi Penelitian ............................................................................................ 17 1. Jenis Penelitian ...................................................................................................... 17
2. Jenis dan Sumber Data .......................................................................................... 17
3. Teknik Pengumpulan Data .................................................................................... 18
4. Pendekatan ............................................................................................................. 19
5. Teknik Penulisan ................................................................................................... 19
F. Sistematika Penulisan ............................................................................................. 19 BAB II OLIGARKI, DEMOKRASI DAN ISLAM ........................................................ 23
A. Teori Oligarki dan Demokrasi ................................................................................ 23 1. Oligarki antara Definisi Material dan Nonmaterial .............................................. 23
2. Pembentukan Oligarki: Penaklukan atau Akumulasi Kekayaan ........................... 27
3. Distingsi antara Elite dan Oligarki ........................................................................ 32
4. Dari Oligarki Panglima hingga Oligarki Sipil ....................................................... 38
5. Oligarki dan Demokrasi: Kekuasaan Material versus Partisipasi ......................... 42
B. Kritik terhadap Teori Oligarki: Individu sebagai Fokus .......................................... 47
C. Kompatibilitas versus Inkompatibilitas Oligarki dengan Demokrasi ....................... 51 1. Kompatibilitas Oligarki dengan Demokrasi .......................................................... 52
2. Inkompatibilitas Oligarki dengan Demokrasi ....................................................... 55
xxvi
D. Oligarki dalam Perspektif Islam ............................................................................. 57 1. Oligarki dalam Perspektif Alquran ........................................................................ 58
2. Oligarki dalam Perspektif Hadis ........................................................................... 63
3. Oligarki dalam Pandangan para Ulama ................................................................. 65
BAB III DINAMIKA SUMBER DAYA KEKUASAAN .............................................. 71
KIAI DAN JAWARA DI BANTEN ............................................................................... 71
A. Peran Kiai dan Jawara pada Era Kolonial ............................................................... 71 1. Kiai dan Jawara sebagai Elite bagi Masyarakat Banten ....................................... 71
2. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara sebagai Elite ...................................... 75
3. Kekuasaan Material: Benih-benih Kekuasaan Oligarkis Jawara ........................... 80
B. Era Soekarno (Orde Lama): Dari Mobilisasi ke Jabatan Resmi ............................... 84
C. Rezim Orde Baru dan Pasang Surut Kekuasaan Kiai-Jawara .................................. 89 1. Dominasi Kekuasaan Oligarkis Rezim terhadap Mobilisasi Kiai ......................... 89
2. Mobilisasi Kiai versus Kekuasaan Koersif Orde Baru .......................................... 94
3. Chasan Sochib: Oligark Sultanistik Produk Orde Baru ...................................... 100
D. Era Reformasi: Kiai Tenggelam dan Jawara Dominan .......................................... 112 1. Kekuasaan Mobilisasi Kiai yang Terfragmentasi ............................................... 113
2. Kekuasaan Mobilisasi Kiai sebagai Makelar Politik ........................................... 116
3. Penguatan Jawara dengan Kekuasaan Oligarkis ................................................. 121
BAB IV JAWARA DAN KEKUASAAN MATERIAL DI BANTEN ........................ 137
A. Pembentukan Provinsi Banten: Antara Motif Material dan Nonmaterial .............. 137
B. Ketimpangan Ekonomi sebagai Prasyarat Oligarki ............................................... 146 1. Tren Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten 2000-2016 .................................. 147
2. Stratifikasi Material di Provinsi Banten ............................................................. 150
3. Sumber Daya Material Kiai dan Jawara dalam Struktur Ekonomi di Banten .... 161
C. Keluarga Jawara Chasan Sochib sebagai Oligark di Banten .................................. 165 1. Para Ahli Waris Tubagus Chasan Sochib ............................................................ 165
2. Kadar Oligarki para Anggota Keluarga Besar Chasan Sochib ............................ 168
D. Transformasi Kekayaan Menjadi Tampuk Kekuasaan Oligarkis ........................... 181 1. Peran Tb. Chasan Sochib sebagai Oligark di Balik Layar .................................. 181
2. Pilkada Langsung 2006 dan Dominasi Kelompok Rau ....................................... 193
3. Ratu Atut Chosiyah dan Pemilih Pragmatis ....................................................... 197
4. Relawan Banten Bersatu (RBB): Kekuasaan Material, Mobilisasi, dan Koersif 200
5. Ratu Atut Chosiyah dan Gaya Kepemimpinan Akomodatif ............................... 203
E. Politico-Business Oligarchy dan Politik Pertahanan Harta .................................... 209 1. Dari Kekayaan ke Jaringan Bisnis dan Politik .................................................... 210
2. Regenerasi Politik dan Strategi Berkuasa Tiga Periode ..................................... 212
3. Empat Pilar Kendali dan Dominasi Keluarga Ratu Atut Chosiyah .................... 215
4. Faktor Penentu Kemenangan Airin Rachmi Diany dan Andika Hazrumy.......... 228
BAB V PENUTUP ........................................................................................................ 243
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 243
B. Refleksi, Implikasi, dan Rekomendasi .................................................................. 244 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 247
GLOSARIUM ............................................................................................................... 263
INDEKS ....................................................................................................................... 269
BIOGRAFI PENULIS .................................................................................................. 277
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................................ 279
xxvii
TABEL, GRAFIK, BAGAN, DAN GAMBAR
Tabel 2.1. Perbedaan Teori Elite dengan Teori Oligarki .......................................... 36 Tabel 2.2. Perbedaan-Persamaan Oligarki dan Demokrasi Aristoteles .................... 42 Tabel 2.3. Konsep Islam tentang Oligarki ................................................................ 69 Tabel 3.1. Sumber Daya Kekuasaan Kiai-Jawara Era Kolonial di Banten .............. 82 Tabel 3.2. Sumber Daya Kekuasaan Kiai-Jawara Era Orde Lama di Banten .......... 87 Tabel 3.3. Sumber Daya Kekuasaan Kiai-Jawara Era Orde Baru di Banten ............ 97 Tabel 3.4. Sumber Daya Kekuasaan Tb. Chasan Sochib pada Era Orde Baru ....... 111 Tabel 3.5. Biaya Proyek Berdasarkan Kategori Sumber Pendanaan ...................... 125 Tabel 3.6. Sumber Daya Kekuasaan Kiai-Jawara Era Reformasi di Banten .......... 132 Tabel 3.7. Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara ............................................ 135 Tabel 4.1. Motif Material dan Nonmaterial Pembentukan Provinsi Banten .......... 145 Tabel 4.2. Material Power Index (MPI) Ratu Atut Chosiyah ................................ 170 Tabel 4.3. Material Power Index (MPI) Anggota Keluarga Tb. Chasan Sochib .... 177
Grafik 4.1. Tren Pertumbuhan Ekonomi Banten 2000-2016 .................................. 148 Grafik 4.2. PDRB Provinsi Banten (Triliun Rupiah) 2012-2016 ........................... 149 Grafik 4.3. Rasio Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Banten ............................ 151 Grafik 4.4. PDRB atas Dasar Harga Berlaku Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi
Banten (Triliun Rupiah) Tahun 2012-2016 .......................................... 152 Grafik 4.5. PDRB tanpa Komponen Industri atas Dasar Harga Berlaku Menurut
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten (Triliun Rupiah) 2012-2016 ....... 154 Grafik 4.6. Pengeluaran per Kapita yang Disesuaikan Menurut Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten (Juta Rupiah/Tahun), 2013-2016 ............................... 155 Grafik 4.7. PDRB per Kapita (Juta Rupiah) di Provinsi Banten Tahun 2016 ........ 156 Grafik 4.8. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
(ribu orang), 2013-2016 ........................................................................ 157 Grafik 4.9. Perkembangan IDI Provinsi Banten, 2009-2016 .................................. 160
Bagan 2.1. Teori Oligarki ......................................................................................... 32 Bagan 4.1 Silsilah Ahli Waris Tubagus Chasan Sochib ......................................... 166 Bagan 4.2 Jaringan Perusahaan Keluarga Besar Tb. Chasan Sochib...................... 214 Bagan 4.3. Peran Tb. Chaeri Wardana sebagai Oligark di Balik Layar ................. 222 Bagan 4.4. Alur Politico-Business Oligarchy dan Politik Pertahanan Harta Keluarga
Tb. Chasan Sochib ................................................................................ 227
Gambar 4.1 Peta Wilayah Provinsi Banten ............................................................ 139
xxviii
xxix
SINGKATAN DAN AKRONIM
ABK Amanat Bintang Keadilan
ADB Asian Development Bank
Alipp Aliansi Independen Peduli Publik
AMPB Aliansi Martabat Perempuan Banten
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Bakor PPB Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Banten
Banten FSPP Banten Communication Forum for Pesantren
BKPM Badan Koordinasi Penanaman Modal
BPK Badan Pemeriksa Keuangan
BPPKB Badan Pembina Potensi Keluarga Besar Banten
BPS Badan Pusat Satitik
BUMN Badan Usaha Milik Negara
BURT Badan Urusan Rumah Tangga
CAPAS Center for Asia-Pacific Area Studies
CSEAS Center for Southeast Asian Studies
Dapil Daerah Pemilihan
DASK Dokumen Anggaran Satuan Kerja
DI/TII Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
DPD Dewan Pimpinan Daerah
DPP Dewan Pengurus Pusat
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
FISIP Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
FKKTM Forum Komunikasi Kiai dan Tokoh Masyarakat
FSPPS Forum Komunikasi Pesantren Salafi
Gapensi Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia
Golkar Golongan Karya
HAM Hak-hak Asasi Manusia
HMI Himpunan Mahasiswa Islam
IAIN Institut Agama Islam Negeri
Ical Aburizal Bakrie
ICW Indonesia Corruption Watch
IDI Indeks Demokrasi Indonesia
INC Indonesia News Center
Kadin Kamar Dagang dan Industri
KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia
KH Kiai Haji
KKN Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
KNI Komite Nasional Indonesia
KNPI Komite Nasional Pemuda Indonesia
KPK Komisi Pemberantasan Korupsi
KPPB Komite Pembentukan Provinsi Banten
xxx
KPU Komisi Pemilihan Umum
KTP Kartu Tanda Penduduk
Lakpesdam NU Lembaga dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Nahdlatul Ulama
LBB Lembaga Banten Bersatu
LHKPN Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
LNPRT Lembaga Non-Profit
LSI Lembaga Survei Indonesia
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
M3B Majelis Musyawarah Masyarakat Banten
MK Mahkamah Konstitusi
MPI Material Power Index
MUI Majelis Ulama Indonesia
NU Nahdlatul Ulama
PAN Partai Amanat Nasional
PAP Panitia Akuntabilitas Publik
Parkindo Partai Kristen Indonesia
Parmusi Partai Muslimin Indonesia
Partai IPKI Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
Partai Islam Perti Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah
Partai Murba Partai Musyawarah Rakyat Banyak
PBB Partai Bulan Bintang
PCC Presidium for a Clean Community
PDB Produk Domestik Bruto
PDI Partai Demokrasi Indonesia
PDI-P Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan
PDRB Produk Domestik Regional Bruto
Perda Peraturan Daerah
Peta Pembela Tanah Air
PHK Pemutusan Hubungan Kerja
PK Partai Keadilan
PKS Partai Keadilan Sejahtera
PKB Partai Kebangkitan Bangsa
PKI Partai Komunis Indonesia
PKK Panitia Pengisian Keanggotaan
PKRI Partai Katolik Republik Indonesia
Plt. Pelaksana Tugas
PLTU Pembangkit Listrik Tenaga Uap
PMDN Penanaman Modal Dalam Negeri
PMII Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
PMTB Pembentukan Modal Tetap Bruto
PNI Partai Nasional Indonesia
PNU Partai Nahdlatul Ulama
Pokja PPB Kelompok Kerja Pembentukan Provinsi Banten
PPP Partai Persatuan Pembangunan
xxxi
PPPSBBI Persatuan Pendekar Persilatan Seni Budaya Banten
Indonesia
PSII Partai Syarikat Islam Indonesia
RBB Relawan Banten Bersatu
SBY Susilo Bambang Yudhoyono
Sekda Sekretaris Daerah
SPD Sozialdemokratische Partei Deutschlands
Tb. Tubagus
TKR Tentara Keamanan Rakyat
TNI Tentara Nasional Indonesia
UMKM Usaha Mikro Kecil dan Menengah
Untirta Universitas Tirtayasa
xxxii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kasus Banten memperlihatkan dengan jelas bahwa demokrasi di Indonesia
sudah dibajak oleh para oligark. Seperti di negara-negara lain, kenyataan demokrasi
di Indonesia kontemporer masih ‚jauh panggang dari api‛ untuk ideal. Padahal,
sudah banyak orang yang berjuang mati-matian untuk mencapainya. Setiap orang
dewasa memang mendapatkan satu suara yang menjadi hak politik formalnya1
melalui prinsip one person one vote. Banyak juga calon dan partai berkompetisi
untuk memenangkan pemilihan dalam interval pemilu. Akan tetapi, para oligarklah
yang menjadi pemenangnya. Dengan kekuatan kekayaan mereka, para oligark justru
memainkan peranan utama. Hasilnya adalah kesetaraan radikal dari kekuatan
politik formal di satu sisi, beriringan dengan pengaruh politik yang timpang secara
ekstrem melalui kekayaan di sisi yang lain. Jadi, demokrasi dan oligarki merupakan
hubungan yang kontradiktif tapi menyatu.
Tesis ini menguji hubungan yang mengejutkan tersebut pada level provinsi
melalui contoh kasus Banten. Karena Banten hanya merupakan contoh kasus, yang
ingin dipotret sebenarnya tidak terbatas pada satu wilayah ini saja. Cara yang sama
juga digunakan untuk melihat seluruh daerah di Tanah Air dan dalam konteks
politik nasional. Teori dan fakta-fakta yang dihadirkan dalam tesis ini bukan hanya
membantu dalam memahami bagaimana sistem demokrasi dan oligarki menyatu di
Indonesia tapi juga membuka diskusi tentang reformasi semacam apa yang
memungkinkan (atau tidak memungkinkan) menjadi efektif dalam menggeser
keseimbangan demi kepentingan warga biasa bukan orang kaya. Sebab, semua
negara demokrasi modern merupakan demokrasi yang terstratifikasi. Artinya,
negara-negara tersebut mengombinasikan secara sekaligus kesetaraan partisipasi
yang luar biasa dengan ketidaksetaraan material yang luar biasa pula.2
Oligarki semacam itu menjadi kecenderungan pemerintahan di beberapa
daerah pascareformasi 1998. Kondisi itu juga terjadi seiring bergulirnya otonomi
daerah di Indonesia sejak 1999. Padahal, Indonesia sejatinya menjadi negara
demokratis yang sangat menjanjikan setelah terbebas dari sistem kekuasaan yang
otoriter. Sebab, kejatuhan rezim Soeharto pada 21 Mei 1998 merupakan optimisme
bagi masyarakat di Tanah Air setelah pesimisme bersemayam selama satu
dasawarsa terakhir kekuasaan rezim tersebut. Kejatuhan penguasa Orde Baru itu
dinilai sebagai peluang bagi terjadinya dinamisasi kehidupan politik Indonesia yang
muncul secara sangat dramatis.3
1Jeffrey A. Winters, Oligarchy (New York: Cambridge University Press, 2011), 13.
2All modern democracies are "stratified democracies"—meaning that they combine tremendous equality with tremendous inequality. Jeffrey A. Winters, pesan e-mail kepada
peneliti, 21 Juli 2018. 3Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan: Agenda-agenda Besar Demokratisasi
Pasca-Orde Baru (Bandung: Penerbit Mizan, 2000), endorsement di cover belakang.
2
Optimisme tersebut cukup beralasan jika semata melihat transisi dari rezim
otoriter ke sistem demokratis. Akan tetapi, jika melihat transisi oligarki yang
terjadi dalam peralihan kepemimpinan tersebut, dinamika politik Indonesia belum
menggembirakan. Oligarki yang relatif jinak di bawah dominasi oligarki sultanistik
justru mengalami transisi ke oligarki liar di bawah pemerintahan demokratis yang
tak punya kemampuan untuk mengendalikan para oligark.4 Oleh karena itu, transisi
oligarki menjadi sangat penting dan relevan dalam diskursus akademik karena
menyangkuat masalah kualitas demokrasi. Secara legal-formal, suksesi
kepemimpinan di pusat ataupun di daerah tertentu bisa terjadi secara demokratis
tetapi yang berkuasa adalah oligarki liar.
Jeffrey A. Winters mendefinisikan oligarki sebagai terkonsentrasinya
kekuasaan atas materi yang didasarkan pada penegakan klaim-klaim atau hak-hak
atas kepemilikan dan kekayaan.5 Sedangkan Robison dan Hadiz mengidentifikasi
rezim Orde Baru sebagai oligarki kompleks (complex oligarchy). Oligarki ini
didefinisikan sebagai sebuah sistem pemerintahan di mana hampir semua
kekuasaan politik dipegang oleh segelintir orang kaya yang membuat kebijakan
masyarakat umum. Kebijakan tersebut hanya menguntungkan mereka sendiri secara
finansial dan kurang atau sama sekali tidak memperhatikan kepentingan sebagian
besar warga negaranya.6
Secara singkat, menurut Winters, oligarki muncul karena terkonsentrasinya
kekayaan (stratifikasi materi). Stratifikasi materi sebenarnya bukanlah hal baru.
Ketimpangan tersebut merupakan sesuatu yang sangat kuno sejak bentuk
masyarakat berubah menjadi kompleks. Stratifikasi materi sudah terjadi sejak
ribuan tahun lalu. Kira-kira 5.000 tahun yang lalu sudah muncul stratifikasi
kekayaan yang cukup besar. Anehnya, menurut Winters, sejak kemunculannya,
stratifikasi materi tidak pernah terhapus atau menghilang. Sratifikasi kekayaan
adalah sifat masyarakat manusia yang paling bertahan dalam sejarah baik dalam
sistem pemerintahan monarki, otoritarian, maupun dalam sistem demokrasi.
Stratifikasi juga bertahan dalam sistem ekonomi negara agraris, industri, digital,
ataupun jasa.7
Lebih jauh Winters menegaskan, sejak demokrasi muncul, kira-kira 250
atau 300 tahun yang lalu, stratifikasi kekayaan justru meningkat. Dalam sistem
politik yang ekslusif di mana banyak orang tidak boleh berpartisipasi, terjadinya
stratifikasi kekayaan tidaklah mengherankan. Akan tetapi, jika semua orang bisa
4Winters, Oligarchy, 37.
5‚Oligarchy is defined by concentrated material power based on enforced claims or
rights to property and wealth.‛ Lihat Winters, Oligarchy, 11. 6Aslinya: ‚A system of government in which virtually all political power is held by a
very small number of wealthy... people who shape public policy primarily to benefit themseles financially... while displaying little or no concern for the broader interest of the rest of the citizenry.‛ Lihat Richard Robison dan Vedi R Hadiz, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: Routledge Curzon,
2004), 16-17, note 6. 7Jeffrey A. Winters, ‚Oligarchy and the Jokowi Administration,‛ Kuliah Umum
Jurusan Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta, Senin, 8 Juni 2015.
3
berpartisipasi dalam sistem politik yang demokratis, salah satu hal yang diharapkan
adalah mengecilnya gap (ketimpangan) atau stratifikasi antara orang yang paling
kaya dengan orang biasa atau miskin. Kenyataannya, gap tersebut meningkat sejak
demokrasi lahir. Yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa demokrasi tidak
bisa menjadi alat untuk membuat sistem ekonomi menjadi lebih adil. Tujuannya,
bukanlah fairness (keadilan) yang sempurna di mana setiap orang punya kekayaan
persis sama dengan setiap orang lainnya. Sebab, tujuan semacam itu merupakan
dreamland yang tidak akan pernah tercapai.8 Menurut Winters, harapan terhadap
demokrasi sebenarnya lebih realistis. Dia mencontohkan, gap di antara grup yang
paling kaya dan orang biasa, mungkin hanya 100 kali lipat atau bahkan 1.000 kali
lipat. Kalau bisa, angka tersebut, dinilai dia, sudah luar biasa. Sebab, gap tersebut
terhitung kecil.9
Sejarah kuno mencatat stratifikasi materi dari 500 senator terkaya di
Roma pada jaman Imperial Rome dibandingkan dengan kekayaan orang biasa atau
awam yang kebetulan menjadi petani kecil atau budak. Kekayaan orang terkaya
saat itu mencapai 10.000 kali. Kemudian, maju ke jaman sekarang di abad 20. Di
Amerika Serikat, stratifikasi materi pada 500 orang terkaya dibandingkan orang
biasa, mencapai 20.000 kali. Data ini jelas menunjukkan stratifikasi material di AS
dua kali lipat lebih tinggi dari Roma. Padahal, pada masa kuno Roma justru masih
menganut sistem perbudakan (slavery society). ‚Di Indonesia, 50 orang terkaya
dibandingkan orang biasa berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita,
mencapai 630.000 kali gap-nya. Itu merupakan data awal, fact of beta.‛10
Yang menarik, lanjut Winters, dengan terjadinya konsentrasi kekayaan,
stratifikasi material juga memiliki efek konsentrasi kekuasaan. Sebab, kekayaan
merupakan salah satu sumber daya kekuasaan (material power resources) sehingga
istilah money is power menjadi benar adanya. Tidak hanya itu, kekayaan juga
merupakan bentuk kekuasaan yang sangat fleksibel karena bisa digunakan dalam
situasi dan kondisi yang berbeda-beda. ‚Itu adalah fenomena dunia dan sejarah.
Jadi, stratifikasi seperti itu tidaklah baru tapi sulit sekali diatasi.‛11
Dengan demikian, konsolidasi demokrasi di Indonesia pun menghadapi
tantangan besar yaitu kenyataan bahwa negara masih jauh dari demokrasi yang
sebenarnya. Demokrasi baru berjalan secara prosedural dan masih jauh dari tujuan
subtansial. Demokrasi dalam alam pikiran Indonesia saat ini baru sekadar alat-
teknis dan belum mencerminkan alam kejiwaan, kepribadian dan cita-cita
nasional.12
Sebatas alat teknis, karena demokrasi dijalankan oleh kedangkalan,
tanpa memberikan ruang bagi kedalaman etika dan penalaran.13
‚Perekrutan
8Winters, ‚Oligarchy and Jokowi.‛
9Winters, ‚Oligarchy and Jokowi.‛
10Winters, ‚Oligarchy and Jokowi.‛
11Winters, ‚Oligarchy and Jokowi.‛
12Yudi Latif, ‚Keluar dari Krisis Demokrasi‛ Orasi Poltik dalam acara
Syukuran dan Peluncuran Buku Satu Dasawarsa Perhimpunan Bakumsu (Bantuan Hukum & Advokasi Rakyat Sumatera Utara) dengan Tema ‘Kratos Minus Demos, Demokrasi Indonesia: Catatan dari Bawah,’ Medan, 4 Mei 2012.
13Yudi Latif, ‚Demokrasi tanpa Kedalaman,‛ Kompas, 16 April 2013.
4
kepemimpinan politik lebih menekankan sumber daya alokatif (logistik) ketimbang
sumber daya otoritatif (kemampuan). Demokrasi tidak menjadi ajang penguatan
‛meritokrasi‛ (pemerintahan oleh orang-orang yang mampu); sebaliknya, menjadi
katalis bagi ‛mediokrasi‛ (pemerintahan oleh orang-orang medioker).‛14
Indeks Demokrasi Global 2011, yang dikeluarkan oleh Economist Inteligence Unit, melaporkan peringkat (rangking) demokrasi Indonesia berada di
urutan 60 dari 167 negara yang diteliti. Peringkat ini jauh di bawah Timor Leste
(42), Papua Nugini (59), Afrika Selatan (30), dan Thailand (57). Pada 2012,
rangking tersebut membaik ke 53. Indonesia masuk dalam kategori flawed democracy (cacat demokrasi) yang ditandai, antara lain, oleh pemilu yang tidak
bersih, pemerintahan yang korup dan ingkar janji-janji pemilu, serta keterancaman
pluralisme. Menurut Latif, cacat demokrasi ini mengarahkan Indonesia mendekati
ambang negara gagal.15
Berdasarkan Failed State Index, yang dikeluarkan oleh The Fund for Peace dan Foreign Policy Magazine, selama periode 2005-2010, Indonesia selalu berada
dalam ketegori negara ‘dalam peringatan’ (warning). Posisi ini lebih dekat jaraknya
dengan posisi ‘waspada’ negara gagal dibandingkan dengan posisi ‘bertahan.’
Indonesia bahkan belum masuk di zona negara moderat. Yang lebih merisaukan,
keberhasilan Indonesia untuk menurunkan peringkat kegagalannya selama periode
2007-2009—dari urutan ke 55 (2007), menjadi 60 (2008) dan 62 (2009)—
mengalami kenaikan lagi pada tahun pertama periode kedua pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Pada 2010, peringkat negara gagal Indonesia
memburuk satu tingkat menjadi urutan ke 61 dari 62 (2009). Namun demikian,
pada 2013, indeks kegagalan Indonesia membaik, menempati rangking 76 sejajar
dengan Azerbaijan. Sayangnya, perbaikan rangking ini tidak megeluarkan Indonesia
dari kategori ‘peringatan’ dan masih jauh untuk mencapai posisi stabil, 109 yang
ditempati oleh Kazakhstan.16
Semua itu disinyalir akibat demokrasi yang baru berjalan pada level kulit
luar dan belum sampai pada hakikatnya yakni terwujudnya keadilan dan
kemakmuran. Yudi Latif menggambarkan situasi demokrasi Indonesia yang lebih
mengkhawatirkan. Menurut dia, perkembangan demokrasi dalam krisis otoritas
kepemimpinan dapat mengarah pada kehidupan yang lebih buruk. Yudi mengutip
Humphrey Hawksley dalam Democracy Kills yang memperlihatkan potret yang
mengerikan.
‚Penduduk di bawah sistem demokrasi yang salah urus lebih berisiko tetap
miskin atau terbunuh ketimbang di bawah sistem kediktatoran. Sebagai contoh,
pendapatan rata-rata di negara otoritarian China adalah dua kali lipat dari negara
demokrasi India. Harapan hidup dari warga negara demokratis Haiti hanya mencapai
14
Latif, ‚Demokrasi tanpa Kedalaman‛ 15
Latif, ‚Keluar dari Krisis Demokrasi‛ 16
‚The Failed States Index 2013,‛ data diakses tanggal 7 Juli 2013 dari
http://ffp.states index.org/rankings-2013-sortable.
5
57 tahun dibandingkan dengan mereka yang hidup di bawah kediktatoran Kuba yang
mencapai 77 tahun.‛17
Di Indonesia, seiring dengan otonomi daerah, demokrasi prosedural pada
beberapa pemerintahan provinsi dan kabupaten justru menghasilkan akumulasi
kekuasaan oleh orang-orang terkaya dari kelompok atau keluarga tertentu.
Akibatnya, meminjam teori ‘democracy trap’, demokrasi mengalami pembajakan
oleh para penguasa oligarki lokal yang justru sah secara legal formal. Sebab,
akumulasi kekuasaan tersebut didapat melalui pemilu langsung yang didasarkan
pada prinsip one person one vote.
Jika berkaca pada beberapa negara, memang terjadi juga oligarki yang
‘bertopeng’ demokrasi. Bahkan, di Amerika Serikat pun yang menjadi kampiun
demokrasi ditengarai punya kecenderungan pada oligarki.18
Penguasa yang terpilih
berasal dari sekelompok orang terkaya yang pada akhirnya, memperkaya diri sendiri
dan membajak cita-cita demokrasi. Meski begitu, terdapat pula pengejawantahan
oligarki yang berisi mayoritas penguasa feodal.
Salah satu contoh suksesi kepemimpinan oligarki yang dihasilkan melalui
prosedur demokrasi adalah Kamboja. Di permukaan (superfisial), pemimpin terpilih
menggambarkan tentang fungsi demokrasi parlementer secara penuh. Parlemen dan
perdana menteri dipilih melalui prosedur demokrasi untuk periode lima tahun.
Faktanya, gambaran tersebut sama sekali keliru. Di balik semua itu, penguasa
Kamboja, tidak lain kecuali oligarki—sebuah pemerintahan yang dijalankan oleh
sekelompok kecil kleptokratik atau plutokratik19
di mana Perdana Menteri Hun Sen
menjadi kepalanya.20
Faktor oligarkilah yang dituding sebagai penyebab rakyat
Kamboja tetap miskin dan terbelakang untuk beberapa generasi. Realitas yang
menyedihkan, segelintir individu menguasai Kamboja saat ini dengan salah urus.
Kamboja memiliki tanda-tanda yang nyata tentang tampilnya seorang individu
yang zalim (despotic) dengan elite-elite kleptokratik dan plutokratik. Mereka
diizinkan untuk menjarah sumber daya alam Kamboja dan merampas tanah-tanah
orang desa sesuka hati. Dengan satu tanda tangan dari penguasa oligarki, segala
keinginan tercapai.21
India mengalami nasib serupa. India merupakan negara ketiga terbesar di
dunia yang pertumbuhan oligarkinya tercepat. Rasionya mencapai 17,2% terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) yang menumpuk pada 55 miliarder India. Sistem
pemerintahan India mengambarkan tentang buruknya gambaran demokrasi dan
oligarki. Para politikus yang terpilih secara demokratis disuap oleh orang-orang
terkaya India. Dua kelompok tersebut (politikus dan orang-orang terkaya)
17
Latif, ‚Keluar dari Krisis Demokrasi,‛ 3. 18
Jeffrey A. Winters dan Benjamin I. Page, ‚Oligarchy in the United States?‛
Perspectives on Politics 7 (2009): 731-751. 19
Kamus Besar Bahasa Indonesia offline mendefinisikan plutokrasi sebagai sistem
politik yang dikuasai oleh kaum kaya atau kaum pemilik modal (kapitalis). 20
‚Hun Sen: The Oligarkic Ruler of Cambodia?‛ artikel diakses tanggal 28
September 2013, dari http://khmerization.blogspot.com/2008/06/hun-sen-oligarkic-ruler-of-
cambodia.html. 21
‚Hun Sen: The Oligarkic Ruler‛
6
kemudian memperkaya diri mereka sendiri dengan mengorbankan mayoritas
penduduk biasa. Para oligark India yang terbesar berasal dari kalangan industrialis
seperti Ambanis, Adanis, Birlas, Mittals, Premjis dan Tatas.22
Seperti India, Pakistan juga merupakan oligarki. Hanya saja, elite-elite
feodal mendominasi oligarki Pakistan dibandingkan kalangan industri. Para oligark
itu mendominasi badan legislasi Pakistan. Mayoritas dari mereka berasal dari
pemilik tanah di berbagai pelosok dan berlatar belakang suku. Nama-nama terkenal,
antara lain the Bhuttos and Khuhros of Larkana, the Chaudhrys of Gujarat,
Tiwanas of Sargodha, Daulatanas of Vehari, the Jatois and Qazi Fazlullah family of
Sindh, the Gilanis, Qureshis and Gardezis of Multan, the Nawabs of Qasur, the
Mamdots of Ferozpur/Lahore, Ghaffar Khan-Wali Khan family of Charsadda dan
dari berbagai kepala suku Baloch seperti Bugtis, Jamalis, Legharis, dan Mengals.
Kekuasaan keluarga politik tersebut didasarkan pada keturunan, luasnya
kepemilikan tanah, dan monopoli kekerasan—kemampuan untuk mengontrol,
melawan, dan membebankan kekerasan.23
Di lain sisi, Pakistan juga memang memiliki elite-elite industri. Yang
terbesar antara lain, Manshas (Nishat Group), Syed Maratib Ali dan Babar Ali
(Packages) Saigols, Hashwanis, Adamjees, Dawoods, Dadabhoys, Habibs,
Monnoos, Lakhanis dan yang lainnya. Hanya saja, kekuasan kolektif mereka redup
jika dibandingkan dengan kekuasaan dari kelompok keluarga feodal. Satu-satunya
pegecualian adalah elite industri Sharif Brothers yang memiliki industri Ittefaq
Group dan juga memimpin Liga Muslim Pakistan (Pakistan Muslim League
(Nawaz Group). Liga Muslim Pakistan merupakan salah satu partai politik terbesar
di Pakistan. Meski begitu, Sharif Brathers juga terlalu mengandalkan dukungan dari
beberapa keluarga feodal yang secara cepat bisa mengubah loyalitasnya.24
Pada beberapa negara, menurut Winters dan Page, para oligark memang
menyandarkan kekuasaan mereka pada identitas ras atau kesukuan, keterpandangan
(noble birth) atau agama. Akan tetapi, kekuasaan oligarkis selalu mencakup isu-isu
yang memengaruhi kepentingan material yang inti dari orang-orang kaya dalam
menjaga klaim terhadap apa yang mereka miliki dan memungkinkan pencaplokan
yang lebih banyak.25
Di Indonesia, banyak kekuasaan oligarkis yang disandarkan
pada identitas keturunan. Paling tidak, terdapat 26 kekuasaan politis daerah yang
kental dengan nuansa oligarki ini.26
Dua di antaranya terdapat di provinsi Banten.
22
Riaz Haq, ‚Comparing Oligarchies of India and Pakistan,‛ artikel diakses tanggal
28 September 2013, dari http://www.riazhaq.com/2011/08/comparing-oligarkies-of-india-
and.html. 23
Haq, ‚Comparing Oligarkies,‛ 24
Haq, ‚Comparing Oligarkies,‛ 25
Winters dan Page, ‚Oligarchy in the US?‛ 733. 26
Oligarki-oligarki dinasti di daerah lain di antaranya:
1. Sjachroedin ZP, Gubernur Lampung. Dia juga merupakan: (a) Ayah dari Bupati
Lampung Selatan Rycko Menoza; dan (b) Ayah dari Wakil Bupati Pringsewu Handiytya
Narapati;
2. Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulawesi Selatan. Dia juga merupakan kakak kandung
Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo;
7
Pertama, Atut Chosiyah, Gubernur Banten. Dia juga merupakan: (a) Kakak
3. Andi Idris Syukur, Bupati Barru, Sulawesi Selatan. Dia juga merupakan anak mantan
Bupati Barru;
4. Adelheid So, Wakil Bupati Tana Toraja, Sulawesi Selatan, merupakan istri dari mantan
Bupati Tana Toraja Juhanis Amping Situru;
5. M Natsir Ibrahim, Wakil Bupati Takalar, merupakan anak mantan Bupati Takalar
Ibrahim Rewa;
6. Sinyo Harry Sarundajang, Gubernur Sulawesi Utara, merupakan ayah dari Wakil Bupati
Minahasa Ivan SJ Sarundajang;
7. Harley Alfredo Benfica Mangindaan, Wakil Wali Kota Manado, Sulawesi Utara. Dia
merupakan anak dari Menteri Perhubungan yang juga Gubernur Sulawesi Utara periode
1995-2000 E.E. Mangindaan;
8. Bachrum Harapan, Bupati Padang Lawas Utara, Sumatra Utara. Dia merupakan orang
tua kandung dari Wali Kota Padang Sidempuan Andar Amin Harahap;
9. Zumi Zola Zulkifli, Bupati Tanjung Jabung Timur, Jambi. Dia merupakan anak mantan
Gubernur Jambi periode 1999-2004 Zulkifli Nurdin;
10. Zulkifli Nurdin, Gubernur Jambi. Dia merupakan mertua Wakil Bupati Muaro Jambi
Kemas Muhammad;
11. Neneng Hasanah Yasin, Bupati Bekasi. Dia merupakan menantu mantan Bupati Bekasi
Saleh Manaf;
12. Anna Sophanah, Bupati Indramayu. Dia merupakan istri mantan Bupati Indramayu
Irianto MS Syafiuddin alias Yance;
13. Ati Suhari, Wali Kota Cimahi. Dia merupakan istri mantan Wali Kota Cimahi Itoc
Tochija;
14. Dadang Naser, Bupati Bandung, merupakan menantu bupati periode sebelumnya, Obar
Sobarna;
15. Widya Kandi Susanti, Bupati Kendal, Jawa Tengah. Dia merupakan mantan Bupati
Kendal Hendy Boedoro;
16. Sri Hartini, Wakil Bupati Klaten, Jawa Tengah. Dia merupakan istri mantan Bupati
Klaten (alm) Haryanto;
17. Sri Suryawidati, Bupati Bantul, DI Yogyakarta. Dia merupakan istri mantan Bupati
Bantul Idham Samawi;
18. Puput Tantriana, Bupati Probolinggo, Jawa Timur. Dia merupakan istri mantan Bupati
Probolinggo Hasan Aminudin;
19. Haryanti Sutrisno, Bupati Kediri, Jawa Timur. Dia merupakan mantan Bupati Kediri
Sutrisno;
20. Mohammad Makmun Ibnu Fuad, Bupati Bangkalan, Jawa Timur. Dia merupakan anak
mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin;
21. Ferry Zulkarnain, Bupati Bima, NTB, merupakan kakak dari Wakil Bupati Bima
Syafrudin M Nur;
22. Supian Hadi, Bupati Kota Warringin Timur, Kalimantan Tengah. Dia merupakan
menantu Bupati Seruyan, Darwan Ali;
23. Rita Widyasari, Bupati Kutai Kertanegara. Dia merupakan anak mantan Bupati Kutai
Kertanegara Syaukani Hasan Rais; dan
24. Tuasikal Abua, Bupati Maluku Tengah. Dia juga merupakan kakak mantan Bupati
Maluku Tengah Abdullah Tuasika.
A. Syalaby Ichsan, ‚Selain Atut, Puluhan Daerah Jalankan Politik Dinasti,‛ Republika, 18
Oktober 2013, diakses 19 Oktober 2013, http://www.republika.co.id/berita/nasional
/hukum/13/10/19/muvdp8-selain-atut-puluhan-daerah-jalankan-politik-dinasti.
8
kandung Wakil Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah; (b) Kakak tiri Wali Kota
Serang Tubagus Haerul Jaman; (c) Kakak ipar wali kota Tangerang Selatan Airin
Rachmi Diany; (d) Anak tiri Wakil Bupati Pandeglang Heryani; dan (e) ibu
kandung dari Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy. Kedua, Ahmed Zaki
Iskandar, Bupati Tangerang. Dia juga merupakan anak mantan Bupati Tangerang
Ismet Iskandar.27
Oleh karena itu, tampak jelas bahwa Banten merupakan salah satu provinsi
yang mengalami pengakumulasian kekuasan oleh orang-orang terkaya dari salah
satu keluarga yang membentuk oligarki dinasti.28
Oligarki tersebut terbentuk
setelah Banten menjadi provinsi yang tergolong muda dengan menempati urutan
ke-30 dari jumlah provinsi yang ada di Indonesia.29
Menurut Robison dan Hadiz,
oligarki terdiri atas tiga kelompok: pertama, pejabat negara; kedua, keluarga-
keluarga yang mengandung unsur-unsur bisnis dan politik (politico-business families); dan ketiga, para konglomerat bisnis.
30 Dalam konteks Banten, oligarki
masuk dalam kelompok yang kedua. Keluarga jawara menguasai unsur-unsur bisnis
dan politik di Provinsi Banten sehingga mendapatkan kekuasaan eksekutif mulai
tingkat provinsi hingga kabupatan dan kota. Unsur-unsur bisnis tersebut menjadi
modal kapital bagi keluarga jawara untuk memenangkan kontestasi politik dalam
pemilu yang menjadi salah satu elemen utama dalam demokrasi prosedural.
Pada saat yang sama, pemilu dalam demokrasi elektoral memang berbiaya
mahal. Akibatnya, hanya orang-orang yang kuat secara ekonomi yang lebih
berpeluang memenangkan kontestasi dalam pemilu. Proposisi ini menguatkan
diktum Barringrton Moore yang menyatakan, ‚tanpa kelas borjuis, tak ada
demokrasi.‛31
Salah satu bukti mahalnya biaya pemilu bisa ditunjukkan oleh
besarnya biaya kampanye (campaign expenditure). Praktik politik uang (money politics) atau vote buying pun punya celah untuk masuk menjadi salah satu variable
dalam belanja kampanye. Politik uang diyakini cukup ampuh untuk menarik
dukungan dari pemilih pragmatis.32
Politik uang didefinisikan sebagai tindakan
secara sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada
27
Ichsan, ‚Selain Atut, Puluhan Daerah Jalankan Politik Dinasti‛ 28
Dinasti adalah kata benda (noun) yang didefinisikan sebagai serangkaian penguasa
atau pemimpin yang semuanya berasal dari keluarga yang sama atau suatu periode di mana
negara dipimpin oleh mereka. Lihat ‚Dynasty,‛ dalam Cambridge Advanced Learner’s Dictionary (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 383, ‚a series of rulers or leaders who are all from the same family, or a period when a country is ruled by them‛.
29Provinsi Banten lahir dari pemekaran wilayah provinsi Jawa Barat tepat pada Rabu,
4 Oktober 2000 dengan payung hukum Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000. Provinsi
Banten diresmikan pada 18 November 2000. Libat Asep Kurnia dan Ahmad Sihabudin,
Saatnya Baduy Bicara, (Jakarta: PT Bumi Aksara dan Untirta, 2010), 41. 30
R. William Liddle, ‚Marx atau Machiavelli? Menuju Demokrasi Bermutu di
Indonesia dan Amerika,‛ Orasi Ilmiah dalam rangka Nurcholish Madjid Memorial Lecture V, Kamis, 8 Desember 2011, di aula Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta.
31Edward Aspinal, ‚The Power of Property: Oligarchy and Democracy in World
History,‛ Taiwan Journal of Democracy 8 (2012): 169-173. 32
Indikator Politik Indonesia, ‚Sikap dan Perilaku Pemilih terhadap Politik Uang,‛
Survei Dapil September-Oktober 2013 dan Survei Nasional Maret 2013.
9
seseorang untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu
tertentu, atau menggunakan hak pilih dengan cara tertentu.33
Dalam beberapa studi, banyak faktor dipercaya memengaruhi sikap dan
perilaku massa terhadap politik uang. Salah satunya adalah temuan bahwa faktor
pendidikan diyakini bisa mengurangi kecenderungan transaksi politik uang atau
mengurangi jumlah pemilih yang bisa disuap.34
Banyak studi juga yang menunjukan
warga miskin rentan terhadap praktik politik uang.35
Dari sisi ini, tampak bahwa
uang dan kekuasan punya hubungan timbal balik dan menguntungkan orang-orang
terkaya akibat sumber daya kekuasaan material yang dimilikinya. Uang diperlukan
untuk mendapatkan kekuasan dan kekuasaan diperlukan untuk mendapatkan dan
melindungi kekayaan.
Dari perspektif Islam, secara normatif, Alquran mengecam sifat akumulatif
atas kekayaan dari para oligark seperti tercermin pada Surat al-Taka>thur, al-
Humazah, dan T>{a>ha>. Surat al-Taka>thur menggambarkan tentang kecenderungan
manusia yang suka mengakumulasi harta hingga melupakan hari akhir. Al-
Humazah menjelaskan persangkaan orang kafir bahwa harta bisa membuatnya
kekal. Sementara itu, surat T>{a>ha mengambarkan persekongkolan antara Fir‘aun
(penguasa), Korun (pengusaha) dan Tentara sehingga dalam kategori ilmu politik
modern bisa disebut oligarki.
Enam abad lalu, sosiolog muslim Ibn Khaldu>n (732-808 H/1332-1406 M),
dalam konteks sistem pemerintahan yang masih primitif, sudah mengangkat
masalah solidaritas berbasis kesukuan dan ikatan darah dengan apa yang disebutnya
as}abi>yah. Ibn Khaldu>n membagi istilah as}abiyah menjadi dua model. Pertama,
as}abi>yah dalam pengertian positif dengan menunjuk pada konsep persaudaraan
(brotherhood). Konsep ini membentuk solidaritas sosial masyarakat untuk
bekerjasama, mengesampingkan kepentingan pribadi (self-interest), dan memenuhi
kewajiban kepada sesama. Semangat ini kemudian mendorong terciptanya
keselarasan sosial dan menjadi kekuatan dalam menopang kebangkitan dan
kemajuan peradaban. Kedua, as}abi>yah dalam pengertian negatif yang menimbulkan
kesetiaan dan fanatisme buta dan tidak didasarkan pada aspek kebenaran. Konteks
pengertian yang kedua inilah yang tidak dikehendaki karena akan mengaburkan
nilai-nilai kebenaran yang diusung dalam prinsip-prinsip agama.36
Sementara itu, Ibn Taymi>yah menyebutkan, sebagian besar kezaliman yang
dilakukan penguasa dan rakyat adalah mengambil barang yang tidak halal, menahan
33
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) pasal 139 ayat 2. 34
Pedro C. Vicente, ‚A Model of Vote-buying with an Incumbency Advantage,‛
Makalah dan Hasil-hasil Eksperimen Januari 2013. Artikel diakses 3 Juni 2014 dari
http://www.pedrovicente.org/vb.pdf. 35
Indikator Politik Indonesia, ‚Sikap dan Perilaku Pemilih‛ 36
‘Abd al-Rah{ma>n ibn Khaldu>n, Muqaddimah ibn Khaldu>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmi>>yyah, 1993), 122.
10
barang yang wajib dikeluarkan, dan menimbun harta yang tidak boleh disimpan.37
Dalam konteks penguasa, penimbunan harta merupakan salah salah satu faktor
pendukung oligarki di mana harta dan kekuasan saling memperkuat. Harta bisa
mempertahankan kekuasaan dan kekuasan bisa mengakumulasi kekayaan.
Dalam konteks Banten, uniknya, oligarki yang terbentuk mendapatkan
legitimasi modern (rasional-legal) sekaligus legitimasi tradisional tak seperti
pemerintahan oligarkis di provinsi lain pada umumnya. Legitimasi tradisional
adalah penerimaan masyarakat atas kewenangan, keputusan atau kebijaksanaan
yang diambil pemimpin dalam lingkup tradisional. Kewenangan tradisional
didasarkan pada kepercayaan di antara anggota masyarakat bahwa tradisi lama dan
kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu adalah wajar dan patut
dihormati.38
Di satu sisi, penguasa mendapat legitimasi modern sejak pemilu
gubernur Banten pertama kali digulirkan pada tahun 2001. Artinya, secara
prosedural gubernur mendapatkan legitimasi modern karena melewati proses
pemilihan umum yang demokratis. Di sisi yang lain, gubernur juga mendapatkan
legitimasi kekuasaan berbasis tradisi. Sebab, Gubernur Banten Ratu Atut
Chosyiah39
merupakan keturunan Jawara Banten dari ayahnya, Tubagus Chasan
Sochib yang menjadi simbol legitimasi tradisional di Banten. Akibatnya, legitimasi
dan kewenangan gubernur terpilih pun tidak semata-mata rasional-legal tapi juga
tradisional dan kharismatik sebagaimana tiga pembagian yang dikemukakan
sosiolog Max Weber (1864-1922).40
‚Wewenang tradisional berdasarkan kepercayaan di antara anggota masyarakat
bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu adalah
wajar dan patut dihormati. Wewenang kharismatik berdasarkan kepercayaan anggota
masyarakat pada kesaktian dan kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin.
Wewenang rasional-legal berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional
yang melandasi kedudukan seorang pemimpin.‛41
Atas dasar kewenangan tradisional dan kharismatik itu, dua entitas
informal leader di Banten yang direpresentasikan oleh Jawara dan Kyai dan kental
dengan unsur keislamannya berperan penting dalam proses percaturan politik dan
37
Ibn Taymi>yah, Al-Siya>sah al-Shar‘iyyah fi> Is}la>hi al-Ra>‘i> wa al-Ra‘i>yyah, (Tanpa
Tempat Terbit: Da>r al-Ka>tib al-‘Arabi>, Tanpa Tahun Terbit), 47-48. 38
Budiardjo, Aneka Pemikiran, 15. 39
Pada mulanya, Ratu Atut Chosyiah adalah wakil gubernur yang berpasangan
dengan Gubernur Banten Djoko Munandar untuk periode 2001-2006. Namun, di tengah
jalan, gubernur pertama Banten ini dicopot gara-gara tersangkut kasus korupsi. Sebagai
wakil gubernur, Atut pun ditunjuk sebagai pelaksana tugas (Plt) gubernur Banten tahun
2005. Baru pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Banten tahun 2006, Atut terpilih
menjadi gubernur Banten dengan wakilnya Mohammad Masduki. Lihat M. Rizal, ‚Klan
Atut dari Jawara Beralih ke Uang,‛ artikel diakses tanggal 3 Juli 2013, dari
http://news.detik.com/read/2011/09/12/145200/1723198/159/klan-atut-dari-jawara-beralih-
ke-uang. 40
Miriam Budiardjo, dkk., Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1991), 14-15. 41
Budiardjo, dkk., Aneka Pemikiran, 15.
11
pengaruh di Banten. Bahkan, menurut Fahmi Irfani, persaingan di tingkat informal
turut menjalar ke tingkat formal. ‚...tidak heran jika ada calon yang ingin maju
dalam persaingan pemilihan kepala daerah dan calon legislatif dalam putaran
pemilu, jika tidak mau tertinggal, mau tidak mau harus merangkul kedua entitas
tersebut.‛42
Dengan kewenangan tradisional yang disandangnya sebagai jawara, setelah
memajukan anaknya, Ratu Atut sebagai sebagai calon gubernur dan sukses
memenangkannya, Chasan Sochib merancang anggota keluarga besarnya untuk
aktif terlibat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Hasilnya, keluarga
besar Chasan Sochib sukses mengakumulasi kekuasan dalam asosiasi bisnis, partai
politik, jabatan eksekutif, jabatan legislatif, organisasi bela diri, organisasi pemuda,
organisasi olah raga, dan organisasi sosial budaya.43
Chasan Sochib sendiri memang
tidak memegang jabatan politik, tetapi sebagaimana pengakuan dirinya bahwa dia
adalah ‘gubernur jenderal’ yang menunjukkan bahwa dia adalah penguasa
sesungguhnya di Banten.44
Dalam perspektif demokrasi, seiring mengguritanya kekuasaan Hasan
Sochib yang direpresentasikan oleh Gubernur Banten, kontrol atas kekuasaan
menjadi semakin lemah. Betapa tidak, anggota legislatif yang sejatinya
menjalankan fungsi check and ballance tidak bisa berkutik karena mengalami
conflict of interest. Sebab, beberapa anggota legislatif tersebut merupakan bagian
dari keluarga besar Hasan Sochib. Akibatnya, sangat tepat di sini, penulis mengutip
Lord Acton, bahwa kekuasaan cenderung untuk menjadi korup dan kekuasaan
mutlak menjadi korup secara mutlak pula.45
Tak mengherankan, pada Kamis, 27 Oktober 2011, pengamat politik
Burhanuddin Muhtadi menilai Pilkada Banten sebagai yang terburuk se-Indonesia.
Menurut dia, pesta demokrasi untuk memilih gubernur dan wakil gubernur itu
diwarnai kecurangan dan praktek politik uang secara terstruktur. Burhanuddin
mengatakan, Pilkada Banten sebagai potret paling buruk penyelenggaraan pilkada
se-Indonesia, sarat money politics, baik terang-terangan maupun sembunyi-
sembunyi.46
42
Fahmi Irfani, Jawara Banten: Sebuah Kajian Sosial, Politik, dan Budaya (Jakarta:
Young Progressive Muslim (YPM) Press, 2011), 142. 43
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, ‚Dinasti Tb. Chasan Sochib: Gubernur
Jenderal dari Banten,‛ Konstelasi, Edisi ke-31 April 2011. Artikel diakses 6 Juli 2013, dari
http://www.p2d.org/index.php/kon/52-31-april-2011/273-dinasti-h-tb-chasan-sochib--
gubernur-jenderal-dari-banten.html. 44
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, ‚Dinasti Tb. Chasan Sochib‛ 45
Soelaeman Soemardi, ‚Cara-cara Pendekatan terhadap Kekuasaan Sebagai Suatu
Gejala Sosial,‛ dalam Miriam Budiarjo, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), 31. Lihat juga, Lord Acton, Essay on Freedom and Power, 1907. Aslinya: ‚Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely,‛
46Ayu Cipta, ‚Pilkada Banten Dinilai Terburuk se-Indonesia,‛ artikel diakses pada 6
Juli 2013 dari http://www.tempo.co/read/news/2011/10/27/179363638/ Pilkada-Banten-
Dinilai Terburuk-Se-Indonesia.
12
Dari pembahasan di atas, ada beberapa masalah yang teridentifikasi.
Pertama, transisi demokrasi selalu diselubungi dengan transisi oligarki yang justru
mengurangi kualitas demokrasi. Transisi inilah yang sering kali luput dari perhatian
para peneliti, karena terlalu fokus pada transisi demokrasi. Padahal, jika fokus pada
aktor-aktor dalam transisi demokrasi, akan sangat jelas besarnya peranan para
oligark dalam transisi atau suksesi kepemimpinan baik di daerah maupun di pusat.
Kedua, secara historis, kemunculan demokrasi tidak berhasil
mempersempit stratifikasi material yang mendefinisikan dan membentuk oligarki.
Setelah demokrasi muncul, stratifikasi material tetap ada. Padahal, demokrasi telah
berhasil memberikan kekuasaan politik formal yang tersebar secara merata melalui
hak pilih dengan prinsip one person, one vote. Dalam sejarah manusia, demokrasi
merupakan sistem yang sangat rata (equal) secara radikal dan jarang terjadi pada
sistem lain. Sebab, demokrasi didasarkan pada konsep bahwa setiap orang
mendapat jumlah suara yang sama yakni satu suara;47
Ketiga, mahalnya biaya demokrasi yang direpresentasikan dalam belanja
kampanye pemilu (campaign expenditures) memberi ruang yang lebih besar pada
oligark untuk berkuasa. Meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah
mengeluarkan aturan yang membatasi baik pemasukan dan pengeluaran dana
kampanye,48
itu hanya efektif untuk tim kampanye yang secara resmi dilaporkan ke
KPU. Padahal, dikeluarkannya aturan ini agar tercipta pemilu yang adil sesuai azas
demokrasi. Dana pemasukan dan pengeluaran yang dikelola secara ‘diam-diam’
dan tidak dilaporkan ke KPU oleh para relawan tetap tidak dapat dikontrol
sehingga para oligark masih tetap leluasa menggunakan sumber daya materialnya
dalam pemilu. Bahkan, kalaupun ada kasus money politic pada level relawan,
kandidat pasangan calon tidak bisa dituntut secara hukum karena dalih relawan
tidak terkait dengan pasangan calon. Yang menjadi tanggung jawab pasangan calon
adalah tim kampanye, bukan relawan.
Keempat, melalui kekuasaan material yang dimiliki, para oligark juga
memanfaatkan sumber daya kekuasaan lain seperti otoritas tradisional untuk
memperkuat posisi politiknya. Dalam konteks ini, para oligark juga bisa
mengendalikan atau paling tidak mengajak elite-elite lain yang sumber daya
kekuasaannya non-material seperti orang-orang yang memiliki sumber daya politik
mobilisasi di sektor media atau tokoh organisasi kemasyarakatan.
Kelima, dalam sistem demokrasi elektoral, dengan memanfaatkan lembaga
survei dan modal capital yang dimilikinya, para oligark bisa mencalonkan kepala
daerah yang disukai rakyat sehingga hasil akhir tetap menjadi kemenangan para
oligark. Calon terpilih pun, akan kesulitan menghilangkan conflict of interest dari
para oligark yang notabene jadi kendaraan bagi calon terpilih. Jadi, kalaupun
pemimpin terpilih bukanlah seorang oligark, para oligark tetap berkuasa besar di
belakangnya dengan satu set kepentingan mereka yaitu pertahanan kekayaan.
47
Jeffrey A. Winters, ‚Oligarchy and the Jokowi Administration,‛ Kuliah Umum
Jurusan Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta, Senin, 8 Juni 2015. 48
Komisi Pemilihan Umum (KPU), ‚Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8
Tahun 2015 tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Waklil Walikota.‛
13
Satu pertanyaan yang telah menarik perhatian cukup besar peneliti adalah
elemen tertentu apakah yang membantu tebentuknya oligarki di Banten. Elemen
terbentuknya oligarki, di satu sisi adalah kewenangan tradisional direpresentasikan
oleh Kyai dan Jawara di Banten dan legtimasi tradisonal yang diberikan oleh
masyarakat Banten kepada jawara dan kiai. Tapi di sisi lain, sumber daya
kekuasaan material juga sangat menentukan terpilihnya kepala daerah yang punya
kewenangan tradisional dan sekaligus mendapatkan legitimasi legal-rasional.
Di atas semua itu, perpaduan antara sumber daya material (modal kapital)
dan nonmaterial (modal sosial) mendukung terbentuknya akumulasi kekuasaan
oligarkis di Banten. Sumber daya kekuasaan non-material yang direpresentasikan
oleh masih kuatnya otoritas dan legitimasi tradisional yang dimiliki oleh keluarga
tertentu juga turut memperkuat sumber daya material dalam meraih kekuasaan
oligarkis. Gejala-gejala sosial dan politik tersebut menarik untuk diteliti sehingga
menjadi fakta-fakta yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Oleh karena
itu, berdasarkan masalah di atas, penulis mengangkat judul tesis: Oligarki dan Demokrasi: Kajian Sumber Daya Kekuasaan Kiai dan Jawara di Banten.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari pembahasan di atas, kemunculan oligarki melalui proses atau prosedur
demokrasi yang sah sehingga membajak kualitas dan subtansi demokrasi itu,
teridentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1. Sistem demokrasi tidak bisa meminimalisasi terkonsentrasinya kekayaan
sehingga stratifikasi material tetap melanggengkan oligark dan oligarki;
2. Transisi demokrasi selalu diselubungi dengan transisi oligarki yang justru
mengurangi kualitas demokrasi;
3. Biaya demokrasi yang mahal yang direpresentasikan dalam belanja kampanye
pemilu (campaign expenditures) memberi ruang yang lebih besar pada oligark
untuk berkuasa;
4. Melalui kekuasaan material yang dimiliki, para oligark juga memanfaatkan
sumber daya kekuasaan lain seperti otoritas tradisional; dan
5. Dalam sistem demokrasi elektoral, dengan memanfaatkan lembaga survei dan
modal capital yang dimilikinya, para oligark bisa mencalonkan kepala daerah
yang disukai rakyat sehingga hasil akhir tetap menjadi kemenangan para
oligark.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis merumuskan penelitian
ini dengan dua pertanyaan berikut ini:
1. Bagaimana profil sumber daya kekuasaan kiai dan jawara di provinsi Banten?
2. Bagaimana peran kekuasaan seorang jawara dalam menciptakan sistem
pemerintahan oligarkis di provinsi Banten?
3. Pembatasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini dibatasi pada empat
hal, yakni definisi, ruang dan waktu, subjek penelitian, serta teori yang digunakan.
14
Tujuannya, untuk menghindari peninjauan yang terlalu luas dan memudahkan
penjelasan terhadap masalah yang diteliti.
Pertama, dari sisi definisi, oligarki adalah kekuasaan yang dijalankan oleh
para warga negara terkaya yang selalu tumbuh menjadi golongan kecil; Demokrasi
adalah sebuah metode untuk mencapai keputusan bersama tanpa kekerasan dengan
mengamankan partisipasi menyeluruh dari pihak-pihak berkepentingan; Sumber
daya kekuasaan adalah segala sesuatu yang bisa digunakan atau dimanfaatkan
untuk memengaruhi hasil; Kiai adalah pemimpin agama (Islam) yang sakral dan
memiliki otoritas serta legitimasi kharismatis yang luas; dan Jawara adalah
pemimpin informal darigama bersifat profan yang dilengkapi dengan kecakapan
ilmu bela diri dan sumber daya kekuasaan material yang ekspansif. Kedua, dari sisi
ruang dan waktu, penelitian ini mengambil tempat di Provinsi Banten yang
mencakup empat kabupaten dan kota. Adapun dari sisi waktu, penelitian ini
dimulai pada awal 2014 dan berakhir pada pertengahan 2018. Jika ada perbedaan
dinamika dengan hasil penelitian ini setelah pertengahan 2018, perkembangan
tersebut tidak tercakup dalam penelitian ini.
Ketiga, subjek penelitian ini adalah beberapa kiai di Provinsi Banten dan
para anggota keluarga jawara Tb. Chasan Sochib (1930-2011) mulai dari anak,
cucu, hingga menantu yang menduduki jabatan publik baik eksekutif maupun
legislatif. Oleh karena itu, tidak semua oligark di Provinsi Banten menjadi subjek
dalam penelitian ini. Keempat, secara teori penelitian ini dibatasi pada lima sumber
daya kekuasaan baik material ataupun non-material yang direpresentasikan oleh
otoritas dan legitimasi tradisional kiai dan jawara di Banten. Kelima sumber daya
kekuasaan tersebut adalah hak politik formal, kekuasaan koersif, kekuasaan
mobilisasi, jabatan resmi, dan kekuasaan material. Dari kelima sumber daya
tersebut, hanya kekuasaan material yang menjadi basis kekuasaan dalam sistem
oligarkis. Empat lainnya merupakan sumber daya kekuasaan elite yang menjadi
basis kekuasaan dalam demokrasi.
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian tentang dinamika kekuasaan di Banten sudah dilakukan oleh
beberapa sarjana. M.A.Tihami yang mendukung teori aksi (theory of action)
Talcott Parsons, menyimpulkan, sistem sosial (perilaku kepemimpinan) ternyata
ditentukan oleh sistem budaya; namun juga sistem sosial memengaruhi sistem
budaya. Hubungan antara sistem budaya dan sistem sosial ini disebut hubungan
sibernetik.49
Menurut Tihami, kelestarian kepemimpinan kiai dan jawara di Banten
disebabkan oleh perilaku keduanya dalam kepemimpinan. Masing-masing
merupakan elemen dalam sistem sosial yang mempunyai hubungan sibernetik
dengan agama dan magi dalam sistem budaya. Itulah alasan mengapa, sebutan kyai
dan jawara sebagai pemimpin bagi orang Banten masih sangat lekat. Kedua
pemimpin tersebut telah berpengaruh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan
dalam cerita rakyat dikatakan, kedua pemimpin tersebut ada sejak zaman
49
M.A. Tihami, ‚Kiai dan Jawara di Banten: Studi tentang Agama, Magi, dan
Kepemimpinan di Desa Pasangrahan Serang, Banten,‛ Tesis Magister, Universitas
Indonesia, 1992), i.
15
kesultanan Banten yang pertama (kira-kira pada abad ke-16). Keberadaannya yang
sudah lama dan tetap sampai sekarang, menunjukkan betapa lestarinya kedua
pemimpin tersebut.50
Okamoto Masaaki and Abdul Hamid membuat proposisi, bahwa, mungkin
jawara selalu eksis sebagai kekuatan sosial tapi tidak sebagai aktor politik tanpa
dukungan kuat dari pemerintah pusat.51
Fahmi Irfani menyimpulkan pada masa
Orde Baru jawara menjadi rekanan pemerintah pusat dan lokal dengan pola
hubungan yang saling menguntungkan baik secara politik maupun ekonomi.
Kelompok jawara mendapatkan proyek-proyek pemerintah. Pada masa reformasi,
kelompok jawara menguasai sektor politik di Banten.52
Kemudian, Leo Agustino menarik benang merah, dinasti politik di Banten
merupakan hasil dari sosialisasi rezim sebelumnya yaitu Soeharto yang menunjuk
beberapa kerabat dan koleganya menjadi ‘kaki tangan’ baik di pusat maupun di
daerah untuk menjaga ketenteraman politik dan menageksploitasi ekonomi. Khusus
di daerah Banten, kaki tangan (patron-client) tersebut adalah jawara yang dianggap
kuat (local strongmen). Jawara mendaulat anggota keluarganya untuk terlibat aktif
menjaga ‘harta’ Soeharto di daera Orang lokal kuat tersebut membangun dinasti
politik mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, hingga kota. Tujuannya, agar semua
perkara dapat terkoordinasi di bawah kendalinya. Inilah yang terjadi di Banten.53
Dalam konteks dinasti politik, Leo menjelaskan, jawara memiliki status
ganda, yakni sekaligus sebagai pengusaha. Sebagai pengusaha, mereka
memaksimalkan sumber daya keuangan yang dimiliki. Sementara itu, dalam
kapasitasnya sebagai jawara, mereka menggunakan sumber daya ‘keilmuan’ yang
mereka kuasai.54
Sementara itu, menurut Lili Romli, jawara Banten sekarang ini
tidak identik dengan jawara55
tulen seperti zaman dahulu yang memiliki
kemampuan bela diri pencak silat dan ilmu kedigdayaan.56
Najmu L. Sopian menganalisis hubungan antara oligarki-oligarki lokal dan
kemunculan dinasti-dinasti politik di Indonesia dan Philipina. Di antara kesimpulan
Najmu adalah dominasi Jawara di Banten dan Sulawesi Selatan sejak era otonomi
daerah mengonfirmasi tesis dari Hadiz bahwa proses demokratisasi di Indonesia
sudah dibajak oleh ‘the predatory patronage’ dari elite-elite lokal.57
50
Tihami, ‚Kiai dan Jawara,‛ iii. 51
Okamoto Masaaki and Abdul Hamid, ‚Jawara in Power, 1999-2007,‛ Indonesia 86
(2008): 138. 52
Fahmi Irfani, Jawara Banten: Sebuah Kajian Sosial, Politik, dan Budaya. (Jakarta:
Young Progressive Muslim (YPM) Press, 2011), 177. 53
Agustino, ‚Dinasti Politik Pascaotonomi Orde Baru,‛ 110. 54
Agustino, ‚Dinasti Politik Pascaotonomi Orde Baru‛ 55
Fahmi Irfani secara gamblang memberikan berbagai definisi jawara yang
dikemukakan para akademisi. Lihat Irfani, Jawara Banten, 10-17. 56
Lili Romli, ‚Jawara Banten: Konteks Historis, Kedudukan dan Peranannya,‛ dalam
Leo Agustino, Politik dan Perubahan: Antara Reformasi Politik di Indonesia dan Politik Baru di Malaysia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), 133.
57Najmu L. Sopian, ‚Political Dynasties and the Emergence of Local Oligarchs in
Post-Suharto Indonesia and the Philippines,‛ paper diajukan untuk memenuhi persyaratan
16
Dari sisi pendekatan, tesis ini memang mirip dengan apa yang sudah
dilakukan Najmu, karena sama-sama memotret dinamika kekuasaan dengan
menggunakan teori oligarki. Akan tetapi, meski mengakui konsentrasi kekuasaan
sebagai faktor terbentuknya oligarki, Najmu tidak fokus pada sumber daya
kekuasaan material (material power resources) yang direpresentasikan oleh Indeks
Kekuasaan Material (Material Power Index). Inilah yang membedakan tesis ini
dengan penelitian Najmu.
Dari sisi objek, tesis ini memang sama dengan penelitian M.A.Tihami, Leo
Agustino, dan Okamoto Masaaki beserta Abdul Hamid, karena sama-sama
mengkaji kekuasaan jawara. Akan tetapi, mereka lebih menggunakan sudut
pandang elite sedangkan penelitian ini menggunakan teori oligarki di mana sumber
daya kekuasaannya adalah material. Sebab, setiap oligark adalah elite, tapi tidak
setiap elite adalah oligark. Tihami, misalnya, menemukan hubungan sibernetik
antara jawara (elite) dalam sistem budaya dengan kepemimpinan dalam sistem
sosial di Banten yang melestarikan kekuasaan Jawara dalam konteks antropologis.
Peneliti, dalam tesis ini, justru fokus pada kekuasaan Jawara dari aspek sumber
daya kekuasaan materialnya dalam sistem demokrasi elektoral yang jelas tidak
menjadi perhatian utama dalam penelitian Tihami.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini: Pertama, untuk melakukan kajian kritis terhadap
aspek-aspek yang mendukung terbentuknya sistem pemerintahan oligarkis di
Banten; Kedua, untuk menunjukan berbagai informasi dan data mengenai tipologi
sumber daya kekuasaan dan legitimasi politik yang mendukung terbentuknya
sistem oligarkis yang akan dikonfirmasi baik dari sisi kelas penguasa maupun data-
data sekunder lain; Ketiga, untuk mengelaborasi sumber daya kekuasaan material
(material power resources) yang mengekploitasi legitimasi tradisional dan sumber
daya kekuasaan lain non-material dalam mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan tersebut; dan Keempat, untuk menunjukkan masyarakat Banten
memberikan legitimasi mereka pada penguasa oligarkis sekaligus konsekuensi
politiknya.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan memiliki kontribusi yang signifikan bagi disiplin ilmu
lain yang relevan, seperti antropologi, sosiologi, dan ekonomi. Dari sisi kegunaan,
hasil studi ini akan memberikan pelajaran berharaga bagi transisi demokratisasi
Indonesia pada umumnya dan Banten pada khususnya. Secara spesifik kajian ini
mendukung proses transisi dari pemerintahan tradisional dengan sumber daya
kekuasaan material ke pemerintahan yang modern. Studi ini juga menunjukan cara
pendistribusian politik dan ekonomi yang sejatinya terjadi secara setara. Selain itu,
hakikat demokrasi menegaskan bahwa otonomi daerah bukan untuk memberikan
kekuasaan politik pada suatu keluarga terkaya melainkan kepada semua warga
kuliah tentang Politics of Southeast Asia pada the Department of Political Science,
Northwestern University, 2014.
17
negara. Walhasil, fakta bahwa kegagalan untuk merealisasikan yang esensi
bertentangan dengan demokrasi itu sendiri. Di sinilah, pentingnya penelitian yang
fokus pada otoritas dan legitimasi lokal tradisional dan kekuasaan material bagi
Indonesia.
E. Metodologi Penelitian
Metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang digunakan untuk
mendekati permasalahan dan mencari jawaban. Artinya, metodologi adalah suatu
pendekatan umum untuk mengkaji penelitian.58
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitan ini adalah kualitatif yaitu menggambarkan ranah-ranah
kehidupan ‘dari dalam ke luar’ dari sudut pandang orang-orang yang terlibat.
Dengan cara itu, jenis penelitian ini diharapkan berkontribusi pada pemahaman
yang lebih baik atas realitas sosial dan menggambarkan perhatian pada proses-
proses, pola-pola makna, dan corak struktural.59
Metode penelitian kualitatif
dibedakan dengan metode penelitian kuantitatif dalam arti metode penelitian
kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka,
atau metode statistik.60
Namun demikian, meski penelitian kualitatif dalam banyak bentuknya
sering menggunakan jumlah penghitungan, penelitian tidak menggunakan nilai
jumlah seperti yang digunakan dalam pengumpulan dan analisis data dalam
eksperimen dan survei.61
Contohnya seperti yang dilakukan kaum interaksionisme
simbolik yang ada kalanya menggunakan metode kuantitatif sederhana, dilengkapi
data statistik bersifat deskriptif (noninferensial), terutama ketika mereka ingin
menemukan suatu pola menyeluruh dalam data mereka.62
Begitu juga dalam
konteks penelitian ini. Untuk deskripsi dan menemukan pola menyeluruh dalam
data tentang oligarki, studi ini juga banyak mengambil manfaat dari data Produk
Domestik Bruto (PDB) dan Gini Coefficient dari Badan Pusat Statistik (BPS)
Provinsi Banten dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dari
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
2. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data
Terdapat dua jenis data dalam penelitian ini, yaitu data kualitatif dan data
kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang mengandung pemahaman-pemahaman
tentang kompleksitas, rincian, dan konteks dari subjek penelitian. Data jenis ini
seringkali bersisi berbagai teks seperti salinan (transkrip) wawancara dan catatan
58
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), 145.
59Uwe Flick, Ernst von Kardorff, dan Ines Steinke, eds., A Companion to Qualitative
Research (London: Sage Publications, 2004), 3. 60
Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, 150. 61
Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, 150. 62
Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, 146.
18
lapangan atau materi-materi audiovisual.63
Sementara itu, data kuantitatif adalah
data yang bisa digambarkan secara numerik (sistem angka) tentang pengertian dari
objek-objek, variabel-variabel, dan nilai-nilainya.64
b. Sumber Data
Terdapat dua jenis sumber data dalam penelitian ini yakni sumber data
primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah adalah data asli yang
dikumpulkan untuk tujuan penelitian yang spesifik.65
Oleh karena itu, data primer
belum ada sebelum penelitian ini dilakukan. Sedangkan sumber data sekunder
adalah bahan analisis yang didapat dengan cara kembali menggunakan data yang
sudah ada sebelumnya untuk mendapatkan pemahaman ilmiah dan metodologis
baru.66
Dengan kata lain, data sekunder adalah data yang pada awalnya sudah
dikumpulkan untuk tujuan yang berbeda dan digunakan kembali untuk menjawab
pertanyaan penelitian yang lain.67
Oleh karena itu, data-data tersebut sudah ada
sebelum penelitian ini dilakukan.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah wawancara dengan
beberapa kiai di Banten, juru bicara keluarga besar Ratu Atut Chosiyah dan Kepala
Seksi Neraca Konsumsi Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. Sedangkan sumber
sekunder adalah data-data ekonomi Provinsi Banten tahun 2000-2017, Laporan
Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dirilis oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan literatur lainnya, seperti buku, jurnal, majalah,
koran, dan media berbasis daring.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang menjadi sumber utama tesis ini adalah
kombinasi studi literatur yang luas dan penelitian lapangan. Antara lain,
wawancara mendalam (semi-kualitaitif) dengan para tokoh yang menjadi subjek
atau orang terkait penelitian ini dan tokoh-tokoh dari lembaga-lembaga lain yang
relevan. Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan
seseorang yang ingin memperoleh informasi dari material lainnya dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu.‛68
Wawancara
mendalam disebut juga wawancara tak terstruktur yang bersifat luwes di mana
susunan pertanyaannya dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat
diubah pada saat wawancara. Perubahan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan
dan kondisi saat wawancara termasuk karakteristik sosial budaya--agama, suku,
63
Joop J. Hox dan Hennie R. Boeije, ‚Data Collection, Primary vs. Secondary,‛
dalam Encyclopedia of Social Measurement, Volume I, ed. Kimberly Kemp-Leonard (Tanpa
Tempat Terbit: Elsevier Inc., 2005), 593. 64
Hox dan Boeije, ‚Data Collection,‛ 593. 65
Hox dan Boeije, ‚Data Collection,‛ 593. 66
Sarah Irwin dan Mandy Winterston, ‚Debates in Qualitative Secondary Analysis:
Critical Reflections,‛ Timescapes Working Paper Series: an Economic and Social Research Council (ESRC) Qualitative Longitudinal Study, no. 4 (2011): 2.
67Hox dan Boeije, ‚Data Collection,‛ 593.
68Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, 180.
19
gender, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan dan sebagainya—responden yang
dihadapi.69
4. Pendekatan
Metodologi dipengaruhi atau berdasarkan perspektif teoretis yang
digunakan untuk melakukan penelitian. Perspektif teoretis adalah suatu kerangka
penjelasan atau interpretasi yang memungkinkan peneliti memahami data dan
menghubungkan data yang rumit dengan peristiwa dan situasi lain.70
Dalam
konteks penelitian ini, peneliti menggunakan teori oligarki dari Jeffrey A. Winters,
Oligarchy (New York: Cambridge University Press, 2011). Winters merevisi teori
oligarki yang campur aduk dengan teori elite yang memasukkan unsur-unsur
oligarki selain material. Untuk memudahkan cara berpikir, peneliti mengikuti alur
teori oligarki Winters tersebut dan menurunkannya ke dalam konsep-konsep baik
dalam Alquran dan Hadis maupun konsep yang peneliti temukan dalam kasus
penelitian ini yaitu oligarki di Provinsi Banten. Peneliti menggunakan teori
tersebut untuk membaca semua data yang peneliti berhasil himpun.
5. Teknik Penulisan
Penelitian ini menggunakan kaidah penulisan akademik Turabian Style yang menjadi rujukan penulisan akademik di Amerika Utara dan Pedoman Penulisan Bahasa Indonesia, Transliterasi, dan Pembuatan Notes dalam Karya Ilmiah yang diterbitkan oleh Sekokah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam menjawab permasalahan penelitian tesis ini,
peneliti menggambarkan secara sistematis urutan logika pembahasan menjadi
beberapa bagian berikut ini:
Bab I yang merupakan pendahuluan dari tesis ini berisi tentang latar
belakang masalah. Bagian ini memuat tentang kondisi demokrasi di Indonesia yang
seharusnya (das sollen) dan kenyataan demokrasi (das sein) yang diganduli oleh
suksesi kepemimpinan oligarkis sehingga menggerus kualitas demokrasi. Kondisi
itu menjadi fenomonal global, nasional, dan lokal. Dalam konteks ini, peneliti fokus
pada kasus lokal, yakni provinsi Banten. Latar belakang masalah tersebut
dirumuskan ke dalam permasalahan yang meliputi identifikasi masalah, pembatasan
masalah, dan perumusan masalah. Studi terdahulu yang relevan juga memberikan
konteks pada penelitian ini.
Pada bab ini, peneliti juga menetapkan tujuan penelitin, manfaat atau
signifikasi penelitian, dan metodologi penelitian. Metodologi penelitian mencakup
jenis penelitian, jenis dan sumber data, dan pendekatan atau teori. Pendekatan dan
teori berguna untuk membaca data-data yang berhasil peneliti himpun. Pada bagian
akhir bab pertama ini, peneliti mendeskripsikan sistematika penulisan yang
merupakan alasan atau alur logis pembaban pada penulisan tesis ini.
69
Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, 181. 70
Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, 145.
20
Bab II berisi kerangka teori yang mencakup teori oligarki dan perdebatan
akademik sesuai dengan tema penelitian ini, yaitu oligarki, demokrasi, dan Islam.
Dalam konteks teori, pertama-tama, perdebatan muncul mulai dari definisi oligarki
antara kelompok pendukung definisi material dan nonmaterial. Perdebatan juga
mencuat pada teori pembentukan oligarki mulai dari penaklukan hingga akumulasi
kekayaan. Yang tak kalah menarik adalah terjadinya penyimpangan teori oligarki
ke teori elite pada abad 20. Peneliti pun menampilkan distingsi antara kedua teori
tersebut pada bab ini. Lalu, peneliti memaparkan jenis-jenis oligarki mulai dari
oligarki panglima hingga oligarki sipil. Secara dialektis, peneliti
mempertentangkan oligarki dengan demokrasi di mana terjadi ‘pertarugan sengit’
antara kekuasaan material pada oligarki versus partisipasi pada demokrasi. Sebelum
itu, peneliti mendeskripsikan perbedaan, persamaan, dan sintesis oligarki dengan
demokrasi.
Namun demikian, teori oligarki pun sebenarnya tak lepas dari kritik. Pada
bagian ini, peneliti menghadirkan penantang teori oligarki yang di antaranya adalah
teori aksi di mana individu sebagai fokus bukan pertentangan kelas seperti dalam
tesis oligarki. Setelah itu, peneliti menganalisis perdebatan perihal kompatibilitas
versus inkompatibilitas oligarki dengan demokrasi. Pada bagian akhir bab ini,
peneliti melihat oligarki dalam perspektif Islam. Dalam konteks ini, peneliti
memaparkan oligarki dalam perspektif Islam baik secara normatif ataupun empiris.
Yang dimksud secara normatif adalah oligarki sebagaimana sudah diteorikan pada
bagian awal bab II ini, dibaca ulang dalam perspektif Alquran dan Hadis serta para
ulama klasik. Kemudian, peneliti juga menghadirkan pandangan para ulama klasik
terhadap oligarki sebagai fakta empiris.
Bab III mengelaborasi dinamika sumber daya kekuasaan kiai dan jawara di
banten. Pasca-Reformasi 1998, jawara tidak lagi berperan sebagai santri dan
pelayan bagi kiai. Dengan sumber daya kekuasaan material yang mendefinisikannya
sebagai oligark dan oligarki, jawara menjadi lebih dominan dibandingkan
kekuasaan elite yang melekat pada para kiai. Tubagus Chasan Sochib (1930-2011),
seorang tokoh jawara di Banten sukses mentransformasikan dirinya dari material
elite menjadi oligark sultanistik. Terdapat beberapa faktor yang telah
mengantarkan jawara pada perubahan sosialnya yang signifikan itu. Pertama, alasan
antropologis yang mengharuskan jawara menjadi kaya dan ekspansi bisnisnya yang
tidak terbatasi oleh teritori desanya; Kedua, hubungan jawara dengan rezim Orde
Baru terjadi secara saling menguntungkan baik secara politik maupun ekonomi; dan
Ketiga, intervensi rezim Orde Baru pada kiai justru menggerus kekuatan sumber
daya kekuasaan elite yang disandang oleh para kiai.
Pada bab III ini, peneliti membandingkan sumber daya kekuasaan antara
kiai dan jawara. Perubahan sosial dalam dinamika kekuasaan keduanya sama-sama
dipengaruhi oleh faktor eksternal (eksogen) yakni rezim penguasa mulai dari era
kolonial hingga era reformasi. Peneliti memotretnya dengan lima teori sumber daya
kekuasaan, yaitu: hak politik formal, kekuasaan mobilisasi, kekuasaan koersif,
jabatan resmi, dan kekuasaan material. Sumber daya kekuasaan yang terakhir inilah
yang mendefinisikan seseorang menjadi oligark dan menciptakan sistem oligarki
sekaligus membedakannya dengan kekuasaan elite dalam demokrasi.
21
Pada bab IV, peneliti menganalisis jawara dan sumber daya kekuasaan
materialnya di banten. Banyak anggota keluarga besar Tubagus Chasan Sochib
berada di tampuk kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif. Pada bab IV ini,
peneliti mengelaborasi bagaimana sumber daya material yang menjadi basis
kekuasaan oligarkis beroperasi pada keluarga besar jawara tersebut. Tidak seperti
bab III yang membandingkan kekuasaan elite kiai dengan kekuasaan oligarkis
jawara, pada bab ini peneliti lebih fokus pada kekuasaan material dari para warga
negara terkaya di Banten itu. Mereka tumbuh menjadi golongan kecil di dalam
masyarakat sebagaimana diwakili oleh para anggota keluarga jawara. Untuk itu,
peneliti menguji empat hal, yakni: pertama, prasyarat terbentuknya oligark dan
oligarki di Banten dan secara spesifik pada keluarga jawara Tubagus Chasan
Sochib, yakni ketidaksetaraan materi yang ekstrem (stratifikasi material); kedua,
oligark dan oligarki; ketiga, pertahanan kekayaan yang mencakup harta dan
pendapatan; dan keempat merupakan implikasi dari kekuasaaan oligarkis, yakni
ketidaksetaraan materi dan politik yang ekstrem. Dengan demikian, perwujudan
kekuasaan oligarkis pada keluarga jawara bisa tergambarkan dengan jelas.
Bab V merupakan bagian akhir dari keseluruhan tesis ini. Bab ini, pertama
berisi kesimpulan yang mencakup kesimpulan besar dan kesimpulan kecil (kasus).
Kesimpulan besar diandaikan menjadi teori yang bisa berlaku di seluruh dunia
sehingga diharapkan tesis ini memiliki implikasi teoretis secara global dan layak
dibaca dunia. Sementara itu, kesimpulan kasus, merupakan contoh kasus dari
kesimpulan besar tersebut secara lebih spesifik yakni oligarki di Banten.
Kedua, bab ini bersisi diskusi yang meliputi refleksi, implikasi, dan saran
(rekomendasi). Refleksi merupakan renungan peneliti atas kesimpulan tesis ini.
Sementara itu, implikasi mencakup dua hal: Pertama, implikasi teoretis yakni
implikasi teori oligarki terhadap teori lain dan disiplin ilmu lain. Kedua, implikasi
kasus yaitu nasib demokrasi di Banten jika suksesi kepemimpinan selalu
dimenangkan oleh para oligark. Bagian akhir dari bab ini adalah saran atau
rekomendasi: Pertama, saran untuk perkembangan demokrasi di Banten; dan Kedua
saran untuk penelitian selanjutnya tentang oligarki. []
22