hanging case report

42
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kematian di penjara yaitu kematian yang terjadi di penjara atau fasilitas tahanan lainnya, termasuk kematian yang terjadi selama pemindahan/ transfer ke/ dari penjara/ fasilitas tahanan lainnya, atau difasilitas kesehatan mengikuti pemindahan dari penjara. Penyebab kematian tahanan dan narapidana di penjara ini bermacam-macam. Mulai dari masalah kelebihan kapasitas penjara hingga penyakit. (Lyneham,2010) Catatan kematian individu yang dikumpulkan oleh Death in Custody Reporting Act of 2000 menerangkan bahwa di Amerika Serikat, antara tahun 2001-2006, penjara negara otoritas nasional melaporkan total 18,550 kematian tahanan negara ke Deaths in Custody Reporting Program(DCRP). Dimana 82.7% akibat kondisi medis, bunuh diri (6.3 %), pembunuhan (2%), alkohol (1%), obat (1%), dan cedera (1%). (Mumola CJ ,2009). Di Australia, menurui National Death in Custody Program 2008 (NDICP) dalam periode 29 tahun dan tahun 1980-2008, 1260 kematian terjadi di prison custody, 119 kematian terjadi dalam police custody dan custody related operations dan 17 kematian dalam custody of juvenile justice agencies. Mayoritas tahanan yang meninggal adalah laki-laki. Untuk periode 1

Upload: niko-yuandika

Post on 16-Jan-2016

232 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

ACROMION FK UNUD

TRANSCRIPT

Page 1: Hanging Case Report

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kematian di penjara yaitu kematian yang terjadi di penjara atau fasilitas

tahanan lainnya, termasuk kematian yang terjadi selama pemindahan/ transfer ke/

dari penjara/ fasilitas tahanan lainnya, atau difasilitas kesehatan mengikuti

pemindahan dari penjara. Penyebab kematian tahanan dan narapidana di penjara

ini bermacam-macam. Mulai dari masalah kelebihan kapasitas penjara hingga

penyakit. (Lyneham,2010)

Catatan kematian individu yang dikumpulkan oleh Death in Custody

Reporting Act of 2000 menerangkan bahwa di Amerika Serikat, antara tahun

2001-2006, penjara negara otoritas nasional melaporkan total 18,550 kematian

tahanan negara ke Deaths in Custody Reporting Program(DCRP). Dimana 82.7%

akibat kondisi medis, bunuh diri (6.3 %), pembunuhan (2%), alkohol (1%), obat

(1%), dan cedera (1%). (Mumola CJ ,2009).

Di Australia, menurui National Death in Custody Program 2008 (NDICP)

dalam periode 29 tahun dan tahun 1980-2008, 1260 kematian terjadi di prison

custody, 119 kematian terjadi dalam police custody dan custody related

operations dan 17 kematian dalam custody of juvenile justice agencies. Mayoritas

tahanan yang meninggal adalah laki-laki. Untuk periode 1980-2005 mayoritas

tahanan yang meninggal berusia 25-39 tahun Gantung diri merupakan cara

kematian yang lebih sering digunakan oleh tahanan muda. Dimana dari 340

kematian narapidana akibat gantung (hanging) 36% terjadi di dalam sel dan 13 %

terjadi pada tempat pemandian. (Lyneham,2010)

Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan

dalam pertukaran udara pernafasan yang normal. Afiksia mekanik adalah mati

lemas yang terjadi bila udara pernafasan terhalang memasuki saluran pernafasan

oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik). (Budiyanto A. 1997) Asfiksia

merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam kasus

kedokteran forensik dimana asfiksia mekanik yang cukup banyak adalah

penggantungan (hanging). (Nikolic,2003)

1

Page 2: Hanging Case Report

Hanging adalah suatu bentuk dari penjeratan yang tekanan pada leher

dipengaruhi oleh gravitasi dari berat badan korban. (Nikolic,2003) Selain itu,

penggantungan merupakan metode bunuh diri yang sering ditemukan di banyak

negara. Di Inggris, terdapat lebih dari 2000 kasus bunuh diri dengan

penggantungan dilaporkan setiap tahun. Penggantungan baik akibat bunuh diri

atau pembunuhan lebih sering ditemukan di perkotaan. (Ahmad M, 2010) Di

Amerika Serikat, pada tahun 2005, dilaporkan terdapat 13,920 kematian yang

disebabkan oleh asfiksia termasuk kematian akibat penggantungan, strangulasi

dan mati lemas. (Ernoehazy W, 2013)

Berdasarkan dokumen “Rekapitulasi Sebab Kematian Narapidana dan

Tahanan Seluruh Wilayah Indonesia tahun 2012” yang diterbitkan oleh Direktorat

Jendral Pemasyarakatan, di tahun 2010, angka kematian berjumlah 791; di tahun

2011 (Januari-Agustus), jumlah kematian adalah 352 dan, di tahun 2012 (Januari-

September), jumlah kematian adalah 440. Berdasarkan laporan tersebut, kematian

di tempat penahanan terkait dengan masalah kesehatan (serangan jantung,

sakitpernapasan) atau kekerasan internal di dalam penjara. Angka kematian akibat

HIV/AIDS adalah yang tertinggi dengan jumlah 204 kasus di tahun 2010, 105

kasus di tahun 2011, dan penurunan menjadi 73 kasus di tahun 2012.

(WGAT,2013)

Tindakan bunuh diri dengan cara penggantungan sering dilakukan karena

dapat dilakukan dimana dan kapan saja dengan seutas tali, kain, dasi, atau bahan

apa saja yang dapat melilit leher. Demikian pula pada pembunuhan atau hukuman

mati dengan cara penggantungan yang sudah digunakan sejak zaman dahulu.

Kasus gantung hampir sama dengan penjeratan. Perbedaannya terletak pada asal

tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil lingkaran jerat.Dalam rutinitas

medikolegal, perbedaan keduanya penting  karena  kasus  penggantungan

dianggap  bunuh  diri  sampai  dibuktikan sebaliknya, sedangkan kasus penjeratan

dianggap pembunuhan.2Berdasarkan data registrasi jenazah tahun 2014 di RSUP

Sanglah Denpasar terdapat 14 kasus bunuh diri dimana lebih banyak terjadi pada

laki-laki dibanding perempuan, yaitu sebanyak 9 kasus. Berdasarkan usia, pelaku

gantung diri banyak dilakukan oleh usia 30-45 tahun. (Bagian Forensik RSUP

Sanglah, 2014)

2

Page 3: Hanging Case Report

Berdasarkan uraian di atas mengenai angka kematian tahanan di penjara,

maka perlu diketahui hal-hal yang berkaitan dengan kematian tahanan dalam

penjara, mulai dari penyebab kematian, penanganan tahanan yang meninggal, dan

pemeliharaan kesehatan tahanan.

1.2 Rumusan Masalah

Pada laporan kasus ini terdapat beberapa masalah, yaitu korban

penggantungan yang merupakan seorang narpidana tiba diantarkan oleh pihak

kepolisian, kepada Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah Denpasar.

Dalam hal ini masalah yang harus dihadapi adalah :

1. Apakah yang dimaksud dengan kematian di penjara/ tahanan?

2. Apakah penyebab kematian di penjara/ tahanan?

3. Apakah hak dan kewajiban tahanan?

4. Bagaimana penanganan tahanan yang meninggal didalam penjara?

1.3 Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui masalah kematian didalam penjara.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui definisi kematian di penjara

b. Mengetahui penyebab kematian tahanan penjara.

c. Mengetahui hak dan kewajiban tahanan.

d. Mengetahui penanganan tahanan yang meninggal di dalam penjara.

1.4 Manfaat

Manfaat penulisan laporan kasus ini adalah menambah pengetahuan dan

pengertian pembaca mengenai kematian dalam tahanan serta aspek- aspek hukum

maupun medis di dalamnya.

3

Page 4: Hanging Case Report

BAB II

LAPORAN KASUS

Jenazah merupakan serorang Narapidana Narkoba yang menjalani

kurungan penjara sejak Bulan Juni 2014. Jenazah ditemukan dalam keadaan

meninggal / gantung diri menggunakan tali plastik berwarna biru dengan panjang

sekitar 4 meter yang tergantung pada plafon di belakang sel blok H Lembaga

Permasyarakatan Kerobokan pada tanggal 7 November 2014 pukul 13.00 WITA

oleh 3 orang penghuni kamar tahanan blok B. Menurut keterangan saksi, jenazah

sempat bertengkar dengan istrinya yang jarang mengunjungi jenazah.

Jenazah adalah seorang laki- laki, umur kurang lebih tiga puluh tahun,

berat badan 64 kg, panjang badan 165 cm. Tidak ditemukan tanda-tanda

kekerasan fisik lainnya selain jejas jerat akibat jeratan yang menjadi erat karena

berat badan korban. Korban diperkirakan meninggal antara pukul 05.26 sampai

pukul 09.26 WITA tanggal 7 November 2014. Keadaan tersebut lazim terjadi

pada peristiwa gantung diri. Untuk mengetahui penyebab kematian perlu

dilakukan pemeriksaan dalam (otopsi).

Jenazah diterima di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah

Denpasar pada tanggal 7 November 2014 pukul 17.20 WITA diantar oleh pihak

yang berwenang atas nama penyidik beserta dengan surat permintaan visumnya.

Pemeriksaan luar dilakukan pada tanggal 7 November 2014 pukul 17.26 WITA

kemudian pemeriksaan dalam pada tanggal 8 November 2014 pukul 12.15 WITA

atas permintaan (SPVR) Polisi Sektor Kuta Utara.

3.1 Hasil Pemeriksaan Luar

Jenazah adalah seorang laki- laki, warga negara Indonesia, warna kulit

sawo matang, umur kurang lebih 30 tahun, berat badan 64 kg, panjang badan

seratus 165 cm, gizi cukup, zakar disunat. Jenazah tidak berlabel. Lebam mayat

pada wajah, leher, punggung warna kemerahan yang hilang pada penekanan.Kaku

mayat pada rahang, lipat siku kanan dan kiri, kedua tungkai yang sukar dilawan.

Tidak didapatkan tanda-tanda pembusukan.

4

Page 5: Hanging Case Report

Pada wajah ditemukan warna kebiruan. Pemeriksaan mataditemukan

selaput bening mata kanan dan kiri keruh, selaput bola mata kanan dan kiri

berwarna merah, adanya pelebaran pembuluh darah pada kedua merah dan

terdapat bintik perdarahan pada kedua mata, selaput kelopak mata kanan dan kiri

tampak merah, pelebaran pembuluh darah pada kedua mata positif dan adanya

bintik perdarahan pada kedua mata. Pemeriksaan mulut dan rongga mulutlidah

tidak tergigit, tidak terjulur, dari rongga mulut tidak keluar apa-apa. Dari saluran

kelamin keluar cairan berwarna putih kental. Dari lubang pelepasan keluar banyak

kotoran berawarna kuning.

Pada leher bagian depan terdapat luka lecet tekan berwarna coklat

kehitaman melingkar leher secara tidak penuh dengan arah dari depan bawah ke

belakang atas, sebagai berikut:

Pada bagian depan pada GPD, dua sentimeter diatas jakun, lebar luka satu

sentimeter.

Pada samping kanan, sembilan sentimeter dari GPD, delapan sentimeter

dibawah lubang telinga, luka lebar dua sentimeter.

Pada samping kiri, sepuluh sentimeter dari GPD, sembilan sentimeter

dibawah lubang telinga, lebar luka dua sentimeter.

Pada leher kanan bagian belakang samping kanan luka lecet menghilang

pada delapan sentimeter dari GPB sejajar lubang telinga ukuran nol koma

delapan sentimeter.

Pada leher bagian belakang samping kiri, luka lecet menghilang pada

enam sentimeter dari GPB sejajar lubang telinga, lebar luka nol koma

tujuh sentimeter.

Panjang seluruh luka tiga puluh tiga sentimeter.

Pada leher bagian depan kanan, tiga sentimeter dari GPD berhimpit

dengan luka nomer satu, sepuluh sentimeter sebelah kiri dari GPD, tujuh

koma lima sentimeter dibawah lubang telinga terdapat luka lecet tekan

dengan arah mendatar berukuran tiga belas sentimeter kali dua sentimeter.

Pada leher bagian depan melintang GPD terdapat luka lecet tekan dengan

arah mendatar berukuran tujuh sentimeter kali nol koma lima sentimeter.

5

Page 6: Hanging Case Report

3.2 Pemeriksaan Dalam

Pada kulit leher bagian dalam terdapat resapan darah.Pada jaringan otot

leher bagian depan dibawah luka diatas tulang rawan gondok terdapat memar

berbentuk garis melengkung ukuran delapan belas sentimeter kali satu sentimeter.

Pada otot leher disekitar kelenjar gondok terdapat memar ukuran dua koma lima

sentimeter kali tiga sentimeter. Pada kelenjar gondok bagian depan terdapat

memar.

Lidah berwarna ungu permukaan kasar, pada irisan berwarna

coklat.Tulang rawan gondok : Kornu mayor suspect patah disekitarnya terdapat

memar kiri dan kanan. Selaput lendir berwarna merah keunguan, licin, tidak berisi

apa- apa. Selaput lendir batang tenggorok berwarna merah, licin, berisi buih

halus.

Paru- paru kanan terdiri dari tiga baga terdapat perlengketan antar baga,

warna ungu pada perabaan kenyal, pada irisan paru- paru bewana merah

kecoklatan, pada penekanan keluar buih dan darah encer, berat 650 gram.

Pada paru kiri terdiri dari dua baga terdapat perlengketan antar baga, paru

permukaan depan atas terdapat bintik perdarahan, pada perabaan kenyal, dan pada

irisan berwarna merah kecoklatan. Pada penekanan keluar buih dan darah encer

berat 600 gram.

Di dalam jantung terdapat cairan warna merah kehitaman sebanyak dua

puluh milliliter. Sekat jantung berwarna coklat, di dinding bilik kiri terdapat

bercak - bercak perdarahan, dengan ukuran dua sentimeter kali nol koma tujuh

sentimeter dan dua sentimeter dan nol koma dua sentimeter. Pembuluh nadi

jantung kiri bagian depan dua sentimeter dan percabangan terdapat

penyempitan.Ginjal kanan dan kiri tampak pelebaran pembuluh darah, berat

masing-masing seratus gram.

Otak besar berwarna abu- abu, terdapat pelebaran pembuluh darah, pada

pengirisan pada beberapa tempat batas antara materi putih dan abu- abu tidak

jelas.Otak kecil warna abu- abu, terdapat pelebaran pembuluh darah pada

pengirisan yang berwarna putih dan abu- abu.Batang otak terdapat pelebaran

pembuluh darah, pada pengirisan terdapat bintik- bintik perdarahan. Bilik otak

berisi caian otak bening, berat otak seluruhnya 1600 gram.

6

Page 7: Hanging Case Report

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kematian Dalam Tahanan (Death On Custody)

Kematian (Death) merupakan terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang

kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular, dan sistem

pernapasan yang menetap atau Irreversible (Budiyanto A, 1997). Sedangkan

International Committee of the Red Cross (ICRC, 2013) menambahkan kematian

disebut alami (natural death) apabila kematian disebabkan oleh penyakit dan atau

proses penuaan. Kemudian kematian disebut tidak alami (unnatural death) apabila

disebabkan oleh penyebab- penyebab eksternal seperti perlukaan yang disengaja,

kelalaian, atau kecelakaan.

Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan Custody sebagai tahanan.

Akan tetapi istilah ini perlu diperjelas lagi karena menurut Kitab Undang- Undang

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat perbedaan antara tahanan dan

narapidana. Tahanan adalah seseorang yang berada dalam penahanan.

Berdasarkan KUHAP Pasal 1 angka 21 UU no.8 tahun 1981 penahanan adalah

penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau

penuntut umum, atau hakim dengan penetapannya. Tahanan yang masih dalam

proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan negeri, pengadilan

tinggi dan Mahkamah Agung ditempatkan di dalam Rumah Tahanan (KUHAP

Pasal 19 PP no.27 tahun 1983). Sedangkan definisi narapidana berdasarkan Pasal

1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,

narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di

Lembaga Pemasyarakatan. Terpidana sendiri diartikan sebagai seseorang yang di

pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap (Pasal 1 angka 6 UU 12/1995).

Jadi kematian dalam tahanan (death on custody) dapat didefinisikan

sebagai kematian seorang tahanan ataupun narapidana disuatu tempat tertentu

yang terjadi baik secara alami maupun tidak alami. Lebih spesifik lagi Royal

7

Page 8: Hanging Case Report

Cominision Into Aboriginal Deaths in Custody (RCIADIC) mengklasifikasikan

mati dalam penjara sebagai berikut (Leyneham, 2008):

a. Death in prison custody

Adalah kematian yang terjadi di penjara atau fasilitas tahanan lainnya,

termasuk kematian yang terjadi selama pemindahan/ transfer ke/ dan

penjara/ fasilitas tahanan lainnya, atau di fasilitas kesehatan mengikuti

pemindahan dari penjara.

b. Death in police custody

Dibagi menjadi dua kategori utama, antara lain:

a. Kategori 1

1) Kategori 1a: Kematian dalam institutional setting (misalnya

kantor polisi, mobil polisi, rumah sakit selama pemindahan dan

atau ke institusi/ mengikuti pemindahan dan institusi).

2) Kategori lb: Kematian lainnya dalam operasi polisi dimana

petugas mempunyai kontak erat, termasuk kematian yang

berhubungan dengan pengejaran dan penembakan oleh polisi.

Tidak termasuk pengepungan dengan parameter yang telah

ditetapkan tetapi petugas tidak memiliki kontak dekat dengan

orang yang dapat mengontrol tindakan seseorang.

b. Kategori 2: Kematian lain selama operasi polisi termasuk

pengepungan dan kasus dimana petugas berusaha menahan

seseorang.

Dalam laporan kasus ini dapat diketahui bahwa almarhum yang berstatus

sebagai narapidana kasus narkoba, ditemukan meninggal secara tidak wajar

dengan posisi tergantung di belakang sel blok H Lapas Kerobokan. Berdasarkan

uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kasus ini merupakan kasus death in

prison custody karena almarhum meninggal pada saat sedang menjalani hukuman

kurungan di penjara.

3.2 Penyelidikan Kematian Dalam Tahanan

Kematian dalam tahanan bukanlah merupakan suatu kasus yang langka.

Kematian dalam tahanan dapat disebabkan oleh penyebab alami, namun tidak

8

Page 9: Hanging Case Report

jarang juga kematian dalam tahanan merupakan bentuk dari sebuah pembunuhan

diluar hukum, atau buruknya perlakuan yang diberikan kepada tahanan. Hal ini

jelas merupakan pelanggaran hak asasi manusia, untuk itu penyelidikan kematian

dalam tahanan perlu dilakukan tidak hanya demi kepentingan almarhum namun

juga kepentingan keluarga almarhum, pihak yang berwenang dan kepentingan

sosial secara keseluruhan.

Indonesia belum mempunyai pedoman baku mengenai penyelidikan

kematian dalam tahanan. Hal ini seringkali menyebabkan penyidik kesulitan

dalam melakukan penyidikan yang sesuai dengan standar. ICRC (2013)

mengemukakan delapan poin penting sebagai panduan dalam memanagemen

kematian dalam tahanan. Poin- poin tersebut adalah:

1. Semua kasus kematian dalam tahanan harus diselidiki sedini mungkin oleh

pihak independen yang terpisah sekalipun keluarga atau wali dari korban

tidak meminta dilakukannya penyelidikan lebih lanjut.

2. Tujuan utama dari penyelidikan adalah:

Memperjelas keadaan- keadaaan yang berhubungan dengan

kematian seperti penyebab kematian, cara kematian, lokasi dan

waktu kematian juga semua pihak yang bersangkutan dengan

almarhum. Hal ini pada akhirnya dapat membedakan antara

kematian wajar atau tidak wajar.

Penyelidikan ini juga berfungsi untuk:

Mengurangi trauma dan menyediakan pengobatan yang efektif

untuk keluarga yang bersangkutan. Kejelasan kematian almarhum

dapat meringankan beban penderitaan keluarga yang ditinggalkan.

Apabila didapati negara yang bertanggung jawab atas

meninggalnya almarhum maka pihak keluarga almarhum dapat

mengajukan tuntutan guna mendapatkan kompensasi ganti rugi

sebagai bentuk pertanggung jawaban negara.

Mengadili dan menghukum orang yang bertanggung jawab.

Apabila kasus kematian dalam tahanan diduga kuat sebagai tindak

pidana maka penyelidikan guna menemukan pelaku sangat penting

untuk dapat diadili kemudian.

9

Page 10: Hanging Case Report

Mencegah berulangnya kasus kematian dalam tahanan.

3. Penyelidikan harus dilakukan dengan cermat dan menyeluruh. Beberapa

hal yang harus diketahui adalah seperti:

Mendapatkan dan menjaga temuan- temuan fisik maupun

dokumen- dokumen yang berhubungan dengan almarhum.

Mengetahui ada atau tidaknya saksi dan kemudian

mendokumentasikan keterangan yang diberikan.

Mengetahui latar belakang almarhum yang bersangkutan.

Menentukan orang- orang yang bersangkutan dengan almarhum.

Menentukan penyebab, cara, tempat, waktu kematian, dan juga

pola yang mungkin menyebabkan hal tersebut.

Membedakan antara kematian alami dengan kecelakaan, tindakan

bunuh diri atau pembunuhan.

4. Tempat ditemukannya jenazah harus diduga sebagai tempat kejadian

perkara, khususnya pada kematian yang tidak dapat diduga. Apabila

memungkinkan olah tempat kejadian perkara juga diikuti oleh ahli

kedokteran forensik.

5. Pemeriksaan dalam (autopsy) secara cermat oleh ahli kedokteran forensik

harus dilakukan khususnya pada kematian yang tidak dapat diduga.

6. Kerabat terdekat almarhum harus segera diinformasikan mengenai

kematian keluarganya dan diminta untuk bersabar dalam segala proses

penyelidikan yang berlangsung.

7. Sertifikat kematian yang lengkap dan sah harus segera diberikan kepada

kerabat terdekat setelah penyelidikan selesai menggantikan sertifikaat

kematian sementara.

8. Apabila pemeriksaan post-mortem yang dilakukan selama penyelidikan

telah selesai maka jenazah harus segera dikembalikan kepada kerabat

almarhum dengan menjunjung tinggi hormat dan martabat almarhum.

Dalam Laporan Kasus ini jenazah ditemukan pada pukul satu siang dan

kemudian pemeriksaan jenazah oleh ahli kedokteran forensik dilakukan pada sore

harinya sekitar pukul lima sore. Sedangkan otopsi dilakukan keesokan harinya

10

Page 11: Hanging Case Report

pada pukul dua belas. Dari hal ini dapat dilihat bahwa penyelidikan segera

dilakukan setelah ditemukannya jenazah. Akan tetapi dalam kasus ini ahli

kedokteran forensik tidak ikut serta dalam olah tempat kejadian perkara. Dalam

suatu penyelidikan, tempat kejadian perkara dapat memberikan petunjuk bagi

penyidik untuk memperkirakan suatu perkara yang terjadi. Akan tetapi disamping

TKP, tubuh atau jenasah korban sendirilah yang dapat memberi petunjuk utama

dalam membuat terang suatu perkara. Disinilah peran utama dokter forensik, jadi

sekalipun ahli kedokteran forensik tidak ikut dalam olah TKP bukan berarti

dokter forensik kehilangan fungsinya dalam suatu penyelidikan.

11

Page 12: Hanging Case Report

Gambar 1. Skema penyelidikan suatu tindak pidana

3.3 Hak- Hak Tahanan

Konsep HAM memiliki dua pengertian dasar, pertama merupakan hak-hak

yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut. Hak ini adalah hak-hak moral yang

berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin

martabat setiap manusia. Kedua, hak menurut hukum, yang dibuat sesuai dengan

proses pembuatan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara nasional

maupun internasional. Pihak-pihak yang bertanggung jawab langsung atas

terpenuhinya hak-hak baik tahanan maupun narapidana harus mematuhi hukum

yang berlaku karena perlindungan hukum merupakan salah satu hak asasi manusia

yang harus dijunjung oleh semua pihak. (Pramesti, 2013)

Terdapat perbedaan landasan hukum yang menjelaskan mengenai

kewajiban dan hak seorang tahanan dengan narapidana. Namun secara garis besar

tahanan dan narapidana memiliki hak yang serupa dalam hubungannya dengan

hak untuk menerima dukungan kesehatan, makanan, pakaian dan kunjungan.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Lembaga

Pemasyarakatan. Pada Pasal 14 di tentukan bahwa Narapidana berhak:

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya.

b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani.

c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.

e. Menyampaikan keluhan.

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya

yang tidak dilarang.

g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.

h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu

lainnya.

i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).

j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi

keluarga.

k. Mendapatkan pembebasan bersyarat.

l. Mendapatkan cuti menjelang bebas.

12

Page 13: Hanging Case Report

m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan Perundang-

Undangan yang berlaku.

Lebih khusus lagi, mengenai hak-hak narapidana itu diatur

dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (“PP 32/1999”) sebagaimana

yang telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 (“PP

28/2006”), dan diubah kedua kalinya oleh Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun

2012 (“PP 99/2012”). Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) PP 32/2009, setiap

narapidana berhak mendapatkan makanan dan minuman sesuai dengan jumlah

kalori yang memenuhi syarat kesehatan. Dari segi pelayanan kesehatan,

berdasarkan Pasal 14 ayat (1) dan (2) PP 32/2009, setiap narapidana berhak

memperoleh pelayanan kesehatan yang layak, yang mana pada setiap Lapas

disediakan poliklinik beserta fasilitasnya dan disediakan sekurang-kurangnya

seorang dokter dan seorang tenaga kesehatan lainnya.

Hak orang yang ditahan dan bagaimana seharusnya polisi memperlakukan

tersangka terdapat dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi

Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia

(“Perkapolri 8/2009”). Pasal 10 huruf f Perkapolri 8/2009  berbunyi:

“Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas/anggota

Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku (Code of Conduct) menjamin

perlindungan sepenuhnya terhadap kesehatan orang-orang yang berada dalam

tahanannya, lebih khusus lagi, harus segera mengambil langkah untuk

memberikan pelayanan medis bilamana diperlukan.” 

Selain itu, berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf b dan c Perkapolri

8/2009, setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan tahanan atau

terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan dan pelecehan atau

kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka terlibat dalam

kejahatan. Perlindungan hukum bagi tahanan juga ditegaskan pada Pasal 22 ayat

(3) Perkapolri 8/2009 yang mengatakan bahwa tahanan yang pada dasarnya telah

dirampas kemerdekaannya harus tetap diperlakukan sebagai orang yang tidak

bersalah bersalah sebelum ada keputusan hukum yang berkekuatan tetap.

13

Page 14: Hanging Case Report

 

Ditambah lagi berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2005 tentang

Pengurusan Tahanan pada Rumah Tahanan Polri (“Perkapolri 4/2005”), setiap

tahanan pada prinsipnya berhak mendapat perawatan berupa: dukungan kesehatan,

makanan, pakaian, dan kunjungan. Ketentuan lebih lanjut mengenai perawatan

dalam bentuk dukungan kesehatan dijelaskan dalam Pasal 7 Perkapolri 4/2005.

Salah satu yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah kewajiban petugas jaga

tahanan untuk meneliti kesehatan tahanan pada waktu sebelum, selama dan pada

saat akan dikeluarkan dari Rutan dengan bantuan dokter atau petugas kesehatan.

Dalam keadaan darurat atau tahanan sakit keras, seorang dokter atau petugas

kesehatan pun dapat didatangkan ke Rutan yang berada dan/atau ke rumah sakit

dengan dikawal oleh petugas kawal sesuai dengan prosedur.

3.4 Penyebab Kematian Tahanan

Penyebab kematian tahanan dapat berupa penyebab alami, bunuh diri,

kecelakaan, pembunuhan, gantung atau jerat, senjata api, luka akibat ledakan atau

kendaraan, overdosis obat, senjata tajam, senjata tumpul (Knight, 1996) Kematian

dalam tahanan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi jika (Callamard,

2000):

a. Merupakan eksekusi langsung tanpa diadili (extrajudicial execution).

b. Kematian akibat penyiksaan.

c. Kematian akibat kondisi penjara yang buruk dan pengabaian akan

kondisi kesehatan narapidana.

d. Kematian akibat penggunaan kekerasan yang berlebihan

Sebaliknya kematian dalam tahanan tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap

hak asasi jika disebabkan penyebab kematian alami atau penyakit berat atau

Tahanan terbunuh akibat usaha petugas tahanan untuk melindungi diri terhadap

ancaman dari tahanan tersebut.

Beberapa penyebab kematian yang alami terkadang perlu dicurigai.

Penyebab alami, penyakit atau kecelakaan yang dapat menutupi fakta pelanggaran

hak asasi manusia. Banyak kematian “alami” di tahanan disebabkan karena

buruknya keadaan tahanan, kurangnya akses ke pelayanan kesehatan, kurangnya

14

Page 15: Hanging Case Report

gizi yang memadai atau air bersih, dan tahanan yang terlaiu penuh. Beberapa

kondisi tersebut dapat dideskripsikan sebagai kekejaman, tidak

berperikemanusiaan atau perlakuan yang buruk.

Selain kematian alami, kematian akibat dari usaha pelarian juga perlu

dicurigai karena dapat menutupi fakta pelanggaran hak asasi manusia. Hal umum

bagi otoritas tahanan menyatakan bahwa tahanan meninggal ketika berupaya

untuk melarikan diri. Bukti forensik dan keterangan dari saksi mata dapat

digunakan untuk melawan klaim tersebut. Hal serupa juga dapat terjadi pada

tahanan yang di klaim meninggal akibat kecelakaan yang pada pemeriksaan

forensik ditemukan adanya bukti-bukti tindakan penyiksaan (Callamard, 2000).

Beberapa penyebab kematian tahanan yang sering ditemukan adalah

(Knight, 1996):

1. Asfiksia traumatik

Seringkali terjadi ketika petugas gagal dalam menguasai tahanan. Terjadi

akibat sejumlah petugas secara bersamaan melawan dan menduduki tahanan

secara brutal untuk memborgol tahanan. Ketika mereka berdiri, orang tersebut

tidak bernapas lagi dan meninggal tidak lama kemudian setelah dibawa ke rumah

sakit. Kematian akibat asfiksia traumatik disebabkan karena berat badan petugas

yang menyebabkan kompresi dada dan menghalangi gerak pernapasan.

2. Penguncian lengan dan memegang leher

Dilakukan poiisi untuk menahan seseorang adalah kematian yang sering

terjadi saat proses penangkapan penguncian lengan dilakukan di depan atau

bersamaan dengan kepala pelaku diselipkan di antara lengan polisi. Bahaya yang

terjadi adalah kompresi dan depan atau samping leher dan kematian dapat terjadi

baik karena reflek vagus atau karena iskemia serebri saat terjadi kompresi karotis,

atau asfiksia karena obstruksi jalan napas.

Menurut Reay dan Eisele, terdapat dua tipe dalam memegang leher – ‘bar

arm control’ dan ‘carotid sleeper’. ‘Bar arm control lebih berbahaya dilakukan

dengan cara lengan bawah ditarik melintang tepat di depan laring untuk menutup

jalan napas. ‘The carotid sleeper’ menggunakan dua sisi lengan untuk

memebentuk “V” yaitu lengan bawah dan lengan atas untuk mengkompresi

karotis sehingga terjadi iskeinia serebral. Kematian yang sering terjadi akibat

15

Page 16: Hanging Case Report

stimulasi vagal dari sinus karotikus selain itu perdarahan subaraknoid dapat terjadi

akibat kerusakan arteri vertebrobasilar karena traksi leher dan hiperekstensi.

3. Trauma tumpul

Dapat terjadi karena penggunaan kepalan tangan, siku, kaki, atau

penggunaan senjata. Cedera kepala dapat terjadi ketika tahanan membentur tanah

atau dinding. Pukulan keras pada wajah dapat menyebabkan perdarahan

nasofaring sehingga mengobstruksi jalan pernapasan, terutama pada tahanan

dalam pengaruh alcohol. Pukulan pada samping leher dapat menimbulkan refleks

cardiac arrest atau perdarahan subaraknoid akibat kerusakan pembuluh darah

vertebrobasiler. Pukulan pada perut juga dapat menimbulkan perdarahan

intraperitoneal yang terjadi karena robeknya mesentrium.

4. Kadar alkohol yang meningkat

Kadar alkohol diatas 350 mg per 100 ml darah dapat menyebabkan

peningkatan resiko koma dan depresi pusat pernapasan. Pada kadar alkohol darah

yang rendah masih dapat timbul resiko aspirasi muntah Oleh karena isi lambung.

Alkohol juga memberikan konstribusi pada kematian dalam penjara karena

kecelakaan, terutama yang menyebabkan cedera kepala karena terjatuh ke tanah

maupun dari tangga dimana orang yang mabuk akan mengalami ataksia dan

inkoordinasi. Terjatuh yang mengenai oksipitalis dan kerusakan otak contrecoup

pada frontal dan temporal pada otopsi merupakan bukti yang kuat telah terjadi

cedera deselerasi.

5. Bunuh diri

Bunuh diri di penjara adalah hal yang tidak biasa. Bunuh diri di penjara

biasanya dilakukan dengan cara gantung. Alasan tahanan untuk mengakhiri

hidupnya bisa karena mengalami kekerasan di penjara atau gangguan psikiatri.

Untuk meyakinkan benar tidaknya gantung, dapat dilakukan otopsi.

6. Kematian alami karena penyakit

Biasanya karena akibat penyakit kardiovaskular. Penyakit diabetes, epilepsi,

dan asma potensial menyebabkan kematian mendadak atau tidak terduga. Untuk

memastikannya dapat dilihat dari riwayat medis dan otopsi.

Kasus kematian narapidana di dalam penjara selalu menjadi isu

pelanggaran HAM yang sensitif karena erat kaitannya dengan tingginya kasus

16

Page 17: Hanging Case Report

penyiksaan oleh sesama narapidana maupun oleh sipir penjara. Seperti uraian

diatas kematian narapidana juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi

jika kematian diakibatkan karena buruknya kondisi penjara, pengabaian akan

kondisi kesehatan narapidana seperti kurangnya akses pelayanan kesehatan,

kurangnya gizi dan air bersih yang memadai ditambah dengan kondisi penjara

yang terlalu penuh.

Penyelidikan bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran

hak asasi manusia atas kematian korban. Hal ini penting untuk menentukan

langkah penyelidikan berikutnya. Apabila korban mati akibat dari pembunuhan

maka penyelidikan lebih lanjut akan berfokus untuk mencari pelaku pembunuhan,

namun apabila dari hasil pemeriksaan tidak ditemukan tanda- tanda penyiksaan

atau pembunuhan maka kematian korban bukanlah merupakan tindak pidana yang

memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Untuk itu peran ahli kedokteran forensik

dalam membuat sertifikat kematian yang sah sangat menentukan proses

penyelidikan berikutnya.

3.5 Penggantungan (Hanging)

Penggantungan (hanging) adalah suatu bentuk dari penjeratan yang

tekanan pada leher dipengaruhi oleh gravitasi dari berat badan korban. (Budiyanto

A, 1997)

3.5.1 Klasifikasi Penggantungan

Penggantungan seringkali di klasifikasikan menurut cara kematiannya,

posisi korban maupun letak jeratan. Berdasarkan cara kematian penggantungan

dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Gantung Diri (Suicidal Hanging)

Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai pada

penggantungan, yaitu sekitar 90% dari seluruh kasus. Walaupun demikian,

pemeriksaan yang teliti harus dilakukan untuk mencegah kemungkinan

lain terutamanya pembunuhan.

b. Kecelakaan (Accidental Hanging)

Kejadian penggantungan akibat kecelakaan lebih banyak ditemukan pada

anak-anak utamanya pada umur antara 6-12 tahun. Tidak ditemukan alasan

17

Page 18: Hanging Case Report

untuk bunuh diri karena pada usia itu belum ada tilikan dari anak untuk

bunuh diri. Hal ini terjadi akibat kurangnya pengawasan dari orang tua.

Meskipun tidak menutup kemungkinan hal ini dapat terjadi pada orang

dewasa yaitu ketika melampiaskan nafsu seksual yang menyimpang

(Autoerotic Hanging).

c. Pembunuhan (Homicidal Hanging)

Pembunuhan yang dilakukan dengan metode menggantung korban.

Biasanya dilakukan bila korbannya anak-anak atau orang dewasa yang

kondisinya lemah baik oleh karena penyakit atau dibawah pengaruh obat,

alKohol, atau korban sedang tidur. Sering ditemukan kejadian

penggantungan tetapi bukan kasus bunuh diri, namun kejadian diatur

sedemikian rupa hingga menyerupai kasus penggantungan bunuh diri.

Banyak alasan yang menyebabkan pembunuhan terjadi mulai dari masalah

sosial, masalah ekonomi, hingga masalah hubungan sosial.

Sedangkan berdasarkan posisi korban penggantungan dapat diklasifikasikan

sebagai berikut:

a. Penggantungan lengkap (complete hanging)

Dikatakan penggantungan lengkap apabila tubuh korban tergantung di atas

lantai, kedua kaki tidak menyentuh lantai.

b. Penggantungan parsial (Partial Hanging)

Yaitu apabila sebagian dari tubuh masih menyentuh lantai. Sisa berat

badan 10 - 15 kg pada orang dewasa sudah dapat menyebabkan tersumbat

saluran nafas dan hanya diperlukan sisa berat badan 5 kg untuk

menyumbat arteri karotis. Partial hanging ini hampir selamanya karena

bunuh diri.

Penggantungan juga diklasifikasikan berdasarkan letak jeratan, yaitu :

a. Typical hanging

Titik penggantungan ditemukan di daerah oksipital dan tekanan pada arteri

karotis paling besar.

b. Atypica lhanging

18

Page 19: Hanging Case Report

Titik penggantungan terletak di samping, sehingga leher sangat miring

(fleksi lateral), yang mengakibatkan hambatan pada arteri karotis dan

arteri vertebralis.

3.5.2 Patofisiologi Penggantungan

Pada gantung diri kematian korban dapat disebabkan oleh asfiksia,

gangguan sirkulasi darah ke otak, vagal reflek, dan kerusakan medulla spinalis.

Pada Asfiksia Tekanan yang terus menerus pada leher selama minimal 15

– 30 detik cukup memberikan tanda – tanda kongesti / Asphixia ( Knight, 1996 ).

Pada kasus asfiksia secara umumnya pada otopsi ditemukan hal – hal seperti

perdarahan petechial, kongesti, dan sianosis. Perdarahan petechial terjadi akibat

peningkatan tekanan intrakapiler dan kenaikan permeabilitas kapiler yang

disebabkan oleh anoxia. Perdarahan dapat dilihat pada kulit, konjungtiva,

epiglotis, regio subglotis, permukaan pleura dan pericard erta permukaan organ

dalam, tetapi yang paling menonjol terlihat pada konjungtiva palpebra, kulit dahi,

dan kulit di bawah tanda jerat yang tampak sebagai bintik – bintik merah yang

menyebar. Pada orang kulit gelap untuk dapat melihatnya diperlukan bantuan kaca

pembesar. Kongesti tampak jelas pada pembuluih darah mata, septum nasi dan

membran tympani. Pada muka terlihat ungu dan sedikit bengkak. Jika terjadi

kongesti yang kuat pada paru dapat terjadi perdarahan yang biasanya terjadi

bersamaan dengan dilatasi jantung kanan Cyanosis merupakan kelainan yangtidak

spesifik, meskipum umumnya ditemukan pada asphixia. Biasanya terlihat pada

bibir dan kuku extemitas atas ataupun bawah. Intensitas cyanosis ini dapat

berubah setelah kematian.

Kemudian pada leher terdapat a. Carotis communis yang bersama –sama

dengan v. Jugularis interna dan n. Vagus membentuk seberkas neurovaskuler,

berkas ini terletak di bawah m.Sternocleidomastoidius. A. Carotis communis

setinggi os. Hyoid bercabang menjadi a. Carotis interna dan a. Carotis externa. A.

Carotis interna bersam – sama a. Vertebralis menyuplai darah ke otak. Arteri

vertebralis berjalan ke atas ( di dalam foramen transversum ) dari vertebra

cervicalis 4 menuju vertebra cervicalis 1 ( atlas ) menembus membran atlanto

occipitalis. Kedua a. Vertebralis bersatu membentuk a. Basilaris. Pada kasus

19

Page 20: Hanging Case Report

gantung diri akibat berat badan korban dapat terjadi jeratan pada leher yang dapat

menyebabkan tekanan pada a. Vertebralis, dan jika tekanan yang terjadi sebesar

6,6 lb (2,97 kg), maka akan menyebakan penyumbatan arteri ini. Atau jika jeratan

tadi berada setinggi os. Hyoid maka dapat menyebabkan tekanan pada a. Carotis,

yang bila tekanan ini berlangsung selama 10 menit, maka akan menyebabkan

korban kehilangan kesadarannya dan pergerakan pernafasan terhambat..

Jika hal tersebut diatas terjadi, maka akan terjadi gangguan suplai darah ke

otak yang bila korban tidak tertolong dengan segera akan menyebabkan kematian

korban.

Vagal Refleks dapat menjadi penyebab kematian pada penggantungan

karena N. Vagus mempunyai empat serabut yaitu serabut somatosensorik, viscero

sensorik, somatomotorik, dan visceromotorik. N. Vagus keluar ke leher di

belakang arteri dan vena jugularis interna. Refleks vagus dapat terjadi karena

stimulasi neural carotid kompleks dan lebih sering terjadi pada manual

strangulasi, kecuali hangging (Knight, 1996).

Kerusakan batang otak dan medulla spinalis terjadi akibat dislokasi atau

fraktur vertebrae cervicalis. Sebagai contoh pada hukuman gantung (judicial

hanging) akibat tempat pijakan diambil maka korban akan mengalami traksi yang

menyebabkan terpisahnya vertebrae cervicalis 2 (VC2) dan vertebrae cervicalis 3

( VC3 ) atau vertebrae cervicalis 3 ( VC3) dan vertebrae cervicalis 4 ( VC4 ). Hal

ini juga dapat terjadi akibat dorongan simpul besar yang berada pada sisi leher,

sehingga medulla spinalis bagian atas akan tertarik / teregang ( FKUI,1997 ).

3.6 Pemeriksaan Jenazah

Pemeriksaan post-mortal pada kasus gantung diri atau penggantungan

dipengaruhi oleh mekanisme kematiannya; mekanisme kematian yang berbeda

akan memberikan gambaran post-mortal yang berbeda. Pemeriksaan korban

dimulai dari tempat kejadian perkara, pemeriksaan luar dan kemudian dilanjutkan

dengan pemeriksaan dalam untuk memastikan apakah korban merupakan kasus

bunuh diri, pembunuhan atau kecelakaan.

Tanda-tanda antemortem sebelum kematian dan tanda-tanda postmortem

harus diketahui dan dapat dibedakan dengan jelas oleh seorang dokter forensik

20

Page 21: Hanging Case Report

agar penyebab kematian dapat detentukan dengan pasti. Perbedaan antara tanda-

tanda penggantungan antemortem dan postmortem adalah seperti pada tabel 1. di

bawah ini.

Tabel 1. Perbedaan penggantungan antemortem dan postmortem

No Penggantungan antemortem Penggantungan postmortem

1 Tanda-tanda penggantungan ante-

mortem bervariasi. Tergantung

dari cara kematian korban

Tanda-tanda post-mortem

menunjukkan kematian yang bukan

disebabkan penggantungan

2 Tanda jejas jeratan miring, berupa

lingkaran terputus (non-

continuous) dan letaknya pada

leher bagian atas

Tanda jejas jeratan biasanya

berbentuk lingkaran utuh

(continuous), agak sirkuler dan

letaknya pada bagian leher tidak

begitu tinggi

3 Simpul tali biasanya tunggal,

terdapat pada sisi leher

Simpul tali biasanya lebih dari satu,

diikatkan dengan kuat dan diletakkan

pada bagian depan leher

4 Ekimosis tampak jelas pada salah

satu sisi dari jejas penjeratan.

Lebam mayat tampak di atas jejas

jerat dan pada tungkai bawah

Ekimosis pada salah satu sisi jejas

penjeratan tidak ada atau tidak jelas.

Lebam mayat terdapat pada bagian

tubuh yang menggantung sesuai

dengan posisi mayat setelah

meninggal

5 Pada kulit di tempat jejas

penjeratan teraba seperti perabaan

kertas perkamen, yaitu tanda

parchmentisasi

Tanda parchmentisasi tidak ada atau

tidak begitu jelas

6 Sianosis pada wajah, bibir,

telinga, dan lain-lain sangat jelas

terlihat terutama jika kematian

karena asfiksia

Sianosis pada bagian wajah, bibir,

telinga dan lain-lain tergantung dari

penyebab kematian

7 Wajah membengkak dan mata

mengalami kongesti dan agak

Tanda-tanda pada wajah dan mata

tidak terdapat, kecuali jika penyebab

21

Page 22: Hanging Case Report

No Penggantungan antemortem Penggantungan postmortem

menonjol, disertai dengan

gambaran pembuluh dara vena

yang jelas pada bagian kening dan

dahi

kematian adalah pencekikan

(strangulasi) atau sufokasi

8 Lidah bisa terjulur atau tidak sama

sekali

Lidah tidak terjulur kecuali pada

kasus kematian akibat pencekikan

9 Penis. Ereksi penis disertai

dengan keluarnya cairan sperma

sering terjadi pada korban pria.

Demikian juga sering ditemukan

keluarnya feses

Penis. Ereksi penis dan cairan

sperma tidak ada. Pengeluaran feses

juga tidak ada

10 Air liur. Ditemukan menetes dari

sudut mulut, dengan arah yang

vertikal menuju dada. Hal ini

merupakan pertanda pasti

penggantungan ante-mortem

Air liur tidak ditemukan yang

menetes pad kasus selain kasus

penggantungan.

Selain itu juga, terdapat beberapa perbedaan yang jelas antara penggantungan

akibat bunuh diri dan pembunuhan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Perbedaan penggantungan akibat bunuh diri dan pembunuhan

No Penggantungan pada bunuh

diri

Penggantungan pada pembunuhan

1 Usia. Gantung diri lebih sering

terjadi pada remaja dan orang

dewasa. Anak-anak di bawah usia

10 tahun atau orang dewasa di

atas usia 50 tahun jarang

melakukan gantung diri

Tidak mengenal batas usia, karena

tindakan pembunuhan dilakukan oleh

musuh atau lawan dari korban dan

tidak bergantung pada usia

2 Tanda jejas jeratan, bentuknya

miring, berupa lingkaran terputus

Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran

tidak terputus, mendatar, dan

22

Page 23: Hanging Case Report

No Penggantungan pada bunuh

diri

Penggantungan pada pembunuhan

(non-continuous) dan terletak

pada bagian atas leher

letaknya di bagian tengah leher,

karena usaha pelaku pembunuhan

untuk membuat simpul tali

3 Simpul tali, biasanya hanya satu

simpul yang letaknya pada bagian

samping leher

Simpul tali biasanya lebih dari satu

pada bagian depan leher dan simpul

tali tersebut terikat kuat

4 Riwayat korban. Biasanya korban

mempunyai riwayat untuk

mencoba bunuh diri dengan cara

lain

Sebelumnya korban tidak

mempunyai riwayat untuk bunuh diri

5 Cedera. Luka-luka pada tubuh

korban yang bisa menyebabkan

kematian mendadak tidak

ditemukan pada kasus bunuh diri

Cedera berupa luka-luka pada tubuh

korban biasanya mengarah kepada

pembunuhan

6 Racun. Ditemukannya racun

dalam lambung korban, misalnya

arsen, sublimat korosif dan lain-

lain tidak bertentangan dengan

kasus gantung diri. Rasa nyeri

yang disebabkan racun tersebut

mungkin mendorong korban

untuk melakukan gantung diri

Terdapatnya racun berupa asam

opium hidrosianat atau kalium

sianida tidak sesuai pada kasus

pembunuhan, karena untuk hal ini

perlu waktu dan kemauan dari

korban itu sendiri. Dengan demikian

maka kasus penggantungan tersebut

adalah karena bunuh diri

7 Tangan tidak dalam keadaan

terikat, karena sulit untuk gantung

diri dalam keadaan tangan terikat

Tangan yang dalam keadaan terikat

mengarahkan dugaan pada kasus

pembunuhan

8 Kemudahan. Pada kasus

bunuhdiri, mayat biasanya

ditemukan tergantung pada tempat

yang mudah dicapai oleh korban

atau di sekitarnya ditemukan alat

Pada kasus pembunuhan, mayat

ditemukan tergantung pada tempat

yang sulit dicapai oleh korban dan

alat yang digunakan untuk mencapai

tempat tersebut tidak ditemukan

23

Page 24: Hanging Case Report

No Penggantungan pada bunuh

diri

Penggantungan pada pembunuhan

yang digunakan untuk mencapai

tempat tersebut

9 Tempat kejadian. Jika kejadian

berlangsung di dalam kamar,

dimana pintu, jendela ditemukan

dalam keadaan tertutup dan

terkunci dari dalam, maka

kasusnya pasti merupakan bunuh

diri

Tempat kejadian. Bila sebaliknya

pada ruangan ditemukan terkunci

dari luar, maka penggantungan

adalah kasus pembunuhan

10 Tanda-tanda perlawanan, tidak

ditemukan pada kasus gantung

diri

Tanda-tanda perlawanan hampir

selalu ada kecuali jika korban sedang

tidur, tidak sadar atau masih anak-

anak.

Kedokteran forensik tidak dapat memperkirakan cara kematian namun

memiliki peran yang penting dalam membuat terang suatu perkara khususnya

kasus dugaan pidana. Dalam kasus ini kedokteran forensik memiliki peran dalam

melakukan pemeriksaan luar untuk mengetahui ada atau tidaknya tanda- tanda

kekerasan, maupun otopsi untuk mengetahui penyebab kematian, perkiraan waktu

kematian (time of death) dan untuk menentukan apakah korban mati wajar atau

tidak wajar. Temuan yang didapatkan oleh kedokteran forensik akan menjadi

suatu barang bukti yang menentukan proses penyelidikan maupun proses

peradilan berikutnya.

Secara keseluruhan hasil pemeriksaan luar jenasah tidak menunjukan

tanda- tanda kekerasan, dan deskripsi luka pada leher jenasah khas pada kasus

gantung diri. Hasil otopsi yang dilakukan juga memperkuat bahwa jenasah bukan

merupakan korban pembunuhan. Dari hasil pemeriksaan kedokteran forensik

dapat disimpulkan bahwa jenazah bukan merupakan korban pembunuhan. Hal ini

mengarahkan penyidik untuk menghentikan penyelidikan lebih lanjut mengetahui

24

Page 25: Hanging Case Report

bahwa kasus ini bukan merupakan kasus pidana yang berkaitan dengan

pelanggaran hak asasi manusia khususnya hak narapidana.

25

Page 26: Hanging Case Report

BAB IV

KESIMPULAN

Kematian dalam tahanan (death on custody) dapat didefinisikan sebagai

kematian seorang tahanan ataupun narapidana disuatu tempat tertentu yang terjadi

baik secara alami maupun tidak alami.Kasus kematian narapidana di dalam

penjara selalu menjadi isu HAM yang sensitif karena erat kaitannya dengan

tingginya kasus penyiksaan oleh sesama narapidana maupun oleh sipir penjara.

Dalam kasus ini kedokteran forensik memiliki peran dalam melakukan

pemeriksaan luar untuk mengetahui ada atau tidaknya tanda- tanda kekerasan,

maupun otopsi untuk mengetahui penyebab kematian, perkiraan waktu kematian

(time of death) dan untuk menentukan apakah korban mati wajar atau tidak wajar.

Temuan yang didapatkan oleh kedokteran forensik akan menjadi suatu barang

bukti yang menentukan proses penyelidikan maupun proses peradilan berikutnya.

Dalam kasus ini jenazah diperlakukan sesuai hukum yang berlaku dilihat dari

adanya pihak yang berwenang yang mengantar jenazah ke RSUP Sanglah.

Secara keseluruhan hasil pemeriksaan luar jenasah tidak menunjukan

tanda- tanda kekerasan, dan deskripsi luka pada leher jenasah khas pada kasus

gantung diri. Hasil otopsi yang dilakukan juga memperkuat bahwa jenasah bukan

merupakan korban pembunuhan. Dari hasil pemeriksaan kedokteran forensik

dapat disimpulkan bahwa jenazah bukan merupakan korban pembunuhan. Hal ini

mengarahkan penyidik untuk menghentikan penyelidikan lebih lanjut mengetahui

bahwa kasus ini bukan merupakan kasus pidana yang berkaitan dengan

pelanggaran hak asasi manusia khususnya hak narapidana.

26