harm reduction brief
TRANSCRIPT
Briefing Paper April 2012
TIDAK CUKUP HANYA SEKEDAR MERUBAH REGULASI
1. Pengantar Indonesia telah membuat kemajuan yang signifikan dalam menangani pencegahan HIV pada pengguna napza suntik (penasun) selama lebih dari sepuluh tahun. Banyak regulasi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam upaya pelaksanaan program pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik (lebih dikenal dengan Harm Reduction) mulai dari terbitnya Keputusan Menteri Kesehatan hingga perubahan UU tentang Narkotika. Perubahan UU tentang Narkotika ini lebih humanis terhadap penyalahguna yang terbukti sebagai pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Selain itu telah tersedianya tersedianya layanan yang dibutuhkan bagi seorang pecandu seperti layanan alat suntrik steril (LASS) di puskesmas, layanan subtitusi (buprenorfin & metadon).
Namun, perubahan yang signifikan di area regulasi tidak diikuti dalam kebijakan penganggaran, terutama alokasi anggaran belanja di pemerintah daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota). SRAN 2010‐2014 menggambarkan adanya kecenderungan peningkatan
Page 2 of 6
ketersediaan dana domestik dengan peningkatan proporsi pendanaan penanggulangan HIV antara domestik dan bantuan luar negeri antara tahun 2004‐2008 yaitu dari 22% menjadi 39%. Pada tahun 2004, alokasi anggaran untuk penanggulangan HIV dan AIDS adalah sebesar 87 milyar rupiah, sedangkan pada tahun 2008 mencapai 198 milyar rupiah. Sumber pendanaan untuk penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia berasal dari dana domestik, bantuan bilateral (USAID, AusAID), Global Fund dan mitra pembangunan lainnya.
Memang belum ada data yang lengkap untuk menggambarkan besaran peningkatan anggaran berkaitan dengan program Harm Reduction, tapi mengacu SRAN 2010‐2014 menunjukkan bahwa masih adanya ketergantungan program HIV dan AIDS, termasuk program Harm Reduction terhadap bantuan pihak luar.
Salah satu faktor yang menyebabkan masih adanya kesenjangan antara alokasi anggaran dengan kebutuhan program penanggulangan HIV dan AIDS adalah program HIV dan AIDS, masih belum menjadi prioritas dalam rencana pembangunan di banyak daerah.
Padahal, anggaran merupakan sebuah rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan pemerintah, baik kebijakan sosial maupun ekonomi (Aman Khan & W. Bartley Hildreth, 2002, Amina Salihu, 2005; Jae Shim dan Joel G Siegel 2005). Dalam hal ini APBN dan APBD merupakan pernyataan resmi pemerintah tentang perkiraan penerimaan dan usulan pada tahun berjalan, sehingga komitmen pemerintah maupun pemerintah daerah dalam penanggulangan HIV dan AIDS khususnya untuk kalangan penasun dapat terlihat dari besarnya alokasi anggaran yang disediakan untuk program Harm Reduction.
Oleh sebab itu, perlu adanya upaya mendorong komitmen pemerintah daerah dalam program penanggulangan HIV dan AIDS terutama program Harm Reduction yang ditunjukkan dengan peningkatan alokasi anggaran program penanggulangan HIV dan AIDS dalam anggaran pembangunan daerah.
2. Dari pusat (mestinya ) turun ke .....
SRAN 2010‐2014 menargetkan pada akhir tahun 2014, kebutuhan pendanaan program HIV dan AIDS sudah terpenuhi dan 70% bersumber dari dalam negeri. Ketersediaan dana program merupakan salah satu indikator untuk menjamin terjadinya keberlangsungan program.
Untuk memenuhi target tersebut KPAN melakukan berbagai upaya untuk memastikan ketersediaan dana program untuk menjamin keberlangsungan program. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menyelenggarakan round table dengan anggota DPR RI yang merupakan serangkaian kegiatan KPAN dengan UNODC untuk meningkatkan kualitas dan akses terhadap pelayanan bagi pengguna narkoba. (berita lengkap baca di http://www.unodc.org/eastasiaandpacific/en/2011/01/hiv‐indonesia/ind/story.html)
Page 3 of 6
Kegiatan round table dihadiri 90 orang yang terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat, staf parlemen, wakil masyarakat, badan‐badan PBB. Sebagai pembicara antara lain Pembicara lain adalah Bapak Indradi Thanos (Badan Narkotika Nasional), Bapak Subuh (Kementerian Kesehatan) dan Dr Nafsiah Mboi (KPAN).
Rangkaian diskusi round table dengan anggota DPR RI menghasilkan kesimpulan : Mengurangi ketergantungan pada bantuan asing; Peningkatan investasi pemerintah, terutama pemerintah daerah untuk pencegahan AIDS
pada pengguna narkoba suntik umumnya dan khususnya, dalam rangka mencapai target Millenium Development Goals pada tahun 2015;
Meningkatkan koordinasi antara penyedia layanan HIV/ AIDS untuk pengguna narkoba suntikan dan penegakan hukum dalam mengurangi pasokan / permintaan narkotika di masyarakat; dan
Meningkatkan penyediaan pelayanan rehabilitasi medis dan sosial bagi pecandu oleh departemen terkait.
Kegiatan round table ini mampu membangun pemahaman bersama multi pihak untuk untuk meningkatkan kualitas dan akses terhadap pelayanan bagi pengguna narkoba serta adanya alokasi anggaran untuk menjamin keberlangsungan program.
Sayangnya, kegiatan model ini hanya berlangsung di tingkat pusat, padahal untuk mempercepat pencapaian target Millenium Development Goals pada tahun 2015 dukungan pemerintah daerah sangat signifikan. Mestinya ada kegiatan yang sama diselenggarakan di propinsi dan kabupaten/kota.
3. Membangunkan ’macan’ tidur
Sejak berlakunya Peraturan yang mengatur tentang otonomi daerah, yaitu Undang‐undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (pengganti UU No. 22 Tahun 1999) dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten/kota) memperoleh kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang‐undangan. Otonomi daerah ini bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kewenangan yang dimiliki daerah otonom membuka peluang bagi penyusunan kebijakan publik di tingkat lokal dalam memecahkan persoalan‐persoalan spesifik lokal yang muncul di masing‐masing daerah, termasuk masalah HIV dan AIDS.
Kewenangan ini juga membuka peluang bagi partisipasi seluruh masyarakat, terutama kelompok rawan terinfeksi HIV untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan kebijakan publik berkaitan dengan program penanggulangan HIV dan AIDS.
Namun, sayangnya pada era otonomi dengan pemilihan kepala daerah secara langsung yang menuntut para kepala daerah ini terlihat sukses di mata masyarakat sehingga mereka lebih mengedepankan program‐program populis yang berjangka pendek. Pilihan kebijakan populis
Page 4 of 6
tersebut berdampak pada program‐program yang sifatnya investasi jangka panjang seperti kesehatan, keluarga berencana ataupun penanggulangan HIV dan AIDS yang hasilnya baru terlihat 10‐20 tahun kemudian.
Padahal belanja Pemerintah Daerah dari tahun ke tahun terus meningkat seperti yang terlihat pada grafik berikut :
(Sumber : http://dashboard.bappenas.go.id/view/apbn‐dan‐rinciannya)
Tren kenaikan belanja pemerintah daerah belum berdampak pada peningkatan alokasi anggaran untuk program penanggulangan HIV dan AIDS. Berdasarkan Laporan KPA Nasional 2010 menunjukkan bahwa total dukungan pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS bersumber dari Pemerintah Daerah baik propinsi dan kab/kotas sebesar 73 Milyar (17 % dari total dana dalam negeri), seperti terlihat pada tabel berikut ini :
Mestinya alokasi anggaran ini dapat meningkat dengan keluarnya Inpres Nomor 3 Tahun 2010 yang didalamnya tercantum secara tegas peningkatan dukungan pembiayaan upaya percepatan pencapaian MDGs melalui APBN dan APBD dan indikator‐indikator pencegahan dan
Page 5 of 6
penanggulangan HIV dan AIDS yang harus dicapai setiap tahun untuk percepatan pencapaian target‐target MDG. Disamping itu, Menteri Dalam Negeri menekankan kembali perlunya dukungan pembiayaan program penanggulangan HIV dan AIDS melalui APBD Propinsi maupun APBD Kabupaten/Kota yang tertuang dalam Permendagri Nomor 22 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran dan Belanja Daerah yang salah satu pointnya memuat agar Pemerintah Daerah mensinergikan penganggaran program dan kegiatan dalam penyusunan APBD dengan kebijakan Nasional yaitu Program Pencapaian MDGs.
Walaupun telah ada kebijakan pemerintah untuk mendorong pemerintah daerah untuk mengalokasikan dana program penanggulangan HIV dan AIDS, namun faktanya masih banyak pemerintah daerah yang menerapkan kebijakan tersebut karena adanya anggapan persoalan HIV dan AIDS bukan merupakan prioritas program pembangunan daerah.
Pada situasi seperti ini, organisasi masyarakat sipil harus mengambil peran aktif untuk mendorong pemerintah daerah mengalokasikan program penanggulangan HIVdan AIDS.
4. Penjangkauan — Program Strategis yang Terlupakan
Paket program komprehensif bagi penasun merupakan upaya kesehatan yang terpadu terintegrasi dan berkesinambungan dalam pencegahan, pengobatan dan pemulihan untuk meningkatkan kualitas hidup penasun yang terdiri dari 9 komponen (WHO,UNODC, UNAIDS, 2009) yaitu : (1) Layanan Alat Suntik Steril (LASS); (2) Layanan Subtitusi ataupun program rehabilitasi lainnya; (3) Konseling dan Test HIV; (4) Terapi ARV; (5) Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Menular Seksual (IMS); (6) Penggunaan Kondom bagi penasun dan pasangan seksualnya; (7) Program Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) bagi penasun dan pasangan; (8) Layanan Hepatitis C; dan (9) Pencegahan dan Pengobatan TB.
Dari 9 komponen paket program komprehensif tersebut, program KIE merupakan program strategis untuk meningkatkan kesadaran dan memotivasi penasun untuk berperilaku sehat dan aman. Salah satu kegiatan program KIE yang efektif memberikan kesadaran bagi penasun adalah program penjangkauan yang dilakukan petugas lapangan ke hotspot kelompok penasun. Efektifitas kegiatan penjangkauan dapat terlihat dari hasil Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) tahun 2011yang menyatakan bahwa di antara populasi, penasun memiliki pengetahuan komprehensif yang paling tinggi (44%). Sedangkan populasi yang memiliki pengetahuan komprehensif paling rendah adalah Narapidana (WBP), yaitu 12%. Pengetahuan komprehensif pada remaja yaitu sebesar 22% seperti terlihat pada grafik berikut :
Page 6 of 6
STBP 2011 juga menyajikan temuan bahwa sebagian besar responden mengaku sudah pernah mendapatkan informasi tentang HIV‐AIDS. Televisi merupakan sumber informasi yang banyak disebutkan oleh Remaja (99%), WPSTL (82%), dan Pria Potensial Risti (65%). Petugas kesehatan adalah sumber informasi yang paling banyak disebutkan oleh WPSL (78%) dan WBP (92%). Teman sebaya adalah informasi yang paling banyak disebutkan oleh waria (79%) dan LSL (53%). Petugas Lapangan (PL) adalah informasi yang paling banyak disebutkan oleh Penasun (76%) seperti yang terlihat pada tabel berikut :
Temuan ini membuktikan bahwa bagi kelompok penasun pendekatan KIE melalui kegiatan penjangkauan sangat efektif untuk memberikan informasi dan membangun kesadaran penasun untuk berperilaku sehat dan aman.
Walaupun kegiatan penjangkauan terbukti efektif, namun sayangnya belum ada jaminan kesinambungan kegiatan ini. Oleh karena, pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota belum mengalokasikan kegiatan penjangkauan dalam APBD Propinsi ataupun APBD Kab/Kota.
Kondisi ini mendorong perlu adanya serangkaian kegiatan strategis untuk mempengaruhi berbagai pihak (multi stakeholder) agar program harm reduction terutama kegiatan penjangkauan menjadi bagian yang terintegrasi dengan program pembangunan daerah yang tercermin dalam APBD Propinsi dan APBD Kabupaten/Kota.
5. Penutup
Anggaran merupakan sebuah rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan pemerintah, sehingga komitmen pemerintah terhadap sebuah isu dapat dilihat dari seberapa besar pemerintah tersebut mengalokasikan anggaran belanja untuk mengatasi isu tersebut.
Perlu adanya serangkaian kegiatan strategis untuk mempengaruhi berbagai pihak (multi stakeholder) agar program harm reduction terutama kegiatan penjangkauan menjadi bagian yang terintegrasi dengan program pembangunan daerah yang tercermin dalam APBD Propinsi dan APBD Kabupaten/Kota.