hasil

59
SUMBER AJARAN ISLAM YANG DIPERSELISIHKAN ULAMA' Kelompok 9 Kelas PAI 74 Nama Kelompok : 1. Lutfiah Nur Hasanah 141903102022 2. Muhammad Ikhsan 141903102027 3. Enggar Aminuddin 141903102035 4. Tri Surya Hutama 141910101009

Upload: dhevi-dwi

Post on 21-Nov-2015

15 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

A

TRANSCRIPT

SUMBER AJARAN ISLAM YANG DIPERSELISIHKAN ULAMA'

Kelompok 9Kelas PAI 74

Nama Kelompok : 1. Lutfiah Nur Hasanah1419031020222. Muhammad Ikhsan1419031020273. Enggar Aminuddin1419031020354. Tri Surya Hutama141910101009

Dosen Pembimbing : BAIDLOWI, M.H.I

UNIVERSITAS JEMBERTAHUN AKADEMIK 2014/2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis telah panjatkan atas kehadirat Allah SWT sang Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan tema SUMBER AJARAN ISLAM YANG DIPERSELISIHKAN ULAMA' yang sederhana ini dapat terselesaikan tidak kurang daripada waktunya.Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklain untuk memenuhi salah satu dari sekian kewajiban mata kuliahumum Pendidikan Agama Islam merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan.Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepadaBAIDLOWI, M.H.Iselaku dosen serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun sadar bawasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah Azza Wajala hingga dalam penulisan dan penyusunnnya masih jauh dari kata sempurnaAkhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh mahasiswa-mahasiswi Universitas Jember.

Jember, 25 Agustus 2014

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................iDaftar Isi.................................................................................................iiBAB IPendahuluan...............................................................................1BAB IIIstihsan.............................................................................................2Pengertian Istihsan...............................................................2Dasar Hukum Istihsan..........................................................3Macam-Macam Istihsan......................................................4Ikhtilaf Para Ulama Tentang Istihsan...................................5Istishab.............................................................................................8Pengertian Istishab...............................................................8Macam-Macam Istishab.......................................................9Kedudukan Istishab Sebagai Sumber Dasar Hukum........... 10Kaidah-Kaidah Istishab....................................................... 11Maslahah Mursalah..........................................................................12Pengertian Maslahah Mursalah............................................12Syarat-Syarat Maslahhah Mursalah.....................................13Macam-Macam Maslahah Mursalah...................................14Ikhtilaf Para Ulama Tentang Maslahah Mursalah...............16Saddu Dzariah.................................................................................19Pengertian Saddu Dzariah..................................................19Kedudukan Saddu Dzariah.................................................21Syarat-Syarat Saddu Dzariah.............................................23Ikhtilaf Para Ulama Tentang Saddu Dzariah.....................24Urf...................................................................................................26Pengertian Urf....................................................................26Macam-Macam Urf...........................................................27Kedudukan Urf Sebagai Dalil Syara.................................28Syarat-Syarat Urf................................................................29Kaidah-Kaidah Urf.............................................................30BAB IIIPenutup.............................................................................................32Daftar Pustaka..............................................................................................34

BAB IPendahuluan

Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad danistinbathhukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad danistinbathtetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad danistinbathpara mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf)di kalangan paraUshuliyyin.Inilah yang kemudian dikenal dengan istilahal-Adillah(sebagian ahli Ushul menyebutnya:al-Ushul al-Mukhtalaf fiha,atau Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya dalam penggalian dan penyimpulan hukum.Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabiiyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu:Istihsan, istishab, Maslahah mursalah, Urf, Saddudzariah, danmadzhab sahabi.Makalah ini akan menguraikan tentang hakikatIstihsan, Istishab, maslahah mursalah, Saddu Dzariah dan urfyang mencakup pengertian, macam-macamnya, kehujjahannya, kaidah-kaidahnya, dan contoh-contoh produk hukumnya.

BAB IIPembahasan

IstihsanPengertian IstihsanSecara etimologi, istihsan berarti menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal istihsan.Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisnai (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:1. Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Quran berdasarkan istihsan, tetapi haram menurut qiyas. Qiyas: wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Quran, maka orang yang Haid haram membaca Al-Quran. Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena itu, wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Quran, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.2. Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam (pesanan) berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.Definisi istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil ruksah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada sebagian kasus tertentu.Sementara itu, ibnu anbary, ahli fiqih dari madhab Maliky memberi definisi istihsan bahwa istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan qiyas kully. Istihsan merupakan sumber hukum yang banyak dalam terminology dan istinbath hukum oleh dua imam madhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat.Dari berbagai definisi diatas, dapat difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya, persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.Dasar Hukum Istihsanpara ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Quran dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18 . . Artinya: Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az-Zumar: 18)Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah. Artinya:Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.(QS. Az-Zumar :55)Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwaIstihsanadalah hujjah.Hadits Nabi saw: .Artinya:Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula.Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahanIstihsan.Macam-macam IstihsanUlama Hanafiah membagi Istihsan kepada enam macam. Sebagaimana di jelaskan oleh al-Syatibi, yaitu:1. Istihsan bil an-Nash(Istihsan berdasarkan ayat atau hadits). Yaitu penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash al-kitab dan sunnah.2. Istihsan bi al-Ijma(istihsan yang didasarkan kepada ijma).yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang sebetulnya berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang telah ditetapkan.3. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi(Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi). Yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan.4. Istihsan bi al-maslahah(istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosa penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatan orang itu, maka menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.5. Istihsan bi al-Urf( Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum). Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya Urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat.6. Istihsan bi al-Dharurah(istihsan berdasarkan dharurah). Yaitu seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudharatan. Ikhtilaf Para Ulama Tentang IstihsanMenyikapi penggunaanIstihsankemudian menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapiIstihsansebagai salah satu bagian metode ijtihad. Imam Abu Hanifah sebagai seorang yang menampilkan istihsan sebagai salah satu dalil dalam istinbath hukum, mendapat serangan dan kritikan yang hebat dari lawan-lawan yang menolak istihsan.Berikut ini adalah penjelasan tentang kedua pendapat tersebut beserta dalilnya.a. Kelompok Yang Menerima Istihsan sebagai Dalil HukumIstihsandapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Adapun yang menjadikan alasan bagi kelompok ini, bahwa istihsan sebagai salah satu dalil hukum syara dan merupakan hujjah dalam istinbath hukum adalah:1. Berdasarkan penelitian terhadap berbagai kasus dan penetapan hukumnya ternyata berlawanan dengan ketentuan qiyas atau ketentuan umum, dimana kadang-kadang dalam penerapannya terhadap sebagian kasus tersebut justru bisa menghilangkan kemaslahatan yang dibutuhkan oleh manusia, karena kemaslahatan itu merupakan peristiwa khusus. Maka, sangat tepat jika membuka jalan seseorang mujtahid untuk memalingkan suatu kasus yang seharusnya berdasarkan qiyas atau ketentuan kulli kepada ketentuan hukum yang lain agar dapat merealisir maslahat dan menolak mafsadat. 2. Kelompok ini menggunakan dalil-dalil Al-Quran dalam mempertahankan istihsan sebagai hujjah, yang mana ayat-ayat tersebut mengacu kepada mengangkat kesulitan dan kesempitan dari umat manusia. Diantaranya adalah firman Allah Swt: Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.Menggunakan dalil sunnah sebagai berikut: . Artinya: Apa saja yang dipandang baik oleh umat Islam baik juga di sisi Allah .(HR. Ahmad Ibn Hanbal)Menurut Madzhab Maliki,istihsanadalah salah satu metode istinbat (menyimpulkan) hukum yang diakui diambil secara induktif (istiqroi) dari sejumlah dalil secara keseluruhan (jumlah). Dengan demikian orang yang menggunakan istihsan tidak berarti semata-mata mengunakan perasaannya dan keinginannya yang subjektif, tetapi berdasarkan tujuan (maqosid) syara. Karena apabila kias yang diamalkan maka tujuan syarak dalam menurunkan hukum tidak akan tercapai.Misalnya, membuka aurat untuk keperluan pengobatan dalam rangka mencari penyembuhan suatu penyakit, apabila kias yang diamalkan maka aurat tidak boleh dibuka untuk keperluan pengobatan, maka upaya pengobatan tidak bisa dilakukan, dan ini berarti menimbulkan kesulitan.Selain itu Ia juga berpendapat bahwa al-istihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully(menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal daripada qiyas. Dari Tarif di atas, jelas bahwa al-istihsan lebih mementingkan maslahah juziyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa al-istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syariat diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun bukan berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas dasar rayu semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda. Dalil kedua ini dapat berwujud ijma, urf atau al-maslahah al-mursalah.b. Kelompok Yang Menolak Istihsan Sebagai Dalil HukumIstihsantidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh Syafiiyah danZhahiriyah.Parapendukung pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:Firman Allah: . . . Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menyelesaikan suatu masalah, sementaraIstihsantidak termasuk dalam upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.1. Jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan akalnya atas dasarIstihsandalam masalah yang tidak memiliki dalil, maka tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas dari pada sang mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh siapapun, karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan melakukanIstihsandengan logikanya sendiri.2. Istihsan adalah menetapkan hukum berdasar maslahah. Jika maslahah itu sesuai dalam nash dibolehkan, tetapi maslahah yang dijadikan pedoman dalam istihsan adalan maslahah menurut para ulama.3. Rosulullah SAW ketika menghukumi persoalan yang belum ada dalam al Quran tidak menggunakan istihsan, melainkan menunggu turunnya wahyu.4. Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: Para sahabat telah berijma untuk tidak menggunakanrayu,termasuk di dalamnyaIstihsandan qiyas. Umar bin al-Khathabradhiyallahu anhumengatakan:Jauhilah para pengguna rayu! Karena mereka adalah musuh-musuh SunnahSelain Imam Syafii kalangan ulama zhahiriyah juga menolak penggunaan qiyas secara prinsip, demikian pula ulama syiah dan sebagian ulama kalam mutazilah karena mereka tidak menerima qiyas, maka dengan sendrinya mereka pun menolak istihsan karena kedudukan istihsan dalam posisinya sebagai dalil hukum adalah lebih rendah dari qiyasSelain dari kalangan ulama zhahiriyah yang sependapat dengan imam syafii ada juga para ulama yang menolak istihsan dengan alasan yang dituntut dari kaum muslimin untuk diikuti adalah hukum yang ditetapkan Allah atau yang ditetapkan Rasul atau hukum yang di qiyaskan kepada hukum Allah dan hukum Rasul itu. Sedangkan hukum yang ditetapkan berdasarkan apa yang di anggap baik oleh mujtahid adalah hukum buatan manusia dan bukan hukum syari. Demikianlah dua pendapat para ulama dalam menyikapihujjiyah Istihsandalam Fiqih Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka masing-masing. Lalu manakah yang paling kuat dari kedua pendapat tersebut?Jika kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita akan menemukan bahwa pada saat mereka menetapkanIstihsansebagai salah satu sumber hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal dan logika sang mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas. Setidaknya ada 2 hal yang harus dipenuhi dalam prosesIstihsan: ketiadaan nash yangsharihdalam masalah dan adanya sandaran yang kuat atasIstihsantersebut (sebagaimana akan dijelaskan dalam Jenis-jenisIstihsan).Dan jika kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolakIstihsan,kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwaIstihsansendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolakIstihsanyang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.

IstishabPengertian IstishabIstishab menurut etimologi berasal dari kataistishabadalamsighat istifal() yang bermakna: . Kalau katadiartikan dengan sahabat atau teman dandiartikanselaluatauterus menerus, maka istishab secaralughawiartinyaselalu menemaniatauselalu menyertai. Atau diartikan denganminta bersahabat, ataumembandingkan sesuatu dan mendekatkannya, ataupengakuan adanya perhubungan atau mencari sesuatu yang ada hubunganny.Dan disebutkan juga bahwa istishab berasal dari kata shuhbah artinya menemani atau menyerta, dalam artian menurut kebersamaan atau terus menerusnya bersama.sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli bahasa dengan mengatakan: Artinya: Segala sesuatu yang menetapi pada sesuatu, maka ia menemani atau menyertainya.Dari pengertian yang lain, menurut bahasa perkataanIstishabdiambil dari perkataanIstishhabtu maa kaana fil maadhi,artinya saya membawa serta apa yang telah ada waktu yang lampau sampai sekarang.Menurut Istilah Usul,Istishhabialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain; Istishhab ialah menganggap hukum sesuatu soal yang telah ada menyertai tetap soal tersebut, sampai ada dalil yang memutuskan adanya penyertaan tersebut.Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik sebuah ikhtisar bahwa istishabadalah:1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya. Contohnya adalah sebagai berikut: Seseorang yang mulanya ada wudhu, kemudian datang was-was dalam hatinya, bahwa boleh jadi dia telah mengeluarkan angin yang membatalkan wudhunya. Dalam kondisi begini, hendaklah ia menetapkan hukum semula, yaitu ada wudhu. Dan was-was yang datang belakangan itu, tidak boleh mengubah hukum yang semula.2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang laluMacam-macam IstishabPara ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam.Yaitu:1. Istishab hukm al- ibahah al ashliyah. Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya.2. Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syari. Maksudnya memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan adanya peniadaan yang dibuat oleh akal lantaran tidak adanya dalil syari yang menjelaskannya. Dalam objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi kepada hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut aslinya). Akal menetapkan bahwa dasar hukum pada segala yang diwajibkan adalah dapat diwajibkan sesuatu, kecuali apabila datangdalilyang tegas mewajibkannya. 3. Istishab Al-Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil yang naskh (yang membatal-kannya). Suatunashyang umum mencakup segala yang dapat dicakup olehnya sehingga datang suatunashlain yang menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalantakhsish. Atau sesuatu hukum yang umum, tidaklah dikecualikan sesuatupun daripadanya, melainkan dengan ada suatudalilyang khusus.4. Istishab An-Nashshi (Istishab Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada kondisi sekarang dalam menentukan status hukum pada masa lampau, sebab istishab pada bentuk-bentuk sebelumnya, merupakan penetatapan sesuatu pada masa kedua berdasarkan ketetapannya pada masa pertama lantaran tidak ditemukannya dalil secara spesifik. Urgensinya, dalam suatu dalil (nash) terus-menerus berlaku sehingga di-nasakh-kan oleh sesuatunash, yang lain.5. Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti. Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau tidak adanya masa yang telah lalu, tetaplah hukum demikian sehingga diyakini ada perubahannya. Disebut pula denganistishabul madhi bilhaliyakni menetapkan hukum yang telah lalu sampai kepada masa sekarang. Yaitu istishab terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma dalam kasus yang dalam perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat.Kedudukan Istishab Sebagai Sumber Hukum IslamPara Ulama Ushul Fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan Istishab ketika tidak ada dalil syara yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.Pertama, menurut mayoritas mutakallimin (ahli kalam), istishab tidak bisa dijadikan dalil. Karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Istishab bukanlah dalil, karenanya menetapkan hukum yang ada pada masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini sama sekali tidak dibolehkan dalam syara.Kedua, menurut mayoritas ulama Hanafiah, khususnya mutaakhirin, istishab bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada. Alasan mereka seorang mujtahid dalam meneliti hukum suatu masalah yang sudah ada, mempunyai gambaran bahwa hukumnya sudah ada atau sudah di batalkan. Akan tetapi ia tidak mengetahui atau tidak menemukan dalil yang menyatakan bahwa hukum itu sudah dibatalkan. Dalam kaitan ini, mujtahid tersebut harus berpegang kepada hukum yang sudah ada, karena ia tidak mengetahui adanya dalil yang membatalkan hukum itu. Namun penetapan ini hanya berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya dan tidak berlaku bagi kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya, stishab hanya bisa dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang membatalkan hukum itu, tetapi tidak berlaku untuk menetapkan hak yang baru muncul.Ketiga, ulama Malikiyah, Syafiiyyah, Hanabilah, zhahiriyah dan syiah berpendapat bahwa istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya. Alasannya adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara qathi maupun zhanni, maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena di duga keras belum ada perubahan. Alasan yang menunjukkan berlakunya berlakunya syariat di zaman Rasulullah Saw sampai hari kiamat adalah menduga keras berlakunya syariat itu sampai sekarang, tanpa ada dalil yang menasakh-kannya.Kaidah-kaidah IstishabPara ulama fiqih menetapkan beberapa kaidah umum yang didasarkan kepada istishab, diantaranya adalah: Maksudnya, pada dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi. Contohnya: adalah kasus orang yang hilang diatas. Maksudnya, pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah boleh dimanfaatkan. Melalui kaidah ini, maka seluruh akad dianggap sah, selama tidak ada dalil yang menunjukkan hukumnya batal; sebagaimana juga pada sesuatu yang tidak ada dalil syarayang melarangnya, maka hukumnya adalah boleh. Maksudnya, suatu keyakinan tidak bisa dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan. Melalui kaidah ini, maka seseorang yang telah berwudu, apabila merasa ragu akan wudunya itu apakah telah batal atau belum, maka ia harus berpegang kepada keyakinanya bahwa ia telah berwudu, dan wudunya tetap sah. Tetapi ulama Malikiyah melakukan pengecualian dalam masalah shalat. Menurutnya apabila keraguan tersebut berkaitan dengan shalat, maka kaidah ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, apabila seseorang ragu dalam masalah wudunya, maka ia wajib berwudu kembali. Maksudnya, pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang menetapkan tanggung jawab seseorang. Oleh sebab itu, seseorang tergugat dalam kasus apapun tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat dan meyakinkan bahwa ia bersalah.

Maslahah MursalahPengertian Maslahah MursalahKata mashlahah memiliki dua arti,yaitu: maslahah berarti manfaat baik secara timbangan kata yaitu sebagai masdar, maupun secara makna dan Maslahah fiil (kata kerja) yang mengandung ash-Shalah yang bermakna an-nafu. Dengan demikian, mashlahah jika melihat arti ini merupakan lawan kata dari mafsadah. Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang diberikan di antaranya: Imam Ar-Razi mendefinisikan mashlahahyaitu perbuatan yang bermanfaat yang telah ditujukan oleh syari (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya. Imam Al-Ghazalimendefinisikan sebagai berikut: Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat. Selanjutnya is menegaskan maksud dari statemen di atas bahwa maksudnya adalah menjaga maqasid as-syariah yang lima, yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Selanjutnya ia menegaskan, setiap perkara yang ada salah satu unsur dari maqashid as-syariah maka ia disebut mashlahah. Sebaliknya jika tidak ada salah satu unsur dari maqashid as-syariah, maka ia merupakan mafsadat, sedang mencegahnya adalah mashlahah.Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpuan bahwa mashlahah mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan pada nash tertentu, namun berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara (maqashid as-syariah). Kemaslahatan yang menjadi tujuan syara bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab tujuan pensyariatan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk kerusakan. Penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syariah merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara selain melalui pendekatan kebahasaan yang sering digunakan oleh para ulama. Jika dibandingkan dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syariah dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan, maka pendekatan melalui maqashid asy-syariah dapat membuat hukum Islam lebih fleksibel, luwes karena pendekatan ini akan menghasilkan hukum Islam yang bersifat kontekstual. Sedangkan pengembangan hukum Islam melalui kaidah kebahasaan akan menghilangkan jiwa fleksibilitas hukum Islam. Hukum Islam akan kaku (prigid) sekaligus akan kehilangan nuansa kontekstualnya.Syarat-syarat Maslahah MursalahGolongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari`atnya. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:1. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka. Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, seperti dalih mashlahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak isterinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan kami tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali memberi contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memlihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.3. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari`.Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syari`. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam.Macam-macam Maslahah MursalahMaslahat dari segi pembagiannya dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu dilihat dari segi tingkatan dan eksistensinya. Dari segi tingkatan kepada tiga bagian,yaitu:a. Maslahah dharuriyah (Primer).Maslahah dharuriyah adalah perkara perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan manusia, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara, yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu:1) Jaminan keselamatan jiwa (al-muhafadzah alan-nafs)2) Jaminan keselamatan akal (al-muhafadzhoh alal-aql)3) Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan (al-muhafadzoh alan-nasl)4) Jaminan keselamatan harta benda (al-muhafadzoh alal-maal)5) Jaminan keselamatan agama/kepercayaan (al-muhafadzoh alad-diin)Kemaslahatan dalam taraf ini mencakup lima prinsip dasar universal dari pensyariatan atau disebut juga dengan konsep maqosidus syari. Jika hal ini tidak terwujud maka tata kehidupan akan timpang kebahagiaan akhirat tak tercapai bahkan siksaan akan mengancam. Oleh karena itu kelima macam maslahat ini harus dipelihara dan dilindungi.b. Maslahah Hajjiyah (Sekunder).Maslahah hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkaitdengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan. Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat,muamalat, dan bidang jinayat. Termasuk kategori hajjiyat dalam perkara mubah ialah diperbolehkannya sejumlah bentuk transaksi yang dibutuhkan oleh manusia dalam bermuamalah, seperti akad muzaroah,musaqoh, salam maupun murobahah. Contoh lain dalam hal ibadah ialah bolehnya berbuka puasa bagi musafir, dan orang Termasuk dalam hal hajjiyah ini, memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama. Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan beragama, luaslah gerak langkah hidup manusia. Melarang / mengharamkan rampasan dan penodongan termasuk juga dalam hajjiyah.c. Maslahah tahsiniyah atau kamaliyat (Pelengkap/tersier)Maslahahtahsiniyah ialahmempergunakansemuayanglayak danpantasyang dibenarkanoleh adat kebiasaanyang baikdan dicakupoleh bagianmahasinulakhlak. Kemaslahatan ini lebih mengacu pada keindahan saja sifatnya hanya untuk kebaikan dan kesempurnaan. Sekiranya tidak dapat diwujudkan atau dicapai oleh manusia tidaklah sampai menyulitkan atau merusak tatanan kehidupan mereka,tetapi iadipandangpentingdan dibutuhkan. Tahsiniyahjugamasuk dalam lapanganan ibadah,adat, muamalah, dan bidang uqubah. Lapanganibadah misalnyakewajibanbersucidari najis, menutupaurat,memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah, seperti shalat sunah, puasa sunah, bersedekah dan lain-lain. Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih makanan-makanan yang baik-baik dari yang tiak baik/bernajis. Dalam lapangan muamalah, misalnya larangan menjual benda benda yang bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya.Dilihat dari segi eksistensi atau wujudnya para ulama ushul, juga membagi mashlaha menjadi tiga macam, yaitu:a. Maslahat MutabarahMashlalah mutabarah ialah kemashlahatan yang terdapat dalam nash yang secara tegas menjelaskan dan mengakui kebenarannya. Dengan kata lain yakni kemaslahatan yang diakui oleh syari dan terdapatnya dalil yang jelas, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al Said Ali Abd. Rabuh. Yang masuk dalam mashlahat ini adalah semua kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkanolehnash, seperti memelihara agama, jiwa, keturunan dan harta benda, yang selanjutnya kita sebut dengan maqashid asy-syariah. Oleh karena itu, Allah Swt telah menetapkan agar berusaha dengan untuk melindungi agama, melakukan qishas bagi pembunuhan, menghukum pemabuk demi pemeliharaan akal, menghukum pelaku zina dan begitu pula menghukum pelaku pencurian. Seluruh ulama sepakat bahwa semua maslahat yang dikategorikan maslahah mutabarah wajib ditegakkan dalam kehidupan, karena dilihat dari segi tingkatan ia merupakan kepentingan pokok yang wajib ditegakkan.b. Maslahat MulgahYang dimaksud dengan maslahat mulghah ini ialah maslahat yang bertentangan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, maslahat yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan dalil yang jelas. Dapat disimpulkan juga bahwa syara menyikapi maslahat ini dengan menolak sebagai variabel penetap hukum (illat). Contoh: menyamakan pembagian warisan antara seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya. Penyamakan ini memang banyak maslahatnya namun berlawanan dengan ketentuan nash. Namun penyamakan ini dengan alasan kemaslahatan, penyelesaian kasus seperti inilah yang disebut dengan Maslahat Mulgoh. Seperti juga kasus bentuk sanksi kafarat bagi orang yang menggauli istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan yang terdiri dari tiga macam kafarat. Menurut konsep kaffarat ini dogmatik yang menghendaki adanya kemaslahatan berupa tindakan jera ( al-zajr) tanpa mempertimbangkan maslahat lainnya maka tidak diragukan bahwa menurut sebagian orang ia tidak dapat dijadikan illat hukum karena bertentangan dengan ketentuan syara. Jadi kafarat ini harus dilakukan secara berurutan Lain halnya dengan pendapat Imam Malik ia mengatakan boleh memilih diantara ketiga kafarat itu dengan tujuan demi kemaslahatan yang lebih tepat.c. Maslahah Mursalah.Yang dimaksud dengan mashlahah mursalah ialah maslahat yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun yang mengakuinya ataupun menolaknya. Maslahat ini merupakan maslahat yang sejalan dengan tujuan syara yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dihajatkan oleh manusia sertaterhindar dari kemudhorotan. Karena tidak ditemukan variabel yangmenola ataupun mengakuinya maka para ulama berselisih pendapat mengenai kebolehannya dijadikan illat hukum. Kalangan Malikiyyah menyebutnya maslahah mursalah, Al-Ghozali menyebutnya istishlah, para pakar ushul fiqih menyebutnya al-munasib al-mursal al-mulaim, sebagian ulama menyebutnya al-istidlal al-mursal, sementara Imam Haromain dan Ibnu Al-Samani memutlakkannya dengan istidlal saja.Ikhtilaf Para Ulama tentangMaslahah MursalahMasalah al Mursalahtidak diterima oleh sebagian umat Islam, khususnya mayoritas penganut mazhab asy-Syafiiah sebagai dasar penetapan hukum Islam. Dalam hal ini ada beberapa argumen yang mereka ajukan di antaranya yaitu;Pertama,masalahat itu ada yang dibenarkan olehsyara,ada yang ditolak olehsyaradan ada pula yang diperselisihkan. Maslahat kategori pertama dan kategori kedua (yang dibenarkan dan yang ditolak olehsyara) tidak ada pertentangan di kalangan umat Islam. Maslahat kategori pertama harus diterima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan maslahat kategori kedua harus ditolak sebagai dasar penetapan hukum Islam. Sedangkan maslahat kategori ketiga diperselisihkan, sebagian menerima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan sebagian yang lain menolaknya. Sesuai dengan definisi di atas, maslahat kategori ketiga inilah yang menjadi kajian darimaslahah-mursalahatauistislah. Dengan demikian menurut kelompok umat Islam yang tidak menerimamaslahah-mursalahsebagai dasar penetapan hukum Islam berpendapat, bahwa memandangmaslahah-mursalah(kategori ketiga) sebagaihujjahberarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan.Kedua,memandangmaslahah-mursalahsebagaihujjahberarti menodai kesucian hukum Islam karena penetapan hukum Islam tidak berdasarkan kepadanass-nasstertentu, tetapi hanya mengikuti keinginan hawa nafsu belaka dengan dalih maslahat. Dengan dalih maslahat dikhawatirkan akan banyak penetapan hukum Islam berdasarkan kepada kepentingan hawa nafsu.Ketiga, Bagi golongan ini, hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Dengan menjadikan maslahat sebagai dasar dalam menetap hukum Islam, berarti umat Islam tidak mengakui prinsip kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam. Artinya hukum Islam belum lengkap dan sempurna, masih ada yang kurang.Keempat,memandang maslahat sebagaihujjahakan membawa dampak terjadinya perbedaan hukum Islam terhadap masalah yang sama (disparitas) disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Dengan demikian akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan fleksibelitas hukum Islam.Alasan-alasan yang dikemukakan oleh sekelompok umat Islam yang tidak menerima maslahat (kategori ketiga) sebagai dasar menetapkan hukum Islam di atas, dapat disanggah dengan beberapa alasan.Pertama,dengan memandang maslahat sebagaihujjahtidak berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan, sebab maslahat tersebut ditentukan lewat sekian banyak dalil dan pertimbangan, sehingga menghasilkanzannyang kuat (sesuatu yang lemah menjadi kuat). Dalam ilmu fiqih dikenal istilahyakfi al-amal biz-zann,beramal berdasarkan kepadazanndianggap cukup karena semua fiqih adalahzann.Dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa menjadikan maslahat kategori ketiga sebagaihujjahberarti memilih dua kemungkinan tanpa dalil, karena jika dibandingkan maslahat yang dibenarkan olehsyaradengan maslahat yang ditolak olehsyara, maka maslahat yang dibenarkan olehsyarajauh lebih banyak jumlahnya dari pada maslahat yang ditolak olehsyara. Dengan demikian jika ada suatu kemaslahatan, tetapi tidak ada dalil yang membenarkannya atau menolaknya, maka maslahat tersebut harus digolongkan ke dalam maslahat yang lebih banyak.Kedua,tidak benar kalau penetapan hukum Islam melalui metodeistislahatau maslahah-mursalahberarti menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada hawa nafsu, karena untuk dapat dijadikan sebagaihujjah, maslahah-mursalahharus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Jadi tidak asal maslahat. Persyaratan inilah yang akan mengendalikan, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan dalam menetapkan hukum (Islam) berdasarkan kepada maslahat.Ketiga,Islam memang telah lengkap dan sempurna, tetapi yang dimaksud dengan lengkap dan sempurna itu adalah pokok-pokok ajaran dan prinsip-prinsip hukumnya. Jadi tidak berarti semua masalah ada hukumnya. Ini terbukti banyak sekali masalah-masalah baru yang belum disinggung hukumnya oleh al-Quran dan as-Sunnah tetapi baru diketahui setelah digali melaluiijtihad.Keempat,tidak benar kalau memandangmaslahah-mursalahsebagaihujjahakan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan menggunkan metodemasalah-mursalahdalam menetapkan hukum, prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam dapat dibuktikan.Madzhab Maliki yang merupakan pembawa bendera Maslahat Mursalah mengemukakan, setidaknya terdapat tiga alasan mengapa mashlahah mursalah tersebut dijadikan sebagai hujjah dalam penentuan hukum, yaitu sebagai berikut:Pertama, Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahat mursalah diantarannya: Sahabat mengumpulkan Al-Quran kedalam beberapa mushaf dengan alasan menjaga Al-Quran dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya. Khulafa ar-rosyidun menetapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada para tukang. Padahal menurut hukum asal kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan (amanah). Jika tidak dibebani ganti rugi ia akan ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya. Umar Bin Khattab memerintahkan para penguasa (pegawai negeri) agar memisahkan antara harta kekayaan pribadi dengan harta yang diperoleh dari kekuasaannya Umar Bin Khattab sengaja menumpahkan susu yang dicampur air guna member pelajaran kepada mereka yang mencampur susu dengan air . Para sahabat menetapkan hukuman mati kepada semua anggota kelompok (jamaah) karena membunuh satu orang secara bersama-sama.Kedua, Adanya maslahat sesuai dengan maqosid as-Syari (tujuan-tujuan syari) artinya dengan mengambil maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syari.Ketiga, Seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahah selama berada dalam konteks maslahat syariyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan.Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari`atnya. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:Pertama, Maslahah ituharushakikat,bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdidan mereka yang mempunyaidisiplinilmutertentumemandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka. Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, seperti dalih mashlahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak isterinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan kami tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga danmasyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.Kedua, Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali memberi contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memlihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.Ketiga, Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari`. Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syari`. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.

Saddu Al-DzariahPengertian Saddu Al-DzariahSaddu Zarai berasal dari kata sadd dan zarai. Sadd artinya menutup atau menyumbat, sedangkan zarai artinya pengantara. Pengertian zarai sebagai wasilah dikemukakan oleh Abu Zahra dan Nasrun Harun mengartikannya sebagai jalan kepada sesuatu atau sesuatu yang membawa kepada sesuatu yang dilarang dan mengandung kemudaratan. Sedangkan Ibnu Taimiyyah memaknai zarai sebagai perbuatan yang zahirnya boleh tetapi menjadi perantara kepada perbuatan yang diharamkan. Dalam konteks metodologi pemikirran hukum Islam, maka saddu zarai dapat diartikan sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh darri seorang mujtahid untuk menetapkan hukum dengan melihat akibat hukum yang ditimbulkan yaitu dengan menghambat sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan.Beberapa pendapat menyatakan bahwa Dzariah adalah washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan / cara yang menyampaiakan kepada yang halal hukumnyapun halal serta jalan / cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun wajib.Sebagian ulama mengkhususkan pengetian Dzariah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudaratan, tetapi pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnul qayyim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa Dzariah tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang tetapi ada juga yang dianjurkan.Secara lughawi (bahasa), al-Dzariah itu berarti: jalan yang membawa kepada sesuatu baik ataupun buruk. Arti yang lughawi ini mengandung konotasi yang netral tanpa memberikan penilaian kepada hasil perbuatan, pengetian inilah yang diangkat oleh Ibnul Qayyim kedalam rumusan definisi tentang dzariah yaitu: apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu. Pendapat ibnu qayyim didukung oleh Wahbah Suhaili. Sedangkan Badran memberikan definisi yang tidak netral terhadap Dzariah, ia mengatakan Dzariah adalah bahwa apa yang menyampaikan kepada sesuatu yang terlarang dan mengandung kerusakan sedangkan saddu atinya menutup, jadi saddu Dzariah berarti menutup jalan terjadinya kerusakan.Dalam hukum takhlifi diuraikan tentang sesuatu yang mendahului perbuatan wajib, yang disebut muqaddimah wajib. Karena muqaddimah merupakan washilah (perantara) kepada suatu yang dikenai hukum, maka ia juga disebut dzariah. Oleh karena itu para penulis dan ulama ushul fiqh memasukkan muqaddimah wajib kedalam pembahasan tentang dzariah, karena sama-sama sebagai perantara untuk melakukan sesuatu.Badran dan zuhaili membedakan antara muqaddimah wajib dengan dzariah, perbedaannya terletak pada ketergantungan perbuatan pokok yang dituju dengan perantara atau washilah. Pada dzariah, hukum perbuatan pokok tidak tergantung pada perantara. Contohnya adalah zina, khalwat adalah perantara dalam melakukan zina, tetapi zina bisa terjadi tanpa adanya khalwatpun zina bisa terjadi, karena itu khalwat sebagai perantara disini disebut Dzariah. Muqaddimah adalah hukum perbuatan pokok tergantung pada perantara, contohnya Shalat. Wudhu merupakan perantara shalat dan kesahan shalat itu tergantung pada pelaksanaan wudhu karenanya wudhu disebut Muqaddimah bukan Dzariah menurut badran dan Zuhaili.Ada juga yang membedakan antara Dzariah dan Muqaddimah itu tergantung pada baik dan buruknya perbuatan pokok yang dituju. Bila perbuatan pokok yang dituju merupakan perbuatan pokok yang dianjurkan, maka washilahnya disebut Muqaddimah, sedangkan bila perbuatan pokok yang dituju merupakan larangan maka washilahnya adalah Dzariah karena manusia harus menjauhi perbuatan yang dilarang termasuk washilahnya. Maka pembahasan disini adalah usaha untuk menjauhi washilah agar terhindar dari perbuatan pokok yang dilarang. Sedangkan menurut enssiklopedi hukum islam, dalam ilmu ushul fiqh, dikenal dua istilah yang berkaitan dengan dzariah, yaitu saddus zariah dan fath az-zaiah.Ibnul Qayyim dan Imam Al-Qarafi menyatakan bahwa Dzariah itu ada kalanya dilarang yang disebut Saddus Dzariah, dan ada kalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut fath ad-dzariah. Seperti meninggalkan segala aktivitas untuk melaksanakan shalat jumat yang hukumnya wajib. Tetapi Wahbah Al-Juhaili berbeda pendapat dengan Ibnul qayyim. Dia menyatakan bahwa meninggalkan kegiatan tersebut tidak termasuk kedalam dzariah tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu perbuatan.Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan, tetapi mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai Dzariah. Ulama hanafiyah dan hanabilah dapat menerima sebagai fath Az-Dzariah, sedangkan ulama Syafiiyah, Hanafiyyah dan sebagian Malikiyyah menyebutnya sebagai Muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah dzariah. Namun mereka sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah.Walaupun Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sadduz dzariah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.Kesimpulannya adalah bahwa Dzaiah merupakan washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan / cara yang menyampaiakan kepada yang halal hukumnyapun halal serta jalan / cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun wajib.Kedudukan Saddu DzariahMeskipun hampir semua ulama dan penulis ushul fiqh menyinggung tentang saddu al-dzariah, namun amat sedikit yang membahasnya dalam pembahasan khusus secara!tersendiri. Ada yang menempatkan bahasannya dalam deretan dalil-dalil syara yang tidak disepakati oleh ulama. Ibnu Hazm yang menolak untuk berhujjah dengan Saddus Dzariah menyatakan: Segolongan orang mengharamkan beberapa perkara dengan jalan ikhtiyath dan karena khawatir menjadi wasilah kepada yang benar-benar haram.Ditempatkannya al-dzariah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya, mengandung arti bahwa karena washilah sebagai perbuatan pendahuluan maka ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa washilah itu sebagaimana hukum yang ditetapkan syara tehadap perbuatan pokoknya.Masalah ini menjadi perhatian para ulama karena banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang mengisyaratkan kearah itu, umpamanya:1. Surat Al-Anam ayat 108 yang artinya:Janganlah kamu caci orang yang menyembah selain Allah, karena nanti ia akan memushi tanpa pengetahuan.Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya, namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan mencaci dan menghinanya menjadi dilarang.2. Surat al-Nur ayat 31 yang artinya:Janganlah perempuan itu menghentakkan kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang tersembunyi didalamnya.Sebenarnya menghentakkan kaki itu bagi perempuan boleh saja, tapi kaena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi doketahui orang sehingga menimbulkan angsangan bagi yang mendengarnya, maka menghentakkan kaki bagi perempuan itu menjadi terlarang.Dari dua contoh ayat diatas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya.Dari ayat yang sudah dibahas diatas juga dapat diketahui bahwa Saddu Dzari,ah mempunyai dasar dari al-Qur,an, sedangkan dasar-dasar saddus zariah dari sunnah adalah:1. Nabi melarang membunuh orang munafik, karena membunuh orang munafik bisa menyebabkan nabi dituduh membunuh sahabatnya.2. Nabi melarang kreditor untuk menerima hadiah dari debitor karena cara demikian bisa mengarah kepada riba, atau untuk ikhtiyat.3. Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan ditangguhkan sampai selesai perang, karena dikhawatikan tentara-tentara lari bergabung bersama musuh.4. Nabi melarang melakukan penimbunan karena penimbunan bisa mengakibatkan kesulitan manusia.5. Nabi melarang fakir miskin dari bani hasyim menerima bagian dari zakat agar tidak menimbulkan fitnah bahwa nabi memperkaya diri dan keluarganya dari zakat.Syarat-syarat Saddu ZariahUntuk menetapkan hukum jalan (sarana) yang mengharamkan kepada tujuan, perlu diperhatikan:1. Tujuan. Jika tujuannya dilarang, maka jalannyapun dilarang dan jika tujuannya wajib, maka jalannyapun diwajibkan.2. Niat (Motif). Jika niatnya untuk mencapai yang halal, maka hukum sarananya halal, dan jika niat yang ingin dicapai haram, maka sarananyapun haram.3. Akibat dari suatu perbuatan. Jika akibat suatu perbuatan menghasilkan kemaslahatan seperti yang diajarkan syariah, maka wasilah hukumnya boleh dikerjakan, dan sebaliknya jika akibat perbuatan adalah kerusakan, walaupun tujuannya demi kebaikan, maka hukumnya tidak boleh.Dalam hal ini dasar pemikiran hukumnya bagi ulama adalah bahwa setiap perbuatan mengandung dua sisi:1. Sisi yang mendorong untuk berbuat.2. Sasaran atau tujuan yang menjadi natijah (Kesimpulan/Akibat) dari perbuatan itu. Menurut natijahnya, perbuatan itu ada 2 bentuk: Natijahnya baik, maka segala sesuatu yang mengarah kepadanya adalah baik dan oleh karenanya dituntut untuk mengerjakannya. Natijahnya buruk, maka segala sesuatu yang mendorong kepadanya adalah juga buruk, dan karenannya dilarang.Macam-macam Saddu DzariahDzariah dapat dikelompokkan dengan melihat beberapa segi:1. Dari segi akibat (dampak) yang ditimbulkannya, Ibnu Qayyim membagi dzariah menjadi 4 yaitu:a. Dzariah yang pada dasarnya membawa kepada kerusakan. Contohnya, minuman yang memabukkan akan merusak akal dan perbuatan zina akan merusak keturunan.b. Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah (boleh), namun ditujukan untuk pebuatan buruk yang merusak baik yang disengaja seperti nikah muhallil, atau tidak disengaja seperti mencaci sesembahan agama lain.c. Dzariah yang semula ditentukan mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan dan kerusakan itu lebih besar daripada kebaikannya. Seperti berhiasnya seorang istri yang baru ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan dia dalam masa iddah.d. Dzariah yang semula ditentukan mubah, namun terkadang membawa kepada kerusakan tetapi kerusakannya lebih kecil daripada kebaikannya. Contoh dalam hal ini adalah melihat wajah perempuan saat dipinang.2. Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkannya, Abu Ishak al-Syatibi membagi dzariah menjadi 4 macam:a. Dzariah yang membawa kerusakan secara pasti. Umpamanya menggali lobang ditanah sendiri yang lokasinya didekat pintu rumah orang lain diwaktu gelap.b. Dzariah yang kemungkinan besar mengakibatkan kerusakan. Umpamanya menjual anggur kepada pabrik minuman dan menjual pisau tajam kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya.c. Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan.d. Perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi dilihat dari pelaksanaannya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya semacam jual-beli yang dilakukan untuk mengelak dari riba.Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Saddu ZariahMenurut wahbah azzuhaili, para ulama sepakat tentang dilarangnya perbuatan ini, karena cara seperti ini merupakan praktik-praktik riba yang berusaha dijadikan helah oleh para pelakunya. Bahkan kalangan malikiyah dan hambaliyah jual beli ini dilarang karena masalah dilarang atau tidaknya suatu perbuatan tidak hanya diukur pada bentuk formal dari suatu perbuatan, tetapi juga dilihat kepada akibat dari perbuatan itu. Hal ini terkait dengan moral di tengah masyarakat, sehingga penetapan hukum yang berprinsip saddu al-zariah merupakan antisipasi tehadap berbagai kegiatan yang bersifat amoral di masyarakat karena dalam prinsip saddu al-zariah tidak hanya terpaku pada hukum dasar suatu pebuatan, tetapi juga mempertimbangkan moti-motif yang melatar belakangi perbuatan serta akibat yang akan ditimbulkannya. Sedangkan menurut hanafiyah jual beli seperti itu fasid (rusak) bukan karena atas dasa saddus zariah, tetapi atas dasar bahwa pihak penjual tidak sah membeli barang itu kembali sebelum pihak pembeli melunasi barang tersebut.Menurut kalangan syafiiyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu hukumnya sah, selama syarat dan rukunnya telah dipenuhi, adanya kemungkinan tujuan tersembunyi dibalik yang lahiriyah dari kedua belah pihak, karena tidak dapat dipastikan, tidak berpengaruh pada sahnya akad jual beli.Perbedaan sisi pandang ini menimbulkan perbedaan tentang penerimaan dalil saddu zarai. Malikiyah mengukur sah / tidaknya suatu perbuatan dengan mempetimbangkan niat, tujuan dan akibat dari perbuatan itu sendiri. Sementara hanafiyah dan syafiiyah hanya memandang akadnya, jika sesuai dengan rukun dan syarat maka itu sah, sedangkan niat tersembunyi dikembalikan kepada Allah.Kerancauan mengenai batasan maslahat dan mudarat menimbulkan berbagai pendapat mengenai kedudukan saddu zarai yaitu bisa diterima dengan memenuhi dua prinsip:1. Zarai digunakan bila mengakibatkan kerusakan yang ditetapkan nas/hal-hal yang ada nasnya.2. Perkara yang berhubungan dengan amanat dalam hukum syara, bukan berrarti tidak memeperhitungkan kemungkinan terjadinya khianat, karena bisa jadi bahaya menutup zarai bermudarat lebih besar dari bahaya yang dapat dihindarkan melalui meninggalkan zarai.Dalam masyarakat yang majemuk, banyak hal yang bisa dikaji dengan konsep saddu al-zariah sebagai antisipasi terhadap kemafsadatan yang akan ditimbulkan oleh suatu pebuatan. Contoh lain dari jenis zariah yaitu acara muhasabah bersama yang diadakan olehlembaga atau yayasan, baik muhasabah akhir tahun, maupun acara-acara Muhasabah insidentil. Dewan Syariah Yayasan Al-khairat mengatakan bahwa acara-acara muhasabah seperti itu adalah bid'ah. Pada dasarnya Muhasabah artinya evaluasi atas prilaku dan tindak tanduk kita dengan tujuan kita dapat menyesali dosa-dosa yang telah kita lakukan, beristighfar dan bertobat serta bertekad tidak akan melakukan lagi. Muhasabah dianjurkan oleh Al-Quran dalam banyak ayat dan hadits. Dan boleh dilakukan baik secara sendiri-sendiri atau secara bersama (berjamaah).Dasar yang menjadi masalah adalah bila muhasabah yang dilakukan secara berjamaah itu secara proses waktu menjadi sebuah bentuk ibadah ritual baru dengan syarat, aturan, ketentuan dan rukun yang baku. Meski maksud dan tujuannya baik dan bahkan tidak ada mata acara yang bertentangan dengan syariah, tapi sebagai paket ritual, menjadi hal yang ditakutkan akan menimbulkan salah paham di kemudian hari. Orang akan beranggapan bahwa itu adalah sebuah bentuk ibadah mahdhah tersendiri.Dalam hal ini, ada ketentuan Saddus Zari`ah, yaitu mencegah hal-hal yang dikhawatirkan menimbulkan keburukan dan dikhawatirkan menjadi ketetapan tradisi dan menjadi ibadah yang bid`ah. Sebenarnya fenomena ramainya peserta muhasabah dan menjamurnya acara tersebut sangat menggembirakan apalagi digelar pada momentum malam tahun baru yang umunya digunakan untuk hura-hura. Sangat kontras dengan acara ini dimana pada malam yang sama puluhan bahkan ratusan masjid dijejali oleh kawula muda yang khusyu` mendengarkan siraman rohani dan menangis mendengarkan imam membacakan ayat-ayat Quran yang suci. Sebuah pemandangan yang langka.Dalam batas tertentu itu memang menggembirakan. Namun para ulama sudah berpikir panjang dan melihat ke depan dengan menggunakan saddus zari`ah. Maka ketika kemudian gejala ini dirasakan semakin meluas sementara tidak ada jaminan bahwa generasi berikutnya benar-benar memahami konteks di atas, maka sebelum menjadi sebuah keharusan sosial, ditetapkanlah bahwa acara muhasabah berjamaah seperti itu tidak perlu diteruskan, apalagi menggunakan momentum tahun baru dan sejenisnya,karena mencegah yang mungkar itu lebih didahulukan dari mencari keutamaan.Menurut Imam Asy-Syatibi, ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:1. Perbuatan yang sebenarnya hukumnya boleh tetapi mengandung kerusakan.2. Kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan.3. Perbuatan yang dibolehkan syara mengandung lebih banyak unsur kemafsadatannya.

UrfPengertian UrfKata urf secara etimologi yaitu, sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat. Adapun dari segi terminologi kata urf mengandung makna: , .sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer diantara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.Kata urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al adah (kebiasaan), yaitu: sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar. Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidah, istilah urf berartiialah sesuatu yang telah dikenali oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik berupa perkayaan, perbuatan atau pantangan-pantangan dan juga bisa disebut dengan adat. Menurut istilah ahli syara, tidak ada perbedaan antara urf dan adat (adat kebiasaan). Namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan dikalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukun tertulis, sehingga ada sangsi-sangsi terhadap orang yang melanggarnya. Macam-macam UrfUrf atau adat itu ada dua macam, yaitu adat yang benar dan adat yang rusak. Adat yang benar adalah kebiasaan yang dilakukan manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan kewajiban. Sedangkan adat yang rusak adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara, menghalalkan yang haram atau membatalkan kewajiban. Penggolongan macam-macam adat atau urf itu juga dapat dilihat dari beberapa segi:1. Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini urf ada dua macam:a. Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Contohnya, kataWaladunsecara etimologi artinya anak yang digunakan untuk anak laki-laki atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak ditemukannya kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan (Muannats). Penggunaan kataWaladitu untuk anak laki-laki dan perempuan, (mengenahi waris atau harta pusaka) berlaku juga dalam al-Quran, seperti dalam surat an-Nisa (4): 11-12. Seluruh katawaladdalam kedua ayat tersebut yang disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan.b. Urf fili, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya; (1) jual beli barang-barang yang enteng (murah dan tidak begitu bernilai) transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya menunjukkan barang serta serah terima barang dan uang tanpa ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual beli. (2) kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri.2. Dari segi ruang lingkup penggunaannyaa. Adat atau urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa dan agama. Umpamanya: menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak atau meniadakan. Kalau ada orang berbuat kebalikan dari itu, maka dianggap aneh atau ganjil.b. Adat atau urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu atau pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan sembarang waktu. 3. Dari segi penilaian baik dan buruk:a. Adat yangshahih, yaitu adat yang berulang ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun dan budaya yang luhur. b. Adat yangfasid, yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara daan sopan santun.Kedudukan Urf sebagai dalil SyaraPara ulama sepakat bahwa urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan Syara. Ulama Malikiyyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafii terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Makkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan urf. Tentu saja urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.Adapun kehujjahan urf sebagai dalil syara didasarkan atas argumen-argumen berikut ini:a.Firman Allah pada surah al-Araf ayat 199 Artinya:Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang maruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang bodoh.Melalui ayat di atas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang maruf. Sedangkan yang disebut sebagai maruf itu sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar, yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.b.Ucapan sahabat Rasulullah SAW; Abdullah bin Masud: Artinya:Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah.Ungkapan Abdullah bin Masud di atas, baik dari segi redaksi maupun maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syariat Islam adalah juga merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat, akan melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal dalam pada itu, Allah berfirman pada surat al-Maidah ayat 6: Artinya:Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. Adat yang benar, wajib diperhatikan dalam pembentukan hukum Syara dan putusan perkara. Seorang mujtahid harus memperhatikan hal ini dalam pembentukan hukumnya dan bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu dalam setiap putusannya. Karena apa yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia adalah menjadi kebutuhan mereka, disepakati dan ada kemaslahatannya.Adapun adat yang rusak, maka tidak boleh diperhatikan, karena memperhatikan adat yang rusak berarti menentang dalil Syara atau membatalkan hukum Syara.Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat, karena masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal. Oleh karena itu, dalam hal perbedaan pendapat ini para ulama fikih berkata: Perbedaan itu adalah pada waktu dan masa, bukan pada dalil dan alasan.

Syarat-syarat UrfTidak semua urfbisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:1. Urfitu berlaku umum. Artinya, urfitu dipahami oleh semua lapisan masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakanurforang-orang tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.2. Tidak bertentangan dengan nashSyari, yaitu Urfyang selaras dengan nashSyari. Urfini harus dikerjakan, namun bukan karena dia itu urf, akan tetapi karena dalil tersebut.AllahSWTberfirman: Artinya:Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.(QS. Ath-Thalaq [65]:6)3. Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah urfbaru yang barusan terjadi.4. Tidak berbenturan dengantashrih. Jika sebuah urf berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah masalah), maka urfitu tidak berlaku.5. Urftidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakatiHal ini sangatlah penting karena bila ada urf yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama (dalam hal ini Ijma) maka urf menjadi tidak berlaku, terlebih bila urfnya bertentangan dengan dalilSyari.

Kaidah-kaidah UrfDi terimanya urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang lebih luas bagi dinamisasi hukum islam. Sebab, di samping banyak masalah-masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah yang dapat di tampung oleh adat istiadat ini, juga ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya di bentuk oleh mujtahid berdasarkan urf, akan berubah bilamana urf itu berubah.Inilah yang di maksud oleh para ulama, antara lain ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah (w. 751 H) bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan tempat, maksud ungkapan ini adalah bahwa hukum-hukum fikih yang tadinya dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik, hukum itu akan akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.Ada beberapa kaidah fikhiyyah yang berhubungan dengan urf, diantaranya adalah:1.Adat itu adalah hukum2.Apa yang telah ditetapkan oleh syara secara umum tidak ada ketentuan yang rinci di dalamnya dan juga tidak ada dalam bahasa, maka ia dikembalikan pada urf. Abdul Hamid Hakim mendasarkan dua kaidah atas ayat 199 surat Al-Araf: Suruhlah orang mengerjakan yang maruf serta berpalinglah dari orang bodoh.3.Tidak diingkari bahwa perubahan hukum disebabkan oleh perubahan zaman dan tempat. 4.Yang baik itu jadi urf seperti yang disyaratkan jadi syarat 5.Yang ditetapkan melalui urf seperti yang ditetapkan melalui nash

Tapi perlu diperhatikan bahwa hukum disini bukanlah seperti hukum yang ditetapkan melalui al-Quran dan Sunnah akan tetapi hukum yang ditetapkan melalui urfitu sendiri.

BAB IIIPenutup

Istihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully(menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal daripada qiyas. Dari Tarif di atas, jelas bahwa al-istihsan lebih mementingkan maslahah juziyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa al-istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syariat diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun bukan berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas dasar rayu semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda. Dalil kedua ini dapat berwujud ijma, urf atau maslahah mursalahkembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak istihsn, kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwaistihsnsendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolakistihsnyang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuatBerbagai pendefinisian yang disebutkan di kalangan para ahli dan beberapa pendapat yang terjadi di kalangan para ulama terhadap istishab, kontradiksi terhadap polemik kehujjaannya atas paradigma dalil hukumnya maka istishab itu tetap memberlakukan ketetapan hukum yang telah ditetapkan sesuatu yang telah ada sejak awal, sampai ditemukan adanya ketetapan hukum lain yang merubahnya, sebab istishab merupakan jalan keluar terakhir dalam berfatwa, sebab seseorang mufti jika ditanya tentang sesuatu khusus yang sedang terjadi maka ia diharuskan untuk memberikan putusan dengan menggunakan al-Quran, lalu al-Hadist, ijma dan qiyas. Dalil hukum istishab dalam kedudukan yang urgen adalah menuju pengcapaian yang baik. Sehingga nilai-nilai istishab itu sendiri dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhan umat manusia dalam menegakkan syariat dalam kode pengejawantahan ilmu agama dan muslim sempurna. Menerima maslahat sebagaihujjahharuslah melalui persyaratan tertentu, minimalnya tidak bertentangan dengan al-Quran, as-Sunnah danijma,harus mengandung kemaslahatan, dan kemaslahatan itu sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu; dalam rangka memilihara agama, akal, jiwa, harta dan keturunan atau kehormatan. Sedangkan ruang lingkup operasionalnya hanya di bidang muamalah dan sejenisnya, tidak berlaku di bidangibadah.Paraulama juga telah membagi maslahah dari beberapa segi diantaranya: dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, dari segi kandungan maslahah, dari segi berubah atau tidaknya maslahah, dan dari segi keberadaan maslahah.Jadi, sebenarnya akar perbedaan pendapat mengenai maslahah muraslah sebagai hujjah syariyah terletak pada sisi pandangan mereka terhadap maslahah mursalah. Golongan yang dimotori Imam Malik serta Imam Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa maslahat yang mereka pakai berpijak pada syarat-syarat yang dibenarkan oleh syara bukan berdasarkan hawa nafsu atau menyimpang dari kebenaran sebagaimana pandangan kelompok yang menentang kehujjahan maslahah mursalah. Sedangkan golongan yang diwakili madzhab Hanafi, Syafii dan Madzhab Zahiri menekankan kehati-hatian dengan berbagai persyaratan maslahah yang sesuai dengan tujuan syariat. Banyak persoalan baru bisa dikategorikan Maslahah Mursalah. Artinya persoalan baru itu memang mengandung maslahat dan dibutuhkan manusia dalam membangun kehidupan mereka, tetapi tidak ditemukan dalil yang mengakui ataupun menolaknya. Seiring dengan perjalanan waktu, hal ini akan terus berlangsung sepanjang masa dengan berbagi perbedaan latar belakang sosial budaya. Dengan demikian, untuk mengatasinya persoalan ini tidak lain tentulah pendekatan yang digunakan hanyalah dengan pendekatan maslahah mursalah

Daftar Pustaka

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-fikih,Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan VIII,thn 1991Abdul Wahab Khallaf, Mashadir al-Tasyri al-Islami Fima La Nassafih. (Dar al-Qalam, cet. III, th. 1972),Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwaffaqat Fi Ushul al-Syariah ,Beirut : Dar al-Makrifah, jilid IV, th. 1975.Djaazuli. 2005.Ilmu Fiqih.Jakarta: Kencana Media Group.Effendi, Satria. 2005.Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.Ensiklopedi Hukum Islam. 1996. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.Haroen, Nasrun. 1997.Ushul Fiqh I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.Khallaf, Abdul Wahab. 1994.Ilmu Ushul Fiqh.Semarang: Dina Utama.Prof.Dr.Safyii,Rahmat. MA ilmu ushul fiqih,CV Pustaka Setia,Bandung:1998Prof.Abu Zahra,muhamad.USHUL FIQIH, Pustaka Firdaus,Jakarta:1994Drs.Rifai,moh. USHUL FIQIH,Al-maarif, Bandung:1974