hasil dan pembahasan kondisi curah hujan daerah...

20
28 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian Kondisi curah hujan di DAS Citarum Hulu dan daerah Pantura dalam kurun waktu 20 tahun terakhir (1990-2009) dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7. Gambar 6 menyajikan time series curah hujan bulanan di kedua daerah penelitian, sementara Gambar 7 menyajikan jumlah akumulasi curah hujan tahunannya. Gambar 6. Curah Hujan Bulanan Daerah Penelitian Tahun 1990-2009 Dari Gambar 6 dan 7 tidak terlihat adanya indikasi penurunan curah hujan baik di DAS Citarum Hulu maupun di daerah Pantura. Pada Gambar 6 bahkan terlihat indikasi bahwa dari hasil analisis data curah hujan secara time series, kondisi curah hujan dalam 10 tahun terakhir (2000-2009) cenderung lebih tinggi dibandingkan dalam kurun waktu 10 tahun pertama (1990-1999). Gambar 7. Curah Hujan Tahunan Daerah Penelitian Tahun 1990-2009 Hal ini menunjukkan bahwa jika dilihat dari jumlah curah hujan tahunannya, maka curah hujan di DAS Citarum Hulu maupun di daerah Pantura tidak terpengaruh oleh dampak pemanasan global. Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan terendah

Upload: lamkhanh

Post on 15-May-2018

233 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

28

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian

Kondisi curah hujan di DAS Citarum Hulu dan daerah Pantura dalam kurun waktu

20 tahun terakhir (1990-2009) dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7. Gambar 6

menyajikan time series curah hujan bulanan di kedua daerah penelitian, sementara Gambar

7 menyajikan jumlah akumulasi curah hujan tahunannya.

Gambar 6. Curah Hujan Bulanan Daerah Penelitian Tahun 1990-2009

Dari Gambar 6 dan 7 tidak terlihat adanya indikasi penurunan curah hujan baik di

DAS Citarum Hulu maupun di daerah Pantura. Pada Gambar 6 bahkan terlihat indikasi

bahwa dari hasil analisis data curah hujan secara time series, kondisi curah hujan dalam 10

tahun terakhir (2000-2009) cenderung lebih tinggi dibandingkan dalam kurun waktu 10

tahun pertama (1990-1999).

Gambar 7. Curah Hujan Tahunan Daerah Penelitian Tahun 1990-2009

Hal ini menunjukkan bahwa jika dilihat dari jumlah curah hujan tahunannya, maka

curah hujan di DAS Citarum Hulu maupun di daerah Pantura tidak terpengaruh oleh

dampak pemanasan global. Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan terendah

Page 2: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

29

di wilayah Pantura terjadi pada tahun 1997 (754 mm/tahun), sedangkan yang tertinggi

terjadi pada tahun 2002 (1.703 mm/tahun). Untuk DAS Citarum Hulu, intensitas curah

hujan terendah terjadi pada tahun 1991 (1.287 mm/tahun), sementara yang tertinggi terjadi

pada tahun 1998 (2.457mm/tahun).

Tabel 6. Tahun-tahun Kejadian El Nino, La Nina, IOD Positif dan IOD Negatif IOD negatif IOD Normal IOD positif

El Nino 1930 1877 1888 1899 1911 1914 1918 1925 1940

1941 1965 1986 1987 1896 1902 1905 1923 1957 1963 1972 1982 1991 1997

Normal

1880 1958 1968 1974 1980 1985 1989 1992

1881 1882 1883 1884 1895 1898 1901 1904 1907 1908 1912 1915 1920 1921 1927 1929 1931 1932 1934 1936 1937 1939 1943 1947 1948 1951 1952 1953 1956 1959 1960 1962 1966 1969 1976 1979 1990 1993 1995

1885 1887 1891 1894 1900 1913 1919 1926 1935 1944 1945 1946 1961 1967 1977 1983 1994

La Nina

1906 1909 1910 1916 1917 1928 1933 1942 1950 1975 1981

1878 1879 1886 1889 1890 1892 1893 1897 1903 1922 1924 1938 1949 1954 1955 1964 1970 1971 1973 1978 1984 1988 1996 1998

Sumber: Meyers et al (2007)

Berdasarkan catatan tahun-tahun kejadian El Nino dan La Nina dalam Tabel 6

(Meyers et al, 2007), tahun 1991 dan 1997 merupakan tahun El Nino sementara tahun 1998

merupakan tahun La Nina (tahun 2002 belum tercatat). Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa curah hujan di DAS Citarum dan daerah Pantura dipengaruhi oleh fenomena ENSO.

Gambar 8. Pola Curah Hujan di Daerah Penelitian

Pola curah hujan daerah penelitian berdasarkan analisis data curah hujan historis

tahun 2000-2009 (10 tahun) tersaji pada Gambar 8, sedangkan data lengkapnya

disampaikan pada Lampiran 5. Dari Gambar 8 terlihat bahwa curah hujan di DAS Citarum

Hulu maupun di daerah Pantura mempunyai pola monsoonal. Puncak curah hujan di DAS

Citarum Hulu terjadi pada bulan Desember (243 mm) dan Maret (242 mm), sementara

curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus (41 mm). Untuk daerah Pantura, curah

Page 3: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

30

hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari (315 mm) dan terendah pada bulan Agustus (15

mm). Kecuali di bulan Januari dan Februari, secara keseluruhan curah hujan di DAS

Citarum Hulu lebih tinggi dibandingkan di daerah Pantura. Rerata total curah hujan

tahunan di DAS Citarum Hulu sebesar 1.856 mm/tahun, sedangkan di daerah Pantura

sebesar 1.408 mm/tahun.

Berdasarkan pola curah hujan pada Gambar 8 dapat dinyatakan bahwa

perbandingan lama musim hujan dan kemarau di DAS Citarum Hulu berlangsung secara

seimbang. Musim hujan terjadi selama periode bulan November hingga April (6 bulan)

sedangkan musim kemarau terjadi selama periode bulan Mei hingga Oktober (6 bulan).

Untuk daerah Pantura, periode musim kemarau lebih panjang dibandingkan musim hujan.

Periode musim hujan berlangsung selama bulan Desember hingga Maret (4 bulan),

sementara dari bulan April hingga November (8 bulan) adalah musim kemarau.

Gambar 9. Peta Isohyet Historis Tahunan di Daerah Penelitian

Gambar 9 memperlihatkan distribusi spasial curah hujan historis tahunan di daerah

penelitian. Dari Gambar 9 terlihat bahwa curah hujan di daerah Pantura mempunyai

intensitas kurang dari 2.000 mm/tahun, sementara di DAS Citarum Hulu, khususnya di

DTA Waduk Jatiluhur curah hujannya berkisar antara 2.000 – 3.000 mm/tahun. Daerah

Sindanglaya yang berlokasi di dekat Waduk Jatiluhur merupakan lokasi dengan curah

Page 4: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

31

hujan tahunan tertinggi di wilayah DAS Citarum Hulu (3.061 mm/tahun), sementara yang

terendah berada di di daerah Cicalengka yang berlokasi di sisi paling barat wilayah DAS

Citarum Hulu (1.257 mm/tahun). Untuk wilayah Pantura, curah hujan tahunan tertinggi

berlokasi di Bendung Cikarang (1.708 mm/tahun) dan terendah di Pamanukan

(1.098mm/tahun). Data curah hujan historis tahunan selengkapnya di DAS Citarum Hulu

dan daerah Pantura disampaikan pada Lampiran 5, sedangkan peta distribusi spasial curah

hujan historis setiap bulan tersaji pada Lampiran 6.

Dari hasil analisis kondisi curah hujan di daerah penelitian dapat diketahui bahwa

dampak pemanasan global tidak menyebabkan berkurangnya intensitas curah hujan di

daerah penelitian, namun lebih berdampak pada distribusi curah hujan yang kurang merata

baik secara spasial maupun secara temporal.

Neraca Air Lahan Daerah Penelitian

Kondisi neraca air lahan daerah penelitian dianalisis dari selisih nilai curah hujan

(P) dan evapotranspirasi potensial (PE). Besarnya PE ditentukan oleh kondisi suhu udara

(t). Nilai t untuk seluruh lokasi stasiun cuaca di daerah penelitian diperoleh dengan

interpolasi data suhu udara dari Stasiun Jatisari, Kalijati dan Geofisika Bandung dengan

mempertimbangkan faktor ketinggian tempat (elevasi). Data elevasi dan suhu udara di

setiap stasiun cuaca di daerah penelitian tersaji dalam Lampiran 7.

Nilai rerata masing-masing parameter neraca air untuk Metode Thornthwaite-

Mather (dengan menggunakan program Visual Delphi) untuk DAS Citarum Hulu tersaji

pada Tabel 7, sedangkan untuk daerah Pantura pada Tabel 8.

Tabel 7. Neraca Air DAS Citarum Hulu Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des Total

P 229 222 242 223 128 67 44 41 52 142 223 243 1.856 TEMP 22.0 21.9 22.2 22.3 22.6 22.3 21.5 21.9 22.1 22.5 23.3 22.3 PE 91 81 91 88 93 90 83 88 85 95 103 97 1.085 P - PE 138 141 151 135 35 -23 -39 -47 -33 47 120 146 771 APWL 0 0 0 0 0 -23 -62 -109 -142 0 0 0 ST 187 187 187 187 187 165 134 104 88 187 187 187 ∆ST 0 0 0 0 0 -22 -31 -30 -17 99 0 0 AE 91 81 91 88 93 89 75 71 69 95 103 97 1.043 D 0 0 0 0 0 1 8 17 16 0 0 0 S 138 141 151 135 35 0 0 0 0 -52 120 146 Ia 0 0 0 0 0 2 10 20 19 0 0 0

Page 5: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

32

Tabel 8. Neraca Air Daerah Pantura Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des Total

P 250 299 157 128 82 44 29 14 30 77 146 153 1.409 TEMP 26.0 25.9 26.5 27.5 27.5 27.1 26.6 27.0 27.9 27.8 27.6 27.5 PE 132 117 138 153 156 147 139 149 160 168 162 169 1.790 P - PE 118 182 19 -25 -74 -103 -110 -135 -130 -91 -16 -16 -381 APWL 0 0 0 -25 -99 -202 -312 -447 -577 -667 -683 -699 ST 87 87 87 65 28 8 2 1 0 0 0 0 ∆ST 0 0 0 -22 -37 -19 -6 -2 0 0 0 0 AE 132 117 138 150 119 63 35 16 30 77 146 153 1.176 D 0 0 0 3 37 84 104 133 129 90 16 16 S 118 182 19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Ia 0 0 0 2 23 57 75 89 81 54 10 9

Kapasitas tanah dalam menyimpan air atau water holding capacity (WHC) adalah

jumlah air maksimum yang dapat disimpan di dalam lapisan tanah yang besarnya

ditentukan oleh porositas tanah dan kedalaman akar. Rerata nilai WHC di DAS Citarum

Hulu berdasarkan kombinasi jenis tanah dan kedalaman perakaran sebesar 187 mm pada

kedalaman antara 0,4 – 2,5 m, sementara di daerah Pantura hanya 87 mm pada kedalaman

antara 0,5 – 1 m. Nilai WHC selengkapnya di daerah penelitian dapat dilihat dalam

Lampiran 8.

Suhu udara DAS Citarum Hulu lebih rendah sekitar 4C dibandingkan daerah

Pantura. Nilai rerata suhu udara bulanan untuk wilayah DAS Citarum Hulu berkisar antara

21,9 – 23,3C. Suhu udara terendah terjadi pada bulan Februari dan yang tertinggi pada

bulan November dan Desember. Stasiun cuaca Sukawana yang mempunyai elevasi 1.487

m dpal merupakan daerah dengan suhu terendah, sementara stasiun cuaca Cirata dengan

elevasi 267 m dpal adalah daerah dengan suhu udara tertinggi. Untuk wilayah Pantura,

nilai rerata suhu udara bulanannya berkisar antara 25,9 – 27,9C. Suhu udara terendah

terjadi pada bulan Februari dan yang tertinggi pada bulan September. Stasiun cuaca

Leuweungsemut yang mempunyai elevasi 40 m dpl merupakan daerah dengan suhu

terendah, sementara stasiun cuaca Pedes dengan elevasi 2 m dpl adalah daerah dengan

suhu udara tertinggi.

Suhu udara daerah Pantura lebih tinggi dibandingkan DAS Citarum Hulu sehingga

proses penguapannya juga lebih intensif. Dengan demikian nilai evapotranspirasi potensial

(PE) di daerah Pantura juga lebih tinggi dibandingkan DAS Citarum Hulu.

Berdasarkan analisis P dan PE pada Tabel 7, secara umum DAS Citarum Hulu

masih mengalami surplus air untuk skala tahunan. Kondisi ini berbeda untuk daerah

Pantura seperti terlihat pada Tabel 8. Secara umum dapat dikatakan daerah Pantura

mengalami defisit air dalam skala tahunan. Analisis nilai P-PE selengkapnya dapat dilihat

pada Lampiran 9.

Page 6: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

33

Distribusi spasial kondisi neraca air lahan di daerah penelitian ditunjukkan dalam

Gambar 10, sedangkan untuk pola distribusi spasial setiap bulan disajikan pada Lampiran

10. Pada Gambar 10 jelas terlihat bahwa seluruh lokasi di daerah Pantura mengalami

defisit air untuk skala temporal tahunan, sedangkan di DAS Citarum Hulu justru

mengalami surplus air dengan besaran yang bervariasi. Walahar di daerah Pantura

merupakan lokasi yang mengalami defisit air paling tinggi dalam setahun (-699 mm),

sedangkan di DAS Citarum Hulu lokasi yang mengalami surplus air paling besar adalah

Gunung Cempaka (1.867 mm) yang berada di sebelah barat daya DAS Citarum Hulu.

Wilayah sebelah timur laut DAS Citarum Hulu (Sindanglaya, Darangdan dan Cikole) juga

mengalami surplus air lebih dari 1.000 mm, sementara wilayah tengah DAS Citarum Hulu

mengalami surplus air dengan kisaran 200 – 900 mm/tahun.

Gambar 10. Peta Selisih Curah Hujan (P) dan Potensial Evapotranspirasi (PE) Historis Tahunan

di Daerah Penelitian

Nilai akumulasi potensi kehilangan air tanah atau accumulated potential water loss

(APWL) adalah nilai akumulatif bulanan dari selisih P-PE. Perhitungannya dilakukan

secara suksesif untuk setiap bulan dimulai dari bulan pertama ketika jumlah curah hujan

lebih kecil daripada evapotranspirasi potensial (P<PE). Untuk DAS Citarum Hulu nilai

P<PE dari bulan Juni hingga bulan September sedangkan dari Oktober hingga Mei P>PE.

Total APWL di DAS Citarum Hulu selama periode bulan Juni hingga September sebesar

Page 7: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

34

142 mm. Untuk daerah Pantura, nilai P<PE terjadi dari bulan April hingga bulan Desember

sedangkan dari Januari hingga Maret nilai P>PE. Total APWL di daerah Pantura selama

periode bulan April hingga Desember sebesar 699 mm.

Kelebihan air hujan atas evapotranspirasi (surplus) akan diserap tanah dalam

bentuk kelengasan tanah atau storage (St) yang nilainya antara nol hingga nilai kapasitas

maksimum tanah menyimpan air (WHC). Apabila St telah melampaui kapasitas tanah

untuk menyimpan air (WHC) maka semua kelebihan air hujan akan mengalir sebagai

limpasan permukaan (run off) dan akan mengalir menuju sungai. Sebagian aliran

permukaan terjadi pada saat hujan, sesaat setelah WHC terpenuhi, sedangkan sebagian

lainnya dilepaskan secara berangsur-angsur dalam bentuk mata air, setelah sebelumnya

mengalir sebagai aliran bawah permukaan (sub surface run off). Pada perhitungan neraca

air ini, air limpasan dan aliran bawah permukaan dihitung sebagai satu kesatuan.

Dari total curah hujan sepanjang tahun sebanyak 1.856 mm yang terjadi di DAS

Citarum Hulu, sebanyak 1.043 mm atau sekitar 56,2% menguap melalui evapotranspirasi.

Ini berarti kelebihan lengas tanah yang berjumlah 813 mm atau sekitar 43,8% dapat

diperhitungkan sebagai air limpasan, baik limpasan permukaan ataupun sebagai aliran

bawah permukaan. Untuk daerah Pantura, dari total curah hujan sepanjang tahun yang

berjumlah 1.409 mm, sebanyak 1.176 mm atau sekitar 83,5% menguap melalui

evapotranspirasi. Ini berarti sejumlah 233 mm atau sekitar 16,5% dapat diperhitungkan

sebagai aliran permukaan.

Gambar 11 memperlihatkan selisih curah hujan (P) dan evapotranspirasi potensial

(PE) yang merepresentasikan kondisi neraca air di daerah penelitian. Kondisi defisit air di

DAS Citarum Hulu hanya terjadi selama 4 bulan (dari Juni sampai dengan September),

sementara untuk bulan-bulan selain itu mengalami surplus air. Rerata total surplus air

sepanjang tahun di DAS Citarum Hulu sebesar 723 mm. Dengan luas area 464.702,66 ha

maka total surplus air di DAS Citarum Hulu adalah sebesar 3.360 juta m3/tahun. Untuk

daerah Pantura, dari bulan Januari sampai dengan Maret terjadi surplus, tetapi pada bulan-

bulan lainnya daerah ini mengalami defisit air. Rerata total defisit air sepanjang tahun di

daerah Pantura sebesar -381 mm. Dengan luas area 372.460,23 ha maka total defisit air di

daerah Pantura adalah sebesar 1.419 juta m3/tahun.

Page 8: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

35

Gambar 11. Neraca Air Historis di Daerah Penelitian

Kondisi surplus air di DAS Citarum Hulu akan bermanfaat secara optimal sebagai

potensi pasokan air bagi daerah Pantura apabila pada saat yang bersamaan di daerah

Pantura justru mengalami kondisi defisit air. Pada kondisi demikian, kelebihan air hujan

dari DAS Citarum Hulu yang mengalir sebagai aliran permukaan (run off) melalui aliran

Sungai Citarum dapat dimanfaatkan oleh daerah Pantura yang secara klimatologis

mengalami defisit dan membutuhkan pasokan air dari daerah hulu. Dari Gambar 11 terlihat

bahwa kondisi ini terjadi pada bulan April-Mei dan Oktober-Desember.

Indeks Kekeringan

Seperti halnya kondisi curah hujan dan neraca air di daerah penelitian, indeks

kekeringan yang terjadi di kedua daerah yang menjadi fokus penelitian juga sangat

berbeda. Perbandingan indeks kekeringan di DAS Citarum Hulu dan daerah Pantura

disajikan pada Gambar 12 dan Tabel 9. Data indeks kekeringan pada setiap lokasi stasiun

cuaca di daerah penelitian dapat dilihat dalam Lampiran 11.

Gambar 12. Indeks Kekeringan di Daerah Penelitian

Page 9: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

36

Tabel 9. Indeks Kekeringan di Daerah Penelitian J F M A M J J A S O N D Rata2

DAS Citarum Hulu Rerata 0,0 0,0 0,0 0,0 0,3 6,2 17,5 29,7 31,5 4,1 0,0 0,0 7,4 Max 0,0 0,0 0,0 0,0 4,0 30,0 53,0 71,0 87,0 34,0 0,0 0,0 23,3 Min 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Jumlah stasiun meng-alami kekeringan 0 0 0 0

2/ 21

17/ 21

19/ 21

20/ 21

17/ 21

7/ 21 0 0

7/ 21

Daerah Pantura Rerata 0,6 0,0 0,7 8,3 26,9 58,3 74,2 88,0 79,6 58,8 20,4 11,2 35,6 Max 8,0 0,0 5,0 39,0 49,0 75,0 92,0 97,0 93,0 76,0 65,0 36,0 46,3 Min 0,0 0,0 0,0 0,0 9,0 36,0 54,0 81,0 72,0 23,0 0,0 0,0 24,3 Jumlah stasiun meng-alami kekeringan

1/ 13 0 2/

13 8/ 13

13/ 13

13/ 13

13/ 13

13/ 13

13/ 13

13/ 13

10/ 13

8/ 13

10/ 13

Rerata wilayah untuk nilai indeks kekeringan historis tahunan di DAS Citarum

Hulu terhitung sebesar 7,4% dan tergolong dalam kekeringan ringan. Secara rata-rata

tahunan, kondisi kekeringan di DAS Citarum Hulu terjadi selama 6 bulan, dengan

intensitas ringan (< 16,7%) pada bulan Mei, Juni dan Oktober serta intensitas sedang (16,7

– 33,3%) pada bulan Juli, Agustus dan September. Puncak kekeringan di DAS Citarum

Hulu terjadi pada bulan September (31,5%). Selama periode bulan November sampai

dengan April tidak ada satu pun lokasi di dalam DAS Citarum Hulu yang teridentifikasi

mengalami kekeringan. Potensi kekeringan tertinggi di DAS Citarum Hulu berada di

daerah Cicalengka (23,3%), sementara daerah Cikole sama sekali tidak pernah mengalami

kondisi kekeringan sepanjang tahun.

Kekeringan di daerah Pantura terdeteksi selama 11 bulan dengan intensitas yang

bervariasi pada setiap lokasi. Satu-satunya bulan dimana tidak satupun lokasi di daerah

Pantura teridentifikasi kekeringan adalah pada bulan Februari. Kekeringan dengan

intensitas ringan terjadi pada bulan Januari, Maret, April dan Desember sementara

kekeringan dengan intensitas sedang terjadi pada bulan Mei dan November. Selama

periode bulan Juni sampai dengan Oktober di daerah Pantura mengalami kekeringan

dengan intensitas berat (>33,3%). Puncak kekeringan terjadi di bulan Agustus dengan nilai

indeks mencapai 88,0%. Lokasi-lokasi yang berada di pesisir pantai utara (Pedes,

Pamanukan, Batujaya dan Ciasem) merupakan daerah yang mengalami kekeringan paling

berat, dengan indeks kekeringan yang mencapai nilai 40%. Semakin ke arah selatan

menjauhi pantai, semakin berkurang intensitas kekeringannya. Rerata wilayah untuk nilai

indeks kekeringan historis tahunan di daerah Pantura secara aritmatika terhitung sebesar

35,6% sehingga termasuk dalam kondisi mengalami kekeringan berat.

Secara spasial dalam Gambar 13 terlihat bahwa daerah Pantura dalam skala

tahunan mengalami kondisi kekeringan dengan kategori kekeringan berat, kecuali beberapa

Page 10: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

37

lokasi yang berada di sisi selatan daerah tersebut (Bendung Bekasi, Bendung Cikarang dan

Jatisari) dan sisi sebelah timur (Salamdarma, Leuweungsemut, Gantar dan Kroya) yang

masuk dalam kategori kekeringan sedang. Untuk DAS Citarum Hulu, sebagian besar

daerah tidak mengalami kekeringan sepanjang tahun, kecuali Cicalengka yang berada di

sisi timur yang termasuk daerah yang mengalami kekeringan sedang. Peta yang

menggambarkan distribusi spasial indeks kekeringan setiap bulan dapat dilihat pada

Lampiran 12.

Gambar 13. Peta Indeks Kekeringan Historis Tahunan di Daerah Penelitian

Neraca Air Waduk Jatiluhur Neraca air Waduk Jatiluhur diperhitungkan untuk mengetahui potensi aktual

simpanan air di Waduk Jatiluhur yang berfungsi sebagai reservoir. Kondisi neraca air

Waduk Jatiluhur dianalisis berdasarkan data total debit air yang masuk (inflow) dan total

debit air yang keluar (outflow) dari Waduk Jatiluhur selama periode tahun 2000 – 2008.

Data diperoleh dari Perum Jasa Tirta II dan disajikan dalam Tabel 10. Inflow total Waduk

Jatiluhur ini merupakan akumulasi dari aliran di Sungai Citarum yang dikeluarkan sebagai

outflow Waduk Cirata ditambah dengan inflow lokal yang berasal dari curah hujan yang

jatuh di DTA maupun langsung ke badan air Waduk Jatihur. Data inflow tahunan Waduk

Page 11: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

38

Jatiluhur dapat dilihat dalam Lampiran 13, sementara data outflow tahunan Waduk

Jatiluhur dalam Lampiran 14. Tabel 10. Neraca Air Historis Waduk Jatiluhur (dalam juta m3)

Bulan Inflow Outflow Storage Jan 405,3 379,4 25,9 Feb 466,9 315,0 151,9 Mar 483,7 299,2 184,5 Apr 592,1 415,1 177,1 Mei 447,0 416,3 30,7 Jun 334,1 448,0 -113,9 Jul 326,3 456,8 -130,5 Ags 304,9 461,6 -156,7 Sep 288,3 421,2 -132,8 Okt 331,2 437,5 -106,3 Nov 469,6 439,2 30,4 Des 604,5 455,0 149,6 Total 5.054,0 4.944,2 109,8 Max 604,5 461,6 184,5 Min 288,3 299,2 -156,7

Secara historis, neraca air Waduk Jatiluhur memiliki pola yang hampir mirip

dengan neraca air di DAS Citarum Hulu. Defisit air di Waduk Jatiluhur terjadi selama

periode bulan Juni sampai dengan Oktober (5 bulan). Inflow tertinggi terjadi pada bulan

April dan Desember (sekitar 600 juta m3), sedangkan terendah terjadi di bulan Agustus –

September (sekitar 300 juta m3). Secara total tahunan, neraca air Waduk Jatiluhur masih

menyisakan simpanan air (storage) dengan rerata sekitar 110 juta m3/tahun.

Jika mengamati nilai outflow Waduk Jatiluhur pada Tabel 10, terlihat bahwa mulai

bulan April hingga Desember, besarnya outflow yang dikeluarkan oleh Waduk Jatiluhur

berada di atas 400 Juta m3/bulan. Ini sesuai dengan pembahasan sebelumnya mengenai

kondisi defisit yang dialami oleh daerah Pantura selama periode yang sama (grafik Neraca

Air pada Gambar 11). Ini menandakan bahwa kondisi defisit air secara klimatologis yang

terjadi di daerah Pantura sudah direspon dengan tepat oleh Waduk Jatiluhur dengan cara

menambah jumlah pasokan airnya untuk berbagai kebutuhan di daerah hilir.

Gambar 14. Korelasi Curah Hujan dan Neraca Air di DAS Citarum Hulu

dengan Simpanan Air di Waduk Jatiluhur

Page 12: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

39

Gambar 14 memperlihatkan kemiripan pola antara curah hujan dan neraca air DAS

Citarum Hulu yang dihitung berdasarkan selisih P - PE dengan storage di Waduk Jatiluhur

yang dihitung berdasarkan besarnya selisih inflow dan outflow waduk tersebut. Pada

Gambar 14 terlihat bahwa simpanan air di Waduk Jatiluhur sangat terpengaruh oleh

kondisi curah hujan dan neraca air di DAS Citarum Hulu.

Neraca Air Sungai Citarum Berdasarkan data Neraca Air Sungai Citarum dari PJT-II dalam Tabel 11, rerata

historis tahunan inflow Sungai Citarum yang tertampung di Waduk Jatiluhur sebanyak

5.054,0 juta m3. Dari jumlah tersebut, sebanyak 4.944,2 juta m3 dikeluarkan sebagai

outflow dan dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, terutama untuk irigasi, domestik dan

industri. Rata-rata kebutuhan air untuk irigasi setiap tahunnya mencapai 5.519,6 juta m3.

Ini berarti jika hanya mengandalkan sumber air dari aliran Sungai Citarum maka

kebutuhan air irigasi tersebut jelas tidak akan tercukupi. Belum lagi untuk kebutuhan yang

lainnya. Oleh karena itu pasokan air untuk memenuhi kebutuhan di daerah hilir harus

ditambah dengan inflow dari beberapa sungai lain yang mengalir masuk ke Saluran Tarum

(S.Cipunagara, S.Ciasem dan S.Ciherang di Saluran Tarum Timur; serta S.Cibeet,

S.Cikarang dan S.Bekasi di Saluran Tarum Barat). Rerata historis tahunan inflow sumber

lokal tersebut sekitar 4.894,5 juta m3. Tabel 11. Neraca Air Sungai Citarum

Sumber : PJT II

Kebutuhan Air di Daerah Irigasi Jatiluhur

Hasil perhitungan kebutuhan air di daerah irigasi Jatiluhur yang dirinci untuk setiap

Musim Tanam (MT) dan masing-masing blok tersaji dalam Tabel 12, sedangkan untuk

hasil perhitungan secara lebih detil dapat dilihat dalam Lampiran 15. Kebutuhan air

tanaman (ETc) dan curah hujan efektif (RE) dihitung dengan bantuan program CropWat

for Windows versi 8.0, sementara besarnya perkolasi (P) dan kebutuhan air selama

Page 13: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

40

pengolahan tanah (Pd) dihitung berdasarkan tetapan nilai P dan Pd di daerah irigasi

Jatiluhur yang tercantum di dalam SK Direksi PJT-II Nomor:1/420/KPTSA/ 2010 (Tabel 4

dan 5 pada halaman 24).

Tabel 12. Kebutuhan Air di Daerah Irigasi Jatiluhur

Selama periode MT Rendeng yang memakan waktu 135 hari, tanaman padi

membutuhkan konsumsi air sebanyak 1.861,2 juta m3, sementara selama periode MT Gadu

yang memakan waktu lebih singkat 15 hari daripada MT Rendeng, jumlah air yang

dibutuhkan oleh tanaman padi sebanyak 1.697,5 juta m3. Pada periode MT Palawija yang

hanya memakan waktu 60 hari, jumlah air yang dibutuhkan oleh ketiga jenis komoditi

palawija yang ditanam yaitu jagung, kacang-kacangan dan cabai sebanyak 108,7 juta m3.

Secara total, volume jumlah kebutuhan air tanaman selama satu tahun di daerah irigasi

Jatiluhur sebanyak 3.667,3 juta m3.

Selain karena umur tanaman pada MT Rendeng yang lebih panjang, kebutuhan air

tanaman (ETc) pada MT Rendeng yang lebih tinggi dibandingkan MT Gadu juga

disebabkan karena nilai ETc hariannya yang lebih tinggi. Sebagai contoh (dalam Lampiran

15), nilai ETc harian pada lokasi golongan (blok) I saat MT Rendeng adalah sekitar 5,77

mm/hari saat fase awal tanam (initial stage), 5,84 mm/hari saat fase pertumbuhan

(development stage), 5,81 mm/hari saat fase pembungaan (mid-season stage) dan 4,52

mm/hari saat fase pematangan (late season stage). Pada MT Gadu untuk lokasi golongan

(blok) yang sama dan dengan urutan fase yang sama, berturut-turut nilai ETc hariannya

adalah 4,38 mm/hari, 4,52 mm/hari, 5,47 mm/hari dan 5,95 mm/hari.

Nilai ETc merupakan hasil perkalian antara nilai koefisien tanaman (Kc) dengan

nilai evapotranspirasi potensial yang dijadikan sebagai acuan (ET0). Besarnya nilai

koefisien tanaman (Kc) yang digunakan dalam perhitungan adalah sama untuk MT

Page 14: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

41

Rendeng maupun MT Gadu (mengacu dari Tabel 4 pada halaman 24). Dengan demikian,

perbedaan nilai ETc ditentukan oleh perbedaan besarnya nilai ET0 pada periode MT

Rendeng maupun MT Gadu. Nilai ET0 bulanan di daerah Pantura yang dihitung

berdasarkan metode Penman-Monteith dengan program CropWat for Windows versi 8.0.

disajikan dalam Tabel 13. Nilai ET0 harian pada Tabel 13 selama periode MT Rendeng

(Oktober – April) lebih tinggi dibandingkan pada MT Gadu (Maret – Agustus) sehingga

nilai ETc selama MT Rendeng juga lebih tinggi dibandingkan MT Gadu.

Tabel 13. Nilai Evapotranspirasi Potensial (ETo) Bulanan di Daerah Pantura

Bulan

Suhu Udara Min. (°C)

Suhu Udara Max. (°C)

Kelembaban Udara (%)

Kecepatan Angin

(m/detik)

Lama Penyinaran Matahari

(jam)

Radiasi (MJ/m²/hari)

ETo (mm/hari)

Januari 23,2 28,8 78 1,6 3,5 15,1 3,54 Februari 23,1 29,6 80 1,5 5,9 19 4,08 Maret 23,2 31,6 73 1,6 6 18,9 4,4 April 23,8 32 69 1,6 5,6 17,2 4,23 Mei 24,9 32,3 67 1,7 9,1 20,7 4,82 Juni 24,1 31,7 72 1,6 8,8 19,4 4,34 Juli 22,7 31,4 73 1,6 8,6 19,5 4,25 Agustus 23,3 32,5 68 1,7 9,6 22,4 5,02 September 24 33,4 67 1,7 9,9 24,4 5,63 Oktober 22,1 32,1 63 1,7 9,4 24,3 5,57 November 24,6 31,6 69 1,6 5,8 18,6 4,55 Desember 23,9 30,5 73 1,6 6,7 19,9 4,56 Rata-rata 23,6 31,5 71 1,6 7,4 19,9 4,58

Jumlah air yang hilang akibat proses perkolasi di daerah irigasi Jatiluhur adalah

sebanyak 1.791,6 juta m3/tahun, yang terdistribusi sebanyak 896,3 juta m3 hilang saat MT

padi rendeng, kemudian sebanyak 809,2 juta m3 hilang saat MT padi gadu dan 86,1 juta m3

saat MT palawija. Jumlah air yang dibutuhkan untuk pengolahan tanah terhitung sebanyak

721,9 juta m3/tahun, dengan perincian sebanyak 336,1 juta m3 digunakan saat MT padi

rendeng, kemudian sebanyak 325,6 juta m3 dibutuhkan saat MT padi gadu dan 60,1 juta m3

terpakai saat MT palawija.

Jumlah curah hujan efektif di daerah irigasi Jatiluhur selama satu tahun sebesar

2.629,8 juta m3, yaitu sebanyak 1.963,4 juta m3 selama MT padi rendeng, sebanyak 653,6

juta m3 selama MT padi gadu dan 12,8 juta m3 selama MT palawija. Sejalan dengan

kondisi tersebut, jumlah air irigasi yang dibutuhkan untuk lahan pertanian di daerah irigasi

Jatiluhur saat MT padi rendeng hanya sebesar 1.376,9 juta m3, kemudian meningkat

menjadi 2.178,7 juta m3 selama MT padi gadu dan sebanyak 242,0 juta m3 selama MT

palawija. Total jumlah air irigasi yang dibutuhkan untuk mengairi seluruh lahan pertanian

di daerah irigasi Jatiluhur adalah sebanyak 3.797,7 juta m3/tahun.

Page 15: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

42

Siklus kebutuhan air di daerah irigasi Jatiluhur secara temporal dalam setahun

dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Kebutuhan Air di Daerah Irigasi Jatiluhur

Pada Gambar 15 terlihat bahwa tanaman padi banyak membutuhkan air, terutama

saat memasuki fase mid-season. Fase ini terjadi pada dekade ketiga bulan Desember saat

MT padi rendeng dan pada dekade ketiga bulan Mei saat MT padi gadu. Tanaman jagung,

kacang-kacangan dan cabai yang ditanam saat MT palawija pada bulan Juli dan Agustus

tidak membutuhkan terlalu banyak air. Selain karena luas areal tanamnya yang relatif kecil,

jenis tanaman palawija juga memiliki nilai koefisien tanaman (Kc) yang lebih rendah

dibandingkan tanaman padi.

Dari Gambar 15 juga diketahui bahwa memasuki periode dekade kedua bulan

Maret hingga dekade pertama bulan Agustus, kebutuhan air irigasi (IR) di daerah irigasi

Jatiluhur mencapai nilai >100 juta m3/dekade guna mengimbangi menurunnya jumlah

curah hujan efektif (RE) di daerah Pantura pada periode ini. Pada bulan Januari dan

Februari lahan irigasi Jatiluhur tidak membutuhkan pasokan air irigasi karena masih

tercukupi dengan tingginya curah hujan di daerah Pantura, sedangkan pada bulan

September air irigasi juga tidak diperlukan karena PJT-II menetapkan bahwa selama bulan

September merupakan masa pengeringan jaringan irigasi sehingga tidak ada lahan yang

ditanami dan diberikan pasokan air irigasi pada bulan tersebut.

Penetapan bulan September sebagai masa pengeringan jaringan irigasi juga dinilai

sudah sangat tepat jika ditinjau dari tujuan penghematan dan efisiensi pemberian air irigasi,

karena berdasarkan nilai ET0 pada Tabel 13 juga menunjukkan bahwa bulan September

Page 16: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

43

merupakan bulan yang paling tinggi nilai ET0-nya. Jika pada bulan September dijadwalkan

untuk memberikan pasokan air irigasi, dengan asumsi luasan dan periode MT yang sama

maka besarnya kebutuhan irigasi pada bulan September merupakan yang tertinggi

dibandingkan bulan-bulan lainnya.

Penentuan Daerah Prioritas Pemberian Air Irigasi Seperti sudah dibahas sebelumnya bahwa identifikasi daerah yang dinilai perlu

mendapat prioritas untuk diberi pasokan air irigasi dianalisis berdasarkan kondisi hidro-

klimatologinya semata, dengan mempertimbangkan faktor curah hujan dan potensi

kekeringan yang terjadi di daerah tersebut. Identifikasi potensi hidro-klimatologi pada

lahan irigasi Jatiluhur di wilayah Pantura diperoleh dari hasil analisis Sistem Informasi

Geografi (SIG) melalui proses tumpangsusun antara peta isohyet (Gambar 9), peta selisih

curah hujan dan potensial evapotranspirasi (Gambar 10) dan peta indeks kekeringan

(Gambar 13). Hasil analisis spasial dengan bantuan program ArcView versi 3.3 ini

memberikan keluaran berupa Peta Prioritas Pemberian Air Irigasi Pada Blok Sawah di

Daerah Irigasi Jatiluhur, seperti tergambar dalam Gambar 16.

Penyusunan prioritas dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berkebalikan.

Daerah yang secara hidro-klimatologis dapat dikatakan kering, bisa berstatus prioritas

pertama untuk diberi pasokan air irigasi jika ketersediaan pasokan air dari Waduk Jatiluhur

tercukupi atau minimal kondisi iklimnya normal hingga cenderung basah. Sebaliknya pada

saat kondisi iklim ekstrim kering sehingga ketersediaan pasokan air dari Waduk Jatiluhur

terbatas atau justru mengalami kekurangan air, daerah yang secara hidro-klimatologis

kering tersebut dapat menjadi prioritas terakhir dengan mempertimbangkan untuk

dikondisikan bera (tidak diari dan tidak digarap).

Pada prakteknya, PJT-II tidak pernah mengkondisikan suatu lahan sawah di daerah

irigasi Jatiluhur dalam kondisi bera dengan alasan seperti di atas, bagaimanapun

terbatasnya pasokan air irigasi yang ada. Adapun lahan sawah yang tidak diari biasanya

karena dari awal diketahui sudah berubah fungsi tidak menjadi lahan sawah lagi pada saat

perencanaan musim tanam yang akan dilakukan. Dengan alasan ini, maka prioritas yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah makna prioritas dalam skenario pertama, yaitu

mengutamakan prioritas pemberian pasokan air irigasi bagi lahan sawah pada daerah yang

secara hidro-klimatologis tergolong kering.

Page 17: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

44

Gambar 16. Peta Prioritas Pemberian Air Irigasi Pada Blok Sawah di DI Jatiluhur

Lahan sawah di sekitar Pamanukan dan Bendung Walahar merupakan daerah yang

perlu mendapat prioritas pertama (prioritas I) untuk memperoleh pasokan air irigasi

dibandingkan daerah-daerah lainnya. Rendahnya curah hujan di kedua daerah tersebut

dibandingkan daerah lainnya merupakan faktor penyebabnya. Prioritas selanjutnya

(prioritas II) adalah hampir seluruh lahan sawah yang berada di Kabupaten Karawang

(kecuali di bagian tenggara, sekitar daerah Jatisari) dan lahan sawah yang berada pada

bagian tengah Kabupaten Subang dan sebelah barat laut Kabupaten Indramayu. Lahan

sawah di Kabupaten Bekasi terbilang relatif lebih sedikit membutuhkan pasokan air irigasi

dibandingkan lahan sawah di kabupaten lainnya (prioritas III – V). Sementara lahan-lahan

sawah yang berada di dekat Saluran Tarum Timur dan Barat justru merupakan daerah

prioritas terakhir (prioritas V) untuk diberikan pasokan air irigasi.

Jika dibandingkan dengan realitas jadwal pemberian air irigasi yang selama ini

sudah dipraktekkan oleh PJT II, hasil analisis ini sangat bertolak belakang. Pola pemberian

air irigasi yang dipraktekkan oleh PJT II selama ini adalah mendahulukan pemberian air

irigasi pada blok-blok sawah di sekitar Saluran Tarum (lihat kembali Peta Daerah Irigasi

Jatiluhur pada Gambar 2). Pada peta dalam Gambar 2 tersebut, semakin jauh jaraknya dari

Saluran Tarum (semakin ke arah utara), jadwal irigasinya diberikan yang paling

belakangan. Berkebalikan dengan pola tersebut, hasil analisis justru menilai bahwa daerah

Page 18: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

45

yang berada di sebelah utara cenderung perlu didahulukan, sesuai dengan pola klimatologis

di wilayah Pantura yang semakin berkurang curah hujannya ke arah pesisir.

Evaluasi Pengelolaan Air Irigasi dan Pola Tanam Nilai efisiensi pengaliran di daerah irigasi Jatiluhur dapat diperkirakan dengan

diketahuinya rerata jumlah volume air dari Waduk Jatiluhur ditambah dengan sumber lokal

yang dialokasikan oleh PJT-II untuk memenuhi pasokan air irigasi, dengan besarnya

kebutuhan air irigasi pada seluruh lahan sawah di daerah irigasi Jatiluhur (insitu) dari hasil

perhitungan. Dengan mengasumsikan total volume air yang dimanfaatkan untuk irigasi

dari Neraca Air Sungai Citarum pada Tabel 11 yang besarnya 5.519,6 Juta m3/tahun

sebagai parameter jumlah air yang tersedia (Wr) dan hasil perhitungan kebutuhan air

irigasi pada lahan pertanian irigasi Jatiluhur dari Tabel 12 yang terhitung sebesar 3.797,7

Juta m3/tahun dianggap sebagai parameter jumlah air yang sampai di areal pertanian (Wf),

maka besarnya nilai efisiensi pengaliran di daerah irigasi Jatiluhur adalah sekitar :

Ec = (Wf / Wr) x 100%

= (3.797,7 Juta m3 / 5.519,6 Juta m3) x 100%

= 68,8%.

Hasil perhitungan efisiensi penyaluran irigasi Jatiluhur yang memberikan nilai

efisiensi sebesar 68,8% tergolong dalam kategori kondisi saluran irigasi yang baik menurut

kriteria Brouwer et al (1990, dalam Soehadi, 2005). Dengan nilai efisiensi penyaluran

irigasi sebesar 68,8% tersebut, berarti ada volume air yang hilang selama perjalanan dari

Waduk Jatiluhur menuju area irigasi sekitar 31,2%, suatu angka yang masih dalam batas

kewajaran. Kehilangan air selama penyaluran dapat disebabkan karena kebocoran yang

disebabkan karena kerusakan fisik saluran irigasi itu sendiri, ataupun karena terjadinya

pencurian air oleh masyarakat yang berada di luar daerah irigasi Jatiluhur yang ingin turut

memanfaatkan air irigasi bagi lahan pertaniannya.

Praktek pola tanam berupa Padi – Padi – Palawija yang diterapkan pada lahan

pertanian irigasi Waduk Jatiluhur di wilayah Pantura dinilai sudah sesuai dengan kondisi

klimatologis daerah tersebut. Jika memperhatikan kondisi curah hujan pada Gambar 8 dan

kondisi neraca air lahan pada Gambar 11, kondisi defisit air di daerah Pantura yang terjadi

pada periode bulan Juni hingga September telah diantisipasi oleh para petani dengan hanya

menanam palawija yang secara kebutuhan air pun tidak terlalu membutuhkan air sebanyak

tanaman padi. Penanaman palawija dilakukan pada area yang tidak terlalu luas dan sifatnya

insidental, sambil menunggu musim hujan tiba. Dengan demikian, pada saat puncak musim

Page 19: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

46

kemarau di daerah Pantura, kebutuhan pasokan air irigasi juga tidak terlalu besar

jumlahnya.

Pemilihan waktu dimulainya MT yang saat ini diterapkan di daerah pertanian

irigasi Waduk Jatiluhur juga dinilai sudah sangat tepat. Penulis telah mencoba membuat

simulasi sebagai perbandingan dengan menggeser waktu dimulainya MT menjadi sebulan

lebih awal dan sebulan lebih lambat daripada jadwal MT yang sudah ada. Dari hasil kedua

simulasi tersebut, nilai kebutuhan air tanaman maupun kebutuhan air irigasinya ternyata

lebih besar dibandingkan kebutuhan air berdasarkan jadwal MT yang sudah biasa

diterapkan saat ini.

Dalam simulasi dengan skenario seluruh jadwal MT dimajukan 1 bulan lebih awal,

jadwal dimulainya MT Padi Rendeng berubah menjadi tanggal 1 September, MT Padi

Gadu menjadi tanggal 1 Februari dan MT Palawija menjadi tanggal 1 Juni. Dengan

skenario seperti ini sebetulnya diharapkan pada saat puncak kekeringan di wilayah Pantura

yang terjadi di bulan Agustus, seluruh jadwal tanam di lahan irigasi Jatiluhur sudah selesai.

Pemberian air irigasi dapat dihentikan dan selama satu bulan penuh di bulan Agustus

ditetapkan sebagai periode pengeringan jaringan irigasi. Dari hasil simulasi, kebutuhan air

irigasi selama MT Padi Gadu dan Palawija memang dapat ditekan jumlahnya, namun

kebutuhan air selama MT Padi Rendeng justru bertambah. Fase awal musim tanam banyak

membutuhkan air, sementara bulan September masih merupakan periode musim kemarau

di daerah Pantura, sehingga curah hujan efektifnya tidak mampu menutupi kebutuhan air

bagi lahan pertanian di daerah tersebut.

Tabel 14. Hasil Simulasi Kebutuhan Air di DI Jatiluhur Dengan Skenario Jadwal MT Maju 1 Bulan

Hasil perhitungan kebutuhan air menurut skenario ini tersaji dalam Tabel 14. Total

jumlah kebutuhan air irigasi di lahan irigasi Jatiluhur dalam setahun adalah sebanyak

Page 20: HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53258/6/BAB IV Hasil... · Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan

47

3.889,6 juta m3/tahun atau lebih banyak 91,9 Juta m3/tahun dibandingkan jumlah

kebutuhan air irigasi dengan jadwal yang saat ini dilakukan.

Skenario kedua yaitu memundurkan seluruh jadwal MT menjadi 1 bulan lebih

lambat, yang berarti jadwal dimulainya MT Padi Rendeng berubah menjadi tanggal 1

November, MT Padi Gadu menjadi tanggal 1 April dan MT Palawija menjadi tanggal 1

Agustus. Dengan skenario seperti ini total jumlah air irigasi yang dibutuhkan selama satu

tahun jauh lebih besar lagi, yaitu sebanyak 3.972,9 juta m3/tahun atau lebih banyak 175,2

juta m3/tahun dibandingkan jumlah kebutuhan air irigasi dengan jadwal yang saat ini

dilakukan. Hasil perhitungan kebutuhan air dengan simulasi menggunakan skenario kedua

tersaji dalam Tabel 15.

Tabel 15. Hasil Simulasi Kebutuhan Air di DI Jatiluhur Dengan Skenario Jadwal MT Mundur 1 Bulan