hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id · pasang yang melimpas suatu lahan tidak selalu berupa...
TRANSCRIPT
69
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak
Kesesuaian lahan untuk budidaya tambak di wilayah pesisir Kabupaten
Kutai Timur diperoleh dari hasil analisis terhadap parameter-parameter: jenis
tanah, tekstur tanah, curah hujan, topografi, kemiringan lahan, penggunaan lahan,
jarak dari sungai, dan jarak dari pantai.
Rata-rata wilayah pesisir di Kabupaten Kutai Timur memiliki kelerengan
<2 %, kecuali di Kecamatan Kaliorang, Sandaran, dan sebagian Kecamatan
Sangkulirang, sehingga air pasang dari laut dapat masuk hingga beberapa
kilometer ke darat melalui sungai-sungai yang landai.
Agar usaha pertambakan dapat berjalan secara berkelanjutan, dikaitkan
dengan tujuan perlindungan seperti tertuang dalam Keppres No. 32 Tahun 1990
tentang pengelolaan kawasan lindung, dengan mempertimbangkan pasang surut
(tidal range) antara 0,3-2,5 meter (tunggang pasang 2,2 m), maka kawasan pantai
selebar 260 m (dibula tkan menjadi 300 m) dari garis pantai ke arah darat tidak
dialokasikan sebagai kawasan pertambakan. Kawasan ini dijadikan sebagai
kawasan sempadan pantai (green belt). Demikian juga dengan kawasan selebar
100 m di kiri dan kanan sungai dialokasikan sebagai kawasan sempadan sungai.
Jenis tanah yang terdapat di wilayah penelitian adalah marin (marine
group) dan kubah gambut (peat domes group). Tanah jenis marin merupakan
dataran pasang surut di sepanjang pesisir, dengan kelerengan <3 % (landai),
bervegetasi mangrove, dan bersedimen halus.
Tanah marin di wilayah penelitian terdiri dari jenis tanah fluvaquents,
tropaquepts, hydraquents, dan dystropepts. Tanah hydraquents, yang banyak
terdapat di Kecamatan Sangatta dan Bengalon, merupakan jenis tanah yang masih
mentah/ berlumpur, sehingga akan menyulitkan dalam pembuatan konstruksi
tambak. Oleh karena itu tanah ini harus dikeringkan terlebih dahulu. Jika tanah
tersebut mengandung bahan sulfidik, maka akan terjadi proses oksidasi
berkepanjangan pada saat penggalian tambak sehingga membentuk pirit.
Simpson dan Pedini (1985) diacu dalam Hardjowigeno (2001)
mengemukakan bahwa penyebab utama rendahnya hasil udang dan ikan pada
70
sejumlah lahan pantai adalah adanya pirit (FeS2). Senyawa ini bila dalam keadaan
kering akan teroksidasi menjadi asam sulfat yang sangat masam. Beberapa tambak
yang dibangun di tanah yang kaya pirit di Sulawesi Selatan menunjukkan
penurunan pH tanah dari 7 menjadi 4 dalam waktu kurang dari 12 jam (Poernomo,
1992 dalam Hardjowigeno, 2001).
Budidaya tambak tidak bisa dilepaskan dari pasokan air asin secara
kontinyu, oleh karena itu kedekatan lokasi pertambakan dari pantai akan menjadi
pertimbangan utama. Semakin dekat lokasi pertambakan dari pantai, akan
semakin mudah dalam pengambilan air laut, sehingga biaya yang dikeluarkan
untuk memasok air laut ke tambak menjadi lebih murah. Faktor kedekatan lokasi
dari sungai untuk menjamin pasokan air tawar, juga akan membantu kelancaran
budidaya pertambakan.
Amplitudo pasang surut merupakan faktor yang paling berpengaruh untuk
pasokan air ke tambak. Yang penting diperhatikan bagi usaha pertambakan adalah
rata-rata tinggi air pasang dan rata-rata tinggi air surut. Kedua rata-rata tersebut
diperlukan untuk menetapkan apakah daerah yang dinilai masih berada dalam
batas-batas air pasang surut atau sudah berada di luarnya. Perlu dicatat bahwa air
pasang yang melimpas suatu lahan tidak selalu berupa air asin atau payau tetapi
dapat juga berupa air tawar yang berasal dari sungai yang tertahan oleh pasang air
laut (Hardjowigeno, 2001).
Fluktuasi pasang surut air laut yang dianggap memenuhi syarat pembuatan
tambak antara 2-3 m, atau paling tidak 1,5-2,5 m (Samun et al 1984 dalam Fadlan,
2003). Tambak yang terletak pada daerah dengan pasang surut yang besar,
membutuhkan pematang dan tanggul yang tinggi dengan biaya pembuatan yang
mahal. Sebaliknya, fluktuasi pasang surut <1 m, meyebabkan daya jangkau air
terlalu pendek sehingga proses pengisian dan pengeringan air tidak dapat
dilakukan dengan baik kecuali dengan batuan pompa. Tunggang pasang (tidal
range) air laut di pesisir Kabupaten Kutai Timur adalah ± 2,2 meter, sehingga
masih dalam kisaran layak untuk budidaya tambak.
Topografi dan ketinggian tempat dari permukaan air laut (elevasi)
merupakan faktor lain yang perlu diperhatikan pada pembuatan tambak. Tambak
memerlukan daerah datar dan masih dapat digenangi langsung oleh pasang surut
71
air asin atau payau. Ketinggian seluruh tempat itu tidak boleh melebihi tinggi
permukaan air pasang tertinggi, karena tambak akan sulit dialiri, dan juga tidak
boleh lebih rendah daripada tinggi permukaan air surut terrendah, sekalipun masih
dekat pantai, karena tambak akan mengalami banjir permanen (Hardjowigeno,
2001; Afrianto dan Liviawati, 1991).
Tanah yang bergelombang sebaiknya dihindarkan karena akan
memerlukan biaya tinggi untuk penggalian dan perataan tanah. Penggalian tanah
yang banyak dan dalam menyebabkan lapisan tanah yang subur akan terbuang
(Poernomo, 1992).
Iklim berkaitan dengan pengeringan dasar tambak secara berkala dengan
tujuan untuk memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan mineralisasi bahan
organik, dan menghilangkan bahan-bahan beracun seperti H2S, amoniak, serta
metan. Karena itu diperlukan adanya bulan-bulan kering tertentu pada setiap
tahun. Curah hujan tinggi sepanjang tahun tanpa bulan kering kurang cocok untuk
tambak. Hujan terus-menerus sepanjang hari selama beberapa minggu akan
menurunkan suhu air tambak. Sebaliknya, curah hujan yang terlalu rendah dan
bulan kering yang terlalu panjang juga kurang baik untuk daerah pertambakan.
Curah hujan antara 2.000-3.000 mm/th dengan bulan kering 2-3 bulan cukup baik
digunakan untuk tambak (Soeseno, 1988 dalam Hardjowigeno, 2001).
Pada saat ini wilayah pesisir di Kabupaten Kutai Timur yang eksisting
digunakan untuk budidaya tambak adalah sekitar muara Sungai Sangatta, Teluk
Lombok, muara Sungai Kenyamukan, muara Sungai Sangkima, dan muara Sungai
Bengalon. Kondisi sesuai dengan hasil analisis spasial kesesuaian lahan tambak,
yang menunjukkan bahwa daerah tersebut memang sesuai untuk pengembangan
budidaya tambak.
Menurut hasil analisis spasial, potensi wilayah pesisir Kabupaten Kutai
Timur yang sesuai untuk pengembangan budidaya tambak adalah sebagaimana
disajikan dalam Gambar 5.
Luas areal berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan
budidaya tambak dapat dilihat pada Tabel 11.
72
Tabel 11. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Tambak di Pesisir Kabupaten Kutai Timur
No. Kesesuaian Lahan Luas (Ha)
1 Sangat Sesuai 2.572,220
2 Sesuai 7.154,573
Sumber: hasil analisis spasial
Hasil analisis spasial menunjukkan penyebaran kelas lahan untuk budidaya
tambak adalah sebagai berikut:
(i) Lokasi yang termasuk dalam kelas sangat sesuai (S1) seluas 2.572,220
ha, tersebar di pesisir Muara Sangkima, Teluk Lombok, Muara Sangatta, Muara
Bengalon, Tanjung Manis dan yang luas adalah daerah Sempayau, Rapak, Mandu,
dan Benua Baru di Teluk Sangkulirang.
(ii) Lokasi yang termasuk dalam kelas sesuai (S2) seluas 7.154,573 ha,
tersebar di sepanjang pesisir Kecamatan Sangatta, Bengalon, Kaliorang dan
Sangkulirang dengan jarak ke darat sejauh batas wilayah penelitian.
Kawasan sangat sesuai (S1) dicirikan dengan tidak adanya faktor
pembatas yang berarti jika lahan tersebut dikembangkan untuk tambak secara
berkelanjutan. Dalam jangka panjang produktivitas lahan pada lokasi ini tidak
akan menurun secara nyata. Dari 2.572,220 ha lahan tambak yang sangat sesuai
tersebut, yang sudah dibuka menjadi tambak baru sekitar 841 ha, dan hanya
sekitar 280 ha yang sudah produktif (Statistik Dinas Perikanan Kelautan, 2005).
Kawasan sesuai (S2) dicirikan dengan dijumpainya faktor pembatas yang
cukup berarti untuk mempertahankan pengelolaan tambak secara berkelanjutan.
Pembatas tersebut akan mengurangai produksi dan keuntungan yang diperoleh
karena adanya penambahan masukan untuk mengusahakan lahan tersebut. Sebagai
pembatas pada kawasan ini adalah: (i) sebagian wilayah berada pada tanah yang
bersifat asam, sehingga diperlukan biaya untuk pengolahan tanah, (ii) lahan
terletak pada kebun, tegalan dan persawahan, sehingga akan menambah biaya
untuk pembebasan lahan bila dikonversi menjadi tambak, (iii) jarak yang cukup
jauh dari pantai dan sungai, sehingga memerlukan tambahan biaya untuk pasokan
air asin dan air tawar.
73
Gambar 5. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur
74
Lahan tambak yang sesuai S1 maupun S2 di sekitar muara Sungai Sangatta
mempunyai ancaman yang cukup berat bagi keberlanjutan usaha budidaya tambak
tersebut, karena di sepanjang DAS Sungai Sangatta terdapat banyak industri dan
permukiman, baik industri yang berskala besar, seperti pertambangan PT KPC,
maupun industri yang berskala kecil, seperti usaha penggergajian kayu (sawmill),
moulding, bengkel, pasar, dan home industri lainnya. Industri dan rumah tangga ini,
seperti yang sudah umum terjadi di Kalimantan, membuang limbahnya ke sungai.
Sehingga ancaman pencemaran oleh limbah anthropogenik sangat mungkin terjadi.
Bahaya pencemaran ini dapat mengakibatkan serangan penyakit dan kegagalan
panen.
Demikian juga lahan-lahan tambak di sekitar Sungai Sangkima dan Teluk
Kabba perlu diperhatikan pembukaannya, agar tidak mengkonversi hutan mangrove
yang ada di sekitarnya. Hutan mangrove di wilayah ini termasuk dalam kawasan
Taman Nasional Kutai (TNK) yang mempunyai fungsi konservasi, sehingga
mengkonversi hutan mangrove ini dapat berpengaruh pada keberlanjutan usaha-usaha
lainnya yang memanfaatkan sumberdaya alam,
Salah satu alternatif dalam memanfaatkan kawasan di sekitar hutan mangrove
untuk tambak agar berkelanjutan adalah dengan menggunakan sistem mina hutan
(silvofishery). Penerapan mina hutan dikawasan ekosistem hutan mangrove
diharapkan dapat tetap memberikan lapangan kerja bagi petani disekitar kawasan
tanpa merusak hutan itu sendiri dan adanya pemerataan luas lahan bagi masyarakat.
Harapan ini dapat terwujud dengan catatan tidak ada pemilik modal yang menguasai
lahan secara berlebihan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, harus ada ikatan
perjanjian antara pengelola tambak dan Dinas Kehutanan, yang antara lain berisi
kewajiban bagi pengelola tambak untuk menjaga kelestarian hutan serta sanksi bagi
pengelola tambak mengingkari kewajibannya. Berdasarkan pengalaman ketentuan
yang harus dipenuhi oleh pengelola tambak antara lain menjaga perbandingan hutan
dan tambak sebesar 80% hutan dan 20% tambak.
Dengan pengembangan mina hutan secara lebih tertata dan perbandingan
antara hutan dan tambak sebesar 80% : 20%, diharapkan dapat meningkatkan
75
produksi per satuan luas dan hasil tangkapan udang liar. Harapan tersebut didasarkan
pada asumsi bahwa hutan disekitar kolam yang lebih baik akan meningkatkan
kesuburan kolam dengan banyaknya detritus, yang secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap produksi. Di samping itu, hutan yang lebih baik akan menjadi
tempat mengasuh anak yang cukup bagi udang, melindungi udang dari suhu yang
tinggi dan menyediakan makanan yang lebih banyak bagi udang dan ikan.
Untuk kondisi tanah tambak di Kabupaten Kutai Timur yang cenderung asam
dan dan salinitas air tambak yang tinggi karena tingginya evaporasi air tambak,
komoditas yang cukup baik dikembangkan adalah kepiting bakau (Scylla serrata).
Kepiting bakau sangat memungkinkan dikembangkan dengan model mina hutan
karena habitatnya secara alami adalah hutan bakau.
S. serrata merupakan jenis kepiting yang paling popular sebagai bahan
makanan dan mempunyai harga yang cukup mahal (bernilai ekonomis tinggi). Dalam
pemenuhan kebutuhan pasar masih dilakukan dengan cara penangkapan di alam.
Harga kepiting bakau untuk keperluan ekspor relatif tinggi, sehingga mempunyai
prospek yang baik untuk dikembangkan. Hasil statistik perikanan Indonesia tahun
1990/1999 menunjukkan, rajungan dan kepiting merupakan komoditas ekspor yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi setelah udang dan ikan. Nilai ekspor
kepiting/rajungan pada tahun 1999 mencapai 54 juta dollar AS.
Budidaya tambak dengan komoditas S. Serrata ini diharapkan lebih
menguntungkan bagi petani karena tidak memerlukan biaya yang tinggi untuk input
teknologi, dan benih masih banyak tersedia di alam sehingga tidak perlu
mendatangkan dari luar daerah. Selain itu secara lokal, istri-istri nelayan di Desa
Sangkima juga sudah memanfaatkan daging kepiting untuk pembuatan kerupuk
kepiting
Kesesuaian Lahan Budidaya Karamba Sistem Jaring Tancap (Fixed net cage)
Kesesuaian lahan untuk budidaya karamba di wilayah pesisir Kabupaten Kutai
Timur diperoleh dari hasil analisis terhadap parameter: keterlindungan perairan,
76
tinggi gelombang, kecepatan arus, kedalaman perairan, material dasar perairan, dan
tingginya tingkat pencemaran. Pengambilan data hidro-oseanografi untuk analisis kesesuaian lahan karamba
ini dilakukan pada musim angin peralihan (bulan Oktober-Desember), dimana
kondisi gelombang tinggi dan arah arus tidak menentu. Oleh karena itu potensi
kesesuaian lahan untuk karamba yang dianalisis pada penelitian ini merupakan
potensi untuk musim pancaroba. Pada musim yang lain (musim selatan dan utara)
kondisi kesesuaian lahan ini mungkin dapat berbeda, karena kondisi hidro-
oseanografinya juga berbeda. Namun pada penelitian ini perbedaan tersebut tidak
dibahas karena tidak mengambil data pada musim selatan dan musim utara.
Budidaya karamba yang sudah dilakukan di pesisir Kabupaten Kutai Timur
adalah budidaya karamba sistem Fixed net cage. Jaring tancap (Fixed net cage)
adalah sistem teknologi budidaya dalam wadah berupa jaring yang diikatkan pada
patok yang menancap ke dasar perairan (Effendi, 2004). Kepadatan organisme
budidaya dalam sistem ini relatif rendah, karena terletak pada perairan yang
dangkal sehingga kualitas lingkungan dalam sistem ini kurang baik dibanding
karamba jaring apung. Beberapa komoditas yang potensial dipelihara dalam
sistem ini adalah lobster, teripang dan ikan kerapu.
Menurut hasil analisis spasial, potensi wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur
yang sesuai untuk pengembangan budidaya karamba adalah sebagaimana disajikan
dalam Gambar 6. Luas areal berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk
pengembangan budidaya karamba dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Karamba di Pesisir Kabupaten Kutai Timur
No. Kesesuaian Lahan Luas (ha)
1 Sangat Sesuai 804,259
2 Sesuai 3.155,090
Sumber: hasil analisis spasial
77
Hasil analisis spasial menunjukkan penyebaran kelas lahan untuk budidaya
karamba adalah sebagai berikut: (i) Lokasi yang termasuk dalam kelas sangat sesuai (S1) seluas 804,259 ha,
berada di Kecamatan Kaliorang dan Sangkulirang, yaitu perairan Pulau Miang
Besar dan Miang Kecil, Bual-bual, Teluk Kaliorang dan Sempayau.
(ii) Lokasi yang termasuk dalam kelas sesuai (S2) seluas 3.155,090 ha, tersebar di
sepanjang pesisir Teluk Sangkulirang, Dusun Tepian Kelambu, Tanjung
Pagar, Teluk Nepa, pesisir Teluk Pandan, dan Teluk Lombok.
Kawasan sangat sesuai (S1) dicirikan dengan tidak adanya faktor pembatas
yang berarti jika lahan tersebut dikembangkan untuk karamba secara berkelanjutan.
Dalam jangka panjang produktivitas lahan pada lokasi ini tidak akan menurun secara
nyata. Kawasan yang sangat sesuai (S1) terluas terdapat pada perairan Bual-bual dan
Pulau Miang, karena secara umum kondisi perairan di kawasan tersebut cukup
terlindung dari arus yang kuat karena terlindung oleh terumbu karang di P. Miang dan
perairan cukup jernih karena sedikit muara sungai dan hutan mangrove.
Kawasan sesuai (S2) dicirikan dengan dijumpainya faktor pembatas yang
cukup berarti untuk mempertahankan pengelolaan karamba secara berkelanjutan.
Pembatas tersebut kebanyakan berupa kondisi fisik oseanografi yang ekstrim pada
musim-musim tertentu. Pesisir dan laut Kabupaten Kutai Timur mengalami kecepatan
arus dan gelombang yang tinggi pada musim selatan dan peralihan, yang berlangsung
antara bulan Juli-Desember. Pada kondisi ini karamba terkadang tidak mampu
menahan gelombang sehingga rusak bahkan hancur. Oleh karena itu perlu dicari
solusi teknik budidaya yang bersifat tidak permanen, misalnya karamba jaring apung
dengan menggunakan pelampung drum plastik, sehingga pada saat musim-musim
tersebut karamba dapat diangkat agar tidak rusak oleh gelombang. Faktor pembatas
lain adalah sedimentasi dan pencemaran yang berasal dari lingkungan eksternal dan
internal.
78
Gambar 6. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Karamba sistem Fixed net cage di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur
79
Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut Sistem Long Line Pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat menentukan berhasil
tidaknya suatu usaha budidaya rumput laut. Untuk memperoleh hasil yang
memuaskan dari usaha budidaya rumput laut hendaknya dipilih lokasi yang sesuai
dengan ekobiologi (persyaratan tumbuh) rumput laut.
Faktor ekologi yang berpengaruh terhadap budidaya rumput laut, adalah:
1. Keterlindungan
Lokasi harus terlindung untuk menghindari kerusakan fisik rumput laut dari
terpaan angin dan gelombang yang besar (Anonim, 1979).
2. Dasar Perairan, Dasar perairan yang paling baik bagi pertumbuhan
(Eucheuma sp) adalah dasar perairan yang stabil yang terdiri dari potongan
karang mati bercampur dengan pasir karang (Anonim,1979).
3. Kedalaman Air
Pada surut terendah lahan budidaya masih terendam air minimal 50 cm,
supaya rumput laut tidak mengalami kekeringan karena terkena sinar
matahari secara Iangsung dan sekitar 210 cm saat pasang tinggi (Anonim,
1979).
4. Salinitas
Salinitas perairan yang tinggi dengan kisaran 28-34‰ dengan nilai optimum
32‰ untuk itu hindari lokasi dari sekitar muara sungai (Zatnika, 1985).
5. Suhu air yang sesuai untuk budidaya rumput laut berkisar 27-30°C (Zatnika,
1985).
6. Kecerahan yang ideal dengan angka transparansi sekitar 1,5 m (Zatnika,
1985).
7. Keasaman (pH)
Kisaran pH antara 7-9. Nilai diharapkan pada kisaran 7,3 – 8,2 Karena
perubahan pH akan mempengaruhi keseimbangan kandungan karbon
dioksida (C02) yang secara umum dapat membahayakan kehidupan biota
laut dari tingkat produktivitas primer perairan (Anonim,1999).
8. Pergerakan air (Ombak dan Arus)
Lokasi budidaya harus terlindung dari arus (pergerakan air) dan hempasan
ombak yang terlalu kuat. Apabila hal ini terjadi, arus dan ombak akan
80
merusak dan menghanyutkan tanaman. Air harus mempunyai gerakan air
yang cukup. Kecepatan arus yang cukup untuk budidaya Eucheuma sp 20 –
40 cm/detik. Dengan kondisi seperti ini, akan mempermudah penggantian
dan penyerapan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman, tetapi tidak
sampai merusak tanaman (Anggadiredja, 2006).
9. Aman dari predator dan kompetitor
Lokasi budidaya bukan merupakan tempat berkumpulnya predator rumput
laut, seperti ikan, penyu, bulu babi, dan herbivor lainnya. Dengan demikian,
kerusakan tanaman dapat ditekan, di samping juga dapat menghemat biaya
pemeliharaan dan perlindungan terhadap hama tanaman (Anggadiredja,
2006).
10. Untuk keamanan dan keberlanjutan budidaya maka lokasi yang dipilih
bukan merupakan tempat yang menjadi jalur pelayaran (Anggadiredja,
2006).
Pengambilan data hidro-oseanografi untuk analisis kesesuaian lahan
budidaya rumput laut ini dilakukan pada musim angin pancaroba (bulan Oktober-
Desember), dimana kondisi gelombang tinggi dan arah arus tidak menentu. Oleh
karena itu potensi kesesuaian lahan untuk karamba yang dianalisis pada penelitian
ini merupakan potensi untuk musim pancaroba. Pada musim yang lain (musim
selatan dan utara) kondisi kesesuaian lahan ini mungkin dapat berbeda, karena
kondisi hidro-oseanografinya juga berbeda. Namun pada penelitian ini perbedaan
tersebut tidak dibahas karena tidak mengambil data pada musim selatan dan
musim utara.
Menurut hasil analisis spasial, potensi wilayah pesisir Kabupaten Kutai
Timur yang sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut adalah
sebagaimana disajikan dalam Gambar 7.
Luas areal berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan
budidaya rumpur laut dapat dilihat pada Tabel 13.
81
Tabel 13. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Rumput Laut di Pesisir Kabupaten Kutai Timur
No. Kesesuaian Lahan Luas (ha)
1 Sangat Sesuai 3.790.540
2 Sesuai 7.492,305
Sumber: hasil analisis spasial
Hasil analisis spasial menunjukkan penyebaran kelas lahan untuk budidaya
rumput laut adalah sebagai berikut:
(iii) Lokasi yang termasuk dalam kelas sangat sesuai (S1) seluas 3.790,540 ha,
tersebar di pesisir Desa Sangkima, Desa Sekerat, Desa Kaliorang, Dusun
Labuhan Kelambu, sepanjang pesisir Teluk Sangkulirang, Tanjung Pagar,
dan Teluk Nepa.
(iv) Lokasi yang termasuk dalam kelas sesuai (S2) seluas 7.492,305 ha,
tersebar di sepanjang pesisir Kabupaten Kutai Timur .
Kawasan sesuai (S2) dicirikan dengan dijumpainya faktor pembatas yang
cukup berarti untuk mempertahankan pengelolaan rumput laut secara
berkelanjutan. Sebagai pembatas pada kawasan ini adalah: (i) lokasi berada pada
lahan yang mempunyai kondisi pergerakan arus dan gelombang yang pada musim
tertentu (musim selatan) bersifat ekstrim, sehingga pada musim tersebut tidak
dapat dilakukan usaha budidaya rumput laut, (ii) kualitas/kesuburan perairan tidak
cukup mendukung pertumbuhan rumput laut, sehingga pertumbuhan lebih lambat,
(iii) lokasi yang cukup jauh dari sarana transportasi, sehingga memerlukan
tambahan biaya untuk pengangkutan.
82
Gambar 7. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut Sistem Long Line di Pesisir Kabupaten Kutai Timur
76
Identifikasi Keterlibatan dan Peran Stakeholder
Untuk menganalisis konflik pemanfaatan ruang dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir dan untuk merumuskan arahan pengembangan kegiatan
perikanan di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur dilakukan dengan metode
participatory oleh stakeholder yang terkait agar diperoleh hasil yang partisipatif,
integratif, dan akomodatif.
Berdasarkan hasil identifikasi stakeholders, maka stakeholders yang terkait
dengan pengembangan kegiatan perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten
Kutai Timur adalah sebagaimana yang disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Stakeholder yang Terkait dengan Kegiatan Perikanan Budidaya di Pesisir Kabupaten Kutai Timur.
Kelompok
Stakeholders Stakeholders
Pemerintah Daerah
1. DPRD KabupatenKutim 2. Dinas Kelautan dan Perikanan, 3. Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur, 4. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, 5. Dinas Pariwisata Kabupaten Kutai Timur, 6. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Timur, dan 7. Taman Nasional Kutai Timur,
LSM 8. Yayasan BIKAL Swasta/ Masyarakat Pesisir
9. Masyarakat Pembudidaya, 10. Masyarakat Nelayan, 11. Masyarakat Wisatawan, 12. PT Kaltim Prima Coal, 13. PT Pertamina 14. Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), dan 15. Koperasi Perikanan
Akademisi 16. Stiper Kutai Timur Sumber: Analisis Data Primer Lebih lanjut, stakeholders yang telah diidentifikasi tersebut
dikelompokkan/dipetakan dalam suatu kriteria sesuai dengan tingkat kepentingan,
kapasitas, dan relevansinya atas pembangunan.
Dengan pemetaan stakeholder, maka akan didapat profil stakeholder yang
diperlukan. Sebagai suatu alternatif, secara lebih rinci pemetaan stakeholder bisa
dilakukan dengan memberi skor dengan melihat peran, pengaruh stakeholders
pada perencanaan daerah. Tabel 15 berikut ini menunjukkan matrik analisis
77
pengaruh stakeholders terhadap pengembangan perikanan di pesisir Kabupaten
Kutai Timur.
Tabel 15. Matriks Analisis Pengaruh Stakeholders Terhadap Pengembangan Kegiatan Perikanan di Pesisir Kabupaten Kutai Timur
Stakeholders Peran dalam Kegiatan • Pembuat
Keputusan • Pengorganisir • Pelaksana • Pemanfaat • Pengontrol • Pendukung • Penentang
Pengaruh Kegiatan Terhadap Kepentingan Stakeholders T= tidak dikenal 1 = tidak penting 2 = agak penting 3 = sedang 4 = sangat penting 5 = pemain kunci
Pengaruh Stakeholders Terhadap Keberhasilan Kegiatan T= tidak dikenal 1 = tidak penting 2 = agak penting 3 = sedang 4 = sangat penting 5 = pemain kunci
Tahap Perencanaan
Tahap Pelaksanaan
DPRD Kab.** Pembuat Keputusan
4 5 3
Pemda Kutim** Pengorganisir 4 5 3 Bappeda Kutim** Pengorganisir 4 5 2 DKP Kutim** • Pelaksana
• Pengontrol 5 5 5
Dis Lingkungan Hidup Kutim***
• Pelaksana • Pengontrol
3 4 2
Taman Nasional Kutai***
• Pelaksana • Pengontrol
5 4 3
LSM BIKAL*** • Pendukung • Pengontrol
5 2 4
HNSI Kutim* Pemanfaat 4 2 5 Kop Perikanan* Pemanfaat 4 2 5 Stiper Kutim*** • Pendukung
• Pengontrol 2 3 2
PT KPC*** Pemanfaat 5 3 4 PT Pertamina*** Pemanfaat 5 3 3 Masyarakat* Pemanfaat 5 1 5
Sumber: Analisis Data Primer
Sumber format : LGA Romania, RTI (Chetwynd et al., 2001) Keterangan : * Stakeholder Utama ** Stakeholder Kunci *** Stakeholder Sekunder
78
Berdasarkan stakeholders yang berhasil diidentifikasi tersebut,
diambil 12 orang responden yang merupakan tokoh kunci (key persons)
untuk mewakili tiap-tiap kelompok stakeholders tersebut. Dari ke-12
responden ini dimintai informasi tentang keterlibatan dan pengaruh mereka
dalam perencanaan dan pelaksanaan pengembangan wilayah pesisir
Kabupaten Kutai Timur. Selanjutnya dari informasi yang diperoleh dibuat
skoring, seperti yang telah disajikan dalam tabel di atas. Selain dilakukan
wawancara untuk identifikasi stakeholders, ke-12 responden tersebut juga
dimintai pendapat untuk memberikan skor pada analisis hierarki untuk
menentukan kegiatan budidaya yang paling diprioritaskan dalam
pengembangan perikanan budidaya di pesisir Kabupaten Kutai Timur.
Dari semua stakeholders yang telah diidentifikasi tersebut, belum
semua terlibat dalam perencanaan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang
untuk pengembangan kegiatan perikanan di wilayah pesisir Kabupaten
Kutai Timur. Di samping itu, dari stakeholders yang telah memberikan
masukan dan keinginan mereka, belum semuanya dapat terealisasi dalam
pelaksanaan pembangunan wilayah pesisir.
Berdasarkan matriks analisis stakeholders (Tabel 15) peran masing-
masing kelompok stakeholders dalam pengembangan perikanan budidaya
laut adalah sebagai berikut:
a) Masyarakat dan pengusaha setempat merupakan stakeholder utama yang
memiliki kepentingan secara langsung, yakni sebagai pelaku dan pemanfaat
dari kegiatan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur ini.
b) Pemerintah Daerah, Bappeda Kabupaten Kutai Timur dan Dinas Kelautan
Perikanan Kabupaten Kutai Timur merupakan stakeholder kunci yang
memiliki kewenangan langsung dalam pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan perikanan budidaya laut di kawasan ini. Bappeda Kabupaten Kutai
Timur dan Dinas Kelaut Perikanan Kabupaten Kutai Timur, selain berperan
sebagai pengorganisir juga sebagai pengambil keputusan mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan kegiatan perikanan budidaya laut di kawasan ini. Hal
ini karena sejak diberlakukannya otonomi daerah, Dinas Kelautan Perikanan
79
Kabupaten Kutai Timur adalah sebagai penanggung jawab kegiatan perikanan
di seluruh wilayah Kabupaten Kutai Timur.
c) Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Timur, Dinas Pariwisata
Kabupaten Kutai Timur, Taman Nasional Kutai (TNK), instansi pemerintah
lainnya, Community Development PT KPC, dan Akademisi Stiper Kutai
Timur, serta LSM merupakan stakeholder sekunder, karena tidak memiliki
kepentingan secara langsung namun memiliki kepedulian terhadap kegiatan
perikanan laut di kawasan ini. Kelompok stakeholders ini hanya berperan
sebagai pendukung kegiatan perikanan. Sementara itu pihak Community
Development PT KPC berperan sebagai sumber dana yang memberikan
subsidi bagi masyarakat dalam mengembangkan kegiatan perikanan budidaya
laut di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur.
Proses Hierarki Analitik untuk Konflik Pemanfaatan Lahan
Komponen dalam analisis PHA didasarkan pada tujuan pengembangan
wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur yang berkelanjutan (sustainable
development), yang dibangun oleh tiga dimensi, yang merupakan pilar dasar
pembangunan berkelanjutan, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dan
dimensi kelestarian lingkungan.
Dimensi pembangunan ekonomi disusun oleh tiga sub kriteria yang
menyusun tujuan pembangunan ekonomi, yaitu peningkatan Pendapatan Asli
daerah (PAD), peningkatan pendapatan masyarakat pesisir, serta adanya
penyerapan tenaga dan terbukanya kesempatan berusaha. Dimensi pembangunan
sosial budaya di pesisir Kabupaten Kutai Timur dicirikan dengan adanya
penurunan konflik dalam pemanfaatan ruang pesisir, baik konflik antar pelaku
maupun konflik antar ruang. Sedangkan dari komponen kelestarian sumberdaya
alam dan lingkungan hidup faktor-faktor yang ikut menentukan prioritas
pengembangan kawasan budidaya di pesisir Kabupaten Kutai Timur adalah
kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam yang bersifat dapat pulih
(renewable resources), kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam yang tidak
dapat pulih (unrenewable resources), dan pemanfaatan sumberdaya untuk jasa-
jasa lingkungan (Gambar 4).
80
Berdasarkan metode Proses Hierarki Analitik (PHA), diperoleh hasil
prioritas sebagai berikut:
Tabel 16. Matriks Prioritas Kriteria dalam Mencapai Tujuan Pengembangan Perikanan di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur
Kriteria Bobot Prioritas
Ekonomi 0,211 P3
Penurunan Konflik 0,264 P2
Pelestarian Sumberdaya Alam dan Lingkungan 0,526 P1
Sumber: Analisis Data Primer
Dari Tabel 16 di atas diketahui bahwa pelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan merupakan kriteria yang menempati prioritas pertama untuk mencapai
tujuan pengembangan perikanan yang berkelanjutan, prioritas kedua adalah
kriteria sosial yang berupa penurunan konflik dalam pemanfaatan ruang, dan
prioritas terakhir adalah kriteria pencapaian ekonomi.
Merupakan pilihan yang sangat logis bila pelaku usaha (stakeholders) di
pesisir Kabupaten Kutai Timur memilih untuk memprioritaskan pelestarian SDA
dibanding kriteria lainnya, karena pembangunan yang berkelanjutan baru dapat
terlaksana bila sumberdaya masih tersedia dengan baik. Sumberdaya alam akan
lestari bila pemanfaatannya dilakukan sesuai dengan kemampuan daya dukung
lingkungan. Pengalaman pembangunan pesisir dan lautan selama periode
Pembangunan Jangka Panjang I cenderung menuju ke arah yang tidak
berkelanjutan, akhirnya berakibat pada terjadinya: pencemaran lingkungan;
overeksploitasi sumberdaya alam; degradasi fisik habitat pesisir : mangrove,
terumbu karang, pantai berpasir, estuaria, dll; konflik pemanfaatan ruang; dan
kemiskinan.
Penyelesaian masalah sosial yang berupa konflik pemanfaatan ruang juga
merupakan kriteria yang harus diprioritaskan, karena pengalaman dari banyak
daerah, konflik akan menyebabkan kondisi daerah menjadi tidak kondusif untuk
perekonomian. Oleh karena itu sedini mungkin hendaknya ada rencana tata ruang
pesisir yang dapat mengakomodir sebanyak mungkin kebutuhan pelaku usaha di
wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur. Dengan adanya rencana tata ruang akan
81
dapat dicapai keharmonisan spasial pada wilayah pesisir dan laut, sehingga para
pelaku usaha lebih terjamin kepastian usahanya di wilayah tersebut.
Pembangunan ekonomi merupakan prioritas terakhir dalam pengembangan
wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur yang berkelanjutan. Namun hal ini tidak
berarti bahwa pembangunan ekonomi bukan masalah penting. Selama ini,
menurut teori ekonomi konvensional, pembangunan ekonomi diukur dari
pertumbuhan ekonomi, yang didasarkan pada angka PDRB (Pendapatan Domestik
Regional Bruto) atau secara nasional berdasarkan angka GNP (Gross National
Product) per kapita.
Tolok ukur keberhasilan pembangunan hendaknya tidak hanya didasarkan
pada pertumbuhan GNP perkapita, tetapi harus memasukkan tiga kriteria lainnya:
(1) berkurangnya kemiskinan absolut, (2) menurunnya ketimpangan distribusi
pendapatan, dan (3) mengecilnya tingkat pengangguran.
Pembangunan yang berhasil paling tidak harus dapat memenuhi basic
human needs (pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan) seluruh
rakyatnya (ILO, 1976).
Keberhasilan pembangunan ekonomi harus dapat menciptakan: meluasnya
pemilikan aset-aset ekonomi produktif oleh rakyat, pertumbuhan ekonomi,
pemerataan dan peningkatan kreativitas rakyat, peningkatan keseluruhan sistem
sosial, dan terjaminnya harga diri dan kebebasan/kemerdekaan rakyat.
Dimensi pembangunan ekonomi disusun oleh tiga sub kriteria yang
menyusun tujuan pembangunan ekonomi, yaitu peningkatan Pendapatan Asli
daerah (PAD), peningkatan pendapatan masyarakat pesisir, serta adanya
penyerapan tenaga dan terbukanya kesempatan berusaha.
Hasil analisis hierarki untuk sub kriteria ekonomi dalam pengembangan
wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur adalah sebagaimana yang disajikan dalam
Tabel 17.
Dalam kriteria ekonomi, kegiatan perikanan yang terlebih dahulu harus
diprioritaskan untuk dikembangkan adalah kegiatan yang dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat. Selanjutnya kegiatan yang perlu dikembangkan adalah
kegiatan yang dapat menyerap tenaga kerja dan membuka kesempatan usaha
82
seluas-luasnya bagi masyarakat, dan kegiatan yang terakhir perlu dilakukan
adalah kegiatan yang dapat meningkatkan pemasukan daerah melalui PAD.
Tabel 17. Matriks Prioritas Kriteria Ekonomi dalam Mencapai Tujuan Pengembangan Perikanan di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur
Sub Kriteria Ekonomi Bobot Prioritas
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) 0,165 P3
Peningkatan pendapatan masyarakat 0,497 P1
Penyerapan Tenaga Kerja dan Peluang Kesempatan Usaha 0,338 P2
Sumber: Analisis Data Primer
Dengan memprioritaskan kegiatan yang lebih meningkatkan pendapatan
masyarakat pesisir dan dapat menyerap tenaga kerja, serta membuka kesempatan
usaha bagi masyarakat, diharapkan dapat lebih meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pesisir Kabupaten Kutai Timur, sehingga kesenjangan kesejahteraan
antara masyarakat nelayan dengan kelompok masyarakat lain, seperti pekerja
pertambangan PT KPC dan pekerja di bidang kehutanan dan perkebunan, dapat
berkurang. Berkurangnya kesenjangan ini akan mengurangi potensi konflik antar
kelompok masyarakat.
Dimensi pembangunan sosial budaya di pesisir Kabupaten Kutai Timur
dicirikan dengan adanya penurunan konflik dalam pemanfaatan ruang pesisir, baik
konflik antar pelaku maupun konflik antar ruang. Proses hierarki analitik
menunjukkan hasil sebagai berikut:
Tabel 18. Matriks Prioritas Kriteria Penurunan Konflik dalam Mencapai Tujuan Pengembangan Perikanan di Pesisir Kabupaten Kutai Timur
Sub Kriteria Penurunan Konflik Bobot Prioritas
Konflik antar Pelaku 0,542 P1
Konflik antar Ruang 0,458 P2
Sumber: Analisis Data Primer
Kegiatan yang mencegah adanya konflik antar pelaku usaha merupakan
kegiatan yang lebih diprioritaskan dibandingkan kegiatan yang dapat mencegah
konflik antar ruang. Konflik antar pelaku merupakan isu yang cukup sensitif
83
dalam kehidupan sosial budaya masyarakat, sehingga pencegahan terhadap
timbulnya konflik akan membuat kondisi kegiatan perikanan menjadi lebih
kondusif bagi para pelaku usaha.
Sementara itu untuk mengatasi konflik antar ruang, seperti yang pernah
terjadi pada tahun 2005 di Kabupaten Kutai Timur antara perusahaan
pertambangan dengan petani karamba, solusi yang bisa ditempuh antara lain
dengan menyusun tata ruang pesisir yang sesuai dengan peruntukannya, dan
menjalankan konsep tersebut dengan benar.
Dari komponen kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup faktor-
faktor yang ikut menentukan prioritas pengembangan wilayah pesisir Kabupaten
Kutai Timur adalah kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam yang bersifat
dapat pulih (renewable resources), kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya
alam yang tidak dapat pulih (unrenewable resources), dan pemanfaatan
sumberdaya untuk jasa-jasa lingkungan.
Tabel 19. Matriks Prioritas Kriteria Pelestarian Sumberdaya Alam dan Lingkungan dalam Mencapai Tujuan Pengembangan Perikanan
Sub Kriteria SDA dan Lingkungan Bobot Prioritas
Sumberdaya Alam pulih 0,486 P1
Sumberdaya Alam tidak pulih 0,280 P2
Jasa-jasa Lingkungan 0,234 P3
Sumber: Analisis Data Primer
Hasil analisis hierarki menunjukkan bahwa kegiatan perikanan yang
memanfaatkan sumberdaya dapat pulih (renewable resources) adalah kegiatan
yang lebih penting dilakukan dibanding kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya
alam tidak pulih dan pemanfaatan jasa-jasa lingkungan.
Dalam RTRW Kabupaten Kutai Timur dinyatakan bahwa permasalahan
perekonomian kawasan disini adalah perekonomian yang bersifat dualistis,
dimana kegiatan ekonomi utama yang berlangsung saat ini sangat bergantung
pada sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dan memberikan pengaruh
besar terhadap masalah-masalah lingkungan, seperti kegiatan pertambangan
84
batubara dan eksploitasi hutan (logging), serta tidak memberikan dampak pada
kegiatan ekonomi lokal.
Pemanfaatan sumberdaya dapat pulih, seperti kegiatan penangkapan dan
budidaya ikan, bila dilakukan sesuai dengan kapasitas daya dukungnya akan lebih
bersifat lestari dibanding pemanfaatan sumberdaya tidak pulih, seperti bahan-
bahan tambang yang pada suatu saat akan habis. Sumberdaya pulih dapat segera
diperbaharui bila rusak, namun biaya untuk perbaikan mungkin akan sangat besar
bila dibandingkan hilangnya keuntungan bila memanfaatkan sumberdaya tersebut
secara lestari sesuai daya dukungnya.
Sementara itu jasa-jasa lingkungan merupakan prioritas terakhir, karena
pada saat ini di pesisir Kabupaten Kutai Timur belum banyak kegiatan perikanan
yang memanfaatkan pesisir untuk jasa-jasa lingkungan. Pemanfaatan pesisir untuk
jasa lingkungan yang sudah ada saat ini adalah Tempat Pelelangan Ikan di Muara
Sungai Kenyamukan. Namun sampai saat ini belum dipakai untuk pelelangan.
Alternatif kegiatan budidaya yang diprioritaskan untuk pengembangan
wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur berdasarkan hasil analisis hierarki adalah
sebagai mana disajikan dalam Tabel 20.
Budidaya karamba merupakan kegiatan yang dianggap paling penting oleh
stakeholders untuk diprioritaskan, karena komoditas ikan kerapu sangat tinggi
nilainya di pasar eksport.
Tabel 20. Bobot dan Prioritas Kegiatan Budidaya untuk Pengembangan Perikanan di Wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur
Alternatif Kegiatan Bobot Prioritas
Budidaya Tambak 0,122 P3
Budidaya Karamba 0,442 P1
Budidaya Rumput laut 0,436 P2
Sumber: Analisis Data Primer
Walaupun budidaya karamba mempunyai prioritas lebih penting daripada
budidaya rumput laut, namun nilai bobotnya tidak terlalu berbeda jauh, sehingga
dapat dikatakan tingkat kepentingan antara karamba dan rumput laut tidak
berbeda jauh.
85
Peta Komposit Kesesuaian Lahan Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan di wilayah pesisir Kabupaten
Kutai Timur, untuk ketiga jenis kegiatan budidaya seperti diuraikan di bagian
sebelumnya, diperoleh adanya lokasi yang memiliki kesesuaian lahan untuk lebih
dari satu peruntukan. Dengan melakukan overlay terhadap peta-peta kesesuaian
tersebut dengan menggunakan bobot prioritas yang diperoleh dari hasil Analisis
Hierarki Proses (AHP), maka akan diperoleh hasil berupa peta komposit, yang
disajikan dalam Gambar 8.
Peta komposit menunjukkan bahwa terjadi perpotongan lokasi (lokasi
yang sama) antara budidaya karamba dengan budidaya rumput laut, dan tidak
terjadi perpotongan antara budidaya tambak dengan budidaya karamba maupun
rumput laut karena budidaya tambak menggunakan lahan di daratan. Namun
demikian kedepannya perlu dilakukan suatu pengelolaan agar tidak terjadi konflik
yang diakibatkan oleh pencemaran limbah tambak terhadap budidaya karamba
dan rumput laut.
Perpotongan lokasi antara kesesuaian lahan budidaya karamba dan
budidaya rumput laut terjadi di: Teluk Sangkulirang, perairan di sekitar P. Miang,
Teluk Lombok, dan Perairan Desa Sangkima. Namun dengan pembobotan
kembali menggunakan nilai dari hasil analisis hierarki, maka diperoleh kesesuaian
lahan sebagai berikut:
Sangat Sesuai Budidaya Karamba: terdapat di Teluk Golok (Kec. Kaliorang),
Perairan P. Miang, Perairan Desa Bual-bual, Perairan Desa Sempayau dan
Desa Benua Baru (Kec. Sangkulirang)
Sangat Sesuai Budidaya Rumput laut: terdapat di sepanjang pesisir
Kecamatan Kaliorang, Teluk Sangkulirang, Teluk Lombok dan Sangkima
(Kec. Sangatta), dan perairan Tanjung Pagar dan Teluk Nepa (Kec. Sandaran).
86
Gambar 8. Peta Komposit Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak, Karamba, dan Rumput Laut di Wilayah Pesisir KabupatenKutai Timur
87
Luasan area untuk tiap peruntukan yang dihitung berdasarkan peta
komposit kesesuaian lahan adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Tambak, Karamba dan Rumput Laut Berdasarkan Peta Komposit di Kabupaten Kutai Timur
No. Kegiatan Budidaya Luas (ha)
1 Sangat Sesuai Karamba 544,811
2 Sangat Sesuai Rumput Laut 3.197,335
3 Sangat Sesuai Tambak 2.572,220
4 Sesuai Karamba 659,959
5 Sesuai Rumput Laut 6.312,365
6 Sesuai Tambak 7.154,573
Sumber: hasil analisis data spasial
Berdasarkan luas kesesuaian lahan untuk budidaya tersebut dapat dilihat
bahwa pesisir Kabupaten Kutai Timur memiliki potensi yang paling besar untuk
pengembangan budidaya rumput laut, berikutnya adalah pengembangan budidaya
tambak dan karamba.
Kemungkinan pengembangan perikanan dari tiap-tiap kecamatan pantai
yang ada di Kabupaten Kutai Timur dapat dilihat berdasarkan pemusatan aktifitas
dan potensi luas kesesuaian lahan pada tiap-tiap kecamatan yang disajikan pada
Tabel 24.
Pengembangan Perikanan Budidaya di Wilayah Kecamatan Pengembangan perikanan budidaya di wilayah kecamatan dilihat
berdasarkan pemusatan aktifitas dan potensi kesesuaian lahan untuk budidaya di
wilayah kecamatan tersebut. Pusat aktifitas wilayah dianalisa dengan
menggunakan analisis LQ (Location Quotient). Dengan menggunakan LQ dapat
dianalisa peranan suatu sektor pada wilayah, sehingga dapat diketahui potensi
ekonomi suatu wilayah berdasarkan aktifitas ekonomi wilayah tersebut. Analisis
LQ menggunakan indikator nilai produksi menurut jenis budidaya pada tahun
2005 di wilayah kecamatan pantai Kabupaten Kutai Timur (Lampiran 3). Nilai
88
LQ dari sektor-sektor budidaya di wilayah kecamatan pantai di pesisir Kabupaten
Kutai Timur dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Nilai LQ Kecamatan Pantai di Pesisir Kabupaten Kutai Timur
Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder
Keterangan: LQ suatu sektor < 1, sektor tersebut merupakan sektor non-basis
LQ suatu sektor ≥ 1, maka sektor tersebut merupakan sektor basis (*)
Luas kesesuaian lahan budidaya diperoleh dari hasil analisis spasial
terhadap peta komposit. Namun karena belum ada pembagian wilayah
administratif di perairan, untuk menentukan garis batas wilayah perairan yang
membagi dua kecamatan dilakukan dengan cara menarik garis yang tegak lurus
dengan garis pantai. Cara ini seperti yang dilakukan untuk membagi wilayah
perairan antar provinsi (informasi dari Bp. Dr. Sapta Putra Ginting). Hasil
penghitungan luas kesesuaian lahan perikanan budidaya di pesisir tiap kecamatan
dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Luas Kesesuaian Lahan Perikanan budidaya di Pesisir Kecamatan Pantai Kabupaten Kutai Timur (ha)
Sumber: Hasil Analisis Data Spasial
Sektor Kecamatan Perikanan
pesisir Perikanan
Darat Tambak Kolam Karamba
Kerapu Rumput
Laut Sangatta 0,47 1,67* 0,26 2,51* 2,50* 0,88 Sangkulirang 1,07* 2,90* 1,21* 0,00 0,00 2,65* Kaliorang 1,66* 0,00 1,48* 0,00 0,00 1,07* Bengalon 0,47 0,00 1,72* 0,00 0,00 0,00 Sandaran 50,26* 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Kecamatan Sangatta Bengalon Kaliorang Sangkulirang Sandaran Kesesuaian
Lahan Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %
Total (Ha)
S1 Karamba
- 0,00
- 0,00 38,610 7,09
506,201 92,91
- 0,00 544,811
S1 Rumput Laut
265,698 8,31
56,660 1,77 524,648 16,41
1.766,032 55,23
584,297 18,27 3.197,335
S1 Tambak 828,317 32,20
386,226 15,02
72,731 2,83
1.142,400 44,41
142,546 5,54 2.572,220
S2 Karamba
6,616 1,00
8,920 1,35 22,497 3,41 177,607 26,91
444,319 67,33 659,959
S2 Rumput Laut
1.626,786 25,77
888,485 14,08 1.204,185 19,08 764,047 12,10
1.828,862 28,97 6.312,365
S2 Tambak 1.709,640 23,90
763,777 10,68
823,446 11,51
2.277,259 31,83
1.580,451 22,09
7.154,573
89
Kecamatan Sangatta
Analisis nilai LQ menunjukkan bahwa di Kecamatan Sangatta, yang
merupakan ibukota kabupaten, sektor budidaya karamba (LQ = 2,50) merupakan
sektor basis di kecamatan ini. Sedangkan sektor budidaya tambak dan rumput laut
bukan sektor basis karena nilai LQ kurang dari 1. Budidaya karamba mungkin
dapat dikembangkan di Kecamatan Sangatta, karena telah menjadi sektor yang
diandalkan untuk saat ini, namun hasil analisis spasial menunjukkan bahwa
kesesuaian lahan untuk budidaya karamba tidak ada yang masuk pada kelas sangat
sesuai, sehingga mungkin keberlanjutan usaha budidaya akan terbatas karena
dipengaruhi oleh faktor-faktor pembatas budidaya, antara lain karena sifat fisik
hidro-oseanografi yang kurang mendukung.
Pada musim selatan tahun 2006 (sekitar bulan Agustus) ada beberapa unit
karamba tancap yang hancur diterjang ombak di pesisir Tanjung Bara. Oleh sebab
itu akan lebih baik bila yang dikembangkan di Kecamatan Sangatta adalah
budidaya rumput laut, karena budidaya rumput laut tidak memerlukan bangunan
kayu yang permanen dan mahal seperti karamba, sehingga bila tiba musim selatan
pembudidaya hanya cukup mengangkat tali biang/tali ris dan tidak menanam
rumput laut untuk menghindarkan kerugian. Sementara untuk budidaya karamba,
karamba yang telah ditancapkan tidak dapat dengan mudah dicabut dan diangkat
ke daratan.
Menurut hasil analisis spasial, perikanan budidaya yang mungkin
dikembangkan di pesisir Kecamatan Sangatta adalah budidaya tambak dan
budidaya rumput laut.
Kecamatan Bengalon
Kecamatan Bengalon, sektor yang menjadi sektor basis hanya budidaya
tambak. Saat ini perairan pesisir di Kecamatan Bengalon belum dimanfaatkan
sama sekali untuk perikanan budidaya pesisir, sehingga nilai LQ sektor lain masih
nol. Namun sektor budidaya tambak merupakan andalan, bahkan di tingkat
kabupaten nilai basisnya paling besar, sehingga ke depannya Kecamatan
Bengalon dapat dijadikan sentra budidaya tambak di Kabupaten Kutai Timur. Hal
ini didukung dengan luas potensial kesesuaian lahan untuk budidaya tambak yang
90
cukup luas. Luas potensial kesesuaian lahan untuk tiap-tiap sektor budidaya di
tiap kecamatan disajikan pada Tabel 23.
Lahan yang sangat sesuai untuk budidaya rumput laut juga ada di
Kecamatan Bengalon, namun potensinya kecil sehingga untuk pengembangannya
kurang menguntungkan, karena tidak sesuai antara biaya untuk pembangunan
sarana dan infrastruktur dibandingkan perolehan keuntungan dari budidaya. Selain
itu, bila Bengalon dijadikan sebagai sentra budidaya tambak, maka kualitas
perairan di pesisir akan cenderung menurun karena limbah dari tambak dan
mungkin menjadi tidak sesuai lagi untuk budidaya rumput laut dan karamba.
Kecamatan Sangkulirang
Kecamatan Sangkulirang mempunyai sektor basis pada budidaya tambak
(LQ=1,21) dan rumput laut (LQ=2,65). Budidaya rumput laut mempunyai nilai
basis yang paling besar di tingkat kabupaten, sehingga Kecamatan Sangkulirang
dapat dijadikan sebagai sentra produksi rumput laut, karena berdasarkan hasil
analisis spasial, kesesuaian lahan potensial untuk budidaya rumput laut di Teluk
Sangkulirang cukup luas.
Selain budidaya rumput laut Kecamatan Sangkulirang juga potensial untuk
budidaya karamba, karena mempunyai perairan yang sangat sesuai untuk
pengembangan budidaya karamba cukup luas. Secara umum Kecamatan
Sangkulirang merupakan kecamatan di Kabupaten Kutai Timur yang memiliki
kesesuaian lahan potensial yang paling luas untuk semua jenis peruntukan
budidaya, baik budidaya tambak, karamba, maupun rumput laut (Tabel 23).
Sehingga Kecamatan Sangkulirang dapat dijadikan wilayah pusat (nodal) dalam
pengembangan perikanan budidaya pesisir di Kabupaten Kutai Timur. Hal ini
didukung dengan adanya Desa Maloy yang dijadikan sebagai pusat Kawasan
Agropolitan. Selain itu di kawasan Maloy juga direncanakan akan dibangun
pelabuhan umum.
Adanya pusat kawasan Agropolitan ini karena Pemerintah daerah
Kabupaten Kutai Timur menyandarkan bidang ekonomi dengan sektor pertanian
sebagai tumpuan di masa depan, dengan melakukan program yang disebut
GERDABANGAGRI (Gerakan Daerah Pembangunan Agribisnis). Tujuan dari
91
program ini adalah mendorong strategi pembangunan wilayah dengan
menciptakan titik-titik pertumbuhan (Growth Point) dalam rangka menyebarkan
efek Pemerataan Pembangunan (Equity Development) (Bappeda Kutai Timur,
2004).
Kecamatan Kaliorang
Kecamatan Kaliorang mempunyai sektor basis pada budidaya tambak
(LQ=1,48) dan rumput laut (LQ=1,07). Namun bila didasarkan pada hasil analisis
spasial, Kecamatan Kaliorang mempunyai potensi untuk pengembangan budidaya
karamba, karena di perairan Teluk Golok terdapat lokasi yang sangat sesuai untuk
budidaya karamba.
Dalam RTRW Kabupaten Kutai Timur Tahun 2004, Kecamatan Kaliorang
termasuk dalam Kawasan II sebagai sentra produksi dalam pengembangan
kawasan pedesaan, bersama-sama dengan Kecamatan Sangkulirang, Bengalon dan
Sandaran. Orientasi aliran produksi dari kawasan ini adalah keluar dari Kabupaten
Kutai Timur melalui pelabuhan Maloy yang terdapat di Kecamatan Sangkulirang.
Kecamatan Sandaran
Bila dilihat dari nilai LQ, Kecamatan Sandaran tidak memiliki sektor yang
menjadi basis pengembangan perikanan budidaya. Saat ini yang menjadi sektor
basis di Kecamatan Sandaran hanyalah sektor perikanan pesisir tangkap
(LQ=50,26). Hal ini terjadi karena saat ini akses jalan ke Kecamatan Sandaran
belum terbuka, sarana transportasi dari kota kabupaten hanya melalui laut,
sehingga perkembangan wilayah juga masih sangat terbatas. Namun demikian bila
dilihat dari hasil analisis kesesuaian lahan Kecamatan Sandaran mempunyai
potensi sangat sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut, dan sangat
sesuai untuk budidaya tambak.
Pengembangan budidaya rumput laut mempunyai potensi yang sangat
besar di Kecamatan Sandaran, karena potensinya sangat luas. Selain itu hasil
pascapanen berupa produk rumput laut kering masih memungkinkan disimpan
selama beberapa saat sebelum dijual. Hal ini mengingat kondisi transportasi ke
kecamatan Sandaran masih sangat terbatas, sehingga pemasaran rumput laut tidak
92
dapat dilakukan setiap saat.
Sedangkan pengembangan budidaya tambak masih agak sulit dilakukan,
sebelum akses jalan ke kecamatan ini dibuka. Produk tambak menghendaki dijual
dalam keadaan segar/beku. Kondisi transportasi yang terbatas akan menghambat
suplai sarana produksi dan proses pemasaran produk di kecamatan Sandaran.
Matriks arahan pengembangan perikanan budidaya pesisir di tiap
kecamatan berdasarkan nilai LQ budidaya dan potensi luas kesesuaian lahannya
dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Matrik Arahan Pengembangan Perikanan budidaya Pesisir di Kecamatan Pantai Kabupaten Kutai Timur
Kecamatan Pantai
LQ Budidaya/ Sektor Basis
Potensi Kesesuaian Lahan
Arahan Pengembangan
Kawasan Budidaya Sangatta Karamba
Kerapu (LQ= 2,50)
♦ S1 Tambak (828,317 ha) ♦ S1 Rumput Laut (265,698 ha)
Budidaya Tambak Budidaya Rumput Laut
Sangkulirang Tambak (LQ=1,21) Rumput Laut
(LQ=2,65)
♦ S1 Tambak (1.142,400 ha) ♦ S1 Rumput Laut (1.766,032 ha) ♦ S1 Karamba (506,201 ha)
Budidaya Tambak Budidaya Rumput Laut Budidaya Karamba
Kaliorang Tambak (LQ=1,48) Rumput laut
(LQ=1,07)
♦ S1 Tambak (72,731 ha) ♦ S1 Rumput Laut (524,648 ha) ♦ S1 Karamba (38,610 ha)
Budidaya Tambak Budidaya Rumput Laut Budidaya Karamba
Bengalon Tambak (LQ=1,72)
♦ S1 Tambak (386,226 ha) ♦ S1 Rumput Laut (56,660 ha)
Budidaya Tambak
Sandaran Tidak ada sektor Basis
♦ S1 Rumput Laut (584,297 ha) ♦ S1 Tambak (142,546 ha)
Budidaya Rumput Laut
Luas Efektif Lahan untuk Perikanan Budidaya Luas efektif lahan diartikan sebagai luasan lahan perairan dan daratan
pesisir yang dapat dimanfaatkan untuk suatu kegiatan budidaya yang secara sosial
tidak menimbulkan konflik, secara ekologi tidak mengganggu ekosistem pesisir,
sehingga secara ekonomi dapat menguntungkan dan berkelanjutan.
Luas efektif lahan untuk budidaya ini ditentukan berdasarkan beberapa
pertimbangan, yaitu:
- Wilayah pantai (daratan pesisir) di Kabupaten Kutai Timur merupakan
wilayah yang multiguna untuk berbagai pemanfataan, seperti pemukiman;
93
industri pertambangan; hutan lindung Taman Nasional Kutai (TNK); Pusat
Pendaratan Ikan (PPI); pelabuhan; kawasan wisata; hutan tanaman industri
dan perkebunan rakyat; dan lain-lain
- Perairan dangkal di Kabupaten Kutai Timur merupakan lokasi yang dekat
dengan garis pantai (dekat dengan tempat kehidupan masyarakat), sehingga
merupakan kawasan yang multiguna untuk berbagai pemanfaatan oleh
masyarakat disekitarnya, misalnya untuk alur pelayaran transportasi, baik
transport penumpang maupun barang (produksi tambang, hutan, perkebunan);
penangkapan ikan tradisional; bagan ikan; kawasan pelabuhan; wisata bahari
dan wisata pantai; kebutuhan ruang bagi operasional budidaya; dan lain-lain
- Perairan dangkal terdiri dari berbagai ekosistem yang memiliki beragam
komunitas biota, seperti estuaria, lamun, dan terumbu karang, sehingga secara
ekologis penting dipertahankan untuk kawasan konservasi, dan kawasan
penyangga (buffer zone).
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, dapat dilakukan analisis
kebutuhan lahan untuk seluruh aktivitas pemanfaatan yang ada. Analisis
kebutuhan lahan ini akan lebih baik hasilnya bila untuk setiap pemanfaatan
tersebut, dilakukan analisis kesesuaian lahan sesuai dengan kriteria biofisiknya.
Namun karena pada penelitian ini tidak dilakukan analisis kesesuaian lahan untuk
pemanfataan selain budidaya, maka kebutuhan lahan untuk pemanfaatan selain
budidaya dilakukan dengan menggunakan rencana pola pemanfataan ruang yang
ada dalam RTRW KabupatenKutai Timur dan asumsi-asumsi berdasarkan
kebutuhan penduduk di wilayah tersebut. Analisis kebutuhan lahan berdasarkan
asumsi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 12.
Dari hasil analisis tersebut dapat ditentukan luas efektif lahan perairan
untuk budidaya yaitu:
Budidaya tambak = 3.913,47 ha
Budidaya karamba jaring tancap = 411,13 ha
Budidaya rumput laut long line = 3.246,62 ha
Luas efektif lahan untuk perikanan budidaya dan perkiraan jumlah unit
budidaya yang boleh dibangun dapat dilihat pada Tabel 25 berikut.
94
Tabel 25. Luas Efektif Lahan Perikanan Budidaya dan Jumlah Unit Budidaya yang Dapat Dilakukan di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur
NO
Budidaya
Luas Potensial Lahan (ha)
Luas Efektif Lahan (ha)
Jumlah Unit Budidaya (unit)
1. Tambak
(unit 1 ha) 9.726,79 3.913,34 3.913
2. Karamba
(unit 144 m2) 1.204,77 411,13 28.550
3. Rumput Laut
(unit 2400 m2) 9.509,71 3.246,62 13.528
Sumber: hasil analisis data primer
Berdasarkan hasil perhitungan luas efektif lahan perikanan budidaya dan
arahan pengembangan budidaya di setiap kecamatan pantai, maka dapat
digambarkan peta zonasi pengembangan perikanan budidaya di wilayah pesisir
Kabupaten Kutai Timur. Zonasi perikanan budidaya ini diharapkan dapat
memberikan arah bagi pengembangan budidaya yang berkelanjutan secara sosial
ekonomi dan secara ekologis aman bagi lingkungan, karena telah
mempertimbangkan kawasan-kawasan yang merupakan daerah konservasi, baik
kawasan mangrove maupun terumbu karang, maupun pemanfataan oleh sektor
lainnya. Peta zonasi pengembangan perikanan budidaya di wilayah pesisir
Kabupaten Kutai Timur dapat dilihat pada Gambar 9.
Kelayakan Usaha Pengembangan Perikanan budidaya Kelayakan usaha merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan
dalam pengembangan kawasan untuk usaha perikanan budidaya, agar usaha
budidaya tersebut dapat berkelanjutan.
Untuk mengetahui kelayakan usaha perikanan budidaya pesisir dihitung
dari besarnya nilai investasi, biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan,
pendapatan yang diperoleh dari nilai jual hasil panen, dan kewajiban membayar
pinjaman bank dengan bunga 24% per tahun selama 3 tahun.
Kelayakan usaha tersebut digambarkan berdasarkan kriteria nilai Revenue
Cost Ratio (R/C) dan keuntungan (π) untuk mengetahui kelayakan pada saat ini
tanpa memasukkan fakor nilai uang di masa mendatang (undiscounted criteria).
95
Gambar 9. Peta Zonasi Pengembangan Perikanan Budidaya di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur
Sedangkan untuk mengetahui kelayakan usaha dimasa mendatang dengan
memasukkan faktor nilai uang (discounted criteria) digunakan kriteria Net Present
Value (NPV), dan Net Benefit Cost (Net B/C). Tingkat discount rate diasumsikan
sebesar 12 % (mengacu pada kisaran suku bunga kredit pada saat ini), perhitungan
rentang usaha selama 5 tahun, umur ekonomis peralatan 3 tahun, dan usaha
budidaya dioperasikan mulai tahun pertama.
Usaha budidaya yang dianalisis kelayakan usahanya adalah budidaya
tambak udang tradisional, budidaya kerapu pada karamba jaring tancap, dan
budidaya rumput laut long line.
Rincian biaya dan manfaat pada analisis kelayakan usaha dapat dilihat
pada lampiran 6-11, dan hasil perhitungan nilai π, R/C, NPV, dan Net B/C dapat
dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Analisis Kelayakan Usaha Perikanan Budidaya di Pesisir Kutai Timur
No. KRITERIA TAMBAK UDANG
TRADISIONAL (Rp/ha/th)
RUMPUT LAUT LONG LINE (Rp/unit/th)
KARAMBA TANCAP KERAPU
(Rp/unit/th)
1. Keuntungan (π) (tahun ke-1) (Rp) 12.087.500 10.661.667 31.971.500
2. R/C (tahun ke-1) 1,37 1,39 1,71 3. NPV (Rp) 21.968.175,82 28.307.279 61.057.824,20 4. Net B/C 1,64 2,92 2,20 5. PbP (tahun) 3,94 3,78 3,65
Sumber: Hasil Analisis Data Primer
Tambak Udang Tradisional
Budidaya tambak udang yang dianalisis adalah tambak udang tradisional,
karena menurut Garcia & Garcia (l985) yang diacu oleh Widigdo (2002), di
Philipina produksi tambak tradisional plus sebesar 600-750 kg/ha/musim tanam
akan lebih lestari bila dibandingkan dengan tambak intensif. Sedangkan menurut
Poernomo (1992), di Indonesia tambak yang dikelola dengan sistem ekstensif
(tradisional) dengan produksi secara alami antara 500-750 kg/ha/musim tanam
akan memberikan kelangsungan produksi yang lebih lestari dibanding sistem semi
intensif.
Asumsi usaha pada budidaya tambak tradisional plus adalah: padat
penebaran 2-5 ekor/m2, pakan campuran antara pelet dan ikan rucah, ukuran
tambak 1 ha, dengan teknologi (pompa air dan pemupukan), masa pemeliharaan 6
97
97
bulan (2 musim per tahun), ukuran udang dipanen 20-30 gr dengan rata-rata
produksi 500 kg/ha.
Dari hasil analisis (Tabel 25), diperoleh nilai rasio penerimaan dengan
biaya (R/C) pada tambak udang tradisional seluas 1 ha per tahun sebesar 1,37.
Nilai R/C 1,37 bermakna bahwa setiap Rp 1.000.000,- uang yang dipakai untuk
pembiayaan tambak akan memperoleh manfaat sebesar Rp. 1.370.000,-. Waktu
pengembalian investasi (payback periode) selama 3 tahun 9 bulan. Nilai NPV
sebesar Rp 21.968.175,82,- menunjukkan keuntungan bersih yang akan diperoleh
selama 10 tahun yang dihitung berdasarkan nilai uang saat ini. Nilai Net B/C yang
diperoleh sebesar 1,64 (Net B/C > 1) bermakna bahwa manfaat yang diperoleh
adalah sebesar 1,64 kali lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Sehingga
berdasarkan semua kriteria tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa usaha
budidaya tambak udang dengan teknologi tradisional plus layak
direkomendasikan untuk dikembangkan di pesisir Kabupaten Kutai Timur.
Budidaya Rumput Laut Long Line
Budidaya rumput laut yang dianalisis adalah budidaya rumput laut
Eucheuma cottonii sistem long line, dengan asumsi usaha menurut Anggadireja
(2006) sebagai berikut: berat benih 100 gr per simpul, jarak simpul 25x100 cm,
ukuran tiap unit long line 2.400 m², masa pemeliharaan 3 bulan (4 musim tiap
tahun), dan produksi rata-rata 2.375 kg rumput laut kering/unit.
Dari hasil analisis (Tabel 25), diperoleh nilai rasio penerimaan dengan
biaya (R/C) pada budidaya rumput laut long line seluas 2.400 m² per tahun
sebesar 1,39. Nilai R/C 1,39 bermakna bahwa setiap Rp 1.000.000,- uang yang
dipakai untuk pembiayaan rumput laut akan memperoleh manfaat sebesar Rp.
1.390.000,-. Waktu pengembalian investasi (payback periode) selama 3 tahun 7
bulan. Nilai NPV sebesar Rp 28.307.279,- menunjukkan keuntungan bersih yang
akan diperoleh selama 10 tahun yang dihitung berdasarkan nilai uang saat ini.
Nilai Net B/C yang diperoleh sebesar 2,92 (Net B/C > 1) bermakna bahwa
manfaat yang diperoleh adalah sebesar 2,92 kali lebih besar dari biaya yang
dikeluarkan. Sehingga berdasarkan semua kriteria tersebut di atas, dapat dikatakan
bahwa usaha budidaya rumput laut long line layak direkomendasikan untuk
dikembangkan di pesisir Kabupaten Kutai Timur.
98
98
Karamba Tancap untuk Budidaya Kerapu Tikus
Karamba tancap yang dianalisis adalah karamba untuk budidaya kerapu
tikus. Asumsi usaha diambil sesuai dengan analisis Subandar (2005) untuk
budidaya kerapu dalam karamba jaring apung, yaitu: padat penebaran 300
ekor/lubang, survival rate 30 %, pakan ikan rucah rata-rata sebanyak 20 kg per
hari, ukuran tiap unit long line 144 m² yang terdiri dari 4 lubang (6x6x3
m3/lubang), masa pemeliharaan 15 bulan (0,8 musim tiap tahun), ukuran panen
0,5 kg/ekor, dan produksi rata-rata 105 kg/lubang (420 kg/unit).
Dari hasil analisis (Tabel 25), diperoleh nilai rasio penerimaan dengan
biaya (R/C) pada budidaya kerapu dalam karamba tancap seluas 144 m² per tahun
sebesar 1,71. Nilai ini bermakna bahwa setiap Rp 1.000.000,- uang yang dipakai
untuk pembiayaan karamba akan memperoleh manfaat sebesar Rp. 1.710.000,-.
Waktu pengembalian investasi (payback periode) selama 3 tahun 6 bulan. Nilai
NPV sebesar Rp 61.057.824,20,- menunjukkan keuntungan bersih yang akan
diperoleh selama 10 tahun yang dihitung berdasarkan nilai uang saat ini. Nilai Net
B/C yang diperoleh sebesar 2,20 (Net B/C > 1) bermakna bahwa manfaat yang
diperoleh adalah sebesar 2,20 kali lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.
Sehingga berdasarkan semua kriteria tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa
usaha budidaya kerapu tikus dalam karamba tancap layak direkomendasikan
untuk dikembangkan di pesisir Kabupaten Kutai Timur.
Proyeksi Peningkatan Pendapatan 1. Budidaya Tambak
Jumlah unit tambak yang dapat diusahakan berdasarkan kapasitas lahan adalah
3.913 unit. Berdasarkan asumsi keuntungan pada Tabel 26 di atas, yaitu
sebesar Rp 12.087.500,- maka diperkirakan akan diperoleh pendapatan
sebesar Rp 47.298.387.500,- per tahun dari usaha budidaya tambak.
2. Budidaya karamba jaring tancap
Jumlah unit yang dapat dibangun untuk karamba jaring tancap adalah 28.550
unit usaha karamba. Berdasarkan asumsi keuntungan pada Tabel 26 sebesar
Rp 31.971.500,- maka diperkirakan akan diperoleh pendapatan sebesar
Rp 912.786.325.000,- per tahun dari usaha budidaya karamba.
99
99
3. Budidaya rumput laut long line
Jumlah unit yang dapat dibangun untuk budidaya rumput laut long line sekitar
13.528 unit usaha. Berdasarkan asumsi keuntungan pada Tabel 26, yaitu
sebesar Rp 10.661.667,- maka diperkirakan akan diperoleh pendapatan sekitar
Rp 144.231.031.176,- per tahun dari usaha budidaya rumput laut.
Unsur-unsur Strategis SWOT
1) Kekuatan:
S1: Ketersediaan Lahan Masih Luas
Hasil analisis spasial terhadap peta kesesuaian lahan menunjukkan bahwa
luas efektif pesisir Kabupaten Kutai Timur yang dapat dimanfaatkan untuk
budidaya tambak seluas 3.913,34 ha, untuk budidaya karamba jaring tancap
seluas 411,13 ha dan untuk budidaya rumput laut long line seluas 3.246,62 ha.
S2: Adanya Investasi dari Masyarakat
Selain adanya investasi dari luar, pengembangan perikanan budidaya
pesisir mempunyai faktor kekuatan yang cukup besar, yaitu adanya minat
masyarakat dalam menginvestasikan modalnya dalam usaha perikanan budidaya
pesisir. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa sebagian besar
modal untuk kegiatan budidaya, baik di tambak, karamba, maupun rumput laut
berasal dari modal pribadi pembudidaya.
S3: Kelayakan Usaha Perikanan Budidaya di Pesisir
Berdasarkan kelayakan ekonomi, pengembangan budidaya tambak
diproyeksikan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar
Rp 47.298.387.500,- per tahun, pengembangan budidaya karamba diproyeksikan
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar Rp 912.786.325.000,- per
tahun, dan pengembangan budidaya rumput laut diproyeksikan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar Rp 144.231.031.176,- per tahun.
100
100
S4: Tersedia Tenaga Kerja Lokal
Data dari BPS Kabupaten Kutai Timur menunjukkan jumlah angkatan
kerja pada tahun 2004 di Kabupaten Kutai Timur adalah 111.286 orang. Dari
jumlah angkatan kerja tersebut yang masih mencari pekerjaan sebanyak 3.733
orang (3,35%), sedangkan yang lainnya masih bersekolah (5,86%), tidak bekerja
karena mengurus rumah tangga (26,22%), sudah bekerja (60,21%), dan lain-lain
(4,35%). Jumlah angkatan kerja yang masih mencari pekerjaan ini merupakan
tenaga kerja yang perlu diberi kesempatan kerja dengan pengembangan perikanan
budidaya.
S5: Etos Kerja Budidaya
Masyarakat di pesisir Kabupaten Kutai Timur sebagian besar (lebih dari
60%) adalah pendatang dari P. Sulawesi. Jiwa bahari dari para pendatang ini
merupakan modal yang besar dalam pengembangan perikanan budidaya di pesisir,
karena masyarakat sudah terbiasa dengan kehidupan di laut. Dari hasil
wawancara, masyarakat di pesisir Kabupaten Kutai Timur menunjukkan minat
yang cukup tinggi untuk melakukan usaha perikanan budidaya sebagai pekerjaan
sampingan dari pekerjaan utama mereka sebagai nelayan. Saat ini di Kecamatan
Sangatta sudah cukup banyak nelayan yang beralih profesi menjadi pembudidaya
karamba tancap dan rumput laut.
S6: Tersedia Sarana Kelembagaan Budidaya
Sebagai bentuk dukungan terhadap pengembangan perikanan budidaya
Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur membentuk Unit Pelayanan
Pengembangan (UPP) Perikanan budidaya, yang dibentuk dengan Surat
Keputusan Bupati Kutai Timur. Salah satu fungsi UPP perikanan budidaya ini
adalah memberi rekomendasi pada Kelompok Pengelola Budidaya yang terdapat
di kecamatan-kecamatan untuk memperoleh pinjaman Dana Penguatan Modal
dari Bank BRI.
Selain lembaga UPP ini, di Kabupaten Kutai Timur ini terdapat dua
koperasi perikanan, yaitu: Koperasi Perikanan Bukit Pelangi dan Koperasi
Perikanan Wana Mina. Namun koperasi ini belum mampu membantu para
pembudidaya dalam mengatasi permasalahan pemasaran hasil budidaya.
101
101
2) Kelemahan:
W1: Terbatas Sarana Produksi/Infrastuktur Penunjang
Sarana produksi dan infrastruktur penunjang perikanan budidaya pesisir
bisa dikatakan belum tersedia sama sekali di Kabupaten Kutai Timur, baik dari
sarana pembenihan, penyediaan sarana produksi seperti pakan, obat-obatan, dan
peralatan budidaya, maupun sarana pengolahan pascapanen. Untuk memenuhi
semua kebutuhan sarana produksi tersebut, pembudidaya harus mencarinya ke
luar daerah seperti Bontang, Samarinda, dan Balikpapan.
W2: Kurangnya Sarana Informasi Pasar
Pembudidaya rumput laut dan kerapu di Kabupaten Kutai Timur belum
mepunyai informasi pasar nasional dan internasional yang cukup memadai untuk
memasarkan hasil panennya. Selama ini pembudidaya hanya menjual hasil
panennya ke tengkulak dengan harga sesuai yang ditawarkan tengkulak, sehingga
harga yang diperoleh relatif rendah.
W3: Kurang Pengetahuan Teknologi Budidaya
Berdasarkan hasil pengamatan pada saat survei, beberapa unit karamba
kerapu yang diamati dalam keadaan kosong. Tersendatnya usaha budidaya
karamba kerapu ini terjadi karena pembudidaya tidak menguasai faktor teknologi
dan manajamen budidaya dengan baik, terutama faktor benih yang bermutu,
pengendalian hama dan penyakit, pakan ikan, serta pemilihan lokasi yang benar.
Demikian juga dengan budidaya rumput laut, unit yang kosong terjadi karena
pembudidaya kesulitan memperoleh benih rumput laut yang unggul, serta kondisi
oseanografi yang ekstrim pada musim angin selatan dan pancaroba.
Pada usaha budidaya tambak, kolam-kolam yang kosong terjadi karena
pembudidaya kesulitan memperoleh benih udang dan ikan bandeng yang bermutu.
Sedangkan benih alam yang ditangkap dari perairan disekitarnya dijual dengan
harga yang lebih mahal dibanding harga benih dari hatchery. Sebagai contohnya
adalah benur alam ukuran fingerling dibeli dengan harga Rp. 100,00/ekor
sementara bila dibeli dari hatchery harganya Rp. 40,00/ekor. Namun yang menjadi
masalah adalah di Kabupaten Kutai Timur tidak ada hatchery, hatchery yang
102
102
terdekat berada di Kota Balikpapan yang jaraknya sekitar 250 km atau sekitar 6
jam bila ditempuh melalui jalan darat.
W4: Kurang Pengetahuan Teknologi Pasca Panen
Teknologi pascapanen juga belum dikuasai dengan baik oleh
pembudidaya. Hasil panen dari budidaya tambak umumnya dijual dalam keadaan
segar, namun karena belum ada coldstorage pendinginan hanya dilakukan dengan
menggunakan es batu. Sedangkan pabrik es batu belum tersedia, sehingga es batu
dibuat dengan menggunakan refrigerator (lemari es), akibatnya harga es menjadi
mahal, dan menambah tinggi biaya produksi. Pabrik es batu yang pernah
dibangun dengan dana dari proyek PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pesisir) pada tahun 2003 di Dusun Kenyamukan, Kecamatan Sangatta sudah tidak
dapat berproduksi 2 bulan setelah pabrik tersebut dibangun. Masalahnya karena
tidak cukup suplai air tawar untuk pembuatan es dan tidak ada teknisi yang dapat
melakukan perawatan mesin terhadap pabrik es tersebut.
Perlakuan pascapanen terhadap rumput laut adalah dengan pengeringan.
Belum ada usaha pengolahan terhadap rumput laut menjadi produk jadi seperti
manisan, dodol, atau serbuk agar-agar. Sementara itu sebagai pembanding, para
pembudidaya rumput laut di Kota Bontang telah mampu mengolah rumput laut
menjadi manisan dan dodol, dan dijual sebagai oleh-oleh khas daerah tersebut.
W5: Kualitas SDM Rendah
Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Kutai Timur masih
rendah, terutama masyarakat di desa pantai, karena umumnya desa-desa pantai di
Kabupaten Kutai Timur masih terisolir dan kurang fasilitas pendidikan.
Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Kutai Timur tahun 2005, tingkat
pendidikan tertinggi yang dicapai oleh penduduk usia 10 tahun ke atas adalah:
tidak sekolah sebanyak 31.673 orang (25,60%), tamat Sekolah Dasar sebanyak
41.397 orang (33,46%), dan tamat Sekolah Lanjutan Pertama sebanyak 25.479
orang (20,59%), atau sekitar 79,65% penduduk Kabupaten Kutai Timur hanya
berpendidikan di bawah Sekolah Lanjutan Pertama. Rendahnya tingkat
pendidikan ini menyebabkan informasi teknologi budidaya lambat diserap oleh
masyarakat. Selain itu masyarakat juga kurang memahami pentingnya menjaga
103
103
kelestarian sumberdaya alam untuk mendukung keberlanjutan usaha perikanan
budidaya.
3) Peluang:
O1: Permintaan Pasar Tinggi
Peluang terbesar yang mendukung pengembangan perikanan budidaya
pesisir adalah permintaan terhadap produk perikanan yang semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Sebagian besar spesies budididaya laut seperti ikan napoleon,
ikan kerapu, udang lobster, teripang, abalone, kerang mutiara merupakan
komoditas ekspor yang sangat diminati oleh pasar internasional sehingga
memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Tidak hanya pasar internasional, di dalam
negeripun pemintaan produk budidaya laut untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
(seafood) masyarakat terus meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan
masyarakat dan perubahan pola hidup masyarakat dari agraris menjadi industri
(Soebagio, 2004).
Hasil penelitian FAO (1993) yang diacu oleh Soebagio (2004),
mendapatkan adanya kecenderungan perubahan pola makan masyarakat agraris
yang sedang berubah menjadi masyarakat industri. Salah satu perubahan pola
makan tersebut adalah adanya kecenderungan peningkatan jumlah manusia yang
makan di luar rumah, seperti di kantin kantor, katering, restoran. Perubahan pola
makan tersebut menuntut adanya makanan dan bahan makanan yang gampang dan
cepat disajikan dan dimakan (ready to eat) atau dimasak (ready to cooked),
seseuai dengan pola hidup masyarakat industri yang serba cepat. Hasil penelitian
tersebut juga memperlihatkan adanya kecenderungan peningkatan konsumsi
makanan dari laut (seafood).
Kebutuhan kerapu untuk pasar dunia total diperkirakan sebesar 24.200 ton
per tahun atau sebesar US$ 290 juta untuk harga rata-rata US$ 12 per kilogram
(BPPT, 2002). Sedangkan untuk pasar rumput laut jenis Euchema cottoni, pada
tahun 2006 kebutuhan dunia diperkirakan sebesar 202.300 ton kering dan sampai
tahun 2010 diperkirakan sekitar 274.100 ton kering (Anggadireja et al, 2006).
Harga ikan kerapu tikus dalam keadaan hidup ditingkat nelayan dapat
mencapai US$ 20 (Rp 200.000,-) untuk setiap kilogramnya. Ikan tersebut
104
104
diekspor terutama ke Hongkong dengan harga jual yang berlipat kali. Harga
rumput laut kering juga meningkat cukup tajam yaitu Rp. 2.450/kg pada tahun
2004 menjadi Rp. 4000/kg pada tahun 2006.
O2: Dukungan Permodalan dari Pemda dan Perusahaan Mitra
Peluang lain dalam pengembangan perikanan budidaya adalah adanya
dukungan modal dari pemerintah dan perusahaan mitra. Pada tahun 2006, Dirjen
budidaya DKP Pusat memberi batuan untuk pengembangan rumput laut dengan
penyaluran melalui Dana Penguatan Modal (DPM) bank BRI sebesar 140 juta.
Bunga Angsuran yang harus dibayar petani sebesar 6% dengan jangka waktu
pembayaran per 3 bulan. Sedangkan untuk karamba kerapu, Dirjen budidaya DKP
Pusat memberi bantuan sebesar 285 juta untuk 10 unit karamba. Bunga Angsuran
yang harus dibayar petani sebesar 6% dengan jangka waktu pembayaran per tahun
untuk budidaya karamba kerapu. Untuk memperoleh pinjaman ini Kelompok
Pengelola Budidaya yang terdapat di kecamatan-kecamatan harus mengajukan
permohonan pinjaman Dana Penguatan Modal ke Bank BRI berdasarkan
rekomendasi dari UPP Perikanan budidaya.
Selain investasi yang berasal dari Dirjen Budidaya DKP Pusat, Dinas
Kelautan Perikanan Kabupaten Kutai Timur juga memberikan bantuan berupa
proyek demplot untuk budidaya rumput laut sebesar Rp. 275 juta pada tahun
2006.
O3: Adanya Lembaga Pendidikan yang Mendukung Perikanan Budidaya
Lembaga pendidikan yang mendukung pengembangan perikanan budidaya
di Kabupaten Kutai Timur adalah Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur
(STIPER Kutai Timur) dan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Kelautan
Sangatta (SMKN Kelautan Sangatta).
Salah satu Program Studi di STIPER Kutai Timur adalah Program Studi
Ilmu Kelautan. Program Studi ini mempunyai konsentrasi pada pengembangan
potensi pesisir dan laut di Kabupaten Kutai Timur. Out put dari program studi ini
adalah sarjana perikanan dengan kompetensi 40 % teori dan 60 % praktek.
Sedangkan SMKN Kelautan Sangatta menghasilkan lulusan dengan kompetensi
105
105
sebagai teknisi budidaya. Para lulusan ini merupakan SDM yang dapat
diberdayakan untuk pengembangan perikanan budidaya.
4) Ancaman:
T1: Tengkulak yang Mendominasi Pasar
Belum tersedianya lembaga pemasaran semacam koperasi yang mampu
menampung dan memasarkan hasil budidaya menyebabkan masyarakat terpaksa
menjual hasil panennya pada penampung/tengkulak, yang akan membawa hasil
panen tersebut ke eksportir di Balikpapan.
Belum berfungsinya lembaga pemasaran ini berimbas pada harga produk
yang fluktuatif di tingkat pembudidaya. Harga kerapu tikus yang diperoleh
pembudidaya dari tengkulak/penampung adalah sekitar Rp. 230.000,00 per
kilogram dalam keadaan hidup. Sedangkan bila dijual langsung ke eksportir di
Balikpapan harga yang diperoleh adalah Rp. 300.000,00. Selain kurang
berfungsinya lembaga pemasaran, terjadinya fluktuasi harga adalah karena
pembudidaya tidak mengetahui informasi pasar yang terkini, baik mengenai
harga, permintaan pasar, maupun siapa konsumen yang memerlukan produk
perikanan.
T2: Persaingan dengan Produk dari Luar Daerah
Ancaman lain dalam pemasaran hasil budidaya adalah adanya produk dari
daerah lain, misalnya Kota Bontang. Perikanan budidaya pesisir di Kota Bontang
lebih maju dibanding budidaya di Kabupaten Kutai Timur, karena sarana dan
prasarana serta akses ke Bontang sudah tersedia, sehingga pemasarannya lebih
luas. Produksi tambak seperti bandeng dan udang windu dari Bontang banyak
masuk ke pasar di Sangatta, ibukota Kabupaten Kutai Timur.
T3: Pencemaran Industri pada Daerah Aliran Sungai (DAS)
Ancaman dari lingkungan terhadap pengembangan budidaya di
KabupatenKutai Timur adalah tingginya sedimentasi dan polutan yang terbawa
melalui sungai. Pemukiman di Pulau Kalimantan umumnya berada di sepanjang
sungai, karena dahulunya sungai merupakan sarana transportasi yang vital
sebelum dibangun jalan darat. Selain pemukiman, banyak kegiatan seperti
106
106
transportasi sungai, pasar, dan industri yang membuang limbah ke sungai. Dari
hasil pengamatan pada sungai-sungai yang berada di tengah kota seperti S.
Sangatta, polutan yang sering ditemukan adalah minyak dan sampah. Sementara
sungai yang jauh dari kota umumnya masih bersih dari sampah.
T4: Konflik Pemanfaatan Lahan
Ancaman dari aspek sosial adalah adanya konflik pemanfaatan lahan antar
stakeholders di pesisir Kabupaten Kutai Timur. Konflik yang pernah terjadi
adalah antara perusahaan pertambangan PT Kaltim Prima Coal dengan
pembudidaya karamba pada Januari 2005.
T5: Kondisi Oseanografi yang Ekstrim pada Musim Tertentu
Kualitas perairan di pesisir Kabupaten Kutai Timur cukup mendukung
usaha perikanan budidaya. Namun pada saat tertentu kondisi arus dan gelombang,
yang sangat dipengaruhi oleh musim angin, dapat menjadi ekstrim dan merupakan
ancaman bagi kelanjutan usaha budidaya. Oleh karena itu diperlukan adanya input
teknologi yang dapat mengatasi ancaman tersebut.
Strategi Pengembangan Perikanan budidaya Pesisir
Strategi pengembangan perikanan budidaya pesisir di Kabupaten Kutai
Timur dianalisa dengan menggunakan analisis SWOT.
Tabel 27. Hasil External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) Faktor-faktor
Strategi Eksternal Bobot Rating Skor Komentar
1 2 3 4 5 Peluang: O1: permintaan pasar tinggi O2: dukungan permodalan dari pemda dan mitra O3: Adanya Lembaga Pendidikan yang Mendukung
Perikanan Budidaya
0,20 0,15 0,10
4 4 2
0,80 0,60 0,20
Pemasaran Permodalan Teknologi
Ancaman: T1: tengkulak yang mendominasi pasar T2: persaingan dengan produk dari luar daerah T3: pencemaran industri pada DAS T4: konflik pemanfaatan lahan T5: kondisi oseanografi yang ekstrim
0,15 0,10 0,10 0,15 0,05
1 1 2 2 2
0,15 0,10 0,20 0,30 0,10
Pemasaran Pemasaran Teknologi Sosial Teknologi
TOTAL 1,00 2,45 Sumber: Analisis Data Primer
107
107
Tabel 28. Hasil Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS)
Faktor-faktor Strategi Internal Bobot Rating Skor Komentar
1 2 3 4 5 Kekuatan: S1: ketersediaan lahan masih luas S2: adanya investasi dari masyarakat S3: kelayakan usaha perikanan budidaya pesisir S4: tersedia tenaga kerja lokal S5: etos kerja budidaya S6: tersedia sarana kelembagaan budidaya
0,1 0,1 0,1 0,1 0,05 0,05
4 3 3 2 1 1
0,4 0,3 0,3 0,2 0,05 0,05
Permodalan Permodalan Pendapatan Sosial Sosial Kelembagaan
Kelemahan: W1: terbatas sarana produksi/infrastuktur penunjangW2: kurangnya sarana informasi pasar W3: kurang pengetahuan tentang budidaya W4: kurang pengetahuan teknologi pasca panen W5: kualitas SDM rendah
0,15 0,1 0,1 0,1 0,05
1 1 2 2 3
0,15 0,1 0,2 0,2 0,15
Sarana Pemasaran Teknologi Teknologi Sosial
TOTAL 1,00 2,10 Sumber: Analisis Data Primer Dari hasil pembobotan terhadap faktor-faktor yang berpengaruh diperoleh hasil bahwa faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) lebih besar pengaruhnya dibanding faktor internal (kekuatan dan kelemahan), terhadap pengembangan perikanan budidaya pesisir di pesisir kabupaten Kutai Timur, dengan rasio sebesar 2,45 : 2,10. Berdasarkan matriks EFAS dan IFAS tersebut di atas, maka dengan model matriks TOWS diperoleh strategi-strategi yang dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu:
i) Strategi SO, yaitu penggunaan unsur-unsur kekuatan wilayah pesisir untuk mendapatkan keuntungan dari peluang-peluang yang ada;
ii) Strategi WO, yaitu memperbaiki kelemahan yang ada di wilayah pesisir dengan memanfaatkan peluang yang tersedia,
iii) Strategi ST, yaitu penggunaan kekuatan yang ada untuk menghindari atau memperkecil dampak dari ancaman eksternal;
iv) Strategi WT, yaitu taktik pertahanan yang diarahkan pada pengurangan kelemahan internal untuk menghadapi ancaman eksternal (Vincentius, 2003)
108
108
Tabel 29. Matriks TOWS Strategi Pengembangan Kawasan Perikanan budidaya
MATRIKS TOWS
STRENGTH (S) S1: ketersediaan lahan masih luas S2: adanya investasi dari
masyarakat S3: kelayakan usaha perikanan
budidaya pesisir S4: tersedia tenaga kerja lokal S5: etos kerja budidaya S6: tersedia sarana kelembagaan
budidaya
WEAKNESSES (W) W1: terbatas sarana
produksi/ infrastuktur penunjang
W2: kurangnya informasi pasar
W3: kurang pengetahuan tentang budidaya
W4: kurang pengetahuan teknologi pasca panen
W5: kualitas SDM rendah OPPORTUNITIES (O)
O1: permintaan pasar tinggi O2: dukungan permodalan dari
pemda dan mitra O3: adanya lembaga pendidikan
yang mendukung perikanan budidaya
STRATEGI SO 1) peningkatan skala usaha
perikanan budidaya dengan memanfaatkan investasi dari mitra atau pemda;
2) pemberdayaan tenaga kerja lokal sebagai pekerjaan sampingan atau utama dalam perikanan budidaya;
STRATEGI WO 1) pengembangan sarana
dan infrastruktur budidaya laut;
2) peningkatan kapasitas SDM di pesisir;
3) pengembangan teknik budidaya dan pengolahan/pasca panen;
THREATH (T) T1: tengkulak yang mendominasi
pasar T2: persaingan dengan produk dari
luar daerah T3: pencemaran industri pada DAS T4: konflik pemanfaatan lahan T5: kondisi oseanografi ekstrim
STRATEGI ST 1) pengembangan sistem
pemasaran yang bisa menggerakkan perekonomian lokal;
2) pengembangan kawasan budidaya terpadu untuk mengoptimalkan pemanfaatan perairan pesisir;
STRATEGI WT 1) pengembangan akses
informasi budidaya melalui kelembagaan yang terkait;
Sumber: Analisis Data Primer
Strategi-strategi di atas selanjutnya diurutkan menurut rangking
berdasarkan jumlah skor unsur-unsur penyusunnya, sebagaimana disajikan pada
Tabel 30.
109
109
Tabel 30. Penentuan Prioritas Strategi Pengembangan Kawasan Budidaya di Pesisir Kabupaten Kutai Timur
UNSUR SWOT KETERKAITAN SKOR RANK
Strategi 1
1) peningkatan skala usaha perikanan budidaya
dengan memanfaatkan investasi dari mitra
perusahaan atau pemda;
S1,S2,S3,O1,O2
2,40
1
Strategi 2 2) pengembangan teknik budidaya dan pasca
panen;
W3,W4,W5,O1,O3 1,55 2
Strategi 3 3) peningkatan kapasitas SDM di pesisir; W3,W4,W5,O2, O3 1,35 3
Strategi 4 4) pemberdayaan tenaga kerja lokal sebagai
pekerjaan sampingan atau utama; S4,S5,O1
1,05
4
Strategi 5 5) pengembangan kawasan budidaya terpadu
untuk mengoptimalkan pemanfaatan
perairan pesisir;
S1,S6,T3,T4,T5 1,05
5
Strategi 6 6) pengembangan sarana dan infrastruktur
budidaya pesisir; W1,O1
0,95
6
Strategi 7 7) pengembangan sistem pemasaran yang bisa
menggerakkan perekonomian lokal; S2,S6,T1,T2
0,60
7
Strategi 8 8) pengembangan akses informasi melalui
kelembagaan yang terkait; W1,W2,T1,T2
0,50
8
Sumber: Analisis Data Primer Setelah memperhatikan segala potensi sumber daya dan aktivitas perikanan
budidaya pesisir di Kabupaten Kutai Timur dan digabungkan dengan faktor dari
analisa SWOT maka disusun rencana program kerja dan rencana strategi dalam
pengembangan perikanan budidaya di pesisir. Selengkapnya rencana strategi yang
kemudian diaplikasikan dalam rencana program adalah sebagai berikut :
Strategi 1
Peningkatan skala usaha perikanan budidaya pesisir.
Pencetakan lahan tambak dan pembuatan unit karamba baru.
Pinjaman lunak, kredit, atau dana bergulir untuk meningkatkan skala
usaha.
Penyediaan sarana produksi seperti benih, pakan, peralatan, dan obat-
obatan untuk operasional budidaya.
110
110
Peningkatan teknologi untuk mengurangi kematian/kegagalan panen.
Strategi 2
Pengembangan teknik budidaya dan pengolahan/pasca panen.
Pelatihan dan pendampingan teknik budidaya dan pasca panen bagi
masyarakat pembudidaya.
Penganekaragaman spesies budidaya laut selain komoditas yang telah
dibudidayakan selama ini, misalnya pembesaran kepiting bakau, abalone,
lobster, kakap, dan sebagainya.
Melakukan penelitian-penelitian yang mendukung pengembangan
teknologi budidaya laut.
Membuat kawasan percontohan/demplot pada satu desa untuk dijadikan
sentra budidaya, sehingga dapat dijadikan percontohan bagi desa-desa
lainnya.
Strategi 3
Peningkatan kapasitas SDM di pesisir.
Mendirikan sekolah di desa-desa pesisir yang terisolir.
Memasukkan mata pelajaran yang terkait dengan kelestarian sumberdaya
alam, terutama sumberdaya pesisir dan laut, sebagai muatan lokal pada
kurikulum di sekolah-sekolah tersebut.
Strategi 4
Pemberdayaan tenaga kerja lokal sebagai pekerjaan utama atau sampingan.
Mengatur kerjasama antara investor yang melakukan usaha budidaya di
pesisir dengan penduduk lokal agar dapat memberikan peluang usaha bagi
penduduk lokal untuk ikut serta dalam usaha perikanan budidaya.
Menetapkan aturan bagi pengusaha/investor untuk menggunakan tenaga
kerja lokal sebelum menggunakan tenaga dari luar daerah.
Mempermudah pemberian kredit untuk usaha budidaya bagi penduduk
lokal.
Pelatihan bagi wanita di desa pesisir agar dapat melakukan pengolahan
hasil perikanan menjadi makanan khas seperti baso ikan, abon ikan,
krupuk kepiting, dodol, manisan rumput laut, dan lain-lain.
111
111
Strategi 5
Pengembangan kawasan budidaya terpadu untuk mengoptimalkan
pemanfaatan perairan pesisir.
Perencanaan kawasan terpadu untuk proses produksi budidaya mulai dari
sarana pembenihan, hingga pengolahan pasca panen.
Pembuatan rencana kawasan (zonasi) untuk kegiatan perikanan tangkap,
budidaya, maupun zona konservasi atau perlindungan.
Mensosialisasikan sistem budidaya selain yang budidaya telah eksisting,
seperti sistem budidaya karamba jaring apung, sea ranching, dan
enclosure.
Melakukan analisis kesesuaian lahan bagi sistem budidaya lain selain
sistem budidaya yang telah eksisting saat ini, seperti tersebut diatas.
Strategi 6
Pengembangan sarana dan infrastruktur budidaya laut.
Pembangunan Unit Pelaksana Teknis (UPT) perikanan budidaya pesisir,
sebagai sarana transfer teknologi budidaya yang cepat ke masyarakat.
Pembangunan sarana transportasi darat dan pelabuhan, untuk membuka
akses ke daerah pesisir yang masih terisolir.
Pembangunan hatchery untuk memproduksi benih ikan bagi sistem
budidaya yang telah berlangsung.
Memfasilitasi kerjasama antara masyarakat pembudidaya dengan agen
(pedagang) sarana produksi perikanan budidaya seperti pakan, obat-
obatan, dan peralatan budidaya, untuk memudahkan pembudidaya
memperoleh saprodi perikanan budidaya.
Pengadaan fasilitas dalam pengawetan ikan hasil produksi budidaya (cold
storage maupun es batu).
Strategi 7
Pengembangan sistem pemasaran yang bisa menggerakkan perekonomian
lokal.
Membuat sistem bisnis yang mendukung posisi tawar (bargaining
position) dari pelaku budidaya (produsen), terutama masyarakat lokal.
112
112
Mengaktifkan fungsi kelembagaan sosial-ekonomi seperti koperasi,
kelompok pembudidaya, PKK, dan sebagainya untuk mendukung kegiatan
pemasaran produk budidaya.
Menjalin kerja sama pemasaran antara kelompok pembudidaya lokal
dengan pengusaha swasta melalui fasilitator pemerintah.
Strategi 8
Pengembangan akses informasi melalui kelembagaan yang terkait.
Pengadaan sarana prasarana komunikasi (pengefektifan wartel), pendirian
pemancar telepon, dan pengadaan sarana transportasi antar daerah dari
pemerintah.
Pembuatan data informasi pemasaran baik untuk kebutuhan dalam atau
luar negeri, yang dapat diakses secara mudah oleh semua pelaku budidaya
di Kabupaten Kutai Timur.