hasil penelitian dan pembahasan -...
TRANSCRIPT
16
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Tapa merupakan salah satu dari 17 Kecamatan yang ada di
Kabupaten Bone Bolango. Kecamatan ini terletak pada garis lintang 1,10 derajat
Lintang Utara 0,20 derajat Lintang Selatan, 123 derajat 40 derajat Bujur Timur,
120 derajat 20 derajat Bujur Barat dan terdiri atas 7 Desa. Luas wilayah
kecamatan Tapa sebesar 64,41 km persegi atau sebesar 3.25 % dari luas wilayah
kabupaten Bone Bolango.
Kecamatan Tapa terdiri dari 7 Desa yaitu Talulobutu, Talumopatu,
Dunggala, Langge, Talulobutu Selatan, Kramat, Meranti. Menurut bagian
pemerintah kecamatan Tapa, status pemerintah desa-desa di Tapa adalah
swakarya dan swasembada.
Jumlah penduduk Kecamatan Tapa pada tahun 2011 adalah 7.447 jiwa.
Rata-rata kepadatan penduduk 116 jiwa/Km2. Penduduk Kecamatan Tapa tersebar
pada 7 Desa dengan jumlah rumah tangga yakni 1779. Sex ratio atau angka
perbandingan antar jenis kelamin penduduk Kecamatan Tapa sebesar 98,38,
berarti jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari laki-laki. Sebagian besar
penduduk di kecamatan Tapa mempunyai kegiatan utama di bagian sektor
pertanian. Jumlah tenaga kerja ini dapat dilihat dari berbagai aspek yakni menurut
angkatan kerja dan non angkatan kerja.
17
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Sejarah Turunani.
Masyarakat Gorontalo terutama di desa Talulobutu kecamatan Tapa
dulunya sangat sulit untuk menyebut Turunani melainkan kata Sulunani yang
sering diucapkan. Karena dulunya masyarakat Gorontalo masih peka dengan
bahasa Gorontalo asli, sehingga sulit untuk menyebutkan kata Turunani
melainkan yang sering diucapkan hanyalah Sulunani. Pada waktu itu Turunani ini
juga sering digunakan oleh masyarakat setempat untuk melangsungkan upacara-
upacara yang sesuai. Namun dengan adanya perkembangan zaman maka tatanan
bahasa berubah dan Turunani ini sudah jarang digunakan. Ini diakibatkan
pengaruh modern yang masuk di tiap-tiap daerah (wawancara, Yamin H: 31
agustus 2013).
Masyarakat Tapa terutama desa Talulobutu tidak terpengaruh dengan
adanya perkembangan tersebut karena masyarakat Tapa sangat berantusias untuk
mempertahankan keberadaan Turunani tersebut. Hal ini terbukti bahwa
masayarakat Tapa khususnya Desa Talulobutu, masih melangsungkan atau
menggunakan kesenian Turunani ditiap-tiap upacara yang akan dilaksanakan.
Dalam hal ini, Turunani merupakan kesenian tradisi yang diwariskan dari
generasi ke generasi secara turun temurun sehingga kelestariannya tetap terjaga.
Kesenian Turunani ini juga adalah kesenian tradisi yang didalamnya memiliki
instrumen-instrumen, lagu yang nantinya akan dimainkan dalam acara-acara atau
upacara-upacara yang sedang berlangsung sesuai acara yang ditentukan.
Menariknya pada kesenian ini yaitu dilihat dari bentuk pertunjukannya, cara
18
memainkannya, dan suara yang dikeluarkan oleh orang yang melantunkan syair-
syair serta memiliki ciri khas tersendiri baik itu dari segi penyajiannya serta
orang-orang yang terkait pada pertunjukan Turunani tersebut. Pertunjukan ini pun
dapat dipertontonkan dengan secara gratis oleh siapapun, karena pertunjukan ini
merupakan suatu hiburan bagi masyarakat dalam suatu acara-acara atau upacara-
upacara yang akan ditentukan.
Kesenian ini diharapkan menjadi suatu kebanggaan masyarakat daerah
Gorontalo khususnya di Desa Talulobutu dan akan bisa menjadi suatu kebudayaan
yang dapat dilestarikan pada saat ini serta pada generasi-generasi muda yang akan
datang. Karena kesenian ini memiliki esensi sangat dalam yang ada hubungannya
dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan kesenian ini pula sudah menjadi suatu
ciri khas daerah Gorontalo. Dengan mengenal secara mendalam kesenian ini, kita
akan memacu pada pengembangan dan peningkatan pembangunan. Namun bukan
berarti akan mengubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Akan tetapi ini semua
menjadi suatu budaya daerah tersebut sebagai alat pengembangan dan
peningkatan pembangunan suatu daerah (wawancara, Yamin Yahya: 8 sept 2013).
Kesenian tradisional ini, khususnya Turunani yaitu memiliki hubungan
yang erat dengan seni musik, karena didalamnya terdapat syair yang akan di
lagukan dan beberapa instrument Rebana yang memiliki pukulan-pukulan sendiri.
4.2.2 Prosesi Upacara Adat Pernikahan Gorontalo
Gorontalo memiliki penduduk yang hampir seluruhnya memeluk agama
Islam, sudah tentu adat istiadatnya sangat menjunjung tinggi kaidah-kaidah Islam.
Untuk itu ada semboyan yang selalu dipegang oleh masyarakat Gorontalo yaitu,
19
‘Adati hula hula Sareati – Sareati hula hula to Kitabullah’ yang artinya, Adat
Bersendikan Syara, Syara Bersendikan Kitabullah. Pengaruh Islam menjadi
hukum tidak tertulis di Gorontalo sehingga mengatur segala kehidupan
masyarakatnya dengan bersendikan Islam. Termasuk tata upacara adat pernikahan
daerah Gorontalo yang sangat bernuansa Islami.
Prosesi pernikahan dilaksanakan menurut Upacara adat yang sesuai
dengan tahapan atau Lenggota Lo Nikah. Tahapan pertama disebut Mopoloduwo
Rahasia, yaitu dimana orang tua dari pria mendatangi kediaman orang tua sang
wanita untuk memperoleh restu pernikahan anak mereka. Apabila keduanya
menyetujui, maka ditentukan waktu untuk melangsungkan Tolobalango atau
peminangan. Tolobalango adalah peminangan secara resmi yang dihadiri oleh
pemangku adat Pembesar Negeri dan keluarga melalui juru bicara pihak keluarga
pria “Lundthu Dulango Layio” dan juru bicara utusan keluarga wanita “Lundthu
Dulango Walato”. Penyampaian maksud peminangan dilantunkan melalui
pantun-pantun yang indah.
Dalam Peminangan Adat Gorontalo tidak menyebutkan biaya pernikahan
(Tonelo) oleh pihak utusan keluarga calon pengantin pria, namun yang terpenting
mengungkapkan Mahar (Maharu) dan penyampaian acara yang akan dilaksanakan
selanjutnya. Pada waktu yang telah disepakati dalam acara Tolobalango maka
prosesi selanjutnya adalah Depito Dutu (antar mahar) maupun antar harta yang
terdiri dari 1 paket mahar, sebuah paket lengkap kosmetik tradisional Gorontalo
dan kosmetik modern, ditambah seperangkat busana pengantin wanita, sirih
Kutannya, serta bermacam buah-buahan dan dilonggato atau bumbu dapur.
20
Semua hantaran ini dimuat dalam sebuah kendaraan yang didekorasi menyerupai
perahu yang disebut Kola-Kola. Arak-arakan hantaran ini dibawa dari rumah
Yiladiya (kediaman/ rumah raja) calon pengantin pria menuju rumah Yiladiya
pengantin wanita diringi dengan gendering adat dan kelompok Tinilo diiringi
tabuhan rebana melantunkan lagu tradisional Gorontalo yang sudah turun
temurun, yang berisi sanjungan, himbauan dan doa keselamatan dalam hidup
berumah tangga dunia dan akhirat.
Pada malam sehari sebelum akad nikah digelar serangkaian acara
Mopotilandthu (malam pertunangan). Acara ini diawali dengan Khatam Qur’an,
proses ini bermakna bahwa calon mempelai wanita telah menamatkan/
menyelesaikan ngajinya dengan membaca ‘Wadhuha’ sampai surat Lahab.
Dilanjutkan dengan Molapi Saronde yaitu tarian yang dibawakan oleh calon
mempelai pria dan ayah atau wali laki-laki. Tarian ini menggunakan sehelai
selendang. Ayah dan calon mempelai pria secara bergantian menarikannya,
sedangkan sang calon mempelai wanita memperhatikan dari kejauhan atau dari
kamar. Bagi calon mempelai pria ini merupakan sarana Molile Huwali (menengok
atau mengintip calon istrinya), dengan tarian ini calon mempelai pria mencuri-curi
pandang untuk melihat calonnya. Saronde dimulai dengan ditandai pemukulan
rebana yang diiringi dengan lagu Turunani dan disusun syair-syairnya dalam
bahasa Arab yang juga merupakan lantunan doa-doa untuk keselamatan.
Kemudian sang calon mempelai wanita ditemani pendamping menampilkan tarian
tradisional Tidi Daa atau Tidi Loilodiya. Tarian ini menggambarkan keberanian
dan keyakinan menghadapi badai yang akan terjadi kelak bila berumah tangga.
21
Usai menarikan Tarian Tidi, calon mempelai wanita duduk kembali ke pelaminan
dan calon mempelai pria dan rombongan pemangku adat beserta keluarga kembali
ke rumahnya.
Keesokan harinya Pemangku Adat melaksanakan Akad Nikah, sebagai
acara puncak dimana kedua mempelai akan disatukan dalan ikatan pernikahan
yang sah menurut Syariat Islam. Dengan cara setengah berjongkok mempelai pria
dan penghulu mengikrarkan Ijab Kabul dan mas kawin yang telah disepakati
kedua belah pihak keluarga. Acara ini selanjutnya ditutup dengan doa sebagai
tanda syukur atas kelancaran acara penikahan ini.
Dari prosesi upacara adat pernikahan di atas, kesenian Turunani ini
terdapat pada tata upacara adat Moponika yang tercantum pada acara
Mopotilanthahu (mempertunangkan) dengan tujuan untuk mengiringi Molapi
Saronde.
4.2.3 Bentuk Pertunjukan Turunani Dalam Upacara Adat Pernikahan
Bentuk seni pertunjukan secara umum bukan hanya dilihat dari satu sisi
tetapi harus keseluruhan sisi yang terkait di dalam seni yang dipertontonkan
tersebut. Keberadaan seni pertunjukan dalam kehidupan masyarakat tentunya
memiliki tingkat kedudukan serta fungsi yang berbeda. Maka dari itu untuk
mempertahankan eksistensinya yang memiliki fungsi disetiap kesenian yang ada,
mampu berperan secara kolektif dan aktif dalam peraturan kehidupan yang
terdapat pada kelompok masyarakat tersebut. Artinya jika kesenian tersebut tidak
diberlakukan atau sudah tidak dipertunjukan maka kehidupan masyarakat tidak
22
berjalan dengan dengan normal, dalam artian akan menimbulkan suatu
kekurangan dengan tidak adanya kesenian yang dimaksudkan tersebut.
Fenomena yang terjadi pada seni pertunjukan di lingkungan masyarakat
tentunya memiliki bentuk tersendiri dalam pelaksanaanya. Dengan adanya bentuk
yang terdapat pada sebuah pertunjukan Turunani, dalam hal ini yang kita
dapatkan pada upacara adat Hui Mopotilanthahu yang mempunyai persiapan
terlebih dahulu dalam pertunjukannya. Persiapan tersebut dimulai dari persiapan
pengantin laki-laki, penari, property, musik pengiring serta kelengkapan yang
akan dibutuhkan pada pertunjukan.
Bentuk pertunjukan Turunani biasanya dilakukan oleh orang-orang yang
sudah mahir karena di dalam pertunjukan Turunani terdapat penari, pemusik
rebana, dan orang yang melantunkan syair. Luntu Dulungo Layi’o
mempersilahkan para Bubato untuk membunyikan rebana pertanda acara
Turunani akan dimulai dengan dipersiapkan tiga macam selendang yang berada di
Tapahula yaitu warna hijau, kuning, dan orens (kuning telur) yang diletakan di
depan pengantin laki-laki. Selendang hijau dan kuning tidak dapat dimainkan
karena kedua warna tersebut merupakan warna simbol dari Bubato (petugas yang
menyelenggarakan acara Turunani).
Di dalam pertunjukan Turunani juga ada orang-orang yang memainkan
alat musik rebana dengan memiliki bagian-bagiannya tersebut seperti pada :
pukulan 3,
22
berjalan dengan dengan normal, dalam artian akan menimbulkan suatu
kekurangan dengan tidak adanya kesenian yang dimaksudkan tersebut.
Fenomena yang terjadi pada seni pertunjukan di lingkungan masyarakat
tentunya memiliki bentuk tersendiri dalam pelaksanaanya. Dengan adanya bentuk
yang terdapat pada sebuah pertunjukan Turunani, dalam hal ini yang kita
dapatkan pada upacara adat Hui Mopotilanthahu yang mempunyai persiapan
terlebih dahulu dalam pertunjukannya. Persiapan tersebut dimulai dari persiapan
pengantin laki-laki, penari, property, musik pengiring serta kelengkapan yang
akan dibutuhkan pada pertunjukan.
Bentuk pertunjukan Turunani biasanya dilakukan oleh orang-orang yang
sudah mahir karena di dalam pertunjukan Turunani terdapat penari, pemusik
rebana, dan orang yang melantunkan syair. Luntu Dulungo Layi’o
mempersilahkan para Bubato untuk membunyikan rebana pertanda acara
Turunani akan dimulai dengan dipersiapkan tiga macam selendang yang berada di
Tapahula yaitu warna hijau, kuning, dan orens (kuning telur) yang diletakan di
depan pengantin laki-laki. Selendang hijau dan kuning tidak dapat dimainkan
karena kedua warna tersebut merupakan warna simbol dari Bubato (petugas yang
menyelenggarakan acara Turunani).
Di dalam pertunjukan Turunani juga ada orang-orang yang memainkan
alat musik rebana dengan memiliki bagian-bagiannya tersebut seperti pada :
pukulan 3,
22
berjalan dengan dengan normal, dalam artian akan menimbulkan suatu
kekurangan dengan tidak adanya kesenian yang dimaksudkan tersebut.
Fenomena yang terjadi pada seni pertunjukan di lingkungan masyarakat
tentunya memiliki bentuk tersendiri dalam pelaksanaanya. Dengan adanya bentuk
yang terdapat pada sebuah pertunjukan Turunani, dalam hal ini yang kita
dapatkan pada upacara adat Hui Mopotilanthahu yang mempunyai persiapan
terlebih dahulu dalam pertunjukannya. Persiapan tersebut dimulai dari persiapan
pengantin laki-laki, penari, property, musik pengiring serta kelengkapan yang
akan dibutuhkan pada pertunjukan.
Bentuk pertunjukan Turunani biasanya dilakukan oleh orang-orang yang
sudah mahir karena di dalam pertunjukan Turunani terdapat penari, pemusik
rebana, dan orang yang melantunkan syair. Luntu Dulungo Layi’o
mempersilahkan para Bubato untuk membunyikan rebana pertanda acara
Turunani akan dimulai dengan dipersiapkan tiga macam selendang yang berada di
Tapahula yaitu warna hijau, kuning, dan orens (kuning telur) yang diletakan di
depan pengantin laki-laki. Selendang hijau dan kuning tidak dapat dimainkan
karena kedua warna tersebut merupakan warna simbol dari Bubato (petugas yang
menyelenggarakan acara Turunani).
Di dalam pertunjukan Turunani juga ada orang-orang yang memainkan
alat musik rebana dengan memiliki bagian-bagiannya tersebut seperti pada :
pukulan 3,
23
pukulan 5,
dan pukulan 7
Dari pukulan-pukulan tersebut akan melahirkan komposisi-komposisi
musik, baik itu dari pukulan 3 dengan pukulan 5 atau pukulan 5 dengan pukulan 7
yang dalam bentuk transkipnya sebagai berikut :
KET : Tak :
Dung :
23
pukulan 5,
dan pukulan 7
Dari pukulan-pukulan tersebut akan melahirkan komposisi-komposisi
musik, baik itu dari pukulan 3 dengan pukulan 5 atau pukulan 5 dengan pukulan 7
yang dalam bentuk transkipnya sebagai berikut :
KET : Tak :
Dung :
23
pukulan 5,
dan pukulan 7
Dari pukulan-pukulan tersebut akan melahirkan komposisi-komposisi
musik, baik itu dari pukulan 3 dengan pukulan 5 atau pukulan 5 dengan pukulan 7
yang dalam bentuk transkipnya sebagai berikut :
KET : Tak :
Dung :
25
Beberapa menit kemudian salah seorang Bubato berdiri serta melakukan
gerakan jalan di tempat ketika pada bar ke 36 dengan ketukan “tak”. Kemudian
seorang bubato melakukan gerakan melangkah kedepan yang diawali dengan kaki
kanan dan dilanjutkan dengan kaki kiri seolah-olah berjalan menuju ke pengantin
putra. Namun sebelum itu, ketika pada bar 41 seorang bubato berputar-putar
kesana-kemari dengan membawa Tapahula yang berisi selendang dan diletakan
didepan calon pengantin putra disaat ketukan “dung” pada bar 43.
26
Pada bar 45 bubato tersebut langsung berdiri menghadap kekanan dan
langsung berjalan dengan posisi tangan kanan di pinggang sedangkan tangan kiri
di depan dada yang berjarak 30 cm ketika di waktu pada bar 46 sampai pada bar
49. Pada bar 50 bubato masih melakukan tarian dengan bergerak kesana kemari
hinggan sampai pada bar 57.
Pada bar 58 bubato lainnya berdiri dan membuka tapahula tersebut dan
mengeluarkan selendang untuk di gunakan pada tarian. Kemudian bubato tersebut
menari kesana kemari dengan posisi tangan kanan dipinggang sedangkan tangan
kiri didepan dada begitu seterusnya hingga pada bar 69. Namun sebelum itu
bubato tersebut melakukan penghormatan kepada pengantin putra.
39
Dari bar 70 masih tetap melakukan gerakan tarian baik itu dari para bubato
maupun pengantin putra. Namun pada bar 75 2 orang bubato turun langsung
untuk menari sampai pada bar 86. Ini terus dilakukan hingga sampai pada bar 319,
dengan secara bersamaan pula lagu Saronde pun selesai ketika pada bar yang
sama yaitu bar 319 .
Dari bentuk transkip diatas yang memiliki pukulan-pukulan tersebut
adalah bentuk pukulan yang di gunakan pada Turunani. Upacara Molapi Saronde
pun dimulai yang diawali dengan istilah momangu rabana dan secara bersamaan
Turunani pun dimulai dengan pukulan 3 dan syair lagu dengan judul Suluta dan
Saronde. Turunani ini juga didalamnya bukan hanya terdapat pukulan-pukulan
rebana saja, tetapi didalam Turunani ini juga terdapat syair-syair lagu yang bentuk
transkipnya sebagai berikut :
Kemudian masuk pada pukulan 5 dan 7 yang menandakan bahwa Salah
seorang Bubato akan menari didepan calon pengantin putra dan akan
menyerahkan selendang kuning pada pengantin putra dengan menyangkutkan
40
selendang kebahunya setelah Bubato tersebut selesai menari. Pengantin putra
melepaskan selendang tersebut dan memberikan penghormatan dengan
mengumpulkan kedua ujung selandang di depan dadanya pertanda pengantin
tersebut akan memulai menari Saronde. Pada waktu menari, pengantin laki-laki
dapat menari kemana-mana bahkan dapat menari sampai di depan pintu kamar
pengantin wanita sambil melirik pengantin wanita yang duduk di pinggiran
ranjang. Begitu seterusnya hingga lagu Saronde selesai. Pada saat Molapi Saronde
selesai maka, Utoliya Luntu Dulungo Layi’o mopomaklumu (memberi tahu)
bahwa Molapi saronde telah selesai dan akan dilanjutkan dengan mohatamu dan
mopotidi.
Dari bentuk pertunjukan Turunani di atas terdapat instrument-instrument
rebana yang memiliki pukulan-pukulan tersendiri seperti pukulan 3, pukulan 5,
dan pukulan 7. Di sini penulis menyimpulkan bahwa dari ketiga pukulan rebana
tersebut terdapat komposisi-komposisi yang bervariasi sehingga enak untuk
dinikmati bagi pelaku dan penikmat serta menimbulkan suasana yang meriah bagi
kedua belah pihak. Ditambah dengan beberapa orang yang melantunkan syair
dengan judul Suluta dan Saronde yang sering digunakan pada upacara adat
pernikahan khususnya pada acara Hui Mopotilanthahu.
4.3 Pembahasan
4.3.1 Fungsi Turunani
Berbicara masalah fungsi, berarti kita harus mengetahui dulu jenis serta
kedudukan kesenian tersebut. Turunani merupakan jenis kesenian tradisi yang
lahir dan berkembang dilingkungan masyarakat Gorontalo khususnya masyarakat
41
Tapa. Turunani menggambarkan hubungan kekeluargaan antara bermasyarakat
dalam menjalin suatu ikatan silaturrahmi. Seperti halnya yang dikatakan oleh
seorang ahli bahwa tradisi adalah hal yang tersedia dimasyarakat sebelumnya dan
telah mengalami penerusan turunan-turunan antargenerasi (Caturwati, 2008:1).
Sebuah seni pertunjukan yang tergabung dalam kehidupan manusia
tentunya memiliki keterkaitan dengan manusia itu sendiri. Keterkaitan tersebut
biasanya memiliki konsep tradisi dalam eksistensinya. Seni tradisi yang tumbuh
dan berkembang dalam tatanan masyarakat akan mampu bertahan jika seni
tersebut memilki manfaat dan fungsi bagi masyarakat tersebut. Seperti halnya
kesenian Turunani yang merupakan kesenian yang berfungsi sebagai hiburan,
sebagai iringan dan sebagai sarana ritual yang dalam hal ini untuk memperoleh
keberkahan serta do’a dari yang Kuasa.
Dari bentuk pertunjukan Turunani yang terdapat pada hasil penelitian,
maka peneliti dapat menyimpulkan dengan secara ringkas peranan fungsi
Turunani sebagai bentuk iringan dalam Molapi Saronde yang dalam hal ini dapat
dikategorikan sebagai berikut :
a. Dapat membantu menguatkan suasana dari setiap peradegan yang dilakukan
oleh penari. Karena ini dilihat dari penari yang mengikuti tabuhan-tabuhan
rebana tersebut.
b. Memperjelas dinamika yang definisinya sebagai volume bunyi yang kuat atau
lembut dan perubahan yang berangsur-angsur dari kuat ke lemah atau
sebaliknya. Dinamika tersebut sangat mendukung bagi para penari karena
kalau ditinjau dari tabuhan yang kuat, maka para penari akan terlihat tegas
42
dalam melakukan setiap gerakan. Apalagi ditinjau dari tabuhan yang
berangsur-angsur berubah dari kuat ke lemah ataupun sebaliknya. Ini juga
sangat berpengaruh pada setiap penari melakukan gerakan. Karena dilihat dari
tabuhan yang kuat ke lemah, maka otomatis penari tersebut melakukan gerakan
yang kelihatan tegas ke lembut dan begitupun sebaliknya.
c. Menuntun rasa, perasaan, dan pengungkapan seorang penari.
d. Memperjelas irama, karena dengan adanya terjadinya irama maka mengalir
ketukan-ketukan dasar yang teratur dalam mengikuti beragamnya variasi
tabuhan rebana. Pola irama pada musik memberikan perasaan tertentu pada
setiap insan yang mendengarkan terutama penari, karena pada hakekatnya
irama adalah gerak yang menggerakkan perasaan.
e. Harmonisasi yang merupakan kesesuaian dan keselarasan bunyi dari setiap
instrumen dalam permainan musik kelompok, yang tampil sebagai bentuk yang
utuh, enak didengar dan memenuhi syarat sebagai suatu karya musik. Ini juga
sangat berpengaruh pada setiap penari, karena dari keselarasan bunyi tersebut
maka penari tidak akan terlihat kaku dalam melakukan tarian.
f. Memperjelas daya emosional bagi para pemusik dan penari.
g. Memperjelas intensitas atau tekanan gerak lincah dari calon pengantin putra
sebagai lambang untuk mempertanggung jawabkan rumah tangganya secara
lahir dan batin.
4.3.2 Fungsi Turunani sebagai sarana Ritual dan Hiburan
Fungsi ritual dalam sebuah karya seni sudah tidak asing lagi dibicarakan,
karena seni bersifat secara universal. Tetapi dalam ruang lingkup kesenian tradisi
43
seperti kesenian Turunani yang dilihat dari lantunan syair-syairnya memililki
fungsi ritual bagi kedua belah pihak karena dianggap dapat mendatangkan
keberkahan pada pernikahan serta merupakan do’a bagi kedua belah pihak.
Seni pertunjukan pada umumnya baik pertunjukan seni tari, seni musik,
maupun seni drama pada hakekatnya berfungsi sebagai sarana hiburan. Hiburan
tersebut bisa berupa hiburan untuk pribadi maupun hiburan untuk masyarakat
secara umum. Seni pertunjukan yang memiliki fungsi hiburan, secara umum
memiliki ciri tersendiri jika dibandingkan dengan ciri seni yang berfungsi sebagai
sarana ritual ataupun untuk presentasi estetis. Ciri kesenian yang berfungsi
sebagai sarana hiburan tersebut dapat kita jumpai pada kesenian Turunani dimana
dalam proses upacara adat Hui Mopotilanthahu yang berlangsung meriah serta
kedua belah pihak yang terlibat secara langsung dalam pertunjukan tersebut.
Pertunjukan Turunani dalam masyarakat Tapa memberikan dampak positif
terhadap para pelaku, karena pelaksanaan Turunani di tiap-tiap upacara tersebut
berlangsung meriah. Pada dasarnya dengan adanya kesenian Turunani tersebut
adalah berfungsi sebagai sarana hiburan bagi tuan rumah atau bisa jadi dari
keluarga kedua belah pihak, karena tuan rumah atau kedua belah pihak
memanfaatkan kesenian tersebut sebagai sarana untuk meluapkan rasa gembira
setelah melaksanakan Hui Mopotilanthahu. Seperti yang dikatakan seorang ahli
bahwa fungsi hiburan adalah sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa suka ria
rasa gembira dan pergaulan, (Supartha dan Suparjan, 1982:136)