hematology disorder

23
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Chronic Myeloblatic Leukemia (CML) merupakan kondisi leukemia kronik dengan progresivitas yang berlangsung secara perlahan-lahan ditandai dengan meningkatnya sel mieloid pada sel darah perifer dan hiperplasia mieloid di sumsum tulang. Peningkatan produksi prekursor mieloid yang tidak terkontrol mengakibatkan peningkatan pada jumlah sel granulosit, eritrosit, serta trombosit. Sejumlah besar granulosit yang diproduksi pada kondisi fisiologis seharusnya berguna untuk melawan infeksi. Namun, pada CML, sumsum tulang membentuk terlalu banyak sel tersebut dan tetap mengalami maturasi. Terjadinya Chronic Myeloblatic Leukemia (CML) muncul akibat kelainan pada sel hematopoiesis 1,2 CML termasuk salah satu jenis leukemia yang paling sering muncul di Indonesia dengan prevalensi 15-20% dari total jenis leukemia yang ada. Insiden kejadian CML diperkirakan 2 diantara 100.000 penduduk. Penderita CML predomian pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan yakni dengan rasio 1,4:1. CML dapat diderita oleh semua kelompok umur dan insidennya meningkat perlahan dengan meningkatnya umur. Puncak kejadian CML terjadi pada kelompok usia 50-60 tahun sedangkan kejadian CML pada kelompok anak-anak jarang ditemukan 1

Upload: cinthya-uttari

Post on 18-Feb-2015

60 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

hematology

TRANSCRIPT

Page 1: hematology disorder

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Chronic Myeloblatic Leukemia (CML) merupakan kondisi leukemia kronik

dengan progresivitas yang berlangsung secara perlahan-lahan ditandai dengan

meningkatnya sel mieloid pada sel darah perifer dan hiperplasia mieloid di

sumsum tulang. Peningkatan produksi prekursor mieloid yang tidak terkontrol

mengakibatkan peningkatan pada jumlah sel granulosit, eritrosit, serta trombosit.

Sejumlah besar granulosit yang diproduksi pada kondisi fisiologis seharusnya

berguna untuk melawan infeksi. Namun, pada CML, sumsum tulang membentuk

terlalu banyak sel tersebut dan tetap mengalami maturasi. Terjadinya Chronic

Myeloblatic Leukemia (CML) muncul akibat kelainan pada sel hematopoiesis 1,2

CML termasuk salah satu jenis leukemia yang paling sering muncul di Indonesia

dengan prevalensi 15-20% dari total jenis leukemia yang ada. Insiden kejadian

CML diperkirakan 2 diantara 100.000 penduduk. Penderita CML predomian pada

laki-laki dibandingkan dengan perempuan yakni dengan rasio 1,4:1. CML dapat

diderita oleh semua kelompok umur dan insidennya meningkat perlahan dengan

meningkatnya umur. Puncak kejadian CML terjadi pada kelompok usia 50-60

tahun sedangkan kejadian CML pada kelompok anak-anak jarang ditemukan

yakni sekitar 2-3% dari total kasus CML. Penyakit CML lebih sulit diobati

dibandingkan dengan Acute Myeloid Leukemia (AML) karena perjalanan

penyakitnya yang bersifat kronik. Perjalanan penyakit CML diawali dengan fase

kronik yang jinak berjalan perlahan-lahan dan dapat berkembang dengan cepat

dalam hitungan minggu ke arah krisis blastik yang bersifat fatal dan menyerupai

gejala klinik Acute Myeloid Leukemia (AML). Oleh karena perjalanan CML yang

progresif dan tidak diiringi dengan gejala tidak khas, maka perlu dilakukan kajian

mengenai CML dan strategi terapi sangat diperlukan untuk menghambat

perkembangan dari penyakit ini terutama pada kelompok yang beresiko.1,2,3

1.2 Rumusan Masalah

1

Page 2: hematology disorder

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut:

1. Apakah definisi dan etiologi dari Chronic Myeloblatic Leukemia

(CML)?

2. Bagaimanakah patogenesis dari Chronic Myeloblatic Leukemia

(CML)?

3. Bagaimanakah gejala klinik dari Chronic Myeloblatic Leukemia

(CML)?

4. Apa kelainan laboratorik yang dapat ditemukan pada penderita

Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)?

5. Bagaimanakah tanda-tanda transformasi akut yang muncul pada

penderita Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)?

6. Bagaimana terapi yang dapat diberikan kepada penderita Chronic

Myeloblatic Leukemia (CML)?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dri penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui definisi dan etiologi dari Chronic Myeloblatic Leukemia

(CML)

2. Mengetahui patogenesis dari Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)

3. Mengetahui gejala klinik dari Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)

4. Mengetahui kelainan laboratorik yang dapat ditemukan pada penderita

Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)

5. Mengetahui tanda-tanda transformasi akut yang muncul pada penderita

Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)

6. Mengetahui terapi yang dapat diberikan kepada penderita Chronic

Myeloblatic Leukemia (CML)

1.4 Manfaat Penulisan

2

Page 3: hematology disorder

Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan ini adalah:

1. Memperkaya khazanah medis Indonesia mengenai Chronic

Myeloblatic Leukemia (CML) sehingga dapat memberikan pelayanan

kesehatan yang tepat guna meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat.

2. Melaksanakan Tri Dharma perguruan tinggi negeri sebagai salah satu

kewajiban civitas akademika

3

Page 4: hematology disorder

BAB II

ISI

2.1 Definisi dan Etiologi

Chronic Myeloblastic Leukemia (CML) adalah penyakit klonal sel induk

pluripoten dan digolongkan sebagai salah satu penyakit mieloproliferatif. CML

merupakan neoplasma pada sel tunas hematopoietik yang berpotensi

menimbulkan proliferasi progenitor granulositik. Sedangkan menurut sumber lain,

CML merupakan leukemia kronik dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan

sel leukemia berasal dari transformasi sel induk myeloid.

CML termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari pluripotent stem cell dan

tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif (myeloproliferative

disorders). Penyakit ini mencakup sekitar 15% leukemia dan dapat terjadi pada

semua usia. CML mencakup enam tipe leukemia yang berbeda, tetapi sejauh ini

tipe yang paling umum adalah CML yang disertai dengan kromosom Philadelphia

(Ph). Nama lain untuk leukemia myeloid kronik adalah Chronic myelogenous

leukemia (CML) atau Chronic myelocytic leukemia (CML).2

Penyebab leukemia myeloid kronik (CML) adalah tirosin konstitutif BCR-ABL

aktif kinase. Imatinib menghambat kinase ini, dan dalam studi jangka pendek

lebih unggul daripada interferon alfa plus sitarabin untuk baru didiagnosis CML

dalam tahap kronik. Pada CML dijumpai Phladelphia chromosom (Ph1 chr) suatu

reciprocal translocation 9,22 (t 9;22). Pada hampir 90% penderita, kromosom

Ph1 dengan translokasi t(9;22) ditemukan disemua progeni sel asal myeloid

multipoten yang sedang membelah (yaitu, prekursor granulositik, eritroid, dan

megakariositik). Pada kasus lainnya, dapat dideteksi penyusunan ulang gen BCR-

ABL. Tidak seperti leukemia akut, diferensiasi sel asal leukemik tidak terhambat

dan darah perifer mengandung sel dewasa.2,5

Pada t(9:22) terjadi translokasi sebagian materi genetik pada lengan panjang

kromosom 22 ke lengan panjang kromosom 9 yang bersifat respilokal. Sebagai

akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada lengan panjang kromosom 9

4

Page 5: hematology disorder

mengalami juxtaposisi (bergabung) dengan onkogen BCR pada lengan panjang

kromosom 22. Akibatnya terjadi gabungan onkogen baru (chimeric oncogen)

yaitu BCR–ABL onkogen Gen baru akan mentranskripkan chimeric RNA

sehingga terbentuk chimeric protein (protein 210 kd).2,4,5 

Timbulnya protein baru ini akan memengaruhi transduksi sinyal terutama melalui

tirosin kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi pada sel –

sel myeloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini menyebabkan proliferasi pada seri

myeloid.2

Peningkatan massa sel myeloid tubuh total dalam jumlah besar bertanggung jawab

terhadap sebagian besar gambaran klinis penyakit ini. Pada sedikitnya 70%

pasien, terjadi suatu metamorphosis terminal menjadi leukemia akut yang

seringkali didahului oleh suatu fase akselerasi.2

Secara morfologi, fase kronik menyerupai CML ekspansi jinak myelopoiesis.

Namun, fase kronik genetis tidak stabil, dan tingkat proliferatif yang tinggi

memungkinkan untuk akumulasi tambahan molekul dan kromosom kelainan,

proses ini disebut "evolusi klonal". Evolusi klonal menyebabkan penurunan nilai

hematopoietik diferensiasi, akhirnya menghasilkan akut leukemia (ledakan-fase

CML). Sekitar satu leukemia akut ketiga mirip B-keturunan akut limfositik

leukemia (ALL), sedangkan sisa kasus-kasus tersebut mirip dengan leukemia

myeloid akut (AML), sering dengan fenotipe dibeda-bedakan.6

2.2 Patogenesis

Gambaran klinis penyakit leukemia myeloblastik kronik adalah gejala yang

berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya penurunan berat badan,

kelelahan, anorexia, atau keringat malam. Splenomegali hampir selalu ada dan

seringkali bersifat massif. Pada beberapa pasien, pembesaran limpa disertai

dengan rasa tidak nyaman, nyeri, atau gangguan pencernaan. Gambaran anemia

meliputi pucat, dispnea, dan takikardia. Memar, epistaksis, menorhgia, atau

perdarahan dari tempat-tempa lain akibat fungsi trombosit yang abnormal.

Gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat pemecahan purin

5

Page 6: hematology disorder

yang berlebihan dan dapat menimbulkan masalah. Gejala yang jarang dijumpai

berupa gangguan penglihatan dan priapismus.7

Penyatuan protein BCR-ABL berinteraksi dengan 3 beta (c) subunit reseptor.

Transkrip BCR-ABL aktif secara terus-menerus dan tidak membutuhkan aktivasi

oleh protein sel yang lainnya. BCR-ABL mengaktivasi kaskade dari protein yang

mengontrol siklus sel, mempercepat pembelahan sel. Kemudian, protein BCR-

ABL menghambat perbaikan DNA, menyebabkan instabilitas gen dan

menyebabkan sel dapat berkembang lebih jauh menjadi gen yang abnormal.

Tindakan dari protein BCR-ABL adalah penyebab patofisiologi dari chronic

myeloblastic leukemia. Dengan pemahaman tentang protein BCR-ABL dan

tindakannya sebagai tyrosine kinase, targeted therapy dikembangkan yang secara

spesifik menghambat aktifitas dari protein BCR-ABL. Inhibitor dari tyrosine

kinase dapat menyembuhkan CML, karena BCR-ABL tersebut adalah penyebab

dari CML. Penyebab leukemia myeloid kronik (CML) adalah tirosin konstitutif

BCR-ABL aktif kinase. Imatinib menghambat kinase ini, dan dalam studi jangka

pendek lebih unggul daripada interferon alfa plus sitarabin untuk baru didiagnosis

CML dalam tahap kronik.7,8

Chronic myeloblastic leukemia adalah malignansi pertama yang dihubungkan

dengan gen yang abnormal, translokasi kromosom tersebut diketahui sebagai

Philadelphia kromosom yang merupakan translokasi kromosom 9 dan 22. Pada

CML juga ditandai oleh hiperplasia mieloid dengan kenaikan jumlah sel mieloid

yang berdiferensiasi dalam darah dan sumsum tulang.2

Pada CML dijumpai Philadelphiachromosom (Ph1 chr) suatu reciprocal

translocation 9,22 (t 9;22). Pada hampir 90% penderita, kromosom Ph1 dengan

translokasi t(9;22) ditemukan di semua progeni sel asal myeloid multipoten yang

sedang membelah (yaitu, prekursor granulositik, eritroid, dan megakariositik).

Pada kasus lainnya, dapat dideteksi penyusunan ulang gen BCR-C-ABL. Tidak

seperti leukemia akut, diferensiasi sel asal leukemik tidak terhambat dan darah

perifer mengandung sel dewasa.2,4

6

Page 7: hematology disorder

Pada t(9:22) terjadi translokasi sebagian materi genetik pada lengan panjang

kromosom 22 ke lengan panjang kromosom 9 yang bersifat resiprokal. Sebagai

akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada lengan panjang kromosom 9

mengalami juxtaposisi (bergabung) dengan onkogen BCR pada lengan panjang

kromosom 22. Akibatnya terjadi gabungan onkogen baru (chimeric oncogen)

yaitu BCR–ABL onkogen Gen baru akan mentranskripkan chimeric RNA

sehingga terbentuk chimeric protein (protein 210 kd).2,4,5

Timbulnya protein baru ini akan memengaruhi transduksi sinyal terutama melalui

tyrosine kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi pada sel

– sel myeloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini menyebabkan proliferasi pada

sel myeloid.2

Peningkatan massa sel myeloid tubuh total dalam jumlah besar bertanggung jawab

terhadap sebagian besar gambaran klinis penyakit ini. Pada sedikitnya 70%

pasien, terjadi suatu metamorphosis terminal menjadi leukemia akut yang

seringkali didahului oleh suatu fase akselerasi.4

Gambar 1. Patogenesis terjadinya CML

7

Page 8: hematology disorder

2.3 Fase Perjalanan Penyakit dan Tanda-tanda Transformasi Akut

CML sering dibagi menjadi tiga fase berdasarkan karakteristik klinis dan temuan

laboratorium. Tanpa adanya intervensi, CML biasanya dimulai pada fase kronik,

dan selama beberapa tahun berkembang menjadi sebuah fase akselerasi dan

akhirnya krisis blast. Krisis blast adalah fase terminal CML dan secara klinis

tampak seperti leukemia akut. Terapi obat akan menghentikan perkembangan

tersebut jika dimulai sejak dini. Salah satu faktor perkembangan dari fase kronik

sampai akselerasi dan krisis blast adalah akuisisi kelainan kromosom baru (selain

kromosom Philadelphia). Perjalanan penyakit CML dibagi menjadi 3 fase, yaitu :

1. Fase kronik: fase ini berjalan selama 2-5 tahun dan responsif terhadap

kemoterapi. 85% pasien dengan CML berada pada tahapan fase kronik pada saat

mereka didiagnosa dengan CML. Selama fase ini, pasien selalu tidak

mengeluhkan gejala atau hanya ada gejala ringan seperti cepat lelah dan perut

terasa penuh. Lamanya fase kronik bervariasi dan tergantung sebearapa dini

penyakit tersebut telah didiagnosa dan terapi yang digunakan pada saat itu juga.

Tanpa adanya pengobatan yang adekuat, penyakit dapat berkembang menuju ke

fase akselerasi.

2. Fase Akselerasi atau transformasi akut :

a) Pada fase ini perangai klinik CML berubah mirip leukemia akut

b) Sekita 2/3 menunjukan sel blast seri mieloid, sedangkan 1/3 menunjukan

seri limfoid

c) Pada fase akselerasi hitung leukosit menjadi sulit dikendalikan dan

abnormalitas sitogenik tambahan mungkin timbul. Kriteria diagnosa

dimana fase kronik berubah menjadi tahapan fase akselerasi bervariasi.

Kriteria yang banyak digunakan adalah kriteria yang digunakan di MD

Anderson Cancer Center dan kriteria dari WHO. Kriteria WHO untuk

mendiagnosa CML, yaitu :

10-19% myeloblasts di dalam darah atau pada sumsum tulang.

>20% basofil di dalam darah atau sumsum tulang.

Trombosit 100.000, tidak respon terhadap terapi.

8

Page 9: hematology disorder

Evolusi sitogenik dengan adanya abnormal gen yaitu kromosom

philadelphia.

Splenomegali atau jumlah leukosit yang meningkat

3. Fase Krisis Blastik10

Krisis Blastik adalah tahap akhir dalam evolusi CML dan gejalanya seperti

leukemia akut, dengan perkembangan yang cepat dan kelangsungan hidup pendek.

Krisis Blastik didiagnosis jika salah satu dari pernyataan berikut terdapat pada

pasien dengan CML:

a) Blast 20% dari leukosit pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti.

b) Proliferasi blast ekstrameduler.

c) Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang.2

2.4 Gejala Klinik

Penyakit leukemia mieloid kronik terjadi pada kedua jenis kelamin baik laki-laki

maupun perempuan, akan tetapi memiliki rasio yang berbeda (rasio pria : wanita,

sebesar 1,4:1), paling sering terjadi pada orang tua dengan rentangan usia 40 – 60

tahun, akan tetapi tidak menutup kemungkinan penyakit ini juga pada anak,

neonatus, dan pada orang yang sangat tua.5

Dalam perjalanan penyakitnya, leukemia mieloid kronik dapat dibagi menjadi 3

tahap yaitu fase kronik, fase akselerasi, dan fase krisis blast. Pada fase kronik,

pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau merasa cepat kenyang akibat

adanya desakan limpa terhadap lambung. Sering juga muncul gejala non spesifik,

seperti rasa cepat lelah, badan lemah, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat

malam. Penurunan berat badan biasanya terjadi setelah penyakit berlangsung

dalam waktu yang cukup lama. Semua keluhan penyakit ini terjadi akibat adanya

hipermetabolisme karena proliferasi sel-sel leukemia. Setelah mencapai waktu 2-3

tahun, beberapa orang yang menderita penyakit ini mengalami progress atau

akselerasi.2

9

Page 10: hematology disorder

Gambaran Klinis pada penyakit leukemia mieloid kronik antara lain adalah:2

1. Gejala-gelaja yang berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya

penurunan berat badan, kelelahan, anoreksia, dan berkeringan dimalam hari.

2. Hampir selalu terjadi splenomegali, dan seringkali bersifat massif. Pada

beberapa penderita splenomegali disertai dengan rasa tidak nyaman yang dapat

berupa rasa nyeri dan gangguan saluran percernaan, seperti cepat merasa

kenyang.

3. Pasien akan mengalami sindrom anemia pada umumnya yaitu pucat, dyspnea,

dan takikardia.

4. Pasien akan mengalami memar, epitaksis, menorrhagia, atau pendarahan di

tempat-tempat lain akibat adanya trombositopenia.

5. Gout atau gangguan ginjal akan dialami oleh pasien penderita leukemia

mieloid kronik, hal ini disebabkan oleh adanya hiperurikemia akibat

pemecahan purin yang berlebihan.

6. Ada gejala yang jarang ditemui pada penderita leukemia mieloid kronik, akan

tetapi ada kemungkinan ditemukan juga pada penderita leukemia mieloid

kronik, yaitu gangguan penglihatan dan priapismus.

7. Pada 50% kasus yang terdiagnosis, merupakan ketidak sengajaan, yaitu dari

pemeriksaan darah rutin.

2.5 Kelainan Laboratorik

Pada kasus CML dapat dijumpai kelainan laboratorium berikut:2

1. Darah tepi

a) Leukositosis berat 20.000-50.000 pada permulaan kemudian biasanya

lebih dari 100.000/mm3

b) Apusan darah tepi: menunjukkan spektrum lengkap seri granulosit mulai

dari myeloblast sampai neutrofil, dengan komponen paling menonjol ialah

10

Page 11: hematology disorder

segmen neutrofil dan mielosit. Stab, metamielosit, promielosit, dan

myeloblast juga dijumpai. Sel blast kurang dari 5%

c) Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut, bersifat

normokromik normositer

d) Trombosit dapat meningkat, normal, atau turun. Pada fase awal lebih

sering meningkat.

e) Fosfatase alkali neutrofil (neutrophil alkaline phospatase) selalu rendah

2. Sumsum Tulang

Hiperseluler dengan granulosit dominan. Gambarannya mirip dengan apusan

darah tepi, Menunjukkan spektrum lengkap seri mieloid dengan komponen

paling banyak ialah neutropil dan mielosit. Sel blast kurang dari 30%.

Megakariosit pada fase kronik normal atau meningkat

(a) (b)

Gambar 2. hapusan sumsum tulang penderita leukemia granulositik/mielositik kronik dengan pewarnaan giemsa (a) perbesaran 200x (b) perbesaran 1000x.9

3. Sitogenetik dijumpai adanya kromosom Philadelphia (Ph1) pada 95% kasus

4. Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat

5. Pemerikaan PCR (Polymerase Chain Reaction) dapat mendeteksi adanya

chimeric protein BCR-ABL pada 99% kasus

6. Kadar asam urat serum meningkat

Tabel 1. Gambaran laboratorik penderita CML9

11

Page 12: hematology disorder

Gambaran Laboratorik Frekuensi Persentase (%)Anemia 19 100Leukositosis 19 100Trombositosis 10 52,63Trombositopeni 2 10,53Neutropilia segmen 12 63,16Neutroplia staf 16 84,21Eosinofilia 10 52,63Basofilia 5 26,32Limfopeni 18 94,73Monositopeni 18 94,73Peningkatan asam urat 4 21,05

Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa semua penderita CML mengalami anemia

dan leukositosis. Peningkatan terjadi pada jumlah trombosit (52,63%), basofil

(26,32%), eosinofil (52,63%), netrofil staf (63,16%) dan kadar asam urat dalam

darah (21,05%). Gambaran laboratorik lain yang ditemukan adalah limfopenia

(94,73%), netropeni segmen (84,21%) dan monositopeni (63,16%).9

2.6 Terapi

Terapi Chronic Myeloid Leukemia (CML) tergantung dari fase penyakit, yaitu:2,5

1. Fase kronik:

a. Busulphan (Myleran), dosis: 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit diperiksa

tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit menurun

setengahnya. Obat dihentikan jika leukosit 20.000/mm³. Terapi dimulai

jika leukosit naik menjadi 50.000/mm³. efek samping dapat berupa aplasia

sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya timbulnya leukemia

akut.

b. Hydroxiurea, memerlukan pengaturan dosis lebih sering, tetapi efek

samping minimal. Dosis mulai ditrasi dari 500 mg sampai 2000 mg.

Kemudian diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-

15.000/mm³. Efek samping lebih sedikit dan bahaya, keganasan sekunder

hampir tidak ada.

c. Interferon α biasanya diberikan setelah jumlah leukosit terkontrol oleh

hidroksiurea. Pada CML fase kronik interferon dapat memberikan remisi

hematologic pada 80% kasus, tetapi remisi sitogenik hanya tercapai 5-10%

12

Page 13: hematology disorder

kasus. Interferon-α biasanya digunakan bila jumlah leukosit telah

terkendali oleh hidroksiurea dan saat ini merupakan obat terpilih untuk

fase kronik walaupun mungkin akan digantikan oleh inhibitor tirosin

kinase. Regimen yang lazim digunakan adalah 3 sampai 9 megaunit yang

diberikan injeksi subkutan. Tujuannya adalah untuk mempertahankan

jumlah leukosit tetap rendah.

2. Terapi fase akselerasi: sama dengan terapi leukemia akut, tetapi respon sangat

rendah.

3. Transplantasi sumsum tulang: bersifat alogenik atau autolog merupakan satu-

satunya pengobatan kuratif yang memberikan harapan penyembuhan jangka

panjang terutama untuk penderita yang berumur kurang dari 40 tahun.

Sekarang yang umum diberikan adalah allogeneic peripheral blood stem cell

transplantation. Modus terapi ini merupakan satu-satunya yang dapat

memberikan kesembuhan total.

4. Sekarang sedang dikembangkan terapi yang memakai prinsip biologi

molekuler (targeted therapy). Suatu obat baru imatinib mesylate (Gleevec)

dapat menduduki ATP-binding site of abl oncogen sehingga dapat menekan

aktivitas tyrosine kinase sehingga menekan proliferasi seri myeloid. Inhibitor

tirosin kinase. Obat ini sekarang sedang diteliti dalam percobaan klinis dan

tampaknya hasilnya menjanjikan. Zat ST1 571 adalah suatu inhibitor spesifik

terhadap protein ABL yaitu tirosin kinase dan mampu menghasilkan respons

hematologic yang lengkap pada hampir semua pasien yang ada dalam fase

kronik dengan tingkat konversi sumsum tulang yang tinggi dari Ph positif

menjadi Ph negatif. Obat ini mungkin menjadi pengobatan lini pertama pada

CML, baik digunakan sendiri atau bersama dengan interferon.

Respon terhadap pengobatan dapat diketahui berdasarkan beberapa kriteria,

diantaranya kriteria secara hematologi. Apabila leukosit kurang dari 9000/mm³,

tidak dijumpai splenomegali dan morfologi normal maka hal ini menunjukkan

adanya respon pengobatan secara keseluruhan (complete response). Bila leukosit

kurang dari 20.000/ mm³, dijumpai splenomegali maka terdapat respon

pengobatan parsial (partial respon). Dikatakan pengobatan gagal apabila leukosit

lebih dari 20.000/mm3 dan dijumpai splenomegali.2,5

13

Page 14: hematology disorder

Pengaturan pada CML fase akselerasi tergantung dari pengobatan sebelumnya dan

masalah spesifik yang dirasakan pasien. Pada pasien yang penyakitnya

berkembang menjadi fase akselerasi pada saat menunggu untuk transplantasi

sumsum tulang harus dilakukan tranplantasi secepatnya. Imatinib adalah obat

yang paling berguna untuk mengontrol penyakit ini sampai transplantasi tulang

dilakukan, untuk anak-anak yang telah relaps terhadap Imatinib dapat

menggunakan hydroxycarbamide. Manifestasi yang paling umum dari fase

akselerasi adalah splenomegali dan trombositosis. Splenectomy dapat dilakukan

untuk splenomegali yang masif. Trombositosis mungkin sulit untuk dikendalikan

karena trombositosis kadang-kadang resisten terhadap imatinib dan sering resisten

terhadap hydroxycarbamide. Untungnya, walaupun jumlah platelet meningkat

biasanya ditolerir dengan baik dengan trombosis dan pendarahan.2,5

BAB III

14

Page 15: hematology disorder

RINGKASAN

3.1 Ringkasan

Chronic Myeloblastic Leukemia merupakan kondisi leukemia kronik dengan

progresivitas yang berlangsung secara perlahan-lahan ditandai dengan

meningkatnya sel myeloid pada sel darah perifer dan hyperplasia mieloid di

sumsum tulang. Peningkatan produksi precursor mieloid yang tidak terkontrol

mengakibatkan peningkatan pada jumlah sel granulosit, eritrosit, serta trombosit.

Sejumlah besar granulosit yang diproduksi pada kondisi fisiologis seharusnya

berguna untuk melawan infeksi. Namun, pada CML, sumsum tulang membentuk

terlalu banyak sel tersebut dan tidak mengalami maturasi. Ciri khas dari penyakit

ini adalah fusion gen dari BCR-ABL. Salah satu penyebab dari penyakit ini adalah

radiasi ionisasi yang merupakan satu-satunya penyebab yang mungkin diketahui.

Diagnosis CML dapat ditegakan dengan pemeriksaan laboratorium antara lain

pemeriksaan hapusan darah tepi, biopsi sumsum tulang, dan pemeriksaan

sitogenik. Terapi dari CML bertujuan untuk mengatur dari jumlah sel darah putih

yang meningkat. Terapi dari CML antara lain dengan menggunakan obat-obatan

Busulphan (Myleran), Hydroxiurea, dan Interferon gamma atau dengan terapi lain

yaitu transplantasi sumsum tulang, dan target cell.

15