hemoptisis (stase emergensi)
TRANSCRIPT
HEMOPTISIS
Disusun Oleh:
Aemsina Hayatillah
Singgih Kusuma
KEPANITERAAN KLINIK STASE EMERGENSI
RSUP FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Inayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini. Shalawat dan salam marilah senantiasa kita
junjungkan kehadirat Nabi Muhammad SAW.
Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar,
fasilitator, dan narasumber Stase Emergensi RSUP Fatmawati.
Kami sadari Makalah tentang Hemoptisis ini masih jauh dari kesempurnaan.
Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi
kesempurnaannya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan pelajaran
bagi adik-adik kami selanjutnya.
“Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Maka bila kamu telah selesai
(dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya
kepada tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Q.S. Al Insyirah:6-7)”
Jakarta, 26 Juli 2012
Tim Penyusun
2
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR……. ............................................................................... 2
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3
HEMOPTISIS.....................................................................................................
Definisi...........................................................................................................
Etiologi...........................................................................................................
Patofisologi....................................................................................................
Klasifikasi/ Berat Ringannya.........................................................................
Diagnosis........................................................................................................
Komplikasi.....................................................................................................
Penatalaksanaan.............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
4
4
4
4
4
5
8
8
15
3
HEMOPTISIS
DEFINISI
Hemoptisis atau batuk darah adalah ekspektorasi darah atau mukus yang berdarah.
Bila ditemukan gejala ini, maka pasien harus diawasi dengan ketat karena tidak dapat
dipastikan akan berhenti atau berlanjut, dan harus dicari asal serta sebab perdarahan.1
Batuk darah (hemoptisis) atau dahak bercampur darah harus dibedakan dengan muntah
darah (hematemesis), hematemesis disebabkan lesi pada saluran cerna (tukak peptik,
gastritis, varises esofagus); sedangkan hemoptisis lesi di paru-paru atau bronkus/
bronkioli.2
ETIOLOGI
Tuberkulosis adalah penyebab utama hemoptisis pada negara dengan angka pasien
tuberkulosis yang tinggi, misalnya Indonesia. Penyebab lain adalah bronkiektasis, abses
paru, karsinoma paru, bronkitis kronik, dan sebagainya.1
PATOFISIOLOGI
Secara anatomis, asal perdarahan berbeda untuk setiap proses patologis tertentu.
Misalnya pada tuberkulosis, perdarahan mungkin terjadi karena robekan aneurisma arteri
pulmonalis pada dinding kavitas (aneurisma Rassmussen), karena pecahnya anastomosis
bronkopulmonal, atau karena proses erosif pada arteri bronkialis yang membesar.
Perdarahan akibat ulserasi mukosa bronkus juga bisa terjadi, namun jarang masif.
Sedangkan pada bronkitis, perdarahan berasal dari pembuluh darah superfisialis di
mukosa.1
KLASIFIKASI/ BERAT RINGANNYA
4
Didasarkan dari perkiraan jumlah darah yang dibatukkan:2
Bercak (Streaking). Darah bercampur dengan sputum - hal yang sering terjadi,
paling umum pada bronkitis. Volume darah kurang dari 15-20 mL/ 24 jam.
Hemoptisis. Hemoptisis dipastikan ketika total volume darah yang dibatukkan 20-
600 mL di dalam waktu 24 jam. Walaupun tidak spesifik untuk penyakit tertentu, hal ini
berarti pendarahan dari pembuluh darah lebih besar dan biasanya karena kanker paru,
pneumonia (necrotizing pneumonia), TB atau emboli paru.
Hemoptisis Masif. Darah yang dibatukkan dalam waktu 24 jam lebih dari 600 mL
– biasanya karena kanker paru, kavitas pada TB atau bronkiektasis.
Pseudohemoptisis. Pseudohemoptisis adalah batuk darah dari struktur saluran
napas bagian atas (di atas laring) atau dari saluran cerna atas (gastrointestinal) atau hal ini
dapat berupa pendarahan buatan (factitious). Perdarahan yang terakhir biasanya karena
luka disengaja di mulut, faring atau rongga hidung.
DIAGNOSIS
Anamnesis. 1). Volume dan frekuensi batuk darah menentukan kegawatannya dan
hal tersebut dapat mengarahkan ke suatu penyebab spesifik; 2). Sumber paling umum
berupa nasofaring (mimisan). Darah menetes ke faring, mengiritasi laring dan
dibatukkan. Pasien sering dapat menjabarkan rangkaian ini, maka kesan pasien atas
sumber perdarahan umumnya benar. Misalnya, ketika darah berasal dari salah satu paru,
maka pasien akan menunjukkan bagian paru tersebut dan dapat merasakannya seolah-
olah darah berasal dari paru kanan atau kiri. Pastikan pasien bisa membedakan
dibatukkan dengan dimuntahkan; 3). Riwayat penyakit sebelumnya yang dapat
mempengaruhi perdarahan saluran napas juga dicari; 4). Gejala lainnya yang
berhubungan/ terkait dapat membantu dalam mendiagnosis: a). Demam dan batuk
produktif mengisyaratkan infeksi. b). Timbul tiba-tiba karena sesak dan sakit di dada
mengindikasikan kemungkinan emboli paru atau infark miokard yang disertai dengan
gagal jantung kongestif. c). Kehilangan berat badan yang signifikan mengisyaratkan
kanker paru atau infeksi kronik seperti tuberkulosis atau bronkiektasis.2
5
Pemeriksaan Fisis. Tanda-tanda penting. Ketidakstabilan sirkulasi dengan tanda
hipotensi dan takikardia merupakan suatu tanda darurat. Sebabnya dapat berupa
kehilangan darah yang akut pada hemoptisis masif atau penyakit yang menyebabkan/
menyertainya: emboli paru, sepsis, infark miokard dengan edema paru.2
Pemeriksaan Nasofaring. Ditujukan untuk mencari sumber perdarahan dan pada
hemoptisis masif untuk memastikan bahwa saluran napas masih paten (terbuka).2
Pemeriksaan Jantung. Dibutuhkan untuk mengevaluasi kemungkinan adanya
hipertensi paru akut (terdapat peninggian komponen paru suara jantung kedua),
kegagalan ventrikel kiri akut (adanya summation gallop) atau penyakit katup jantung
seperti stenosis mitral. Endokarditis sebelah kanan dapat dideteksi dengan adanya bunyi
desiran karena insufisiensi trikuspid, sering pada penyalah guna obat inravena dan dapat
menyebabkan hemoptisis karena emboli septik.2
Pemeriksaan Dinding dan Rongga Dada. Kelainan di sini secara tersendiri jarang
menjadi penyebab hemoptisis; akan tetapi, temuan tertentu bisa menjadi petunjuk.2
Trauma dinding dada, coba cari adanya memar parenkim paru (pulmonary contusion)
atau laserasi bronkial.
Adanya ronki setempat, berkurangnya suara napas dan perkusi redup/ pekak
(dullness) menunjukkan adanya konsolidasi (disebabkan pneumonia, infark paru, atau
atelektasis pascaobstruksi dari benda asing atau kanker paru).
Pleural friction rub dapat didengar pada area di atas infark paru.
Ronki merata (difus), kardiomegali dan nyaring menunjukkan adanya kemungkinan
edema paru kardiogenik.
Laboratorium. 1). Pemeriksaan darah tepi lengkap. Peningkatan hemoglobin dan
hematokrit menunjukkan adanya kehilangan darah yang akut. Jumlah sel darah putih
yang meninggi mendukung adanya infeksi. Trombositopenia mengisyaratkan
kemungkinan koagulopati; trombositosis mengisyaratkan kemungkinan kanker paru; 2)
Kajian koagulasi, pemeriksaan hemostase berupa waktu protrombin (PT) dan waktu
tromboplastin parsial (aPTT) dianjurkan apabila dicurigai adanya koagulopati atau
apabila pasien tersebut menerima warfarin/ heparin; 3). Analisis gas darah arterial harus
diukur apabila pasien itu sesak yang jelas dan sianosis; 4) Pemeriksaan dahak. Pasien
6
dengan darah bercampur dahak, pewarnaan gram, BTA atau preparasi kalium hidroksida
dapat mengungkapkan penyebab infeksi dan pemeriksaan sitopatologik untuk kanker.2
Tabel. 2.1. Perbedaan Hemoptisis dan Hematemesis
Hemoptisis Hematemesis
Darah yang dibatukkan
Darah biasanya merah muda
Darah bersifat basa
Darah dapat berbusa
Didahului dengan perasaan ingin batuk
Darah yang dimuntahkan
Darah biasanya hitam
Darah bersifat asam
Darah tidak pernah berbusa
Didahului dengan rasa mual dan muntah
Tabel. 2.2. Sebab-sebab Hemoptisis
Sebab Insidensi
Infeksi: Tuberkulosis, abses paru, bronkitis, bronkiektasis, infeksi jamur,
parasit, necrotizing pneumonia.
Neoplasma: Karsinoma bronkogenik, lesi metastasis, adenoma bronkus
Penyakit kardiovaskular: emboli paru, stenosis mitral, malformasi
arteriovena, aneurisma aorta, edema paru
Lain-lainnya: Bronkolitiasis, hemosiderosis idiopatik, sindrom
Goodpasture, terapi antikoagulan, adenoma bronkus
60%
20%
5-10 %
5-10 %
Pencitraan (Imaging). 1). Radiografi dada akan menunjukkan adanya masa paru,
kavitas atau infiltrat yang mungkin menjadi sumber pendarahan; 2). Arteriografi bronkial
selektif dilakukan bila bronkoskopi (lihat bawah) tidak dapat menunjukkan lokasi
pendarahan masif. Embolisasi arteri bronkial selektif untuk mengendalikan perdarahan
dapat berfungsi sebagai terapi yang definitif atau sebagai tindakan antara hingga
torakotomi dapat dilakukan.2
Bronkoskopi. Saluran napas dapat divisualisasi dengan menggunakan bronkoskop
kaku atau fiberoptik. 1). Bronkoskopi fiberoptik dengan anestesia topikal paling sering
digunakan karena instrumen fleksibel ini dapat memvisualisasi bronki subsegmental dan
saluran napas sentral serta lebih nyaman bagi pasien. Satu kelemahan alat ini adalah
diameter tempat menghisap cairan perdarahan (suction port) yang kecil (<2 mm). Jika
7
perdarahan itu besar, maka sistem ini tidak dapat mengevakuasi darah dengan cepat
untuk mempertahankan sistem lensa ini tetap bersih. Kebanyakan benda asing tidak bisa
dipindahkan dengan instrumen ini; 2). Bronkoskopi kaku perlu bagi pasien dengan
hemoptisis masif dan ketika dicurigai terjadi aspirasi benda asing. Kekurangannya adalah
biasanya dibutuhkan anestesia umum dan hanya saluran napas sentral dapat
divisualisasikan.2
KOMPLIKASI
Asfiksia, syok hemoragik, dan penyebaran penyakit ke sisi paru yang sehat.1
PENATALAKSANAAN
Setiap pasien hemoptisis harus dirawat untuk observasi dan evaluasi lebih lanjut.
Hal-hal yang perlu dievaluasi adalah:1
1. Banyaknya/ jumlah perdarahan yang terjadi.
Saat terjadinya batuk dicatat dan setiap darah yang dibatukkan harus dikumpulkan
dalam pot pengukur untuk mengetahui jumlahnya secara tepat dalam suatu periode
tertentu (biasanya 24 jam). Harus diingat bahwa jumlah darah yang dikeluarkan tidak
selalu menggambarkan jumlah perdarahan yang terjadi karena mungkin saja sebagian
darah tertinggal atau terjadi aspirasi dalam paru/ saluran napas.
2. Pemeriksaan fisik.
Diperhatikan adanya insufisiensi pernapasan atau sirkulasi, berupa hipotensi sistemik/
syok, penurunan kesadaran, takikardi, takipnea/ sesak napas, sianosis, dan lain-lain.
Bila ditemukan ronki basah difus di lapangan bawah paru perlu dicurigai telah terjadi
aspirasi yang akan mengganggu pernapasan.
Penatalaksanaan pasien hemoptisis bergantung dari beratnya perdarahan yang
terjadi dan keadaan klinis (kecenderungan perdarahan untuk berhenti/ bertambah, tanda-
tanda asfiksia/ gangguan fungsi paru, dan lain-lain).1
Tujuan pokok terapi ialah:3
1. Mencegah asfiksia.
8
2. Menghentikan perdarahan.
3. Mengobati penyebab utama perdarahan.
Langkah-langkah:3
1. Pemantauan menunjang fungsi vital.
Pemantauan dan tatalaksana hipotensi, anemia dan kolaps kardiovaskuler.
Pemberian oksigen, cairan plasma expander dan darah dipertimbangkan sejak
awal.
Pasien dibimbing untuk batuk yang benar.
2. Mencegah obstruksi saluran napas.
Kepala pasien diarahkan ke bawah untuk cegah aspirasi.
Kadang memerlukan pengisapan darah, intubasi atau bahkan bronkoskopi.
3. Menghentikan perdarahan.
Pemasangan kateter balon oklusi forgarty untuk tamponade perdarahan.
Teknik lain dengan embolisasi arteri bronkialis dan pembedahan.
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan support kardiopulmaner dan
mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab utama
kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif.3
Masalah utama dalam hemoptosis adalah terjadinya pembekuan dalam saluran
napas yang menyebabkan asfiksia. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptoe
paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang multipel. Hemoptosis dalam
jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam
jumlah banyak dapat menimbukan renjatan hipovolemik.3
A. Streaking dan Hemoptisis Ringan
Bila hemoptisis tidak/ kurang masif dapat ditangani secara konservatif yang
bertujuan menghentikan perdarahan yang terjadi dan mengganti darah yang hilang
dengan transfusi atau pemberian cairan pengganti.
Terapi streaking hemoptisis ringan terbagi 2, yaitu:2
1. Terapi dasar. Pasien harus istirahat total, dengan posisi yang paru yang mengalami
pendarahan di bawah. Refleks batuk ini harus ditekan dengan kodein fosfat 30-60 mg
intra muskular setiap 4-6 jam selama 24 jam.
9
2. Terapi spesifik. Terapi spesifik adalah pengobatan atas penyakit dasar penyebab
perdarahan tersebut.
Langkah-langkah sistematis yang dilakukan adalah:1
1. Menenangkan pasien sehingga perdarahan lebih mudah berhenti dan tidak takut-takut
membatukkan darah di saluran napas.
2. Pasien diminta berbaring pada posisi bagian paru yang sakit dan sedikit
Trendelenburg, terutama bila refleks batuknya tidak adekuat.
3. Jalan napas dijaga agar tetap terbuka. Bila ada tanda-tanda sumbatan, lakukan
penghisapan. Bila perlu dipasang pipa endotrakeal. Pemberian oksigen hanya berarti
bila jalan napas telah bebas hambatan.
4. Pemasangan jalur intravena untuk penggantian cairan atau pemberian obat intravena.
5. Pemberian obat hemostatik belum jelas manfaatnya, namun dapat diberikan misalnya
asam traneksamat, karbazokrom, atau koagulan lain seperti vitamin K, vitamin C,
baik secara bolus maupun drip intravena.
6. Bila pasien gelisah dapat diberikan obat dengan efek sedasi ringan. Obat penekan
refleks batuk hanya diberikan bila terjadi batuk yang berlebihan dan merangsang
timbulnya perdarahan yang lebih banyak. Yang dianjurkan adalah kodein sulfat 10-20
mg tiap 3-4 jam.
7. Transfusi darah dilakukan bila Ht turun di bawah nilai 25-30% atau Hb di bawah 10g
% sedangkan perdarahan masih berlangsung.
B. Hemoptisis Masif
Perdarahan yang masif dan mengancam jiwa memerlukan usaha agresif invasif,
berupa bronkoskopi atau operasi sito. Indikasi pembedahan segera untuk hemoptisis
masif adalah:1
1. Bila batuk darah lebih dari 600 ml/ 24 jam dan dalam pengamatan tidak berhenti.
2. Bila batuk darah kurang dari 600 ml/ 24 jam tetapi lebih dari 250 ml/ 24 jam, kadar
Hb kurang dari 10 g% dan berlangsung terus.
3. Bila batuk darah kurang dari 600 ml/ 24 jam tetapi lebih dari 250 ml/ 24 jam, Hb
lebih dari 10 g% tetapi dalam observasi selama 48 jam perdarahan tidak berhenti.
10
Sebelum dilakukan pembedahan segera, sumber atau asal perdarahan harus sudah
diketahui melalui bronkoskopi, bila perlu dilakukan di atas meja operasi. Toleransi
operasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan penunjang seperti foto toraks,
spirometri, dan analisis gas darah juga harus menunjang.1
Risiko utama hemoptisis masif adalah aspiksia dari darah di dalam saluran napas.
Eksanguinasi jarang terjadi.2
Terapi Umum. a). Mempertahankan terbukanya saluran napas. Pemasangan selang
endotrakeal memungkinkan kita melakukan pengisapan darah dari saluran napas dan
kemudian menghubungkannya dengan suatu ventilator. Yang ideal adalah selang
endotrakeal dengan lumen-ganda; b). Apabila diketahui lokasi pendarahan, maka pasien
harus ditempatkan dengan paru yang mengalami pendarahan di bawah untuk melindungi
paru yang baik; c). Menekan batuk dengan kodein sulfat 30-60 mg secara intramuskular;
d). Mempertahankan tekanan darah dengan darah segar dan plasma ekspander. Apabila
dicurigai terjadi koagulopati, maka dapat diberikan plasma segar beku (fresh-frozen
plasma). 2
Terapi Bedah. Apabila pendarahan pada pasien tersebut tidak berhenti, maka
biasanya diperlukan torakotomi darurat. Operasi ini tidak bisa dilakukan apabila
penyebabnya adalah karsinoma yang tidak dapat direseksi atau apabila cadangan/ sisa
parenkim paru yang baik (pulmonary reserve) tidak memadai andai dilakukan
pneumonektomi. Pasien dengan perkiraan volume ekspirasi paksa waktu 1 detik (FEV1.0)
pasca operasi kurang dari 800 mL biasanya tidak dapat mentolerir pneumonektomi.2
Terapi Adjuvantibus. Bronkus utama (main-stem bronchus) paru yang terkait
dapat tersumbat karena intubasi selektif atau dengan memakai kateter Carlen. Darah yang
menggumpal di belakang kateter akan berfungsi sebagai hemostasis. Hal ini dapat
berfungsi sebagai suatu langkah darurat sementara, sambil pasien dipersiapkan untuk
operasi. Pada pasien yang toleransi operasinya buruk, intubasi merupakan terapi yang
definitif di samping embolisasi arteri bronkial selektif.2
11
Secara sistematis, pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah:
i. Terapi Konservatif
Penatalaksanaan batuk darah masif di Biro Pulmologi Rumkital dr.Mintohardjo
dengan cara Konservatif. Dasar-dasar pengobatan yang diberikan sebagai berikut:4
- Mencegah penyumbatan saluran nafas.
- Memperbaiki keadaan umum penderita.
- Menghentikan perdarahan.
- Mengobati penyakit yang mendasarinya (underlying disease).
12
Mencegah penyumbatan saluran nafas.
Penderita yang masih mempunyai refleks batuk baik dapat diletakkan dalam
posisi duduk, atau setengah duduk dan disuruh membatukkan darah yang terasa
menyumbat saluran nafas. Dapat dibantu dengan pengisapan darah dari jalan nafas
dengan alat pengisap. Jangan sekali-kali disuruh menahan batuk.5
Penderita yang tidak mempunyai refleks batuk yang baik, diletakkan dalam
posisi tidur miring kesebelah dari mana diduga asal perdarahan, dan sedikit
trendelenburg untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat. Kalau masih dapat
penderita disuruh batuk bila terasa ada darah di saluran nafas yang menyumbat,
sambil dilakukan pengisapan darah dengan alat pengisap. Kalau perlu dapat dipasang
tube endotrakeal.5
Batuk-batuk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan perda- rahan sukar
berhenti. Untuk mengurangi batuk dapat diberikan Codein10 - 20 mg. Penderita
batuk darah masif biasanya gelisah dan ketakutan, sehingga kadang-kadang berusaha
menahan batuk. Untuk menenangkan penderita dapat diberikan sedatif ringan
(Valium) supaya penderita lebih kooperatif.5
Memperbaiki Keadaan Umum Penderita.
Bila perlu dapat dilakukan: 5
- Pemberian oksigen.
- Pemberian cairan untuk hidrasi.
- Tranfusi darah.
- Memperbaiki keseimbangan asam dan basa.
Menghentikan Perdarahan.
Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan. Di dalam
kepustakaan dikatakan hemoptisis rata-rata berhenti dalam 7 hari. Pemberian
kantongan es diatas dada, hemostatiks, vasopresim (Pitrissin)., ascorbic acid
dikatakan khasiatnya belum jelas. Apabila ada kelainan didalam faktor-faktor
pembekuan darah, lebih baik memberikan faktor tersebut dengan infus.5
13
Di Biro Pulmologi RSAL Mintohardjo masih memberikan Hemostatika
(Adona Decynone) intravena 3 - 4 x 100 mg/hari atau per oral. Walaupun khasiatnya
belum jelas, paling sedikit dapat memberi ketenangan bagi pasien dan dokter yang
merawat. 5
Mengobati penyakit-penyakit yang mendasarinya (Underlying disease).
Pada penderita tuberkulosis, disamping pengobatan tersebut diatas selalu
diberikan secara bersama tuberkulostatika. Kalau perlu diberikan juga antibiotika
yang sesuai. 4
ii. Terapi Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi definitif pada penderita batuk darah masif yang
sumber perdarahannya telah diketahui dengan pasti, fungsi paru adekuat, tidak ada
kontra indikasi bedah.4
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan. Tindakan
operasi ini dilakukan atas pertimbangan:4
- Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
- Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian pada
perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan tindakan operasi.
- Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptoe yang
berulang dapat dicegah.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Cetakan 1. Jakarta:
Media Aesculapius. 2000; h. 485-7.
2. Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisi 4. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; h.
961-2.
3. Eddy, JB. Clinical assessment and management of massive hemoptysis. Crit Care
Med 2000; 28(5):1642-7.
4. Arief,Nirwan. 2009. Kegawatdaruratan paru. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan
Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI.
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/27bdd48b1f564a5010f814f09f2373c0d8
05736c.pdf. Diakses pada tanggal 10 Januari 2011.
5. Pitoyo CW. Hemoptisis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid II, edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; h.
220-1.
15