hepatobilier

26
BAB I PENDAHULUAN Sistem hepatobilier adalah sistem yang mengatur pengeluaran atau sekresi cairan empedu yang berasal dari hati dan kandung empedu untuk disekresikan ke dalam usus halus untuk pencernaan lemak dalam makanan. Hati pada sistem hepatobiler adalah organ yang kompleks yang terdiri dari sistem sirkulasi yang kompleks, saluran keluar biliaris, sekumpulan sel retikuloendotelial dengan berbagai tipe dan hepatosit. Sekitar 75% aliran ini berasal dari vena porta dan sisanya berasal dari arteri hepatika. Empedu pada sistem hepatobilier disekresikan oleh sel-sel hepar, disimpan dan dipekatkan dalam vesika biliaris, kemudian dikeluarkan ke dalam duodenum. Duktus biliaris hepatis terdiri atas duktus hepatis dekstra dan sinistra, duktus hepatis komunis, duktus choledochus, vesika biliaris dan duktus cysticus.

Upload: nathania-suharti

Post on 02-Nov-2015

31 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jbjb

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Sistem hepatobilier adalah sistem yang mengatur pengeluaran atau sekresi cairan empedu yang berasal dari hati dan kandung empedu untuk disekresikan ke dalam usus halus untuk pencernaan lemak dalam makanan. Hati pada sistem hepatobiler adalah organ yang kompleks yang terdiri dari sistem sirkulasi yang kompleks, saluran keluar biliaris, sekumpulan sel retikuloendotelial dengan berbagai tipe dan hepatosit. Sekitar 75% aliran ini berasal dari vena porta dan sisanya berasal dari arteri hepatika. Empedu pada sistem hepatobilier disekresikan oleh sel-sel hepar, disimpan dan dipekatkan dalam vesika biliaris, kemudian dikeluarkan ke dalam duodenum. Duktus biliaris hepatis terdiri atas duktus hepatis dekstra dan sinistra, duktus hepatis komunis, duktus choledochus, vesika biliaris dan duktus cysticus.

BAB IIPEMBAHASAN

II.1Anatomi Sistem Hepatobilier Hepar terletak tepat di bawah diafragma, di kuadran kanan atas perut. Hepar terdiri atas dua lobus, yaitu lobus kanan dan kiri. Duktus hepatikus dekstra dan sinistra keluar dari lobus hepatis dekstra dan sinistra. Keduanya bersatu membentuk duktus hepatis komunis. Duktus ini bergabung dengan duktus cysticus dari vesica biliaris yang ada di sisi kanannya membentuk duktus choledochus. Pada bagian perjalannya, duktus terletak dalam sulkus yang terdapat pada facies posterior caput pankreatis. Di sini, duktus choledochus bersatu dengan duktus pankreatikus. Duktus choledochus berakhir di bawah dengan menembus dinding medial pars descendens duodenum kira-kira di pertengahan panjangnya. Biasanya duktus choledochus bergabung dengan duktus pankreaticus, dan bersama-sama bermuara ke dalam ampula kecil di dinding duodenum yang disebut ampula vateri. Ampula ini bermuara pada dinding duodenum melalui sebuah papila kecil yaitu papila duodeni major. Bagian terminal kedua duktus beserta ampula dikelilingi oleh serabut sirkular yang disebut sphincter oddi.Vesika biliaris adalah sebuah kantung yang berbentuk buah pir yang terletak pada permukaan bawah hepar. Vesika biliaris mempunyai kemampuan menyimpan empedu sebanyak 30-50 ml, serta memekatkan empedu dengan cara mengabsorbsi air. Vesika biliaris terdiri atas fundus, korpus, dan collum. Corpus vesika biliaris melanjutkan diri sebagai duktus cysticus, yang berbelok ke dalam omentum minus dan bergabung dengan sisi kanan duktus hepaticus komunis untuk membentuk duktus choledochus. Duktus cysticus berbentuk huruf S dan berjalan turun dengan jarak yang bervariasi pada pinggir bebas kanan omentum minus. Tunika mukosa duktus cysticus menonjol untuk membentuk plica spiralis yang melanjutkan diri dengan plica yang sama pada colum vesica biliaris. Plica ini umumnya dikenal sebagai valvula spiralis. Fungsi valvula spiralis adalah untuk mempertahankan lumen terbuka secara konstan.1

Gambar 1. Sistem Hepatobilier

II.2Fungsi HepatobilierFungsi Hepar1. Produksi empedu Empedu dibentuk didua tempat di dalam hati, salah satunya di membran kanalikulus, tempat lain pembentukan empedu adalah di duktus biliaris sendiri. Fungsi vesika biliaris adalah menyimpan dan memekatkan empedu sehingga dapat dihabiskan. 2. Proses metabolik Hati adalah organ metabolik degradatif dan sintetik yang terdiri dari 3 jenis sel utama: hepatosit, sel epitel saluran empedu dan sel kupffer.3. Sintesis protein Albumin merupakan protein terpenting yang disintesis hati dan merupakan satu-satunya tempat produksi albumin. Produksi albumin yang normal dalam rentang 120 -200 mg/ kg/ hari. Defisiensi albumin serum biasanya menunjukkan proses kronik, hipoalbuminemia dapat disebabkan juga oleh suplai asam amino yang tidak adekuat dikarenakan malnutrisi atau malabsorpsi. Hati juga menghasilkan sejumlah faktor pembekuan darah yang mencakup fibrinogen, protrombin serta faktor 5, 7 dan 10. 4. Produksi enzim Dengan berbagai proses metabolik, hati mengandung sekitar 1000 katalis enzim. Jika didapatkan trauma hati yang bermakna, ada kebocoran enzim dari sel hati ke aliran darah yang menyebabkan peningkatan transaminase serum. Peningkatan jelas transaminase serum ditemukan dalam hepatitis virus akut, kerusakan hati dikarenakan toksin atau hepatitis iskemik. Kadar alkali fosfatase mencerminkan sifat paten saluran empedu dan meningkat pada 94% pasien obstruksi yang disebabkan oleh batu.5. Detoksifikasi Hati juga merupakan sumber terpenting bagi detoksifikasi obat dan agen berbahaya lainnya. Sitokrom P450 bertanggung jawab bagi oksidasi sejumlah obat dan toksin. 1EmpeduEmpedu dialirkan ke duodenum akibat kontraksi pengosongan parsial vesica billiaris. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum. Lalu hormon masuk ke dalam darah dan menimbulkan kontraksi vesica billiaris. Pada saaat yang bersamaan otot polos yang terletak pada ujung distal ductus choledochus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang pekat ke dalam duodenum. Garam-garam empedu di dalam cairan empedu penting untuk mengemulsikan lemak di dalam usus serta membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Ada tiga faktor yang meregulasi aliran empedu yaitu sekresi hepatik, kontraksi vesika biliaris, dan tahanan sphincter choledochal. Dalam keadaan puasa, tekanan di ductus choledochus adalah 5-10 cmH2O dan empedu yang dihasilkan di hati disimpan dalam vesika biliaris. Setelah makan, vesika biliaris berkontraksi, sphincter relaksasi, dan empedu dialirkan ke dalam duodenum dengan adanya tekanan dalam duktus yang terkadi secara intermiten yang melebihi tahanan sphincter. Cholesistokinin (CCK) adalah stimulus utama untuk berkontraksinya vesika biliaris dan relaksasi sphincter. CCK dilepaskan ke dalam alira darah dari mukosa usus halus. 1 Fungsi Empedu1. Garam empeduAsam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam yaitu asam deoxycholat dan asam cholat. Fungsi garam empedu adalah:a. Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut. b. Membantu absorbsi lemak,monogliserid,kolesterol dan vitamin yang larut dalam lemak. Garam empedu yang masuk ke lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan litocholat. Sebagian besar (90%)garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus. Sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk litocholat. Absorbsi garam empedu tersebut menjadi segmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi, maka absorbsi garam empedu akan terganggu. 2. Bilirubin Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi biliverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain yaitu 80% oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebih misalnya pada malaria, bilirubin yang terbentuk sangat banyak.1,2

II.3 Pemeriksaan Abdomen 1. InspeksiAmati bentuk perut secara umum, warna kulit, adanya retraksi, penonjolan, adanya ketidaksimetrisan, adanya asites 2. Auskultasi Auskultasi dilakukan pada keempat kuadran abdomen . dengarkan peristaltik ususnya selama 1 menit. Bising usus normalnya 5-30 x/menit. Bila kurang dari itu atau tidak ada sama sekali, kemungkinan ada peristaltik ileus, konstipasi, peritonitis, atau obstruksi. Jika peristaltik usus terdengar lebih dari normal kemungkinan pasien sedang mengalami diare. 3. Perkusi Lakukan perkusi pada kesembilan regio abdomen. Jika perkusi terdengar timpani berarti perkusi dilakukan di atas organ yang berisi udara. Jika terdengar pekak, berarti perkusi mengenai organ padat4. PalpasiPalpasi ringan: untuk mengetahui adanya massa dan respon nyeri tekan letakan tangan pada abdomen secara berhimpitan dan tekan secara merata sesuai kuadran. Palpasi dalam untuk mengetahui posisi organ seperti hepar, ginjal, lima dengan metode bimanual 2 tangan. Cara kerja palpasi pada hepar: letakan tangan pemeriksa dengan posisi ujung jari keatas pada bagian hipokondria kanan, kira-kira pada interkosta 11-12 . tekan pada saat pasien inhalasi kira-kira sedalam 4-5 cm, rasakan adanya organ hepar, rasakan hepatomegali.Cara kerja palpasi pada limpa: metode yang digunakan seperti pada pemeriksaan hepar. Anjurkan pasien miring kanan dan letakan tangan pada bawah interkosta kiri dan kemudian meminta pasien menarik napas dalam kemudian tekan pada saat inhalasi tentukan adanya limpa. Pada orang dewasa normal tidak teraba. Cara kerja palpasi pada renalis: untuk papasi ginjal kanan letakan pada atas dan bawah perut setinggi lumbal 3-4 di bawah kosta kanan. Untuk palpasi ginjal kiri letakan tangan setinggi Lumbal 1-2 di bawah kosta kiri. Tekan sedalam 4-5 cm setelah pasien inhalasi jika teraba adanya ginjal, rasakan bentuk dan respon nyeri. 1

II.4 Masalah Sistem HepatobilierII.4.1Atresia saluran empedu Etiologi Etiologi tidak diketahui. Agaknya berhubungan dengan kolangiohepatitis intrauteri yang mungkin disebabkan oleh virus. Saluran empedu mengalami fibrosis dan proses ini berjalan terus setelah lahir. Prognosis umumnya buruk.kelainan ini mungkin bukan malformasi karena organ lain yang berasal dari daerah embrionik yang sama seperti hati, duodenum, dan pankreas tidak mengalami kelainan. Sirosis hepatis karena bendungan empedu terjadi setelah bayi berumur lebih dari 1,5 bulan. Gejala klinis Ada 2 jenis atresia saluran empedu, yaitu ekstrahepatik dan intrahepatik. Bentuk intrahepatik lebih jarang dibandingkan ekstrahepatik. Gejala klinis dan patologik atresia saluran empedu ekstrahepatik bergantung pada proses berawalnya penyakit apakah jenis embrional atau perinatal, dan bergantung pada saat diagnosis ditegakan. Proses jenis kerusakan embrional saluran empedu berawal sejak masa intreuteri dan berlangsung hingga bayi lahir . pada jenis ini tidak ditemukan masa bebas ikteris setelah ikterus fisiologis (2 minggu pertama kelahiran). Pada pembedahan tidak ditemukan sisa saluran empedu dalam ligamentum hepatoduodenale, ditemukan kelainan bawaan lain seperti malrotasi usus atau pankreas ektopik. Jenis kedua adalah jenis perinatal yang ditemukan pada 2/3 penderita. Iktreus muncul kembali secara progresif setelah ikteris fisiologik hilang beberapa waktu. Pada saat pembedahan dapat ditemukan sisa saluran empedu di dalam ligamentum hepatoduodenale tanpa adanya malformasi organ lain yang berdekatan. Jadi perbedaan patofisiologis utama antara jenis embrional dan neonatal adalah mulainya kerusakan saluran empedu yang progresif. Neonatus yang menderita obstruksi ekstrahepatik maupun intrahepatik menunjukan ikterus, urin berwarna gelap, tinja berwarna dempul dan hepatomegali. Apabila berlanjut akan timbul sirosis hati dengan hipertensi portal yang menyebabkan perdarahan esofagus dan kegagalan fungsi hati, perdarahan varises, koagulopati atau infeksi sekunder. Bayi penderita kolestasis ekstrahepatik umumnya menunjukan tinja yang lebih akolik yang ditemukan pada usia lebih muda, berat badan lebih besar, dan konsistensi hati yang teraba normal. dengan USG dapat ditemukan kelainan kongenital penyebab kolestasis ekstrahepatik yaitu penyakit Caroli, berupa dilatasi kistik saluran empedu. Pemeriksaan lain yang membantu diagnosis dilakukan dengan aspirasi cairan duodenum melalui pipa lambung yang dimasukan sampai ke duodenum. Diagnosis atresia disokong apabila tidak ada empedu dalam cairan duodenum. Pemeriksaan kemampuan hati untuk memproduksi empedu serta mengekskresikannya ke saluran empedu sampai tercurah ke dalam duodenum dapat dianatau dengan skintigrafi radio isotop hepatobilier. Apabila terlihat isotop diekskresi ke dalam duodenum, maka terjadi kolestasis intrahepatik bukan ekstrahepatik. Dalam praktek sehari-hari, apabila gejala klinis skintigrafi hepatobilier atau biopsi hati menyokong ke arah diagnosis obstruksi empedu ekstrahepatik atau atresia saluran empedu tidak dapat dikesampingkan, langkah diagnosis selanjutnya adalah laparotomi ekspolorasi. Sewaktu laparotomi, dilakukan kolangiografi serta biopsi hati. Penampilan makroskopik hati serta saluran empedu sangat berguna untuk menegakan diagnosis. Hati biasanya berwarna coklat kehijauan dan noduler. Kandung empedu biasanya mengecil karena kolaps, dan pada 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas. Lebih kurang 10% penderita atresia saluran empedu tergolong jenis yang dapat dikoreksi. Umumnya ditemukan saluran empedu proksimal yang terbuka lumennya, tetapi tidak berhubungan dengan duodenum. Pada sekitar 90% penderita yang tidak dapat dikoreksi, seluruh sistem saluran empedu ekstrahepatik ternyata mengalami obliterasi. Pada kebanyakan penderita, indikasi bedah atresia saluran empedu ditentukan oleh penampilan makroskopis hati, saluran empedu, serta hasil kolangiografi. Apabila saluran empedu ekstrahepatik paten, dan ketika dilakukan biopsi hati terbuka ditemukan hasil baik, tidak ada pembedahan lebih lanjut. Tatalaksana Tatalaksana atresia saluran empedu ekstrahepatik adalah pembedahan. Atresia intrahepatik pada umumnya tidak meerlukan pembedahan karena obstruksinya relatif bersifat ringan. Pilihan utama jenis pembedahan atresia saluran empedu ekstrahepatik adalah portoenterostomi teknik Kasai dan cangkok hati. Bedah dekompresi portoenterostomi ini sebaiknya dilakukan sebelum bayi berumur 2 bulan, apabila usia bayi lebih dari 3 bulan, transplantasi hati lebih baik dari hasil terbaik operasi dekompresi. Saat ini, indikasi tersering untuk melakukan transplantasi hati adalah usia bayi telah terlau tua untuk bedah kasai.Komplikasi Komplikasi pascabedah adalah kolangitis berulang yang timbul pada 30-60% penderita yang dapat hidup lama. Kolangitis umumnya timbul 6-9 bulan setelah dibuat anastomosis. Pengobatan kolangitis adalah dengan memberikan antibiotik selama 2 minggu. Secaa keseluruhan, kemungkinan hidup 5 tahun setelah portoenterostomi rata-rata 40%. Jika dilakukan transplantasi hati, keberhasilan transplantasi hati setelah 1 tahun berkisar 65-80%. Indikasi transplantasi hati ialahatresia saluran empedu intrahepatik disertai gagal hati. 3-6II.4.2.Tumor ganas saluran empedu Insidensi Kejadian rata-rata tumor ganas terjadi pada usia 60 tahun, tetapi tidak jarang didapat pada usia muda. Jenis tumor kebanyakan adenokasinoma pada duktus hepatikus atau duktus koledokus. Gambaran histologik dapat berupa jaringan parut atau kolangitis sklerotikans. Gambaran klinis Keluhan utama ialah ileus obstrukstif yang progresif secara lambat disertai pruritus. Biasanya tidak ditemukan tanda kolangitis, seperti febris, menggigil, kolik bilier, kecuali perasaan tidak enak di kuadran kanan atas, selebihnya penderita merasa baik-baik saj. Anoreksia dan penurunan berat badan terjadi lambat laun. Diagnosis Gejala klinis yang menonjol adalah ikterus. Bila tumor mengenai duktus koledokus, terjadi distensi kandung empedu, sehingga mudah diraba, sementara tumornya sendiri tidak dapat pernah diraba. Kandung empedu yang berada di bawah iga tidak nyeri, dan penderita tampak ikterus karena obstruksi. Kumpulan tersebut disebut trias Courvoiser. Hepatomegali akibat bendungan sering ditemukan. Apabila obstruksi empedu tidak diatasi, hati menjadi sirosis, splenomegali,asites, perdarahan varises esofagus. Pemeriksaan laboratorium menunjukan tanda ileus obstruksi. 3-6II.4.3Trauma hepatobilier Hemobilia traumatik ialah perdarahan ke dalam saluran empedu karena cedera. Secara umum, hemobilia dapat disebabkan oleh trauma, infeksi,batu empedu, aneurisma, dan tumor. Trauma tumpul akibat kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama hemobilia. Perdarahan setelah trauma hati yang terjadi parenkim hati dengan simpai hati utuh atau simpai yang telah dijahit sewaktu pembedahan dapat menyebabkan hemobilia. Hematom dapat bertambah besar karena perdarahan terus berlangsung sehingga akhirnya pecah ke dalam sistem saluran empedu, menimbulkan hemobilia lambat, yang dapat terjadi lama setelah trauma. Trauma tembus dapat menimbulkan hubungan langsung antara pembuluh darah dengan saluran empedu. Hemobilia iatrogenik akibat pungsi hati atau biopsi jarum atau tindakan sejenis menimbulkan hemobilia dengan mekanisme serupa. Untuk menilai kerusakan parenkim hati dan keruskan lain pada cedera tajam harus diketahui jenis, penyebab,kekuatan, dan arah cedera. Luka tusuk dalam di daerah toraks kanan bawah harus dicurigai mengenai rongga pleura, paru, diafragma, dan hati. Trauma tumpul pada saluran empedu ekstraepatik maupun kandung empedu sangat jarang terjadi, apabila saluran ekstrahepatik mengalami perlukaan, biasanya terjadi setelah proksimal atau distal insersi duktus sistikus. Trauma tumpul kandung empedu dapat berupa kontusio, laserasi, avulsi, dan perforasi. Avulsi kandung empedu menyebabkan kandung empedu terlepas bebas di dalam rongga perut. Gambaran klinis dan diagnosisKecurigaan trauma hepatobilier dibuat bedasarkan lokasi trauma dan terdapatnya fraktur iga kanan bawah, pneumotoraks, kontusio paru, syok hemoragik, serta ditemulannya darah dan empedu pada lavase peritoneal positif untuk darah dan empedu. Apabila terjadi hemobilia terdapat trias yaitu tanda perdarahan saluran cerna bagian atas ,ikterus, nyeri kanan atas yang ditemukan setelah riwayat trauma abdomen, setelah operasi, atau tindakan manipulasi saluran empedu beberapa jam sampai beberapa minggu sebelumnya. Tanda perdarahan berupa hematemesis atau melena sering didahului nyeri. Perdarahan ke dalam saluran empedu nyerinya berlainan dengan perdarahan saluran cerna. Apabila trias gejala di atas disertai bising pembuluh darah, harus dicurigai adanya aneurisma. Tatalaksana Upaya pertama adalah menghentikan perdarahan langsung pada daerah yang berdarah dengan klem vaskular atraumatik di daerah foramen Winslow. Penutupan ligamentum hepatoduodenale di dinding foramen Winslow denga jari atau klem vaskular disebut perasat Pringle menyebabkan arteri hepatica dan vena porta tertutup sama asekali sehingga darah tidak masuk ke hati. Kalau keadaan umum tidak memungkinkan untuk pembendahan yang ekstensif, kompresi sementara dengan tampon kain dapat dilakukan secara efektif. Tampon dibiarkan untuk beberapa hari. Umumnya pada hari ketiga dilakukan laparotomi ulang dengan persiapan yang lebih baik. Upaya kedua setelah menghentikan perdarahan adalah mencegah dan mengatasi infeksi dengan memasang penyalur eksterna karena penyebab infeksi adalah kebocoran cairan empedu dan jaringan nekrotik.upaya ketiga adalah rekonstruksi saluran empedu. Karena kerusakan saluran empedu yang besar tidak mungkin sembuh spontan, maka tempat kebocoran harus dicari dan dilakukan rekonstruksi. Terapi terbaik trauma kandung empedu adalah kolesistektomi. Reparasi primer kerusakan saluran empedu berupa anastomosis ujung dengan ujung yang sangat jarang dilaksanakan, kecuali untuk trauma iatrogenik, reparasinya harus segra dilakukan saat itu juga. Kerusakan sistem saluran empedu akibat trauma saluran empedu yang ujungnya compang camping . Prognosis kematian akibat trauma hati murni sekitar 5% dan meningkat dengan bertambahnya jumlahtrauma alat dalam lain yang menyertainya sampai mencapai 70% apabila ada lima atau lebih organ lain yang terkena. Komplikasi selain perdarahan adalah infeksi paru, infeksi luka operasi,abses subfrenik, dan abses hati. Selain itu, dapat terjadi fistel empedu, striktur saluran empedu dan obstruksi usus. 3-6II.4.4 KolelitiasisMerupakan penyakit batu empedu yang dapat ditemukan didalam kandung empedu atau didalam duktus koledokus atau pada kedua-duanya. Sebagian besar batu batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk didalam kandung empedu (Kolesistolitiasis). Kalau batu kandung empedu ini berpindah ke dalam saluran empedu ekstrahepatik maka disebut batu saluran empedu sekunder atau koledokolitiasis sekunder. Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu ekstrahepatik maupun intrahepatik.Insiden Insiden kolelitiasis di negara Barat adalah 20% dan banyak menyerang orang dewasa dan lanjut. Kebanyakan kolelitiasis tidak bergejala atau bertanda. Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di Indonesia tidak jauh berbeda dengan negara lain. Prevalensi batu empedu bervariasi sesuai dengan usia dan jenis kelamin. Wanita dengan batu empedu melebihi jumlah pria dengan perbandingan 4:1. Wanita yang mengkonsumsi obat hormonal estrogen eksogen meningkatkan resiko terjadinya batu empedu. Dengan bertambahnya usia, dominansi wanita menjadi kurang jelas. Batu empedu jarang ditemukan pada orang yang berusia kurang dari 20 tahun dan lebih sering ditemukan pada kelompok usia 40-60 tahun dan sisanya di temukan pada orang berusia lebih dari 80 tahun.Di kenal tiga jenis batu empedu, yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin (yang terdiri dari kalsium dan bilirubinat) dan batu campuran. Di negara barat, 80% batu empedu adalah batu kolesterol, tetapi angka kejadian batu pigmen meningkat akhir-akhir ini. Sebaliknya, di Asia Timur, lebih banyak batu pigmen dibanding batu kolesterol. Sementara itu didapat kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia lebih umum, angka kejadian batu pigmen lebih tinggi dibanding dengan angka yang terdapat di negara Barat. Hal ini menunjukkan bahwa faktor infeksi empedu oleh kuman gram negatif E.Coli ikut berperan penting dalam timbulnya batu pigmen.Jenis batu Batu kolesterolBatu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kristal kolesterol dan sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium palmitat dan kalsium bilirubinat. Proses pembentukan batu kolesterol melalui empat tahap, yaitu penjenuhan empedu oleh kolesterol, pembentukan nidus, kristalisasi dan pertumbuhan batu. Derajat pejenuhan empedu oleh kolesterol dapat dihitung melalui kapasitas daya larut. Penjenuhan ini dapat disebabkan oleh bertambahnya sekresi kolesterol. Peningkatan ekresi kolesterol empedu antara lain terjadi misalnya pada keadaan obesitas, diet tinggi kalori dan kolesterol dan pemakaian obat yang mengandung estrogen. Penjenuhan kolesterol yang berlebihan tidak dapat membentuk batu, kecuali ada nidus dan ada proses lain yang menimbulkan kristalisasi. Nidus dapat berasal dari batu pigmen empedu, mukoprotein, lendir, bakteri atau benda asing lainnya. Setelah kristalisasi meliputi nidus, akan terbentuk batu. Pertumbuhan batu terjadi karena pengendapan kristal kolesterol diatas matriks inorganik dan kecepatannya di tentukan oleh kecepatan relatif pelarutan dan pengendapan. Mekanisme lain yang diusulkan bagi pembentukan batu, melibatkan disfungsi vesika biliaris. Stasis akibat obstruksi mekanik atau fungsional, bisa menyebabkan stagnasi empedu didalam vesika biliaris dengan resorpsi air berlebihan dan merubah kelarutan unsur empedu. Penelitian menggambarkan bahwa peradangan dinding kandung empedu bisa menyebabkan resorpsi garam empedu berlebihan, perubahan dalam rasio lesitin/garam empedu serta sekresi garam kalsium, mukoprotein dan debris organik sel. Perubahan ini bisa merubah empedu hati normal menjadi empedu litogenik didalam vesika biliaris.Batu pigmen Terdapat 2 bentuk batu pigmen, yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu kalsium bilirubinat. Batu pigmen adalah batu yang kadar kolesterolnya dibawah 25%. Seperti pembentukan batu kolesterol, terjadinya batu bilirubin berhubungan dengan bertambahnya usia. Infeksi, stasis, dekonjugasi bilirubin dan ekskresi kalsium merupakan faktor kausal. Pada bakteribilia terdapat bakteri gram negatif terutama E.Coli. Pada batu kolesterolpun, E.Coli yang tersering ditemukan dalam biakan empedunya. Beberapa faktor yang juga disangka berperan adalah faktor geografi, hemolisis dan sirosis hepatik. Sebaliknya jenis kelamin, obesitas dan gangguan penyerapan di dalam ileum tidak mempertinggi resiko batu bilirubin.Sebagai pegangan umum, pada penderita batu bilirubin, tidak ditemukan empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol baik didalam kandung empedu maupun di hati. Pada penderita batu bilirubin, konsentrasi bilirubin yang tidak terkonjugasi meningkat, baik didalam kandung empedu maupun didalam hati.

PatogenesisHepatolitiasis adalah batu empedu yang terdapat didalam saluran empedu dari awal percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri. Batu tersebut umumnya adalah batu pigmen yang berwarna coklat, lunak berbentuk lumpur dan rapuh. Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledokus melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan gejala kolik empedu. Pasase batu empedu berulang melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan iritasi sehingga dapat menimbulkan peradangan dan striktur. Kalau batu terhenti didalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tahanan oleh striktur, batu tetap berada disana sebagai batu duktus sistikusGambaran klinis Setengah sampai dua pertiga penderita batu kandung empedu adalah asimptomatik. Keluhan yang mungkin timbul berupa dispepsia yang kadang disertai dengan intolerans terhadap makanan berlemak. Pada yang simptomatik, keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran atas kanan atau prekordium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit bahkan ada yang menghilang beberapa jam kemudian. Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, skapula dan puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri menghilang setelah minum antasida. Kalau terjadi kolesistitis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam dan sewaktu kandung empedu tersentuh jari tangan sehingga pasien berhenti menarik nafas, yang merupakan tanda rangsangan peritoneum setempat (tanda murphy).Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan atas akan disertai dengan tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis. Biasanya terdapat ikterus dan urin berwarna gelap yang hilang timbul. Pruritus ditemukan pada ikterik obstruktif yang berkepanjangan dan lebih banyak di temukan pada tungkai daripada badan.Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda murphy positf apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. Batu saluran empedu, tidak menimbulkan gejala. Kadang teraba hati agak membesar dan sklera ikterik. Patut diketahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, maka gejala ikterik kurang jelas. Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai dengan obstruksi, akan ditemuka gejala klinik kolangitis tersebut, ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterik. Apabila terjadi kolangitis piogenik maka akan timbul gejala pentade reynold, berupa trias charcot ditambah syok dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma.Pemeriksaan penunjang Tes laboratorium Batu kandung empedu yang asimptomatik umunya tidak menunjukkan kelainan laboratorik. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi lekositosis. Apabila ada sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh batu, dinding udem didaerah kantong hartmann, dan penjalaran radang ke dinding yang tertekan tersebut. Kadar serum bilirubin yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledokus. Alanin Aminotransferase (SGOT) dan Aspartat Aminotransferase (SGPT) merupakan enzim yang disintesis dalam konsentrasi yang tinggi di hepatosit. Peningkatan dalam aktivitas serum sering menunjukkan kelainan di hati, tetapi peningkatan enzim ini bisa timbul bersama dengan penyakit saluran empedu, terutama obstruksi saluran empedu. Fosfatase alkali merupakan enzim yang dihasilkan oleh sel epitel kandung empedu. Pada obstruksi saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel duktus meningkatkan sintesis enzim ini. Kadar yang sangat tinggi dapat menggambarkan obstruksi saluran empeduPemeriksaan radiologi 1. Foto polos abdomen Foto polos abdomen kadang dapat bermanfaat, tetapi tidak bisa mengenal kebanyakan patologi saluran empedu. Hanya 15% batu empedu yang cukup kalsium (radioopak) yang memungkinkan identifikasi pasti. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat di lihat di foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.2. Barium Meal Pemeriksaan kontras lambung dan duodenum jarang memberikan informasi langsung terhadap penyakit saluran empedu, tetapi bermanfaat dalam arti negatif dengan menyingkirkan penyakit ditempat lain, misalnya ulkus duodeni atau refluk gastroesofagus.3. Kolesistografi oralMerupakan standar paling baik dalam diagnosis penyakit vesika biliaris. Zat organik diiodinasi biasanya 6 tablet asam yopanat (telepaque) diberika per oral pada malam sebelumnya dan pasien dipuasakan. Batu empedu atau tumor tampak sebagai defek pengisian. Kolesistografi sangat sensitif dan spesifik serta hasilnya mendekati 98% bila digunakan dengan tepat. Tes ini tidak bermanfaat bila kadar bilirubin serum meningkat (diatas 2 mg/dl) atau dengan adanya muntah, diare atau malabsorpsi dan ileus paralitik.4. Kolesistografi intravenaDigunakan untuk memungkinkan visualisasi keseluruhan saluran empedu ekstrahepatik. Tetapi resolusi radiografi sering buruk dan tes ini tidak dapat diandalkan bila kadar bilirubin serum lebih dari 3 gm/dl. Tetapi test ini dapat menimbulkan reaksi yang fatal, dan telah di gantikan dengan pemeriksaan yang lebih aman.5. USGPerkembangan yang canggih dari USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai tes penyaring bagi kolelitiasis. Karena USG tidak cukup akurat seperti kolesistografi oral, maka kolesistogtafi oral tetap merupakan standar terbaik dalam diagnosis batu empedu. Tetapi USG lebih cepat, tidak invasif dan tanpa pemaparan radiologi, selain itu USG dapat di gunakan pada pasien yang ikterik dan mencegah ketidak patuhan pasien dalam meminum zat kontras oral. Kreteria diagnostik untuk kolelitiasis mencakup defek intralumen yang berubah dengan perubahan posisi pasien atau menimbulkan bayangan akustik.6. CT-ScanCT Scan tidak tepat digunakan dalam mendeteksi batu empedu, kecuali bila batu tersebut mengandung kalsium dalam jumlah yang lumayan. Tetapi pada sepsis intraabdomen yang dianggap berasal dari saluran empedu, maka CT Scan bisa menentukan abses intrahepatik, perihepatik atau trikolesistika.TatalaksanaTatalaksana non bedah dengan lisis batu. Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil pada batu kolesterol. Bisa juga dengan kateter perkutan ke dalam kandung empedu, tetapi sering menimbulkan penyulit. Tatalaksana bedah dengan kolesistektomi profilaksis. Indikasi kolesistektomi elektif konvensional:1. Kolelitiasis asimptomatik dengan diabetes melitus / dengan kolesistitis akut yang dapat menimbulkan komplikasi berat.2. Batu empedu yang >2 cm.3. Kalsifikasi kandung empedu yang dihubungkan dengan karsinoma. 3-6II.4.5.Koledokolitiasis Apabila ada distensi perut perlu dipasang NGT. Dilakukan koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, infus untuk atasi syok, antibiotika sistemik dan pemberian vit K jika terdapat koagulopati. Ditangani baik secara bedah maupun non bedah. Tatalaksana non bedah dengan ERCP dan ESWL. Pemeriksaan endoskopi (ERCP) dapat membantu penegakan diagnosis sekaligus dapat dilakukan sfingterotomi sebagai terapi definitif atau terapi sementara sehingga memungkinkan lewatnya batu duktus koledokus secara spontan atau untuk memungkinkan pembuangan batu dengan instrumentasi retrograd duktus biliaris. Pemasangan stent biliaris retrograd melintasi striktura biliaris dapat juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan endoskopi ini. Tetapi apabila batu duktus koledokus berdiameter >2 cm, ERCP tidak dapat mengeluarkan batu ini. Maka disarankan dilakukan litotripsi ESWL terlebih dahulu. Umumnya penghancuran ini lakukan bersama atau dilengkapi dengan ERCP. Tatalaksana bedah dengan koledokotomi dan koledokoduodenostomiPada waktu laparotomi untuk kolesistektomi perlu ditentukan apakah akan dilakukan koledokotomi dengan tujuan eksplorasi saluran empedu. Kolangiografi intraoperatif tidak selalu dilakukan pada penderita yang dicurigai menderita koledokolitiasis karena prosedur ini memakan waktu. Indikasi membuka duktus koledokus adalah jika jelas ada kolangitis , teraba batu atau ada batu dalam foto. Sewaktu melakukan eksplorasi saluran empedu, semua batu, lumpur, dan debris harus dibersihkan dengan bantuan koledokoskop. Kalau ada striktur sfingter oddi, harus dilakukan dilatasi dengan alat khusus atau dilakukan sfingterotomi transduodenal. Setelah eksplorasi saluran empedu dan pengangkatan batu secara sempurna, mungkin perlu memperbaiki pengaliran empedu dengan koledokoduodenostomi latero-lateral. Tindakan ini dilakukan jika terdapat striktur di duktus koledokus distal.II.4.6. Kolesistitis AkutHampir semua kolesistitis akut terjadi karena sumbatan duktus sistikus oleh batu yang terjebak di kantong Hartmann. Pada kolesistitis akut, faktor trauma mukosa kandung empedu oleh batu dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin di dalam kandung empedu menjadi lisolesitin, senyawa yang memperberat proses peradangan. Komplikasi kolesistitis akut adalah empiema, gangren dan perforasi. Perubahan patologi didalam kandung empedu mengikuti pola khas. Proses awalnya berupa udem subserosa, lalu perdarahan mukosa dan bercak-bercak nekrosis dan akhirnya fibrosis. Gangren dan perforasi dapat terjadi pada hari ketiga setelah serangan sakit, tetapi kebanyakan terjadi di minggu kedua.

Gambaran KlinikDari gejala, pasien menggambarkan mula-mula timbul nyeri akut atau bertahap di kuadran kanan atas atau epigastrium yang serupa dengan kolik bilier, yang tidak berhubungan dengan makanan, kadang nyeri tersebut menjalar ke daerah belakang skapula. Berbeda dengan pasien kolik bilier yang gelisah dan tidak mampu menemukan posisi yang nyaman, pasien kolesistitis tetep diam karena gerakan dapat memperberat nyeri. Pada separuh penderita, dapat disertai dengan mual dan muntah. Ikterus ringan dapat terjadi. Suhu badan sekitar 38oC, apabila timbul demam dan menggigil, harus dicurigai komplikasi yang lebih berat. Pada pemeriksaan laboratorium, jumlah leukosit meningkat atau dalam batas normal. Apabila jumlah leukosit lebih dari 15000, harus dicurigai komplikasi yang lebih berat. Kadar bilirubin yang meningkat sedang, mungkin dikarenakan mirizzi sindrom atau penjalaran radang ke duktus koledokus. Dari Ultrasonografi dapat memperlihatkan gambaran batu didalam kandung empedu, lumpur empedu dan penebalan dinding kandung empedu. Ultrasonografi dapat menggambarkan gangren dengan gambaran destruksi dinding atau nanah disekitar kandung empedu pada komplikasi abses perikolesistitis. Kandung empedu yang membesar serta dinding dan jaringan sekitarnya yang mengalami peradangan, sering terlihat dalam foto polos perut sebagai bayangan massa jaringan lunak lonjong yang menekan dinding kolon transversum yang berisi udara.Tatalaksana Kolesistektomi intervalSekitar 90% episode kolesistitis akut sembuh spontan dalam 3 sampai 7 hari. Karena alasan ini beberapa dokter percaya bahwa tindakan terapi non bedah diindikasikan selama serangan akut. Tetapi penderita akan memerlukan perawatan di rumah sakit untuk kedua kalinya, yaitu 6 minggu kemudian untuk kolesistektomi interval; hal ini memperpanjang masa tinggal di rumah sakit sampai vesika biliaris yang sakit mereda. Penatalaksanaan non bedah yang tepat mencakup hidrasi intravena, intubasi nasogaster untuk mencegah rangsangan vesika biliaris dan untuk dekompresi lambung bila ada ileus serta analgesia parenteral. Antibiotika mungkin tidak diperlukan pada kasus ringan. Tetapi untuk pasien yang tampak lebih sakit, kebanyakan dokter percaya pemberian antibiotika diperlukan. Sefalosporin generasi kedua atau ketiga atau pada pasien yang beresiko tinggi, kombinasi aminoglikosida, ampisilin dan klindamisin atau metronidazol. Setelah serangan akut selesai, antara 4 sampai 6 minggu kemudian dapat direncanakan kolesistektomi sewaktu peradangan sembuh. Jika batu empedu tidak dikonfirmasikan secara tepat, maka ultrasonografi harus dilakukan selama interval ini.Kolesistektomi DiniSaat ini kolesistektomi dini selama serangan akut dianggap pendekatan yang lebih disukai. Kolesistektomi hanya dilakukan setelah memperoleh bukti obyektif adanya batu empedu. Bila pasien telah dihidrasi dan antibiotika parentral telah diberikan, maka kolesistektomi harus dilakukan pada keadaan semi terencana dalam 72 jam pertama setelah mulainya serangan. Kolesistektomi yang dilakukan lebih dari 72 jam setelah dimulainya gejala bisa sangat sulit karena alasan teknik yaitu indurasi yang parah dan peradangan subakut yang telah dibentuk dapat mengaburkan tanda. Kolesistekromi dini harus dibedakan dengan kolesistektomi darurat. Adanya sepsis, demam tinggi atau peritonitis generalisata menunjukkan komplikasi kolesistitis akut seperti empiema atau perforasi.Komplikasi Komplikasi serius yang memerlukan intervensi bedah gawat darurat timbul dalam sekitar 10% pasien kolesistitis akuta. Komplikasi paling sering terjadi pada orang tua dan terutama pada penderita Diabetes Melitus. Proses peradangan akut dapat melibatkan organisme virulen pembentuk gas (kolesistitis emfisematosa) atau dapat berlanjut ke supurasi (empiema vesika biliaris) atau perforasi dalam daerah gangren lokalisata. 3-6II.4.7Kolesistitis kronik Kolesistitis kronik merupakan kelainan kandung empedu yang paling umum ditemukan. Penyebabnya hampir selalu batu empedu. Penentu penting untuk membuat diagnosis adalah kolik bilier, dispepsia dan ditemukannya batu empedu pada pemeriksaan Ultrasonografi. Keluhan dispepsia dicetuskan oleh makanan berat seperti gorengan yang mengandung banyak lemak, dapat pula oleh bermacam jenis kol. Kolik bilier yang khas dapat juga dicetuskan oleh makanan berlemak dan khas kolik bilier dirasakan di perut kanan atas dan nyeri alih ke titik boas.Gambaran klinik Secara simptomatik, kolik bilier khas untuk kolesistitis kronik. Nyeri hebat, berkualitas menetap, biasanya dalam kuadran kanan atas, tetapi sering pada epigastrium atau dialihkan ke daerah skapula kanan. Mual, muntah sering bersamaan. Nyeri berpola kresendo decresendo yang muncul pelan-pelan yang berlangsung selama beberapa jam dan secara lambat mereda dalam waktu 30 menit. Dipercaya kolik ini berhubungan dengan obstruksi intermiten vesika biliaris akibat batu yang mengobtruksi dalam duktus sistikus atau vesika biliaris. Kolik bilier timbul paling lazim 1 sampai 2 jam pasca makan. Pada pemeriksaan fisik tak didapatkan hasil yang mengesankan. Selama serangan kolik bilier, sering ada nyeri tekan kuadran kanan atas ringan. Diantara serangan, pasien asimptomatik tanpa gambaran fisik apapun. Ikterik tidak ada, kecuali bila ada batu yang lewat ke dalam duktus koledokus, demam juga tidak ada.Tatalaksana Terdiri atas penatalaksanaan medis dan bedah. Pada penatalaksanaan medis, dilakukan dengan cara menghindari makanan berlemak, tidak ada penatalaksanaan khusus. Terapi pelarutan batu empedu saat ini tidak dipraktekan lagi, kecuali bila ada resiko anestesi yang menghalangi, maka semua pasien kolesistitis kronika simptomatik harus dilakukan pembedahan. Pada penatalaksanaan bedah dilakukan kolesistektomi. 3-6 II.4.8.Abses Hati Amuba Insidensi dan PatogenesisAbses hati amuba kurang sering ditemukan dibanding abses hati piogenik. Insiden bervariasi sesuai dengan insiden E.Histolitica yang ditemukan dalam populasi. Patogenesis menggambarkan bahwa bentuk kista E.Histolitica ditelan oleh manusia dalam materi terkontaminasi pada makanan. Kemudian bentuk ini menginvasi tunika mukosa dan diserap ke dalam sistem portovena. Didalam hati, kerja litik amuba yang terperangkap menyebabkan nekrosis mencair, dan infeksi bakteri sekunder lazim ditemukan. Abses hati amuba dapat pecah ke dalam rongga badan lain. Sekitar 3 sampai 12 % pasien mengalami komplikasi paru pleura yang mencakup empiema, fistula dam abses paru. Pasien yang mengandung abses lobus hepatis sinistra dapat mengalami ruptur ke dalam peritoneum atau melalui diafragma ke dalam perikardium.Etiologi Abses hati amuba terjadi karena Entamuba Histolitica terbawa aliran V.Porta ke hepar, tetapi tidak semua amuba yang masuk ke hepar dapat menimbulkan abses. Untuk berkembangnya amuba perlu faktor pendukung berkembangbiaknya amuba. Faktor tersebut misalnya, pernak terinfeksi amuba sebelumnya, kadar kolesterol yang tinggi, pasca trauma hepar dan alkohol. Abses amuba ini sebenarnya bukan abses yang sebenarnya, tetapi lebih menyerupai proses pencairan jaringan nekrosis multipel yang makin lama makin besar dan bergabung membentuk apa yang disebut abses kebanyakan abses hepar adalah soliter, steril dan terletak dilobus kanan dekat kubah diafragma. Jarang ditemuka amuba di cairan tersebut.

Gejala Klinik Para penderita abses hati tidak selalu ditemukan riwayat diare sebelumnya. Diare hanya dialami oleh 20-50% penderita. Penyakit ini timbul perlahan disertai demam, berkeringat dan berat badan menurun. Tanda lokal yang paling sering adalah nyeri spontan dan nyeri tekan di daerah lengkung iga dengan hepar yang membesar. Hepatomegali dan nyeri biasanya ditemukan, tetapi jarang sekali disertai ikterus, prekoma atau koma. Bila lobus kiri terkena, akan terdapat masa di epigastrium. Gejala khas adalah suhu tubuh yang tidak lebih dari 38,50C. DiagnosisUntuk membuat diagnosis abses hati amuba, yang penting adalah kesadaran akan penyakit ini. Bila ada nyeri daerah epigastrium kanan dan hepatomegali serta demam yang tidak begitu tinggi, dugaan abses hepar harus dipertimbangkan. Riwayat diare dan ditemukannya amuba dalam feses membantu diagnosis. Jumlah leukosit berkisar antara 5000 sampai 30000. Tetapi umumnya antara 10000-20000. Kadar fosfatase alkali serum meningkat pada semua tingkat abses amuba. Tes serologi titer amuba diatas atau sama dengan 1 : 128. Foto rontgen terlihat kubah diafragma kanan meninggi, efusi pleura, dan atelektasis. Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan penting untuk membuat diagnosis serta menentukan abses dan besarnya.TatalaksanaTerapi medis adalah dengan metronidazol atau tinidazol yang bersifat amubisid. Dosisnya 50 mg/ kgBB/ hari dalam 10 hari. Terapi bedah berupa aspirasi dan penyaliran. Teknik aspirasi dapat dilakukan secara buta, tetapi paling baik jika dengan tuntunan USG. Aspirasi dapat dilakukan berulang-ulang secara tertutup atau dilanjutkan dengan kateter penyalir. Cara aspirasi menguntungkan karena tidak mengganggu fungsi vital, sedikit mempengaruhi kenyamanan penderita, tidak menyebabkan kontaminasi peritoneum. Kontra indikasi adalah jika terdapat asites dan struktur vital menghalangi jalannya jarum. Penyaliran melalui laparotomi secara terbuka dilakukan bila pengobatan dengan terapi konservatif gagal, termasuk aspirasi berulang. Indikasi lainnya adalah jika abses hati lobus kiri yang terancam pecah ke rongga peritoneum dan organ lain termasuk dinding perut dan infeksi sekunder yang tidak terkendali.KomplikasiPaling umumnya adalah perforasi abses ke berbagai rongga tubuh dan kulit. Perforasi ke kranial dapat terjadi ke pleura (10-20%) dan perikard. Akan terjadi efusi pleura yang besar dan luas yang memperlihatkan cairan coklat pada aspirasi. Perforasi berlanjut ke bronkus sehingga sputum berwarna coklat, sehingga pasien mengeluh sputumnya terasa seperti rasa hati selain hemoptisis. Perforasi ke perikard menyebabkan efusi perikard dan tamponade jantung, perforasi ke kaudal terjadi ke rongga peritoneum. Perforasi menyebabkan peritonitis umum. Perforasi ke arah depan atau kulit dapat menyebabkan fistel, dapat pula menuju ke otak melalui emboli menjadi abses amuba otak. 6II.4.9Abses Hati PiogenikInsidensi dan patogenesisInsiden abses hati piogenik diketahui bertanggung jawab pada 80% kasus pada semua kejadian abses hati. Dua keadaan yang diperlukan untuk perkembangan abses hati adalah adanya bakteri yang menyebar dalam substansi hati dan diperlukan hati yang menerimanya. Keadaan ini banyak terjadi pasca trauma, sewaktu parenkim hati cedera, parenkin hati yang cedera ini merupakan media biakan yang baik untuk fokus septik.Infeksi yang diangkut melalui vena porta merupakan sebab terlazim abses hati piogenik sebelum era terapi antibiotika. Dalam seri Oschsner, 45% abses hati karena supurasi dan penyebaran melalui vena porta, serta 34% disebabkan oleh appendisitis. Dengan adanya terapi antibiotika, angka kejadian ini menurun 10 sampai 17%. Pada penelitian yang lebih baru menunjukkan penyebab abses hati bergeser menjadi keganasan dan penyakit saluran empedu yang kompleks. Obstruksi pada saluran empedu karena kolelitiasis atau karsinoma merupakan penyebab utama abses hati piogenik. Kolesistitis akuta dan pankreatitis akuta juga dapat menyebabkan abses hati piogenik. Infeksi pada saluran empedu yang obstruksi naik ke cabang saluran empedu intrahepatik menyebabkan kolangitis yang menyebabkan kolangiolitis dengan akibat abses multiple. Abses hati bisa juga merupakan penyulit dari keganasan hati, baik primer maupun sekunder. Nekrosis jaringan baik dari tumor maupun jaringan hati akan mudah mengundang infeksi sekunder dan menimbulkan abses biasanya soliter. Abses hati dapat terjadi penyebaran langsung infeksi dari struktur terdekat, seperti empiema kandung empedu, pleuritis ataupun abses perinefrik.Etiologi Hampir semua organisme patologi dapat menimbulkan abses hati piogenik. Yang terpenting adalah E.Coli, Staphylococus aureus, Proteus, Klebsiella, Pseudomonas, dan bakteri anaerob seperti Bacteroides dan Clostridium. Pada dua pertiga kasus dapat dibiakkan lebih dari satu organisme. Kecurigaan kuman anaerob lebih besar bila nanah berbau busuk, gas dalam abses dan tidak ada kuman pada pembiakkan aerob.Gejala Klinik Secara klinik ditemukan demam yang naik turun, rasa lemah, penurunan berat badan dan nyeri perut. Nyeri terutama di bawah iga kanan atau pada kuadran kanan atas. Dapat di jumpai pula gejala dan tanda efusi pleura. Nyeri berkurang bila penderita berbaring pada sisi kanan. Demam hilang timbul atau menetap bergantung pada jenis abses dan kuman penyebabnya. Dapat terjadi ikterik, ascites dan diare. Ikterik terutama terdapat pada abses hati piogenik karena penyakit saluran empedu yang disertai dengan kolangitis supurativa dan pembentukan abses multiple. Pada pemeriksaan mungkin didapatkan hepatomegali atau ketegangan pada perut kuadran lateral atas abdomen atau pembengkakan di daerah interkostal. Dapat terjadi penyulit berupa pecahnya abses ke dalam ronggal perut, dada atau perikard. Akan tetapi, banyak juga tidak menunjukkan gejala khas.Diagnosis Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit yang meningkat dengan jelas walaupun beberapa kasus menunjukkan nilai normal. leju endapan darah biasanya meningkat dan dapat terjadi anemia ringan. Fosfatase alkali dapat meningkat. Prognosa buruk jika kadar serum amino transferase meningkat. Dari pencitraan pada foto polos rontge, elevasi atau perubahan diafragma kanan terlihat pada lebih 50% kasus. Dapat dijumpai pleuritis, empiema, abses paru dan jarang fistel bronkopleura.TatalaksanaPengobatan medis dengan antibiotika disesuaikan dengan test kepekaan kuman. Bila hasil test belum ada, maka dapat digunakan kombinasi gentamisin, metronidazol atau klindamisin. Pengobatan di lanjutkan dalam 2 bulan, kecuali abses telah diatasi dengan pembedahan. Pengobatan bedah dilakukan jika penderita tidak menunjukkan hasil baik dengan pengobatan non bedah. Laparotomi dillakukan dengan sayatan subkostal kanan. Abses dibuka, dilakukan penyaliran dicuci dengan larutan garam fisiologi dan larutan antibiotika serta dipasang penyalir. Apabila letak abses jauh dari permukaan, penentuan lokasi dilakukan dengan USG intraoperatif, kemudian dilakukan aspirasi jarum. 6

BAB IIIPENUTUPMasalah yang terdapat pada sistem hepatobilier terdiri atas masalah kongenital, infeksi, neoplasma,trauma, dan masalah lain yang didapat. Masalah kongenital dapat berupa atresia saluran empedu, masalah infeksi dapat berupa kolesistitis baik akut maupun kronik,masalah neoplasma dapat berupa tumor ganas saluran empedu,trauma dapat berupa trauma hepatobilier,masalah yang didapat dapat berupa abses hati. Untuk mendiagnosis penyakit pada sistem hepatobilier dibutuhkan pemeriksaan fisik abdomen dan pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan penyakit tersebut. Pada pemeriksaan abdomen, urutan pemeriksaan dilakukan dimulai inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell RS.Anatomi Pankreas.In:Hartanto H,dkk.Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran.Jakarta:EGC,2006.p.309-318.

2. Price A.Kanker pankreas.konsep klinis dan proses penyakit. Jakarta:EGC,2005.p.507-9.

3. Dejong, W. Sjamsuhidajat, R. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta 2005:penerbit buku kedokterean ECG.p.663-705.

4. Bardiman S.Tumor pankreas.In:Bardiman S.Kumpulan kuliah hepatologi,penyakit pankreas,kantung empedu.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya;2008.p.599-603.

5. Mark H.Cancer of pankreas.In:Michelle F.Merck manual of medical information home edition,2004.p.704-5.

6. Schwartz (2010). Schwartzs Principle Of Surgery 9e.United Stated Of America: Mc Graw Hills.

23