hipertensi

8
3.1. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas Ibu Di Indonesia, mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga masi tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga oleh peraw persalinan masih ditangani oleh petugas non medik dan sistem rujukan y sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh semua lapisan i sehingga pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi dalam kehamilan harus benar- dialami oleh semua tenaga medik baik di pusat maupun di daerah. 3.1.1. KLASIFIKASI lasi!ikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan "eport on the #ational $lood ressure &ducation rogram 'orking (roup on High $lood ressure in regnanc tahun )**1, ialah + 1. Hipertensi kronik Hipertensi yang didapatkan sebelum kehamilan, dibawah )* minggu umur kehamilan, dan hipertensi tidak menghilang setelah 1) minggu pasca persalinan ). reeklamsia eklamsia Hipertensi dan proteinuria yang didapatkan setelah umur kehamilan )* minggu. . Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia Hipertensi kronik yang disertai proteinuria . Hipertensi gestational /imbulnya hipertensi pada kehamilan yang tidak disertai proteinuria h minggu pascapersalinan. $ila hipertensi menghilang setelah 1) minggu persalin maka dapat disebut juga 0Hipertensi /ransien . 3.1.2. FAKTOR RESIKO rimigra2ida, primipaternitas Hiperplasentosis, misalnya+ mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabet hidrops !etalis, bayi besar 3mur yang ekstrim "iwayat keluarga pernah preeklampsia4eklampsia

Upload: rahayu-asmarani

Post on 03-Nov-2015

214 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

HT

TRANSCRIPT

3.1.HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

3.1.HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas Ibu bersalin. Di Indonesia, mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga oleh perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medik dan sistem rujukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi dalam kehamilan harus benar-benar dialami oleh semua tenaga medik baik di pusat maupun di daerah.

3.1.1.KLASIFIKASI

Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report on the National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy tahun 2001, ialah :Hipertensi kronik

Hipertensi yang didapatkan sebelum kehamilan, dibawah 20 minggu umur kehamilan, dan hipertensi tidak menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan.

Preeklamsia eklamsia

Hipertensi dan proteinuria yang didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu.

Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsiaHipertensi kronik yang disertai proteinuria

Hipertensi gestational

Timbulnya hipertensi pada kehamilan yang tidak disertai proteinuria hingga 12 minggu pascapersalinan. Bila hipertensi menghilang setelah 12 minggu persalinan, maka dapat disebut juga Hipertensi Transien.

3.1.2.FAKTOR RESIKO

Primigravida, primipaternitas

Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar

Umur yang ekstrim

Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia

Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil

Obesitas

3.1.3.ETIOLOGIBelum diketahui dengan pasti dan jelas. Ada beberapa teori yang dianggap tidak mutlak benar :

Teori kelainan vaskularisasi plasenta

Pada hamil normal, dengan sebab belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri apiralis mengalami distensi dan dilatasi. Hal ini memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darahpada daerah uteroplasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan remodeling arteri spiralis.

Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot areteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.

Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron, sedangkan pada preeklampsia rata-rata 200 mikron.

Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel

Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (radikal bebas). Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah, sehingga oksidan ini akan merusak membran sel, yang mengandung banyak asam lemak tak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain merusak membran sel, juga akan merusak nukleus, dan protein sel endotel.

Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel dan mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut disfungsi sel endotel(endhotelial dysfunction), maka akan terjadi :

Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel, adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin (PGE2): suatu vasodilator kuat.

Agregrasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang banyak mengalami kerusakan sehingga kadar tromboksan lebih tinggi dari kadar prostasiklin dan terjadilah vasokonstriksi dengan kenaika tekanan darah.

Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus

Peningkatan permeabilitas kapilar

Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endothelin

Peningkatan faktor koagulasi

Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin

Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi respons imun,sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi (palsenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer ibu. Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu.

Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua.

Teori adaptasi kardiovaskularisasi

Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan vasopressor akibat dilindungi oleh adanya sintesis prostasiklin pada sel endotel pembuluh darah.

Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopressor. Fakta ini dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipetensi pada kehamilan.

Teori genetik

Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan 8% anak menantu mengalami preeklampsia.

Teori defisiensi gizi

Kekurangan defisiensi gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan.

Beberapa penilitian membuktikan bahwa minyak ikan dan suplemen kalsium dapat mengurangi resiko preeklampsia.

Teori inflamasi

Pada kehamilan normal, plasenta melepaskan debris trofoblas dalam batas normal, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stress oksidatif, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal.

Berbeda dengan proses apotosis pada preeklampsia, dimana pada preeklampsia terjadi peningkatan stress oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hami ganda, maka reaksi stress oksidatif akan sangat mneingkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga sangat meningkat dan mengakibatkan terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu.

3.1.4.Perubahan Sistem Organ

Plasenta

Pada preeklampsia terdapat spasmus arteriola spiralis desidua dengan akibat menurunnya aliran darah ke plasenta. Perubahan plasenta normal sebagai akibat tuanya kehamilan, seperti menipisnya sissitium, menebalnya dinding pembuluh darah daam villi karena fibrosis, dan konversi mesoderm menjadi jaringan fibrotik, dipercepat prosenya oleh preeklampsia dan hipertensi. Arteria spiralis mengalami konstriksi dan penyempitan, kibat aterosis akut disertai necrotizing angiopathy.

Ginjal

Biasanya normal atau dapat membengkak sedikit. Pada simpai ginjal dan pada pemotongan mungkin ditemukan perdarahan-perdarahan kecil. Glomerulus tampak sedikit membengkak. Sel-sel juxtaglomerular tampak membesar dan bertambah dengan pembengkakan sitoplasma sel dan bervakuolisasi. Epitel tubulus-tubulus Henle berdeskuamasi hebat. Terlihat jelas ada fragmen inti sel yang terpecah-pecah.

Perubahan-perubahan tersebutlah yang diduga kuat menyebabkan proteinuria dan mungkin sekali ada hubungannya dengan retensi garam dan air. sesudah persalinan berakhir, sebagian besar perubahan yang digambarkan menghilang, hanya saja kadang masih ditemukan sisa-sisa penambahan matriks mesangial.

Hati

Hati besarnya normal, pada permukaan dan pembelahan tampak tempat-tempat perdarahan yang tidak teratur. Pada pemeriksaan mikroskopik dapat ditemukan perdarahan dan nekrosis pada tepi lobulus, disertai trombosis pada pembuluh darah kecil, terutama di sekitar vena porta. Dari semua itu, rupanya tidak ada hubungan langsung antara berat penyakit dan luas perubahan pada hati.

Otak

Hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri, sedangkan pada keadaan lanjut dapat ditemukan perdarahan.

Retina

Pada umumnya terdapat spasmus pada arteriola-arteriola, terutama yang letaknya dekat dengan diskus optikus. Vena mengalami lekukan pada persimpangannya dengan arteriola. Terlihat juga edema pada diskus optikus dan retina.

Ablatio retina juga bisa terjadi dengan prognosis yang baik, karena retina akan melekat lagi beberapa minggu postpartum.

Paru-paru

Paru-paru menunjukkan beberapa tingkatan edema dan perubahan karena bronkopneumonia sebagai akibat aspirasi. Terkadang juga ditemukan abses paru-paru.

Jantung

Jantung mengalami perubahan degeneratif pada miokardium. Sering ditemukan degenerasi lemak dan cloudy swelling serta nekrosis dan perdarahan.

Kelenjar Adrenal

Dapat menunjukkan kelainan berupa perdarahan dan nekrosis dalam berbagai tingkat.

3.1.5.Penatalaksanaan

Penatalaksanaan hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia sama dengan penanganan pada preeklampsia berat. Penderita yang masuk rumah sakit sudah dengan tanda-tanda dan gejala-gejala preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat untuk mencegah timbulnya kejang-kejang. Apabila setelah 12-24 jam bahaya akut dapat diatas. Tindakan ini perlu untuk mencegah bahaya eklampsia.

Tujuan pengobatan, yaitu:

Mencegah kejang atau terjadinya eklampsia.

Lahir janin dengan kemungkinan hidup besar.

Persalinan harus dengan trauma yang sekecil mungkin.

Mencegah hipertensi yang menetap.

Manajemen umum perawatan pre-eklampsia berat terbagi menjadi 2 unsur, sikap terhadap penyakitnya dan sikap terhadap ibu hamil.

3.1.5.1Sikap Terhadap Penyakit : Medicamentosa

Segera rawat inap, tirah baring ke sisi sebelah kiri, pengelolaan cairan tubuh harus teliti, baik yang dimasukkan melalui IV ataupun yang dikeluarkan bersama urine, apabila ada oedema paru koreksi dengan benar. Cairan yang diberikan dapat berupa (a) 5% Ringer-dekstrose atau cairan garam faali jumlah tetesan kurang dari 125cc/jam (b) Infus dekstrose 5% yang setiap satu liternya diselingi dengan infus Ringer Laktat (60-125cc/jam)500cc. Pasang Foley Catheter untuk mengukur pengeluaran urine perhatikan jika oliguria. Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung, apabila tiba-tiba terjadi kejang dan menghindari aspirasi. Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.

Pemberian obat anti kejang seperti MgSO4, sangat efektif dimana bekerja mengahambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan mengahambat transmisi neuromuskular. Karena kandungan Magnesium akan berkompetisi denga kadar kalsium yang dibutuhkan untuk transmisi. Banyak cara pemberiannya dengan syarat harus tersedia antidotum MgSO4 bila terjadi intoksikasi, yaitu Kalsium glukonas 10% = 1gram (10% dalam 10cc)IV 3 menit. Refleks patella harus kuat, dan frekuensi pernapasan lebih dari 16x per menit. Segera hentikan pemberian apabila ada tanda-tanda intoksikasi, atau pada saat 24 jam pascapersalinan atau 24jam setelah kejang terakhir. Pemberian MgSO4 dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50% menimbulkan efek flush.Pemberian diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali da tanda-tanda edema paru, payah jantung kongesti atau anasarka. Diuretikum yang dipaki adalah Furosemida tetapi pemberiannya dapat merugikan yaitu memperberat hipovolemi, memprburuk perfusi utero-plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, dehidrasi pada janin, menurunkan BB janin.

Pemberian Antihipertensi, masih ada beberapa ketentuan yang dipercaya, dan digunakan dalam berbeda kasus dan keadaan. Di Indonesia biasa diberi Nifedipin dosis awal 10-20 mg, ulangi 3 menit kalau perlu, dosis maksimumnya 120mg/24jam. Obat ini tidakboleh diberikan sublingual karena efek vasodilatasi sangat kuat. Bisa berupa suntikan yaitu Klonidine (catapres), dimana satu ampul mengandun o,15 mg/cc. Klonidine dicampur dalam larutan garam faali atau larutan air untuk suntikan.

Pemberian Glukokortikoid, untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x24 jam, bisa juga diberikan pada syndrom HELLP.

3.1.5.2Sikap Terhadap Kehamilannya

Ditinjau dari umur kehamilan ada 2 perawatan, yaitu :

Aktif (Aggressive management), kehamilan harus diakhiri bersamaan denga pemberian medikamentosa. Adapun persyaratannya adalah, umur kehamilan lebih dari 37 minggu, tanda-tanda Impending Eclampsia, kegagalan terapi perawatan konservatif, terjadi solusio plasenta, timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan, tanda-tanda fetal disstres, IUGR, NST non-reaktif terhadap profil biofisik normal, oligohidramnion, syndrom HELLP, penuruna trombosit.

Konservatif, pertahankan kehamilan bersamaan pemberian medikomentosa, dengan beberapa syarat: kehamilan preterm, tanpa adanya tanda-tanda Impending eclampsia, pemebrian obat sesuai dengan perawatan secara aktif, hanya saja dikontrol selama 24 jam, jika gagal harus segera determinasi kehamilannya. Jika pasien menunjukkan tanda-tanda pre-eklampsia yang ringan diperbolehkan pulang.