hipertensi dalam kehamilan
DESCRIPTION
IITRANSCRIPT
ANALISIS KASUS
1. Apakah diagnosis pada kasus ini sudah tepat?
Pasien ini didiagnosis sebagai hipertensi gestasional karena dari anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang mengarahkan pasien ke dalam
diagnosa ini yaitu timbulnya hipertensi dipicu oleh kehamilannya dan selama
tidak hamil pasien tidak pernah mengalami tekanan darah yang tinggi.
2. Apakah penanganan pada kasus ini sudah tepat?
Penanganan pada kasus ini sudah tepat yaitu diberikan dexametason untuk
pematangan paru janin, nifedipin sebagai antihipertensi lini pertama dan
tokolitik dengan dosis yang dianjurkan yaitu 10 – 20 mg per oral, diulangi
setelah 30 menit; maksimum 120 mg dalam 24 jam. Kemudian diberikan obat
anti kejang yaitu MgSO4 sesuai protap. Pemberian MgSO4 diberikan pada
penderita dengan tekanan darah baik sistole atau diastole > 160/110 mmHg.
MgSO4 40% 10 cc (4 gr) diberikan secara IV pelan-pelan selama 5 menit.
Selanjutnya MgSO4 40% 15 cc (6 gr) / drip 20 tetes/ menit atau habis dalam
6 jam. Kemudian setiap 6 jam dengan dosis 15 cc (6 gr)/ drip 20 tetes/ menit.
HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5 - 15 % penulit kehamilan dan
merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu
bersalin. Di Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga
masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, uga oleh
perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medis dan system
ruukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh
semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi
dalam kehamilan harus benar-benar dipahami oleh semua tenaga medic baik di
pusat maupun di daerah.
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the National
High Blood Pressure Education Proggram Working Group on High Blood
Pressure in Pregnancy tahun 2001 ialah:
1. Hipertensi kronik
Adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau
hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan 20
minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.
2. Preeklampsi-eklampsi
PE adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai
dengan proteinuria. Eklampsia adalah preeklampsi yang disertai dengan
kejang-kejang dan/koma.
3. Hipertensi kronik dengan superimposed preeclampsia adalah hipertensi
kronik disertai tanda-tanda preeclampsia atau hipertensi kronik disertai
proteinuria.
4. Hipertensi gestasional atau transient hypertension adalah hipertensi yang
timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi
menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-
tanda preeclampsia tetapi tanpa proteinuria.
Hipertensi Kronik
Definisi
Hipertensi kronik dalam kehamilan ialah hipertensi yang didapatkan sebelum
timbulnya kehamilan. Apabila tidak diketahui adanya hipertensi sebelum
kehamilan, maka hipertensi kronik didefinikan bila didapatkan tekanan darah
sistolik 140 mmHg atau tekanan darah diastolic >= 90 mmH sebelum umur
kehamilan 20 minggu.
Etiologi Hipertensi Kronik
Hipertensi kronik dapat disebabkan primer : idiopatik 90% dan sekunder 10%,
berhubungan dengan penyakit ginjal, vascular kolagen, endokrin, dan pembuluh
darah.
Diagnosis Hipertensi Kronik pada Kehamilan
Diagnosis hipertensi kronik ialah bila didapatkan hipertensi yang telah timbul
sebelum kehamilan, atau timbul hipertensi < 20 minggu umur kehamilan.
Cirri-ciri hipertensi kronik :
- Umur ibu relative tua di atas 35 tahun
- Tekanan darah sangat tinggi
- Umumnya multipara
- Umumnya ditemukan kelainan jantung, ginjal, dan diabetes mellitus
- Obesitas
- Penggunaan obat-obat antihipertensi sebelum kehamilan
- Hipertensi yang menetap pascapersalinan
Dampak Hipertensi Kronik pada Kehamilan
Dampak pada ibu
Bila perempuan hamil mendapat monoterapi untuk hipertensinya, dan hipertensi
dapat terkendali, maka hipertensi kronik tidak berpengaruh buruk pada kehamilan,
meski tetap mempunyai risiko terjadinya solusio plasenta, ataupun superimposed
preeclampsia.
Hipertensi kronik yang diperberat oleh kehamilan akan member tanda :
- Kenaikan mendadak tekanan darah, yang akhirnya disusul proteinuria
- Tekanan darah sistolik > 200 mmHg diastolic > 130mmHg, dengan akibat
segera terjadi oliguria dan gangguan ginjal.
Penyulit hipertensi kronik pada kehamilan ialah :
- Solusio plasenta,risiko terjadinya solusio plasenta 2- 3 kali pada hipertensi
kronik
- Superimposed preeklampsi
Dampak pada Janin
Dampak hipertensi kronik pada janin ialah pertumbuhan janin terhambat atau fetal
growth restriction, intra uterine growth restriction (IUFG). Insiden fetal growth
restriction berbanding langsung dengan derajat hipertensi yang disebebakna
menurunnya perfusi uteroplasenta, sehingga menimbulkan insufisiensi plasenta.
Dampak lain pada janin peningkatan persalinan preterm.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan khusus berupa ECG (eko kardiografi), pemeriksaan mata, dan
pemeriksaan USG ginjal. Pemeriksaan lain ialah fungsi ginjal, fungsi hepar, Hb,
hematokrit, dan trombosin.
Pemeriksaan Janin
Perlu dilakukan pemeriksaan USG janin. Bila dicurigai IUGR, dilakukan NST dan
profil biofisik.
Pengelolaan pada Kehamilan
Tujuan pengelolaan hipertensi kronik dalam kehamilan adalah meminimalkan
atau mencegah dampak buruk pada ibu ataupun janin akibat hipertensinya sendiri
ataupun akibat obat-obat antihipertensi.
Secara umum ini berarti mencegah terjadinya hipertensi yang ringan menjadi
lebih berat, yang dapat dicapai dengan cara farmakologik atau perubahan pola
hidup : diet, merokok, alcohol, dan substance abuse.
Terapi hipertensi kronik berat hanya mempertimbangkan keselamatan ibu, tanpa
memandang status kehamilan. Hal ini untuk menghindari terjadinya CVA, infark
miokard, serta disfungsi jantung dan ginjal.
Antihipertensi diberikan :
- Sedini mungkin pada batas tekanan darah dianggap hipertensi, yaitu pada
stage I hipertensi tekanan darah sistolik >= 140 mmHg, tekanan diastolic
>= 90 mmHg.
- Bila terjadi disfungsi end organ.
Obat Antihipertensi
Jenis antihipertensi yang digunakan pada hipertensi kronik, ialah :
- Alfa-metildopa : dosis awal 500 mg 3 x per hari, maksimal 3 gr per hari.
- Calcium-channel blockers : nifedipin dengan dosis bervariasi antara 30 –
90 mg per hari.
- Diuretic thiazide : tidak diberikan karena akan mengganggu volume
plasma sehingga mengganggu aliran darah utero-plasenta.
Evaluasi Janin
Untuk mengetahui apakah terjadi insufisiensi plasenta akut atau kronik, perlu
dilakukan nonstress test dan pemeriksaan USG bila dicurigai terjadinya fetal
growth restriction atau terjadi superimposed PE.
Hipertensi Kronik dengan Superimposed PE
Diagnosis superimposed PE sulit, apalagi hipertensi kronik disertai kelainan ginjal
dengan proteinuria. Tanda-tanda superimposed PE pada hipertensi kronik,
adalah :
- Adanya proteinuria, gejala-gejala neurologic, nyeri kepala hebat,
gangguan visus, edema patologik yang menyeluruh (anasarka), oliguria,
edema paru.
- Kelainan laboratorium : berupa kenaikan serum kreatinin,
trombositopenia, kenaikan transaminase serum hepar.
Preeklampsi
PE adalah gangguan sistemik yang berkaitan dengan kehamilan, ditandai dengan
hipertensi dan proteinuria pada usia kehamilan > 20 minggu. PE merupakan
penyebab utama kesakitan dan kematian ibu, meningkatkan masalah perinatal
karena Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) dan kelahiran premature.
Sebanyak 5 – 7 % ibu hamil berkembang menjadi PE. PE masih menjadi
penyebab persalinan premature sejak dini dan diterapi dengan tepat.
PE lebih sering pada perempuan dengan hipertensi kronis, dengan insiden sebesar
25% dan terutama terjadi ada kehamilan pertama. Nullipara 6-8 kali lebih mudah
terkena dibandingkan multipara. Perempuan yang hamil pertama pada usia lebih
tua, mempunyai risiko PE lebih besar. PE juga sering terjadi pada perempuan
dengan janin kembar, mola hidatidosa dan diabetes mellitus. PE memiliki
kecenderunan herediter yang dapat berkembang pada 25% anak dan cucu dari
perempuan dengan riwayat PE.
PE dibadi menjadi dua yaitu PE brat dan ringan. PE berat adalah hi[ertensi awitan
baru dan proteinuria diikuti disfungsi susunan saraf pusat (sakit kepala,
pandangan kabur, kejang, koma), peningkatan TD bermakna (>160/110 mmHg),
proteinuria berat (> 5 gram per 24 jam), oliguria atau gagal ginjal, edema paru,
kerusakan sel hati (> 2x batas atas normal), trombositopenia (jumlah trombosit <
100.000/mikro L) atau disseminated intravascular coagulation (DIC). PE ringan
adalah hipertensi awitan baru, proteinuria, dan edema tanpa diikuti tanda-tanda PE
berat. Sementara itu, dikatakan juga bahwa pasien yang terlihat seperti PE ringan
(misalnya remaja hami dengan TD 140/85 mmHg dan proteinuria trace) dapat
kejang mendadak/berkembang menjadi eklampsi, sehingga istilah ringan dan berat
dapat melenakan dokter. Keadaan tersebut akan hilang setelah persalinan.
Faktor Risiko PE
Factor risiko terkait partner (nullipara, primigravida, kehamilan remaja,
inseminasi donor, orang tua hasil kehamilan dengan PE).
1. Factor risiko ibu ( riwayat PE sebelumnya, usia tua ibu, jarak kehamilan
pendek, riwayat keluarga, ras kulit hitam, pasien yang membutuhkan
donor oosit, inaktivitas fisik, riwayat hipertensi sejak >= 4 tahun yang lalu,
hipertensi pada kehamilan sebelumnya)
2. Adanya penyakit penyerta lain yaitu hipertensi kronis dan penyakit ginjal,
obesitas, resistensi insulin, berat badan ibu rendah, tubuh yang pendek
(short stature), migraine, diabetes gestasional, DM tipe 1, penyakit
Raynaud, resisten protein C aktif, defisiensi protein S, antibody
antifosfolipid, SLE, hiperhomosisteinemia, talasemia dan inkompatibilitas
rhesus.
3. Factor eksogen (merokok, stress, ketegangan psikis terkait pekerjaan,
makanan yang tidak adekuat), factor risiko terkait kehamilan (kehamilan
kembar, infeksi saluran kemih, anomaly structural congenital, hidrops
fetalis, kelainan kromosom, dan mola hidatidosa).
Ada beberapa kaitan dengan mekanisme imunologi yang melibatkan durasi dan
besarnya paparan antigen pada sperma laki-laki. Paparan berulang terhadap
ejakulat ayah dapat mencegah PE. Jika kehamilan terjadi dengan ayah yang baru,
risiko lebih tinggi. Begitu juga pada perempuan yang menggunakan kontrasepsi
yang menghalangi pajanan sperma.
Predisposisi Genetik
Genetic merupakan factor predisposisi terjadinya PE. Di Swedia, sesame saudara
kandung perempuan, risiko terjadinya PE 3,3 kali, sedangkan antara ibu dan
putrid kandung 2,6 kali. Banyak factor genetic berperan antara lain dihubungkan
dengan NOS endotelin, trombofili, mutasi factor V Leiden, TNF alfa,
angiotensinogen, lipoprotein lipase dan DM, namun tidak satupun yang terbukti
secara konsistensi.
Walaupun dasar genetic kelainan ini belum jelas, beberapa penelitian
epidemiologi menyatakan adanya kecenderungan gen yang sama dimiliki oleh
perempuan dengan kehamilan pertama yang mengalami PE. Kelompok
perempuan dengan golongan darah AB secara bermakna lebih rentan terhadap PE,
namun pemeriksaan polimorisme HLA-G dari peta keluarga tidak menunjukkan
kecenderungan tersebut. Jadi, golongan darah AB sebagai factor genetic masih
kontroversi.
Pada PE didapatkan angiotensinogen T235 yang mengalami mutasi.
Angiotensinogen merupakan salah satu factor yang mempunyai keterkaitan
genetic dengan hipertensi sesnsial, tetapi pada trimester kedua, tes angiotensin II
yang positif gagal memperlihatkan hubungan peranan gen tersebut dengan
peningkatan TD. Adanya gen yang berperan atau hilangnya gen tertentu pada PE
masih dalam penelitian lebih lanjut.
Pathogenesis PE
PE merupakan sindrom yang gejalanya mengenai banyak system organ,
diantaranya otak, hati, ginjal, pembuluh darah, dan plasenta. Kegagalan invasi
sitotrofoblas dari arteri spiralis uterus adalah salah satu awal dari gangguan ini.
Pembuluh darah tersebut tidak bertransformasi menjadi pembuluh darah yang
berdilatasi seperti pada kehamilan normal. Kelainan itu menyebabkan perfusi
plasenta buruk dan menghambat pertumbuhan. Banyak penelitian yang
menitikberatkan pada perubahan abnormal molecule adhesi sitotrofoblas, integrin
dan interaksi ligan-reseptor factor pertumbuhan endotel vascular plasenta.
Bukti lain menunjukkan vasokontriksi merupakan salah satu pathogenesis PE.
Vasokonstriksi merupakan hasil perubahan hormonal dan vascular berupa
angiogenesis yang terhambar dan adanya disfungsi endotel yang mengganggu
pembentkan plasenta. System rennin angiotensin dirangsang pada kehamilan
normal dan ditekan pada PE, namun, sensitivitas pasien PE terhadap efek tekanan
angiotensi II meningkt sehingga terjadi peningkatan TD.
Penelitian terbaru juga melaporkan perubahan fungsi sel endotel vascular sebagai
patofisiologi PE. Sel endotel menghasilkan zat yang penting dalam mengatur
tonus pembuluh darah dan koagulasi (misalnya nitrit oksida/NO, prostasiklin, dan
endotelin). Penelitian hipertensi gestasional pada hewan dan pemeriksaan klinis
terbatas menunjukkan bahwa penurunan NO dan prostasiklin, peningkatan
endotelin, dan semua sekuele disfungsi endotel menyebabkan vasokonstriksi,
agregasi trombosit dan peningkatan koagulasi intravascular yang kemudian
menyebabkan manifestasi klinis PE pada ibu.
Kemampuan ekskresi natrium data terganggu pada PE, namun derajatnya
bervariasi. PE yang berat dapat terjadi tanpa edema (dry PE). Bahkan ketika
edema terjadi, volume plasma kurang dari kehamilan normal dan sering terjadi
homokonsentrasi. Fenomena tersebut berhubungan dengan vaskularisasi yang
kurang, dimana hipoalbuminemia terjadi karena tiga factor yaitu kehilangan
protein ginjal, disungsi ginjal, dan ekstravasasi dari intravascular ke ruang
interstitial.
Diagnosis PE
Hipertensi yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu, dengan proteinuria,
terutama pada nullipara muda dapat disurigai sebagai PE. Terutama jika pasien
mempunyai riwayat PE di keluarga. PE umumnya tidak menunjukkan gejala dan
dapat dideteksi hanya dengan penapisan berkala. Gejala yang paling sering, bila
ada, adalah sakit kepala, gangguan penglihatan (sering melihat kilatan cahaya),
muntah, nyeri epigastrium dan edema.
Penapisan PE adalah salah satu target penting kunjungan antenatal, terutama pada
trimester ketiga kehamilan. Pengukuran TD dan urinalisis harus diperiksa,
terutama pada perempuan dengan factor risiko PE. Meskipun PE paling banyak
terjadi di trimester ketiga, dapat juga berkembang sampai 1 minggu setelah
melahirkan sehingga TD harus dipantau sekitar waktu tersebut. Sementara itu,
banyak studi dan ribuan artikel yang telah ditulis, menyimpulkan tidak ada tes
penapisan yang berguna secara klinis untuk memprediksi perkembanagan PE.
Saat ini tes penapisan yang masih dalam penelitian yaitu tes Doppler pemeriksaan
arteri uterin dan pengukuran factor II C plasma ibu.
Criteria hipertensi pada ibu hamil dengan TD >= 140/90 mmHg berdasarkan
pengukuran dua kali atau lebih dengan jarak 6 jam atau lebih.proteinuria pada PE
didefinisikan sebagai ekskresi protein lebih dari 300 mg dalam urin 24 jam (lebih
dari +1 pada pemeriksaan dipstick). Pada ibu hamil, tidak mungkin dilakukan
konfirmasi diagnosis hipertensi kembali lebih dari beberapa mingguseperti pada
perempuan tidak hamil.
Terapi
Terapi PE bersifat paliatif berupa rawat inap untuk tirah baring, mengendalikan
TD, profilaksis kejang jika ada tanda-tanda impending PE dan persalinan tepat
waktu, bahkan ada kepustakaan yang menganjurkan pemberian sedasi.
Eklampsi
Gambaran Klinik
Eklampsi adalah kasus akut pada penderita preeklampsi, yang disertai dengan
kejang menyeluruh dan koma. Sama halnya dengan PE, eklampsi dapat timbul
pada ante, intra, dan postpartum. Eklampsi postpartum umumnya hanya terjadi
dalam waktu 24 jam pertama setelah melahirkan.
Pada penderita PE yang akan kejang, umumnya member gejala-gejala atau tanda-
tanda yang khas, yang dapat dianggap sebagai tanda prodoma akan terjadinya
kejang. PE yang disertai dengan tanda-tanda prodoma ini disebut sebagai
impending eclampsia atau imminent eclampsia.
Diagnosis Banding
Kejang pada eklampsia harus dipikirkan kemungkinan kejang akibat penyakit
lain. Oleh karena itu, diagnosis eklsmpsia menjadi sangat penting, misalnya
perdarahan otak, hipertensi, lesi otak, kelainan metabolic, meningitis, epilepsy
iatrogenic. Eklampsia selalu didahului oleh PE. Perawatan prenatal untuk
kehamilan dengan predisposisi PE perlu ketat dilakukan agar dapat dikenal sedini
mungkin gejala-gejala prodoma eklampsia. Sering dijumpai perempuan hamil
yang tampak sehat mendadak menjadi kejang-kejang eklampsia, karena tidak
terdeteksi adanya preeclampsia sebelumnya.
Kejang-kejang dimulai dengan kejang tonik. Tanda-tanda kejang tonik ialah
dengan dimulainya gerakan kejang berupa twitching dari otot-tot muka khususnya
sekitar mulut, yang beberapa detik kemudian disusul kontraksi otot-otot tubuh
yang menegang, sehingga seluruh tubuh menjadi kaku. Pada keadaan ini wajah
penderita mengalami distorsi, bola mata menonjol, kedua lengan fleksi, tangan
menggenggam, kedua tungkai dalam posisi inverse. Semua otot tubuh pada saat
ini dalam keadaan kontraksi tonik. Keadaan ini berlangsung 15- 30 detik.
Kejang tonik ini segera disusul dengan kejang klonik. Kejang klonik dimulai
dengan terbukanya rahang secara tiba-tiba dan tertutu kembali dengan kuat
disertai pula dengan terbuka dan tertutupnya kelopak mata. Kemudian disusul
dengan kontraksi intermiten pada otot-otot muka dan otot-otot seluruh tubuh.
Begitu kuat kontraksi otot-otot tubuh ini sehingga seringkali penderita terlempar
dari tempat tidur. Seringkali pula lidah tergigit akibat kontraksi otot rahang yang
terbuka dan tertutup dengan kuat. Dari mulut keluar liur berbusa yang kadang-
kadang disertai bercak-bercak darah. Wajah tampak membengkak karena kongesti
dan pada konjungtiva mata dijumpai bintik-bintik perdarahan.
Pada waktu timbul kejang, diafragma terfiksir, sehingga pernafasan tertahan,
kejang klonik berlangsung kurang lebih 1 menit. Setelah itu berangsur-angsur
kejang melemah, dan akhirnya penderita diam tidak bergerak.
Lama kejang klonik ini kurang lebih 1 menit, kemudian berangsur-angsur
kontraksi melemah dan akhirnya berhenti serta penderita jatuh ke dalam koma.
Pada waktu timbul kejang, tekanan darah dengan cepat meningkat. Demikian juga
suhu badan meningkat, yang mungkin oleh karena gangguan serebral. Penderita
mengalami inkontinensia disertai dengan oliguria atau anuria dan kadang-kadang
terjadi aspirasi bahan muntah.
Perawatan Eklampsia
Perawatan dasar eklampsia yang utama ialah terapi supertif untuk stabilisasi
fungsi vital, yang harus selalu diingat Airway, Breathing, Circulation (ABC),
mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi hipoksemia dan asidemia, mencegah
trauma pada pasien pada waktu kejang, mengendalikan tekanan darah, khususnya
pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada waktu yang tepat dan dengan
cara yang tepat.
Pengobatan Medikamentosa
Obat antikejang
Obat antikejang yang menjadi pilihan pertama ialah magnesium sulfat. Bila
dengan jenis obat ini kejang masih sukar diatasi, dapat dipakai obat jenis lain,
misalnya thiopental.
Perawatan pada Waktu Kejang
Pada pendertia yang mengalami kejang, tujuan pertama pertolongan ialah
mencegah penderita mengalami trauma akibat kejang-kejang tersebut. Dirawat di
kamar isolasi cukup terang, tidak di kamar gelap, agar bila terjadi sianosis segera
dapat diketahui. Penderita dibaringkan di tempat tidur yang lebar, dengan rail
tempat tidur harus dipasang dan dikunci dengan kuat.
Pengobatan Obstetrik
Sikap terhadap kehamilan ialah semua kehamilan dengan eklampsia harus
diakhiri, tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Persalinan
diakhiri bila sudah mencapai stabilisasi (pemulihan) hemodinamika dan
metabolism ibu. Pada perawatan pascapersalinan, bila persalinan terjadi
pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana lazimnya.
Prognosis
Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala
perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah
persalinan berakhir perubahan patofisiologik akan segera pula mengalami
perbaikan. Dieresis terjadi 12 jam kemudian setelah persalinan.