hipertensi merupakan kondisi yang paling sering ditemui pada perawatan primer dan dapat menyebabkan...
TRANSCRIPT
Hipertensi merupakan kondisi yang paling sering ditemui pada perawatan primer dan dapat menyebabkan infark miokardium, stroke, gagal ginjal, dan kematian jika tidak dideteksi dini dan diterapi dengan tepat. Dan JNC 8 (The Eight Joint National Committee) telah mengeluarkan panduan baru dalam manajemen hipertensi pada dewasa.
“2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults: Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8)”, yang telah dipublikasikan secara online pada tgl 18 Desember 2013 oleh JAMA (Journal of the American Medical Association) menguraikan 9 rekomendasi spesifik untuk memulai dan memodifikasi farmakoterapi untuk pasien dengan peningkatan tekanan darah.
Panduan tersebut mengambil pendekatan yang teliti dan berbasis ilmiah yang merekomendasikan ambang terapi, tujuan terapi, dan obat dalam manajemen hipertensi pada dewasa. Bukti diambil dari studi-studi acak dengan kontrol, yang melibatkan minimal 100 subjek, yang menunjukkan standar emas untuk menentukan efikasi dan efektivitas. Kualitas bukti dan rekomendasi digolongkan berdasarkan efeknya pada outcome yang penting.
Menurut ketua AAFP Commission on Health of the Public and Science, Steven Brown, MD, laporan dari panelis JNC 8 tersebut merupakan salah satu panduan yang paling diantisipasi sejak beberapa tahun terakhir dan membahas topik prioritas utama untuk dokter keluarga dan pasiennya.
Anggota panel panduan yang telah ditunjuk oleh the National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) tahun 2008 tersebut memfokuskan pada bagaimana menjawab 3 pertanyaan kunci:• Pada pasien dewasa dengan hipertensi, apakah memulai terapi farmakologi antihipertensi pada ambang tekanan darah spesifik akan memperbaiki outcome kesehatan?• Pada pasien dewasa dengan hipertensi, apakah terapi dengan terapi farmakologi antihipertensi hingga tekanan darah tujuan spesifik memperbaiki outcome kesehatan?• Pada pasien dewasa dengan hipertensi, apakah berbagai obat antihipertensi atau golongan obat berbeda dalam manfaat dan bahaya pada outcome kesehatan spesifik?
Meskipun anggota tim panel berusaha untuk mencapai konsensus pada semua rekomendasi, namun mayoritas 2/3 dianggap dapat diterima, dengan pengecualian rekomendasi yang tidak ada bukti studi non-RCT, untuk hal ini, rekomendasi berdasarkan pada pendapat ahli dan memerlukan persetujuan dari 75% peserta panel.
Sembilan rekomendasi utama yang baru meliputi: 1. Pada pasien berusia ≥60 tahun, mulai terapi farmakologi pada tekanan darah sistolik ≥150 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dan terapi hingga tekanan darah sistolik tujuan <150 mmHg dan tekanan darah diastolik tujuan <90 mmHg (rekomendasi kuat - level A). Jika terapi menyebabkan tekanan darah sistolik yang lebih
rendah (misalnya <140 mmHg) dan terapi ditoleransi dengan baik tanpa efek samping pada kesehatan dan kualitas hidup, maka tidak perlu penyesuaian dosis (pendapat ahli – level E). 2. Pada pasien berusia <60 tahun, mulai terapi farmakologi pada tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dan terapi hingga tekanan darah diastolik tujuan <90 mmHg (untuk usia 30-59 tahun, rekomendasi kuat - level A; untuk usia 18-29 tahun, pendapat ahli - level E). 3. Pada pasien berusia <60 tahun, mulai terapi farmakologi pada tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan terapi hingga tekanan darah sistolik tujuan <140 mmHg (pendapat ahli – level E). 4. Pada pasien berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronik, mulai terapi farmakologi pada tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dan terapi hingga tekanan darah sistolik tujuan <140 mmHg dan tekanan darah diastolik tujuan <90 mmHg (pendapat ahli - level E). 5. Pada pasien berusia ≥18 tahun dengan diabetes, mulai terapi farmakologi pada tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dan terapi hingga tekanan darah sistolik tujuan <140 mmHg dan tekanan darah diastolik tujuan <90 mmHg (pendapat ahli - level E). 6. Pada populasi non-kulit hitam secara umum, termasuk yang mempunyai diabetes, terapi antihipertensi awal harus meliputi diuretik jenis thiazide, CCB, ACE inhibitor, atau ARB (rekomendasi sedang - level B). Rekomendasi ini berbeda dengan JNC 7 di mana panel merekomendasikan diuretik jenis thiazide sebagai terapi awal untuk sebagian besar pasien. 7. Pada populasi kulit hitam secara umum, termasuk yang mempunyai diabetes, terapi antihipertensi awal harus meliputi diuretik jenis thiazide atau CCB (untuk populasi kulit hitam secara umum: rekomendasi sedang - level B; untuk populasi kulit hitam dengan diabetes: rekomendasi lemah - level C). 8. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronik (PGK), terapi antihipertensi awal (atau add-on) harus meliputi ACE inhibitor atau ARB untuk memperbaiki outcome ginjal. Hal ini diaplikasikan pada semua pasien PGK dengan hipertensi tanpa memperhatikan ras atau status diabetes (rekomendasi sedang - level B). 9. Tujuan utama terapi hipertensi adalah mencapai dan mempertahankan tekanan darah tujuan. Jika tekanan darah tujuan tidak tercapai dalam 1 bulan terapi, tingkatkan dosis obat awal atau tambahkan dengan obat kedua dari salah satu golongan obat dalam rekomendasi no.6 (diuretik jenis thiazide, CCB, ACE inhibitor, atau ARB). Dokter harus terus menilai tekanan darah dan menyesuaikan regimen terapi hingga tekanan darah tujuan tercapai. Jika tekanan darah tujuan tidak dapat tercapai dengan 2 obat, tambahkan dan titrasi obat ketiga dari daftar yang diberikan. Jangan gunakan ACE inhibitor dan ARB bersamaan pada pasien yang sama.
Jika tekanan darah tujuan tidak dapat dicapai dengan hanya menggunakan obat dalam rekomendasi no.6 karena kontraindikasi atau kebutuhan menggunakan lebih dari 3 obat untuk mencapai tekanan darah tujuan, maka obat antihipertensi dari golongan lain dapat digunakan. Perujukan ke seorang spesialis hipertensi dapat diindikasikan untuk pasien yang tekanan darah tujuan tidak tercapai menggunakan strategi di atas atau
untuk manajemen pasien dengan komplikasi yang memerlukan konsultasi klinis tambahan (pendapat ahli - level E).
Menurut pimpinan penulis panduan baru ini, tujuan panduan ini adalah ingin membuat pesan yang sangat simpel untuk dokter: terapi pada tekanan darah 150/90 mmHg untuk pasien berusia >60 tahun, dan pada tekanan darah 140/90 mmHg untuk setiap orang lainnya. Selain itu, juga menyederhanakan regimen obat, bahwa keempat pilihan obat tersebut baik. Yang juga penting adalah pantau, lacak, dan pantau kembali pasien.
Meskipun target lebih longgar, panduan baru ini bukan berarti bahwa dokter harus mengurangi terapi pada pasien yang berhasil baik dengan panduan JNC 7. Jika pasien berhasil mencapai tekanan darah hingga 140 mmHg atau 135 mmHg dengan terapi, bukan berarti obat dihentikan agar tekanan darah mendekati 150 mmHg, tetapi jika tekanan darah pasien konsisten di bawah 150 mmHg, maka outcome kesehatan akan lebih baik. Namun rekomendasi ini tidak menggantikan pertimbangan klinis dan keputusan mengenai perawatan harus dipertimbangkan hati-hati dan memasukkan karakteristik dan kondisi klinik dari setiap individu pasien.(EKM)
Beberapa rekomendasi terbaru antara lain :1 . Pada pasien berusia ≥ 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis pada tekanan darah sistolik ≥ 150mmHg atau diastolik ≥ 90mmHg dengan target terapi untuk sistolik < 150mmHg dan diastolik < 90mmHg . (Rekomendasi Kuat-grade A)2 . Pada pasien berusia < 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis pada tekanan darah diastolik ≥ 90mmHg dengan target < 90mmHg . ( Untuk usia 30-59 tahun , Rekomendasi kuat -Grade A; Untuk usia 18-29 tahun , Opini Ahli - kelas E )3 . Pada pasien berusia < 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis pada tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg dengan target terapi < 140mmHg . ( Opini Ahli - kelas E )4 . Pada pasien berusia ≥ 18 tahun dengan penyakit ginjal kronis , mulai pengobatan farmakologis pada tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg atau diastolik ≥ 90mmHg dengan target terapi sistolik < 140mmHg dan diastolik < 90mmHg . ( Opini Ahli - kelas E )5 . Pada pasien berusia ≥ 18 tahun dengan diabetes , mulai pengobatan farmakologis pada tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg atau diastolik BP ≥ 90mmHg dengan target terapi untuk sistolik gol BP < 140mmHg dan diastolik gol BP < 90mmHg . ( Opini Ahli - kelas E )6 . Pada populasi umum bukan kulit hitam, termasuk orang-orang dengandiabetes , pengobatan antihipertensi awal harus mencakup diuretik tipe thiazide, CCB , ACE inhibitor atauARB ( Rekomendasi sedang-Grade B ) Rekomendasi ini berbeda dengan JNC 7 yang mana panel merekomendasikan diuretik tipe thiazide sebagai terapi awal untuk sebagian besar pasien .7 . Pada populasi umum kulit hitam , termasuk orang-orang dengandiabetes , pengobatan antihipertensi awal harus mencakup diuretic tipe thiazide atau CCB . ( Untuk penduduk kulit hitam umum : Rekomendasi Sedang - Grade B , untuk pasien hitam dengan diabetes : Rekomendasi lemah-Grade C)8 . Pada penduduk usia ≥ 18 tahun dengan penyakit ginjal kronis , pengobatan awal atau tambahan antihipertensi harus mencakup ACE inhibitor atau ARB untuk meningkatkan outcome ginjal . (Rekomendasi sedang -Grade B )9 . Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam waktu satu bulan pengobatan, tiingkatkan dosis obat awal atau menambahkan obat kedua dari salah satu kelas dalam Rekomendasi 6 . Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai dengan dua obat , tambahkan dan titrasi obat ketiga dari daftar yang tersedia. Jangan gunakan ACEI dan ARB bersama-sama pada pasien yang sama . Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai hanya dengan menggunakan obat-obatan dalam Rekomendasi 6 karena kontraindikasi atau kebutuhan untuk menggunakan lebih dari 3 obat untuk
mencapai target tekanan darah, maka obat antihipertensi dari kelas lain dapat digunakan . (Opini Ahli - kelas E )Daftar singkatan :ACEI = angiotensin-converting enzyme inhibitorARB= angiotensin receptor blockerCCB = calcium channel blocker
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan dampak sekunder
pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan. Sampai saat ini
prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%. Sejumlah 85-90% hipertensi tidak
diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau
idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi
sekunder).1
Tekanan darah tingi adalah faktor resiko utama bagi penyakit jantung dan stroke. Tekanan
darah tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung iskemik (menurunnya suplai darah untuk
otot jantung sehingga menyebabkan nyeri dada atau angina dan serangan jantung) dari
peningkatan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot jantung yang menebal.2
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu hal komplek yang melibatkan
banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu hemodinamik, struktural, neuroendokrin,
seluler, dan faktor molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor ini memegang peranan dalam
perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di sisi lain peningkatan tekanan darah itu
sendiri dapat memodulasi faktor-faktor tersebut.3
Diagnosis penyakit jantung hipertensi didasarkan pada riwayat,pengkuran tekanan darah,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan awal pasien hipertensif
harus menyertakan riwayat lengkat dan pemeriksaan fisis untuk mengkonfirmasi diagnosis
hipertensi, menyaring faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular lain, menyaring penyebab-
penyebab sekunder hipertensi, mengidentifikasi konsekuensi kardiovaskular hipertensi dan
komorbiditas lain, memeriksa gaya hidup terkait-tekanan darah, dan menentukan potensi
intervensi. Pengukuran tekanan darah yang terpercaya tergantung pada perhatian terhadap
detail mengenai tekhnik dan kondisi pengukuran. Karena peraturan terkini yang melarang
penggunaan merkuri karena perhatian mengenai toksisitas potensialnya, sebagian besar
pengukuran dibuat menggunakan instrumen aneroid. Akurasi instrumen pengukur tekanan
darah terotomatisasi harus dikonfirmasi. Pada pemeriksaan fisis, Habitus tubuh, seperti
tinggi dan berat badan, harus dicatat. Pada pemeriksaan awal, tekanan harus diukur pada
kedua lengan, dan lebih baik pada posisi terlentang, duduk dan berdiri untuk mengevaluasi
keberadaan hipotensi postural. Pada pemeriksaan laboratorium meliputi Urinalisis
mikroskopik, ekskresi albumin, BUN atau kreatinin serum, Natrium, kalium, kalsium, dan TSH
serum, Hematokrit, elektrokardiogram, Glukosa darah puasa, kolesterol total, HDL dan LDL,
trigliserida.
Penatalaksanaan penyakit jantung hipertensi meliputi perubahan gaya hidup (non
farmakologi) dan terapi farmakologi (Diuretik,penyekat sistem renin angiotensin, antagonis
aldosteron,penyekat beta, penyekat adrenergik, agen simpatolitik, penyekat kanal kalsium,
vasodilator direk (langsung).4
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa obat-obatan tertentu seperti ACE-Inhibitor,
Beta-blocker, dan diuretik spinorolakton dapat mengatasi hipertropi ventrikel kiri dan
memperpanjang kemungkinan hidup pasien dengan gagal jantung akibat penyakit jantung
hipertensi.2
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Definisi
Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan dampak sekunder
pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan. Sampai saat ini
prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%. Sejumlah 85-90% hipertensi tidak
diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau
idiopatik). Sejumlah 85-90 % hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai
hipertensi primer (hipertensi esensial atau Idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang
dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder).
Tidak ada data akurat mengenai prevalensi hipertensi sekunder dan sangat tergantung di
mana angka itu diteliti. Diperkirakan terdapat sekitar 6% pasien hipertensi sekunder
sedangkan di pusat rujukan dapat mencapai sekitar 35%. Hampir semua hipertensi
sekunder didasarkan pada 2 mekanisme yaitu gangguan sekresi hormon dan gangguan
fungsi ginjal. Pasien hipertensi sering meninggal dini karena komplikasi jantung (yang
disebut sebagai penyakit jantung hipertensi). Juga dapat menyebabkan strok, gagal ginjal,
atau gangguan retina mata.1,6
II.2. Etiologi
Tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja jantung, dan seiring dengan berjalannya
waktu hal ini dapat menyebabkan penebalan otot jantung. Karena jantung memompa darah
melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh darah yang meningkat, ventrikel kiri
membesar dan jumlah darah yang dipompa jantung setiap menitnya (cardiac output)
berkurang. Tanpa terapi, gejala gagal jantung akan makin terlihat.
Tekanan darah tinggi adalah faktor resiko utama bagi penyakit jantung dan stroke. Tekanan
darah tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung iskemik ( menurunnya suplai darah untuk
otot jantung sehingga menyebabkan nyeri dada atau angina dan serangan jantung) dari
peningkatan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot jantung yang menebal.
Tekanan darah tinggi juga berpenaruh terhadap penebalan dinding pembuluh darah yang
akan mendorong terjadinya aterosklerosis (peningkatan kolesterol yang akan terakumulasi
pada dinding pembuluh darah). Hal ini juga meningkatkan resiko seangan jantung dan
stroke. Penyakit jantung hipertensi adalah penyebab utama penyakit dan kematian akibat
hipertensi. Hal ini terjadi pada sekitar 7 dari 1000 orang.2
II.3. Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu hal komplek yang melibatkan
banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu hemodinamik, struktural, neuroendokrin,
seluler, dan faktor molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor ini memegang peranan dalam
perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di sisi lain peningkatan tekanan darah itu
sendiri dapat memodulasi faktor-faktor tersebut. Peningkatan tekanan darah menyebabkan
perubahan yang merugikan pada struktur dan fungsi jantung melalui 2 cara: secara
langsung melalui peningkatan afterload dan secara tidak langsung melalui nuerohormonal
terkait dan perubahan vaskular. Peningkatan perubahan tekanan darah dan tekanan darah
malam hari dalam 24 jam telah dibuktikan sebagai faktor yang paling berhubungan dengan
berbagai jenis patologi jantung, terutama bagi masyarakat Afrika-Amerika. Patofisiologi
berbagai efek hipertensi terhadap jantung berbeda-beda dan akan dijelaskan pada bagian
ini.
Hipertrofi ventrikel kiri
Pada pasien dengan hipertensi, 15-20% mengalami hipertrofi ventrikel kiri (HVK). Risiko HVK
meningkat dua kali lipat pada pasien obesitas. Prevalensi HVK berdasarkan penemuan lewat
EKG(bukan merupakan alat pemeriksaan yang sensitif) pada saat menegakkan diagnosis
hipertensi sangatlah bervariasi.Penelitian telah menunjukkan hubungan langsung antara
derajat dan lama berlangsungnya peningkatan tekanan darah dengan HVK.
HVK didefinisikan sebagai suatu penambahan massa pada ventrikel kiri, sebagai respon
miosit terhadap berbagai rangsangan yang menyertai peningkatan tekanan darah. Hipertrofi
miosit dapat terjadi sebagai kompensasi terhadap peningkatan afterload. Rangsangan
mekanik dan neurohormonal yang menyertai hipertensi dapat menyebabkan aktivasi
pertumbuhan sel-sel otot jantung, ekspresi gen (beberapa gen diberi ekspresi secara primer
dalam perkembangan miosit janin), dan HVK. Sebagai tambahan, aktivasi sistem renin-
angiotensin melalui aksi angiotensin II pada reseptor angiotensin I mendorong
pertumbuhan sel-sel interstisial dan komponen matrik sel. Jadi, perkembangan HVK
dipengaruhi oleh hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara miosit dan struktur
interstisium skeleton cordis.
Berbagai jenis pola HVK telah dijelaskan, termasuk remodelling konsentrik, HVK konsentrik,
dan HVK eksentrik. HVK konsentrik adalah peningkatan pada ketebalan dan massa ventrikel
kiri disertai peningkatan tekanan dan volume diastolik ventrikel kiri, umumnya ditemukan
pada pasien dengan hipertensi. Bandingkan dengan HVK eksentrik, di mana penebalan
ventrikel kiri tidak merata namun hanya terjadi pada sisi tertentu, misalnya pada septum.
LVH konsentrik merupakan pertanda prognosis yang buruk pada kasus hiperetensi. Pada
awalnya proses HVK merupakan kompensasi perlindungan sebagai respon terhadap
peningkatan tekanan dinding ventrikel untuk mempertahankan cardiac output yang
adekuat, namun HVK kemudian mendorong terjadinya disfungsi diastolik otot jantung, dan
akhirnya menyebabkan disfungsi sistolik otot jantung.
Abnormalitas Atrium Kiri
Sering kali tidak terduga, perubahan struktur dan fungsi atrium kiri sangat umum terjadi
pada pasien dengan hipertensi. Peningkatan afterload membebani atrium kiri lewat
peningkatan tekanan end diastolik ventrikel kiri sebagai tambahan untukmeningkatkan
tekanan darah yang menyebabkan gangguan pada fungsi atrium kiri ditambah peningkatan
ukuran dan penebalan tarium kiri. Peningkatan ukuran atrium kiri pada kasus hipertensi
yang tidak disertai penyakit katup jantung atau disfungsi sistolik menunjukkan kronisitas
hipertensi dan mungkin berhubungan dengan beratnya disfungsi diastolik ventrikel kiri.
Sebagai tambahan, perubahan struktur ini menjadi faktor predisposisi terjadinya atrial
fibrilasi pada pasien-pasien tersebut. Atrial fibrilasi, dengan hilangnya kontribusi atrium
pada disfungsi diastolik, dapat mempercepat terjadinya gagal jantung.
Penyakit Katup
Meskipun penyakit katup tidak menyebabkan penyakit jantung hipertensi, hipertensi yang
kronik dan berat dapat menyebabkan dilatasi cincin katup aorta, yang menyebabkan
terjadinya insufisiensi aorta signifikan. Beberapa derajat perubahan perdarahan secara
signifikan akibat insufisiensi aorta sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi yang
tidak terkontrol. Peningkatan tekanan darah yang akut dapat menentukan derajat
insufisiensi aorta, yang akan kembali ke dasar bila tekanan darah terkontrol secara lebih
baik. Sebagai tambahan, selain menyebabkan regurgitasi aorta, hipertensi juga diperkirakan
dapat mempercepat proses sklerosis aorta dan menyebabkan regurgitasi mitral.
Gagal Jantung
Gagal jantung adalah komplikasi umum dari peningkatan tekanan darah yang kronik.
Hipertensi sebagai penyebab gagal jantung kongestif seringkali tidak diketahui, sebagian
karena saat gagal jantung terjadi, ventrikel kiri yang mengalami disfungsi tidak mampu
menghasilkan tekanan darah yang tinggi, hal ini menaburkan penyebab gagal jantung
tersebut. Prevalensi disfungsi diastolik yang asimtomatik pada pasien dengan hipertensi dan
tanpa HVK (Hipertensi Ventrikel Kiri) adalah sekitar 33%. Peningkatan afterload yang kronis
dan terjadinya HVK dapat memberi pengaruh buruk terhadap fase awal relaksasi dan fase
komplaien lambat dari diastolik ventrikel.
Disfungsi diastolik umumnya terjadi pada seseorang dengan hipertensi. Disfungsi diastolik
biasanya, namun tidak tanpa kecuali, disertai dengan HVK. Sebagai tambahan, selain
peningkatan afterload, faktor-faktor lain yang ikut berperan dalam proses terjadinya
disfungsi diastolik adalah penyakit arteri koroner, penuaan, disfungsi sistolik, dan
abnormalitas struktur seperti fibrosis dan HVK. Disfungsi sistolik yang asimtomatik biasanya
juga terjadi. Pada bagian akhir penyakit, HVK gagal mengkompensasi dengan meningkatkan
cardiac output dalam menghadapi peningkatan tekanan darah, kemudian ventrikel kiri
mulai berdilatasi untuk mempertahankan cardiac output. Saat penyakit ini memasuki tahap
akhir, fungsi sistolik ventrikel kiri menurun. Hal ini menyebabkan peningkatan lebih jauh
pada aktivasi neurohormonal dan sistem renin-angiotensin, yang menyebabkan peningkatan
retensi garam dan cairan serta meningkatkan vasokontriksi perifer. Apoptosis, atau program
kematian sel, distimulasi oleh hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara stimulan dan
penghambat, disadari sebagai pemegang peran pentingdalam transisi dari tahap
kompensata menjadi dekompensata. Pasien menjadi simptomatik selama tahap asimtomatik
dari disfungsi sistolik atau diastolik ventrikel kiri, menerima perubahan pada kondisi
afterload atau terhadap kehadiran gangguan lain bagi miokard (contoh: iskemia, infark).
Peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba dapat menyebabkan edema paru akut tanpa
perlu perubahan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri. Secara umum, perkembangan dilatasi atau
disfungsi ventrikel kiri yang asimtomatik maupun yang simtomatik melambangkan
kemunduran yang cepat pad status klinis dan menandakan peningkatan risiko kematian.
Sebagai tambahan, selain disfungsi ventrikel kiri, penebalan dan disfungsi diastolik ventrikel
kanan juga terjadi sebagai hasil dari penebalan septum dan disfungsi ventrikel kiri.
Iskemik Miokard
Pasien dengan angina memiliki prevalensi yang tinggi terhadap hipertensi. Hipertensi adalah
faktor risiko yang menentukan perkembangan penyakit arteri koroner, bahkan hampir
melipatgandakan risiko. Perkembangan iskemik pada pasien dengan hipertensi bersifat
multifaktorial.
Hal yang penting pada pasien dengan hipertensi, angina dapat terjadi pada ketidakhadiran
penyakit arteri koroner epikardium. Penigkatan aferload sekunder akibat hipertensi
menyebabkan peningkatan tekanan dinding ventrikel kiri dan tekanan transmural,
menekan aliran darah koroner selama diastole. Sebagai tambahan, mikrovaskular, diluar
arteri koroner epikardium, telah terlihat mengalami disfungsi pada pasien dengan hipertensi
dan mungkin tidak mampu mengkompensasi peningkatan metabolik dan kebutuhan
oksigen.
Perkembangan dan progresifitas aterosklerosis, merupakan tanda penyakit arteri koroner, di
eksaserbasikan pada arteri yang menjadisubjek peningkatan tekanan darah kronis
mengurangi tekanan yang terkait dengan hipertensi dan disfungsi endotelial menyebabkan
gangguan pada sintesis dan pelepasan nitrit oksida yang merupakan vasodilator poten.
Penurunan kadar nitrit oksida menyebabkan perkembangan dan makin cepatnya
pembentukan arteriosklerotis dan plak. Gambaran morfologi plak identik dengan plak yang
ditemukan pada pasien tanpa hipertensi.
Arimia kardiak
Arimia kardia umumnya ditemukan pada pasien dengan hipertensi yang mengalami arterial
fibrilasi kontraksi ventrikel yang prematur dan ventrikuler takikardi.
Resiko henti jantung mendadak meningkat. Berbagai metabolismedipekirakan memegang
peranan dalam patogenesis aritmia termasuk perubahan struktur dan metabolisme sel,
ketidakhomogen miokard, perfusi yang buruk, fibrosis miokard dan fluktuasi pada afterload.
Semua faktor tersebut dapat menyebabkan peningkatanan resiko ventrikel takiaritmia.
Artrial fibrilasi (paroksisimal, kronik rekuren, atau kronik persisten), sering ditemukan pada
pasien dengan hipertensi. Faktanya, peningkatan tekanan darah merupakan faktor umum
bagi artrial fibrilasi. Pada suatu penelitian hampir 50% pasien dengan artrial fibrilasi
mengidap hipertensi walaupun etiologi yang pasti tidak diketahui, abnormalitas struktur
atrium kiri, penyakit arteri koroner, dan HVK telah dianggap sebagi faktor yang mungkin
berperan. Perkembangan artrial fibrilasi dapat menyebabkan disfungsi sistolik
dekompensata, dan yang lebih penting, disfungsi diastolik, menyebabkan hlangnya
kontraksi atrium, dan juga meningkatkan resiko komplikasi tromboembolik, khususnya
stroke.
Kontraksi ventrikuler prematur, ventrikuler aritmia dan henti jantung mendadak ditemukan
lebih sering pada pasien dengan HVK daripada pasien tanpa HVK. Penyebab arimitmia
tersebut dianggap terjadi bersama-sama dengan penyakit arteri koroner dan fibrosis
miokard.3,5,7,9,10
II.4. Diagnosis
Riwayat
Pemeriksaan awal pasien hipertensif harus menyertakan riwayat lengkat dan pemeriksaan
fisis untuk mengkonfirmasi diagnosis hipertensi, menyaring faktor-faktor risiko penyakit
kardiovaskular lain, menyaring penyebab-penyebab sekunder hipertensi, mengidentifikasi
konsekuensi kardiovaskular hipertensi dan komorbiditas lain, memeriksa gaya hidup terkait-
tekanan darah, dan menentukan potensi intervensi.
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala spesifik yang dapat dikaitkan
dengan peningkatan tekanan darah mereka. Walaupun popular dianggap sebagai gejala
peningkatan tekanan arterial, sakit kepala lazim terjadi hanya pada pasien dengan
hipertensi berat. Suatu sakit kepala hipertensif khas terjadi pada waktu pagi dan berlokasi di
regio oksipital. Gejala nonspesifik lain yang dapat berkaitan dengan peningkatan tekanan
darah antara lain adalah rasa pusing, palpitasi, rasa mudah lelah, dan impotensi. Ketika
gejala-gejala didapati, mereka umum berhubungan dengan penyakit kardiovaskular
hipertensif atau dengan manifestasi hipertensi sekunder. Tabel berikut mendaftarkan fitur-
fitur nyata yang harus diselidiki dalam perolehan riwayat dari pasien hipertensif.
Tabel Riwayat yang relevan
Durasi hipertensi
Terapi terdahulu: respon dan efek samping
Riwayat diet dan psikososial
Faktor-faktor risiko lain: perubahan berat badan, dislipidemia, kebiasaam merokok,
diabetes, inaktivitas fisik
Bukti-bukti hipertensi sekunder: riwayat penyakit ginjal; perubahan penampilan; kelemahan
otot; palpitasi, tremor; banyak berkeringan, sulit tidur, perilaku mendengkur, somnolens
siang hari; gejala-gejala hipo atau hipertiroidisme; penggunaan agen-agen yang dapat
meningkatkan tekanan darah
Bukti-bukti kerusakan organ target: riwayat TIA, stroke, kebutaan transien; angina, infark
miokardium, gagal jantung kongestif; fungsi seksual
Komorbiditas lain
Pengukuran tekanan darah
Pengukuran tekanan darah yang terpercaya tergantung pada perhatian terhadap detail
mengenai teknik dan kondisi pengukuran. Karena peraturan terkini yang melarang
penggunaan merkuri karena perhatian mengenai toksisitas potensialnya, sebagian besar
pengukuran kantor dibuat menggunakan instrumen aneroid. Akurasi instrumen pengukur
tekanan darah terotomatisasi harus dikonfirmasi. Sebelum pengukuran tekanan darah,
individu harus didudukkan selama 5 menit dalam kondisi hening dan dengan privasi yang
terjaga serta temperatur yang nyaman. Bagian tengah cuff harus berada sejajar jantung,
dan lebar cuff harus setara dengan sekurang-kurangnya 40% lingkar lengan. Penempatan
cuff, penempatan stetoskop, dan kecepatan deflasi cuff (2 mmHg/detik) penting untuk
diperhatikan. Tekanan darah sistolik adalah yang pertama dari sekurang-kurangnya dua
ketukan suara Korotkoff regular, dan tekanan darah diastolik adalah titik di mana suara
Korotkoff regular terakhir didengar. Dalam praktik saat ini, diagnosis hipertensi umumnya
dilandasi oleh pengukuran dalam kondisi duduk di tempat praktik.
Monitor ambulatorik yang tersedia sekarang adalah sepenuhnya otomatis, menggunakan
tekhik osilometrik, dan umumnya diprogram untuk membuat pembacaan setiap 15-30
menit. Namun pengawasan tekanan darah ambulatorik tidaklah sering digunakan secara
rutin di praktik klinis dan lazim disimpan bagi pasien yang dicurigai mengalami white coat
hypertension. JNC 7 juga telah merekomendasikan pengawasan ambulatorik untuk resistensi
terhadap penanganan, hipotensi simptomatik, kegagalan otonom, dan hipertensi episodik.
Pemeriksaan fisik
Habitus tubuh, seperti tinggi dan berat badan, harus dicatat. Pada pemeriksaan awal,
tekanan harus diukur pada kedua lengan, dan lebih baik pada posisi terlentang, duduk dan
berdiri untuk mengevaluasi keberadaan hipotensi postural. Bahkan jika nadi femoral teraba
normal, tekanan arterial harus diukur sekurangnya sekali pada ekstremitas inferioir pada
pasien di mana hipertensi ditemui sebelum usia 30 tahun. Kecepatan detak jantung juga
harus dicatat. Individu hipertensif memiliki peningkatan prevalensi untuk mengalami fibrilasi
atrial. Leher harus dipalpasi untuk mencari pembesaran kelenjar tiroid, dan para pasien
harus diperiksa untuk tanda-tana hipo dan hipertiroidisme. Pemeriksaan pembuluh darah
dapat menyediakan petunjuk mengenai penyakit vakular yang mendasari dan harus
menyertakan pemeriksaan funduskopik, auskultasi untuk bruit di arteri karotid dan femoral,
dan palpasi denyut nadi femoral dan pedal (pedis). Retina adalah satu-satunya jaringan di
mana arteri dan arteriol dapat diamati secara langsung. Seiring peningkatan tingkat
keparahan hipertensi dan penyakit atherosklerotik, perubahan funduskopik progresif antara
lain seperti peningkatan refleks cahaya arteriolar, defek perbandingan arteriovenous,
hemorrhagi dan eksudat, dan, pada pasien dengan hipertensi maligna, papiledema.
Pemeriksaan pada jantung dapat mengungkapkan bunyi jantung kedua yang menguat
karena penutupan katup aorta dan suatu gallop S4 yang dikarenakan kontraksi artrium
terhadap ventrikel kiri yang tidak seiring. Hipertropi ventrikel kiri dapat terdeteksi melalui
keberadaan impuls apikal yang menguat, bertahan, dan bertempat di lateral. Suatu bruit
abdominal, terutama bruit yang berlateralisasi dan terjadi selama sistole ke diastole,
meningkatkan kemungkinan hipertensi renovaskular. Ginjal pasien dengan penyakit ginjal
polikistik dapat dipalpasi di abdomen. Pemeriksaan fisis harus menyertakan pemeriksaan
tanda-tanda CHF dan pemeriksaan neurologis.
Tes laboratorium
Tabel dibawah ini mencantumkan tes-tes laboratorium yang direkomendasikan dalam
evaluasi awal pasien hipertensif. Pengukuran fungsi ginjal berulang, elektrolit serum,
glukosa puasa, dan lipid dapat dilakukan setelah pemberian agen antihipertensif baru dan
kemudian tiap tahun, atau lebih sering bila diindikasikan secara klinis. Tes laboratorium
yang lebih ekstensif dapat dilakukan bagi pasien dengan hipertensi resistan-pengobatan
yang nyata atau ketika evaluasi klinis menunjukkan bentuk hipertensi sekunder.4
Tabel Tes laboratorium dasar untuk evaluasi awal
Sistem Tes
Ginjal Urinalisis mikroskopik, ekskresi albumin, BUN
atau kreatinin serum
Endokrin Natrium, kalium, kalsium, dan TSH serum
Metabolik Glukosa darah puasa, kolesterol total, HDL
dan LDL, trigliserida
Lain-lain Hematokrit, elektrokardiogram
II.5. Penatalaksanaan
Perubahan gaya hidup
Implementasi gaya hidup yang mempengaruhi tekanan darah memiliki pengaruh baik pada
pencegahan maupun penatalaksanaan hipertensi. Modifikasi gaya hidup yang meningkatkan
kesehatan direkomendasikan bagi individu dengan prehipertensi dan sebagai tambahan
untuk terapi obat pada individu hipertensif. Intervensi-intervensi ini harus diarahkan untuk
mengatasi risiko penyakit kardiovaskular secara keseluruhan. Walaupun efek dari intervensi
gaya hidup pada tekanan darah adalah jauh lebih nyata pada individu dengan hipertensi,
pada uji jangka-pendek, penurunan berat badan dan reduksi NaCl diet juga telah terbukti
mencegah perkembangan hipertensi. Pada individu hipertensif, bahkan jika intervensi-
intervensi ini tidak menghasilkan reduksi tekanan darah yang cukup untuk menghindari
terapi obat, namun jumlah pengobatan atau dosis yang diperlukan untuk kontrol tekanan
darah dapat dikurangi. Modifikasi diet yang secara efektif mengurangi tekanan darah adalah
penurunan berat badan, reduksi masukan NaCl, peningkatan masukan kalium, pengurangan
konsumsi alkohol, dan pola diet sehat secara keseluruhan.
Tabel Modifikasi gaya hidup untuk mengatasi hipertensi
Reduksi berat badan Memperoleh dan mempertahankan BMI <25
kg/m2
Reduksi garam < 6 g NaCl/hari
Adaptasi rencana diet jenis-DASH Diet yang kaya buah-buahan, sayur-
sayuran, dan produk susu rendah-lemak
dengan kandungan lemak tersaturasi dan
total yang dikurangi
Pengurangan konsumsi alkohol Bagi mereka yang mengkonsumsi alkohol,
minumlah 2 gelas/hari untuk laki-laki dan 1
gelas/hari untuk wanita
Aktivitas fisik Aktivitas aerobik teratur, seperti jalan cepat
selama 30 menit/hari
Pencegahan dan penatalaksanaan obesitas adalah penting untuk mengurangi tekanan darah
dan risiko penyakit kardiovaskular. Pada uji jangka-pendek, bahkan penurunan berat badan
yang moderat dapat mengarah pada reduksi tekanan darah dan peningkatan sensitivitas
insulin. Reduksi tekanan darah rata-rata sebesar 6.3/3/1 mmHg telah diamati terjadi dengan
reduksi berat badan rata-rata sebesar 9.2 kg. Aktivitas fisik teratur memudahkan penurunan
berat badan, mengurangi tekanan darah, dan mengurangi risiko keseluruhan untuk penyakit
kardiovaskular. Tekanan darah dapat dikurangi oleh aktivitas fisik intensitas moderat selama
30 menit, seperti jalan cepat, 6-7 hari per minggu, atau oleh latihan dengan intensitas lebih
dan frekuensi kurang.
Terdapat variasi individual dalam sensitivitas tekanan darah terhadap NaCl, dan variasi ini
mungkin memiliki dasar genetis. Berdasarkan hasil dari metaanalisis, penurunan tekanan
darah dengan pembatasan masukan NaCl harian menjadi 4.4-7.4 g (75-125 mEq)
menghasilkan reduksi tekanan darah sebesar 3.7-4.9/0.9-2.9 mmHg pada individu
hipertensif dan reduksi yang lebih rendah pada individu normotensif. Diet yang kurang
mengandung kalium, kalsium, dan magnesium berkaitan dengan tekanan darah yang lebih
tinggi dan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi. Perbandingan natrium-terhadap-kalium
urin memiliki hubungan yang lebih kuat terhadap tekanan darah dibanding natrium atau
kalium saja. Suplementasi kalium dan kalsium memiliki efek antihipertensif moderat yang
tidak konsisten, dan, tidak tergantung pada tekanan darah, suplementasi kalium mungkin
berhubungan dengan penurunan mortalitas stroke. Penggunaan alkohol pada individu yang
mengkonsumsi tiga atau lebih gelas per hari (satu gelas standar mengandung ~14 g etanol)
berhubungan dengan tekanan darah yang lebih tinggi, dan reduksi konsumsi alkohol
berkaitan dengan reduksi tekanan darah. Mekanisme bagaimana kalium, kalsium, atau
alkohol dapat mempengaruhi tekanan darah masihlah belum diketahui.
Uji DASH secara meyakinkan mendemonstrasikan bahwa pada periode 8 minggu, diet yang
kaya buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk susu rendah-lemak mengurangi tekanan
darah pada individu dengan tekanan darah tinggi-normal atau hipertensi ringan. Reduksi
masukan NaCl harian menjadi <6 g (100 mEq) menambah efek diet ini pada tekanan darah.
Buah-buahan dan sayur-sayuran merupakan sumber yang kaya akan kalium, magnesium,
dan serat, dan produk susu merupakan sumber kalsium yang penting.
Terapi farmakologis
Terapi obat direkomendasikan bagi individu dengan tekanan darah 140/90 mmHg. Derajat
keuntungan yang diperoleh dari agen-agen antihipertensif berhubungan dengan besarnya
reduksi tekanan darah. Penurunan tekanan darah sistolik sebesar 10-12 mmHg dan tekanan
darah diastolik sebesar 5-6 mmHg bersama-sama memberikan reduksi risiko sebesar 35-
40% untuk stroke dan 12-16% untuk CHD dalam 5 tahun dari mula penatalaksanaan. Risiko
gagal jantung berkurang sebesar >50%. Terdapat variasi yang nyata dalam respon
individual terhadap kelas-kelas agen antihipertensif yang berbeda, dan besarnya respon
terhadap agen tunggal apapun dapat dibatasi oleh aktivasi mekanisme counter-regulasi
yang melawan efek hipotensif dari agen tersebut. Pemilihan agen-agen antihipertensif, dan
kombinasi agen-agen, harus dilakukan secara individual, dengan pertimbangan usia, tingkat
keparahan hipertensi, faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular lain, kondisi komorbid, dan
pertimbangan praktis yang berkenaan dengan biaya, efek samping, dan frekuensi
pemberian obat.
Diuretik
Diuretik thiazide dosis-rendah sering digunakan sebagai agen lini pertama, sendiri atau
dalam kombinasi dengan obat antihipertensif lain. Thiazide menghambat pompa Na+/Cl- di
tubulus konvultus distal sehingga meningkatkan ekskresi natrium. Dalam jangka panjang,
mereka juga dapat berfungsi sebagai vasodilator. Thiazide bersifat aman, memiliki efikasi
tinggi, dan murah serta mengurangi kejadian klinis. Mereka memberikan efek penurunan-
tekanan darah tambahan ketika dikombinasikan dengan beta blocker, ACE inhibitor, atau
penyekat reseptor angiotensin. Sebaliknya, penambahan diuretik terhadap penyekat kanal
kalsium adalah kurang efektif. Dosis biasa untuk hydrochlorothiazide berkisar dari 6.25
hingga 50 mg/hari. Karena peningkatan insidensi efek samping metabolik (hipokalemia,
resistansi insulin, peningkatan kolesterol), dosis yang lebih tinggi tidaklah dianjurkan. Dua
diuretik hemat kalium, amiloride dan triamterene, bekerja dengan menghambat kanal
natrium epitel di nefron distal. Agen-agen ini adalah agen antihipertensif yang lemah namun
dapat digunakan dalam kombinasi dengan thiazide untuk melindungi terhadap hipokalemia.
Target farmakologis utama untuk diuretik loop adalah kotransporter Na+-K+-2Cl- di lengkung
Henle ascenden tebal. Diuretik loop umumnya dicadangkan bagi pasien hipertensif dengan
penurunan kecepatan filtrasi glomerular [kreatinin serum refleksi >220 mol/L (>2.5 mg/dL)],
CHF, atau retensi natrium dan edema karena alasan-alasan lain seperti penatalaksanaan
dengan vasodilator yang poten, seperti monoxidil.
Penyekat sistem renin-angiotensin
ACE inhibitor mengurangi produksi angiotensin II, meningkatkan kadar bradikinin, dan
mengurangi aktivitas sistem saraf simpatis. Penyekat reseptor angiotensin II menyediakan
blokade reseptor AT1 secara selektif, dan efek angiotensin II pada reseptor AT2 yang tidak
tersekat dapat menambah efek hipotensif. Kedua kelas agen-agen ini adalah agen
antihipertensif yang efektif yang dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau dalam
kombinasi dengan diuretik, antagonis kalsium, dan agen-agen penyekat alfa. Efek samping
ACE inhibitor dan penyekat reseptor angiotensin antara lain adalah insufisiensi ginjal
fungsional karena dilatasi arteriol eferen ginjal pada ginjal dengan lesi stenotik pada arteri
renalis. Kondisi-kondisi predisposisi tambahan terhadap insufisiensi ginjal yang diinduksi
oleh agen-agen ini antara lain adalah dehidrasi, CHF, dan penggunaan obat-obat
antiinflamasi non steroid. Batuk kering terjadi pada ~15% pasien, dan angioedema terjadi
pada <1% pasien yang mengkonsumsi ACE inhibitor. Angioedema paling sering terjadi pada
individu yang berasal dari Asia dan lebih lazim terjadi pada orang Afrika Amerika dibanding
orang Kaukasia. Hiperkalemia yang disebabkan hipoaldosteronisme merupakan efek
samping yang kadang terjadi baik pada penggunaan ACE inhibitor maupun penyekat
reseptor angiotensin.
Antagonis aldosteron
Spironolakton adalah antogonis aldosteron nonselektif yang dapat digunakan sendiri atau
dalam kombinasi dengan diuretik thiazide. Ia adalah agen yang terutama efektif pada pasien
dengan hipertensi esensial rendah-renin, hipertensi resistan, dan aldosteronisme primer.
Pada pasien dengan CHF, spironolakton dosis rendah mengurangi mortalitas dan perawatan
di rumah sakit karena gagal jantung ketika diberikan sebagai tambahan terhadap terapi
konvensional dengan ACE inhibitor, digoxin, dan diuretik loop. Karena spironolakton
berikatan dengan reseptor progesteron dan androgen, efek samping dapat berupa
ginekomastia, impotensi, dan abnormalitas menstruasi. Efek-efek samping ini dihindari oleh
agen yang lebih baru, eplerenone, yang merupakan antagonis aldosteron selektif.
Eplerenone baru-baru ini disetujui di US untuk penatalaksanaan hipertensi
Beta blocker
Penyekat reseptor adrenergik mengurangi tekanan darah melalui penurunan curah jantung,
karena reduksi kecepatan detak jantung dan kontraktilitas. Mekanisme lain yang diajukan
mengenai bagaimana beta blocker mengurangi tekanan darah adalah efek pada sistem
saraf pusat, dan inhibisi pelepasan renin. Beta blocker terutama efektif pada pasien
hipertensif dengan takikardia, dan potensi hipotensif mereka dikuatkan oleh pemberian
bersama diuretik. Pada dosis yang lebih rendah, beberapa beta blocker secara selektif
menghambat reseptor 1jantung dan kurang memiliki pengaruh pada reseptor 2 pada sel-sel
otot polos bronkus dan vaskular; namun tampak tidak terdapat perbedaan pada potensi
antihipertensif beta blocker kardio selektif dan non kardio selektif. Beta blocker tertentu
memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsik, dan tidaklah jelas apakah aktivitas ini
memberikan keuntungan atau kerugian dalam terapi jantung. Beta blocker tanpa aktivitas
simpatomimetik intrinsik mengurangi tingkat kejadian kematian mendadak (sudden death),
mortalitas keseluruhan, dan infark miokardium rekuren. Pada pasien dengan CHF, beta
blocker telah dibuktikan mengurangi risiko perawatan di rumah sakit dan mortalitas.
Carvedilol dan labetalol menyekat kedua reseptor 1 dan 2 serta reseptor adrenergik perider.
Keuntungan potensial dari penyekatan kombinasi dan adrenergik dalam penatalaksanaan
hipertensi masih perlu ditentukan.
Penyekat adrenergik
Antagonis adrenoreseptor selektif postsinaptik mengurangi tekanan darah melalui
penurunan resistansi vaskular perifer. Mereka adalah agen antihipertensif yang efektif, yang
digunakan sebagai monoterapi maupun dalam kombinasi dengan agen-agen lain. Namun
dalam uji klinis pada pasien hipertensif, penyekatan alfa tidak terbukti mengurangi
morbiditas dan mortalitas kardiovaskular ataupun menyediakan perlindungan terhadap CHF
sebesar kelas-kelas agen antihipertensif lain. Agen-agen ini juga efektif dalam menangani
gejala tractus urinarius bawah pada pria dengan hipertropi prostat. Antagonis
adrenoreseptor nonseletif berikatan dengan reseptor postsinaptik dan presinaptik dan
terutama digunakan untuk penatalaksanaan pasien dengan pheokromositoma.
Agen-agen simpatolitik
Agonis simpatetik yang bekerja secara sentral mengurangi resistansi perifer dengan
menghambat aliran simpatis. Mereka terutama berguna pada pasien dengan neuropati
otonom yang memiliki variasi tekanan darah yang luas karena denervasi baroreseptor.
Kerugian agen ini antara lain somnolens, mulut kering, dan hipertensi rebound saat
penghentian. Simpatolitik perifer mengurangi resistansi perifer dan konstriksi vena melalui
pengosongan cadangan norepinefrin ujung saraf. Walaupun merupakan agen antihipertensif
yang potensial efektif, kegunaan mereka dibatasi oleh hipotensi orthostatik, disfungsi
seksual, dan berbagai interaksi obat.
Penyekat kanal kalsium
Antagonis kalsium mengurangi resistansi vaskular melalui penyekatan L-channel, yang
mengurangi kalsium intraselular dan vasokonstriksi. Kelompok ini terdiri dari bermacam
agen yang termasuk dalam tiga kelas berikut: phenylalkylamine (verapamil),
benzothiazepine (diltiazem), dan 1,4-dihydropyridine (mirip-nifedipine). Digunakan sendiri
atau dalam kombinasi dengan agen-agen lain (ACE inhibitor, beta blocker, 1-adrenergic
blocker), antagonis kalsium secara efektif mengurangi tekanan darah; namun, apakah
penambahan diuretik terhadap penyekat kalsium menghasilkan penurunan lebih lanjut pada
tekanan darah adalah tidak jelas. Efek samping seperti flushing, sakit kepala, dan edema
dengan penggunaan dihydropyridine berhubungan dengan potensi mereka sebagai dilator
arteriol; edema disebabkan peningkatan gradien tekanan transkapiler, dan bukan karena
retensi garam dan cairan.
Vasodilator Langsung
Agen-agen ini mengurangi resistensi perifer, lazimnya mereka tidak dianggap sebagai agen
lini pertama namun mereka paling efektif ketika ditambahkan dalam kombinasi yang
menyertakan diuterik dan beta blocker. Hydralazine adalah vasodilator direk yang poten
yang memiliki efek antioksidan dan penambah NO, dan minoxidil merupakan agen yang
amat poten dan sering digunakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal yang refrakter
terhadap semua obat lain. Hydralazine dapat menyebabkan sindrom mirip-lupus, dan efek
samping minoxidil antara lain adalah hipertrikosis dan efusi perikardial.4,8
II.6 PROGNOSIS
Resiko komplikasi tergantung pada seberapa besar hipertropi ventrikel kiri. Semakin besar
ventrikel kiri, semakin besar kemungkinan kompilkasi terjadi. Pengobatan hipertensi dapat
mengurangi kerusakan pada ventrikel kiri. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
obat-obatan tertentu seperti ACE-Inhibitor, Beta-blocker, dan diuretik spinorolakton dapat
mengatasi hipertropi ventrikel kiri dan memperpanjang kemungkinan hidup pasien dengan
gagal jantung akibat penyakit jantung hipertensi. Bagaimanapun juga, penyakit jantung
hipertensi adalah penyakit yang serius yang memiliki resiko kematian mendadak.2
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan dampak sekunder
pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan. Sampai saat ini
prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%. Sejumlah 85-90% hipertensi tidak
diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau
idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi
sekunder).1 Tekanan darah tingi adalah faktor resiko utama bagi penyakit jantung dan
stroke. Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung iskemik ( menurunnya
suplai darah untuk otot jantung sehingga menyebabkan nyeri dada atau angina dan
serangan jantung) dari peningkatan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot jantung yang
menebal.
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu hal komplek yang melibatkan
banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu hemodinamik, struktural, neuroendokrin,
seluler, dan faktor molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor ini memegang peranan dalam
perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di sisi lain peningkatan tekanan darah itu
sendiri dapat memodulasi faktor-faktor tersebut.
Diagnosis penyakit jantung hipertensi didasarkan pada riwayat, pengkuran tekanan darah,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium.
Penatalaksanaan penyakit jantung hipertensi meliputi perubahan gaya hidup (non
farmakologi), yaitu Implementasi gaya hidup yang mempengaruhi tekanan darah memiliki
pengaruh baik pada pencegahan maupun penatalaksanaan hipertensi. Modifikasi gaya hidup
yang meningkatkan kesehatan direkomendasikan bagi individu dengan prehipertensi dan
sebagai tambahan untuk terapi obat pada individu hipertensif dan terapi farmakologi
(Diuretik,penyekat sistem renin angiotensin, antagonis aldosteron,penyekat beta, penyekat
adrenergik, agen simpatolitik, penyekat kanal kalsium, vasodilator direk (langsung).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa obat-obatan tertentu seperti ACE-Inhibitor,
Beta-blocker, dan diuretik spinorolakton dapat mengatasi hipertropi ventrikel kiri dan
memperpanjang kemungkinan hidup pasien dengan gagal jantung akibat penyakit jantung
hipertensi.
Patofisiologi hipertensi
Mekanisme yang mengontrol konnstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat
vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai factor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhirespon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitive terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana system saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Rennin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua factor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.Untuk pertimbangan gerontology. Perubahan structural dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung ( volume sekuncup ), mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer ( Brunner & Suddarth, 2002 ).
1. Pada pasien berusia ≥60 tahun, mulai terapi farmakologi pada tekanan darah sistolik
≥150 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dan terapi hingga tekanan darah
sistolik tujuan <150 mmHg dan tekanan darah diastolik tujuan <90 mmHg (rekomendasi
kuat - level A). Jika terapi menyebabkan tekanan darah sistolik yang lebih rendah (misalnya
<140 mmHg) dan terapi ditoleransi dengan baik tanpa efek samping pada kesehatan dan
kualitas hidup, maka tidak perlu penyesuaian dosis (pendapat ahli – level E)
2. Pada pasien berusia <60 tahun, mulai terapi farmakologi pada tekanan darah diastolik
≥90 mmHg dan terapi hingga tekanan darah diastolik tujuan <90 mmHg (untuk usia 30-59
tahun, rekomendasi kuat - level A; untuk usia 18-29 tahun, pendapat ahli - level E).
3. Pada pasien berusia <60 tahun, mulai terapi farmakologi pada tekanan darah sistolik
≥140 mmHg dan terapi hingga tekanan darah sistolik tujuan <140 mmHg (pendapat ahli –
level E)
4. Pada pasien berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronik, mulai terapi
farmakologi pada tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90
mmHg dan terapi hingga tekanan darah sistolik tujuan <140 mmHg dan tekanan darah
diastolik tujuan <90 mmHg (pendapat ahli - level E).
5. Pada pasien berusia ≥18 tahun dengan diabetes, mulai terapi farmakologi pada
tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dan terapi
hingga tekanan darah sistolik tujuan <140 mmHg dan tekanan darah diastolik tujuan <90
mmHg (pendapat ahli - level E).
6. Pada populasi non-kulit hitam secara umum, termasuk yang mempunyai diabetes,
terapi antihipertensi awal harus meliputi diuretik jenis thiazide, CCB, ACE inhibitor, atau
ARB (rekomendasi sedang - level B). Rekomendasi ini berbeda dengan JNC 7 di mana panel
merekomendasikan diuretik jenis thiazide sebagai terapi awal untuk sebagian besar pasien.
7. Pada populasi kulit hitam secara umum, termasuk yang mempunyai diabetes, terapi
antihipertensi awal harus meliputi diuretik jenis thiazide atau CCB (untuk populasi kulit
hitam secara umum: rekomendasi sedang - level B; untuk populasi kulit hitam dengan
diabetes: rekomendasi lemah - level C).
8. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronik (PGK), terapi
antihipertensi awal (atau add-on) harus meliputi ACE inhibitor atau ARB untuk memperbaiki
outcome ginjal. Hal ini diaplikasikan pada semua pasien PGK dengan hipertensi tanpa
memperhatikan ras atau status diabetes (rekomendasi sedang - level B).
9. Tujuan utama terapi hipertensi adalah mencapai dan mempertahankan tekanan darah
tujuan. Jika tekanan darah tujuan tidak tercapai dalam 1 bulan terapi, tingkatkan dosis obat
awal atau tambahkan dengan obat kedua dari salah satu golongan obat dalam rekomendasi
no.6 (diuretik jenis thiazide, CCB, ACE inhibitor, atau ARB). Dokter harus terus menilai
tekanan darah dan menyesuaikan regimen terapi hingga tekanan darah tujuan tercapai. Jika
tekanan darah tujuan tidak dapat tercapai dengan 2 obat, tambahkan dan titrasi obat ketiga
dari daftar yang diberikan. Jangan gunakan ACE inhibitor dan ARB bersamaan pada pasien
yang sama.
Jika tekanan darah tujuan tidak dapat dicapai dengan hanya menggunakan obat dalam
rekomendasi no.6 karena kontraindikasi atau kebutuhan menggunakan lebih dari 3 obat
untuk mencapai tekanan darah tujuan, maka obat antihipertensi dari golongan lain dapat
digunakan. Perujukan ke seorang spesialis hipertensi dapat diindikasikan untuk pasien yang
tekanan darah tujuan tidak tercapai menggunakan strategi di atas atau untuk manajemen
pasien dengan komplikasi yang memerlukan konsultasi klinis tambahan (pendapat ahli -
level E).
Menurut pimpinan penulis panduan baru ini, tujuan panduan ini adalah ingin membuat pesan
yang sangat simpel untuk dokter: terapi pada tekanan darah 150/90 mmHg untuk pasien
berusia >60 tahun, dan pada tekanan darah 140/90 mmHg untuk setiap orang lainnya. Selain
itu, juga menyederhanakan regimen obat, bahwa keempat pilihan obat tersebut baik. Yang
juga penting adalah pantau, lacak, dan pantau kembali pasien.
Meskipun target lebih longgar, panduan baru ini bukan berarti bahwa dokter harus
mengurangi terapi pada pasien yang berhasil baik dengan panduan JNC 7. Jika pasien
berhasil mencapai tekanan darah hingga 140 mmHg atau 135 mmHg dengan terapi, bukan
berarti obat dihentikan agar tekanan darah mendekati 150 mmHg, tetapi jika tekanan darah
pasien konsisten di bawah 150 mmHg, maka outcome kesehatan akan lebih baik. Namun
rekomendasi ini tidak menggantikan pertimbangan klinis dan keputusan mengenai perawatan
harus dipertimbangkan hati-hati dan memasukkan karakteristik dan kondisi klinik dari setiap
individu pasien.(EKM)