hipoglikemia

9
A. HIPOGLIKEMIA Konsentrasi glukosa secara normal diatur dalam batas yang sempit, merefleksikan ketergantungan penuh otak pada glukosa untuk metabolisme energi. Glukosa adalah energi metabolisme yang mutlak bagi otak karena otak tidak bisa mensintesis glukosa atau menyimpan suplai glukosa lebih dari beberapa menit dalam bentuk glikogen, sehingga otak sangat tergantung pada suplai sirkulasi yang berlangsung terus menerus, yang dikirim oleh darah arterial melalui difusi terfasilitasi Pada konsentrasi glukosa fisiologis, laju pengangkutan glukosa yang terfasilitasi (GLUT-1) melalui sawar darah otak melebihi laju metabolisme glukosa otak. Saat konsentrasi glukosa arteri turun di bawah kadar kritis, laju angkut glukosa terbatas terhadap metabolisme glukosa otak. Hipoglikemia dikenali di otak, mengaktifkan beberapa mekanisme fisiologis yang berperan dalam merespon dan membatasi efek hipoglikemia sebagai perlindungan terhadap integritas otak. Salah satunya, aktivasi kaskade mekanisme counterregulatory yang ditandai dengan adanya penurunan insulin, peingkatan glukagon dan epinefrin serta gejala-gajala yang menunjukkan respon tingkah laku yang tepat seperti makan. Hipoglikemia didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana kadar glukosa plasma < 45-50mg/dl.4 Kadar ambang glukosa untuk timbulnya gejala dan respon fisiologis yang diinduksi oleh hipoglikemia sangat bervariasi tergantung pada situasi klinis yang dihadapi. Oleh sebab itu, whipple’s triad menyediakan kerangka untuk mendiagnosis hipoglikemia diperlukan :

Upload: bimaindra

Post on 13-Apr-2016

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dr. Alwi Shahab SpPD KEMD

TRANSCRIPT

Page 1: HIPOGLIKEMIA

A. HIPOGLIKEMIA

Konsentrasi glukosa secara normal diatur dalam batas yang sempit, merefleksikan

ketergantungan penuh otak pada glukosa untuk metabolisme energi. Glukosa adalah energi

metabolisme yang mutlak bagi otak karena otak tidak bisa mensintesis glukosa atau menyimpan

suplai glukosa lebih dari beberapa menit dalam bentuk glikogen, sehingga otak sangat tergantung

pada suplai sirkulasi yang berlangsung terus menerus, yang dikirim oleh darah arterial melalui

difusi terfasilitasi Pada konsentrasi glukosa fisiologis, laju pengangkutan glukosa yang

terfasilitasi (GLUT-1) melalui sawar darah otak melebihi laju metabolisme glukosa otak. Saat

konsentrasi glukosa arteri turun di bawah kadar kritis, laju angkut glukosa terbatas terhadap

metabolisme glukosa otak. Hipoglikemia dikenali di otak, mengaktifkan beberapa mekanisme

fisiologis yang berperan dalam merespon dan membatasi efek hipoglikemia sebagai

perlindungan terhadap integritas otak. Salah satunya, aktivasi kaskade mekanisme

counterregulatory yang ditandai dengan adanya penurunan insulin, peingkatan glukagon dan

epinefrin serta gejala-gajala yang menunjukkan respon tingkah laku yang tepat seperti makan.

Hipoglikemia didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana kadar glukosa plasma < 45-

50mg/dl.4 Kadar ambang glukosa untuk timbulnya gejala dan respon fisiologis yang diinduksi

oleh hipoglikemia sangat bervariasi tergantung pada situasi klinis yang dihadapi. Oleh sebab itu,

whipple’s triad menyediakan kerangka untuk mendiagnosis hipoglikemia diperlukan :

(1) gejala-gejala konsisten dengan hipoglikemia,

(2) konsentrasi glukosa plasma yang rendah,

(3) hilangnya gejala setelah kadar glukosa plasma meningkat.

(4) Pengenalan subjektif terhadap gejala-gejala hipoglikemia bersifat mendasar untuk efektivitas

penatalaksanaan dan pencegahan terhadap progresivitas penyakit.

(5) Gejala-gejala hipoglikemia muncul saat konsentrasi glukosa darah arteri berkisar antara 50-

58mg/dl dan pada orang dewasa muda diklasifikasikan sebagai neuroglikopenia, otonomik, dan

kelemahan yang bisa membaik setelah makan.

Tingkat keparahan gejala-gejala ini tergantung dari beberapa faktor, diantaranya:

(1) umur pasien,

(2) ambang glukosa dimana respon counterregulatory terinduksi,

(3) konsentrasi glukosa individu sebelumnya,

(4) kemampuan keton untuk metabolisme otak.

Page 2: HIPOGLIKEMIA

Hipoglikemia klinis bisa disebabkan oleh (1) variasi obat yang digunakan dalam terapi

diabetes melitus, (2) beberapa penyakit kritis, meliputi penyakit hati, ginjal dan sepsis, (3)

defisiensi hormon pertumbuhan dan kortisol, (4) produksi ektopik dari insulin-like growth factor

dan (5) hiperinsulinisme endogen. Namun, secara epidemiologi hipoglikemia lebih sering terjadi

pada pasien diabetes melitus yang memperoleh terapi medikamentosa akibat ketidaksempurnaan

farmakokinetik agen-agen terapi dan gangguan pertahanan tubuh terhadap hipoglikemia.

Hipoglikemia iatrogenik merupakan faktor pembatas manajemen glukosa darah baik pada

diabetes melitus tipe 1 maupun diabetes melitus tipe 2. Insulin yang cukup untuk menurunkan

konsentrasi glukosa yang setara atau lebih rendah dari kisaran normal akan mengeliminasi

gejala-gejala hiperglikemia (polidipsia, poliuria, penurunan berat badan meski polifagia),

mencegah komplikasi hiperglikemia akut (ketoasidosis atau sindrom hiperosmolar), mencegah

komplikasi mikrovaskular jangka panjang (retinopati, nefropati, dan neuropati) serta

menurunkan risiko aterosklerosis.1 Namun, efek hipoglikemia terhadap otak sangat nyata, dan

karena itu penatalaksanaan diabetes bersifat sangat kompleks.

Mekanisme insulin dalam pengaturan fisiologis glukosa darah Insulin adalah hormon

primer yang memicu jalur anabolik dengan mengaktivasi enzim serta menstimulasi transkripsi

dan translokasi mRNA untuk enzim-enzim anabolik tersebut yang pada akhirnya menginduksi

pengangkutan glukosa kedalam jaringan. Hormon insulin disintesis dan disimpan dalam granul-

granul sel β pulau Langerhans. Pankreas manusia mensekresi insulin sekitar 40-50 unit per hari

pada individu yang sehat. Faktor utama yang memicu sekresi insulin adalah konsentrasi glukosa

dalam darah. Konsentrasi insulin di perifer mengalami peningkatan 8-10 menit setelah makan

dan mencapai konsentrasi puncak 30-40 menit kemudian yang diikuti dengan penurunan segera

konsentrasi glukosa plasma postprandial dan kembali ke nilai basal 90-120 menit kemudian.

Sekresi insulin basal yang terjadi tanpa stimuli eksogen adalah jumlah insulin yang disekresi

pada status puasa. Sedangkan sekresi insulin yang terstimulasi adalah sekresi yang terjadi akibat

stimuli dari luar misalnya setelah makan. Jika konsentrasi glukosa tiba-tiba meningkat, terjadi

ledakan pelepasan insulin jangka pendek (fase pertama); bila konsentrasi glukosa bertahan pada

kadar ini, pelepasan insulin secara bertahap akan turun dan mulai meningkat lagi ke konsentrasi

tetap (fase kedua). Aksi insulin berawal dengan terikatnya insulin pada reseptor insulin di

permukaan membran sel target. Reseptor insulin adalah glikoprotein membran yang terdiri dari 2

protein subunit yang dikode oleh gen tunggal. Subunit α seluruhnya berada di ekstraseluler,

Page 3: HIPOGLIKEMIA

merupakan tempat insulin terikat. Subunit β melintasi membran dan domain sitoplasmiknya

mengandung aktivitas tirosin kinase yang mengawali jalur tranduksi signal intraseluler. Saat

insulin berikatan dengan subunit α, subunit β mengaktifkan dirinya sendiri melalui

autofosforilasi. Subunit β yang aktif akan menarik protein tambahan untuk membentuk kompleks

dan memfosforilasi rangkaian substrat intraseluler, termasuk IRS-1, IRS-2, dan lainnya. Substrat

yang teraktivasi ini, masing-masing mengalami perekrutan dan aktivasi kinase, fosfatase, dan

molekul signal lainnya melalui jalur kompleks yang secara umum terdiri dari dua jalur: jalur

mitogenik, yang memediasi efek pertumbuhan dari insulin; dan jalur metabolik, yang mengatur

metabolisme substrat. Pada jalur metabolik, aktivasi fosfatidilinositol-3-kinase menyebabkan

pergerakan vesikel yang mengandung GLUT-4 ke membran sel, meningkatkan sintesis lipid dan

glikogen. Efek-efek stimulasi reseptor insulin adalah penurunan glukosa darah akibat

peningkatan ambilan glukosa di jaringan perifer dan penurunan keluaran glukosa hati,

peningkatan transit asam amino dan potasium ke dalam sel, peningkatan sintesis asam amino,

dan menghambat lipolisis. Setelah disekresi, insulin masuk ke vena portal lalu ke hati, dimana

50% insulin digunakan oleh hati.8 Sisanya masuk ke sirkulasi sistemik dan didistribusikan

sehingga konsentrasi insulin (saat puasa) hanya sekitar 15% yang masuk ke hati. Saat insulin

diinjeksikan secara subkutan, insulin masuk ke sirkulasi sistemik dan baik hati maupun organ

perifer lainnya menerima konsentrasi yang sama. Fisiologi pengaturan glukosa darah Penurunan

konsentrasi glukosa plasma arteri sampai pada rentang atau di bawah konsentrasi postabsorbsi

fisiologis, 70-110 mg/dl dapat memicu serangkaian respon. Penurunan glukosa darah dideteksi

oleh sensor glukosa dalam otak, terletak terutama di nuklei ventromedial hipotalamus, dan sistem

portal hepatika. Aktivasi sensor glukosa memicu kaskade respon untuk meningkatkan glukosa

darah. Respon ini meliputi:

(1) Pelepasan hormon-hormon counterregulatory yang antagonis terhadap aksi insulin dan

menekan sekresi insulin endogen. Sekresi insulin akan berkurang saat kadar glukosa turun dalam

kisaran fisiologis. Hal ini memicu peningkatkan produksi glukosa hati dan ginjal serta penurunan

penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin seperti otot rangka. Sekresi

glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan, dan kortisol meningkat saat kadar glukosa turun

dibawah rentang fisiologis. Ambang glukosa untuk terjadinya sekresi ini adalah 65-70mg/dl.

Glukagon menstimulasi glikogenolisis hati sehingga produksi glukosa meningkat. Epinefrin

menstimulasi glikogenolisis hepatik dan glukoneogenesis hati dan ginjal (sebagian besar dengan

Page 4: HIPOGLIKEMIA

jalan memobilisasi prekursor glukoneogenik seperti laktat, asam amino alanin dan glutamin,

serta gliserol) dan membatasi penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin.

Glukagon dan epinefrin bekerja dalam hitungan menit untuk meningkatkan konsentrasi glukosa

plasma. Sebaliknya, aksi hormon pertumbuhan dan kortisol untuk mendukung produksi glukosa

dan membatasi penggunaan glukosa terjadi dalam hitungan jam.

(2) Stimulasi sistem saraf otonom (khususnya saraf simpatis), yang tidak hanya memicu

counterregulation tetapi juga menginduksi efek hemodinamika dan organ akhir lainnya.

Perubahan hemodinamika yang terjadi meliputi peningkatan denyut jantung, curah jantung dan

tekanan darah sistolik. Selain itu, terjadi peningkatan aliran darah regional yang signifikan, tidak

hanya ke otak, tetapi juga ke organ lain (hati dan otot) yang dapat meningkatkan pengiriman

substrat ke otak.

(3) Munculnya gejala yang dapat memberikan tanda bahwa orang tersebut mengalami

hipoglikemia dan memerlukan perbaikan. Konsentrasi glukosa plasma yang lebih rendah

(ambang glukosa 50-55mg/dl) akan menimbulkan gejala hipoglikemia. Hal ini meliputi gejala

neutrogenik (otonomik) akibat dari persepsi perubahan fisiologis yang dipicu oleh respon sistem

saraf pusat terhadap hipoglikemia yang dimediasi simpatokromafin. Gejala-gejala neurogenik

adrenergik (dimediasi katekolamin) meliputi tremor, palpitasi, dan gelisah, serta gejala

neurogenik kolinergik seperti berkeringat, lapar dan parestesis. Juga terdapat gejala-gejala

neuoglikopenik, akibat langsung dari hilangnya glukosa dari neuron otak, seperti lemah, sensasi

hangat, kesulitan berpikir dan berbicara, serta perubahan tingkah laku. Hipoglikemia berat yang

lama dapat menyebabkan kejang, koma, bahkan kematian. Dalam mengantisipasi penurunan

konsentrasi glukosa plasma, berkurangnya sekresi insulin merupakan hal mendasar dan langkah

awal yang penting dimana penurunan sekresi ini akan meningkatkan produksi glukosa hepatik

dan menurunkan penggunaan glukosa oleh jaringan sensitif insulin. Pada faktor-faktor

counterregulation glukosa (mekanisme fisiologis yang secara normal mencegah atau secara cepat

mengoreksi hipoglikemia), peningkatan sekresi glukagon memegang peranan utama.

Peningkatan sekresi epinefrin tidak bersifat kritis secara fisiologis, tapi menjadi kritis jika terjadi

defisiensi glukagon. Hormon pertumbuhan dan kortisol terlibat dalam pertahanan melawan

hipoglikemia yang berkepanjangan atau untuk mencegah hipoglikemia setelah puasa sepanjang

malam. Autoregulasi glukosa, seperti produksi glukosa sebagai fungsi yang berlawanan dengan

kadar glukosa plasma yang tidak tergantung pengaturan hormonal dan neural, terlibat dalam

Page 5: HIPOGLIKEMIA

countrregulation glukosa, meskipun hanya terlibat dalam hipoglikemia berat. Frekuensi dan

akibat dari hipoglikemia Pasien diabetes melitus tipe 1 mengalami sejumlah episode

hipoglikemia asimptomatis (glukosa plasma mungkin kurang dari 50mg/dl) untuk mencapai

beberapa derajat kontrol glukosa darah. Mereka menderita rata-rata 2 episode hipoglikemia

simptomatis per minggu, ratusan episode hipoglikemia selama diabetes dan episode

hipoglikemia berat kira-kira 1 kali per tahun.1 Diperkirakan 2-4% kematian pada pasien diabetes

tipe 1 terjadi akibat hipoglikemia. Meskipun data kuantitatif dari pasien yang diterapi untuk

mencapai euglikemia terbatas, laju hipoglikemia pada pasien diabetes tipe 2 yang dirawat secara

agresif dengan insulin 10 kali lipat lebih rendah dan bahkan lebih rendah lagi pada pasien yang

dirawat dengan obat antidiabetes oral.1 Lebih lanjut frekuensi hipoglikemia berat yang serupa

pada diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2, cocok dengan durasi terapi insulin.1 Hipoglikemia

merupakan masalah klinis yang secara progresif lebih sering terjadi pada pasien diabetes melitus

tipe 1 dan saat pasien mengalami defisiensi insulin pada akhir spektrum diabetes melitus tipe 2.

Hipoglikemia iatrogenik dapat menyebabkan morbiditas fisik dan psikososial hingga kematian.1

Morbiditas fisik berkisar dari gejala yang tidak menyenangkan seperti gangguan tingkah laku

dan kerusakan kognitif hingga kejang dan koma. Kerusakan neural permanen dapat terjadi

meskipun frekuensinya jarang. Morbiditas psikososial dari hipoglikemia seperti rasa takut,

gelisah, dan rasa bersalah, bisa juga menjadi penghalang untuk kontrol gluosa darah. Kelebihan

insulin, pencetus terjadinya hipoglikemia Hipoglikemia merupakan efek samping terapi insulin

yang paling sering bila dibandingkan dengan kelainan autoimun. Hipoglikemia yang berat

pernah dilaporkan pada 26% pasien dengan rata-rata 1,9 episode per pasien per tahun, dan 43%

episode terjadi malam hari. Terapi intensif dengan insulin meningkatkan risiko episode

hipoglikemia. Faktor risiko konvensional untuk hipoglikemia iatrogenik berdasarkan pendapat

bahwa kelebihan insulin baik absolut maupun relatif, diinjeksi atau disekresi, adalah satu-satunya

penentu risiko.