hipoglikemia
DESCRIPTION
dr. Alwi Shahab SpPD KEMDTRANSCRIPT
A. HIPOGLIKEMIA
Konsentrasi glukosa secara normal diatur dalam batas yang sempit, merefleksikan
ketergantungan penuh otak pada glukosa untuk metabolisme energi. Glukosa adalah energi
metabolisme yang mutlak bagi otak karena otak tidak bisa mensintesis glukosa atau menyimpan
suplai glukosa lebih dari beberapa menit dalam bentuk glikogen, sehingga otak sangat tergantung
pada suplai sirkulasi yang berlangsung terus menerus, yang dikirim oleh darah arterial melalui
difusi terfasilitasi Pada konsentrasi glukosa fisiologis, laju pengangkutan glukosa yang
terfasilitasi (GLUT-1) melalui sawar darah otak melebihi laju metabolisme glukosa otak. Saat
konsentrasi glukosa arteri turun di bawah kadar kritis, laju angkut glukosa terbatas terhadap
metabolisme glukosa otak. Hipoglikemia dikenali di otak, mengaktifkan beberapa mekanisme
fisiologis yang berperan dalam merespon dan membatasi efek hipoglikemia sebagai
perlindungan terhadap integritas otak. Salah satunya, aktivasi kaskade mekanisme
counterregulatory yang ditandai dengan adanya penurunan insulin, peingkatan glukagon dan
epinefrin serta gejala-gajala yang menunjukkan respon tingkah laku yang tepat seperti makan.
Hipoglikemia didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana kadar glukosa plasma < 45-
50mg/dl.4 Kadar ambang glukosa untuk timbulnya gejala dan respon fisiologis yang diinduksi
oleh hipoglikemia sangat bervariasi tergantung pada situasi klinis yang dihadapi. Oleh sebab itu,
whipple’s triad menyediakan kerangka untuk mendiagnosis hipoglikemia diperlukan :
(1) gejala-gejala konsisten dengan hipoglikemia,
(2) konsentrasi glukosa plasma yang rendah,
(3) hilangnya gejala setelah kadar glukosa plasma meningkat.
(4) Pengenalan subjektif terhadap gejala-gejala hipoglikemia bersifat mendasar untuk efektivitas
penatalaksanaan dan pencegahan terhadap progresivitas penyakit.
(5) Gejala-gejala hipoglikemia muncul saat konsentrasi glukosa darah arteri berkisar antara 50-
58mg/dl dan pada orang dewasa muda diklasifikasikan sebagai neuroglikopenia, otonomik, dan
kelemahan yang bisa membaik setelah makan.
Tingkat keparahan gejala-gejala ini tergantung dari beberapa faktor, diantaranya:
(1) umur pasien,
(2) ambang glukosa dimana respon counterregulatory terinduksi,
(3) konsentrasi glukosa individu sebelumnya,
(4) kemampuan keton untuk metabolisme otak.
Hipoglikemia klinis bisa disebabkan oleh (1) variasi obat yang digunakan dalam terapi
diabetes melitus, (2) beberapa penyakit kritis, meliputi penyakit hati, ginjal dan sepsis, (3)
defisiensi hormon pertumbuhan dan kortisol, (4) produksi ektopik dari insulin-like growth factor
dan (5) hiperinsulinisme endogen. Namun, secara epidemiologi hipoglikemia lebih sering terjadi
pada pasien diabetes melitus yang memperoleh terapi medikamentosa akibat ketidaksempurnaan
farmakokinetik agen-agen terapi dan gangguan pertahanan tubuh terhadap hipoglikemia.
Hipoglikemia iatrogenik merupakan faktor pembatas manajemen glukosa darah baik pada
diabetes melitus tipe 1 maupun diabetes melitus tipe 2. Insulin yang cukup untuk menurunkan
konsentrasi glukosa yang setara atau lebih rendah dari kisaran normal akan mengeliminasi
gejala-gejala hiperglikemia (polidipsia, poliuria, penurunan berat badan meski polifagia),
mencegah komplikasi hiperglikemia akut (ketoasidosis atau sindrom hiperosmolar), mencegah
komplikasi mikrovaskular jangka panjang (retinopati, nefropati, dan neuropati) serta
menurunkan risiko aterosklerosis.1 Namun, efek hipoglikemia terhadap otak sangat nyata, dan
karena itu penatalaksanaan diabetes bersifat sangat kompleks.
Mekanisme insulin dalam pengaturan fisiologis glukosa darah Insulin adalah hormon
primer yang memicu jalur anabolik dengan mengaktivasi enzim serta menstimulasi transkripsi
dan translokasi mRNA untuk enzim-enzim anabolik tersebut yang pada akhirnya menginduksi
pengangkutan glukosa kedalam jaringan. Hormon insulin disintesis dan disimpan dalam granul-
granul sel β pulau Langerhans. Pankreas manusia mensekresi insulin sekitar 40-50 unit per hari
pada individu yang sehat. Faktor utama yang memicu sekresi insulin adalah konsentrasi glukosa
dalam darah. Konsentrasi insulin di perifer mengalami peningkatan 8-10 menit setelah makan
dan mencapai konsentrasi puncak 30-40 menit kemudian yang diikuti dengan penurunan segera
konsentrasi glukosa plasma postprandial dan kembali ke nilai basal 90-120 menit kemudian.
Sekresi insulin basal yang terjadi tanpa stimuli eksogen adalah jumlah insulin yang disekresi
pada status puasa. Sedangkan sekresi insulin yang terstimulasi adalah sekresi yang terjadi akibat
stimuli dari luar misalnya setelah makan. Jika konsentrasi glukosa tiba-tiba meningkat, terjadi
ledakan pelepasan insulin jangka pendek (fase pertama); bila konsentrasi glukosa bertahan pada
kadar ini, pelepasan insulin secara bertahap akan turun dan mulai meningkat lagi ke konsentrasi
tetap (fase kedua). Aksi insulin berawal dengan terikatnya insulin pada reseptor insulin di
permukaan membran sel target. Reseptor insulin adalah glikoprotein membran yang terdiri dari 2
protein subunit yang dikode oleh gen tunggal. Subunit α seluruhnya berada di ekstraseluler,
merupakan tempat insulin terikat. Subunit β melintasi membran dan domain sitoplasmiknya
mengandung aktivitas tirosin kinase yang mengawali jalur tranduksi signal intraseluler. Saat
insulin berikatan dengan subunit α, subunit β mengaktifkan dirinya sendiri melalui
autofosforilasi. Subunit β yang aktif akan menarik protein tambahan untuk membentuk kompleks
dan memfosforilasi rangkaian substrat intraseluler, termasuk IRS-1, IRS-2, dan lainnya. Substrat
yang teraktivasi ini, masing-masing mengalami perekrutan dan aktivasi kinase, fosfatase, dan
molekul signal lainnya melalui jalur kompleks yang secara umum terdiri dari dua jalur: jalur
mitogenik, yang memediasi efek pertumbuhan dari insulin; dan jalur metabolik, yang mengatur
metabolisme substrat. Pada jalur metabolik, aktivasi fosfatidilinositol-3-kinase menyebabkan
pergerakan vesikel yang mengandung GLUT-4 ke membran sel, meningkatkan sintesis lipid dan
glikogen. Efek-efek stimulasi reseptor insulin adalah penurunan glukosa darah akibat
peningkatan ambilan glukosa di jaringan perifer dan penurunan keluaran glukosa hati,
peningkatan transit asam amino dan potasium ke dalam sel, peningkatan sintesis asam amino,
dan menghambat lipolisis. Setelah disekresi, insulin masuk ke vena portal lalu ke hati, dimana
50% insulin digunakan oleh hati.8 Sisanya masuk ke sirkulasi sistemik dan didistribusikan
sehingga konsentrasi insulin (saat puasa) hanya sekitar 15% yang masuk ke hati. Saat insulin
diinjeksikan secara subkutan, insulin masuk ke sirkulasi sistemik dan baik hati maupun organ
perifer lainnya menerima konsentrasi yang sama. Fisiologi pengaturan glukosa darah Penurunan
konsentrasi glukosa plasma arteri sampai pada rentang atau di bawah konsentrasi postabsorbsi
fisiologis, 70-110 mg/dl dapat memicu serangkaian respon. Penurunan glukosa darah dideteksi
oleh sensor glukosa dalam otak, terletak terutama di nuklei ventromedial hipotalamus, dan sistem
portal hepatika. Aktivasi sensor glukosa memicu kaskade respon untuk meningkatkan glukosa
darah. Respon ini meliputi:
(1) Pelepasan hormon-hormon counterregulatory yang antagonis terhadap aksi insulin dan
menekan sekresi insulin endogen. Sekresi insulin akan berkurang saat kadar glukosa turun dalam
kisaran fisiologis. Hal ini memicu peningkatkan produksi glukosa hati dan ginjal serta penurunan
penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin seperti otot rangka. Sekresi
glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan, dan kortisol meningkat saat kadar glukosa turun
dibawah rentang fisiologis. Ambang glukosa untuk terjadinya sekresi ini adalah 65-70mg/dl.
Glukagon menstimulasi glikogenolisis hati sehingga produksi glukosa meningkat. Epinefrin
menstimulasi glikogenolisis hepatik dan glukoneogenesis hati dan ginjal (sebagian besar dengan
jalan memobilisasi prekursor glukoneogenik seperti laktat, asam amino alanin dan glutamin,
serta gliserol) dan membatasi penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin.
Glukagon dan epinefrin bekerja dalam hitungan menit untuk meningkatkan konsentrasi glukosa
plasma. Sebaliknya, aksi hormon pertumbuhan dan kortisol untuk mendukung produksi glukosa
dan membatasi penggunaan glukosa terjadi dalam hitungan jam.
(2) Stimulasi sistem saraf otonom (khususnya saraf simpatis), yang tidak hanya memicu
counterregulation tetapi juga menginduksi efek hemodinamika dan organ akhir lainnya.
Perubahan hemodinamika yang terjadi meliputi peningkatan denyut jantung, curah jantung dan
tekanan darah sistolik. Selain itu, terjadi peningkatan aliran darah regional yang signifikan, tidak
hanya ke otak, tetapi juga ke organ lain (hati dan otot) yang dapat meningkatkan pengiriman
substrat ke otak.
(3) Munculnya gejala yang dapat memberikan tanda bahwa orang tersebut mengalami
hipoglikemia dan memerlukan perbaikan. Konsentrasi glukosa plasma yang lebih rendah
(ambang glukosa 50-55mg/dl) akan menimbulkan gejala hipoglikemia. Hal ini meliputi gejala
neutrogenik (otonomik) akibat dari persepsi perubahan fisiologis yang dipicu oleh respon sistem
saraf pusat terhadap hipoglikemia yang dimediasi simpatokromafin. Gejala-gejala neurogenik
adrenergik (dimediasi katekolamin) meliputi tremor, palpitasi, dan gelisah, serta gejala
neurogenik kolinergik seperti berkeringat, lapar dan parestesis. Juga terdapat gejala-gejala
neuoglikopenik, akibat langsung dari hilangnya glukosa dari neuron otak, seperti lemah, sensasi
hangat, kesulitan berpikir dan berbicara, serta perubahan tingkah laku. Hipoglikemia berat yang
lama dapat menyebabkan kejang, koma, bahkan kematian. Dalam mengantisipasi penurunan
konsentrasi glukosa plasma, berkurangnya sekresi insulin merupakan hal mendasar dan langkah
awal yang penting dimana penurunan sekresi ini akan meningkatkan produksi glukosa hepatik
dan menurunkan penggunaan glukosa oleh jaringan sensitif insulin. Pada faktor-faktor
counterregulation glukosa (mekanisme fisiologis yang secara normal mencegah atau secara cepat
mengoreksi hipoglikemia), peningkatan sekresi glukagon memegang peranan utama.
Peningkatan sekresi epinefrin tidak bersifat kritis secara fisiologis, tapi menjadi kritis jika terjadi
defisiensi glukagon. Hormon pertumbuhan dan kortisol terlibat dalam pertahanan melawan
hipoglikemia yang berkepanjangan atau untuk mencegah hipoglikemia setelah puasa sepanjang
malam. Autoregulasi glukosa, seperti produksi glukosa sebagai fungsi yang berlawanan dengan
kadar glukosa plasma yang tidak tergantung pengaturan hormonal dan neural, terlibat dalam
countrregulation glukosa, meskipun hanya terlibat dalam hipoglikemia berat. Frekuensi dan
akibat dari hipoglikemia Pasien diabetes melitus tipe 1 mengalami sejumlah episode
hipoglikemia asimptomatis (glukosa plasma mungkin kurang dari 50mg/dl) untuk mencapai
beberapa derajat kontrol glukosa darah. Mereka menderita rata-rata 2 episode hipoglikemia
simptomatis per minggu, ratusan episode hipoglikemia selama diabetes dan episode
hipoglikemia berat kira-kira 1 kali per tahun.1 Diperkirakan 2-4% kematian pada pasien diabetes
tipe 1 terjadi akibat hipoglikemia. Meskipun data kuantitatif dari pasien yang diterapi untuk
mencapai euglikemia terbatas, laju hipoglikemia pada pasien diabetes tipe 2 yang dirawat secara
agresif dengan insulin 10 kali lipat lebih rendah dan bahkan lebih rendah lagi pada pasien yang
dirawat dengan obat antidiabetes oral.1 Lebih lanjut frekuensi hipoglikemia berat yang serupa
pada diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2, cocok dengan durasi terapi insulin.1 Hipoglikemia
merupakan masalah klinis yang secara progresif lebih sering terjadi pada pasien diabetes melitus
tipe 1 dan saat pasien mengalami defisiensi insulin pada akhir spektrum diabetes melitus tipe 2.
Hipoglikemia iatrogenik dapat menyebabkan morbiditas fisik dan psikososial hingga kematian.1
Morbiditas fisik berkisar dari gejala yang tidak menyenangkan seperti gangguan tingkah laku
dan kerusakan kognitif hingga kejang dan koma. Kerusakan neural permanen dapat terjadi
meskipun frekuensinya jarang. Morbiditas psikososial dari hipoglikemia seperti rasa takut,
gelisah, dan rasa bersalah, bisa juga menjadi penghalang untuk kontrol gluosa darah. Kelebihan
insulin, pencetus terjadinya hipoglikemia Hipoglikemia merupakan efek samping terapi insulin
yang paling sering bila dibandingkan dengan kelainan autoimun. Hipoglikemia yang berat
pernah dilaporkan pada 26% pasien dengan rata-rata 1,9 episode per pasien per tahun, dan 43%
episode terjadi malam hari. Terapi intensif dengan insulin meningkatkan risiko episode
hipoglikemia. Faktor risiko konvensional untuk hipoglikemia iatrogenik berdasarkan pendapat
bahwa kelebihan insulin baik absolut maupun relatif, diinjeksi atau disekresi, adalah satu-satunya
penentu risiko.