history of java

Upload: proximax

Post on 07-Jul-2015

774 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

History of Java

TRANSCRIPT

History of Java NusantaraKebudayaan Orang Jawa dapat dimulai dengan zaman perunggu (abad ke-3SM sampai abad ke3M). Kebudayaan perunggu Nusantara mempunyai kaitan erat dengan kebudayaan perunggu Dongson di Annam. Kebudayaan Dongson mulai berkembang di Indo-China pada masa peralihan dari periode Mesolitik ke Neolitik. Sebelum zaman Mesolitik, ada zaman Paleolitik dengan ditemukannya fosil Homo Erectus di Pulau Jawa khususnya di daerah Sangiran, Trinil, dan Ngandong. Homo Erectus tersebut umumnya dikenal dengan nama Homo Erectus Soloensis karena fosilnya ditemukan di daerah Bengawan Solo. Fosil Homo Erectus Soloensis tertua yang ditemukan di Jawa berumur sekitar 1 Ma atau 1 juta tahun. Pada umumnya Homo Erectus dianggap punah pada tahun 400.000SM namun berdasarkan analisis terhadap rahang tengkorak terhadap 17 specimen Homo Erectus Soloensis diperkirakan masih tetap eksis sampai tahun 50.000SM. Selain fosil Homo Erectus Soloensis, di Jawa juga ditemukan fosil Meganthropus. Umur fosil Meganthropus lebih tua dibanding dengan Homo Erectus Soloensis. Meganthropus kemudian lebih dikenal dengan nama Homo Erectus Paleo-javanicus Austronesia merupakan istilah yang diberikan oleh ahli lingustik untuk menyebut suatu rumpun bahasa yang dituturkan di Kepulauan Asia Tenggara, Micronesia, Melanesia, Polinesia. Austronesia berasal dari kata Ausro yang berarti Selatan dan Nesos yang berarti Pulau. William van Humbolt merupakan orang yang pertama kali mengajukan istilah Malayo-Polynesia untuk menyebut bahasa di kawasan Semenanjung Malaya di barat sampai Polynesia di timur. Kemudian Wilhem Schimdt mengajukan istilah Austronesia untuk menyebut bahasa Malayo-Polynesia. Selain itu dia juga mengajukan hipotesis Austric yang merupakan nenek moyang bahasa Austronesia dan Austroasiatic. Bahasa Austronesia terdiri dari bahasa Malayu, Jawa, Tagalog, Sunda, Bugis, dan Cham. Ketiga bahasa yang disebut terawal merupakan bahasa terbesar yang digunakan di kawasan Malayo-Polynesia. Menurut Bellwood, Austronesia berasal dari Taiwan dan China selatan. Sedangkan bahasa Austroasiatic terdiri dari bahasa Thai, Lao, Mon, Khmer-Kamboja, dan Viet. Robert van Heien Geldern merupakan ahli arkeologi pertama yang memakai konsep budaya Austronesia dari para linguist. Dia berpendapat bahwa luas budaya Austronesia dapat ditunjukan dengan persebaran budaya Vierkantbeil Atze dengan ciri utamanya adalah dengan kehadiran beliung berpenampang lintang persegi. Wilheim G. Solheim mengajukan teori bahwa wilayah geografis persebaran gerabah Sa Huynh dan Kalanay di Kepulauan Asia Tenggara dan Lapita di Melanesia memiliki hubungan dengan persebaran Austronesia. Dia mengajukan istilah Nusantao yang diambil dari kata Nusantara untuk menyebut kelompok Austronesia dan budayanya. Solheim memberi arti pada kata Nusantao yaitu Orang Selatan seperti halnya kata Austronesia. Malayo-Polynesia barat terdiri dari Sumatra dan pantai barat Semenanjung Malaya. Malayo Polynesia tengah terdiri dari Semenanjung Indochina, pantai timur Semenanjung Malaya, LuzonMindanao, Kalimantan, Jawa-Sumbawa, Sulawesi, dan Maluku. Malayo Polynesia timur terdiri dari Papua, Melanesia, Polynesia. Menurut Solheim, Malayo-Polynesia tengah berasal dari Semenanjung Indochina tepatnya di wilayah Cham. Kebudayaan Dongson secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya bangsa Austronesia yang terutama menetap di Annam (Indochina). Penamaan kebudayaan ini sendiri diambil dari situs Dongson di Tanh Hoa. Jika ditarik kembali ke belakang kebudayaan Dongson di Annam berasal dari

Yunnan (China selatan). Dari Yunnan ini menyebar ke Asia Tenggara sampai ke pulau Jawa. Asumsi yang digunakan adalah benda-benda perunggu di Yunnan dengan benda-benda perunggu yang ditemukan di Dongson (Annam) dan di Nusantara (misalnya Pahang, Riau, Jambi, Palembang, Jawa, Bali, Sumbawa, Selayar) mempunyai kesamaan bentuk dan materi. Hal tersebut nampak dari artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual yang sangat rumit sekali. Ukiran benda perunggu yang terdapat di Yunnan menunjukkan adanya pengaruh kebudayaan Scythian (Saka) berupa perburuan binatang seperti ox dengan cara mengendarai kuda. Nama Saka dalam bahasa China dikenal dengan nama Sai/Sek. Scythian sendiri merupakan salah satu cabang suku bangsa Iran. Benda-benda tersebut misalnya kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga, gerabah, jambangan rumah tangga, mata timbangan, kepala pemintal benang, dan perhiasan-perhiasan (gelang dari kerang, manik-manik dari kaca). Semua benda tersebut atau hampir semuanya diberi hiasan geometri. Bentuk geometri merupakan ciri dasar dari kesenian ini diantaranya berupa jalinan arsir-arsir, segitiga dan spiral yang tepinya dihiasi garis-garis yang bersinggungan. Hasil karya yang terkenal adalah Nekara Perunggu. Hasil karya ini merupakan benda religius pada masyarakat dahulu. Nekara ini sendiri dikaitkan dengan siklus pertanian. Dengan mengandalkan pengaruh ghaibnya, nekara ini ditabuh untuk menimbulkan bunyi petir yang berkaitan dengan datangnya hujan. Nekara perunggu ini dapat ditemukan di Jambi, Jawa, Bali, Sumbawa, dan Selayar. Bejana Perunggu dapat ditemukan di Jambi dan Madura. Arca Perunggu dapat ditemukan di Jambi, Palembang, dan Jawa. Perhiasan Perunggu ditemukan di Jawa dan Bali. Masyarakat Dongson adalah masyarakat petani dan peternak yang handal. Mereka terampil menanam padi, memelihara kerbau dan babi, serta memancing. Mereka menetap di pematang pesisir, terlindung dari bahaya banjir, dalam rumah panggung besar dengan atap yang melengkung lebar dan menjulur menaungi emperannya. Selain bertani, masyarakat Dongson juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, bukan hanya nelayan tetapi juga pelaut yang melayari seluruh laut China Selatan dengan perahu yang panjang. Kebudayaan Dongson di Annam ini kemudian menyebar ke delta sungai Mekong. Kerajaan Funan (berdiri pada awal abad ke-2M) merupakan kerajaan Hindu pertama di sungai Mekong. Kerajaan Champa (berdiri pada awal abad ke-3M) yang terletak di sebelah utara Funan menjadi kerajaan Hindu karena adanya pengaruh interaksi dengan Kerajaan Funan. Jika dilihat dari budaya dan bahasa yang digunakan, orang Funan dan Champa termasuk dalam bangsa Austronesia. Pada masa pemerintahan Sri Mara (205M-225M) dari Funan, Kerajaan Funan mengalami puncak kejayaan karena adanya dominasi perdagangan di laut China Selatan. Pada tahun 270M Kerajaan Funan dan Champa beraliansi melakukan penyerangan terhadap wilayah China di Tonkin (Annam) tetapi serangan ini gagal. Ibukota Kerajaan Funan dinamakan Wyadhapura (Kota Para Pemburu) sekarang terletak di Banam, Kamboja. Menurut berita China bangsa ini suka berperang dan mempunyai ciri-ciri berambut hitam ikal dan bermata tajam. Bangsa Funan hidup dengan bercocok tanam padi dan berdagang. Pada masa pemerintahan Indrawarman (akhir abad ke-5M), Kerajaan Funan mempunyai beberapa kerajaan bawahan seperti Chenla-Kamboja (Champasak, berdiri pada awal abad ke-6M), Dwarawati-Mon (Lopburi, berdiri pada awal abad ke-6M), di Semenanjung Malaya ada Pan-Pan (Kelantan, berdiri pada awal abad ke-6M), Langkasuka (Pattani, berdiri pada awal abad ke-6M), dan Raktamaritika (Songkla, berdiri pada awal abad ke-6M). Setelah masa pemerintahan Rudrawarman (550M), Kerajaan Funan menjadi kacau akibat adanya serangan dari Bhawawarman dari Chenla-Kamboja. Bhawawarman dari Chenla-Kamboja sendiri merasa berhak atas tahta Funan. Kerajaan Chenla-Kamboja didirikan oleh Shrusthawarman (awal abad ke-6M). Pada masa pemerintahan Isanawarman (616M-635M) dari Chenla-Kamboja berhasil mengalahkan Funan. Kerajaan Chenla-Kamboja merupakan cikal bakal dari Kerajaan Khmer Kamboja (berdiri pada tahun 802M). Pada awal abad ke-7M Kerajaan Chenla-Kamboja menguasai Dwarawati (Mon) yang kemudian

menjadi Kerajaan Lavo (Mon). Kerajaan Lavo dibawah pengaruh Kerajaan Khmer Kamboja sampai akhir abad ke-13M. Pada abad ke-8M wilayah Thai dibawah pengaruh Kerajaan Lavo (Mon) bahkan raja Lavo mengangkat kepala suku Thai sebagai raja di Ngoenyang. Sedangkan putri dari raja Lavo dijadikan sebagai penguasa di Haripunchai. Pada tahun 1087, Kerajaan Lavo dapat menangkis serangan dari Kerajaan Pagan Burma (berdiri pada pertengahan abad ke-11M sampai akhir abad ke-13M). Sebelumnya pada tahun 1057M Kerajaan Pagan Burma juga dapat menaklukan Kerajaan Thaton-Mon (berdiri pada awal abad ke-9M). Menurut sejarawan berdasarkan berita China pada abad ke-5M, ada beberapa kerajaan di Sumatra dan Jawa misal Holotan dari Shepo dan Kantoli. Nama tersebut kemudian diidentifikasi oleh para sejarawan misal Holotan dari Shepo dengan Harutan dari Jawa dan Kantoli dengan Kandali. Kerajaan Holotan dari Shepo pernah mengirim utusan ke Dinasti Sung China (420M-479M) pada tahun 430M, 437M, dan 452M. Kerajaan Kantoli pernah mengirim utusan ke Dinasti Sung China pada tahun 454M dan 461M. Menurut berita Dinasti Ming China, San Fo Tsi dulunya disebut dengan nama Kantoli. Para sejarawan kemudian mengindentifikasikan San Fo Tsi dengan Sumatra dan Kantoli dengan Kandali. Nama San Fo Tsi pertama kali muncul pada berita Dinasti Sung China. Letak Kerajaan Kantoli (Kandali) kemungkinan di Jambi. Kerajaan Kandali ini kemungkinan digantikan oleh Kerajaan Malayu (berdiri pada awal ke-7M). Menurut berita Dinasti Tang China, pada tahun 645M Kerajaan Malayu (Jambi) mengirim utusan ke Dinasti Tang China. Menurut Slamet Mulyana, ibukota Malayu terletak di daerah perbukitan di Muara Tebo, Jambi. Pada akhir abad ke-7M muncul Kerajaan Sriwijaya (berdiri pada akhir abad ke-7M) dengan pendirinya bernama Dapunta Hyang Jayanasa (prasasti Talang Tuo, 684M). Menurut Pierre-Yves Manguin, ibukota Sriwijaya terletak di daerah perbukitan di Bukit Siguntang. Hal ini didasarkan pada Sejarah Malayu (awal abad ke-17M) yang menyebutkan bahwa Parameswara pendiri Malaka (awal abad ke-15M) berasal dari Bukit Siguntang. Dengan berasumsi bahwa Parameswara merupakan seorang pangeran Sriwijaya. Padahal dalam Sejarah Malayu tidak terdapat nama Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya sendiri runtuh pada abad ke-11M akibat serangan Cola-India. Nama Parameswara sendiri beragama Hindu jika dibandingkan dengan Sriwijaya yang beragama Budha. Kerajaan Sriwijaya juga berafiliasi dengan Kerajaan Pala India (berdiri pada pertengahan abad ke-8M sampai akhir abad ke12M) yang beragama Budha aliran Mahayana. Pada masa pemerintahan Dapunta Hyang Jayanasa banyak mengeluarkan prasasti misal prasasti Kedukan Bukit (682M) yang ditemukan di Palembang berisi penyerangan Sriwijaya ke Minanga Tamwa. Menurut I Tsing, pada tahun 671M ketika ia akan ke Nalanda dan singgah ke Moloyu (Jambi, berdiri pada pertengahan abad ke-7M), Kerajaan Moloyu (Jambi) masih merdeka. Namun pada tahun 685M ketika ia kembali ke Moloyu (Jambi), kerajaan ini sudah menjadi wilayah Shih Li Fo Tsi (Sriwijaya). Menurut berita Dinasti Tang China, pada tahun 704M Shih Li Fo Tsi (Sriwijaya-Palembang) mengirim utusan ke Dinasti Tang China. Prasasti yang berkaitan dengan Sriwijaya misal prasasti Kedukan Bukit (Palembang, 682M), prasasti Talang Tuo (Palembang, 684M), prasasti Kota Kapur (Bangka, 686M), prasasti Telaga Batu (Palembang, akhir abad ke-7M), prasasti Palas Pasemah (Lampung, akhir abad ke-7M), prasasti Karang Birahi (Jambi, akhir abad ke-7M) semuanya memakai Bahasa Malayu Kuno dengan Aksara Pallawa. Pada akhir abad ke-7M menurut catatan I Tsing peziarah Budha dari China, negeri di Shih Li Fo Tsi (Palembang) pada umumnya menganut agama Buddha aliran Mahayana, kecuali Mo-lo-yu (Jambi). Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh Kerajaan Malayu kemungkinan masih menganut agama Hindu atau Animisme. Kata Malayu berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu Malaya yang berarti bukit. Jambi merupakan penghasil emas terbesar di Sumatra karena hal itu Pulau Sumatra dinamakan Swarnadwipa

artinya Pulau Emas. Wilayah Sriwijaya pada akhir abad ke-7M adalah Lampung, Palembang, Bangka, dan Jambi. Ada yang berpendapat bahwa Kerajaan Kelingga Jawa terletak di Jepara dimana terdapat daerah bernama Keling. Nama Keling juga terdapat di daerah Surabaya. Nama seperti Keling dan Kelinggapura merupakan salah satu daerah bawahan Majapahit (abad ke-14M) yang dipimpin oleh seorang Batara i (Bre) Keling dan Bre Kelinggapura. Bukti prasasti lain yang diduga berkaitan dengan keberadaan Kelingga adalah prasasti Tukmas yang ditemukan di lereng Gunung Merbabu (Boyolali) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pallawa yang berisi deskripsi tentang keadaan alam setempat dan gambargambar peralatan manusia. Berdasarkan paleografinya prasasti Tukmas diperkirakan berasal pada akhir abad ke-6M. Berdasarkan berita Dinasti Tang (620M-930M), Holing (Kelingga) juga disebut dengan Shepo (Jawa). Nama Chupo/Chopo/Shepo sudah digunakan oleh Orang China untuk menunjuk Jawa sejak abad ke-5M (pada masa Dinasti Sung China). Pada tahun 627M, 649M, dan 666M Holing mengirim utusan ke Dinasti Tang China. Pada tahun 768M, 769M, dan 770M Holing mengirim utusan ke Dinasti Tang China kemungkinan pada masa Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana (746M784M). Pada tahun 767M disebutkan bahwa Chopo (Jawa) menyerang Tonkin (Annam) namun dapat dipukul mundur oleh Gubernur China yang bernama Chang Po Yi. Utusan tahun 768M kemungkinan merupakan isyarat perdamaian atau ganti rugi bagi pihak Jawa. Pada tahun 813M, 815M, 818M dan 820M Holing mengirim utusan ke Dinasti Tang China kemungkinan pada masa Maharaja Rakai Warak Dyah Manara (803M-827M). Sejak tahun 820M dalam pemberitaan China nama Holing diganti dengan nama Shepo. Pada tahun 831M dan 839M Shepo mengirim utusan ke Dinasti Tang China kemungkinan pada masa Maharaja Rakai Garung (828M-847M). Pada tahun 813M telah datang utusan dari Holing dengan memberikan hadiah berupa budak Seng qi (Jenggi) kepada Kaisar Dinasti Tang China. Jenggi merupakan orang kulit hitam yang berasal dari Afrika. Nama Jenggi juga tercantum dalam daftar abdi dalam prasasti Jawa Kuno tahun 860M. Budak Jenggi tersebut dikirim dari Afrika ke Jawa bahkan ada yang dikirim ke China. Cerita itu sesuai dengan apa yang diberitakan oleh Ibn Lakis bahwa pada tahun 945M telah tiba kira-kira seribu kapal yang dinaiki Orang Wak-wak di daerah Sofala-nya Orang Zenggi/Jenggi (Mozambik Afrika). Orang Wak-wak disebutkan berasal dari kepulauan yang berhadapan dengan China. Kata Wak-wak kemungkinan diambil dari kata Jawak (Jawa-red). Orang Wak-wak menempuh pelayaran selama satu tahun untuk sampai ke tempat Orang Zenggi. Orang Wak-wak datang ke sana untuk mencari barang barang seperti Gading Gajah, Cula Badak, Kulit Penyu, Emas, Perak yang dibutuhkan di negeri mereka ataupun untuk diperdagangkan ke China. Selain itu mereka juga mencari Orang Zenggi (Jenggi) untuk dipekerjakan sebagai budak. Pelabuhan Sofala berdiri pada abad ke-8M. Penduduk asli pulau Madagaskar yang terletak di sebelah timur Mozambik kemungkinan berasal dari Jawa dilihat dari bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa Jawa dibandingkan dengan bahasa Malayu misal 1 2 3 4 5 6 7 8 Jawa Esa, Siji Loro Telu Papat Limo enem Pitu Wolu Madagaskar Isa Roa Telo Efat-ra Dimy Enin Fitu Volu

9 10 20 100 1000

Sanga Se-puluh Rong-puluh Satus Sewu

Sivy Fulo Roapolo Zato Arivo

Dalam prasasti Kui (840M) disebutkan bahwa di Jawa terdapat banyak pedagang asing dari mancanagara untuk berdagang misal Cempa (Champa), Kmir (Khmer-Kamboja), Reman (Mon), Gola (Bengali), Haryya (Arya), Keling (Kelingga, pantai timur India), Cwalika (Tamil, pantai timur India), Singha (Sri Langka), Malayala (Malayalam, pantai barat India), Karnnake (Karnataka, pantai barat India). Di Jawa juga terdapat para pejabat lokal yang mengurusi para pedagang asing misal Juru China yang mengurusi para pedagang dari China dan Juru Barata yang mengurusi para pedagang dari India. Hal tersebut seperti Konsul yang bertanggung jawab atas kaum pedagang asing. Dalam prasasti Champa disebutkan bahwa Jaya Simhawarman (908M) dari Champa pernah mengirim utusan ke Jawa. Permasalahan terhadap para pedagang asing mungkin saja terjadi seperti apa yang tercantum dalam prasasti Wurada Kidul (922M). Prasasti tersebut berupa Keputusan Yuridis (Hukum) mengenai kasus Dhanadi, disebutkan bahwa dia dituduh oleh para penduduk desa Sima Swatantra (desa bebas pajak kerajaan) sebagai seorang Wika Kilatan (anak pemungut pajak). Di Jawa, kata Desa dulunya disebut juga dengan kata Wanua. Karena tidak terima tuduhan tersebut, Dhanadi kemudian mengajukan kasus tersebut ke pengadilan kerajaan. Hasil keputusan pengadilan menyatakan bahwa Dhanadi bukanlah seorang Wika Kilatan dan kemudian dibebaskan atas tuduhan. Tidak terima akan hasil tersebut para penduduk desa kembali menuduh Dhanadi sebagai seorang Wika Kmir (anak Khmer Kamboja). Hukum kerajaan menyatakan bahwa para pedagang asing dilarang masuk ke desa Sima Swatantra. Dhanadi kemudian mengajukan kasusnya kembali ke pengadilan dan menyatakan bahwa dia merupakan penduduk asli setempat yang sudah turun temurun tinggal disana. Keputusan pengadilan menyatakan bahwa Dhanadi bukanlah orang asing dan mengharapkan agar penduduk desa tidak mengusiknya lagi. Menurut berita Dinasti Tang China Kerajaan Holing (Kelingga) berbatasan dengan Poli (Bali) di sebelah timur, Topoteng di sebelah barat, Chenla (Kamboja) di sebelah utara dan lautan luas (Samudra Hindia) di sebelah selatan. Kerajaan Holing menghasilkan Cula Badak, Gading Gajah, Kulit Penyu, Emas, dan Perak. Masyarakat Holing disebutkan mengenal aksara dan ilmu perbintangan. Menurut I Tsing di Holing (Kelingga) pada tahun 664M-667M terdapat pendeta China bernama Hwining yang bekerja sama dengan pendeta Janabadra dalam rangka menerjemahkan kitab agama Budha aliran Hinayana. Selain itu berita China pada masa Dinasti Tang juga menyebutkan pada tahun 674M Kerajaan Holing dipimpin oleh Ratu Simha. Pada masa pemerintahan Ratu Simha terkenal karena adil dan bijaksana. Menurut berita China, pada masa pemerintahan Ratu Simha, Orang Tarshish pernah hendak menyerang Kelingga Jawa namun rencana mereka dibatalkan karena mereka takut akan kepemimpinan Ratu Simha yang terkenal tidak memandang bulu dalam menegakkan hukum. Kata Simha sama dengan kata Singha (Leo/Lion). Menurut van Orsoy, dalam berita China nama Medang Kamulan disebut dengan Medang Kuwu-langpiya yang menunjuk tentang Holing/Kelingga. Nama Kamulan juga tercantum dalam prasasti Karang Tengah. Dalam legenda di Jawa disebutkan bahwa Kerajaan Medang Kamulan berkaitan dengan tokoh Haji Saka yang telah mengalahkan Dewata Cengkar dari Medang Kamulan dan mengajarkan aksara pertama kali kepada penduduk Jawa. Gelar Sang Haji (Sangaji) merupakan gelar dibawah Sang Ratu. Kemungkinan Haji Saka merupakan raja bawahan dari Dewata Cengkar dari Medang Kamulan. Seperti halnya Haji Sunda pada Suryawarman (536M) dari Taruma, Haji Dharmasetu pada Maharaja Dharanindra (782M) dari Medang. Haji Patapan pada Maharaja Samaratunggadewa (824M) dari Medang,

Haji Wurawari pada Maharaja Dharmawangsa (1016M) dari Medang, Haji Katong (Jaya-katwang) pada Maharaja Dhiraja Kertanagara (1292M) dari Tumapel/Singasari. Letak Medang Kamulan menurut Bujangga Manik (awal abad ke-16M) terletak di Grobogan. Menurut berita Dinasti Tang China, Kerajaan Holing mempunyai gua yang selalu memancarkan air garam. Di Jawa, gua tersebut dinamakan dengan Bledug Kuwu karena terletak di daerah Kuwu, Grobogan. Bledug Kuwu merupakan tempat satusatunya di Jawa yang terdapat sumber air garam di pedalaman. Dalam legenda di Jawa, Bledug Kuwu berkaitan dengan tokoh Jaka Linglung putra Haji Saka. Menurut Bujangga Manik pada awal abad ke-16M perbatasan Kerajaan Hindu Sunda dengan Kerajaan Hindu Jawa adalah sungai Pamali (Brebes) di sebelah utara dan sungai Serayu (Cilacap) di sebelah selatan. Karena ekspansi Kesultanan Islam Jawa abad-16M) perbatasannya semakin ke arah barat yaitu sungai Cisanggalung (Cirebon) di sebelah utara dan sungai Citandui (Ciamis) di sebelah selatan. Dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Hindu di Jawa bermula di Kelingga (Jepara) lalu ke Medang i Kamulan (Grobogan) dan akhirnya ke Medang i Mataram (Magelang). Perpindahan pusat Kerajaan Hindu Jawa (abad ke-7M) tersebut mirip dengan perpindahan pusat Kerajaan Islam Jawa (abad ke-16M) yaitu dari Demak lalu ke Pajang (Boyolali) dan akhirnya ke Mataram (Yogyakata). Berdasarkan Naskah Wangsakerta berbahasa Jawa dengan Aksara Jawa (awal abad ke-20M), Kerajaan tertua di Jawa adalah Kerajaan Salakanagara (berdiri pada awal abad ke-2M sampai pertengahan abad ke-4M). Pada mulanya ada seorang duta dari India yang datang ke Jawa. Duta dari India tersebut kemudian menikahi seorang putri dari Ki Tirem yang merupakan seorang kepala suku. Duta dari India tersebut kemudian mendirikan Kerajaan Salakanagara dan dinobatkan dengan nama Dewawarman. Gelar yang dipakai oleh Dewawarman adalah Haji. Duta dari India ini kemungkinan berasal dari Kerajaan Western Satrap (Sakas) India. Kemungkinan Dewawarman berasal dari bangsa Yavanas (Indo-Greek), Sakas (Indo Scythian), Pahlavas (Indo Parthian), Paradas (Indo-Parthian), Kambujas (Indo Persian). Berdasarkan Kitab Purana, bangsa Yavanas, Sakas, Pahlavas, Kambujas, Paradas dikenal sebagai PancaGanah (Gerombolan Lima) atau Kshatriya-Pungava (Ksatria Punggawa). Pada pertengahan abad ke-1M Orang Sakas dibantu teman-temannya (Yavanas, Pahlavas, Kambujas, Paradas) mendirikan Kerajaan Western Satrap. Kerajaan ini didirikan oleh Yopiraja (35M). Nama Western Satrap yang beribukota di Ujjain dipakai untuk membedakan dengan Northern Satrap (berdiri pada akhir abad ke-1SM) yang beribukota di Mathura. Northern Satrap (Sakas) dan Kelingga India pernah berperang bersama melawan Satakarni (143SM-87SM) dari Satawahana India. Kebanyakan raja-raja Kelingga India menganut agama Jain. Pada tahun 78M Western Satrap (Sakas) mengalahkan Wikramaditya dari Dinasti Wikrama India. Kemenangan pada tahun 78M dijadikan sebagai tahun dasar dari penanggalan (kalender) Saka. Wilayah Western Satrap mencakup Rajastan, Madya Pradesh, Gujarat, dan Maharashtra. Para raja dari Western Satrap biasanya memakai dua bahasa yaitu Sankrit (Sansekerta) dan Prakit serta dua aksara yaitu Brahmi dan Yunani dalam proses pembuatan prasasti dan mata uang logam kerajaan. Sejak pemerintahan Rudrasimha 1 (160M-197M) dari Western Satrap, dalam pembuatan mata uang logam kerajaan selalu mencantumkan tahun pembuatannya berdasarkan pada kalender Saka. Secara kebudayaan, Orang Satrap sangat terpengaruh oleh kebudayaan Yunani. Nama Satrap merupakan sebuah sistem pemerintahan yang diciptakan oleh Alexander The Great. Gelar Satrapvan sendiri setingkat dengan Viceroy atau Haji. Pada awal abad ke-4SM kekuasaan Alexander The Great dari Macedonia mencangkup bekas wilayah Kekaisaran Achaemenid yaitu Media, Persia, Elam, Babylonia (Chaldea), Assyria, Arabia, Egypt, Libya, Armenia, Lydia, Cilicia, Paphlagonia, Pamphylia, Caria, Carmania, Cappadocia, Thrace, Macedon, Yauna (Ionian), Gandara, Taxila, Gedrosia, Aria (Arya), Maka, Drangiana, Parthia, Sattagydia, Arachosia, Bactria, Sogdia, Kush, Sacae (Saka), Chorasmia, Hyrcania, Margu, Dahae. Western Satrap

dalam bahasa Yunani disebut juga dengan nama Ariaca (Arya). Kerajaan Western Satrap runtuh pada masa pemerintahan Rudra-simha 111 (388M-395M) akibat serangan dari Candragupta 11 (395M-413M) dari Dinasti Gupta India (berdiri pada pertengahan abad ke-3M sampai pertengahan abad ke-6M). Aliansi dari Panca Ganah inilah yang menemukan jalur perdagangan laut dari India ke China. Nama Yawa (Jawared) sendiri merupakan turunan dari kata Yawana dalam bahasa Sansekerta. Menurut berita China, pada tahun 132M, raja Tian Pian (Dian Bian) dari Ye Tiao pernah mengirim utusan ke Dinasti Eastern Han China. Disebutkan bahwa raja Tian Pian meminjam sebuah stempel emas milik Kaisar China. Biasanya stempel emas Kaisar China berbentuk Naga. Di Jawa juga ditemukan sebuah cincin emas berbentuk stempel. Menurut G. Ferrand, kata Ye Tiao merupakan ejaan China untuk Yawadi dalam bahasa Prakit atau Yawadwipa dalam bahasa Sansekerta. Sedangkan kata Tian Pian merupakan terjemahan China untuk Dewa-warman, Warma-dewa, Tungga-dewa. Kata Tian berarti Dewa atau Batara dan kata Pian berarti Warman atau Tungga. Nama Warmadewa biasanya digunakan oleh penguasa dari Bali misal Haji Kesari Warmadewa (890M) dan Haji Dharmodayana Warmadewa (990M) dan penguasa dari Malayu misal Maharaja Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (1178M) dan Maharaja Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa (1275M). Nama penguasa dari Jawa biasanya memakai nama Tunggadewa misal Maharaja Dharmatunggadewa (792M) dan Maharaja Samaratunggadewa (824M). Nama Dewa-warman kemungkinan berkaitan tokoh Dewata (Dewa-nata) Cengkar, Sang Haji (Sang-aji) Saka, Jaka Linglung (Naga). Di dalam legenda Jawa mengenal adanya seorang tokoh bernama Haji Saka (akhir abad ke-1M) yang kemungkinan berasal dari Western Satrap (Sakas). Haji Saka merupakan raja bawahan dari Dewata Cengkar dari Medang Kamulan. Haji Saka kemudian berhasil mengalahkan Dewata Cengkar dari Medang Kamulan. Haji Saka mempunyai putra bernama Jaka Linglung yang berwujud Naga. Di dalam legenda Funan, Champa, dan Kamboja diceritakan asal mula dinasti mereka berasal dari seorang pangeran dari India bernama Kaundinya (awal abad ke-2M). Disebutkan bahwa Kaundinya menyelamatkan kapal Brahmana dari perompakan yang dilakukan oleh Soma putri dari raja Naga yang merupakan penguasa dari sebuah pulau. Setelah Kaundinya berhasil mengalahkan putri Soma, ia membujuk putri Soma agar mau menikah dengannya. Kaundinya dan putri Soma kemudian dikirim ke daratan (Kamboja) dan Kaundinya menjadi raja Funan yang pertama. Cerita Kaundinya pada awalnya berasal dari Funan pada awal abad ke-3M kemudian diambil oleh Isanawarman 1 (616M-635M) dari Chenla-Kamboja ketika berhasil menguasai seluruh wilayah Funan. Prakasadharma 1 (653M-687M) dari Champa mengambil cerita Kaundinya dari Chenla-Kamboja. Prakasadharma 1 dari Champa sendiri mengaku keturunan dari Isanawarman 1 dari Chenla Kamboja kemungkinan dari garis ibunya. Menurut legenda dari Pallawa (Pahlavas) disebutkan bahwa leluhur Dinasti Pallawa India bernama Aswataman putra dari Maharesi Druna. Di dalam legenda Pallawa India disebutkan bahwa Aswataman menikah dengan Bidadari Menaka dari Funan. Aswataman dan Maharesi Druna merupakan tokoh dalam Sage Mahabarata. Di dalam perang Barata, Aswataman dan Druna memihak pada Kurawa dibandingkan dengan pihak Pandawa. Di dalam sage Mahabarata, bangsa Yavanas, Sakas, Pahlavas, Kambujas, Paradas disebut sebagai pihak Kurawa. Dinasti Pallawa sendiri menyebut dirinya berasal dari campuran kasta Brahmana dan Ksatria. Jadi ada keterkaitan antara legenda di Jawa, Funan, Kamboja, Champa dengan Panca Ganah. Sejak abad ke-2M Funan dan Jawadwipa telah terjalin hubungan perdagangan yang erat. Menurut berita China pada masa Dinasti Wu (220M-280M) dan Dinasti Jin Timur (310M-420M) terdapat sebuah daerah bernama Koying yang menghasilkan emas, perak dan batu berharga. Berita mengenai Koying didapat dari para pedagang Jawadwipa karena Koying tidak mempunyai hubungan diplomatik dan perdagangan dengan China. Para pedagang China mendapat barang dari Koying melalui perantara para pedagang Jawadwipa. Koying terletak sekitar 5000 Li (2500 Km)

sebelah timur Chopo (Jawa). Di Koying terdapat sebuah gunung berapi yang aktif dan di sebelah utaranya terdapat sebuah Pu lei (Pulo). Penduduk Koying mempunyai kulit hitam kelam dan bergigi putih serta tidak berpakaian (koteka). Kemungkinan Koying terletak di Nusa Tenggara dimana terdapat sebuah gunung berapi yang terletak di pulau Sangeang (Sang Hyang). Nama Sangeang juga merupakan nama sebuah pulau di selat Sunda. Para pemimpin di Nusa Tenggara biasanya bergelar Sang-aji (Sang Haji). Baik gelar Sang Hyang dan Sang Haji merupakan gelar yang dipakai di Jawa. Nama Pulo dan Sangeang juga terdapat dalam Negarakertagama (1365M) yang terletak di Nusantara timur. Gelar Rama biasanya hanya dipakai di Jawa. Gelar Rakai biasanya dipakai di Pulau Jawa. Gelar Haji/Aji biasanya dipakai di Pulau Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara (Bali, Lombok, Sumbawa). Gelar Aji juga digunakan di Kepulauan Ryukyu (Okinawa, Jepang) untuk menyebut bangsawan ataupun penguasa. Gelar Ratu biasanya dipakai di Pulau Jawa. Di Malayu kata Ratu berubah menjadi Datu dan di Maluku menjadi Latu. Gelar Ratu dan Hadi/Adi juga digunakan di Pulau Fiji (Samudra Pasifik selatan) untuk menyebut penguasa mereka. Gelar Maharaja biasanya digunakan di Jawa dan Sriwijaya. Gelar Rama (kepala suku) dipakai oleh pemimpin Jawa ketika pertama kali atau sebelum datang ke Pulau Jawa. Sedangkan kepala suku di Sumatra bergelar Peng-hulu. Gelar Rakai dipakai ketika Orang Jawa mulai berkembang di Pulau Jawa. Gelar Haji/Aji kemungkinan dipakai sejak abad ke-1M atau pada awal kedatangan pengaruh Hindu India. Gelar Ratu dipakai sejak abad ke-4M dan Maharaja sejak abad ke-8M serta Maharaja Dhiraja sejak abad ke-13M . Gelar Hyang dipakai di Jawa untuk menyebut konsep tentang alam yang abstrak selain dunia yang konkret ini kemudian berubah menjadi konsep tentang kedewaan bahkan digunakan untuk menyebut leluhur misal E-yang dan Mo-yang. Penguasa yang telah meninggal juga diberi gelar Sanghyang dan Ra-hyang. Berdasarkan Naskah Wangsakerta, pada masa pemerintahan Dewawarman ke-8 dari Salakanagara kedatangan Maharesi dari India dimana kerajaannya dihancurkan oleh Samudragupta (335M380M) dari Dinasti Gupta India. Pada akhir abad ke-6M Dinasti Gupta India runtuh akibat serangan bangsa Hunas. Menurut Naskah Wangsakerta Maharesi ini berasal dari Kerajaan Salankayana India. Kerajaan Salankayana didirikan oleh para Brahmana beraliran Siwa pada awal abad ke-4M. Pendiri Salankayana bernama Hastiwarman yang merupakan raja bawahan dari Pallawa India. Penerus Hastiwarman adalah Nandi-warman dan Wijaya-dewa-warman. Pada pertengahan abad ke-4M Kerajaan Pallawa dan Salankayana dikalahkan oleh Samudragupta (335M-380M) dari Dinasti Gupta India. Kekalahan itu terjadi pada masa Wishnugopa (355M) dari Pallawa India. Maharesi dari Salankayana ini kemudian menikahi putri Dewawarman ke-8 dari Salakanagara kemudian diangkat menjadi penguasa dan bergelar Jaya-simha-warman (362M-382M). Kemudian ia mengubah Kerajaan Salakanagara menjadi Tarumanagara. Kerajaan Salankayana India sendiri runtuh pada awal abad ke-5M akibat serangan dari Madhawarman dari Dinasti Wisnukundis India. Madhawarman dari Dinasti Wisnukundis juga berperang melawan serangan dari Simhawarman 1V (436M) dari Pallawa India. Dinasti Wisnukundi (berdiri pada awal abad ke-5M sampai awal abad ke-7M) didirikan oleh Indrawarman. Dinasti Wisnukundi runtuh pada masa pemerintahan Manchana-bhataraka-warman (625M) akibat serangan dari Pulakesi 11 (609M-642M) dari Dinasti Chalukya India. Pada tahun 642M Narasimhawarman 1 dari Pallawa berhasil mengalahkan Pulakesi 11 dari Dinasti Chalukya India dan menduduki ibukota Chalukya selama 14 tahun. Wikramaditya dari Dinasti Chalukya berhasil mengusir prajurit Pallawa dari ibukota Chalukya pada tahun 656M. Dinasti Chalukya didirikan oleh Pulakesi 1 pada tahun 545M. Dinasti Chalukya merupakan penerus dari Dinasti Kadamba India (berdiri pada pertengahan abad ke-4M sampai pertengahan abad ke6M). Dinasti Kadamba merupakan penerus dari Dinasti Chutus India (berdiri pada awal abad ke-4M) yang merupakan bawahan dari Pallawa India. Ketika Pallawa India dikalahkan oleh Samudragupta dari

Dinasti Gupta, Mayurasharma pendiri Dinasti Kadamba memerdekakan diri dari Pallawa India. Mayurasharma digantikan oleh putranya yaitu Kangawarman (365M) dari Dinasti Kadamba. Pada tahun 755M Kirtiwarman 11 dari Dinasti Chalukya dikalahkan oleh Dantidurga dari Dinasti Rashtrakuta India (753M-983M). Ketika Chalukya runtuh dinastinya terbagi menjadi dua yaitu Dinasti Western Chalukya dan Dinasti Eastern Chalukya. Dinasti Western Chalukya menjadi bawahan Dinasti Rashtrakuta. Pada tahun 973M Tailapa 11 (967-997M) dari Western Chalukya berhasil mengalahkan Indra 1V dari Dinasti Rashtrakuta. Dinasti Western Chalukya (973M-1200M) juga sering berperang melawan Kerajaan Chola India. Sedangkan Dinasti Eastern Chalukya menjadi bawahan Chola sejak dikalahkan Rajaraja Chola (985M-1014M). Pada akhir abad ke-12M Dinasti Western Chalukya India runtuh akibat meningkatnya para raja bawahan di daerah antara lain Dinasti Kakatiya India dan Dinasti Hoysala India. Western Chalukya kemudian digantikan oleh Dinasti Hoysala India (1184M-1343M). Berdasarkan Naskah Wangsakerta, pada masa pemerintahan raja ke-3 Taruma yaitu Purnawarman cucu Jayasimhawarman. Ia melakukan ekspansi besar-besaran. Pada awal abad ke-5M wilayah kekuasaan Purnawarman membentang dari Pandeglang sampai Purwalingga (Purbolinggo). Ibukota Kerajaan Taruma dalam prasasti disebutkan terletak antara sungai Gomati dengan sungai Candrabaga di daerah Bekasi sekarang. Pada masa pemerintahan purnawarman banyak dijumpai prasasti dengan Aksara Pallawa dan berbahasa Sansekerta misal prasasti Tugu (Bekasi), prasasti Munjul (Pandeglang), prasasti Kebon Kopi (Bogor), prasasti Ciaruteun (Bogor), prasasti Telapak Gajah (Bogor), prasasti Pasir Awi (Bogor), dan prasasti Jambu (Bogor). Berdasarkan Naskah Wangsakerta, pada masa pemerintahan raja ke-6 Taruma yaitu Candrawarman, ia pernah mengirim utusan ke Dinasti Liang China (502M-557M) pada tahun 528M dan 535M. Pada masa pemerintahan raja ke-7 Taruma yaitu Suryawarman terdapat sebuah prasasti Kebon Kopi 11 (536M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pallawa yang berisi pengembalian kekuasaan kepada para raja bawahan. Dalam berita Dinasti Liang China, Taruma disebut dengan Talomo. Bukti keberadaan Taruma adalah candi Jiwa bercorak Budha di Batujaya (Karawang) pada abad ke-7M. Berdasarkan analisis Karbon 14 terhadap artefak yang ditemukan di Batujaya diperkirakan umurnya yang paling tua berkisar pada abad ke-2M dan yang paling muda berkisar pada abad ke-12M. Kerajaan Taruma sendiri merupakan penerus dari Kerajaan Salaka (berdiri pada awal abad ke-2M). Di sekitar candi Jiwa juga ditemukan makam prasejarah yang berisi tengkorak manusia dan barang-barang artefak. Hal ini menunjukkan keterhubungan antara zaman prasejarah dengan zaman sejarah (abad ke-4M). Setelah menganut agama Hindu dan Budha, masyarakat Jawa yang sudah meninggal tidak lagi jenazahnya dimakamkan namun dibakar. Walaupun Hindu sudah datang pada abad ke-2M namun perkembangan Hinduisasi di Pulau Jawa baru signifikan pada abad ke-4M sedangkan agama Budha aliran Hinayana mulai masuk ke Jawa pada abad ke-5M. Seorang Pangeran India yang bernama Gunawarman ketika akan berlayar ke China, dia singgah di Pulau Jawa dan mulai menyebarkan agama Budha disana. Berdasarkan Naskah Wangsakerta, pada pemerintahan raja ke-12 Taruma yaitu Linggawarman, ia pernah mengrim utusan ke Dinasti Tang China pada tahun 666M. Dalam berita Dinasti Tang China Taruma disebut dengan Talomo. Tarusbawa dari Sunda (bawahan Taruma) menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman dari Taruma. Pada akhir abad ke-7M Tarusbawa memindahkan ibukota kerajaan dari Bekasi ke Bogor dan kemudian mendirikan Kerajaan Sunda. Pendirian Kerajaan Sunda dijadikan alasan oleh Wretikandayun dari Kendan (bawahan Taruma) untuk memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Dengan dukungan militer dari Kerajaan Kelingga Jawa. Wretikandayun menekan dan

menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Taruma dipecah menjadi dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Wretikandayun. Kemudian wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda (Tarusbawa) dan Kerajaan Galuh (Wretikandayun) sedangkan sungai Citarum (Karawang-Bandung) sebagai batasnya. Sedangkan Mandiminyak putra dari Wretikandayun dari Kendan berjodoh dengan Parwati putri dari Ratu Simha dari Kelingga Jawa. Menurut Naskah Wangsakerta, Ratu Simha bertahta di Kelingga Jawa menggantikan suaminya yaitu Kerta-simha (Kretaya-singha). Kerajaan Kendan dulunya bernama Galuh Purba (pertengahan abad ke-4M) yang terletak di Purbalingga. Pada pertengahan abad ke-6M ibukota Galuh Purba dipindahkan ke arah barat dari Purbalingga ke Kendan (Garut). Kerajaan Kendan ini didirikan oleh Manikmaya menantu dari Suryawarman (535M-561M) dari Taruma. Wretikandayun merupakan cicit dari Manikmaya dari Kendan. Pemindahan Galuh Purba ke Kendan (Garut) ini kemungkinan disebabkan ekspansi dari Kerajaan Kelingga Jawa pada pertengahan abad ke-6M. Jadi perbatasan Jawa dengan Sunda pada abad ke-6M adalah Cilacap. Sejak awal abad ke-4M banyak dijumpai prasasti berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pallawa dan menggunakan penanggalan (kalender) Saka. Aksara Pallawa berasal dari Kerajaan Pallawa India. Sedangkan kata Pallawa dalam bahasa Tamil India berarti yang menggunakan atau yang terpengaruh Sansekerta. Kebanyakan prasasti yang dikeluarkan oleh Kerajaan Pallawa berbahasa Prakit dan Sankrit (Sansekerta).Pada abad ke-6M pengaruh Pallawa India di Jawa sangat terlihat jelas pada prasasti yang dibuat yaitu prasasti Tukmas (akhir abad ke-6M) yang menggunakan Aksara Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Pada abad ke-8M Aksara Pallawa di Jawa mulai digantikan dengan Aksara Kawi (Jawa Kuno). Aksara Kawi sendiri merupakan turunan dari Aksara Pallawa. Nama penguasa Pallawa misalnya Skanda-warman 1 (akhir abad ke-3M), Skanda-warman 11 (awal abad ke-4M), Simha-warman 1 (327M350M), Simha-warman 1V (436M-450M), Simha-warman (awal abad ke-6M), Simha-wisnu-warman (536M-570M), Mahendra-warman 1 (570M-610M), Nara-simha-warman 1 (610M-648M), Mahendrawarman 11, Parameswara-warman 1, Mahendra-warman 111, Nara-simha-warman 11/Raja-simha (695M-728M), Parameswara-warman 11. Nama penguasa Western Satrap (Sakas) misalnya Bhumaka, Nahapana, Chastana (120M), Jaya-daman, Rudra-daman, Rudra-simha 1, Rudra-sena 1, Brata-daman, Rudra-sena 11, Wiswa-sena, Rudra-simha 11 (awal abad ke-4M), Rudra-simha 111 (388M-395M). Aswataman putra Maharesi Druna yang merupakan leluhur Dinasti Palllawa India kemungkinan berasal dari Western Satrap. Dinasti Pallawa sendiri pindah dari India utara ke India selatan pada masa Kerajaan Satawahana India. Dinasti Pallawa mulai menguat sejak runtuhnya Kerajaan Satawahana India pada awal abad ke-3M. Nama penguasa Jawa misalnya Selendra (649M), Kerta-simha (666M), Simha (674M), Nara-yana/Nara-simha (703M), Dewa-simha (Kanjuruhan, 720M), Gaja-yana (Kanjuruhan, 740M), Uttajena (Kanjuruhan, 760M), Sanna/Sena (710M), Sannaha, Sanjaya (717M), dam Sankhara kemungkinan berhubungan Western Satrap (Sakas) dan Pallawa (Pahlavas) India. Menurut Wartika dari Katyayana (abad ke-4 SM) bahwa Orang Sakah (Sakas) sudah memiliki hubungan perdagangan dengan Orang Parthavah (Parthian). Selendra sendiri dalam prasasti Sojomerto (pertengahan abad ke-7M) dipuja sebagai Batara Parameswara. Ratu Simha (674M-703M) dalam berita China disebutkan pernah mendapatkan ancaman dari Orang Tarshish. Dalam berita China kemudian disebutkan bahwa Orang Tarshish tidak jadi menyerang karena takut pada kepemimpinan Ratu Simha. Nara-simha-warman 11/Raja-simha (695M-728M) dari Pallawa dalam sebuah prasasti disebutkan bahwa dia menawarkan bantuan perang kepada suatu kerajaan yang melawan Orang Tarshish. Nara-simha-warman 1 (610M648M) dari Pallawa membangun sebuah candi di Mamalla-puram. Nara-simha-warman 11/Raja simha (695M-728M) dari Pallawa juga membangun sebuah candi yang besar di Maha-bali-puram. Sanjaya

(717M-746M) dari Medang Mataram sendiri mengeluarkan prasasti Canggal (732M) menggunakan Aksara Pallawa dan berbahasa Sansekerta dengan menggunakan penanggalan (kalender) Saka. Bentuk candi di Jawa pada abad ke-8M kemungkinan terpengaruh oleh arsitektur dari Pallawa India. Dalam sage Mahabarata diceritakan bahwa Kelingga India memihak pada Kurawa (Yavanas, Sakas, Pahlavas, Kambujas, Paradas, dll) ketika terjadi perang Barata melawan Pandawa (Satawahana). Kerajaan Kelingga India merupakan sebuah kerajaan maritime dan perdagangan. Para raja di Sri Langka dan Malwadewa sendiri mengklaim bahwa mereka merupakan keturunan dari Dinasti Kelingga India (berdiri pada abad ke-6 SM). Perdagangan merupakan penghubung antara Kelingga India dengan Panca-Ganah (Yavanas, Sakas, Kambujas, Pahlavas, Paradas). Kerajaan Kelingga India dan Panca Ganah inilah yang menemukan jalur perdagangan laut dari India ke China. Kerajaan Kelingga India dan Panca Ganah inilah yang memiliki keterkaitan dengan kerajaan di Asia Tenggara yaitu Jawa, Funan, Champa, Kamboja. Gautamiputra Satakarni (98M-119M) dari Satawahana India pernah berperang melawan Western Satrap (Sakas) dan Kelingga India. Pada tahun 119M Gautamiputra Satakarni berhasil mengalahkan Nahapana putra dari Bhumaka dari Western Satrap (Sakas). Pada tahun 150M Rudradarman dari Western Satrap berhasil mengalahkan Wasisthiputra Satakarni dari Satawahana. Yajna Satakarni (161M-190M) dari Satawahana berhasil memulihkan Kerajaan Satawahana kembali. Kerajaan Satawahana/Dinasti Satakarni (berdiri pada awal abad ke-3SM sampai awal abad ke-3M) mempunyai keterkaitan dengan tokoh Krishna dalam sage Mahabarata. Sedangkan Dinasti Ishwakus (berdiri pada awal abad ke-3M sampai awal ke4M) yang merupakan penerus Satawahana/Dinasti Satakarni yang mempunyai keterkaitan dengan tokoh Rama dalam sage Ramayana. Dinasti Ishwaku didirikan oleh Santamula 1 (220M). Dalam Ramayana disebutkan bahwa musuh Rama yaitu Dasamuka/Rahwana merupakan seorang raja dari Sri Langka (Alengka). Diceritakan bahwa ketika Rama mencari Sinta, ia bertualang sampai ke Yawadwipa/Jawadwipa. Kerajaan Pallawa India dikalahkan oleh Aditya Chola 1 (871M-907M) dari Chola India dan kemudian dijadikan sebagai bawahan Chola. Pada awal abad ke-13M Pallawa digantikan oleh Dinasti Kadawa yang mengaku sebagai keturunan Pallawa. Kopperunchinga 1 (1216M-1246M) dari Dinasti Kadawa berhasil mengalahkan Rajaraja Chola 111 dari Chola kemudian dijadikan bawahan Kadawa-Pallawa. Van der Mullen mengatakan bahwa Galuh berasal dari Kutai (Kalimantan Timur) yang pindah ke Jawa pada awal abad ke-4M sebelum berdirinya Dinasti Kudungga dan agama Hindu di Kutai Martadipura. Raja Kutai yang terkenal adalah cucu Kudungga yang bernama Mulawarman putra Aswawarman. Mulawarman adalah raja yang mengeluarkan prasasti Yupa (awal abad ke-5M) yang terdiri dari 7 buah. Menurut Nilakanta Sastri, Kudungga berasal dari Kerajaan Pallawa India. Nama Kutai merupakan nama daerah ditemukannya prasasti Yupa dan tidak diketahui nama sebenarnya dari Kerajaan itu. Jadi baik Kerajaan Kutai Martadipura (Kalimantan Timur) ataupun Kerajaan Tarumanagara (Jawa) berasal dari Kerajaan Pallawa India pada pertengahan abad ke-4M. Prasasti Purnawarman (395M-435M) dari Taruma, prasasti Mulawarman (400M) dari Kutai, dan prasasti Badrawarman (380M-413M) dari Champa merupakan prasasti beraksara Pallawa tertua di Asia Tenggara. Dalam berita China menyebutkan bahwa penguasa Funan bernama Shih li pa mo/Indrawarman (400M-435M). Kerajaan Kutai Martadipura sendiri sejak abad ke-6M tidak ditemukan lagi beritanya sampai abad ke-16M ketika ditaklukan Kerajaan Kutai Kartanagara. Pada abad ke-3M Kelompok Galuh Purba itu kemudian pindah ke Jawa dan mendarat di pantai Cirebon kemudian masuk semakin ke dalam sehingga sampai di lereng Gunung Ceremai. Ada yang menetap di lereng Gunung Ceremai dan juga ada yang meneruskan perjalanan hingga ke lereng Gunung Slamet. Penduduk yang menetap di lereng Gunung Ceremai (Kuningan) kemudian dikenal dengan Sunda dan penduduk yang menetap di lereng Gunung Slamet (Purbalingga) dikenal dengan Galuh

Purba. Berangsur-angsur Orang Sunda pindah ke arah barat yaitu ke Gunung Salak (Bogor). Menurut antropolog bahwa Orang Sunda hidup dengan berladang sedangkan Orang Jawa hidup dengan bertani. Berdasarkan mitos bahwa Suku Jawa dianggap lebih tua dari Suku Sunda karena Orang Jawa lebih dulu memdiami Pulau Jawa dibanding Orang Sunda yang pindah ke pulau Jawa pada abad ke-3M. Hanya terdapat beberapa prasasti yang menggunakan Bahasa Sunda Kuno misalnya prasasti Rumatak (1411M), prasasti Kawali (pertengahan abad ke-15M), prasasti Galuh (1470M), prasasti Batu Tulis (1533M), prasasti Kebantenan (pertengahan abad ke-16M). Ketiga prasasti yang pertama tersebut ditemukan di daerah Ciamis dibuat pada masa pemerintahan Niskala Wastu Kencana sedangkan prasasti Batu Tulis di daerah Bogor dibuat pada masa pemerintahan Baduga Maharaja. Prasasti Kawali, prasasti Rumatak dan prasasti Galuh berisikan tentang pembangunan ibukota kerajaan di Kawali. Kerajaan Sunda juga tidak pernah menjalin hubungan diplomatik dengan China. Dengan sedikitnya prasasti berbahasa Sunda Kuno sehingga menyebabkan kurangnya informasi akan Kerajaan Sunda. Informasi tentang Kerajaan Sunda kebanyakan berasal dari Carita Parahyangan (akhir abad ke-16M) dan Carita Ratu Pakuan (abad ke-17M). Pada abad ke-17M wilayah Parahyangan Sunda menjadi bagian dari Kesultanan Mataram Jawa. Menurut Rikjklof van Goens (1654M) yang merupakan seorang utusan VOC yang pernah datang ke ibukota Mataram. Dia melaporkan bahwa Mataram mempunyai basis militer dari Karawang hingga Blambangan. Di Cirebon, Mataram mempunyai basis kekuatan 100.000 prajurit. Di Blambangan, Mataram mempunyai basis kekuatan 20.000 prajurit. Di ibukota Mataram mempunyai basis kekuatan 500.000 prajurit. Total keseluruhan basis kekuatan Mataram di Jawa sekitar 920.000 prajurit dengan memiliki senapan api sekitar 115.000 buah. Van Goens menyebutkan bahwa pada tahun 1649M Amangku Rat hendak menyerang Banten dan Bali namun rencana ini ditentang oleh kaum Ulama yang disebutnya sebagai munafik fanatik. Kemudian beberapa Ulama berkerja sama dengan Pangeran Alit untuk menggulingkan Amangku Rat namun rencana ini gagal. Pangeran Alit kemudian dieksekusi. Sedangkan Ulama yang memihak Pangeran Alit dikumpulkan bersama keluarga dan kerabatnya di tengah alun alun. Setelah terkumpul kemudian Amangku Rat menyuruh prajuritnya untuk menembakkan meriam ke arah kumpulan tersebut. Van Goens yang menyaksikan pembantaian tersebut menyebutkan jumlah korban yang tewas sekitar 6000 orang. Sastra Jawa juga mempengaruhi perkembangan pada Sastra Sunda misal dalam Carita Waruga Jagad berbahasa Jawa (awal abad ke-18M) dan Carita Waruga Guru berbahasa Sunda (pertengahan abad ke-18M) dimana keduanya mempunyai isi yang hampir sama. Kedua naskah tersebut menyebutkan bahwa pendiri Majapahit bernama Banga sedangkan pendiri Pajajaran bernama Manara. Nama Banga dan Manara sendiri didasari dari legenda Ciung Wanara. Dalam legenda Ciung Wanara disebutkan bahwa Banga dan Manara adalah saudara seayah. Isi Waruga Jagad dan Waruga Guru juga tercantum nama-nama Sultan Mataram Jawa. Pengaruh itu diawali ketika pada tahun 1579M Kerajaan Pajajaran (penerus Kerajaan Galuh Sunda) runtuh akibat serangan dari Demak, Cirebon, Banten. Pada akhir abad ke-16M Kerajaan Pajajaran kemudian digantikan oleh Kerajaan Sumedang Larang yang dulunya merupakan bawahan Pajajaran. Sumedang Larang berdiri pada akhir abad ke-14M dan menjadi wilayah otonomi setelah Kerajaan Galuh dibawah naungan Kerajaan Majapahit Jawa. Jadi pada akhir abad ke-16M di Sunda ada tiga Kerajaan yaitu Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon dan Kerajaan Sumedang. Wilayah Kesultanan Banten in meliputi Karesidenan Banten. Wilayah Kesultanan Cirebon meliputi Karesidenan Cirebon. Wilayah Kerajaan Sumedang ini meliputi Karesidenan Parahyangan. Pada akhir abad ke-16M Kerajaan Sumedang Larang dan Kesultanan Cirebon diserang oleh Kesultanan Mataram Jawa dan wilayahnya kemudian dianeksasi. Pada tahun 1597M Kesultanan Mataram Jawa menyerang Kesultanan Banten namun gagal dimana kejadian tersebut disaksikan oleh para pelayar Belanda. Dalam Naskah Wangsakerta (awal abad ke-20M) disebutkan bahwa Dyah Lembu Tal menikah

dengan Jayadharma putra Dharmasiksa yang kemudian melahirkan Wijaya (pendiri Majapahit) sedangkan Carita Parahyangan (akhir abad ke-16M) sendiri tidak terdapat nama Jayadharma dan Dharmasiksa. Nama Dharmasiksa sendiri diambil dari teks Siksakanda (awal abad ke-16M). Dalam Kakawin Negarakertagama (1365M) karya Mpu Prapanca disebutkan bahwa Dyah Lembu Tal bukanlah seorang perempuan melainkan laki-laki, dia merupakan putra dari Narasinghamurti (Pararaton menyebut dengan nama Mahisa Cempaka) dan menjadi panglima perang dari Maharaja Dhiraja Kertanagara dari Tumapel. Narasinghamurti (Mahisa Cempaka) sendiri merupakan putra dari Parameswara (Mahisa Wunga Teleng). Dan Parameswara (Mahisa Wunga Teleng) merupakan putra dari Rajasa. Ketika Rajasa berkuasa di Tumapel tahun 1222M, Parameswara ditunjuk oleh ayahnya sebagai Yuwaraja di Daha. Cerita dari Kakawin Negarakertagama tersebut diperkuat dengan adanya prasasti Balawi (1305M) yang menyatakan bahwa Wijaya merupakan keturunan dari Rajasa. Jadi cerita dari Negarakertagama lebih dapat dipercaya karena ditulis 56 tahun setelah Wijaya meninggal. Dalam Negarakertagama disebutkan pada saat pemerintahan Maharaja Kartanagara dari Tumapel pernah menaklukan Sunda. Kemungkinan pada saat itu yang menjadi panglima dari Kerajaan Tumapel adalah Dyah Lembu Tal. Isi Naskah Wangsakerta sendiri dipengaruhi oleh cerita dalam Babad Tanah Jawi (1788M) yang menyebutkan bahwa pendiri Majapahit yaitu Wijaya disebut dengan nama Jaka Sesuruh. Dalam Babad Tanah Jawi juga terdapat nama Banga merupakan saudara dari Jaka Sesuruh. Diceritakan bahwa Banga diserang oleh Manara kemudian dia meminta bantuan kepada saudaranya yaitu Jaka Sesuruh. Dalam Babad Tanah Jawi, Banga dan Jaka Sesuruh merupakan keturunan dari Kuda Laleyan dari Kahuripan. Diceritakan bahwa Kuda Laleyan merupakan putra dari Panji dari Kahuripan (Jenggala) dengan Candra Kirana dari Daha (Panjalu/Kadiri). Dalam kenyataan sejarahnya bahwa Panji berasal dari Daha (Kadiri) sedangkan Candra Kirana berasal dari Kahuripan (Jenggala). Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa Kuda Lalean pergi ke barat dan menjadi raja di Pajajaran. Kemungkinan ketika Panjalu/Kadiri diserang oleh Tumapel pada tahun 1222M, banyak bangsawan Panjalu/Kadiri yang melarikan diri ke arah barat ke Kerajaan Galuh dan kemudian mendirikan Kerajaan Panjalu Ciamis. Pada masa pemerintahan Maharaja Kartanagara dari Singosari (Tumapel), disebutkan bahwa wilayah kekuasaannya membentang hingga ke Sunda. Sebelumnya pada masa Maharaja Dhiraja Wisnuwardhana dari Tumapel juga pernah melakukan penyatuan Mandala Jawa kemungkinan dengan melakukan ekspansi ke Galuh dan Sunda seperti halnya pada zaman Maharaja Airlangga dimana pada waktu itu Haji Sunda yang bernama Jayabupati merupakan salah satu mandala dari Kerajaan Kahuripan sehingga Jayabupati mendapat gelar Mandalaswara sedangkan Airlangga bergelar Lokaswara (pusat dari Mandala). Sedangkan isi cerita dalam Babad Tanah Jawi sebelum abad ke-15M atau sebelum adanya pengaruh Islam (zaman Demak), kurang dapat dipercaya untuk menverifikasi isi babad diperlukan informasi dari teks Jawa Kuno dari zaman Majapahit misal Pararaton (awal abad ke-16M) dan Kakawin Negarakertagama (1365M). Cerita tentang Jaka Sesuruh dalam Babad Tanah Jawi (akhir abad ke-18M) kemungkinan dipengaruhi isi dari Carita Waruga Jagad (awal abad ke18M). Menurut Waruga Jagad (awal abad ke-18M) cerita mengenai Banga dan Manara berasal dari zaman Majapahit, sedangkan menurut Naskah Wangsakerta (awal abad ke-20M) cerita mengenai Banga dan Manara berasal dari zaman Mataram Kuno. Menurut Naskah Wangsakerta, Sanjaya dari Mataram berhasil menguasai Pulau Jawa kemudian keturunannya yang bernama Banga menguasai wilayah barat (Sunda) sedangkan Manara menguasai wilayah timur (Galuh) dengan batasnya adalah sungai Citarum. Di dalam prasasti Wanua Tengah (908M) juga terdapat nama Manara yaitu Maharaja Rakai Warak Dyah Manara (803M-827M) dari Kerajaan Medang i Mataram yang merupakan keturunan dari Sanjaya (717M). Kemungkinan pembagian wilayah ini terjadi pada zaman Rakai Warak Dyah Manara. Pada abad ke-19M Sastra Sunda sendiri khususnya di Cirebon terpengaruh oleh Sastra Jawa Surakarta. Pengaruh ini

terlihat dari Serat Parwa (akhir abad ke-19M) dan Naskah Wangsakerta berbahasa Jawa dengan Aksara Jawa yang ditemukan di Cirebon dan ditulis sekitar awal abad ke-20M. Naskah Wangsakerta juga mendasari ceritanya dari Carita Parahyangan (akhir abad ke-16M) yang berisi sejarah awal Sunda hingga akhir Kerajaan Pajajaran akibat serangan Kesultanan Demak, Cirebon, dan Banten (akhir abad ke-16M). Dalam Carita Parahyangan tidak mengenal Kerajaan Taruma. Sedangkan menurut Naskah Wangsakerta (awal abad ke-20M) Kerajaan Sunda Galuh merupakan penerus Kerajaan Taruma. Nama Taruma baru dikenal pada akhir abad ke-19M setelah ditemukan prasasti tentang kerajaan itu. Dalam Carita Parahyangan tidak mengenal nama Tarusbawa. Selain sejarah Kerajaan Sunda, naskah ini juga menceritakan sejarah Kerajaan Jawa sejak zaman Kelingga sampai Majapahit. Namun demikian naskah ini tidak mencantumkan sejarah Kerajaan Tumapel. Para sejarawan sendiri meragukan isi Naskah Wangsakerta khususnya sebelum abad ke-15M untuk dijadikan sebagai sumber sejarah karena tidak ada adanya bukti yang mendukungnya misal prasasti yang beraksara Sunda Kuno ataupun naskah kuno. Prasasti tertua berbahasa Sunda Kuno dengan Aksara Sunda Kuno sendiri berasal dari abad ke-15M sedangkan naskah kuno Sunda tertua berasal dari abad ke-16M. Hal itu berbeda dengan Kerajaan Bali yang terdapat banyak prasasti dari pertengahan abad ke-9M hingga pertengahan abad ke-14M. Bukti lain keberadaan Kerajaan Galuh adalah candi Cangkuang (Garut) bercorak Hindu yang memiliki tipikal yang sama dengan candi Dieng Jawa yang dibuat pada awal abad ke-8M. Candi Cangkuang merupakan candi satu-satunya peninggalan Kerajaan Galuh. Nama asli dari Negarakertagama adalah Desawarnana (penjelasan mengenai keadaan negara) sebuah nama yang diberikan oleh pengarangnya sendiri. Nama Prapanca merupakan sebuah nama samaran dari pengarangnya. Nama Prapanca dalam Bahasa Sansekerta berarti kesedihan, rintangan terhadap laku utama (kesesatan, kesombongan, kenginan). Pengarang Negarakertagama sendiri mengakui bahwa dia menggunakan nama samaran Prapanca karena merasa dirinya cacat/tercela. Dia sendiri memberikan arti nama Prapanca sebagai pra-lima yaitu Prapanca, Pracacah, Pracacad, Prapongpong, dan Pracongcong. Cara berbicaranya lucu, matanya terlinyap, kalau tertawa terbahak-bahak, terlalu bodoh untuk menerima tutur/nasihat, tidak patut ditiru, lebih baik dipukuli saja. Menurut Slamet Mulyana, nama asli dari Prapanca adalah Nadendra (Nada-Indra). Disebutkan bahwa nama asli dari Prapanca terdiri dari pancaksara (lima huruf). Kata Nadendra sendiri terdiri dari lima huruf yaitu Na Da Na Da Ra. Di Negarakertagama juga terdapat nama Mpu Wi-nada. Dia merasa tidak pantas menyandang nama Nadendra (sebuah nama yang bagus sekali) karena itulah dia memakai nama samaran yaitu Prapanca. Menurut Slamet Mulyana, Nadendra merupakan seorang mantan Dharmadhayaksa Kasogatan (Jaksa untuk pemeluk agama Budha) di Majapahit pada tahun 1358M. Dia menduduki jabatan Dharmadhayaksa Kasogatan sebagai ketika masih muda sebagai pengganti dari kedudukan ayahnya yang juga seorang Dharmadhayaksa. Disebutkan bahwa dia ketika masih kecil menyukai kakawin seperti halnya ayahnya. Pada tahun 1359M, Prapanca/Nadendra pernah ikut dalam sebuah rombongan plesir/piknik Maharaja Dyah Hayam Wuruk ketika sedang berkeliling ke wilayah Kerajaan Majapahit. Pengalaman itulah yang dikenang oleh dia saat membuat sebuah kakawin Negarakertagama/Desawarnana. Dalam sebuah prasasti disebutkan bahwa Nadendra merupakan seorang yang putus (khatam) ilmu. Menurut Slamet Mulyana, Nadendra dipecat dari jabatannya karena adanya fitnah/celaan terhadap dirinya yang dilakukan oleh seorang bangsawan. Pengarang Negarakertagama yaitu Prapanca mengakui bahwa dirinya dicela oleh seorang Dyah (Bangsawan). Namun dia tidak marah terhadap orang yang mencelanya itu. Kemungkinan fitnah yang ditujukan terhadapnya adalah mengenai harta kekayaannya yang banyak. Dalam Negarakertagama disebutkan bahwa setelah berhenti dari jabatan sebagai Dharmadhayaksa, dia mendermakan semua harta miliknya untuk kaum miskin. Kemudian menjadi seorang pertapa di desa

terpencil di Kamalasana, di lereng sebuah gunung. Tempat dia berperang melawan hawa nafsunya untuk mencapai nirwana. Nama Kamalasana dalam Bahasa Sansekerta berarti Karangasem. Di daerah Karangasem Bali dan Klungkung Bali juga terdapat kakawin Negarakertagama seperti halnya yang terdapat di Mataram Lombok. Ketika pertama kali tinggal di desa yang terpencil, dirinya merasa kikuk, berbeda dengan suasana di ibukota dekat Maharaja. Disebutkan bahwa ketika dirinya masih muda, dia sering menemui Hayam Wuruk. Dia merupakan teman sepermainan dari Hayam Wuruk saat masih kecil. Dia menggubah Kakawin Negarakertagama sebagai pujian untuk Maharaja Hayam Wuruk agar kerajaannya damai dan tentram. Dia memakai nama samaran supaya ciri-cirinya tidak mudah dikenali banyak orang. Dia tidak berharap kakawinnya sampai pada tempat Maharaja karena memang dirinya berada di tempat terpencil. Dan apabila kakawin ini sampai juga di tangan Maharaja, dia berharap Maharaja mengenalinya dan mengenangnya. Menurut Slamet Mulyana, Prapanca ingin dirinya diangkat kembali sebagai Dharmadhayaksa Kasogatan oleh Maharaja Hayam Wuruk. Namun ada rintangan yang menghalanginya kembali menduduki jabatannya. Menurut Slamet Mulyana rintangan itu adalah Mahapatih Gajah Mada, karena kakawin Negarakertagama diselesaikan pada tahun 1365M setelah kematian Gajah Mada pada tahun 1364M. Menurut Slamet Mulyana, kakawin ini tidak sampai ke tangan Maharaja Hayam Wuruk karena kakawin ini tidak terkenal di Jawa. Berbeda dengan keadaan di Bali dimana kakawin ini tersebar dan disimpan di tempat-tempat yang suci. Mungkin nama Prapanca tidak sampai ke telinga Hyam Wuruk pada abad ke-14M namun namanya akan dikenal dan dikenang berabadabad setelah kematiannya. Pada pertengahan abad ke-8M Sriwijaya dikuasai oleh Wangsa Sailendra dari Jawa dengan rajanya bernama Dharanindra. Kemudian Balaputradewa cucu Dharanindra/Sangramadhanamjaya menjadi raja Sriwijaya berdasarkan prasasti Nalanda. Pada abad ke-10M Lampung dan Barus (terletak di pesisi barat Sumatra) lebih dominan dipengaruhi Medang Jawa dibanding Sriwijaya dibuktikan dengan adanya prasasti Hujung Langit (Lampung, 997M). Pada abad ke-10M terjadi persaingan antara Jawa dengan Sriwijaya dalam memperebutkan dominasi selat Malaka seperti yang disebutkan dalam buku Tao Chih Lio oleh Wang Ta Yan dan yang memuncak pada tahun 990M saat pasukan Dharmawangsa Teguh dari Medang menyerang ke Palembang (Sriwijaya) dan mendudukinya sebentar sampai awal abad ke11M sebelum Sriwijaya ditaklukkan oleh Kerajaan Chola India pada tahun 1025M. Penaklukan Chola menyebabkan Wangsa Sailendra di Sriwijaya runtuh dan perlahan-lahan pusat pemerintahan mulai bergeser dari Palembang ke Jambi pada akhir abad ke-11M. Bukti arkeologi di Kerajaan Barus (berdiri pada abad ke-9M) menunjukkan bahwa Barus tidak dibawah pengaruh Sriwijaya melainkan berhubungan dengan Kerajaan Jawa. Bukti pengaruh Jawa di Barus, misalnya temuan koin Jawa Kuno, prasasti berbahasa Jawa Kuno dan artefak dari zaman Kadiri. Menurut sejarawan, pada masa itu yang memakai mata uang koin dalam perdagangan adalah Jawa dan Barus. Seperti halnya dengan Kerajaan Jawa, Kerajaan Barus ini juga memiliki hubungan perdagangan yang erat sekali dengan para pedagang CholaIndia. Dibuktikan dengan adanya prasasti Lobu Tua (1088M) berbahasa Tamil dengan Aksara Tamil di Barus. Di Pennai (berdiri pada abad ke-10M) juga ditemukan sebuah percandian bernama Candi Bahal. Candi ini didirikan pada abad ke-11M. Diperkuat dengan adanya prasasti Gunung Tua (abad ke-11M) di Padang Lawas yang menggunakan bahasa Malayu Kuno dengan Aksara Kawi (Jawa Kuno) yang ditemukan di sekitar Candi Bahal. Selain itu di Pasaman juga ditemukan artefak berupa ukiran Ganesha yang memiliki gaya Jawa zaman Kadiri pada abad ke-12M. Lambang Ganesha merupakan lambang pasukan (seal) Kerajaan Panjalu/Kadiri yang membuktikan adanya pengaruh Jawa. Pada awal abad ke12M pengaruh Chola India di Sumatra dan Semenanjung Malaya mulai menghilang. Di Semenanjung Malaya setelah pengaruh Chola menghilang, raja Kedah mulai beralih dari agama Hindu ke Islam pada

tahun 1160M (berdasarkan Hikayat Kedah awal abad ke-19M). Sedangkan di Sumatra setelah pengaruh Chola menghilang, muncul Wangsa Mauli mulai mengambil alih kekuasaan di Malayu (Jambi). Bukti keberadaan Wangsa Mauli dapat dilihat dari adanya nama Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa dalam prasasti Grahi (1183M) berbahasa Malayu Kuno dengan Aksara Kawi (Jawa Kuno). Nama Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa mungkin merupakan leluhur dari Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa dari Malayu (Dharmasraya) dalam prasasti Padang Roco (1286M). Nama Srimat sendiri berarti Tuan Pendeta, tidak diketahui dengan pasti apakah ada kebangkitan kaum pendeta. Sejak tahun 1178M Kaisar Dinasti Sung China melarang utusan dari San-fo-tsi untuk datang lagi ke China. Dalam buku Ling-wai Tai-ta oleh Chou Ku Fei (1178M) disebutkan bahwa terdapat dua kerajaan besar di Nusantara yaitu San fo Tsi (Sumatra) dan Shepo (Jawa). Menurut buku tersebut negara kaya selain China secara berurutan adalah Tarshish, Shepo (Jawa), San Fo Tsi (Sumatra). Dalam buku Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua (1225M) disebutkan San-fo tsi menguasai pesisir timur Sumatra dan Semenanjung Malaya sedangkan Shepo menguasai Kalimantan dan Nusantara bagian Timur. Disebutkan bahwa San-fo-tsi memiliki beberapa daerah bawahan, yaitu Kia-lo-hi (Grahi/Surat Thani), Tan-ma-lin (Tambalingga/Nakhon Thammarat), Pa-ta (Pathalung), Fo-lo-an (Kuala Berang), Ling-ya-si-kia (Langkasuka/Pattani), Ki-lan-tan (Kelantan), Tong-ya-nong (Trengganu), Pong-fong (Pahang), Tsien-mai (Saimwang), Ji-lo-ting (Jelotung/Penang), Sin-to (Sunda), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), Lan-mu-li (Lamuri/Banda Aceh), dan Si-lan. Dari daftar tersebut dapat diketahui bahwa Sriwijaya menguasai pantai timur Sumatra sedangkan kerajaan di pantai barat Sumatra seperti Barus dan Pennai tidak disebut sama sekali. Kemungkinan wilayah tersebut di luar pengaruh Sriwijaya. Selain itu dari daftar tersebut juga diketahui bahwa pada awal abad ke-13M. Kesultanan Pasai (berdiri pada akhir abad ke-13M) dan Kesultanan Haru (berdiri pada awal abad ke-14M) belum berdiri sedangkan Kesultanan Perlak (berdiri pada pertengahan abad ke-12M) mungkin juga belum menjadi pelabuhan yang besar. Dalam buku Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua (1225M) disebutkan Shepo (Jawa) memiliki beberapa daerah bawahan yaitu Pai-hua-yuan, Ma-tung, Jung-ya-luh, Ta-pen, Ta-kang, Tan-jung-wu-lo, Ma-li, Ping-yai, Ku-lun, Ti-wu, Wu-nu-ku, Huang-ma-chu, Hi-ning, Jeng-gi. Kerajaan Kadiri juga memiliki angkatan laut yang dipimpin oleh seorang Senopati Sarwwajala (Laksamana) dalam prasasti Jaring (1181M). Sejak awal abad ke-8M hingga runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, tidak pernah lagi dijumpai prasasti berkaitan dengan Sriwijaya. Tidak seperti pada akhir abad ke-7M saat pemerintahan Dapunta Hyang Jayanasa yang banyak mengeluarkan prasasti yang berbahasa Malayu Kuno dengan Aksara Pallawa. Tidak adanya bukti prasasti tersebut menyebabkan kekurangan informasi akan kondisi internal Sriwijaya. Nama-nama yang diperoleh dari berita Dinasti Sung China tersebut bukanlah nama para Maharaja sebenarnya melainkan hanya nama duta ataupun raja bawahan (bergelar Haji) yang diutus oleh Maharaja Sriwijaya ke China. Nama-nama Maharaja Sriwijaya kebanyakan diperoleh dari India misal Cula-maniwarman, Mara-wijaya-tungga-warman, dan Sangrama-wijaya-tungga-warman dalam prasasti Chola India (1044M). Prasasti tersebut dibuat oleh Maharaja Rajendra Chola 1 dari Chola India setelah mengalahkan Sriwijaya. Jika melihat gelar Tungga yang dipakai oleh Maharaja Sriwijaya kemungkinan mendapatkan pengaruh dari Jawa. Dalam prasasti Kanton China (1079M) yang dibuat oleh Maharaja Kulothunga Chola 1 (1070M-1118 M) dari Chola India dalam rangka peresmian sebuah candi Budha di Kanton yang dibuat atas nama Sriwijaya. Maharaja Chola India sendiri beragama Hindu. Kulothunga Chola 1 dari Chola India juga pernah mengirim utusan ke Dinasti Sung China pada tahun 1077M. Pada tahun 717M, Sanjaya naik tahta Kerajaan Medang menggantikan pamannya yaitu Sanna. Pada tahun 717 Masehi atau 639 Saka digunakan sebagai permulaan dari penanggalan/kalender Sanjaya

yang dibuat pada masa pemerintahan Maharaja Mpu Daksa dari Medang. Kerajaan Medang beribukota di Mataram berdasarkan prasasti Canggal (732M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pallawa. Di dalam prasasti itu Sanjaya dikenal sebagai seorang yang ahli perang dan menguasai kitab suci yang menyatukan Jawa kembali setelah terjadi kekacauan akibat meninggalnya raja pendahulu yang bernama Sanna. Penggambaran Sanjaya (abad ke-8M, pendiri Kerajaan Medang) sebagai Raja-Resi atau Ratu-Pandhita mirip dengan penggambaran Purnawarman (abad ke-5M, Kerajaan Taruma), Airlangga (abad ke-11M, pendiri Kerajaan Panjalu/Kadiri), Sangramawijaya (abad ke-14M, pendiri Kerajaan Majapahit), dan Sutawijaya (abad ke-17M, pendiri Kesultanan Mataram Jawa) bahkan Soekarno (abad ke-20M, pendiri Republik Indonesia). Dalam Babad Tanah Jawi, Sutawijaya digambarkan sebagai raja dan panglima perang sekaligus pemimpin agama yang memiliki spiritualitas tinggi dan menyatukan kerajaan kembali. Hal ini dapat dilihat dari gelar yang dipakai Sultan Agung yaitu Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrakusuma Senopati ing Ngalaga Abdurrahman Sayiddin Panatagama Khalifatullah yang berarti panglima perang, pelayan Tuhan, pemimpim agama, dan wakil Tuhan. Sultan Agung sendiri ingin menjadi Gung Binatara seperti halnya penguasa Singosari dan Majapahit yang memakai gelar Batara. Orang Belanda myebutnya sebagai Kaiser von Mataram Java (Kaisar i Jawi). Menuru Carita Parahyangan (akhir abad ke-16M), Sanjaya pernah menyerang Malayu. Sejak tahun 730M, Kerajaan Sriwijaya tidak diketahui beritanya lagi baik dalam bentuk prasasti maupun berita dari China. Pada tahun 960M hubungan diplomatik antara Sriwijaya dengan China muncul kembali sejak awal berdirinya Dinasti Sung China (pertengahan abad ke-10M) yang kali ini disebut sebagai San Fo Tsi bukan lagi Shih Li Fo Tsi seperti pada awal abad ke-8M. Pada abad ke-8M selain Kerajaan Medang ada sebuah kerajaan di Jawa bernama Kanjuruhan (Malang). Raja Kanjuruhan bernama Gajayana putra Dewasimha hal tersebut didasarkan pada prasasti Dinoyo (Malang, 760M) berbahasa Jawa Kuno dengan Aksara Kawi (Jawa Kuno). Prasasti tersebut lebih muda sepuluh tahun dari prasasti Plumpungan (Salatiga, 750M) berbahasa Jawa Kuno dengan Aksara Kawi. Dalam prasasti Canggal (732M) disebutkan bahwa Sanjaya putra Sannaha menggantikan kedudukan pamannnya yaitu Sanna. Dikatakan bahwa sepeninggalan (meninggal) Sanna, kerajaan menjadi terpecah.. Kemudian Sanjaya dapat menyatukan kerajaan kembali dan mendirikan kerajaan baru bernama Medang. Ketika Sanjaya mendirikan Kerajaan Medang kemungkinan Gajayana putra Dewasimha ini pindah ke arah timur dan mendirikan Kerajaan Kanjuruhan. Dalam prasasti Dinoyo (760M), Gajayana disebutkan mempunyai seorang putri bernama Uttajena yang menikah dengan Jananiya. Dapat dipastikan bahwa pada tahun 760M Gajayana telah meninggal. Prasasti Dinoyo merupakan satu-satunya prasasti peninggalan Kerajaan Kanjuruhan dan setelah itu tidak diketahui beritanya lagi. Pada pertengahan abad ke-8M Kanjuruhan ini kemungkinan dianeksasi oleh Kerajaan Medang pada masa Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana putra Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Rakai Panangkaran merupakan penguasa pertama di Medang yang memakai gelar Maharaja. Bukti lain keberadaan Kerajaan Kanjuruhan adalah candi Badut (Malang) bercorak Hindu yang dibuat pada masa pemerintahan raja Gajayana. Candi Badut memiliki tipikal yang sama dengan candi Gedong Songo (Ungaran/sebelah utara Salatiga) yang dibuat pada masa Sanjaya dari Medang. Prasasti tertua lain yang memakai bahasa Jawa Kuno dengan Aksara Kawi adalah prasasti Sukabumi (Kadiri, 804M). Bosch dalam karangannya yang berjudul Sriwijaya, de Sailendrawamsa en de Sanjayawamsa (1952M). Ia menyebutkan bahwa, di Kerajaan Medang terdapat dua Dinasti yang berkuasa, yaitu Dinasti Sanjaya dan Sailendra. Istilah Wangsa Sanjaya merujuk kepada nama pendiri Kerajaan Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa, dan berkiblat ke Kunjaradari di daerah India.

Maharaja selanjutnya ialah Rakai Panangkaran yang dikalahkan oleh Dinasti lain bernama Wangsa Sailendra. Sejak saat itu di Medang terdapat dua Dinasti yaitu Sanjaya (di utara Jawa) dan Sailendra (di selatan Jawa). Sampai akhirnya seorang putri mahkota Sailendra yang bernama Pramodawardhani (putri Maharaja Samaratunggadewa) menikah dengan Rakai Pikatan, seorang keturunan Sanjaya. Rakai Pikatan kemudian mewarisi takhta mertuanya. Dengan demikian, Wangsa Sanjaya kembali berkuasa di Medang. Bosch juga memberikan daftar silsilah para Maharaja Wangsa Sanjaya, sekaligus juga silsilah keluarga mulai dari Sanjaya sampai Balitung. Daftar Wangsa Sanjaya berdasarkan prasasti Mantyasih (907M) oleh Bosch: Rakai Mataram Sanjaya Rakai Panangkaran Rakai Panunggalan Rakai Warak Rakai Garung Rakai Pikatan Rakai Kayuwangi Rakai Watuhumalang Rakai Watukura Asumsi yang dipakai oleh Bosch adalah bahwa nama rakai adalah nama silsilah wangsa. Tetapi banyak sarjana lain yang menolak teori ini contohnya Slamet Mulyana. Menurutnya, daftar tersebut bukanlah silsilah Wangsa Sanjaya, melainkan daftar para Maharaja yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang. Nama Rakai itu sendiri seperti nama Batara (Bre) dalam zaman Majapahit yang berarti (Penguasa di atau Pejabat di) misalnya Bre Kahuripan, Bre Daha, Bre Tumapel, Bre Kertabumi ataupun nama Adipati pada zaman Islam misalnya Adipati Demak, Adipati Pajang, Adipati Mataram. Biasanya sebelum menjadi Maharaja lebih dahulu menjadi penguasa daerah yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Maharaja yang masih menjabat. Misal Fatah (Adipati Demak) mendirikan Kesultanan Demak, Hadiwijaya (Adipati Pajang) mendirikan Kesultanan Pajang, dan Sutawijaya (Adipati Mataram) mendirikan Kesultanan Mataram. Menurut berita China dari Dinasti Tang bahwa Kerajaan Medang dipimpin oleh seorang Maharaja yang mempunyai 28 daerah bawahan yang merupakan wilayah ke-rakaian. Dalam pusat pemerintahan, Maharaja Medang dibantu oleh 4 Rakaian Mahamantri Katrini yang dijabat keluarga Maharaja yaitu Rakaian i Hino, Rakaian i Halu, Rakaian i Sirikan, dan Rakaian i Wika yang merupakan jabatan untuk keluarga Maharaja. Selain itu ada Mantri yang kedudukannya dibawah kedudukan Mahamantri. Dewan Mantri ini disebut dengan nama Rakaian Mantri Pakira-kiran yang dipimpin seorang Mahapatih (Perdana Menteri), Dewan Mantri itu misalnya Rakaian i Kanuruhan, Rakaian i Rangga dan Rakaian i Demung. Bosch juga mengatakan bahwa pendiri Wangsa Sailendra bernama Bhanu berdasarkan prasasti Plumpungan (Salatiga,750M) berbahasa Jawa Kuno dengan Aksara Kawi (Jawa Kuno). Bhanu kemudian mengalahkan Maharaja Rakai Panangkaran. Padahal dalam prasasti itu Bhanu hanya disebutkan memberikan sebidang tanah perdikan dengan persetujuan dari Sang Sidhadewi. Kemungkinan besar ia hanya menjabat sebagai bawahan pada Kerajaan Medang. Dan Bhanu sendiri tidak bergelar Maharaja namun hanya bergelar Haji (gelar setingkat dibawah Maharaja). Analisis Slamet Mulyana terhadap beberapa prasasti, misalnya prasasti Kelurak, prasasti Kayumwungan, prasasti Siwagraha, dan prasasti Nalanda menyimpulkan bahwa Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Alasan yang

dipakai adalah bahwa Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana sendiri bergelar Sailendrawamsatilaka (Permata Wangsa Sailendra) berdasarkan prasasti Kalasan (778M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pranagari/ Siddham. Jadi Slamet Mulyana, menolak pendapat bahwa Rakai Panangkaran dikalahkan Wangsa Sailendra karena Panangkaran sendiri merupakan anggota Wangsa Sailendra. Dalam prasasti Mantyasih (907M) Rakai Panangkaran merupakan penerus Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Para penguasa Jawa dulu memakai gelar Ratu sebelum memakai gelar Maharaja misal Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Setelah masa pemerintahan Rakai Panangkaran Dyah Pancapana dan seterusnya, para pengusa Jawa memakai gelar Maharaja. Baik kata Ratu (prasasti Canggal) dan Datu (prasasti Talaga Batu) berasal dari bahasa Sansekerta dan mempunyai arti yang sama dengan Raja. Dalam prasasti Mantyasih (907M) dikatakan bahwa Maharaja Rakai Panangkaran (prasasti Kalasan, 778M) digantikan oleh Maharaja Rakai Panunggalan. Menurut Slamet Mulyana, Maharaja Rakai Panunggalan identik dengan Dharanindra/Sangramadhanamjaya dalam prasasti Kelurak (782M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pranagari/Siddham. Menurut Slamet Mulyana pada masa pemerintahan Dharanindra dari Wangsa Sailendra penguasa Kerajaan Medang pada abad ke-8M menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menjadikannya sebagai raja bawahan didasarkan pada prasasti Kelurak (782M), prasasti Ligor B, prasasti Nalanda India. Kemudian Dharanindra menyerang Kerajaan Chenla-Kamboja dan Champa hal ini didasarkan pada prasasti Ligor sisi B dan diperkuat dengan adanya catatan Kerajaan Khmer-Kamboja (berdiri pada awal abad ke-9M) yaitu prasasti Sdok Kak Thom dan Kerajaan Champa (berdiri pada awal abad ke-3M dan menjadi Kerajaan Hindu pada awal abad ke-5M) yaitu prasasti Po Nagar. Ligor terletak di Nakhon Thammarat yang dulunya bernama Tambralingga (berdiri pada abad ke-8M). Disebutkan bahwa pada tahun 782M, pihak Jawa pernah menyerang Champa (prasasti Po Nagar). Dan Ada seorang pangeran Chenla dibawa ke Jawa yang bernama Jayawarman (prasasti Sdok Kak Thom). Ketika kembali ke Chenla dia mendirikan Kerajaan Khmer dan melepaskan diri dari Jawa pada tahun 802M. Sebelumnya dalam berita China disebutkan bahwa pada tahun 767M daerah Tonkin (Annam) pernah diserang oleh Chopo (Jawa) namun dapat dipukul mundur oleh Gubernur China di Tonkin yang bernama Chang Po Yi. Kemungkinan penyerangan ini dilakukan oleh Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana dari Medang. Menurut Coedes, prasasti Ligor A dan B dibuat pada waktu sama. Menurut Slamet Mulyana, prasasti Ligor A dan prasasti Ligor B sendiri mempunyai perbedaan dalam tata bahasa yang digunakan. Hal ini menunjukan bahwa waktu pembuatan antara prasasti Ligor A dan prasasti Ligor B berbeda. Prasasti Ligor A (775M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pallawa dibuat oleh seseorang (tidak diketahui namanya). Sedangkan dalam prasasti Ligor B (dibuat sekitar tahun 775M sampai 782M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pallawa dibuat oleh seseorang yang dipuja bagaikan Dewa Wisnu. Nama Wisnu sendiri mempunyai arti yang sama dengan nama Dharanindra dalam prasasti Kelurak (782M) yaitu pelindung dunia. Dharanindra sendiri mempunyai nama abhiseka yaitu Sri Sang-rama-dhanamjaya (prasasti Kelurak, 782M). Dalam mitogi Hindu, Sang Rama merupakan jelmaan dari Dewa Wisnu. Nama Wisnu pada prasasti Ligor B mempunyai julukan Sarwwarimawimathana, Dharanindra/Sangramadhanamjaya pada Prasasti Kelurak (782M) mempunyai julukan Wairiwarawiramardana, dan kakek dari Balaputradewa putra Samaragrawira dalam prasasti Nalanda mempunyai julukan Wirawairimathana dimana ketiga nama julukan itu mempunyai arti yang sama yaitu pembunuh musuh musuh perwira. Dalam prasasti Nalanda, kakek dari Balaputradewa disebut sebagai anggota Wangsa Sailendra dari Yawabhumi (Jawa) sedangkan Balaputradewa sendiri menyebut dirinya sebagai Maharaja dari Swarnadwipa (Sumatra). Menurut Coedes, tokoh Wisnu dan Maharaja yang berjulukan Sarwwarimawimathana yang terdapat dalam prasasti Ligor B merupakan dua orang yang berbeda. Jadi

tokoh Wisnu berbeda dengan tokoh Dharanindra/Sangramadhanamjaya walaupun memiliki arti nama dan julukan yang sama. Coedes berpendapat bahwa Maharaja yang berjulukan Sarwwarimawimathana merupakan penerus dari Wisnu. Menurut Slamet Mulyana, nama Wisnu hanyalah sebuah nama julukan dari Dharanindra/Sangramadhanamjaya. Jadi nama Wisnu bukanlah sebuah nama sebenarnya melainkan hanya sebuah julukan seseorang yang dipuja bagaikan Dewa Wisnu. Prasasti lain yang berhubungan dengan Wangsa Sailendra adalah prasasti Abhayagiriwihara (792M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pranagari/Siddham atas nama Dharmatunggadewa. Menurut Slamet Mulyana, Maharaja Dharanindra kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Samaragrawira (prasasti Nalanda). Dewi Tara putri Dharmasetu bawahan Maharaja Dharanindra dinikahkan dengan Samaragrawira. Pendapat Coedes yang mengatakan bahwa Dharmasetu adalah Maharaja Sriwijaya ditolak Slamet Mulyana karena berdasarkan prasasti Kelurak (782M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Pranagari/Siddham, Dharmasetu hanya ditugasi oleh Dharanindra untuk merawat bangunan suci di desa Kelurak dan juga Dharmasetu disebutkan berasal dari Jawa. Jadi Dharmasetu bukan Maharaja Sriwijaya melainkan hanya sebagai raja bawahan. Karena tidak ada satupun prasasti yang mengkaitkan Dharmasetu dengan Sriwijaya atau tidak ada satupun prasasti tentang Dharmasetu yang ditemukan baik di Sumatra maupun di Semenanjng Malaya. Dalam prasasti Kelurak (782M), Dharmasetu sendiri tidak bergelar sebagai Maharaja. Selain di prasasti Kelurak (782M) nama Dharmasetu hanya tercantum dalam prasasti Nalanda. Pada prasasti itu disebutkan bahwa Balaputradewa putra Samaragrawira putra dari seseorang yang berjulukan Wirawairimathana dari Wangsa Sailendra sedangkan ibunya bernama Dewi Tara putri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Kakek dari Balaputradewa disebutkan berasal dari Yawabhumi (Jawa). Balaputradewa menyebut dirinya sebagai sebagai Maharaja dari Swarnadwipa (Sumatra). Menurut Krom, bahwa Balaputradewa adalah putra Samaratunggadewa karena nama Samaratunggadewa (prasasti Kayuwungan, 824M) dianggap identik dengan nama Samaragrawira karena kemiripan namanya. Pendapat Krom ini ditolak Slamet Mulyana, karena Samaratunggadewa hanya memiliki satu anak yang bernama Pramowardhani berdasarkan prasasti Kayuwungun (824M) sedangkan julukan Wirawairimathana ditujukan ke Dharanindra. Samaratunggadewa lebih cocok dikatakan sebagai kakak dari Balaputradewa daripada sebagai ayahnya. Menurut Slamet Mulyana, dari pernikahan Samaragrawira dan Dewi Tara diberi dua anak yang bernama Samaratunggadewa dan Balaputradewa. Dari prasasti Nalanda dapat diambil kesimpulan bahwa Balaputradewa mempunyai dua kakek yaitu Dharanindra (dari sisi ayahnya) dan Dharmasetu (dari sisi ibunya). Lebih jauh lagi Slamet Mulyana mengatakan bahwa Samaragrawira putra Dharanindra nantinya membagi kerajaan menjadi dua yaitu Yawadwipa/Medang untuk Samaratunggadewa dan Swarnadwipa/Sriwijaya untuk Balaputradewa agar lebih mudah melakukan administrasi. Karena pada masa pemerintahan Samaragrawira, Kerajaan Khmer Kamboja lepas dari Jawa pada tahun 802M (prasasti Sdok Kak Thom). Dalam prasasti Mantyasih (907M) dikatakan bahwa Maharaja Rakai Panunggalan digantikan oleh Maharaja Rakai Warak. Menurut Slamet Mulyana, Maharaja Rakai Panunggalan identik dengan Dharanindra sedangkan Maharaja Rakai Warak identik dengan Samaragrawira. Menurut Coedes, pada akhir abad ke-8M Wangsa Sailendra dibawah pengaruh Sriwijaya dengan masih beranggapan bahwa Dharmasetu merupakan Maharaja Sriwijaya. Sedangkan menurut Slamet Mulyana, Sriwijaya dibawah kekuasaan Wangsa Sailendra. Manakah yang lebih dulu berpengaruh antara Dharmasetu dari Wangsa Soma dengan Wisnu dan Indra dari Wangsa Sailendra. Sudah diketahui bahwa Dharanindra dan Dharmasetu merupakan kakek dari Balaputradewa (prasasti Nalanda). Sedangkan

Coedes sendiri berpendapat (prasasti ligor B).

Dharanindra (prasasti Kelurak, 782M) merupakan penerus dari Wisnu

Menurut Coedes bahwa nama Wisnu dan Dharanindra/Sangramadhanamjaya dianggap tidak identik walaupun memiliki makna nama dan julukan yang sama. Sedangkan menurut Slamet Mulyana, nama Wisnu dan Dharanindra/Sangramadhanamjaya dianggap identik. Menurut Krom bahwa nama Samaragrawira dan Samaratunggadewa dianggap identik. Sedangkan menurut Slamet Mulyana menganggap nama Samaragrawira dan Samaratunggadewa tidak identik. Pada masa pemerintahan Samaratunggadewa, dia mempunyai raja bawahan bernama Rakai Patapan Mpu Palar (prasasti Kayuwungan, 824M). De Casparis menemukan bahwa, dalam prasasti Kedu terdapat informasi tentang desa Guntur yang masuk wilayah Garung, serta masuk pula wilayah Patapan. Atas dasar ini, Rakai Patapan dianggap identik dengan Maharaja Rakai Garung dalam daftar para Maharaja dalam prasasti Mantyasih (907M). Rakai Garung adalah Maharaja sebelum Rakai Pikatan, yang merupakan menantu dari Samaratunggadewa. Kesimpulannya ialah, Rakai Patapan Mpu Palar pada tahun 824M masih menjadi bawahan Samaratunggadewa. Kemudian pada tahun 827M ia sudah membangun Kerajaan sendiri dan memakai gelar Maharaja Rakai Garung. Putranya bernama Rakai Pikatan Mpu Manuku menikah dengan Pramodawardhani putri Samaratunggadewa sehingga bisa mewarisi takhta Kerajaan Medang. Teori De Casparis ini ditolak oleh Slamet Mulyana. Menurutnya, prasasti Gandasuli (827M) dikeluarkan ketika Mpu Palar sudah meninggal. Gelar terakhir Mpu Palar menurut prasasti Gandasuli ialah Haji, yaitu gelar di bawah Maharaja. Jadi Haji Rakai Patapan Mpu Palar tidak mungkin sama dengan Maharaja Rakai Garung. Kedudukan Haji Rakai Patapan Mpu Palar seperti kedudukan Haji Dharmasetu. Nama Rakai Garung juga terdapat dalam prasasti Pengging (819M) berbahasa Jawa Kuno dengan Aksara Kawi. Selain itu, disebutkan dalam prasasti Ganadasuli (827M) bahwa anak-anak Mpu Palar semuanya perempuan, jadi tidak mungkin ia berputra Rakai Pikatan. Ditinjau dari tata bahasa prasasti Gandasuli (827M), tokoh Rakai Patapan Mpu Palar diperkirakan berasal dari pulau Sumatra. Dan juga prasasti yang berhubungan dengan Rakai Patapan Mpu Palar selalu menggunakan bahasa Malayu Kuno seperti prasasti Kayuwungan (824M) dan prasasti Gandasuli (827M). Dalam prasasti Kayuwungan (824M) sendiri terdapat dua bahasa yaitu bahasa Sansekerta yang berhubungan dengan Samaratunggadewa dan bahasa Malayu Kuno yang berhubungan dengan Rakai Patapan Mpu Palar. Dalam prasasti Munduan (807M) diketahui yang menjabat sebagai Rakai Patapan adalah Mpu Manuku. Kemudian pada prasasti Kayumwungan (824M) Rakai Patapan dijabat oleh Mpu Palar. Namun, pada Prasasti Tulang Air (850M) Mpu Manuku kembali memimpin daerah Patapan. Jadi tidak mungkin Mpu Manuku adalah anak Mpu Palar karena Mpu Manuku lebih dulu menjabat daripada Mpu Palar. Kesimpulannya ialah, Mpu Manuku mula-mula menjabat sebagai Rakai Patapan. Kemudian ia diangkat oleh Samaratunggadewa sebagai Rakai Pikatan, sehingga jabatannya digantikan oleh Mpu Palar, seorang pendatang dari Sumatra. Atas jasa-jasa dan kesetiaannya, Mpu Palar kemudian diangkat sebagai raja bawahan bergelar Haji. Rakai Pikatan Mpu Manuku berhasil menikahi Pramodawardhani sang putri mahkota bahkan berhasil menjadi Maharaja Kerajaan Medang sepeninggal Samaratunggadewa. Kemudian setelah Mpu Palar meninggal, daerah Patapan kembali diperintah Mpu Manuku. Mungkin dijadikan satu dengan daerah Pikatan. Dalam prasasti Munduan tahun 807M Mpu Manuku sudah menjabat sebagai Rakai Patapan, padahal pada tahun 824M Pramodawardhani masih menjadi gadis. Ini berarti di antara keduanya terdapat perbedaan usia yang cukup jauh. Mungkin usia Rakai Pikatan Mpu Manuku sebaya dengan mertuanya, yaitu Samaratunggadewa. Menurut Slamet Mulyana, Maharaja Rakai Garung (prasasti Gandasuli, 827M) identik dengan Maharaja Samaratunggadewa (prasasti Kayuwungan,

824M). Dalam daftar Maharaja Medang dalam prasasti Mantyasih (907M) disebutkan bahwa Maharaja Rakai Garung memerintah sebelum Maharaja Rakai Pikatan. Samaratunggadewa kemudian digantikan oleh putrinya yang bernama Pramowardhani yang menikah dengan Rakai Pikatan. Candi Borobudur sendiri didirikan pada masa pemerintahan Maharaja Samaratugga sedangkan candi Prambanan didirikan oleh pada masa Maharaja Rakai Pikatan dan Pramowardhani. Candi Borobudur didesain oleh seorang arsitek Jawa yang bernama Gunadharma. Candi Prambanan dilihat dari desainnya merupakan perpaduan arsitektural Hindu dan Budha seperti halnya perpaduan antara Maharaja Rakai Pikatan (Hindu) dengan Pramowardhani (Budha). Nama Pramowardhani putri Samaratunggadewa dalam prasasti Kayuwungan (824M) sendiri dianggap identik dengan nama Sri Kahuluan dalam prasasti Tri Tepusan (842M) berbahasa Sansekerta dengan Aksara Kawi. Pendapat lain dikemukakan oleh Boechari yang menafsirkan Sri Kahulunan sebagai ibu suri. Misalnya, dalam Mahabharata tokoh Yudhisthira memanggil ibunya, yaitu Kunti, dengan sebutan Sri Kahulunan. Jadi, menurut Boechari, Sri Kahulunan bukan Pramodawardhani, melainkan ibunya. Kemungkinan pada tahun 842M, Samaratunggadewa sudah meninggal. Pramowardhani ini dianggap identik dengan Rakai Sanjiwana yang beragama Budha dan merupakan nenek dari Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung. Dia sendiri mempunyai gelar abhiseka Iswarakesawa Samaratunggadewa dimana hal tersebut menunjukkkan ada hubungan antara Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung dengan Samaratunggadewa. De Casparis juga menyatakan bahwa Pramowardhani dan Rakai Pikatan berselisih dengan Balaputradewa akibat perebutan tahta. Kemudian Balaputradewa menyingkir ke Sriwijaya dan menjadi Maharaja disana setelah kalah dari Rakai Pikatan. Hal tersebut didasarkan pada prasasti Siwagraha (855M) dimana disebutkan pernah terjadi pertempuran antara Rakai Mamrati Sang Jatiningrat (Rakai Pikatan) melawan musuh yang membangun benteng dari batu (Benteng Ratu Baka). Benteng ini dulunya merupakan sebuah candi Budha yang didirikan pada akhir abad ke-8M yang kemudian dirubah menjadi benteng pertahanan pada pertengahan abad ke-9M. Letak benteng ini sangat dekat dengan candi Prambanan. Dalam prasasti Wantil (856M) ditemukan istilah Walaputra yang menurut De Casparis dianggap identik dengan Balaputradewa dalam prasasti Nalanda (860M). Menurut Boechari pada Benteng Ratu Baka (yang dianggap sebagai tempat persembunyian Balaputradewa ketika terjadi pertempuran dengan Rakai Pikatan) sama sekali tidak ditemukan bukti-bukti peninggalan Balaputradewa malahan yang ditemukan adalah prasasti peninggalan bangsawan yang bernama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yang mengaku sesama keturunan Sanjaya. Rakai Walaing Mpu Kombhayoni berasal dari Grobogan-Blora. Karena kebanyakan prasasti tentangnya berasal dari wilayah tersebut. Bukti lain menunjukkan adanya kerusakan pada sebagian prasasti Pereng (863M) berbahasa Jawa Kuno dengan Aksara Kawi yang mencatat urutan silsilah Rakai Walaing. Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni merupakan keturunan dari Sang Ratu Halu. Kerusakan ini seolah sengaja dilakukan oleh Rakai Pikatan. Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni mengaku cicit dari Sang Ratu Halu dan masih keturunan dari raja yang memerintah di Yawapura. Rakai Walaing merupakan pemuja Agastya dan penganut agama Siwa Hindu. Sang Ratu Halu menurut Boechari adalah adik dari raja yaitu Sang Ratu Sanjaya. Menurut prasasti Sdok Kak Thom pada tahun 802M negeri Kamboja berhasil melepaskan diri dari Jawa. Mungkin hal ini menjadi alasan Samaragrawira pada akhir pemerintahannya membagi kekuasaan Wangsa Sailendra untuk kedua putranya. Samaratunggadewa berkuasa di Yawadwipa (Jawa), sedangkan Balaputradewa berkuasa di Swarnadwipa (Sumatra). Balaputradewa mendapatkan Swarnadwipa memang karena dia mempunyai hak sebagai cucu dari Dharanindra. Jadi yang memberontak pada Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku bukanlah Balaputradewa melainkan Rakai Walangin Mpu Kumbhayoni yang sama-sama mengaku keturunan raja. Istilah Walaputra sendiri bukanlah identik dengan Balaputradewa. Justru istilah Walaputra

identik dengan putra bungsu yaitu Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan yang dipuji berhasil mengalahkan musuh kerajaan. Daftar Wangsa Sailendra di Jawa yang diambil dari kesimpulan Coedes dan De Casparis: Sangramadhanamjaya (prasasti Ligor B, prasasti Kelurak, 782M, prasasti Nalanda India) (775M-792M1) Samaratunggadewa (prasasti Kayuwungan, 824M) aka Samaragrawira (792M-827M2) Daftar Wangsa Soma di Jawa : Dharmasetu, merupakan bawahan Dharanindra/Sangramadhanamjaya yang ditugasi untuk merawat bangunan suci (prasasti Kelurak, 782M) Dewi Tara, merupakan putri dari Dharmasetu, istri dari Samaragrawira, ibu dari Balaputradewa, dan menantu dari seorang yang bergelar Wirawairimathana (prasasti Nalanda). Nama Dewi Tara juga terdapat dalam prasasti Kalasan (778M) bersama nama Maharaja Rakai Panangkaran1

prasasti Abhayagiriwihara (792M) atas nama Dharmatunggadewa, Menurut De Casparis, prasasti tersebut dibuat oleh Samaratunggadewa walaupun namanya tidak tercantum. 2 Prasasti Gandasuli (827M) atas nama Rakai Patapan Mpu Palar. Dalam prasasti Kayuwungan (824M) disebutkan Mpu Palar masih merupakan bawahan Samaratunggadewa. Menurut De Casparis, Rakai Patapan Mpu Palar identik dengan Rakai Garung. Menurut De Casparis, Mpu Palar merebut sebagian wilayah kekuasaan dari Samaratunggadewa pada tahun 827M. Kemudian putra Rakai Patapan Mpu Palar yang bernama Rakai Pikatan menikahi Pramowardhani putri Samaratunga dan dapat menjadi Maharaja. Akhirnya Rakai Pikatan dapat mengalahkan Balaputradewa saat terjadi perang perebutan tahta (prasasti Siwagraha, 855M) dan kemudian Balaputradewa melarikan diri ke Sriwijaya serta menjadi Maharaja Swarnadwipa (prasasti Nalanda). Jadi sengketa antara Balaputradewa dengan Rakai Garung dan Rakai Pikatan berlangsung selama hampir 28 tahun? (827M-855M). Balaputradewa putra Samaragrawira (dianggap identik dengan Samaratunggadewa) dapat menjadi Maharaja Sriwijaya karena mewarisi tahta dari garis ibunya yang bernama Dewi Tara putri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Dengan berasumsi bahwa Dharmasetu dari Wangsa Soma merupakan Maharaja Sriwijaya, walaupun tidak ada prasasti yang mengkaitkan Dharmasetu dengan Sriwijaya. Bahkan Dharmasetu sendiri tidak bergelar sebagai Maharaja dan hanya bergelar Haji (prasasti Kelurak, 782M). Dan juga tidak ada satupun prasasti di Jawa pada zaman Medang yang menyebut adanya nama Sriwijaya. Dan juga nama Dharmasetu tidak terdapat di Sumatra dan Semenanjung Malaya. Slamet Mulyana memberikan daftar para Maharaja Me