hubungan antara hotspot (titik panas) …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/10999/2/nisa...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN ANTARA HOTSPOT (TITIK PANAS)
DENGAN TIMBULNYA PENYAKIT INFEKSI SALURAN
PERNAFASAN AKUT (ISPA) AKIBAT KEBAKARAN HUTAN
DAN LAHAN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU RIAU
TAHUN 2007
NISA NOVITA
E 14204009
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
HUBUNGAN ANTARA HOTSPOT (TITIK PANAS)
DENGAN TIMBULNYA PENYAKIT INFEKSI SALURAN
PERNAFASAN AKUT (ISPA) AKIBAT KEBAKARAN HUTAN
DAN LAHAN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU RIAU
TAHUN 2007
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Nisa Novita
E14204009
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Sebuah kado kecil untuk orang yang telah membesarkan aku…..
RINGKASAN Nisa Novita. E14204009. Hubungan Antara Hotspot (Titik Panas) dengan
Timbulnya Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Akibat Kebakaran
Hutan dan Lahan di Kabupaten Indragiri Hulu Riau Tahun 2007. Dibimbing oleh
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr
Kabupaten Indragiri Hulu merupakan salah satu wilayah di Riau yang
daerahnya rawan terhadap kejadian kebakaran hutan. Dampak kebakaran hutan
yang dibahas pada penelitian ini adalah dampak terhadap kesehatan khususnya
penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Dalam kaitan dengan kebakaran hutan
ini, ISPA terjadi karena pertahanan saluran pernafasan yakni sel-sel epitel mukosa
menjadi lemah atau bahkan rusak akibat menghirup udara yang tercemar yang
sarat dengan partikel debu, sehingga kuman mudah masuk dan berkembang biak.
Dari hasil analisis statistik antara jumlah hotspot dengan jumlah pasien
ISPA mempunyai korelasi positif yang sangat kuat (r = 0.81). Jumlah pasien ISPA
dipengaruhi 65.2% oleh jumlah hotspot dengan persamaan garis Y = 220 + 26 X.
Hubungan antara jumlah hotspot dan jumlah pasien ISPA per jumlah penduduk
mempunyai korelasi positif yang kuat (r = 0.74) karena jumlah pasien ISPA per
jumlah penduduk dipengaruhi 54% oleh jumlah hotspot sebagai indikasi
Kebakaran Hutan dan Lahan. Dari hasil uji R square persamaan garis
Y = 0.0184 + 0.000483 X relevan digunakan dalam menentukan hubungan antara
peningkatan hotspot dengan peningkatan pasien ISPA per jumlah penduduk. Dari
kedua analisis diatas terlihat pengaruh antara hotspot dengan pasien ISPA dapat
dikatakan erat, baik dengan atau tanpa memperhatikan jumlah penduduk masing-
masing kecamatan.
Secara deskriptif, kelas umur terbanyak pada pasien ISPA di Indragiri
Hulu adalah kelas umur 1-5 tahun (Balita), dan dari jenis kelamin perbedaan
pasien laki-laki dengan pasien perempuan tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan.
ABSTRACT
Novita, N. E14204009. Correlation Between Hotspot and Acute
Respiratory Infection Because of Forest and Land Fire in Indragiri
Hulu Regency, Riau. Leaded by Prof. Dr. Ir. Bambang Hero
Saharjo, M.Agr.
Indragiri Hulu is a regency in Riau that is often happen forest and land
fire. The impact of forest fire that is discuss in this research is the impact of
healthiness especially Acute Respiratory Infections (ARI). From the result of
statistic analysis between hotspot and ARI’s patient has a strong positive
correlation (r = 0,81). ARI’s patient that 65,2% is influence by hotspot with linear
equation Y = 220 + 26 X. Correlation between hotspot and ARI’s patient/total
citizen have a strong positive correlation (r = 0,74) because ARI’s patient/total
citizen 54% is influence by forest and land fire. From the result of R square test
the linear equation Y = 0,0184 + 0,000483 X is relevan to use to estimate the
correlation between hotspot and ARI’s patient/total citizen. From this two analysis
show that the influence between hotspot and ARI’s patient is strong with or
without calculate the total patient in sub district. Descriptively, the most age class
ARI’s patient in Indragiri Hulu is 1-5 years and from the age differences, the man
or woman patient do not show the significant differences.
Keyword : Forest and Land Fire, Acute Respiratory Infections, Impact.
Judul Penelitian :HUBUNGAN ANTARA HOTSPOT (TITIK PANAS)
DENGAN TIMBULNYA PENYAKIT INFEKSI
SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) AKIBAT
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI
KABUPATEN INDRAGIRI HULU RIAU TAHUN
2007
Nama : NISA NOVITA
NRP : E14204009
Menyetujui: Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr. NIP. 131878497
Mengetahui:
Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto.M.Agr NIP. 131578788
Tanggal lulus :
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hubungan
Antara Hotspot (Titik Panas) dengan Timbulnya Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten
Indragiri Hulu Riau Tahun 2007 adalah benar hasil karya saya sendiri dengan
bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah
pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2008
Nisa Novita
NIM. E14204009
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala
curahan rahmat dan kasih sayangNya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Dalam penelitian ini penulis mengambil judul Timbulnya Penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Akibat Kebakaran Hutan dan
Lahan di Kabupaten Indragiri Hulu Riau Tahun 2007. Melihat keteratan yang
kuat antara dampak yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan terhadap kesehatan
manusia diharapkan kejadian kebakaran hutan dan lahan yang disengaja dapat
dikurangi atau dihentikan sama sekali.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
dan pengembangan lebih lanjut. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
.
Bogor, Mei 2008
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH
1. Kedua orang tua tercinta , Ama Enimar dan Apa Syaiful yang telah
mengartikan nafas kehidupan diantara doa-doa dan cinta yang selalu diberikan
2. Albert Syaiful, Deasy Fitria tersayang. Terimakasih telah menjadikan bait-bait kosong menjadi lirik keceriaan penuh tawa selama fase 21 ini.
3. Dede Hendry atas kesempurnaan rasa yang membuat satu mimpi di masa nanti
4. Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan arahan, masukan, dan semangat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik
5. Arinana, S. Hut, M.Si dan Ir. Siswoyo, M.Si bagi selaku dosen penguji atas masukannya bagi perbaikan skripsi ini
6. Kantor Kementrian Lingkungan Hidup Jakarta, khususnya Bu Ela. 7. Staf Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan, Bapak Wardana yang
telah memberikan bantuan dan dorongan pada penulis 8. Pak Ismail dan staf KPAP Silvikultur yang sangat baik dan telah
memberikan kemudahan dalam administrasi sebelum sidang. 9. Staf dan teman-teman di Laboratorium Sistem Informasi Geografis
Manajemen Hutan khususnya Kak Aan, Kak Iis, Kak Heru 10. Bebek dan Tuti, teman paling setia yang membuat penulis sulit
meninggalkan Bogor 11. Bu Gatot, Pak Gatot, Defna, Dandi yang telah menjadi keluarga baru
penulis di Rengat 12. Ryan Mato, atas kesediaannya menjadi guide Pekanbaru-Rengat dan
teman petualang dalam mencari data di Pematang Reba 13. Muhammad Hansari,Uncu atas powerpoint dan semangat yang diberikan 14. Lienda Omes, Rissa, Iyha, Eka, Piye, Rizal, Dwi, Uny atas bantuan,
semangat dan kebersamaannya selama ini. 15. Alaska crew dan keluarga Budidaya Hutan 41 16. Ibu Era yang setia di Laboratorium Ekologi Hutan atas doa dan
dukungannya 17. Dino kecil dahulu, besar sekarang 18. Pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Taram Payakumbuh Sumatera Barat pada tanggal 23
November 1986 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Syaiful
dan Enimar.
Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMUN I Tilkam Bukittinggi dan pada
tahun yang sama masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dengan
memilih Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan dan menekuni bidang
Kebakaran Hutan dan atau Lahan.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi
kemahasiswaan yakni sebagai staf Departemen Informasi dan Komunikasi Forest
Management Student Club (FMSC) pada tahun 2005-2006, staf Departemen
Informasi dan Komunikasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM-E) pada tahun
yang sama. Selain itu penulis melakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan
Hutan (P3H) jalur Sancang-Kamojang dan KPH Sumedang, serta melaksankan
Praktek Kerja Lapang (PKL) di Dinas Pertanian Tanaman Pangan Perkebunan dan
Kehutanan Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan
skripsi dengan judul Hubungan Antara Hotspot (Titik Panas) dengan
Timbulnya Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Akibat
Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Indragiri Hulu Riau Tahun 2007
dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ............................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ iii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ...................................................................... 2
1.3. Manfaat Penelitian .................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3
2.1. Kebakaran Hutan ……………………………………………..
2.2. Hotspot ......................................................................................
3
9
2.3. Pencemaran Udara dan Kabut Asap.......................................... 13
2.4. Infeksi Saluran Pernafasan Akut .............................................. 15
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 17
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 17
3.2. Bahan dan Alat ......................................................................... 17
3.3. Rancangan Penelitian ............................................................... 18
3.4. Analisis data ............................................................................. 19
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ...................................... 21
4.1. Geografi .................................................................................... 21
4.2. Penduduk dan Tenaga Kerja ................................................... 22
4.3. Kesehatan .................................................................................. 23
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................
5.1. Hasil .......................................................................................... 24
5.2. Pembahasan............................................................................... 30
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 39
6.1. Kesimpulan ............................................................................... 40
6.2. Saran ......................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 42
LAMPIRAN ..................................................................................................... 43
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Luas dan ketinggian wilayah Kab.Indragiri Hulu..................................... 21
2. Jumlah penduduk Kab. Indragiri Hulu 2006 ............................................ 22
3. Sebaran Hotspot Bulanan di Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2007…... 25
4. Data jumlah hotspot perbulan dan jumlah pasien ISPA ........................... 26
5. Rekapitulasi jumlah hotspot dan jumlah pasien ISPA Kab. Indragiri
Hulu .......................................................................................................... 26
6. Hubungan hotspot dengan jumlah pasien ISPA dan jumlah penduduk.... 27
7. Data Pasien ISPA berdasarkan jenis kelamin ........................................... 27
8. Pasien ISPA berdasarkan kelas umur di Kecamatan Rengat Barat .......... 28
9. Pasien ISPA berdasarkan kelas umur di Kecamatan Peranap .................. 28
10.
11.
12.
Pasien ISPA berdasarkan kelas umur di Kecamatan
Kelayang………………………………………………………………...
Pasien ISPA berdasarkan kelas umur di Kecamatan Lubuk batu Jaya …
Rekapitulasi Pasien ISPA berdasarkan kelas umur………… …………
29
29
30
DAFTAR GAMBAR
No
.
Halaman
1. Segitiga api ............................................................................................... 3
2. Peta sebaran hotspot di Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2007................ 24
3. Konsep hubungan antara Kebakaran Hutan dan Lahan dengan
Timbulnya Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut ............................ 32
4. Perbandingan pasien laki-laki dengan pasien perempuan pada penyakit
ISPA.......................................................................................................... 37
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Sebaran hotspot di kecamatan Rengat Barat Tahun 2007 ....................... 44
2. Sebaran hotspot di kecamatan Peranap Tahun 2007 ................................ 45
3. Sebaran hotspot di kecamatan Kelayang Tahun 2007 .............................. 46
4. Unsur iklim bulanan kabupaten Indragiri Hulu tahun 2007 .................... 47
5. Wilayah kehutanan Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2007 ..................... 48
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia merupakan permasalahan yang
cenderung berkembang setiap tahunnya sebagai akibat pemanfaatan sumberdaya
alam yang irasional. Hal ini menjadi faktor penting timbulnya tekanan terhadap
lingkungan yang menyebabkan peningkatan luas areal lahan kritis. Manusia dapat
disebut sebagai subjek pengendali status lingkungan karena kerusakan atau
perbaikan lingkungan pada umumnya bergantung ditangan manusia.
Kebakaran hutan dan lahan menimbulkan kerugian dalam bidang ekonomi,
ekologi dan sosial baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Secara
langsung Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan penurunan kualitas udara
sebagai dampak pencemaran udara yang berasal dari asap. Asap sebagai produk
dari kebakaran hutan dan lahan mengandung bahan-bahan kimia antara lain
aldehid, sulfur, CO, hidrogen sulfida, nitrogen oksida, fenol, kresol, toluen, partikel
debu dan beberapa jenis senyawa hidrokarbon yang mudah menguap dan
dilepaskan melalui oksidasi ke atmosfir yang menjadi sumber pencemar. Bahan-
bahan kimia ini menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatan. Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit pernafasan yang
diakibatkan oleh pencemaran udara karena pertahanan saluran pernafasan terhadap
bakteri/virus menjadi lemah.
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi dapat dipantau oleh citra satelit NOAA
dan ASMC Singapura berupa titik panas (hotspot). Berdasarkan hasil pemantauan
satelit NOAA bahwa jumlah hotspot yang terdeteksi mulai bulan Januari sampai
Desember 2007 untuk Kabupaten Indragiri Hulu mencapai 171 titik dan yang
terbanyak di bulan Agustus sebanyak 63 buah. Tingginya jumlah hotspot di
Kabupaten Indragiri Hulu dipicu oleh kegiatan pembukaan lahan untuk perkebunan
kelapa sawit dan karet. Data BPS tahun 2006 mencatat 132.255,70 Ha luas areal
perkebunan yang dikelola dengan swadaya murni, swadaya partial pola
PIR/KKPA/Kemitraan maupun swasta dan BUMN.
1.2. Tujuan
Memberikan informasi tentang hubungan antara jumlah hotspot dengan
timbulnya penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di Kabupaten Indragiri
Hulu Provinsi Riau selama bulan Februari sampai dengan Agustus tahun 2007.
1.3. Manfaat Penelitian
Untuk memperoleh persamaan hubungan antara jumlah hotspot sebagai
penunjuk adanya kebakaran hutan dengan timbulnya penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) yang dapat digunakan sebagai estimasi dampak kebakaran
hutan dan lahan terhadap kesehatan manusia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebakaran Hutan
2.1.1. Pengertian
Kebakaran hutan dan kebun adalah kondisi terbakarnya biomassa yang
terdapat di dalam kawasan hutan dan areal perkebunan, baik terbakar sebagian
maupun terbakar habis (Soedarmo 2003, diacu dalam Suratmo 2003).
Saharjo (2003) diacu dalam Suratmo (2003) menyatakan kebakaran hutan
adalah pembakaran yang penjalarannya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar
alam dari hutan seperti serasah, rumput, ranting/cabang pohon mati, snags/pohon
mati yang tetap berdiri, logs, tunggak pohon, gulma semak belukar, dedaunan dan
pohon-pohon.
Menurut Brown dan Davis (1973) kebakaran hutan adalah pembakaran yang
menyebar secara bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan seperti
serasah, rumput, humus, ranting-ranting kayu mati, kayu, tiang, gulma, semak,
dedaunan serta pohon-pohon segar.
2.1.2. Proses Terjadinya Kebakaran Hutan
Proses kebakaran pada dasarnya sama dengan formasi atau terjadinya
kebakaran yaitu bahan bakar, oksigen, dan sumber panas dimana kombinasi dari
ketiga elemen tersebut merupakan unsur-unsur yang saling terkait terjadinya api
atau yang sering disebut dengan segitiga api (fire triangle) menurut Clar dan
Chatten (1954) diacu dalam Asdini (2006) yang digambarkan sebagai berikut :
Bahan bakar Panas
API
Oksigen
Gambar 1. Segitiga api
Brown dan Davis (1973) menyatakan bahwa proses pembakaran
merupakan kebalikan dari proses fotosintesis yang dapat dijelaskan dalam rumus
kimia sebagai berikut:
Proses pembakaran :
C6H12O6 + O2 + Panas CO2 + H2O + Panas
Proses fotosintesis :
CO2 + H2O + Energi matahari C6H12O6 + O2
Selama proses kebakaran, dapat diperlihatkan lima fase pembakaran (De
Bano et al. 1998), yaitu :
a. Fase pre Ignition
Bahan bakar mulai terpanaskan, kering dan mulai mengalami pirolisis, yaitu
terjadinya pelepasan uap air, CO2 dan gas-gas yang mudah terbakar termasuk
methane, methanol dan hidrogen. Bahan bakar di bagian depan menyala
terpanaskan melalui radiasi dan konveksi sehingga suhu meningkat lebih dari
100°C. Transfer panas di bagian dalam terjadi melalui konduksi. Ketika panas
pyrolysate keluar dari bahan bakar berkayu, maka api akan menyala pada suhu 300-
600°C dalam kondisi udara di sekitar bahan bakar yang kaya akan oksigen.
b. Fase Flaming
Reaksi eksotermik dalam fase ini meningkatkan suhu dari 300°C menjadi
500°C hingga mencapai 1400°C. Pirolisis meningkat dan oksidasi cepat (flaming)
dari gas-gas yang mudah terbakar menjadi dominan. Gas-gas yang mudah terbakar
dan uap-uap yang dihasilkan dari pirolisis naik ke atas permukaan bahan bakar
bercampur dengan O2 dan terbakar. Panas yang dihasilkan dari reaksi flaming
meningkatkan laju pirolisis dan melepaskan lebih banyak gas-gas yang mudah
terbakar. Beberapa volatil organik dengan berat molekul rendah meninggalkan fase
oksidasi dan terangkut dalam angin. Senyawa dengan berat molekul lebih tinggi
yang meninggalkan oksidasi sempurna akan mendingin dan berkondensasi dalam
angin menjadi ter dan jelaga partikel yang menghasilkan asap. Oksidasi gas-gas
organik yang tinggi dan gas-gas dalam zona penyalaan menghasilkan massa
terbesar dan produk combustion seperti air, CO2, CO, N2, NOx. Kondensasi dari
soot (jelaga) dan ter yang berdiameter <1 mikrometer dari asap adalah satu proses
yang sangat penting dari fase flaming.
c. Fase Smoldering
Terdapat dua zona yang merupakan karakteristik dari fase ini, yaitu zona
pirolisis dengan berkembangnya hasil-hasil pembakaran dan zona dengan pelepasan
hasil pembakaran yang tidak terlihat. Laju penjalaran api mulai menurun karena
bahan bakar tidak dapat menyuplai gas-gas yang tidak dapat terbakar dalam
konsentrasinya dan pada laju yang dibutuhkan untuk pembakaran yang dahsyat.
Kemudian panas yang dilepaskan menurun bersamaan dengan turunnya suhu
sehingga menyebabkan gas-gas lebih banyak berkondensasi dalam bentuk asap.
Emisi yang dihasilkan selama fase smoldering adalah sangat nyata lebih besar
daripada yang terjadi pada fase flaming.
d. Fase Glowing
Fase ini merupakan fase akhir dari proses smoldering namun glowing tidak
termasuk ke dalam fase smoldering. Pada fase ini sebagian besar dari gas-gas yang
mudah menguap akan hilang dan oksigen mengadakan kontak langsung dengan
permukaan dari bahan bakar yang mengarang. Hasil dari fase ini adalah CO, CO2
dan abu sisa pembakaran.
e. Fase Extinction
Suatu kebakaran akan terhenti bila semua bahan bakar yang tersedia telah
habis dikonsumsi atau bila panas yang dihasilkan melalui oksidasi baik pada fase
smoldering/glowing tidak cukup lagi untuk menguapkan sejumlah uap air yang
diperlukan bahan bakar yang lembab/basah.
Tiga tahap proses pembakaran pada pohon menurut Chandler et al. (1983)
adalah :
a. Penyerapan (endoterm) dimana bahan bakar menyerap panas sampai
mencapai titik bakar.
b. Peningkatan suhu disertai penguapan air dan hancurnya molekul jaringan
pohon dan melepaskan kandungannya yang mudah menguap
c. Pelepasan panas (eksoterm) dimana bahan bakar (selulosa) terbakar
melepaskan panas dan uap air dari pembakaran
2.1.3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi kebakaran Hutan
Menurut Wibowo (2003) faktor utama yang mempengaruhi perilaku
kebakaran hutan yang utama dalah bahan bakar (kadar air, jumlah, ukuran, dan
susunan bahan bakar), kondisi cuaca (suhu, curah hujan, kelembaban, dan angin)
serta topografi.
a. Bahan Bakar
Kadar air bahan bakar menentukan kemudahan bahan bakar untuk menyala,
kecepatan proses pembakaran, kecepatan penjalaran api, dan kemudahan usaha
pemadaman kebakaran. Kecepatan penjalaran api meningkat secara langsung dan
proporsional dengan meningkatnya jumlah bahan bakar tersedia, apabila faktor
lainnya konstan.
Secara umum, semakin kecil ukuran bahan bakar, maka akan semakin cepat
api menjalar selama bahan bakar tersebut tersedia. Dengan kuantitas bahan bakar
yang sama, api akan lebih cepat menjalar apabila luas permukaan bahan bakar
semakin besar. Apabila bahan bakar longgar, panas ditransfer melalui proses
konveksi dan radiasi, sedangkan pada bahan bakar yang tersusun padat, prosesnya
adalah konduksi yang kurang efisien.
b.Cuaca (Suhu, kelembaban udara, curah hujan dan angin)
Suhu bahan bakar dan udara di sekelilingnya adalah faktor penting yang
secara tidak langsung mempengaruhi prilaku kebakaran. Meningkatnya suhu akan
menurunkan kelembaban udara dan meningkatkan proses pengeringan bahan bakar,
sehingga kadar air bahan bakar menurun.
Kelembaban udara dan curah hujan berhubungan erat dengan musim
kebakaran karena kaitannya dengan kemudahan terbakar dari bahan bakar dan
hubungannya dengan faktor cuaca lainnya. Pada bahan bakar mati seperti serasah,
kandungan kadar airnya sangat ditentukan oleh kondisi kelembaban udara sekitar.
Bahan bakar akan menyerap air dari udara lembab dan melepaskan uap air ke udara
yang kering.
Faktor lain adalah angin. Angin mempengaruhi prilaku kebakaran dengan
cara-cara berikut :
1. Menurunkan kelembaban udara dan mempercepat proses pengeringan
bahan bakar.
2. Mempercepat proses pembakaran dengan menambah suplai oksigen
3. Mempercepat penyebaran api dengan membawa panas dan api loncat
4. Mengarahkan lidah api ke bahan bakar yang belum terbakar.
c.Topografi
Kebakaran akan bergerak lebih cepat ke arah atas lereng, hal ini karena
panas yang dihasilkan oleh kebakaran lebih dekat ke permukaan tanah, menurunkan
kadar air dan meningkatkan suhu bahan bakar di depannya. Hasil penelitian di
Australia menunjukkan bahwa kecepatan penjalaran api meningkat linear dengan
peningkatan kemiringan lereng. Kecepatan penjalaran api pada kebakaran yang
terjadi di topografi datar akan meningkat dua kali lipat pada kelerengan 10° dan
akan meningkat empat kali lipat pada kelerengan 20°. Penjalaran api akan
berkurang kecepatannya ke arah bawah lereng (Mc. Arthur dalam Wibowo 2003).
Brown dan Davis (1973) mengklasifikasikan kebakaran hutan berdasarkan
tipe bahan bakar menurut sebaran vertikal, yaitu :
a. Kebakaran bawah (Ground Fire)
Tipe kebakaran ini biasanya mengkonsumsi bahan bakar berupa material
organik yang terdapat di bawah permukaan tanah/lantai hutan. Kebakaran bawah
ini sangat sukar dideteksi dan berjalan lambat sekali karena tidak dipengaruhi oleh
kecepatan angin. Tanda bahwa areal tersebut terbakar adalah adanya asap putih
yang keluar dari bawah permukaan tanah. Karena berada di bawah permukaan
tanah, maka banyak pohon mati karena akarnya hangus terbakar. Kebakaran ini
biasanya berkombinasi dengan kebakaran permukaan.
b. Kebakaran permukaan (Surface Fire)
Kebakaran tipe ini mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di lantai
hutan, baik berupa serasah, jatuhan ranting, dolok-dolok yang bergelimpangan di
lantai hutan, tumbuhan bawah, dan sebagainya yang berada di bawah tajuk pohon
dan diatas permukaan tanah. Kebakaran tipe ini adalah yang paling sering terjadi di
dalam tegakan, hutan sekunder dan hutan alam, terkecuali di daerah rawa gambut.
Kebakaran permukaan ini biasanya merupakan langkah awal menuju kebakaran
tajuk, dengan cara terbakarnya tanaman pemanjat yang menghubungkan sampai ke
tajuk pohon atau akibat api loncat yang mencapai tajuk pohon.
c. Kebakaran tajuk (Crown Fire)
Kebakaran tajuk biasanya bergerak dari satu tajuk ke tajuk pohon lainnya
dengan cara mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di tajuk pohon tersebut baik
berupa daun, cangkang biji, ranting bagian atas pohon, dan sebagainya. Kebakaran
ini biasanya bermula dari adanya api lompat yang berasal dari tajuk tumbuhan
bawah/semak yang terbakar atau karena adanya tumbuhan epifit/liana sepanjang
batang pohon yang terbakar, kulit pohon yang berminyak atau karena pemanasan
permukaan.
2.1.4.Penyebab Kebakaran Hutan
Menurut FAO (1953) penyebab terjadinya kebakaran sangat beraneka
ragam, tetapi umumnya adalah karena kelalaian manusia. Secara umum penyebab
kebakaran hutan dikategorikan sebagai berikut :
a. Api dari kilat
b. Api dari korek api
c. Api dari penebang pohon
d. Api dari perkemahan
e. Sisa-sisa api dari perladangan
f. Pembakaran oleh orang yang tidak bertanggung jawab
Lebih dari 90% kebakaran hutan yang terjadi disebabkan oleh kelalaian
manusia (Chandler et al. 1983).
Menurut Adinugroho et al. (2005) penyebab kebakaran oleh manusia dapat
dirinci sebagai berikut :
a. Konversi lahan, dimana kebakaran yang disebabkan oleh api berasal dari
kegiatan penyiapan lahan dengan pembakaran untuk pertanian, industri,
pembuatan jalan, jembatan, bangunan dan lain-lain.
b. Pembakaran vegetasi, yaitu kebakaran yang disebabkan oleh api yang
berasal dari pembakaran vegetasi yang disengaja namun tidak terkendali
sehingga terjadi api loncat, misalnya pada pembukaan areal HTI dan
perkebunan, penyiapan lahan oleh masyarakat dan lain-lain.
c. Aktivitas dalam pemanfaatan sumberdaya alam, dimana kebakaran
disebabkan oleh api yang berasal dari aktivitas selama pemanfaatan
sumberdaya alam. Misalnya saja, pembakaran semak belukar yang
menghalangi akses masuk atau pembuatan api untuk memasak oleh
penebang liar atau pencari ikan di dalam hutan.
d. Pembuatan kanal/saluran di lahan gambut, dimana saluran ini umumnya
digunakan untuk sarana transportasi kayu hasil tebangan maupun irigasi.
Saluran yang tidak dilengkapi pintu konrol air yang memadai menyebabkan
lepasnya air dari lapisan gambut sehingga gambut menjadi kering dan
mudah terbakar.
e. Penguasaan lahan, dimana api sering digunakan masyarakat lokal untuk
memperoleh kembali hak-hak mereka atau bahkan menjarah lahan milik
orang lain.
2.2 Hotspot
Metode yang digunakan dalam pemantauan titik panas (hotspot) ini adalah
metode penginderaan jauh dengan menggunakan satelit. Data hotspot dapat
dijadikan sebagai salah satu indikator tentang kemungkinan terjadinya kebakaran
sehingga perlu dilakukan analisa, pemantauan dan terkadang perlu dilakukan cek
lapangan (ground truthing) untuk mengetahui apakah diperlukan tindakan
penanggulangan dini khususnya pada saat musim kemarau dimana penyebaran api
sangat cepat (Adinugroho et al. 2005).
Asean Specialized Meteorological Center (ASMC) menyatakan bahwa
remote sensing merupakan suatu teknologi yang dapat memberikan informasi
mengenai permukaan bumi dan keadaan atmosfer dengan menggunakan sensor
yang dipasang di udara (pesawat terbang, balon udara) atau di luar angkasa (satelit).
Sensor ini akan menangkap sinyal berupa gelombang radiasi elektromagnetik yang
membawa informasi tentang objek yang sedang ditangkap. Hasil dari remote
sensing ini adalah sebuah citra (image) yang menjelaskan tentang objek yang
sedang diamati.
Satelit NOAA merupakan satelit lingkungan yang bernaung dibawah
National Environtmental Satellite Data and Information Services (NESDIS);
National Oceanic Atmospheric Administration; Department of Commerce, USA.
Metode yang digunakan dalam menentukan hotspot ini adalah dengan menetapkan
batas nilai ambang (threshold value) suhu kecerahan tertentu, pada matriks citra
tersebut. Nilai ambang bukanlah suatu nilai yang kaku, tetapi dapat diubah-ubah
sesuai dengan kondisi iklim atau daerah yang dideteksi (Hirorki dan Prabowo 2003,
diacu dalam Sukmawati 2006).
Menurut Departemen Kehutanan (2002) satelit NOAA akan mendeteksi
suatu obyek di permukaan bumi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Suhu yang dideteksi berkisar antara 210 K
(37°C) untuk deteksi malam hari dan 315 K (42°C) untuk siang hari. Hotspot
tersebut akan diproyeksikan menjadi suatu piksel pada sebuah peta yang
menunjukkan koordinat geografisnya.
Satelit NOAA melalui sensor AVHRR (Advaced Very High Resolution
Radiometer) yang dapat membedakan suhu permukaan di darat ataupun di laut.
Satelit ini dibuat dan diluncurkan oleh National Aeronautics and Space
Administration (NASA-USA). Satelit NOAA-AVHRR memiliki cakupan yang
sangat luas dan mengunjungi tempat yang sama sebanyak 4 kali sehari sehingga
memungkinkan tersedianya data yang cukup aktual dan waktu analisa yang lebih
singkat meskipun wilayahnya luas (Adinugroho et al. 2005)
Fungsi dari sistem monitoring dan deteksi kebakaran dengan menggunakan
satelit NOAA adalah untuk menentukan lokasi terjadinya kebakaran hutan dan
lahan sebelum kebakaran meluas dan mengakibatkan kerusakan serius serta
kerugian ekonomi. Penggunaan metode remote sensing juga memberikan solusi
yang efisien dalam kegiatan deteksi dan monitoring kebakaran hutan dan lahan
pada areal yang luas (ASMC 2002).
Satelit NOAA mencakup area permukaan bumi seluas 2700 km dari
ketinggian kurang lebih 860 km dan memiliki resolusi medan 1,1 km2 (ukuran
piksel). Satelit-satelit ini mempunyai sensor AVHRR yang merupakan sebuah
radiometer pemantauan dengan lima saluran yang masing-masing memiliki
karakteristik spektral yang berbeda (tampak, inframerah, dekat, tengah dan jauh).
(Wannamaker 1996, diacu dalam Hoffman 2000).
Proses geografis lebih lanjut dilakukan dengan Sistem Tampilan dan
Analisa Geografis (GADS) dan Arcview 3.2. Dengan tingkat pengulangannya yang
tinggi, NOAA-AVHRR memiliki kemampuan untuk mendeteksi aktivitas
kebakaran (High Temperature Even atau Hotspot) berdasarkan pengukuran
temperature pada waktu sebenarnya. Hotspot tidak memberikan informasi
mengenai jumlah, ukuran dan intensitas kebakaran serta ukuran luas yang terbakar
(Malingreau 1990, diacu dalam Hoffman 2000).
Satelit NOAA ini membutuhkan waktu 102 menit untuk mencapai satu
putaran (orbit). Selama melakukan satu putaran penuh, satelit NOAA ini membelok
25° sehingga dapat memberikan gambaran yang berbeda dari permukaan bumi
setiap melewatinya. Dengan ukuran pixel seluas 1,1 km2, hotspot akan mudah
terdeteksi jika areal memancarkan panas seluas 40 x 40 m2 atau lebih. Saat ini ada
enam satelit berfungsi, yaitu NOAA 10, 12, 14, 15, 16, 18. Perbedaan yang terdapat
pada keeenam satelit NOAA ini terletak pada treshold temperature yang dapat
ditangkap (ASMC 2002).
Terdapat beberapa kelemahan pada satelit NOAA yang berfungsi sebagai
pemantau titik panas yaitu sensornya tidak dapat menembus awan, asap dan aerosol
sehingga memungkinkan jumlah hotspot yang terdeteksi pada saat kebakaran besar
jauh lebih rendah daripada seharusnya. Sifat sensor yang sensitif terhadap suhu
permukaan bumi ditambah dengan resolusinya yang rendah menyebabkan
kemungkinan terjadinya salah perkiraan hotspot, misalnya cerobong api dari
tambang minyak atau gas seringkali terdeteksi sebagai suatu hotspot. Oleh karena
itu diperlukan analisa lebih lanjut dengan melakukan overlay (penggabungan)
antara data hotspot dengan peta penutupan lahan atau penggunaan lahan dengan
menggunakan sistem informasi geografis serta dengan melakukan cek lapangan
(ground surveying) (Adinugroho et al. 2005).
Dengan NOAA-AVHRR tidaklah mungkin untuk mengukur secara tepat
luas area yang terbakar ataupun memberikan data yang tepat mengenai kerusakan
vegetasi. Koordinat hotspot mewakili titik tengah dari piksel kebakaran yang
terdeteksi dan bukan koordinat letak kebakaran di permukaan bumi yang
sesungguhnya. Kebakaran atau beberapa kebakaran dapat terletak dalam radius 500
meter dari koordinat titik tengah tersebut. Lebih jauh lagi, sangatlah sulit untuk
menjamin registrasi yang baik dari citra NOAA-AVHRR secara berturut-turut.
Kekeliruan registrasi tergantung pada keakuratan operator ketika menumpang
susunkan garis pantai dalam proses geoferensi citra. Sehubungan dengan kasarnya
skala citra tersebut (kira-kira 1: 6.000.000) kualitas registrasi juga tergantung pada
kualitas citra itu sendiri. Semakin jelas garis pantai yang dapat dilihat maka
semakin akurat hasil geoferensinya. Sebagai tambahan, keakuratan alat scanner
AVHRR diperburuk oleh besarnya sudut pemantauan. Bila digabungkan menjadi
satu, diperkirakan kekeliruan medan dari hotspot NOAA-AVHRR sekitar 3 km
(Hoffman 2000).
Pada sensor AVHRR, saluran 3 dan 4 merupakan channel yang paling
sesuai untuk pendeteksian kebakaran yaitu dua saluran infra merah thermal
pertama. Proses pendeteksian kebakaran berdasarkan pada pengukuran temperatur
permukaan bumi yang diperoleh dari saluran 3. Sebuah pixel dideteksi sebagai
piksel kebakaran atau hotspot ketika saluran 3 dipenuhi oleh temperatur spesifik
vegetasi yang terbakar. Oleh karena itu untuk menghindari salah deteksi
sehubungan dengan tingginya temperatur latar belakang (tanah), refleksi awan, atau
refleksi matahari oleh air, pemrosesan satelit dilakukan dengan menggunakan
alogaritma-alogaritma khusus. Temperatur ambang batas untuk saluran 3
ditentukan secara manual untuk setiap citra yang diperoleh dari fasilitas yang ada
pada layar. Fasilitas tersebut menunjukkan distribusi piksel dalam hubungannya
dengan temperatur yang terukur (Hoffman 2000).
2.3. Pencemaran Udara dan Kabut Asap
2.3.1.Pencemaran Udara
Pencemaran Lingkungan Hidup adalah (Pasal 1 ayat 12, UU No.23 tahun
1997) adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Pencemaran udara adalah
masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara
ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai tingkat
tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya
(Bapedal 2001). Menurut Wardhana (1994) pencemaran udara diartikan sebagai
adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan
perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya.
Efek dari pencemaran udara dapat berupa gangguan kenyamanan dan
estetika kerusakan harta benda, kerusakan pada binatang dan tumbuhan, gangguan
pada kesehatan manusia, kerusakan sistem reproduksi dan genetik serta kerusakan
ekosistem (Effendi dan Effendi 2002).
Menurut Kozak dan Sudarmo (1992) diacu dalam Tristiyenny (2003) ada
dua bentuk emisi dari unsur pencemaran udara :
1. Pencemar udara primer (Primary air pollution)
Emisi zat-zat pencemar udara langsung ke atmosfer dari sumber-sumber
diam maupun bergerak. Misalnya : CO, CO2, NO2, SO2, CFC, Cl2, partikel-partikel
debu.
2. Pencemar udara sekunder ( Secondary air pollution)
Emisi pencemar udara dari hasil proses fisika dan kimia di atmosfer dalam
bentuk fotokimia yang umumnya bersifat rekatif dan mengalami transformasi fisika
dan kimia menjadi unsur/senyawa. Bentuknya akan berbeda atau berubah pada saat
diemisikan hingga setelah ada di atmosfer. Misalnya ozon (O3), aldehida, hujan
asam, dan sebagainya.
Tidaklah mudah untuk menghubungkan pencemaran udara dengan
terjadinya suatu penyakit atau terjadinya kematian. Hal ini disebabkan
(Kusnoputranto 2000) :
a. Jumlah dan keanekaragaman zat pencemar
b. Kesulitan dalam mendeteksi zat pencemar yang membahayakan pada
konsentrasi rendah
c. Interaksi sinergistik antar zat-zat pencemar
d. Kesulitan dalam mengisolasi faktor tinggal yang menjadi penyebab karena
manusia terpajan terhadap sejumlah zat pencemar yang berbahaya untuk
jangka waktu yang cukup lama.
e. Penyebab jamak dan masa inkubasi lama dari penyakit-penyakit yang
diduga diakibatkannya (misal : emfisema, bronkitis kronik, kanker,
jantung).
2.3.2.Kabut Asap dari Kebakaran Hutan
Kabut asap merupakan sebutan untuk keadaan udara berasap/berkabut (yang
disebabkan kebakaran hutan dalam skala besar) yang didominasi partikel (Heil
1998, diacu dalam Tristitenny 2003).
Jenis-jenis bahan utama yang terbakar, misalnya tumbuh-tumbuhan yang
mengandung bahan-bahan organik, yang bila terbakar akan menghasilkan debu dan
berbagai zat kimia, antara lain aldehid, sulfur, CO, hidrogen sulfida, nitrogen
oksida, fenol, kresol, toluen, partikel debu dan beberapa jenis senyawa hidrokarbon
merupakan faktor yang mempengaruhi angka ISPU (WHO 1992 dan Agee 1993,
diacu dalam Tristiyenny 2003).
Menurut GTZ (1998) asap yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan
dalam skala besar ditandai dengan partikel yang tinggi, yang salah satu dampaknya
adalah memperkecil jarak pandang. Partikel ini mengandung kumpulan karbon
dalam berbagai diameter antara 0,001 μm - 100 μm. Dalam kebakaran hutan yang
lebih banyak partikel yang lebih kecil, sebagian partikel yang lebih besar telah jatuh
lebih dulu.
Partikel terdeposisi dengan berbagai ukuran sehingga mempunyai masa
tinggal yang berbeda di udara sehingga dapat dikelompokkan menjadi (Tristiyenny
2003) :
1. Partikel dengan ukuran diatas 10-100 mikron mempunyai masa tinggal di
udara selama 1-2 hari dan terdeposisi akibat presipitasi/hujan. Partikel
golongan ini tidak berbahaya karena akan ditangkap oleh bulu-bulu hidung.
2. Partikel dengan ukuran 1-10 mikron/PM 10 mempunyai masa tinggal di
udara cenderung lebih lama karena bertahan dalam bentuk suspensi di
udara. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap partikel ini adalah selaput
lendir.
3. Partikel berukuran < 2 mikron yang mempunyai masa tinggal di troposfer
selama 1-2 minggu kemudian naik ke stratosfer dan bertahan 1-2 minggu.
Effendi dan Effendi (2002) menyebutkan sumber alamiah partikel atmosfer
adalah debu yang memasuki atmofer karena terbawa oleh angin. Sumber artifisial
debu terutama adalah pembakaran yang dapat menghasilkan jelaga (partikel yang
terdiri atas karbon dan zat lain yang melekat padanya.
WHO (1987) menyatakan partikel dalam atmosfer mempunyai karakteristik
spesifik, dapat berupa zat padat maupun suspensi aerosol cair. Bahan partikel
tersebut dapat berasal dari proses kondensasi, proses dispersi maupun proses erosi
bahan tertentu. Berdasarkan ukuran secara garis besar partikel dapat merupakan
suatu :
a. Partikel debu kasar (coarse particle), jika diameternya > 10μm
b. Partikel debu, uap, asap jika diameternya antara 1-10μm
c. Aerosol, jika diameternya antara < 1μm
2.4. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah suatu kelompok penyakit
yang kompleks dan heterogen yang disebabkan oleh banyak agen etiologik dan
mempengaruhi berbagai tempat pada saluran pernafasan (WHO/UNICEF 1986).
Menurut Ditjen PPM & PLP Depkes (2004) menyatakan ISPA merupakan
singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut, istilah ini diadaptasi dari istilah
dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga
unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai
berikut:
1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran
pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa
saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam
saluran pernafasan (respiratorytract)
3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas
14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung
lebih dari 14 hari.
Terjadinya infeksi bakterial mudah terjadi pada saluran nafas yang telah
rusak sel-sel epitel mukosanya, yang dapat disebabkan oleh asap rokok dan gas
SO2 serta polutan utama pencemaran udara lainnya, sindroma imotil dan
pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi. (Alsagaff et al. 1989)
Etiologi ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.
Bakteri dari penyebab ISPA antara lain genus streptokokus, stafilokokus,
pnemokokus, hemofilus sedangkan virus penyebab ISPA adalah golongan
miksovirus, adenovirus, koronavirus dan lain-lain (Mansyoer et al. 2000, diacu
dalam Tristiyenny 2003).
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1.Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Indragiri Hulu provinsi Riau dan
Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor. Penelitian dilaksanakan selama pada bulan Maret sampai dengan Mei 2008.
3.2. Bahan dan Alat
3.2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer dengan beberapa
perangkat lunak yaitu Microsoft Excel, Minitab, Arcview 3.2 untuk pengolahan
dalam format Sistem Informasi Geografis (SIG), kamera digital, kalkulator dan alat
tulis.
3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Data jumlah penderita ISPA dari Dinas Kesehatan kabupaten Indragiri Hulu
selama tahun 2007 sebanyak 4 Puskesmas dari 4 kecamatan. Kecamatan dipilih
berdasarkan jumlah hotspot yang terdeteksi selama tahun 2007.
2. Data jumlah hotspot dari Kementrian Lingkungan Hidup tiap bulan selama
tahun 2007 di Kabupaten Indragiri Hulu.
3. Data unsur iklim bulanan selama tahun 2007 dari stasiun meteorologi Japura
Rengat yang terletak pada koordinat 20°LU/102°BT .
4. Data wilayah kehutanan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.Indragiri
Hulu Riau
5. Data kependudukan (Indragiri Hulu dalam Angka) dari BPS Kabupaten
Indragiri Hulu
3.3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi yang bertujuan mendiskripsikan hubungan
korelatif antara dua variabel, dimana unit observasi dan unit analisis adalah
kelompok (agregat) individu, dalam hal ini agregat dibatasi secara geografik.
Karena mengamati agregat individu dan bukannya peristiwa yang terjadi pada
individu itu sendiri, maka studi ini disebut juga studi korelasi ekologi atau analisis
ekologi (Murti 1997 diacu dalam Tristiyenny 2003).
Kelemahan studi ini adalah ketidakmampuan mengontrol pengaruh faktor
yang menjadi faktor perancu, dimana faktor-faktor perancu tersebut bersama-sama
faktor penelitian berkorelasi dengan penyakit, menciptakan keadaan yang disebut
multikolineritas. Studi ini bukan rancangan yang kuat untuk menganalisis hubungan
sebab akibat karena ketidakmampuannya menjembatani kesenjangan status paparan
dan status penyakit pada tingkat populasi dan tingkat individu. Walaupun lemah
untuk pengujian hipotesis etiologi penyakit, studi korelasi populasi ini sangat
berguna untuk mengevaluasi dampak dari program intervensi kesehatan pada
populasi sasaran (Kleinbaum et al. 1982 diacu dalam Tristiyenny 2003).
Penelitian ini mengukur hubungan antara peningkatan sebaran titik panas
(hotspot) sebagai penunjuk adanya kebakaran hutan dan lahan dengan peningkatan
kejadian ISPA di beberapa kecamatan di Indragiri Hulu pada periode Februari
sampai Agustus 2007. Pertimbangan bulan yang diambil karena data yang
diperoleh dari Kementrian Lingkungan Hidup 2007 menunjukkan bahwa jumlah
hotspot terdeteksi paling banyak terdapat pada bulan Februari dan Agustus.
Kecamatan yang dianalisis dibagi berdasarkan jumlah hotspot selama tahun 2007
dengan pembagian sebagai berikut:
0 - 10 hotspot : Kecamatan Lubuk Batu Jaya
10 - 20 hotspot : Kecamatan Kelayang
20 – 30 hotspot : Kecamatan Peranap
30 – 40 hotspot : Kecamatan Rengat Barat
Selanjutnya akan dilakukan penelitian deskriptif untuk memperoleh
gambaran mengenai peningkatan dampak kesehatan yang terbatas pada penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut dilihat dari kelas umur dan jenis kelamin.
3.4. Analisis Data
3.4.1. Uji Korelasi
Dalam studi korelasi populasi ini prinsipnya adalah dua variabel (X,Y)
diukur pada tiap-tiap unit observasi. Kemudian sejumlah n pasangan (X,Y)
dipertemukan untuk mencari hubungannya. Kekuatan hubungan linier antara
variabel X dan variabel Y dihitung dalam koefisien yang disebut koefesien korelasi
(r). Koefisien korelasi mengukur berapa besar perubahan setiap unit variabel diikuti
oleh perubahan setiap unit paparan, atau sebaliknya (Murti 1997 diacu dalam
Tristiyenny 2003)
Nilai korelasi (r) berkisar dari 0 sampai dengan 1 atau bila disertai arahnya
nilainya antara -1 sampai dengan +1 (Walpole 1988). Colton dalam Tristiyenny
2003 menyatakan kekuatan hubungan antara dua variabel secara kualitatif dapat
dibagi dalam 4 area, yaitu :
1. r = 0,00 – 0,25 tidak ada hubungan
2. r = 0,26 – 0,50 hubungan sedang
3. r = 0,52 – 0,75 hubungan kuat
4. r = 0,76 – 1,00 hubungan sangat kuat/sempurna
Untuk selanjutnya akan digunakan batasan ini dalam melihat hubungan
antara jumlah hotspot dengan kejadian ISPA.
3.4.2. Uji Regresi
Untuk melihat bentuk hubungan antara dua variabel digunakan analisis
regresi. Regresi linear bertujuan untuk membuat sebuah persamaan untuk
memperkirakan nilai suatu variabel melalui variabel lain. Dalam penelitian ini akan
diprediksi peningkatan kejadian ISPA dengan peningkatan jumlah hotspot.
Untuk memprediksi pada penelitian ini digunakan persamaan garis dengan
regresi linear yang dituliskan dalam bentuk :
Y = a + bX
Y = variabel dependen
X = variabel independen
a = intersep, perkiraan besarnya rata-rata variabel Y ketika variabel X=0
b = kemiringan/gradien, perkiraan besarnya perubahan nilai variabel Y bila nilai
variabel X berubah satu unit pengukuran.
Ukuran yang terpenting dalam analisis regresi adalah koefisien determinasi
(R2), dimana nilai tersebut berguna untuk mengetahui seberapa besar variabel
dependen (Y) dapat dijelaskan oleh variabel independen (X) atau seberapa jauh
variabel independen dapat memprediksi variabel dependen. Besarnya nilai R2
antara 0 - 1 atau 0% sampai dengan 100%. Jika model persamaan yang diperoleh
menghasilkan nilai koefisien determinasi yang rendah (R2<50%), maka model
persamaan yang dihasilkan tidak relevan untuk diterapkan dalam perhitungan
hubungan antara parameter kejadian ISPA dengan jumlah hotspot.
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. GEOGRAFI
4.1.1 Luas dan Letak Wilayah
Luas wilayah Kabupaten Indragiri Hulu meliputi 8.198,26 km2
(819.826 Ha) yang terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi dan rawa-rawa.
Kabupaten Indragiri Hulu terletak pada 0°15 Lintang Utara, 1°5 Lintang Selatan
dan 102°10 Bujur Timur 102°48 Bujur Timur (BPS 2006).
Tabel 1. Luas dan ketinggian wilayah Kab. Indragiri Hulu
Luas
Ketinggian (m) Ha %
0-25 320.503 25,56
25-100 660.244 52,66
100-500 265.000 21,13
Jumlah 819.826 99,35
Sumber : BPS Inhu 2006
4.1.2 Batas Wilayah
Kabupaten Indragiri Hulu berbatasan dengan :
1. Sebelah Utara dengan Kabupaten Pelalawan
2. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Bungo Tebo (Propinsi Jambi)
3. Sebelah Barat dengan Kabupaten Kuantan Singingi
4. Sebelah Timur dengan Kabupaten Indragiri Hilir
4.1.3 Iklim
4.1.3.1 Suhu dan Kelembaban Udara
Suhu dan kelembaban udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh
rendahnya tempat tersebut terhadap permukaan laut dan jaraknya dari pantai.
Suhu udara maksimum pada tahun 2007 yaitu 33,2°C, sedangkan suhu minimum
berkisar pada 21,9° C. Kelembaban udara maksimum cukup tinggi yaitu 87%,
sedangkan kelembaban udara minimum 84% (BMG Japura 2007).
4.1.3.2 Curah Hujan
Curah hujan di suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh keadaan iklim,
keadaan ortographi dan perputaran/pertemuan arus udara, oleh karena itu jumlah
curah hujan beragam menurut bulan dan stasiun pengamat. Pada tahun 2007 curah
hujan tertinggi sebesar 354,9 mm pada bulan Mei, kemudian curah hujan
terendah adalah 65,2 mm pada bulan Juni (BMG Japura 2007)
4.2. PENDUDUK DAN TENAGA KERJA
4.2.1. Penduduk
Data BPS 2006 mencatat penduduk kabupaten Indragiri Hulu pada tahun
2006 sebesar 317.542 jiwa dimana penduduk laki-laki sebanyak 153.219 jiwa
(48,25%) dan penduduk perempuan 164.323 jiwa (51,75%). Penduduk perempuan
di kabupaten Indragiri Hulu lebih besar dibandingkan penduduk laki-laki,
sehingga seks ratio di kabupaten Indragiri Hulu sebesar 93,24% artinya terdapat
93 penduduk laki-laki setiap 100 penduduk perempuan.
Tabel 2. Jumlah penduduk Kabupaten Indragiri Hulu 2006 Penduduk No Kecamatan Jumlah desa
Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Peranap 12 9.806 14.698 24.504 2. Batang Peranap 10 3.421 3.299 6720 3. Seberida 11 15.303 16.577 31.880 4. Batang Cenaku 10 12.508 12.181 24.689 5. Batang Gansal 20 10.354 9.987 20.341 6. Kelayang 17 10.603 14.825 25.428 7. Rokit Kulim 19 7.504 7.331 14.835 8. Pasir Penyu 13 10.886 16.317 27.203 9. Lirik 17 10.873 10.125 20.998 10. Sungai Lala 12 6.343 5.862 12.205 11. Lubuk Batu Jaya 9 9.791 8.539 18.330 12. Rengat Barat 18 17.973 16.325 34.298 13. Rengat 16 20.993 21.262 42.255 14. Kuala Cenaku 10 6.862 6.994 13.856 Jumlah 194 153.219 164.323 317.542 Sumber : BPS Indragiri Hulu 2006
4.3. KESEHATAN
Fasilitas kesehatan di kabupaten Indragiri Hulu sebanyak 730 buah,
dengan rincian 1 rumah sakit umum, 15 puskesmas, 86 puskesmas pembantu, 15
puskesmas keliling, 345 posyandu, 10 rumah bersalin, 13 balai pengobatan/klinik,
8 apotik, dan 23 toko obat. Jika dibandingkan dengan tahun 2005, fasilitas
kesehatan di Kabupaten Indragiri Hulu sudah mengalami peningkatan jumlahnya,
seperti halnya puskesmas sudah tersedia di setiap kecamatan di Kabupaten
Indragiri Hulu. Terdapat 526 tenaga kesehatan, 64 diantaranya dokter dan 401
perawat dan bidan yang tersebar di setiap puskesmas di kabupaten Indragiri Hulu
(BPS 2006). Puskesmas tersebar masing-masing satu di setiap kecamatan kecuali
di kecamatan Rengat yang memiliki dua buah kecamatan.
BAB V
HASIL PEMBAHASAN
A. Hasil
Jumlah hotspot yang terdeteksi di Kabupaten Indragiri Hulu dari tahun
ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena animo
masyarakat asli maupun pendatang sangat kuat untuk membuka lahan
perkebunan kelapa sawit dan karet. Kelapa sawit berkembang baik di kabupaten
ini disebabkan oleh letak geografis kabupaten yang dilintasi oleh garis ekuator.
Faktor pendukung lainnya adalah faktor curah hujan, kemiringan lahan dan
kelembaban.Untuk tahun 2007, hotspot yang terdeteksi di Kabupaten Indragiri
Hulu dapat dilihat pada peta berikut ini :
Gambar 2. Peta sebaran hotspot Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2007
Selama tahun 2007, angin cenderung bergerak ke arah utara dan selatan.
Hal ini akan mempengaruhi pergerakan asap di saat terjadinya kebakaran hutan
dan lahan. Sehingga tidak ada jaminan kecamatan yang tidak terdeteksi hotspot,
tidak akan terkena dampak akibat asap kebakaran hutan. Untuk mengetahui
jumlah hotspot bulanan pada tiap kecamatan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :
Tabel 3. Sebaran Hotspot Bulanan di Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2007.
Bulan Kecamatan
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
∑ Hotspot per
kecamatan Peranap 0 1 2 0 3 5 1 11 0 2 0 0 25 Batang Peranap 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Seberida 0 5 6 0 0 5 3 10 1 5 0 0 35 Batang Cenaku 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Batang Gansal 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Kelayang 0 3 1 0 0 2 0 11 1 1 0 0 19 Rokit Kulim 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Pasir Penyu 2 8 0 0 0 2 0 11 0 2 0 0 25
Lirik 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Sungai Lala 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Lubuk Batu Jaya 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Rengat Barat 1 5 2 1 0 7 7 13 0 0 0 0 36 Rengat 3 6 2 0 0 4 7 6 1 1 0 0 30 Kuala Cenaku 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Pada tabel berikut ini dapat dilihat data jumlah pasien yang terinfeksi
saluran pernafasan akut dari bulan Februari sampai dengan Agustus pada tiap
kecamatan yang dianalisis.
Tabel 4. Data jumlah hotspot perbulan dan jumlah pasien ISPA Bulan
Kecamatan Februari Maret April Mei Juni Juli Agus
Total
( orang)
Rengat Barat
∑ ISPA (orang) 213 296 52 225 241 215 128 1370
∑ Hotspot 5 2 1 0 7 7 13 35
Peranap
∑ ISPA (orang) 57 66 64 64 59 48 64 422
∑ Hotspot 1 2 0 3 5 1 11 23
Kelayang
∑ ISPA (orang) 155 90 56 49 126 95 130 701
∑ Hotspot 3 1 0 0 2 0 11 17
Lubuk Batu Jaya
∑ ISPA (orang) 46 71 56 39 18 43 62 335
∑ Hotspot 0 0 0 0 0 0 0 0
Sumber : KLH dan Dinas Kesehatan Inhu 2007 Untuk melakukan analisis statistik, total pasien yang terinfekasi saluran
pernafasan akut dari tiap kecamatan dihubungkan dengan jumlah hotspot dari
bulan Februari sampai dengan Agustus tahun 2007.
Tabel 5. Rekapitulasi jumlah hotspot dan jumlah pasien ISPA Kab. Indragiri Hulu Kecamatan ∑ hotspot (buah) ∑ pasien (orang)
Rengat Barat 35 1370
Peranap 23 422
Kelayang 17 701
Lubuk Batu Jaya 0 335
Sumber : KLH dan Dinas Kesehatan Inhu 2007
Pada penelitian ini, dilihat juga keterkaitan antara jumlah pasien ISPA
dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan memasukkan faktor lain yaitu
jumlah penduduk. Dari tabel ini dilakukan analisis untuk megukur koefisien
korelasi dan memperoleh persamaan linear.
Tabel 6. Hubungan hotspot dengan jumlah pasien ISPA dan jumlah penduduk Kecamatan ∑ Hotspot
(buah)
∑ pasien
(orang)
Penduduk
(orang)
Pasien/Penduduk
Rengat Barat 35 1370 34.298 0,04
Peranap 23 422 24.504 0,02
Kelayang 17 701 25.428 0,03
Lubuk Batu Jaya 0 335 18.330 0,02
Sumber : KLH 2007, BPS 2006, Dinas Kesehatan Inhu 2007 Pasien yang terinfeksi penyakit ISPA dikelompokkan berdasarkan jenis
kelamin. Hal ini bertujuan untuk melihat jenis kelamin yang mana yang lebih
banyak terserang ISPA pada periode Februari sampai dengan Agustus tahun 2007
di Kabupaten Indragiri Hulu.
Tabel 7. Data Pasien ISPA berdasarkan jenis kelamin Bulan
Kecamatan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus
%ase /total
pasien
Rengat Barat
Laki-laki (orang) 107 153 26 159 146 107 70 56
Perempuan (orang) 106 143 26 66 95 108 58 44
Peranap
Laki-laki(orang) 34 35 32 32 31 36 20 52
Perempuan (orang) 23 31 32 32 28 12 44 48
Kelayang
Laki-laki(orang) 86 43 24 29 55 52 64 50
Perempuan (orang) 69 47 32 20 71 43 66 50
Lubuk Batu Jaya
Laki-laki(orang) 24 37 36 17 8 21 32 52
Perempuan (orang) 22 34 20 22 10 22 30 48
Untuk melihat rentang usia yang lebih banyak terserang ISPA, maka
pasien ISPA dikelompokkan menjadi 6 kelas umur. Pada tabel 8, 9, 10 dan 11
dapat dilihat jumlah pasien dengan masing-masing kelas umur pada 4 kecamatan
yang dianalisis.
Tabel 8. Pasien ISPA berdasarkan kelas umur di Kecamatan Rengat Barat
Bulan
<1 th
(orang)
1-5 th
(orang)
5-14 th
(orang)
15-24 th
(orang)
25-44th
(orang)
45 th +
(orang)
Februari 20 26 60 35 13 59
Maret 53 41 64 32 31 75
April 8 20 3 18 0 3
Mei 1 81 59 55 24 5
Juni 31 67 59 15 40 29
Juli 30 56 33 11 42 43
Agustus 31 41 10 7 27 12
Persentase 13% 24% 21% 13% 13% 16%
Sumber : Dinas Kesehatan Inhu 2007 Tabel 9. Pasien ISPA berdasarkan kelas umur di Kecamatan Peranap
Bulan
<1 th
(orang)
1-5 th
(orang)
5-14 th
(orang)
15-24 th
(orang)
25-44th
(orang)
45 th +
(orang)
Februari 5 17 15 10 3 7
Maret 19 17 16 12 2 0
April 18 16 16 12 2 0
Mei 18 16 16 12 2 0
Juni 16 15 16 10 2 0
Juli 19 16 7 5 1 0
Agustus 3 10 33 11 4 3
Persentase 23% 25% 28% 17% 4% 2%
Sumber : Dinas Kesehatan Inhu 2007
Tabel 10. Pasien ISPA berdasarkan kelas umur di Kecamatan Kelayang
Bulan
<1 th
(orang)
1-5 th
(orang)
5-14 th
(orang)
15-24 th
(orang)
25-44th
(orang)
45 th +
(orang)
Februari 16 38 29 21 35 16
Maret 17 23 16 9 17 8
April 7 15 16 7 9 2
Mei 5 20 8 11 4 1
Juni 9 26 19 19 50 3
Juli 6 11 16 11 31 20
Agustus 14 28 14 18 37 19
Persentase 11% 23% 17% 14% 26% 10% Sumber : Dinas Kesehatan Inhu 2007 Tabel 11. Pasien ISPA berdasarkan kelas umur di Kecamatan Lubuk batu Jaya
Bulan
<1 th
(orang)
1-5 th
(orang)
5-14 th
(orang)
15-24 th
(orang)
25-44 th
(orang)
45 th +
(orang)
Februari 0 21 15 10 0 0
Maret 0 19 26 14 12 0
April 0 8 9 27 12 0
Mei 0 8 8 16 7 0
Juni 0 8 3 5 2 0
Juli 0 10 9 15 8 1
Agustus 0 16 16 25 5 0
Persentase 0% 27% 26% 33% 14% 0% Sumber : Dinas Kesehatan Inhu 2007
Tabel dibawah ini menunjukkan rekapitulasi dari persentase kelas umur
pada masing-masing kecamatan. Data yang direkap, selanjutnya dirata-ratakan
untuk melihat perbandingan persentase dari tiap kelas umur.
Tabel 12.Rekapitulasi Pasien ISPA berdasarkan kelas umur
Kecamatan <1 th (%)
1-5 th (%)
5-14 th (%)
15-24 th (%)
25-44 th (%)
45 th + (%)
Rengat Barat 13 24 21 13 13 16
Peranap 23 25 28 17 4 2
Kelayang 11 23 17 14 26 10
Lb. Batu Jaya 0 27 26 33 14 0
Rata-rata 12 25 23 19 14 7 Sumber : Dinas Kesehatan Inhu 2007
5.2. Pembahasan 5.2.1. Sebaran Hotspot
Kabupaten Indragiri Hulu merupakan salah satu wilayah di Propinsi Riau
yang setiap tahunnya terdeteksi hotspot sebagai indikasi terjadinya kebakaran
hutan. Latar belakang Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Indragiri Hulu
adalah pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan karet yang telah
menjadi komoditas utama kabupaten ini. Api sampai saat ini masih dianggap
sebagai manajemen yang relatif murah, mudah dan praktis. Kabupaten Indragiri
Hulu memiliki 14 kecamatan dengan luas wilayah 8.198,26 km2 mempunyai
hotspot sebanyak 171 buah, akan hotspot hanya tersebar di 6 kecamatan saja yakni
kecamatan Peranap, Seberida, Kelayang, Pasir Penyu, Rengat Barat dan Rengat.
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa hotspot dalam jumlah yang
banyak tidak hanya terdeteksi pada bulan-bulan kering saja. Dengan asumsi bulan
kering dimulai Maret sampai Agustus dan bulan basah dimulai dari September
sampai dengan Februari, jumlah hotspot terbanyak terdapat pada bulan transisi
perubahan musim. Pada bulan Agustus hotspot tertinggi sebanyak 63 buah dan
dilanjutkan pada bulan Februari yang terdeteksi 28 hotspot. Tingginya jumlah
hotspot pada bulan Agustus berhubungan dengan penyiapan/pembukaan lahan
untuk mengejar musim hujan pada bulan September.
Meskipun pada kenyataannya, batasan antara bulan basah dengan bulan
kering sudah tidak jelas lagi. Curah hujan tertinggi terdapat di bulan Mei yang
termasuk ke dalam kelompok bulan kering (lampiran 4). Hal ini berhubungan
dengan perubahan iklim akibat pemanasan global yang membuat kondisi iklim
tidak menentu. Pemanasan global terjadi ketika ada konsentrasi gas-gas tertentu
khususnya CO2 dan chlorofluorocarbon yang dikenal dengan gas rumah kaca
terus bertambah di udara, Karbondioksida umumnya dihasilkan oleh penggunaan
batubara, minyak bumi, gas dan penggundulan hutan serta pembakaran hutan.
Menurut Kelompok Kerja Pemanasan Global (2002) penggundulan hutan
mengurangi penyerapan karbon oleh pohon, yang menyebabkan emisi karbon
bertambah sebesar 20%, dan mengubah iklim mikro lokal dan siklus hidrologis,
sehingga mempengaruhi kesuburan tanah.
5.2.2 Hotspot dan Penderita ISPA
Hutan yang terdiri dari makhluk hidup seperti tumbuh-tumbuhan atau
hewan mengandung unsur-unsur organik C, H, O, N, S dan P. Sehingga dari hasil
Kebakaran Hutan dan Lahan akan menimbulkan bau karena terbakarnya berbagai
protein atau makhluk hidup yang menghasilkan berbagai polutan berupa partikel
dan gas. Menurut GTZ (2008) pada umumnya partikel dan berbagai gas yang
terlepas selama pembakaran biomasa (CO, Hidrokarbon, NOx, CH4, O3 dan lain-
lain) terdapat di garis lintang tropis terutama pada saat hutan dan ladang
dibersihkan dengan pembakaran. Gas ini berdampak terhadap kesehatan manusia
tetapi dalam penelitian ini dampak kesehatan dari gas-gas tersebut tidak dibahas.
Kebakaran hutan dan lahan yang menghasilkan asap akan menimbulkan
pencemaran udara. GTZ (2008) menyatakan bahwa kabut asap yang berasal dari
Kebakaran Hutan dan Lahan dalam skala besar ditandai dengan kadar partikel
yang tinggi yang salah satu dampaknya adalah memperkecil jarak pandang.
Dalam kebakaran hutan lebih banyak partikel yang lebih kecil sebagian partikel
yang lebih besar telah jatuh lebih dulu.
Polutan partikel padat (PM) dapat berasal dari bahan organik dan
anorganik. Partikel debu yang dapat dihirup pada pernafasan manusia berukuran
0.1-10 mikron. Partikel ini akan berada di atmosfir sebagai suspended particulate
matter dan mempunyai pengaruh besar untuk menimbulkan kerusakan jaringan
dan faal paru. Dikutip dari Bates, debu-debu berdiameter 5-10 mikron akan
tertahan dan tertimbun pada saluran nafas bagian tengah, debu yang berdiameter
1-3 mikron akan tertahan dan tertimbun pada bronkiolus terminal, sedangkan
untuk debu yang berukuran kurang dari 1 mikron akan keluar masuk mengikuti
gerak Brown (Awaloeddin 2007).
Partikel-partikel mempunyai potensi merusak sistem mukosilier (silia pada
mukosa yang berfungsi untuk mengeluarkan benda asing) dan merangsang proses
fibrosis (jaringan parut) paru (Awaloeddin 2007). Dalam kaitan dengan kebakaran
hutan ini, ISPA terjadi karena pertahanan saluran pernafasan yakni sel-sel epitel
mukosa menjadi lemah atau bahkan rusak akibat menghirup udara yang tercemar
yang sarat dengan partikel debu, sehingga kuman mudah masuk dan berkembang
biak.
Penyakit yang berhubungan dengan kebakaran hutan antara lain adalah
Infeksi Saluran Pernafasan Akut, pneumonia, asma, iritasi mata dan iritasi kulit.
Skema berikut menjelaskan hubungan antara kebakaran hutan dengan peningkatan
kejadian ISPA di Kabupaten Indragiri Hulu.
Gambar 2. Konsep hubungan antara Kebakaran Hutan dan Lahan dengan
Timbulnya Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit
Kebakaran hutan dan lahan
(hotspot)
Pencemaran udara akibat partikel dan gas polutan. Seperti asap, debu, CO, NOx, CH4, fog, hidrokarbon,dll
Penyakit saluran pernafasan misalnya: (ISPA)
Pada kecamatan Rengat Barat jumlah pasien terbanyak terdapat di bulan
Maret dengan jumlah hotspot 2 buah. Jumlah pasien terendah terdapat di bulan
April pada saat deteksi hotspot hanya 1 saja. Perhitungan tidak dilakukan tiap
bulan karena ISPA adalah penyakit akut dengan batasan 14 hari. Misalnya pasien
bulan Maret bisa saja sudah diserang penyakit ISPA sejak bulan sebelumnya.
Bulan Agustus dengan 13 hotspot ditemukan pasien sebanyak 128 orang, jumlah
ini cukup signifikan jika dibandingkan dengan bulan Mei yang tidak ditemukan
titik panas. Dari 7 bulan (Februari – Agustus 2007) pasien ISPA di kecamatan
Rengat Barat berjumlah 1370 orang dengan deteksi 37 hotspot.
Di kecamatan Peranap hotspot terbanyak terdapat pada bulan Agustus,
sedangkan pada bulan lainnya terdeteksi tidak lebih dari 5 hotspot. Jumlah pasien
tiap bulannya tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Jumlah pasien
terbanyak terdapat pada bulan Maret dan yang paling sedikit terdapat pada bulan
Juli. Dari bulan yang dianalisis terdapat 23 buah hotspot dengan jumlah pasien
ISPA sebanyak 422 orang.
Di kecamatan Kelayang terjadi perubahan yang signifikan pada jumlah
pasien ISPA. Jumlah minimum terdapat pada bulan Mei sebanyak 49 orang dan
yang tertinggi terdapat pada bulan Februari dengan jumlah pasien ISPA sebanyak
155 orang. Selain bulan Februari, Juni dan Agustus juga menunjukkan jumlah
pasien yang cukup tinggi. Jumlah hotspot tertinggi terdapat pada bulan Agustus,
sedangkan untuk bulan lainnya dapat dikatakan sangat sedikit terdeteksi hotspot
bahkan bulan April, Mei, Juli tidak ditemukan satupun hotspot.
Kecamatan Lubuk Batu Jaya selama tahun 2007 tidak terdeteksi hotspot.
Jumlah pasien ISPA tiap bulannya tidak pernah lebih dari 75 orang. Jumlah pasien
terendah terdapat pada bulan Juni dan yang tertinggi terdapat pada bulan Maret.
Hal ini disebabkan karena pengaruh kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di
kecamatan lain.
Berdasarkan Tabel 5, dilakukan analisis statistik dengan menggunakan
Minitab 14 untuk uji korelasi dan uji regresi. Uji korelasi dilakukan untuk melihat
hubungan antara jumlah hotspot dengan jumlah pasien ISPA, sedangkan uji
regresi dilakukan untuk melihat pengaruh kebakaran hutan dan lahan terhadap
kejadian penyakit ISPA , dan diperoleh hasil sebagai berikut :
r (Koefisien korelasi) = 0,81
r 2 (Koefisien determinasi) = 65,2 %
dengan persamaan garis :
dengan :
Y = jumlah pasien ISPA
X = jumlah hotspot
Dari hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa antara jumlah hotspot dengan
jumlah pasien ISPA mempunyai korelasi positif yang sangat kuat (r = 0,81).
Jumlah pasien ISPA dipengaruhi 65,2% oleh jumlah hotspot dan 34,8% jumlah
pasien ISPA dipengaruhi oleh faktor diluar kebakaran hutan dan lahan. Persamaan
garis juga relevan karena dengan uji R square lebih besar dari 50%. Jadi
peningkatan jumlah hotspot akan diikuti oleh peningkatan pasien ISPA.
Pada kecamatan Lubuk Batu Jaya, dari koefisien korelasi yang diperoleh
dapat dikatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di satu kecamatan
tidak hanya memberikan dampak negatif terhadap kesehatan di dalam kecamatan
itu sendiri. Karena pengaruh hotspot terhadap pasien sangat kuat (dilihat dari hasil
analisis statistik yang diperoleh), maka pasien ISPA di kecamatan Lubuk Batu
Jaya dipengaruhi oleh kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di kecamatan lain.
Hal ini disebabkan karena asap bergerak dan tidak selalu diam di atmosfer.
Pergerakan asap dipengaruhi oleh arah angin, kecepatan angin dan kondisi
atomosfir.
Pada keadaan atmosfir stabil, masa udara akan mengalami pengangkatan
sampai ketinggian tertentu dan akan turun kembali di daerah lain. Dalam
kebakaran hutan dan lahan skala besar, asap bias berdampak ke negara lain yang
dikenal dengan sebutan transboudary haze pollution. Pada keadaan atmosfir tidak
stabil massa udara dari permukaan mengalami pengangkatan dan massa udara
akan cenderung naik terus maka asap tidak tertahan pada lapisan troposfir bawah
dekat permukaan. Situasi seperti ini tidak membahayakan dari segi pencemaran
asap. Pada keadaan atmosfir netral massa udara akan tetap (tidak mengalami
pengangkatan dan tidak turun) maka asap yang timbul akan bertahan di daerah
asalnya sehingga juga berbahaya bagi kesehatan dan dapat menganggu aktivitas.
Y = 220 + 26 X
Arah angin selama tahun 2007 didominasi ke arah utara dan selatan. Dari
pergerakan angin dapat diasumsikan bahwa pasien ISPA pada kecamatan Lubuk
Batu Jaya dapat dipengaruhi oleh kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di
kecamatan Rengat dengan angin yang bergerak ke selatan, Kelayang dan Seberida
dengan angin yang bergerak ke utara.
Dengan memasukkan faktor lain yaitu jumlah penduduk dapat dilakukan
analisis korelasi dan regresi. Hal ini juga dapat mendeskripsikan seberapa banyak
dari jumlah penduduk total di tiap kecamatan terkena penyakit ISPA dan
hubungannya dengan kebakaran hutan dan lahan. Jumlah penduduk terbanyak
terdapat di Kecamatan Rengat Barat dan yang paling sedikit adalah kecamatan
Lubuk Batu Jaya.
Setelah dilakukan analisis statistik, diperoleh nilai korelasi ( r ) = 0,74,
koefisien determinasi ( R2) = 54 % dan persamaan garis :
dengan :
Y = Jumlah pasien ISPA/jumlah penduduk ; X = Jumlah hotspot
Antara jumlah hotspot dan jumlah pasien ISPA per jumlah penduduk
mempunyai korelasi positif yang kuat (r = 0,74) karena jumlah pasien ISPA per
jumlah penduduk dipengaruhi 54% oleh jumlah hotspot sebagai indikasi
Kebakaran Hutan dan Lahan. Dari hasil uji R square 54%, (lebih besar dari 50%)
persamaan garis Y = 0,0184 + 0,000483 X relevan digunakan dalam menentukan
hubungan antara peningkatan hotspot dengan peningkatan pasien ISPA per jumlah
penduduk.
Dari kedua analisis diatas terlihat pengaruh antara hotspot dengan pasien
ISPA dapat dikatakan erat, baik dengan atau tanpa memperhatikan jumlah
penduduk masing-masing kecamatan.
Y = 0,0184 + 0,000483 X
5.2.3. Perbandingan Pasien ISPA Berdasarkan Jenis Kelamin
Pada penelitian ini, dilakukan analisis deskriptif pasien ISPA berdasarkan
jenis kelamin. Menurut Alsagaff (1989) untuk ISPA yang disebabkan oleh virus
wanita lebih rentan bila dibandingkan dengan pria namun pada waktu mensis
(haid) wanita lebih tahan terhadap infeksi virus.
Kecamatan Rengat Barat memiliki luas wilayah 921 km2 yang meliputi
11,23% total wilayah kabupaten ini. Data BPS tahun 2006, jumlah penduduk
sebanyak 34.298 jiwa dengan pembagian wanita dan laki-laki masing-masingnya
16.325 dan 17.973 jiwa. Dari Tabel 7 pasien laki-laki lebih banyak daripada
pasien perempuan dengan selisih 12%. Dari hasil tersebut tidak terlihat perbedaan
yang signifikan antara pasien ISPA apabila dilihat dari jenis kelaminnya. Pada
bulan April diperoleh angka yang sama antara pasien laki-laki dan pasien wanita.
Untuk bulan lainnya, pasien laki-laki cenderung lebih banyak dari pasien wanita.
Kecamatan Peranap membawahi 12 desa dengan luas wilayah 1700.98
km2, akan tetapi luas areal ini masih tergabung dengan Batang Peranap yang
sudah dimekarkan menjadi kecamatan baru sejak tahun 1999. Jumlah penduduk
yang menempati kecamatan ini sebanyak 24.504 jiwa dengan 14.698 penduduk
perempuan dan 9806 penduduk laki-laki. Pada bulan April dan Mei jumlah pasien
wanita dan laki-laki berbanding 1:1. Bulan Juli dan Agustus menunjukkan
perbedaan yang cukup signifikan antara pasien laki-laki dan pasien wanita. Dari
persentase total, pasien laki-laki sebesar 52% dan 48% untuk pasien perempuan.
Perbandingan perbedaan persentase pasien laki-laki dan wanita di kecamatan
Peranap lebih kecil jika dibandingkan dengan persentase pasien laki-laki dan
pasien wanita di Kecamatan Rengat Barat.
Kecamatan Kelayang terdiri dari 17 desa dengan jumlah penduduk
sebanyak 25.428 jiwa dengan pembagian 14.825 perempuan dan 10.603 laki-laki.
Perbandingan antara pasien ISPA laki-laki dengan pasien ISPA perempuan
berbanding sama. Pada bulan Februari, Mei dan Juli jumlah pasien laki-laki lebih
banyak dari pada pasien perempuan.
Kecamatan Lubuk Batu Jaya membawahi 9 desa dengan jumlah penduduk
18.330 jiwa dengan pembagian 8.539 perempuan dan 9.791 laki-laki. Pada bulan
Februari, Maret, April dan Agustus, pasien laki-laki lebih banyak bila
dibandingkan dengan pasien perempuan. Dari bulan Mei ke Juni terdapat
penurunan jumlah pasien baik laki-laki maupun perempuan yang cukup
signifikan. Seperti kecamatan Rengat Barat dan kecamatan Peranap, di kecamatan
Lubuk Batu Jaya diperoleh persentase pasien laki-laki yang lebih besar
dibandingkan dengan pasien perempuan.
Dari kecamatan yang dianalisis diatas, secara umum pasien laki-laki lebih
banyak dibandingkan dengan pasien wanita. Hanya di satu kecamatan Kelayang
persentase pasien wanita dan laki-laki sama besar. Akan tetapi perbedaan antara
jumlah pasien laki-laki dengan pasien perempuan tidak besar. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut :
Grafik 3. Perbandingan Pasien Laki-Laki dengan Pasien Perempuan pada
kejadian ISPA di Kab. Indragiri Hulu Pasien laki-laki lebih banyak dari pasien perempuan dapat disebabkan
dengan kebiasaan masyarakat. Laki-laki lebih banyak bekerja di ladang atau
berkebun dibandingkan dengan perempuan. Hal ini berkaitan dengan sektor utama
kabupaten ini adalah perkebunan kelapa sawit dan karet. Jadi dengan beraktivitas
di luar rumah kemungkinan terpajan udara tercemar juga akan makin besar
sehingga lebih berpeluang terinfeksi penyakit saluran pernafasan.
5.2.3. Perbandingan Pasien ISPA Berdasarkan Kelas Umur
Selain dari perbedaan jenis kelamin, pada penelitian ini dilakukan analisis
deskriptif pasien ISPA berdasarkan kelas umur. Pembagian kelas umur ini
dilakukan untuk memperoleh gambaran kelas umur mana yang lebih banyak
terkena penyakit ISPA. Kelas umur dibagi atas 6 kelas, dengan pembagian :
a. Kelas umur 0 – 1 tahun
b. Kelas umur 1 – 5 tahun
c. Kelas umur 5 - 14 tahun
d. Kelas umur 15 - 24 tahun
e. Kelas umur 25 - 44 tahun
f. Kelas umur 45 tahun keatas
Pada kecamatan Rengat Barat, kelas umur 1-5 tahun memiliki jumlah
pasien yang lebih banyak jika dibandingkan dengan kelas umur lain. Tiga kelas
umur yakni < 1 tahun, 15-24 tahun, 25-44 tahun mempunyai persentase jumlah
pasien yang sama sebesar 13%. Untuk kecamatan Peranap kelas umur dengan
jumlah pasien tertinggi terdapat pada kelas umur 5-14 tahun sebanyak 28%.
Tetapi angka ini tidak berbeda jauh dengan kelas umur 1-5 tahun sebesar 25%.
Kelas umur terendah terdapat pada kelas 45 tahun keatas sebesar 2%. Pada
kecamatan Kelayang, 25-44 tahun merupakan kelas umur dengan jumlah pasien
tertinggi sebesar 26%. Usia 45 tahun ke atas menjadi kelas umur dengan jumlah
pasien terendah sebesar 10% dari total penderita ISPA. Sedangkan untuk
kecamatan Lubuk Batu Jaya kelas umur 15-24 tahun adalah kelas umur dengan
pasien ISPA terbanyak sebesar 33%. Pada dua kelas umur yakni kelas umur
dibawah satu tahun dan diatas 45 tahun, tidak ditemukan pasien dengan penyakit
ISPA.
Menurut Alsagaff (1989) gambaran klinis yang disebabkan oleh infeksi
sangat tergantung pada :
1. Karakteristik inokulum,
Terdiri dari besarnya aerosol, tingkat virulensi jasad renik dan jumlah
jasad renik yang masuk.
2. Daya tahan tubuh seseorang
Terdiri dari utuhnya sel mukosa dan gerak mukosilia, makrofag alveoli,
dan IgA. IgA adalah antibodi yang terdapat pada saluran pernafasan yang banyak
terdapat di mukosa.
3. Umur
Umur mempunyai pengaruh besar terutama pada ISPA saluran pernafasan
bawah anak dan bayi yang akan memberikan gambaran klinik yang lebih buruk
bila dibandingkan orang dewasa. Terutama yang disebabkan oleh infeksi pertama
oleh virus, anak dan bayi tampak lebih berat karena belum memiliki kekebalan
alamiah. Pada orang dewasa, akan memberikan gambaran klinis yang ringan
sebab telah terjadi kekebalan yang diberikan oleh infeksinya yang terdahulu.
Kelas umur yang paling banyak terserang ISPA adalah usia 1-5 tahun
(Bawah Lima Tahun) sebesar 25%. Usia 5-14 tahun merupakan kelas umur
terbanyak setelah kelas umur Balita. Hal ini disebabkan karena perbedaan
kemampuan kekebalan tubuh terhadap agen penyakit. Bayi dan anak-anak lebih
lemah dari orang dewasa. Karena gambaran klinis yang lebih berat pada anak-
anak saat diserang agen penyakit, mereka akan dibawa oleh orang tuanya ke
layanan kesehatan setempat. Sedangkan untuk orang dewasa, meskipun telah
diserang oleh jasad renik pembawa penyakit, karena gejala yang ditimbulkan tidak
berat, mereka tidak langsung mendatangi layanan kesehatan.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Dari hasil analisis statistik, hubungan antara jumlah hotspot dengan timbulnya
penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) berkorelasi positif yang
sangat kuat (r = 0,81) dan jumlah pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut
dipengaruhi 65,2% oleh jumlah hotspot. Persamaan garis linear yang
menghubungkan kedua variabel ini adalah : Y= 220 + 26 X, dengan Y =
jumlah pasien ISPA dan X = jumlah hotspot terdeteksi.
2. Dari hasil analisis statistik, hubungan antara jumlah hotspot dengan pasien
Infeksi Saluran pernafasan Akut (ISPA) per jumlah penduduk berkorelasi kuat
(r = 0,74) dan 54% dipengaruhi oleh Kebakaran Hutan dan Lahan. Persamaan
garis untuk dua variabel ini adalah : Y = 0,0184 + 0,000483 X, dengan Y =
Jumlah pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) /jumlah penduduk
dan X = Jumlah hotspot terdeteksi.
3. Balita adalah kelas umur terbanyak yang terserang penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA). Selain Balita, anak-anak juga mempunyai
kemungkinan besar terserang penyakit ini, hal ini berhubungan dengan sistem
kekebalan tubuh yang berbeda .
4. Meskipun selisihnya kecil, di Kabupaten Indragiri Hulu selama tahun 2007
laki-laki lebih banyak terserang penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) dibandingkan perempuan.
6.2. Saran
1. Melihat eratnya hubungan antara Kebakaran Hutan dan Lahan dengan
timbulnya timbulnya Infeksi Saluran pernafasan Akut (ISPA) sebaiknya di
Kabupaten Indragiri Hulu disediakan monitoring kualitas udara, agar
masyarakat dapat memperoleh informasi tentang kualitas udara dengan baik.
2. Pelaksanaan sistem penyiapan lahan tanpa bakar untuk pengusaha perkebunan,
Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) khususnya
di Kabupaten ini terkait komoditas utamanya adalah kelapa sawit dan karet.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menganalisis dampak kejadian
kebakaran hutan dan lahan terhadap kesehatan manusia, tidak hanya terbatas
terhadap penyakit yang berhubungan dengan saluran pernafasan saja.
4. Penyediaan oksigen tidak hanya di rumah sakit saja tetapi juga di Puskesmas
sebagai upaya pertolongan pertama bagi penderita yang disebabkan karena
gangguan debu/asap.
5. Pemantauan terhadap orang yang terkena dampak kebakaran hutan dan lahan
secara berkelanjutan baik yang mendatangi layanan kesehatan ataupun tidak
oleh pihak terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Adinugroho, W. C., IN. N. N. Suryadiputra, B. H. Saharjo dan L. Siboro. 2005.
Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forest dan Peatlands in Indonesia. Bogor: Wetland International –Indonesia Programme and Wildfire habitat Canada.
Alsagaff, H., Amin, M, Saleh T. 1989. Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :
Airlangga University Press. Asdini, S. 2006. Tinjauan Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Terhadap Masyarakat Tradisional di Provinsi Riau. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB.
Awaloeddin. 2004. Polusi Udara Karena Kebakaran Hutan. http://www.haze-
online.or.id/news.php/ID=20040525103101.[12 Desember 2007] [ASMC] ASEAN Specialised for Meteorological Centre. 2002. Fire Monitoring
and Detection by remote Sensing. http:// intranet.mssinet.gov.sg/asmc/asmc html. [12 Mei 2008]. Bapedal. 2001. Peraturan Pemerintah RI No.41 Th.1999 Tentang Pengendalian
Pencemaran Udara. Jakarta : Bapedal. Brown and Davis. 1973. Forest Fire Control and Use. New York : Mc. Graw Hill
Book Company Inc. Chandler, C. P, Cheney, P. Thomas, L. Trabaund and D. Williams. 1983. Fire in
Forestry. Volume 1. Forest Fire Behaviour and Effects. Canada and USA: Jhon Willey and Sons, Inc.
De Bano, L. F, D. G. Neary and P. F. Folliot. 1998. Fire's Effect and Ecosystems.
New York : Jhon Willey and Sons, Inc.. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2002. Titik Panas (Hotspot) dan Kebakaran. http://www.dephut.go.id/informasi/humas/2002/790_02.html.[12 Mei 2008] [Depkes] Departemen Kesehatan. 2004. Info Penyakit Menular. http ://www.
depkes.go.id/detil_asp.htm. [12 Mei 2008]. Effendi, Y H dan Effendi A T. 2002. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap
Gangguan Kesehatan Masyarakat. Disampaikan dalam Pelatihan Penilaian Kerusakan Hutan Akibat Pembakaran Hutan dan Lahan BIOTROP. Bogor : 22-31 Juli 2002
German Technical Cooperation (GTZ). 1998. Haze Guide, versi #2. Jakarta.
Hoffman, A. A. 2000. Pendeteksian Kebakaran NOAA-AVHRR di Proyek IFFM. http://www.iffm.or.id/noaa.htm. [13 Mei 2008]
Kelompok Kerja Pemanasan Global. 2002. Pemanasan Global dan Perubahan
Iklim. Roma. Kusnoputranto, H. 2000. Kesehatan Lingkungan. Jakarta: FKM-UI. Suratmo, F. G. A. Husaeni dan N. S. Jaya. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian
Kebakaran Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB Sukmawati, A. 2006. Hubungan Antara Curah Hujan dengan Titik Panas
(Hotspot) sebagai Indikator Terjadinya Kebkaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Pontianak Provinsi Kalimantan Barat. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB.
Tristiyenny, P. 2003. Dampak Kesehatan Masyarakat dan Estimasi Kerugian
Ekonomi Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Bengkalis Tahun 2002. [Tesis]. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Walpole, E. R. 1993. Pengantar Statistika Edisi 3. Bambang Sumantri,
penerjemah. Jakarta : Gramedia. Terjemahan dari : Introduction to Statistics 3rd Edition
Wardhana, W. A. 1994. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi
Offset. WHO/UNICEF. 1986. Basic Principles for Control of Acute Respiratory
Infectiom in Children in Developing Countries. Geneva : 18 hlm. WHO. 1987. Air Quality Guidelines for Europe. WHO Regional Publication
European Series no.23. Wibowo, A. 2003. Permasalahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan di
Indonesia. Bogor : Pusat penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
LAMPIRAN
44
TABEL LAMPIRAN 1 SEBARAN HOTSPOT DI KECAMATAN RENGAT BARAT TAHUN 2007
Lintang Bujur Bulan Minggu Tanggal Desa 102.42 -0.24 1 2 8-Jan-07 REDANG 102.405 -0.235 2 2 11-Feb-07 REDANG 102.462 -0.296 2 2 11-Feb-07 RANTAU BAKUNG 102.42 -0.29 2 2 12-Feb-07 REDANG 102.395 -0.23 2 2 12-Feb-07 REDANG 102.453 -0.293 2 2 12-Feb-07 PEKAN HERAN 102.4 -0.24 3 1 8-Mar-07 REDANG
102.39 -0.24 3 1 9-Mar-07 REDANG 102.38 -0.3 4 1 6-Apr-07 DANAU BARU 102.32 -0.26 6 2 18-Jun-07 ALANG KEPAYANG 102.4 -0.24 6 2 25-Jun-07 REDANG
102.44 -0.31 6 2 25-Jun-07 PEKAN HERAN 102.35 -0.39 6 2 25-Jun-07 ALANG KEPAYANG 102.38 -0.23 6 2 29-Jun-07 DANAU BARU 102.49 -0.28 6 2 30-Jun-07 SIALANG DUA DAHAN 102.43 -0.36 6 2 30-Jun-07 REDANG 102.407 -0.237 7 1 4-Jul-07 REDANG 102.43 -0.26 7 1 4-Jul-07 PEKAN HERAN 102.415 -0.21 7 1 4-Jul-07 REDANG 102.457 -0.267 7 1 4-Jul-07 RANTAU BAKUNG 102.495 -0.28 7 1 4-Jul-07 SIALANG DUA DAHAN 102.452 -0.325 7 1 7-Jul-07 PEKAN HERAN 102.37 -0.23 7 4 31-Jul-07 DANAU BARU 102.305 -0.275 8 1 4-Ags-07 ALANG KEPAYANG 102.34 -0.37 8 1 4-Ags-07 ALANG KEPAYANG 102.402 -0.244 8 1 5-Ags-07 REDANG 102.343 -0.363 8 1 5-Ags-07 ALANG KEPAYANG 102.392 -0.274 8 1 7-Ags-07 DANAU BARU 102.345 -0.395 8 1 7-Ags-07 ALANG KEPAYANG 102.415 -0.29 8 1 8-Ags-07 REDANG 102.45 -0.285 8 1 8-Ags-07 PEKAN HERAN 102.365 -0.37 8 1 8-Ags-07 ALANG KEPAYANG 102.37 -0.39 8 1 8-Ags-07 DANAU BARU 102.42 -0.31 8 1 9-Ags-07 REDANG 102.41 -0.24 8 2 11-Ags-07 REDANG 102.402 -0.278 8 2 12-Ags-07 DANAU BARU
Sumber data : Kementrian Lingkungan Hidup 2007
45
TABEL LAMPIRAN 2 SEBARAN HOTSPOT DI KECAMATAN PERANAP TAHUN 2007
Lintang Bujur Bulan Minggu Tanggal Desa 101.91 -0.43 2 1 7-Feb-07 BATURIJAL HILIR 101.95 -0.73 3 3 24-Mar-07 SEMELINANG TEBING
101.915 -0.427 3 4 27-Mar-07 BATURIJAL HILIR 101.925 -0.45 5 1 7-May-07 BATURIJAL HILIR 101.96 -0.78 5 2 24-May07 SEMELINANG TEBING 101.92 -0.41 5 2 24-May-07 BATURIJAL HILIR
101.895 -0.4 6 2 19-Jun-07 BATURIJAL HILIR 101.895 -0.48 6 2 25-Jun-07 BATURIJAL HILIR 101.99 -0.76 6 2 29-Jun-07 SEMELINANG TEBING 101.93 -0.82 6 2 30-Jun-07 SEMELINANG TEBING
101.885 -0.72 6 2 30-Jun-07 UPT. II SERANGGE 101.9 -0.705 7 1 4-Jul-07 PEMATANG 101.93 -0.9 8 1 4-Ags-07 UPT. III SERANGGE
101.905 -0.43 8 1 4-Ags-07 BATURIJAL HILIR 101.88 -0.69 8 1 8-Ags-07 PEMATANG
101.905 -0.71 8 1 10-Ags-07 PEMATANG 101.915 -0.43 8 1 10-Ags-07 BATURIJAL HILIR 101.915 -0.43 8 2 10-Ags-07 BATURIJAL HILIR 101.905 -0.71 8 2 10-Ags-07 PEMATANG 101.945 -0.705 8 2 11-Ags-07 PAUH RANAP 101.894 -0.708 8 2 12-Ags-07 PEMATANG 101.94 -0.7 8 2 12-Ags-07 PAUH RANAP
102.007 -0.77 8 2 12-Ags-07 SEMELINANG TEBING 102.001 -0.824 10 1 2-Okt-07 SEMELINANG TEBING 101.88 -0.57 10 1 6-Okt-07 BATURIJAL HULU
Sumber data : Kementrian Lingkungan Hidup 2007
46
TABEL LAMPIRAN 3 SEBARAN HOTSPOT DI KECAMATAN KELAYANG TAHUN 2007
Lintang Bujur Bulan Minggu Tanggal Desa 101.99 -0.44 2 1 9-Feb-07 SIMPANG KOTA MEDAN
101.995 -0.43 2 2 11-Feb-07 SIMPANG KOTA MEDAN 101.99 -0.41 2 2 12-Feb-07 PELANGKO 102.18 -0.54 3 2 17-Mar-07 TALANG SUNGAI LIMAU 102.1 -0.64 6 2 30-Jun-07 TALANG DURIAN CACAR
102.155 -0.69 6 2 30-Jun-07 TALANG DURIAN CACAR 101.985 -0.427 8 1 10-Ags-07 SIMPANG KOTA MEDAN 102.205 -0.595 8 1 10-Ags-07 TALANG SELANTAI 102.065 -0.66 8 1 10-Ags-07 TALANG DURIAN CACAR 101.985 -0.427 8 2 10-Ags-07 SIMPANG KOTA MEDAN 102.205 -0.595 8 2 10-Ags-07 TALANG SELANTAI 102.065 -0.66 8 2 10-Ags-07 TALANG DURIAN CACAR 101.985 -0.4 8 2 11-Ags-07 PELANGKO 102.09 -0.55 8 2 11-Ags-07 KELAYANG 102.19 -0.6 8 2 11-Ags-07 TALANG DURIAN CACAR 102.01 -0.53 8 2 12-Ags-07 KOTA BARU
102.013 -0.703 8 2 12-Ags-07 TALANG 7 BUAH TANGGA 102.286 -0.564 9 2 11-Sep-07 TALANG SUNGAI LIMAU 102.143 -0.696 10 1 2-Okt-07 TALANG DURIAN CACAR
Sumber data : Kementrian Lingkungan Hidup 2007
47
TABEL LAMPIRAN 4 UNSUR IKLIM BULANAN KABUPATEN INDRAGIRI HULU TAHUN 2007 BULAN
Unsur iklim
Jan
Feb
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agus
Sept
Okt
Nov
Des
Curah hujan (mm)
146.6
191.9
225.3
207.8
354.9
65.2
121.3
118.0
250.1
130.9
216.6
251.8
Penguapan(mm)
4.7
3.6
3.8
4.2
4.0
4.3
3.8
3.6
5.0
3.9
2.8
5.3
Rata-rata
25.9
26.2
26.8
27.0
27.0
27.1
26.5
26.3
26.3
26.5
26.3
25.7
Maks
30.8
31.6
32.5
32.9
32.8
33.2
32.0
31.9
32.2
32.6
31.7
31.0
Suhu Udara (°C)
Min
23.0
22.4
22.5
23.0
23.0
23.1
22.6
22.3
22.5
22.8
22.6
21.9
Penyinaran matahari (%)
37.0
51.0
53.0
56.0
61.0
68.0
45.0
45.0
47.0
46.0
32.0
27.0
Kelembaban udara (%)
87
84
84
85
85
84
85
84
85
86
86
87
Kecepatan angin (Knots)
06
07
05
05
06
06
08
06
06
06
05
06
Arah angin
N
N
NW
N
SE
S
S
SE
S
S
NW
NW
Sumber data BMG Japura Rengat 2007
48
TABEL LAMPIRAN 5 WILAYAH KEHUTANAN KAB.INDRAGIRI HULU TAHUN 2007
No. Wilayah hutan Jenis hutan Jumlah lahan Kehutanan
1 Kuala Cenaku HP.Keritang, HPT Sungai Bayas 43.960 Ha 2 Rengat HP.Keritang, SM Kerumutan 45.650 Ha 3 Rengat Barat HPT.Sungai Gaung, HP.Sungai Sago, SM Kerumutan 40.610 Ha 4 Lirik HPT.Sungai Gaung, HP.Sungai Sago 6.024 Ha 5 Lubuk Batu Jaya TN.Tesso Nilo 533 Ha 6 Kelayang HPT.Tesso Nilo, TN.Tesso Nilo 9.059 Ha 7 Peranap HPT.Tesso Nilo, HPT.Serangge Sengkilo, HL.Bukit Betabuh 42.910 Ha 8 Batang Peranap HPT. Sungai Peranap, HPT.Serangge Sengkilo, HL.Bukit Betabuh 46.020 Ha 9 Batang Gangsal HPT.Sungai Keritang Sungai Gangsal, TN.Bukit Tiga Puluh 102.100 Ha 10 Siberida HPT.Sungai Keritang Sungai Gangsal 1.090 Ha 11 Batang Cenaku HPT.Serangge Sengkilo, HL.Bukit Betabuh, TN.Bukit Tiga Puluh 39.980 Ha 12 Rakit Kulim HPT.Serangge Sengkilo 25.060 Ha JUMLAH 402.996 Ha Sumber data : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.Indragiri Hulu 2007 Keterangan : HP : Hutan Produksi HPT : Hutan Produksi Terbatas SM : Suaka Margasatwa TN : Taman Nasional HL : Hutan Lindung