hubungan antara inflamasi (makalah)

Upload: agus-jaya

Post on 30-Oct-2015

132 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HUBUNGAN ANTARA INFLAMASI, ADIPONEKTIN, DAN STRES OKSIDATIF DALAM SINDROM METABOLIKPendahuluan

Peningkatan kesejahteraan masyarakat berdampak terhadap perubahan gaya hidup (aktifitas rendah, pola makan tinggi energi dan rendah serat). Pola makan sebagai penyebab utama obesitas. Manusia modern cenderung sibuk dengan berbagai aktifitas kehidupannya hingga tak sempat lagi mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi. Makanan instan menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat yang terpapar dengan kehidupan modern. Makanan tersebut tidak mengandung komposisi zat gizi sebagaimana yang dibutuhkan tubuh. Terlebih lagi makanan-makanan instant sangat miskin serat. Padahal, serat berfungsi untuk memperlambat pencernaan, mengenyangkan perut dan memperlambat rasa lapar1. Diet tinggi serat telah mendapat perhatian besar dalam beberapa tahun terakhir disebabkan karena hubungannya dengan peningkatan insiden beberapa gangguan metabolik seperti hipertensi, diabetes, obesitas, penyakit jantung dan kanker usus. Biasanya intake energi setiap hari mengandung 30% lemak, akan tetapi tidak boleh lebih dari 10% dari kalori ini bersumber dari lemak jenuh (hewani). Energi selebihnya seharusnya didapatkan dari lemak polyunsaturated atau monounsaturated2. Hasil Riskesdas tahun 2007 di Indonesia menunjukkan berdasarkan kriteria WHO prevalensi masyarakat yang kurang mengonsumsi buah sayur sebesar (93,6%) dan konsumsi buah sayur proporsinya semakin rendah dengan semakin rendahnya sosial ekonomi.

Data Susenas 2004 menunjukkan penduduk umur 15 tahun ke atas 85% kurang beraktivitas fisik dan hanya 6% penduduk yang cukup beraktivitas fisik. Penduduk wanita yang kurang beraktivitas fisik 87%, lebih tinggi daripada penduduk laki-laki. Sedangkan penduduk di perkotaan yang kurang beraktifitas fisik adalah sebanyak 83%, lebih tinggi daripada penduduk di pedesaan (BPS, 2005). Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan prevalensi kurang aktifitas fisik sebesar 48,2% dan terdapat kecenderungan prevalensi kurang aktifitas fisik semakin tinggi dengan meningkatnya status ekonomi1.Sindrom Metabolik (SM) merupakan pengelompokan dari kelainan fisiologis dan anthropometric serta dikenali sebagai faktor resiko yang signifikan untuk penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus tipe II. The Third National Health and Nutrition Examination Survay (NHANES 1988-1994) melaporkan bahwa lebih dari 20% populasi dewasa di Amerika Serikat menderita SM. Laporan terbaru NHANES (2003-2006) bahwa tingkat prevalensi SM adalah 35,1% pada pria dan 32,6% pada wanita. Sementara di Taiwan, laporan dari the Nutrition and Health Survey in Taiwan (NAHSIT) observasi yang dilakukan pada tahun 1993-1996 menyatakan bahwa tingkat prevalensi SM adalah 13,6% pada pria dan 26,4% pada wanita. Laporan terbaru NAHSIT (2005-2008) melaporkan bahwa tingkat prevalensi SM mengalami peningkatan menjadi 25,5% pada pria dan 31,5% pada wanita3. Sedangkan di Indonesia menurut Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) pada tahun 2006 tingkat prevalensi SM 13,3% dan tidak menutup kemungkinan prevalensi ini akan terus meningkat4.Petanda terjadinya SM, termasuk resistensi insulin, diabetes tipe II, hipertensi, dyslipidemia, dan obesitas visceral, dapat meningkatkan stress oksidatif dan mengurangi pertahanan antioksidan. Peningkatan stress oksidatif berkontribusi pada gangguan fungsi vascular, inflamasi, thrombosis, dan atherosclerosis yang pada akhirnya menimbulkan penyakit-penyakit pembuluh darah3.Status proinflamasi dapat menyebabkan gejala klinis dan manifestasi biokimia SM. Dalam studi klinis, tingkat dari high sensitivity C-reactive protein (hs-CRP) dan interleukin-6 (IL-6) biasanya digunakan sebagai penanda inflamasi yang berkontribusi pada tahap awal penyakit arteri koronaria. hs-CRP merupakan produk inflamasi hati (hepatic inflammatory) dan dibawah regulasi IL-6. IL-6 adalah sitokin messenger (sitokin proinflamasi) yang disekresikan oleh makrofag dan sel-sel otot polos pada lesi atherosclerosis. Adiponektin adalah penanda (marker) anti-inflamasi yang berpotensi antiatherogenik dan disekresikan dalam kelimpahan oleh adiposit pada subyek normal. Studi klinis terbaru menunjukan bahwa tingkat inflamasi yang rendah mungkin memainkan peran penting dalam patobiologi sindrom metabolic. Dengan demikian, perlu mengetahuai apakah tingkat penanda inflamasi dan adiponektin berhubungan dengan peningkatan resiko SM. Selain itu, dilakukan studi tentang hubungan status inflamasi dan adiponektin dengan stress oksidatif. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penanda inflamasi (hs-CRP dan IL-6), adiponektin, stress oksidatif, dan komponen dari SM. Juga dilakukan penghitungan odds ratio dari SM berdasarkan tingkat penanda inflamasi dan adiponektin3.Sindroma MetabolikBerdasarkan the National Cholesterol Education Program Third Adult Treatment Panel (NCEP-ATP III), Sindrom Metabolik adalah seseorang dengan memiliki sedikitnya 3 kriteria berikut: 1). Obesitas abdominal (lingkar pinggang > 88 cm untuk wanita dan untuk pria > 102 cm); 2). Peningkatan kadar trigliserida darah ( 150 mg/dL, atau 1,69 mmol/ L); 3). Penurunan kadar kolesterol HDL (< 40 mg/dL atau < 1,03 mmol/ L pada pria dan pada wanita < 50 mg/dL atau