hubungan antara kecerdasan emosional dengan kesiapan...
TRANSCRIPT
1
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KESIAPAN
BELAJAR MANDIRI PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 TUNTANG
OLEH
APRILINA GUSTIYANI
802011103
TUGAS AKHIR
Ditujukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
ffi PERPUSTAKAAN UNIYERSITASUNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
J1. Diponegoro 52 -'60 Saiatiga 5071 I
Jawa Tengah, Indonesia1'elp. 0298 ... 321212, Fax. 0298 321433
Email: [email protected]'.edu ; http: l/library.uk*v.edu
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
HUBI.]NGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KESIAPANBELAJAR MANDIRI PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 TT]NTANG
Dengan ini saya menyerahkan hak non-eksHusif kepada Perpustakaan Universitas - Universitas Kristen SatyaWacana untuk menyimpan, mengatur akses serta melakukan pengelolaan terhadap karya saya ini denganmengacu pada ketentuan akses tugas akhir elekronik sebagai berikut (beri tanda pada kotak yang sesuai):
I
fl a. Saya mengiiinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori PerpustakaanUniversitas,dan/atauportal GARUDA
n b. Saya tidak mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori Perpustakaan Universitas,dan/ ataa portal GAI(UDA{' *
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Salatiga, to Jurr 2d9
Tmda tangm & nama terang mahasiswa
Mengetahui,
Nama
NIM
Fakultas
Judul tugas akhir
APRILINA GUSTIYANI
80201 1 103
PSIKOLOGI
Email : [email protected]
Program Studi : PSIKOLOGI
r'-l
*-APRtttNA 6ugtrv/4sttt
Tanda tangm & nama terang Wmbimbing I
F-LtB-081
Tanda tangm & nama termg pembimbing II
yang tidak terbatashanya bagi satuRe p o s i t or i P e rpus ta kaan saet ,nengumwlkan hasil karya mereka masih meniliki hak copyright atas karya tersebut.
** Hanya akan menampilkan halarrun judul dan abstralc Pilihan ini hants dilampiri dengan penjelasan/ alasan tertulis dari pembimbing
ffiPERPUSTAKAAN UNIYERSITAS
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANAJI. Diponegoro 52 - 50 Salatiga 5071 I
Jarva Tengah, Indone*ia
Telp. 0298 . 321212, Fax. $298 3214'33Email: library@a<Im.ukm'.edu ; http;/ /libran.ukw.edu
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama APRILINA GUSTIYANI
80201 l 103
PSIKOLOGI
Emai[ : [email protected]
Program Studi : PSIKOLOGI
NIM
Fakultas
Judul tugas akhir HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KESIAPANBELAJAR MANDIRI PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 TUNTANG
Pembimbing : 1. I{ERU ASTIKASARI S. MURTI, S.Psi., MA.
2.
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Hasil karya yang saya serahkan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar
kesarjanaan baik di Universitas Kristen Satya Wacana maupun di institusi pendidikan lainnya.
2. Hasil karya srya ini bukan sadurafi/t€rjemahan melafukan merup'akff gagasafr, rumusafi, dan hasilpelaksanaan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan pembimbingakademik dan narasumber penelitian.
3. Hasil karya saya ini merupakan hasil revisi terakhir setelah diujikan yang telah diketahui dan disetujui olehpembimbing.
4. Dalam karya saya ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain,kecuali yang digunakan sebagai acuan dalam naskah dengan menyebutkan nama pengarang dan dicantumkandalam daftar pustaka.
Pemyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terbukti ada penyimpangan danketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelaryang telah diperoleh karena karya saya ini, serta sanksi lain yaog sesuai dengan ketentuan yang berlaku diUniversitas Kriste'n Satya Wacana.
Salatiga, to JuLr zc{g
F-Lt8-080
A?trtutsa 6urttYAr+t. -
2
3
4
5
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KESIAPAN
BELAJAR MANDIRI PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 TUNTANG
Aprilina Gustiyani
Heru Astikasari S. Murti
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
6
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan positif yang signifikan antara
kecerdasan emosional dengan kesiapan belajar mandiri pada siswa kelas XI SMA
Negeri 1 Tuntang. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Tuntang dengan subjek
para siswa kelas XI yang berjumlah 98 siswa. Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini dengan menggunakan teknik sampling jenuh. Untuk mengukur kecerdasan
emosional, menggunakan teori dari Salovey dan Mayer (dalam Schutte dkk, 1998).
Skala kecerdasan emosional dengan 25 aitem valid dan reliabilitasnya adalah 0,868.
Sementara untuk mengukur kesiapan belajar mandiri menggunakan teori Guglielmino
(1991). Skala kesiapan belajar mandiri dengan 35 aitem valid dan reliabilitasnya 0,888.
Nilai koefisien korelasi yang diperoleh dengan menggunakan rumus korelasi pearson
product moment sebesar rxy = 0,693, p = 0,000 (p<0,05) maka Ho ditolak dan H1
diterima. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara
kecerdasan emosional dengan kesiapan belajar mandiri pada siswa kelas XI SMA
Negeri 1 Tuntang.
Kata Kunci: Kecerdasan Emosional, Kesiapan Belajar Mandiri
7
Abstract
The purpose of this study was to determine the significant positive relationship between
emotional intelligence and self-directed learning readiness in class XI student of SMAN
1 Tuntang. This research was conducted in SMA Negeri 1 Tuntang with the subject of
class XI students totaling 98 students. The sampling technique in this study using
saturated sampling technique. To measure emotional intelligence, using the theory of
Salovey and Mayer (in Schutte et al, 1998). Emotional intelligence scale with 25 item
valid and reliability is 0.868. Meanwhile, to measure self-directed learning readiness
using Guglielmino theory (1991). Self-directed learning readiness scale with 35 item
valid and reliability 0.888. The correlation coefficient obtained by using the formula
Pearson product moment correlation of r xy = 0.693, p = 0.000 (p <0.05), then Ho is
rejected and H1 accepted. It shows that there is a significant positive relationship
between emotional intelligence and self-directed learning readiness in class XI student
of SMAN 1 Tuntang.
Key Words: Emotional Intelligence, Self-directed learning readiness
8
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah salah satu usaha yang dilakukan dengan sengaja dan
terencana secara baik dengan dimaksudkan untuk mengubah maupun
mengembangkan perilaku-perilaku yang diinginkan oleh seseorang. Sekolah
sebagai lembaga formal merupakan salah satu sarana yang bisa digunakan dalam
rangka memenuhi tujuan dari pendidikan tersebut. Melalui proses-proses yang
dijalani di sekolah, siswa belajar berbagai macam hal. Kegiatan belajar dalam
sebuah proses pendidikan di sekolah memang merupakan kegiatan yang paling
fundamental. Ini memang berarti bahwa adanya tujuan dan bagaimana hasil dari
tujuan tersebut. Berhasil atau tidaknya tujuan tersebut bergantung kepada
bagaimana kesiapan dalam proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak
didik di sekolah. Proses belajar menjadi salah satu hal yang dapat menimbulkan
terjadinya perubahan dalam sebuah tingkah laku yang menyangkut kognitif,
afektif dan psikomotorik. Ada empat hal penting yang berpengaruh dalam
sebuah pembelajaran, yakni persiapan (preparation), penyampaian
(presentasion), pelatihan (practice), dan penampilan hasil (performance). Oleh
karena itu untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimal diperlukan kesiapan
siswa dalam belajar yang baik dan matang (Meier, 2002).
Proses belajar yang terjadi pada individu adalah sesuatu yang penting
karena melalui proses belajar itu individu dapat mengerti dan memahami apa
saja yang terjadi di sekitar lingkungan mereka. Ketika individu mampu
memahami lingkungannya, maka mereka mudah beradaptasi. Menurut Irwanto
(1997) belajar merupakan proses perubahan dari belum mampu menjadi mampu
dan terjadi dalam jangka waktu tertentu. Dengan belajar, siswa dapat
9
mewujudkan cita-cita yang diharapkan. Untuk mendapatkan hasil belajar yang
baik dan maksimal diperlukan persiapan siswa dalam belajar yang baik pula.
Kesiapan belajar siswa merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Selain
itu, siswa harus mampu mempunyai kesiapan belajar mandiri tanpa harus setiap
waktu diingatkan oleh guru terlebih dahulu.
Kesiapan belajar mandiri individu membawa individu itu untuk siap
memberikan respon terhadap apa yang terjadi di lingkungannya. Kesiapan
belajar dan kesiapan belajar mandiri adalah sebuah hal yang sama karena garis
besar yang penting mengenai kesiapan itu sendiri. Seperti yang diungkapkan
oleh Slameto (2010) kesiapan belajar adalah kondisi keseluruhan dalam diri
individu yang membuatnya siap untuk memberikan respon atau jawaban di
dalam cara tertentu terhadap situasi tertentu. Kondisi tertentu itu adalah kondisi
fisik dan psikisnya yang seimbang. Pernyataan itu didukung oleh Djamarah
(2002) bahwa kesiapan untuk belajar tidak hanya diterjemahkan siap dalam arti
fisik, tetapi juga psikis dan materiil. Kesiapan psikis misalnya ada hasrat untuk
belajar, dapat berkonsentrasi dan ada motivasi intrinsik. Kesiapan materiil
misalnya ada bahan yang dipelajari atau dikerjakan berupa buku bacaan, catatan
pelajaran, modul dan job sheet. Kesiapan siswa dalam belajar merupakan
kondisi siswa yang telah dipersiapkan untuk melakukan suatu kegiatan belajar.
Cross (Lowry, 1989) mengemukakan bahwa 70% kegiatan belajar yang
dilakukan oleh orang dewasa adalah kegiatan belajar mandiri. Hal ini cukup
masuk akal karena rata-rata orang dewasa sudah bisa belajar dengan inisiatif dari
dirinya sendiri. Moore (1986) mengatakan bahwa sifat anak-anak yang
menyerahkan tanggung jawab belajarnya kepada seorang yang lebih dewasa,
10
baik orang tua maupun guru dikatakan sebagai ketidakmandirian dalam belajar.
Hiemistra (1994) mengungkapkan bahwa jika seseorang mampu belajar secara
mandiri adalah mereka yang mampu merencanakan belajarnya sendiri,
melaksanakan proses belajar dan mengevaluasi hasil belajarnya.
Kesiapan dalam individu dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor
eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi bagaimana lingkungan sekolah
memberikan rasa nyaman dan bahan pembelajaran yang mendukung, sedangkan
untuk faktor internal adalah kecerdasan (intelektual dan emosional), motivasi
dan kemampuan pengendalian emosi dirinya. Kesiapan belajar yang baik
membuat siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan aktif dan mudah untuk
menyerap materi yang diberikan gurunya. Mempersiapkan diri untuk mengikuti
pelajaran adalah hal yang perlu diperhatikan siswa, sebab dengan persiapan yang
matang siswa merasa mantap dalam belajar sehingga memudahkan dalam
berkonsentrasi (Prayitno, 1997).
Semua orang pasti ingin berhasil. Hal tersebut dapat diwujudkan dan
dikembangkan tidak hanya melalui inteligensi saja tetapi bagaimana
kemampuan emosinya. Pendidikan yang baik harus mampu menyeimbangkan
keduanya. Kedua hal itu memang sulit untuk dipisahkan, terutama untuk
pencapaian siswa di sekolah (Goleman, 2000). Dari kesiapan belajar mandiri
siswa hingga hasil akhir adalah suatu hal yang kompleks dan menyeluruh,
sehingga orang berfikir bahwa orang-orang yang akan berhasil adalah orang-
orang yang mempunyai kemampuan inteligensi yang tinggi. Banyak orang
meyakini bahwa untuk mencapai kesiapan belajar yang baik, seorang siswa
harus mempunyai kemampuan IQ yang tinggi karena IQ akan mempermudah
11
mereka mengikuti proses pembelajaran dengan baik bagaimanapun keadaannya.
Pada kenyataannya, siswa yang mempunyai IQ lebih tinggi tidak lebih berhasil
dan mempunyai kesiapan belajar yang baik dibandingkan dengan siswa yang
hanya mempunyai IQ rata-rata atau sedang. Menurut Goleman (2000),
kemampuan kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang sekitar 20% bagi
kesuksesan seseorang, sedangkan 80% adalah berdasarkan kekuatan-kekuatan
lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Intelligence (EI).
Kecerdasan emosional yaitu kemampuan untuk memotivasi diri, mengatasi
frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati
serta kemampuan untuk bekerja sama.
Pada penelitian sebelumnya mengenai kesiapan belajar mandiri yang
dilakukan oleh Samsul (2010) bahwa kesiapan belajar mandiri berhubungan
dengan kecerdasan emosional sebagai salah satu faktor yang berperan di
dalamnya. Penelitian itu didukung oleh Brocket (1985) yang menyatakan bahwa
kesiapan belajar mandiri sangat berorientasi pada pendidikan formal di sekolah
karena siswa mampu mengatur emosinya sehingga terdapat konsentrasi yang
baik di dalam dirinya.
Menurut Goleman (dalam Wahyuningsih, 2006), seseorang yang secara
murni hanya mempunyai taraf akademis yang tinggi saja, mereka cenderung
lebih gelisah di dalam kelas, lebih rewel bahkan terlalu kritis. Bila hal itu
didukung oleh kecerdasan emosional yang rendah maka mereka dikawatirkan
akan mengganggu proses pembelajaran karena mereka akan sulit mengendalikan
diri di dalam kelas, bahkan mereka juga memperlihatkan kurangnya kesiapan
belajar dengan kurangnya konsentrasi di kelas. Penelitian yang dilakukan oleh
12
Barron dan Harackiewich mendukung pernyataan Goleman dan mengungkapkan
bahwa emosi juga dapat membantu memecahkan sebuah masalah. Siswa yang
mendapat motivasi yang baik, pemecahan masalah seringkali dapat mengontrol
emosinya dan berkonsentrasi penuh di dalam kelas. Pernyataan itu didukung
juga oleh penelitian yang dilakukan Kadek bahwa antara kecerdasan emosioal
dengan kesiapan belajar mandiri ternyata berhubungan secara signifikan karena
satu sama lain saling terkait (Santrock, 2008).
Penelitian Mischel (1960) mengenai “marsmallow challenge” di
Universitas Stanford menunjukkan anak yang ketika berumur empat tahun
mampu menunda dorongan hatinya, setelah lulus sekolah menengah atas, secara
akademis lebih kompeten, lebih mampu menyusun gagasan secara nalar, serta
memiliki gairah belajar yang lebih tinggi. Mereka memiliki skor yang secara
signifikan lebih tinggi pada tes SAT dibanding dengan anak yang tidak mampu
menunda dorongan hatinya (Goleman, 2002). Seseorang yang dapat menahan
dorongan yang ada di dalam dirinya itu diperlukan sebagai salah satu faktor
yang diperlukan ketika seseorang mempunyai kesiapan belajar mandiri yang
baik. Selain itu, individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang
lebih baik, dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan
cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian,
lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami
orang lain dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik sehingga mereka
sudah mampu dan bisa dikatakan siap dalam mengikuti pembelajarannya
(Gottman, 1998).
13
Penelitian yang kontras dikemukakan oleh Locke (2005) bahwa
kecerdasan emosional tidak memiliki dasar yang kuat karena tidak termasuk ke
dalam bentuk kecerdasan, selain itu kecerdasan emosional memiliki definisi
yang luas dan inklusif sehingga tidak dapat dimengerti. Oleh sebab itu maka
kecerdasan emosional tidak tepat jika ditempatkan sebagai faktor yang
mempengaruhi seorang siswa dalam kesiapan belajar mandirinya. Hasil temuan
ini diperkuat oleh Gordon (dalam focus_online, 2004) yang mengemukakan
bahwa kecerdasan emosional lebih baik berhubungan dengan kepribadian dan
mood (suasana hati) seseorang saja dan bukan yang lain termasuk dalam
pendidikan formal di sekolah yang dimaksud.
Seseorang yang tidak mempunyai kecerdasan emosional yang baik, akan
terjadi kesenjangan antara perlakuan dan pikiran. Kesenjangan yang dimaksud
adalah perilaku yang dihasilkan seseorang yang tidak mempunyai kecerdasan
emosional yang baik cenderung akan ke arah yang negatif. Mereka bebas
melakukan apa saja tanpa berpikir akibatnya. Kecerdasan emosional juga
diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah yang ada, serta dasar yang penting
untuk menjadikan manusia penuh dengan tanggung jawab terhadap apa yang ia
jalankan, penuh perhatian, penuh kasih sayang, melakukan sesuatu hal dengan
tempat dan suasana yang tepat, produktif serta optimis dalam segala hal
(Goleman, 2000).
Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang Guru BK yang dilakukan
pada tanggal 2 Oktober 2013, beliau menyatakan bahwa ternyata masih banyak
anak didiknya yang kurang menunjukkan kesiapan dalam proses
pembelajarannya. Hal itu ditunjukkan oleh banyaknya siswa yang masih datang
14
terlambat, siswa yang mengobrol dengan temannya saat pelajaran akan dimulai,
mengantuk dan bahkan ada beberapa siswa yang secara sengaja menaruh
kepalanya di meja saat guru mulai menerangkan. Kurangnya konsentrasi dan
sulitnya memperhatikan penjelasan guru saat pelajaran membuat teman-teman
yang lain merasa sedikit terganggu. Pernyataan itu juga didukung oleh beberapa
siswa yang pernah FGD dengan peneliti bahwa memang terkadang mereka
seenaknya sendiri di dalam kelas sehingga agak sulit mengikuti pembelajaran di
kelas. Mereka kurang bisa menahan hasrat untuk melakukan hal-hal yang
sebenarnya dilarang karena dapat mengganggu teman-teman yang lainnya.
Mereka juga mengakui bahwa gairahnya untuk mengikuti pembelajaran di
sekolah memang terkadang kurang. Mereka harus menunggu ada guru yang
menegur untuk berkonsentrasi di dalam kelas supaya mereka siap mengikuti
pembelajaran yang ada. Jika tidak ditegur maka ada kemungkinan bagi mereka
untuk mengulanginya.
Beberapa uraian di atas, memperlihatkan bahwa siswa yang berada pada
kondisi penuh tekanan, kemungkinan dapat kehilangan kontrol emosinya apalagi
di dalam kelas. Kecerdasan emosional yang baik dapat membantu siswa untuk
memahami apa saja yang seharusnya mereka lakukan untuk menunjang proses
pembelajaran supaya berjalan dengan lancar. Hal inilah yang menjadikan
peneliti berniat untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara
kecerdasan emosional dengan kesiapan belajar mandiri pada siswa kelas XI
SMA Negeri 1 Tuntang.
15
TINJAUAN PUSTAKA
Kesiapan Belajar Mandiri
Kesiapan belajar mandiri (Self-directed learning readiness) didefinisikan
sebagai tingkat individu yang memiliki sikap, kemampuan serta kepribadian
yang diperlukan untuk belajar secara mandiri (Wiley, 1983). Sedangkan
Hiemstra (1994) mengemukakan bahwa seseorang yang mampu belajar secara
mandiri adalah mereka yang mampu merencanakan belajarnya sendiri,
melaksanakan proses belajar dan mengevaluasi belajarnya sendiri. Siswa yang
memiliki kemandirian yang tinggi dalam belajarnya digambarkan sebagai orang
yang mampu mengontrol proses belajar, menggunakan bermacam-macam
sumber belajar, memilih dan mempunyai motivasi yang baik dan dapat mengatur
waktu secara pas (Guglielmino, 1991).
Aspek-aspek Kesiapan Belajar Mandiri
Guglielmino (1991) mengemukakan tiga aspek mengenai kesiapan
belajar mandiri, yaitu :
a. Manajemen diri (Self-management)
Seseorang harus mampu mengatur dan mengelola dirinya dengan sebaik
mungkin untuk membawa dirinya ke arah tujuan hidup sebenarnya.
b. Keinginan untuk belajar (Desire for learning)
Seseorang memang mempunyai keinginan untuk belajar dengan apa yang
ada di hadapannya.
c. Kontrol diri (Self-control)
Kemampuan individu untuk mengarahkan tingkah lakunya sendiri dan
kemampuan untuk menekan atau menghambat dorongan yang ada.
16
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan belajar mandiri
Slameto (2010) mengemukakan ada dua penggolongan faktor mengenai
kesiapan belajar mandiri yang paling penting, yaitu :
a. Faktor internal (inteligensi yang meliputi inteligensi intelektual dan
inteligensi emosional, perhatian, minat, bakat, motivasi dan kematangan)
b. Faktor eksternal (keluarga, peran orang tua, asal sekolah siswa)
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional adalah satu hal yang perlu dimiliki dalam diri
seorang individu selain kecerdasan intelektual. Menurut Salovey dan Mayer
(1990) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan
seseorang untuk memonitor emosi diri dan orang lain, mampu membedakan
emosi tersebut serta menggunakannya sebagai informasi untuk menuntun
pikiran dan perilaku individu.
Sedangkan menurut Atkinson (1987), kecerdasan emosional mencakup
pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi
diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, kemampuan untuk mengendalikan
dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana
hati dan menjaga agar beban stress tidak mengganggu kemampuan berpikir
untuk berempati terhadap orang lain dan berdoa.
Steiner (1997) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan
suatu kemampuan yang dapat mengerti emosi sendiri dan orang lain, serta
mengetahui bagaimana emosi diri sendiri terekspresikan untuk meningkatkan
maksimal etis sebagai kekuatan pribadi.
17
Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional
Salovey dan Mayer (1990) mengemukakan ada tiga aspek mengenai
kecerdasan emosional, yaitu :
a. Penilaian dan ekspresi emosi (appraisal and expression of emotion)
Proses yang mendasari adanya kecerdasan emosional yang dimulai dengan
adanya informasi kemudian memasuki sistem perseptualnya. Proses ini
akurat karena dapat lebih cepat memahami dan menanggapi emosi mereka
sendiri serta lebih dapat terampil dalam reaksi emosional serta empatik
terhadap diri sendiri maupun orang lain baik secara verbal maupun
nonverbal.
b. Pengaturan emosi (regulation of emotion)
Regulasi emosi sangat diperlukan karena dapat membangun suasana hati dan
memperkuat sikap adaptif dalam diri seseorang. Kemampuan individu dan
pengalaman reflektif yang mereka punya dapat membantu meningkatkan
pengetahuan mengenai suasana hati mereka sendiri maupun orang lain.
Selain itu, kemampuan itu dapat membantu untuk memonitor, mengevaluasi
serta mengatur emosi dan mengubah sikap orang lain.
c. Memanfaatkan kecerdasan emosional (utilizing emotional intelligence)
Kemampuan individu untuk memanfaatkan emosi diperlukan untuk dapat
memecahkan masalah dengan baik secara fleksibel, mampu berpikir kreatif,
memiliki fokus jika ada masalah sehingga dapat membangun suasana hati
yang pas serta mempunyai motivasi yang baik. Suasana hati dan emosi yang
halus namun sistematis dapat mempengaruhi beberapa komponen dan
strategi yang terlibat dalam pemecahan masalah.
18
Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Kesiapan Belajar Mandiri Pada
Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Tuntang
Berkaitan dengan kesiapan belajar mandiri seorang siswa, Salovey dan
Mayer (1990) mengemukakan bahwa penilaian dan ekspresi emosi dapat
membantu siswa untuk memilah informasi apa saja yang harus dipilih dalam
pembelajarannya. Empati yang mereka punya bisa membedakan perlakuan yang
pantas atau tidak di kelas. Sedangkan untuk pengaturan emosi membantu siswa
membedakan emosi positif atau emosi negatif yang seharusnya diperlihatkan.
Konsentrasi memang sangat dibutuhkan untuk mempunyai kesiapan belajar
mandiri yang baik karena dengan konsentrasi itu siswa dapat tetap melalui
apapun pembelajaran meskipun suasana dalam dirinya sedang tidak mendukung.
Hal itu didukung oleh pernyataan Goleman (2009) tentang pengelolaan emosi
yang dapat membantu siswa untuk bertanggung jawab dengan setiap hasil yang
diperoleh walupun hasil itu tidak sebaik yang diharapkan sekalipun. Ketika
dalam kegagalan diharapkan bisa berpikir kreatif untuk tetap melanjutkan setiap
harapan yang diinginkan. Salovey dan Mayer (1990) juga mengungkapkan
bahwa dalam pemanfaatan kecerdasan emosional dapat memberikan dorongan
yang positif kepada siswa supaya mereka lebih giat belajar dan tetap fokus
terhadap tujuan mereka. Pikiran kreatif akan membantu memecahkan masalah
yang terjadi bahkan ketika masalah itu timbul bukan hanya berasal dari satu
sumber saja. Siswa dapat memilih bagaimana pemecahan masalah yang sesuai
dengan keadaan yang ada dalam proses pembelajaran mereka.
Jadi seorang siswa yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik
dapat menempatkan dirinya sesuai dengan peran mereka sebagai siswa di dalam
19
kelas. Mereka mampu menekan segala emosi yang dapat merugikan dan
menimbulkan hal-hal yang menganggu bahkan menghambat sebuah proses
pembelajaran. Siswa juga dapat mengontrol diri sehingga suasana hati tetap
dijaga sehingga motivasipun ada tanpa harus selalu diingatkan guru.
Berdasarkan tinjauan yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif
yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan kesiapan belajar pada siswa
kelas XI SMA Negeri 1 Tuntang.
METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMA Negeri
1 Tuntang. Sampel dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI SMA
Negeri 1 Tuntang yang berjumlah 98 siswa. Dalam penelitian ini digunakan
teknik sampling jenuh, yaitu dengan menggunakan semua populasi dalam
penelitian sebagai sampel (Soegiyono, 2009).
Pengukuran
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.
Variabel kecerdasan emosional diukur menggunakan kuesioner Skala
Kecerdasan Emosional (Schutte dkk, 1998). Aitem dalam skala berjumlah 33
aitem dan dijawab dengan menggunakan skala Likert 5 poin (sangat tidak setuju
– sangat setuju). Berdasarkan perhitungan daya beda aitem diketahui bahwa 25
20
aitem bertahan dan terdapat 8 aitem gugur. Perhitungan reliabilitas menunjukkan
koefisien alpha cronbach sebesar 0,868 yang berarti alat ini tergolong reliabel.
Variabel kesiapan belajar mandiri diukur menggunakan kuesioner
dengan memodifikasi Skala Kesiapan Belajar Mandiri (Guglielmino dkk, 2001).
Aitem pada skala ini juga menggunakan skala Likert 5 poin (sangat tidak setuju
– sangat setuju) dengan jumlah 41 aitem. Berdasarkan perhitungan daya beda
aitem diketahui bahwa 35 aitem bertahan dan terdapat 6 aitem gugur.
Perhitungan reliabilitas menunjukkan koefisien alpha cronbach sebesar 0,888
yang berarti alat ini tergolong reliabel.
Metode Analisis Data
Teknik analisis data pada penelitian kuantitatif menggunakan statistik
(Sugiyono, 2012). Analisa data yang digunakan untuk melihat hubungan antara
kecerdasan emosional dengan kesiapan belajar mandiri adalah dengan
menggunakan korelasi pearson product moment.
HASIL PENELITIAN
UJI ASUMSI
Uji Normalitas
Berdasarkan hasil dari uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, variabel
kesiapan belajar mandiri memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,680 dengan signifikansi
sebesar p = 0,745 (p>0,05). Variabel kecerdasan emosional menghasilkan nilai
K-S-Z sebesar 0,761 dengan signifikansi sebesar p = 0,608 (p>0,05). Hal ini
21
menunjukkan bahwa data mengenai kesiapan belajar mandiri dan kecerdasan
emosional merupakan sebaran data yang berdistribusi normal.
Uji Linearitas
Pengujian linearitas ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel
bebas memiliki hubungan yang linear dengan variabel terikat atau tidak.
Berdasarkan hasil analisis hasil uji linearitas yang menggunakan Table
Anova dengan probabilitas yang ditunjukkan sebesar 0,290 (p> 0,05). Angka itu
menyimpulkan bahwa antara variabel kecerdasan emosional dengan variabel
kesiapan belajar mandiri mempunyai hubungan yang linear.
Hasil Deskriptif
Kesiapan Belajar Mandiri
Kategorisasi pada variabel kesiapan belajar mandiri dibuat berdasarkan
dengan nilai tertinggi yang diperoleh yaitu 5 x 35 = 175 dan nilai paling rendah
yaitu 1 x 35 = 35. Pada skala ini dibagi menjadi empat kategorisasi (sangat
tinggi, tinggi, rendah dan sangat rendah) dengan nilai intervalnya sebesar 35.
Tabel 1.
Kategorisasi pengukuran skala kesiapan belajar mandiri
No. Interval Kategori Mean Frekuensi %
1. 140 ≤ x ≤ 175 Sangat Tinggi 131,57 23 23,47
2. 105 ≤ x < 140 Tinggi 74 75,51
3. 70 ≤ x < 105 Rendah 1 1,02
4. 35 ≤ x < 70 Sangat Rendah 0 0
JUMLAH 98 100
SD = 13,63 MIN = 95 MAX = 168
22
Data di atas menunjukkan tingkat kesiapan belajar mandiri dari 98
subjek yang berbeda-beda yang dikategorisasikan menjadi sangat tinggi hingga
sangat rendah. Pada kategori sangat rendah didapati persentase sebesar 0%,
kategori rendah 1,02%, kategori tinggi 75,51% dan kategori sangat tinggi
23,47%. Mean atau rata-rata yang diperoleh sebesar 131,57 dengan standar
deviasinya adalah 13,63. Maka jika dilihat sesuai dengan tabel, secara umum
tingkat kesiapan belajar mandiri siswa pada SMA Negeri 1 Tuntang berada pada
kategori yang tinggi.
Kecerdasan Emosional
Kategorisasi pada variabel kecerdasan emosional dihitung berdasarkan
nilai tertinggi yang didapat yaitu 5 x 25 = 125 dan nilai terendah 1 x 25 = 25.
Perhitungan kategorisasi skala ini dibagi menjadi empat kategorisasi (sangat
tinggi, tinggi, rendah dan sangat rendah) dengan nilai intervalnya sebesar 25.
Tabel 2.
Kategorisasi pengukuran skala kecerdasan emosional
No. Interval Kategori Mean Frekuensi %
1. 100 ≤ x ≤ 125 Sangat Tinggi 96,13 27 27,55
2. 75 ≤ x < 100 Tinggi 70 71,43
3. 50 ≤ x < 75 Rendah 1 1,02
4. 25 ≤ x < 50 Sangat Rendah 0 0
JUMLAH 98 100
SD = 10,58 MIN = 69 MAX = 119
23
Data di atas menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional dari 98
subjek dibagi menjadi empat kategori, yaitu sangat tinggi, tinggi, rendah dan
sangat rendah. Pada kategori sangat rendah menunjukkan persentase sebesar 0%,
untuk kategori rendah sebesar 1,02%, kategori tinggi 71,43% dan sangat tinggi
sebesar 27,55%. Mean atau rata-rata yang didapatkan adalah sebesar 96,13
dengan standar deviasinya 10,58. Jadi, jika dilihat dengan hasil yang ada di tabel
maka tingkat kecerdasan emosional siswa pada SMA Negerei 1 Tuntang
umumnya berada pada kategori yang tinggi.
Uji Korelasi
Correlations
KE KBM
K
E
Pearson Correlation 1 ,693**
Sig. (1-tailed) ,000
N 98 98
K
B
M
Pearson Correlation ,693**
1
Sig. (1-tailed) ,000
N 98 98
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi
antara kecerdasan emosional dengan kesiapan belajar mandiri sebesar 0,693
dengan sig. = 0,000 (p<0,05) yang berarti ada hubungan positif yang signifikan
antara kedua variabel tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
kecerdasan emosional maka semakin tinggi pula kesiapan belajar mandirinya.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi antara kecerdasan emosional
dengan kesiapan belajar mandiri didapatkan adanya hubungan positif yang
24
signifikan antara kedua variabel tersebut dengan hasil korelasi sebesar 0,693
dengan signifikansi 0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa adanya
hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan kesiapan belajar
mandiri pada siswa kelas XI di SMA Negeri 1 Tuntang. Dengan demikian maka
dinyatakan bahwa Ho ditolak dan H1 diterima.
Ada beberapa kemungkinan bagaimana kecerdasan emosional dapat
memengaruhi kesiapan belajar mandiri seseorang. Jika dilihat dari ketiga aspek
kecerdasan emosional yang meliputi penilaian dan ekspresi emosi, pengaturan
emosi dan pemanfaatan kecerdasan emosional itu sendiri dapat memberikan
pengaruh yang baik terhadap kesiapan belajar mandiri. Perbedaan kontrol diri
siswa memang bisa memengaruhi perilaku dalam kegiatan belajarnya, namun
karena pemahaman serta pengekspresian emosi yang benar mereka bisa
menekan suasana hati yang saat itu sedang mengganggu dan lebih meningkatkan
semangat agar mereka bisa terus termotivasi untuk mengikuti pembelajaran
dengan baik. Mereka juga cenderung akan tetap berpikir positif ketika mereka
fokus mengikuti pembelajaran tersebut maka impiannya kelak dapat terwujud
dengan baik meski harus gagal terebih dahulu. Sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Hartati (2010) bahwa memang kecerdasan emosional mempunyai
hubungan yang positif terhadap kesiapan belajar mandiri seseorang.
Penilaian dan ekspresi emosi dapat membantu menanggapi dan
memahami emosi dalam diri siswa dengan baik. Siswa dapat memilih
bagaimana reaksi emosional yang tepat untuk mereka tunjukkan di dalam kelas
dalam kondisi apapun entah secara verbal maupun nonverbal sehingga proses
belajar mengajar tetap bisa dikontrol dengan baik meskipun tanpa harus setiap
25
waktu diingatkan guru (Salovey, 1990). Aleix (2014) juga mengemukakan
bahwa emosi verbal bisa dilihat dengan suara yang dikeluarkan siswa di dalam
kelas. Suara mereka di dalam kelas seharusnya memang tidak sekeras di luar
karena dapat mengganggu teman lain di dalam kelas. Sedangkan emosi
nonverbal diperlihatkan melalui ekspresi wajah yang dapat membantu siswa
meningkatkan hubungan interpersonal terhadap teman sekelasnya. Rasa empati
seperti itu dapat menunjukkan dan mendukung bahwa satu sama lain memang
mempunyai keinginan dan sudah siap untuk belajar.
Selanjutnya, Salovey dan Mayer (1990) mengatakan bahwa pengaturan
emosi atau regulasi emosi dapat membangun suasana hati dan memperkuat sikap
adaptif siswa. Mereka mampu memonitor emosi sehingga dengan mudahnya
dapat mengevaluasi apa saja sikap yang dapat menghambat proses belajarnya di
dalam kelas dan segera mengubahnya menjadi lebih baik. Siswa juga
mempunyai motivasi yang baik untuk tetap berusaha menuju hasil yang sudah
diidamkan selama ini. Siswa yang memiliki pengaturan emosi yang baik mampu
mengendalikan diri dengan cara yang tepat. Ia mampu menahan hasrat untuk
tidak meluapkan emosi secara sembarangan meski sedang dalam keadaan yang
buruk sekalipun. Hal itu juga akan membantu untuk tetap menjaga konsentrasi
yang baik di dalam kelas. Sama halnya yang diungkapkan oleh Goleman (1997)
bahwa seseorang yang mampu belajar mengenali emosi dalam dirinya akan
menjadi pribadi yang sehat secara emosi, terutama untuk remaja dan itu akan
membantu membangun kesuksesannya nanti.
Pemanfaatan kecerdasan emosional itu sendiri dapat membantu untuk
memecahkan masalah dengan lebih fleksibel. Ketika siswa merasa sulit
26
memahami informasi yang disampaikan guru, maka siswa bisa memilih
bagaimana strategi belajar yang dirasa cocok. Mereka bisa memilih untuk
mendengarkan penjelasan guru saja, menulis hal-hal penting yang disampaikan
guru atau bahkan mereka menulis semua penjelasan guru di dalam kelas. Tentu
saja cara yang mereka ambil itu memang sesuai dengan kemampuannya. Ketika
siswa sudah memilih strategi mana yang dirasa cocok, maka mereka juga harus
bertanggung jawab dengan resiko yang buruk sekalipun. Siswa juga mampu
berpikir kreatif sehingga ketika mereka menemukan banyak kegagalan dalam
proses belajarnya, masih banyak cara lain yang digunakan untuk meraih hasil
yang diinginkan. Siswa yang benar-benar bisa memanfaatkan kecerdasan emosi
dengan baik juga mudah untuk memotivasi dirinya sendiri dan tetap fokus
terhadap impian dan tujuan semula. Patton (2001) juga menyatakan bahwa
kecerdasan emosional dapat membantu seseorang menjadi pribadi yang penuh
dengan tanggung jawab, produktif serta optimis dalam menghadapi maupun
menyelesaikan masalah.
Menurut Goleman (2007) siswa SMA yang masih dalam tahapan remaja
sedang belajar menguasai mana emosi yang positif maupun negatif sehingga
lambat laun mereka akan mampu membedakan bahkan mengendalikan emosi
tersebut. Dengan demikian, mereka cenderung diyakini lebih mampu
menempatkan diri secara benar dalam hal mengontrol emosi maupun perilaku
mereka.
Emosi berkaitan dengan apa saja yang ada dalam diri seseorang. Maka
dari itu bukanlah jenis emosionalitas yang menjadi masalah tetapi bagaimana
kita bisa mengendalikan emosi kita supaya apa yang kita kerjakan dapat sesuai
27
dengan harapan (Aristoteles). Walaupun siswa tidak suka dengan beberapa
pelajaran tetapi mereka harus tetap mampu mengendalikan keinginan untuk
pasrah dan mengubahnya menjadi acuan untuk bisa menaklukan pelajaran
tersebut. Prawitasari (2005) juga mengungkapkan bahwa perilaku yang nantinya
dikeluarkan oleh seseorang akan berdampak dalam kegiatan maupun hubungan
dengan lingkungannya karena emosi adalah salah satu hal penting yang berperan
sebagai motivator dalam kehidupan.
Jika dilihat dari sumbangan efektifnya, kecerdasan emosional
memberikan kontribusi sebesar 48,02%. Sedangkan 51,98% lainnya lebih
dipengaruhi oleh faktor lain di luar kecerdasan emosional yang juga dapat
berpengaruh terhadap kesiapan belajar mandiri. Faktor lain yang dimaksud
adalah keluarga, peran orang tua ataupun darimana asal sekolah siswa.
Dari uraian di atas, penulis dapat mengatakan bahwa semakin tinggi
kecerdasan emosional siswa maka semakin tinggi pula kesiapan belajar
mandirinya, sehingga mereka mampu menempatkan perilaku positif untuk
menunjang segala proses pembelajaran dan mendapatkan hasil yang diinginkan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan emosional
dengan kesiapan belajar mandiri pada siswa kelas XI di SMA Negeri 1 Tuntang.
28
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diketahui, maka penulis
mengajukan saran kebeberapa pihak, yaitu :
1. Bagi murid
Bagi murid diharapkan dapat tetap menjaga sikap dan konsentrasi di
dalam kelas supaya selalu kondusif dalam proses belajar mengajar. Akan lebih
baik lagi jika murid-murid juga terus meningkatkan dorongan positif di dalam
diri supaya memacu semangat meraih hasil yang indah kelak dengan
meningkatkan kecerdasan emosionalnya.
2. Bagi guru
Bagi guru sendiri diharapkan mampu mengawasi murid-murid supaya
mereka selalu bisa menunjukkan sikap yang baik dan terus meningkatkan
prestasi yang selalu diinginkan. Guru juga diharapkan mampu membantu siswa
untuk meningkatkan kecerdasan emosional mereka.
3. Bagi peneliti selanjutnya
a. Bagi peneliti selanjutkan diharapkan mampu mengambil satu atau
beberapa faktor lain di dalam kesiapan belajar mandiri sehingga
dapat menjawab dan mencari tau fenomena yang sebelumnya
belum dijawab dalam penelitian ini.
b. Mungkin peneliti bisa lebih menambah metode yang digunakan
sebagai sumber informasi lain yang melengkapi untuk menjawab
fenomena yang diambil dalam penelitian ini.
29
c. Peneliti selanjutnya mungkin juga bisa mencari alat ukur yang
lain selain dari alat ukur yang diambil dalam penelitian ini supaya
menambah pengetahuan baru dengan fenomena yang digunakan.
30
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. (2004). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi. Ed. 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baharuddin. (2010). Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Chaplin, J. P. (2004). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Engelberg, E., & Sjoberg, L. (2004). Emotional Intelligence, affect intensity and social
adjustment. Personality & Individual Diferences, 37, 533-542.
Fatchurrohman, R. (2011). Pengaruh Motivasi Berprestasi terhadap Kesiapan Belajar,
Pelaksanaan Prakerin dan Pencapaian Kompetensi Mata Pelajaran Produktif Teknik
Kendaraan Ringan Kelas XI. Tesis. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Fisher, M. J. & King, J. (2009). The Self-Directed Learning Readiness Scale For
Nursing Education Revisited: A Confirmatory Factor Analysis. Nurse Education
Today 30 (44-48). Diambil dari www.elsevier.com/nedt
Fisher, M., King, K. & Tague, G. (2001). Development Of A Self-Directed Learning
Readiness Scale For Nursing Education. Diambil dari http://www.idealibrary.com.
Goleman, D. (2003). Emotional Intelligence, Kecerdasan Emosional Mengapa EI Lebih
Penting dari IQ. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, D. (2009). Emotional Intelligence. Jakarta: PT SUN.
Hidayanti, R. (2008). Kecerdasan Emosi, Stress Kerja dan Kinerja Karyawan. Journal
of Psychology (2).
Jonker, C. & Vosloo, C. (1998). The Psychometric Properties Of The Schutte
Emotional Intelligence. Diambil dari http://www.sajip.co.za
Kafetsios, K. & Zampetakis, L. (2007). Emotional Intelligence and Job Satisfaction:
Testing The Mediatory Role Of Positive and Negative Affect At Work. Personality
and Individual Differences 44 (2008) 712-722. Diambil dari
www.sciencedirect.com
Mayer, J. D. & Salovey, P. (1990). Emotional Intelligence. Diambil dari
http://scholar.google.co.id/scholar?hl=en&q=emotional+intelligence&btnG=
Mayer, J. D., Salovey, P. & Caruso, D. R. (2004). Emotional Intelligence: Theory,
Findings and Implications. Psychological Inquiry 2004, 3,197-215.
Prima, S. (2014). Kesiapan Belajar Mandiri Mahasiswa Tahun Pertama Pada Program
Studi Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Padang:
Universitas Andalas.
31
Puluhulawa, C. W. (2013). Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual
Meningkatkan Kompetensi Sosial Guru Makara Seri Sosial Humaniora, 17, 139-
147. Diambil dari DOI:10.7545/mssh.vl7i2.2957
Putri, N. (2011). Hubungan Kecerdasan Emosi dan Kesiapan Belajar Dengan Prestasi
Belajar Pada Mata Kuliah Askeb Ibu I Mahasiswa Semester II Di Akbid Mitra
Husada Karanganayar. Diambil dari digilib.uns.ac.id
Schutte, N. S., Malouff, J. M., Hall, L. E., Haggerty, D. J., Cooper, J. T., Golden, C. J.
& Dornheim, L. (1998). Development and validation of a measure of emotional
intelligence. Personality and Individual Differences, 25, 167-177.
Shaikh, R. B. (2013). Comparison Of Rediness For Self-Directed Learning In Students
Experiencing Two Different Curricula In One Medical School. Gulf Medical Jurnal
2013:2 (1): 27-31.
Tipani, R. (2006). Relations Between Emotional Intelligence with Perception of
Virginity at Diponegoro University Student. Skripsi. Semarang: Fakultas Psikologi
Universitas Diponegoro.
Yin, R.K. (1997). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.