hubungan antara motivasi berprestasi dengan fear of success pada
TRANSCRIPT
HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN FEAR OF SUCCESS PADA WANITA BEKERJA DEWASA MUDA
PUTRI ADIBAH Pembimbing : M. Fakhrurrozi, S.Psi, M. Psi
ABSTRAKSI
Pada zaman sekarang ini, seorang wanita yang sukses atau seorang wanita yang memegang jabatan yang tinggi merupakan suatu hal yang wajar. Bahkan beberapa Negara pernah memiliki presiden seorang wanita, termasuk Indonesia. Namun masih saja sering terdengar cerita wanita memilih berhenti bekerja terutama setelah menikah. Karena umumnya lingkungan keluarga dan lingkungan sosial kurang menghargai kesuksesan seorang wanita. Hal ini akan menimbulkan konflik terutama bagi wanita yang sudah menikah untuk memenuhi motivasi berprestasinya dengan mengejar karir dan memperoleh kesuksesan namun di sisi lain kesuksesan tersebut akan membawa dampak yang kurang baik bagi dirinya maupun keluarganya antara lain kehilangan feminitas, kehilangan penghargaan sosial dan penolakan sosial. Konflik tersebut akan menyebabkan wanita mengalami ketakutan akan kesuksesan. Oleh karena itulah peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan yang positif antara motivasi berprestasi dengan fear of success pada wanita bekerja dewasa awal.
Untuk mengumpulkan data pada penelitian ini dilakukan dengan kuesioner dimana terdapat skala motivasi berprestasi dan skala fear of success yang menggunakan skala berbentuk skala Likert. Penelitian ini menggunakan uji korelasi bivariat untuk menguji hubungan antara motivasi berprestasi sebagai prediktor dengan fear of success sebagai kriterium yaitu dengan teknik analisis data Korelasi Product Moment Pearson. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 43 karyawan wanita dengan posisi kerja minimal supervisor dimana tingkat usianya adalah dewasa muda (20-40 tahun) yang sudah menikah. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh koefisien korelasi sebesar -0,684 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa ada hubungan yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan fear of success, namun hubungannya bersifat negatif. Artinya semakin tinggi motivasi berprestasi subjek maka semakin rendah fear of success-nya dan semakin rendah motivasi berprestasi semakin tinggi fear of success. Hal ini mungkin disebabkan karakteristik dari individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugasnya tepat waktu dan berusaha mencari cara-cara yang baru dalam mengerjakan tugas sehingga hasilnya lebih efektif dan efisien sehingga dapat mengatur manajemen waktu yang baik untuk menyeimbangkan perannya sebagai seorang istri dan ibu dan sebagai wanita bekerja dan adanya perubahan paradigma dalam masyarakat bagi wanita Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya kebanggaan bagi masyarakat jika wanita berhasil dalam karir dan studi. Setelah dilakukan analisis statistik, maka diketahui bahwa mean empirik motivasi berprestasi sebesar 128,33 dimana mean hipotetik sebesar 102,5 dan mean empirik fear of success sebesar 54,53 dimana mean hipotetik sebesar 67,5. Kata Kunci : Motivasi Berprestasi, Fear of Success, wanita bekerja
1
PENDAHULUAN
Latar belakang Masalah
Pada masa sebelum Kartini dilahirkan,
wanita Indonesia sama sekali tidak boleh
melakukan aktifitas selain pekerjaan rumah
tangga. Namun dengan peran Kartini,
sekarang wanita sudah bisa mencapai
pendidikan yang tinggi dan bekerja di luar
rumah. Akhirnya wanita Indonesia sudah
menyadari dirinya sebagai manusia yang
mampu berprestasi sendiri, tidak tergantung
kepada orang lain, lebih percaya diri, dan
kurang bersikap tradisional (Basarah, 1989).
Pada abad ke-21 dimana pembangunan
semakin meningkat wanita bekerja bukanlah
sesuatu hal yang luar biasa lagi. Bahkan
sudah banyak sekali wanita menjadi
pemimpin seperti manajer, pemimpin
redaksi bahkan seorang wanita seperti
Megawati Soekarnoputri bisa menjadi
presiden Indonesia tahun 2000-2004. Namun
di tengah semakin besarnya kesempatan bagi
wanita untuk bekerja di berbagai bidang
pekerjaan serta mengenyam pendidikan
tinggi, masih sering terdengar cerita bahwa
wanita lebih memilih berhenti bekerja atau
berhenti kuliah, terutama setelah menikah
(Seniati, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa
wanita juga sama seperti pria yang memiliki
motivasi untuk berprestasi Menurut
McClelland dkk (dalam McClelland, 1987),
motivasi berprestasi adalah motif yang
mendorong individu untuk mencapai
keberhasilan dalam bersaing berdasarkan
ukuran keunggulan (standard of excellence).
Berdasarkan penelitian Kaufmann dan
Richardson (dalam Matlin, 1987), ada dua
gagasan mengenai motivasi berprestasi pada
wanita, yang pertama adalah bahwa wanita
mungkin tidak terlalu termotivasi untuk
berprestasi seperti pria. Yang kedua bahwa
wanita lebih berusaha untuk mencegah agar
tidak sukses karena beranggapan bahwa
sukses itu akan mendatangkan
ketidakbahagiaan. Kesuksesan memiliki
unsur maskulin, seperti jabatan yang
prestise, prestasi yang tinggi dan pencapaian
lain yang berhubungan dengan nilai-nilai
tradisional tentang maskulinitas (Henley &
Paludi dalam Matlin, 1987). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh McClelland dkk (dalam McClelland,
1987) wanita memiliki skor motivasi
berprestasi yang lebih rendah daripada pria.
Rendahnya motivasi berprestasi pada wanita
ini disebabkan karena wanita terutama
wanita karier memiliki penilaian dan
dampak yang negatif dari pekerjaan yang
mereka lakukan terutama pekerjaan yang
mencerminkan maskulinitas.
Sejak jaman dahulu persoalan yang
dihadapi oleh wanita yang bekerja tidak jauh
berbeda dengan jaman sekarang, untuk
wanita yang sudah menikah adanya
tanggung jawab sebagai istri yang baik bagi
suami dan ibu yang bertanggung jawab bagi
anak-anaknya sehingga memerlukan adanya
manajemen waktu yang baik antara
pekerjaan dan rumah tangga (Rini, 2002).
Selain itu menurut Santrock (1995), wanita
menikah yang bekerja seringkali mengalami
2
berbagai masalah seperti tuntutan adanya
waktu dan tenaga tambahan, konflik peran
pekerjaan dan peran keluarga, persaingan
kompetitif antara suami dan istri dan jika
keluarga itu sudah mempunyai anak, maka
apakah perhatian terhadap kebutuhan anak
sudah terpenuhi. Hal ini membuat wanita
menikah yang bekerja takut akan kesuksesan
karena akibat-akibat yang dihasilkan dari
kesuksesan mereka yang akhirnya bisa
berakibat buruk bagi pertumbuhan anak dan
pernikahan mereka.
Wanita karier yang belum menikah
bukan berarti tidak ada persoalan apa-apa,
mereka sering dihadapkan pada masalah
bahwa pekerjaan yang mereka lakukan
terutama hal-hal yang berhubungan dengan
maskulinitas. Menurut Miller (1976), jika
wanita ingin melakukan apa yang pria
lakukan, maka male society dengan tegas
akan menolak. Kebanyakan wanita yang
bekerja tidak diakui sebagai sesuatu aktifitas
yang nyata kecuali pekerjaan yang
berhubungan dengan menolong orang lain
sesuai dengan peran gendernya. Tapi jika
untuk peningkatan diri atau peningkatan
jabatan, maka hal ini akan disepelekan.
Sedangkan menurut Aprilia (2007), di
Indonesia wanita yang belum menikah
terutama usia 25 tahun ke atas juga sering
dihadapkan pada pertanyaan kapan mereka
akan menikah, padahal mereka masih ingin
mengejar karier. Ditambah lagi adanya
pandangan dari masyarakat jika wanita
bekerja yang sukses terutama yang memiliki
jabatan tinggi akan sulit mencari pasangan.
Wanita bekerja yang sukses dianggap
sebagai wanita yang mandiri. Kemandirian
wanita dianggap negatif oleh masyarakat.
Hal ini akhirnya akan menimbulkan
kecemasan pada wanita yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi dengan
mengurangi motivasinya sehingga mencegah
mereka untuk sukses. Selain itu juga, jika
seorang wanita berprestasi di bidang tidak
feminin maka laki-laki akan menganggapnya
tidak menarik dan prestasi yang tinggi
membutuhkan usaha yang keras sehingga
dapat menghambat kebutuhan afiliasi
(William, 1996).
Kecemasan yang timbul pada wanita ini
disebabkan karena dalam mengejar prestasi
untuk mencapai kesuksesan membutuhkan
perilaku kompetitif dan memerlukan agresifitas. Sedangkan agresif ini tidak
sesuai dengan peran gender wanita yaitu
feminitas. Hal ini menimbulkan konflik
peran jenis kelamin yang akhirnya membuat
wanita mengubah tingkat aspirasinya untuk
menampilkan potensi secara maksimal.
Horner (dalam Matlin, 1987) menyebut
kecemasan ini sebagai fear of success. Jadi
fear of success adalah ketakutan akan
kesuksesan dalam situasi kompetitif yang
akan membawa dampak yang tidak
menyenangkan terutama bagi wanita yaitu
kehilangan feminitas (lost of feminity) dan
ketidakpopuleran. Hal ini akan diikuti
dengan adanya pandangan negatif dari
masyarakat yang sering muncul dalam
bentuk cemooh, sindiran atau anggapan
bahwa wanita yang sukses tidak sesuai lagi
dengan perannya sebagai wanita. Wanita-
wanita yang sukses sering dinilai bertingkah
3
dan berpikir seperti laki-laki, menentang
kodratnya sebagai wanita untuk menjadi istri
dan ibu. Berbagai penilaian ini pada
akhirnya menilai bahwa wanita telah
menyimpang dari perannya atau telah
kehilangan sifat kewanitaannya (Horner
dalam Matlin, 1987).
Wanita dewasa muda (20-40 tahun)
yang memiliki motivasi tinggi dalam
berprestasi dan kemampuan yang baik,
kesuksesan lebih mungkin diperoleh bahkan
kadang kesuksesan merupakan tujuan
mereka. Hal ini menyebabkan mereka lebih
mungkin untuk menghadapi konflik antara
kemampuan dan motivasi berprestasi yang
tinggi serta kesempatan yang dimiliki
dengan tuntutan dan harapan masyarakat
terhadap mereka yang sesuai dengan peran
jenisnya sebagai wanita. Di satu pihak
wanita tersebut memiliki kebutuhan yang
besar untuk berprestasi, namun di pihak lain
masyarakat masih memegang nilai
tradisional bahwa wanita tidak diharapkan
untuk berprestasi tinggi bagi dirinya sendiri
tetapi lebih baik melayani orang lain.
Sedangkan pada wanita yang memiliki
motivasi berprestasi dan kemampuan yang
rendah untuk mencapai kesuksesan bukan
merupakan sesuatu hal yang mudah
sehingga mereka tidak terlalu
mempermasalahkan kesuksesan tersebut.
Oleh karena itu, wanita yang memiliki
motivasi berprestasi dan kemampuan yang
tinggi lebih mungkin mengalami fear of
success (Horner dalam Matlin, 1987).
Hal ini membuat wanita yang kompeten
akan menunjukkan kecemasan dan
penurunan prestasi jika dihadapkan pada
tugas dengan standar prestasi tertentu (Shaw
& Costanzo, 1982).
Berdasarkan uraian di atas, penulis
ingin meneliti apakah ada hubungan antara
motivasi berprestasi dengan fear of success
pada wanita karier dewasa muda?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji
apakah ada hubungan antara motivasi
berprestasi dengan fear of success pada
wanita bekerja dewasa muda. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
Berdasarkan hasil analisis diketahui terdapat
huubungan negatif antara motivasi
berprestasi dengan fear of success pada
wanita dewasa muda yang bekerja. Manfaat
teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat
menambah khasanah pengetahuan,
khususnya yang berhubungan dengan
psikologi wanita terutama teori fear of
success. Di samping itu hasil penelitian ini
tentu bermanfaat sebagai bahan pustaka atau
menambah wawasan bagi peneliti lain yang
ingin mengadakan penelitian lebih lanjut,
terutama yang berkaitan dengan motivasi
berprestasi, fear of success dan wanita
karier.
2. Manfaat Praktis
Berdasarkan hasil analisis diketahui terdapat
huubungan negatif antara motivasi
berprestasi dengan fear of success pada
wanita dewasa muda yang bekerja. Artinya
wanita pada masa ini sudah lebih mampu
4
mengatur waktu dan perannya sebagai istri
dan ibu serta sebagai wanita karier.
Manfaat penulisan ini dimaksudkan
agar para wanita khususnya pada masa
perkembangan dewasa muda (20-40 tahun)
bisa mengetahui lebih jelas tentang fear of
success sehingga jika wanita tersebut
mengalaminya bisa mencari pemecahannya
sehingga bisa membuat wanita mampu
menempatkan dirinya sebagai istri dan ibu
serta sebagai wanita karier.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Atkinson (1974), motivasi
berprestasi adalah kekuatan untuk
berprestasi yang diekspresikan melalui
perilaku terhadap tugas dalam situasi
tertentu yang ditimbulkan oleh dirinya
sendiri (personal disposition) maupun
pengaruh lingkungan. Oleh karena itu,
kekuatan untuk berprestasi ini berbeda-beda
tergantung dari adanya perbedaan antar
individu.
Sedangkan menurut McClelland (dalam
Matlin, 1987) motivasi berprestasi adalah :
”the desire to strive for success in situation
involving in standard of excellence” yang
berarti adalah hasrat untuk mencapai
kesuksesan menurut standar kesempurnaan.
Standar kesempurnaan ini dapat berupa
prestasinya sendiri sebelumnya ataupun
prestasi orang lain.
Jung (1978) menyatakan bahwa
motivasi berprestasi adalah usaha yang
dilakukan oleh individu agar bisa mencapai
keberhasilan yang berasal dari dalam dirinya
sendiri maupun dari lingkungannya dimana
perilaku dievaluasi menurut standar atau
kriteria sempurna.
Jadi motivasi berprestasi adalah
dorongan yang kuat dalam diri seseorang
untuk berprestasi sehingga mencapai kriteria
atau standar tertentu yang berasal dari dalam
dirinya sendiri maupun lingkungannya.
Komponen Motivasi Berprestasi
Berdasarkan penelitian McClelland dkk
(dalam Atkinson, 1974), komponen motivasi
berprestasi adalah :
a. Kecenderungan untuk mencapai
kesuksesan (favourable)
Suatu kapasitas untuk merasakan
kebanggaan dalam suatu pencapaian
atau sifat bawaan individu tentang
bagaimana seseorang bereaksi dalam
situasi ke situasi lainnya dengan
mengkombinasikan dua pengaruh
spesifik lingkungan yaitu kekuatan dari
kemungkinan untuk sukses dan nilai
penguatan dari kesuksesan tersebut.
Sifat bawaan itu secara umum
merupakan karakteristik yang stabil
sedangkan dua pengaruh spesifik
lingkungan itu tergantung dari
pengalaman pribadi individu tersebut.
b. Kecenderungan untuk menghindari
kegagalan (unfavourable)
Suatu kapasitas untuk bereaksi
terhadap rasa malu ketika performance
seseorang mengalami kegagalan. Ketika
seseorang melakukan suatu pekerjaan
dan ternyata gagal maka individu
tersebut akan mengalami kecemasan
dan cenderung untuk lari dari situasi
tersebut. Escalona, Festinger dan Lewin
5
mengatakan rasa malu dari kegagalan
itu akan semakin meningkat tugas yang
gagal tersebut mudah daripada tugas itu
sulit. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian
McClelland dkk (McClelland, 1987)
komponen dalam motivasi berprestasi ada
empat :
a. Risiko pemilihan tugas
Adanya kecenderungan pada
individu yang motivasi berprestasinya
tinggi untuk lebih realistis dalam
memilih tugas. Mereka lebih suka tugas
dengan tantangan moderat yang akan
menjanjikan kesuksesan. Mereka tidak
suka dengan pekerjaan yang terlalu
mudah dimana tidak ada tantangan dan
pekerjaan yang terlalu sulit dimana
kemungkinan untuk suksesnya kecil.
b. Umpan balik
Adanya umpan balik yang konkrit
tentang apa yang sudah mereka lakukan
dengan membandingkan prestasi yang
mereka miliki terhadap orang lain.
Umpan balik ini selanjutnya akan
dipergunakan untuk memperbaiki
prestasinya.
c. Tanggung jawab
Adanya tanggung jawab atas tugas
yang dikerjakannya. Ia akan berusaha
untuk meyelesaikan setiap tugas yang
dilakukan dan tidak meninggalkan tugas
itu sebelum berhasil menyelesaikannya.
Hal ini dikarenakan individu akan
merasa berhasil bila telah
menyelesaikan tugas dan gagal bila
tidak dapat menyelesaikannya.
d. Kreatif-inovatif
Inovatif adalah melakukan sesuatu
dengan cara yang berbeda dengan cara
sebelumnya. Kreatif adalah mencari
cara baru untuk menyelesaikan tugas
dengan seefektif dan seefisien mungkin.
Mereka tidak menyukai pekerjaan rutin
yang sama dari waktu ke waktu. Jika
dihadapkan pada tugas yang bersifat
rutin, mereka akan berusaha mencari
cara lain untuk menghindari rutinitas
tersebut, namun jika tidak dapat
menghindarinya mereka akan tetap
dapat menyelesaikannya.
Pada penelitian ini, penulis akan
menggunakan komponen motivasi
berprestasi dari McClelland pada tahun 1987
karena komponennya lebih spesifik untuk
diteliti. Selain itu bahasan dalam komponen
motivasi berprestasi dari McClelland
(Atkinson, 1974) masih terlalu luas
cakupannya.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Motivasi Berprestasi
Menurut Jung (1978), motivasi berprestasi
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu :
a. Faktor intrinsik
Faktor ini berasal dari dalam diri
pribadi individu yang bersangkutan atau
sama saja dengan karakteristik individu
tersebut seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Ditambah lagi dengan
adanya reward intrinsik berupa
kebanggaan dan kepuasan yang
diperoleh setelah menyelesaikan tugas
atau ketika mendapatkan kesuksesan.
b. Faktor ekstrinsik
6
Adanya dukungan sosial yang
didapatkan dan keuntungan materi.
Misalnya saja dukungan sosial yang
berasal dari orangtua untuk berprestasi
akan meningkatkan motivasi berprestasi
seseorang. Keuntungan materi yang
didapat dari bekerja akan meningkatkan
motivasi beprestasi karena semakin
tinggi prestasi seseorang maka
umumnya orang akan beranggapan
bahwa mereka akan mendapatkan
keuntungan materi yang lebih besar
pula. Selain itu juga motivasi
berprestasi akan meningkat jika ada
ekstrinsik reward berupa promosi dan
keuntungan materi seperti yang sudah
dijelaskan di atas dan punishment yang
diperoleh jika dia gagal maka akan
mendapatkan hukuman berupa
penolakan dari lingkungannya karena
seperti yang sudah diketahui bahwa
’everybody loves winner’ .
Fear of Success
Menurut Horner (dalam Matlin,1987),
fear of success adalah ketakutan akan
kesuksesan terutama pada wanita dalam
situasi kompetisi berprestasi yang akan
membawa akibat yang tidak menyenangkan
seperti kehilangan feminitas, penolakan
sosial dan ketidakpopuleran. Fear of success
juga merupakan penghambat bagi
kemampuan, aspirasi dan serta potensi yang
ada pada diri wanita tersebut.
Walsh (dalam Basarah, 1989)
menyatakan bahwa fear of success adalah
suatu disposisi laten dari kepribadian wanita
yang berhubungan dengan identitas peran
jenis kelaminnya. Fear of success dipandang
sebagai hal yang telah ada pada pribadi
wanita yang tidak terlihat namun dapat
muncul pada situasi-situasi tertentu.
Sedangkan menurut Pauludi (dalam
Kurnia, 2005), fear of success bukan
merupakan disposisi laten dari kepribadian
tapi hal yang ditimbulkan melalui suatu
situasi tertentu. Fear of success tidak ada
dalam diri wanita melalui pola asuh orangtua
tetapi muncul oleh interaksi maupun
evaluasi terhadap keadaan dan reaksi dari
lingkungan terhadap kesuksesan seorang
wanita.
Berdasarkan pandangan beberapa ahli di
atas dapat disimpulkan fear of success
adalah ketakutan akan kesuksesan yang
memproyeksikan keyakinan dalam situasi
kompetisi berprestasi pada wanita yang akan
membawa dampak negatif seperti
kehilangan feminitas, penolakan sosial dan
ketidakpopuleran sehingga menghambat
kemampuan dan aspirasi wanita tersebut.
Komponen dalam Fear of Success
Dari penelitian yang dilakukan oleh Horner
(dalam Shaw & Constanzo, 1982)
komponen fear of success ada tiga, yaitu :
a. Loss of Feminity
Ketika wanita berusaha untuk
memenuhi standar perilaku prestasinya
maka wanita tersebut akan berusaha
dengan agresif dalam situasi
berkompetisi. Hal ini tidak sesuai
dengan peran jenis kelaminnya sebagai
seorang wanita yaitu feminitas yang
seharusnya ditunjukkan dengan
pekerjaan yang bersifat mendukung dan
7
menolong orang lain. Menjadi feminin
juga berarti menjadi orang yang mampu
melakukan tugasnya sebagai ibu dan
istri yang baik. Pada akhirnya semua
hal itu akan menyebabkan timbulnya
perasaan cemas akan hilangnya sifat-
sifat kewanitaannya atau feminitas
(dalam Matlin, 1987).
b. Loss of Social Self Esteem
Perasaan cemas akan hilangnya
penghargaan sosial yang diartikan
sebagai perasaan hilangnya atau
kurangnya penghargaan masyarakat
terhadap wanita yang sukses karena
perempuan tidak menampilkan sifat
yang feminin (dalam Kurnia, 2005).
c. Social Rejection
Adanya pandangan negatif dari
masyarakat bahwa wanita-wanita yang
sukses sering dinilai bertingkah dan
berpikir seperti laki-laki, menentang
kodratnya sebagai seorang wanita dan
pandangan negatif lainnya yang pada
dasarnya menilai wanita tersebut telah
kehilangan sifat kewanitaannya. Hal ini
membuat masyarakat menolak secara
sosial wanita yang seperti itu yang
dilakukan dalam bentuk tidak
diikutsertakan wanita sukses dalam
kegiatan kelompok, cemohan, sindiran
dan sebagainya. Penolakan ini akan
semakin kuat jika wanita tersebut
bertingkah kompetitif secara terbuka
dan menolak peran tradisionalnya
(Shaffer & Wagley dalam Unger,
2004).
Wanita Bekerja
Menurut Matlin (1987), wanita bekerja
memiliki dua arti, yaitu wanita yang bekerja
di luar rumah dan wanita yang bekerja di
dalam rumah.
Unger (2004) mengemukakan istilah
wanita bekerja atau ibu bekerja itu
menunjukkan bahwa wanita itu tidak benar-
benar bekerja sampai dia mendapatkan
penghasilan.
Jadi yang dimaksud dengan wanita
bekerja adalah wanita yang bekerja di luar
rumah dan mendapatkan penghasilan.
Dewasa Muda
Masa dewasa muda menurut Hurlock
(1993) adalah masa pencarian kemantapan
dan masa reproduktif yang penuh dengan
masalah dan ketegangan emosional, periode
isolasi sosial, periode komitmen dan masa
ketergantungan, perubahan nilai-nilai,
kreativitas dan penyesuaian diri pada pola
hidup yang baru yang dimulai pada umur 18
tahun dan sampai kira-kira umur 40 tahun
Santrock (1995) menyebutkan bahwa
masa awal dewasa (early adulthood) ialah
periode perkembangan yang bermula pada
akhir usia belasan tahun atau awal usia dua
puluhan tahun dan yang berakhir pada usia
tiga puluh lima tahun. Ini adalah masa
pembentukan kemandirian pribadi dan
ekonomi, masa perkembangan karir dan bagi
banyak orang, masa pemilihan pasangan,
belajar hidup dengan seseorang secara akrab,
memulai keluarga dan mengasuh anak-anak.
Sedangkan Papalia, Olds dan Feldman
(2001) menyatakan bahwa masa dewasa
muda adalah suatu masa untuk membangun
8
dasar bagi kehidupan selanjutnya yang
dimulai pada usia 20 sampai 40 tahun. Pada
masa ini manusia biasanya meninggalkan
rumah orang tuanya, memulai karir atau
pekerjaan, menikah atau membangun
hubungan intim, mempunyai dan
membesarkan anak dan bertanggung jawab
dalam masyarakat.
Berdasarkan pengertian dari beberapa
ahli di atas dapat disimpulkan bahwa masa
dewasa muda adalah suatu masa untuk
membangun dasar bagi kehidupan
selanjutnya yang dimulai pada usia 20
sampai 40 tahun sehingga mencapai
kemantapan dan kemandirian dalam
berbagai hal seperti pribadi atau emosional,
kognitif, ekonomi atau karir dan sosial.
Hubungan Antara Motivasi Berprestasi
dengan Fear of Success pada Wanita
Bekerja Dewasa Muda
Motivasi berprestasi adalah hasrat untuk
mencapai kesuksesan menurut standar
kesempurnaan. Standar kesempurnaan ini
dapat berupa prestasinya sendiri sebelumnya
ataupun prestasi orang lain (McClelland,
1987). Ketika seorang individu mempunyai
motivasi untuk berprestasi yang tinggi maka
individu tersebut akan berperilaku untuk
mencapai prestasi yang ia inginkan.
Semakin tinggi motivasi yang dipunyai oleh
individu itu maka semakin besar
kemungkinan untuk berperilaku mencapai
prestasi tersebut (Norris, 2000).
Karakteristik individu yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi yaitu lebih
menyukai tugas-tugas dengan tantangan
yang moderat yang menjanjikan kesuksesan
dan dapat menguji kemampuan mereka dan
sebaliknya individu yang memiliki motivasi
berprestasi rendah justru cenderung
menghindari tugas-tugas tersebut (dalam
Riyanti dan Prabowo, 1998). Demikian
halnya juga dengan wanita, ketika wanita
memiliki motivasi tinggi untuk meraih
prestasi maka akan lebih mungkin untuk
memperoleh prestasi bahkan kesuksesan itu
merupakan tujuan mereka. Sedangkan pada
wanita yang memiliki motivasi berprestasi
dan kemampuan yang rendah, untuk
mencapai kesuksesan bukan merupakan
sesuatu hal yang mudah sehingga mereka
tidak terlalu mempermasalahkan kesuksesan
tersebut (Horner, dalam Matlin, 1987).
Beberapa penelitian terdahulu
menyebutkan bahwa motivasi berprestasi
pada wanita berbeda dengan dengan
motivasi berprestasi pada pria. Hal ini terjadi
karena adanya perbedaan mendasar dalam
memandang kesuksesan antara pria dan
wanita. Pria melihat kesuksesan secara
tunggal sedangkan wanita melihat
kesuksesan secara ambigu (Shaw &
Constanzo, 1982). Pria tidak memiliki
kebingungan ketika menghadapi situasi
berprestasi yang kompetitif karena hal itu
sesuai dengan peran gendernya yang
maskulin. Atau dengan kata lain pria
memang seharusnya sukses (Matlin, 1987).
Sedangkan pada wanita, lingkungan kurang
menghargai prestasi yang mereka peroleh.
Ditambah lagi peran gender yang
dimilikinya menuntut mereka untuk menjadi
penyayang, penurut dan tidak berkompetisi
9
(Shaw & Constanzo, 1982). Hal ini juga
didukung oleh Kaufmann dan Richardson
(dalam Matlin, 1987) yang dalam
penelitiannya mengatakan ada dua gagasan
mengenai motivasi berprestasi pada wanita,
yaitu bahwa wanita mungkin tidak terlalu
termotivasi untuk berprestasi seperti pria dan
wanita menganggap bahwa sukses itu akan
mendatangkan ketidakbahagiaan sehingga
wanita berusaha untuk mencegah agar tidak
memperoleh kesuksesan.
Di masa sekarang pria dan wanita
mempunyai motivasi berprestasi yang sama
tetapi motivasi tersebut mempunyai arah
yang berbeda. Ketika anak laki-laki dan
anak perempuan tumbuh dan berkembang,
mereka membuat pilihan terhadap motivasi
berprestasi baik secara sadar maupun tidak
sadar berdasarkan harapan dan nilai-nilai
dari masyarakat. Sehingga walaupun wanita
dan pria mempunyai motivasi berprestasi
yang sama untuk mencapai kesuksesan,
namun wanita dipengaruhi oleh nilai-nilai
dan harapan yang berkembang di
masyarakat untuk bertingkah laku sesuai
dengan peran gendernya. Nilai dan harapan
dari masyarakat tersebut membuat
masyarakat melihat secara berbeda
mengenai kesuksesan pada wanita dan pria.
Masyarakat akan memandang kesuksesan
yang diperoleh seorang pria sebagai akibat
dari kompetensi tinggi yang dimiliki oleh
pria tersebut. Sedangkan ketika wanita
memperoleh kesuksesan, masyarakat hanya
menganggap hal tersebut sebagai
keberuntungan atau kerja keras bukannya
kompetensi yang dimiliki wanita tersebut.
Sehingga hal ini membuat wanita
mengalami konflik dan mempengaruhi
motivasi berprestasi yang dimilikinya
(Unger, 2004).
Menurut Horner (dalam Matlin, 1987)
wanita menghadapi konflik antara
kemampuan dan motivasi berprestasi yang
tinggi serta kesempatan yang dimiliki
dengan tuntutan dan harapan masyarakat
terhadap mereka yang sesuai dengan peran
jenisnya sebagai wanita. Lidz (dalam
Basarah, 1989) juga menjelaskan konflik
yang dialami wanita karier dewasa awal (20-
40 tahun) adalah dilema antara kesempatan
mengembangkan karier dengan harapan
lingkungan sosial yang berpandangan bahwa
berprestasi adalah sifat maskulin. Wanita
diharapkan untuk menolong, bersikap lebih
tenang, kurang agresif, kurang aktif dan
dominan dalam mengambil keputusan,
tinggal di rumah, lebih emosional, serta
menjaga dan mengasuh anak-anak (Clark
dan Lowell, 1980). Sebaliknya wanita
membutuhkan perilaku kompetitif yang
merupakan sublimasi dari tingkah laku
agresifitas untuk mencapai prestasinya.
Sedangkan masyarakat memandang
agresifitas sebagai sifat yang maskulin dan
tidak sesuai dengan sifat feminin pada
wanita (Bardwick dalam Kurnia, 2005).
Selain itu juga, pada masa perkembangan
dewasa muda, wanita berada dalam tahap
mencari pasangan dan siap menikah ataupun
dalam tahap yang menuntut mereka untuk
bisa melakukan perannya sebagai istri dan
seorang ibu yang baik. Konflik-konflik yang
bisa terjadi antara lain persaingan antara
10
suami dan istri dan jika keluarga itu
mempunyai anak maka apa perhatian
terhadap anak sudah terpenuhi (Santrock,
1995).
Hal-hal tersebut akan menimbulkan
kecemasan pada wanita sehingga
membuatnya berusaha untuk menghindari
kesuksesan. Inilah yang disebut Horner
(dalam Matlin, 1987) sebagai fear of
success. Fear of success adalah ketakutan
akan kesuksesan terutama pada wanita
dalam situasi kompetisi yang membawa
dampak yang tidak menyenangkan seperti
ketidakpopuleran dan kehilangan feminitas.
Jika wanita tersebut tetap ingin
mempertahankan prestasi maka orang lain
dan dirinya akan mempersepsi bahwa ia
bukan seorang yang feminin. Prestasi yang
diperoleh akan menganggu keberhasilan
yang mengarah pada identitas dan
kinerjanya sebagai seorang ibu yang
merupakan bagian utama dalam kehidupan
seorang perempuan. Akhirnya keadaan ini
akan memaksanya untuk merendahkan
tingkat aspirasinya agar sesuai dengan
harapan masyarakat. (William, 1996).
Oleh karena itu, wanita yang memiliki
motivasi berprestasi dan kemampuan yang
tinggi lebih mungkin mengalami fear of
success. Sehingga walaupun mempunyai
keinginan untuk berprestasi yang tinggi,
dengan berbagai kondisi yang ada di
masyarakat dan lingkungannya bahwa
wanita tidak diharapkan untuk berprestasi
tinggi bagi dirinya sendiri tetapi lebih baik
melayani orang lain membuat dirinya
mengalami kecemasan terhadap kesuksesan
yang diraihnya dan akhirnya memaksa
wanita tersebut untuk merendahkan tingkat
aspirasinya (Horner dalam Matlin, 1987).
Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas
maka hipotesis yang diajukan yaitu ada
hubungan yang positif antara motivasi
berprestasi dengan fear of success pada
wanita bekerja dewasa muda. Dimana
semakin tinggi motivasi berprestasi maka
semakin tinggi juga fear of success yang
dimiliki wanita bekerja dewasa muda.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini memnggunakan
pendekatan kuantitatif yang bersifat
hubungan, yaitu menghubungkan antara
variabel satu dengan yang lain.
Jumlah subjek dalam penelitian ini
adalah 43 subjek wanita dewasa muda yang
bekerja. Karakteristik subjek yang
dibutuhkan dalam penelitian ini adalah karyawan wanita dengan posisi kerja
11
minimal supervisor dimana tingkat usianya
adalah dewasa muda (20-40 tahun) yang
sudah menikah.
Pada penelitian ini pengumpulan data
dilakukan menggunakan kuesioner dimana
terdapat lembar identitas subjek penelitian
yang meliputi nama, usia, pendidikan, posisi
pekerjaan, penghasilan, suku, lama bekerja,
pekerjaan suami dan jabatan suami yang
menunjukkan karakteristik subjek penelitian.
Selain itu di dalam kuesioner itu terdapat
skala motivasi berprestasi dan skala fear of
success. Untuk mengukur motivasi
berprestasi dan fear of success menggunakan
skala berbentuk skala Likert.
Pengumpulan data yang digunakan
mengukur motivasi berprestasi yaitu dengan
menggunkan Skala motivasi berprestasi
yang disusun berdasarkan komponen
motivasi berprestasi yang berasal dari
penelitian McClelland dkk (McClelland,
1987) yaitu risiko pemilihan tugas, umpan
balik, tanggung jawab, dan kreatif-inovatif.
Sedangkan fear of success diukur dengan
menggunakan skala fear of success yang
disusun berdasarkan dampak fear of success
bagi wanita yang kemudian oleh Horner
(1978 dalam Shaw & Constanzo, 1982)
dikembangkan menjadi komponen dalam
fear of success yang meliputi loss of feminity
(kehilangan feminitas), loss of social self
esteem (kehilangan harga diri) dan social
rejection (penolakan sosial).
Uji validitas dalam penelitian ini
berdasarkan uji konsistensi internal dimana
kriterianya dilihat dari skor total dari item
pada tes itu sendiri yaitu melalui korelasi
antara skor setiap item dengan skor total
pada item (Anastasi & Urbina, 1997) dengan
menggunakan teknik Korelasi Product
Moment Pearson. Sedangkan Uji reliabilitas
dalam penelitian menggunkan Teknik Alpha
Cronbach (Azwar, 1996).
Untuk melakukan pengujian hipotesis
yaitu ada atau tidaknya hubungan antara
motivasi berprestasi (X) sebagai prediktor
dengan fear of succes (Y) sebagai kriterium
pada wanita bekerja dengan menggunakan
uji korelasi bivariat yaitu teknik analisis data
Korelasi Product Moment Pearson karena
hanya menguji hubungan antara dua variabel
saja.
Semua perhitungan stastistik dalam
pengolahan data ini dilakukan dengan
computer menggunakan program Statistical
for Social Science (SPSS) 12.0 for Windows.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan
menggunakan metode try-out terpakai di
beberapa perusahaan yang tersebar di
Jakarta dan Bogor. Penyebaran Kuesioner
dilakukan tanggal 30 Juli sampai 26 Agustus
2008.
Uji Validitas dan Reliabilitas Skala
Pada skala motivasi berprestasi yang
disusun dengan menggunakan Skala Likert,
dari 50 item yang digunakan, diperoleh 41
item yang valid, sementara 9 item yang lain
dinyatakan gugur. Item valid memiliki nilai
korelasi antara 0,327 – 0,757. Dalam
penelitian ini diperoleh angka koefisien
12
reliabilitas motivasi berprestasi sebesar
0,951 berarti alat ukur tersebut mendekati
sempurna tingkat kepercayaannya. Pada skala fear of success, dari 50 item
yang dianalisis diperoleh 27 item yang valid,
sementara 23 item lainnya dinyatakan gugur.
Korelasi skor total pada item-item valid bergerak antara 0,302 sampai 0,777.
Kemudian dalam penelitian ini, diperoleh
angka koefisien reliabilitas fear of success
sebesar 0,844 yang berarti alat ukur tersebut
mendekati sempurna tingkat
kepercayaannya.
Uji Kolmogorov-Smirnov digunakan
untuk menguji normalitas sebaran skor.
Berdasarkan pengujian normalitas pada
variabel motivasi berprestasi diperoleh hasil
signifikansi sebesar 0,079 pada Kolmogorov
Smirnov (p > 0,05). Hal ini menunjukkan
bahwa distribusi skor skala motivasi
berprestasi berdistribusi normal. Pada skala
fear of success diperoleh signifikansi sebesar
0,056 pada Kolmogorov Smirnov (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa distribusi skor
skala fear of success berdistribusi normal.
Dari hasil uji linearitas pada skala motivasi
berprestasi dan skala fear of success
diperoleh nilai F sebesar 35,999 dengan
signifikansi 0,000 (p < 0,05). Dengan demikian dapat dikatakan ada hubungan
yang linear antara motivasi berprestasi
dengan fear of success
Untuk uji hipotesis digunakan uji
korelasi bivariat dengan menggunakan
teknik Korelasi Product Moment Pearson
karena data berdistribusi normal, N ≥ 30.
Berdasarkan analisis data yang dilakukan
dengan menggunakan teknik Korelasi
Product Moment Pearson (2-tailed)
diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar –
0,684 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p <
0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis
penelitian ini diterima, artinya ada hubungan
yang signifikan antara motivasi berprestasi
dengan fear of success. Selain itu dari hasil
analisis data yang telah dilakukan dapat
diketahui arah hubungan antara motivasi
berprestasi dan fear of success bersifat
negatif. Hal ini berarti semakin tinggi
motivasi berprestasi subjek maka semakin
rendah fear of success-nya dan semakin
rendah motivasi berprestasi semakin tinggi
fear of success.
Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji
hubungan yang positif antara motivasi
berprestasi dengan fear of success pada
wanita dewasa awal. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ini
ditolak, artinya ada hubungan yang
signifikan antara motivasi berprestasi
dengan fear of success namun hubungan
tersebut bersifat negatif. Hal ini berarti
semakin tinggi motivasi berprestasi subjek
maka semakin rendah fear of success-nya
dan semakin rendah motivasi berprestasi
semakin tinggi fear of success.
Hal ini tidak sesuai dengan pendapat
Horner (dalam Matlin, 1987) yang
menyebutkan bahwa ketika wanita
mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi
maka wanita tersebut akan menghadapi
konflik antara kemampuan dan motivasi
13
berprestasi yang tinggi serta kesempatan
yang dimiliki dengan tuntutan dan harapan
masyarakat terhadap mereka yang sesuai
dengan peran jenisnya sebagai wanita. Oleh
karena itu wanita tersebut akan lebih
mungkin untuk mengalami fear of success.
Sehingga walaupun mempunyai keinginan
untuk berprestasi yang tinggi, dengan
berbagai kondisi yang ada di masyarakat dan
lingkungannya bahwa wanita tidak
diharapkan untuk berprestasi tinggi bagi
dirinya sendiri tetapi lebih baik melayani
orang lain membuat dirinya mengalami
kecemasan terhadap kesuksesan yang
diraihnya dan akhirnya memaksa wanita
tersebut untuk merendahkan tingkat
aspirasinya.
Hal ini mungkin disebabkan
karakteristik dari individu yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi yang
bertanggung jawab dalam menyelesaikan
tugasnya tepat waktu dan berusaha mencari
cara-cara yang baru dalam mengerjakan
tugas sehingga hasilnya lebih efektif dan
efisien sehingga wanita yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi dapat mengatur
manajemen waktu yang baik untuk
menyeimbangkan perannya sebagai seorang
istri dan ibu dan sebagai wanita bekerja.
Pada akhirnya konflik dengan keluarga juga
akan berkurang. Selain itu sumber masalah
pada wanita bekerja khususnya faktor
ekesternalnya adalah ada tidaknya dukungan
suami, kehadiran anak terutama yang masih
kecil atau balita ataupun batita dan masalah
dari pekerjaan itu sendiri. Jika masalah-
masalah tersebut dapat diatasi maka wanita
tersebut bisa terus mengikuti dorongan
dalam dirinya untuk berprestasi dan tanpa
ada rasa cemas untuk meraih kesuksesan.
Misalnya dengan adanya dukungan suami,
anak-anak yang masih kecil/balita/batita
diasuh oleh orang yang dapat mereka
percayai dan karakteristik dari individu yang
memiliki motivasi berprestasi akan bisa
mengatasi masalah-masalah pekerjaan
seperti beban kerja yang berat, ketidakadilan
yang dirasakan di tempat kerja, rekan-rekan
yang sulit bekerja sama, waktu kerja yang
sangat panjang dan sebagainya sehingga
wanita-wanita ini tidak akan takut untuk
meraih kesuksesan.
Ditambah lagi dengan perubahan
paradigma dalam masyarakat seperti yang
dikatakan oleh Suciadi (2008) bahwa adanya
kemajuan paradigma bagi wanita Indonesia
yang ditunjukkan dengan adanya
kebanggaan bagi masyarakat jika wanita
berhasil dalam karir dan studi. Kemajuan
paradigma tersebut juga ditunjukkan dengan
semakin banyaknya tokoh-tokoh wanita di
Indonesia, munculnya gerakan feminisme
dan peran perempuan di dunia politik di
Indonesia. Beberapa tokoh wanita di
Indonesia antara lain Presiden ke-5 RI
Megawati Soekarnoputri, Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta,
mantan Menperindag Rini M Sumarno,
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu,
Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia
Miranda Goeltom serta tokoh-tokoh wanita
berprestasi lainnya. Bahkan adanya
penghargaan yang diberikan oleh MURI
(Museum Rekor Indonesia) untuk puluhan
14
tokoh perempuan atau perempuan-
perempuan berprestasi dan menduduki
jabatan tertentu di pemerintahan dan
perusahaan atau lembaga lainnya.
Penghargaan Muri yang ditujukan untuk
sejumlah wanita berprestasi ini diharapkan
juga bisa menjadi motivasi dan
meningkatkan rasa percaya diri kaum
perempuan Indonesia, sehingga bisa terus
memberikan kontribusi bagi pembangunan
bangsa. Menneg PP Meutia Hatta juga
mengatakan bahwa perempuan-perempuan
Indonesia berperan besar dalam
pembangunan bangsa di segala sektor.
Hingga saat ini, kontribusi perempuan bagi
pembangunan di segala sektor sudah tidak
terhitung besarnya (Novery, 2008).
Tokoh-tokoh wanita ini juga merupakan
suatu lambang kesuksesan bagi kaum
feminis yang menginginkan kesetaraan
gender antara pria dan wanita. Bahkan pada
tanggal 12 Februari 2003 bisa jadi
merupakan salah satu tonggak bersejarah
bagi perkembangan feminisme di Indonesia,
terutama bagi para politikus perempuan
yang sudah sejak jauh hari senantiasa
memperjuangkan kejelasan posisi dan peran
mereka diranah politik praktis. Saat itu,
Sidang Paripurna DPR berhasil
mengesahkan RUU Pemilu terkait kuota
30% bagi perempuan dalam Dewan
Perwakilan tingkat II hingga pada tingkat
pusat. Hampir seluruh fraksi setuju atas hal
itu,kecuali Fraksi Bulan Bintang dan
Pemerintah. (Ahmad, 2008).
Hal ini menunjukkan bahwa adanya
penghargaan dan kebanggaan masyarakat
terhadap prestasi yang diraih oleh para
tokoh-tokoh wanita Indonesia ini dan juga
adanya kesempatan yang diberkan kepada
para wanita untuk sukses dan berprestasi di
segala bidang. Akhirnya jika konflik-konflik
dengan keluarga dan masyarakat dapat
diatasi maka wanita dapat berusaha dengan
tenang untuk meraih kesuksesan dalam
kariernya. Dari hasil penelitian juga dapat
diketahui perbandingan skor Mean Empirik
(ME) dan skor Mean Hipotetik (MH) pada
skala motivasi berprestasi dan fear of
success. Berdasarkan perhitungan dengan
melihat skor skala motivasi berprestasi
memiliki mean empirik sebesar 128,33 lebih
besar dari mean hipotetik ditambah satu
standar deviasi (102,5+20,5). Hal ini berarti
motivasi berprestasi subjek penelitian yang
tergolong tinggi. Tingginya skor motivasi
berprestasi yang dimiliki subjek dalam
penelitian ini dapat terlihat dari cukup
tingginya posisi pekerjaan yang mereka
miliki yaitu minimal supervisor. Hal ini
sesuai dengan pendapat Norris (2000) yang
menyebutkan bahwa ketika seorang individu
mempunyai motivasi untuk berprestasi yang
tinggi maka individu tersebut akan
berperilaku untuk mencapai prestasi yang ia
inginkan. Semakin tinggi motivasi yang
dipunyai oleh individu itu maka semakin
besar kemungkinan untuk berperilaku
mencapai prestasi tersebut. Perilaku tersebut
ditunjukkan dengan usaha dari subjek untuk
mencapai posisi yang tinggi dalam
pekerjaan. Begitu juga menurut Horner
(dalam Matlin, 1987) yang melakukan
15
penelitian tentang motivasi berprestasi pada
wanita, mengatakan bahwa ketika wanita
memiliki motivasi tinggi untuk meraih
prestasi maka akan lebih mungkin untuk
memperoleh prestasi bahkan kesuksesan itu
merupakan tujuan mereka.
Berdasarkan perhitungan pada skala
fear of success dimana mean empirik
memiliki nilai skor sebesar 54,53 yang
berada diantara MH – SDH < x ≤ MH +
SDH (54 < x ≤ 81). Artinya dapat dikatakan
subjek penelitian memiliki fear of success
yang tergolong rata-rata bahkan mendekati
rendah. Sesuai dengan beberapa penelitian
yang telah dikumpulkan oleh Seniati (2003)
yang menyatakan bahwa wanita Indonesia
sudah tidak takut sukses. Hasil penelitian Ali
Nina tahun 1991 dan Nauly pada tahun 1993
menemukan bahwa meskipun berada pada
tingkat yang tergolong rendah, wanita yang
memiliki peran gender feminin memiliki
ketakutan akan kesuksesan yang lebih tinggi
secara signifikan daripada wanita yang
memiliki peran gender androgini. Namun
penelitian Patana dan Dahesihsari tahun
2002 menemukan tidak ada perbedaan
ketakutan akan kesuksesan pada wanita
dengan peran gender feminin, maskulin dan
androgini. Jika pada kenyataannya masih
cukup banyak wanita yang lebih memilih
keluarga sebagai prioritas dan memutuskan
berhenti bekerja, itu adalah karena hidup
adalah suatu pilihan. Selain itu juga
mungkin disebabkan karena adanya
perubahan paradigma pada masyarakat yang
memandang wanita yang bekerja di luar
rumah adalah sesuatu hal yang wajar,
bahkan jika wanita tersebut berprestasi dan
memiliki jabatan yang cukup tinggi, hal ini
justru membanggakan. Sesuai dengan yang
dikatakan oleh Suciadi (2008) bahwa adanya
kemajuan paradigma bagi wanita Indonesia
yang ditunjukkan dengan adanya
kebanggaan bagi masyarakat jika wanita
berhasil dalam karir dan studi. Hal ini
dikarenakan wanita memiliki tanggung
jawab lebih daripada pria yaitu urusan
keluarga dan anak. Istilahnya, jika kaum pria
sesibuk apapun di kantor saat pulang ke
rumah langsung dapat menikmati istirahat,
menonton TV, tidur, membaca dan
sebagainya. Tapi bagi wanita karir, setelah
pulang kantor tugas baru telah menantinya
di rumah, yaitu sebagai seorang istri dan ibu.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat
diketahui bahwa ada hubungan antara
motivasi berprestasi dengan fear of success
pada wanita bekerja dewasa muda, namun
arah hubungan antara motivasi berprestasi
dan fear of success bersifat negatif. Hal ini
berarti semakin tinggi motivasi berprestasi
subjek maka semakin rendah fear of
success-nya dan semakin rendah motivasi
berprestasi semakin tinggi fear of success.
Hubungannya kurang kuat karena hanya
sebesar –0,684. Dari hasil penelitian juga
diketahui subjek memiliki motivasi
berprestasi yang tinggi dan fear of success
yang rendah.
Di samping itu, diketahui dari analisis
tambahan bahwa baik berdasarkan usia,
pendidikan dan pekerjaannnya, subjek
16
memiliki motivasi berprestasi yang tinggi.
Sedangkan untuk fear of success-nya, subjek
yang berusia 26 tahun sampai 30 tahun
memiliki fear of success yang rendah dan
subjek dengan rentang usia 31 tahun sampai
40 tahun memiliki fear of success rata-rata.
Subjek yang memiliki tingkat pendidikan
SMA, D3 dan S1 memiliki fear of success
yang tergolong rata-rata. Namun fear of
success yang dimiliki subjek dengan tingkat
pendidikan S2 tergolong rendah. Begitu juga
dengan subjek yang mempunyai pekerjaan
sebagai produser.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka
saran yang dapat diberikan adalah sebagai
berikut :
1. Bagi subjek yang punya jabatan tinggi
dalam pekerjaanya dengan membaca
penelitian ini disarankan untuk bisa
menyeimbangkan perannya sebagai
wanita karir dan sebagai istri serta ibu
sehingga dapat terus mengembangkan
potensinya tanpa mengorbankan
perannya sebagai istri dan ibu.
2. Bagi peneliti selanjutnya disarankan
untuk meneliti bagaimana persepsi
masyarakat dan lelaki di Indonesia
terhadap wanita yang sukses sehingga
bisa diketahui dengan jelas apakah
terjadi perubahan paradigma mengenai
wanita karir yang sukses yang bisa
menyebabkan wanita karir di Indonesia
tidak takut sukses lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, I. (ed). (1997). Sangkan paran gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anastasi, A. & Urbina, S. (1997). Tes psikologi. Alih bahasa: Robertus H.S.I. Jakarta: Prenhallindo.
Aprillia, R. (2007). Harakah dan kemandirian perempuan. http://www.wordpress.com/perempuan/html
Atkinson, J.W. (1974). An introduction to motivation. New Jersey: Van Nostrand Company, Inc.
Azwar, S. (1996). Tes prestasi : Fungsi dan pengembangan pengukuran prestasi belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2008). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Basarah, F. (1989). Motivasi berprestasi pada wanita: Studi penjajagan fear of success pada wanita. Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Bee, H. (1998). Lifespan development (2nd ed). New York: Addison-Wesley Educational Publisher, Inc.
Branson, J. & Miller, D. (1988). The changing fortune of Balinese market women. In. Chandler, G., Sullivan, N. & Branson, J. (Eds). Development and displacement women in Southeast Asia. Victoria: Morphet Press Pty. Ltd.
Clark, R.A. & Lowell, E.L. (1980). Cognitive and motivation. New York: Appleton-Century-Crolts, Inc.
Craig, G. (1976). Human development (4th ed). New Jersey: Prentice Hall.
Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta : Grasindo.
17
Frieze, I.H., Parsons, J.I., Johnson, P.B., Ruble, D.H. & Zellman, G.L. (1978). Women and sex roles: A social psychological perspective. New York: W.W. Norton and Company, Inc.
Hurlock, E.B. (1993). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan, Edisi kelima. Alih bahasa : Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Jung, J. (1978). Understanding human motivation: A cognitive approach. New York: MacMillan Publishing Co., Inc.
Kurnia, I.M, (2005). Gambaran fear of success pada manajer wanita. Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Matlin, M.W. (1987). Psychology of women. Florida: Holt, Rinehart & Winston, Inc.
McClelland, D.C. (1987). Human motivation. New York: Cambridge University Press.
McClelland, D.C., Atkinsons, J.W., Clark, R.K., & Lowell, E.L. (1976). The achievement motive. New York: Appleton-Century-Crults, Inc.
Miller, J.B. (1976). Toward a new psychology of women. New Jersey: Beacon Press.
Nisfiannor, M. (2002). Hubungan antara motif sosial dengan aktivitas berorganisasi kemahasiswaan bagi mahasiswa di Surabaya. Jurnal Phronesis, 4(8), 91-108.
Norris, G.W. (2000). Exploring the trait-behaviour relationship in leadership. Thesis (tidak diterbitkan).Ohio: Department of Psychology Ohio State University.
Papalia, D.E. & Sally, W.O. (1995). Human development. Sixth Edition. New York : Mc Graw-Hill, Inc.
Prabowo, H. (2002). Teknik penulisan usulan penelitian dan skripsi. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Rini, J.F. (2002). Wanita bekerja. http://e-psikologi.com/psikologikeluarga.html
Riyanti, D.B.P & Prabowo, H. (1998). Psikologi umum 2. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Santrock, J.W. (1995). Perkembangan masa hidup. Alih bahasa: Achmad Chusairi & Juda Damanik. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sawitri. (1992). Hubungan motivasi berprestasi dengan kecemasan berprestasi terhadap prestasi akademis mahasiswa. Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Seniati, L. (2003). Wanita Indonesia takut sukses? http://kompas.com/kompas-cetak/0310/20/swara/629095.htm
Shaw, M.E. & Costanzo, P.R. (1982). Theories of social psychology. Second edition. New York: McGraw Hill, Inc.
Suciadi, L.P. (2008). Selamat hari Kartini, wahai wanita Indonesia! http://www.wikimu.com/News/displaynews.aspx?id=7790
Unger, R. & Crawford, M. (2004). Women and gender: A feminist psychology. New York: McGraw Hill, Inc.
William, J.H. (1996). The psychology of women: Half the human experience. New York: W.W. Norton & Company, Inc.
Zuckerman, M. (1980). Effects of fear of success on intrinsic motivation, causal atribution and choice behaviour. Journal of Personality and Social Psychology, 39(3), 503-513.
18