hubungan kelainan gigi susu

8
Salma Tufahati 160110140101 Hubungan Kelainan Gigi Susu (Deciduous) terhadap Kelainan Gigi Permanen Pada kasus ini, kelainan gigi susu yang dimiliki pasien yaitu hipodonsia atau oligodonsia. Hipodonsia merupakan anomali gigi berdasarkan jumlah. Kelainan ini merupakan tidak adanya satu atau beberapa gigi. Hal ini bisa disebabkan karena kegagalan perkembangan satu atau beberapa benih gigi yang menyebabkan tidak dijumpainya gigi susu atau gigi permanen. Gigi yang paling sering tidak tumbuh dalam kasus hipodonsia atau oligo donsia adalah gigi insisivus lateralis atas, premolar dua bawah, premolar dua atas, molar tiga dan insisivus sentralis bawah.

Upload: putri-sundari

Post on 20-Sep-2015

22 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

kedokteran gigi

TRANSCRIPT

Salma Tufahati160110140101

Hubungan Kelainan Gigi Susu (Deciduous) terhadap Kelainan Gigi Permanen

Pada kasus ini, kelainan gigi susu yang dimiliki pasien yaitu hipodonsia atau oligodonsia. Hipodonsia merupakan anomali gigi berdasarkan jumlah. Kelainan ini merupakan tidak adanya satu atau beberapa gigi. Hal ini bisa disebabkan karena kegagalan perkembangan satu atau beberapa benih gigi yang menyebabkan tidak dijumpainya gigi susu atau gigi permanen. Gigi yang paling sering tidak tumbuh dalam kasus hipodonsia atau oligo donsia adalah gigi insisivus lateralis atas, premolar dua bawah, premolar dua atas, molar tiga dan insisivus sentralis bawah.Tidak terjadinya erupsi dari gigi insisivus lateral kiri pada kasus ini bisa disebabkan oleh gangguan yang terjadi di proses tumbuh kembang prenatal. Pada tumbuh kembang gigi prenatal terjadi proses histodifensiasi untuk benih gigi. Inisiasi yang tidak sempurna atau dari proliferasi yang terhambat akan menyebabkan terjadinya anomali jumlah gigi berupa hipodonsia maupun anodonsia. Secara klinis, kekurangan gigi pada kavitas oral tidak selalu berarti anodontia, misalnya kegagalan pada saat erupsi (gigi yang terpendam). Oleh karena itu, pemeriksaan rontgen menjadi penting sebelum membuat diagnosa.Tidak tumbuhnya gigi susu bisa menyebabkan gigi permanen ikut tidak tumbuh karena pada tahap proliferasi gigi yang sedang berkembang terdapat benih gigi permanen yang akan menjadi bakal gigi permanen dan bisa dilihat secara jelas pada tahap bell stage.

Gambar Tahap bell stageFaktor-faktor yang dapat menyebabkan terganggunya proses tumbuh kembang gigi sebagian besar berupa faktor hereditas, radiasi atau penyinaran, trauma, infeksi, dan nutrisi maupun hormonal. Faktor-faktor diatas dapat berpengaruh pada tumbuh kembang gigi susu maupun gigi permanen.Kelainan gigi susu dapat menyebabkan kelainan pada gigi permanen. Hal ini disebabkan gigi susu merupakan awal dari pertumbuhan gigi di dalam cavum oris dan dapat memengaruhi tumbuh kembang selanjutnya dari gigi permanen. Contoh kelainan dari gigi permanen yang disebabkan dari kelainan hipodonsia maupun anadonsia bisa berupa terganggunya perkembangan oklusal, diastema garis medial di rahang atas, pertumbuhan rahang yang terganggu, malposisi gigi permanen, malformasi gigi, cleft pada bagian palate, dan pada kejadian hipodonsia parah atau anadonsia dapat mengakibatkan displasia ectoderm. Perkembangan oklusal dapat terganggu akibat dari hipodonsia ini terlebih terhadap posisi dan oklusi dari gigi geligi dan pertumbuhan rahang tergantung terutama pada jumlah gigi yang tidak terbentuk. Hipodonsia dapat mengubah oklusi dan posisi gigi-gigi melalui efeknya terhadap bentuk-bentuk gigi, posisi-posisi gigi, dan pertumbuhan rahang.Pada bentuk-bentuk gigi, kelihatannya hipodonsia akibat perkembangan tidak hanya mengurangi jumlah total dari gigi, tetapi juga memodifikasi bentuk gigi-gigi yang ada. Foster dan Van Roey (1970) sudah menjabarkan karakteristik malformasi dari gigi-gigi yang bisa terjadi dari kondisi ini. Gigi insisivus atau kaninus bisa saja berbentuk konus, defisiensi tonjol bisa saja terlihat pada gigi premolar maupun gigi molar, serta bisa terjadi berbagai malformasi gigi yang lainnya. Malformasi seperti itu bisa terjadi bahkan walaupun hanya satu gigi yang tidak ada dan kadang-kadang pasien terlihat mempunyai gigi-gigi yang lengkap tetapi gigi-giginya malformasi da nada riwayat hipodonsia dalam keluarga.Dalam kejadian posisi gigi yang anomali, posisi gigi pada hipodonsia tergantung terutama pada jumlah gigi-gigi yang tidak ada. Seringkali, hanya satu atau dua gigi yang tidak ada sehingga efeknya minimal, khususnya jika lengkung gigi berpotensi menjadi berjejal. Jika beberapa gigi tetap tidak ada, maka tentu saja ada kemungkinan terbentuk celah pada susunan gigi geligi dan gigi-gigi kemungkinan malposisi. Efek ini kadang bisa dihilangkan dengan adanya gigi susu yang berfungsi sebagai gigi tetap. Jika gigi susu tidak ada, maka celah yang ada harus ditutupi baik dengan menggeser gigi, yang kadang-kadang dikombinasi dengan membuat gigi tiruan atau protesa.Pada kasus hipodonsia parah atau yang lebih dikenal dengan anadonsia, bisa terlihat petumbuhan rahang yang terhambat dan displasia ectoderm. Anadonsia sendiri adalah kegagalan berkembangnya lamina gigi sehingga tidak ada pembentukan gigi sama sekali. Akan tetapi, biasanya gigi geligi susu terbentuk namun hanya sedikit atau tidak ada gigi geligi tetap yang terbentuk. Gigi geligi umumnya menjadi malformasi menjadi pasak atau konus. Anadonsia menyebabkan prosesus alveolaris menjadi tidak berkembang karena tidak adanya gigi-gigi yang erupsi. Hal ini menyebabkan hilangnya dimensi vertikal dari mulut dan menyebabkan penampilan yang terlihat tua dari seharusnya. Kelainan ini juga menyebabkan displasia ektoderm yang terlihat dari rambut tipis atau tidak tumbuh di beberapa regional akibat tidak berkembangnya kelenjar sudorifera dan sebasea, kulit menjadi halus dan kering, dan terjadi hipoplasia kuku. Hal ini menyebabkan penderita tidak bisa terkena panas.

Gambar anomali bidang vertikal rahang

Gambar anak yang terjangkit kelainan displasia ektoderm

Gambar malformasi gigi menjadi bentuk konus

Sumber:

Bishara, Samire. 2001. Textbook of Orthodontics. Philadelphia : W.B. Saunders Company.Foster, T.D. Buku Ajar Ortodonsi. Jakarta: EGC Regezi, J.A.;J. Sciubba. 1993. Oral Pathology. Clinical Phatologic Correlation. 2nd ed. W.B. Saunders Co.