hubungan penerimaan diri dan kebermaknaan...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN PENERIMAAN DIRI DAN KEBERMAKNAAN HIDUP PADA
KAUM MALE TO FEMALE TRANSSEKSUAL (WARIA)
DI KOTA SEMARANG
OLEH
MARISKA LIONTINA AUGUSTIEN
80 2011 064
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari
PersyaratanUntuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
PENDAHULUAN
Di kalangan masyarakat saat ini fenomena transeksual (waria) dapat dijumpai di
setiap sudut kota, mereka berbaur dengan masyarakat setempat. Banyak masyarakat
yang menerima kehadiran mereka meskipun kaum transseksual masih dianggap sebagai
suatu gangguan, tetapi tidak sedikit pula yang menolak kehadiran mereka.Kebanyakan
orang hanya melihat dari kulit luar semata. Lebih disayangkan lagi, ketidaktahuan
mereka atas fenomena tersebut bukannya membuat mereka mencoba belajar tentang
apa, bagaimana, mengapa dan siapa.Melainkan justru melakukan penghukuman dan
penghakiman yang sering kali menjurus pada tindakan biadab dan mengesampingkan
nilai- nilai kemanusiaan (Nadia, 2005).
Menurut diagnosis medis konvensional (dalam Yash, 2003) transseksualisme
adalah salah satu bentuk gender dysphoria (kebingungan gender).Gender dysphoria
adalah sebuah term general bagi mereka yang mengalami kebingungan atau
ketidaknyamanan tentang gender–kelahiran mereka.Gender dysphoriadisebabkan oleh
adanya sebuah perkembangan khusus dari hubungan antara sekse dan gender seseorang.
Lebih sederhana, seorang transseksual adalah sebuah “mind” yang secara fisik
terperangkap dalam tubuh dengan jenis kelamin berkebalikkan dengan “mind” tersebut
atau transseksual berarti memiliki tubuh yang salah terhadap gender yang dimiliki.
Terdapat dua macam transseksual, yakni transseksual perempuan ke laki-laki (female-
to-male transsexual), memiliki tubuh perempuan dan mind laki-laki, dan transseksual
laki-laki ke perempuan (male-to-female transsexual), memiliki tubuh laki-laki dan mind
perempuan (Yash, 2003). Pada istilah sehari-hari mereka inilah yang sering disebut
sebagai “waria”, “wadam”, “banci”, “bencong”, ataupun istilah semacam itu.
Dunia waria belum banyak dikenal.Kurangnya pemahaman, tentu saja, mudah
membangkitkan buruk sangka. Begitulah, sehingga “alih–alih“ menerimanya sebagai
suatu takdir, justru banyak orang memandang waria itu menentang kodrat. Akibatnya,
kaum waria kurang mendapat tempat di dalam masyarakat, kalau tidak kaum waria
diperlakukan sebagai wabah yang “menjijikan”.
Predikat waria dipandang negatif oleh sebagian masyarakat dengan segala "cap"
yang dialamatkan kepada mereka. Walaupun sesungguhnya menjadi waria belum tentu
menjadi pilihan hidup mereka."Kami tak pernah minta dilahirkan sebagai
waria"demikian (preelimenery research,2012).
Efek yang ditimbulkan dari kaummale to female transseksual (waria) berupa
penolakan terhadap lingkungan, selalu menyendiri, merasa dikucilkan dan efek yang
lainnya. Akibat dari ketunaan yang dialami oleh seseorang maka mereka juga
mempunyai keterbatasan dalam melakukan kegiatan sehari hari. Menurut Frankl (2003),
seseorang yang memiliki kebermaknaan hidup akan bertanggungjawab mengarahkan
hidupnya, memiliki sikap optimis, tetap eksis, dan mampu mengenali potensi serta
kekurangan yang dimiliki. Maka kaum male to female transseksual (waria) yang
memiliki kebermaknaan hidup akan mampu menyelesaikan permasalahan hidupnya
secara bertanggungjawab dengan tetap eksis dan optimis serta mempunyai kesempatan
untuk mewujudkan keinginan melalui kegiatan-kegiatan yang memberikan kepuasan
hidup dan bebas berbuat kreativitas sesuai dengan minat dan kemampuan individual.
Manusia dalam mencari tujuan hidup, mempunyai suatu kebutuhan yang bersifat
unik, spesifik, dan personal, yaitu suatu kebutuhan akan makna hidup. Frankl (2003)
mengungkapkan kebermaknaan hidup sebagai keadaan yang menunjukkan sejauhmana
seseorang telah mengalami dan menghayati kepentingan keberadaan hidupnya menurut
sudut pandang dirinya sendiri. Hal ini berarti bahwa apabila seseorang berhasil dalam
makna hidupnya, maka kehidupannya dirasakan penting dan berharga, dengan demikian
akan menimbulkan penghayatan bahagia. Makna hidup yang dimaksud merupakan
segala sesuatu yang dipandang penting dan berharga, memberikan nilai khusus dan
dijadikan tujuan hidup seseorang (Bastaman, 2007).Dalam hal ini kaum male to female
transseksual (waria), memiliki kebermaknaan hidup yang cukup baik, seperti yang
diungkapkan oleh salah satu waria di semarang bahwa kebermaknaan hidup yang
dimiliki yaitu dengan mampu menyelesaikan permasalahan hidupnya secara
bertanggungjawab selalu mencari kesempatan untuk mewujudkan keinginan melalui
kegiatan-kegiatan yang memberikan kepuasan hidup dan bebas berbuat kreativitas
sesuai dengan minatnya. Walaupun mereka tidak selalu di terima oleh masyarakat akan
tetapi mereka mengaggap hal tersebut sebagai resiko dari perbedaan yang ada dalam diri
mereka sehingga mereka tetap berusaha bersikap baik kepada siapapun.
Menurut Setyaningtyas (2012), faktor yang mempengaruhi kebermaknan hidup
adalah penerimaan diri. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kaum male to female
transseksual (waria) menerima kekurangan dirinya akan meningkatkan kebermaknaan
hidup dalam dirinya. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi seseorang menerima
kekurangan dirinya akan meningkatkan kebermaknaan hidup dalam dirinya. Hurlock
(2008) mengemukakan bahwa penerimaan diri merupakan kemampuan menerima
segala hal yang ada pada diri sendiri baik kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki,
sehingga apabila terjadi peristiwa yang kurang menyenangkan maka individu tersebut
akan mampu berpikir logis tentang baik buruknya masalah yang terjadi tanpa
menimbulkan perasaan, permusuhan, perasaan rendah diri, malu, dan rasa tidak aman.
Berdasarkan wawancara dengan kaum male to female transseksual (waria) di
kota Semarang mengungkapkan bahwa terkadang merasa takut akan pandangan orang
lain terhadapnya, mereka juga bingung akan menyalurkan keahlian mereka yang mereka
dapatkan untuk di salurkan diluar sana seperti keahlian dalam kecantikan, make up,
mereka juga merasa nyaman dengan lingkungan sosial mereka yang rata-rata
mengalami seperti mereka, jadi ketika mereka keluar untuk berinteraksi dengan dunia
luar mereka terkadang kurang percaya diri akan fisik mereka yang termasuk kaum male
to female transseksual (waria)yang terbatas dan takut akan pandangan oranglain tentang
keadaan dirinya dan mereka merasa minder akan diri mereka. Terkadang ada
pandangan bahwa melakukan sesuatu harus memiliki kondisi tubuh ataupun fisik yang
normal dan terkadang hal ini yang menghambat kegiatan mereka.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang penelitian, dan
adanya penelitian serupa, maka menguatkan keinginan dari peneliti untuk mengetahui
apakah ada hubungan penerimaan diri dan kebermaknaan hidup pada kaum male to
female transseksual (waria) di kota Semarang?
TINJAUAN PUSTAKA
Male to Female Transeksual (Waria)
Menurut Goh (dalam Yash, 2003) menyebutkan bahwa kata “transseksual”
pertama kali diketengahkan oleh Cauldwell pada tahun 1949 untuk menggambarkan
kasus tentang seorang perempuan yang ingin menjadi laki-laki. Namun yang
mempopulerkan istilah “transseksual” ini adalah Dr. Harry Benjamin. Menurutnya,
transseksual didefinisikan sebagai suatu gangguan identitas gender pada seseorang yang
merupakan anggota dari sebuah sekse yang memiliki keinginan yang tetap dan terus
menerus atas “perubahan” sekse secara medis, operatif dan sah sehingga
memungkinkan mereka untuk hidup sebagai anggota gender kebalikan dari gender yang
mereka miliki.
Waria dalam konteks psikologis termasuk dalam transeksualisme, yakni
seseorang yang secara jasmani jenis kelaminnya jelas dan sempurna, namun secara
psikis cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenis. DalamDiagnotic and Statistic
Manual of Mental Disorder IV-TR(2004) ini sendiri transeksual dibagi menjadi dua,
yaitu male-to-female transsexual(laki-laki yang meyakini bahwa dirinya sesungguhnya
adalah seorang perempuan) dan female-to-male transsexual(perempuan yang meyakini
bahwa dirinya sesungguhnya adalah seorang laki-laki). Yang dimaksudkan disini adalah
male-to-female yang disebut dengan waria.
Menurut Maslim (2003), beberapa ciri transseksual adalah adanya gangguan
identitas transseksual yang menetap minimal selama 2 tahun, berkaitan dengan adanya
kelainan interseks, genetik atau kromosom, dan bukan merupakan gejala gangguan
skizofrenia. Ciri yang lain adalah adanya hasrat untuk hidup dan di terima sebagai
anggota dari kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan risih atau tidak serasi
dengan anatomi seksualnya dan pada akhirnya ada keinginan untuk mendapatkan terapi
hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis
kelamin yang diinginkan.
Selanjutnya Tjahjono (1995) menambahkan beberapa ciri untuk mengetahui
adanya kelainan transseksual di antaranya adalah individu memiliki minat dan perilaku
yang berlawanan dengan jenis kelaminnya, seringkali perilakunya menyebabkan
individu tersebut di tolak oleh lingkungannya.
Menurut Puspitosari (2005) faktor-faktor terjadinya transseksual adalah faktor
biologis dan faktor psikologis.Faktor biologis yaitu faktor yang berhubungan dengan
hormon dan kromosom genetik.Sedangkan faktor psikologis merupakan faktor yang
berhubungan dengan sosial budaya, pola asuh, lingkungan sekitar, hingga adanya
pengalaman yang sangat hebat dengan lawan jenis sehingga muncul khayalan dan sikap
memuja lawan jenis sebagai idola dan ingin menjadi seperti lawan jenis.
Kebermaknaan Hidup
Frankl (2003) mengungkapkan kebermaknaan hidup sebagai keadaan yang
menunjukkan sejauhmana seseorang telah mengalami dan menghayati kepentingan
keberadaan hidupnya menurut sudut pandang dirinya sendiri. Orang yang pertama kali
mengemukakan gagasan tentang makna hidup (meaning of life) adalah Frank (2003)
dengan teorinya yang diberi namaLogoteraphy. Dalam logoterapi, manusia dikatakan
pada dasarnya memiliki kebebasan berkehendak (the freedom of will), kehendak untuk
bermakna (the will to meaning), serta makna hidup (meaning of life). Menurut Frankl
(Schultz, 1991), seseorang yang memiliki kebermaknaan hidup akan bertanggungjawab
mengarahkan hidupnya, memiliki sikap optimis, tetap eksis, dan mampu mengenali
potensi serta kekurangan yang dimiliki.
Hidup yang bermakna merupakan motivasi bagi individu untuk dapat berguna
dan berharga dimata oranglain (Bastaman, 2007), termasuk pada remaja tuna daksa.
Namun pada kenyataanya banyak penyandang tuna daksa merasa tidak puas dengan
kehidupan yang dijalani karena merasa terhambat melakukan aktivitas atas kekurangan
yang dimiliki, dan meskipun memiliki aktivitas perkerjaan yang sesuai dengan
kemampuannya tapi tidak merasa bangga dengan yang dimiliki dikarenakan kurang
percaya diri.
Menurut Frankl (2003) karakteristik makna hidup meliputi tiga sifat, yaitu:
1) Makna hidup sifatnya unik dan personal.
Artinya apa yang dianggap berarti bagi seseorang belum tentu berarti bagi
oranglain. Bahkan mungkin apa yang dianggap penting dan bermakna pada saat ini oleh
seseorang. Belum tentu sama bermaknanya bagi orang itu pada saat yang lain. Dalam
hal ini makna hidup seseorang dan apa yang bermakna baginya bersifat khusus, berbeda
dengan oranglain, dan mungkin dari waktu ke waktu berubah pula.
2) Makna hidup sifatnya spesifik dan konkrit.
Artinya dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari
dan tidak selalu harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan idealis, prestasi-prestasi akademis
yang tinggi, atau hasil-hasil filosofis yang kreatif.
3) Makna hidup sifatnya memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan
yang dilakukan.
Artinya makna hidup seakan-akan menantang (challenging) dan mengundang
(inviting) seseorang untuk memenuhinya. Begitu makna hidup ditemukan dan tujuan
hidup ditentukan, maka seseorang akan terpanggil untuk melaksanakan dan
memenuhinya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya pun menjadi lebih rendah.
Aspek-aspek yang digunakan untuk mengukur tinggi-rendahnya makna hidup
tersebut, antara lain (Frank, 1959 dalam Crumbaugh, 1987):
1) Tujuan hidup, yaitu sesuatu yang menjadi pilihan, memberi nilai khusus serta
dijadikan tujuan dalam hidupnya.
2) Kepuasan hidup, yaitu penilaian seseorang terhadap hidupnya, sejauh mana ia
bisa menikmati dan merasakan kepuasan dalam hidup dan aktivitas-aktivitas
yang dijalaninya.
3) Kebebasan, yaitu perasaan mampu mengendalikan kebebasan hidupnya secara
bertanggungjawab.
4) Sikap terhadap kematian, yaitu bagaimana seseorang berpandangan dan
kesiapannya menghadapi kematian. Orang yang memiliki makna hidup akan
membekali diri dengan berbuat kebaikan, sehingga dalam memandang kematian
akan merasa siap untuk menghadapinya.
5) Pikiran tentang bunuh diri, yaitu bagaimana pemikiran seseorang tentang
masalah bunuh diri. Bagi orang yang mempunyai makna hidup akan berusaha
menghindari keinginan untuk melakukan bunuh diri atau bahkan tidak pernah
memikirkannya.
6) Kepantasan hidup, pandangan seseorang tentang hidupnya, apakah ia merasa
bahwa sesuatu yang dialaminya pantas atau tidak.
Penerimaan Diri
Hurlock (2008) mengemukakan bahwa penerimaan diri merupakan kemampuan
menerima segala hal yang ada pada diri sendiri baik kekurangan maupun kelebihan
yang dimiliki, sehingga apabila terjadi peristiwa yang kurang menyenangkan maka
individu tersebut akan mampu berpikir logis tentang baik buruknya masalah yang
terjadi tanpa menimbulkan perasaan rendah diri, malu, dan rasa tidak aman. Sheerer
(Crumbaugh, 1987) mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah sikap untuk menilai
diri sendiri dan keadaanya secara objektif, menerima segala yang ada pada dirinya
termasuk kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahannya.
Karena dengan memiliki penerimaan diri akan dapat mengembangkan diri ke
arah gambaran yang sesuai dengan keinginan dan mampu melakukan komitmen dengan
hal-hal seperti seperti nilai-nilai yang dianggap penting dan bermakna untuk dipenuhi,
sebab setiap individu memiliki tanggungjawab mengembangkan dirinya dan
menemukan makna hidupnya.
Skala penerimaan diri menurut Denmark, (1973) terdiri dari 9, yaitu:
1) Nilai-nilai dan standar diri tidak dipengaruhi lingkungan luar
2) Keyakinan dalam menjalani hidup
3) Bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan
4) Mampu menerima kritikan dan saran seobjektif mungkin
5) Tidak menyalahkan diri atas perasaanya terhadap orang lain
6) Menganggap dirinya sama dengan orang lain
7) Tidak ingin orang lain menolaknya dalam kondisi apapun
8) Tidak menganggap dirinya berbeda dari orang lain
9) Tidak rendah diri
Hubungan Antara Penerimaan Diri Dan Kebermaknaan Hidup
Kebermaknaan hidup adalah bagian tertinggi dari hierarki kebutuhan yang
dalam konsep Abraham Maslow disebut dengan aktualisasi diri. Pada level inilah
manusia bekerja benar-benar menemukan keikhlasan dan komitmen. Kebermakanaan
hidup dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan untuk menjadi orang yang berguna
bagi oranglainbaik itu anak, istri, keluarga dekat, komunitas, negara dan bahkan umat
manusia (Frankl , dalam Sulistya,2005).
Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta
memberikan nilai khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan dalam
kehidupan (the purpose in life).Pengertian mengenai makna hidup menunjukkan bahwa
dalam makna hidup terkandung juga tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu dicapai dan
dipenuhi.Mengingat antara makna hidup dan tujuan hidup tidak dapat dipisahkan, maka
untuk keperluan praktis pengertian makna hidup dan tujuan hidup dapat
disamakan.Makna hidup dan tujuan hidup dalam penggunaan sehari-hari sering
disamakan artinya walaupun mengandung konotasi yang berlainan. Makna hidup lebih
menunjuk apa yang seharusnya dicapai (Bastaman, 2007).
Makna hidup pada kaum male to female transseksual (waria) merupakan nilai-
nilai yang sangat berarti yang dapat berfungsi sebagai tujuan hidup yang
dipenuhinya.Selain itu pada kaum male to female transseksual (waria) juga harus bisa
mengubah sikap dan selalu bersikap positif dalam menyelesaikan semua permasalahan
yang sedang mereka hadapi. Setelah mereka bisa menemukan makna hidupnya yang
harus mereka kerjakan menjaga komitmen terhadap apa yang sudah diraihnya.
Apabila kaum male to female transseksual (waria) bisa melakukan komponen-
komponen yang di jelaskan di atas maka mereka akan menemukan makna dan tujuan
dalam hidupnya.
Sheerer (dalam Paramita, 2012), ini dapat mempengaruhi pandangan individu
menjelaskan bahwa penerimaan diri adalah tentang keberadaan dirinya, sehingga sikap
dalam menilai diri dan keadaannya akan mempengaruhi penerimaan diri individu
objektif, menerima kelebihandan kelemahannya. Sheerer (Cronbach 1963, dalam
Wrastari, 2003) sosial sehingga mereka menjadi inferior. Seseorang yang dapat
menerima inferioritas pada individu adalah jika seseorang tersebut mempunyai
keyakinan akan kemampuan untuk menghadapi kehidupan, mampu menerima pujian
secara objektif, dan tidak menyalahkan diri sendiri.
Bentuk aktualisasi dari berbagai potensi kualitas insani yang langsung berkaitan
dengan masalah penemuan makna hidup merupakan wujud penerimaan diri. Karena
dengan memiliki penerimaan diri akan dapat mengembangkan diri ke arah gambaran
yang sesuai dengan keinginan dan mampu melakukan komitmen dengan hal-hal seperti
nilai-nilai yang dianggap penting dan bermakna untuk dipenuhi, sebab setiap individu
memiliki tanggung jawab mengembangkan dirinya dan menemukan makna hidupnya.
Berdasarkan urain tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah
Terdapat hubungan positif antara penerimaan diri dengankebermaknaan hidup.
METODOLOGI PENELITIAN
Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel penelitian yang digunakan, yaitu
variabel bebas dan variabel terikat.Variabel bebas dalam penelitian ini adalah
penerimaan diri, sedangkan variabel terikat adalah kebermaknaan hidup.
Definisi Operasional
Kebermaknaan hidup adalah keadaan yang menunjukkan sejauhmana seseorang
telah mengalami dan menghayati kepentingan keberadaan hidupnya menurut sudut
pandang dirinya sendiri. Alat ukur yang digunakan adalah kebermaknaan hidup yang
dikemukakan oleh Frank (1959) dalam Crumbaugh, (1987) adalah: tujuan hidup,
kepuasan hidup, kebebasan, sikap terhadap kematian, pikiran tentang bunuh diri dan
kepantasan hidup.
Penerimaan diri merupakan kemampuan menerima segala hal yang ada pada diri
sendiri baik kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki, sehingga apabila terjadi
peristiwa yang kurang menyenangkan maka individu tersebut akan mampu berpikir
logis tentang baik buruknya masalah yang terjadi tanpa menimbulkan perasaan rendah
diri, malu, dan rasa tidak aman. Penerimaan diri menggunakan aspek yang dikemukakan
Denmark, (1973), seperti: Nilai-nilai dan standar diri tidak dipengaruhi lingkungan luar,
keyakinan dalam menjalani hidup, bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan,
mampu menerima kritikan dan saran seobjektif mungkin, tidak menyalahkan diri atas
perasaanya terhadap orang lain, menganggap dirinya sama dengan orang lain, tidak
ingin orang lain menolaknya dalam kondisi apapun, tidak menganggap dirinya berbeda
dari orang lain, tidak rendah diri.
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah kaum male to female transseksual (waria)
di Kota Semarang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive
sampling, yaitu metode pengambilan sampel atas beberapa kriteriaresponden kaum male
to female transseksual (waria) yaitu:
1. Memiliki tingkah laku seperti lawan jenis
2. Telah menunjukkan keadaan fisik serupa lawan jenis kurang lebih 2 tahun
3. Telah melakukan beberapa perubahan pada fisik biologis asli, seperti suntik
silicon payudara
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah suatu cara yang dipakai peneliti untuk
memperoleh data yang diselidiki (Suryabrata, 1998). Metode pengumpulan data dalam
penelitian ini yaitu dengan memberikan kuesioner kepada kaum male to female
transseksual (waria) di kota Semarang.Kuesioner kebermaknaan hidup sebanyak 20
aiem dan kuesioner penerimaan diri sebanyak 36 aitem.
Analisis Aitem
Uji Validitas: uji ini untuk mengetahui sejauh mana instrumen yang digunakan
sudah memadai untuk mengukur apa yang seharusnya diukur dengan cara meminta
pendapat atau penilaian ahli yang berkompeten dengan masalah yang diteliti. Data
dikatakan valid jika memiliki Corrected item-total correlation (r hitung) lebih besar 0.3
(Ghozali, 2005). uji validitas untuk variabel variabel penerimaaan diri sebanyak 36
item, diperoleh hasil sebanyak 8 item dinyatakan gugur karena memiliki nilai pearson
correlation yang lebih kecil dari 0,3, dan sebanyak 28 item dinyatakan mempunyai daya
diskriminasi karena memiliki nilai pearson correlation yang lebih besar dari 0,3 Uji
validitas untuk kebermaknaan hidup sebanyak 20 item, diperoleh hasil sebanyak 7 item
gugur karena memiliki nilai pearson correlation yang lebih kecil dari 0,3, dan
sebanyak 13 item dinyatakan mempunyai daya diskriminasi karena memiliki nilai
pearson correlation yang lebih besar dari 0,3 (Ghozali, 2005).
Uji realibilitas digunakan untuk menunjuk sejauh mana suatu hasil pengukuran
relatif konsisten jika diulangi berapa kali. Instrumen dikatakan reliablebila memiliki
Alpha Cronbach lebih besar dari 0,6.Hasil Jika dilihat dari uji reliabilitas, variabel
penerimaan diri memiliki nilai alpha 0,882 dan kebermaknaan hidup memiliki nilai
0,893 yang keduanya lebih besar dari 0,600 yang artinya data reliable dan dapat
dinyatakan ke uji selanjutnya (Ghozali, 2005). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 1
Reliabilitas Penerimaan Diri
Cronbach's
Alpha N of Items
0,882 28
Tabel 2
Reliabilitas Kebermaknaan Hidup
Cronbach's
Alpha N of Items
0,893 13
Teknik Analisa Data
Metode analisis menggunakan uji korelasi untuk melihat hubungan signifikan
antara penerimaan diri dan kebermaknaan hidup pada kaum male to female transseksual
(waria) di kota Semarang. Analisis data dilakukan bantuan program SPSS 16.0 for
windows.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Partisipan
Partisipan penelitian ini adalah kaum male to female transseksual (waria) di kota
Semarang. Reponden dalam penelitian ini berjumlah 43 orang, dengan usia secara
keseluruhan diatas 20 tahun dengan pendidikan terakhir seluruh partisipan adalah
SMA.Kriteria responden kaum male to female transseksual (waria) yaitu:
1 Memiliki tingkah laku seperti lawan jenis
2 Telah menunjukkan keadaan fisik serupa lawan jenis kurang lebih 2 tahun
3 Telah melakukan beberapa perubahan pada fisik biologis asli, seperti suntik
silicon payudara
Uji Normalitas
Penelitian ini menggunakan uji normalitas yang bertujuan untuk mengetahui
normal atau tidaknya distribusi data penelitian pada masing masing variabel.Data dari
variabel penelitian diuji normalitas dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov test
menggunakan SPSS. Hasil diketahui bahwa variabel penerimaan diri memiliki memiliki
koefisien normalitas 0,866 dan kebermaknaan hidup memiliki koefisien normalitas
0,745 yang mana nilai keduannya lebih besar dari 0,05 dengan demikian variabel
penerimaan diri dan kebermaknaan hidup memiliki distribusi normal. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Penerimaan Diri
Kebermaknaan
Hidup
N 43 43
Normal Parametersa Mean 121.51 55.14
Std. Deviation 10.487 9.375
Most Extreme Differences Absolute .091 .104
Positive .087 .104
Negative -.091 -.078
Kolmogorov-Smirnov Z .599 .679
Asymp. Sig. (2-tailed) .866 .745
Uji Linearitas
Untuk uji linearitas menunjukan bahwa ada hubungan penerimaan diri dan
kebermaknaan hidup adalah linear, karena dari hasil uji linearitas diperoleh F beda =
1,604 dan nilai signifikansi 0,076 > 0,05. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
hubungan penerimaan diri dan kebermaknaan hidup ini menunjukan garis yang sejajar
atau linear.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
ANOVA Table
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Kebermaknaan Hidup *
Penerimaan Diri
Between
Groups
(Combined) 2898.129 27 107.338 2.030 .076
Linearity 84.826 1 84.826 1.604 .225
Deviation
from Linearity 2813.304 26 108.204 2.047 .075
Within Groups 793.033 15 52.869
Total 3691.163 42
Analisis Deskriptif
1. Penerimaan Diri
Variabel penerimaan diri akan dibuat sebanyak 3 (tiga) kategori yaitu tinggi,
sedang, rendah. Rumus untuk mencari interval yang digunakan untuk menentukan
kategori penerimaan diri mempunyai 28 item valid dengan pemberian skor antara 1
sampai 4, sehingga secara hipotetik pembagian skor tertinggi dan terendah yaitu :
Jumlah skor tertinggi 28 x 4 = 112
Jumlah skor terendah 28 x 1 = 28
Interval = Jumlah skor tertinggi – Jumlah skor terendah
3 (tiga) kategori
= 112 - 28
3
= 28
Tabel 3
Kategorisasi Pengukuran Penerimaan Diri
Interval Ketegori Jumlah Persentase Rata-
rata
28 – 56 Rendah 0 0.00% 95,255
> 56 - ≤ 84 Sedang 8 18.60%
< 84 - ≤ 112 Tinggi 35 81.40%
43 100.00%
Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan penerimaan diri sebagian besar dalam
kategori tinggi sebesar 81,40 % dan kategori sedang sebesar 18,60 %. Dengan rata-rata
sebesar 95,255 yang artinya penerimaan diri adalah tinggi.
2. Kebermaknaan Hidup
Variabel kebermaknaan hidup akan dibuat sebanyak 3 (tiga) kategori yaitu
tinggi, sedang, rendah. Rumus untuk mencari interval yang digunakan untuk
menentukan kategori kebermaknaan hidup mempunyai 13 item valid dengan pemberian
skor antara 1 sampai 4, sehingga secara hipotetik pembagian skor tertinggi dan terendah
yaitu :
Jumlah skor tertinggi 13 x 4 = 52
Jumlah skor terendah 13 x 1 = 13
Interval = Jumlah skor tertinggi – Jumlah skor terendah
3 (tiga) kategori
= 52 - 13
3
= 13
Tabel 4
Kategorisasi Pengukuran Kebermaknaan Hidup
Interval Ketegori Jumlah Persentase Rata-
rata
13 – 26 Rendah 10 23.26%
> 26 - ≤ 39 Sedang 15 34.88% 33,186
< 39 - ≤ 52 Tinggi 18 41.86%
43 100.00%
Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan kebermaknaan hidup sebagian besar
dalam kategori sedang sebesar 41,86 % dan kategori sedang sebesar 34,88 %. Dengan
rata-rata sebesar 33,186 yang artinya kebermaknaan hidup adalah sedang.
Pengujian Hipotesis
Hasil korelasi product moment menunjukan bahwa penerimaan diri memiliki
hubungan positif signifikan dengan kebermaknaan hidup pada kaum male to female
transseksual (waria) di kota Semarang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
berikut.
Penerimaan Diri Kebermaknaan Hidup
Penerimaan Diri Pearson Correlation 1 .552
Sig. (1-tailed) .001
N 43 43
Kebermaknaan Hidup Pearson Correlation .552 1
Sig. (1-tailed) .001
N 43 43
Tabel di atas dapat dijelaskan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara
penerimaan diri dengan kebermaknaan hidup pada kaum male to female transseksual
(waria) di kota Semarang yang ditunjukan dengan nilai signifikansi 0,001 yang lebih
kecil dari 0,05 (5 %) dengan nilai r = 0,552.Sumbangan efektif penerimaan diri
terhadap kebermaknaan hidup sebesar (0,552)2x100% = 30,47 %
Pembahasan
Terdapat hubungan positif dan signifikan antara penerimaan diri dengan
kebermaknaan hidup pada kaum male to female transseksual (waria) di kota Semarang
yang ditunjukan dengan nilai signifikansi 0,001 yang lebih kecil dari 0,05 (5 %) dengan
nilai r = 0,552. Sumbangan efektif penerimaan diri terhadap kebermaknaan hidup
sebesar (0,552)2x100% = 30,47 %. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Setyaningtyas (2012), menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara penerimaan
diri dengan kebermaknaan hidup. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi penerimaan diri
akan semakin tinggi pula kebermaknaan hidup.
Diterimanya hipotesis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa penerimaan diri
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kebermaknaan hidup. Bastaman
(1996) mengatakan bahwa penerimaan diri sebagai tahap awal agar individu dapat
mengembangkan diri dari penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna
merupakan tahap paling penting, maka penerimaan diri akan sulit bagi individu
melakukan pengembangan diri.
Hal ini berarti bahwa kaum male to female transseksual (waria) di kota
Semarang yang memiliki penerimaan diri akan dirinya tinggi maka kaum male to
female transseksual (waria) di kota Semarang akan memiliki kebermaknaan hidup yang
tinggi pula dalam menjalani hidup. Sejauhmana keberhasilan individu dalam
membentuk tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai yang dilingkupi kehidupannya
ditentukan dengan adanya penerimaan diri (Hurlock dalam Rohmah. 2004). Menurut
Frankl (2003), kebermaknaan hidup adalah keadaan yang menunjukkan sejauhmana
seseorang telah mengalami dan menghayati kepentingan keberadaan hidupnya menurut
sudut pandang dirinya sendiri.
Sartain (Rohmah, 2004) menjelaskan bahwa dengan memiliki kesadaran untuk
menerima dan memahami diri, maka individu dapat mengenali diri sendiri dan akan
mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan dirinya. Menurut Rakhmat
(Suwarti, 2004), menerima keadaan diri berarti menghargai segala kelebihan dan
kekurangan yang ada pada diri sendiri dan berusaha untuk mengelola kelebihan dan
kekurangannya dengan sebaik-baiknya.
Seseorang yang dapat menerima dirinya mempunyai penilaian yang realistik
terhadap potensi-potensi yang ada pada dirinya disertai dengan penilaian yang positif
akan harga dirinya (Hurlock dalam Rohmah, 2004). Sari (2002) mengatakan bahwa
karakteristik yang dimiliki individu dengan penerimaan diri akan dihayati sebagai
anugerah, segala yang ada pada diri individu dirasakan sebagai hal yang menyenangkan
sehingga individu memiliki keinginan untuk terus dapat menikmati kehidupan. Hal ini
sesuai pendapat Rubin (Rohmah, 2004), bahwa penerimaan diri merupakan sikap yang
mencerminkan rasa senang sehubungan dengan kenyataan diri sendiri.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ada hubungan positif dan signifikan antara penerimaan diri dengan
kebermaknaan hidup pada kaum male to female transseksual (waria) di kota Semarang
yang ditunjukan dengan nilai signifikansi 0,001 yang lebih kecil dari 0,05 (5 %) dengan
nilai r = 0,552. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi penerimaan diri akan semakin
tinggi pula kebermaknaan hidup. Sumbangan efektif penerimaan diri terhadap
kebermaknaan hidup sebesar (0,552)2x100% = 30,47 %.
Saran
Saran yang dapat penulis berikan adalah :
1. Bagi kaum male to female transseksual (waria) di kota Semarang disarankan bahwa
penting memiliki penerimaan diri yang positif untuk dapat mengembangkan potensi-
potensi kualitas insani masing-masing dengan cara mematuhi ajaran agama dan
beribadah, melakukan aktivitas pekerjaan yang positif, dan bersosialisasi tanpa rasa
minder agar tetap eksis meneruskan kehidupan untuk mencapai tujuan-tujuan yang
akan datang di dalam hidupnya sehingga tetap yakin bahwa hidup ini sangat berarti.
2. Bagi lembaga yang aktif peduli untuk kesejahteraan kehidupan para kaum male to
female transseksual (waria) di kota Semarang disarankan agar dapat
menyelenggarakan program atau kegiatan yang meningkatkan kesadaran para kaum
male to female transseksual (waria) di kota Semarang secara umum dan fisik pada
khususnya untuk memiliki penerimaan diri yang positif supaya hidup kaum male to
female transseksual (waria)tetap bermakna.
3. Bagi peneliti selanjtnya yang memiliki minat tentang penerimaan diri dan
kebermaknaan hidup pada kaum male to female transseksual (waria) disarankan
agar meneliti faktor-faktor lain seperti dukungan sosial, keimanan, serta pemenuhan
nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan dan nilai-nilai bersikap.
Daftar Pustaka
Bastaman. H. D. Logoterapi, (2007). Psikologi Untuk Menemukan Makna Hidup Dan
Meraih Hidup Bermakna. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Crumbaugh, (1987). An Experimental Study In Existentialism: The Psychomel Ric
Approach To Frankl's Concept Of Noogenic Neurosis. Construct validity in
psychological testa. Psychol. Bull., 1955, 6B, 281-302
Denmark, K. L. (1973). Self-Acceptance and leader Effectiveness. Journal Extensions.
Texas A&M University
Frankl, Viktor E. Man (2003). Search For Meaning. Terjemahan Lala Hermawati
Dharma. Bandung: Nuansa
Ghozali, I, (2014). Model Persamaan Struktural Konsep dan Aplikasi Dengan Program
AMOS 22.0. Semarang : Universitas Diponegoro
Hurlock, E.B, (2008). Psikologi Perkembangan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi
kelima, Jakarta: Erlangga.
Maslim, R (2003). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ
III). Jakarta.
Paramita, R, (2012). Pengaruh Penerimaan Diri terhadap Penyesuaian Diri Penderita
Lupus. Skripsi Sarjana. Universitas Airlangga Surabaya.
Puspitosari, H dan Pujileksono, S, (2003). Waria dan Tekanan Sosial. Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang.
Nadia, Z (2005). Waria : Laknat atau Kodrat? Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Setyaningtyas, (2012). Penerimaan diri dan kebermaknaan hidup penyandang cacat
fisik. Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana, Yogyakarta
Schultz, D. M, (1991). Psikologi pertumbuhan model-model kepribadian sehat.
Yogyakarta : Kanisius
Sulistya, W. K. (2005). Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Kompetensi
Interpersonal pada Perawat RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Skripsi.
Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Wangsa Manggala
Suryabrata, S, (1998). Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali.
Tjahjono, E, (1995). Perilaku-Perilaku Seksual Yang Menyimpang. Anima Indonesia
Psychological Journal vol XI (41) h. 300-314.
Wrastari, A.T. (2003). Pengaruh Pemberian Pelatihan Neuro Linguistik Programming
(NLP) terhadap Peningkatan Penerimaan Diri Penyandang CacatTubuh
padaRemaja Penyndang Cacat Tubuh di Pusat Rehabilitasi Panti Sosial Bina
Daksa ”Suryatama” Bangil Pasuruan. Skripsi Sarjana tidak diterbitkan.
UniversitasAirlangga
Yash. (2003) Transseksual; Sebuah Studi Kasus Perkembangan Transseksual
Perempuan ke Laki-laki.Semarang: AINI.