hubungan personal hygiene dan sanitasi lingkungan rumah dengan infeksi cacing pada anak usia 6
TRANSCRIPT
HUBUNGAN PERSONAL HYGIENE DAN SANITASI LINGKUNGAN
RUMAH DENGAN INFEKSI CACING PADA ANAK USIA 6 - 12 TAHUN
DI RAWA LIMBAH KELURAHAN PISANGAN KOTA TANGERANG
SELATAN TAHUN 2016
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat (SKM)
Nurmarani
1112101000051
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
iii
PANITIA SIDANG SKRIPSI
iv
LEMBAR PERNYATAAN
v
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, Maret 2017
Nama: Nurmarani, NIM: 1112101000051
Hubungan Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Infeksi
Cacing pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota
Tangerang Selatan Tahun 2016
xx + 119 halaman, 7 gambar, 29 tabel, 4 lampiran
ABSTRAK
Infeksi cacing adalah masalah kesehatan masyarakat yang biasa terjadi di daerah
tropis dan subtropis. Di Indonesia, infeksi cacing memiliki prevalensi yang cukup
tinggi, yaitu sekitar 28,12% pada tahun 2015. Jenis cacing yang paling banyak
menginfeksi adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris
trichiura) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara personal hygiene dan
sanitasi lingkungan rumah dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa
Limbah, Kelurahan Pisangan, Kota Tangerang Selatan, Banten. Desain penelitian
yang digunakan adalah cross sectional dengan uji statistik bivariat Chi square.
Sampel pada penelitian ini berjumlah 36 anak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 8 anak (22,2%) mengalami infeksi cacing.
Faktor yang tidak berhubungan dengan infeksi cacing antara lain kebiasaan mencuci
tangan setelah BAB, kebiasaan BAB sembarangan, kebiasaan mengonsumsi jajanan
tidak tertutup, kebiasaan menggunakan alas kaki, sarana air bersih, kondisi SPAL,
kondisi lantai rumah, dan kondisi tempat pembuangan sampah. Sedangkan, faktor
yang berhubungan dengan infeksi cacing adalah kebersihan kuku (p=0,012;
OR=14,778), kebiasaan mencuci tangan sebelum makan (p=0,036; OR=7,5) dan
kondisi jamban (p=0,041; OR=10,818).
Oleh karena itu, disarankan bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk
melakukan program relokasi, membentuk kader, serta meningkatkan program
promotif, preventif dan kuratif terkait infeksi cacing. Kemudian, disarankan bagi
masyarakat untuk meningkatkan personal hygiene dan menjaga sanitasi lingkungan
rumah agar terhindar dari kontaminasi telur cacing.
Kata Kunci: Infeksi cacing, personal hygiene, sanitasi lingkungan rumah.
vi
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH PROGRAM STUDY
ENVIRONMENTAL HEALTH
Undergraduated Thesis, March 2017
Name: Nurmarani, NIM: 1112101000051
The Association Between Personal Hygiene and House Environmental
Sanitation with Helminthiasis among Children Aged 6-12 Years Old in Rawa
Limbah, Pisangan, Tangerang Selatan City in 2016
xx + 119 pages, 7 pictures, 29 tables, 4 attachments
ABSTRACT
Helminthiasis is a major public health problem, particularly in tropical and
subtropical regions of the world. In Indonesia, the prevalence of helminthiasis is
fairly high, about 21,82% in 2015. The most common worm species that cause the
infection are roundworm (Ascaris lumbricoides), whipworm (Trichusris trichiura)
and hookworm (Ancylostoma duodenale and Necator americanus)
The objective of this research is to examine the association between personal
hygiene and house environmental sanitation with helminthiasis among children aged
6-12 years old in Rawa Limbah, Pisangan, Tangerang Selatan City, Banten Province.
This is a cross sectional study and Chi square test is used as bivariate statistical
analysis. The samples in this study are 36 children.
Results showed that 8 children (22,2%) were infected with helminth. Factors that
were not significantly associated with helminthiasis were the habit of washing hands
after defecating, the habit of free-defecation, the habit of eating uncovered snack, the
habit of using footwear, water supply systems, sewerage conditions, house floor
conditions, and trash can conditions. Meanwhile, there were 3 factors that show
significant associations with helminthiasis, such as nail hygiene (p=0,012;
OR=14,778), the habit of washing hands before eating (p=0,012; OR=14,778) and
latrine condition (p=0,041; OR=10,818).
It is advisable for the Government of Tangerang Selatan to make a relocation
program, form a group of cadres, and strengthen the promotive, preventive and
curative programs regarding helminthiasis. People also need to improve their
personal hygiene and keep the house environmental sanitation clean in order to
prevent helminthiasis.
Key words: helminthiasis, personal hygiene, house environmental sanitation
vii
RIWAYAT PENELITI
RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Nurmarani
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 9 Maret 1995
Alamat : Jl. Panti Asuhan No.57, Jurang Mangu Barat, Pondok
Aren, Tangerang Selatan, Banten
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Golongan Darah : B
No. Handphone : 0858-8328-1169
E-mail : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
2012-sekarang : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2009-2012 : SMAN 47 Jakarta
2006-2009 : SMPN 177 Jakarta
2000-2006 : SDN Pesanggrahan 03 Pagi Jakarta
1999 : TK Islam Nurul Huda
PENGALAMAN KERJA
2015 : Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas
Pondok Betung
2016 : Magang di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
viii
LEMBAR PERSEMBAHAN
Rasulullah Shallallahu‘alaihi Wassallam bersabda:
من طرق الجنة من سلك طريقا يطلب فيه علما سهل الل به طريقا
“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan
mempermudah baginya jalan menuju surga” (H.R Muslim)
Semoga ini menjadi salah satu dari jalanmu dan jalanku
menuju surga Allah SWT.
Aamiin Ya Rabbal ‘Aalamiin
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Bismillahirrahmanirrahiim
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga laporan hasil penelitian ini dapat diselesaikan. Tidak lupa juga shalawat
serta salam penulis curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing kita dari zaman penuh kegelapan menuju zaman yang terang
benderang. Penulisan laporan hasil penelitian yang berjudul “Hubungan Personal
Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan Infeksi Cacing pada Anak
Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2016” ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Kesehatan Masyarakat (SKM).
Dalam proses penyelesaian laporan hasil penelitian ini, penulis mendapatkan
bantuan serta dukungan baik berupa ilmu, moril maupun materil dari berbagai pihak.
Oleh sebab itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Orang tua dan kakak tercinta, atas segala doa, semangat, bantuan, kasih sayang
dan perhatian yang tidak pernah terputus sehingga penulis dapat menjalani
pendidikan hingga saat ini.
2. Bapak Prof. Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dosen peminatan
Kesehatan Lingkungan dan penguji I sidang skripsi;
3. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D selaku Kepala Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta;
4. Bapak Dr. M. Farid Hamzens, M.Si selaku dosen Pembimbing I dan Ibu Dr. Ela
Laelasari SKM, M.Kes selaku dosen Pembimbing II, atas segala nasehat dan
bimbingan yang sangat bermanfaat sehingga penulis dapat melaksanakan
penelitian dengan maksimal;
5. Ibu Dela Aristi, MKM dan Ibu Silvia Fitrina Nasution, M.Biomed selaku dosen
penguji II dan III yang telah memberikan masukan agar laporan ini menjadi lebih
baik;
x
6. Seluruh dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat atas segala ilmu yang
diberikan selama masa perkuliahan;
7. Alviral Muhamad, yang selalu memberikan doa, semangat dan motivasi dalam
menjalani kuliah hingga melaksanakan penelitian ini;
8. Teman-teman Kesehatan Lingkungan 2012 (Anisa Apriliyani, Putri Dewi Riani,
Yufa Zuriya, Isnaeni Wahyu Saputri, Tyas Indah Permatasari, Sri Widiyastuti,
Ukhty Rahmah Sari Manap, Yolanda Mutiara Christina, Hanifatunnisa Ath
Thoriqoh, Bella Kurnia, Sarah Aprilia Rachmawati, Azizah, Hanun Hafiyya,
Destinia Putri, Putri Ayuni Setyowati, Annisa Dwi Lestari, Syifa Azkiya, Yola
Dwi Putri, Juwita Wijayanti, Ainia Nurul Aqida, Nadhira Khairani, Ivanullah
Anggriawan Wibisono, Abdul Rohim, Agus Dwi Saputra). Terima kasih atas
semua ilmu dan pengalaman yang kita bagi bersama;
9. Teman-teman seperjuangan Kesehatan Masyarakat 2012;
10. Adik dan kakak kelas peminatan Kesehatan Lingkungan yang tidak dapat
disebutkan satu persatu;
11. Para sahabat, Aghni Ulma Saudi, Luthfan Dharma Prasetia, Raudah Husna, Adila
Afifah Rizki,Anisa Apriliyani, Sekar Wigati Suprapto, Putri Dewi Riani, Nuni
Puspa Syahidah yang tidak pernah lelah untuk selalu memberikan semangat;
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Penulis berharap laporan penelitian
ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Penulis menyadari bahwa masih
terdapat banyak kekurangan dalam penulisan laporan ini. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran agar laporan ini dapat menjadi lebih baik. Terima
kasih atas perhatiannya.
Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
xi
DAFTAR ISI
PERNYATAAN PERSETUJUAN .............................................................................. ii
PANITIA SIDANG SKRIPSI ..................................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................................... v
ABSTRACT ................................................................................................................ vi
RIWAYAT PENELITI .............................................................................................. vii
LEMBAR PERSEMBAHAN ................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xix
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................... xx
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 4
1.3 Pertanyaan Penelitian ......................................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 6
1.4.1 Tujuan Umum .............................................................................................. 6
1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................................................. 6
1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................................. 7
1.5.1 Bagi Masyarakat .......................................................................................... 8
1.5.2 Bagi Puskesmas Pisangan ............................................................................ 8
1.5.3 Bagi Peneliti Selanjutnya ............................................................................. 8
1.6 Ruang Lingkup ................................................................................................... 8
xii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 10
2.1 Infeksi Cacing ................................................................................................... 10
2.1.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ...................................................... 12
2.1.2 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) ........................................................ 14
2.1.3 Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) ...... 16
2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Infeksi Cacing ................................ 18
2.2.1 Personal hygiene ........................................................................................ 18
2.2.2 Sanitasi Lingkungan Rumah ...................................................................... 24
2.3 Kerangka Teori ................................................................................................. 31
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ...................... 32
3.1 Kerangka Konsep ............................................................................................. 32
3.2 Definisi Operasional ......................................................................................... 33
3.3 Hipotesis ........................................................................................................... 36
BAB IV METODE PENELITIAN ............................................................................ 37
4.1 Desain Penelitian .............................................................................................. 37
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................... 37
4.3 Populasi dan Sampel ......................................................................................... 37
4.3.1 Populasi ...................................................................................................... 37
4.3.2 Sampel ....................................................................................................... 38
4.4 Sumber Data ..................................................................................................... 41
4.5 Instrumen Penelitian ......................................................................................... 41
4.6 Cara Pengumpulan Data ................................................................................... 47
4.7 Manajemen Data ............................................................................................... 49
4.7.1 Data Coding ............................................................................................... 50
4.7.2 Data Editing ............................................................................................... 50
4.7.3 Data Entry.................................................................................................. 51
xiii
4.7.4 Data Cleaning ............................................................................................ 51
4.8 Analisa Data ..................................................................................................... 51
4.8.1 Analisis Univariat ...................................................................................... 51
4.8.2 Analisis Bivariat ........................................................................................ 51
BAB V HASIL ........................................................................................................... 53
5.1 Analisis Univariat ............................................................................................. 53
5.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian .......................................................... 53
5.1.2 Gambaran Infeksi Cacing .......................................................................... 53
5.1.3 Gambaran Kebersihan Kuku ...................................................................... 55
5.1.4 Gambaran Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Makan .......................... 56
5.1.5 Gambaran Kebiasaan Mencuci Tangan Setelah BAB ............................... 56
5.1.6 Gambaran Kebiasaan BAB Sembarangan ................................................. 57
5.1.7 Gambaran Kebiasaan Mengonsumsi Jajanan Tidak Tertutup ................... 58
5.1.8 Gambaran Kebiasaan Menggunakan Alas Kaki ........................................ 59
5.1.9 Gambaran Sarana Air Bersih ..................................................................... 59
5.1.10 Gambaran Kondisi Jamban ...................................................................... 61
5.1.11 Gambaran Kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah ............................. 64
5.1.12 Gambaran Kondisi Lantai Rumah ........................................................... 66
5.1.13 Gambaran Kondisi Tempat Pembuangan Sampah .................................. 67
5.2 Analisis Bivariat ............................................................................................... 69
5.2.1 Hubungan Kebersihan Kuku dengan Infeksi Cacing ................................. 69
5.2.2 Hubungan Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Makan dengan Infeksi
Cacing 70
5.2.3 Hubungan Kebiasaan Mencuci Tangan Setelah BAB dengan Infeksi
Cacing 71
5.2.4 Hubungan Kebiasaan BAB Sembarangan dengan Infeksi Cacing ............ 72
xiv
5.2.5 Hubungan Kebiasaan Mengonsumsi Jajanan Tidak Tertutup dengan Infeksi
Cacing 73
5.2.6 Hubungan Kebiasaan Menggunakan Alas Kaki dengan Infeksi Cacing ... 74
5.2.7 Hubungan Sarana Air Bersih dengan Infeksi Cacing ................................ 74
5.2.8 Hubungan Kondisi Jamban dengan Infeksi Cacing ................................... 75
5.2.9 Hubungan Kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah dengan Infeksi
Cacing 76
5.2.10 Hubungan Kondisi Lantai Rumah dengan Infeksi Cacing ...................... 77
5.2.11 Hubungan Kondisi Tempat Pembuangan Sampah dengan Infeksi Cacing
78
BAB VI PEMBAHASAN .......................................................................................... 80
6.1 Keterbatasan Penelitian .................................................................................... 80
6.2 Infeksi Cacing ................................................................................................... 80
6.3 Kebersihan Kuku .............................................................................................. 85
6.4 Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Makan .................................................. 88
6.5 Kebiasaan Mencuci Tangan Setelah BAB ........................................................ 90
6.6 Kebiasaan BAB Sembarangan .......................................................................... 92
6.7 Kebiasaan Mengonsumsi Jajanan Tidak Tertutup ............................................ 93
6.8 Kebiasaan Menggunakan Alas Kaki ................................................................. 95
6.9 Sarana Air Bersih .............................................................................................. 97
6.10 Kondisi Jamban .............................................................................................. 99
6.11 Kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah ................................................... 102
6.12 Kondisi Lantai Rumah .................................................................................. 103
6.13 Kondisi Tempat Pembuangan Sampah ......................................................... 105
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 107
7.1 Simpulan ......................................................................................................... 107
7.2 Saran ............................................................................................................... 108
xv
7.2.1 Bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan ............................................... 108
7.2.2 Bagi Masyarakat Sasaran ......................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 110
LAMPIRAN ............................................................................................................. 119
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1Definisi Operasional ................................................................................... 33
Tabel 4.2 Skoring Variabel Sarana Air Bersih........................................................... 43
Tabel 4.3Skoring Variabel Kondisi Jamban .............................................................. 44
Tabel 4.4 Skoring Variabel Kondisi SPAL ................................................................ 45
Tabel 4.5 Skoring Variabel Kondisi Lantai Rumah ................................................... 45
Tabel 4.6 Skoring Variabel Kondisi Tempat Pembuangan Sampah .......................... 46
Tabel 4.7 Pengkodean Data ....................................................................................... 50
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Infeksi Cacing pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa
Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016 .......... 54
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Infeksi Cacing berdasarkan Jenis Cacing pada Anak
Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang
Selatan Tahun 2016 ................................................................................... 54
Tabel 5.3Distribusi Frekuensi Kebersihan Kuku pada Anak Usia 6-12 Tahun di
Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016 55
Tabel 5.4Distribusi Frekuensi Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Makan
pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota
Tangerang Selatan Tahun 2016 ................................................................. 56
Tabel 5.5Distribusi Frekuensi Kebiasaan Mencuci Tangan Setelah BAB pada Anak
Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang
Selatan Tahun 2016 ................................................................................... 57
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Kebiasaan BAB Sembarangan pada Anak Usia 6-12
Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2016 ................................................................................................ 57
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Mengonsumsi Jajanan Tidak Tertutup pada
Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota
Tangerang Selatan Tahun 2016 ................................................................. 58
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Menggunakan Alas Kaki pada Anak Usia
6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2016 ................................................................................................ 59
xvii
Tabel 5.9 Distribusi Sarana Air Bersih yang Digunakan oleh Anak Usia 6-12 Tahun
di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016
................................................................................................................... 60
Tabel 5.10 Distribusi Sarana Air Bersih berdasarkan Kategori di Rawa Limbah
Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016 ..................... 61
Tabel 5.11 Distribusi Kondisi Jamban yang Digunakan oleh Anak Usia 6-12 Tahun
di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun
2016 ......................................................................................................... 62
Tabel 5.12 Distribusi Kondisi Jamban berdasarkan Kategori di Rawa Limbah
Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016 ..................... 64
Tabel 5.13 Distribusi Saluran Pembuangan Air Limbah yang Digunakan oleh Anak
Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang
Selatan Tahun 2016 ................................................................................. 64
Tabel 5.14 Distribusi Kondisi SPALberdasarkan Kategori di Rawa Limbah
Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016 ..................... 65
Tabel 5.15 Distribusi Kondisi Lantai di Rumah Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa
Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016 ....... 66
Tabel 5.16 Distribusi Kondisi Lantai Rumah berdasarkan Kategori di Rawa Limbah
Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016 ..................... 67
Tabel 5.17 Distribusi Kondisi Tempat Pembuangan Sampah di Rumah Anak Usia 6-
12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2016 .............................................................................................. 68
Tabel 5.18 Distribusi Kondisi Tempat Pembuangan Sampah berdasarkan Kategori di
Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016
................................................................................................................. 69
Tabel 5.19 Hubungan Kebersihan Kuku dengan Infeksi Cacing pada Anak Usia 6-12
Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2016 .............................................................................................. 69
Tabel 5.20Hubungan Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Makan dengan Infeksi
Cacing pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan
Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016....................................... 70
xviii
Tabel 5.21Hubungan Kebiasaan Mencuci Tangan Setelah BAB dengan Infeksi
Cacing pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan
Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016....................................... 71
Tabel 5.22 Hubungan Kebiasaan BAB Sembarangan dengan Infeksi Cacing pada
Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota
Tangerang Selatan Tahun 2016 ............................................................... 72
Tabel 5.23 Hubungan Kebiasaan Mengonsumsi Jajanan Tidak Tertutup dengan
Infeksi Cacing pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan
Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016....................................... 73
Tabel 5.24 Hubungan Kebiasaan Menggunakan Alas Kaki dengan Infeksi Cacing
pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota
Tangerang Selatan Tahun 2016 ............................................................... 74
Tabel 5.25 Hubungan Sarana Air Bersih dengan Infeksi Cacing pada Anak Usia 6-12
Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2016 .............................................................................................. 75
Tabel 5.26 Hubungan Kondisi Jamban dengan Infeksi Cacing pada Anak
Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang
Selatan Tahun 2016 ................................................................................. 76
Tabel 5.27 Hubungan Kondisi SPAL dengan Infeksi Cacing pada Anak Usia 6-12
Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2016 .............................................................................................. 77
Tabel 5.28 Hubungan Kondisi Lantai Rumah dengan Infeksi Cacing pada Anak Usia
6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang
Selatan Tahun 2016 ................................................................................. 78
Tabel 5.29 Hubungan Kondisi Tempat Pembuangan Sampah dengan Infeksi Cacing
pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota
Tangerang Selatan Tahun 2016 ............................................................... 79
xix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Siklus Hidup Cacing Gelang Sumber: Gandahusada dkk, 2004 ............ 13
Gambar 2.2 Siklus Hidup Cacing Cambuk Sumber: Gandahusada dkk, 2004 .......... 15
Gambar 2.3 Siklus Hidup Cacing Tambang Sumber: Gandahusada dkk, 2004 ........ 17
Gambar 2.4 KerangkaTeori ........................................................................................ 31
Gambar 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................... 32
Gambar 4.1 Alur Pengambilan Sampel Studi (Enrollment)....................................... 39
Gambar 4.2 Hasil Mikroskop Telur Cacing yang Ditularkan melalui Tanah ............ 48
xx
DAFTAR SINGKATAN
BAB : Buang Air Besar
Dinkes : Dinas Kesehatan
Ditjen PP & PL : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
Hb : Hemoglobin
Kemenkes RI : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Kkal : Kebutuhan Kalori
MI : Madrasah Ibtidaiyah
OR : Odds Ratio
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
RT : Rukun Tetangga
RW : Rukun Warga
SD : Sekolah Dasar
SDN : Sekolah Dasar Negeri
SPAL : Saluran Pembuangan Air Limbah
UKS : Unit Kesehatan Sekolah
UNESCO : United Nations Educational, Scientific, and Cultural
Organization
UNICEF : United Nations International Children Emergency’s
Fund
WHO : World Health Organization
1
1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi cacing adalah masuknya parasit berupa cacing ke dalam tubuh
manusia. Infeksi ini dapat menyebabkan turunnya status gizi, ketahanan tubuh,
kecerdasan dan produktivitas penderita sehingga secara tidak langsung juga
dapat menyebabkan kerugian ekonomi (Ditjen PP &PL, 2013). Hasil kalkulasi
yang dilakukan oleh Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
(Ditjen PP & PL) Kementerian Kesehatan RI, diketahui bahwa kerugian
langsung akibat cacing pada anak usia sekolah antara lain adalah kerugian
karbohidrat sebanyak 0,14 gram perhari, kerugian protein sebanyak 0,035 gram
perhari, dan kehilangan darah sebanyak 0,005 sampai 0,2 ml perhari (Ditjen PP
& PL, 2013).
Di Indonesia, penyakit cacing masih memiliki prevalensi yang tinggi
khususnya di daerah dengan kondisi sanitasi yang buruk. Pada tahun 2002 –
2009, Ditjen PP & PL (2012) melakukan pemeriksaan feses pada anak Sekolah
Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah yang tersebar di 33 Provinsi dan menunjukkan
hasil rata-rata prevalensi cacing sebesar 31,8%. Berdasarkan survei yang
dilakukan di 10 kabupaten pada tahun 2012, ditemukan bahwa prevalensi
cacing tertinggi berasal dari kabupaten Gunung Mas provinsi Kalimantan
Tengah (76,67%). Di Provinsi Banten, infeksi cacing tertinggi berada di
Kabupaten Lebak (62%) dan Pandeglang (43,78%) (Ditjen PP & PL, 2013).
Pada tahun 2015, diketahui bahwa prevalensi infeksi cacing di Indonesia
mencapai angka 28,12%, namun angka tersebut belum menggambarkan
2
kondisi sebenarnya karena masih banyak wilayah di Indonesia yang belum
tercakup dalam pemeriksaan infeksi cacing (Dinkes Kabupaten Indragiri Hulu,
2015).
Cacing yang menyebabkan infeksi terbanyak di Indonesia adalah cacing
yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminths) yaitu cacing gelang
(Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura). Pada penelitian di
beberapa kota besar di Indonesia, ditemukan bahwa penyakit cacing akibat
nematoda usus dengan spesies cacing gelang merupakan penyebab tertinggi
dengan prevalensi sebesar 60-90%, yang kedua adalah cacing cambuk dengan
prevalensi 65-75% dan cacing tambang dengan prevalensi 30-50% (Utama,
2009).
Infeksi cacing secara langsung disebabkan oleh kurangnya praktik
kebersihan perorangan atau personal hygiene dan sanitasi lingkungan rumah.
Pada penelitian Yunus (2015) ditemukan ada hubungan personal hygiene dan
buruknya sanitasi lingkungan rumah terhadap infeksi cacing pada balita.
Personal hygiene yang baik dapat memutus rantai transmisi telur cacing yang
berasal dari tanah maupun material lainnya yang terkontaminasi telur cacing.
Praktik personal hygiene yang baik seperti mencuci tangan dengan baik dan
benar, memotong kuku secara rutin kurang dari dua minggu sekali dapat
menghilangkan telur cacing yang terdapat pada tangan dan kuku sehingga tidak
terjadi penularan ke dalam saluran pencernaan manusia (Yunus, 2015).
Penelitian terdahulu di Kabupaten Lebak Provinsi Banten menunjukkan
bahwa siswa sekolah dasar yang memiliki personal hygiene yang buruk
3
berisiko 3,194 kali daripada siswa sekolah dasar yang memiliki personal
hygiene baik (Isa, 2013). Penelitian Fitri, dkk (2012) di Tapanuli Selatan
menemukan adanya hubungan antara kondisi lingkungan rumah yaitu air
bersih, jamban, Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL), tempat sampah dan
kondisi halaman rumah yang tidak memenuhi syarat dengan penyakit cacing.
Pada penelitian Ali dkk (2016) di Kota Pekanbaru Provinsi Riau juga
ditemukan adanya hubungan antara penyediaan air bersih dan SPAL dengan
infeksi cacing pada petani sayur.
Penanganan infeksi cacing yang dilakukan di Indonesia berupa upaya
promotif, preventif dan kuratif. Upaya promotif dapat dilakukan dengan
memberikan penyuluhan kepada anak sekolah melalui program Unit Kesehatan
Sekolah (UKS), dan kepada masyarakat luas melalui posyandu, media cetak,
media elektronik maupun penyuluhan langsung. Upaya preventif dilakukan
dengan pengendalian faktor risiko seperti menerapkan perilaku hidup bersih
dan sehat, penyediaan air bersih yang cukup, melakukan lantainisasi pada
rumah, pengadaan jamban pribadi yang memadai, dan menjaga kebersihan
makanan. Upaya kuratif dilakukan dengan mengonsumsi obat yang aman dan
efektif dalam membunuh cacing dewasa, larva dan telur.
Pemerintah menargetkan pada tahun 2016 agar sebanyak 100% provinsi
dan 75% kabupaten/kota di Indonesia telah melaksanakan program
pengendalian infeksi cacing dengan cakupan sasaran nasional mencapai
minimal 75% (Ditjen PP & PL, 2012). Namun, berdasarkan keterangan yang
didapat dari petugas Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, diketahui bahwa
Kota Tangerang Selatan belum melakukan program pengendalian infeksi
4
cacing, padahal masih terdapat wilayah yang warganya memiliki risiko tinggi
untuk terinfeksi cacing, yaitu wilayah RT 02 RW 07 Kelurahan Pisangan
dimana sebagian besar karakteristik fisik wilayahnya masih berupa tanah dan
dipenuhi oleh sampah karena wilayah tersebut merupakan kawasan tempat
pembuangan sampah sementara.
Kondisi sanitasi lingkungan rumah yang digunakan oleh warga di Rawa
Limbah juga masih kurang memadai, seperti masih ada warga yang tidak
memiliki jamban pribadi, tidak memiliki Saluran Pembuangan Air Limbah
(SPAL) dan tempat sampah di rumahnya. Berdasarkan hasil wawancara juga
ditemukan adanya praktik personal hygiene yang tidak baik pada anak-anak
yang tinggal di Rawa Limbah, seperti kebiasaan tidak mencuci tangan dengan
sabun sebelum makan dan setelah Buang Air Besar (BAB), kebiasaan tidak
memakai alas kaki saat beraktivitas di luar rumah, dan kebiasaan mengonsumsi
jajanan yang tidak tertutup. Maka dari itu, peneliti ingin melakukan penelitian
terkait hubungan personal hygiene dan sanitasi lingkungan rumah dengan
infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan
Kota Tangerang Selatan.
1.2 Rumusan Masalah
Infeksi cacing merupakan masalah kesehatan yang perlu diperhatikan oleh
masyarakat karena dapat memberikan berbagai dampak seperti turunnya
kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderita sehingga secara
tidak langsung juga dapat menyebabkan kerugian ekonomi. Berdasarkan studi
pendahuluan yang dilakukan di RT 02 RW 07 Rawa Limbah Kelurahan
Pisangan, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten ditemukan masih ada
5
warga yang tidak memiliki jamban pribadi, tidak memiliki Saluran
Pembuangan Air Limbah (SPAL) dan tempat sampah di rumahnya.
Berdasarkan hasil wawancara juga ditemukan adanya praktik personal hygiene
yang tidak baik pada anak-anak, seperti kebiasaan tidak mencuci tangan
dengan sabun sebelum makan dan setelah Buang Air Besar (BAB), kebiasaan
tidak memakai alas kaki saat beraktivitas di luar rumah, dan kebiasaan
mengonsumsi jajanan yang tidak tertutup. Selain itu, berdasarkan keterangan
petugas Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, kota Tangerang Selatan
khususnya wilayah kerja Puskesmas Pisangan belum pernah melakukan
program pengendalian infeksi cacing, sehingga dianggap perlu untuk
melakukan penelitian mengenai hubungan personal hygiene dan sanitasi
lingkungan rumah dengan infeksi cacing pada wilayah tersebut.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa
Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan tahun 2016?
2. Bagaimana gambaran personal hygiene (kebersihan kuku, kebiasaan
mencuci tangan sebelum makan dan setelah BAB, kebiasaan BAB
sembarangan, kebiasaan mengonsumsi jajanan tidak tertutup, kebiasaan
menggunakan alas kaki) pada anak usia 6-12 tahun di Rawa Limbah
Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan tahun 2016?
3. Bagaimana gambaran sanitasi lingkungan rumah (sarana air bersih, kondisi
jamban, kondisi SPAL, kondisi lantai rumah, kondisi tempat pembuangan
sampah) pada usia 6-12 tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota
Tangerang Selatan tahun 2016?
6
4. Apakah ada hubungan antara personal hygiene (kebersihan kuku, kebiasaan
mencuci tangan sebelum makan dan setelah BAB, kebiasaan BAB
sembarangan, kebiasaan mengonsumsi jajanan tidak tertutup, kebiasaan
menggunakan alas kaki) dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di
Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan tahun 2016?
5. Apakah ada hubungan antara sanitasi lingkungan rumah (sarana air bersih,
kondisi jamban, kondisi SPAL, kondisi lantai rumah, kondisi tempat
pembuangan sampah) dengan infeksi cacing pada usia 6-12 tahun di Rawa
Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan tahun 2016?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan antara personal hygiene dan sanitasi
lingkungan rumah dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di
Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan tahun
2016.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran infeksi cacing pada usia 6-12 tahun di
Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan tahun
2016.
2. Diketahuinya gambaran personal hygiene (kebersihan kuku,
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan setelah BAB,
kebiasaan BAB sembarangan, kebiasaan mengonsumsi jajanan
tidak tertutup, kebiasaan menggunakan alas kaki) pada usia 6-12
7
tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang
Selatan tahun 2016.
3. Diketahuinya gambaran sanitasi lingkungan rumah (sarana air
bersih, kondisi jamban, kondisi SPAL, kondisi lantai rumah,
kondisi tempat pembuangan sampah) pada usia 6-12 tahun di
Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan tahun
2016.
4. Diketahuinya hubungan antara personal hygiene (kebersihan
kuku, kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan setelah
BAB, kebiasaan BAB sembarangan, kebiasaan mengonsumsi
jajanan tidak tertutup, kebiasaan menggunakan alas kaki) dengan
infeksi cacing pada usia 6-12 tahun di Rawa Limbah Kelurahan
Pisangan Kota Tangerang Selatan tahun 2016.
5. Diketahuinya hubungan antara sanitasi lingkungan rumah (sarana
air bersih, kondisi jamban, kondisi SPAL, kondisi lantai rumah,
kondisi tempat pembuangan sampah) dengan infeksi cacing pada
usia 6-12 tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota
Tangerang Selatan tahun 2016.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan akan memberikan manfaat kepada
berbagai pihak dan instansi, antara lain:
8
1.5.1 Bagi Masyarakat
Penelitian ini dapat membantu masyarakat dalam mengetahui adanya
infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun terutama yang disebabkan oleh
personal hygiene dan sanitasi lingkungan rumah yang buruk.
1.5.2 Bagi Puskesmas Pisangan
Penelitian ini dapat membantu Puskesmas Pisangan dalam
menemukan faktor yang menjadi penyebab infeksi cacing pada anak usia
6-12 tahun. Selain itu, adanya penelitian ini juga dapat membantu
penerapan program yang berkaitan dengan pengurangan faktor risiko
terjadinya infeksi cacing.
1.5.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat membantu peneliti lain jika
membutuhkan referensi mengenai hubungan antara personal hygiene dan
sanitasi lingkungan rumah dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12
tahun.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini akan dilakukan di wilayah RT 02 RW 07 Rawa Limbah
Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatanpada bulan Juni-November 2016.
Tujuan dilaksanakannya penelitian adalah mengetahui hubungan antara
personal hygiene dan kondisi lingkungan rumah terhadap penyakit cacing pada
anak usia 6-12 tahun di RT 02 RW 07 Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota
Tangerang Selatan pada tahun 2016. Penelitian ini dilakukan dengan desain
9
studi cross sectional untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara
variabel independen dan dependen dalam waktu yang bersamaan.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random
sampling, dengan sampel sebanyak 36 anak. Instrumen yang digunakan berupa
pedoman wawancara terstruktur, lembar observasi, pedoman pengambilan
sampel feses, pot feses, serta alat dan bahan pengujian sampel feses yang
terdiri dari mikroskop, lidi, pipet tetes, tisu, object glass, deck glass, dan
larutan eosin 1%. Analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis
univariat dan bivariat. Uji statistik yang digunakan pada analisis bivariat adalah
uji Chi Square untuk melihat adanya hubungan antara personal hygiene dan
sanitasi lingkungan rumah dengan infeksi cacing.
10
2. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Cacing
Infeksi cacing merupakan masalah kesehatan di Indonesia yang masih
cukup tinggi prevalensinya. Infeksi tersebut dapat ditemukan pada berbagai
golongan usia dan kasus terbanyak ditemukan pada anak balita dan usia
sekolah dasar dengan prevalensi 60-70% (Ditjen PP &PL, 2012). Menurut
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, definisi
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih
di dalam kandungan. Anak usia 6-12 tahun masuk ke dalam tahap pertumbuhan
dan perkembangan masa kanak-kanak pertengahan yaitu usia 6-12 tahun.
Menurut Kemenkes RI (2007), anak usia 6-12 tahun merupakan bagian dari
masyarakat yang berisiko tinggi terhadap infeksi cacing.
Salah satu dampak cacing yang paling berat adalah terhambatnya
pertumbuhan fisik dan perkembangan anak. Infeksi cacing yang diderita anak
dapat mengakibatkan kurangnya masukan makanan serta kurangnya
kemampuan anak untuk menerima makanan, sementara kebutuhan tubuh
semakin meningkat. Keadaan tersebut menyebabkan gangguan pertumbuhan
yang ditunjukkan dengan pertumbuhan linear yang mengurang atau terhenti,
berat badan berkurang, ukuran lingkaran lengan atas dan tebal lipatan kulit
yang menurun (Soetjiningsih, 1998).
Anak usia 6-12 tahun membutuhkan kalori dan protein untuk dapat
tumbuh. Pada periode ini berat badan anak akan meningkat rata-rata 3-3,5 kg
dan tinggi badan kira-kira 6 cm pertahun. Untuk menjamin pertumbuhan anak
11
dibutuhkan kalori sebesar 1900-2000 Kkal, dan protein 37-45 gram perhari.
Jadi, anak usia 6-12 tahun membutuhkan zat gizi dengan jumlah yang relatif
besar agar pertumbuhannya dapat optimal, sehingga suatu kondisi defisiensi
akan segera berpengaruh terhadap pertumbuhannya (Siregar, 2006).
Selain defisiensi zat gizi, infeksi cacing juga dapat menyebabkan defisiensi
kadar darah dalam tubuh. Spesies cacing yang dapat menghisap darah adalah
cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus). Namun, cacing tambang menghisap lebih
banyak darah dibanding cacing cambuk, dimana seekor Ancylostoma
duodenale dapat menghisap 0,16-0,34 ml darah per hari dan Necator
americanus 0,03-0,05 ml darah perhari. Pada infeksi sedang yang ditunjukkan
dengan angka telur pergram melebihi 5000, kehilangan darah dapat dideteksi
dalam tinja rata-rata 8 ml per hari, sehingga menimbulkan gejala anemia dan
defisiensi zat besi (Oemijati, 1996).
Zat besi juga sangat penting bagi tubuh, dimana zat tersebut dibutuhkan
untuk pembelahan sel dan berperan dalam proses respirasi sel. Dalam tiap sel,
zat besi bekerjasama dengan rantai protein pengangkut elektron yang berperan
dalam tahap akhir metabolisme energi. Zat besi juga berperan dalam sistem
kekebalan tubuh, sehingga kekurangan zat besi dapat menyebabkan sel darah
putih tidak bekerja secara efektif (Oemijati, 1996).
12
2.1.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
2.1.1.1 Morfologi dan Siklus Hidup
Cacing gelang merupakan jenis cacing dengan ukuran
terbesar, cacing betina dewasa berukuran 20-35 cm x 3-6 mm dan
cacing jantan berukuran 15-32 cm x 2-4 mm. Cacing ini berwarna
putih atau merah muda. Telur yang dikeluarkan oleh seekor
cacing gelang betina setiap harinya kurang lebih 200.000 butir.
Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang
menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu
(Rifdah, 2007).
Bila telur yang infektif tertelan, telur akan menetas menjadi
larva di usus halus. Kemudian, larva menembus dinding usus
halus menuju pembuluh darah atau saluran limfa, lalu terbawa
aliran darah ke jantung dan paru-paru. Di paru-paru, larva
menembus dinding pembuluh darah dan masuk ke dinding dan
rongga alveolus, kemudian naik ke bronkiolus dan bronkus
melalui trakea. Dari trakea, larva menuju ke faring dan
menimbulkan rangsangan sehingga penderita batuk, kemudian
larva tertelan ke dalam esophagus, kemudian masuk ke usus
halus, dan di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa.
Diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan untuk telur infektif
tumbuh menjadi cacing dewasa (Ditjen PP & PL, 2012).
13
Gambar 2.1Siklus Hidup Cacing Gelang
Sumber: Gandahusada dkk, 2004
2.1.1.2 Patofisiologi
Orang yang terinfeksi cacing gelang dapat mengidap sindrom
Loeffler. Sindrom tersebut merupakan kumpulan gejala akibat
larva yang masuk ke dalam paru, dan bila orang tersebut rentan,
maka dapat terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus yang
kemudian menimbulkan gejala batuk, demam dan eosinofilia atau
tingginya kadar eosin dalam darah. Gangguan lain yang dapat
timbul adalah akibat cacing dewasa yang menimbulkan gejala
ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, perut buncit, diare
dan konstipasi. Sedangkan untuk infeksi berat menimbulkan
malabsorbsi dan penggumpalan dalam usus sehingga terjadi
obstruksi usus halus (Yunus, 2015).
14
2.1.2 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
2.1.2.1 Morfologi dan Siklus Hidup
Trichuris trichiura disebut cacing cambuk karena bentuknya
yang seperti cambuk. Infeksi cacing ini lebih sering terjadi di
daerah subtropis dan tropis, dimana lingkungan yang kotor dan
iklim yang hangat hingga lembab memungkinkan telur dari
parasit ini mengeram dalam tanah (Gandahusada dkk, 2004).
Cacing cambuk dapat memproduksi telur sebanyak 200 hingga
7000 butir perhari dan cacing dewasa dapat hidup di dalam tubuh
dalam beberapa tahun. Telur yang dihasilkan akan keluar dari
tubuh bersama tinja dan mengalami pematangan dalam waktu 2
sampai 4 minggu di luar tubuh. Pada kondisi hangat dan lembab
maka telur akan matang dan dapat menginfeksi hospes lain
(Yunus, 2015).
Telur cacing cambuk yang sudah matang dapat tertelan oleh
manusia dan menetas di usus kecil yang kemudian akhirnya akan
melekat pada mukosa usus besar (Yunus, 2015). Kemudian, larva
menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran
limpa dan terbawa oleh darah sampai ke jantung menuju paru-
paru (Jalaluddin, 2009).
15
Gambar 2.2 Siklus Hidup Cacing Cambuk
Sumber: Gandahusada dkk, 2004
2.1.2.2 Patofisiologi
Kelainan patologis yang disebabkan oleh cacing cambuk
terjadi akibat kerusakan mekanik di bagian mukosa usus dan
respon alergi. Keadaan tersebut erat kaitannya dengan jumlah
cacing, lama infeksi, umur dan status kesehatan host atau
penderita. Gejala yang ditimbulkan oleh cacing cambuk biasanya
hanya timbul pada infeksi yang telah menahun, antara lain
anemia, diare, sakit perut, mual dan turunnya berat badan
(Onggowaluyo, 2002). Pada anak, cacing tersebar di usus besar
dan rektum sehingga dapat menimbulkan prolapsus rekti
(timbulnya benjolan pada anus akibat turunnya rektum) dan
sering timbul pada waktu defekasi atau buang air besar (Ditjen PP
& PL, 2012).
16
2.1.3 Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)
2.1.3.1 Morfologi dan Siklus Hidup
Cacing ini dinamakan cacing tambang karena pertama kali
ditemukan di daerah pertambangan. Manusia merupakan hospes
cacing Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Cacing
betina Ancylostoma duodenale dapat memproduksi 10.000 telur
tiap hari, sedangkan Necator americanus dapat memproduksi
sekitar 9.000 telur (Yunus, 2015).
Telur dikeluarkan bersama feses dan pada lingkungan yang
sesuai dengan pertumbuhannya, telur menetas menjadi larva
flariform dalam waktu kurang lebih 3 hari. Larva tersebut
bertahan hidup selama 7 hingga 8 minggu di tanah dan dapat
menembus kulit. Untuk spesies Necator americanus, telur juga
dapat masuk ke dalam tubuh melalui infeksi oral atau dengan cara
tertelan (Ditjen PP & PL, 2012).
17
Gambar 2.3 Siklus Hidup Cacing Tambang
Sumber: Gandahusada dkk, 2004
2.1.3.2 Patofisiologi
Patofisiologi cacing tambang memiliki tiga tahap infeksi.
Tahap pertama adalah vesikulasi dan pustulasi atau gatal-gatal
yang disebabkan oleh larva cacing. Hal tersebut biasanya ringan
atau tidak ada di daerah tropis. Tahap kedua adalah asma dan
bronchitis ketika larva migrasi melalui paru-paru dengan
menyebabkan perdarahan kecil pada alveoli dan eosinofilik serta
infiltrasi leukocytic. Tahap yang ketiga adalah infeksi menetap
yang terlihat pada penduduk daerah endemis dan mengarah ke
anemia cacing tambang dan penyakit cacing tambang. Cacing
tambang hidup dalam rongga usus halus dengan cara melekatkan
giginya pada dinding usus halus dan menghisap darah, sehingga
infeksi cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara
perlahan sehingga host atau penderita mengalami anemia (Isa,
18
2013). Anemia mengakibatkan defisiensi zat besi sehingga
bedapat berdampak pada terhambatnya pertumbuhan anak,
kehamilan, menurunkan gairah kerja dan produktifitas (Brown,
1979).
2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Infeksi Cacing
2.2.1 Personal hygiene
Personal hygiene atau kebersihan perorangan adalah upaya
seseorang untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya
sendiri, antara lain seperti memelihara kebersihan kuku, tangan, kaki,
rambut, makan makanan yang sehat, cara hidup teratur, meningkatkan
daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani, menghindari terjadinya
penyakit, meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah, melengkapi
rumah dengan fasilitas yang menjamin hidup sehat dan pemeriksaan
kesehatan (Entjang, 2001). Pencegahan dan pemberantasan penyakit
cacing pada umumnya merupakan pemutusan rantai penularan, yaitu
salah satunya dengan melakukan praktik personal hygiene.
2.2.1.1 Kebersihan Kuku
Kebersihan kuku dapat berhubungan dengan infeksi cacing,
dimana kuku yang panjang dan kotor dapat menjadi tempat
melekatnya berbagai kotoran yang mengandung mikroorganisme,
salah satunya adalah telur cacing. Telur cacing dapat terselip di
dalam kuku, kemudian dapat masuk ke dalam tubuh apabila
tertelan. Hal tersebut dapat diperparah bila tidak terbiasa mencuci
19
tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum makan
(Jalaluddin, 2009).
Penelitian Faridan, dkk (2013) menemukan bahwa
responden dengan kuku kotor berisiko 1,7 kali lebih tinggi untuk
menderita cacing dibandingkan dengan responden berkuku bersih.
Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Fitri, dkk (2012) yang
menemukan adanya hubungan antara kebersihan kuku dengan
infeksi cacing pada murid sekolah dasar (p=0,000). Pertumbuhan
kuku jari tangan dalam 1 minggu rata-rata 0,5 sampai 1,5 mm,
empat kali lebih cepat daripada pertumbuhan kuku jari kaki
(Onggowaluyo, 2002). Kuku sebaiknya dipotong hingga selalu
pendek dan dibersihkan hingga tidak ada kotoran untuk
menghindari penularan cacing dari tangan ke mulut (Gandahusada
dkk, 2004). Menurut The Joint Commission (2009), kuku yang
memenuhi syarat kesehatan memiliki panjang yang tidak melebihi
0,5 cm dari ujung jari serta tidak terdapat kotoran di bawah kuku.
2.2.1.2 Kebiasaan Mencuci Tangan
Salah satu penyebab seseorang terinfeksi cacing dapat
disebabkan kurangnya kebiasaan mencuci tangan. Mencuci
tangan adalah proses secara mekanis untuk melepaskan kotoran
dan serpihan dari kulit tangan dengan menggunakan sabun dan
air. Tujuan mencuci tangan adalah sebagai salah satu unsur
pencegahan penularan infeksi (Kemenkes RI, 2007). Menurut
UNICEF, salah satu manfaat dari kebiasaan mencuci tangan
20
dengan sabun yang mengandung antiseptik adalah mengurangi
risiko terkena penyakit diare dan infeksi parasit cacing. Mencuci
tangan menggunakan sabun dapat membersihkan telur cacing
yang berada pada kotoran kuku maupun tangan (Ali, dkk, 2016).
Penelitian Yudhastuti dan Lusno (2012) menemukan
adanya hubungan antara mencuci tangan setelah Buang Air Besar
(BAB) dengan infeksi cacing, dimana anak yang tidak mencuci
tangan memiliki risiko 4,654 lebih besar dibanding anak yang
mencuci tangan setelah BAB. Hasil tersebut sejalan dengan
penelitian Fitri, dkk (2012) di Tapanuli Selatan yang
menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan cuci tangan
dengan infeksi cacing pada murid sekolah dasar. Penelitian
Sofiana, dkk (2011) menemukan adanya hubungan antara
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dengan kejadian
infeksi cacing pada siswa sekolah dasar di Yogyakarta. Hal
tersebut didukung dengan hasil penelitian Isa (2013) yang
menemukan bahwa anak sekolah dasar dengan kebiasaan mencuci
tangan sebelum makan yang tidak memenuhi syarat berisiko 2,9
lebih besar dibanding anak dengan kebiasaan mencuci tangan
yang memenuhi syarat.
Spesies cacing Ascaris lumbricoides memiliki sifat telur
yang lengket sehingga perlu menggunakan sabun saat mencuci
tangan untuk meluruhkan telur cacing tersebut. Selain
penggunaan sabun, penggunaan air yang mengalir juga penting
21
pada saat mencuci tangan, karena kotoran dapat sepenuhnya
hilang dan tidak akan menempel kembali ke tangan. Perilaku cuci
tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir sebelum
makan dapat memutus rantai transmisi telur cacing yang berasal
dari tanah maupun material lain (Isa, 2013).
2.2.1.3 Kebiasaan Buang Air Besar (BAB)
Berdasarkan data UNICEF, 44,5% total seluruh penduduk
Indonesia belum memiliki akses BAB yang layak dan 63 juta
masyarakat Indonesia masih BAB sembarangan (Triyono, 2014).
BAB sembarangan merupakan perilaku buang air besar di
sembarang tempat dan membiarkan tinjanya pada tempat terbuka.
Perilaku tersebut secara langsung dan tidak langsung dapat
berakibat terhadap kontaminasi berbagai cemaran, terutama
cemaran biologi berupa bakteri, virus, dan parasit. Penelitian
Yudhastuti dan Lusno (2012) menemukan adanya hubungan
antara kebiasaan BAB dengan infeksi cacing (p=0,001) dimana
anak dengan kebiasaan BAB tidak di jamban memiliki risiko
4,821 lebih besar daripada anak yang memiliki kebiasaan BAB di
jamban. Apabila tinja yang mengandung telur cacing dibuang
sembarangan, maka akan mencemari lingkungan sekitar, dan
mengundang datangnya vektor penyakit, sehingga vektor
penyakit tersebut dapat menularkan telur cacing ke hospes atau
manusia (Yudhastuti dan Lusno, 2012).
22
2.2.1.4 Kebiasaan Mengonsumsi Jajanan yang Tidak Tertutup
Makanan jajanan yang tidak ditutup dapat berisiko
mengandung parasit cacing. Contoh makanan jajanan tersebut
adalah gorengan, roti atau kue yang tidak dibungkus. Makanan-
makanan tersebut dapat mengandung parasit cacing dikarenakan
telah dihinggapi oleh vektor penyakit seperti lalat yang membawa
telur atau larva cacing di tubuhnya (Yunus, 2015). Penelitian
Muchlisah, dkk (2014) menunjukkan adanya hubungan antara
kebiasaan membeli jajan yang tidak memenuhi syarat dengan
kejadian cacing (p=0,000) pada siswa SD Athirah Bukit Baruga,
Makassar.
2.2.1.5 Kebiasaan Menggunakan Alas Kaki
Kebiasaan menggunakan alas kaki merupakan aktivitas
menggunakan alas kaki berupa sandal atau sepatu ketika berada di
luar rumah, khususnya ketika akan kontak dengan tanah.
Penelitian Sumanto (2010) di Demak menunjukkan adanya
hubungan antara kebiasaan memakai alas kaki saat aktivitas luar
rumah dengan kejadian infeksi cacing tambang (p=0,003).
Penelitian tersebut didukung oleh penelitian Muchlisah, dkk
(2014) yang menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan
memakai alas kaki dengan kejadian cacing (p=0,000) pada anak
SD Athirah Bukit Baruga, Makassar. Kebiasaan tidak memakai
alas kaki di luar rumah, terutama bila menginjak tanah, maka
dapat menyebabkankaki kontak langsung dengan telur cacing
23
yang kemudian dapat berakibat masuknya telur cacing ke dalam
pori-pori kulit (Sumanto, 2010).
2.2.1.6 Pengukuran Perilaku
Menurut Kartono (1999), perilaku adalah suatu perubahan atau
aktivitas atau sembarang respons baik itu reaksi, tanggapan, jawaban
atau balasan yang dilakukan makhluk hidup. Maka dari itu, dapat
dikatakan bahwa perilaku merupakan bagian dari satu kesatuan pola
reaksi. Notoatmodjo (2005) mengatakan bahwa perilaku merupakan
kegiatan atau aktivitas makhluk hidup yang terbentuk dari stimulus
berupa faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang dimaksud
dapat berupa faktor lingkungan fisik maupun non-fisik seperti faktor
sosial dan budaya, sedangkan faktor internal berupa faktor yang berasal
dari dalam diri orang yang bersangkutan, seperti perhatian, pengamatan,
persepsi, motovasi, fantasi, dan sugesti.
Personal hygiene merupakan salah satu bentuk dari perilaku
kesehatan, yaitu respons seseorang terhadap rangsangan atau objek
yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit maupun faktor-faktor yang
mempengaruhi sehat-sakit. Perilaku kesehatan dapat diukur dengan dua
cara. Cara pertama adalah dengan pengamatan secara langsung
(observasi), yaitu dengan mengamati tindakan dari subyek dalam
rangka memelihara kesehatannya. Cara kedua adalah menggunakan
metode mengingat kembali (recall) melalui pertanyaan-pertanyaan
terhadap subyek mengenai apa yang telah dilakukan berhubungan
dengan obyek tertentu (Notoatmodjo, 2005).
24
2.2.2 Sanitasi Lingkungan Rumah
Menurut Kemenkes RI (2002), sanitasi lingkungan adalah
pencegahan penyakit dengan mengurangi atau mengendalikan faktor-
faktor lingkungan fisik yang berhubungan dengan rantai penularan
penyakit, atau dengan kata lain sanitasi merupakan upaya pencegahan
penyakit melalui pengendalian faktor lingkungan yang menjadi mata
rantai penularan penyakit.
2.2.2.1 Sarana Air Bersih
Air bersih digunakan manusia untuk berbagai kebutuhan
seperti minum, memasak, mandi, mencuci, dan keperluan lainnya.
Terdapat dua syarat kesehatan untuk air bersih, yaitu syarat
kuantitas dan kualitas. Syarat kuantitas merupakan jumlah air
untuk keperluan rumah tangga (Chandra, 2007). United Nations
Educational, Scientific, and Cultural Organization atau UNESCO
(2000) menetapkan hak dasar manusia atas air yaitu sebanyak 60
liter per orang per hari. Direktorat Jenderal Cipta Karya Pekerjaan
Umum kemudian membagi standar kebutuhan air berdasarkan
wilayah tempat tinggal, antara lain (Hambudi, 2015):
a. Pedesaan, dengan kebutuhan 60 liter/orang/hari
b. Kota kecil, dengan kebutuhan 90 liter/orang/hari
c. Kota sedang, dengan kebutuhan 110 liter/orang/hari
d. Kota besar, dengan kebutuhan 130 liter/orang/hari
e. Kota metropolitan, dengan kebutuhan 150 liter/orang/hari
25
Syarat yang kedua adalah syarat kualitas dimana terbagi
menjadi syarat fisik, kimia dan bakteriologis. Syarat fisik meliputi
air yang jernih, tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau.
Syarat kimia dilihat dari tidak adanya zat-zat berbahaya, mineral
maupun zat organik yang tinggi dalam air.Syarat bakteriologis
berarti air tidak boleh mengandung bibit penyakit atau patogen
(Entjang, 2001).
Air dapat mempengaruhi penularan penyakit melalui jalur
fekal-oral apabila air yang terkontaminasi tinja memindahkan
organisme penyebab penyakit secara langsung ke host baru,
sehingga ketika air tersebut dikonsumsi dapat menyebabkan
infeksi pada host. Cara penularan berikutnya adalah melalui
water-washed transmission, yaitu transmisi penyakit akibat
praktik higiene yang buruk karena jumlah air yang tidak cukup
untuk mencuci, dengan langkanya kuantitas air, maka sulit bagi
seseorang untuk menjaga kebersihan tangan, kebersihan makanan
dan lingkungan sekitar (Isa, 2013).
Penelitian Fitri, dkk (2012) menemukan bahwa terdapat
hubungan antara air bersih yang tidak memenuhi syarat dengan
infeksi cacing (p=0,000) pada murid sekolah dasar di Kecamatan
Angkola Timur, Tapanuli Selatan. Penelitian tersebut sejalan
dengan penelitian Emovon, dkk (2014) di Nigeria yang
menunjukkan adanya hubungan antara sumber air bersih dengan
infeksi cacing pada anak-anak (p=<0,05). Penggunaan air yang
26
tercemar dapat menimbulkan berbagai masalah termasuk infeksi
cacing. Air yang mengandung telur cacing dapat mengontaminasi
manusia apabila air tersebut digunakan untuk cuci tangan, mandi,
mencuci baju atau peralatan lainnya dengan cara tertelan atau
masuk melalui pori-pori kulit yang terbuka (Proverawati dan
Rahmawati, 2012).
2.2.2.2 Kondisi Jamban
Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas
pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok
atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa
(cubluk) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan
air untuk membersihkannya (Kemenkes RI, 2009).
Jamban yang tidak sehat dapat menyebabkan berbagai
penyakit menular, salah satunya adalah infeksi cacing. Perjalanan
infeksi tersebut dapat dimulai dari tangan yang kontak dengan
kotoran yang berada di sekitar jamban dan kemudian masuk ke
saluran pencernaan (Jalaluddin, 2009). Beberapa persyaratan
jamban sehat menurut Kemenkes RI (2009) antara lain tidak
mencemari sumber air minum, letak lubang penampung berjarak
10-15 m dari sumber air minum, mudah dibersihkan dan aman
digunakan, dilengkapi dinding dan atap pelindung, penerangan
dan ventilasi cukup, tidak berbau, lantai kedap air dan luas
ruangan memadai serta tersedia air dan alat pembersih. Menurut
Azwar (1995), jenis jamban dengan model terbaik yang
27
dianjurkan dalam kesehatan lingkungan adalah jamban leher
angsa, yaitu jamban dengan leher lubang closet berbentuk
lengkung, dengan demikian akan terisi air yang berguna sebagai
penyumbat sehingga dapat mencegah bau busuk dan masuknya
binatang-binatang kecil.
Penelitian Yudhastuti dan Lusno (2012) menunjukkan
bahwa balita yang tidak memiliki jamban di rumahnya memiliki
risiko 5,342 kali lebih besar untuk terinfeksi cacing daripada
balita yang memiliki jamban. Hal tersebut sejalan dengan
penelitian Isa (2013) yang menunjukkan adanya hubungan antara
kepemilikan jamban dengan kejadian infeksi cacing (p=0,003)
pada siswa sekolah dasar. Kepemilikan jamban yang saniter
memungkinkan pengurangan risiko terinfeksi cacing karena
material feses akan terkonsentrasi pada septic tank dan tidak
menyebar ke lingkungan pemukiman sehingga hal tersebut dapat
memutus mata rantai transmisi telur cacing melalui rute fekal-oral
(Isa, 2013).
2.2.2.3 Kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)
Air limbah merupakan sisa air yang dibuang yang berasal
dari rumah tangga, industri dan pada umumnya mengandung
bahan atau zat yang membahayakan. Menurut Soeparman dan
Suparmin (2002), air limbah rumah tangga terdiri dari 3 fraksi,
antara lain:
28
1. Tinja (feses), tinja merupakan fraksi yang paling berbahaya
karena di dalamnya mengandung mikroba patogen, seperti
bakteri, virus dan cacing.
2. Air seni (urine), air seni umumnya mengandung Nitrogen dan
Fosfor, serta memiliki kemungkinan kecil adanya
mikroorganisme.
3. Grey water, merupakan air bekas cucian dapur, mesin cuci
dan kamar mandi, atau yang sering juga disebut sullage.
Terdapat 5 cara pembuangan air limbah rumah tangga,
antara lain (Chandra, 2007):
1. Pembuangan umum, yaitu melalui tempat penampungan air
limbah yang berada di halaman.
2. Air limbah digunakan untuk menyiram tanaman di kebun.
3. Air limbah dibuang ke lapangan peresapan.
4. Air limbah dialirkan ke saluran terbuka.
5. Air limbah dialirkan ke saluran tertutup atau selokan.
Cara pembuangan air limbah rumah tangga yang terbaik
adalah melalui saluran tertutup atau yang biasa disebut Saluran
Pembuangan Air Limbah (SPAL). SPAL yang memenuhi syarat
kesehatan yaitu tertutup, kedap air dan mengalir lancar (Fitri, dkk,
2012. Hasil penelitian Nur, dkk (2013) menunjukkan adanya
hubungan antara kondisi sarana pembuangan limbah terhadap
infeksi cacing (p=0,000). Penelitian yang dilakukan oleh Fitri,
29
dkk (2012) di Tapanuli Selatan yang menunjukkan adanya
hubungan antara SPAL dengan infeksi cacing (p=0,000).
2.2.2.4 Kondisi Lantai Rumah
Kondisi rumah dapat mempengaruhi perkembangan dan
kesehatan penghuninya, maka rumah yang ditinggali harus masuk
ke dalam kategori rumah sehat agar kesehatan penghuni dapat
terjaga. Salah satu persyaratan rumah sehat adalah memiliki
bangunan yang kuat dan lantai yang mudah dibersihkan. Lantai
yang memenuhi persyaratan adalah lantai yang tidak berdebu
pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Maka,
sebaiknya lantai rumah terbuat dari ubin, keramik atau semen
agar tidak lembab dan menimbulkan genangan air
(Kusnoputranto, 2000).
Yudhastuti dan Lusno (2012) menemukan bahwa balita
yang lantai rumahnya tidak memenuhi syarat atau berlantai tanah
berisiko 5,342 kali lebih besar daripada balita dengan lantai
rumah memenuhi syarat. Penelitian tersebut sejalan dengan
penelitian Rahayu dan Ramdani (2013) yang menunjukkan
adanya hubungan antara jenis lantai rumah dengan infeksi cacing
(p=0,024) pada siswa sekolah dasar di Kalimantan Selatan. Siklus
hidup cacing pada fase telur membutuhkan media tanah untuk
melanjutkan siklus hidupnya, maka rumah dengan lantai tanah
dapat berkontribusi dalam penularan infeksi cacing, karena
memperbesar kemungkinan kontaminasi tangan dengan telur
30
cacing ketika tangan bersentuhan langsung dengan tanah
(Hadidjaja dan Margono, 2011).
2.2.2.5 Kondisi Tempat Pembuangan Sampah
Menurut WHO, sampah adalah sesuatu yang tidak
digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang
dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi
dengan sendirinya (Chandra, 2007). Penelitian Fitri, dkk (2012)
menunjukkan adanya hubungan antara tempat sampah dengan
infeksi cacing (p=0,000, OR=4,092) pada murid sekolah dasar di
Tapanuli Selatan. Sampah yang tidak dikelola dengan baik dapat
berpengaruh terhadap kesehatan, salah satunya adalah dapat
menjadi tempat berkembangbiak cacing-cacing yang
membahayakan kesehatan. Cacing tersebut dapat menginfeksi
manusia melalui vektor penyakit seperti lalat dan kecoa (Slamet,
2009).
31
2.3 Kerangka Teori
Gambar 2.4 KerangkaTeori
Sumber: Entjang (2001); Kemenkes RI (2002); Gandahusada, dkk (2004)
Infeksi
Cacing
Personal hygiene
- Kebersihan Kuku
- Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Makan
- Kebiasaan Mencuci Tangan Setelah BAB
- Kebiasaan BAB sembarangan
- Kebiasaan Mengonsumsi Jajanan Tidak Tertutup
- Kebiasaan Menggunakan Alas Kaki
Sanitasi Lingkungan Rumah
- Sarana Air Bersih
- Kondisi Jamban
- Kondisi SPAL
- Kondisi Lantai Rumah
- Kondisi Tempat Pembuangan Sampah
Jalur Oral
(tertelan) Cacing Gelang
(Ascaris lumbricoides)
Cacing Cambuk
(Trichuris trichiura)
Cacing Tambang
(Necator Americanus)
Cacing Tambang
(Ancylostoma duodenale)
Inhalasi
(debu)
Absorbsi
Kulit
32
3. BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan
antara variabel independen berupa personal hygiene (kebersihan kuku,
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan setelah BAB, kebiasaaan BAB
sembarangan. kebiasaan mengonsumsi jajanan tidak tertutup, kebiasaan
menggunakan alas kaki) dan sanitasi lingkungan rumah (sarana air bersih,
kondisi jamban, kondisi SPAL, kondisi lantai rumah, kondisi tempat
pembuangan sampah) dengan variabel dependen, yaitu infeksi cacing.
Gambar 3.1Kerangka Konsep
Infeksi
Cacing
Personal hygiene
- Kebersihan Kuku
- Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Makan
- Kebiasaan Mencuci Tangan Setelah BAB
- Kebiasaan BAB sembarangan
- Kebiasaan Mengonsumsi Jajanan Tidak Tertutup
- Kebiasaan Menggunakan Alas Kaki
Sanitasi Lingkungan Rumah
- Sarana Air Bersih
- Kondisi Jamban
- Kondisi SPAL
- Kondisi Lantai Rumah
- Kondisi Tempat Pembuangan Sampah
33
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1. Infeksi Cacing Keberadaan telur cacing yang ditularkan
melalui tanah (soil transmitted helminth) pada
sampel feses responden berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium dengan metode
langsung.
Pemeriksaan
Laboratorium
Mikroskop 1. Positif
2. Negatif
(Yudhastuti, 2012)
Nominal
2. Kebersihan Kuku Keadaan kuku tangan responden dilihat dari
panjang atau pendeknya serta ada atau
tidaknya kotoran di bawah kuku.
Observasi dan
pengukuran
Lembar
Observasi dan
penggaris
1. Buruk (panjang kuku
dari ujung jari ≥0,5 cm
dan/atau terdapat kotoran
di bawah kuku)
2. Baik (panjang kuku dari
ujung jari <0,5 cm dan
tidak terdapat kotoran di
bawah kuku)
(The Joint Commission,
2009)
Ordinal
3. Kebiasaan Mencuci
Tangan Sebelum
makan
Kebiasaan responden untuk mencuci tangan
dengan sabun dan air mengalir sebelum makan
setiap harinya.
Wawancara
Terstruktur
Pedoman
Wawancara
Terstruktur
1. Buruk
2. Baik
Ordinal
4. Kebiasaan Mencuci Kebiasaan responden untuk mencuci tangan Wawancara Pedoman 1. Buruk Ordinal
34
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Tangan Setelah BAB dengan sabun dan air mengalir setiap setelah
buang air besar.
Terstruktur Wawancara
Terstruktur
2. Baik
5. Kebiasaan BAB
Sembarangan
Kebiasaan responden untuk melakukan praktik
BAB di tempat selain jamban, seperti pada
tanah kosong atau sungai.
Wawancara
Terstruktur
Pedoman
Wawancara
Terstruktur
1. Buruk
2. Baik
6. Kebiasaan
Mengonsumsi Jajanan
Tidak Tertutup
Kebiasaan responden untuk memakan jajanan
yang tidak tertutup seperti gorengan dalam
seminggu terakhir sejak dilakukannya
wawancara.
Wawancara
Terstruktur
Pedoman
Wawancara
Terstruktur
1. Buruk
2. Baik
Ordinal
7. Kebiasaan
Menggunakan Alas
Kaki
Kebiasaan responden untuk menggunakan alas
kaki berupa sandal atau sepatu setiap
beraktivitas ke luar rumah.
Wawancara
Terstruktur
Pedoman
Wawancara
Terstruktur
1. Buruk
2. Baik
Ordinal
8. Sarana Air Bersih Keadaan sarana air bersih di rumah responden
yang dilihat dari sumber air bersih, ada atau
tidaknya sumber pencemaran lain dalam jarak
10 m dari sumber air, dan ada atau tidaknya
kerusakan/keretakan pada lantai sekitar sumur.
Observasi Lembar
observasi
1. Buruk (Total skor ≤ nilai
median)
2. Baik (Total skor >nilai
median)
Ordinal
9. Kondisi Jamban Keadaan jamban yang digunakan oleh
responden dalam melakukan praktik BAB,
dilihat dari ada atau tidaknya jamban pribadi
dalam rumah responden, jenis jamban,
keberadaan septic tank, jarak septic tank
Observasi Lembar
Observasi
1. Buruk (Total skor ≤ nilai
median)
2. Baik (Total skor >nilai
median)
Ordinal
35
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
dengan jamban, keberadaan air bersih di dekat
jamban, ada atau tidaknya bau dan genangan
air di sekitar jamban, kondisi lantai jamban
dan ketersediaan sabun untuk cuci tangan di
dekat jamban.
10. Kondisi SPAL Keadaan SPAL pada rumah responden dilihat
dari ada atau tidaknya SPAL di dalam rumah,
tertutup atau tidaknya SPAL, serta apakah
SPAL kedap air dan mengalir lancar.
Observasi Lembar
Observasi
1. Buruk (Total skor ≤ nilai
median)
2. Baik (Total skor >nilai
median)
Ordinal
11. Kondisi Lantai
Rumah
Keadaan lantai rumah responden dengan
melihat status lantainisasi rumah responden,
apakah lantai kedap air, tidak lembab
danmudah dibersihkan, serta keadaan bersih
atau tidaknya lantai dari sampah, tanah dan
kotoran lain pada saat diobservasi.
Observasi Lembar
Observasi
1. Buruk (Total skor ≤ nilai
median)
2. Baik (Total skor >nilai
median)
Ordinal
12. Kondisi Tempat
Pembuangan
Sampah
Keadaan tempat pembuangan sampah di
rumah responden, yang dilihat dari ada atau
tidaknya tempat pembuangan sampah di dalam
rumah responden, tertutup atau tidaknya
tempat pembuangan sampah tersebut dan
keberadaan sampah di sekitar tempat
pembuangan sampah.
Observasi Lembar
Observasi
1. Buruk (Total skor ≤ nilai
median)
2. Baik (Total skor >nilai
median)
Ordinal
36
3.3 Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah:
1. Ada hubungan antara personal hygiene (kebersihan kuku, kebiasaan
mencuci tangan sebelum makan dan setelah BAB, kebiasaan BAB
sembarangan, kebiasaan mengonsumsi jajanan tidak tertutup, kebiasaan
menggunakan alas kaki) dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di
Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan tahun 2016.
2. Ada hubungan antara sanitasi lingkungan rumah (sarana air bersih, kondisi
jamban, kondisi SPAL, kondisi lantai rumah, kondisi tempat pembuangan
sampah) dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa Limbah
Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan tahun 2016.
37
4. BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif analitik dengan desain
cross sectional dimana variabel dependen dan independen diukur pada waktu
yang bersamaan. Variabel independen yang diteliti berupa personal hygiene
(kebersihan kuku, kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan setelah BAB,
kebiasaan BAB sembarangan, kebiasaan mengonsumsi jajanan tidak tertutup,
kebiasaan menggunakan alas kaki) dan sanitasi lingkungan rumah (sarana air
bersih, kondisi jamban, kondisi SPAL, kondisi lantai rumah, kondisi tempat
pembuangan sampah). Variabel dependen yang diteliti berupa infeksi cacing.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di RT 02 RW 07 Rawa Limbah, Kelurahan
Pisangan, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Banten pada
bulan Juni hingga November 2016.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah anak usia 6 sampai 12 tahun yang
bertempat tinggal di wilayah RT 02 RW 07 Rawa Limbah, Kelurahan
Pisangan, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi
Banten yang berjumlah 55 anak.
38
4.3.2 Sampel
Besar sampel pada penelitian ini dihitung menggunakan rumus
(Lemeshow, dkk, 1990):
𝑛 = {𝑍 −∝⁄ √[ 𝑃 − 𝑃 ] + 𝑍 −𝛽√[𝑃 − 𝑃 + 𝑃 − 𝑃 ]}𝑃 − 𝑃 𝑥
Keterangan:
n : Jumlah sampel minimal yang diperlukan.
P1 : Proporsi pada kelompok yang merupakan judgment peneliti.
P2 : Proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya
(2,6%).
P : Rata-rata proporsi.
𝑍 −∝⁄ : Derajat kemaknaan 95 % dengan dua sisi atau two tail
sebesar 5 % = 1,96.
𝑍 −𝛽 : Kekuatan uji 1 – sebesar 80 %.
39
Berdasarkan perhitungan sampel uji beda dua proporsi, didapatkan
jumlah sampel terbanyak adalah 30 sampel. Untuk mengantisipasi
hilangnya sampel maka peneliti mengestimasikan penambahan 20%
sehingga menjadi 36 sampel. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah simple random sampling dengan frame sampling
berupa daftar Kartu Keluarga di RT 02 RW 07.
Alur pengambilan sampel studi dapat dijelaskan pada bagan berikut
Gambar 4.1 Alur Pengambilan Sampel Studi (Enrollment)
Bagan di atas menjelaskan bahwa populasi pada penelitian ini
adalah anak usia 6 sampai 12 tahun yang berdasarkan Kartu Keluarga
(KK) masih tinggal menetap di wilayah RT 02 RW 07 Rawa Limbah
Kelurahan Pisangan hingga waktu dilaksanakannya penelitian sebanyak
55 anak. Kemudian, ditentukan sampel yang menjadi sasaran dan
Populasi
N=55
Eligible sample
n=36
Analisis Univariat
n=36
Pemeriksaan
Laboratorium
n=36
Analisis Bivariat
n=36
Wawancara
Terstruktur
n=36
Observasi
n=36
Participation Rate: x % = , %
40
memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi (eligible sample) sebesar 36 anak
berdasarkan hasil perhitungan sampel beda dua proporsi.
Berikut adalah kriteria inklusi dan ekslusi pengambilan sampel
pada penelitian ini:
Kriteria Inklusi:
1. Anak dengan periode kelahiran tahun 2004 sampai 2010;
2. Anak yang bersedia untuk diwawancara terkait personal hygiene;
3. Anak yang bersedia untuk dilakukan observasi pada sanitasi
lingkungan rumah yang digunakan;
4. Anak yang bersedia untuk memberikan sampel fesesnya.
Kriteria eksklusi:
1. Anak yang telah memenuhi kriteria inklusi namun sedang
mengalami gangguan pencernaan berupa buang air besar dengan
konsentrasi cair;
2. Anak yang telah memenuhi keriteria inklusi namun telah meminum
obat cacing dalam kurun waktu 6 bulan terakhir sejak dilakukan
pengambilan data.
Setelah itu, dilakukan pengambilan data berupa pemeriksaan feses,
wawancara terstruktur dan wawancara kepada 36 sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kemudian, dilakukan
pengolahan data secara univariat untuk melihat gambaran variabel
dependen berupa infeksi kecacingan serta variabel independen berupa
41
personal hygiene dan sanitasi lingkungan rumah. Setelah itu, dilakukan
analisis bivariat untuk melihat adanya hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen yang dilihat dari nilai Pvalue
serta melihat risiko kejadian infeksi cacing melalui nilai Odds Ratio.
4.4 Sumber Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data primer terdiri dari data hasil pemeriksaan laboratorium untuk
melihat status cacing responden, data hasil wawancara terstruktur terkait
variabel personal hygiene dan hasil observasi terkait sanitasi lingkungan
rumah, sedangkan data sekunder berupa daftar seluruh anak usia 6-12 tahun
yang berdasarkan Kartu Keluarga (KK) masih bertempat tinggal di RT 02 RW
07 Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan pada waktu
dilaksanakannya penelitian.
4.5 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah petunjuk
pengambilan sampel feses yang diberikan kepada responden, pot feses, serta
alat dan bahan pengujian sampel feses berupa mikroskop, lidi, pipet tetes, tisu,
object glass, deck glass, dan larutan eosin 1%. Instrumen lain yang digunakan
pada penelitian ini adalah pedoman wawancara terstruktur dan lembar
observasi yang mengacu pada instrumen penelitian Malau (2008).
42
a. Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Makan
Skoring yang dilakukan pada variabel ini adalah selalu (skor: 4),
sering, (skor: 3), kadang-kadang (skor: 2), tidak pernah (skor: 1). Hasil
ukur variabel kebiasaan mencuci tangan sebelum makan adalah:
1. Buruk apabila skor 1 dan 2
2. Baik apabila skor 3 dan 4
b. Kebiasaan Mencuci Tangan Setelah BAB
Skoring yang dilakukan pada variabel ini adalah selalu (skor: 4),
sering, (skor: 3), kadang-kadang (skor: 2), tidak pernah (skor: 1). Hasil
ukur variabel kebiasaan mencuci tangan setelah BAB adalah:
1. Buruk apabila skor 1 dan 2
2. Baik apabila skor 3 dan 4
c. Kebiasaan BAB Sembarangan
Skoring yang dilakukan pada variabel ini adalah selalu (skor: 4),
sering, (skor: 3), kadang-kadang (skor: 2), tidak pernah (skor: 1). Hasil
ukur variabel kebiasaan BAB sembarangan adalah:
1. Buruk apabila skor 1 dan 2
2. Baik apabila skor 3 dan 4
d. Kebiasaan Menggunakan Alas Kaki
Skoring yang dilakukan pada variabel ini adalah selalu (skor: 4),
sering, (skor: 3), kadang-kadang (skor: 2), tidak pernah (skor: 1). Hasil
ukur variabel kebiasaan menggunakan alas kaki adalah:
43
1. Buruk apabilaskor 1 dan 2
2. Baik apabila skor 3 dan 4
e. Sarana Air Bersih
Skoring yang dilakukan pada variabel ini adalah dengan
mengakumulasikan skor yang didapat. Variabel sarana air bersih
dikategorikan buruk apabila total skor ≤nilai median, dan dikategorikan
baik apabila total skor >nilai median.
Tabel 4.1 Skoring Variabel Sarana Air Bersih
Pertanyaan Skoring
Sumber air bersih - Skor 1 apabila menjawab sumur
gali/pompa dengan jarak kedalaman
≥10 m dan Perusahaan Air Minum
(PAM)
- Skor 0 apabila menjawab sungai dan
sumur gali/pompa dengan jarak
kedalaman <10 m
Ada sumber pencemaran lain
dalam jarak 10 m dari sumber
air
- Skor 1 apabila menjawab Tidak
- Skor 0 apabila menjawab Ya
Ada keretakan atau kerusakan
pada lantai sekitar sumur yang
memungkinkan air merembes ke
dalam sumur
- Skor 1 apabila menjawab Tidak
- Skor 0 apabila menjawab Ya
44
f. Kondisi Jamban
Skoring yang dilakukan pada variabel ini adalah dengan
mengakumulasikan skor yang didapat. Variabel kondisi jamban
dikategorikan buruk apabila total skor ≤nilai median, dan dikategorikan
baik apabila total skor >nilai median.
Tabel 4.2Skoring Variabel Kondisi Jamban
Pertanyaan Skoring
Terdapat jamban pribadi di
dalam rumah responden
- Skor 1 apabila Ya.
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
Jenis jamban yang digunakan
adalah jamban leher angsa
- Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
Jamban memiliki septic tank - Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
Jarak jamban dengan septic tank
10-15 meter
- Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
Terdapat persediaan air bersih
secara kontinu di dekat jamban
- Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
Jamban tidak berbau - Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
Jamban tidak ada genangan air - Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
Lantai jamban tidak licin - Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
Terdapat persediaan sabun untuk
cuci tangan setelah BAB di
dekat jamban
- Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
45
g. Kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)
Skoring yang dilakukan pada variabel ini adalah dengan
mengakumulasikan skor yang didapat. Variabel kondisi SPAL
dikategorikan buruk apabila skor ≤nilai median, dan dikategorikan baik
apabila skor >nilai median.
Tabel 4.3 Skoring Variabel Kondisi SPAL
Pertanyaan Skoring
Terdapat SPAL di dalam rumah
responden
- Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
SPAL dalam keadaan tertutup
(perpipaan)
- Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
SPAL kedap air - Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
SPAL mengalir lancar - Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
h. Kondisi Lantai Rumah
Skoring yang dilakukan pada variabel ini adalah dengan
mengakumulasikan total skor yang didapat. Variabel kondisi lantai rumah
dikategorikan buruk apabila skor ≤nilai median, dan dikategorikan baik
apabila skor >nilai median.
Tabel 4.4 Skoring Variabel Kondisi Lantai Rumah
Pertanyaan Skoring
Telah dilakukan lantainisasi
pada rumah responden
- Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
46
Pertanyaan Skoring
Lantai kedap air dan tidak
lembab
- Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
Lantai mudah dibersihkan - Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
Keadaan lantai bersih tanpa
sampah, tanah dan kotoran
- Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
i. Kondisi Tempat Pembuangan Sampah
Skoring yang dilakukan pada variabel ini adalah dengan
mengakumulasikan total skor yang didapat. Variabel kondisi tempat
pembuangan sampah dikategorikan buruk apabila skor ≤nilai median, dan
dikategorikan baik apabila skor >nilai median.
Tabel 4.5 Skoring Variabel Kondisi Tempat Pembuangan Sampah
Pertanyaan Skoring
Terdapat tempat pembuangan
sampah di rumah responden
- Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
Tempat pembuangan sampah
tertutup
- Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
Tidak terdapat sampah
berserakan di sekitar tempat
pembuangan sampah
- Skor 1 apabila menjawab Ya
- Skor 0 apabila menjawab Tidak
47
4.6 Cara Pengumpulan Data
Berikut adalah beberapa cara pengumpulan data pada penelitian ini:
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengumpulkan data
terkait status infeksi cacing dengan melihat ada atau tidaknya telur cacing
pada sampel feses responden. Pot feses yang steril diberikan kepada
responden dan diambil keesokan harinya. Berikut adalah cara pengujian
sampel feses di laboratorium (Yudhastuti, dkk, 2012):
1. Gunakan jas laboratorium, sarung tangan dan masker untuk
menghindari terjadinya kontaminasi;
2. Letakkan 1-2 tetes larutan eosin 1% pada object glass yang steril;
3. Ambil sampel feses dengan sepotong lidi, lalu campurkan ke dalam
eosin 1% yang sudah diletakkan di object glass, hapuskan secara
merata;
4. Tutup object glass dengan deck glass, kemudian periksa di bawah
mikroskop;
5. Hasil:
Feses: Positif (+) ditemukan telur cacing (Lihat Gambar 4.1);
Feses: Negatif (-) ditemukan telur cacing.
Berikut adalah hasil temuan mikroskop terkait telur cacing yang
ditularkan melalui tanah berdasarkan Pedoman Pengendalian Cacing yang
dikeluarkan oleh Ditjen PP & PL (2012):
48
Gambar 4.2 Hasil Mikroskop Telur Cacing yang Ditularkan melalui Tanah
Sumber: Ditjen PP & PL, 2012
b. Wawancara Terstruktur
Wawancara terstruktur yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan
untuk mengumpulkan data terkait variabel personal hygiene yang terdiri
dari kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan setelah BAB,
kebiasaan BAB sembarangan, kebiasaan mengonsumsi jajanan tidak
tertutup dan kebiasaan menggunakan alas kaki.
49
Wawancara terstruktur dijalankan dengan cara blinding dengan
melakukan wawancara di rumah masing-masing responden sehingga
responden lain tidak akan mengetahui pertanyaan yang diberikan peneliti
dan tidak akan mengetahui jawaban dari responden yang telah
diwawancara. Cara lain yang dilakukan peneliti untuk meminimalisir bias
adalah dengan mengajukan pertanyaan terkait variabel personal hygiene
tidak hanya kepada responden, melainkan juga kepada orang tua
responden, sehingga jawaban yang diberikan responden dapat lebih akurat.
Ahli atau pakar yang memeriksa sampel feses di laboratorium juga
tidak mengetahui karakteristik masing-masing responden sehingga akan
mengurangi nilai subjektifitas dari ahli tersebut pada saat melakukan
pemeriksaan (Morton dkk, 2009).
c. Observasi
Observasi dilakukan untuk mengumpulkan data terkait variabel
sanitasi lingkungan rumah, berupa sarana air bersih, kondisi jamban,
kondisi SPAL, kondisi lantai dan kondisi tempat pembuangan sampah.
Data variabel kebersihan kuku juga diambil dengan cara observasi untuk
melihat keadaan bersih atau tidaknya kuku, dan dilakukan pengukuran
dengan menggunakan penggaris untuk melihat panjang kuku.
4.7 Manajemen Data
Manajemen data merupakan cara mengorganisasikan data sehingga data
siap untuk dianalisis. Beberapa langkah manajemen data antara lain:
50
4.7.1 Data Coding
Data coding adalah kegiatan melakukan pemilihan dan
memasukkan data ke dalam kategori atau kode tertentu pada kuesioner
demi mempermudah pengolahan data.
Tabel 4.6 Pengkodean Data
Variabel Kode
Kebersihan Mencuci Tangan Sebelum Makan A1
Kebiasaaan Mencuci Tangan Setelah BAB A2
Kebiasaan BAB Sembarangan A3
Kebiasaan Mengonsumsi Jajanan Tidak Tertutup A4
Kebiasaan Menggunakan Alas Kaki A5
Kebersihan Kuku B1
Sarana Air Bersih B2
Kondisi Jamban B3
Kondisi SPAL B4
Kondisi Lantai Rumah B5
Kondisi Tempat Pembuangan Sampah B6
Infeksi Cacing C1
4.7.2 Data Editing
Proses penyuntingan atau pengecekan data yang dilakukan sebelum
proses pemasukan data. Proses ini dilakukan di lapangan agar data yang
diragukan masih dapat ditelusuri kembali. Pengecekan yang dilakukan
antara lain pemeriksaan kebenaran dan kelengkapan data, seperti
konsistensi pengisian setiap jawaban, kelengkapan dan kesalahan dalam
pengisian.
51
4.7.3 Data Entry
Data yang telah melalui proses pengkodean dan penyuntingan,
kemudian dimasukkan ke perangkat lunak komputer.
4.7.4 Data Cleaning
Proses pembersihan data untuk melihat apakah terjadi masalah
seperti kesalahan dan ketidaklengkapan pada saat entry sehingga dapat
dilakukan koreksi. Setelah itu, data siap untuk diolah dan dianalisis.
4.8 Analisa Data
4.8.1 Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi
variabel independen dan dependen.Variabel independen yang diteliti
berupa personal hygiene (kebersihan kuku, kebiasaan mencuci tangan
sebelum makan dan setelah BAB, kebiasaan mengonsumsi jajanan tidak
tertutup, kebiasaan menggunakan alas kaki) dan sanitasi lingkungan
rumah (sarana air bersih, kondisi jamban, kondisi SPAL, kondisi lantai
rumah, kondisi tempat pembuangan sampah). Variabel dependen yang
diteliti berupa infeksi cacing.
4.8.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui adanya hubungan
antara variabel independen berupa personal hygiene (kebersihan kuku,
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan setelah BAB, kebiasaan
BAB sembarangan, kebiasaan mengonsumsi jajanan tidak tertutup,
kebiasaan menggunakan alas kaki) dan sanitasi lingkungan rumah
(sarana air bersih, kondisi jamban, kondisi SPAL, kondisi lantai rumah,
52
dan kondisi tempat pembuangan sampah) dengan variabel dependen,
yaitu infeksi cacing.
Analisis bivariat pada penelitian ini menggunakan uji statistik Chi-
square. Bila P-value ≤0,05 maka hasil perhitungan secara statistik
menunjukkan adanya hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen, sedangkan jika P-value >0,05 maka hasil
perhitungan secara statistik tidak menunjukkan adanya hubungan antara
variabel independen dan variabel dependen.
53
5. BAB V
HASIL
5.1 Analisis Univariat
5.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kota Tangerang Selatan yang berada di
bagian timur Provinsi Banten, tepatnya pada koordinat 106’38’ –
106’47’ Bujur Timur dan 06’13’30 – 06’22’30’ Lintang Selatan. Lokasi
penelitian Rawa Limbah terletak di RT 02 RW 07 Kelurahan Pisangan,
Kecamatan Ciputat Timur. Kelurahan Pisangan memiliki luas 405 Ha,
dengan batas wilayah sebagai berikut:
- Utara : Kelurahan Cirendeu dan Cempaka Putih
- Selatan : Kecamatan Pamulang
- Barat : Kecamatan Ciputat
- Timur : Kecamatan Cinere, Depok dan Cilandak
RT 02 RW 07 Kelurahan Pisangan memiliki 185 Kartu Keluarga
(KK), namun masih terdapat beberapa keluarga yang belum tercatat
secara administratif. RT 02 RW 07 merupakan wilayah yang
diperuntukkan sebagai tempat penampungan sampah sementara yang
kemudian ditujukan ke tempat pembuangan akhir Cipeucang,
Kecamaran Setu.
5.1.2 Gambaran Infeksi Cacing
Distribusi infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa
Limbah Kelurahan Pisangan Tangerang Selatan dapat dilihat pada
Tabel 5.1
54
Tabel 5.1Distribusi Frekuensi Infeksi Cacing pada Anak Usia 6-12
Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang
Selatan Tahun 2016
Kategori Frekuensi (N=36) Persentase (100%)
Positif 8 22.2
Negatif 28 77.8
Data dalam Tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari 36 sampel anak
anak usia 6-12 tahun di Rawa Limbah, sebagian besar anak (77,8%)
dinyatakan negatif infeksi cacing berdasarkan pemeriksaan
laboratorium dengan metode langsung menggunakan larutan eosin.
Distribusi infeksi cacing berdasarkan jenis cacing pada anak usia 6-
12 tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Tangerang Selatan dapat
dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Infeksi Cacing berdasarkan Jenis
Cacing pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan
Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016
Jenis Cacing Frekuensi
(N=8)
Persentase
(100%)
Ascaris lumbricoides 3 37,5
Trichuris trichiura 3 37,5
Infeksi ganda
(Ascaris lumbricoides
dan Trichuris trichiura)
2 25
55
Data dalam Tabel 5.2 menunjukkan bahwa dari 8 sampel anak usia
6-12 tahun di Rawa Limbah yang positif terinfeksi cacing, terdapat
37,5% yang terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides (cacing gelang),
37,5% terinfeksi cacing Trichuris trichiura (cacing cambuk) dan 25%
terinfeksi oleh kedua jenis cacing tersebut.
Kedua jenis cacing tersebut merupakan soil transmitted helminth
atau cacing yang membutuhkan tanah dalam proses pematangannya
(Natadisastra dan Agoes, 2009).
5.1.3 Gambaran Kebersihan Kuku
Distribusi kebersihan kuku pada anak usia 6-12 tahun di Rawa
Limbah Kelurahan Pisangan Tangerang Selatan dapat dilihat pada
Tabel 5.3.
Tabel 5.3Distribusi Frekuensi Kebersihan Kuku pada Anak Usia 6-
12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang
Selatan Tahun 2016
Kategori Frekuensi (N=36) Persentase (100%)
Buruk 16 44,4
Baik 20 55,6
Data dalam Tabel 5.3 menunjukkan bahwa dari 36 sampel anak
usia 6-12 tahun di Rawa Limbah, 55,6% anak yang memiliki kebersihan
kuku dengan kategori baik, yaitu tidak terdapat kotoran di sela-sela
kuku dan panjang kuku kurang dari 0,5 cm, sehingga dapat mengurangi
56
risiko kontaminasi telur cacing pada kuku (The Joint Commission,
2009).
5.1.4 Gambaran Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Makan
Distribusi kebiasaan mencuci tangan sebelum makan pada anak
usia 6-12 tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Tangerang
Selatan dapat dilihat pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4Distribusi Frekuensi Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum
Makan pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan
Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016
Kategori Frekuensi (N=36) Persentase (100%)
Buruk 14 38,9
Baik 22 61,1
Data dalam Tabel 5.4 menunjukkan bahwa dari 36 sampel anak
usia 6-12 tahun di Rawa Limbah, terdapat 61,1% anak yang memiliki
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dengan kategori baik, yaitu
mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, sehingga tangan yang
sebelumnya terkontaminasi oleh telur cacing dapat menjadi bersih
kembali.
5.1.5 Gambaran Kebiasaan Mencuci Tangan Setelah BAB
Distribusi kebiasaan mencuci tangan setelah BAB pada a anak usia
6-12 tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Tangerang Selatan
dapat dilihat pada Tabel 5.5.
57
Tabel 5.5Distribusi Frekuensi Kebiasaan Mencuci Tangan Setelah
BAB pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan
Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016
Kategori Frekuensi (N=36) Persentase (100%)
Buruk 14 38,9
Baik 22 61,1
Data dalam Tabel 5.5 menunjukkan bahwa dari 36 sampel anak
usia 6-12 tahun di Rawa Limbah, terdapat 61,1% anak yang memiliki
kebiasaan mencuci tangan setelah BAB dengan kategori baik, yaitu
mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, berdasarkan observasi,
sebagian besar responden telah menggunakan jamban yang di
sekitarnya terdapat sabun.
5.1.6 Gambaran Kebiasaan BAB Sembarangan
Distribusi kebiasaan BAB sembarangan pada anak usia 6-12 tahun
di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Tangerang Selatan dapat dilihat
pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Kebiasaan BAB Sembarangan pada
Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota
Tangerang Selatan Tahun 2016
Kategori Frekuensi (N=36) Persentase (100%)
Ya 4 11,1
Tidak 32 88,9
58
Data dalam Tabel 5.6 menunjukkan bahwa dari 36 sampel anak
usia 6-12 tahun di Rawa Limbah, terdapat 88,9% anak yang tidak
memiliki kebiasaan BAB sembarangan, melainkan BAB di wc atau
jamban, dikarenakan akses menuju jamban lebih dekat daripada tanah
kosong atau sungai.
5.1.7 Gambaran Kebiasaan Mengonsumsi Jajanan Tidak Tertutup
Distribusi kebiasaan mengonsumsi jajanan tidak tertutup pada anak
usia 6-12 tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Tangerang
Selatan dapat dilihat pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Mengonsumsi Jajanan
Tidak Tertutup pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah
Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016
Kategori Frekuensi (N=36) Persentase (100%)
Buruk 13 36,1
Baik 23 63,9
Data dalam Tabel 5.7 menunjukkan bahwa dari 36 sampel anak
usia 6-12 tahun di Rawa Limbah, terdapat 63,9% anak yang memiliki
kebiasaan mengonsumsi jajanan tertutup dengan kategori baik, artinya
sebagian besar responden lebih memilih mengonsumsi jajanan yang
dibungkus rapat seperti snack dibandingkan jajanan yang terbuka
seperti gorengan.
59
5.1.8 Gambaran Kebiasaan Menggunakan Alas Kaki
Distribusi kebiasaan menggunakan alas kaki pada anak usia 6-12
tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Tangerang Selatan dapat
dilihat pada Tabel 5.8.
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Menggunakan Alas Kaki
pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan
Kota Tangerang Selatan Tahun 2016
Kategori Frekuensi (N=36) Persentase (100%)
Buruk 11 30,6
Baik 25 69,4
Data dalam Tabel 5.8 menunjukkan bahwa dari 36 sampel anak
usia 6-12 tahun di Rawa Limbah, terdapat 69,4% anak yang memiliki
memiliki kebiasaan menggunakan alas kaki di luar rumah dengan
kategori baik, artinya sebagian besar responden lebih memilih untuk
menggunakan alas kaki berupa sandal atau sepatu ketika beraktivitas ke
luar rumah, terutama pada area yang masih beralaskan tanah.
5.1.9 Gambaran Sarana Air Bersih
Hasil observasi sarana air bersih yang digunakan oleh anak usia 6-
12 tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Tangerang Selatan dapat
dilihat pada Tabel 5.9
60
Tabel 5.9 Distribusi Sarana Air Bersih yang Digunakan oleh Anak
Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota
Tangerang Selatan Tahun 2016
No. Sarana Air Bersih Frekuensi
(N=36)
Persentase
(100%)
1. Sumber air bersih yang
digunakan oleh keluarga:
a. Sungai
b. Sumur gali/pompa dengan
jarak kedalaman <10 m
c. Sumur gali/pompa dengan
jarak kedalaman ≥10 m
d. Perusahaan Air Minum
0
0
36
0
0
0
100
0
2. Ada sumber pencemaran lain
(seperti tempat pembuangan
sampah) dalam jarak 10 m dari
sumber air:
a. Tidak
b. Ada
12
24
33,3
66,7
3. Ada keretakan atau kerusakan
pada lantai sekitar sumur yang
memungkinkan air merembes ke
dalam sumur:
a. Tidak
b. Ya
30
6
83,3
16,7
Data dalam Tabel 5.9 menunjukkan bahwa dari 36 sampel anak
usia 6-12 tahun di Rawa Limbah, semua anak (100%) menggunakan air
bersih yang bersumber dari sumur pompa dengan jarak kedalaman ≥10
m, berdasarkan keterangan yang didapat dari beberapa orang tua
responden, kedalaman sumur yang digunakan berkisar antara 12-16
61
m.Hasil observasi juga menunjukkan 66,7% anak menggunakan sumur
pompa yang di sekitarnya terdapat sumber pencemaran, seperti sampah
dan tanah, hal tersebut dikarenakan sebagian besar kawasan Rawa
Limbah merupakan kawasan penampungan sampah sementara sehingga
jarak antara tempat tinggal dan sampah berdekatan. Berdasarkan tabel
juga dapat dilihat bahwa 83,3% anak menggunakan sumur pompa tanpa
keretakan atau kerusakan yang memungkinkan air merembes ke dalam
sumur, sebagian besar sumur pompa yang digunakan telah diberi semen
dan keramik dengan kondisi baik.
Tabel 5.10 Distribusi Sarana Air Bersih berdasarkan Kategori di
Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun
2016
Kategori Frekuensi (N=36) Persentase (100%)
Buruk 24 66,7
Baik 12 33,3
Data dalam Tabel 5.10 menunjukkan bahwa dari 36 sampel anak
usia 6-12 tahun di Rawa Limbah, terdapat 66,7% anak yang memiliki
sarana air bersih dengan kategori buruk, yaitu sampel anak dengan total
skor variabel sarana air bersih di bawah nilai median.
5.1.10 Gambaran Kondisi Jamban
Hasil observasi jamban yang digunakan oleh anak usia 6-12 tahun
di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Tangerang Selatan dapat dilihat
pada Tabel 5.11.
62
Tabel 5.11 Distribusi Kondisi Jamban yang Digunakan oleh Anak
Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota
Tangerang Selatan Tahun 2016
No. Kondisi Jamban Frekuensi
(N=36)
Persentase
(100%)
1. Terdapat jamban pribadi di
dalam rumah responden:
a. Tidak
b. Ya
15
21
41,7
58,3
2. Jenis jamban yang digunakan
adalah jamban leher angsa:
a. Tidak
b. Ya
6
30
16,7
83,3
3. Jamban memiliki septic tank:
a. Tidak
b. Ya
2
34
5,6
94,4
4. Jarak jamban dengan septic tank
10-15 meter:
a. Tidak
b. Ya
18
18
50
50
5. Terdapat persediaan air bersih
secara kontinu di dekat jamban:
a. Tidak
b. Ya
2
34
5,6
94,4
6. Jamban tidak berbau:
a. Tidak
b. Ya
7
29
19,4
80,6
7. Jamban tidak ada genangan air:
a. Tidak
b. Ya
15
21
41,7
58,3
8. Lantai jamban tidak licin:
a. Tidak
b. Ya
18
18
50
50
63
No. Kondisi Jamban Frekuensi
(N=36)
Persentase
(100%)
9. Terdapat persediaan sabun untuk
cuci tangan di dekat jamban:
a. Tidak
b. Ya
9
27
25
75
Data dalam Tabel 5.11 menunjukkan bahwa dari 36 sampel anak
usia 6-12 tahun di Rawa Limbah, terdapat 58,3% anak yang memiliki
jamban pribadi di dalam rumahnya, anak yang tidak memiliki jamban
pribadi menggunakan jamban umum yang tidak jauh dari
rumahnya.Tabel 5.11 juga menunjukkan83,3% anak menggunakan
jamban leher angsa dan sisanya masih menggunakan jamban dengan
jenis cubluk, 94,4% anak menggunakan jamban yang memiliki septic
tank atau sarana pengolah limbah dan pengurai kotoran, 50% anak
menggunakan jamban dengan jarak septic tank sejauh 10-15 meter dari
jamban, 94,4% anak menggunakan jamban yang memiliki persediaan
air secara kontinu di sekitarnya, 80,6% anak menggunakan jamban
yang tidak berbau, 58,3% menggunakan jamban yang tidak terdapat
genangan air di sekitarnya, 50% anak menggunakan jamban dengan
lantai yang tidak licin dan 75% anak menggunakan jamban yang
terdapat persediaan sabun untuk cuci tangan di sekitarnya.
64
Tabel 5.12 Distribusi Kondisi Jamban berdasarkan Kategori di
Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun
2016
Kategori Frekuensi (N=36) Persentase (N%=100)
Buruk 18 50
Baik 18 50
Data dalam Tabel 5.12 menunjukkan bahwa dari sampel anak usia
6-12 tahun di Rawa Limbah, terdapat 50% anak yang menggunakan
jamban dengan kualitas buruk, yaitu sampel anak dengan total skor
variabel kondisi jamban di bawah nilai median.
5.1.11 Gambaran Kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah
Hasil observasi kondisi SPAL yang digunakan oleh anak usia 6-12
tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Tangerang Selatan dapat
dilihat pada Tabel 5.13.
Tabel 5.13 Distribusi Saluran Pembuangan Air Limbah yang
Digunakan oleh Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan
Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016
No. Kondisi Saluran Pembuangan
Air Limbah
Frekuensi
(N=36)
Persentase
(100%)
1. Terdapat SPAL di dalam rumah
responden:
a. Tidak
b. Ya
15
21
41,7
58,3
2. SPAL dalam keadaan tertutup
(perpipaan):
a. Tidak
b. Ya
20
16
55,6
44,4
65
No. Kondisi Saluran Pembuangan
Air Limbah
Frekuensi
(N=36)
Persentase
(100%)
3. SPAL kedap air:
a. Tidak
b. Ya
19
17
52,8
47,2
4. SPAL mengalir lancar:
a. Tidak
b. Ya
18
18
50
50
Data dalam Tabel 5.13 menunjukkan bahwa dari sampel anak usia
6-12 tahun di Rawa Limbah, terdapat 58,3% anak yang memiliki SPAL
di dalam rumahnya, berdasarkan keterangan orang tua responden yang
tidak memiliki SPAL di rumahnya, mereka langsung membuang air
limbah ke sungai atau ke tanah yang ada di sekitar tempat tinggal
mereka. Selain itu, juga ditemukan bahwa 55,6% anak menggunakan
SPAL dengan keadaan tidak tertutup, contohnya selokan yang dibiarkan
terbuka dan dapat mengundang vektor penyakit seperti lalat. Tabel 5.13
juga menunjukkan 52,8% anak menggunakan SPAL yang tidak kedap
air dan 50% anak menggunakan SPAL yang tidak mengalir lancar.
Tabel 5.14 Distribusi Kondisi SPALberdasarkan Kategori di Rawa
Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016
Kategori Frekuensi (N=36) Persentase (100%)
Buruk 20 55,6
Baik 16 44,4
66
Data dalam Tabel 5.14 menunjukkan bahwa dari sampel anak usia
6-12 tahun di Rawa Limbah, terdapat 55,6% anak yang menggunakan
SPAL dengan kategori buruk, yaitu sampel anak dengan total skor
variabel kondisi SPAL di bawah nilai median.
5.1.12 Gambaran Kondisi Lantai Rumah
Hasil observasi kondisi lantai yang terdapat di dalam rumah anak
usia 6-12 tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Tangerang
Selatan dapat dilihat pada Tabel 5.15.
Tabel 5.15 Distribusi Kondisi Lantai di Rumah Anak Usia 6-12
Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang
Selatan Tahun 2016
No. Kondisi Lantai Frekuensi
(N=36)
Persentase
(100%)
1. Telah dilakukan lantainisasi pada
rumah responden:
a. Tidak
b. Ya
14
22
38,9
61,1
2. Lantai kedap air dan tidak
lembab:
a. Tidak
b. Ya
14
22
38,9
61,1
3. Lantai mudah dibersihkan:
a. Tidak
b. Ya
13
23
36,1
63,9
4. Keadaan lantai bersih tanpa
sampah, tanah dan kotoran lain:
a. Tidak
b. Ya
11
25
30,6
69,4
67
Data dalam Tabel 5.15 menunjukkan bahwa dari 36 sampel anak
usia 6-12 tahun di Rawa Limbah, terdapat 61,1% anak yang telah
dilakukan lantainisasi pada rumahnya dan memiliki lantai yang kedap
air serta tidak lembab, 63,9% anak memiliki lantai yang mudah
dibersihkan dan 69,4% anakyang lantai rumahnya dalam keadaan bersih
dari sampah, tanah maupun kotoran lain pada saat diobservasi.
Tabel 5.16 Distribusi Kondisi Lantai Rumah berdasarkan Kategori
di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2016
Kategori Frekuensi (N=36) Persentase (100%)
Buruk 20 55,6
Baik 16 44,4
Data dalam Tabel 5.16 menunjukkan bahwa dari sampel anak usia
6-12 tahun di Rawa Limbah, terdapat 55,6% anak yang di rumahnya
memiliki lantai dengan kategori buruk, yaitu sampel anak dengan total
skor variabel kondisi lantai rumah di bawah nilai median.
5.1.13 Gambaran Kondisi Tempat Pembuangan Sampah
Hasil observasi kondisi tempat pembuangan sampah di rumah anak
usia 6-12 tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Tangerang
Selatan dapat dilihat pada Tabel 5.17.
68
Tabel 5.17 Distribusi Kondisi Tempat Pembuangan Sampah di
Rumah Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan
Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016
No. Kondisi Tempat Pembuangan
Sampah
Frekuensi
(N=36)
Persentase
(100%)
1. Terdapat tempat pembuangan
sampah di dalam rumah
responden:
a. Tidak
b. Ya
0
36
0
100
2. Tempat pembuangan sampah
dalam keadaan tertutup:
a. Tidak
b. Ya
18
18
50
50
4. Terdapat sampah berserakan di
sekitar tempat pembuangan
sampah:
a. Ya
b. Tidak
21
15
58,3
41,7
Data dalam Tabel 5.17 menunjukkan bahwa dari 36 sampel anak
usia 6-12 tahun di Rawa Limbah, semua anak (100%) memiliki tempat
pembuangan sampah di dalam rumahnya, baik berupa kotak sampah
maupun kantong plastik, 18 anak (50%) memiliki tempat pembuangan
sampah dalam keadaan tertutup dan 21 anak (58,3%) memiliki tempat
pembuangan sampah dengan sampah berserakan di sekitarnya.
69
Tabel 5.18 Distribusi Kondisi Tempat Pembuangan Sampah
berdasarkan Kategori di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota
Tangerang Selatan Tahun 2016
Kategori Frekuensi (N=36) Persentase (100%)
Buruk 27 75
Baik 9 25
Data dalam Tabel 5.18 menunjukkan bahwa dari sampel anak usia
6-12 tahun di Rawa Limbah, terdapat 75% anak yang memiliki tempat
pembuangan sampah dengan kategori buruk, yaitu sampel anak dengan
total skor variabel tempat pembuangan sampah di bawah nilai median.
5.2 Analisis Bivariat
5.2.1 Hubungan Kebersihan Kuku dengan Infeksi Cacing
Hubungan antara kebersihan kuku dengan infeksi cacing pada
anak usia 6-12 tahun ditunjukkan pada Tabel 5.19.
Tabel 5.19 Hubungan Kebersihan Kuku dengan Infeksi Cacing
pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan
Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016
Kebersihan
Kuku
Infeksi
Cacing
Total
% Pvalue OR
Positif % Negatif %
Buruk 7 43,8 9 56,2 16 100
0,012
14,778
(1,573-
138,864
Baik 1 5,0 19 95,0 20 100
Total 8 22,2 28 77,8 36 100
70
Data dalam Tabel 5.19 menunjukkan bahwa sampel dengan infeksi
cacing yang memiliki kebersihan kuku dengan kategori buruk
sebanyak 7 anak (43,8%). Berdasarkan hasil uji bivariat diperoleh
nilai p = 0,012 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
antara kebersihan kuku dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12
tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2016.Dari hasil analisis, juga diperoleh nilai Odds Ratio (OR)
sebesar 14,778 (95 % CI; 1,573-138,864) yang berarti bahwa anak
dengan kebersihan kuku berkategori buruk memiliki risiko 14,778 kali
mengalami infeksi cacing.
5.2.2 Hubungan Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Makan dengan
Infeksi Cacing
Hubungan antara kebiasaan mencuci tangan sebelum makan
dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun ditunjukkan pada
Tabel 5.20.
Tabel 5.20Hubungan Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum
Makan dengan Infeksi Cacing pada Anak Usia 6-12 Tahun di
Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2016
Kebiasaan
Cuci
Tangan
Sebelum
Makan
Infeksi
Cacing
Total
% Pvalue OR Positif % Negatif %
Buruk 6 42,9 8 57,1 14 100
0,036
7,5
(1,242-
45,287)
Baik 2 9,1 20 90,9 22 100
Total 8 22,2 28 77,8 36 100
71
Data dalam Tabel 5.20 menunjukkan bahwa sampel dengan infeksi
cacing yang memiliki kebiasaan cuci tangan sebelum makan dengan
kategori buruk sebanyak 6 anak (42,9%). Berdasarkan hasil uji
bivariat diperoleh nilai p = 0,036 sehingga dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan antara kebiasaan cuci tangan sebelum makan dengan
infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa Limbah Kelurahan
Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016. Dari hasil analisis,
juga diperoleh nilai Odds Ratio (OR) sebesar 7,5 (95 % CI; 1,242-
45,287 yang berarti bahwa anak yang memiliki kebiasaan cuci tangan
sebelum makan dengan kategori buruk memiliki risiko 7,5 kali
mengalami infeksi cacing.
5.2.3 Hubungan Kebiasaan Mencuci Tangan Setelah BAB dengan
Infeksi Cacing
Hubungan antara kebiasaan mencuci tangan setelah BAB dengan
infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun ditunjukkan pada Tabel 5.21.
Tabel 5.21Hubungan Kebiasaan Mencuci Tangan Setelah BAB
dengan Infeksi Cacing pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa
Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun
2016
Kebiasaan
Cuci
Tangan
Setelah
BAB
Infeksi
Cacing
Total
%
Pvalue OR Positif % Negatif %
Buruk 3 21,4 11 78,6 14 100
1,000
0,927
(0,184-
4,685)
Baik 5 22,7 17 77,3 22 100
Total 8 22,2 28 77,8 36 100
72
Data dalam Tabel 5.21 menunjukkan bahwa sampel dengan infeksi
cacing yang memiliki kebiasaan cuci tangan setelah BAB dengan
kategori buruk sebanyak 3 anak (21,4%). Berdasarkan hasil uji
bivariat diperoleh nilai p = 1,000 sehingga dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan antara kebiasaan cuci tangan setelah BAB dengan
infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa Limbah Kelurahan
Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016.
5.2.4 Hubungan Kebiasaan BAB Sembarangan dengan Infeksi Cacing
Hubungan antara kebiasaan BAB sembarangan dengan infeksi
cacing pada anak usia 6-12 tahun ditunjukkan pada Tabel 5.22.
Tabel 5.22 Hubungan Kebiasaan BAB Sembarangan dengan
Infeksi Cacing pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah
Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016
Kebiasaan
BAB
Sembarangan
Infeksi
Cacing
Total
% Pvalue OR
Positif % Negatif %
Ya 2 50,0 2 50,0 4 100
0,207
4,333
(0,504-
37,261)
Tidak 6 16,7 26 81,2 32 100
Total 8 22,2 28 77,8 36 100
Data dalam Tabel 5.22 menunjukkan bahwa sampel dengan infeksi
cacing yang memiliki kebiasaan BAB sembarangan sebanyak 2 anak
(50,0%). Berdasarkan hasil uji bivariat diperoleh nilai p = 0,207
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
kebiasaan BAB sembarngan dengan infeksi cacing pada anak usia 6-
73
12 tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang
Selatan Tahun 2016.
5.2.5 Hubungan Kebiasaan Mengonsumsi Jajanan Tidak Tertutup
dengan Infeksi Cacing
Hubungan antara kebiasaan mengonsumsi jajanan tidak tertutup
dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun ditunjukkan pada
Tabel 5.23.
Tabel 5.23 Hubungan Kebiasaan Mengonsumsi Jajanan Tidak
Tertutup dengan Infeksi Cacing pada Anak Usia 6-12 Tahun di
Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2016
Kebiasaan
Mengonsum
si Jajanan
Tidak
Tertutup
Infeksi
Cacing
Total
%
Pvalue OR Positif % Negatif %
Buruk 2 15,4 11 84,6 25 100
0,682
0,515
(0,088-
3,027)
Baik 6 26,1 17 73,9 11 100
Total 8 22,2 28 77,8 36 100
Data dalam Tabel 5.23 menunjukkan bahwa sampel dengan infeksi
cacing yang memiliki kebiasaan mengonsumsi jajanan tidak
tertutupdengan kategori buruk sebanyak 2 anak (15,4%). Berdasarkan
hasil uji bivariat diperoleh nilai p = 0,682 sehingga dapat disimpulkan
bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan mengonsumsi jajanan
tidak tertutup dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di
Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun
2016.
74
5.2.6 Hubungan Kebiasaan Menggunakan Alas Kaki dengan Infeksi
Cacing
Hubungan antara kebiasaan menggunakan alas kaki dengan
infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun ditunjukkan pada Tabel 5.24.
Tabel 5.24 Hubungan Kebiasaan Menggunakan Alas Kaki dengan
Infeksi Cacing pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah
Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016
Kebiasaan
Menggunak
an Alas
Kaki
Infeksi
Cacing
Total
% Pvalue OR
Positif % Negatif %
Buruk 3 27,3 8 72,7 11 100
0,678
1,5
(0,288-
7,807)
Baik 5 20,0 20 80,0 25 100
Total 8 22,2 28 77,8 36 100
Data dalam Tabel 5.24 menunjukkan bahwa sampel dengan infeksi
cacing yang memiliki kebiasaan menggunakan alas kaki dengan
kategori buruk sebanyak 3 anak (27,3%). Berdasarkan hasil uji
bivariat diperoleh nilai p = 0,678 sehingga dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan antara kebiasaan menggunakan alas kaki dengan
infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa Limbah Kelurahan
Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016.
5.2.7 Hubungan Sarana Air Bersih dengan Infeksi Cacing
Hubungan antara sarana air bersih dengan infeksi cacing pada
anak usia 6-12 tahun ditunjukkan pada Tabel 5.25.
75
Tabel 5.25 Hubungan Sarana Air Bersih dengan Infeksi Cacing pada
Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota
Tangerang Selatan Tahun 2016
Sarana
Air
Bersih
Infeksi
Cacing
Total
% Pvalue OR
Positif % Negatif %
Buruk 7 29,2 17 70,2 24 100
0,224
4,529
(0,488-
42,052)
Baik 1 28,3 11 91,7 12 100
Total 8 22,2 28 77,8 36 100
Data dalam Tabel 5.25 menunjukkan bahwa sampel dengan infeksi
cacing yang memiliki sarana air bersih dengan kategori buruk
sebanyak 7 anak (29,2%). Berdasarkan hasil uji bivariat diperoleh
nilai p = 0,224 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
antara sarana air bersih dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12
tahun di Rawa Limbah di Kelurahan Pisangan Kota Tangerang
Selatan Tahun 2016.
5.2.8 Hubungan Kondisi Jamban dengan Infeksi Cacing
Hubungan antara kondisi jamban dengan infeksi cacing pada anak
usia 6-12 tahun ditunjukkan pada Tabel 5.26.
76
Tabel 5.26 Hubungan Kondisi Jamban dengan Infeksi Cacing pada Anak
Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang
Selatan Tahun 2016
Kondisi
Jamban
Infeksi
Cacing
Total
% Pvalue OR
Positif % Negatif %
Buruk 7 38,9 11 61,1 18 100
0,041
10,818
(1,165-
100,439)
Baik 1 5,6 17 94,4 18 100
Total 8 22,2 28 77,8 36 100
Data dalam Tabel 5.26 menunjukkan bahwa sampel dengan infeksi
cacing yang menggunakan jamban dengan kondisi buruk sebanyak 7
anak (38,9%). Berdasarkan hasil uji bivariat diperoleh nilai p = 0,041
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kondisi
jamban dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa
Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun
2016.Dari hasil analisis, juga diperoleh nilai Odds Ratio (OR) sebesar
10,818 (95 % CI; 1,165-100,439) yang berarti bahwa anak yang
menggunakan jamban dengan kondisi buruk memiliki risiko 10,818
kali mengalami infeksi cacing.
5.2.9 Hubungan Kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah dengan
Infeksi Cacing
Hubungan antara kondisi SPAL dengan infeksi cacing pada anak
usia 6-12 tahun ditunjukkan pada Tabel 5.27.
77
Tabel 5.27 Hubungan Kondisi SPAL dengan Infeksi Cacing pada
Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan
Kota Tangerang Selatan Tahun 2016
Kondisi
SPAL
Infeksi
Cacing
Total
% Pvalue OR
Positif % Negatif %
Buruk 7 35,0 13 65,0 20 100
0,053
8,077
(0,875-
74,592)
Baik 1 6,2 15 93,8 16 100
Total 8 22,2 28 77,8 36 100
Data dalam Tabel 5.27 menunjukkan bahwa sampel dengan infeksi
cacing yang menggunakansaluran pembuangan air limbah dengan
kondisi buruk sebanyak 7 anak (35%). Berdasarkan hasil uji bivariat
diperoleh nilai p = 0,053 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara kondisi saluran pembuangan air limbah dengan
infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa Limbah Kelurahan
Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016.
5.2.10 Hubungan Kondisi Lantai Rumah dengan Infeksi Cacing
Hubungan antara kondisi lantai rumah dengan infeksi cacing pada
anak usia 6-12 tahun ditunjukkan pada Tabel 5.28.
78
Tabel 5.28 Hubungan Kondisi Lantai Rumah dengan Infeksi Cacing
pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota
Tangerang Selatan Tahun 2016
Kondisi
Lantai
Infeksi
Cacing
Total
% Pvalue OR
Positif % Negatif %
Buruk 6 30,0 14 70,0 20 100
0,257
3
(0,514-
17,498)
Baik 2 12,5 14 87,5 16 100
Total 8 22,2 28 77,8 36 100
Data dalam Tabel 5.28 menunjukkan bahwa sampel dengan infeksi
cacing yang memiliki lantai rumah dengan kondisi buruk sebanyak 7
anak (30%). Berdasarkan hasil uji bivariat diperoleh nilai p = 0,257
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kondisi
lantai dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa
Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016.
5.2.11 Hubungan Kondisi Tempat Pembuangan Sampah dengan Infeksi
Cacing
Hubungan antara kondisi Tempat Pembuangan Sampah dengan
infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun ditunjukkan pada Tabel 5.29.
79
Tabel 5.29 Hubungan Kondisi Tempat Pembuangan Sampah dengan
Infeksi Cacing pada Anak Usia 6-12 Tahun di Rawa Limbah Kelurahan
Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016
Kondisi
TPS
Infeksi
Cacing
Total
% Pvalue OR
Positif % Negatif %
Buruk 7 25,9 20 74,1 27 100
0,648
2,8
(0,295-
26,566)
Baik 1 11,1 8 88,9 9 100
Total 8 22,2 28 77,8 36 100
Data dalam Tabel 5.29 menunjukkan bahwa sampel dengan infeksi
cacing yang menggunakan tempat pembuangan sampah dengan
kondisi buruk sebanyak 7 anak (25,9%). Berdasarkan hasil uji bivariat
diperoleh nilai p = 0,648 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara kondisi tempat pembuangan sampah dengan infeksi
cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa Limbah Kelurahan
Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016.
80
6. BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini tidak melakukan pemeriksaan infeksi cacing secara kuantitatif
sehingga tidak dapat diketahui tingkat keparahan infeksi cacing yang
dialami.
2. Penelitan ini tidak meneliti dampak yang diakibatkan oleh infeksi cacing.
3. Kemungkinan terjadi bias dalam jawaban wawancara karena dipengaruhi
oleh ingatan dan kejujuran responden.
6.2 Infeksi Cacing
Infeksi cacing adalah keadaan masuknya parasit berupa cacing ke dalam
tubuh manusia (Ditjen PP & PL, 2013). Hasil penelitian menunjukkan 22% dari
36 sampel anak usia 6-12 tahun di Rawa Limbah positif terinfeksi cacing. Jenis
cacing yang menginfeksi adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides) (37,5%),
cacing cambuk (Trichuris trichiura) (37,5%) dan 25% terinfeksi kedua jenis
cacing tersebut.
Dari hasil observasi dan wawancara, diketahui bahwa sebagian besar
responden yang positif terinfeksi cacing memiliki personal hygiene berupa
kebersihan kuku dan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dengan kategori
buruk. Masih banyak responden yang tidak mengetahui bahwa mencuci tangan
yang baik dan benar adalah dengan menggunakan sabun dan air mengalir.
Hasil observasi juga menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang
terinfeksi cacing menggunakan sanitasi lingkungan rumah dengan kondisi buruk.
Sanitasi lingkungan rumah yang dimaksud antara lain sarana air bersih, kondisi
81
jamban, kondisi SPAL, kondisi lantai dan kondisi tempat pembuangan sampah.
Masih terdapat responden yang belum memiliki jamban di rumahnya, sehingga
mengharuskan mereka untuk melakukan praktik BAB di jamban umum.
Kurangnya ketersediaan sarana sanitasi lingkungan rumah pada responden di
Rawa Limbah erat kaitannya dengan faktor sosial ekonomi, dimana sebagian
besar keluarga responden yang tinggal di Rawa Limbah masuk ke dalam
keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah sehingga mereka
memberikan keterangan bahwa penghasilan yang didapatkan belum mencukupi
untuk membangun sarana sanitasi lingkungan rumah yang memadai di
rumahnya.
Personal hygiene dan sanitasi lingkungan rumah dapat menjadi faktor
risiko yang menyebabkan responden positif terinfeksi cacing. Hal ini
dikarenakan kedua faktor tersebut masuk ke dalam rantai penularan infeksi
cacing. Apabila tangan seseorang kontak dengan tanah ataupun sarana sanitasi
lingkungan rumah yang mengandung telur cacing, maka kemungkinan telur
cacing akan tinggal di dalam sela-sela kuku atau jari. Telur cacing yang berada
di tangan dapat masuk ke dalam tubuh jika tangan kontak dengan mulut dan
telur cacing akan tertelan ke dalam saluran pencernaan. Di saluran pencernaan,
telur cacing akan berubah menjadi stadium larva hingga cacing dewasa
(Gandahusada dkk, 2004).
Pada penelitian ini, jenis cacing yang ditemukan adalah cacing gelang dan
cacing cambuk pada stadium telur. Cacing gelang dan cacing cambuk termasuk
cacing soil transmitted helminth atau cacing yang membutuhkan tanah dalam
proses pematangannya sehingga terjadi perubahan dari stadium non-infektif
82
menjadi stadium infektif. Cacing gelang umumnya ditemukan pada anak-anak
usia 5-9 tahun. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi cacing gelang
bergantung dari berat atau ringannya infeksi, keadaan umum penderita, daya
tahan tubuh, dan kerentanan penderita terhadap infeksi cacing. Pada infeksi
ringan, penderita mengandung 10-20 ekor cacing, namun sering tidak ada gejala
yang dirasakan, baru diketahui setelah pemeriksaan tinja rutin atau karena cacing
dewasa keluar bersama tinja (Natadisastra dan Agoes, 2009).
Cacing cambuk menyebabkan penyakit trikuriasis. Habitat utama cacing
cambuk adalah usus besar tertutama caecum. Usus besar dan usus bantu manusia
juga merupakan hospes definitif cacing cambuk. Cacing cambuk umumnya
terjadi pada anak usia 1-5 tahun, infeksi ringan biasanya tanpa gejala dan
ditemukan secara kebetulan pada waktu pemeriksaan tinja rutin. Pada infeksi
berat, cacing tersebar ke seluruh usus besar dan rectum, kadang terlihat pada
mukosa rektum yang prolaps akibat sering mengejan pada waktu defekasi atau
buang air besar (Natadisastra dan Agoes, 2009).
Menurut Ditjen PP & PL (2013), infeksi cacing gelang dapat
menyebabkan kerugian karbohidrat dan protein sehingga dapat berdampak pada
terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak. Gangguan pertumbuhan
ditunjukkan dengan pertumbuhan linear yang mengurang atau terhenti, berat
badan berkurang, ukuran lingkaran lengan atas dan tebal lipatan kulit yang
menurun (Soetjiningsih, 1998).
Anak usia 6-12 tahun membutuhkan karbohidrat dan protein untuk dapat
tumbuh. Pada periode ini berat badan anak akan meningkat rata-rata 3-3,5 kg
dan tinggi badan kira-kira 6 cm pertahun. Untuk menjamin pertumbuhan anak
83
dibutuhkan kalori sebesar 1900-2000 Kkal, dan protein 37-45 gram perhari. Jadi,
anak usia 6-12 tahun membutuhkan zat gizi dengan jumlah yang relatif besar
agar pertumbuhannya dapat optimal, sehingga suatu kondisi defisiensi akan
segera berpengaruh terhadap pertumbuhannya (Siregar, 2006).
Infeksi kronis dan sangat berat akibat cacing cambuk dapat menunjukkan
gejala-gejala anemia berat hingga menurunkan kadar Hb mencapai 3gr %,
karena seekor cacing tiap hari mengisap darah kurang lebih 0,005 cc. Infeksi
cacing cambuk biasa terjadi bersama infeksi parasit usus lain, seperi cacing
gelang, cacing tambang dan Entamoeba histolytica (Natadisastra dan Agoes,
2009). Infeksi ganda antara cacing gelang dan cacing cambuk merupakan infeksi
yang sering terjadi karena telur kedua jenis cacing tersebut memiliki ciri tempat
atau kondisi yang serupa dalam melakukan embrionasi dan keduanya sama-sama
ditransmisikan melalui kontaminasi (Gunn dan Pitt, 2014). Infeksi ganda
tersebut juga ditemukan pada hasil penelitian ini.
Pencegahan infeksi cacing di masyarakat bisa dilakukan dengan upaya
promotif dan preventif. Upaya promotif dapat berupa penyuluhan dengan
sasaran anak usia 6-12 tahun. Agar penyuluhan yang dilaksanakan dapat berjalan
efektif, maka dapat dilakukan dengan memasuki kegiatan sekolah ataupun
kegiatan rutin yang dilaksanakan di sekitar lingkungan rumah, seperti pengajian
anak-anak. Setelah rutin diberikan upaya promotif terkait infeksi cacing,
diharapkan sasaran dapat melakukan upaya preventif dengan menjaga personal
hygiene dan kebersihan lingkungan rumah.
Peran pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian Kesehatan RI, juga
sangat diperlukan pada upaya-upaya promotif dan preventif tersebut. Ditjen PP
84
& PL (2012) menyebutkan bahwa salah satu kegiatan yang dilakukan pada
program pengendalian cacing adalah penentuan prevalensi cacing pada anak
SD/MI dengan melakukan pemeriksaan tinja yang diambil dari sampel feses.
Pemetaan prevalensi tersebut dilakukan oleh provinsi, sehingga diharapkan
provinsi dapat memiliki peta prevalensi cacing per kabupaten dan kemudian
dapat dilakukan pengobatan massal.
Namun, kegiatan penentuan prevalensi tersebut nyatanya belum dilakukan
oleh semua kabupaten/kota yang ada di Indonesia, khususnya untuk kota
Tangerang Selatan, padahal target pencapaian yang ditentukan oleh Kemenkes
RI pada tahun 2018 adalah sebanyak 100% provinsi dan 100% kabupaten/kota di
Indonesia telah menyelenggarakan program pengendalian cacing (Ditjen PP &
PL, 2012). Sehingga, sangat diperlukan peran dari berbagai pihak agar upaya-
upaya promotif dan preventif guna mengatasi infeksi cacing dapat berjalan
secara optimal.
Selain itu, diperlukan juga peran dari Dinas Tata Kota dan Pemukiman
untuk membuat program relokasi pada warga yang tinggal di kawasan Rawa
Limbah, mengingat bahwa lokasi tersebut juga digunakan sebagai tempat
penampungan sampah sementara. Pihak kelurahan, khususnya pada tingkat RT
juga perlu membentuk kader yang berfungsi untuk memberdayakan masyarakat
setempat guna menyejahterakan masyarakat melalui usaha mikro, contohnya
dengan melakukan daur ulang sampah menjadi sesuatu yang berguna dan dapat
dijual kembali.
85
6.3 Kebersihan Kuku
Kebersihan kuku merupakan salah satu faktor yang berperan dalam infeksi
cacing (Fitri dkk, 2012). Berdasarkan hasil analisis univariat pada Tabel 5.3,
ditemukan bahwa 44,4% anak memiliki kebersihan kuku dengan kategori buruk,
yaitu terdapat kotoran di bawah sela-sela kuku dan/atau panjang kuku ≥0,5
cm.Pada analisis bivariat, diketahui adanya hubungan antara kebersihan kuku
dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa Limbah Kota
Tangerang Selatan. Analisis bivariat juga menunjukkan bahwa anak dengan
kebersihan kuku berkategori buruk memiliki risiko sebesar 14,778 kali untuk
terinfeksi cacing.
Sebagian besar anak yang terinfeksi cacing memiliki kebersihan kuku
dengan kategori buruk. Hasil observasi peneliti menunjukkan bahwa anak-anak
tersebut sering bermain di tanah lapang yang berada di dekat rumah mereka
sehingga memungkinkan masuknya telur cacing ke dalam sela-sela kuku saat
mereka kontak dengan tanah yang terkontaminasi. Kemudian, berdasarkan
keterangan yang didapat, anak-anak cenderung malas dan lupa untuk memotong
kuku. Potter dan Perry (2005) menyebutkan beberapa faktor yang
mempengaruhi seseorang dalam melakukan praktik personal hygiene, yaitu citra
tubuh, praktik sosial, status sosial ekonomi, pengetahuan, kebudayaan, pilihan
pribadi, dan kondisi fisik. Dalam hal ini, praktik sosial, dan pengetahuan dapat
menjadi faktor yang menyebabkan kurangnya praktik membersihkan kuku pada
anak-anak di Rawa Limbah.
Praktik sosial yang dimaksud adalah bagaimana keluarga sebagai
kelompok sosial yang berhubungan erat dengan responden tidak dapat
86
memberikan contoh yang baik seperti mengajarkan anak untuk membiasakan
diri memotong dan membersihkan kuku. Faktor berikutnya adalah pengetahuan,
anak-anak cenderung malas dan tidak biasa memotong kuku secara teratur
karena kurangnya pengetahuan bahwa kuku yang panjang dan kotor dapat
menjadi tempat tinggal berbagai mikroorganisme penyebab penyakit, yang salah
satunya adalah telur cacing (Potter dan Perry, 2005).
Penelitian terdahulu telah menunjukkan adanya hubungan antara
kebersihan kuku dengan infeksi cacing. Penelitian Faridan, dkk (2013)
menemukan bahwa responden dengan kuku kotor berisiko 1,7 kali lebih tinggi
untuk menderita cacing dibandingkan dengan responden berkuku bersih. Hasil
penelitian Fitri, dkk (2012) dan Isa (2013) yang menemukan adanya hubungan
antara kebersihan kuku dengan infeksi cacing pada anak sekolah dasar.
Kuku merupakan salah satu organ tubuh yang dapat menyimpan kotoran,
seperti tanah atau sisa makanan. Kotoran yang terdapat di bawah sela-sela kuku
dapat terkontaminasi oleh telur cacing. Kemudian, telur cacing tersebut bisa
masuk ke dalam saluran pencernaan manusia apabila manusia makan
menggunakan tangan yang tidak dicuci dengan bersih (Isa, 2013). Menurut The
Joint Commission (2009), kuku yang memenuhi syarat kesehatan memiliki
panjang yang tidak melebihi 0,5 cm dari ujung jari serta tidak terdapat kotoran di
bawah kuku.
Peran keluarga dan sekolah sangat dibutuhkan dalam mendidik anak untuk
membiasakan diri membersihkan kuku secara rutin. Keluarga cenderung menjadi
reaktor terhadap masalah-masalah kesehatan yang terjadi pada anggota
keluarganya dan menjadi aktor dalam menentukan atau menghadapi masalah
87
kesehatan tersebut, contohnya dalam hal ini adalah menjaga kebersihan kuku
(Friedman, 1998). Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa beberapa
orang tua responden selalu mengingatkan anak mereka untuk memotong kuku
secara rutin, dan beberapa juga langsung ikut serta dalam membersihkan kuku
anak, namun masih ada orang tua yang tidak pernah mengingatkan anaknya
untuk selalu membersihkan kuku, sehingga anak tidak memiliki urgensi untuk
membersihkan kukunya secara rutin dikarenakan tidak adanya dukungan dari
keluarga, terutama orang tua. Maka dari itu, sebaiknya orang tua selalu
mengingatkan atau langsung ikut serta dalam menjaga kebersihan kuku anak.
Di sekolah, umumnya anak mendapat pendidikan kesehatan, yaitu upaya
yang diberikan berupa bimbingan atau tuntunan kepada seseorang atau peserta
didik mengenai kesehatan meliputi seluruh aspek pribadi mulai dari fisik,
mental, sosial termasuk emosional sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang
secara harmonis. Pendidikan kesehatan terkait menjaga kebersihan kuku
biasanya berupa pemeriksaan kuku yang dilakukan secara rutin kepada siswa
(Waryono, 2013). Beberapa responden menyatakan bahwa terdapat pemeriksaan
rutin kebersihan kuku seminggu sekali di sekolahnya. Mereka akan ditegur oleh
guru apabila memiliki kuku yang panjang dan tidak bersih.
Adanya pemeriksaan rutin tersebut membuat responden menjadi rutin
dalam membersihkan kuku. Namun, ada beberapa responden yang tidak
melaksanakan pendidikan sekolah dasar, sehingga mereka tidak memiliki
dukungan dari pihak sekolah dalam menjaga kebersihan kuku. Meskipun begitu,
responden yang tidak sekolah rutin mengikuti kegiatan pengajian yang diadakan
88
di wilayah rumahnya, sehingga ada baiknya apabila guru mengaji tersebut turut
mengingatkan anak didiknya untuk selalu menjaga kebersihan kuku.
6.4 Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Makan
Mencuci tangan sebelum makan adalah proses membuang kotoran dan
debu secara mekanik dari kedua tangan dengan menggunakan sabun dan air
mengalir yang dilakukan pada saat sebelum makan (Tietjen dkk, 2004).
Berdasarkan hasil analisis univariat pada Tabel 5.4, ditemukan bahwa 38,9%
anak memiliki kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dengan kategori baik.
Analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan mencuci
tangan sebelum makan dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa
Limbah Kota Tangerang Selatan dan diketahui bahwa anak yang memiliki
kebiasaan mencuci tangan dengan kategori buruk memiliki risiko 7,5 kali untuk
terinfeksi cacing dibandingkan anak yang memiliki kebisaaan mencuci tangan
dengan kategori baik.
Berdasarkan teori, kebiasaan mencuci tangan sebelum makan memiliki
peran penting dalam terjadinya infeksi cacing, karena telur cacing biasanya
masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang telah terkontaminasi, baik dari
tangan manusia maupun dari vektor penyakit seperti lalat. Kemudian telur
cacing tertelan bersamaan dengan makanan tersebut dan berkembang di dalam
usus manusia (Gandahusada dkk, 2004).
Penelitian terdahulu menemukan adanya hubungan antara kebiasaan
mencuci tangan sebelum makan dengan infeksi cacing pada anak sekolah dasar
(Fitri dkk, 2012; Muchlisah, 2014; Sandy, 2015). Ali dkk (2016) juga
89
menunjukkan adanya hubungan antara mencuci tangan dengan infeksi cacing
pada petani sayur di Pekanbaru.
Menurut UNICEF, kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan air
mengalir memiliki beberapa manfaat, antara lain menurunkan angka kejadian
penyakit diare, menurunkan transmisi ISPA hingga lebih dari 30%, menurunkan
50% insiden Avian influenza serta menurunkan infeksi parasit cacing (Kemenkes
RI, 2014). Penggunaan sabun saat mencuci tangan sebelum makan dapat
membantu mengurangi jumlah kuman penyakit yang masuk dengan cara
melarutkan lemak dan menurunkan tegangan permukaan partikel-partikel
kotoran yang menempel di kulit tangan (Sandy dkk, 2015). Selain itu, telur dari
parasit cacing gelang bersifat lengket apabila menempel di bawah sela-sela kuku
sehingga cara yang efektif untuk menghilangkan telur tersebut tidak hanya
dengan air mengalir tetapi juga harus menggunakan sabun (Hadidjaja, 2011).
Menurut WHO (2013), mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun
memiliki beberapa langkah yang harus dilakukan agar tangan dapat bersih
optimal, antara lain:
1. Ratakan sabun dan gosokkan pada kedua telapak tangan
2. Gosok punggung tangan dan sela-sela jari, lakukan pada kedua tangan
3. Gosok kedua telapak dan sela-sela jari kedua tangan
4. Gosok punggung jari kedua tangan dengan posisi tangan saling mengunci
5. Gosok ibu jari kiri dengan diputar dalam genggaman tangan kanan,
lakukan juga pada tangan satunya
6. Usapkan ujung kuku tangan kanan diputar di telapak tangan kiri, lakukan
juga pada tangan satunya kemudian bilas
90
7. Setelah selesai mencuci tangan, keringkan menggunakan tisu atau
pengering udara.
Berdasarkan wawancara, responden cenderung malas untuk mencuci
tangan dengan sabun dan air mengalir. Hal tersebut juga didukung oleh beberapa
responden yang tidak memiliki sarana mencuci tangan di rumahnya. Upaya
promotif seperti penyuluhan perlu dilakukan pada wilayah Rawa Limbah supaya
masyarakat dapat memiliki pengetahuan terkait Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS) terutama dalam hal mencuci tangan sehingga anak-anak dapat
mengetahui cara mencuci tangan yang baik dan benar dan kapan saja waktu
yang tepat untuk mencuci tangan.
6.5 Kebiasaan Mencuci Tangan Setelah BAB
Mencuci tangan setelah BAB merupakan kebiasaan membersihkan tangan
dengan air dan sabun mengalir setelah melakukan praktik buang air besar.
Berdasarkan hasil analisis univariat pada Tabel 5.5, ditemukan bahwa 38,9%
memiliki kebiasaan mencuci tangan setelah BAB dengan kategori buruk.
Analisis bivariat menemukan tidak ada hubungan antara kebiasaan mencuci
tangan setelah BAB dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa
Limbah Kota Tangerang Selatan. Hasil penelitian tersebut dapat dikarenakan
telah tersedianya sabun di sekitar area jamban yang digunakan oleh responden,
sehingga mereka cenderung untuk menggunakan sabun tersebut setelah
melakukan praktik BAB.
Jalur penularan infeksi cacing khususnya cacing gelang dan cacing
cambuk adalah melalui fekal-oral. Apabila setelah melakukan praktik BAB,
seseorang tidak mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, maka ada
91
kemungkinan tangan yang digunakan untuk membersihkan area anal akan
terkontaminasi dengan feses yang mengandung telur cacing. Jika kemudian
seseorang tersebut makan tanpa mencuci tangan, atau menggigit kuku, maka
telur cacing yang berada di tangan akan masuk ke dalam saluran pencernaan
tubuh (Gandahusada dkk, 2004). Standar mencuci tangan setelah BAB sama
dengan standar mencuci tangan sebelum makan, yaitu dengan menggunakan
sabun dan air mengalir, sehingga diharapkan setelah melakukan praktik BAB,
tangan dapat terhindar dari kontaminasi telur cacing yang berasal dari feses
(CDC, 2013).
Hasil penelitian Sandy dkk (2015), Serkhonova (2013) dan Nasr (2013)
menunjukkan tidak adanya hubungan antara mencuci tangan setelah BAB
dengan infeksi cacing. Namun, penelitian Yudhastuti dan Lusno (2012)
menemukan adanya hubungan antara mencuci tangan setelah BAB
denganinfeksi cacing dan ditemukan bahwa anak yang tidak mencuci tangan
memiliki risiko 4,654 lebih besar dibanding anak yang mencuci tangan setelah
BAB.Ali dkk (2016) dan Fitri dkk (2012) juga menemukan ada hubungan antara
mencuci tangan setelah BAB dengan infeksi cacing pada petani sayur dan murid
sekolah dasar. Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya
hubungan yang signifikan, namun tetap diperlukan edukasi kepada masyarakat
terkait pentingnya mencuci tangan setelah BAB mengingat bahwa jalur
penularan infeksi cacing adalah melalui fekal-oral.
92
6.6 Kebiasaan BAB Sembarangan
Praktik BAB sembarangan masih sering dilakukan oleh penduduk
Indonesia (Kemenkes RI, 2016). Hasil analisis univariat pada Tabel 5.6
menunjukkan bahwa 11,1% anak memiliki kebiasaan BAB sembarangan.
Berdasarkan hasil analisis bivariat, tidak ditemukan adanya hubungan antara
kebiasaan BAB sembarangan dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di
Rawa Limbah Kota Tangerang Selatan.
Hasil penelitian tersebut dikarenakan sebagian besar responden telah
melakukan praktik BAB di jamban. Berdasarkan keterangan responden yang
tidak memiliki jamban pribadi di rumahnya, mereka lebih memilih BAB di
jamban umum dibandingkan BAB di sembarang tempat seperti tanah kosong
atau sungai, dikarenakan akses menuju jamban umum lebih mudah dari rumah
responden. Pemukiman Rawa Limbah memiliki 7 sektor lapak dan di tiap sektor
tersebut terdapat jamban umum yang dapat digunakan oleh warga yang tinggal
di sekitarnya. Namun, meskipun responden telah menggunakan jamban untuk
BAB, perlu diperhatikan bahwa jamban yang digunakan haruslah jamban yang
sesuai dengan syarat kesehatan. Selain itu, jamban yang digunakan oleh keluarga
sebaiknya bukan merupakan jamban umum, melainkan jamban pribadi dengan
rasio satu jamban untuk lima sampai enam orang (Soeparman dan Suparmin,
2000).
Penelitian Muthoharoh dkk (2015) menunjukkan tidak adanya hubungan
antara perilaku BAB sembarangan dengan infeksi cacing pada anak sekolah
dasar di Kabupaten Kebumen. Namun, penelitian Yudhastuti dan Lusno (2012)
menemukan adanya hubungan antara kebiasaan BAB dengan infeksi cacing pada
93
anak balita di Kecamatan Sukolilo Surabaya. Pada penelitian tersebut, diketahui
bahwa anak balita yang tidak mempunyai kebiasaan BAB di jamban memiliki
peluang 4,654 kali terkena infeksi cacing dibandingkan dengan anak yang
mempunyai kebiasaan BAB di jamban (Yudhastuti dan Lusno, 2012).
Data Kemenkes RI (2016) menunjukkan sebanyak 62 juta atau 53%
penduduk pedesaan masih belum memiliki akses sanitasi yang layak dan 34 juta
diantaranya masih melakukan praktik BAB sembarangan. BAB sembarangan
merupakan suatu kebiasaan yang harus dihindari karena feses memegang
peranan penting sebagai jalur utama transmisi penyebaran penyakit baik menular
maupun tidak menular, terutama penyakit cacing yang dapat ditularkan melalui
tanah akibat aktivitas BAB sembarangan (Sofiana, 2011).
6.7 Kebiasaan Mengonsumsi Jajanan Tidak Tertutup
Salah satu kebiasaan yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi cacing
pada anak usia 6-12 tahun adalah kebiasaan mengonsumsi jajanan tidak tertutup
(Muthoharoh, 2015). Berdasarkan hasil analisis univariat pada Tabel 5.7,
ditemukan bahwa 36,1% anak memiliki kebiasaan mengonsumsi jajanan tidak
tertutup dengan kategori buruk. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada
hubungan antara kebiasaan mengonsumsi jajanan tidak tertutup dengan infeksi
cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa Limbah Kota Tangerang Selatan. Hal
tersebut dikarenakan responden cenderung membeli jajanan berupa snack yang
tertutup, dibandingkan membeli jajanan yang tidak tertutup.
Hasil observasi menunjukkan bahwa pada tiap sektor lapak di Rawa
Limbah terdapat warung yang menjual pangan jajanan, baik yang tertutup seperti
snack maupun yang tidak tertutup seperti gorengan, donat dan roti. Selain itu,
94
tiap harinya, tanah lapang yang berada di Rawa Limbah selalu didatangi oleh
penjual pangan jajan dikarenakan banyak anak-anak yang bermain di tanah
lapang tersebut. Adapun pangan jajan yang dijual biasanya berupa tahu goreng,
dan agar-agar. Namun, penjual pangan jajan berjualan di Rawa Limbah dalam
waktu yang tidak lama sehingga risiko makanan untuk terkontaminasi telur
cacing dari debu ataupun lalat yang berada di sekitar tanah lapang tersebut-pun
berkurang.
Berdasarkan teori, penularan infeksi cacing biasanya terjadi akibat
memakan makanan atau minuman yang tercemar oleh telur cacing, terutama
telur cacing gelang dan cacing cambuk (Aditama, 2015). Pangan jajan yang
tidak tertutup dapat mengundang datangnya lalat. Beberapa jenis lalat seperti
Chyrsomyma megacephala dan Musca domestica memiliki kebiasaan
berkumpul, berkerumun dan berkembang biak di makanan, sampah, limbah yang
membusuk, bangkai dan feses (Soviana, 1994).
Feses merupakan satu-satunya sumber telur cacing yang kemudian akan
berada dalam saluran pencernaan lalat apabila lalat memakan feses tersebut.
Tingkat infeksi lalat paling tinggi dalam penyebaran telur cacing adalah
setengah jam setelah lalat menelan telur cacing kemudian menurun sampai nol
setelah dua hari. Maksud dari tingkat infeksi adalah derajat infektifitas telur
cacing pada saat berada di saluran pencernaan lalat. Dalam waktu setengah jam,
telur cacing tetap infektif jika berada di saluran pencernaan, kemudian akan
menurun secara perlahan sampai nol setelah dua hari (Sulaiman dkk, 1988).
Selain melalui lalat, jajanan yang tidak tertutup juga dapat terkontaminasi akibat
telur cacing yang menempel pada debu dan tertiup angin (Roberts dkk, 2005).
95
Penelitian Muchlisah dkk (2014) di Makassar menunjukkan adanya
hubungan antara perilaku jajan sembarangan dengan infeksi cacing pada anak
sekolah dasar. Muchlisah (2014) menunjukkan bahwa anak yang positif
terinfeksi cacing cenderung membeli jajanan yang tidak tertutup dan berada di
lingkungan yang memungkinkan penularan telur cacing. Muthoharoh (2015)
pada penelitiannya juga menunjukkan bahwa anak yang memiliki kebiasaan
jajan sembarangan memiliki risiko 1,58 kali lebih besar untuk terinfeksi cacing
daripada anak yang tidak memiliki kebiasaan jajan sembarangan.
Makanan jajanan yang terkontaminasi telur cacing akan masuk ke dalam
tubuh seseorang dan akan tumbuh menjadi cacing dewasa dan berkembang biak
di dalam usus manusia apabila tidak diberikan penanganan (Gandahusada dkk,
2004). Maka dari itu, orang tua, guru maupun orang-orang yang berada di sekitar
anak, perlu mengawasi pola konsumsi jajan anak agar terhindar dari kontaminasi
telur cacing. Akan lebih baik apabila orang tua selalu membekali jajanan atau
snack yang sehat untuk anak sehingga akan mengurangi risiko anak untuk jajan
sembarangan.
6.8 Kebiasaan Menggunakan Alas Kaki
Kebiasaantidak menggunakan alas kaki saat beraktivitas di luar rumah
merupakan kebiasaan yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi cacing
(Muthoharoh dkk, 2015). Berdasarkan hasil analisis univariat pada Tabel 5.8,
ditemukan bahwa 30,6% anak memiliki kebiasaan menggunakan alas kaki
dengan kategori buruk. Hasil penelitian juga menunjukkan tidak ada hubungan
antara kebiasaan menggunakan alas kaki dengan infeksi cacing pada anak usia 6-
12 tahun di Rawa Limbah Kota Tangerang Selatan. Hasil tersebut dikarenakan
96
cacing yang menginfeksi responden adalah cacing gelang dan cacing cambuk
yang dalam rantai penularannya tidak masuk melalui pori-pori kulit kaki
manusia seperti cacing tambang (Eveline dan Djamaludin, 2010).
Menggunakan alas kaki berupa sandal atau sepatu pada saat beraktivitas di
luar rumah dapat mengurangi kontak kulit kaki dengan tanah. Berdasarkan teori,
tanah merupakan media mutlak yang diperlukan oleh beberapa jenis cacing
seperti cacing gelang, cacing cambuk dan cacing tambang. Namun, cacing yang
dapat menginfeksi manusia melalui pori-pori kulit adalah jenis cacing tambang.
Telur cacing tambang yang keluar bersama feses host mengalami pematangan di
tanah. Setelah 24 jam, telur akan berubah menjadi larva tingkat pertama (L1)
yang selanjutnya berkembang menjadi larva tingkat kedua (L2) atau larva
rhabditiform dan kemudian menjadi larva tingkat ketiga (L3) atau larva
filariformyang bersifat infeksius. Larva filariform tersebut selanjutnya akan
menembus kulit tangan dan kaki dan masuk ke dalam usus manusia (Sumanto,
2010).
Penelitian terdahulu telah meneliti hubungan antara kebiasaan
menggunakan alas kaki dengan infeksi cacing. Penelitian Midzi (2011), Isa
(2013) dan Sandy dkk (2015) menunjukkan tidak adanya hubungan antara
kebiasaan menggunakan alas kaki dengan infeksi cacing yang ditularkan melalui
tanah pada anak SD. Namun, Fitri dkk (2012) dapat menemukan adanya
hubungan antara penggunaan alas kaki dengan infeksi cacing pada anak sekolah
dasar, dimana anak yang tidak memiliki kebiasaan menggunakan alas kaki
berpeluang 5,524 kali terinfeksi cacing dibandingkan dengan anak yang
memiliki kebiasaan menggunakan alas kaki.
97
Anak-anak perlu diedukasi bahwa menggunakan alas kaki pada saat keluar
rumah sangatlah penting agar terhindar dari kontaminasi telur cacing ke kulit
kaki. Selain itu, orang tua juga perlu melakukan pengawasan agar anak mereka
selalu memakai alas kaki ketika keluar rumah. Ada baiknya apabila alas kaki
selalu diletakkan di dekat pintu masuk rumah sehingga anak-anak cenderung
akan memakainya ketika keluar rumah.
6.9 Sarana Air Bersih
Sarana air bersih adalah suatu alat atau sistem yang berfungsi untuk
menyediakan air bersih bagi penduduk (Kemenkes RI, 2005). Berdasarkan hasil
analisis univariat pada Tabel 5.9, ditemukan bahwa 66,7% anak menggunakan
sarana air bersih dengan kondisi buruk. Di daerah Rawa Limbah, ditemukan
masih adanya sumber pencemaran di dekat sarana air bersih seperti tumpukan
sampah. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar penduduk di Rawa Limbah
setiap harinya melakukan kegiatan pengumpulan sampah (laskar mandiri)
sehingga mereka meletakkan sampah yang sudah dikumpulkan tidak jauh dari
tempat tinggalnya.
Selain itu, juga masih ditemukan sarana air bersih yang retak atau rusak.
Hal tersebut memungkinkan terjadinya rembesan ke dalam sumur. Adanya
keretakan tersebut dapat disebabkan karena sumur yang digunakan oleh
penduduk setempat merupakan sumur umum, sehingga semakin banyak
penduduk yang menggunakannya setiap hari, semakin tinggi pula risiko
keretakan yang terjadi pada sumur pompa tersebut.
Namun, hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan antara
sarana air bersih dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa
98
Limbah Kota Tangerang Selatan. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan
bahwa meskipun masih terdapat sumber pencemaran maupun keretakan pada
sarana air bersih responden, namun sumber air bersih yang digunakan oleh
semua responden berasal dari sumur pompa dengan kedalaman yang sudah layak
yaitu ≥10 m. Air sumur menyediakan air yang berasal dari lapisan tanah yang
relatif dekat dengan permukaan tanah, oleh karena itu air dapat dengan mudah
terkontaminasi melalui rembesan, terutama apabila kedalaman sumur kurang
dari 10 m. Umumnya rembesan tersebut berasal dari tempat buangan kotoran
manusia atau jamban (Afrizal dkk, 2013).
Kelompok kehidupan di dalam air memiliki faktor-faktor biotis yaitu
terdiri dari bakteria, fungi (jamur), mikroalga, protozoa (hewan bersel tunggal)
dan cacing. Air yang terkontaminasi telur cacing memiliki peranan dalam
kejadian infeksi cacing. Telur cacing sampai pada manusia melalui tanah yang
terkontaminasi tinja dan mengandung telur cacing infektif. Sarana air bersih
yang tidak memenuhi syarat seperti dekat dengan sampah atau tanah yang
terkontaminasi telur cacing dapat membuat telur cacing mengontaminasi air
yang berasal dari sumber air bersih. Kemudian, jika air tersebut digunakan
dalam aktivitas sehari-hari seperti minum, mandi, mencuci, tentu telur cacing
akan masuk ke dalam tubuh manusia baik melalui oral atau pori-pori kulit
(Kemenkes RI, 2005).
Penelitian Kusmi dkk (2015) menemukan tidak adanya hubungan antara
sarana air bersih dengan infeksi cacing gelang dan cacing cambuk pada anak
sekolah dasar di SDN 29 Purus Padang. Penelitian Kundaian dkk (2011) juga
menunjukkan tidak adanya hubungan antara sarana air bersih dengan infestasi
99
cacing pada anak usia 6-12 tahun di Kabupaten Minahasa. Hasil yang berbeda
ditunjukkan oleh Ali dkk (2016) pada penelitiannya di Pekanbaru yang
menemukan adanya hubungan ketersediaan air bersih dengan kejadian cacing
pada petani sayur. Ali dkk (2016) menjelaskan bahwa air bersih yang digunakan
oleh responden penelitiannya bersumber dari air sumur gali yang kotor, sehingga
hal tersebut menyebabkan terkontaminasinya air bersih terhadap telur cacing.
Upaya untuk mencegah kontaminasi telur cacing pada sarana air bersih
membutuhkan partisipasi masyarakat setempat, terutama bila sarana air bersih
tersebut digunakan secara bersama-sama. Upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan melakukan kerja bakti untuk membersihkan sarana air bersih secara rutin
dengan memastikan bahwa sarana air bersih tersebut tidak tercemar oleh sampah
maupun tanah. Selain itu, masyarakat juga perlu memperbaiki kerusakan atau
keretakan yang terjadi pada sarana air bersih yang digunakan, sehingga kotoran
tidak akan merembes ke dalam dan mencemari air.
6.10 Kondisi Jamban
Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan
kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan
leher angsa atau tanpa leher angsa (cubluk) yang dilengkapi dengan unit
penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya (Kemenkes RI, 2009).
Berdasarkan hasil analisis univariat pada Tabel 5.10, ditemukan bahwa 50%
anak yang menggunakan jamban dengan kondisi buruk. Hasil analisis bivariat
menunjukkan adanya hubungan antara kondisi jamban dengan infeksi cacing
pada anak usia 6-12 tahun di Rawa Limbah Kota Tangerang Selatan dan
ditemukan bahwa anak yang menggunakan jamban dengan kondisi buruk
100
memiliki risiko 10,818 kali mengalami infeksi cacing dibanding anak yang
menggunakan jamban dengan kondisi baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 21 anak (58,3%) tidak memiliki
jamban pribadi di rumahnya, sehingga mereka harus melakukan praktik BAB di
jamban umum. Tidak hanya praktik BAB, semua penduduk di Rawa Limbah
yang tidak memiliki jamban pribadi di rumahnya, juga melakukan aktivitas
mandi dan mencuci di jamban umum tersebut, sehingga risiko penularan infeksi
cacing semakin tinggi karena semakin banyak orang yang menggunakan.
Jamban keluarga sebaiknya digunakan oleh 5 sampai 6 orang untuk satu lubang
jamban (Soeparman dan Suparmin, 2000).
Menurut Kemenkes RI (2009), beberapa persyaratan jamban sehat antara
lain tidak mencemari sumber air minum, letak lubang penampung berjarak 10-15
m dari sumber air minum, mudah dibersihkan dan aman digunakan, dilengkapi
dinding dan atap pelindung, penerangan dan ventilasi cukup, tidak berbau, lantai
kedap air dan luas ruangan memadai serta tersedia air dan alat pembersih.
Menurut Azwar (1996), jenis jamban dengan model terbaik yang dianjurkan
dalam kesehatan lingkungan adalah jamban leher angsa, yaitu jamban dengan
leher lubang closet berbentuk lengkung, dengan demikian akan terisi air yang
berguna sebagai penyumbat sehingga dapat mencegah bau busuk dan masuknya
binatang-binatang kecil.
Hasil observasi di tempat penelitian menunjukkan masih terdapat
responden yang menggunakan jamban jenis cubluk atau aqua privy (16,7%) dan
tidak memiliki septic tank (5,6%). Jamban jenis cubluk merupakan jenis jamban
yang paling sederhana. Jamban tersebut dibangun di atas lubang penampungan
101
kotoran yang digali sedalam 2 sampai 3 meter dengan lingkaran tengah sekitar
80 cm. Jamban cubluk bukan merupakan jamban sehat karena tidak selalu terisi
air seperti jamban leher angsa, sehingga dapat mengundang datangnya vektor
penyakit seperti lalat dikarenakan adanya bau busuk yang ditimbulkan (Suharto,
1997). Penduduk yang masih menggunakan jamban cubluk dapat disebabkan
oleh faktor sosio ekonomi. Pada penelitian ini, sebagian besar penduduk di Rawa
Limbah berprofesi sebagai berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah,
sehingga mereka belum bisa memenuhi kebutuhan jamban sehat di rumahnya.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Fitri dkk (2012), Yudhastuti dan
Lusno (2012) dan Isa (2013) menemukan hubungan antara kepemilikan jamban
yang tidak sehat dengan infeksi cacing pada anak sekolah dasar.Menggunakan
jamban yang tidak sehat dapat meningkatkan risiko tercemarnya jamban oleh
feses maupun kotoran lain. Feses manusia mengandung organisme patogen
seperti bakteri Salmonella sp, Amoeba sp, virus, poliomyelitis hingga telur
cacing. Apabila seseorang melakukan praktik BAB di jamban yang tidak sehat,
kemudian kontak dengan feses yang terkontaminasi telur cacing, kemudian telur
cacing akan masuk ke dalam tubuh manusia dan berkembang hingga menjadi
cacing dewasa (Gandahusada dkk, 2004).
Masyarakat perlu diedukasi terkait pentingnya menjaga kebersihan
jamban, sehingga mereka akan lebih peduli untuk selalu merawat jamban
sehingga terbebas dari cemaran, terutama kotoran manusia. Akan lebih baik
apabila warga melakukan kerja bakti rutin untuk membersihkan jamban umum.
Selain itu, sebaiknya masyarakat mengganti penggunaan jamban jenis cubluk
menjadi jamban jenis leher angsa.
102
6.11 Kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah
Saluran pembuangan air limbah (SPAL) merupakan perlengkapan
pengelolaan air limbah berupa tanah galian atau pipa dari semen maupun pralon
yang digunakan untuk menyalurkan air buangan seperti air cucian, air bekas
mandi dan air kotor lain dari sumbernya sampai ke tempat pengelolaan atau ke
tempat pembuangan (Kemenkes RI, 2014). Berdasarkan hasil analisis univariat
pada Tabel 5.13, ditemukan bahwa sebagian besar responden menggunakan
SPAL dengan kondisi buruk. Dari hasil penelitian ditemukan masih terdapat
responden yang memiliki SPAL dalam keadaan tidak tertutup (55,6%), tidak
kedap air (52,8%) dan tidak mengalir lancar (50%). Selain itu, masih juga
ditemukan responden yang tidak memiliki SPAL di dalam rumahnya (41,7%).
Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan antara SPAL
dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa Limbah Kota
Tangerang Selatan. Berdasarkan observasi peneliti, hal tersebut dikarenakan
responden yang merupakan anak-anak jarang beraktivitas di sekitar SPAL,
dalam kesehariannya mereka lebih sering beraktivitas di luar rumah.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, prinsip teknologi SPAL adalah
tidak terjadi genangan secara terbuka, sehingga pilihan teknologi yang dapat
digunakan adalah menggunakan saluran dengan pipa yang disambungkan
dengan pembuangan secara tertutup atau menggunakan saluran terbuka dengan
pasangan kedap air yang disambungkan ke tempat penampungan
tertutup.Menurut Gandahusada (2004), SPAL yang memenuhi syarat adalah
tidak mencemari air permukaan maupun air tanah (jarak minimal 10 m dengan
103
sumber air), tidak menimbulkan sarang nyamuk, saluran dan alirannya lancar
serta memiliki penampungan khusus.
Penelitian terdahulu menunjukkan adanya hubungan antara SPAL dengan
infeksi cacing pada anak sekolah dasar (Sumanto, 2010; Nur dkk, 2013; Fitri
dkk, 2012). Ali dkk (2016) juga menemukan adanya hubungan kualitas SPAL
dengan infeksi cacing pada petani sayur di Pekanbaru. Meskipun hasil penelitian
menunjukkan tidak adanya hubungan antara kondisi SPAL dengan infeksi
cacing, namun masyarakat tetap harus diberikan edukasi mengenai pentingnya
menjaga kondisi agar SPAL selalu dalam kondisi baik karena apabila air limbah
dibuang dengan tidak saniter atau ke sembarang tempat, maka dapat menjadi
media perkembangbiakan mikroorganisme patogen yang salah satunya adalah
telur cacing (Gandahusada dkk, 2004).
6.12 Kondisi Lantai Rumah
Lantai rumah memiliki peran dalam kaitannya dengan infeksi cacing (Isa,
2013). Berdasarkan hasil analisis univariat pada Tabel 5.16, ditemukan bahwa
47,2% yang memiliki lantai rumah dengan kondisi buruk. Hasil analisis bivariat
menunjukkan tidak ada hubungan antara kondisi lantai rumah dengan infeksi
cacing pada anak usia 6-12 tahun di Rawa Limbah Kota Tangerang Selatan.
Tidak adanya hubungan antara kondisi lantai rumah dengan infeksi cacing dapat
dikarenakan responden yang memakai alas kaki berupa sandal di dalam rumah,
terutama pada responden yang di rumahnya belum dilakukan lantainisasi. Selain
itu, responden yang merupakan anak-anak juga jarang beraktivitas di dalam
rumah, mereka lebih sering beraktivitas di sekolah, mushola dan tanah lapang
104
yang berada tidak jauh dari tempat tinggal mereka, sehingga risiko untuk
terkontaminasi telur cacing dari dalam rumah dapat berkurang.
Berdasarkan observasi, masih terdapat beberapa rumah di Rawa Limbah
yang belum diberi perlakuan lantainisasi (38,9%), sehingga lantai tersebut hanya
berupa karpet atau tanah. Jenis karpet yang digunakan tidak kedap air, sehingga
memungkinkan tanah akan meresap atau rembes ke karpet apabila karpet terkena
air. Tanah dengan kelembaban tinggi dan suhu antara 25°C-30°c merupakan
kondisi yang sangat baik untuk berkembangnya telur cacing gelang dan cacing
cambuk menjadi bentuk infektif (Gandahusada dkk, 2004).
Sebaiknya, lantai rumah harus diberi perlakuan lantainisasi, sehingga
risiko untuk terinfeksi cacingakan berkurang karena lantai rumah tidak akan
menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya telur cacing (Muchlisah dkk, 2011).
Menurut Kusnoputranto (2000), lantai yang mudah dibersihkan merupakan salah
satu persyaratan rumah sehat. Lantai yang memenuhi syarat adalah lantai yang
tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan
(Kusnoputranto, 2000).
Hasil penelitian Kundaian dkk (2011), Isa (2013) dan Kusmi dkk (2015)
tidak menemukan adanya hubungan antara kondisi lantai rumah dengan infeksi
cacing pada anak sekolah dasar. Namun, penelitian lain menunjukkan hasil yang
berbeda. Yudhastuti dan Lusno (2012) serta Rahayu dan Ramdani (2015)
menemukan hubungan yang signifikan antara lantai rumah dengan infeksi cacing
pada anak sekolah dasar.
Hasil penelitian ini menunjukkan 30,6% rumah responden tidak dalam
keadaan bersih pada saat dilakukan observasi. Berdasarkan hasil wawancara,
105
diketahui bahwa responden yang orang tuanya bekerja di luar rumah merasa sulit
mendapatkan waktu untuk membersihkan lantai rumah dikarenakan aktivitasnya
yang lebih banyak di luar rumah. Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa
akan sia-sia membersihkan lantai rumah karena lantai yang cenderung mudah
kotor atau sulit dibersihkan. Ada baiknya tiap masyarakat setempat segera
melakukan lantainisasi pada rumah mereka untuk memudahkan dalam menjaga
kebersihan lantai.
6.13 Kondisi Tempat Pembuangan Sampah
Tempat pembuangan sampah merupakan salah satu tempat yang dapat
menjadi tempat berkembangnya telur cacing. Berdasarkan hasil analisis univariat
pada Tabel 5.17 ditemukan bahwa 75% anak memiliki tempat pembuangan
sampah dengan kondisi buruk. Dari hasil penelitian juga ditemukan bahwa
masih ada responden yang memiliki tempat pembuangan sampah dengan kondisi
tidak tertutup (50%) dan terdapat sampah berserakan di sekitarnya (58,3%).
Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak adanya hubungan antara kondisi
tempat pembuangan sampah dengan infeksi cacing pada anak usia 6-12 tahun di
Rawa Limbah Kota Tangerang Selatan. Berdasarkan observasi peneliti, hasil
tersebut dikarenakan sebagian besar tempat pembuangan sampah yang ada di
rumah responden berupa plastik yang selalu dibuang dalam waktu 1-2 hari,
sehingga sampah tidak akan lama berada di dalam rumah. Kondisi tempat
pembuangan sampah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat menimbulkan
penyakit, salah satunya adalah infeksi cacing.
Menurut Kemenkes RI (2003), tempat pembuangan sampah yang
memenuhi syarat adalah tertutup sehingga tidak dapat dihinggapi lalat, terbuat
106
dari bahan kedap air, dan tidak mudah berkarat. Sedangkan menurut Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 03/PRT/M/2013 tentang
Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, kriteria sarana
pewadahan sampah dengan pola pewadahan individual adalah kedap air dan
udara, mudah dibersihkan, harga terjangkau, ringan dan mudah diangkat, bentuk
dan warna estetis, memiliki tutup supaya higienis, dan mudah diperoleh. Azrul
(1990) juga menyatakan bahwa tempat pembuangan sampah layak pakai adalah
yang konstruksinya kuat dan tidak bocor, serta mempunyai tutup sehingga dapat
mencegah bau yang ditimbulkan dan menghindari lalat yang merupakanvektor
pembawa telur cacing.
Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kundaian dkk (2011) dan
Kusmi dkk (2015) menunjukkan tidak ada hubungan antara sarana pembuangan
sampah dengan infeksi cacing pada anak sekolah dasar. Namun, Fitri dkk (2012)
dalam penelitiannya menemukan hubungan antara tempat sampah dengan
infeksi cacing pada anak sekolah dasar di Kabupaten Tapanuli. Meskipun hasil
penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan antara kondisi tempat
pembuangan sampah dengan infeksi cacing, namun sebaiknya masyarakat
menggunakan tempat sampah tertutup yang terbuat dari bahan yang kokoh
dibandingkan hanya menggunakan plastik, karena dikhawatirkan apabila plastik
yang berisi sampah jatuh ke lantai, maka dapat mencemari lantai dan
mengundang datangnya vektor penyakit seperti lalat.
107
7. BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 36 anak usia 6-
12 tahun di Rawa Limbah Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan
tahun 2016, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Distribusi anak yang positif terinfeksi cacing sebesar 22,2%.
2. Distribusi anak yang memiliki kebersihan kuku dengan kategori baik
sebesar 55,6%, distribusi anak yang memiliki kebiasaan mencuci
tangan sebelum makan dan setelah BAB dengan kategori baik sebesar
61,1%, distribusi anak yang tidak memiliki kebiasaan BAB
sembarangan dengan sebesar 88,9%, distribusi anak yang memiliki
kebiasaan mengonsumsi jajanan tidak tertutup dengan kategori baik
sebesar 63,9%, distribusi anak yang memiliki kebiasaan menggunakan
alas kaki dengan kategori baik sebesar 69,4%.
3. Distribusi anak yang menggunakan sarana air bersih dengan kondisi
buruk sebesar 66,7%, distribusi anak yang menggunakan jamban
dengan kondisi buruk sebesar 50%, distribusi anak yang
menggunakan SPAL dengan kondisi buruk sebesar 55,6%, distribusi
anak yang memiliki lantai rumah dengan kondisi buruk sebesar
55,6%, distribusi anak yang menggunakan tempat pembuangan
sampah dengan kondisi buruk sebesar 75%.
4. Dari keenam variabel personal hygiene, diketahui variabel kebersihan
kuku (p=0,012; OR=14,778) dan variabel kebiasaan mencuci tangan
108
sebelum makan (p=0,036; OR=7,5) yang menunjukkkan adanya
hubungan dengan infeksi cacing.
5. Dari kelima variabel sanitasi lingkungan rumah, diketahui hanya
kondisi jamban (p=0,041; OR=10,818) yang menunjukkan adanya
hubungan dengan infeksi cacing.
7.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas, peneliti memberikan beberapa saran
sebagai bahan pertimbangan untuk ke depannya, antara lain:
7.2.1 Bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan
1. Dinas Tata Kota dan Pemukiman perlu melakukan program
relokasi pemukiman Rawa Limbah ke lokasi yang lebih aman dan
sesuai dengan tata kota.
2. Kelurahan Pisangan perlu berkoordinasi dengan RW dan RT untuk
membentuk kader di Rawa Limbah yang berfungsi sebagai
pemberdayaan masyarakat dalam meningkatkan usaha mikro,
contohnya dengan melakukan daur ulang sampah menjadi sesuatu
yang berguna dan dapat dijual kembali.
3. Puskesmas Pisangan perlu melakukan upaya promotif terkait
pentingnya menjaga personal hygiene dan sanitasi lingkungan
rumah kepada masyarakat. Dalam hal ini, pihak Puskesmas dapat
bekerja sama dengan Unit Kesehatan Sekolah (UKS) melalui
program penyuluhan atau pemeriksaan personal hygiene yang rutin
dilakukan di sekolah.
109
4. Puskesmas Pisangan perlu melakukan pemeriksaan infeksi cacing
secara berkala pada anak usia 6 sampai 12 tahun, khususnya pada
anak-anak yang tinggal di wilayah dengan risiko tinggi seperti
kawasan yang dekat dengan tempat penampungan sampah.
5. Puskesmas Pisangan perlu melakukan upaya kuratif dengan
memberikan obat cacing bagi penderita infeksi cacing yang
ditemukan dari hasil pemeriksaan.
7.2.2 Bagi Masyarakat Sasaran
1. Masyarakat, khususnya anak-anak, perlu menjaga personal hygiene
seperti membersihkan kuku secara berkala, melakukan praktik cuci
tangan sebelum makan dan sesudah makan dengan sabun dan air
mengalir, BAB di jamban, mengonsumsi jajanan yang tertutup,
serta menggunakan alas kaki saat beraktivitas keluar rumah.
2. Masyarakat juga perlu menjaga kondisi sanitasi lingkungan rumah,
khususnya merawat jamban agar tidak tercemar oleh feses atau
sampah yang mengandung telur cacing, terutama untuk jamban
umum, perlu dilakukan upaya pembersihan jamban secara rutin
oleh masyarakat yang menggunakannya.
3. Orang tua perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap
perilaku anak, terutama saat melakukan kontak dengan tanah.
110
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal dkk. 2013. Perbedaan Kualitas Air Sumur Gali dan Sumur Bor Perumahan
Griya Cahaya 2 Gunung Sariak Kota Padang. Civil Engineering and
Education Journal Vol. 1 (2).
Ali dkk. 2016. Hubungan Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan dengan
Angka Kejadian Cacing (Soil Transmitted Helminth) pada Petani Sayur di
Kelurahan Maharatu Kecamatan Marpoyan Damai Kota Pekanbaru.
Dinamika Lingkungan Indonesia, Vol. 3 (1).
Azwar. 1995. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Mutiara
Sumber Widya.
Brown, Harold. 1979. Dasar Parasitologi Klinis. Jakarta: Gramedia.
CDC. 2013. When and How to Wash Your Hands. Retrieved from
https://www.cdc.gov/handwashing/when-how-handwashing.html on
December 22nd
2016.
Chadijah dkk. 2014. Hubungan Pengetahuan, Perilaku dan Sanitasi Lingkungan
dengan Angka Cacing pada Anak Sekolah Dasar di Kota Palu. Media
Litbangkes Vol. 24 (1).
Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Dinkes Kabupaten Indragiri Hulu. 2015. Cacingan Bisa Sebabkan Anak Kurang
Gizi dan Kurang Cerdas.Retrieved from
http://dinkes.inhukab.go.id/?p=3486 on September 4th
2016.
111
Ditjen PP & PL. 2012. Pedoman Pengendalian Cacing. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Ditjen PP & PL. 2013. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Tahun 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Emovon dkk. 2014. Prevalence and Impact of Socio-economic/Environmental
Factors on Soil Transmitted Helminth Infection in Children Attending
Clinic in a Tertiary Hospital in Benin City, Nigeria. International Journal of
Basic, Applied and Innovative Research (IJBAIR), Vol.3 (2).
Entjang. 2001. Mikrobiologi dan Parasitologi Untuk Akademi Keperawatan.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Eveline dan Djamaludin.2010. Panduan Pintar Merawat Bayi dan Balita. Jakarta:
WahyuMedia.
Faridan dkk. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Cacing pada
Siswa Sekolah Dasar Negeri Cempaka 1 Kota Banjarbaru. Jurnal
Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang (Epidemiology and Zoonis
Journal), Vol.4 (3).
Fitri dkk. 2012. Analisis Faktor-Faktor Risiko Infeksi Cacing Murid Sekolah Dasar
di Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012.
Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol.6 (2).
Friedman. 1998. Keperawatan Keluarga. Jakart: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Gandahusada dkk. 2004. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Gunn dan Pitt. 2014. Parasitology: An Integrated Approach. United Kingdom:
John Wiley & Sons, Ltd.
112
Hadidjaja dan Margono. 2011. Dasar Parasitologi Klinik Edisi I. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Hairani dkk. 2014. Prevalensi Soil Transmitted Helminth (STH) pada Anak Sekolah
Dasar di Kecamatan Malinau Kota Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan
Timur. Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang Vol.5 (1).
Hambudi, Teguh. 2015. #1 Professional General Affair: Panduan Bagian Umum
Perusahaan Modern. Jakarta: Penerbit Visimedia.
Isa, Rahmad. 2013. Hubungan antara Higiene Perorangan dan Sanitasi
Lingkungan dengan Kejadian Infeksi Cacing pada Siswa SD Negeri
Jagabaya 1 Warunggunung Kabupaten Lebak Provinsi Banten Tahun 2013.
Tesis pada Universitas Indonesia.
Jalaluddin. 2009. Pengaruh Sanitasi Lingkungan, Personal Hygiene dan
Karakteristik Anak terhadap Infeksi Cacing pada Murid Sekolah Dasar di
Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe. Tesis pada Universitas
Sumatera Utara.
Kemenkes RI. 2002. Pedoman Umum Program Nasional Pemberantasan Cacingan
di Era Desentralisasi. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. 2005. Materi Pelatihan Instruktur Perbaikan dan Pengawasan
Kualitas Air dan Lingkungan untuk Mendukung Pendekatan Partisipatori.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. 2007. Panduan Promosi Kesehatan di Sekolah. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. 2009. Menggunakan Jamban Sehat. Retrieved from
http://perpustakaan.Kemenkes
113
RI.go.id:8180/bitstream/123456789/1444/2/BK2009-A.pdf on June 26th
2016.
Kemenkes RI. 2014. Kurikulum dan Modul Pelatihan untuk Pelatih (TOT)
Fasilitator STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat). Retrieved from
http://stbm-indonesia.org/files/kurmod/STBM%20TOT%20Fasilitator.pdf
on December 30th
2016.
Kemenkes RI. 2014. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI:
Perilaku Mencuci Tangan Pakai Sabun di Indonesia. Retrieved from
http://www.Kemenkes
RI.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-ctps.pdf
on December 22nd
2016.
Kemenkes RI. 2016. Menuju 100% Akses Sanitasi Indonesia 2019. Retrieved from
http://www.Kemenkes RI.go.id/article/print/16060100003/menuju-100-
akses-sanitasi-indonesia-2019.html on December 25th
2016.
Kepmenkes RI No.424 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Cacingan.
Kundaian dkk, 2012.Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Infestasi
Cacing pada Murid Sekolah Dasar di Desa Teling Kecamatan Tombariri
Kabupaten Minahas.eJournal Universitas Sam Ratulangi Vol.1 (1).
Kusnoputranto. 2000. Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Morton dkk. 2009. Panduan Studi Epidemiologi dan Statistika Edisi 5. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran.
114
Lemeshow dkk. 1990. Adequacy of Sample Size in Health Studies. Switzerland:
John Wiley and Sons.
Malau, Ina Christin. 2008. Pengaruh Perilaku Ibu tentang Hygiene dan Sanitasi
Lingkungan terhadap Cacing Anak di Kecamatan Simanindo Kabupaten
Samosir 2008.Tesis pada Universitas Sumatera Utara.
Martila dkk, 2015.Hubungan Higiene Perorangan dengan Kejadian Cacing pada
Murid SD Negeri Abe Pantai Jayapura.PLASMA Vol.1 (2).
Meilinasari.2002. Hubungan Gizi Lebih dengan Asupan Energi pada Anak Sekolah
Dasar Al-Azhar 6 Jaka Permai Bekasi.Tesis pada Universitas Indonesia.
Muchlisah dkk. 2014. Hubungan Higiene Perorangan dengan Kejadian Cacing di
SD Athirah Bukit Baruga Makassar.Tesis pada Universitas Hasanuddin.
Muthoharoh dkk, 2015.Perilaku Mencuci Tangan dan Kejadian Cacing pada Siswa
Sekolah Dasar di Kecamatan Petanahan Kabupaten Kebumen. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Keperawatan Vol.11 (2).
Nasr dkk. 2013. Towards an Effective Control Programme of Soil-Transmitted
Helminth Infections among Orang Asli in Rural Malaysia. Part 2:
Knowledge, Attitude and Practices. Parasites and Vectors Vol.6 (28).
Natadisastra dan Agoes. 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ
Tubuh yang Diserang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta:
Penerbit Rineka Cipta.
Nur dkk. 2013. Faktor Risiko Sanitasi Lingkungan Rumah terhadap Kejadian
Cacing pada Murid Sekolah Dasar di Pulau Barrang Lompo Kota
Makassar Tahun 2013.Tesis pada Universitas Hasanuddin.
115
Oemijati. 1996. Tatalaksana pengendalian cacing di Indonesia melalui usaha
kesehatan sekolah dengan pendekatan kemitraan. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Onggowaluyo. 2002. Parasitologi Medik I. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 03/PRT/M/2013
tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam
Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga.
Potter dan Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan
Praktik Edisi 4 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Proverawati dan Rahmawati.2012.Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.Yogyakarta:
Nuha Medika.
Pullan dkk. 2014. Global Numbers of Infection and Disease Burden of Soil
Transmitted Helminth Infections in 2010. Parasites & Vectors, Vol.7 (37).
Rahayu dan Ramdani, 2013.Faktor Risiko Terjadinya Cacing di SDN Tebing
Tinggi di Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan.Jurlan
Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang, Vol.4 (3).
Rifdah, Idah. 2007. Hubungan Kondisi Sanitasi Lingkungan dan Higiene
Perorangan dengan Kejadian Cacing pada Murid Sekolah Dasar Negeri di
Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor Tahun 2007.Tesis pada Universitas
Indonesia.
Roberts dkk, 2005. Foundations of Parasitology; Seventh Edition. United States:
McGraw Hill.
116
Sandy dkk, 2015.Analisis Model Faktor Risiko yang Mempengaruhi Infeksi Cacing
yang Ditularkan melalui Tanah pada Siswa Sekolah Dasar di Distrik Arso
Kabupaten Keerom Papua.Media Litbangkes, Vol.25 (1).
Sherkhonova dkk. 2013. National Intestinal Helminth Survey among School
Children in Tajikistan: Prevalence, Risk Factors and Perceptions. Acta
Tropica Vol.93 (8).
Simanjuntak, Dodi Lashon. 2015. Hubungan Personal Hygiene dan Tingkat
Kecukupan Makanan terhadap Infeksi Cacing pada Siswa Sekolah Dasar di
Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan Tahun 2014.Tesis pada
Universitas Sumatera Utara.
Siregar, Charles D. 2006. Pengaruh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui
Tanah pada Pertumbuhan Fisik Anak usia 6-12 tahun. Sari Pediatri Vol.8
(2).
Slamet, Juli Soemirat. 2009. Kesehatan Lingkungan Cetakan Ke-VIII. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Soeparman dan Suparmin.2002.Pembuangan Tinja dan Limbah Cair. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Sofiana, dkk. 2011. Fingernail Biting Increase the Risk of Soil Transmitted
Helminth (STH) Infection in Elementary School Children. Health Science
Indonesia Vol.2 (2).
Soviana. 1996. Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Lalat Hijau Chrysomya
megacephala (Fabricus). Bogor: Program Pascasarjana IPB.
117
Sulaiman, dkk. 1989. Human Helminth Parasite Burdens on Cyclorraphan Flies
(Diptera) Trapped at on Aboriginal Settlement in Malaysia. Bulletin of
Entomological Research Vol.79 (4).
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mix
Methods). Bandung: Alfabeta.
Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial:
Spektrum Pemikiran. Bandung: Lembaga Studi Pembangunan.
Sumanto, Didik. 2010. Faktor Risiko Infeksi Cacing Tambang pada Anak
Sekolah.Tesis pada Universitas Diponegoro.
The Joint Commission. 2009. Measuring Hand Hygiene Adherence: Overcoming
the Challenges. Retrieved from
https://www.jointcommission.org/assets/1/18/hh_monograph.pdf on August
30th
2016.
Tietjen. 2004. Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan
Sumber Daya Terbatas. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirodiharjo.
Triyono, Agus. 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Buang Air
Besar Masyarakat Nelayan di Kampung Garapan Desa Tanjung Pasir
Kabupaten Tangerang Propinsi Banten. Forum Ilmiah Vol.11 (3).
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
UNESC0. 2000. Water Use in The World: Present Situation/Future Needs.
Retrieved from
http://www.unesco.org/science/waterday2000/water_use_in_the_world.htm
on August 29th
2016.
118
Utama. 2009. Parasitologi Kedokteran Edisi IV Cetakan II. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Waryono. 2013. Mengenalkan Pendidikan Kesehatan di Sekolah Dasar.Retrieved
from http://lpmpjogja.org/mengenalkan-pendidikan-kesehatan-di-sekolah-
dasar/ on February 26th
2017.
WHO. 2012. Eliminating Soil-Transmitted Helminthiases as a Public Health
Problem in Children: Progress Report 2001-2010 and Strategic Plan 2011-
2020.Retrieved from
http://apps.WHO.int/iris/bitstream/10665/44804/1/9789241503129_eng.pdf
on December 31st 2016.
WHO. 2016. Soil-transmitted helminth infections. Retrieved from
http://www.WHO.int/mediacentre/factsheets/fs366/en/ on May 15th
2016.
Yudhastuti dan Lusno. 2012.Kebersihan Diri dan Sanitasi Rumah pada Anak Balita
dengan Cacing.Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol.6 (4).
Yunus, Yulie Andra. 2015. Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Sanitasi
Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Cacing pada Anak Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Bromo Kota Medan tahun 2015. Tesis pada Universitas
Sumatera Utara.
119
LAMPIRAN
Lampiran 1
INFORMED CONSENT
HUBUNGAN PERSONAL HYGIENE DAN SANITASI LINGKUNGAN RUMAH
DENGAN INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR
DI RAWA LIMBAH KELURAHAN PISANGAN KOTA TANGERANG SELATAN
TAHUN 2016
Assalamu’alaykum wr wb. Saya Nurmarani, mahasiswi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi
Kesehatan Masyarakat peminatan Kesehatan Lingkungan akan melakukan penelitian
yang berjudul “Hubungan Personal Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan Rumah
Dengan Infeksi Kecacingan pada Anak Usia Sekolah Dasar di Rawa Limbah
Kelurahan Pisangan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016.”
Dalam pelaksanaannya, saya akan mengumpulkan data berupa hasil
wawancara terkait kebersihan perorangan, observasi terkait kondisi lingkungan
rumah dan pengambilan sampel feses (tinja). Maka dari itu, saya meminta kesediaan
Saudara untuk turut membantu dalam penelitian ini. Data yang dikumpulkan akan
dijaga kerahasiaannya. Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaykum wr wb
Ciputat, Oktober 2016
Responden
………………..
Identitas Responden
IR1 Nama
IR2 Jenis Kelamin
IR3 Umur
IR4 Kelas/Sekolah
IR5 Kode Sampel
IR6 Alamat
PEDOMAN WAWANCARA
A1 Apakah Anda mencuci tangan dengan sabun sebelum makan?
1. Selalu
2. Sering
3. Kadang-kadang
4. Tidak pernah
[ ]
A2 Apakah Anda mencuci tangan dengan sabun setelah BAB?
1. Selalu
2. Sering
3. Kadang-kadang
4. Tidak pernah
[ ]
A3 Apakah Anda melakukan praktik BAB di tempat lain selain
jamban, seperti tanah kosong atau sungai?
1. Selalu
2. Sering
3. Kadang-kadang
4. Tidak pernah
[ ]
A4 Berapa kali Anda mengonsumsi makanan jajanan yang tidak
tertutup (gorengan, dll) dalam seminggu?
1. Selalu
2. Sering
3. Kadang-kadang
4. Tidak pernah
[ ]
A5 Apakah Anda menggunakan alas kaki ketika bermain di luar
rumah?
1. Selalu
2. Sering
3. Kadang-kadang
4. Tidak pernah
[ ]
LEMBAR OBSERVASI
B1 Kebersihan kuku
1. Tidak memenuhi syarat (panjang ≥0,5 cm, kotor)
2. Memenuhi syarat (pendek <0,5 cm, bersih)
[ ]
B2 Sarana air bersih
1. Sumber air bersih yang digunakan oleh keluarga:
a. Sungai
b. Sumur gali/pompa dengan jarak kedalaman <10 m
c. Sumur gali/pompa dengan jarak kedalaman ≥10 m
d. Perusahaan Air Minum
2. Ada sumber pencemaran lain (seperti tempat
pembuangan sampah) dalam jarak 10 m dari sumber air:
a. Ya
b. Tidak
3. Ada keretakan atau kerusakan pada lantai sekitar sumur
yang memungkinkan air merembes ke dalam sumur:
a. Ya
b. Tidak
[ ]
[ ]
B3 Kondisi jamban
1. Terdapat jamban pribadi di dalam rumah responden:
a. Tidak
b. Ya
2. Jenis jamban yang digunakan adalah jamban leher angsa:
a. Tidak
b. Ya
3. Jamban memiliki septic tank:
a. Tidak
b. Ya
4. Jarak jamban dengan septic tank 10-15 meter:
a. Tidak
b. Ya
5. Terdapat persediaan air bersih secara kontinu di dekat
jamban:
a. Tidak
b. Ya
6. Jamban tidak berbau:
a. Tidak
b. Ya
7. Jamban tidak ada genangan air:
a. Tidak
b. Ya
8. Lantai jamban tidak licin:
a. Tidak
b. Ya
9. Terdapat persediaan sabun untuk cuci tangan setelah
BAB di dekat jamban:
a. Tidak
b. Ya
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
B4 Kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)
1. Terdapat SPAL di dalam rumah responden:
a. Tidak
b. Ya
2. SPAL dalam keadaan tertutup (perpipaan):
a. Tidak
b. Ya
3. SPAL kedap air:
a. Tidak
b. Ya
4. SPAL mengalir lancar:
a. Tidak
b. Ya
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
B5 Kondisi lantai rumah
1. Telah dilakukan lantainisasi pada rumah responden:
a. Tidak
b. Ya
2. Lantai kedap air dan tidak lembab:
a. Tidak
b. Ya
3. Lantai mudah dibersihkan:
a. Tidak
b. Ya
4. Keadaan lantai bersih tanpa sampah, tanah, dan kotoran
lain:
a. Tidak
b. Ya
[ ]
[ ]
[ ]
B6 Kondisi tempat pembuangan sampah
1. Terdapat tempat pembuangan sampah di rumah
responden
[ ]
a. Tidak
b. Ya
2. Tempat pembuangan sampah tertutup:
a. Tidak
b. Ya
3. Tidak terdapat sampah berserakan di sekitar tempat
pembuangan sampah:
a. Tidak
b. Ya
[ ]
[ ]
HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM
C1 Infeksi Kecacingan
1. Positif
2. Negatif
[ ]
Petunjuk Pengambilan Sampel Feses (Tinja):
a. Dianjurkan buang air besar pada pagi hari (saat sebelum berangkat ke sekolah)
b. Sebelum buang air besar, sebaiknya buang air kecil (kencing) terlebih dahulu.
c. Tinja tidak boleh bercampur dengan air kloset (WC) maupun urin (air kencing).
d. Buang tinja pada bibir kloset (WC), jangan sampai terkena air atau lantai.
e. Ambil tinja dengan sendok yang ada pada tutup kontainer yang telah diberikan.
f. Masukkan tinja ke dalam kontainer dan tutup rapat.
Lampiran 2
Dokumentasi Turun Lapangan
Tanah Lapang di Sekitar Rumah Warga Rawa Limbah
Jamban Umum yang Digunakan Warga Rawa Limbah
Sampah Berserakan di
Sekitar Rumah Warga
Anak-Anak Beraktivitas di
Tanah
Pengambilan Kontainer Feses
Lampiran 3
Hasil Uji Normalitas
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Total_SAB .261 36 .000 .799 36 .000
Total_Jamban .216 36 .000 .838 36 .000
Total_SPAL .297 36 .000 .705 36 .000
Total_Lantai .264 36 .000 .780 36 .000
Total_TPS .216 36 .000 .807 36 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Hasil Uji Univariat
Infeksi Kecacingan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Positif 8 22.2 22.2 22.2
Negatif 28 77.8 77.8 100.0
Total 36 100.0 100.0
Kebersihan Kuku
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Buruk 16 44.4 44.4 44.4
Baik 20 55.6 55.6 100.0
Total 36 100.0 100.0
Kebiasaan Cuci Tangan Sebelum Makan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Buruk 14 38.9 38.9 38.9
Baik 22 61.1 61.1 100.0
Total 36 100.0 100.0
Kebiasaan Cuci Tangan Setelah BAB
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Buruk 14 38.9 38.9 38.9
Baik 22 61.1 61.1 100.0
Total 36 100.0 100.0
Kebiasaan BAB Sembarangan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ya 4 11.1 11.1 11.1
Tidak 32 88.9 88.9 100.0
Total 36 100.0 100.0
Kebiasaan Mengonsumsi Jajanan Tidak Tertutup
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Buruk 13 36.1 36.1 36.1
Baik 23 63.9 63.9 100.0
Total 36 100.0 100.0
Kebiasaan Menggunakan Alas Kaki
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Buruk 11 30.6 30.6 30.6
Baik 25 69.4 69.4 100.0
Total 36 100.0 100.0
Sumber Air yang Digunakan Keluarga
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Sumur
Pompa 36 100.0 100.0 100.0
Ada Sumber Pencemaran dalam Jarak 10 m dari Sumber Air
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 12 33.3 33.3 33.3
Ya 24 66.7 66.7 66.7
Total 36 100.0 100.0
Ada Keretakan pada Lantai sekitar Sumur
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 30 83.3 83.3 83.3
Ya 6 16.7 16.7 100.0
Total 36 100.0 100.0
Sarana Air Bersih
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Buruk 24 66.7 66.7 66.7
Baik 12 33.3 33.3 100.0
Total 36 100.0 100.0
Terdapat Jamban Pribadi di Rumah
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 15 41.7 41.7 41.7
Ya 21 58.3 58.3 100.0
Total 36 100.0 100.0
Jenis Jamban Leher Angsa
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 6 16.7 16.7 16.7
Ya 30 83.3 83.3 100.0
Total 36 100.0 100.0
Jamban memiliki Septic Tank
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 2 5.6 5.6 5.6
Ya 34 94.4 94.4 100.0
Total 36 100.0 100.0
Jarak Jamban dengan Septic Tank 10-15 m
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 18 50.0 50.0 50.0
Ya 18 50.0 50.0 100.0
Total 36 100.0 100.0
Terdapat Persediaan Air di Sekitar Jamban
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 2 5.6 5.6 5.6
Ya 34 94.4 94.4 100.0
Total 36 100.0 100.0
B36_TidakBau
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 0 7 19.4 19.4 19.4
Jamban Tidak Berbau
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 7 19.4 19.4 19.4
Ya 29 80.6 80.6 100.0
Total 36 100.0 100.0
Jamban Tidak Ada Genangan Air
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 15 41.7 41.7 41.7
Ya 21 58.3 58.3 100.0
Total 36 100.0 100.0
Lantai Jamban Tidak Licin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 18 50.0 50.0 50.0
Ya 18 50.0 50.0 100.0
Total 36 100.0 100.0
Terdapat Persediaan Sabun di Dekat Jamban
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 9 25.0 25.0 25.0
Ya 27 75.0 75.0 100.0
Total 36 100.0 100.0
Kondisi Jamban
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Buruk 18 50.0 50.0 50.0
Baik 18 50.0 50.0 100.0
Total 36 100.0 100.0
Terdapat SPAL di Rumah Responden
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 15 41.7 41.7 41.7
Ya 21 58.3 58.3 100.0
Total 36 100.0 100.0
SPAL dalam Keadaan Tertutup
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 20 55.6 55.6 55.6
Ya 16 44.4 44.4 100.0
Total 36 100.0 100.0
SPAL Kedap Air
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 19 52.8 52.8 52.8
Ya 17 47.2 47.2 100.0
Total 36 100.0 100.0
SPAL Mengalir Lancar
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 18 50.0 50.0 50.0
Ya 18 50.0 50.0 100.0
Total 36 100.0 100.0
Kondisi SPAL
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Buruk 20 55.6 55.6 55.6
Baik 16 44.4 44.4 100.0
Total 36 100.0 100.0
Telah dilakukan Lantainisasi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 14 38.9 38.9 38.9
Ya 22 61.1 61.1 100.0
Total 36 100.0 100.0
Lantai Kedap Air
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 14 38.9 38.9 38.9
Ya 22 61.1 61.1 100.0
Total 36 100.0 100.0
Lantai Mudah Dibersihkan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 13 36.1 36.1 36.1
Ya 23 63.9 63.9 100.0
Total 36 100.0 100.0
Lantai Bersih
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 11 30.6 30.6 30.6
Ya 25 69.4 69.4 100.0
Total 36 100.0 100.0
Lantai_median
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Buruk 20 55.6 55.6 55.6
Baik 16 44.4 44.4 100.0
Total 36 100.0 100.0
Ada TPS di Rumah Responden
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ya 36 100.0 100.0 100.0
TPS dalam Keadaan Tertutup
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 18 50.0 50.0 50.0
Ya 18 50.0 50.0 100.0
Total 36 100.0 100.0
Terdapat Sampah Berserakan di Sekitar TPS
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ya 21 58.3 58.3 58.3
Tidak 15 41,7 41,7 100.0
Total 36 100.0 100.0
Kondisi TPS
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Buruk 27 75.0 75.0 75.0
Baik 9 25.0 25.0 100.0
Total 36 100.0 100.0
Hasil Uji Bivariat
1. Kebersihan Kuku
Crosstab
Infeksi Kecacingan
Total Positif Negatif
Kebersihan
Kuku
Buruk Count 7 9 16
Expected Count 3.6 12.4 16.0
% within B1_Kuku 43.8% 56.2% 100.0%
Baik Count 1 19 20
Expected Count 4.4 15.6 20.0
% within B1_Kuku 5.0% 95.0% 100.0%
Total Count 8 28 36
Expected Count 8.0 28.0 36.0
% within B1_Kuku 22.2% 77.8% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 7.722a 1 .005
Continuity Correctionb 5.643 1 .018
Likelihood Ratio 8.268 1 .004
Fisher's Exact Test .012 .008
Linear-by-Linear Association 7.508 1 .006
N of Valid Casesb 36
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.56.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for B1_Kuku
(TMS / MS) 14.778 1.573 138.864
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Positif
8.750 1.197 63.978
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Negatif
.592 .380 .923
N of Valid Cases 36
2. Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Makan
Crosstab
Infeksi Kecacingan
Total Positif Negatif
Kebiasaan Cuci
Tangan Sebelum
Makan
1 Count 6 8 14
Expected Count 3.1 10.9 14.0
% within
CTPSMakan_recode 42.9% 57.1% 100.0%
2 Count 2 20 22
Expected Count 4.9 17.1 22.0
% within
CTPSMakan_recode 9.1% 90.9% 100.0%
Total Count 8 28 36
Expected Count 8.0 28.0 36.0
% within
CTPSMakan_recode 22.2% 77.8% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.644a 1 .018
Continuity Correctionb 3.859 1 .049
Likelihood Ratio 5.613 1 .018
Fisher's Exact Test .036 .026
Linear-by-Linear Association 5.487 1 .019
N of Valid Casesb 36
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.11.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
CTPSMakan_recode (1 / 2) 7.500 1.242 45.287
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Positif
4.714 1.102 20.163
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Negatif
.629 .392 1.008
N of Valid Cases 36
3. Kebiasaan Cuci Tangan Setelah BAB
Crosstab
C1_InfeksiKecacingan
Total Positif Negatif
Kebiasaan Cuci
Tangan Setelah BAB
1 Count 3 11 14
Expected Count 3.1 10.9 14.0
% within CTPSBAB_recode 21.4% 78.6% 100.0%
2 Count 5 17 22
Expected Count 4.9 17.1 22.0
% within CTPSBAB_recode 22.7% 77.3% 100.0%
Total Count 8 28 36
Expected Count 8.0 28.0 36.0
% within CTPSBAB_recode 22.2% 77.8% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .008a 1 .927
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .008 1 .927
Fisher's Exact Test 1.000 .631
Linear-by-Linear Association .008 1 .928
N of Valid Casesb 36
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.11.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
CTPSBAB_recode (1 / 2) .927 .184 4.685
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Positif
.943 .266 3.340
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Negatif
1.017 .713 1.450
N of Valid Cases 36
4. Kebiasaan BAB Sembarangan
Crosstab
Infeksi Kecacingan
Total Positif Negatif
Kebiasaan BAB
Sembarangan
1 Count 2 2 4
Expected Count .9 3.1 4.0
% within BABS_recode 50.0% 50.0% 100.0%
2 Count 6 26 32
Expected Count 7.1 24.9 32.0
% within BABS_recode 18.8% 81.2% 100.0%
Total Count 8 28 36
Expected Count 8.0 28.0 36.0
% within BABS_recode 22.2% 77.8% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 2.009a 1 .156
Continuity Correctionb .608 1 .436
Likelihood Ratio 1.709 1 .191
Fisher's Exact Test .207 .207
Linear-by-Linear Association 1.953 1 .162
N of Valid Casesb 36
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .89.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
BABS_recode (1 / 2) 4.333 .504 37.261
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Positif
2.667 .790 9.003
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Negatif
.615 .228 1.663
N of Valid Cases 36
5. Kebiasaan Mengonsumsi Jajanan Tidak Tertutup
Crosstab
Infeksi Kecacingan
Total Positif Negatif
Kebiasaan
Mengonsumsi
Jajanan Tidak
Tertutup
1 Count 2 11 13
Expected Count 2.9 10.1 13.0
% within Jajan_recode 15.4% 84.6% 100.0%
2 Count 6 17 23
Expected Count 5.1 17.9 23.0
% within Jajan_recode 26.1% 73.9% 100.0%
Total Count 8 28 36
Expected Count 8.0 28.0 36.0
% within Jajan_recode 22.2% 77.8% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .550a 1 .458
Continuity Correctionb .105 1 .746
Likelihood Ratio .574 1 .449
Fisher's Exact Test .682 .382
Linear-by-Linear Association .535 1 .464
N of Valid Casesb 36
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.89.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Jajan_recode
(1 / 2) .515 .088 3.027
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Positif
.590 .139 2.511
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Negatif
1.145 .818 1.601
N of Valid Cases 36
6. Kebiasaan Menggunakan Alas Kaki
Crosstab
Infeksi Kecacingan
Total Positif Negatif
Kebiasaan
Menggunakan Alas
1 Count 3 8 11
Expected Count 2.4 8.6 11.0
Kaki % within AlasKaki_recode 27.3% 72.7% 100.0%
2 Count 5 20 25
Expected Count 5.6 19.4 25.0
% within AlasKaki_recode 20.0% 80.0% 100.0%
Total Count 8 28 36
Expected Count 8.0 28.0 36.0
% within AlasKaki_recode 22.2% 77.8% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .234a 1 .629
Continuity Correctionb .002 1 .961
Likelihood Ratio .228 1 .633
Fisher's Exact Test .678 .468
Linear-by-Linear Association .227 1 .634
N of Valid Casesb 36
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.44.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
AlasKaki_recode (1 / 2) 1.500 .288 7.807
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Positif
1.364 .393 4.728
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Negatif
.909 .602 1.372
N of Valid Cases 36
7. Sarana Air Bersih
Crosstab
Infeksi Kecacingan
Total Positif Negatif
Sarana Air
Bersih
1 Count 7 17 24
Expected Count 5.3 18.7 24.0
% within SAB_median 29.2% 70.8% 100.0%
2 Count 1 11 12
Expected Count 2.7 9.3 12.0
% within SAB_median 8.3% 91.7% 100.0%
Total Count 8 28 36
Expected Count 8.0 28.0 36.0
% within SAB_median 22.2% 77.8% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 2.009a 1 .156
Continuity Correctionb .984 1 .321
Likelihood Ratio 2.280 1 .131
Fisher's Exact Test .224 .162
Linear-by-Linear Association 1.953 1 .162
N of Valid Casesb 36
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.67.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for SAB_median
(1 / 2) 4.529 .488 42.052
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Positif
3.500 .485 25.283
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Negatif
.773 .568 1.052
N of Valid Cases 36
8. Kondisi Jamban
Crosstab
Infeksi Kecacingan
Total Positif Negatif
Kondisi Jamban 1 Count 7 11 18
Expected Count 4.0 14.0 18.0
% within Jamban_median 38.9% 61.1% 100.0%
2 Count 1 17 18
Expected Count 4.0 14.0 18.0
% within Jamban_median 5.6% 94.4% 100.0%
Total Count 8 28 36
Expected Count 8.0 28.0 36.0
% within Jamban_median 22.2% 77.8% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.786a 1 .016
Continuity Correctionb 4.018 1 .045
Likelihood Ratio 6.358 1 .012
Fisher's Exact Test .041 .020
Linear-by-Linear Association 5.625 1 .018
N of Valid Casesb 36
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
Jamban_median (1 / 2) 10.818 1.165 100.439
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Positif
7.000 .956 51.251
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Negatif
.647 .440 .951
N of Valid Cases 36
9. Kondisi SPAL
Crosstab
Infeksi Kecacingan
Total Positif Negatif
Kondisi SPAL 1 Count 7 13 20
Expected Count 4.4 15.6 20.0
% within SPAL_Median 35.0% 65.0% 100.0%
2 Count 1 15 16
Expected Count 3.6 12.4 16.0
% within SPAL_Median 6.2% 93.8% 100.0%
Total Count 8 28 36
Expected Count 8.0 28.0 36.0
% within SPAL_Median 22.2% 77.8% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 4.251a 1 .039
Continuity Correctionb 2.750 1 .097
Likelihood Ratio 4.760 1 .029
Fisher's Exact Test .053 .045
Linear-by-Linear Association 4.133 1 .042
N of Valid Casesb 36
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.56.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
SPAL_Median (1 / 2) 8.077 .875 74.592
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Positif
5.600 .766 40.946
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Negatif
.693 .491 .980
N of Valid Cases 36
10. Kondisi Lantai
Crosstab
Infeksi Kecacingan
Total Positif Negatif
Kondisi Lantai 1 Count 6 14 20
Expected Count 4.4 15.6 20.0
% within Lantai_median 30.0% 70.0% 100.0%
2 Count 2 14 16
Expected Count 3.6 12.4 16.0
% within Lantai_median 12.5% 87.5% 100.0%
Total Count 8 28 36
Expected Count 8.0 28.0 36.0
% within Lantai_median 22.2% 77.8% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 1.575a 1 .209
Continuity Correctionb .725 1 .394
Likelihood Ratio 1.648 1 .199
Fisher's Exact Test .257 .199
Linear-by-Linear Association 1.531 1 .216
N of Valid Casesb 36
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.56.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
Lantai_median (1 / 2) 3.000 .514 17.498
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Positif
2.400 .558 10.324
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Negatif
.800 .569 1.126
N of Valid Cases 36
11. Kondisi TPS
Crosstab
Infeksi Kecacingan
Total Positif Negatif
Kondisi TPS 1 Count 7 20 27
Expected Count 6.0 21.0 27.0
% within TPS_Median 25.9% 74.1% 100.0%
2 Count 1 8 9
Expected Count 2.0 7.0 9.0
% within TPS_Median 11.1% 88.9% 100.0%
Total Count 8 28 36
Expected Count 8.0 28.0 36.0
% within TPS_Median 22.2% 77.8% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .857a 1 .355
Continuity Correctionb .214 1 .643
Likelihood Ratio .957 1 .328
Fisher's Exact Test .648 .337
Linear-by-Linear Association .833 1 .361
N of Valid Casesb 36
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for TPS_Median
(1 / 2) 2.800 .295 26.566
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Positif
2.333 .330 16.479
For cohort
C1_InfeksiKecacingan =
Negatif
.833 .604 1.149
N of Valid Cases 36
Lampiran 4