hubungan radiologi konvensional dengan patofisiologi osteomielitis
DESCRIPTION
tabel hubungan radiologi-patologi pd osteomielitisTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Osteomielitis merupakan proses inflamasi yang ditandai dengan destruksi pada tulang
yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Infeksi dapat terbatas pada satu bagian tulang
maupun menyebar ke berbagai area, seperti susmsum tulang korteks, periosteum, dan jaringan
lunak sekitar tulang.1
Insidensi osteomielitis di Amerika Serikat yaitu 1: 5000 orang, dan 1 : 1000 usia bayi.
Insidensi pertahun pada pasien sickle cell berkisar 0,36%. Prevalensi osteomielitis setelah
adanya trauma pada kaki bisa meningkat yaitu 16% dan 30-40% pasien diabetes, dan jika
dibandingkan antara laki-laki dan perempuan kira-kira 2:1. Angka kematian akibat osteomielitis
rendah, biasanya disebabkan sepsis atau kondisi medis serius yang menyertai.2
Berdasarkan data epidemiologis global mengenai osteomielitis sangat bervariasi, den-
gan insidensi tertinggi pada negara-negara berkembang. Distribusi usia penderita osteomielitis
yaitu pada dewasa usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 50 tahun.12 Di Indonesia osteomieli-
tis masih merupakan masalah. Terapi osteomielitis yang memerlukan waktu lama dan biaya
tinggi disertai dengan pengertian mengenai pengobatan yang belum baik dan tingkat higienis
yang masih rendah, diduga berhubungan erat dengan kejadian osteomielitis di Indonesia.
Selain itu, angka kejadian tuberkulosis masih tinggi yang tinggi di Indonesia juga tu-
rut mempengaruhi kejadian osteomielitis pada penderita tuberkulosis. Insidensi spondilitis tu-
berkulosa bervariasi di seluruh dunia danbiasanya berhubungan dengan kualitas fasilitas
pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di Negara tersebut. Spondili-
tis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan
sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih meru-
pakan masalah utama.20 Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondili-
tis tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab pal-
ing sering untuk kondisi paraplegia nontraumatik.21
Penyebab lainnya yaitu kejadian fraktur terbuka yang datang terlambat dan sudah ter-
jadi osteomielitis. Akibat keterlambatan diagnosis umumnya berakhir dengan osteomielitis kro-
nis dimana membutuhkan penanganan yang lebih lanjut.
Osteomielitis pada fase akut hingga kronis memiliki karakteristik pencitraan radiologi
tersendiri.3 Pemeriksaan radiografi konvensional dapat menegakkan diagnosis osteomielitis un-
tuk selanjutnya dilakukan penanganan yang tepat sehingga mengurangi risiko destruksi tulang
yang lebih lanjut.4
3
Berdasarkan fakta tersebut, pencitraan radiologi berperan penting sebagai alat bantu
diagnostik kasus osteomielitis sekaligus alat uji pemantauan hasil terapi. Berbagai modalitas
pencitraan radiologi dapat digunakan dalam keperluan diagnostik osteomielitis. Radiografi kon-
vensional lebih terjangkau secara ekonomi dan tersedia di banyak fasilitas kesehatan di Indone-
sia, sehingga merupakan pilihan modalitas awal pada diagnosis osteomielitis. Oleh sebab itu,
pemahaman mengenai hubungan patofisiologi osteomielitis dengan gambaran radiologinya
menjadi penting dalam memberikan gambaran awal mengenai anatomi tulang serta kondisi pa-
tologi dari tulang serta jaringan lunak disekitarnya.5
BAB II
TINJAUAN ANATOMI DAN FISIOLOGI TULANG
Tulang, atau jaringan osseosa, adalah jaringan ikat yang membentuk kerangka
vertebra. Jaringan ini tersusun atas sel-sel, komponen matriks organik, mineral anorganik, dan
air. Tulang memiliki mekanisme untuk tumbuh dan berubah bentuk serta ukuran menyesuaikan
dengan stressor yang berbeda-beda sepanjang hidup manusia.
2.1. Anatomi Tulang
2.1.1. Arsitektur Tulang
Seperti jaringan penyambung atau penyokong yang lain, tulang terdiri atas sel
dan matriks ekstrasel. Sel tulang terdiri atas sel osteoprogenitor, osteoblast, osteosit dan
osteoklas. Sementara matriks ekstrasel tersusun atas komponen organik (sekitar 40%) dan
garam anorganik (sekitar 60%). Komponen matriks organik yang utama adalah serat
4
kolagen tipe I. Selain kolagen, unsur organik lainnya yaitu proteoglikan, glikoprotein,
fosfolipid dan bermacam-macam faktor pertumbuhan seperti osteocalcin, osteonectin, and
sialoprotein. Komponen matriks anorganik merupakan bahan mineral yang sebagian besar
terdiri dari kalsium dan fosfat dalam bentuk kristal-kristal hidroksiapatit. Kristal –kristal
tersebut tersusun sepanjang serabut kolagen. Bahan mineral lain yaitu ion sitrat, karbonat,
magnesium, natrium, dan potassium.5
Berdasarkan susunan serat-serat kolagennya, jaringan tulang dibagi lagi ke dalam
dua tipe: tulang woven/anyaman/immatur dan tulang lamellar/matur5, yang diilustrasikan
pada gambar 2.1.
Tulang imatur/ woven terdiri dari serat-serat kolagen yang tersusun secara
tidak beraturan, dengan sel-sel oasteoblast dan osteoprogenitor. Tulang ini disebut juga
tulang primitif, merupakan struktur tulang utama pada masa embrio. Namun dapat pula
ditemukan pada daerah dimana terjadi proses remodeling seperti pada fraktur tulang,
osteosarkoma, beberapa tumor tulang. Dengan demikian tulang jenis ini jika ditemukan
pada dewasa berhubungan dengan proses patogis.
Pada tulang matur di orang dewasa, berkas kolagen tersusun teratur membentuk
lamella tulang yang sejajar dan kosentris terhadap saluran vaskuler. Pada bagian korteks
tulang, lamella-lamella tersusun teratur mengelilingi saluran pembuluh yang
menutrisinya, saluran Havers, sehingga membentuk susunan kosentris berlapis-lapis (5-15
lamella) yang disebut sistem havers atau osteon. Kanalikuli pada satu sistem havers
berhubungan langsung dengan saluran haversnya dan tidak terhubung sistem
disebelahnya. Saluran-saluran havers dihubungkan satu dengan yang lain, dan dengan
pembuluh-pembuluh di periosteum melalui saluran Volkmanns yang tegak lurus terhadap
sumbu panjang tulang. Pada sekitar periosteum dan endosteum terdapat lamella-lamella
tulang tersusun sejajar dengan permukaan dan melingkar terhadap sumbu panjang tulang,
yang disebur lamellar circumferential luar dan dalam. Kanalikuli pada lamella ini
berhubungan langsung dengan periosteum dan endosteum.
5
Gambar 2.1 Diagram tulang imatur/woven dan tulang matur/lamellar
(Safadi F F, et al. Bone Structure, Development and bone biology.In: Bone Pathology 2nd Ed. New York. Springer. 2009. p:1-50)
Sementara itu struktur internal dari tulang, baik tulang panjang maupun pendek,
terbagi atas struktur tulang yang padat dibagian luar dari tulang yang disebut tulang
kompak atau korteks tulang. Struktur ini diperkuat dengan bagian dalam yang membentuk
jalinan tulang-tulang trabekular yang berjalan sejajar maupun tegak lurus terhadap bentuk
tulang. Keseluruhan struktur ini disebut sebagai komposit dan merupakan komponen
utama dalam mempertahankan kekuatan tulang. Struktur internal ini terlihat jelas pada
potongan sagital tulang panjang pada Gambar 2.2.
Tulang kompak atau korteks yang berstruktur keras namun relatif tipis, berperan
sebagai “cangkang” bagi struktur tulang didalamnya. Tulang kompak memiliki sedikit
rongga dan lebih banyak mengandung kapur (Calsium Phosfat dan Calsium Carbonat)
sehingga padat. Pada tulang matur, korteks tersusun atas tulang-tulang lamellar, yang
didalamnya terdapat system Havers dan kanalis Volkmanns. Untuk lebih jelas mengenai
struktur korteks dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Di sebelah dalam dari korteks terdapat tulang trabekular atau dengan nama lain
tulang spongiosa atau tulang cancellous, yang tersusun dari spikula-spikula dan trabekula
tulang yang diantaranya terdapat rongga sumsum yang mengandung unsur hematopoietic
dan lemak. Trabekula tulang membentuk suatu jaringan yang memungkinkan untuk
dilewati oleh pembuluh-pembuluh darah yang menutrisi tulang serta efek ringan pada
tulang.
Setiap tulang, kecuali bagian sendi, diselubungi oleh jaringan ikat khusus yaitu
periosteum, Periosteum terbagi dalam dua lapisan yang tidak berbatas jelas. Lapisan luar
merupakan jaringan ikat padat fibrosa, mengandung pembuluh saraf dan pembuluh darah
yang memberi nutrisi pada tulang. Lapisan dalam tersusun atas jaringan ikat longgar,
sedikit unsur kolagen yang memasuki tulang sebagai serat Sharpey yang berkontribusi
6
dalam perlekatan periosteum pada tulang. Gambaran serat sharpeys pada periosteum
terlihat pada Gambar 2.4. Pada dewasa lapisan dalam periosteum ini mengandung sel
osteoprogenitor yang berperan dalam pembentukan dan perbaikan tulang. Serupa dengan
periosteum, endosteum merupakan lapisan yang berada diantara tulang kompak/korteks
dan tulang spongiosa
Gambar 2.2 Tulang panjang orang dewasa.
(Safadi F F, Khurana J S. Bone Structure and Function. In: Diagnostic Imaging of Musculoskeletal Diseases. New York. Springer. 2010. p:1-13)
Gambar 2.3 Diagram tulang kompak/korteks tulang
(Safadi F F, et al. Bone Structure, Development and bone biology.
In: Bone Pathology 2nd Ed. New York. Springer. 2009. p:1-50)
7
Gambar 2.4 Diagram serat sharpey’s sebagai lanjutan langsung serat periosteum(Bullough P G. Normal Skeletal Structure and Development.
In: Orthopaedic Pathology 5 th Ed. Missouri. Mosby, Inc. 2010. p:1-39)
Berdasarkan bentuk morfologinya, tulang dapat dikategorikan menjadi tulang
panjang, tulang pendek, tulang pipih, tulang tidak beraturan, dan tulang sessamoid.
Tulang panjang berbentuk bulat, memanjang, bagian tengahnya berlubang,
seperti pipa. Di bagian dalam ujungnya terdapat sum-sum tulang berfungsi untuk
pembentukan sel darah merah. Tulang panjang terdiri atas tiga bagian, yaitu kedua ujung
yang bersendian (epifisis), bagian tengah (diafisis), dan bagian transisional diantaranya
(metafisis, selanjutmya pembagian ini dapat dilihat pada gambar 2.6 . Pada anak-
anak, dimana tulang masih mengalami pertumbuhan, epifisis dan diafisis berasal dari
pusat osifikasi yang dipisahkan oleh selapis tulang rawan, disebut sebagai cakra epifisis.
Sedangkan pada orang dewasa, cakra epifisis berupa tulang keras yang menyebabkan
epifisis dan diafisisnya menyatu, sehingga tidak lagi mengalami pertumbuhan. Sebagai
contoh: Tulang femur, tibia, ulna, dan radius.
Tulang pendek bentuknya bulat dan pendek (ruas tulang). Didalamnya juga
terdapat sumsum berfungsi untuk pembuatan sel darah merah dan sel darah putih. Sebagai
contoh tulang pendek adalah seperti pada tulang-tulang karpal, tarsal. Tulang sessamoid
sebenarnya merupakan subtype dari tulang pendek yang berada pada daerah sekitar
tendon. Contoh tulang sessamoid yaitu tulang patella, pisiforn
Tulang ini berbentuk pipih, terdiri atas lempengan tulang kompak dan tulang
spongiosa. Didalamnya terdapat sumsum merah yang berfungsi untuk pembuatan sel
darah merah dan sel darah putih. Contoh tulang pipih yaitu tulang tengkorak, sternum,
scapula.
Disebut tulang tidak beraturan demikian karena bentuknya yang tidak memiliki
bentuk yang spesifik. Sebagai contoh tulang jenis ini yaitu yang terlihat seperti pada
tulang vertebra, ethmoid.
8
Gambar 2.5 Diagram tulang panjang(F F. Safadi, et al. Bone Structure, Development and bone Biology. In: Bone Pathology, 2nd Edition. Springer. New York. 2009. p.1-50)
2.1.2. Vaskularisasi Tulang
Tulang merupakan jaringan yang kaya akan vaskularisasi yaitu sekitar 10-20%
cardiac output. Sirkulasi darah pada tulang berperan penting dalam menutrisi jaringan-jaringan
tulang, sekaligus mensirkulasikan sel-sel darah dari sumsum tulang ke seluruh tubuh. Karena
berada dalam rongga yang tertutup didalam tulang, maka pembuluh-pembuluh darah harus
selalu dalam kondisi tekanan intraoseous yang konstan. Tekanan intraoseous ini dipengaruhi
oleh kecepatan aliran darah dalam tulang. Pada saat terjadi kenaikan aliran darah akibat
hipervaskularisasi, sebagai contohnya pada proses inflamasi dimana dapat terjadi peningkatan
tekanan intraoseous. Regulasi kecepatan aliran darah merupakan peranan distensibilitas
pembuluh darah melalui proses vasodilatasi-vasokonstriksi pembuluh yang dipengaruhi oleh
jaras simpatis dan parasimpatis.6
Pada tulang panjang, pembuluh-pembuluh darah arteri yang kaya oksigen yang
memasuki tulang terbagi dalam enam grup arteri yang saling berhubungan satu sama lain dan
dinamai sesuai lokasi penetrasi ke tulang (Gambar 2.6). yaitu terbagi atas dua arteri diafisis atau
arteri nutrient, arteri metafisis superior dan inferior, arteri epifisi superior dan inferior, dan
pembuluh-pembuluh darah periosteum.yang saling beranastomosis. Selanjutnya, pembuluh
darah vena intraoseous terdiri dari sinus sentral yang besar disepanjang diafisis. Aliran dari
sinus kemudian menuju vena-vena yang parallel terhadap arterinya yaitu vena metafisis, vena
epifisis, vena sentromedular, dan vena nutrient, seperti yang terlihat pada Gambar 2.7.
Pembuluh-pembuluh vena ini kemudian keluar dari tulang melewati korteks dan menuju cabang
pembuluh vena besar sekitar tulang tersebut.6
9
Gambar 2.6 Diagram pembuluh darah arteri tulang panjang
(Laroche M. Intraosseous Circulation From Physiology to Disease. Joint Bone Spine. Vol 69. pp262-269. 2002)
Gambar 2.7 Diagram pembuluh darah vena tulang panjang
(Laroche M. Intraosseous Circulation From Physiology to Disease. Joint Bone Spine. Vol 69. pp262-269. 2002)
.
10
Sementara tulang pendek dan tulang pipih memiliki pembuluh darah superficial pada
periosteum dan ada pula yang berasal dari percabangan arteri nutrient besar yang menembus
langsung ke rongga medulla. Kedua arteri ini beranastomosis secara bebas di dalam tulang.5
Selain pembuluh darah dan limfa, pada tulang juga terdapat persarafan. Saraf
periosteal merupakan saraf sensoris yang menghantarkan rangsang nyeri. Oleh karena itu
periosteum sensitif terhadap trauma maupun tekanan. Pada saluran Havers terdapat saraf
vasomotor yang mengatur konstriksi dan dilatasi pembuluh darah. Tulang juga dipersarafi oleh
saraf-saraf simpatis. 5
2.1.3. Remodelling Tulang
2.1.3.1. Sel-sel Tulang
Remodeling tulang sangat penting dalam mempertahankan integritas struktur
tulang. Proses ini melibatkan koordinasi bermacam sel untuk memastikan proses resoprsi
tulang dan formasi tulang terjadi secara simultan pada lokasi tertentu. Sel-sel yang terlibat
dalam proses ini adalah sel oteoprogenitor, osteoblas, osteosit, dan osteoklas.
Sel Osteoprogenitor ini merupakan sel mesenkim yang memiliki kemampuan
untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel osteoblas, chondroblas, sel stromal,
sesuai dengan stimulus yang diterima oleh sel osteoprogenitor tersebut. Sel ini banyak
ditemukan pada lapisan periosteum, endosteum, batas kanalis Havers dan Volkmanns.
Sel osteoblas berasal dari sel ostoprogenitor, berbentuk kuboid atau kolumnar.
Osteoblas merupakan sel yang mengekspresikan reseptor hormone parathyroid (PTH) dan
berperan penting dalam pembentukan faktor-faktor osteoklastogenik dan protein-protein
matriks tulang serta mineralisasi tulang. Osteoblast menghasilkan reseptor nuclear factor
kappa B (RANK) ligan yang berperan penting dalam diferensiasi osteoklas. Osteoblas
menghasilkan pula kolagen tipe 1 dan protein lain seperti osteocalcin, osteopontin,
sialoprotein tulang, dan osteonectin. Hal lain yang juga dihasilkan oleh sel ini yaitu
cytokine, colony-stimulating factor (CSF) (contoh:IL-6, IL-11), serta substansi lain
seperti, transforming growth factor (TGF-β), bone morphogenetic protein (BMPs), dan
lain-lain.
Osteoklas merupakan sel berukuran besar dan berinti banyak, sekitar 3-25
nukleus. Sel ini banyak ditemukan pada matrik tulang yang mengalami resorpsi di dalam
rongga yang disebut lacuna Howship. Pada mikrograf elektron, permukaan osteoklas yang
menghadap matriks tulang memiliki banyak tonjolan sitoplasma disebut sebagai ruffled border.
Pada kondisi patologi tertentu dimana terjadi disfungsi osteoklas atau setelah proses resorpsi,
gambaran ruffled border menghilang. Osteoklas menghasilkan koalgenase dan enzim proteolitik
yang menyebabkan matriks tulang melepaskan substansi dasar yang mengapur.
Osteosit adalah sel tulang matur yang ditemukan dalam jumlah besar (sebesar 90-95%
sel tulang) di dalam lapisan matriks tulang yang telah mengalami mineralisasi. Di dalam matriks
tulang, osteosit terletak di dalam lakuna dan memiliki juluran-juluran sitoplasma di dalam
kanalikuli yang menghubungkan osteosit yang satu dengan yang lainnya serta dengan kapiler
darah. Sel ini terlibat dalam proses signaling
2.1.3.2. Proses Remodelling Tulang
Proses remodeling terjadi sebagai respons dari adanya tekanan mekanik terhadap
tulang maupun akibat reaksi sistemik (contoh: PTH). Tekanan mekanik yang merusak
tulang merangsang apoptosis osteosit, yang selanjutnya menurunkan TGFβ dan
memungkinkan terjadinya osteoclastogenesis. Sementara PTH berperan dalam
homeostasis kalsium. Ketika PTH berikatan dengan reseptornya pada permukaan
osteoblas untuk mengaktifasi jalur kalsium intrasel, hal ini juga menginduksi diferensiasi
dan aktivasi osteoklas sehingga terjadi resorpsi tulang.
Proses resorpsi tulang dimediasi oleh osteoklas. Setelah osteoklas terbentuk dan
teraktivasi, pompa proton pada ruffled border menghasilkan ion-ion hidrogen yang
menciptakan lingkungan ekstrasel yang asam. Selanjutnya, lisosom menghasilkan enzim-enzim
proteolitik dan bersama dengan lingkungan asam pada ektrasel merupakan kondisi optimal
untuk resorpsi tulang dan degradasi kolagen di dalam area yang dinamakan lakuna resorpsi
Howship.
Setelah proses resorpsi, pada lakuna Howship terdapat banyak sisa-sisa kolagen
matriks tulang. Suatu sel berinti satu, disebut sel reversal, kemudian bertugas membuang sisa-
sisa kolagen tersebut dan mempersiapkan permukaan tulang untuk selanjutnya terjadi proses
formasi tulang. Mengenai sel reversal ini belum banyak data yang dapat menjelaskan asalnya,
namun diduga berasal dari sel mesenkim yang melapisi tulang.
Tekanan mekanik dan PTH menghambat ekskresi sklerostin oleh osteosit yang
selanjutnya menghasilkan signal formasi tulang. Proses formasi tulang adalah peranan dari
osteoblas dan mediator kemotaktik osteoblas, termasuk diantaranya TGFβ, PDGF A dan B.
Setelah sel mesenkim berada di lakuna resorpsi, sel-sel tersebut berdiferensiasi dan
menghasilkan molekul-molekul tulang baru. Ketika tulang yang di resorpsi telah diganti tulang
baru, maka proses remodelling dihentikan, namun mekanismenya masih belum diketahui.
Proses resorpsi tulang dan formasi tulang terjadi secara seimbang yang diregulasi oleh
suatu proses yang dinamakan coupling. Walaupun coupling belum diketahui secara luas, namun
glikoprotein 130 diduga terlibat dalam induksi sitokin-sitokin osteoklastogenik maupun
osteoblastogenik. Mekanisme lain yang menjelaskan proses coupling yaitu pembentukan IGF I
dan II serta TGFβ, sebagai faktor stimulasi osteoblas, yang terjadi pada proses resorpsi.8
Gambar 2.8 Skema proses remodeling tulang(www.umich.edu di akses tanggal 20 Maret 2013)
BAB III
PATOFISIOLOGI OSTEOMIELITIS
DAN HUBUNGANNYA DENGAN GAMBARAN RADIOLOGI KONVESIONAL
3.1 Patofisiologi
Ketika membahas patogenesis dan patofisiologi osteomielitis, ada dua populasi yang
sangat berbeda yaitu anak dan dewasa. Pada anak, jalur infeksi utama adalah secara hematogen,
yaitu sekitar 90-95% kejadian osteomielitis. Sementara pada dewasa, sebanyak 85-90% os-
teomielitis pada dewasa berasal dari penetrasi langsung dari infeksi kulit dan fasia subkutan.
Pada dewasa yang terinfeksi secara hematogen adalah pada populasi tertentu seperti penyalah-
guna obat intravena maupun pasien dengan bakterial endokarditis dimana terdaopat inokulasi
bakteri intravaskular dalam jumlah besar.
Selain berbeda dalam jalur infeksi, kedua populasi ini pun memiliki perbedaan pada
area tulang yang terinfeksi. Pada anak yang penyebarannya secara hematogen maka area yang
paling sering terlibat adalah area tulang yang mengalami pertumbuhan pesat namun aliran darah
rendah, atau dengan kata lain pada subfiseal metafisis pada tulang femur (27%), tibia (22%),
dan humerus (12%).
Sementara itu, osteomielitis pada dewasa terjadi pada area dimana ulkus kulit sering
terjadi, yaitu pada bagian tubuh yang rentan terhadap trauma dan aliran darah yang buruk. Seba-
gai contohnya, osteomielitis dapat melibatkan kaki pada pasien dengan diabetes mellitus atau
daerah panggul pada pasien dengan paraplegia. Seperti yang telah diduga sebelumnya, keke-
balan system imun pasien meningkatkan risiko terjadinya osteomielitis. Kondisi tersebut antara
lain: diabetes mellitus, penyakit sickle cell, penderita AIDS, penyalahguna obat intravena, alco-
holisme, penyakit sendi kronik, penggunaan steroid jangka panjang, pemakaian prosthetic orto-
pedi, pembedahan ortopedi dan fraktur terbuka. 2,17
3.2 Gambaran Radiologi Konvensional
Pemeriksaan radiografi konvensional atau foto polos radiologi merupakan modalitas
awal untuk evaluasi osteomielitis, dimana berperan dalam memberikan gambaran awal anatomi
dan kondisi patologi dari tulang dan jaringan lunak disekitarnya. Selain itu, pemeriksaan foto
polos radiologi juga dapat membantu mengeksklusi diagnosis diferensial maupun kondisi patol-
ogis lain yang menjadi penyebabnya.
Gambaran osteomielitis akut pada foto polos radiologi berupa perubahan berupa
edema jaringan lunak sekitar tulang. Sementara perubahan pada tulang berupa destruksi struk-
tur tulang baru dapat terlihat pada foto polos sekitar 7-21 hari setelah onset infeksi. Pada umum-
nya, lesi berukuran minimal 1 cm dan melibatkan 30-50% dari struktur tulang baru akan menun-
jukkan perubahan pada foto polos.
1.2.1. Osteomielitis Pada Anak2,8
Mekanisme utama osteomielitis pada anak adalah secara hematogen. Daerah metafisis
tulang merupakan area predileksi karena pada area ini pembuluh arteri berkelok dan men-
galirkan darah menuju sinus (Gambar 3.1). Keadaan ini menyebabkan kecepatan aliran darah
yang lambat sehingga dapat menjadi tempat berakumulasinya bakteri patogen. Selain itu, ke-
mampuan fagosit dan fungsi RES menurun pada area loop pembuluh darah tersebut sehingga
menjadikannya rentan terjadi infeksi. Bakteri dapat melewati celah endotel pembuluh darah
menuju jaringan tulang, dimana selanjunya bakteri tersebut dapat berikatan dengan unsur-unsur
matriks tulang. Bakteri, seperti S. aureus memiliki kemampuan untuk menempel dan menembus
sel osteoblas namun tetap hidup dan berkembang di dalamnya. Osteoblas yang terinfeksi bakteri
selanjutnya menginduksi sekresi tumor necrosis factor apoptosis inducing ligand (TRAIL) yang
selanjutnya menyebabkan apoptosis osteoblas dan menghambat diferensiasi osteoblas. Proses
ini diikuti dengan peningkatan ekspresi RANKL yang berperan dalam differensiasi osteoklas
dan berparan dalam induksi resorpsi tulang yang berakibat pada destruksi tulang. Fenomena ini
akan memberikan gambaran osteolitik pada foto polos radiologi.
Tulang yang mengalami destruksi kemudian menghasilkan perubahan biomekanik
serta reaksi reduksi/oksidasi disekitar area infeksi tulang yang kemudian merangsang aktivasi
osteoblas yang tidak terinfeksi dan formasi tulang baru. Fenomena ini dapat terlihat jelas pada
foto polos radiologi sebagai area sklerosis.
Pada pemberian terapi yang tidak adekuat, infeksi dapat menyebar melalui kanalis
Volkmanns dan sistem Havers. Pada anak, periosteum melekat secara renggang terhadap tulang
jika dibandingkan dengan periosteum pada dewasa. Keadaan ini memungkinkan penyebaran in-
feksi ke area subperiosteum, yang menyebabkan akumulasi infiltrate (nanah) dan destruksi ko-
rteks tulang. Korteks tulang yang mengalami destruksi mengakibatkan formastulang periosteal
atau disebut reaksi periosteal. Jika infeksi bersifat agresif, maka akan menyebabkan destruksi
pada bagian sentral dari tulang baru periosteal membentuk gambaran triangular yang disebut
Codman triangle.
Gambar 3.1 Skema sirkulasi pada metafisis sebagai predileksi osteomielitis
(P G Bullough. Bone and Joint Infection. In: Orthopaedic Pathology 5 th Ed. Missouri. Mosby, Inc. 2010. p:109-139)
Gambar 3.2 Proyeksi AP dan Lateral dari lutut pasien osteomielitis anak
(Pineda C, et al. Radiographic Imaging in Osteomyelitis: The Role of Plain Radiography, Computed To-mography, Ultrasonography, Magnetic Resonance Imaging, and Scintigraphy. Seminar in Plastic Surgery.
Vol 23:2. 2009)
Tulang yang mengalami destruksi kemudian menghasilkan perubahan biomekanik
serta reaksi reduksi/oksidasi disekitar area infeksi tulang yang kemudian merangsang aktivasi
osteoblas yang tidak terinfeksi dan formasi tulang baru. Fenomena ini dapat terlihat jelas pada
foto polos radiologi sebagai area sklerosis.
Pada pemberian terapi yang tidak adekuat, infeksi dapat menyebar melalui kanalis
Volkmanns dan sistem Havers. Pada anak, periosteum melekat secara renggang terhadap tulang
jika dibandingkan dengan periosteum pada dewasa. Keadaan ini memungkinkan penyebaran in-
feksi ke area subperiosteum, yang menyebabkan akumulasi infiltrate (nanah) dan destruksi ko-
rteks tulang. Korteks tulang yang mengalami destruksi mengakibatkan formasi tulang periosteal
atau disebut reaksi periosteal (Gambar 3.3). Jika infeksi bersifat agresif, maka akan menye-
babkan destruksi pada bagian sentral dari tulang baru periosteal membentuk gambaran triangu-
lar yang disebut Codman triangle (Gambar 3.7).
Gambar 3.3 Proyeksi AP pada kaki pasien anak usia 13 bulan dengan osteomielitis akut
(Khan S H M, Bloem J L. Radiologic-Pathologic Correlation of Bone Infection. In: Radiologic-Pathologic Correlation from Head to Toe. 2005. Springer. New York. p647-659)
Pada proses infeksi kronis, akan terbentuk selubung tulang baru periosteal yang mengelilingi
tulang yang mengalami infeksi dan memberikan gambaran involukrum. Selanjutnya, jalur yang dile-
wati oleh agen infeksi menuju daerah subperiosteal akan membesar dan membentuk hubungan lang-
sung antara rongga medulla dengan jaringan lunak sekitar tulang. Gambaran ini pada foto polos radi-
ologi dikenal sebagai kloaka. Gambaran involukrum dan kloaka pada radiologi konvensional terlihat
jelas pada Gambar 3.6.
Proses infeksi dan respons inflamasi yang terus berlanjut akan meningkatkan tekanan di-
dalam jaringan tulang yang menyebabkan penurunan aliran darah balik vena dan infark tulang. Hal ini
menyebabkan terbentuknya fragmen jaringan tulang yang mati didalam jaringan tulang yang terinfeksi
atau disebut juga sequestrum. Gambaran sekuestrum terlihat pada Gambar 3.5. Keberadaan sequestra
menjadi penting untuk diketahui karena akan menentukan penanganan selanjutnya.
Gambar 3.4 Diagram proses osteomielitis kronis
(D P Lew, F A Waldvogel. Osteomyelitis. 2004 Avalaible from: www.thelancet.com Vol 364)
1.2.2. Osteomielitis pada Dewasa2,8
Proses osteomielitis pada dewasa terjadi akibat infeksi eksogen, misalnya akibat fraktur ter-
buka atau pasca tindakan bedah. Gambaran radiografi konvensional pada osteomielits dewasa
menyerupai gambaran pada anak. Namun pada dewasa perlekatan periosteum dan tulang yang sangat
erat, maka penyebaran infeksi subperiosteal jarang ditemukan.
18
Serupa dengan proses pada anak, osteomielitis kronis pada dewasa juga dapat ditemukan
proses sklerotik yang besar disertai area destruksi tulang. Gambaran sequestrum (Gambar 3.5), Cod-
mans triangle, kloaka dan involukrum juga dapat ditemukan melalui proses yang sama.
Gambar 3.5 Proyeksi Lateral Lutut: kronik osteomielitis pada pria 42 tahun
(S H M Khan, J L Bloem. Radiologic-Pathologic Correlation of Bone Infection. In:Radiologic-Pathologic Correlation from Head to Toe. Springer. New York. 2005. p647-659)
Gambar 3.6 Proksimal humerus proyeksi AP pada pasien osteomielitis
(W R Reinus. Imaging Approach to Musculoskeletal Infections. In: Diagnostic Imaging of Muscu-loskeletal Diseases.. Springer. New York. 2010. p363-405.)
19
Gambar 3.7 Digiti III proyeksi PA dan oblik pada pasien osteomielitis akut.
(W R Reinus. Imaging Approach to Musculoskeletal Infections. In: Diagnostic Imaging of Mus-culoskeletal Diseases.. Springer. New York. 2010. p363-405.)
1.2.3. Abses Brodie
Umumnya, tubuh akan melakukan lokalisasi tulang yang terinfeksi pada area tertentu
untuk mencegah penyebaran infeksi. Hal ini mengakibatkan terbentuknya abses di dalam
rongga medulla tulang.2
Abses Brodie awalnya ditemukan oleh Brodie pada tahun 1832, merupakan bentuk
lokal osteomielitis subakut, dan sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Insiden tertinggi
(sekitar 40%) pada dekade kedua. Lebih dari 75% kasus terjadi pada pasien laki-laki. 18 Lokasi
abses sering ditemukan pada metafisis dari tibia atau tulang paha, dan memberikan gambaran
pada foto polos radiologi berupa area lusen yang dikelilingi oleh tepi sklerotik. 3
Gambar 3.7 Abses Brodie(M S Patel, F Gaillard, et al. Osteomielisis. Di akses pada 21 Maret 2013. Available from:
http://radiopaedia.org/articles/osteomyelitis)
Tabel 3.3 Hubungan Gambaran Radiologi Dengan Perubahan Patologis
(Resnick D, Nawayama G. Osteomyelitis, septic arthritis and soft tissue infection: mechanisms and situations. In: Diagnosis of Bone and Joint Disorders 3rd ed. Philadelphia. WB Saunders.
1995. p:2325-2418).
DAFTAR PUSTAKA
1. Lew DP, Waldvogel FA. Osteomyelitis. Avalaible from: www.thelancet.com Vol 364.
2004
2. King RW. Osteomyelitis, 2009. Available at http://www.emedicine.com. [diakses 26 Maret
2013]
3. Reinus WR. Imaging Approach to Musculoskeletal Infections. In: Diagnostic Imaging of
Musculoskeletal Diseases.. New York. Springer. 2010. p363-405.
4. Khan SHM, Bloem JL. Radiologic-Pathologic Correlation of Bone Infection. In: Radio-
logic-Pathologic Correlation from Head to Toe. New York. Springer. 2005. p647-659
5. Pineda C, et al. Radiographic Imaging in Osteomyelitis: The Role of Plain Radiography,
Computed Tomography, Ultrasonography, Magnetic Resonance Imaging, and Scintigra-
phy. Seminar in Plastic Surgery. Vol 23:2. 2009
6. Safadi FF, et al. Bone Structure, Development and bone biology. In: Bone Pathology
2nd Ed. New York. Springer. 2009. p:1-50
7. Laroche M. Intraosseous Circulation From Physiology to Disease. Joint Bone Spine.
Vol 69. pp262-269. 2002
8. Safadi FF, Khurana JS. Bone Structure and Function. In: Diagnostic Imaging of Mus -
culoskeletal Diseases. New York. Springer. 2010. p:1-13
9. P G Bullough. Normal Skeletal Structure and Development. In: Orthopaedic Pathol -
ogy 5th Ed. Missouri. Mosby, Inc. 2010. p:1-39
10. Raggatt LJ, Patridge NC. Celular and Molecular Mechanisms of Bone Remodelling. The
Journal of Biological Chemistry. Vol 285:33. 2010.
11. Resnick D, Niwayama G. Osteomyelitis, septic arthritis,and soft tissue infection: mecha-
nisms and situations. In: Diagnosis of bone and joint disorders. Philadelphia. Saunders.
2004. pp 2354–2418
12. Jaramillo D. Infection: Musculoskeletal. Pediatric radiol. Vol 41. pp:8127-8134. 2011
13. Steer AC, Carapetis JR. Acute hematogenous osteomyelitis in children: recognition and
management.. Paediatric Drugs. Vol 6. pp:333–346. 2004
14. Zink B. Bone and joint infections. In: Rosen’s Emergency Medicine: Concepts and Clinical
Practice. NewYork. Mosby. 2006
15. Vaudaux HM, Pittet PE, et al. Fibronectin, fibrinogen, and laminin act as mediators of ad-
herence of clinical staphylococcal isolates to foreign material. J Infect Dis Vol:158.
pp:693–701. 1988
16. Lew DP, Waldvogel FA. Osteomyelitis. N Engl J Med Vol:336. pp:999–1007. 1997
17. Cierny G, Mader JT, Pennick JJ. A clinical staging system for adult osteomyelitis. Con-
temp Orthop. Vol:10. p:17-37. 1985
18. Rasjad C., Infeksi dan Inflamasi. Dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi 3. Jakarta.
Yarsif Watampone. 2007. p132- 41
19. Greenspan A. Orthopedic Radiology: A Practical Approach, 3rd ed. Philadelphia. Lippin-
cott Williams & Wilkins. 2000.
20. Craig, M. Pott’s Disease: Tuberculous Spondylitis. 2009. Available at:
www.med.un c.edu/3.30.09CraigPott'sDz.pdf Diakses tanggal 26 Maret 2013
21. Lee, MC. Instrumentation in Patients With Spinal Infection: Discussion. 2004. Available
at: http://www .medscape.com/viewarticle/496404_4 . Diaksestanggal 26 Maret 2013