hubungan self-forgiveness dengan psychological well-being...

34
HUBUNGAN SELF-FORGIVENESS DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA EKS SEMINARIS SEMINARI TINGGI ANGKATAN 2007-2011 OLEH ROCKY LEO SILALAHI 802011127 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016

Upload: duongkiet

Post on 12-Mar-2019

301 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

HUBUNGAN SELF-FORGIVENESS DENGAN PSYCHOLOGICAL

WELL-BEING PADA EKS SEMINARIS SEMINARI TINGGI

ANGKATAN 2007-2011

OLEH

ROCKY LEO SILALAHI

802011127

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk

Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2016

Page 2: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam
Page 3: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam
Page 4: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam
Page 5: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam
Page 6: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam
Page 7: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

HUBUNGAN SELF-FORGIVENESS DENGAN PSYCHOLOGICAL

WELL-BEING PADA EKS SEMINARIS SEMINARI TINGGI

ANGKATAN 2007-2011

Rocky Leo Silalahi

Berta Esti Ari Prasetya

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2016

Page 8: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

i

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara self-

forgiveness dengan psychological well-being pada Eks Seminaris Seminari Tinggi

Angkatan 2007-2011. Sebanyak 38 orang diambil sebagai sampel yang dilakukan

dengan menggunakan teknik sampel snow ball. Metode penelitian yang dipakai dalam

pengumpulan data yakni dengan metode skala, yaitu Heartland Forgiveness Scale dan

skala Psychological Well-Being. Teknik analisis data yang digunakan untuk melihat

hubungan antar variabel menggunakan analasis korelasi Pearson Product Moment. Dari

hasil analisis data diperoleh hasil koefisien korelasi r = 0,925 dengan signifikansi

sebesar 0,000 (p < 0,05) yang berarti terdapat hubungan positif yang signifikan antara

self-forgiveness dengan psychological well-being pada eks seminaris seminari tinggi

angkatan 2007-2011.

Kata Kunci: self-forgiveness, psychological well-being

Page 9: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

ii

Abstract

This research is aimed at knowing the significant relationship between self-forgiveness

and psychological well-being in Ex-Seminarian of High Seminary batch 2007-2011.

Thirty eight people were taken as the sample which was done by using snow ball sample

technique. The method used in this research is the scale method, which is Heartland

Forgiveness-Scale and Psychological Well-Being Scale. Data analysis technique used

to see the correlation of the variable uses Pearson Product-Moment correlation

analysis. From the data analysis obtained that the result of coefficient correlation r =

0,925 with the significance ammount 0,000 (p < 0,05) which means there is a positive

correlation between self-forgiveness and psychological well-being in ex-seminarian of

high seminary batch 2007-2011.

Keywords: self-forgiveness, psychological well-being

Page 10: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

1

PENDAHULUAN

Perjalanan hidup mempunyai banyak jalan dan pilihan masing-masing. Setiap

pribadi memilih peranan masing-masing sesuai dengan keinginan, bakat dan niatnya.

Gereja Katolik memiliki makna atau pandangan sendiri mengenai perjalanan hidup

setiap orang beriman. Pandangan ini disebut dengan panggilan. Dalam bahasa Inggris

panggilan disebut vocation yang berasal dari kata Latin vocare yang berarti

“memanggil” (Lonsdale dalam yesaya.indocell.net). Dalam iman Kristiani, Tuhan

memanggil semua umatnya untuk mengambil bagian dalam pelayanan Kristiani, tetapi

Tuhan memanggil sebagian dari umat-Nya untuk mengabdikan diri secara istimewa

sebagai imam, biarawan dan biarawati. Dalam pengabdian diri menjadi imam, biarawan

dan biarawati memiliki tempat pembinaan yang disebut dengan seminari.

Ponomban (2005) dalam artikelnya menjelaskan bahwa seminari berasal dari

kata Latin yakni semen yang berarti benih atau bibit. Di samping itu, seminari juga

berasal dari kata Latin seminarium yang berarti tempat pembibitan, tempat persamaian

benih-benih sehingga seminari merupakan sebuah tempat yang di dalamnya terdiri dari

sebuah sekolah yang sekaligus asrama: tempat belajar dan tempat tinggal dimana benih-

benih panggilan menjadi imam dan biarawan yang dimiliki oleh anak-anak muda

disemaikan secara khusus untuk jangka waktu tertentu dengan tata cara hidup yang

khas, dengan bantuan para staf pengajar dan pembina, yang biasanya terdiri dari para

imam/biarawan dan awam juga tentunya memiliki peranan sebagai pengajar. Anak-anak

muda yang tinggal dalam seminari disebut dengan seminaris.

Salah satu yang menjadi ciri khas seminari adalah bahwa sekolah tersebut hanya

menerima siswa laki-laki dan diwajibkan untuk tinggal di asrama. Seperti yang ditulis

dalam Pedoman Calon Imam di Indonesia (2001), siswa yang sekolah di Seminari

Page 11: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

2

Menengah harus menempuh pendidikan selama 4 tahun. Ponomban (2005)

menambahkan bahwa seminari tinggi merupakan jenjang pembinaan terakhir dari para

calon imam sesudah mereka melalui atau mengikuti pendidikan di Seminari Menengah

dan Seminari Tahun Orientasi Rohani (TOR) atau sering disebut masa novis. Biasanya

pendidikan yang ditempuh di sini selama enam tahun kuliah ditambah satu tahun

praktek Tahun Orientasi Pastoral. Di Indonesia terdapat 31 Seminari Menengah, 3 Kelas

Persiapan Atas, 12 Tahun Orientasi Rohani, dan 13 Seminari Tinggi.

Seminari bertujuan untuk mengajarkan para seminaris untuk hidup sebagai

pelayan sesama umat manusia dan memiliki perilaku moral yang lebih tinggi

dibandingkan jemaat biasa sehingga para seminaris tidak diperbolehkan untuk menikah

(Pedoman Pembinaan Calon Imam, 2001). Di samping itu, dalam hal pendidikan di

seminari tuntutan yang diberikan kepada seminaris memiliki perbedaan dibandingkan

tuntutan yang diberikan kepada siswa-siswa pada umumnya (Liestyani, 2007). Tuntutan

yang dialami oleh seminaris tidak hanya menguasai pengetahuan saja, namun juga

dituntut untuk menjalankan tiga bidang hidup pokok yang harus ditaati yaitu hidup

rohani, hidup studi, dan hidup komunitas (Pedoman Pembinaan Calon Imam, 2001).

Salah satu teks Kitab Suci (KS) yang menjadi patokan dalam proses menanggapi

panggilan untuk menjadi imam atau biarawan/biarawati pada Seminaris adalah “Banyak

yang dipanggil, sedikit yang dipilih” (Matius 22:14). Simbolon (2015) menuliskan di

dalam artikelnya, bahwa ayat KS ini menegaskan bahwa Roh Kudus senantiasa

membangkitkan kesadaran dalam diri banyak pemuda. Namun, ketika mereka mau

menanggapi, belum bisa dipastikan dia akan menjadi Imam. Dalam proses pembinaan

para Calon Imamlah mereka diarahkan dan di dalam perjalanan pembinaan untuk

menjadi Imam, tidak sedikit seminaris yang keluar dari Seminari. Mereka yang keluar

Page 12: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

3

dari seminari sekurang-kurangnya telah menerima banyak ilmu, tuntutan, serta

pengalaman hidup yang diajarkan khas oleh seminari seperti yang telah dijabarkan di

atas. Oleh karena itu dengan telah diterimanya ilmu, tuntutan, serta pengalaman hidup

yang diajarkan para mantan seminari diharapkan memiliki psychological well-being

yang baik untuk menyejahterakan hidupnya dan memiliki kepuasan hidup di masa

depan.

Seseorang yang memilih untuk keluar dari seminari atau memilih untuk menjadi

seorang imam atau biarawan disebabkan oleh beberapa hal, seperti melakukan

pelanggaran dari aturan-aturan yang sudah diterapkan di Seminari atau melakukan

perbuatan yang tidak sesuai sebagai calon imam atau biarawan, tidak memperoleh nilai

studi dan kepribadian yang baik. Seorang eks seminaris memilih untuk keluar dari

Seminari atau tidak menjadi seorang imam atau biarawan karena keinginan sendiri yang

sering disebut “menarik diri” oleh kalangan seminaris. Berdasarkan pengamatan,

penelusuran, dan pengalaman penulis mengenai hidup menjadi eks seminaris atau

setelah keluar dari seminari, terdapat penilaian masyarakat awam mengenai mantan

seminari bahwa mereka dianggapsebagai orang yang gagal, tidak setia pada panggilan

hidup, tidak kuat terhadap godaan-godaan di luar seminari. Di samping itu terdapat juga

seperti harapan-harapan keluarga yang mengharapkan anak mereka untuk menjadi

seorang imam atau biarawan, namun seiring perjalanan keinginan itu tidak terwujud.

Keadaan ini mampu mengancam keadaan psychological well-being seseorang karena

sulit dalam hal penerimaan diri atau self-acceptance yang mampu menghambat atau

memperlambat pertumbuhan pribadi atau personal growth (Ryff, 1995). Melalui hasil

wawancara kepada salah satu mantan Seminari Menengah Christus Sacerdos yang

sudah menjalani kehidupan di dalamnya selama empat tahun mengenai bagaimana

Page 13: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

4

perasaan dan keadaan dirinya setelah keluar dari seminari/biara. Ia sejak kelas tiga SD

memiliki keinginan dan mimpi untuk menjadi imam (pastor). Kemudian dia menjalani

pendidikandi Seminari Menengah selama empat tahun tanpa kesulitan dan kemudian

memilih untuk melanjutkan perjalanan “panggilannya” dengan bergabung di Ordo

Kapusin. Di sini ia menjalani pendidikan hampir setahun kemudian ia keluar dari ordo.

Setelah ia keluar dan berdasarkan hasil wawancara, ia mengatakan bahwa iamengalami

kehilangan arah dan tujuan hidup dan pernah berpikir untuk mengakhiri hidupnya

setelah keluar dari seminari/biara dan memiliki kesulitan dalam hal berelasi dengan

orang lain, ia kerap merasakan emosi-emosi negatif pada dirinya dan orang lain.

Fenomena yang terjadi pada mantan Seminaris ini merujuk pada kondisi terganggunya

psychological well-being di dalam dirinya

Konsep mengenai psychological well-being (PWB) secara teoritis didasarkan

dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam psikologi perkembangan klinis dan

dewasa. Teori ini menekankan potensi individu untuk kehidupan yang bermakna dan

realisasi diri dalam menghadapi tantangan (Keyes, Shmotkin, & Ryff, 2002). Ryff,

Keyes, dan Shmotkin (2002) lebih lanjut mengungkapkan bahwa psychological well-

being menunjukkan arti pemenuhan diri dari potensi manusia. Dalam hal ini individu

yang memiliki psychological well-being yang tinggi memiliki perasaan senang,

memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, merasa puas dengan kehidupan dan

sebagainya.

Ryff (1989) menambahkan bahwa psychological well-being adalah suatu kondisi

seseorang yang bukan hanya bebas dari tekanan atau masalah-masalah mental saja,

tetapi lebih dari itu yaitu a) kondisi seseorang yang mempunyai kemampuan menerima

diri sendiri maupun kehidupannya di masa lalu (self-acceptance), b) pengembangan

Page 14: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

5

atau pertumbuhan diri (personal growth) yang ditandai dengan perasaan dan mampu

melewati tahap-tahap perkembangan, terbuka terhadap pengalaman baru serta

menyadari setiap potensi yang ada di dalam dirinya dan melakukan perbaikan pada diri

setiap waktu. Kemudiankondisi lainnya ialah c) keyakinan bahwa hidupnya bermakna

dan memiliki tujuan (purpose in life)yang merupakan dimensi yang mengacu pada

kemampuan individu untuk mencapai tujuan hidup dan memiliki target yang ingin

dicapai dalam kehidupan dan dengan dengan memiliki perubahan tujuan menjadi lebih

produktif dan kreatif,d) kapasitasuntuk mengatur kehidupannya dan lingkungannya

secara efektif (enviromental mastery)merupakan kondisi yang menggambarkan adanya

suatu perasaan yang kompetendan penguasaan mengatur lingkungan, memiliki minat

yang kuat terhadap hal-hal di luar diri, dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas, serta

mampu mengendalikannya, e) hubungan positif dengan orang lain (positive relation

with others) adalah salah satu dimensi psychological well-being yang ditandai dengan

memiliki perasaan empati dan kasih sayang pada orang lain, saling percaya dengan

orang lain, serta memiliki hubungan persahabatan yang lebih dalam, f) kemampuan

untuk menentukan tindakan sendiri (autonomy) yang dijelaskan oleh Ryff menjelaskan

bahwa pribadi yang mandiri adalah pribadi yang dapat menentukan yang terbaik untuk

dirinya sendiri yang berarti individu tersebut berfungsi sepenuhnya seperti memiliki

evaluasi pribadi terhadap diri, dimana individu tersebut mampu menolak tekanan sosial

untuk berpikiri dan bertingkah laku dengan cara tertentu, di samping itu juga ia tidak

mudah setuju pada orang lain serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar

pribadi.

Ryff dan kawan-kawan (dalam Rahayu, 2008) mengemukakan faktor-faktor

yang memengaruhi psychological well-being seseorangyaitu faktor demografis seperti

Page 15: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

6

faktor usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan budaya. Menurut Davis (dalam

Rahayu, 2008), individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat

psychological well-being yang tinggi. Hal ini merupakan faktor kedua yang dimana

diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian, pengharapan, atau pertolongan yang

dipersepsikan oleh seorang individu yang didapat dari orang lain atau kelompok. Faktor

ketiga yang memengaruhi PWB seseorang ialah evaluasi terhadap pengalaman hidup.

Hal ini dikemukakan oleh Ryff (1989) bahwa pengalaman hidup tertentu dapat

memengaruhi kondisi psychological well-being seorang individu. Faktor ke empat ialah

Locus of Control (LOC) yang didefinisikan sebagai suatu ukuran harapan umum

seseorang mengenai pengendalian (kontrol) terhadap penguatan (reinforcement) yang

mengikuti perilaku tertentu (Rotter, dalam Rahayu). Faktor kelima ialah religiusitas.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Levin (Chatters & Taylor, dalam Rahayu)

ditemukan beberapa hal yang menunjukkan fungsi psikososial dari agama, yaitu doa

dapat berperan penting sebagai coping dalam menghadapi masalah pribadi, kemudian

partisipasi aktif dalam kegiatan keagamaan dapat berdampak pada persepsi rasa

penguasaan lingkungan dan meningkatkan self-esteem, dan selanjutnya keterlibatan

religius merupakan prediktor evaluasi kepuasan hidup.

Lyubomirsky, King & Diener (2005)menjelaskan bahwa individu yang tinggi

atau memiliki PWB yang baik memberi efek seperti menunjukkan fleksibilitas yang

lebih dan originalitas dalam berinteraksi terhadap orang lain, menanggapi dengan lebih

baik terhadap saran yang kurang baik, memberikan penilaian yang lebih positif tentang

orang lain, menunjukkan level atau kualitas yang lebih dalam sebuah keterlibatan, dan

lebih produktif.Sumule (2008) dalam penelitian yang dilakukan, menunjukkan individu

yang rendah dalam PWB merupakan individu yang tidak puas dengan diri sendiri,

Page 16: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

7

kecewa pada kehidupan masa lalu, merasa khawatir dengan kualitas-kualitas pribadi

tertentu, memiliki sedikit hubungan yang dekat, sulit untuk bersikap hangat dan terbuka

serta khawatir tentang orang lain, hidup bergantung terhadap penilaian orang lain untuk

membuat keputusan penting, merasa kesulitan dalam mengatur urusan sehari-hari,

merasa tidak mampu untuk merubah atau meningkatkan konteks di sekitarnya, kurang

memiliki kontrol terhadap dunia eksternal, kurang memiliki rasa arti dalam hidup, serta

tidak memiliki harapan atau kepercayaan yang memberikan arti hidup. Dari efek atau

pengaruh-pengaruh dari individu yang rendah dalam PWB perlu dicapai psychological

well-being yang baik. Salah satu cara yang perlu dilakukan ialah melalui self-

forgiveness.

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa betapa pentingnya self-

forgiveness sebagai salah satu syarat untuk sehat secara mental (Terzino, 2010). Mauger

(dalam Terzino, 2010) menemukan sebuah hubungan yang positif antara ketiadaan self-

forgiveness dan depresi dan kecemasan. Aloysius (2013) dalam artikelnya juga

menambahkan mengenai perkembangan riset mengenai forgiveness yang menunjukkan

bahwa memaafkan memiliki fungsi-fungsi yang jauh lebih adaptif dalam relasi

interpersonal dan sosial daripada menghindar dan membalas dendam. Memaafkan

dianggap mampu mereduksi respons-respons negatif terhadap suatu pelanggaran;

maupun sebaliknya, memaafkan memperbesar peluang berkembangnya respons positif

dalam diri seseorang dalam menghadapi transgresi yang dialaminya. Forgiveness atau

memaafkan tidak mengandaikan bahwa transgressor bertanggungjawab secara personal

atas perbuatannya. Dengan demikian dalam memaafkan terdapat komponen-komponen

afektif, kognitif, dan keperilakuan (behavioral) dan merupakan mekanisme atau strategi

koping yang tidak lepas dari motivasi. Hal ini sejalan dengan apa yang telah menjadi

Page 17: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

8

konsep psychological well-being yang dijelaskan dalam dimensi-dimensinya, seperti

self-acceptance, yang dimana ditandai dengan kemampuan penerimaan diri yang

mengandung arti positif terhadap diri sendiri seperti mengenali dan menerima aspek

positif dan negatif di dalam diri, serta memiliki pandangan yang positif terhadap masa

lalunya. Di samping itu dimensi PWB yang sejalan dengan konsep yang dijelaskan di

atas ialah autonomy yakni individu yang otonom merupakan pribadi yang dapat

menentukan yang terbaik untuk dirinya sendiri, dan juga orang yang berfungsi yang

digambarkan memiliki evaluasi terhadap diri. Hal ini merupakan implikasi dari konsep

memaafkan yang dimana tetap mengandalkan bahwa transgressor bertanggungjawab

secara personal atas perbuatannya. Di samping itu juga komponen-komponen

memaafkan seperti afektif, kognitif dan behavioral juga merupakan implikasi dan

sebagai pemenuhan terhadap self-acceptance dalam dimensi psychological well-being.

Self-forgiveness merupakan sebuah konsep sebagai sebuah strategi coping yang

dapat meningkatkan kesehatan dan psychological well-being (Davis, dkk. 2015).

Enright (dalam Worthington, 2005) mendefinisikan pemaafan pada diri sendiri adalah

sebagai bentuk kesediaan untuk melepaskan rasa kebencian diri sendiri dan mengakui

bahwa dirinya bersalah, sekaligus menumbuhkan rasa belas kasihan, kemurahan hati

dan cinta terhadap diri sendiri. Pemaafan merupakan sebagai suatu perubahan motivasi

dimana seseorang merasakan penurunan motivasi untuk menghindari rangsangan yang

berhubungan dengan pelanggaran terhadap dirinya sendiri dan semakin menurun

motivasi untuk membalas terhadap diri sendiri (misalnya: menghukum diri sendiri,

terlibat dalam perilaku merusak diri sendiri, dan lain-lain) dan semakin termotivasi

untuk bertindak murah hati terhadap diri sendiri. Hall & Fincham (2003) berpendapat

bahwa pemaafan sebagai suatu perubahan motivasi dimana seseorang merasakan

Page 18: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

9

penurunan motivasi untuk menghindari rangsangan yang berhubungan dengan

pelanggaran terhadap dirinya sendiri dan semakin menurun motivasi untuk membalas

terhadap diri sendiri dan semakin termotivasi untuk bertindak murah hati terhadap diri

sendiri.

Enright (1996) berpendapat bahwa terdapat tiga aspek dalam self-forgiveness.

Aspek yang pertama ialah aspek menghindar. Aspek ini merupakan aspek yang

melibatkan motivasi untuk menghindari korban dan pikiran-pikiran, perasaan-perasaan,

serta situasi yang terkait dengan pelanggaran. Aspek yang kedua dalam self-forgiveness

melibatkan beberapa faktor, seperti membuat perbaikan yang berkelanjutan dan

menyelesaikan masalah, serta tidak bersedia melakukan kesalahan itu lagi. Aspek yang

terakhir ialah berdamai dengan diri sendiri. Aspek ini merupakan aspek yang paling

penting dalam pemaafan.Thompson, Snyder, Hoffmann, Michael, et al. (2005)

mendefinisikan pemaafan merupakan sebuah konsep atau metode menanggapi

transgresi atau pelanggaran yang dimana individu mengubah respon negative mereka

dan mengatasi disonansi dan tekanan yang dibarengi peristiwa hidup yang negative.

Mauger (dalam Thompson, 2005) menambahkan bahwa pemaafan diri merupakan aspek

yang paling berkaitan dengan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan

kemarahan.

Menurut Thompson dan kawan-kawan (2005) memaafkan atau pemaafan

memiliki tiga aspek yaitu kognitif, emosi, dan kemudian perilaku yang diperlukan untuk

mengubah transgresi atau pelanggaran sehingga respon mereka terhadap pelanggaran

tidak lagi respon yang negative. Thompson juga menambahkan bahwa memaafkan

memiliki dua komponen, yakni valence (valensi) dan strength (intensitas). Valensi

Page 19: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

10

mengacu pada apakah pikiran, perasaan, atau perilaku bersifat negative, netral, atau

positif. Sedangkan strength mengacu pada intensitas dan campur tangan dari pikiran,

perasaan, atau perilaku, dan hal ini dapat bervariasi hasilnya. Individu yang memaafkan

bisa mengubah respon negative yang disebabkan oleh transgresi dengan mengubah

valensi dari negative menjadi netral atau positif dan bisa dengan mengubah keduanya,

valensi dan strength dari respon.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hanna (2012) terkait manfaat self-

forgiveness pada well-being yang dilakukan pada 61 orang partisipan yang telah

menyelesaikan program intervensi psiko-edukasi di London, UK. Partisipan dalam

penelitian ini merupakan mantan pengguna zat kimia dengan riwayat gangguan

pengguna alkohol dan obat-obatan jenis lainnya yang termotivasi untuk meningkatkan

kualitas subjektif hidup. Hasil dalam penelitian ini ditemukan bahwa terdapat hubungan

antara tingkat disposisonal self-forgiveness dan hasil well-being yang meningkat.

Melihat fenomena dan hasil penelitian yang ada maka penulis ingin melakukan

penelitian lebih lanjut mengenai self-forgiveness dan psychological well-being (PWB).

Alasan penulis memilih judul ini karena sejauh pengamatan penulis, penelitian ini tidak

banyak dilakukan terutama pada eks Seminaris sehingga penulis tertarik untuk meneliti

secara langsung ”Hubungan self-forgiveness dengan psychological well-being (PWB)

pada Eks-Seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-2011”.

Berangkat dari latar belakang yang sudah dipaparkan sebelumnya, dalam hal ini

penulis mencoba merumuskan masalah yang akan menjadi fokus penulisan, yakni:

Adakah hubungan yang signifikan antara self-forgiveness dengan psychological well-

being (PWB) pada Eks-Seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-2011? Adapun

Page 20: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

11

tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui signifikansi hubungan antara self-

forgiveness dengan psychological well-being (PWB) pada Eks-Seminaris Seminari

Tinggi Angkatan 2007-2011.

Penelitian ini berusaha untuk mengukur hubungan antara self-forgiveness dan

psychlogical well-being pada eks-seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-2011,

sehingga apakah self-forgiveness eks-seminaris berkorelasi dengan psychological well-

being seseorang untuk meningkatkan kesejahteraan hidup seseorang.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

a. H0: Tidak ada hubungan positif dan signifikan antara self-forgiveness dengan

psychological well-being eks-seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-

2011.

b. H1: Ada hubungan positif dan signifikan antara self-forgiveness dengan

psychological well-beingeks-seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-

2011.

METODE PENELITIAN

Populasi dan Sampel

Populasi dari penelitian ini adalah eks-seminaris Seminari Tinggi Angkatan

2007-2011 yang pernah menempuh pendidikan postulan, novisiat, dan pendidikan

filsafat. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah snow

ballyaitu teknik penentuan sampel yang dilakukan secara berantai dilakukan secara

berantai dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai atau dihubungi

Page 21: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

12

sebelumnya, demikian seterusnya (Poerwandari, 2007) hingga peneliti menganggap

bahwa jumlah sampel dipandang memadai. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh Eks Seminari Tinggi. Sedangkan sampel yang diambil dalam penelitian ini

merupakan mantan seminaris seminari tinggi angkatan 2007-2011 yang telah yang

pernah melanjutkan pendidikan Tahun Rohani dan Pendidikan Tinggi Filsafat dan

Teologi.

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain studi

korelasional. Studi korelasional bertujuan mengkaji hubungan antara variabel dan

memprediksikan nilai dari satu variabel pada variabel lainnya. Variabel merupakan

karakteristik atau fenomena yang dapat berbeda di antara organisme, situasi, atau

lingkungan (Christensen, 2001). Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah

1. Variabel bebas yakni self-forgiveness.

2. Variabel terikat yakni psycological well-being.

Instrumen Pengambilan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan skala pengukuran

psikologi, yang terdiri dari 2 skala, yaitu skala Pemafaan diri dari Heartland(Heartland

Forgiveness Scale/HFS)dan skala PWB. Item dalam skala-skala tersebut

dikelompokkan dalam pernyataan favorable dan unfavorable dengan menggunakan 4

alternatif jawaban dari skala Likert yang telah dimodifikasi yaitu, Sangat Sesuai (SS),

Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pernyataan

favorableSTS=1, TS=2, S=3, SS=4 sedangkanPernyataanunfavorableSTS=4, TS=3,

S=2, SS=1

Page 22: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

13

Skor individu pada skala sikap, yang merupakan skor sikapnya, adalah jumlah skor

dari keseluruhan pernyataan yang ada dalam skala. Keseluruhan data diperoleh dari

skala psikologi yang telah dibagikan kepada subjek.

1. Teknik pengumpulan data variabel self-forgiveness digunakan dengan

menggunakan kuesioner. Kuesioner yang diberikan adalah Skala Pemaafan

Heartland(Heartland Forgiveness Scale/HFS) merupakan kueseioner self-

report yang mengukur dispositional forgiveness, yaitu kecenderungan umum

untuk memaafkan terhadap diri, orang lain, dan situasi di luar kendali

seseorang seperti bencana alam atau penyakit. HFS dibuat berdasarkan

definisi forgiveness dan model forgiveness yang merupakan

kerangka/susunan dari transgresi yang dirasakan sehingga respons terhadap

transgresor, transgresi, dan gejala sisa dari transgresi diubah dari respon

negative menjadi respon yang netral atau respon yang positif (Thompson et

al., 2005). Dalam penelitian ini penulis mengukur self forgiveness

menggunakan 6 item HFS yang berfokus pada pemaafan terhadap diri atau

forgiveness of self. Menurut Azwar (2012) jika koefisien alfa dari itemtotal

correation berada di atas 0,3 maka sudah bisa dikatakan baik.Berdasarkan

pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas Skala Pemaafan diri yang

terdiri dari 6 item yang memiliki koefisien korelasi item totalnya bergerak

antara 0,233-0,591.Sedangkan teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas

adalah menggunakan teknik koefisien Alpha Cronbach, sehingga dihasilkan

koefisien Alpha pada Skalapemaafan dirisebesar 0,665. Koefisien ini

dikartagorikan dalam reliable yang cukup (Azwar, 1997). Hal ini berarti

Skala Pemaafan diri mempunyaireliabilitas yang cukup baik.

Page 23: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

14

2. Sedangkan untuk variabel psychological well-being diukur dengan

menggunakan Ryff scale of Psychological Well-Being (RPWB) milik Ryff

(1989) yang terdiri dari 42 item. Adapun item-itemnya dibuat berdasarkan 6

dimensi yaitu, self acceptance, autonomy, positive relations with others,

environmental mastery, purposive of life, dan personal growth.Perhitungan

uji seleksi item dan reliabilitas kelompok skala PWByang terdiri dari 42

item, diperoleh 11 item yang gugur, sehingga tersisa 31 item yang dapat di

gunakan setelah dua kali putaran, dengan koefisien korelasi item total

bergerak antara 0,330-0,702, dan koefisien Alpha pada kelompok skalaPWB

sebesar 0,921 yang artinya kelompok skala tersebut reliabel.

Analisis Data

Analisis korelasional adalah analisis statistik untuk mencari hubungan antara

dua buah variabel atau lebih (Creswell, 2010). Untuk melihat hubungan antar variabel

dilakukan dengan analisis korelasi PearsonProduct Moment dilakukan dengan

menggunakan program SPSS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis Deskriptif

Berikut adalah hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal, dan standar

deviasi sebagai hasil pengukuran skala Self Forgivenessdapat dilihat pada tabel di

bawah ini:

Page 24: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

15

Tabel 1.1

Kategori Self Forgiveness

Interval Kategori F % Mean SD

20,4 ≤ x ≤ 24 Sangat Tinggi 1 2, 63%

16,8684

2,08172 16,8≤ x <20,4 Tinggi 20 52, 63%

13,2≤ x <16,8 Sedang 15 39, 47%

9,6 ≤ x <13,2 Rendah 2 5,26%

6 ≤ x <9,6 Sangat Rendah 0 0%

Jumlah 38 100%

Maximum = 22

Minimum = 10

Dari tabel 1.1 di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar Eks-Seminaris memiliki

Self Forgiveness yang berada pada kategori sedang yaitu 15 orang atau sebesar 39,47 %.

Kemudian juga Eks-Seminaris yang memiliki Self Forgiveness pada kelompok yang

sangat tinggi yaitu 1 orang atau sebesar 2,63%. Lalu pada Seminaris dengan tingkat Self

Forgiveness yang tinggi yaitu 20 orang atau sebesar 52,63 %. Kemudian di tingkat Self

Forgiveness yang rendah pada seminaris sebesar 2 orang atau sebesar 5,26 %.

Sementara itu tidak ada Eks-Seminaris yang berada pada tingkat Self Forgiveness yang

sangat rendah. Skor paling rendah adalah 10, skor paling tinggi adalah 22, dan rata-

ratanya sebesar 16,8684dengan standar deviasi 2,08172.

Selanjutnya hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal, dan standar

deviasi sebagai hasil pengukuran skala PWBdapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1.2

Kategori PWB

Interval Kategori F % Mean SD

105,4 ≤ x ≤ 124 Sangat Tinggi 1 2, 63 %

86, 368

9, 7410 86,8 ≤ x <105,4 Tinggi 17 44, 73%

68, 2 ≤ x <86, 8 Sedang 18 47, 36%

49, 6 ≤ x <68, 2 Rendah 2 5,26%

31 ≤ x <49, 6 Sangat Rendah 0 0 %

Jumlah 38 100%

Maximum = 111

Minimum = 56

Page 25: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

16

Dari tabel 1.2 di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar Seminaris memiliki PWB

yang berada pada kategori sedang yaitu 18 orang atau sebesar 47,36%. Kemudian juga

Seminaris yang memiliki PWB pada kategori yang sangat tinggi yaitu 1 orang atau

sebesar 2,63%. Lalu pada Seminaris dengan PWB yang tinggi yaitu 17 orang atau

sebesar 44,73%. Kemudian di tingkat PWB yang rendah pada Seminaris sebesar 2

orang atau sebesar 5,26%. Dan yang terakhir, tidak ada seminaris yang berada dalam

kategori yang sangat rendah. Skor paling rendah adalah 56, skor paling tinggi adalah

111, dan rata-ratanya sebesar 86,368 dengan standar deviasi 9,7410.

Uji Asumsi

Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji linearitas. Uji

normalitas dapat dilihat pada tabel 1.3 di bawah ini:

Tabel Skala 1.3 Uji Normalitas

Pada Tabel Skala 1.3dapat dilihat nilai K-S-Z Self Forgivenesssebesar 1,112

dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,169(p>0,05). Sedangkan nilai K-S-Z

PWB sebesar 0,819 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,513. Dengan

demikian kedua variable berdistribusi normal.

Sementara itu, hasil uji linearitas dapat dilihat pada tabel 1.4 di bawah ini :

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

VAR00001 VAR00002

N 38 38

Normal Parametersa Mean 16.8684 86.3684

Std. Deviation 2.08172 9.74103

Most Extreme Differences Absolute .180 .133

Positive .135 .083

Negative -.180 -.133

Kolmogorov-Smirnov Z 1.112 .819

Asymp. Sig. (2-tailed) .169 .513

a. Test distribution is Normal.

Page 26: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

17

Tabel Skala 1.4 Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara

variabel bebas dengan variabel tergantung. Hubungan yang linear menggambarkan

bahwa perubahan pada variabel bebas akan cenderung diikuti oleh perubahan variabel

tergantung dengan membentuk garis linear. Uji lineritas hubungan antara Self

Forgiveness dengan PWB diperoleh nilai Fhitung sebesar 1,652dengan nilai probabilitas

sebesar 0,155 atau p> 0,05.Dari data di atas dapat dikatakan bahwa variabel Self

Forgivenessmempunyai korelasi yang linear dengan variabel PWB.

Korelasi Self Forgiveness dan Psychological Well-Being

Korelasi antara variabelSelf Forgiveness dengan variabrl PWB dapat di lihat pada tabel

di bawah ini :

Tabel Skala 1.5 Uji Korelasi

VAR00001 VAR00002

VAR00001 Pearson Correlation 1 .925

**

Sig. (1-tailed) .000

N 38 38

VAR00002 Pearson Correlation .925

** 1

Sig. (1-tailed) .000

N 38 38

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

ANOVA Table

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

VAR00002 * VAR00001

Between Groups

(Combined) 3165.463 9 351.718 28.514 .000

Linearity 3002.436 1 3002.436 243.409 .000

Deviation from Linearity

163.028 8 20.378 1.652 .155

Within Groups 345.379 28 12.335

Total 3510.842 37

Page 27: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

18

Pada Tabel 1.5 di atas dapat dilihat bahwa korelasi antara variable Self

Forgiveness dengan PWB memiliki skor pearson correlation adalah sebesar

0,925dengan signifikan antara keduanya adalah 0,000. Hal tersebut menunjukan bahwa

terdapat hubungan signifikan antara Self Forgiveness dengan PWB pada Eks Seminaris

Seminari Tinggi.

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Hubungan Self Forgiveness dengan

Psychological Well-Being (PWB)Pada Eks-Seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-

2011 dengan menggunakan program SPSS versi 16.0diperoleh hasil perhitungan

koefisien korelasi (r) sebesar 0,925 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara Self Forgiveness

dengan PWB pada Eks-Seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-2011 artinya semakin

tinggi pemaafan diri padaeks seminaris, maka semakin tinggi pula PWB eks seminaris.

Sebaliknya semakin rendah pemaafan diri pada eks seminaris, maka semakin rendah

pula PWB pada eks seminaris.

Hasil penelitian ini mendukung riset yang pernah dilakukan oleh Hanna (2012)

yang dalam penelitiannyamenuliskan bahwa terdapat hubungan antara self forgiveness

dengan psychological well-being. Hal ini sejalan dengan pendapat Terzino (2010),

bahwa self forgiveness merupakan salah satu syarat untuk sehat secara mental dan

memberikan tingkat kualitas hidup yang lebih tinggi. Sehat secara mental dan tingkat

kualitas hidup yang lebih baik merupakan implikasi dan memberikan pengaruh dan

berhubungan terhadap psychological well-being terhadap seseorang.

Page 28: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

19

Adanya korelasi antara pemaafan diri dengan PWB mungkin bisa sejalan sebagai

berikut bahwa pemaafan diri mampu menurunkan kecemasan, depresi serta kemarahan

pada diri individu sehingga membuat individu lebih sejahtera (Thompson et al, 2005).

Individu yang memiliki pemaafan diri yang baik akan mampu menerima diri dan masa

lalu yang pernah dilalui. Individu menerima rasa sakit dan rasa bersalah dari kejadian

yang pernah dialami(Wohl, Deshea, & Wahkinney, 2008). Hal ini akan mampu

meningkatkan PWB terhadap individu tersebut yang dimana kemampuan menerima diri

sendiri maupun kehidupan di masa lalu (self-acceptance) merupakan salah satu aspek

yang menunjukan kondisi PWB seseorang.Memaafkan diri dianggap mampu mereduksi

respons-respons negative terhadap suatu pelanggaran, kesalahan; maupun sebaliknya,

memaafkan memperbesar berkembangnya respons positif dalam diri seseorang terhadap

suatu pelanggaran. Hal ini menunjukkan bahwa dalam memaafkan terdapat komponen-

komponen afektif, kognitif, dan perilaku dan strategi koping yang tak lepas dari

motivasi. Dengan kemampuan memaafkan diri seperti yang dijelaskan diatas, individu

diharapkan akan mampu mengalami pengembangan atau pengembangan diri (personal

growth) yang ditandai dengan perasaan serta mampu melewati tahap-tahap

perkembangan, terbuka terhadap pengalaman baru serta melakukan perbaikan diri setiap

waktu.

Dalam penelitian ini diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa eks-seminaris

memiliki PWB tergolong sedang (dengan perolehan mean: 16,8648 dan SD: 9,7410).

Hasil ini didukung berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh penulis dari beberapa

mantan seminaris yang mengatakan bahwa keluar atau meninggalkan Biara bukan

merupakan penyesalan yang harus dijadikan sebagai bahan untuk tidak mampu

mengembangkan kualitas hidup. Mereka juga mengatakan bahwa mereka merasa lebih

Page 29: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

20

hidup dan lebih leluasa melakukan kegiatan untuk mengembangkan diri seperti kegiatan

aksi sosial, pecinta alam, dan kegiatan lain yang mereka minati yang dilakukan dengan

leluasa tanpa adanya peraturan atau batasan seperti yang mereka alami selama hidup

tinggal di Seminari/Biara. Kendala atau batasan yang dialami oleh eks-seminaris

berbeda, karena eks-seminaris berasal dari ordo atau konggregasi yang berbeda dan

memiliki peraturan dan anggaran rumah tangga yang berbeda. Di samping itu

berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang dilakukan terhadap Eks-Seminaris,

kebanyakan dari mereka merupakan orang yang berhasil dalam kehidupan di masa

mendatang.

Hasil penelitian ini memperoleh hasil yang menunjukkan bahwa eks-seminaris

Seminari Tinggi angkatan 2007-2011 memiliki Self-Forgiveness yang tergolong tinggi

(dengan perolehan mean: 16,8684 dan SD: 2,08172). Hasil yang tinggi ini didukung

oleh hasil wawancara yang diperoleh dari salah seorang partisipan yang mengatakan

bahwa kehidupan di Seminari dulu dituntut untuk kerap berefleksi, melihat ke dalam diri

atas setiap pengalaman yang pernah dilalui. Kegiatan refleksi yang mereka lakukan

biasa dituliskan di dalam buku harian dan kegiatan meditasi. Di samping itu juga Gereja

Katolik memiliki tradisi untuk mengaku kesalahan atau dosa-dosa yang sering disebut

dengan Sakramen Pengakuan Dosa. Tradisi ini kerap dilakukan selama hidup di

Seminari Tinggi hingga keluar dari Seminari. Hal ini merupakan factor yang

mendukung self-forgiveness yang tinggi pada eks-seminaris, karena dalam pengakuan

dosa dituntut keberanian untuk mengakui setiap kesalahan pada diri, terhadap sesama,

terutama kepada Tuhan dengan melakukan pemeriksaan batin dan menyadari dan

mengakui setiap kesalahan atau dosa yang diperbuat dan berjanji tidak akan melakukan

dosa atau kesalahan lagi. Hal ini sejalan dengan konsep self-forgiveness yang

Page 30: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

21

diungkapkan oleh Enrigth (dalam Worthington, 2005) yang mendefinisikan pemaafan

diri merupakan sebagai bentuk kesediaan untuk melepaskan rasa kebencian diri sendiri

dan mengakui bahwa dirinya bersalah.

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat

ditarik suatu kesimpulan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara Self

Forgiveness dengan Psychological Well-Being pada Eks-Seminaris Seminari Tinggi

angkatan 2007-2011. Hal ini dapat terlihat dari sumbangan efektif dariself-forgiveness

dalam psychological well-being sebanyak 85,5% dari seluruh sumbangan efektif yang

ada (100%) sementara 14,5% berasal dari factor lainnya. Factor lain ini mungkin bisa

berupa self-esteem, dukungan significant others para eks-seminaris, resistensi dalam diri

eks-seminaris dan lain-lain (Hanna, 2011).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan tentang mengenai Hubungan Self-

Forgiveness dengan Psychological Well-Being diperoleh kesimpulan hasil perhitungan

koefisien korelasi (r) dan signifikansi yang dapat disimpulkan bahwa ada hubungan

positif yang signifikan antara Self Forgiveness dengan PWB pada Eks-Seminaris

Seminari Tinggi Angkatan 2007-2011.

Dalam penelitian ini diperoleh hasil self-forgiveness eks-seminaris Seminari

Tinggi dalam kategori yang tinggi dan psychological well-being pada kategori sedang.

Page 31: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

22

Saran

Setelah penulis melakukan penelitian dan pengamatan langsung di lapangan

serta melihat hasil penelitian yang ada, maka berikut ini beberapa saran yang penulis

ajukan:

1. Bagi subjek penelitian. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan bagi subjek

penelitian (eks-seminaris) agar mampu mempertahankan PWB mereka yang sudah

baik dengan mengembangkan kemampuan diri, membangun hubungan yang positif

dengan orang lain, membangun hidup bermakna dan memiliki tujuan agar lebih

kreatif, dan kemandirian diri.

2. Bagi peneliti selanjutnya.

a. Disarankan untuk mencari dan menggunakan alat ukur self-forgiveness dengan

item yang lebih banyak dari penelitian ini. Alat ukur dengan item lebih sedikit

kurang presentatif atau kurang menggambarkan keadaan variabel sebenarnya.

Dalam penelitian ini diperoleh hasil alpha cronbach sebesar 0,665 dari 6 item.

b. Dapat melakukan atau mengukur lebih mendalam tentang hubungan self-

forgiveness dengan psychological well-being dengan mengambil populasi atau

sampel pada mantan biarawati, untuk melihat perbandingan hubungan apakah

hasilnya sama dengan populasi atau sampel pada eks-seminaris.

c. Dapat melakukan penelitian mengenai self-forgiveness dan psychological well-

being pada eks-seminaris dengan menggunakan metode penelitian yang lainnya,

seperti menggunakan metode penelitian kualitatif.

d. Untuk meneliti resiliensi pada eks-seminaris. Resiliensi menurut Herlina (dalam

Cyndy, 2013) merupakan suatu proses adaptasi seseorang setelah mengalami

peristiwa traumatis ataupun peristiwa yang secara signifikan menyebabkan

Page 32: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

23

stress. Pada eks-seminaris perlu diteliti mengenai hal ini, karena terdapat

perbedaan yang begitu jelas ketika hidup di dalam seminari atau biara dan hidup

sebagai awam.

Page 33: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

24

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Christensen, Larry.B. (2001). Experimental Methodology – Fourth Edition.

Creswell, J.W. (2010).Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.

Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Cyndy, M.K. (2013). Resiliensi Korban Perilaku School Bullying Verbal Pada Siswi

Remaja Sekolah Menengah Atas.Skripsi. Sarjana Psikologi Universitas Kristen

Satya Wacana: Salatiga.

Enright, R.D. (1996). Counceling Within The Forgiveness Traid: on forgiving,

receiving forgiveness, and self-forgiveness. Counceling & Values, 40(2), 107-127.

Fincham, F.D., Hall, J., & Beach, S.R.N. (2006). Forgiveness ini marriage: current

status and future direction.Family Relations, 55(4), 415-426.

Hanna, W. (2012). Benefits of Self-Forgiveness on Well-Being and Self-Forgiveness

Facilitating Factors. University of Windsor. Electronic Theses and Dissertation.

Hall, J.H., & Fincham, F.D. (2008). The Temporal Course of Self-Forgiveness. Journal

of Social and Clinical Psychology, 27(2), 174-202.

Keyes, Corey Lee M., Shmotkin, D. (2002). Optimizing Well-Being: The Empirical

Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social Psychology,

82(6), 1007-1022.

Liestyani, S.H. (2007). Studi Deskriptif Mengenai Kemampuan Self-Regulation Pada

Siswa Seminari di Sekolah Seminari Menengah “X” Jakarta.Skripsi. Fakultas

Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Bandung.

Lyubomirsky, S., King, L., & Diener, Ed. (2005). The Benefits of Frequent Positive

Affect: Does Happiness Lead to Succes?. Psychological Bulletin, 131(6), 803-

855.

Mgr. Blasius Pujaraharja, Pr. (2001). Pedoman Pembinaan Calon Imam di Indonesia

Bagian Seminari Menengah. Komisi Konferensi Waligereja Indonesia: Jakarta.

Poerwandari, E.K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia.

Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas

Psikologi Universitas Indonesia: Depok.

Ponomban, T. (2005). Seminari: Apa ini Apa itu?. Diakses pada 27 Mei 2015 dari

yesaya.indocell.net

Page 34: Hubungan Self-Forgiveness dengan Psychological Well-Being ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10080/2/T1_802011127_Full... · dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam

25

Rahayu, M.A. (2008). Psychological Well-Being pada Istri Kedua dalam Pernikahan

Poligami: Studi Kasus Pada Dewasa Muda. Skripsi. Sarjana Psikologi

Universitas Indonesia: Depok.

Ryff, C.D. (1989). Happiness is everything, or is it? Exploration on the meaning of

psychological well-being. Journal of personality and social psychology, 57(6),

1069-1081.

Ryff, C.D.& Keyes, C.L.M. (1995). The Structure of Psychological Well-Being

Revisited. Journal of personality and social psychology, 69(4), 719-727.

Simbolon, S. (2015). Y Generation Menjadi Imam?: Pendidikan Calon Imam Katolik di

Indonesia dalam Terang Dekrit Optatam Totius. Lomba Karya Tulis

Globethics.net.

Soesilo, A. (2013). Forgiveness dan Kesehatan: Forgiveness sebagai strategi koping

untuk promosi kesehatan dan reduksi resiko-resiko kesehatan.Dipresentasikan

dalam Seminar/Diskusi Ilmiah Psikologi Kesehatan Fakultas Psikologi

Universitas Katolik Soegijapranata: Semarang.

Sumule, R. (2008). Psychological Wellbeing Pada Guru yang Bekerja di Yayasan

PESAT Nabire.Skripsi Sarjana Psikologi Universitas Gunadarma: Jakarta.

Terzino, K.A. (2010). Self-Forgiveness for Interpersonal and Intrapersonal

Transgressions. Graduate Theses and Dissertations Iowa State University.

Thompson, L.Y. et al. (2005). Dispositional Forgiveness of Self, Others, and Situations.

Journal of Personality, 73(2), 313-359.

Wenzel, Woodyatt, & Hedrick, K. (2012). No Genuine Self-Forgiveness without

accepting responsbility: Value reaffirmation as a key to maintaining positive self-

regard. European Journal of Social Psychology. 42, 617-627.

Wohl, M.J.A., DeShea, L., & Wahkinney, R.L. (2008). Looking Within: Measuring

State Self-Forgiveness and Its Relationship to Psychological Well-Being.

Canadian Journal of Behavioural Science. 40(1), 1-10.

Worthington, Jr., Langberg, D. (2012). Religious Consideration and Self-Forgiveness in

Treating Complex Trauma and Moral Injury in Present and Former Soldiers.

Journal of Psychology & Theology. 40(4), 274-288.