hubungan uu no. 4 tahun 2009 dan uu tentang lingkungan hidup, kehutanan dan agraria
DESCRIPTION
Hubungan UU No. 4 Tahun 2009 dengan UU tentang lingkungan hidup kehutanan dan agrariaTRANSCRIPT
HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA
TUGAS KEBIJAKAN TAMBANG
Dibuat sebagai Syarat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kebijakan Tambang Pada Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya
Oleh
Rand Sausan Muthia Sari(03021181320023)
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
2015
HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG LINGKUNGAN HIDUP
Undang-undang pertambangan yang berlaku saat ini adalah Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2009. Undang-undang tersebut mengatur tentang Pertambangan di
bidang mineral dan batubara. Sedangkan untuk dibidang pertambangan lainnya diatur
dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi. Pengertian
pertambangan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 adalah
sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan
pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi
kelayakan, konstruksi, penambangan, pengelolaan dan pemurnian, pengangkutan dan
penjualan, serta kegiatan pascatambang. Konsep dasar pemberian hak untuk melakukan
kegiatan pertambangan umum yang 30 tahun lalu adalah melalui perjanjian, dengan adanya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pada saat itulah kemudian korporasi-korporasi baru dan muda, dapat dengan mudah
masuk ke dalam aktivitas pertambangan nasional.
Usaha pertambangan di Indonesia cukup menjanjikan, mengingat wilayah Indonesia
yang strategis dan memiliki sumber daya alam yang melimpah. Di dalam Undang-
Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dijabarkan
bahwa pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan
dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
Di dalam Undang-undang pertambangan, jenis pertambangan yang diatur yaitu
pertambangan mineral dan batubara. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di
alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau
gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Pertambangan
mineral. Batubara adalah adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk
secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.
Hubungan Hukum Pertambangan Dengan Hukum Lingkungan Hidup
Pertambangan wajib memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup, sehingga wajib:
a. Memiliki AMDAL, analisis; Iklim dan kulitas udara, fisiologi dan geologi, hidrologi
dan kualitas air, ruang, lahan dan tanah, flora dan fauna, sosial (demografi, ekonomi,
sosial budaya dan kesehatan masyarakat).
b. Melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.
c. Melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.
Hukum pertambangan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hukum
lingkungan karena setiap usaha pertambangan, apakah itu berkaitan dengan
pertambangan umum maupun pertambangan minyak dan gas bumi diwajibkan untuk
memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Hal ini
lazim disebut dengan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup, dinyatakan di dalam
pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang berbunyi :
“Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara
kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup”.
Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap perusahaan yang
bergerak dalam berbagai bidang kegiatan, khususnya dibidang pertambangan diwajibkan
untuk melakukan hal-hal berikut:
a. Perusahaan wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup/AMDAL
(Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) jo (Pasal 1 ayat (25) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara) Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan, yang selanjutnya disebut amdal adalah kajian mengenai dampak besar
dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambila keputusan tentang penyelenggaraan
usaha dan/atau kegiatan.
b. Perusahaan wajib melakukan Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, serta
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Pasal 58 dan 59 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).
Di samping itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perusahaan pertambangan:
a. Berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup (Pasal 67) dan melakukan usaha
dan/atau kegiatan berkewajiban (Pasal 68):
Memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
Menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup dan
Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
b. Dilarang (Pasal 69 Ayat (1)) :
Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup;
Memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundangundangan ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Membuang limbah ke media lingkungan hidup;
Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;
Melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;
Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau
Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak
informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan
sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. (Pasal 69 ayat (2) )
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Kegiatan usaha pertambangan mempunyai dua sisi dimensi yaitu dampak positif
dan dilain sisi adalah dampak negatifnya, satu diantaranya yaitu dampak buruk terhadap
lingkungan hidup. Dampak-dampak negatif dari hasil kegiatan usaha pertambangan
tersebut adalah menjadikan tanah tidak subur dan sulit dan/atau tidak bisa ditanami yang
berefek pada mudah terjadi longsor dan banjir dan yang menjadi korban dan mengalami
kerugian tidak alain dan tidak bukan adalah masyarakat.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang pertambangan
dalam hubungannya dengan bidang lingkungan hidup yang dimana kegiatan usaha
pertambangan rentan terhadap kerusakan lingkungan hidup. Di dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada Pasal
1 angka 32 menyatakan bahwa:
“Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum”
Dalam ruang lingkup pertanggungjawaban pidana, menurut undang-undang
lingkungan hidup yang dapat dikatakan pelaku maupun yang bertanggung jawab atas
perbuatannya adalah setiap orang baik orang-perorangan atau badan usaha. Badan
usaha yang dimaksud adalah yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Korporasi atau badan usaha yang melakukan pidana lingkungan tersebut diatur di
dalam Pasal 116 ayat (1) dan (2), Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, serta Pasal 120 ayat (1) dan
(2) yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 116
1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan
usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a. badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau
orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan
lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan
terhadap pemberiperintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa
memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Pasal 117
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang
dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.
Pasal 118
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a,
sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang
berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Pasal 119
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan
usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 120
1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang
bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk
melaksanakan eksekusi.
2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e,
Pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi
penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap.
Bila melihat dari undang-undang tentang lingkungan hidup ini, maka
pertanggungjawaban pidana korporasi dinyatakan bahwa, tindak pidana lingkungan
hidup yang dilakukan oleh, untuk atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan
sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha; dan/atau orang yang memberi perintah
untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
Jika dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan
hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana
dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut
tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-
sama. Dan jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin
tindak pidana, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda
diperberat dengan sepertiga.
Terhadap tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh, untuk atau atas
nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha,
sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang
berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
UNDANG–UNDANG NO.23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MENINJAU MASALAH PERTAMBANGAN
Undang-undang No. 23 tahun 2007 secara umum memerintahkan agar lingkungan
hidup dikelola dalam rangka pembangunan dengan serasi, seimbang, berwawasan lingkungan
dan berkelanjutan dimana setiap orang memeiliki hak yang sama untuk dapat mengelola
namun diatur sepenuhnya oleh pemerintah. Secara rinci penjelasannya adalah sebagai
berikut:
1. Dalam Pasal 3 diterangkan bahwa Pengelolaan lingkungan hidup yang
diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas
manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Dengan sasaran seperti dijabarkan pada pasal 4 diantaranya :
a. Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan
lingkungan hidup;
b. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;
c. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana.
2. Dalam hal pengelolaan lingkungan hidup dikatakan bahwa sumber daya alam yang
dikuasai oleh negara akan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
(pasal 8) yang kemudian diatur hak, kewajiban dan peran masyarakat seperti yang
tertuang pada pasal 5, 6 dan pasal 7 dimana Setiap orang mempunyai hak untuk
berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Tugas Pemerintah dijelaskan pada pasal pada pasal 8 diantaranya :
a. Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan
lingkungan hidup;
b. Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup,
dan pemanfaatan kembali sumber daya alam;
c. Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subyek
hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber
daya buatan.
4. Perihal pelestarian fungsi lingkungan hidup dijabarkan pada pasal 14 sampai dengan
17 diantaranya :
a. Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis
mengenai dampak lingkungan hidup;
b. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan
limbah hasil usaha dan/atau kegiatan;
c. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan
bahan berbahaya dan beracun.
HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG KEHUTANAN
Hubungan antara hukum pertambangan dan hukum kehutanan
UNDANG–UNDANG NO.41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DAN PERPU NO.
1 TAHUN 2004 MENINJAU MASALAH PERTAMBANGAN
Dalam UU No.41 Tahun 1999, hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan
(Pasal 1).
Hutan dapat dikategorikan sebagai :
1. hutan berdasarkan statusnya, meliputi hutan negara dan hutan hak,
2. hutan berdasarkan fungsinya, meliputi hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan
produksi.
Beberapa hal yang diatur yang terkait dengan kegiatan pertambangan, adalah sebagai
berikut :
1) Definisi pengelolaan hutan dijelaskan pada pasal 21 meliputi :
a. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;
b. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan;
Hutan Suaka AlamHutan Pelestarian
AlamTaman Buru
penelitian dan pengembanganpendidikan dan latihanreligi dan
budaya
c. Rehabilitasi dan reklamasi hutan;
d. Perlindungan hutan dan konservasi alam.
2) Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi
kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga
kelestariannya (pasal 23), yang dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali
pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional (pasal 24).
3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
kehutanan diatur pada pasal 38 sebagai berikut :
a. Hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan
lindung yang dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Pada
kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola
pertambangan terbuka.
b. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui
pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan
luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Untuk kegiatan yang
berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh
Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
4) Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
selanjutnya diatur bahwa semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di
kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau
perjanjian dimaksud.
Sanksi terhadap kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan tanpa dilengkapi
IPPKH
a. Sanksi Pidana
Pelanggaran terhadap suatu kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan tanpa
dilengkapi IPPKH akan berdampak pada ancaman sanksi pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
sebagaimana diatur di dalam Pasal 78 ayat (6) UU Kehutanan
b. Sanksi Administratif
Tunduk terhadap ketentuan kewajiban pemenuhan IPPKH dalam kegiatan
pertambangan di dalam kawasan hutan, maka sesuai dengan Pasal 119 UU Minerba, Izin
Usaha Pertambangan (“IUP”) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (“IUPK”) dapat
dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
karena alasan pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan
dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan
Hutan merupakan ekosistem alami tempat senyawa-senyawa organik mengalami
pembusukan dan penimbunan secara alami. Setelah cukup lama, materi-materi organik
tersebut membusuk, akhirnya tertimbun karena terdesak lapisan materi organik baru. Itu
sebabnya hutan merupakan tempat yang sangat mungkin mengandung banyak bahan mineral
organik, yang potensial untuk dijadikan sebagai bahan tambang. Saat ini pertambangan sering
dilakukan di daerah terpencil, bahkan di kawasan hutan lindung.
Pada dasarnya, dengan atau tanpa pemberlakuan UU No.41 Tahun 1999,
pertambangan akan selalu bersinggungan dengan kawasan kehutanan. UU No.41 Tahun 1999
menimbulkan ruang gerak sektor pertambangan semakin terbatas khususnya dalam hal
pertambangan di hutan lindung. Karena itu, perlu dirumuskan langkah-langkah yang
menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution), yang artinya menguntungkan sektor
pertambangan sekaligus tidak merugikan kawasan hutan.
PERPU NO. 1 TAHUN 2004
Untuk mengakomodasikan perizinan atau perjanjian usaha pertambangan yang
telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, maka Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 dipandang perlu diubah sebagaimana Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1994 yang ditetapkan dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 yang menambah ketentuan :
Pasal 83A:
“Semua perizinan atau perjanjian dibidang pertambangan di kawsan hutan yang telah ada
sebelum berlakunya UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dinyatakan tetap berlaku
sampai akhirnya izin atau perjanjian yang dimaksud”
Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, maka berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 menetapkan bahwa 13 (tiga belas) perijinan
atau perjanjian di bidang pertambangan yang telah ditandatangani sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dapat melanjutkan kegiatannya sampai
berakhirnya perijinan atau perjanjiannya dalam kawasan hutan lindung secara terbuka.
UNDANG–UNDANG NO. 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI HAYATI
Dengan lahirnya undang-undang No. 5 Tahun 1990 dan Undang-undang No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, aktifitas yang berkaitan dengan pertambangan umum dan
migas menghadapi beberapa kendala baik bagi investor yang telah melaksanakan operasinya
maupun bagi calon investor yang akan bermaksud mencari deposit mineral di Indonesia.
Undang-undang ini lahir pada tanggal 10 Agustus 1990, setelah ada kesadaran
perlunya melindungi ekosistem dan perlindungan jenis tumbuhan dan satwa yang berguna
bagi pelestarian alam. Kesadaran tersebut setelah 23 (dua puluh tiga) tahun lahirnya Undang-
undang No. 5 Tahun 1967. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 atau disebut Undang-undang
Konservasi Hayati prinsipnya mengatur 2 perlindungan yaitu :
1. Perlindungan kawasan yang meliputi Kawasan Suaka Alam yang terdiri dari :
a. Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa
b. Kawasan Pelestarian Alam terdiri dari Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan
Taman Hutan Raya.
2. Perlindungan jenis yang meliputi jenis-jenis yang dilindungi dan jenis-jenis yang tidak
dilindungi.
Perlindungan kawasan pada hakekatnya adalah melindungi kawasan beserta unsur
hidupan di atasnya sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan dan
pelestarian plasma nutfah agar tetap utuh. Sehingga kegiatan yang ada di dalamkawasan
hanya di perbolehkan untuk kegiatan tertentu yaitu antara lain penelitian dan pengembangan
yang menunjang fungsikawasan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam
(kecuali di cagar alam tidak diperkenankan kegiatan wisata alam). Sedangkan kegiatan lain di
luar hal-hal tersebut diatas dilarang termasuk kegiatan pertambangan. Keutuhan ekosistem
merupakan halyang sangat penting dalam pengelolaan kawasan hutan konservasi. Dengan
berlakunya UndangUndang No. 5 Tahun 1990 berarti Surat Keputusan Bersama Menteri
Pertambangan dan Energi dengan Menteri Kehutanan khusus yang mengatur kawasan cagar
alam, suaka marga satwa, taman buru batal demi hukum. Dengan kata lain surat Keputusan
Bersama tersebut hanya berlaku untuk kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi.
HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG AGRARIA
Terkait dengan pemanfaatan tanah
Sebagai sumber hukum tertinggi dalam melakukan pengelolaan dan pengusahaan
terhadap sumber daya alam (SDA) di Indonesia adalah Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.Di
dalam pasal tersebut diirumuskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Agraria (UUPA) merumuskan makna
“hak menguasai negara” sebagai wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan perubahan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang agkasa
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Di dalam UU No.5 Tahun 1960 (UUPA) telah disebutkan bahwa pelaksanaan
penguasaan Negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat
dikuasakan kepada daerah. Walaupun ketentuan ini memungkinkan daerah turut serta
menyelenggarakan hak menguasai oleh Negara atas bumi, air dan kekayaan alam di
dalamnya, tetapi tidak cukup jelas terutama mengenai makna “dikuasakan”. Makna
dikuasakan itu dalam arti diserahkan sebagai urusan rumah tangga daerah atau sebagai tugas
pembantuan atau sebagai tugas dekonsentrasi.
Hal ini baru nampak jelas dalam UU No.11 Tahun 1967 (Ketentuan Ketentuan Pokok
Pertambangan/UUPP – yang telah diganti dengan UU No.4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara). Dalam undang-undang ini disebutkan :
a. Terhadap bahan galian golongan c pelaksanaan, penguasaan Negara dan
pengaturannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I;
b. Terhadap bahan galian golongan b dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah
Tingkat I.
Ketentuan di atas menunjukkan :
1) Pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian golongan c sepenuhnya
diserahkan kepada daerah (dalam hal ini Daerah Tingkat I);
2) Pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian golongan b dapat
dilakukan pusat atau daerah. Wewenang daerah tergantung pada kebijakan pusat.
Keadaan setelah ada UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU
No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan
Pemerintahan Daerah menjadi menarik. Sejak berlakunya undang-undang tersebut,
pemberian otonomi kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota “secara luas” (penjelasan
umum UU No.32 Tahun 2004) telah dipersepsikan secara keliru bahwa semua kewenangan
pertambangan secara otomatis menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Dalam konteks otonomi daerah, tidak serta merta kewenangan dan urusan
pertambangan dapat diserahkan seluruhnya kepada pemerintah daerah secara otomatis.
Tugas-tugas pengelolaan di bidang pertambangan bukanlah tugas yang bersifat kedaerahan,
sehingga tidak dapat diserahkan kepada pemerintah daerah. Urusan yang dapat diserahkan
kepada daerah adalah urusan yang bersifat lokal, artinya mempunyai nilai yang bersifat
kedaerahan, sesuai dengan kondisi daerah dan tidak menyangkut kepentingan nasional.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba dan Batubara
atau (UU Minerba) dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebenarnya lex
specialis dari UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Sebagai undang-undang induk, UUPA seakan kehilangan roh hubungan antara pertambangan
dan penataan ruang dan seakan tidak terkait. Memaknai esensi pertambangan dan penataaan
ruang dalam kontruksi UUPA, akan dapat menata dan memahami pengaturan dan kebijakan
pertambangan. Hak Menguasai Negara Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (2) serta
Pasal 2 ayat (1) UUPA menempatkan hak menguasai negara sebagai dasar dan asal dari hak-
hak keagrariaan. Dari kekuasaan negara ini kemudian dikeluarkan kekuasaan-kekuasaan
dalam ukuran yang lebih kecil, yang dalam bentuk, isi, dan sifatnya beraneka ragam. Fungsi
individualistis dari kekuasaan negara artinya fungsi untuk membuat anggota masyarakat
dalam perseorangannya menjadi berada di dalam kemungkinan keadaan sejahtera.
UUPA, sebagai dasar hak penguasaan negara atas bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya termasuk pertambangan batubara.
Pengelolaan pertambangan tidak lepas dari tanah, dalam implementasi asas perlekatan,
pemilik tanah pada negara menggunakan haknya atas ruang bawah tanah berupa penguasaan
mineral deposit tambang batubara. Dalam hal ini sebatas benda-benda mineral yang bersifat
padat (hard mineral). Wewenang menguasai dalam konsep hak menguasai negara digunakan
untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada daerah dan masyarakat hukum adat. Negara tidak memiliki, melainkan bertindak
selaku pemegang kekuasaan. Jadi bersifat publik atau pemerintah berlaku (berstuursdaat).
Dasar tujuan dikonsep dikuasai negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 maupun UUPA
ditegaskan bahwa hak menguasai oleh negara adalah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
a. Berdasarkan tujuan disebut, ada beberapa larangan yang tidak boleh dilanggar, yaitu:
Apabila dengan iktikad baik tanah-tanah telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh rakyat,
maka pernyataan itu harus dihormati dan dilindungi. Keberadaan rakyat di tanah-tanah
tersebut merupakan salah satu penjelmaan dari tujuan kemakmuran rakyat. Rakyat harus
mendapat hak didahulukan dari pada accupant baru yang menyalagunakan formalitas-
formalitas hukum yang berlaku;
b. Tanah yang dikuasai negara, tetapi telah dimanfaatkan rakyat dengan iktikat baik (ter
geode throuw) hanya dapat dicabut atau diasingkan dari mereka, semata-mata untuk
kepentingan umum, yaitu untuk kepentingan sosial dan/atau kepentingan negara. c.
Setiap pencabutan atau pemutusan hubungan hukum atau hubungan kongkrit yang
diduduki atau dimanfaatkan dengan iktikad baik, harus dijamin tidak akan menurunkan
status atau kualitas mereka karena hubungan mereka dengan tanah tersebut.
Dalam memori penjelasan II/8 UUPA, bahwa tanah untuk persediaan, peruntukan,
dan penggunaannya harus melalui suatu perencanaan. Perencanaan ini dapat ditafsirkan,
bahwa UUPA, dalam penggunaan kawasaan pertambangan, harus ada perencanaan dalam
RTRW suatu propinsi/kabupaten/kota dalam suatu proses pembangunan. Peruntukan itu
dalam rangka tata ruang pengelolaan pertambangan, yang berhubungan dangan
pengembangan wilayah suatu daerah propinsi/kabupaten//kota dalam pembangunan yang
akan dilakukan. Hubungan Pertambangan dengan Penataaan Ruang. Dasar hukum penataan
kota mengacu pada dasar hukum penataan ruang antara lain diatur dalam Pasal 14 ayat (1)
UUPA, yang dalam peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, salah satunya pertambangan. Penatagunaan tanah ini
diwujudkan dalam suatu rencana tata ruang. Penataan ruang di atur dalam UU Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam tindakan penataan ruang sesuai dengan rencana
tata ruang akan menimbulkan akibat-akibat hukum sesuai dengan hak atas tanah. Ruang
sebagai satu sumber daya alam tidak mengenal batas wilayah. Namun ruang dikaitkan dengan
pengaturan, maka harus jelas batas, fungsi dan sistemnya dalam satu kesatuan. Aspek
pertanahan dan penataan ruang, mempunyai hubungan penting, karena tanah sebagai salah
satu sumber daya kegiatan penduduk yang dapat dinilai sifat, proses dan penggunannya, ini
sesuai dengan yang dikemukakan Firey, “Tanah dapat menunjukan pengaruh budaya yang
besar dalam adaptasi ruang, dan selanjutnya dikatakan ruang dapat merupakan lambang bagi
nilai-nilai sosial (misalnya penduduk sering memberi nilai sejarah yang besar kepada
sebidang tanah). Dalam Pasal 18 UUPA, bahwa hak atas tanah adalah hak dan kewajiban,
kewenangan-kewenangan dan manfaat dalam menggunakan tanah yang dengan sendirinya
meliputi fisik tanah dan lingkungannya serta ruang diatasnya. Penataaan ruang dan tata guna
tanah, dalam Pasal 16 UUPA, mewajibkan pemerintah untuk menyusun rancangan umum
mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk berbagai macam keperluan
pembangunan. Dalam penataaan ruang terkait pengelolaan pertambangan, mengacu pada
rencana umum peruntukan tanah, didasarkan pada kondisi obyektif fisik tanah dan keadaan
lingkungan, baik di tingkat propinsi, dan kabupaten/kota harus memiliki kesamaan. Berdasar
Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres No.36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, hal ini dalam
pelaksanaan penetapan rencana pembangunan kepada kepentingan umum, sesuai dengan dan
berdasarkan kepada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ditetapkan lebih dahulu,
termasuk dalam penetapan kawasan wilayah pengelolaan pertambangan.