hukum kepariwisataan file/buku isharyanto/2… · buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi...

254
Isharyanto Maria Madalina Ayub Torry S.K. HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN (Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) Halaman Moeka Publishing wwww.halamanmoeka.net wwww.halamanmoeka.com E: [email protected] HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN (Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) Buku ini merupakan salah satu referensi hukum kepariwisataan. Pembahasan di dalamnya merupakan sajian interdisipliner dengan mencoba memadukan pengetahuan hukum dan kebijakan publik. Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui, pembangunan pariwisata memiliki arti yang sangat penting jika ditinjau dari berbagai aspek. Dari sisi ekonomi, dalam beberapa tahun terakhir, pariwisata memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), baik melalui devisa maupun perputaran ekonomi. Sektor pariwisata juga membuka peluang usaha jasa pariwisata, baik langsung maupun tidak langsung, serta membuka banyak peluang kerja. Dari berbagai negara, menunjukkan industri pariwisata selalu menempati urutan ke-4 atau ke-5 penghasil devisa bagi negara. dalam konteks Indonesia, seiring dengan manajemen otonomi daerah, maka pemerintahan lokal memiliki peran penting dalam pembangunan pariwisata tersebut.

Upload: others

Post on 25-Oct-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ Isharyanto

◼ Maria Madalina

◼ Ayub Torry S.K.

HUKUM KEPARIWISATAAN

& NEGARA KESEJAHTERAAN

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)Halaman Moeka Publishing

wwww.halamanmoeka.netwwww.halamanmoeka.comE: [email protected]

HU

KU

M K

EPA

RIW

ISATA

AN

& N

EG

AR

A K

ESE

JAH

TER

AA

N (A

ntara K

ebijakan

dan

Plu

ralisme L

okal)

Buku ini merupakan salah satu referensi hukum kepariwisataan.

Pembahasan di dalamnya merupakan sajian interdisipliner dengan

mencoba memadukan pengetahuan hukum dan kebijakan publik.

Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian

hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia.

Sebagaimana diketahui, pembangunan pariwisata memiliki arti

yang sangat penting jika ditinjau dari berbagai aspek. Dari sisi

ekonomi, dalam beberapa tahun terakhir, pariwisata memberikan

kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), baik melalui

devisa maupun perputaran ekonomi.

Sektor pariwisata juga membuka peluang usaha jasa pariwisata,

baik langsung maupun tidak langsung, serta membuka banyak

peluang kerja. Dari berbagai negara, menunjukkan industri

pariwisata selalu menempati urutan ke-4 atau ke-5 penghasil

devisa bagi negara. dalam konteks Indonesia, seiring dengan

manajemen otonomi daerah, maka pemerintahan lokal memiliki

peran penting dalam pembangunan pariwisata tersebut.

Page 2: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ i(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

HUKUM KEPARIWISATAAN& NEGARA KESEJAHTERAAN

GH

GH

◼ Isharyanto

◼ Maria Madalina

◼ Ayub Torry S.K.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Page 3: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

ii ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

HUKUM KEPARIWISATAAN

& NEGARA KESEJAHTERAAN

Penulis:

◼ Isharyanto

◼ Maria Madalina

◼ Ayub Torry S.K.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Editor: Isharyanto

Desain:Tim HalamanMoeka.com

Cetakan pertama, Desember 2019

ISBN: 978-602-269-362-8

Page 4: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ iii(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Peranan sektor pariwisata nasional semakin penting sejalan

dengan perkembangan dan kontribusi yang diberikan

sektor pariwisata melalui penerimaan devisa, pendapatan

daerah, pengembangan wilayah, maupun dalam penyerapan

investasi dan tenaga kerja serta pengembangan usaha yang

tersebar di berbagai pelosok wilayah di Indonesia. Menurut Buku

Saku Kementerian Pariwisata (2016), kontribusi sektor pariwisata

terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada tahun 2014

telah mencapai 9 % atau sebesar Rp 946,09 triliun. Sementara

devisa dari sektor pariwisata pada tahun 2014 telah mencapai Rp

120 triliun dan kontribusi terhadap kesempatan kerja sebesar 11

juta orang. Melalui mekanisme tarikan dan dorongan terhadap

sektor ekonomi lain yang terkait dengan sektor pariwisata,

seperti hotel dan restoran, angkutan, industri kerajinan dan lain-

lain. Melalui multiplier effect-nya, pariwisata dapat dan mampu

mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan

kerja. Itulah mengapa, percepatan pertumbuhan ekonomi dan

penciptaan lapangan kerja yang lebih luas dapat dilakukan

dengan mempromosikan pengembangan pariwisata.

Naskah buku ini pada awalnya adalah laporan penelitian

Hibah Strategi Nasional (Stranas) Kementerian Riset, Teknologi,

dan Pendidikan Tinggi Tahun 2018. Kemudian dimodifikasi

dan ditata ulang dalam format buku untuk dapat diterbitkan

sehingga infor masi yang terkandung di dalamnya dapat dibaca

khalayak yang lebih luas lagi. Sisi menarik naskah ini karena ia

menyajikan penelitian kebijakan kepariwisataan di tingkat lokal

Kata PengantarGH

GH

Page 5: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

iv ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

dengan obyek pengamatan pluralisme lokal. Titik penting perlu

dilihat adalah konsep pluralisme lokal sendiri. Sebagai negara

kepulauan yang kaya akan ragam etnis, bahasa, dna budaya, dan

juga kekayaan pemandangan alam yang bagus, Indonesia di

masa depan nampaknya dikembangkan dari masalah ini. Sektor

kepariwisataan juga tidak terlepas dari pluralisme lokal ini. Oleh

sebab itu, peranan pemerintah daerah menjadi penting. Naskah

ini mengkonfirmasi peranan pemerintaha daerah tersebut dari sisi

hukum dan kebijakan publik. Harus diakui referensi soal itu masih

langka dalam wacana kebijakan kepariwisataan di Indonesia.

Kepada tim peneliti/penulis dan semua pihak yang sudah

membantu diterbitkannya buku ini diucapkan terimakasih. Karena

masih banyak kekurangan dan kelemahan, maka tegur sapa dan

kritik yang membangun dari semua pihak akan diterima dengan

senang hati. Semoga buku ini dapat memenuhi fungsinya.

Surakarta, 4 Desember 2019

Penulis

Page 6: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ v(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

KATA PENGANTAR ................................................................. iv

KATA PENGANTAR ................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN ......................................................... 1

A. Latar Belakang .............................................................................. 1

B. Permasalahan................................................................................ 7

C. Tujuan Khusus............................................................................... 7

D. Temuan yang dihasilkan ........................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................. 9

A. State of the Art Bidang yang Diteliti ..................................... 9

B. Studi Pendahuluan yang Telah Dilaksanakan dan Hasil

yang Sudah Dicapai .................................................................... 11

BAB III METODE PENELITIAN ................................................ 13

A. Jenis Penelitian ............................................................................. 13

B. Sumber Data ................................................................................. 13

C. Lokasi Penelitian .......................................................................... 14

D. Cara Memperoleh Data ............................................................. 15

E. Analisis Data .................................................................................. 15

F. Bagan Alir Penelitian .................................................................. 16

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................. 17

A. Perspektif Pemerintahan dalam Penyelenggaran

Kebijakan Kepariwisataan ................................................................... 17

1. Aspek-aspek Penting Terkait dengan Pemerintahan dan

Daftar IsiGH

GH

Page 7: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

vi ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Kewenangan ................................................................................. 17

2. Kebijakan Penyelenggaraan Kepariwisataan .................... 24

B. Kebijakan Pariwisata dan Relasi Pusat-Daerah ...................... 40

1. Konteks Kewenangan dan Permasalahan .......................... 40

2. Pelaksanaan Urusan Kepariwisataan Pemerintah dan

Pemerintah Daerah .......................................................................... 43

C. Pluralisme Lokal dalam Kebijakan Kepariwisataan .............. 56

1. Keragaman Hayati dan Kebhinekaan Budaya ................... 56

2. Relasi dengan Kepariwisataan ................................................ 61

3. Perlindungan terhadap Hak-Hak Kebudayaan ................. 63

4. Kebhinekatunggalikaan............................................................. 68

5. Sejarah dan Warisan Budaya .................................................... 69

6. Pengembangan Karakter Bangsa ........................................... 72

D. Paham Negara Kesejahteraan dalam Pengaturan

Kepariwisataan di Indonesia ........................................................ 74

1. Pewadahan dalam Konstitusi................................................... 74

E. Negara Kesejahteraan dalam Formulasi Peraturan dan

Kebijakan Kepariwisataan ............................................................ 80

F. Praktik Penyelenggaraan Kebijakan Kepariwisataan .......... 122

1. Kota Surakarta .............................................................................. 122

2. Kota Batu ........................................................................................ 131

3. Provinsi Bali .................................................................................... 137

G. Analisis Kebijakan Kepariwisataan Berbasis Pluralisme

Lokal untuk Mewujudkan Negara Kesejahteraan ............ 190

BAB V PENUTUP .................................................................... 197

A. Simpulan ......................................................................................... 197

B. Saran ................................................................................................ 197

DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 198

Page 8: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 1(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

A. Latar Belakang

Penelitian model kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme

lokal untuk mewujudkan negara kesejahteraan penting untuk

dilakukan karena minimal 4 (empat) pertimbangan sebagai

berikut. Pertimbangan pertama, Pariwisata merupakan sektor

yang semakin penting karena memberi manfaat ekonomi bagi

penduduk. Dampak yang ditimbulkan pariwisata terhadap

perekonomian bukan hanya berasal dari pengeluaran

wisatawan tetapi juga dari penciptaan lapangan pekerjaan

serta pengembangan sarana dan prasarana. Pariwisata

secara global menyumbang 9% gross domestic product (GDP)

atau USD 6 triliun, menciptakan 120 juta pekerjaan langsung

dan 125 juta pekerjaan tak langsung di bidang pariwisata. Di

suatu negara, pariwisata berdampak terhadap peningkatan

produksi barang kebutuhan wisatawan; tumbuhnya usaha

jasa layanan pariwisata dan jasa akomodasi; peluang

pekerjaan bagi masyarakat lokal; peningkatan pendapatan

masyarakat lokal; meningkatnya aksesibilitas jalan dan jasa

transportasi; dan bertambahnya layanan utilitas air bersih,

listrik, dan telekomunikasi. Manfaat pariwisata cenderung

meningkat sejalan dengan peningkatan permintaan

pariwisata dunia. Dari tahun 1995 sampai tahun 2014, jumlah

kedatangan wisatawan dunia mempunyai kecenderungan

meningkat. Pertimbangan kedua, telah dilakukan pemetaan

PENDAHULUANGH

GH

BaB I

Page 9: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

2 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

wilayah-wilayah Indonesia dalam kerangka 50 tujuan

destinasi wisata nasional. Kemudian, konsep perencanaan

pariwisata di tingkat satuan pemerintahan daerah (Provinsi

dan Kabupaten/Kota) telah disusun dalam sebuah Peraturan

Daerah tentang melalui pendekatan komprehensif berkaitan

dengan seluruh aspek, termasuk elemen sosial-ekonomi,

lingkungan, dan kelembagaan. Namun, dengan intensistas

dan kuantitas yang tidak sama, tiap-tiap destinasi wisata

nasional memiliki persoalan yang dapat memengaruhi

pengembangan daya saing pariwisata seperti (i) peningkatan

konsumsi bahan bakar minyak; (ii) peningkatan produksi

sampah; (iii) banjir dan sistem drainase yang kurang baik;

(iv) tingkat pencemaran tinggi; dan (v) belum optimalnya

penataan ruang dan peruntukan lahan. Rendahnya kualitas

lingkungan hidup menjadi lebih buruk karena pengaruh

kesenjangan ekonomi, selain itu, jumlah dan pertumbuhan

penduduk tidak sebanding dengan daya tampung wilayah,

dan rendahnya sikap positif tentang kesehatan dan

pencemaran lingkungan. Ketiga, Pemerintah berkeinginan

untuk menarik wisatawan asing sebesar 20 juta kunjungan

pada 2019. Pencapaian kunjungan wisatawan asing selama

11 bulan pertama tahun 2016 telah mencapai 10.405.947

kunjungan atau tumbuh sekitar 10 persen dari periode yang

sama tahun sebelumnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS)

menunjukkan selama November 2014, jumlah kunjungan

turis mencapai 1 juta. Angka tersebut tumbuh hampir 20

persen dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu.

Pemerintah menargetkan kunjungan wisman pada tahun

2017 sebesar 12 juta kunjungan. Dengan capaian sementara

hingga November 2016, dibutuhkan sekitar 1,6 juta kunjungan

wisman lagi, sehingga dapat menembus target yang dipatok

selama 2016. Untuk mewujudkan capaian tersebut, isu daya

Page 10: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 3(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

saing destinasi wisata menjadi mendesak untuk diperhatikan.

Daya saing dan keberlanjutan sebuah kawasan pariwisata

ini mempunyai hubungan timbal balik yang saling

mendukung iklim usaha dan keberlanjutan lingkungan.

Keempat, Indonesia memiliki keragaman destinasi wisata.

Segala kegiatan pengembangan pariwisata mencakup

berbagai segi yang sangat luas yang menyangkut berbagai

segi kehidupan masyarakat mulai dari angkutan, akomodasi,

makanan dan minuman, cinderamata dan pelayanan (service).

Otto Soemarwoto menyatakan bahwa pengembangan

pariwisata merupakan kegiatan kompleks, menyangkut

wisatawan, kegiatan, sarana prasarana, objek dan daya tarik,

fasiltas penunjang, sarana lingkungan dan sebagainya.1 Oleh

karena itu, dalam pengembangannya harus memperhatikan

terbinanya mutu lingkungan. Tata letak peruntukan perlu

dilakukan untuk menghindari benturan antara kepentingan

pariwisata dengan kepentingan pencagaran. Melalui zonasi

yang baik keanekaragaman dapat terpelihara, sehingga

wisatawan atau pengunjung dapat memilih rekreasi yang

baik. Alur pengembangan pariwisata nasional dan kawasan

pariwisata daerah dapat dilihat pada Gambar 1.1.

1 Lihat Otto Soemarwoto .1993. Pengembangan Pariwisata dan Dampak

yang Ditimbulkannya. Yogyakarta: Andi.

Page 11: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

4 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Di lain pihak, A.Mathieson dan G.Wall yang dikutip

Marpaung2 menyatakan bahwa karakter suatu kawasan

wisata dan penghuninya akan mempengaruhi kapasitas

pengembangan dan pelayanan wisata dan akan berdampak

terhadap kawasan atau komponen lingkungan yang

berada di sekitarnya, seperti pada komponen (a) karakter

dan sifat lingkungan alam (b) struktur pembangunan dan

perkembangan ekonomi (c) struktur sosial budaya (d)

struktur politik dan institusi dan (e) tingkat pengembangan

dan perencanaan pariwisata. Pada sisi ini, basis pluralisme

lokal menjadi layak untuk ditelaah lebih lanjut untuk

desain pengembangan kebijakan kepariwisataan yang

berkelanjutan. Pluralisme sebagai dasar pengembangan

2 Happy Marpaung. 2000. Pengetahuan Pariwisata. Bandung: Alphabeta.

Page 12: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 5(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

kebijakan kepariwisataan tersebut dapat digambarkan dalam

alur gambar 1.2.

Pandangan positif efek kebijakan kepariwisataan

menunjuk kepada 3 (tiga) hal penting yaitu, sumbangan

sektor ini terhadap pemasukan devisa, penciptaan lapangan

kerja, pengembangan usaha dan keterkaitan dengan sektor

lain. Dalam aras makro, target pengembangan pariwisata

yang dicanangkan dalam aras negara selalu dikaitkan

dengan pemasukan devisa. Devisa dibutuhkan suatu negara

dalam rangka menunjang program pembangunan di negara

tersebut. Devisa yang masuk melalui sektor pariwisata

akan menambah cadangan devisa negara. Jika pariwisata

Page 13: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

6 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

berkembang berarti negara mempunyai cadangan devisa

yang cukup untuk membiayai impor barang-barang modal

dan bahan baku dalam rangka menunjang pengembangan

sektor industri yang lain. Dari perspektif mikro, aktivitas

pembangunan pariwisata menciptakan lapangan kerja baik

secara langsung maupun tidak langsung. Penyerapan tenaga

kerja bisa secara tidak langsung terjadi jika pengembangan

sektor pariwisata mendorong perkembangan sektor

lain di luar pariwisata. Allcock (2006) dan Tetsu (2006),

berpendapat bahwa pariwisata juga dapat menjadi bagian

integral pembangunan ekonomi suatu negara jika dapat

menggerakkan sektor yang lain.3 Keterkaitan antar sektor

dapat dijelaskan sebagai akibat permintaan sektor pariwisata

terhadap produk dari sektor lain. Selain itu dengan demikian

maka perkembangan kegiatan pariwisata akan mendorong

berkembangnya entrepreneur lokal. Para pengusaha lokal

terlibat dengan membuka usaha sesuai dengan kebutuhan

para wisatawan.

Kerangka penting untuk mengkonfirmasi efek positif

di atas perlu ditelaah dalam prinsip negara kesejahteraan.

Dalam konteks ini, negara kesejahteraan menjadi tujuan

yang memang harus diupayakan dan diperjuangkan semua

pihak. Sehubungan dengan ini, diperlukan ancangan

akademik yang serius untuk membaca fasilitasi hukum

dalam pengembangan kebijakan kepariwisataan berbasis

pluralisme lokal untuk mewujudkan negara kesejahteraan.

Hal ini memperoleh justifikasi dalam Rencana Pembangunan

Jangka Panjang 2005-2025, yang antara lain mengatakan

bahwa pembangunan hukum diarahkan untuk mendukung

terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, 3 Sadar Pakarti Budi, 2016, Model Strategi Pengembangan Kawasan

Pariwisata Yang Berdaya Saing Dan Berkelanjutan : DKI Jakarta, Disertasi

Program Studi Arsitektur Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan.

Page 14: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 7(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

mengatur permasalahan yang berkaitan dengan eknomi,

terutama dunia usaha dan dunia industri, serta menciptakan

kepastian investasi, terutama penegakan dan perlindungan

hukum.4

B. Permasalahan

Penelitian dirancang untuk dilaksanakan dalam 2 (dua)

tahun penelitian. Untuk tahun 1, fokus penelitian diarahkan

kepada rekonstruksi dan analisis faktor-faktor penting yang

berpengaruh signifikan terhadap kebijakan kepariwisataan

berbasis pluralisme di tingkat lokal dalam perspektif

pemangku kepentingan yaitu pemerintah daerah. Sementara

itu, untuk tahun 2, fokus penelitian adalah formulasi model

kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme lokal untuk

mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Untuk

memberikan panduan dalam rangka analisis fokus penelitian

tersebut, dirumuskan masalah sebagai berikut:

Tahun 1 : Bagaimanakah konstruksi dan analisis faktor-faktor

yang mempengaruhi kebijakan kepariwisataan berbasis

pluralisme di tingkat lokal dalam perspektif pemerintahan

daerah?

Tahun 2 : Bagaimanakah formulasi model kebijakan

kepariwisataan berbasis pluralisme lokal untuk mewujudkan

negara kesejahteraan (welfare state)?

C. Tujuan Khusus

1. Menyajikan skema dan uraian yang memuat konstruksi

dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan

kepariwisataan berbasis pluralisme di tingkat lokal dalam

4 Lihat UU No, 17 Tahun 2007 tentang Pembangunan Jangka Panjang

2005-2025 Bab IV 1.3. Angka 6 Mewujudkan Indonesia yang Demokratis

Berlandaskan Hukum.

Page 15: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

8 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

perspektif pemerintahan daerah.

2. Menyusun formulasi model kebijakan kepariwisataan

berbasis pluralisme lokal untuk mewujudkan negara

kesejahteraan (welfare state).

D. Temuan yang dihasilkan

Tahun 1

Uraian yang memuat konstruksi dan analisis faktor-faktor yang

mempengaruhi kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme

di tingkat lokal dalam perspektif pemerintahan daerah. Uraian

ini diharapkan menyajikan paparan mengenai: (i) perspektif

pemerintahan daerah dalam mensinergikan prinsip-prinsip

hukum kepariwisataan internasional dan nasional yang

berlaku dewasa ini untuk landasan kebijakan di daerah;

(ii) perspektif pemerintahan dalam analisis faktor-faktor

penting yang berpengaruh signifikan terhadap kebijakan

kepariwisataan berbasis pluralisme lokal; dan (iii) perspektif

pemerintahan daerah soal variabel kebijakan kepariwisataan

berbasis pluralisme lokal yang dapat memperkuat manfaat

terhadap komunitas sosial, ekonomi, budaya penduduk, dan

lingkungan.

Page 16: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 9(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

A. State of the Art Bidang yang Diteliti

Untuk mendapatkan penelitian yang state of the art,

penilitian harus mencakup perkembangan terkini tentang

topik yang relevan, menentukan kontribusi penelitian,

menentukan novelty penelitian, memastikan tidak ada

duplikasi dan plagiarisme, dan menggunakan sumber

jurnal. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian ini berfokus pada

perkembangan terkini dari topik yang relevan, menentukan

kontribusi penelitian berupa pengembangan model,

menentukan kebaruan model kebijakan kepariwisataan yang

berbasis pluralisme lokal untuk mencapai negara kesejahteraan

(welfare state). Dalam mencapai tujuan penelitian, dipastikan

tidak ada duplikasi, plagiarism penelitian dan dengan merujuk

pada sumber jurnal, prosiding, buku, dan sumber luar

jaringan maupun dalam jaringan.

Obyek penelitian ini secara substantif berbeda dengan

penelitian bidang hukum kepariwisataan yang pernah

dilakukan sebelumnya. Dapat disebutkan misalnya:

1. Penelitian berupa disertasi oleh Ida Bagus Wiyasa Putra

berjudul Fungsi Hukum dallam Pengaturan Pariwisata

sebagai Bentuk Perdagangan Jasa Fungsi Hukum dallam

Pengaturan Pariwisata sebagai Bentuk Perdagangan

Jasa yang merupakan mengambil konep kebijakan

kepariwisataan dengan menyerap General Agreement

TINJAUAN PUSTAKAGH

GH

BaB II

Page 17: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

10 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

on Trade in Services dalam pengaturan perdagangan jasa

pariwisata internasional (Fakultas Hukum Universitas

Brawijaya, Malang, 2010).

2. Penelitian berupa tesis oleh Violetta Simatupang, yang

berjudul Pengaturan Usaha Jasa Pariwisata Berdasarkan

General Agreement on Trade in Servises-WTO dikaitkan

dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan, yang mengamati soal konten perjanjian

GATS WTO dalam aspek kepariwisataan (Fakultas Hukum

Universitas Padjajaran, 2010).

3. Penelitian berupa disertasi oleh Happy Marpaung,

yang berjudul Hukum Kepariwisataan dalam Paradigma

Otonomi Daerah pada Era Globalisasi, yang menguraikan

kesesuaian prinsip-prinsip hukum kepariwisataan

nasional terhadap hukum kepariwisataan di daerah

untuk melaksanakan otonomi daerah (Fakultas Hukum

Universitas Parahiyangan, 2008).

4. Penelitian berupa disertasi oleh Violetta Simatupang, yang

berjudul Hukum Kepariwisataan Berbasis Ekspresi Budaya

Tradisional Menuju Negara Kesejahteraan, yang berbicara

sinergi hukum kepariwisataan internasional terhadap

hukum kepariwisataan nasional yang berlandaskan

Pancasila (Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, 2015).

5. Penelitian berupa disertasi oleh Alimuddin Rizal Riva’i,

yang berjudul Kekuatan Memaksa dalam Pemasaran

Relasional dan Dampaknya terhadap Strategic Marketing

Outcomes (Studi Empirik pada Industri Pariwisata Indonesia),

yang berbicara mengenai dampak kekuatan memaksa

terhadap kepercayaan, komitmen relasional, kerjasama

pemasaran, nilai-nilai hubungan jangka panjang (loyalitas,

keeratan hubungan, dan pesan berantai); dan dampak

nilai-nilai hubungan jangka panjang dengan luaran-luaran

Page 18: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 11(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

pemasaran strategis (sinergitas kerjasama, keunggulan

posisional bersaing dan kinerja pemasaran) (Fakultas

Ekonomi, Universitas Diponegoro, 2009).

6. Penelitian berupa disertasi oleh Wawanudin, yang berjudul

Kajian Pengembangan Pariwisata Tanjung Lesung Dalam

Rangka Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat, yang

berbicara mengenai gagasan alternatif pengembangan

pariwisata dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

masyarakat di sekitar kawasan wisata (Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor, 2013).

B. Studi Pendahuluan yang Telah Dilaksanakan

dan Hasil yang Sudah Dicapai

Research group telah melakukan studi pendahuluan

dengan melakukan berbagai pengamatan dan kajian dari

penelitian maupun jurnal yang telah dilakukan oleh peneliti lain

sebelumnya. Berdasarkan beberapa kajian terhadap penelitian

sebelumnya maka penelitian ini memiliki relevansinya

untuk melakukan sinergisitas terhadap penelitian-penelitian

yang dilakukan oleh penelitian lain. Secara internal studi

pendahuluan yang telah dilakukan Research group dan hasil

yang sudah dicapai dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Kegiatan Hasil yang Sudah DicapaiPengkajian

terhadap peraturan

perundangan-

undangan

pemanfaatan

pariwisata alam di

kawasan konservasi

Peraturan Perundang-undangan telah memenuhi

persyaratan sebagai pengatur dan pengendali

perilaku para pemangku kepentingan secara

hierarki. Peraturan pemanfaatan pariwisata alam

juga telah memenuhi kecukupan isi yang dicirikan

oleh adanya kejelasan tujuan, objek hukum,

sanksi serta pemberian kewenangan yang jelas

bagi pelaksana. Namun dalam implementasinya

peraturan pemanfaatan pariwisata alam belum

mendapat respon positif dari pelaksana peraturan

maupun kelompok sasaran peraturan.

Page 19: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

12 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Pengamatan terhadap

lembaga yang

dibentuk berdasarkan

keinginan dari daerah

dalam pengelolaan

kepariwisataan

Kelembagaan menunjukkan penerapan prinsip-

prinsip tata kelola pariwisata yang lebih baik.

Prinsip-prinsip tata kelola pariwisata meliputi

dimensi legitimasi, transparansi, akuntabilitas,

inklusifitas, keadilan, keterkaitan, dan daya tahan. Hasil penilaian kinerja lembaga yang terendah

adalah menyangkut daya tahan yang sangat

ditentukan dari kemampuan untuk beradaptasi,

melihat dan merespons ancaman, dan memiliki

kapasitas yang diperlukan untuk berlanjutnya

kehidupan organisasi. Faktor pengungkit

terbesarnya adalah sumber daya manusia, sehingga

bagi lembaga di tingkat lokal dapat meningkatkan

daya tahannya dengan lebih meningkatkan pula

kompetensi dari sumber daya manusia di dalamnya.

Pengkajian dampak

kepariwisataan bagi

masyarakat lokal

Banyak penelitian dilakukan untuk melihat

seberapa besar dampak tersebut bagi masyarakat,

terutama terhadap kebudayaan masyarakat lokal.

Namun belum banyak penelitian dilakukan

mengenai dampak pariwisata terhadap kehidupan

sosial-ekonomi masyarakat lokal. Misalpun ada

lebih ke arah penerimaan devisa negara dari sektar

ini.

Identifikasi terhadap aliran investasi

pariwisata Indonesia

sangat dipengaruhi

oleh pendapatan per

kapita Indonesia,

tingkat suku bunga,

harga pariwisata

Indonesia, jarak

ekonomi, dan nilai

tukar riil

Faktor ekonomi seperti pendapatan nasional,

inflow/outflow barang/jasa pariwisata, nilai tukar

riil, harga riil pariwisata Indonesia, penyediaan

investasi dari sektor pertanian yang digunakan

dalam pariwisata, belanja pemerintah, krisis

ekonomi, maupun faktor keamanan merupakan

faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya

penawaran pariwisata Indonesia.

Identifikasi terhadap peluang investasi

terhadap pariwisata

Dengan adanya kejenuhan pembangunan hotel

berbintang lima, kemudian adanya masa krisis

moneter serta perkembangan sosial, politik dan

keamanan di dalam negeri, maka perlu diketahui

peluang investasi terhadap pariwisata, apakah

perlu dikembangkan lebih lanjut ataukah perlu

diadakan evaluasi kebijakan yang tidak menolak

pariwisata.

Page 20: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 13(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan sosio-legal research. Penelitian ini

merupakan kajian terhadap hukum dengan menggunakan

pendekatan ilmu hukum maupun ilmu-ilmu sosial. Menurut

Mardzuki penelitian sosio-legal research hanya menempatkan

hukum sebagai gejala sosial. Oleh karenanya, dalam penelitian

ini selalu dikaitkan masalah sosial.5

B. Sumber Data

Data penelitian dapat diidentifikasi dalam 2 kategori

sebagai berikut:

1. Data primer, yaitu merupakan sumber data yang diperoleh

langsung dari sumber asli (tidak melalui media perantara).

2. Data sekunder, yaitu merupakan sumber data penelitian

yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media

perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data

sekunder meliputi: (i) bahan hukum primer, yaitu sumber

hukum yang otentik, yang mencakup peraturan perundang-

undangan, putusan pengadilan, dan bahan hukum adat

yang tercatat; (ii) bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang

memperjelas atau memiliki kaitan dengan sumber hukum

otentik seperti risalah penyusunan dokumen hukum, hasil

riset, atau artikel/jurnal yang relevan.5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Pradana Media

Grup, Jakarta, hlm. 87.

METODE PENELITIANGH

GH

BaB III

Page 21: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

14 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ditetapkan sebagai berikut:Lokasi Alasan Data yang Diharapkan

Pemerintah Kota Surakarta (Provinsi Jawa Tengah)

1. Jejak sejarah yang terentang panjang dari masa Kasultanan Pajang dan Kasunanan Surakarta menjadikan Solo dilimpahi warisan budaya benda dan tak bendawi, sehingga memiliki daya tarik wisata yang kuat. Namun, tidak cuma mengandalkan Keraton Surakarta sebagai daya tarik, Pemerintah Kota Solo menata kota dan merevitalisasi potensi wisata, berbagai terobosan kreatif diwujudkan.

2. Tahun 2010, total wisatawan sebanyak 942.541, tahun 2011 melonjak menjadi 1.300.832 orang, tahun 2012 tercatat 1.305.820, dan tahun 2013 jumlah wisatawan Nusantara dan mancanegara menjadi 1.480.135. Wisatawan domestik masih mendominasi. Pada 2013, misalnya, jumlah wisatawan domestik 1.468.625 orang.

Data mengenai: (i) perspektif pemerintahan daerah dalam mensinergikan prinsip-prinsip hukum kepariwisataan internasional dan nasional yang berlaku dewasa ini untuk landasan kebijakan di daerah; (ii) perspektif pemerintahan dalam analisis faktor-faktor penting yang berpengaruh signifikan terhadap kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme lokal; dan (iii) perspektif pemerintahan daerah soal variabel kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme lokal yang dapat memperkuat manfaat terhadap komunitas sosial, ekonomi, budaya penduduk, dan lingkungan.

Kota Batu (Provinsi Jawa Timur)

1. Sistem pengelolaan pariwisata di Kota Batu, Prov. Jawa Timur, saat ini boleh disebut sebagai salah satu di antara yang terbaik di Indonesia, Selama sekira 14 tahun sejak Kecamatan Batu yang termasuk Kab. Malang, dimekarkan menjadi kota administratif dan kini disebut Kota Batu, kawasan perbukitan yang awalnya merupakan pedesaan dengan daerah pertanian kini berubah menjadi kiblat tujuan wisata idaman banyak orang.

2. Dari sektor andalan pariwisata tersebut, Pemkot Batu pada 2015 mampu mengisi kas daerah melalui APBD sebesar Rp 725 miliar dan Rp 580 miliar di antaranya berasal dari pajak industri pariwisata. Pada APBD 2016, Pemkot Batu memasang target pendapatan Rp 1 triliun yang 75%-80% berasal dari sektor pariwisata.

Data mengenai: (i) perspektif pemerintahan daerah dalam mensinergikan prinsip-prinsip hukum kepariwisataan internasional dan nasional yang berlaku dewasa ini untuk landasan kebijakan di daerah; (ii) perspektif pemerintahan dalam analisis faktor-faktor penting yang berpengaruh signifikan terhadap kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme lokal; dan (iii) perspektif pemerintahan daerah soal variabel kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme lokal yang dapat memperkuat manfaat terhadap komunitas sosial, ekonomi, budaya penduduk, dan lingkungan.

Page 22: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 15(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Kabupaten Bandung Barat (Provinsi Jawa Barat)

1. Meskipun memiliki puluhan objek wisata, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, hanya mendapat sokongan pendapatan asli daerah dari sektor wisata sebesar Rp38 juta per tahun. PAD itu berasal dari tiga lokasi, yakni Situ Ciburuy, Curug Malela, dan Goa Pawon.

2. Selain minim penataan, promosi yang dilakukan pun terkesan seadanya. Hanya melalui pamflet dan brosur dari pameran ke pameran ditambah promosi di internet dan media massa. Jika melihat anggaran promosi pariwisata, sebenarnya tidaklah sedikit. Tahun ini, anggaran promosi di Bidang Pariwisata KBB mencapai Rp 1,8 miliar.

Data mengenai: (i) perspektif pemerintahan daerah dalam mensinergikan prinsip-prinsip hukum kepariwisataan internasional dan nasional yang berlaku dewasa ini untuk landasan kebijakan di daerah; (ii) perspektif pemerintahan dalam analisis faktor-faktor penting yang berpengaruh signifikan terhadap kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme lokal; dan (iii) perspektif pemerintahan daerah soal variabel kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme lokal yang dapat memperkuat manfaat terhadap komunitas sosial, ekonomi, budaya penduduk, dan lingkungan.

D. Cara Memperoleh Data

Cara memperoleh data dilakukan dengan wawancara

terstruktur. Dalam hal ini, wawancara adalah proses

memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara

tanya jawab, sambil bertatap muka antara responden dengan

peneliti menggunakan alat yang dinamakan interview guide

(panduan wawancara). Wawancara dapat dilakukan dengan

tatap muka maupun melalui telpon.

E. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data,

menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesis, menyusun

kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan

dipelajari dan membuat kesimpulan. Kategori analisis adalah

analisis data nonstatistik. Data yang diperoleh ditulis dalam

bentuk laporan atau data yang terperinci. Laporan yang disusun

berdasarkan data yang diperoleh direduksi, dirangkum, dipilih

Page 23: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

16 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting.

Data hasil mengikhtiarkan dan memilah-milah berdasarkan

satuan konsep, tema, dan kategori tertentu akan memberikan

gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan juga

mempermudah peneliti untuk mencari kembali data sebagai

tambahan atas data sebelumnya yang diperoleh jika diperlukan.

F. Bagan Alir Penelitian

Page 24: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 17(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

A. Perspektif Pemerintahan dalam Penyelenggaran

Kebijakan Kepariwisataan

1. Aspek-aspek Penting Terkait dengan Pemerintahan

dan Kewenangan

Usaha untuk mencapai tujuan negara sebagai organisasi

kekuasaan6, pemerintah menempati kedudukan yang

istimewa. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya

bahwa pemerintah diatur oleh hukum khusus yaitu hukum 6 Sumber kekuasaan dijelaskan oleh empat teori kedaulatan sebagai

berikut: Pertama, teori kedaulatan Tuhan, yang dikembangkan antara lain

oleh Agustinus, Thomas Aquino dan Marsilius pada abad ke-15. Teori

ini menjelaskan sumber hukum kekuasaan itu dari Tuhan. Kedua, teori

hukum alam, yang dikembangkan antara lain oleh Johanes Althusius.

Teori ini mengajarkan bahwa kekuasaan bersumber dari rakyat. Kekuasaan

tidak lagi dipandang berasal dari Tuhan. Kekuasaan yang ada pada rakyat

diserahkan kepada seseorang yang disebut raja untuk menyelenggarakan

kepentingan masyarakat. Ketiga, teori kedaulatan hukum, yang dipelopori

oleh Krabbe. Teori ini mengajarkan bahwa segala kekuasaan dalam suatu

negara berdasarkan atas hukum. Keempat, teori kedaulatan negara yang

dikembangkan oleh Jellinek dan Otto Mayer. Teori ini mengajarkan bahwa

pangkal kekuasaan negara tidak diperoleh dari siapapun dan kekuasaannya

tidak perlu diberi penjelasan apapun. Tidak terlepas dari teori kedaulatan

tersebut, dalam konteks Indonesia Sjachran Basah berpendapat bahwa

kekuasaan negara Indonesia bersumber kepada duet intergral secara

harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat

berdasarkan prinsip monodualistik selaku pilar-pilar yang sifat hakikatnya

konstitutif. Lihat: Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2000),

150; Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia

(Jakarta: Dian Rakyat, 1980), 6; dan Sjachran Basah, Perlindungan Hukum

Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara (Bandung: Alumni, 1992), 2.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

GH

GH

BaB IV

Page 25: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

18 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

administrasi sebagai instrumen pemerintah untuk secara

aktif turut campur dalam kehidupan bersama masyarakat7

dan sekaligus hukum yang memberikan perlindungan

kepada anggota kehidupan bersama itu.8 Negara adalah

suatu organisasi masyarakat untuk mengatur kehidupan

bersama. Untuk mencapai tujuan bersama itu disusun

suatu tatanan pemerintahan sebagai sarana pelaksana

tugas negara, beserta pembagian tugas dan batas

kekuasaan. Pemerintah atau administrasi negara adalah

suatu abstraksi yang oleh hukum dipersonifikasi dan

diangkat sebagai realita hukum.9 Sebagai suatu abstraksi,

pemerintah tidak dapat melakukan tindakan-tindakannya

tanpa melalui organnya.10, 11 Organ tersebut dikenal

sebagai “jabatan” , yaitu pendukung hak dan kewajiban,

sebagai subjek hukum (persoon) berwenang melakukan

perbuatan hukum (rechtsdelingen) baik menurut hukum

publik maupun menurut hukum privat. Ditambahkan

bahwa jabatan dapat menjadi pihak dalam suatu 7 Ove Eriksson, “Evaluation of interventions in the government sector in

Sweden: a need for change,” Policy and Practice in Health and Safety, no.

1 (t.t.): 75–89.8 Jukka-Pekka Salmenkaita dan Ahti Salo, “Rationales for Government

Intervention in the Commercialization of New Technologies,” Technology Analysis and Strategic Management 14, no. 2 (2002): 183–200; Chris

Warhurst, “The knowledge economy, skills and government labour market

intervention,” Policy Studies 29, no. 1 (2008): 71–86; Dobre Claudia

I. dan Costin I. Răsăuţeanu, “Global Economic Crisis and Government Intervention,” Economic Sciences Series 16, no. 2 (2016): 14–19.

9 Dalam hukum administrasi positif Indonesia tepatnya pada pasal 1 angka 2

Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang No. 9 Tahun 2004

digunakan istilah “badan” atau “pejabat” untuk menyebut abstraksi itu.

Dikatakan bahwa: “badan atau pejabat tata usaha negara adalah pelaksana

urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku”.10 Lukman Hakim, “Kewenangan Organ Negara Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan,” Jurnal Konstitusi 4, no. 1 (2011): 5–21.11 Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia.

Page 26: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 19(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

perselisihan hukum (process party) baik di luar maupun

pada pengadilan perdata dan administrasi.12

Dari segi hukum administrasi, pelaksanaan sebuah

kebijakan diatur dalam norma-norma yang berhubungan

dengan “wewenang pemerintah, pelaksanaan tugas

pemerintahan, dan melindungi hak-hak administratif

rakyat.”13 Dalam hal ini, ia berhubungan dengan

peraturan-peraturan hukum publik “yang berkaitan

dengan pemerintahan umum.”14,15,16 Walaupun menjadi

domain pemerintah, yang mungkin dijauhkan dari

pengadilan17, namun dalam pelaksanaan wewenang

tadi diperlukan peraturan perundang-undangan dan

peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh badan18

12 Hakim, “Kewenangan Organ Negara Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan.”, 7. Menurut Indroharto yang dipersonifikasi itu adalah “jabatan”, bukan “pejabat”. Dijelaskan bahwa istilah “pejabat” dalam

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-

undang No. 9 Tahun 2004 kurang tepat digunakan, karena lebih menunjuk

kepada manusianya, yaitu orang yang memangku jabatan. Jadi yang

dimaksud sebenarnya adalah jabatan atau „ambt‟ suatu kedudukan, suatu fungsi untuk melaksanakan urusan pemerintah. Lihat: Indroharto, Usaha

Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (I) (Jakarta: Sinar Harapan, 1993).

13 W. Riawan Tjandra, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), 1.14 Ibid., 3.15 Esparraga Francisco dan Ian Ellis, Administrative Law (Oxford: Oxford

University Press, 2011)., 2.16 William. Jr Fox, Understanding Administrative Law (New York: Lexis

Publishing, 2000)., 3.17 Gbemende Johnson, “Legislative ‘Allies’ and Judicial Oversight of

Executive Power,” Justice System Journal 38, no. 2 (2017): 116–34.18 Pengertian “pejabat” menurut pengertian bahasa adalah pegawai

pemerintah yang memegang jabatan (unsur pimpinan). Dalam bahasa

Belanda istilah “pejabat” disalin antara lain menjadi “ambtdrager”, yang

diartikan sebagai orang yang diangkat dalam dinas pemerintah (negara,

propinsi, kotapraja, dan sebagainya). Lihat dalam: Anton M. Moeliono

dan Et.al, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,

Page 27: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

20 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

administrasi.19 Indroharto mengambil kesimpulan bahwa

ukuran yang harus dipakai adalah masalah berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang

dikerjakan itu berupa kegiatan urusan pemerintah. Oleh

karena itu dapat dikatakan bahwa badan atau pejabat

tata usaha negara adalah apa dan siapa saja berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang

dikerjakan itu berupa kegiatan urusan pemerintahan

tanpa memandang aparat resmi dalam struktur hierarkis

pemerintahan ataupun badan swasta. Dalam menetapkan

suatu badan atau jabatan sebagai badan atau jabatan

tata usaha negara adalah tidak relevan dengan mencari

landasan pada masalah kedudukannya dalam struktur

hierarki pemerintahan.20

Tentu saja aturan-aturan itu tidak hanya bersumber

kepada hukum domestik saja, akan tetapi berkaitan juga

dengan aturan-aturan hukum internasional.21 Landasan

hukum internasional masih mencerminkan prinsip-

prinsip kedaulatan Westphalian, yang seringkali tampil

sebagai mitos dan retorika. Dalam konsepsi ini, negara

adalah wilayah fisik yang didefinisikan sebagai ruang

“ within which domestic political authorities are the sole

arbiters of legitimate behavior.”22 Negara dapat menjadi

1995)., 62; A. Teeuw, Kamus Indonesia-Belanda (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 1999)., 50; dan N.E. Algra dan et.al, Kamus Istilah

Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia (Jakarta: Bina Cipta,

1983)., 374.19 W. Riawan Tjandra, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Sinar

Grafika, 2018)., 4.20 Ibid.21 Isharyanto, Hukum Internasional dalam Pusaran Politik dan Kekuasaan

(Jakarta: Pustaka Pedia, 2017).22 Stephen D. Krasner, Sovereignty: Organized Hypocrisy (Pricenton NJ:

Princeton University Press, 1999).

Page 28: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 21(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

bagian sistem hukum internasional dengan menyetujui

peraturan tertentu. Demikian juga, negara dapat memilih

untuk tetap menegaskan kedaulatan mereka sendiri dan

menghindari keterlibatan internasional.23 Secara formal,

kedaulatan Westphalia bukan saja hak untuk mandiri, untuk

dikecualikan, terbebas dari campur tangan eksternal. Tapi

juga hak untuk diakui sebagai subyek otonom dalam sistem

internasional, mampu berinteraksi dengan negara lain dan

menandatangani kesepakatan internasional.24 Dengan

latar belakang pemahaman kedaulatan ini, sebuah sistem

hukum internasional, yang meliputi negara-negara dan

dibatasi oleh prinsip persetujuan negara, menampakkan

eksistensinya.25

Perkembangan wewenang pemerintah dipengaruhi

oleh karakteristik tugas yang dibebankan kepadanya.

Tugas pemerintah adalah mengikuti tugas negara, yaitu

menyelenggarakan sebagian dari tugas negara sebagai

organisasi kekuasaan.26 Dalam khazanah ilmu-ilmu 23 Hans Kelsen, General Theory of Law and State (New Brunswick, USA:

Transaction Publisher, 2006)., 35.24 Isharyanto, Hukum Internasional dalam Pusaran Politik dan

Kekuasaan., 26.25 Ibid., 4.26 E. Utrecht membedakan istilah “kekuasaan” (gezag, authority) dan

“kekuatan” (macht, power). Dikatakan bahwa “kekuatan” merupakan

istilah politik yang berarti paksaan dari suatu badan yang lebih tinggi

kepada seseorang, biarpun orang itu lebih tinggi kepada seseorang,

biarpun orang itu belum menerima paksaan tersebut sebagai sesuatu

yang sah sebagai tertib hukum positif. “kekuasaan” adalah istilah

hukum. Kekuatan akan menjadi kekuasaan apabila diterima sebagai

sesuatu yang sah atau sebagai tertib hukum positif dan badan yang

lebih tinggi itu diakui sebagai penguasa (otoriteit). Soerjono Soekanto

mengemukakan pengertian “kekuasaan” sebagai kemampuan untuk

mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pemegang

kekuasaan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa adanya kekuasaan tergantung

dari hubungan antara penguasa dan yang dikuasai, atau dengan kata

lain antara pihak yang memiliki kemampuan melancarkan pengaruh

Page 29: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

22 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

kenegaraan terdapat beberapa macam dari tugas negara.

Mac Iver mengemukakan tiga tugas pemerintah dengan

menggolongkan menjadi: (1) cultural function; (2) general

welfare function; (3) economic control function.27 Di antara

beberapa pendapat sarjana yang dikemukakan di atas

tidak terdapat perbedaan yang prinsip pada pengertian

“kekuasaan” dan “wewenang”. Pertama: “kekuatan”

menurut Utrecht sama dengan: “kekuasaan” menurut

Soerjono Soekanto, yaitu kemampuan badan yang lebih

tinggi untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak

yang ada pada pemegang kekuasaan, biarpun kemampuan

tersebut mempunyai atau tidak mempunyai dasar

yang sah. Kedua: kekuasaan, (Bagir Manan dan Utrecht)

sebagai hak yang sah untuk berbuat atau tidak berbuat.

Ketiga, wewenang, Bagir Manan) yaitu kemampuan yang

diperoleh berdasarkan aturan-aturan untuk melakukan

tindakan tertentu yang dimaksud untuk menimbulkan

akibat tertentu yang mencakup hak dan sekaligus

dan pihak lain menerima pengaruh itu dengan rela atau karena

terpaksa. Beda antara “kekuasaan” dan “wewenang” (authority) adalah

bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat

dinamakan kekuasaan, sedang “wewenang” adalah kekuasaan yang

ada pada seseorang atau kelompok orang yang mempunyai dukungan

atau mendapat pengakuan dari masyarakat. Menurut Bagir Manan

“kekuasaan” (macht) tidak sama artinya dengan wewenang. Kekuasaan

menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat wewenang berarti

hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten). Lihat: Soerjono

Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Rajawali, 1988),

79-80; Bagir Manan, “Wewenang Propinsi, Kabupaten dan Kota dalam

Rangka Otonomi Daerah,” dalam Seminar Nasional Pengembangan Wilayah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kawasan Pesisir dalam Rangka Penataan Ruang (Bandung: Fakultas Hukum Universitas

Padjadjaran, 2000).27 Ateng Syarifudin, Butir-Butir Gagasan Tentang Penyelenggaraan

Hukum Dan Pemerintahan Yang Baik ((Bandung: PT Citra Adtya Bakti,

1996)., 15.

Page 30: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 23(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

kewajiban (rechten en plichten). Hak adalah kebebasan

untuk melakukan (tidak melakukan) atau menuntut pihak

lain untuk melakukan (tidak melakukan) tindakan tertentu.

Pengertian ketiga yang paling relevan bagi negara hukum

demokrasi yang memberikan keseimbangan antara hak

dan kewajiban.

Indroharto secara negatif merumuskan: “…tanpa

adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu

peraturan perundangundangan yang berlaku, maka

segala macam aparat pemerintah itu tidak akan memiliki

wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah

keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya”.28 Asas

legalitas ditujukan untuk memberikan perlindungan

kepada anggota masyarakat dari tindakan pemerintah.

Dengan asas ini kekuasaan dan wewenang bertindak

pemerintah sejak awal sudah dapat diprediksi (predictable).

Wewenang pemerintah yang didasarkan kepada ketentuan

perundang-undangan memberikan kemudahan bagi

masyarakat untuk mengetahuinya, sehingga masyarakat

dapat menyesuaikan dengan keadaan demikian.29

Indroharto mempersoalkan apakah asas legalitas dalam

pengertian wetmatigheid van bestuur harus dilaksanakan

secara mutlak. Mengingat berkembangnya konsepsi

negara hukum modern merupakan perpaduan antara

konsep negara hukum dan negara kesejahteraan. Di dalam

konsep ini tugas negara atau pemerintah menurut Bagir

Manan tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan

atau ketertiban masyarakat saja, tetapi memikul tanggung

jawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum

dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.30

28 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (I)., 83.

29 Ibid., 84.

30 Bagir Manan, “Politik Perundang-undangan Dalam Rangka

Page 31: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

24 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

2. Kebijakan Penyelenggaraan Kepariwisataan

a. Kerangka Pemahaman Kebijakan Publik

Penelitian ini harus dipahami sebagai analisis kebijakan

publik, yang dalam hal ini adalah pariwisata. Penciptaan

dan promosi kebijakan publik terkait erat dengan peran

yang dimainkan oleh pemerintah. Tidak ada kesepakatan

konsensus mengenai konsep kebijakan publik.

Beberapa penulis memahami kebijakan publik sebagai

fenomena politik yang longgar31, yang lain sebagai

instrumen politik32 dan penulis lain mendefinisikan

kebijakan berdasarkan pada pemangku kepentingan.33

Wilson mengkategorikan pengertian kebijakan publik

termasuk tindakan-tindakan pemerintah yang berhasil

maupun mengalami kegagalan.34

Para ahli mendefinisikan kebijakan publik sebagai

bagian dari aktivitas pemerintah yakni program yang

dirumuskan oleh para aktor selaku pengambil keputusan

untuk menyelesaikan masalah publik.35 Menurut Laswell Mengantisipasi Liberalisme Perekonomian,” dalam Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Lampung (Lampiung: Fakultas Hukum

Universitas Lampung, 1996)., 16.31 T. Dye, Understanding Public Policy (Englewood Cliffs: Prentice-Hall,

1992)., 2.32 J. E. Anderson, Public policy making (New York, NY: CBS College

Publishing, 1984).3.33 W. I. Jenkins, Policy analysis: Apolitical and organizational perspective

(London: Robertson, 1978)., 15.34 Lihat dalam Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi

ke Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik, V

(Jakarta: Bumi Aksara, 2016), 13.35 B. Adhikari dan J. Lovett, “Institutions and collective action: Does

heterogeneity matter in community-based resource management?,”

Journal of Development Studies 42, no. 3 (2006): 426–445; Katja

Arzt, “The dynamic infl uences of institutions and designprinciples on the outcomes of a local agricultural–environmental decision-

making process” (Conference on the Human Dimensions of Global

Environmental Change, Amsterdam, 2007).

Page 32: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 25(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

dan Kaplan kebijakan publik merupakan program yang

diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-

nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu.36 Sedangkan

Easton mendefinisikan kebijakan publik sebagai

akibat aktivitas pemerintah.37 Disisi lain, Anderson

berpandangan bahwa kebijakan publik merupakan

tindakan para aktor dalam menangani suatu masalah.38

Lester dan Steward mendefinisikan kebijakan publik

sebagai proses atau pola aktivitas pemerintah maupun

keputusan yang diranang untuk menangani masalah

publik.39 Selanjutnya, Peters mendefinisikan kebijakan

publik sebagai sejumlah aktivitas pemerintah yang

secara langsung maupun melalui perantara memiliki

pengaruh terhadap kehidupan masyarakat luas.40

Jenkins mendefinisikan kebijakan publik sebagai

serangkaian keputusan yang diambil oleh aktor politik

atau sekumpulan aktor dalam menentukan tujuan dan

cara mencapai tujuan tersebut dalam berbagai situasi,

secara prinsip memiliki kaitan dengan kekuasaan dan

kekuatan para aktor dalam mencapai tujuan tersebut.

kebijakan publik merupakan bagian dari pemerintah,

dan merupakan keputusan yang dirumuskan oleh

pemerintah untuk mencapai tujuan.41 Howlett dan

36 Laswell, Harold dan Abraham Kaplan, Power and Society (New

Heaven: Yale University Press, 1970), 71.37 Easton, David, A System Analysis of Political Life (New York: Willey,

1965), 212.38 Anderson, James, Public Policy Making (Boston: Houghton Mifflin,

2000), 4.39 James P. Lesters dan Joseph Steward Jr., Public Policy : An Evolutionary

Approach (Belmonth: Wadsworth, 2000).40 Guy Peters, American Public Policy (New Jersey: Chatam House,

1993), 4.41 Jenkins Smith, Democratic Politics and Policy Analysis (California :

Wadsworth: Inc.Hall, 1990).

Page 33: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

26 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

M.Ramesh mendefinisikan kebijakan publik sebagai

fenomena yang kompleks mencakup pelbagai

keputusan oleh beberapa individu dan organisasi.42

Berbagai definisi tentang kebijakan publik yang telah

diuraikan menunjukan bahwa aktor menjadi kunci

utama dalam kebijakan publik karena kewenangannya

dalam merumuskan, mengimplementasi dan

mengevaluasi kebijakan publik.

Wahab melanjutkan bahwa sebuah kebijakan

publik memiliki empat karakter sebagai berikut.

Pertama, kebijakan publik merupakan tindakan yang

sengaja dilakukan dan mengarah kepada tujuan

tertentu. Kedua, kebijakan pada hakekatnya terdiri dari

tindakan-tindakan yang saling terkait dan berpola.

Ketiga, kebijakan adalah realitas tindakan pemerintah

dalam bidang-bidang tertentu. Keempat, kebijakan

publik mungkin berbentuk positif, mungkin berbentuk

negatif.43

Fenna mengusulkan klasifikasi kebijakan publik

berdasarkan tema dan tujuan yang menjadi arah

kebijakan.44 Penulis ini menyoroti (i) kebijakan yang

terkait dengan produksi, yang difokuskan pada

peningkatan aktivitas ekonomi dan standar hidup

penduduk; (ii) kebijakan yang terkait dengan distribusi

kekayaan dan peluang akses; (iii) kebijakan yang

berkaitan dengan konsumsi barang, jasa dan sumber

daya dengan hubungan yang erat dengan lingkungan;

(iv) kebijakan yang terkait dengan identitas dan

42 Michael Howlett dan M. Ramesh, Studying Public Policy : Policy Cycles and Policy Subsystem (Oxford: Oxford University Press, 1995).

43 Ibid., 23.44 A Fenna, Australian public policy (Sydney: Pearson Education Australia,

2004).

Page 34: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 27(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

kewarganegaraan dan akhirnya, (v) kebijakan reflektif

yang menjelaskan proses pelaksanaan kebijakan dan

peraturan dan kendali mereka.

Analisis yang disajikan akan lebih dekat dengan

jenis kebijakan pertama. Umumnya, ketika menjelaskan

komponen kebijakan publik, sebagian besar penulis

sepakat tentang menekankan peran lembaga

pemerintah, keberadaan tujuan dan masalah, konteks

atau lingkungan di mana kebijakan dikembangkan,

aktor, penciptaan instrumen dan efeknya.45 Disiplin

yang muncul dari studi kebijakan publik dicirikan oleh

pertentangan antara teori dan penelitian.46 Meskipun

ada banyak teori provokatif dan berpotensi penting,

penelitian empiris yang sistematis untuk menguji

mereka sebagian besar masih kurang.47 Banyak peneliti

terdahulu fokus mengkaji aspek kebijakan pariwisata

terkait dengan Rencana Induk Pengembangan

Pariwisata Daerah (RIPPARDA) di Indonesia tetapi tidak

lagi relevan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2009 tentang Kepariwisataan.48 Selanjutnya, beberapa

45 Lihat Anderson, Public policy making.; M. Considine, Making public policy: Institutions, actors, strategies (Cambridge: Polity Press, 2005).,

Dye, Understanding Public Policy.; C. M. Hall, Tourism planning. Policies, processes and relationships (London: Pearson Prentice Hall,

2008).46 John Jerrim dan Robert de Vries, “The limitations of quantitative social

science for informing public policy,” Evidence & Policy: A Journal of Research, Debate and Practice 13, no. 1 (2017): 117–33.

47 Hadyn Ingram, “Clusters and gaps in hospitality and tourism academic

research,” International Journal of Contemporary Hospitality Management 8, no. 7 (1996): 91–95; Patricio Aroca, Juan Gabriel Bilda,

dan Serena Volo, “Tourism statistics: Correcting data inadequacy,”

Tourism Economics 23, no. 1 (2017): 99–112.48 Lihat misalnya Basri, “Kajian Empiris Pelaksanaan Rencana Induk

Pengembangan Pariwisata Daerah Kalimantan Barat” (Tesis Magister

Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 2012). Baca juga

Page 35: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

28 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

peneliti terdahulu fokus mengkaji komunikasi, sumber

daya, sikap dan disposisi pelaksana serta struktur

birokrasi dari implementasi kebijakan kepariwisataan.49

Selain itu, penelitian kepariwisataan menyinggung

isu ekonomi50, kegiatan pariwisata51, organisasi

penyelenggara pariwisata52, peran serta masyarakat53, Basri; Y. Habibuw, “Implementasi Kebijakan Program Pengembangan

Pariwisata Daerah: Studi Kasus RIPP di Mojokerto” (Tesis Magister

Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 1997); A. Kadir,

“Analisis Implementasi Kebijakan Pengembangan Pariwisata Daerah”

(Tesis Magister Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 1996).49 Lihat misalnya E. Mouw, “Implementasi Kebijakan Pengembangan

Pariwisata Bahari di Kabupaten Halmahera Barat” (Tesis Magister

Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 2012); R. Veriani,

“Implementasi Pengembangan Kebijakan Pariwisata Kebumen” (Tesis

Magister Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 2009).50 Lihat misalnya William Haydock, “The ‘Civilising’ Effect of a ‘Balanced’

night time ecpnomy for ‘better people’: Class and the Cospmopoilitan

Limit in the Consumption and Regulation of Alcohol in Bournermout,”

Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 6, no. 2

(2014): 172–85.51 O’Sullivan Diane, Pickernell David, dan Senyard, Julienne, “Public

Sector Evaluation of Festivals and Special Events,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure and Events 1, no. 1 (2009): 19–36. Baca

juga Getz, Donald, “Policy for Sustainable and Responsible Festivals

and Events : Institutionalization of a New Paradigm,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 1 (2009): 61–78.

52 Yaghmour, Samer dan Scott, Noel, “Inter-Organizational Collaboration

Characteristics and Outcomes : A Case Study of The Jeddah Festival,”

Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 2

(2009): 115–30; Theodoraki, Eleni, “Organisational Communication

on the Impacts of the Athens 2004 Olympic Games,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 2 (2009): 141–55;

Smith, Andrew, “Spreading The Positive Effects of Major Events to Peripheral Areas,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure and Events 1, no. 2 (2009): 231–46.

53 Roberts, Ken, “Can Employment Policies Improve a Society’s

Leisure ?.,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events

2, no. 1 (2010): 82–87; Doherty, Alison, “The Volunteer Legacy of A

major Sport Event,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 2, no. 1 (2010): 185–207; Saayman, Melville, “The Socio-

Page 36: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 29(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

dan pariwisata berkelanjutan.54

Dilihat dari sudut alasan professional, maka

penelitian kebijakan publik dimaksudkan untuk

menerapkan pengetahuan ilmiah di bidang kebijakan

guna memecahkan masalah sosial sehari-hari.55 Menurut

Dunn56, analisis kebijakan bermula ketika politik

praktis harus dilengkapi dengan pengetahuan agar

dapat memecahkan masalah publik, India barangkali

merupakan asal muasal tradisi ini, ketika Kautilya

sebagai penasihat kerajaan Mauyan di India Utara,

menulis Arthashastra sekitar tahun 300 SM yang antara

lain berisi tuntunan pembuatan kebijakan. Sedangkan di

Eropa, Plato (427- 327 SM) menjadi penasihat penguasa

Sisilia, Aristoteles (384-322 SM) mengajar Alexander

Agung hingga Nichollo Machiavelli (1469-1527) yang

menjadi konsultan pribadi sejumlah bangsawan

di Italia kuno. Analisis kebijakan mulai memeroleh

tempat yang terhormat di abad pertengahan ketika

munculnya profesi spesialis kebijakan. Ketika birokrasi

muncul, profesi mereka dikenal sebagai pegawai

negeri. Seiring perkembangannya, munculnya statistik

membuat analisis kebijakan berkembang ketika advis

dapat dikuantifikasi. Di Inggris-London Manchester

Economic Impact of an Urban Park : The Case of Wilderness National

Park,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure and Events 1, no.

3 (2010): 247–64.54 Hall, Michael C., “Innovation and Tourism Policy in Australia and

New Zealand : Never the Twain Shall Meet ?,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 1 (2009): 2–8;

Dredge, Dianne, “Policy for Sustainable and Responsible Festivals and

Events:Institutionalisation of a new Paradigm a Response,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 2, no. 1 (2010): 1–13.

55 Solichin Abdul Wahab, op.cit., 37.56 Dunn, William, Public Policy Analysis : An Introduction (New Jersey:

Pearson Education, 2004).

Page 37: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

30 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

muncul the statistical society.57 Pada tahun 1910, A.

Lawrence Lowell dalam pidatonya mengemukakan

perlunya pendekatan empiris dalam studi politik.

Pada tahun 1930 di Inggris, presiden Roosevelt

mendorong perkembangan ilmu kebijakan termasuk

di dalamnya analisis kebijakan. Pada abad ke-20,

Amerika mempunyai sebuah lembaga riset keb ijakan

Rand Corporation. Pada masa kini, analisis kebijakan

menempati posisi khas dalam administrasi negara.58

Kebijakan publik memiliki beberapa tahapan,

diantaranya tahap isu kebijakan, perumusan kebijakan,

implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan.59

Selanjutnya, Nugroho berpendapat bahwa isu

kebijakan terdiri atas masalah dan tujuan, yang berarti

kebijakan publik dapat berorientasi pada kehidupan

publik, dan dapat pula berorientasi pada tujuan yang

hendak dicapai pada kehidupan publik60. Isu kebijakan

menggerakan pemerintah untuk merumuskan

kebijakan publik dalam rangka menyelesaikan

masalah.61 Setelah dirumuskan, kebijakan publik

57 P.C.A. Synmann, “Public policy in Anglo-Americal law,” Comparative and International Law Journal of Southern Africa `19, no. 2 (1986):

220–35.58 Lihat dalam Peter Eisinger, The rise of the entrepreneurial state: State

and local economic development policy in the United States (Madison:

University of Wisconsin Press, 1988).59 Riant Nugroho, Public Policy (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2008), 114.60 Ibid., 115-116.61 Devid Thacher dan Martin Rein, “Managing Value Conflict in Public

Policy,” Governance 17, no. 4 (2004): 457–86; Howard Cosmo,

“The Policy Cycle: A Model of Post-Machiavellian Policy Making?,”

Australian Journal of Public Administration 64, no. 3 (2005): 3–13;

Johann Höchtl, Peter Parycek, dan Ralph Schöllhammer, “Big data in

the policy cycle: Policy decision making in the digital era,” Journal of Organizational Computing and Electronic Commerce 26, no. 1–2

Page 38: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 31(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

tersebut dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun

masyarakat.62 Setelah itu, proses perumusan,

pelaksanaan dievaluasi untuk menilai apakah telah

dirumuskan dan diimplemetasikan dengan baik sesuai

dengan tujuan yang ditentukan sebagai pertimbangan

dilakukannya revisi kebijakan atau diberhentikan.63

Pandangan Nugroho memberikan gambaran tentang

kompleksitas dalam setiap proses yang mana

membutuhkan kerjasama pelbagai aktor dalam setiap

tahapan baik perumusan, implementasi dan evaluasi

kebijakan untuk menyelesaikan masalah publik melalui

kebijakan yang tepat.64

Perumusan kebijakan merupakan merupakan

salah satu tahap yang penting dalam pembentukan

kebijakan publik.65 Formulasi kebijakan akan berkaitan

dengan beberapa hal yaitu cara bagaimana suatu

masalah, terutama masalah publik memperoleh

perhatian dari para pembuat kebijakan, cara bagaimana

merumuskan usulan-usulan untuk menganggapi

masalah tertentu yang timbul, cara bagaimana memilih

salah satu alternatif untuk mengatasi masalah publik.66

(2016): 147–69.62 Veronica Vecchi, Manuela Brusoni, dan Elio Borgonovi, “Public

Authorities for Entrepreneurship: A management approach to execute

competitiveness policies,” Public Management Review 16, no. 2 (2014):

256–73.63 Keston K. Perry, “The Dynamics of Industrial Development in a

Resource-Rich Developing Society: A Political Economy Analysis,”

Journal of Developing Societies 34, no. 3 (2018): 264–96.64 Ibid.65 Antik Bintari dan Landrikus Hartarto Sampe Pandiangan, “Formulasi

Kebijakan Pemerintah Tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah

(Bumd) Perseroan Terbatas (Pt) Mass Rapid Transit (Mrt) Jakarta Di

Provinsi Dki Jakarta,” Jurnal Ilmu Pemerintahan 2, no. 2 (2016): 221.66 Dunn, William N., Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Yogyakarta:

Gadjah Mada University, 2003), 26.

Page 39: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

32 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

b. Praksis Pariwisata dan Efek Terdampak

Pariwisata adalah produk kompleks di mana faktor

ekonomi dan politik bergabung dengan alam geografis

dan rekreasi.67 Dengan demikian, kebijakan pariwisata

dapat didefinisikan sebagai bidang multidisiplin.68

Dalam konteks ini, definisi kebijakan pariwisata

bervariasi, meskipun perlu diperhatikan pandangan

Hall dan Jenkins, yang mengatakan bahwa kebijakan

pariwisata adalah apa pun yang dipilih atau dilakukan

oleh pemerintah untuk pariwisata, sebuah interpretasi

yang menyediakan peneliti pariwisata dengan ruang

lingkup investigasi yang luas. Bagaimanapun, penelitian

dalam kebijakan pariwisata harus fokus pada langkah-

langkah pemerintah yang diambil dengan tujuan

mempengaruhi pariwisata.69 Tidak ada konsensus yang

jelas mengenai cara di mana studi tentang kebijakan

pariwisata harus didekati, atau bidang minat yang harus

dimasukkan.70 Ada sudut ekonomi yang menganggap

kebijakan pariwisata sebagai cabang ekonomi yang

dicirikan oleh serangkaian keunikan.71

Banyak penelitian yang berfokus pada hubungan

antara pengembangan pariwisata dan pertumbuhan

67 C. M. Hall, Tourism and politics. Policy, power and place (Chichester:

John Wiley & Son, 1998)., 8.68 D. L. Edgell, International tourism policy (New York: Van Nostrand

Reinhold, 1990).69 C. M. Hall dan J. M. Jenkins, Tourism and public policy (London & New

York: Routledge, 1995).70 Rodoula Tsiotsou dan Vanessa Ratten, “Future research directions in

tourism marketing,” Marketing Intelligence & Planning 28, no. 4 (2010):

533–44.71 Marie-Louise Mangion dkk., “Measuring the Effect of Subsidization on

Tourism Demand and Destination Competitiveness through the AIDS

Model: An Evidence-Based Approach to Tourism Policymaking,” Tourism Economics 18, no. 6 (2012): 1251–72.

Page 40: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 33(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

ekonomi.72 Hasilnya juga menunjukkan bahwa faktor

ekonomi memiliki dampak yang signifikan terhadap

pengembangan pariwisata di suatu negara; khususnya,

di mana, di beberapa negara, pengembangan

pariwisata memiliki efek positif pada pertumbuhan

ekonomi.73 Di negara-negara Eropa dan Amerika

Latin di mana pariwisata telah menjadi sector yang

terkelola, ada korelasi negatif antara pengembangan

pariwisata dan pertumbuhan ekonomi.74 Selain itu,

telah ditunjukkan di beberapa negara atau wilayah

yang faktor-faktor seperti tingkat profesionalisme

pariwisata (diukur sebagai proporsi pendapatan

pariwisata dalam produk domestik bruto negara itu

[PDB]) bersama dengan bentuk negara (kepuauan

atau tidak), kekayaan, ukuran, dan lokasi geografis,

mempengaruhi hubungan antara pengembangan

pariwisata dan pertumbuhan ekonomi.75 Dalam studi

empiris yang dilakukan di Taiwan, Kim, Chen, dan Jang

menyelidiki interaksi antara jumlah wisatawan yang

72 .F. Chen dan S.Z. Chiou‐Wei, “Tourism expansion, tourism uncer- tainty and economic growth: New evidence from Taiwan and Korea,”

Tourism Management 30, no. 6 (2009): 812–18; B. Fayissa, C. Nsiah,

dan B. Tadasse, “Impact of tourism on economic growth and development

in Africa,” Tourism Economics 14, no. 4 (2008): 807–18; Po W.C. dan

Huang B.N., “Tourism development and economic growth‐a nonlinear approach,” Physica A: Statistical Mechanics and its Applications 38, no.

7 (2008): 535–542.73 Fayissa, Nsiah, dan Tadasse, “Impact of tourism on economic growth

and development in Africa”; S. Malik dkk., “Tourism, economic growth

and current account deficit in Pakistan: Evidence from co‐integration and causal analysis,” European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences 22 (2010): 21–31.

74 Malik dkk., loc.cit.75 T.N. Sequeira dan C. Campos, “International tourism and economic

growth: A panel data approach” (Fondazione Eni Enrico Mattei Nota di

Lavoro, 2005).

Page 41: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

34 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

mengunjungi Taiwan dan PDB dan berpendapat bahwa

ada hubungan kausal antara pengembangan pariwisata

dan pertumbuhan ekonomi.76 Chen dan Chiou-Wei

berpendapat bahwa pengembangan pariwisata dapat

mendorong pertumbuhan ekonomi.77

Di antara studi tentang pengaruh faktor ekonomi

pada pengembangan pariwisata, Ramesh dan Thea

Sinclair menunjukkan bahwa nilai tukar dan faktor-

faktor yang mempengaruhinya mempengaruhi pilihan

wisatawan yang masuk.78 Yap (2012) menguji pengaruh

nilai tukar terhadap jumlah wisatawan dan menemukan

bahwa fluktuasi mata uang mempengaruhi pariwisata

di beberapa negara, seperti Malaysia dan Selandia

Baru.79 Naidoo, Ramseook-Munhurrun, dan Seetaram

menguraikan hubungan antara siklus bisnis dan industri

hotel dan merancang strategi operasi berdasarkan

hubungan ini.80 Lettau dan Ludvigson menunjukkan

bahwa hubungan kecenderungan jangka panjang

yang sama antara aset pasar saham dan konsumsi dan

menunjukkan efek penjelas dari nilai keamanan pada

konsumsi.81

76 H.J. Kim, M.H. Chen, dan S.C. Jang, “Tourism expansion and economic

development: The case of Taiwan,” Tourism Management 27, no. 5

(2006): 925–33.77 Chen dan Chiou‐Wei, “Tourism expansion, tourism uncer- tainty and

economic growth: New evidence from Taiwan and Korea.”78 D. Ramesh dan M. Thea Sinclair, “Market shares analysis the case of

French tourism demand,” Annals of Tourism Research 30, no. 4 (2003):

927–941.79 G. Yap, “An examination of the effects of exchange rates on Australia’s

inbound tourism growth: A multivariate conditional volatility approach,”

International Journal of Business Studies 20, no. 1 (2012): 111–32.80 P. Naidoo, P. Ramseook‐Munhurrun, dan A.K. Seetaram, “Marketing

the hotel sector in economic crisis: Evidence from Mauritius,” Global Journal of Business Research 5, no. 2 (2011): 1–12.

81 M. Lettau dan S. Ludvigson, “Consumption, aggregate wealth,

Page 42: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 35(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Para peneliti kini telah memeriksa dampak

krisis besar terhadap pengembangan pariwisata

dalam jangka pendek, mengakui sebagai faktor yang

signifikan. Cheron dan Ritchie mengemukakan bahwa

bencana alam memiliki dampak signifikan pada rencana

perjalanan turis dari Eropa, Amerika Serikat, Selandia

Baru, dan Australia.82 Lee dan Strazicich berpendapat

bahwa krisis besar akan mempengaruhi wisatawan

yang berkunjung ke Taiwan dalam jangka pendek;

khususnya, ketika terjadi penurunan yang cukup besar

dalam jumlah wisatawan yang mengunjungi Taiwan

saat serangan wabah sindrom pernafasan akut (SARS)

menyapu seluruh dunia pada paruh pertama tahun

2003.83 Wang juga menunjukkan bahwa keamanan

dan kesehatan adalah dua faktor yang mempengaruhi

aktivitas wisatawan.84 Avraham meneliti pariwisata di

Mesir, menjelajahi krisis yang dihadapi oleh industri

pariwisata karena perang, serangan teroris, kekacauan

politik internal, dan banyak peristiwa negatif lainnya

dalam beberapa dekade terakhir.85

Pariwisata adalah kepergian orang-orang

sementara dalam jangka waktu pendek ke tempat-

and expected stock returns,” Journal of Finance 3 (2001): 815–

49.82 E.J. Cheron dan J.R.B. Ritchie, “Leisure activities and perceived risk,”

Journal of Leisure Research 14, no. 2 (2010): 139–154.83 J. Lee dan M.C. Strazicich, “Minimum LM unit root test with two

structural breaks,” Review of Economics and Statistics 85, no. 4 (2003):

1082–1089.84 Y.S. Wang, “The impact of crisis events and macroeconomic activity on

Taiwan’s international inbound tourism demand,” Tourism Management 30 (2009): 75–82.

85 E. Avraham, “Destination marketing and image repair during tourism

crises: The case of Egypt,” Journal of Hospitality and Tourism Management 28 (2016): 41–48.

Page 43: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

36 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

tempat tujuan di luar tempat tinggal dan bekerja

sehari-hari serta kegiatan-kegiatan mereka selama

berada di tempat tujuan tersebut.86 A.J. Burkart dan

S. Malik mengatakan pariwisata adalah perpindahan

orang untuk sementara dan dalam jangka waktu

pendek ke tujuan-tujuan di luar tempat di mana mereka

biasanya hidup dan bekerja, dan kegiatan-kegiatan

mereka selama di tempat tujuan itu.87 Sementara itu,

Salah Wahab mengatakan bahwa pariwisata adalah

suatu aktivitas manusia yang dilakukan secara sadar

yang mendapat pelayanan secara bergantian diantara

orang-orang dalam suatu daerah lain untuk sementara

waktu dalam mencari kepuasan yang beraneka ragam

dan berbeda dengan apa yang dialaminya di mana ia

bertempat tinggal.88

Dengan demikian, ada sejumlah elemen sebagai

pendukung pengertian pariwisata yaitu (1) Perjalanan

di lakukan untuk sementara waktu; (2) Perjalanan itu

dilakukan antara satu tempat ke tempat yang lain; (3)

Perjalanan itu dikaitkan dengan pertamasyaan atau

rekreasi; dan (4) orang yang melakukan perjalanan itu

tidak mencari nafkah di tempat yang dikunjungi dan

semata-mata sebagai konsumen di tempat tersebut.89

Pariwisata adalah kegiatan dinamis yang

melibatkan banyak manusia serta menghidupkan

berbagai bidang usaha. Pariwisata mengandung

kepentingan yang bersifat kompleks: kepentingan 86 Nyoman S. Pendit, Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar (Jakarta: Pradnya

Paramita, 1980), 30.87 Lihat dalam Soekadijo, Anatomi Pariwisata: Memahami sebagai

Systemic Linkage (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), 3.88 Lihat dalam Oka A. Yoeti, Pengantar Ilmu Pariwisata (Bandung:

Angkasa, 1996), 107.89 Baca juga Ibid., 109.

Page 44: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 37(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

pribadi menyangkut gaya hidup90, prestise91,

kesenangan (hiburan)92, kepuasan93, kebebasan94 dan

kepentingan publik seperti kepentingan politik95,

kepentingan ekonomi96, kepentingan budaya,

bahkan kepentingan ideologi.97 Spilani menjelaskan

bahwa pariwisata merupakan gejala insani yang

bersifat semesta, teratur, dan ajek, kerap muncul

tanpa ruang dan waktu.98 Selama beberapa dekade,

masyarakat mulai dari daerah metropolitan utama

hingga kota-kota kecil dan desa-desa telah berusaha

untuk membangun merek mereka dan menarik 90 Sanda Renko dan Kristina Buar, “How Changing Lifestyles Impact

The Development Of Some Special Interests Of Tourism: The Case Of

Spa Tourism In Croatia,” International Journal of Management Cases 5

(2008): 101–10.

91 Wong Simon Chak-keung dan Liu Gloria Jing, “Will parental influences affect career choice?: Evidence from hospitality and tourism management students in China,” International Journal of Contemporary Hospitality Management 22, no. 1 (2010): 82–101.

92 Mot Teodora, “Buzias as a cultural and therapeutic tourism destination,”

Scientific Papers Animal Science and Biotechnologies 47, no. 2 (2014):

321–24.93 Honggang Xu, “Managing Side Effects of Cultural Tourism

Development - The Case of Zhouzhuang,” Systems Analysis

Modelling Simulation 43, no. 2 (2003): 175–88.94 William Allan M. dkk., “Tourism and international retirement

migration: new forms of an old relationship in southern Europe,”

Tourism Geographies 2, no. 1 (2000): 28–49.95 Vannarith Chheang, “The Political Economy of Tourism in Cambodia,”

Asia Pacific Journal of Tourism Research 13, no. 3 (2008): 281–97;

Jason A. Douglas, “What’s political ecology got to do with tourism?,”

Tourism Geographies 16 (2014): 8–13.96 Roche Sarah, F. Spake Deborah, dan Joseph Mathews, “A model of

sporting event tourism as economic development,” Sport, Business and Management: An International Journal 3, no. 3 (2013): 145–71.

97 Sarbini Mbah Ben, Filsafat Pariwisata: Sebuiah Kajian Filsafat Praktis

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018), 3.98 James J. Spillani, Pariwisata Indonesia: Siasat Ekonomi dan Rekayasa

Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1994).

Page 45: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

38 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

pengunjung dengan mengadakan acara-acara yang

direncanakan dari semua jenis dan ukuran, mulai dari

acara besar (misalnya World Expos, Olympic Games

atau FIFA WorldCup) hingga festival musik regional

dan turnamen olahraga pemuda. Hari ini, penawaran,

pementasan, dan pengelolaan acara telah menjadi

bagian dari pengembangan masyarakat yang sehat

di banyak tempat di seluruh dunia.99 Yang pasti, acara

yang direncanakan biasanya memainkan peran penting

bagi masyarakat di mana mereka berlangsung.100 Selain

harapan yang dirasakan dari manfaat ekonomi101 , nilai

sosial maupun budaya tidak hanya bagi penonton acara

tetapi juga warga masyarakat.102 Munculnya pariwisata

massal pada pertengahan tahun 1900 secara dramatis

meningkatkan potensi peristiwa untuk memengaruhi

perkembangan sosial dan ekonomi di sebagian besar

wilayah.103 Thomas dan Wood (2003) mencatat bahwa

99 Martin Wallstam, Dimitri Ioannides, dan Robert Pettersson, “Evaluating

the social impacts of events: in search of unified indicators for effective policymaking,” Journal Of Policy Research In Tourism, Leisure And Events 10, no. 1 (2018).

100 G. Bowdin, Events management (London: Routledge, 2012).101 J. Arnegger dan M. Herzt, “Economic and destination image impacts of

mega-events in emerging tourist destinations,” Journal of Destination Marketing & Management 5, no. 2 (2016); D. Getz dan S. Page, Event

studies: Theory, research, and policy for planned events, 3 ed. (London:

Routledge, 2016).102 L Chalip, “Beyond impact: A general model for sport event leverage,”

dalam Sport tourism: Interrelationships, impacts and issues, ed. oleh

B. W. Ritchie dan D. Adair (Clevedon: Channel View Publications,

2004); M. Deldago, Celebrating urban community life: Fairs, festivals, parades, and community practice (Toronto: University of Toronto

Press, 2016); N. Schulenkorf dan D. Edward, “Maximizing positive

social impacts:Strategies for sustaining and leveraging the benefits of intercommunity sport events in divided societies,” Journal of Sport Management 26, no. 5 (2012): 379–90.

103 D. Getz, Event tourism: Concepts, international case studies, and

Page 46: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 39(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

pemerintah dan Destination Management Organizations

(DMO) di tingkat lokal, regional dan nasional semakin

beralih ke perencanaan kegiatan strategis sebagai

sarana untuk memaksimalkan dampak positif untuk

tujuan pengembangan destinasi. Untuk melakukan

perencanaan acara strategis, perlu mengakses informasi

mendalam mengenai berbagai acara dan dampaknya

terhadap masyarakat setempat.104 Sampai hari ini,

penilaian ekonomi ex-post telah mendominasi wacana

evaluasi even-even kepariwisataan. Selanjutnya,

kerangka kerja yang digunakan untuk memutuskan

manfaat peristiwa dalam konteks kebijakan memiliki

parameter ekonomi yang ditargetkan secara

berlainan.105 Namun demikian, terdapat pengakuan

yang berkembang mengenai perlunya memahami

dampak sosial yang terkait dengan even-even

tersebut.106 Memang, dimasukkannya nilai-nilai sosial ke

dalam pembuatan kebijakan tercermin dari perubahan

sikap pada tahun 1990-an ketika otoritas lokal mulai

research (New York: Cognizant Communication Corp, 2013).104 Brown, S dkk., “Event evaluation: Definitions, concepts and a state of

the art review,” InternationalJournal of Event and Festival Management 6, no. 2 (2015): 135–57; Wood, E., “Measuring the economic and social

impacts of local authority events,” International Journal of Public Sector Management 18, no. 1 (2005): 37–53.

105 L. Dwyer dkk., “A framework for assessing ‘tangible’ and ‘intangible’

impacts of events and conventions,” Event Management 6, no. 3 (2000):

175–91.106 C. Arcodia dan M. Whitford, “Festival attendance and the development

of social capital,” Journal of Convention & Event Tourism 8, no. 1

(2006): 1–18; Brown, S dkk., “Event evaluation: Definitions, concepts and a state of the art review”; L. Fredline, L. Jago, dan M. Deery, “The

development of a generic scale to measure the social impacts of events,”

Event Management 8, no. 1 (2003): 23–37; E. Wood, “An impact

evaluation framework: Local government community festivals,” Event

Management 12, no. 3 (2009): 171–85.

Page 47: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

40 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

menerima sesuatu yang positif sebagai tujuan formal

dalam intervensi sektor publik107 Hal ini tidak kurang

penting mengingat peran komunitas itu sendiri dalam

keseluruhan produk tujuan pariwisata.108

B. Kebijakan Pariwisata dan Relasi Pusat-Daerah

1. Konteks Kewenangan dan Permasalahan

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 dapat

diketahui bahwa secara konstitusional pemerintahan

daerah memiliki hak untuk menetapkan Peraturan

Daerah (Perda) dan peraturan-peraturan lainnya dalam

rangka melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Peraturan-peraturan lain yang dimaksudkan dapat berupa

peraturan Gubernur atau Bupati atau Walikota, dan

keputusan Gubernur atau Bupati atau Walikota. Ketentuan

Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Pemerintahan Daerah yang

memiliki hak otonom mempunyai kewenangan untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri. Mengatur merupakan

perbuatan menciptakan norma hukum yang dituangkan

dalam peraturan daerah. Pelimpahan wewenang dari

Pemerintahan Pusat kepada Pemerintahan Daerah

meliputi kewenangan dibidang pemerintahan. Fungsi

pembentukan kebijakan dilaksanakan oleh DPRD,

sedangkan fungsi pelaksana kebijakan dilaksanakan oleh

Gubernur /Bupati/Walikota.

Dasar hukum mengenai kepariwisataan di Indonesia

diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009

tentang Kepariwisataan (selanjutnya disebut UU

107 Wood, E., “Measuring the economic and social impacts of local

authority events.”108 G. Moscardo, “Analyzing the role of festivals and events in regional

development,” Event Management 11, no. 1 (2007): 23–32.

Page 48: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 41(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Kepariwisataan). Menurut ketentuan yang diatur dalam

Pasal 1 angka 3 UU Kepariwisataan bahwa “Pariwisata

adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung

berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh

masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan Pemerintah

Daerah.” Untuk sektor pariwisata, Kementerian Pariwisata

memberikan dukungan terkait kegiatan dekonsentrasi dan

tugas pembantuan untuk mempercepat pengembangan

daya tarik wisata di daerah. Dalam implementasinya,

kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak

selalu berjalan dengan baik di daerah. Pemilihan lokasi

hingga pada bentuk fasilitas yang akan dikembangkan

perlu diidentifikasi lebih lanjut terlebih dahulu sebelum

kegiatan dilaksanakan. Oleh karenanya diperlukan peran

serta pemerintah untuk mendukung pengembangan

daya tarik wisata, supaya pelaksanaan kegiatan terkait

dekonsentrasi dan tugas pembantuan dapat berjalan

dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan di daerah dan

selaras dengan strategi pembangunan pariwisata nasional.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011

tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan

Nasional (RIPPARNAS) ditetapkan 50 Destinasi Pariwisata

Nasional (DPN) dan 88 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional

(KSPN). KSPN adalah kawasan yang memiliki fungsi utama

pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan

pariwisata nasional yang mempunyai pengaruh penting

dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan

ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya

alam, daya dukung lingkungan hidup serta pertahanan

dan keamanan. Pembagian perwilayahan tersebut dibagi

kembali kedalam 222 Kawasan Pengembangan Pariwisata

Nasional (KPPN). Pengembangan KPPN kemudian

Page 49: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

42 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

difokuskan pada pengembangan daya tarik yang dimiliki

oleh KPPN tersebut yang memiliki nilai strategis baik

secara potensi wisata, pasar, sosial, ekonomi, budaya dan

terutama memberikan dampak pada perbaikan kualitas

masyarakat di sekitar destinasi. Terdapat 16 Kawasan

Strategi Pariwisata Nasional (Flagship 2012-2014) yang

menjadi fokus dari Kementerian Pariwisata, 16 kawasan

tersebut berada dalam kawasan prioritas yang terbagi

dalam beberapa wilayah di Indonesia, yakni Sumatera,

Jawa, Kalimantan, BaliNusa Tenggara, Sulawesi dan

PapuaKepulauan Maluku.

Kondisi 16 KSPN sampai pada akhir tahun 2014

terdapat 3 KSPN berada pada tahapan perintisan yaitu

KSPN Menjangan-Pemuteran dsk, KSPN EndeKelimutu

dsk dan KSPN Tanjung Puting dsk. KSPN yang berada

pada tahapan pembangunan sebanyak 4 KSPN yaitu

KSPN Kintamani-Danau Batur dsk, KSPN Rinjani dsk, KSPN

Komodo dsk dan KSPN Raja Ampat dsk. Sebanyak 3 KSPN

berada pada tahapan pemantapan yaitu KSPN Kepulauan

Seribu dsk, KSPN Bromo-Tengger-Semeru dsk dan KSPN

Wakatobi dsk. Untuk tahapan revitalisasi terdapat 6

KSPN yaitu KSPN Toba dsk, KSPN Kota Tua-Sunda Kelapa

dsk, KSPN Bromo-Tengger-Semeru dsk, KSPN KutaSanur-

Nusa Dua dsk KSPN Toraja dsk dan KSPN Bunaken dsk.

Sedangkan fokus pengembangan KSPN pada tahun 2015-

2019 bertambah menjadi 25 KSPN. Pada tahun 2015-

2019, pengembangan KSPN mencapai 20 provinsi dan 45

kabupaten/kota.

Beberapa permasalahan yang dihadapi saat ini dalam

pengembangan kepariwisataan dapat diidentifikasi

ke dalam faktor sebagai berikut. Pertama, Lemahnya

perintisan untuk membuka dan membangun daya

Page 50: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 43(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

tarik wisata baru di destinasi pariwisata sesuai dengan

kecenderungan minat pasar. Kedua, Lemahnya manajemen

potensi daya tarik wisata di destinasi pariwisata dalam

bersaing dengan destinasi lain untuk menarik minat dan

loyalitas segmen pasar wisatawan yang ada. Ketiga, Belum

berkembangnya inovasi manajemen produk dan kapasitas

daya tarik wisata terutama yang berorientasi pada upaya

konservasi lingkungan. Keempat, Kurangnya keragaman

nilai daya tarik wisata dalam berbagai tema dengan

memanfaatkan dan mengangkat keunikan serta kekhasan

lokal wilayah. Kelima, Belum adanya upaya terpadu untuk

menangani revitalisasi daya tarik wisata di destinasi yang

mengalami degradasi, baik degradasi lingkungan, sosial

budaya dan ekonomi. Keenam, Lemahnya kualitas sumber

daya manusia dan dukungan prasarana umum dan fasilitas

pariwisata.

2. Pelaksanaan Urusan Kepariwisataan Pemerintah dan

Pemerintah Daerah

Tidak dapat dipungkiri sektor kepariwisataan di negara

kita diharapkan dapat menjadi salah satu sektor penting

penghasil devisa negara. Tahun kunjungan wisatawan

yang dicanangkan pemerintah diharapkan kunjungan

wisatawan asing terus meningkat. Dengan meningkatnya

kunjungan wisatawan asing tersebut diharapkan akan

dapat menghasilkan devisa negara. Pada dekade sebelum

tahu 1990 an sumber devisa negara dari minyak dan gas

bumi, maka untuk saat ini dan lebih-lebih untuk masa

yang akan datang sumber devisa yang bersumber dari

minyak dan gas bumi tidak lagi menjadi andalan. Hal

ini disebabkan karena cadangan minyak dan gas bumi

yang kita miliki terus berkurang. Bahkan pada suatu saat

Page 51: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

44 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

cadangan minyak dan gas bumi akan habis. Untuk itu perlu

dicari jalan keluar untuk mengatasi makin menipisnya

cadangan minyak dan gas bumi yang kita miliki. Salah

satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut, sektor

pariwisata diharapkan dapat menggantikan minyak dan

gas bumi tersebut sebagai sumber devisa negara. Untuk

itu pembangunan sektor pariwisata perlu mendapat

perhatian untuk terus dikembangkan baik kuantitas

maupun kualitasnya. Pengembangan sektor pariwisata,

selain menghasilkan devisa bagi negara, juga dapat

menjadi sumber pendapatan daerah, menyediakan

lapangan kerja, menambah pendapatan masyarakat

terutama masyarakat yang berdomisili di sekitar obyek

wisata, dapat meningkatkan pembangunan daerah

dan pada akhirnya tingkat kesejakteraan masyarakat

meningakat.

Dengan Otonomi Daerah, sesuai dengan

kewenangannya Pemerintah Kabupaten/Kota dituntut

untuk bekerja keras dalam melaksanakan pembangunan

termasuk pembangunan dalam sektor kepariwisataan

di daerahnya masing-masing untuk dapat mening

katkan kesejarteraan bagi masya rakatnya. Pemerintah

Daerah harus mengetahui benar kondisi fisik/alam

maupun kondisi manusia yang merupa kan karakter

wilayahnya, sehingga pemanfaatan ruang tepat sasaran.

Dalam mengembangkan sektor pariwisata harus ada

komintmen/ kesungguhan dari Pemerintah Daerah

mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan

pengendalian dan pengawasan. Tanpa adanya komitmen

dari pemerintah daerah mustahil pembangunan sektor

pariwisata ini berkembang sesuai dengan harapan.

Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam

Page 52: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 45(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

pengembangan daya tarik wisata, Kementerian Pariwisata

memberikan dukungan pendanaan dekonsentrasi

dan tugas pembantuan. Arah kebijakan dan strategi

yang terkait dengan pengembangan daya tarik wisata

melalui dekonsentrasi dan tugas pengembangan ke

daerah adalah pengembangan daya tarik wisata dengan

melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas penataan

daya tarik pariwisata melalui revitalisasi daya tarik wisata,

pemeliharaan daya tarik wisata, perintisan daya tarik

wisata, pembangunan daya tarik wisata, dan fasilitasi/

pendukungan koordinasi pengembangan daya tarik wisata

yang dapat berupa fasilitasi/pendukungan amenitas/

fasilitas pariwisata serta bimbingan teknis pengembangan

daya tarik wisata.

Pelaksanaan asas dan dana dekonsentrasi dan tugas

pembantuan dilaksanakan untuk peningkatan daya saing

kepariwisataan Indonesia dengan sasaran utama adalah

terciptanya diversifikasi destinasi pariwisata dengan

indikator adalah jumlah lokasi daya tarik wisata di DPN

yang dikembangkan menjadi destinasi pariwisata. Fokus

pengembangan untuk tahun 2014 adalah di 16 Kawasan

Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Pelaksanaan kegiatan

tugas pembantuan di tahun 2014 sesuai dengan target

indikator kinerja kegiatan yang telah ditentukan. Indikator

kinerja kegiatan adalah jumlah lokasi daya tarik wisata di

DPN yang dikembangkan menjadi destinasi pariwisata

melalui pendukungan pembangunan daya tarik wisata

dengan kegiatan dekon pemantauan dan evaluasi dana

tugas pembantuan di lokasi-lokasi daya tarik wisata yang

dilaksanakan oleh kabupaten/kota.

Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada

wilayah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah

Page 53: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

46 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

administratif untuk melaksanakan kewenangan

pemerintah yang dilimpahkan kepada gubernur

sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Gubernur

sebagai kepala daerah provinsi berlaku pula selaku

wakil pemerintah di daerah, dalam pengertian untuk

menjembatani dan memperpendek rentang kendali

pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah termasuk dalam

pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan

urusan pemerintahan di daerah kabupaten dan kota.

Penyelenggaraan asas tugas pembantuan adalah cerminan

dari sistem dan prosedur penugasan pemerintah kepada

daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada

kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah

kabupaten/kota kepada desa untuk menyelenggarakan

urusan pemerintahan dan pembangunan yang disertai

dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan

mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi

penugasan. Tugas pembantuan diselenggarakan karena

tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat

dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi

dan asas dekonsentrasi. Pemberian tugas pembantuan

dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan

efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan

pembangunan, dan layanan umum. Tujuan pemberian

tugas pembantuan adalah memperlancar pelaksanaan

tugas dan penyelesaian permasalahan, serta membantu

penyelenggaraan pemerintahan, dan pengembangan

pembangunan bagi daerah dan desa. Terkait dengan

penyelenggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan,

Kementerian Pariwisata sebagai institusi yang

memberikan bantuan untuk pengembangan daya tarik

wisata belum memiliki konsep daya tarik wisata (DTW)

Page 54: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 47(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

yang baku, sehingga masih banyak kendala dalam

penyaluran dana. Selain itu pemerintah provinsi sebagai

wakil dari pemerintah pusat belum memiliki data yang

akurat mengenai potensi daya tarik wisata yang berada

di kawasannya. Ini disebabkan karena pemerintah

kabupaten/kota tidak melaporkan potensi yang dimiliki

ke pemerintah provinsi. Masalah koordinasi antara

pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota masih

menjadi isu dalam implementasi bantuan. Kurangnya

koordinasi ini mengakibatkan ketidaksesuaian antara

dana yang diberikan untuk pembangunan fisik tugas

pembantuan oleh pemerintah pusat dengan yang

dibangun oleh pemerintah daerah. Selain itu, ketidaksiapan

materi sebagaimana disebabkan oleh kurangnya

data dasar potensi dan daya tarik wisata di beberapa

daerah menyebabkan lemahnya atau terhambatnya

implementasi penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas

pembantuan di daerah. Idealnya daerah memiliki rencana

pengembangan pariwisata yang tertuang dalam Rencana

Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPARDA)

atau lebih diturunkan lagi dalam Rancangan Induk

Pengembangan Obyek Wisata (RIPOW) atau siteplan daya

tarik wisata yang ada di daerah, akan tetapi belum semua

daerah memiliki kebijakan pembangunan pariwisata

dan belum semua daya tarik yang ada dipetakan secara

lebih terperinci. Kriteria pengajuan dekonsentrasi dan

tugas pembantuan salah satunya adalah asas prioritas

pembangunan, dimana pengajuan dekonsentrasi dan

tugas pembantuan dialamatkan kepada fasilitas atau

dukungan pengembangan daya tarik yang sudah memiliki

desain situs berikut kebutuhan fasilitas penunjang yang

daerah tidak mampu untuk membangunnya dalam posisi

Page 55: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

48 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

prioritas pembangunan tertentu, sehingga membutuhkan

dukungan pemerintah pusat. Hal yang kemudian ditemui

dalam kegiatan koordinasi regional yang diselenggarakan

oleh Kementerian Pariwisata dalam upaya menampung dan

menginventarisasi kebutuhan pengajuan dekonsentrasi

dan tugas pembantuan dari daerah dirasakan kurang

efektif. Hal ini dikarenakan mekanisme yang tidak berjalan

beriringan antara perencanaan yang dipersiapkan oleh

pemerintah daerah dengan target dari pemerintah pusat.

Akibatnya kedatangan pemerintah daerah yang diwakili

oleh pemerintah provinsi dalam menuangkan kebutuhan

dari hanya satu daya tarik yang kemudian dapat diajukan

menjadi kegiatan yang spontan, dimana banyak daerah

yang tidak atau belum memegang dokumen prioritas

pembangunan di deaerahnya. Hal ini kemudian berpotensi

mengakibatkan ketidaktepatan sasaran dari dekonsentrasi

dan tugas pembantuan dari pusat tersebut. Prosedur

sebagaimana diatur dalam pengajuan dekonsentrasi dan

tugas pembantuan tidak sepenuhnya terikuti dengan

prosedur spontanitas yang dihadapi. Kendala lain yang

kemudian dihadapi adalah tumpang tindih kewenangan

dan program atas pembangunan fasilitas sebagaimana

diajukan dalam dekonsetrasi dan tugas pembantuan. Hal

ini dikarenakan ego sektoral yang tidak mengkoordinasikan

secara holistik terkait pembangunan sebuah daerah dari

setiap sektor yang terlibat. Akibatnya terdapat pendanaan

ganda yang berujung kepada ketidaktepatan sasaran

pembangunan. Berdasarkan hal tersebut, dukungan yang

kemudian dibutuhkan dalam rangka mengefektifkan

dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah terletak pada

mekanisme komunikasi, koordinasi, sinkronisasi terkait

program pembangunan daerah dan kaitannya dengan

Page 56: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 49(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

semua sektor. Untuk memaksimalkan pengembangan

daya tarik wisata dapat dilakukan inventarisasi kebutuhan

fisik dan non fisik yang dapat dikembangkan berdasarkan

tahapan pengembangan pariwisata yaitu perintisan,

pembangunan, pemantapan dan revitalisasi. Pendanaan

dalam rangka dekonsentrasi pemantauan dan evaluasi

tugas pembantuan bidang pengembangan destinasi

pariwisata dialokasikan untuk kegiatan bersifat non fisik,

yaitu kegiatan yang menghasilkan luaran yang tidak

menambah aset tetap. Sedangkan pelaksanaan tugas

pembantuan pengembangan destinasi pariwisata berupa

kegiatan yang menghasilkan luaran yang menambah aset

tetap atau bersifat fisik, antara lain berupa bangunan,

peralatan, dan jalan.

Ada sebagaian kewenangan pemerintah kabupaten/

kota yang diserahkan kewenangannya kepada pemerintah

desa. Desa merupakan Self Community yaitu komunitas

yang mengatur dirinya sendiri. Dengan pemahaman

bahwa Desa memiliki kewenangan untuk mengurus dan

mengatur kepentingan masyarakatnya sesuai dengan

kondisi dan sosial budaya setempat, maka posisi Desa

yang memiliki otonomi asli sangat strategis. Salah satu

kewenangan pemerintah kabupaten/kotamadya yang

diserahkan ke desa adalah bidang pariwisata. Sampai saat

ini, tidak dapat dipungkiri pariwasata mempunyai peranan

yang sangat besar sebagai lokomotif pembangunan

ekonomi. Pariwisata memberikan kontribusi yang cukup

besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun

pendapatan perkapita penduduk.

Pada dasarnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah hanya memberikan

dasar hukum secara tidak langsung bagi penyelenggaraan

Page 57: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

50 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

urusan kepariwisataan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

Pemberian kewenangan secara tidak langsung itu sejalan

dengan konsep otonomi daerah, asas-asas maupun prinsip-

prinsip penyelenggaraan pemerintah di daerah yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah. Konsep otonomi daerah yang

dianut dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah

otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab. Adapun yang

dimaksudkan dengan kewenangan otonomi luas adalah

kekuasaan daerah yang bersifat utuh dan bulat baik dalam

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian

dan evaluasi terhadap penyelenggaraan semua bidang

pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik

luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter,

dan fiskal, agama serta kewenangan lainnya yang akan

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya

yang dimaksudkan dengan otonomi nyata adalah

kekuasaan daerah untuk menyelenggarakan wewenang

pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada

dan diperlukan secara tumbuh, hidup, dan berkembang

di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi

daerah yang bertanggungjawab ialah keleluasaan daerah

yang disertai pertanggung jawaban sebagai konsekuensi

adanya pemberian hak dan kewenangan kepada daerah

dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikulnya

dalam mencapai tujuan pemberian otonomi. Adapun

tujuan pemberian otonomi berupa adanya peningkatan

pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin

baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan

pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi

antara pusat dan daerah maupun antar daerah dalam

rangka menunjang keutuhan Negara Kesatuan Republik

Page 58: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 51(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Indonesia.

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang

pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan

dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain asas Desentralisasi di daerah juga dilaksanakan

asas Dekonsentrasi dan asas Tugas Pembantuan dimana

ketiga jenis asas dimaksud terkandung dalam Pasal

18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 beserta Penjelasanya, yang seyogyanya diterapkan

secara konsisten dalam penyelenggaraan pemerintahan

di daerah dengan ditetapkannya melalui ketentuan

perundang-undangan.Adanya otonomi daerah yang

merupakan akibat dari adanya penyerahan dan

pelimpahan urusan pemerintahan kepada suatu tingkat

daerah tertentu untuk diatur dan diurus sebagai urusan

pemerintahan kepada suatu tingkat daerah tertentu untuk

diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri.

Dalam rangka melaksanakan cara cara pembagian urusan

dikenal adanya system otonomi yang dikenal sejak dulu,

yakni cara pengisian rumah tangga daerah atau sistem

otonomi rumah tangga daerah. Urusan pariwisata masuk

ke dalam otonomi nyata, bertanggungjawab, dan dinamis.

Urusan pariwisata termasuk kedalam urusan pilihan yang

diserahkan kepada pemerintahan daerah dimana urusan

pariwisata disesuaikan dengan factor-faktor objektif di

daerah, misalnya, Provinsi Bali yang kaya akan potensi

pariwisata. Sehingga Pemerintah daerah dapat menjamin

akan mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri dengan adanya potensi pariwisata yang dimiliki.

Tanggung jawab pemerintah daerah adalah mengolah

potensi pariwisata tersebut dengan meningkatkan

Page 59: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

52 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

pemasukan daerah dari bidang kepariwisataan sehingga

diharapkan akan dapat menjamin perkembangan dan

pembangunan antardaerah yang serasi sehingga laju

pertumbuhan antar daerah dapat seimbang. Urusan

pemerintah provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan

pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai

dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah

yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai

pengaturan teknis untuk masingmasing bidang atau

sub bidang urusan pemerintahan diatur dengan

Peraturan Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintahan

Nonkementerian yang membidangi urusan pemerintahan

yang bersangkutan setelah berkoordinasi dengan Menteri

Dalam Negeri.

Dalam penelitian ini dilakukan pengkajian

terhadap Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan . Undang-Undang No. 10 tahun 2009

tentang Kepariwisataan ini dikaji karena secara normatif

terdapat permasalahan hukum yang timbul yaitu

norma kabur. Kekaburan norma tersebut dapat dilihat

pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan pada BAB X Bagian Kedua tentang Badan

Promosi Pariwisata Daerah pada ayat (2) nya menyebutkan

bahwa “Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana

disebutkan dalam ayat (1) merupakan lembaga swasta

dan bersifat mandiri”. Sedangkan dalam ayat (4)

Pasal 43 UndangUndang No. 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan menyebutkan juga bahwa “Pembentukan

Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur/

Bupati/Walikota.” Dalam bunyi pasal tersebut terdapat

Page 60: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 53(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

pengaturan yang tidak jelas mengenai wewenang

pemerintah daerah sehingga menimbulkan banyak

penafsiran. Kekaburan ini juga karena tidak ada kejelasan

apakah dalam memfasilitasi pembentukan Badan Promosi

Pariwisata Daerah ini pemerintah daerah hanya bersifat

menganjurkan, sampai pada pembentukannya ataukah

sampai kepada pengawasannya.

Penelitian lapangan menghasilkan data menarik.

Selain dinas pariwisata, di Provinsi Bali terdapat satu

organisasi yang juga mengurusi pariwisata yaitu Badan

Pariwisata Bali (Bali Tourism Board) yang selanjutnya

disebut dengan BTB. BTB merupakan organisasi yang

berstatus mandiri agar dapat secara aktif berpartisipasi

meningkatkan pembangunan kepariwisataan Bali yang

berlandaskan pariwisata budaya.BTB sebagai gabungan

dari sejumlah organisasi kepariwisataan di Bali bertujuan

untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan

memfasilitasi industri dan pemerintah dalam meningkatkan

mutu objek wisata dan segenap faktor pendukungnya.

Visi BTB adalah menjadi organisasi yang mengelola daerah

tujuan wisata secara professional dan memiliki daya saing

dengan negara lain. Misi BTB juga untuk mempromosikan,

membangun dan mengelola Bali sebagai daerah tujuan

wisata unggulan. BTB sudah mengambil langkah-langkah

strategis bersama Dinas Pariwisata Derah Provinsi

Bali dengan menyusun rancangan aksi pemasaran,

promosi Bali, merangsang kedatangan wisatawan secara

berkesinambungan, meningkatkan ksadaran masyarakat

Bali akan kepariwisataan, menjembatani dan mengaktifkan

komunikasi dua arah serta pertukaran ide antara

pemerintah dan sektor swasta. BTB sebagai kumpulan

organisasi kepariwisataan memiliki tanggungjawab

Page 61: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

54 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

menjaga pariwisata Bali karena berhubungan dengan

bisnis atau usaha yang dimiiki anggotannya.Bahkan BTB

Bali berbeda dengan organisasi serupa di seluruh Indonesia.

BTB di Bali bersifat mandiri tidak mendapatkan bantuan

dari pemerintah dalam menjalankan organisasinya.

Sementara di daerah lain organisasi semacam BTB

mendapatkan alokasi dana untuk melakukan berbagai

kegiatan promosi. Baik dinas pariwisata maupun BTB

memiliki tugas yang sama yaitu memajukan pariwisata

Bali. Disamping itu dengan dikeluarkannya UU No. 10

tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang menggantikan

Undang-Undang Kepariwisataan sebelumnya yaitu UU

No. 9 Tahun 1990 pemerintah memberikan kewenangan

kepada Pemerintah Daerah dalam Pembentukan Badan

Promosi Pariwisata Daerah. Badan Promosi Pariwisata

Daerah Ini merupakan lembaga swasta dan bersifat

mandiri. Khususnya di Provinsi Bali, kalau kita lihat sudah

terdapat dinas pariwisata dan BTB yang memiliki tujuan

yang sama yaitu untuk mempromosikan pariwisata di Bali.

Dengan adanya bunyi Pasal 43 ayat (1) UU No. 10 Tahun

2009, maka untuk urusan pariwisata sendiri Bali akan

memiliki tiga badan yang mempunyai tujuan yang sama

dalam bidang kepariwisataan.

Berdasarkan uraian di atas, Dinas Pariwisata, Badan

Pariwisata Bali (Bali Tourism Board /BTB) dan Badan

Promosi Pariwisata Daerah memiliki kesamaan. Meskipun

memiliki kesamaan, hal ini tidak akan menyebabkan

tumpang tindihnya tugas diantara ketiga badan tersebut,

mengingat BTB dan Badan Promosi Pariwisata Daerah

memiliki bidang kerja sendiri-sendiri. Disamping itu

BTB dan Badan Promosi Pariwisata Daerah merupakan

badan swasta yang bersifat mandiri. Hal ini tidak akan

Page 62: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 55(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

mempengaruhi kinerja dari Dinas Pariwisata. Upaya

promosi yang dilakukan Dinas Pariwisata Provinsi Bali

memang harus dikoordinasikan bersama Pemerintah Pusat

dan stakeholder karena Pemerintah Pusat memegang

dana yang akan digunakan, stakeholder yang paham dan

memiliki pengalaman sebagai praktisi pariwisata serta

masyarakat yang dapat diajak utuk berperan serta dalam

upaya promosi tersebut. Birokrasi kaku, sulitnya Organisasi

Perangkat Daerah Kepariwisataan mengambil langkah

cepat, efisien dan efektif bertentangan dengan sistem

kerja stakeholder yang responsif dan profesional dalam

mengambil keputusan. Sementara masyarakat dalam

hal ini hanya mampu menunggu reaksi dari Organisasi

Perangkat Daerah Kepariwisataan dan stakeholder

dalam mengambil langkah-langkah promosi. Unsur

politisi dan lobbying juga menjadi syarat utama dalam

mengembangkan urusan promosi termasuk sistem

promosi serta cara atau strategi promosi yang digunakan.

Dengan demikian, tugas, fungsi, keanggotaan dan sumber

pembiayaan dari Badan Pariwisata Bali (Bali Tourism

Board/BTB) dengan Badan Promosi Pariwisata Bali (BPPD)

tersebut memiliki kesamaan. Sehingga untuk dapat lebih

cepat terbentuknya Badan Promosi Pariwisata Daerah di

Provinsi Bali, Badan Pariwisata Bali (Bali Tourism Board/BTB)

dapat dijadikan embrio. Mengingat banyaknya persamaan

diantar kedua badan tersebut. Akan tetapi harus diadakan

penyempurnaan terhadap BTB untuk dapat dijadikan

sebagai Badan Promosi Pariwisata Daerah mengingat

pembentukannya masih berdasarkan Undang-Undang

Kepariwisataan yang lama yaitu UU No. 9 Tahun 1990

sehingga memerlukan beberapa penyesuaian dengan UU

No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

Page 63: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

56 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

C. Pluralisme Lokal dalam Kebijakan Kepariwisataan

1. Keragaman Hayati dan Kebhinekaan Budaya

Latar belakang penelitian ini berdasarkan adanya fenomena

menarik tentang keragaman budaya di Indonesia.

Menurut sensus penduduk tahun 2010, perkembangan

penduduk Indonesia saat ini mencapai jumlah 237.556.363

jiwa, yang menempatkan Indonesia pada urutan

keempat dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat.

Penduduk Indonesia tersebar dari ujung Barat hingga

Timur, mulai dari Sumatra sampai Papua dengan kondisi

geografis yang berbeda-beda seperti wilayah pesisir,

tepian hutan, pedesaan, perkotaan, dataran rendah dan

pegunungan/dataran tinggi. Beragam suku bangsa hidup

berdampingan dengan latar belakang kehidupan yang

berbeda, Kondisi geografis tempat tinggal yang berbeda

tersebut menjadikan masyarakat di Indonesia memiliki

kehidupan beraneka ragam yang dipengaruhi oleh

budaya masing-masing sebagai warisan dari tiap generasi

sebelumnya. Selain itu faktor kebudayaan dari luar yang

masuk ke Indonesia dan penyebaran agama-agama besar

di pelosok wilayah Indonesia membuat terjadinya proses

akulturasi dan asimilasi serta menambah keragaman

budaya yang ada. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan

keseharian seperti agama, kebiasaan, tradisi, adat istiadat,

mata pencaharian, kesenian yang sesuai dengan ciri khas

suku-suku tersebut.

Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang

unik di dunia. Mengingat Indonesia memiliki jumlah pulau

yang banyak, serta mempunyai keragaman hayati dan

kebinekaan budaya tinggi. Ditilik dari keragaman pulau,

kini paling tidak telah tercatat tidak kurang dari 18.110

buah pulau dengan ukuran kecil dan besar di Indonesia.

Page 64: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 57(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Namun, dari sejumlah pulau-pulau tersebut baru sekitar

5.707 pula yang telah diberi nama.109 Di antara pulau-

pulau di Indonesia, 5 pulau di antaranya dikenal sebagai

pulau besar, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi

dan Papua. Kawasan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI) sebagai negara maritim, memiliki luas lautan

mencapai 2/3 (75%) dari seluruh kawasan Indonesia.

Panjang pantai negara kita mencapai 81.000 km. Karena

itu, apabila peta kawasan NKRI ditumpang tindihkan

di atas peta Amerika Serikat. Maka, tampak bahwa luas

kawasan NKRI hampir sama dengan luas Amerika Serikat,

hanya perbedaannya Indonesia adalah sebuah pulau,

sedangkan Amerika Serikat adalah sebuah daratan.110

Ditilik dari kategori tersebut, paling tidak di

Indonesia memiliki 47 tipe ekosistem alami terestrial yang

membentang dari pesisir hingga wilayah pegunungan

tinggi. Misalnya, ekosistem alami terestrial dapat dibedakan

atas tiga macam kelompok vegetasi, yaitu vegetasi pamah/

dataran rendah (0-1.000 m dpl); vegetasi pegunungan,

terdiri pegunungan bawah (1.000-1.500 m dpl) dan

pegunungan atas (1.500-2.400 m dpl) dan vegetasi sub-

alpin (2.400-5.000 m dpl); serta vegetasi monsun di daerah

kering dengan curah hujan rendah (kurang dari 1.500

mm/tahun, dengan nilai evapotransipirasinya melebihi

curah hujannya). Sedangkan keragaman ekosistem bahari

di antaranya terdiri dari ekosistem pesisir, ekosistem

pantai, ekosistem mangrove, padang lamun, estuaria, dan

ekosistem laut terbuka. Sementara itu, ekosistem binaan

di negara kita sangat beragam, di antaranya hutan tanam;

109 S.D. Sastrapradja, Memupuk Kehidupan di Nusantara: Memanfaatkan Keragaman Indonesia. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2010), 76.

110 Otto Soemarwoto, Pembangunan Berkelanjutan: Antara Konsep dan Reaita (Bandung: Universitas Padjajaran, 2006), 83.

Page 65: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

58 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

macam-macam agroekosistem seperti ladang berpindah,

sawah tadah hujan, sawah irigasi, sawah surjan, sawah

rawa, sawah pasang surut, kolam, tambak, perkebunan,

kebun, talum, dan pekarangan.111

Indonesia, selain memiliki keanekaan ekosistem dan

keanekaragaman hayati, juga memiliki keanekaan atau

kebinekaan suku bangsa dan bahasa. Indonesia telah

tercatat memiliki lebih dari 300 kelompok etnik. Aneka

ragam kelompok etnik tersebut bermukim di berbagai

lokasi/geografis dan ekosistem, seperti lingkungan

pesisir dan pedalam atau perairan daratan. Sementara

itu, berdasarkan bentuk mata pencahariannya berbagai

etnik tersebut dapat dibedakan menjadi lingkungan

sosial pemburuperamu, nelayan, berladang berpindah

atau berladang berotasi, petani menetap, serta industri

dan jasa.112 Misalnya, berbagai kelompok pemburu dan

peramu yang hidup di perairan, seperti Orang Laut di

perairan sekitar Batam, Irang Sekak di perairan utara Pulau

Bangka, dan Orang Bajau di sepanjang perairan sebelah

timur Pulau Sulawesi. Berbagai kelompok masyarakat

nelayan di Indonesia dicatat di berbagai kawasan pesisir.

Contohnya, masyarakat nelayan di Bagan Siapi-api dari

suku Cina, nelayan Marunda, Muara Karang dan Cilincing

dari suku bangsa Betawi; nelayan Pelabuhan Ratu masih

bagian dari suku Sunda, nelayan Cilacap di pantai Selatan

Jawa, nelayan Cirebon dan Gresik di pantai utara Jawa;

masyarakat pesisir Pulau Seram, pesisir utara Irian Jaya,

pesisir Sulawesi, pesisir Kepulauan Kei.

Berbagai masyarakat pemburu dan peramu di

kawasan hutan di Indonesia, tercatat di antaranya Anak 111 Sastrapradja, 92-118.112 J. Purba, ed., Pengelolaan Lingkungan Sosial (Jakarta: Yayasan Pustaka

Obor, 2006), 34.

Page 66: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 59(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Dalam di Jambi, Orang Sakai di pedalaman Riau, Orang

Punan di Kalimantan Timur, Orang Asmat di Pedalaman

Irian Jaya bagian selatan; orang Nualu di Pedalaman Pulau

Seram, Maluku. Berbagai kelompok masya-rakat peladang

berpindah di Indonesia, dikenal di antaranya masyarakat

Baduy di Banten Selatan, masyarakat Kasepuhan di

Sukabumi Selatan bagian dari suku bangsa Sunda;

peladang Talang Mamak di pedalaman Riau, bagian suku

bangsa Malayu, masyarakat Kantu di Kalimantan Barat,

bagian dari kelompok suku bangsa Dayak. Sementara

itu, para petani penetap terutama para petani sawah di

berbagai suku bangsa di Indonesia.

Pada umumnya tiap suku di Indonesia mempunyai

bahasa lokal atau bahasa ibu yang berbeda-beda.

Mengingat Indonesia memiliki lebih dari 30 suku bangsa,

maka tak heran di Indonesia memiliki sekurangnya 655

bahasa lokal atau bahasa ibu. Jumlah bahasa lokal di

Indonesia menempati peringkat ke dua dari 25 negara

di dunia yang memiliki bahasa lokal di dunia yang

memiliki keanekaan bahasa lokal endemik setelah Papua

Guinea (847 bahasa).113 Dengan adanya berbahasa lokal

telah menyebabkan berbagai kelompok etnik memiliki

kemampuan untuk berfikir secara sistimatis dan teratur

serta berkembangnya aneka ragam pengetahuan lokal

di Indonesia. Misalnya, pengetahuan penduduk lokal

tentang botani, seperti pengenalan jenis-jenis tumbuhan,

pemanfaatan dan pengelolaannya. Pengetahuan

penduduk tentang ekologi pertanian atau agroekosistem,

seperti pengelolaan berbagai agroforestri tradisional,

seperti pekarangan dan sistem talun-kebun di Jawa 113 L. Maffi, “Linguistic Diversity,” dalam Cultural and Spiritual Values

of Biodiversity, ed. oleh D. Posey (London: Intermediate Technology

Publications, 1999), 21–35.

Page 67: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

60 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Barat; sistem dukuh lembur atau leuweung lembur di

Baduy, Banten Selatan; kaliwo atau kalego di Sumba

Barat; repong damar di Krui, Lampung; kaleka di Bangka

dan Belitung, Sumatera; pelak di Kerinci Jambi, Sumatera;

parak di Maninjau, Sumatera Barat; lembo atau simpukng

atau lepu atau pun pulung bue di Kalimantan Timur, dan

tembawang di Kalimantan Barat.114

Selain itu, beberapa kelompok etnik di Indonesia

juga telah memiliki pengetahuan lokal untuk mengelola

kawasan hutan secara berkelanjutan, misalnya dikenal

sistem pengelolaan hutan dengan sistem tanah ulen di

masyarakat Dayak Kalimantan Timur (sistem zonasi hutan

keramat pada masyarakat Baduy115 dan sistem zonasi

tradisional pada masyarakat Toro, di kawasan enclave

Taman Nasional Lore, Sulawesi Tengah.116 Tidak hanya itu,

beberapa kelompok masyarakat lokal dengan berbekal

pengetahuan lokalnya telah mampu mengelola sumber

daya air secara berkelanjutan, seperti sistem sasi di

Maluku, Sulawesi dan Papua, dan sistem lubuk larangan di

Sumatera.117

114 J. Iskandar, Manusia Budaya dan Lingkungan: Kajian Ekologi Manusia

(Bandung: Humaniora Utama Press, 2001); H. de Forestra dkk., Ketika

Kebun Berupa Hutan: Agroforest Khas Indonesia Sebuah Sumbangan Masyarakat (Bogor: International Centre for Research in Agroforestry,

2000).115 J. Iskandar, “Pelestarian Daerah Mandala dan Keragaman Hayati Oleh

Orang Baduy,” dalam Situs Keramat Alami: Peran Budaya Dalam Konservasi Keragaman Hayati, ed. oleh H. Soedjito, Y. Purwanto, dan

E. Sukara (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2009).116 G. Baso, “Mophilonga Katuvua: Konsepsi Masyarakat Adat Toro

Dalam Mempertahankan Kelestarian Sumberdaya Hutan,” dalam Situs

Keramat Alami: Peran Budaya Dalam Konservasi Keragaman Hayati, ed. oleh H. Soedjito, Y. Purwanto, dan E. Sukara (Jakarta: Yayasan

Pustaka Obor, 2009), 240–66.117 Z.B. Lubis, “Lubuk Larangan: Revivalisasi Situs Keramat Alami di

Kabupaten Mandailing Natal,” dalam Situs Keramat Alami: Peran

Page 68: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 61(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Pada masa kini dengan kemajuan komunikasi global

dan meningkatnya hubungan antar budaya, menimbulkan

pemikiran dan kesadaran bahwa di balik keragaman

tersebut timbul berbagai kekuatan dan kekayaan budaya

hingga timbulnya berbagai permasalahan sosial. Hal

ini berdasarkan adanya perbedaan pendapat yang

memandang keragaman budaya berupa kekayaan

yang dikandung tiap budaya di dunia sebagai sesuatu

yang positif, sementara ada pula yang menganggap

perbedaan budaya tersebut mengakibatkan hilangnya

rasa kemanusiaan dan menjadi akar berbagai konflik.

2. Relasi dengan Kepariwisataan

Dikaitkan dengan kepariwisataan, maka keragaman atau

pluralism lokal menampakkan basis pada kebudayaan.

Tedi Sutardi berpendapat bahwa kebudayaan berdasarkan

antropologi, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan

dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan

masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.118

Hal ini mengisyaratkan bahwa hampir seluruh tindakan

manusia adalah kebudayaan. Dari uraian tersebut,

dapat disimpulkan bahwa budaya merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia karena

meliputi seluruh aspek hidup yang ada dalam diri individu

berupa kemampuan berpikir, bertindak dan berperilaku,

serta dilaksanakan guna kelangsungan kehidupan

bermasyarakat. Kebudayaan di Indonesia merupakan

entitas yang tak berhenti mengalami perubahan, dan

kecepatan transformasi sosio-kultural ini bervariasi.

Budaya Dalam Konservasi Keragaman Hayati, ed. oleh H. Soedjito, Y.

Purwanto, dan E. Sukara (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2009).118 Tedi Sutardi, Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya (Bandung:

Setia Purna Inves, 2010), 10.

Page 69: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

62 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Dinamika kebudayaan yang seperti ini di Indonesia tidak

pernah serupa antara daerah satu dengan daerah yang

lain, antara kelompok budaya satu dengan yang lainnya,

serta antara kurun waktu yang satu dengan kurun waktu

yang lain. Proses pembentukan dan perubahan terus

berlangsung karena adanya (a) dinamika internal, sebagai

hasil dari interaksi antarunsur kebudayaan dan antara

unsur-unsur kebudayaan tersebut dengan lingkungan

alam, dan (b) adanya pengaruh-pengaruh eksternal, yang

terjadi karena semakin meningkatnya kemajuan teknologi

komunikasi dan transportasi global.

Didalam pasal 32 ayat (1) Undang Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengamanatkan

bahwa Negara berkuajiban memajukan kebudayaan

Nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan

menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara

dan mengembangkan nilai nilai budayanya, sehingga

kebudayaan Indonesia perlu dihayati oleh oleh seluruh

warga Negara. Oleh karena itu kebudayaan Indonesia yang

mencerminkan nilai nilai luhur bangsa harus dilestarikan

guna memperkokoh jati diri bangsa, mempertinggi

harkat dan martabat bangsa serta memperkuat ikatan

rasa kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita

cita bangsapada masa depan. Kebudayaan Indonesia

yang memiliki nilai nilai luhur harus dilestarikan guna

memperkuat pengamalan Pancasila, meningkatkan

kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa dan

kebanggaan Nasional, memperkukuh kesatuan bangsa

serta meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai arah

kemajuan kehidupan bangsa. Berdasarkan pada amanat

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 itu, Pemerintah mempunyai kewajiban

Page 70: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 63(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

melaksanakan kebijakan untuk memajukan kebudayaan.

Sehubungan dengan itu, keseluruhan kistalisasi nilai-

nilai bangsa Indonesia yang meliputi; gagasan, perilaku

dan hasil karya manusia dan/atau kelompok manusia

Indonesia yang dikembangkan melalui proses belajar dan

adaptasi terhadap lingkunganya yang berfungsi sebagai

pedoman untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara perlu untuk terus dilestarikan dan dikelola

sebagai dasar dan jiwa dalam membangun bangsa.

Dengan melandaskan kepada pluralisme lokal

tersebut, maka kebijakan kepariwisataan diharapkan

membawa akibat terhadap pelindungan terhadap hak-

hak berkebudayaan, kebhineka tunggalikaan, sejarah dan

warisan kebudayaan, serta pembentukan karakter bangsa.

Berikut ini ditinjau secara singkat akibat-akibat tersebut.

3. Perlindungan terhadap Hak-Hak Kebudayaan

Sebagai tindak lanjut dari Universal Declaration of Human

Rights oleh PBB sebagaimana telah dibahas di atas,

kemudian Komisi PBB tentang HAM telah menyusuli dengan

International Bill of Right pada Tahun 1966 yang berisi dua

dokumen, yaitu: The International Covenant on Civil and

Political Right dan The International Covenant on Economic

Social and Cultural Right. Dengan dikeluarkanya kedua

perjanjian ini maka memberikan implikasi kepada semua

negara anggota PBB dengan ketentuan ketentuan sebagai

berikut: (1) ketentuan-ketentuan deklarasi universal HAM

menjadi mengikat secara hukum; (2) hak-hak asasi manusia

termasuk di dalamnya hak-hak berkebudayaan yang harus

dilindungi menjadi lebih rinci, detail, dan jelas; dan (3)

tata cara pelindungan terhadap hak-hak tadi yang harus

diikuti oleh semua negara anggota menjadi lebih jelas.

Page 71: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

64 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Mendasarkan kepada semangat penyepakatan terhadap

realisasi dan pelindungan nilai-nilai dasar sebagai standar

perilku manusia secara universal sebagaimana telah

dibuktikan dalam sejarah perjuanganya, dan dengan

diakselerasikan oleh proses globalisasi yang begitu cepat,

maka keseluruhan pelindungan terhadap hak-hak tadi

bukanlah lagi menjadi monopoli Barat, akan tetapi sudah

merupakan kesepakatan mondial yang bukan saja perlu

diratifikasi oleh semua negara di bumi yang satu ini, akan

tetapi lebih dari itu wajib direalisasikan secara universal,

meskipun pelaksanaanya dapat secara khusus disesuaikan

dengan pembangunan sosial ekonomi dan kebudayaan di

masing-masing negara.

Sebagaimana yang terjadi di banyak negara

berkembang, persoalan perjuangan menegakan nilai nilai

universal sebagai standar perilaku manusia Indonesia

terbukti telah mendapatkan perhatian mendasar mulai dari

para founding fathers negara Indonesia dalam menyusun

dan meletakan dasar-dasar negara sampai dengan para

penerus dalam menyusun Peraturan Perundangan baru

dan meratifikasi segenap konvensi mengenai penegaan

nilai-nilai universal tadi. Secara historis upaya tadi telah

dimulai sejak menjelang dirumuskanya Undang-undang

Dasar 1945, 1949, serta 1950, kemudian pada sidang

Konstituante (1956 – 1959) dan pada penegaan Orde

Baru menjelang sidang MPRS 1968 sampai dengan akhir

dasawarsa 1980an. Namun demikian, kalau kita amati,

hak-hak asasi termasuk di bidang kebudayaan di dalam

UUD 1945 yang menjadi dasar kehidupan bernegara kita,

ternyata tidak termuat secara eksplisit dalam suatu piagam

tersendiri, melainkan tersebar dan beberapa hanya

bersifat implisit dalam berbagai pasal, terutama pada

Page 72: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 65(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Pasal 27 sampai dengan Pasal 31. Bahkan dapat dikatakan,

hak-hak yang mencakup bidang politik, ekonomi,

sosial, dan budaya, jumlahnya relatif terbatas dan telah

dirumuskan secara singkat. Hal ini sangat bisa dipahami

mengingat bahwa keseluruhan naskah tadi disusun di

akhir pendudukan Jepang dan dalam situasi yang tidak

kondusif dan mendesak. Di samping itu, kehadiran tentara

Jepang di Indonesia juga tidak menciptakan iklim yang

kondusif untuk menegakkan dan merumuskan hakhak tadi

secara lengkap. Lagi pula, pada waktu UUD 45 dirumuskan

Deklarasi Universal Hak Asasi juga belum lahir. Namun

demikian, sebetulnya jika rumusanrumusan yang implisit

tadi dianalisis secara teliti, ternyata kita akan menemukan

kandungan-kandungan nilai-nilai dasar universal hak-hak

asasi manusia tadi, termasuk hak berkebudayaan jauh

lebih banyak dari yang semula kita duga.

Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 kita telah

diawali dengan pengakuan dan deklarasi tentang

“freedom to be free”, bahwa kemerdekaan itu adalah hak

segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas

dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri

keadilan. Secara implisit, pernyataan ini adalah sebuah

pengakuan terhadap hak-hak asasi kolektif suatu bangsa

untuk hidup bebas dari segala penindasan oleh bangsa lain

dan sekaligus menegaskan kedudukan yang sejajar dari

semua bangsa di dunia. Pengakuan akan hak-hak kolektif

suatu bangsa ini sebetulnya jauh lebih maju dari Deklarasi

Universal HAM yang hanya mengakui setiap orang adalah

merdeka dantidak boleh diperbudak olehorang lain.

Selanjutnya, dalam alinea kedua menyebutkan bahwa

Indonesia diharapkan menjadi negara yang adil dan

makmur. Konstruk adil di sini sekali lagi menegaskan

Page 73: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

66 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Indonesia sebagai negara hukum. Kekuasaan hendaklah

dijalankan secara adil dan amanah, artinya negara tidak

boleh bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya.

Penyebutan Indonesia sebagai negara yang

“makmur” mengandung maksud yang berhubungan

erat dengan hak-hak rakyat di bidang ekonomi. Artinya,

negara berkwajiban menjamin kesejahteraan masyarakat

secara material sesuai dengan harkatdan martabatnya

sebagai manusia. Alinea ketiga yang menegaskan hasrat

bangsa Indonesia untuk “berkehidupan berkebangsaan

yang bebas”, di samping menegaskan sekali lagi pada

hak-hak kolektif manusia yang dimiliki sebuah bangsa,

juga dalam perspektif individual telah sejalan dengan

pasal 27 Deklarasi Universal HAM, bahwa Indonesia

telah menyatakan “setiap orang berhak untuk turut serta

dengan bebas dalam hidup berkebudayaan masyarakat”.

Sedangkan pada alinea keempat, menegaskan tujuan

pembentukan pemerintah Indonesia untuk “melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan

ketertiban dunia ”telah menegaskan kewajiban

pemerintah negara Indonesia untuk “melindungi segenap

bangsa” dalam makna yang luas termasuk dari berbagai

ancaman dan perlakuan sewenang wenang”. Memajukan

kesejahteraan umum juga mengandung arti yang sangat

luas, termasuk kesejahteraan lahir dan batin. Sedang

konstruk hak “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam

alinea ini juga berarti berhubungan dengan hak-hak sosial

dan pendidikan. Sedangkan pada bagian akhir alinea

keempat, yang mengandung nilai dasar inti Pancasila;

yaitu ”Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang

Page 74: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 67(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan Kerakyatan

yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan

suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

sesungguhnya telah menegaskan doktrin hak-hak asasi

manusia dalam bidang politik, sosial, dan budaya yang

menjadi tekananutama dari Deklarasi Universal HAM.

Memasuki ruang analisis batang tubuh UUD 1945,

khususnya yang tercantum secara eksplisit pada pasal

28, konstitusi kita juga mengamanahkan penjaminan

dan pelindungan terhadap hak bangsa Indonesia

untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran

dengan lisan dan tulisan “dan sebagainya”. Konstruk “dan

sebagainya” telah mengacu pada sifat tidak terbatas dari

jaminan hak yang dikandung dalam Pasal 28 itu. Jaminan

dan pelindungan hak-hak asasi manusia sebagaimana

tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 ternyata selaras

dengan Pasal 19 Deklarasi Universal HAM yang telah

menetapkan “Setiap orang berhak atas kebebasan

mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan,

dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan

keterangan keterangan dan pendapat pendapat dengan

cara apapun dan tidak memandang batas-batas.

Kandungan Pasal 28 UUD 1945 juga sangat gayut dengan

Pasal 20 dalam Deklarasi Universal yang menegaskan: (1)

setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul

dan mengadakan rapat dengan tidak mendapat gangguan

dan (2) tidak seorangpun dapat dipaksa memasuki salah

satu perkumpulan.

Page 75: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

68 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

4. Kebhinekatunggalikaan

Dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945

Amandemen (4) sebagai landasanfilosofis dan yuridis

tertinggi mengamatkan bahwa: “Negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

undang-undang.”

Sedangkan pada Pasal 32 Undang-Undang

Dasar 1945 Amandemen (4) sebagai landasanyuridis

mengamanatkan bahwa: (1) Negara memajukan

kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban

dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam

memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah

sebagai kekayaan budaya nasional. Dalam memajukan

kebudayaan Indonesia perlu disadari bahwa bangsa

Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan beraneka

ragam budaya yang akan terus tumbuh dan berkembang

sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat yang

terus berubah. Penghargaan terhadap keragaman budaya

menjadi harmoni melalui pemahaman terhadap suku

bangsa yang lain.

Pengakuan dan pemahaman yang bersandar pada

keberagaman multietnik dan budaya akan melahirkan

sikap toleransi, harmoni, dan demokratis yang menjadi ciri

masyarakat multikultural dan membuat semakin kukuhnya

jati diri bangsa. Kesadaran akan jati diri dipengaruhi oleh

pemahaman kebudayaan secara kontinyu yang diperoleh

dari proses belajar, penyesuaian diri dari satu generasi

ke generasi berikutnya, sehingga keberadaan bangsa itu

Page 76: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 69(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

dalam masa kini dan dalam proyeksi ke masa depan tetap

bertahan pada ciri khasnya sebagai bangsa dan tetap

berpijak pada landasan falsafah dan budaya sendiri.

Kebudayaan dalam bentuk keragaman ras dan suku

bangsa merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang perlu

ditumbuhkembangkan tidak hanya untuk memperkukuh

jati diri, melainkan juga memperkokoh citra bangsa dan

situasi keberagaman suku bangsa yang berkembang dapat

bertahan dan sekaligus menjadi dasar kehidupan bangsa

yang maju seiring dengan perkembangan peradaban saat

ini. Kebudayaan Indonesia yang lama di sini diharapkan

dapat bertahan dan semakin kuat, dan dapat turut berperan

di tengah dinamika peradaban dunia, ketetapan untuk

memajukan kebudayaan menjamin kebebasan masyarakat

untuk berekspresi dan mengembangkan kreatifitas yang

sekaligus juga memelihara dan mengembangkan nilai-

nilai budaya baru.

5. Sejarah dan Warisan Budaya

Praktek kebudayaan Indonesia tidak terlepas dari

kondisi historis dan sosialbudaya di Indonesia secara

umum. Berkaitan dengan konteks kesejarahan bangsa

Indonesia beserta kebudayaannya, Muchlis PaEni (2008),

mendefinisikan sejarah sebagai peristiwa yang terjadi

pada masa lampau (past events, res gestae). Sejarah

sebagai suatu peristiwa yang dianggap penting dan

dituliskan oleh penulis sejarah untuk mencari kebenaran

dengan cara mencari hal yang pasti, tegas, dan mendasar

tentang masa lampau manusia beserta segala aspek yang

melingkupinya, termasuk dalam hal ini adalah sejarah

peradaban (kebudayaan). Upaya penulisan sejarah untuk

mengungkap masa lalu kebudayaan kita dilandasi pada

Page 77: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

70 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

fakta-fakta yang menggambarkan interaksi antara manusia

dengan berbagai dinamikanya. Dinamika perkembangan

penulisan sejarah sebagai sebuah disiplin setidaknya

dalam teori atau filsafat sejarah didasarkan pada filsafat

positivisme, yaitu sejarah sebagai sebuah wacana

narative. Sementara itu, di dalam historiografi tradisional

Nusantara, kita mengenal beberapa istilah seperti babad,

serat, sajarah, carita, wawacan, hikayat, tutur, tambo,

silsilah, cerita-cerita manurung, dongen, mitos, maupun

himpunan pengalaman yang diriwayatkan secara lisan

yang di dalamnya memuat (baik simbolis maupun tidak)

fakta-fakta sejarah kebudayaan Nusantara di masa lampau.

Dalam konteks ini penulisan sejarah tidak harus dibingkai

dalam romantisasi tertentu ataupun dibebani oleh suatu

misi dari suatu rezim kekuasaan tertentu. Masyarakat kita

memerlukan pemahaman sejarah beserta nilainya yang

didasarkan atas fakta secara alamiah, kritis, obyektif, dan

tentu saja ilmiah. Dengan demikian, sejarah kebudayaan

dapat diartikan sebagai hasil kajian yang merupakan

upaya membangun pengetahuan tentang peristiwa atau

fakta yang berkaitan dengan masyarakat dan budayanya

yang pernah terjadi dalam masyarakat.

Dalam konteks peninggalan sejarah peradaban in-

situ inilah PaEni (2008) menjelaskan bahwa benda cagar

budaya merupakan aset kekayaan budaya bangsa yang

penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan

sejarah, ilmu pengetahuan, serta kebudayaan itu

sendiri, sehingga perlu dilestarikan (dilindungi,

dikembangkan, hingga dimanfaatkan) dan menjadi

subjek dalam pembangunan kebudayaan nasional untuk

membangkitkan dan memupuk kesadaran terhadap

pentingnya jati diri bangsa dan kepentingan nasional

Page 78: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 71(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

yang lain. Benda budaya mempunyai fungsi dan bermakna

penting sebagai bukti sejarah karena mengandung nilai-

nilai inspiratif yang mencerminkan tingginya nilai budaya

dan dapat dimanfaatkan sebagai pencitraan kehidupan

berbangsa, yaitu sebagai kebanggaan kebudayaan

nasional danlandasan pengembangan jati diri bangsa.

Untuk menentukan benda tinggalan sejarah kebudayaan

yang bernilai penting dan berpeluang dijadikan sebagai

benda cagar budaya perlu dilakukan penilaian dan kajian

melalui lembaga kepakaran. Upaya pelestarian terhadap

benda cagar budaya dilakukan melalui ketentuan-

ketentuan dalam pelbagai prinsip pelindungan,

pengembangan, dan pemanfaatan yang, setidaknya,

berdasarkan pada UndangUndang No. 11 tahun 2010

tentang Cagar Budaya. Pemahaman mengenai sejarah

peradaban sebagaimana dijelaskan sebelumnya sangat

erat kaitannya dengan realita masyarakat dan kebudayaan

bangsa Indonesia di masa sekarang. Selanjutnya mengenai

sosio-kultural bangsa Indonesia, premis bahwa karakter

setiap kebudayaan itu bersifat partikular, tumbuh dalam

lingkup wilayah yang relatif “kecil” atau terbatas, dan oleh

karenanya kecil kemungkinan untuk terjadi homogenisasi,

itu benar adanya. Kendati demikian, tidak bisa dimungkiri

juga bahwa kebudayaan satu dengan yang lain dapat saling

mempengaruhi, bertukar atau “saling meminjamkan”

unsur-unsurnya, sehingga dalam proses yang demikian

itu dapat melahirkan apa yang disebut sebagai akulturasi

maupun asimilasi budaya, yang secara kasat mata dapat

disaksikan berbagai gejalanya dari masa lalu sampai saat

ini, seperti kisah-kisah dan penokohan wayang Jawa

yang erat hubungannya dengan tradisi bangsa India di

Asia Selatan, hingga globalisasi bahasa, gaya hidup, dan

Page 79: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

72 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

fesyen pada masyarakat perkotaan di masa kini. Gejala-

gejala yang demikian itu dapat dibuktikan dan ditelusuri

lebih jauh dengan melihat lansekap kebudayaan bangsa

Indonesia, dulu dan sekarang.

Lebih lanjut, secara sosiologis kekayaan bangsa ini

secara kultural itulah yang dapat dijadikan sebuah potensi

tersendiri bagi bangsa Indonesia apabila dibandingkan

dengan negara-negara lain di dunia. Potensi sosio-kultural

bangsa Indonesia yang khas ini ketika dijabarkan lebih

lanjut secara terperinci, setidaknya terdapat beberapa

hal yang merupakan lansekap kebudayaan nasional

secara umum, yaitu: (1) keanekaragaman kearifan lokal,

(2) keanekaragaman bahasa, (3) keanekaragaman seni, (4)

keaneka-ragaman warisan budaya, (5) keanekaragaman

religi, (6) keanekaragaman falsafah hidup, dan (7) budaya

nasional dan globalisasi. Ketujuh ragam potensi itu

merupakan intisari yang termanifestasi dalam tiap-tiap

diri pada ratusan etnis, subetnis tempatan (lokal), dan juga

pada masyarakat perkotaan yang telah termodernisasi di

seantero Nusantara.

6. Pengembangan Karakter Bangsa

Lansekap karakter bangsa yang merupakan ciri bangsa

Indonesia apabila dipandang dari aspek-aspek sosial

setidaknya memiliki tiga elemen atau unsur sebagai hal-

hal strategis, yaitu: (1) pluralitas dalam masyarakat, (2)

pluralitas institusi sosial, dan (3) pluralitas pola adaptasi

(atau sistem ekonomi). Ketiga unsur tersebut merupakan

sebuah fakta sosial, yang telah ada sebelum munculnya

negera Indonesia sebagai kesatuan politik. Berbagai

fakta sosial tersebut tidak terlepas dari realita sosial yang

sebenarnya juga merupakan posisi strategis bagi bangsa

Page 80: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 73(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Indonesia, yakni bahwa secara kuantitas atau dengan

jumlah penduduk sekitar 231 juta jiwa, yang mana

total populasi masyarakat Indonesia menempati posisi

keempat i dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat.

Sehubungan dengan total populasi itu, maka secara

sosiologis masyarakat Indonesia terbentuk ke dalam

realitas sosial dan kultural yang khas. Artinya, bahwa

keberagaman atau kemajemukan dalam masyarakat

sangat kentara dalam kehidupan sehari-hari dan terbagi

ke dalam kategori-kategori sosial tertentu, yaitu berupa

kelompok, golongan, lapisan, relasi, hingga jejaring

sosial. Kategorisasi sosial semacam ini bisa kita tengarai

lebih lanjut dan lebih menukik ke dalam dengan melihat

pada sistem sosial yang berlaku di sana, seperti adanya

berbagai pranatapranata sosial berupa perangkat nilai,

kepercayaan, pandangan hidup, norma, dan aturan-aturan.

Norma-norma atau tata-aturan yang disepakati dan ditaati

bersama dan biasanya telah ditetapkan terlebih dahulu

dalam kelompok-kelompok maupun melalui organisasi-

organisasi atau institusi-institusi sosial sebagaimana telah

disinggung sebelumnya. Mengenai sistem sosial yang

berlaku ini biasanya mewujud dalam lingkup keluarga,

kampung, desa, hingga kelompok sosial yang lebih luas,

yaitu negara. Dalam konteks pembangunan nasional

kebudayaan, keberagaman atau pluralitas sosial yang

demikian itu tentu saja dapat menjadi modal penting.

Page 81: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

74 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

D. Paham Negara Kesejahteraan dalam Pengaturan

Kepariwisataan di Indonesia

1. Pewadahan dalam Konstitusi

Paham sosialis yang berkembang pada abad ke-19

memunculkan gagasan tentang negara kesejahteraan

sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah yang

Kapitalis-Liberalis. Sistem kapitalis sangat mengagungkan

produksi sebagai kekuatan dalam menentukan

kompetisi.119 Dalam sistem ini pemodal-pemodal besar

memiliki kekuasaan atas kebijakan perekonomian di dalam

suatu negara. Pada beberapa kasus, kapitalis melahirkan

monopoli perdagangan.

Paham negara kesejahteraan (welfare state) menjadi

“penawar” dalam menghadapi sistem kapitalis yang

berkembang semakin pesat.120 Tidak mengherankan

apabila sejarah mencatat bahwa paham negara

kesejahteraan justru lahir dan berkembang dari negara-

negara kapitalis yang kuat dominasi individualisme dan

produksi, seperti Inggris dan Prancis.121 Program dari 119 Ariza Fuadi, “Negara Kesejahteraan (Welfare State) dalam Pandangan

Islam dan Kapitalisme,” Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia 5, no. 5

(2015): 14.120 Duco Bannink dan Marcel Hoogenboom, “Hidden change: disaggregation

of welfare state regimes for greater insight into welfare state change,”

Journal of European Social Policy 17, no. 1 (2007): 19–32.121 Ahmad Dahlan dan Irfaan Santoso, “Menggaas Negara Kesejahteraan,”

Jurnal el-Jizya 2, no. 1 (2014): 1–22. Di Inggris, implementasi paham

negara kesejahteraan bermula dari kebijakan atas kesehatan yang

digagas oleh William Henry Beveridge sehingga berdiri British National

Health Service. Di Jerman, negara kesejahteraan lazim dikenal dengan

wohlfahrstat, bermula dari gagasan Otto von Bismarc membentuk

sistem asuransi sosial. Di Prancis, dikenal kebijakan solidarity and insertion yang menekankan pada sikap saling menguntungkan dan

saling membantu. Negara kesejahteraan yang konon paling ideal yakni

Swedia, Gunnar Myrdal menggagas kebijakan terkait standar gizi dan

full employment. Diskusi lebih lanjut, lihat Ahmad Dahlan, “Krisis

Page 82: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 75(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

negara kesejahteraan ini bertujuan untuk mengangkat

kondisi warga negara yang lemah agar tetap bertahan

hidup dan menikmati kesejahteraan masyarakat

kapitalis.122 Negara kesejahteraan yang dipraktekkan

di Eropa dan AS merupakan bentuk perlindungan dari

negara terhadap masyarakat kelompok miskin, penderita

cacat fisik serta pengangguran agar tidak tergilas oleh

mesin kapitalisme.123 Khusus di Eropa, perlindungan

negara tersebut dikonkretkan dengan berbagai program

jaminan sosial baru seperti program pensiun, program

jaminan orang cacat dan santunan bagi pengangguran.124

Negara kesejahteraan atau welfare state yaitu suatu

negara yang memberikan tunjangan jaminan sosial

(social security benefits) yang luas seperti pelayanan

kesehatan negara, pensiun negara, tunjangan sakit

dan pengangguran, dan lain sebagainya.125 Kamus

Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi negara

kesejahteraan negara adalah “negara yang mengusahakan

kesejahteraan rakyat dengan mengatasi anarki produksi

dan krisis ekonomi, meningkatkan jaminan hidup

warga dengan memberantas pengangguran”.126 Negara

kesejahteraan juga di definisikan sebagai model ideal

Negara Kesejahteraan,” Harian Suara Merdeka, 28 Mei 2008.122 Fuadi, “Negara Kesejahteraan (Welfare State) dalam Pandangan Islam

dan Kapitalisme.”123 Edi Suharto, “Globalisasi, Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan :

Mengkaji Peran Negara dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial di

Indonesia,” http://www.policy.hu/suharto/mamakIndo10, 2004.124 Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagio, Mimpi Negara

Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), 28.125 Christopher Pass dan Bryan Lowes, Collins Kamus Lengkap Ekonomi,

trans. oleh Tumpal Rumapea dan Posman Halolo (Jakarta: Erlangga,

1999), 691.126 Save M.Dagun, Kamus Besar Imu Pengetahuan (Jakarta: LKPN, 2000),

708.

Page 83: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

76 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

pembangunan yang fokus pada optimalisasi peran negara

dalam memberikan pelayanan sosial kepada warga negara

secara universal dan komprehensif.127

Pada perkembangannya, paham negara kesejahteraan

ini dianut oleh negara modern, maju dan berkembang.

Setelah Perang Dunia II, negara baru terutama di Asia

memiliki obsesi membangun negara kesejahteraan,

seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, telah cukup

berhasil membangun negara kesejahteraannya.128

Menurut Pierson,

“Kata kesejahteraan (welfare) di dalamnya

paling tidak mengandung tiga subklasifikasi,

yakni: (1) Social welfare, yang mengacu kepada

penerimaan kolektif kesejahteraan; (2) Economic

welfare, yang mengacu kepada jaminan

keamanan melalui pasar atau ekonomi formal;

dan (3) State welfare, yang mengacu kepada

jaminan pelayanan kesejahteraan sosial melalui

agen dari negara. Negara Kesejahteraan (welfare

state) secara singkat didefinisikan sebagai suatu

negara dimana pemerintahan negara dianggap

bertanggung jawab dalam menjamin standar

kesejahteraan hidup minimum bagi setiap

warga negaranya”.129

Negara kesejahteraan merupakan strategi

memberikan peran lebih besar kepada negara dalam

menyelenggarakan sistem jaminan sosial (social

127 Edi Suharto, Kebijakan Sosial: Sebagai Kebijakan Publik (Bandung:

Alfabet, 2007), 57.128 Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, loc.cit.129 Pierson Christopher, Welfare State: The New Political Economy of

Welfare (Pennsylvania: Pennsylvania State University Press, 2007).

Page 84: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 77(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

security).130 Kati , turner jeanSistem jaminan sosial yang

diberikan disusun secara terencana, terlembaga dan

berkesinambungan. Terdapat tiga sumber struktural

welfare state, Pertama, kebijakan institusi ditujukan pada

upaya menciptakan masyarakat pekerja. Kedua, niat atau

keinginan dari otoritas yang berkuasa untuk mendorong

solidaritas nasional bersama-sama meningkatkan

kesejahteraan sosial. Ketiga, skema yang jelas mengenai

kesejahteraan sebagai bentuk jaminan sosial untuk

mewujudkan kesejahteraan masyarakat.131

Di awal kemerdekaan, Indonesia juga menegaskan

diri sebagai negara yang menganut paham negara

kesejahteraan sebagai implementasi dari negara hukum.

Pendiri bangsa menganggap bahwa bentuk negara

kesejahteraan merupakan pilihan tepat. Gagasan

mengenai negara kesejahteraan dalam konteks Indonesia

tersebut dituangkan dalam rumusan sila kelima Pancasila

“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Pancasila

merupakan dasar negara dan sumber dari segala sumber

hukum dalam tata hukum Indonesia, sehingga semua

rumusan dalam Pancasila harus dipedomani dalam

penyusunan kebijakan.

Negara modern adalah personifikasi dari tata hukum

yang kemudian disebut sebagai negara hukum.132 Negara 130 Kati Kuitto, “From social security to social investment? Compensating

and social investment welfare policies in a life-course perspective,”

Journal of European Social Policy 26, no. 5 (2016): 442–59; Richard

V. Burkhauser dan John A. Turner, “Life-Cycle Welfare Costs of Social

Security,” Public Finance Review 9, no. 2 (1981): 123–42; Jean D.

Triegaardt, “Social policy domains: Social welfare and social security

in South Africa,” International Social Work 45, no. 3 (2002): 325–36.131 Anthony Giddens, Beyond Left and Right : Tarian Ideologi Alternatif

di Atas Pusara Sosialisme dan Kapitalisme, Cetakan 2 (Yogyakarta:

IRCiSoD, 2003).132 Soemardi, Teori Umum Hukum dan Negara : Dasar-Dasar Ilmu Hukum

Page 85: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

78 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

kesejahteraan merupakan kelompok negara hukum

materiil. Indonesia merupakan “Negara Kesejahteraan”

(walvaarstaat) dan bukan “Negara Penjaga Malam”

(nachtwachterstaat). Moh. Hatta menggunakan istilah

“Negara Pengurus”.133

Soekarno memandang bahwa keadaan kapitalisme

Eropa berbeda dengan kapitalisme di Indonesia.

Kapitalisme Eropa terfokus pada kepabrikan dan industrial

yang menghasilkan kaum protelar yang tidak memiliki alat

produksi, sedangkan Indonesia terfokus pada perkebunan

yang menghasilkan kaum petani yang melarat yang tidak

bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.134

Indonesia mencoba membangun sistem ideal untuk

memberikan jaminan kesejahteraan sosial kepada warga

negara. Salah satunya dengan ratifikasi Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia oleh PBB (1948) yang pada Pasal 22 dan

Pasal 25 mengatur mengenai jaminan sosial.135 Pembukaan

UUD 1945 menuangkan komitmen atas paham negara

kesejahteraan ini, “Pemerintah melindungi segenap bangsa

dan seluruh tumpah darah dan memajukan kesejahteraan

umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. UUD 1945

sebelum amandemen mengatur kesejahteraan sosial

dalam Bab XIV yang didalamnya memuat Pasal 33 tentang

sistem perekonomian dan Pasal 34 tentang kepedulian

Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik (Bandung: Bee

Media Indonesia, 2010), 255.133 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945: Risalah Sidang

BPUPKI/PPKI (Jakarta: Prapanca, 1959), 299.134 Yudi Latif, Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas, dan

Aktualitas Pancasila, Cetakan 4 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2012), 520.135 Eddy Kiswanto, “Negara Kesejahteraan (Welfare State) : Mengembalikan

Peran Negara Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia,”

Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik 9, no. 2 (2005): 91.

Page 86: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 79(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan anak

telantar) serta sistem jaminan sosial.136 Artinya, platform

sistem perekonomian dan sistem sosial di Indonesia

adalah kesejahteraan sosial. Dalam berbagai literatur

disebutkan bahwa sejatinya Indonesia menganut model

“Negara Kesejahteraan Partisipatif” (participatory welfare

state) atau dikenal dengan istilah Pluralisme Kesejahteraan

atau welfare pluralism. Model ini menekankan kewajiban

negara dalam memberikan jaminan sosial, dan

pelibatan masyarakat untuk berpartisipasi mewujudkan

kesejahteraan sosial yang merata.

Konstitusi pasca amandemen menegaskan kembali

tentang negara kesejahteraan. Hal tersebut dapat

dicermati dalam tambahan ketentuan-ketentuan sosial

ekonomi, yakni terakomodirnya ketiga konsep rezim

negara kesejahteraan. Yakni residual welfare state, universal

welfare state, social insurance welfare state.137 Pertama,

konsep residual welfare state tertuang dalam Pasal 34

ayat (1), kedua, konsep universal welfare state tertuang

dalam Pasal 27 ayat (2) yang mengatur mengenai

ketenagakerjaan yakni bahwa setiap warga negara berhak

atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, Pasal 28H

menuangkan kebijakan sosial berupa jaminan sosial,

Pasal 31 yang memetakan kebijakan pendidikan bahwa

Pemerintah mengusahakan satu pendidikan nasional bagi

semua warga negara dan wajib membiayainya, Pasal 33

mengenai kebijakan ekonomi dan Pasal 34 ayat (2) (3), (4).

136 Djauhari, “Pergeseran Pemikiran Negara Kesejahteraan Pasca

Amandemen UUD 1945,” Jurnal Pembaharuan Hukum 1, no. 3 (2014):

318.137 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Konstitusi Sosial : Institusionalisasi dan

Konstitusionalisasi kehidupan Sosial Masyarakat Madani (Jakarta:

LP3ES, 2015), 112.

Page 87: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

80 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Ketiga, konsep social insurance welfare state yang tertuang

pada Pasal 28C ayat (2). Pada Pasal 34 ayat (2) dan ayat

(3). Pada Pasal 34 ayat (2) muncul klausula mengenai

sistem jaminan sosial (social security system). Sistem ini

sudah terlembaga dengan baik di negara-negara Eropa

Barat dan Amerika Utara. Kekuatan sistem ini terketak

pada iuran jaminan sosial yang merupakan faktor utama

terlaksananya Pasal 34 ayat (1) mengenai pemeliharaan

fakir miskin dan anak terlantar oleh negara.

E. Negara Kesejahteraan dalam Formulasi

Peraturan dan Kebijakan Kepariwisataan

a. Masa Hindia Belanda Hingga Orde Lama

Industri pariwisata dimulai pada masa Hindia Belanda.138

Pariwisata di Hindia Belanda merupakan suatu gagasan

dari para individu dan sekelompok individu yang diawali

dengan kegiatan perjalanan mengunjungi tempat lain di

luar tempat tinggalnya.139 Cikal bakal pariwisata di Hindia

Belanda yaitu kegiatan perjalanan yang dilakukan suatu

perkumpulan olahraga dan gaya hidup (sepeda dan

motor), perkumpulan sosial masyarakat dan komersial,

serta perseorangan. Orang-orang yang menjadi perintis

pariwisata di Hindia Belanda seperti pendeta Marius

Buys, wartawan Karel Zaalberg, profesional bidang 138 Citra pariwisata Indonesia pada masa kolonial telah dikenal melalui

penggambaran akan gunung, sawah, pantai, ataupun keeksotisan

warganya dengan beragam aktivitas keseharian mereka. Citra ini

kemudian dituangkan kedalam sebuah aliran seni lukis yang dikenal

sebagai aliran Mooi Indie (Hindia Belanda yang indah). Lihat: Yesaya

Sandang dan Rindo Bagus Sanjaya, “Pariwisata Indonesia Dalam

Citra Mooi Indie: Dahulu Dan Sekarang,” Jurnal Studi Pembangunan

Interdisiplin 24, no. 2 (2015).139 Achmad Sunjayadi, “Dari Vreemdelingenverkeer ke Toeristenverkeee:

Dinamika Pariwisata Di Hindia-Belanda 1891-1942” (Disertasi Doktor

Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia, 2017).

Page 88: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 81(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

perhotelan Johan Martinus Gantvoort, pegawai negeri

Louis Constant Westenenk, dan militer yang kemudian

menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.B. van

Heutsz.140 Pada masa tersebut tepatnya pada tahun 1908

terbentuk asosiasi bernama Vereeniging Toeristenverkeer

in Nederlandsch Indie yang mengatur lalu lintas pariwisata.

Kemudian pada tahun 1910 terbentuklah Vereeneging

Toeristen Verkeer (VTV) yang merupakan biro pariwisata

pertama di Indonesia.141

Pada 1907, Konsul Belanda di Kobe, Jepang, J.

Barendrecht mengirim surat kepada Gubernur Jenderal

Hindia Belanda J.B. van Heutsz mengusulkan agar

pemerintah Hindia Belanda meniru Kihinkai dalam

mengelola pariwisata. Sebelumnya, pada 1905, Karel

Zaalberg, redaktur Bataviaasch Nieuwsblad menuliskan

pendapatnya tentang pariwisata yang menurutnya

jika dikelola dengan baik dapat menjadi potensi

pemasukan besar bagi pemerintah Hindia Belanda. J.M.

Gantvoort, direktur Hotel des Indes, juga mengusulkan

soal promosi pariwisata di Hindia Belanda. Akhirnya,

pada 13 April 1908, didirikan Perhimpunan Pariwisata

(Vereeniging Toeristenverkeer atau VTV) di Batavia.

Sebagai perhimpunan pertama di Hindia Belanda,

pendirian VTV bertujuan untuk mengembangkan

vreemdelingenverkeer (lalu lintas orang asing) di

Hindia Belanda. Struktur organisasi VTV mirip dengan

Kihinkai, khususnya dalam bentuk perhimpunan yang

terdiri dari para pengusaha dan inisiatif pihak swasta.

Seperti Kihinkai, para anggotanya terdiri dari pihak

140 Gladys Angelika, “Awal Mula Pariwisata di Indonesia,” www.historia.

co.id, 7 Juli 2017, https://historia.id/budaya/articles/awal-mula-

pariwisata-di-indonesia-PMLx3.141 Ibid.

Page 89: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

82 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

swasta, seperti perusahaan pelayaran, perhotelan, dan

perbankan. Pemerintah menempatkan wakilnya dalam

susunan pengurus VTV. Untuk mendukung kegiatannya,

VTV memiliki jaringan yang luas baik di dalam maupun

di luar negeri. Di dalam negeri, VTV membuka kantor

cabang di Surabaya, Semarang, Padang, dan Medan,

serta perwakilan di Surakarta, Yogyakarta, Kedu,

Singapura, Amsterdam, Hongkong, dan Shanghai.

Pada periode berikutnya, VTV juga memiliki perwakilan

baru di Amerika, Australia, dan Afrika. Selain itu, upaya

lain yang juga dilakukan adalah menjalin kerjasama

dengan organisasi sejenis dan lainnya di Belanda

guna mempromosikan pariwisata di Hindia Belanda.

Kemunculan VTV turut mendorong menculnya berbagai

organisasi pariwisata di tingkat lokal, seperti di Padang,

Bandung, Magelang, Malang, Lawang, Yogyakarta, dan

Batavia. Dengan demikian, menurut Achmad, para pelaku

yang berperan sebagai penggerak pariwisata di Hindia

Belanda adalah masyarakat, swasta, dan pemerintah.

Pendudukan Jepang mengakibatkan kegiatan

pariwisata di Indonesia terhenti. Geliat pariwisata

kembali dirasakan tahun 1955, pada tahun tersebut

terjadi banyak perisitiwa yang mempengaruhi

perkembangan kepariwisataan di Indonesia. Pada

tahun yang sama dibentuk Direktorat Pariwisata dalam

lingkungan Kementerian Perhubungan. Pada masa

Orde Lama, pembangunan ekonomi berdasarkan

pada Pembangunan Nasional Semesta Delapan Tahun

1961-1969 yang ditetapkan melalui Ketetapan MPRS

Republik Indonesia No. II/MPRS/1960 Tentang Garis-

Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta

Berencana Tahapan Pertama 1061- 1969. Pada masa

Page 90: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 83(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

itu, pembangunan pariwisata belum menjadi perhatian

pemerintah. Fokus pemerintah pada pada saat itu masih

pada pembangunan dan pembenahan perekonomian

nasional sehingga mampu berdiri sendiri. Pembangunan

diprioritaskan pada bidang pertanian dan meletakkan

dasar-dasar bagi industrialisasi terutama industri dasar

dan industri berat.

b. Masa Orde Baru

Memasuki era Orde Baru kondisi sosial, ekonomi

dan politik secara bertahap mulai tertata. Pembangunan

nasional pada masa itu mengacu pada Garis-garis

Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan oleh

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). GBHN pada

dasarnya memuat Pola Umum Pembangunan Jangka

Panjang yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai

pelaksanaan pembangunan Nasional untuk masa 25

tahun, yaitu selama terlaksananya Pembangunan Lima

Tahun (PELITA) I sampai dengan V. Di masa Orde Baru

pembangunan pariwisata mulai mendapat perhatian

pemerintah yang ditandai dengan dituangkannya

kebijakan pembangunan kepariwisatan di dalam

Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun pertama

yang dimulai tahun 1967/68 dan berakhir pada tahun

1998/99. Pembangungan Jangka Panjang tersebut

kemudian dijabarkan ke dalam rencana lima tahunan

yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima

Tahun (Repelita Pertama-Repelita Keenam).

Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam

Repelita Pertama (1969/70-1973/74) tidak dilakukan

secara menyeluruh dan bersamaan melainkan melalui

pentahapan dengan berbasis pada pengembangan

Page 91: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

84 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

wilayah. Tahap pertama difokuskan pada wilayah

Indonesia bagian Tengah dan berpusat di pulau Bali. Hal

ini bukan berarti kegiatan pembangunan kepariwisataan

di daerah lain tidak mendapat perhatian pemerintah.

Pembangunan kepariwisataan tetap diarahkan untuk

semua wilayah Indonesia, namun akan dilakukan secara

bertahap dengan memanfaatkan pulau Bali sebagai

titik tolak pengembangan kepariwisataan di pulaupulau

lainnya di Indonesia, mengingat pulau Bali sudah

terkenal di seluruh dunia sebagai destinasi pariwisata

yang menarik baik dari segi budaya maupun alamnya.

Kemudian tahap kedua, difokuskan di Indonesia Bagian

Barat dan berpusat di Medan.

Selanjutnya, dalam upaya meningkatkan

pelayanan kepada wisatawan, pada tahun 1969 dibentuk

“Tourist Information Center” terutama di Bali dan Jakarta.

Sementara untuk memudahkan wisatawan mancanegara

asing masuk ke Indonesia dibentuk “National Facilitation

Commitee” yang bertugas mempersiapkan peraturan-

peraturan yang terkait dengan hambatan masuknya

wisatawan mancanegara masuk ke Indonesia, misalnya

“special air agreement”. Dalam tahun 1972, usaha

promosi berhasil memast ikan akan dilangsungkannya

Konperensi Pasific Area Travel Association di Indonesia

tahun 1974. Hal ini membuka kesemp atan yang

sangat baik bagi promosi pariwisata Indonesia di dunia

pariwisata Internasional umumnya dan daerah Pasifik

khususnya.

Dalam Repelita Pertama, peranan Pemerintah

dalam mendukung pembangunan kepariwisataan

dipusatkan pada pengembangan prasa rana obyek

pariwisata, dan pelayanan yang bersifat umum,

Page 92: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 85(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

selebihnya diserahkan pengusahaannya kepada sektor

swasta. Atas dasar ini maka dalam Repelita Pertama

telah dilaksanakan prog ram rehabilitasi obyek-obyek

pariwisata di daerah konsentrasi usaha pariwisata.

Tumbuh dan berkembangnya industri pariwisata

berdampak pada meningkatnya kebutuhan tenaga kerja

profesional di bidang pariwisata. Oleh karenanya dalam

rangka memenuhi pasar tenaga kerja tersebut telah

didirikan berbagai pusat pendidikan pariwisata baik baik

oleh pemerintah , sep erti Pusat Pendidikan Pariwisata

(Hotel and Training Institute) di Bandung maupun oleh

swasta. Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9

Tahun 1969 dibentuk Badan Pengembangan Pariwisata

Nasional (Bapparnas) untuk menjamin pembinaan

pengembangan pariwisata secara efektif dan kontinyu

baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta.

Badan yang beranggotakan pemerintah dan swasta

tersebut bertugas membantu Menteri Perhubungan

dengan tetap bekerjasama dengan Direktorat Jenderal

Pariwisata. Kebijakan-kebijakan tersebut telah mampu

meningkatkan jumlah kunjungan wisman ke Indonesia

cukup mencolok. Pada tahun 1974 jumlah wisman yang

berkunjung ke Indonesia sekitar 297,6 ribu orang atau

mengalami peningkatan yang sangat tinggi hampir 2

kali lipat dari kunjungan wisman tahun 1969 yaitu sekitar

245,64 persen.

Pembangunan kepariwisataan dalam Repelita

Ketiga (1979/80-1983/84) ditujukan untuk meningkatkan

penerimaan devisa, memperluas lapangan kerja dan

memperkenalkan keb udayaan bangsa dengan tetap

berupaya melestarikan keindahan alam dan keunikan

budaya yang merupakan daya tarik wisata dan difokuskan

Page 93: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

86 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

pada 5 (lima) kegiatan pokok, yaitu kegiatankegiatan:

(1) promosi pariwisata luar negeri yang akan lebih

diintensifkan langsung ke negara-negara asal yang

mempunyai potensi pasar; (2) Pengembangan pariwisata

dalam negeri yang bertujuan untuk memperkecil

mengalirnya devisa ke luar negeri, mendorong industri

dalam negeri serta menciptakan kesempatan kerja bagi

masyarakat; (3) Penataan dan peningkatan obyek wisata

akan terus dilakukan sesuai dengan Rencana Induk

Kepariwisataan Nasional; (4) Peningkatan pelayanan

wisata melalui upaya pemberian kemudahan kepada

wisatawan yang datang selama berada dan pada waktu

meninggalkan Indonesia. Untuk itu akan dilakukan

berbagai perbaikan dalam pelayanan kepada wisatawan,

meliputi penyederhanaan dalam memperoleh visa,

seperti pemberian visa pada waktu tiba (visa on arrival);

memperluas pusat penerangan pariwisata; meningkatkan

pelayanan sarana angkutan (penerbangan, kereta api,

bis dan lain-lain); meningkatkan pelayanan hotel dan

biro perjalanan; meningkatkan kemampuan personal

yang melayani wisata, seperti pramuwisata, juru

penerang dan penterjemah; (5) Kegiatan Penunjang

Pariwisata yang meliputi upaya untuk (i) meningkatkan

kemampuan lembaga pendidikan pariwisata melalui

pembangunan Institut Pariwisata Nasional dan

pembinaan lembaga pendidikan pariwisata swasta; (ii)

menyusun undangundang kepariwisataan nasion al serta

peraturanperaturan pelaksanaannya; (iii) Memberikan

bimbingan dan penataran kepada para pengusaha biro

perjalanan, pengusaha restoran, pengusaha hotel, dan

pengusaha jasa usaha pariwisata.

Dalam rangka meningkatkan jumlah kunjungan

Page 94: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 87(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

wisman ke Indonesia, pada tahun 1983 Pemerintah

mengeluarkan Keputusan Presiden No. 15 Tahun

1983 Tentang Kebijakan Pengembangan Pariwisata.

Kebijakan tersebut memuat kebijakan pemberian bebas

visa kunjungan singkat (BVKS) selama 2 (dua) bulan

untuk wisatawan dari 26 negara, kebijakan membuka

3 pelabuhan udara sebagai pintu gerbang masuknya

wisatawan asing ke Indonesia yaitu Mokmer (Biak),

Sam Ratulangi (Manado), dan Pattimura (Ambon); dan

menetapkan pelabuhan laut Belawan, Batu Ampar,

Tanjung Priok, Tanjung Perak, Benoa, Padang Bai, Ambon

dan Bitung sebagai pintu masuk kapal-kapal pesiar bagi

wisatawan rombongan (cruise) dari luar negeri. Pada

akhir Repelita ketiga pemerintah berhasil mendatangkan

wisman sebesar 749,4 ribu orang atau meningkat sekitar

24,89 persen dari kunjungan wisman tahun 1980.

Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam

Repelita Keempat (1984/85-1988/89) diarahkan pada

pengembangan beberapa kawasan wisata terutama

untuk wisata resort baik resort di kawasan pantai (termasuk

Tirta), kawasan pegunungan maupun resort di kawasan

wisata budaya. Disamping itu juga akan dikembangkan

Taman wisata dan hiburan yang potensial. Dalam

rangka meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan

mancanegara, disamping memberikan kemudahan bagi

wisman masuk ke Indonesia dengan kebijakan bebas

visa, melalui Intrusksi Presiden (Inpres) No. 46 Tahun 1988

pemerintah juga menambah (1) empat Bandara Udara

(Bandara), yaitu Bandara Frans Ksiepo (Biak), Supadio

(Pontianak), El Tari (Kupang), Sepinggan (Balikpapan),

dan Bandara Juanda (Surabaya); (2) tiga pelabuhan laut,

yaitu Sekupang (Pulau Batam), Tanjung Mas, dan Tanjung

Page 95: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

88 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Pinang, sebagai pintu masuk wisatawan dari luar negeri.

Sementara itu, untuk mendorong tumbuhnya investasi

di industri pariwisata, pemerintah memberikan insentif

berupa keringanan perpajakan dan restribusi daerah

bagi investor yang menanamkan modalnya di Indonesia.

Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam

Repelita Kelima (1989/90-1994/95) diarahkan pada

upaya memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa,

memperkenalkan kekayaan dan keunikan budaya,

keindahan alam termasuk alam bahari, serta menanamkan

jiwa, semangat dan nilai-nilai luhur bangsa dalam

rangka lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan

nasional di samping untuk mendorong peningkatan

kegiatan perekonomian nasional. Untuk mendukung

kebijakan tersebut diperlukan langkahlangkah antara

lain melakukan diversifi kasi produk dan atraksi wisata

dengan pendekatan Wilayah Tujuan Wisata (WTW), yaitu

suatu wilayah yang meliputi beberapa Provinsi atau daya

tarik wisata (DTW) yang berdekatan, dirangkai menjadi

suatu paket wisata yang terintegrasi dan saling mengisi.

Selain itu, juga dikembangkan wisata konvensi mengingat

adanya kecenderungan semakin meningkatnya kegiatan

pertemuan internasional, konperensi, eksibisi dan

pameran di Indonesia; dan wisata kapal pesiar me lalui

kerja sama dengan perusahaan wisata kapal pesiar inter

nasional untuk dapat menjaring peningkatan kunjungan

transit ke objek-objek wisata bahari dan taman laut,

serta obyek wisata lainnya. Dalam masa Repelita V inilah

kemudian ditetapkan UU No. 9 Tahun 1990 tentang

Kepariwisataan.

Mencermati UU No. 9 tahun 1990, dalam undang-

undang tersebut tampa usaha mengintegrasikan paham

Page 96: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 89(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

negara kesejahteraan. Dapat dilihat dari rumusan

ketentuan menimbang huruf b :

“bahwa kepariwisataan mempunyai

peranan penting untuk memperluas dan

memeratakan kesempatan berusaha dan

lapangan kerja, mendorong pembangunan

daerah, memperbesar pendapatan nasional

dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

dan kemakmuran rakyat serta memupuk rasa

cinta tanah air, memperkaya kebudayaan

nasional dan memantapkan pembinaannya

dalam rangka memperkukuh jati diri bangsa

dan mempererat persahabatan antar

bangsa”.142

Undang-undang ini pada awal pembentukannya

sudah berorientasi, pertama pada masalah perluasan

dan pemerataan kesempatan berusaha dan lapangan

kerja. Artinya, sektor pariwisata disadari merupakan

peluang usaha bagi masyarakat sekitar untuk mendapat

pekerjaan. Dengan kesadaran tersebut, pemerintah akan

turut andil dalam usaha mengelola usaha pariwisata.

Kedua, sektor pariwisata disadari memiliki peran dalam

meningkatkan pembangunan daerah. Pembangunan

daerah berbanding lurus dengan kesejahteraan

masyarakat daerah apabila pengelolaannya dilakukan

dengan baik. Ketiga, memperbesar pendapatan nasional,

dalam hal ini termasuk pendapatan karena memacu

investor yang masuk ke Indonesia, maupun wisatawan

luar negeri yang berkunjung di Indonesia. Tentu

kedatangan investor dan wisatawan manca negara akan

142 Ketentuan menimbang huruf UU No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisatan

Page 97: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

90 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

menambah pendapatan negara, namun perlu dipahami

pula bahwa hanya pariwisata yang pengelolaannya

baik, yang akan dilirik oleh para pendatang tersebut.

Sehingga pengelola usaha pariwisata musti berlomba-

lomba untuk menyelenggarakan dan mengelola usaha

pariwisata secara profesional untuk hasil yang maksimal.

Dengan pendapatan nasional yang meningkat,

harapannya yakni peningkatan kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat. Keempat, memperkaya kebudayaan

nasional dan memantapkan pembinaannya dalam

rangka memperkukuh jati diri bangsa dan mempererat

persatuan antar bangsa. Hal ini berhubungan dengan

perkuatan karakter nasional untuk dapat dipertontonan

atau dipersandingkan dengan kebudayaan negara lain

dalam kegiatan-kegiatan pengenalan budaya. Hubungan

antar bangsa yang terlain dengan baik akan berakibat

baik pula pada perekonomian nasional.

Dapat dicermati pula dalam Pasal 2 UU No. 9 Tahun

1990 yang menegaskan asas adil dan merata dalam

penyelenggaraan kepariwisataan,

“Penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan

berdasarkan asas manfaat, usaha bersama dan

kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan

dalam keseimbangan, dan kepercayaan pada

diri sendiri”.143

Lebih lanjut di Pasal 3 UU No. 9 Tahun 1990

menjelaskan soal tujuan kepariwisataan, yang di

dalamnya juga memuat ketentuan mengenai perluasan

dan pemerataan kesempatan bekerja dan lapangan kerja

demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,

143 Pasal 2 UU No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisatan

Page 98: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 91(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Huruf c

“memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha

dan lapangan kerja”

Huruf d

“meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat”144

Indonesia menganut paham “Negara

Kesejahteraan Partisipatif” (participatory welfare state)

atau dikenal dengan istilah Pluralisme Kesejahteraan

atau welfare pluralism. Paham ini menekankan kewajiban

negara dalam memberikan jaminan sosial, dan

pelibatan masyarakat untuk berpartisipasi mewujudkan

kesejahteraan sosial yang merata. Dalam Pasal 30 UU No.

9 Tahun 1990 diatur mengenai partisipasi masyarakat

dalam penyelenggaraan kepariwisataan serta proses

pengambilan kebijakan.

Pasal 30

“(1) Masyarakat memiliki kesempatan yang sama

dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam

penyelenggaraan kepariwisataan.

(2) Dalam rangka proses pengambilan keputusan,

Pemerintah dapat mengikutsertakan masyarakat

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melalui

penyampaian saran, pendapat, dan pertimbangan”.

Diatas merupakan point-point dalam UU

No. 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan. Dalam

ketentuannya, sudah terlihat upaya untuk menjamin

kesejahteraan rakyat dari sektor pariwisata. Namun

Undang-undang ini juga memiliki kelemahan yakni

pengaturan berfokus pada usaha pariwisata yakni

144 Pasal 3 Huruf c dan huruf d UU No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan

Page 99: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

92 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

pemberian izin dan penetapan retribusi.

Pada Repelita keenam (1993/94-1998/99) yang

merupakan tahapan pertama Pembangunan Jangka

Panjang 25 Tahun Kedua, ditetapkan dengan Ketetapan

MPR-RI No. II/MPR/1993 Tentang Garis-Garis Besar

Haluan Negara 1993-1998. Sejalan dengan amanah

GBHN 1993, secara umum kebijakan pembangunan

kepariwisataan terus ditingkatkan dan dikembangkan

untuk memperbesar penerimaan devisa, memperluas

dan memeratakan kesempatan usaha dan lapangan

kerja, mendorong pembangunan daerah, meningkatkan

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, memperkaya

kebudayaan nasional dengan tetap mempertahankan

kepribadian bangsa dan tetap terpeliharanya nilai-

nilai agama, mempererat persahabatan antarbangsa,

memupuk cinta tanah air, serta memperhatikan

kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup.

Pembangunan kepariwisataan juga diarahkan untuk

mendorong pengembangan, pengenalan, dan

pemasaran produk nasional. Pembangunan Jangka

Panjang 25 tahun Kedua yang seharusnya berlangsung

sampai dengan tahun 2020, hanya dapat dilaksanakan

Pembangunan lima tahun Pertama. Hal ini disebabkan

terjadinya gejolak politik dan ekonomi pada tahun 1998

yang mengakibatkan jatuhnya Orde Baru dan melahirkan

era Reformasi. Peristiwa tersebut mengakibatkan situasi

dalam negeri yang kurang kondusif dan akhirnya

berdampak pula pada menurunya jumlah kunjungan

wisman pada tahun 1998 sebesar 12,11 persen dari

tahun 1997.

Page 100: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 93(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

c. Masa Pasca Reformasi

Empat tahun pertama masa Reformasi dikenal

dengan masa transisi. Dalam masa tersebut kebijakan

perencaaan pembangunan kepariwisataan mengacu

pada Program Pembangunan Nasional Lima Tahun.

Sesuai dengan amanah GBHN 1999 – 2004, arah

kebijakan pembangunan nasional dituangkan

dalam Program Pembangunan Nasional Lima Tahun

(Propenas) yang ditetapkan oleh Presiden bersama

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Undang-

Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2000 tentang

Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun

2000-2004. Propenas kemudian dirinci dalam Rencana

Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang

ditetapkan oleh Presiden bersama DPR. Di dalam GBHN

disebutkan bahwa pariwisata merupakan salah satu

sektor yang mendukung pembangunan ekonomi. Dalam

periode Propenas, kebijakan pengembangan Pariwisata

diarahkan untuk mendukung kebijakan Peningkatan

Daya Saing pariwisata dan diprioritaskan pada upaya

pemulihan citra pariwisata yang sempat menurun

sebagai akibat dari peristiwa bom Bali pada tahun 2002

dan tahun 2005. Kedua peristiwa tersebut tentu saja

berdampak pada menurunnya jumlah wisman yang

berkunjung ke Indonesia.

Kebijakan pariwisata tersebut dilaksanakan

melalui 1 (satu) program yaitu program pengembangan

pariwisata. Program ini bertujuan untuk mengembangkan

dan memperluas diversifi kasi produk dan kualitas

pariwisata nasional yang berbasis pada pemberdayaan

masyarakat, kesenian, dan kebudayaan, dan sumber daya

Page 101: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

94 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

alam (pesona alam) lokal dengan tetap memperhatikan

kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian

lingkungan hidup setempatl; mengembangkan dan

memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri.

Untuk mencapai tujuan tersebut kegiatankegiatan

pokok yang akan dilakukan antara lain (i) merumuskan

reformasi kebijakan pariwisata nasional berlandaskan

pemberdayaan sumber daya lokal; (ii) merumuskan

strategi pemasaran industri pariwisata dengan

penekanan pada keterpaduan antara produk dan

pemasaran pariwisata; (iii) mengembangkan sumber

daya alam; (iv) mengembangkan serta pengkayaan

kesenian dan kebudayaan tradisional sebagai produk

wisata potensial; (v) meningkatkan profesionalisme SDM

pariwisata; dan meningkatkan aksessbilitas ke tujuan-

tujuan wisata potensial; (vi) meningkatkan kemampuan

lembaga pelayanan publik; dan (vii) meningkatkan

koordinasi.

Sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Nasional 2005 – 2025 dan dalam rangka

memperkuat Perekonomian Domestik dengan Orientasi

dan Berdaya Saing Global pembangunan Kepariwisataan

diarahkan untuk mendorong kegiatan ekonomi

dan meningkatkan citra Indonesia, meningkatkan

kesejahteraan masyarakat lokal, serta memberikan

perluasan kesempatan kerja. Pengembangan

kepariwisataan memanfaatkan keragaman pesona

keindahan alam dan potensi nasional sebagai

wilayah wisata bahari terluas di dunia secara arif dan

berkelanjutan, serta mendorong kegiatan ekonomi yang

terkait dengan pengembangan budaya bangsa. Amanah

tersebut kemudian dijabarkan dalam rencana lima

Page 102: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 95(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

tahunan yang dikenal dengan Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

RPJMN Pertama merupakan penjabaran

lima tahun pertama dari kebijakan pembangunan

keparwisataan yang diamanahkan oleh RPJPN 2005-

2025. RPJMN ditetapkan dengan Peraturan Presiden

Republik Indonesia No. 7 Tahun 2005 Tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun

2004-2009. Kebijakan pembangunan kepariwisataan

dalam RPJMN pertama diarahkan untuk mendukung

peningkatan daya saing pariwisata di tingkat global

dalam rangka mencapai sasaran Prioritas Nasional

“Peningkatan Investasi dan peningkatan ekspor”.

Pada tahun 2009 disahkan UU No. 10 Tahun 2009

yang menggantikan UU No. 9 Tahun 1990 tentang

Kepariwisataan. Keistimewaan UU No. 10 Tahun 2009

salah satunya adalah adanya kebebasan melakukan

perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam

wujud berwisata yang merupakan bagian dari hak asasi

manusia. Ketentuan seperti ini tidak ada dalam Undang-

Undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan.

Keistimewaan yang lain yaitu dengan dimasukkannya

unsur penting yang kini tengah menjadi isu dunia pada

umumnya.Hal tersebut terkait kepariwisataan yang

merupakan bagian pembangunan nasional yang harus

dilakukan secara bertanggungjawab dan berkelanjutan.

Dua istilah penting berkelanjutan dan bertanggungjawab

belum ada pada pengaturan dalam Undang-Undang

No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan. Ketentuan

lain yang merupakan suatu perubahan besar dalam

kepariwisataan adalah dicantumkannya Badan Promosi

Pariwisata. Dalam Bab X mengamanatkan pembentukan

Page 103: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

96 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

suatu Badan Promosi Pariwisata.Salah satu dari Badan

Promosi yang diamanatkan untuk dibentuk oleh

UndangUndang No. 10 tahun 2009 adalah Badan Promosi

Pariwisata Daerah. Badan ini dibentuk karena muncul

kebutuhan adanya sebuah lembaga/unit yang mampu

berperan sebagai pelaksana pengembangan pemasaran

dan promosi dalam konteks industri pariwisata secara

keseluruhan, yang tugasnya mengembangkan program/

kegiatan pemasaran dan promosi secara profesional.

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 10 Tahun

2009 tentang Kepariwisataan, maka keberadaan Badan

Promosi Pariwisata (baik di tingkat pusat maupun daerah)

telah memiliki payung hukum bagi pembentukannya.

Badan Promosi Pariwisata diatur secara khusus dalam

Bab X Undang-Undang tersebut, dan khusus untuk

Badan Promosi Pariwisata Daerah diatur dalam Pasal

43-49. Sesuai Undang-Undang tersebut, pembentukan

Badan Promosi Pariwisata Daerah ditetapkan dengan

Keputusan Bupati/Walikota.

Terdapat beberapa perbedaan antara UU No. 9

Tahun 1990 tentang Kepariwisataan dengan UU No. 10

Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Setidaknya terdapat

10 (sepuluh) hal yakni:

1. Perubahan paradigma, konsepsi dan perubahan

regulasi di bidang kepariwisataan. Dapat dilihat dari

prinsip-prinsip penyelenggaraan kepariwisataan

yakni:

(a). menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya

sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam

keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan

Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan

sesama manusia, dan hubungan antara manusia

Page 104: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 97(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

dan lingkungan; b. menjunjung tinggi hak asasi

manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;

(c). memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat,

keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas; (d.)

memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup;

(e). memberdayakan masyarakat setempat; (f ).

menjamin keterpaduan antar sektor, antar daerah,

antara pusat dan daerah yang merupakan satu

kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah,

serta keterpaduan antar pemangku kepentingan;

(g). mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan

kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata;

dan (h). memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

2. Ketentuan menimbang pada UU. No 10 tahun 2009

yang menjelaskan bahwa tujuan dari pariwisata untuk

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana

terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan UUD

1945.

3. Ketentuan menimbang pada UU No. 10 tahun 2009

yang menjelaskan bahwa peraturan dimaksudkan

untuk menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dalam

berpariwisata.

4. UU No. 9 Tahun 1999 berorientasi pada usaha

pariwisata, hal ini dikritik dan kemudian dirumuskan

dalam UU No. 10 Tahun 2009 yang menyatakan

bahwa pembangunan kepariwisataan meliputi

industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran,

dan kelembagan kepariwisataan

5. UU No. 10 tahun 2009 menganut asas demokrasi

dalam berpariwisata.

6. Tujuan dalam pariwisata yang tertuang dalam UU No.

Page 105: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

98 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

10 tahun 2009 salah satunya yaitu mengangkat citra

bangsa, Ketentuan tersebut tidak terdapat dalam UU

No. 9 tahun 1990.

7. Terdapat perluasan ruang lingkup usaha dalam UU 10

tahun 2009 yakni penambahan pengaturan tentang

kegiatan hiburan dan Spa.

8. Era otonomi daerah, memengaruhi pengaturan

dalam UU No.10 tahun 2009 yang memberikan

amanat kepada Pemerintah daerah untuk memegang

peranan penting dalam mengatur dan mengelola

pelaksanaan pariwisata.

9. Dalam UU No. 10 tahun 2009 terdapat pembagian

kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah

provinsi dan pemerintah kabupaten dalam mengelola

pariwisata.

10. Dalam UU No 10 tahun 2009 terdapat badan promosi

pariwisata.

Pemerintah dan Pemerintah daerah memiliki

peran penting dalam membentuk peraturan dan

kebijakan pariwisata yang ideal untuk mewujudkan

negara kesejahteraan. Peraturan dan kebijakan

pariwisata yang ideal perlu dirumuskan mengingat

pariwisata merupakan salah satu andalan perolehan

devisa yang dapat meningkatan pendapatan nasional

maupun daerah.145

Indonesia merupakan salah satu negara

berkembang di dunia, artinya Indonesia seharusnya

menunjukkan antusiasmenya dalam melaksanakan

pembangunan negara. Pembangunan perlu

dilaksanakan dari berbagai aspek kehidupan masyarakat.

145 Made Metu Dhana, Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap

Wisatawan (Surabaya: Paramita, 2012), 1.

Page 106: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 99(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Pembangunan perlu diimbangi dengan peraturan

agar berjalan dengan lancar, sesuai dan mencapai

tujuannya. Formulasi peraturan yang baik dibutuhkan

untuk membentuk suatu peraturan sebagai pendobrak

pembangunan nasional.146

Salah satu amanah Undang-undang No. 10

Tahun 2009 adalah pemerintah harus segera menyusun

Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional

(RIPPARNAS) dan Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA) bagi daerah sebagai

acuan pokok pembanguan kepariwisataan. Sejalan

dengan amanah tersebut pemerintah mengeluarkan

Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 Tentang

Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional

(RIPPARNAS) 2010-2025. Berdasarkan RIPPARNAS,

pendekatan pembangunan adalah pendekatan

perwilayahan, yaitu Perwilayahan Destinasi Pariwisata

Nasional (DPN). Perwilayahan pembangunan DPN

merupakan hasil perwilayahan pembangunan

kepariwisataan yang diwujudkan dalam bentuk DPN

(ada 50 DPN) dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional

yang selanjutnya disingkat KSPN (ada 88 KSPN).

Disamping RIPPARNAS, pembangunan kepariwisataan

juga harus tetap mempertimbangkan tata ruang

nasional yang tertuang dalam Undang-undang RI

No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan

Peraturan Pemerintah RI No. 26 Tahun 2008 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Pengembangan

ke 50 DPN tersebut tidak mungkin dilakukan secara

bersamaan melainkan dilakukan secara bertahap dan

146 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan

(Bandung: Alumni, 2004).

Page 107: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

100 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

terfokus selama 15 tahun sehingga pemanfaatan dana

pembangunan baik yang bersumber dari Pemerintah

maupun Swasta dapat optimal. Dalam periode 5 (lima)

tahun kedua pelaksanaan RIPPARNAS, pembangunan

kepariwisataan diprioritaskan pada (i) mengembangkan

DPN yang berpotensi untuk menjadi titik tolak

penyebaran wisatawan ke daerah lain dan mampu

menciptkan multiplier effect perekonomian bagi daerah

lain di Indonesia; (ii) mengembangkan destinasi wisata

lainnya yang merupakan rangkaian dari destinasi yang

telah dikembangkan pada tahun-tahun sebelumnya ;

dan (iii) Destinasi yang terletak dalam Kawasan Strategis

Nasional (KSN) dan Kawasan Andalan menurut Undang-

undang No. 26 Tahun 2007.

Dalam Peraturan Pemerintah No 50 Tahun 2011

tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan

Nasional Tahun 2010-2025 disebutkan bahwa

pembangunan kepariwisataan nasional meliputi

destinasi pariwisata, pemasaran pariwisata, industri

parisiwata dan kelembagaan kepariwisataan.

Pembangunan industri pariwisata bertujuan untuk

menggerakan perekonomian nasional. Oleh karena itu,

pembangunan industri wisata selain harus memberikan

dampak positif berupa peningkatan terhadap devisa

Negara juga harus dapat meningkatkan perekonomian

di lokasi-lokasi tujuan wisata misalnya meningkatkan

jumlah tenaga kerja, meningkatkan jumlah wisatawan

lokal maupun mancanegara, meningkatkan

perkembangan kebudayaan dan seni budaya Indonesia,

semakin maraknya bisnis kuliner, perhotelan, restoran

serta sarana dan transportasi yang lebih mudah. Dengan

kata lain pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan

Page 108: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 101(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

masyarakat lokal. Masyarakat juga terus dituntut aktif

untuk mengembangkan industri kreatif.

Pembangunan industri pariwisata masih

terhambat perkembangannya karena masih belum

maksimalnya pengaturan terkait sertifikasi usaha

pariwisata bagi pengusaha pariwisata (Pasal 53,

Pasal 54 dan Pasal 55 UU No 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan). Peraturan Pemerintah No 52 Tahun

2012 Tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi

Usaha Pariwisata menyatakan bahwa Pengusaha

Pariwisata wajib memiliki Sertifikat Usaha Pariwisata

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan (Pasal 24 PP No 52 Tahun 2012), namun belum

ada penegakan hukum yang tegas bagi pengusaha

yang tidak memiliki sertifikasi usaha Selain itu adanya

isu kepemilikan di tempat tujuan wisata (destinasi)

yang sering memunculkan konflik antara pengusaha

pariwisata dan nelayan dalam kaitanya dengan Rencana

Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (amanat

Pasal 7 UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU

No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir

dan Pulau Pulau Kecil ) belum banyak ditindaklanjuti

oleh pemerintah daerah setempat.

d. Kesesuaian antara Jenis, Hierarki dan Materi Muatan

Peraturan Perundang-Undangan terkait Kebijakan

Kepariwisataan

Hasil inventarisasi regulasi yang terkait kebijakan

kepariwisataan, ditemukan sebanyak 47 (empat puluh

tujuh ) peraturan perundang-undangan, yang terdiri

dari: 10 (sepuluh) Undang-Undang, 21 (dua puluh satu)

Peraturan Pemerintah, 10 (sepuluh) Peraturan Presiden,

dan 6 (enam) Peraturan Menteri. Dari ke-47 regulasi

Page 109: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

102 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

tersebut, analisis terhadap 28 ( dua puluh delapan)

PUU, yaitu: 10 (sepuluh) Undang-undang, 9 (sembilan)

Peraturan Pemerintah, 7 (tujuh) Peraturan Presiden dan 2

(dua) Peraturan Menteri terkait. Metode yang digunakan

dalam melakukan analisis dan evaluasi hukum terhadap

peraturan perundang-undangan adalah didasarkan

pada 5 dimensi penilaian, yaitu: (1) Dimensi Ketepatan

jenis peraturan perundang-undangan; (2) Dimensi

kejelasan rumusan; (3) Dimensi kesesuaian dengan asas-

asas; (4) Dimensi potensi disharmoni ketentuan: dan (5)

Efektivitas pelaksanaan Peraturan perundang-undangan.

Penilaian ketepatan jenis peraturan ditinjau dari

berbagai sudut pandang, yaitu dimulai dari namanya,

politik hukumnya, dasar hukumnya, maupun dari materi

muatannya. Penamaan suatu peraturan perundang-

undangan seharusnya mencerminkan materi muatannya.

Hal ini juga dijelaskan dalam Lampiran II Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, petunjuk No 3.

Disebutkan dalam petunjuk tersebut bahwa nama

peraturan perundang-undangan dibuat secara singkat

dengan hanya menggunakan satu kata atau frasa, tetapi

secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi

peraturan perundang-undangan. Politik hukum suatu

peraturan perundang-undangan dapat diketahui dari

konsiderans menimbang dan penjelasan umumnya, dari

penjelasan tersebut dapat diketahui arah kebijakan yang

ingin dicapai dengan peraturan perundang-undangan

dimaksud. Dengan demikian dapat dianalisis apakah

materi muatan yang tercantum dalam ketentuan pasal

sudah sejalan dengan arah yang ingin dicapai.

Analisis juga ditinjau dari dasar hukum yang

Page 110: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 103(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

mengamanatkan dibentuknya suatu peraturan

perundang-undangan. Pada dasarnya Undang-Undang

merupakan pelaksanaan dari amanat atau penjabaran dari

ketentuan pasal dalam UUD 1945, Peraturan Pemerintah

pelaksanaan amanat atau menjalankan ketentuan pasal

dalam Undang-Undang, Peraturan Presiden pelaksanaan

amanat atau penjabaran ketentuan pasal dari Undang-

Undang atau Peraturan Perundang-undangan dan/

atau dalam rangka melaksanakan penyelenggaraan

kekuasaan pemerintahan. Sedangkan Peraturan Menteri

pelaksanaan amanat atau penjabaran ketentuan pasal

dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden,

Peraturan Menteri dapat pula mengatur lebih lanjut

atas dasar kewenangan pendelegasian dari Undang-

Undang, namun hanya sebatas peraturan yang bersifat

teknis administratif (petunjuk No. 211 Lampiran II UU

No. 12 Tahun 2011). Pada bagian dasar hukum dalam

suatu peraturan perundang-undangan, memuat dasar

kewenangan pembentukan peraturan perundang-

undangan (dasar hukum formil) dan PUU yang

secara materiil dirujuk dalam membentuk peraturan

perundang-undangan lebih lanjut (dasar hukum

materiil). Suatu norma yang lebih rendah berlaku

bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi,

norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar

pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya

sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri

lagi lebih lanjut yang berupa norma dasar (Grundnorm).

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka

dapat dianalisis apakah materi muatan dalam suatu

peraturan perundang-undangan sesuai dengan tingkat

hierarkinya. Dengan demikian, materi muatan masing-

Page 111: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

104 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

masing hierarki dapat dibedakan, perbedaan tersebut

dilihat dari cara perumusan normanya pada masing-

masing jenis peraturan peraturan perundang-undangan.

Norma dalam peraturan perundang-undangan pada

jenjang yang semakin ke atas, maka seharusnya semakin

abstrak, begitu juga sebaliknya. Norma dalam peraturan

perundang-undangan pada jenjang yang semakin ke

bawah mudah dilaksanakan, begitu juga sebaliknya. Dari

hasil analisis terhadap 28 (dua puluh delapan) peraturan

perundang-undangan, berdasarkan ketepatan jenis

peraturan perundang-undangan pada umumnya sudah

sesuai dengan jenis hierarki dan materi muatan peraturan

perundang-undangan. Semua peraturan perundang-

undangan yang di analisis telah memenuhi ketepatan

jenis peraturan perundang-undangan.

Dalam hal ini, dapat ditunjukkan melalui analisis

sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomo 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan, yang merupakan delegasi dari Pasal

20 dan Pasal 21 UUD 1945;

2. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil, yang merupakan delegasi dari Pasal 5 ayat

(1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 25A, serta Pasal

33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945;

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang

Kelautan yang merupakan delegasi Pasal 20, Pasal

22D ayat (1), Pasal 25A ayat (3), dan Pasal 33 ayat (3)

UUD 1945.

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, yang merupakan delegasi

Page 112: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 105(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan

ayat (3), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal

22D ayat (2), dan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945;

5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang, yang merupakan delegasi Pasal 5

ayat(1), Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3) UUD

1945;

6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang

Pelayaran, yang merupakan delegasi Pasal 5 ayat(1),

Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3);

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang

Keimigrasian, yang merupakan delegasi Pasal 5 ayat

(1), Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 28E ayat (1).

8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang

Perindustrian, yang merupakan delegasi Pasal 5 ayat

(1), Pasal 20, dan Pasal 33 serta Ketetapan MPR Nomor

XVI/MPR/1998;

9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya; dan

10. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang

Ketenagakerjaan, yang merupakan delegasi Pasal 5

ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28,

dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

Selanjutnya, untuk tingkat Peraturan Pemerintah,

kesesuaian dengan peraturan yang lebih tinggi tersebut

dapat dianalisis sebagai berikut:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang

Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan

Nasional 2010-2025, yang merupakan delegasi Pasal

9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Page 113: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

106 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Kepariwisataan;

2. Peraturan Pemerintah No 52 Tahun 2012 tentang

Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di

bidang Pariwisata, yang merupakan delegasi Pasal

55 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan;

3. Peraturan Pemerintah No 62 Tahun 2010 Tentang

Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar, yang

merupakan delegasi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

4. Peraturan Pemerintah No 64 Tahun 2010 Tentang

Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil, yang merupakan delegasi Pasal 59 ayat (4)

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

5. Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2016 tentang

Perangkat Daerah, yang merupakan delegasi Pasal

232 ayat (1) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah;

6. Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang

merupakan delegasi Pasal 20 ayat (6) tentang

Penataan Ruang;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2010 Tentang

Penyelenggaraan Penataan Ruang tentang Pasal

13 ayat (4), Pasal 16 ayat (4), Pasal 37 ayat (8), Pasal

38 ayat (6), Pasal 40, Pasal 41 ayat (3), Pasal 47 ayat

(2), Pasal 48 ayat (5), Pasal 48 ayat (6), dan Pasal 64,

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang;

8. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 Tentang

Page 114: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 107(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Bentuk Dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam

Penataan Ruang, yang merupakan delegasi Pasal

65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

tentang Penataan Ruang;

9. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang

Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20

Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan, yang

merupakan delegasi Pasal 10, Pasal 12, 14, Pasal 17,

Pasal 20, Pasal 23, Pasal 26, Pasal 30, Pasal 34, Pasal

37, Pasal 39, Pasal 43, Pasal 49, Pasal 58, Pasal 59 ayat

(3), Pasal 268, dan Pasal 273 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;

10. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015 tentang

Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61

Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, yang merupakan

delegasi Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang

Penerimaan Negara Bukan Pajak;

11. Peraturan Pemerintah Nomor No. 5 Tahun 2010

tentang Kenavigasian, yang merupakan delegasi

Pasal 177, Pasal 183 ayat (2), Pasal 184, Pasal 186 ayat

(2), Pasal 196, dan Pasal 206 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;

12. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2016 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 3

Tahun 2013Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian,

yang merupakan delegasi Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2011 tentang Keimigrasian;

13. Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2017 tentang

Pembangunan Sarana Dan Prasarana Industri, yang

merupakan delegasi Pasal 61, Pasal 71, dan Pasal

Page 115: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

108 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

111 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014

tentang Perindustrian;

14. Peraturan Pemerintah No.142 Tahun 2015 tentang

Kawasan Industri, yang merupakan delegasi Pasal 63

ayat (5) dan Pasal 108 UndangUndang Nomor 3 Tahun

2014 tentang Perindustrian;

15. Peraturan Pemerintah No PP No.107 Tahun 2015

tentang Izin Usaha Industri, yang merupakan delegasi

Pasal 108 UndangUndang Nomor 3 Tahun 2014

tentang Perindustrian;

16. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang

Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional

Tahun Tahun 2015-2035, yang merupakan delegasi

Pasal 9 ayat (5) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2014

tentang Perindustrian;

17. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang

Pengelolaan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian

Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 108 Tahun 2015 tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28

Tahun 2011 tentang Pengelolaan Suaka Alam dan

Kawasan Pelestarian Hutan, yang merupakan delegasi

Pasal 16 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 29 ayat (2),

Pasal 31, Pasal 32, Pasal 35, dan Pasal 37 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;

18. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2010 tentang

Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa,

Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Dan Taman

Wisata Alam, yang merupakan delegasi Pasal 17

ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990

tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Page 116: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 109(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Ekosistemnya;

19. Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2004 tentang

Badan Nasional Sertifikasi Profesi, yang merupakan

delegasi Pasal 18 ayat (5) Undang-undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; dan

20. Peraturan Pemerintah No 31 Tahun 2006 tentang

Sistem Pelatihan Kerja Nasional, yang merupakan

delegasi Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003.

Selanjutnya, terdapat 12 (dua belas) Peraturan

Presiden yang memiliki keterkaitan dengan kebijakan

kepariwisataan, yang jika dianalisis kesesuaian dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

menampakkan hal sebagai berikut:

1. Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2005 tentang

Lembaga Produktivitas Nasional, yang merupakan

delegasi Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

2. Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2016 tentang

Penghargaan Kepariwisataan, yang merupakan

delegasi Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;

3. Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2014 tentang

Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan

Kepariwisataan, yang merupakan delegasi Pasal 35

UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;

4. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2014 Tentang

Pengawasan Dan Pengendalian Kepariwisataan, yang

merupakan delegasi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;

5. Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2015 Tentang

Page 117: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

110 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Pelaksanaan Koordinasi Pengelolaan Wilayah

Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Tingkat Nasional,

yang merupakan delegasi Pasal 53 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

6. Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 Tentang

Reklamasi Di Wilayah PesisirDan Pulau-Pulau Kecil,

yang merupakan delegasi Pasal 34 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

7. Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2012 tentang

Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,

yang merupakan delegasi Pasal 33 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

8. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang

Kebijakan Kelautan Indonesia, yang merupakan

delegasi Pasal 4 ayat (1) UUD 1945;

9. Peraturan Presiden Nomor 105 Tahun 2015 tentang

Kunjungan Kapal Wisata (Yacht) Asing Ke Indonesia,

yang tidak ditemukan dasar pengaturan dalam

peraturan yang lebih tinggi;

10. Peraturan Presiden Nomor 21 tahun 2016 tentang

Bebas Visa Kunjungan, yang merupakan merupakan

delegasi Pasal 4 ayat (1) UUD 1945;

11. Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2017 Tentang

Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Industri

Perikanan Nasional, yang merupakan delegasi

Page 118: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 111(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2016 tentang

Percepatan Pembangunan Industri Perikanan

Nasional; dan

12. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang

Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang

merupakan delegasi Pasal 5 ayat (3) Peraturan

Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem

Pelatihan Kerja Nasional.

Sementara itu, dalam jenjang Peraturan Menteri,

terdapat 6 (enam) peraturan, yang jika dianalisis

kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi menampakkan analisis sebagai berikut:

1. Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 18 Tahun

2016 tentang Pendaftaran usaha Pariwisata, yang

merupakan delegasi Pasal 15 ayat (2) UndangUndang

Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;

2. Peraturan Menteri Pariwisata No 1 Tahun 2016

tentang Penyelenggaraan Sertfikasi Usaha Pariwisata,

yang merupakan delegasi Pasal 22 ayat (2), Pasal 23

ayat (2), dan Pasal 29 ayat (3) Peraturan Pemerintah

Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi

dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata;

3. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor

Per.17/Men/2008 Tentang Kawasan Konservasi

Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, yang

merupakan delegasi Pasal 28 Undang-Undang Nomor

27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil;

4. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor

Per. 20/Men/2008 Tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau

dan Perairan di Sekitarnya, yang merupakan delegasi

Page 119: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

112 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Pasal 26 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau

Kecil;

5. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor

17/Permen-Kp/2013 Tentang Perizinan Reklamasi Di

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana

telah diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan

dan Perikanan KP No 28/Permen-KP/2014, yang

merupakan delegasi Pasal 21 dan Pasal 28 Peraturan

Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan

6. Peraturan Menteri Pariwisata No 3 Tahun 2017

tentang Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

Bidang Pariwisata di Bidang Koordinasi Penanaman

Modal, yang merupakan delegasi Peraturan Menteri

Pariwisata Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan

Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang Pariwisata dan

Ekonomi Kreatif di Badan Koordinasi Penanaman

Modal dan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor

1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan

Menteri Pariwisata Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang

Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Badan Koordinasi

Penanaman Modal.

Jika dicermati lebih lanjut, nampak bahwa dalam

rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2009 tentang Kepariwisataan sebagian telah dapat

disusun dan diundangkan seperti:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang

Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan

Nasional 2010-2025 merupakan delegasi dari Pasal 9

Page 120: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 113(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang

Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan

Nasional 2010-2025 merupakan delegasi dari Pasal 9

UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;

3. Peraturan Presiden Nomor No 64 Tahun 2014 tentang

Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan

Kepariwisataan merupakan delegasi Pasal 35 UU

Kepariwisataan;

4. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2014 tentang

Pengawasan dan Pengendalian Kepariwisataan

merupakan delegasi Pasal 23 ayat (4) UU No 10 Tahun

2009 tentang Kepariwisataan; dan

5. Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 18 Tahun

2016 tentang Pendaftaran Usaha Pariwisata, yang

merupakan delegasi Pasal 15 ayat (2) UU No 10 Tahun

2009 tentang Kepariwisataan;

6. Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 1 Tahun 2016

tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Usaha Pariwisata

yang merupakan delegasi dari Pasal 22 ayat (2), Pasal

23 ayat (2), dan Pasal 29 ayat (3) Peraturan Pemerintah

Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi

dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata.

Semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang

Kepariwisataan sebagaimana tersebut diatas telah

sesuai dengan jenis, hierarki dan materi muatan

sebagaimana yang didelegasikan oleh peraturan

perundang-undangan diatasnya. Di samping itu terdapat

satu peraturan perundang-undangan yang belum

disusun yang merupakan amanat Undang-Undang

Kepariwisataan yaitu terkait Kawasan Pariwisata Khusus

Page 121: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

114 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

yang diamanatkan untuk disusun Undang-undangnya,

namun sampai saat ini Undang-Undang tersebut

belum terbentuk. Selanjutnya, Ada 3 (tiga) peraturan

perundang-undangan yang tidak didelegasikan secara

tegas dan peraturan perundang-undangan yang disusun

untuk melaksanakan kekuasaan pemerintahan, yaitu

(1) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang

Kebijakan Kelautan Indonesia; (2) Peraturan Presiden

Nomor 105 Tahun 2015 tentang Kunjungan Kapal Wisata

(Yacht) Asing ke Indonesia; dan (3) Peraturan Presiden

Nomor 21 Tahun 2016 tentang Bebas Visa Kunjungan.

Mengingat Undang-Undang Nomor 10 Tahun

20009 tentang Kepariwisataan dan peraturan perundang-

undangan di bawahnya merupakan norma pangkal

dalam kebijakan terkait, maka penelitian ini mencoba

melakukan kajian dan analisis terhadap regulasi ini.

Undang-Undang ini meliputi 70 pasal dan seluruhnya

masih berlaku karena belum pernah perubahan,

pencabutan, dan pernyataan tidak berlaku mengikat

oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun analisis yang dapat

disajikan adalah sebagai berikut:

1. Dalam Undang-Undang ini tidak ditemukannya

ketentuan yang dapat menyebabkan tidak

terjaminnya pemberian peluang kepada masyarakat

dalam memberikan pendapat terhadap pengambilan

keputusan. Dengan kata lain, Undang-Undang belum

mengatur partisipasi masyarakat agar masyarakat

mudah memberikan informasi kepada pemerintah

tentang kepariwisataan; mendorong masyarakat

untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan

kepariwisataan; mengembangkan pelembagaan

dan mekanisme pengambilan keputusan yang

Page 122: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 115(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

memungkinkan kelompok atau organisasi masyarakat

dapat terlibat secara efektif. Bentuk partisipasi

ini mislanya keikutsertaan dalam penyusunan

peraturan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,

pengawasan sampai dengan evaluasi. Caranya

dengan musyawarah, konsultasi publik, kemitraan

atau penyampaian aspirasi melalui e-gov. Oleh karena

itu perlu ditambahkan ketentuan terkait Partisipasi

Masyarakat untuk mengisi kekosongan hukum;

2. Dalam Undang-Undang tidak diketemukan

ketentuan yang mendorong peningkatan

kemandirian bangsa dan adanya ketentuan yang

mendorong kesejahteraan bangsa. Dalam UU

kepariiwstaan ini , konsep komponen 4A ( Attraction,

Ammenity, Accesibility dan Anciliary) belum diatur

tersendiri meskipun dalam Ketentuan Umum

(lihat Pasal 1 angka 6) sudah disinggung, padahal

komponen tersebut harus ada dalam obyek untuk

pengembangan obyek pariwisata dikembangkan

juga di dunia. Memberikan arahan kepada Daerah

apabila ingin mengembangkan pariwisata harus

mengembangkan komponen 4A tersebut, dengan

berhasilnya pemerintah mengembangkan konsep 4A

tersebut akan menghasilkan kontribusi investasi yang

besar bagi pemerintah, sehingga pemerintah bisa

mandiri otomatis masyarakatnyapun akan sejahtera;

3. Pasal 2 berisi maksud dan tujuan. Sebagaimana

petunjuk No. 98 Lampiran II UU No.12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan. Dalam petunjuk huruf c dikatakan bahwa

ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan

tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum

Page 123: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

116 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab;

4. Pasal 3 berisi fungsi kepariwisataan. Penyebutan

fungsi kepariwisataan tidak diperlukan, karena tidak

akan operasional (tidak memiliki operator norma).

Fungsi dapat dituangkan dalam penjelasan umum

Undang-Undang, ketentuan umum atau dalam

Naskah Akademik;

5. Pasal 4 mengatur mengenai tujuan kepariwisataan.

Tujuan dapat dituangkan dalam penjelasan umum

dari UU dan naskah akademiknya. Jika sangat

diperlukan, maka harus dituangkan dalam bentuk

penulisan norma tingkah laku yang memerlukan

operator norma agar dapat dioperasionalkan. Perlu

ditambahkan kata “harus” sebagai operator norma

tersebut. Sehingga norma ini memiliki konsekuensi

jika tidak tercapai tujuannya;

6. Pasal 5 UU kepariwisataan memuat prinsip

penyelenggaraan kepariwisataan. Prinsip prinsip

tersebut perlu ditambahkankan : (a) Prinsip

untuk memberikan kemudahan kepada para

pengusaha lokal dalam sekala kecil, dan menengah

(Program pendidikan yang berhubungan dengan

kepariwisataan harus mengutamakan penduduk lokal

dan industri yang berkembang pada wilayah tersebut

harus mampu menampung para pekerja lokal

sebanyak mungkin); (b) Prinsip bahwa pembangunan

pariwisata harus mampu menjamin keberlanjutan,

memberikan keuntungan bagi masyarakat saat ini

dan tidak merugikan generasi yang akan dating

(Adanya anggapan bahwa pembangunan pariwisata

berpotensi merusak lingkungan jika dihubungkan

dengan peningkatan jumlah wisatawan dan

Page 124: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 117(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

degradasi daerah tujuan pariwisata adalah sesuatu

yang logis); (c) Prinsip adanya keterbukaan terhadap

penggunaan sumber daya seperti penggunaan air

bawah tanah, penggunaan lahan, dan penggunaan

sumberdaya lainnya harus dapat dipastikan tidak

disalah gunakan; dan (d) Prinsip adanya program

peningkatan sumberdaya manusia dalam bentuk

pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi untuk bidang

keahlian pariwisata sehingga dapat dipastikan bahwa

para pekerja siap untuk bekerja sesuai dengan uraian

tugas yang telah ditetapkan sesuai dengan bidangnya

masingmasing sehingga program sertifikasi akan

menjadi pilihan yang tepat;

7. Pasal 6 mengatur asas-asas pembangunan

kepariwisataan. Penyebutan “pembangunan

kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ......”,tidak perlu

karena sebagaimana telah diuraikan diatas ketentuan

tentang asas, maksud dan tujuan tidak perlu di

masukan dalam pasal atau bab tersendiri. Ketentuan

asas seyogyanya tercermin dalam setiap perumusan

norma dalam Undang-Undang tersebut;

8. Pasal 13 ayat (4) mengatur perintah pembentukan

Undang-Undang Kawasan Pariwisata Khusus. Namun

dalam penjelasan hanya disebutkan kawasan strategis

yang memiliki kekhususan wilayah menjadi kawasan

pariwisata khusus ditetapkan dengan undang-

undang sehingga tidak dirinci apa yang dimaksud

dengan kekhususan wilayah tersebut. Hal ini dapat

menimbulkan multi tafsir. Kata “ditetapkan “ kurang

tepat karena undang-undang sifatnya mengatur,

sehingga tidak memiliki kejelasan rumusan. Kalimat

Page 125: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

118 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

yang tepat adalah kawasan pariwisata khusus diatur

dengan Undang-Undang;

9. Pasal 15 mengatur kewajiban pendaftaran usaha

pariwisata. Kewajiban mendaftarkan usaha pariwisata

apakah sama halnya dengan perizinan dan apakah

itu berlaku untuk semua jenis pariwisata termasuk

pariwisata bahari? Jika memang untuk semua jenis

pariwisata, bagaimana dengan izin lokasi dan izin

pengelolaan yang harus diperoleh bagi pengusaha

wisata bahari sebagaimana diatur dalam UU No 27

tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU No

1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-pulau Kecil? Demikian pula di dalam penjelasan

umum terkait Pasal 15 ayat (2) bahwa “Tata cara

pendaftaran yang diatur dalam Peraturan Menteri

bersifat teknis dan administratif yang memenuhi

prinsip dalam penyelenggaran pelayanan publik yang

transparan meliputi, antara lain prosedur pelayanan

yang sederhana, persyaratan teknis dan administratif

yang mudah waktu penyelesaian yang cepat, lokasi

pelayanan yang mudah dijangkau, standar pelayanan

yang jelas, dan informasi pelayanan yang terbuka”.

Hal ini belum memberi kejelasan apakah pelayanan

pendaftaran tersebut dilakukan melalui pelayanan

terpadu satu pintu?;

10. Pasal 25-Pasal 26 menunjukkan tidak adanya akses

partisipasi masyarakat dan belum ada pengaturaan

terkait partisipasi masyarakat. Pasal 25 huruf a dan

Pasal 26 huruf a memuat kewajiban wisatawan

maupun pengusaha untuk menjaga dan menghormati

norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai

yang hidup dalam masyarakat setempat. Dalam

Page 126: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 119(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

implementasinya sering terjadi konflik kepemilikan

lahan dalam untuk menjadi objek pariwisata,

khususnya terkait pariwisata bahari dimana sering

terjadi konflik kepemilikan lahan antara nelayan dan

pengusaha. Hal ini disebabkan karena seringkali

pengusaha tidak melibatkan masyarakat. Kewajiban

menghormati norma agama maupun adat istiadat dan

budaya yang ada di masyarakat belum sepenuhnya

menjadi perhatian pengusaha maupun pemerintah.

Partisipasi masyarakat penting agar masyarakat

mudah memberikan informasi kepada pemerintah

tentang kepariwisataan; mendorong masyarakat

untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan

kepariwisataan;

11. Pasal 36 menunjukkan adanya kelembagaan dan

kewenangan yang tumpang tindih. Keberadaan

Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) yang

berfungsi sebagai koordinator promosi pariwisata

saat ini dinilai tidak efektif karena fungsinya tumpang

tindih dengan organisasi kepariwisataan yang ada di

pusat dan daerah (Kemenpar dan dinas pariwisata di

daerah).Pembagian kewenangan dan tugas dalam

melakukan promosi pariwisata dengan lembaga/

organisasi kepariwisataan yang ada di pusat dan

daerah tidak jelas. Keberadaan BPPI malah semakin

membebani keuangan negara karena BPPI diberikan

bantuan dana yang bersumber dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah bersifat hibah,

padahal BPPI merupakan lembaga swasta dan

bersifat mandiri (Pasal 36 ayat 2);

12. Pasal 52-Pasal 53 belum mendorong optimalisasi

Page 127: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

120 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

pengembangan sumber daya manusia. Pemerintah

dan Pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan

sumber daya manusia. Dalam implementasinya

sumber daya manusia pariwisata yang diikutsertakan

pelatihan jumlahnya masih sedikit dibandingkan

dengan potensi pariwisata bahari yang ada di

Indonesia. Hal ini disebabkan biaya pelatihan di sektor

pariwisata yang sulit dijangkau apalagi jika pelatihan

yang diselenggarakan bersertifikat internasional;

13. Pasal 54 belum mendorong ada penegakan hukum

yang efektif. Belum efektifnya pengaturan terkait

sertifikasi usaha pariwisata bagi pengusaha pariwisata

(Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-Undang No 10 Tahun

2009 tentang Kepariwisataan jo Peraturan Pemerintah

No 52 Tahun 2012 Tentang Sertifikasi Kompetensi

dan Sertifikasi Usaha Pariwisata) yang menyatakan

bahwa Pengusaha Pariwisata wajib memiliki Sertifikat

Usaha Pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan

perundangundangan (Pasal 24 Peraturan Pemerintah

No 52 Tahun 2012), namun belum ada penegakan

hukum yang tegas bagi pengusaha yang tidak

memiliki sertifikasi usaha;

14. Pasal 62 mengatur sanksi bagi wisatawan. Setiap

wisatawan yang tidak mematuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai sanksi

berupa teguran lisan disertai dengan pemberitahuan

mengenai hal yang harus dipenuhi. Pasal ini tidak

sesuai dengan teknik penyusunan pembentukan

peraturan perundang-undangan. Dalam Lampiran

II Nomor 64 Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011, dikatakan bahwa substansi yang berupa

sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas

Page 128: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 121(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

pelanggaran norma dirumuskan menjadi satu bagian

(pasal) dengan norma yang memberikan sanksi

administratif atau sanksi keperdataan;

15. Pasal 63 mengatur sanksi penguasaha pariwisata.

Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15

dan/atau Pasal 26 dikenai sanksi administratif. Dalam

Lampiran II Nomor 64 Undang-Undang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, dikatakan bahwa

substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi

keperdataan atas pelanggaran norma dirumuskan

menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang

memberikan sanksi administratif atau sanksi

keperdataan. Kemudian jika norma yang memberikan

sanksi administratif atau keperdataan lebih dari satu

pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan

tersebut dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian

(pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan

ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanki

pidana, sanksi perdata, dan sanki administratif dalam

satu bab;

16. Pasal 64 mengatur sanksi pidana. Penegakan hukum

untuk sanksi pidana perlu merujuk pada hukum

materiil dan hukum formil dalam hukum pidana

(KUHP dan KUHAP). Dalam KUHP membedakan antara

aturan umum untuk kejahatan dan aturan umum

untuk pelanggaran (antara lain dalam aturan atau

ketentuan tentang percobaan, concursus daluwarsa

dan sebagainya). Tidak ditetapkanya kualifikasi delik

apakah tindak pidana yang dimuat tersebut apakah

kejahatan ataukah pelanggaran telah menyebabkan

tidak dapat diberlakukannya beberapa aturan umum

Page 129: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

122 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

dalam KUHP. Petunjuk No. 121 Lampiran II Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa

sehubungan adanya pembedaan antara tindak

pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran

dalam KUHP, maka rumusan ketentuan pidana harus

menyatakan secara tegas kualifikasi dari perbatan

yang diancam pidana, apakah kejahatan atau

pelanggaran. Oleh karena itu perlu ada penambahan

pasal yang menyatakan kualifikasi perbuatan yang

diancam pidana pada pasal 64 apakah pelanggaran

atau kejahatan. Dalam ketentuan Pasal 64 lamanya

pidana penjara bagi pelaku yang dengan sengaja dan

melawan hukum dengan pelaku karena kelalaiannya

sangat jauh bedanya sehingga kurang memenuhi

rasa keadilan. Oleh karena itu sesuai dengan petunjuk

No 114 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 menyatakan bahwa dalam menentukan lamanya

pidana atau banyaknya denda perlu di pertimbangkan

dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam

masyarakat serta unsur kesalahan pelaku.

F. Praktik Penyelenggaraan Kebijakan

Kepariwisataan

1. Kota Surakarta

Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang berada

di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Lokasi kota ini terbilang

sangat strategis, terletak pada pertemuan jalur dari

Semarang dan dari Yogyakarta menuju Surabaya dan

Bali. Seperti daerah yang lain, Kota Surakarta merupakan

daerah otonom yang berusaha untuk mengelola rumah

tangga daerahnya sendiri dengan segala potensi yang ada.

Page 130: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 123(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Lahirnya undang-undang tentang pemerintahan

daerah memberi hak otonom bagi daerah untuk mengelola

dan memajukan daerah masing-masing dengan potensi

daerah yang ada. Potensi daerah yang dikelola menjadi

usaha pariwisata menjadi tawaran sebagai upaya untuk

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.147

Kota Surakarta merupakan salah satu kota wisata

yang kaya akan potensi lokal. Salah satu keunikannya yakni

kota Surakarta merupakan bekas ibukota kerajaan, yang

kaya akan peninggalan sejarah kerajaan baik secara fisik

maupun perangkat pranata budaya.148 Hal tersebut yang

menjadikan daya tarik wisata kota Surakarta sekaligus

sebagai alasan pemilihan kota Surakarta dalam obyek

penelitian ini. Kota Pariwisata merupakan salah satu kota

dengan destinasi wisata yang menarik. Badan Promosi

pariwisata Kota Surakarta melakukan pemetaan potensi

wisata di Kota Surakarta. Berdasarkan Rencana Induk

Pembangunan Kepariwisataan (RIPKA) Kota Surakarta

tahun 2016-2026 Terdapat sedikit perbedaan antara peta

ruang lingkup wilayah dengan data dari Bappeda Kota

Surakarta. Data Bappeda menunjukkan pembangunan

dan pengembangan destinasi pariwisata terdisi dari 14

(empat belas) destinasi, yaitu:

1. Destinasi Pariwisata Keraton Surakarta Hadiningrat

dan sekitarnya;

2. Destinasi Pariwisata Pura Mangkunegaran dan

147 Praditya Budi Laksana, Riyanto, dan Abdullah Said, “Strategi Pemasaran

Pariwisata Kota Surakarta Melalui City Branding (Studi pada Dinas

Pariwisata dan Kebudayaan Kota Surakarta,” Jurnal Administrasi

Publik 3, no. 1 (2015): 73.148 Amad Saeroji dan Deria Adi Wijaya, “Pemetaan Wisata Kuliner Khas

Kota Surakarta,” Jurnal Pariwisata Terapan 1, no. 1 (2017): 12.

Page 131: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

124 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

sekitarnya;

3. Destinasi Pariwisata Benteng Vastenburg dan

sekitarnya;

4. Destinasi Pariwisata Museum Radya Pustaka dan

sekitarnya;

5. Destinasi Pariwisata Wayang Orang Sriwedari dan

sekitarnya;

6. Destinasi Pariwisata Taman Sriwedari dan sekitarnya;

7. Destinasi Pariwisata Taman Balekambang dan

sekitarnya;

8. Destinasi Pariwisata Taman Satwa Taru Jurug dan

sekitarnya;

9. Destinasi Pariwisata Pasar Klewer dan sekitarnya;

10. Destinasi Pariwisata Pasar Gede dan sekitarnya;

11. Destinasi Pariwisata Pasar Antik Triwindu dan

sekitarnya;

12. Destinasi Pariwisata Kampung Batik Laweyan dan

sekitarnya;

13. Destinasi Pariwisata Kampung Batik Kauman dan

sekitarnya;

14. Destinasi Pariwisata Kampung Situs Budaya Baluwarti

dan sekitarnya

Destinasi wisata di Surakarta menyebar di beberapa

daerah yang disebut sebagai kawasan strategis wisata

Kota. Kawasan strategis yang tersebar di beberapa titik

untuk pengembangan pariwisata daerah ini memiliki

andil besar dalam peningkatan pendapatan daerah.

Kawasan strategis inilah yang berpengaruh pula terhadap

perkembangan UMKM di Kota Surakarta. Dalam kajian

dari Bappeda mencatat setidaknya terdapat 8 (delapan)

kawasan strategis:

Page 132: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 125(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

1. Kawasan strategis pariwisata Keraton Surakarta – Pasar

Gede yang meliputi Keraton Surakarta Hadiningrat –

Kampung Baluwarti – Alun-alun utara dan latan - Bank

Indonesia - Masjid Agung - Kampung Batik Kauman –

Pasar Klewer - Gedung Juang 45 - Beteng Vastenburg

- Masjid Gurawan – Kampung Pasar Kliwon -Kampung

Loji Wetan – Gladag - Koridor Jenderal Sudirman –

Tugu Pamandengan - Kreteg Gantung - Kampung

Balong - Pasar Gede.

2. Kawasan Strategis Pariwisata Sriwedari yang

meliputi Museum Radya Pustaka - Museum Ndalem

Wuryaningratan - Museum Keris - Loji Gandrung

Museum PON I Stadion Sriwedari - Jalan Bhayangkara-

Taman Sriwedari.

3. Kawasan Strategis Pariwisata Mangkunegaran yang

meliputi Pura Mangkunegaran - Masjid Al-Wustho -

Pasar Antik Triwindu – Koridor Ngarsopura - wisata

kuliner Keprabon – Ketelan - Kestalan.

4. Kawasan Strategis Pariwisata Balekambang yang

meliputi Stadion Manahan Taman Balekambang -

Pasar Burung dan Pasar Ikan Hias Depok.

5. Kawasan Strategis Pariwisata Kampung Batik Laweyan.

6. Kawasan Strategis Jurug yang meliputi Taman

Satwataru Jurug-Taman Ronggowarsito - Jembatan

Bengawan Solo - Sungai Bengawan Solo.

7. Kawasan Strategis Pariwisata Budaya dan Pendidikan

yang meliputi Taman Budaya Jawa Tengah - Universitas

Sebelas Maret-Institut Seni Indonesia – Solo Techno

Park.

8. Kawasan Strategis Kuliner.149

149 Ibid., 3.

Page 133: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

126 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Kawasan wisata di atas diklasifikasikan berdasar

jarak yang berdekatan, sehingga memudahkan wisatawn

memilih alur perjalanan wisatanya. Perencanaan perjalanan

wisata merupakan hal penting dalam pariwisata. Dengan

perencanaan, dapat dipastikan soal tujuan, biaya

dan waktu. Ketidak tepatan dalam perencanaan akan

menyebabkan pemborosan biaya, waktu, tenaga bahkan

kegagalan perjalanan. Permasalahan alur perjalanan

wisata ini membutuhkan suatu gagasan berperspektif

teknologi tepat guna misal berupa website atau tool

cerdas yang dapat membantu wisatawan membuat

rencana perjalanan.150

Pada tahun 2017, Surakarta memiliki Perda No. 5

Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Usaha Pariwisata.

Tujuan Peraturan Daerah ini yakni meningkatkan

pertumbuhan ekonomi masyarakat Surakarta

sehingga dapat meningkatkan pula kesejahteraannya.

Kesejahteraan masyarakat meningkat karena terbukanya

lapangan pekerjaaan dari sektor wisata. Selain itu

dengan pengelolaan yang baik, dapat melestarikan alam,

lingkungan dan sumber daya. Wisata lokal juga dapat

memajukan kebudayaan daerah dan meningkatkan

rasa cinta tanah air.151 Ketentuan dalam perda ini tidak

bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya,

karena pada prinsipnya, “kemandirian daerah dalam

berotonomi tidak berarti daerah boleh membuat

peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi secara hierarki

150 Rosleini Ria Putri Zendrato, Adhie Tri Wahyusi, dan Bagus Ismail Adhi

Wicaksana, “Implementasi Semantic Trip Planning dalam Perancangan

Aplikasi Mobile Perencanaan Perjalanan Wisata di Wilayah Eks-

Karisidenan Surakarta,” Jurnal Techno 17, no. 1 (2016): 1.151 Pasal 3

Page 134: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 127(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

atau kepentingan umum.”152

Pada Pasal 9 Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2017

diatur tentang bidang usaha pariwisata. Bidang usaha

yang diatur dalam pasal ini mengacu pada UU No.

10 tahun 2009. Untuk mengimplementasikan perda,

dibutuhkan suatu kebijakan agar Peraturan Daerah dapat

berjalan dengan optimal. Optimalisasi Perda berkorelasi

dengan terwujudnya pembangunan yang maksimal.

Pembangunan perlu dikawal oleh kebijakan yang

memberikan pedoman pelaksanaan berikut larangan-

larangan untuk memastikan proses pembangunan dapat

terarah, terpadu dan berjalan sesuai rencana-undang

sebelumnya (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990).

Letak perbedaannya, pada peraturan yang baru mengatur

pula tentang hiburan dan spa. Ketentuan ini di adopsi oleh

Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2017.

Strategi pengembangan dan pemasaran pariwisata

merupakan salah satu bentuk kebijakan yang dirumuskan

oleh pemerintah daerah Surakarta dengan tujuan

meningkatkan usaha pariwisata di kota Surakarta.

Pelaksanaan kebijakan tersebut mengacu pada norma

tertentu yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan

tertentu. Norma yang dimaksud yakni Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

dan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2017 tentang

Penyelenggaraan Usaha Pariwisata.

Selain merumuskan strategi pengembangan,

152 Zulkarnain Umar, “Analisis Implementasi Kebjakan Standar Pelayanan

Minimal Untuk Peningkatan Kualitas Layanan Publik di Daerah,”

Jurnal Analisis dan Kebijakan Publik 3, no. 1 (2017): 6; Yusdiyanto,

“Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda

dan Peraturan Lainnya,” Jurnal Fiat Justisia Ilmu Hukum 6, no. 3

(2012): 7.

Page 135: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

128 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Pemerintah Kota Surakarta juga merumuskan strategi

pemasaran destinasi wisata kota Surakarta. Terdapat

beberapa pilihan untuk strategi pemasaran destinasi

wisata Kota Surakarta. Pertama, Strategi Bundling153

Produk Pariwisata Koridor I. Dalam koridor ini mempunyai

beberapa destinasi wisata yang berkarakter kuat, misalnya

Benteng Vastenburg, Pasar Gedhe, Kampung Mbalong,

Alun Alun Utara, Pasar Klewer dan Keraton Surakarta.

Kawasan tersebut juga menjadi lokasi beberapa even

wisata yang mempunyai daya tarik sangat baik. Even

wisata, seperti SIPA, Apresiasi Musik Kebangsaan, Solo

Keroncong Festival, Gerebek Sudiro, Imlek, Sekatenan dan

Solo Great Sale. Strategi bundling produk direkomendasikan

adalah menggabungkan even wisata dengan destinasi

wisata yang menjadi lokasinya. Secara tidak sengaja,

hal ini sudah dilakukan hanya saja fokus penyelenggara

even wisata adalah pada penyelenggaran even wisata

dan belum memasarkan destinasi wisata yang menjadi

lokasinya. Bentuk penggabungan yang riil adalah dengan

menggunakan merek even wisata dan destinasi wisata

secara simultan, misalnya dengan menggunakan judul

even Vastenburg Solo International Performing Art, Pasar

Gedhe Imlek Festival dan sebagainya. Konsep bundling

produk lain adalah dengan menggabungkan destinasi

wisata, even wisata dan produk kuliner tertentu. Basis

utama produk adalah even wisata yang diselenggarakan

di destinasi wisata tertentu dengan daya tarik kuliner khas

Solo.

Kedua, Strategi fokus keunikan produk unggulan

153 Diskusi teoritis mengenai bundling lihat antara lain Wei-Jue Huang

dkk., “Bundling attractions for rural tourism development,” Journal of Suistanable Tourim 24, no. 10 (2016): 1387–1402.

Page 136: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 129(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

wisata.154 Strategi ini mengacu pada salah satu produk

unggulan yang menjadi ciri khas wisata kota Surakarta

yaitu keris. Strateginya adalah dengan menyusun paket

perjalanan menyusuri Koridor I dengan nama Solo Keris

Trail. Paket perjalanan pendek dengan berjalan kaki ini

dilakukan dengan asumsi Dinas Pekerjaan Umum Kota

Surakarta merealisasikan sidewalk (trotoar) yang ramah

pejalan kaki. Paket perjalanan pendek ini dilakukan

dengan mengunjungi destinasi wisata tertentu dengan

souvenir dan kuliner tertentu.

Ketiga, Strategi Komunikasi Pemasaran Destinasi

Wisata Kota Surakarta.155 Dinas Pariwisata dan Seni Budaya

Kota Surakarta bekerja sama dengan Dinas Perhubungan

Komunikasi dan Informatika sudah mengembangkan

aplikasi berbasis android yang berisi tentang informasi

destinasi wisata di Kota Surakarta, selain itu materi promosi

berupa leaflet, outdoor banner dan website sudah dibuat

dengan cara dan desain yang menarik. Dinas Pariwisata

Seni dan Budaya juga sudah melakukan kerjasama dengan

154 Perpektif teoritis mengenai strategi ini, lihat Rita R. Carballo dan

Carmelo J. León, “The influence of artistically recreated nature on the image of tourist destinations: Lanzarote’s art, cultural and tourism

visitor centres and their links to sustainable tourism marketing,” Journal of Sustainable Tourism 26, no. 2 (2018): 192–204; Chien-Min Chen,

Sheu Hua Chen, dan Hong Tau Lee, “The destination competitiveness

of Kinmen’s tourism industry: exploring the interrelationships between

tourist perceptions, service performance, customer satisfaction and

sustainable tourism,” Journal of Sustainable Tourism 19, no. 2 (2011):

247–64.155 Penjelasan teoritis yang menarik soal ini, lihat Xavier Font dan Scott

McCabe, “Sustainability and marketing in tourism: its contexts,

paradoxes, approaches, challenges and potential,” Journal of Sustainable Tourism 25, no. 7 (2017): 869–83; Alan Pomering, Gary Noble, dan

Lester W. Johnson, “Conceptualising a contemporary marketing mix for

sustainable tourism,” Journal of Sustainable Tourism 19, no. 8 (2011):

953–69.

Page 137: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

130 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Angkasa Pura dan pengelola Bandara Internasional Adi

Soemarmo untuk memperluas cakupan komunikasi

pemasaran destinasi wisata Kota Surakarta.

Keempat, Strategi Efisiensi Biaya Paket Wisata

Backpacker Destinasi Wisata Kota Surakarta. Wisatawan

backpacker156 sering dipandang sebelah mata oleh

para penyedia jasa pariwisata karena dianggap mereka

termasuk kelas segmen ekonomis. Para penyedia jasa

pariwisata tidak menyadari bahwa wisatawan backpacker

mempunyai kekuatan besar sebagai pemberi referensi

bagi wisatawan lainnya. Hal ini dalam pemasaran lazim

disebut dengan word of mouth. Para backpacker ini

membagikan informasi tentang destinasi wisata yang

mereka kunjungi melalui media sosial berupa facebook,

instagram, path dan twitter. Mereka biasanya mempunyai

pengikut yang banyak. Hal ini seharusnya disadari oleh

para penyedia jasa pariwisata dengan menyediakan

paket wisata khusus bagi wisatawan backpacker dengan

biaya murah tetapi berharap pada efek word of mouth

dari kelompok wisatawan ini. Berkembangnya teknologi

dan informasi memaksa usaha pariwisata untuk terus

berinovasi agar tidak kalah bersaing. Terkait Kota Surakarta,

terdapat banyak penelitian mengenai pengembangan

kota pariwisata Surakarta dalam persepektif pemanfaatan

teknologi, misalnya aplikasi, web site, peningkatan sarana

prasana. Fasilitas dan sistem pelayanan merupakan sistem

penujang yang tidak dapat diabaikan. Jika tidak ada

156 Diskusi soal wisatawan jenis ini, lihat:Natalie Ooi dan Jennifer H.

Laing, “Backpacker tourism: sustainable and purposeful? Investigating

the overlap between backpacker tourism and volunteer tourism

motivations,” Journal of Sustainable Tourism 18, no. 2 (2010): 191–

206; Brendan Canavan, Journal of Sustainable Tourism 26, no. 4 (2018):

551–66.

Page 138: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 131(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

fasilitas yang memenuhi pesyaratan, tidak ada pula obyek

yang dapat di operasionalkan oleh pelaku.

2. Kota Batu

a. Profil dan Program

Pertumbuhan ekonomi Kota Batu terbilang cukup

pesat terutama pada sektor pariwisata. Berkembangnya

sektor pariwisata di Kota Batu dibuktikan pada nilai

PDRB, dimana sektor yang memiliki nilai kontribusi

paling tinggi adalah sektor perdagangan, hotel dan

rumah makan dimana sektor tersebut berkaitan

erat dengan industri pariwisata.Kontribusi sektor

perdagangan, hotel, dan restoran yangmendominasi

yakni hampir mencapai 50% dari total PDRB Kota

Batu. Hal ini menandakan bahwa sektor pariwisata

merupakan sektor kunci dalam pembangunan Kota

Batu.Tingginya sektor perdagangan, hotel, dan

restoran pada PDRB Kota Batu mengindikasikan

bahwa pengeluaran wisatawan di Kota Batu cukup

besar. Kota Batu berhasil dalam menyediakan fasilitas

yang dibutuhkan oleh wisatawan. Namun, terdapat

permasalahan yaitu penurunan jumlah wisatawan

pada tahun 2009-2012 dengan rata-rata 13% tiap

tahunnya. Penurunan jumlah wisatawan tersebut

perlu mendapatkan perhatian khusus karena sebagai

indikasi kejenuhan wisatawan akan wisata di Kota Batu.

Penurunan jumlah wisatawan ini dapat mengakibatkan

menurunnya pendapatan daerah Kota Batu dan tentu

saja berdampak pada perekonomian Kota Batu. Apabila

tidak ada strategi perencanaan wisata Kota Batu,

dikhawatirkan perekonomian Kota Batu di masa datang

akan menurun. Selain itu, sebagai kota baru, pariwisata

Page 139: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

132 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Kota Batu dituntut untuk bersaing dengan wilayah lain

yang lebih dulu eksis yaitu Kota Malang dan Kabupaten

Malang dalam wilayah Malang Raya.

Kota Batu memiliki potensi alam yang menjadi

daya tarik utama sehingga menjadi tujuan untuk

tempat beristirahat.Karena keindahan alamnya maka

Kota Batu pada jaman kolonial Belanda mendapat

julukan “De Klein Switzerland” atau Swiss kecil di Pulau

Jawa. Namun, seiring perkembangannya, pada saat

ini daya tarik wisata di Kota Batu tidak hanya berbasis

pada alam tetapi juga buatan dan budaya. Kota Batu

memiliki 41 objek wisata berupa 14 objek wisata alam,

19 objek wisata buatan, dan 10 objek wisata budaya

yang tersebar di tiga kecamatan.

Berdasarkan potensi yang dimilikinya, maka visi

Kota Batu, ditetapkan sebagai sentra pertanian organik

berbasis kepariwisataan internasional. Potensi sektor

pertanian di Kota Batu telah mulai dikolaborasikan

dengan kegiatan sektor pariwisata yang diproyeksikan

menjadi salah satu andalan kegiatan penyumbang

perkembangan perekonomian daerah. Di Kota Batu

kolaborasi tersebut telah dikembangkan dalam

wujud seperti pengembangan agrowisata, kawasan

agropolitan, dan wisata hidup bersama masyarakat

(living with people). Menyadari adanya potensi-potensi

tersebut, pemerintah Kota Batu menetapkan rencana

pengembangan desa wisata dengan pilot projectnya

di Desa Punten. Meskipun sebelumnya, kepariwisataan

di Kota Batu lebih dikenal dengan keberadaan objek-

objek wisata yang berbasis pada alam, namun dalam

perkembangannya saat ini telah diperkaya dengan

kehadiran objek-objek wisata buatan yang jumlahnya

Page 140: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 133(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

lebih banyak. Hal ini menyebabkan pengembangan

wisata alam menjadi kurang mendapat perhatian.

Kota Batu pun semakin mengukuhkan branding

sebagai Kota Wisata dengan menjadikan wisata

buatan sebagai wisata unggulan. Selecta, Jatim Park

I, Secret Zoo, dan Batu Night Spectaculer merupakan

objek wisata buatan yang ditetapkan sebagai wisatan

unggulan dalam RIPPDA Kota Batu. Sejak dibangun

dan dioperasikannya objek wisata buatan Jawa Timur

Park I hingga kehadiran objek wisata Predator Fun

Park sebagai wisata rekreatif dan edukatif, Kota Batu

semakin dikenal sebagai Kota Wisata andalan Provinsi

Jawa Timur. Sejak dibangunnya Jawa Timur Park I

pada tahun 2002, satu persatu objek wisata buatan

hadir dan menambah variasi khasanah objek wisata

buatan di Kota Batu seperti Batu Night Spectacular

(BNS), Batu Wonderland, Alun-alun Kota Batu, Balai

Benih Ikan Punten, Museum Satwa, Batu Secret Zoo,

Eco Green Park, Museum Angkut, dan yang terbaru

adalah Predator Fun Park. Selain itu, wisatawan yang

berkunjung ke Kota Batu didominasi oleh wisatawan

domestik sehingga wisata buatan dirasa sesuai dengan

minat wisatawan. Meskipun jumlah objek wisata buatan

di Kota Batu terus bertambah, namun juga menyimpan

sejumlah masalah, diantaranya adanya kecenderungan

wisatawan yang sudah pernah mengunjunginya kecil

kemungkinannya untuk berkunjung lagi sampai batas

waktu tertentu.

b. Pengembangan dan Kebijakan

Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah

Kota Batu Tahun 2010-2020 dan Peraturan Daerah Kota

Page 141: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

134 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Batu Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Kota Batu 2010-2030, yaitu meningkatkan

posisi dan peran Kota Batu dari kota wisata menjadi

sentra wisata yang diperhitungkan di tingkat regional

atau bahkan nasional, dengan melakukan penambahan

ragam objek dan atraksi wisata, yang didukung oleh

sarana dan prasarana, serta unsur penunjang wisata

yang memadai dengan sebaran yang relatif merata

di wilayah Kota Batu guna memperluas lapangan

pekerjaan dalam rangka mengatasi pengangguran dan

meningkatkan pendapatan warga maupun PAD Kota

Batu yang berbasis pariwisata.

Dalam perkembangannya, kegiatan pariwisata

juga tidak lepas dari peran serta swasta dan juga

masyarakat. Peranan swasta yang terlibat dalam

pengembangan wisata besar sekali pengaruhnya,

seperti dalam pembangunan hotel, rumah makan,

panti pijat dan pengadaan biro perjalanan wisata

dan lain-lain. Pihak swasta yang ikut membantu

perkembangan pariwisata Kota Batu di antaranya adalah

Jawa Timur Park Group. Jawa Timur Park Group yang

didirikan oleh Paul Sastro asal Malang ini, merupakan

perusahaan yang bergerak di bidang industri

pariwisata terbesar di Jawa Timur dan Pulau Jawa

dan banyak anak perusahaan tersebar khususnya di

wilayah Jawa Timur. Anak perusahaanya yang terletak

di Kota Batu di antaranya Jawa Timur Park 1, Jawa

Timur Park 2, Batu Night Spectaculer, Hotel Pohon Inn,

Pondok Jatim Park dan Eco Green Park. Alasan memilih

Kota Batu sebagai pembangunan wisata dari Jawa

Timur Park Group adalah keindahan Kota Batu dan

faktor lingkungan yang mendukung. Dengan adanya

Page 142: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 135(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

investor tersebut secara tidak langsung membantu

pembangunan Kota Batu dalam hal perekonomian.

Mereka adalah pihak swasta yang ikut membantu

perkembangan pariwisata Kota Batu. Keberadaan

swasta dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi

masyarakat Kota Batu. Tingkat pengangguran di Kota

Batu pada tahun 2013 menurun menjadi 3.404 orang

atau 2,32 persen dibandingkan tahun 2012 kurang

lebih 6.000 orang atau 4,34 persen.

Swasta mendirikan fasilitas pendukung objek

wisata sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Batu

Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan

Kepariwisataan. Hal tersebut sejalan dengan visi

Kota Batu, yaitu Kota Batu sebagai Kota Wisata dan

Agropolitan di Jawa Timur. Kota Batu memiliki potensi

pariwisata yang besar, baik wisata alam, buatan,

maupun budaya yang ditunjang dengan adanya

fasilitas pendukung, berupa hotel dan perdagangan

souvenir atau cinderamata.

Pemerintah Kota Batu serius garap tiga Desa

Wisata di tahun 2018. Desa Pandanrejo, Desa Sidomulyo,

dan Desa Sumberejo adalah tiga desa yang akan dikaji

terkait potensi wisata untuk dikembangkan. Bukan

hanya dikembangkan, tiga desa ini juga diarahkan

Dinas Pemerintah Kota Batu untuk mampu mengelola

wisata dan tidak bergantung pada pemerintah. Semisal

Desa Sidomulyo dengan wisata petik apel dan petik

bunga. Usulan ini sebenarnya baru diprogramkan

di tahun 2018 ini, hal ini berkaitan dengan target

wisatawan di tahun 2018 yaitu 5 juta pengunjung. Di

tahun 2017 sendiri jumlah wisatawan yang datang ke

Kota Batu telah melewati target, yiatu mencapai 4,2

juta pengunjung.

Page 143: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

136 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Kekayaan etnis dan budaya yang dimiliki Kota

Malang berpengaruh terhadap kesenian tradisional

yang ada. Salah satunya yang terkenal adalah Wayang

Topeng Malangan (Topeng Malang). Gaya kesenian ini

adalah wujud pertemuan tiga budaya (Jawa Tengahan,

Madura, dan Tengger). Hal ini terjadi karena Malang

memiliki tiga sub-kultur, yaitu sub-kultur budaya

Jawa Tengahan yang hidup di lereng gunung Kawi,

sub-kultur Madura di lereng gunung Arjuna, dan sub-

kultur Tengger sisa budaya Majapahit di lereng gunung

Bromo-Semeru. Etnik masyarakat Malang terkenal

religius, dinamis, suka bekerja keras, lugas dan bangga

dengan identitasnya.

Selain Tari Topeng juga berkembang seni

Tari Bantengan. Kesenian ini berkembang pesat

sejak tahun 1960an ketika jaman Orde Lama. Setiap

perayaan atau pawai hari ulang tahun kemerdekaan

negara kita senantiasa ditampilkan bersama dengan

Tari Liang Liong. Namun seiring kemunduran

perekonomian setelah masa itu, seni Tari Bantengan

mengalami kemunduran. Lima belas tahun terakhir,

seni Tari Bantengan mulai muncul kembali bahkan

mulai menjamur. Hampir setiap kecamatan di

wilayah Kabupaten dan Kota Malang, rata-rata ada

3-5 perkumpulan seni tari Bantengan. Terutama di

sekitar Kecamatan Tumpang, Poncokusumo, serta

Kota Batu. Pada tahun 2003, Kota Batu mengakui

bahwa seni Tari Bantengan merupakan seni tari yang

berasal dari wilayah itu. Namun kebenarannya masih

diragukan, pengakuan Kota Batu menjadi kontroversi

di antara masyarakat pecinta seni serta para seniman

tari ini. Sebab sebelum pengakuan Kota Batu tersebut

Page 144: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 137(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

mencuat, seni Tari Bantengan tumbuh dan berkembang

di seluruh wilayah Malang. Selain Tari Topeng dan Tari

Bantengan, di Malang juga terdapat kesenian kuda

lumping dan campursari. Dua kesenian ini mungkin

sudah dikenal diberbagai wilayah di Indonesia. ota Batu

yang telah menegaskan diri sebagai Kota Wisata harus

mempunyai tawaran lebih. Artinya, tidak hanya tawaran

obyek wisata keluarga dalam bentuk wahana-wahana

hiburan. Tidak juga hanya mengandalkan pesona alam

dalam bentuk wana wisata atau agrowisata petik buah.

Namun, segala potensi wisata yang menjadi daya tarik

wisata harus digarap demi sebesar-besarnya hajat

hidup masyarakat.

3. Provinsi Bali

a. Profil wisata provinsi Bali

Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia

yang wilayahnya tidak lebih dari 5.634,40 km² atau

5.634,40 ha dengan panjang pantai mencapai 529

km. Komposisi pulau terdiri dari satu pulau utama dan

beberapa pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti pulau

Menjangan (ujung timur) di kabupaten Jembrana, di

sebelah selatan Pulau Serangan (telah direklamasi) di

Kota Denpasar, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa

Ceningan, dan disebelah tenggara terdapat pulau

yang paling besar adalah Pulau Nusa Penida masuk

wilayah Kabupaten Klungkung. Wilayah terluas dimiliki

Kabupaten Buleleng seluas 1.365,88 km² atau hampir

setengah luas pulau Bali dari ujung timur sampai ke

ujung barat pulau Bali. Kabupaten atau pemerintahan

kota terkecil adalah Pemerintah Kota Denpasar seluas

123,98 km² sebagai Ibu Kota Pemerintah Provinsi Bali.

Page 145: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

138 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Tabanan memiliki

luas yang hampir sama, hanya saja sebagian besar

Kabupaten Jembrana terdiri dari Hutan Taman Nasional

Bali Barat (TNBB). Untuk fungsi lahan kedua kabupaten

ini memiliki fungsi yang serupa yaitu lahan pertanian

dan perkebunan, bahkan Kabupaten Tabanan dikenal

sebagai lumbung beras Pulau Bali. Tidak jauh berbeda

dengan Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Tabanan,

Kabupaten Klungkung, Bangli dan Karangasem

memiliki kesamaan fungsi lahan, yaitu pertanian dan

perkebunan. Meskipun keseluruhan kabupaten/kota

di Bali bersentuhan dengan sektor pariwisata hanya

Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Badung yang

sangat mengandalkan sektor pariwisata sebagai basis

perekonomiannya, disamping sektor pertanian dan

perkebunan.

Pulau Bali sangat kaya akan keindahan alam dengan

budaya dan adat istiadat, masyarakat Bali dengan

budaya agrarisnya kental dengan kehidupan sosial yang

harmoni karena hubungan yang serasi antara manusia

dan alam, Tuhan, dan sesamanya. Konsep industri

pariwisata mengedepankan nilai-nilai pemenuhan

barang dan jasa beserta layanan secara profesional

dan proposional. Industri pariwisata di Bali selain

mendahulukan nilai-nilai kapitalis juga memberikan

nuansa sentuhan-sentuhan budaya di dalam setia

atraksinya. Konsep pariwisata yang diagung-agungkan

di Bali sebagai pariwisata dunia atau pariwisata global,

yang mana lebih mengedepankan nilai-nilai ekonomi

liberal persaingan bebas, dan persaingan modal antar

korporasi.

Desa Bali yang semula sebagian besar

Page 146: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 139(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

masyarakatnya hidup di sektor pertanian dan berpegang

kuat pada adat yang diwariskan dari generasi ke

generasi tanpa banyak perubahan tradisi masyarakat

pedesaan, kini cenderungmakin individualistik di

dalam keanekaragaman profesi nonagraris dan lebih

erat dalam kaitannya sektor jasa. Peran adatpun

biasanya hanya menonjol pada kegiatan seremonial

atau upacara yang tidak memiliki kekuatan untuk

mengontrol perilaku masyarakat perkotaan. Budaya

hedonisme telah merasuki generasi muda dalam sikap

dan perilaku keseharian. Hal ini tercermin dalam cara

pandang, cara sikap, dan perilaku sosial keseharian.

Keengganan generasi muda dalam menggunakan

bahasa ibu (bahasa Bali) serta gaya berpakaian yang

terkesan mengikuti pola gaya westernisasi merupakan

salah satu indikatorperubahan yang terjadi di generasi

muda.

Indentitas dan kekhasan masing-masing desa

semakin lama semakin pudar. Desa dan Kota yang semula

hidup dengan segala perbedaan atau kebhinekaannya

dalam struktur dan stratifikasi masyarakat yang

awalnya desa dikenal cenderung homogen dan

masyarakat kota cenderung heterogen, kini secara

administratif dan birokratis, cenderung makin seragam

karena campur tangan negara. Kehadiran Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan

Desa yang menghendaki kesamaan dalam bentuk

dan susunan pemerintahan desa di seluruh Indonesia

adalah pemicu pertama kali dimulainya penyeragaman

kegiatan pembangunan di pedesaan secara nasional.

Masyarakat Bali yang tradisional dan penghidupan

bersifat agraris tampak sebagai satu kesatuan yang utuh,

Page 147: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

140 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

kepentingan bersama lebih diutamakan dibandingkan

kepentingan kelompok dan individu sebagai warga

masyarakat. Warga masyarakat satu dengan yang

lainnya terikat berdasarkan ikatan solidaritas mekanis

dan dalam masyarakat demikian, dunia kehidupan

masih menyatu. Jika terjadi suatu perselisihan antar

warga, masyarakat berusaha menyelesaikannya secara

musyawarah mufakat (konsensus) berdasarkan pada

asas kepatutan melalui lembaga-lembaga desa adat

(sangkepan/hasil atau sidang rapat desa). penyelesaian

perselisihan secara musyawarah mufakat dalam forum

sangkepan tersebut berfungsi untuk mengembalikan

masyarakat ke dalam suasana kehidupan yang

rukun dan damai (harmonis). Suasana kehidupan

harmonis, pada masyarakat tradisional yang tersebut,

kini tampaknya telah berubah karena pengaruh

modernisasi, industrialisasi dan lebih-lebih lagi setelah

masyarakat mengalami proses globalisasi. Kehidupan

nonagraris dan globalisasi tersebut telah mengubah

masyarakt homogen menjadi masyarakat majemuk

(plural) yang di dalamnya terdapat suasana kehidupan

yang heterogen dengan bermacam kepentingan.

Di Bali pada umumnya, proses globalisasi telah

dirasakan jauh sebelum masyarakat Indonesia

lainnya mengalami hal tersebut. Salah satu penyebab

terjadinya proses globalisasi lebih awal di daerah

ini adalah karena perkembangan pariwisata yang

telah berlangsung sejak lama. Suasana demikian,

mencerminkan diferensiasi dalam berbagai bidang

antara lain dalam pekerjaan, profesi, pendidikan

dan kepentingan. Kemajemukan masyarakat dapat

juga dilihat dari tumbuhnya berbagai kelompok dan

Page 148: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 141(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

hubungan sosial baru yang timbul sebagai tuntutan

kehidupan dunia modern. Kelompok-kelompok sosial

baru tersebut umumnya menganut nilai dan norma

serta kebiasaan yan berbeda dengan nilai, norma, serta

kebiasaan masyarakat tradisional. Kelompok-kelompok

tersebut, juga mempunyai kepentingan yang berbeda-

beda dan sering kali juga bertentangan. Dalam suasana

demikian, masyarakat tidak lagi digambarkan sebagai

suatu kesatuan yang utuh melainkan terdiri dari

bagian-bagian dan justru bagian-bagian inilah yang

lebih menonjol dari masyarakat secara keseluruhan.

Solidaritas mekanis yang semula menjadi daya

pengikat dalam masyarakat digantikan oleh ikatan

solidaritas organis yang lebih menonjolkan ikatan

dalam kelompok dan kepentingan kelompok masing-

masing lebih diutamakan dibandingkan masyarakat

secara keseluruhan. Orientasi nilai warga masyarakat

dalam pergaulan antar antar sesamapun tampak

mengalami pergeseran dari nilai kebersamaan ke nilai

individual dan komersial. Kondisi demikian memberi

peluang untuk timbulnya persaingan dan konflik.

Banyak hal yang muncul sbagai sumber konflik dewasa

ini antara lain: tanah, status sosial (prestige), jabatan

dan peluang kerja, penguasaan aset-aset ekonomi dan

lain sebagainya. Sumber konflik yang paling menonjol

dewasa ini adalah, perbatasan wilayah, tanah, baik

tanah milik perorangan, milik kolektif, milik pura/milik

desa adat dan tak terkecuali tanah untuk penguburan.

Proses globalisasi telah membuka masyarakat Bali,

termasuk masyarakat pedesaan ke dalam pergaulan

luas pada pergaulan dunia. Hal ini ternyata telah

menimbulkan banyak tantangan bagi masyarakat adat,

Page 149: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

142 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

termasuk lembaga-lembaga adatnya terutama dalam

menjalankan fungsinya. Tantangan yang dihadapi

tersebut antara lain telah terjadinya perubahan nilai

orientasi warga masyarakat dalam bersikap dan

bertindak, keefektifan awig-awig (norma atau aturan

adat) sebagai alat kontrol sosial berkurang, keputusan-

keputusan yang diambil dalam penyelesaian konflik

di masyarakat yang dahulu umunya ditaati kini tidak

jarang diabaikan karena dipandang tidak memuaskan

bagi sebagian kelompok masyarakat.

Sekarang sedang terjadi kemunduran tradisi,

norma-norma, dan hukum, serta tatanan kehidupan

yang telah mapan pada taraf yang cukup fenomenal.

Manusia mengalami perkembangan menakjubkan

dalam bidang material, tetapi bersamaan dengan itu

juga mengalami perkembangan yang terbatas dalam

bidang moral. Kontradiksi kehidupan sosial tidak dapat

dihindari karena modernisasi dan industrialisasi telah

menjadi kekuatan penting yang memaksa penyesuaian

nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat. Malahan

masyarakat global dewasa ini tengah menuju ke arah

sebuah dunia dengan tingkat kompleksitas kehidupan

yang semakin tinggi, bersamanya membawa berbagai

kontradiksi kehidupan, baik sosial dan kebudayaan

maupun agama.

b. Kearifan Lokal Bali

Dalam perkembangannya kapitalisme pariwisata tidak

mementingkan nilai, makna dan fungsi pertunjukan

tarian di hadapan para wisatawan. Tarian hanyalah

sebuah atraksi seni atas keindahan dan nilai estetika,

seperti layaknya konsep pembangunan pariwisata

Page 150: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 143(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

berkelanjutan maka pariwisata juga memiliki dua

muka yang menyatu, seperti memiliki dua arah yaitu

pengaruh positif dan pengaruh negatif. Dalam falsafah

masyarakat Bali dikenal yaitu Rhua Bhineda (Dua yang

berbeda). Jika pariwisata dikelola dengan baik dan

berkelanjutan maka akan menghasilkan manfaat

optimal bagi rakyat lokal, paling tidak bagi masyarakat

adat sekitarnya maupun pelaku pariwisata lainnya. Jika

dikelola dengan serampangan dan tidak terorganisir

secara rapi, maka masyarakat lokal dan adat hanya

mendapatkan ekses-ekses negatif, perubahan nilai-

nilai sosial budaya yang destruktif. Kerusakan ataupun

penurunan moral atas imbas pariwisata terhadap

masyarakat lokal (adat) akan susah dikembalikan. Inilah

yang disebut dengan taksu atau nilai magis pariwisata

budaya yang menghasilkan atraksi-atraksi pertunjukan

seni dan budaya dipandu latar keindahan alam Bali.

Seyogianya pariwisata budaya yang berkelanjutan

mempertahankan aspek-aspek local geneus atau

kearifan lokal sebagai roh terhadap daya tarik pariwisata

itu sendiri. Pariwisata budaya bukan hanya dilihat hal

atau pertunjukan yang tampak pada kasat mata saja.

Namun lebih pada pertimbangan kenapa nilai-nilai

kearifan lokal menjiwai pelaksanaan sikap dan perilaku

masyarakat dalam kaitannya dalam interaksi sosial

kesehariannya.

Setiap nilai-nilai kearifan lokal memiliki makna

terhadap sebab musabab kejadian atau momentum

kenapa hal ikhwal itu dilaksanakan. Misalnya

kehidupan pertanian masyarakat Bali mengajarkan

konsep, keseimbangan dan kesucian terhadap alam

yang terdiri dari unsur tanah, air, udara, matahari dan

Page 151: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

144 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

nikroorganisme. Hal ini merupakan salah satu konsep

Tri Hita Karana karena terdapat menjaga keseimbangan

alam harus serasi, selaras, dan berkesinambungan dari

generasi ke generasi berikutnya. Keseimbangan dalam

interaksi sosial terhadap pemilik lahan pertanian antara

satu petani dengan petani lainnya dilakukan dengan

sistem subak. Subak merupakan bagian dari kearifan

lokal masyarakat Bali untuk menjaga pendistribusian air

antara satu lahan dengan lahan lainnya secara adil dan

dan merata. Konsepsi pekerjaan bertani merupakan

Yadnya yaitu kepatuhan atau kewajiban manusia

bekerja dan mengolah alam sekaligus menjaga alam

ini sebagai titipan Tuhan.

Yadnya melalui upacara keagamaan terkadang

dirusak oleh unsur gengsi dan kehormatan. Banyak

upacara keagamaan dilakukan dengan menjual aset

ekonomi atau warisan dari para leluhurnya. Demi rasa

gengsi dan ingin dipandang terhormat di dalam tatanan

masyarakat sebuah keluarga terkadang menanggung

utang atau kehilangan aset untuk bekerja. Yadnya

merupakan upacara keagamaan yang sebagian orang

Bali dikatakan sebagai beban misalnya upacaara

Ngaben atau pembakaran mayat, di dalam upacara

Ngaben dapat menghabiskan untuk pelaksanaan

kegiatan tersebut hingga puluhan juta hingga ratusan

juta bahkan miliaran rupiah. Pada akhirnya masyarakat

mencari dan membuat konsensus bersama atas konsep

Yadnya ini. Ngaben lazimnya pada saat ini bilamana

tidak mampu dilakukan oleh sebuah keluarga sendiri

maka akan dikoordinir desa adar dengan sistem

Ngaben massal. Secara waktu, energi, dan pembiayaan

tentunya lebih murah dan terasa ringan bagi semuanya.

Page 152: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 145(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Konsepsi dharma atau Yadnya yang didasari

oleh falsafah kerja adalah karunia Tuhan oleh karena

itu pendapatan yang diperoleh adalah milik Tuhan.

Manusia hanya memanfaatkannya sebatas yang dia

butuhkan. Selebihnya adalah milik Tuhan yang harus

dibagikan kembali ke masyarakat dalam bentuk

Yadnya. Berbagai bentuk Yadnya itu meliputi pertama,

Manusa Yadnya (Yadnya untuk kemanusiaan, aktivitas

atau kegiatan sosail yang terjadi di dalam dinamika

desa adat). Kedua, dewa Yadnya merupakan kegiatan-

kegiatan spiritual ataupun upacara keagamaan dalam

rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Ketiga, Bhuta

Yadnya yakni, Yadnya untuk upacara keagamaan yang

bersifat Bhuta dalam rangka keseimbangan dengan

kekuatan negatif yang ada di alam ini. Keempat, Pitra

Yadnya merupakan Yadnya untuk para leluhur dengan

segala dimensinya sebagai rasa hormat terhadap apa

yang telah dirintis dan diberikan kepada generasi

penerusnya. Kelima, Resi Yadnya merupakan Yadnya

kepada para pemimpin keagamaan.

Filosofi Tri Hita Karana merupakan filosofi yang

paling hakiki dari kehidupan komunal masyarakat

Bali, yang paling dihayati dan diimplementasikan

dalam usaha dan kegiatan pariwisata. Masyarakat Bali

merupakan masyarakat komunal yang semua aspek

kehidupan diwarnai dan dijiwai dengan konsep Tri Hita

Karana menekankan pada keserasian dan keseimbangan

konsep manusia terhadap alam, manusia terhadap

sesamanya, manusia terhadao Tuhannya. Cerminan

dari filosofi ini terlihat ketika mereka (masyarakat adat

Bali) dengan memberikan sesaji untuk keselamatan

dan kelancaran dalam melakukan pekerjaan.

Page 153: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

146 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

c. Desa Pakraman

1) Selayang pandang Desa Pakraman

Dalam masyarakat tradisional di Bali desa

adat terhimpun dalam wadah yang disebut

Desa Pakraman misalnya, menurut Sukarma

pengaruh modernisasi tampak melalui pergeseran

epsitemologi sosial yaitu dari ‘yang baik adalah

yang benar’ ke ‘yang benar adalah yang baik’.

Masyarakat tradisional beranggapan, ‘apa yang

baik menurut mereka’, ‘itulah yang benar bagi

mereka’ (kebenaran tidak dapat mendahului

kebaikan). Sebaliknya masyarakat modern

beranggapan, ‘apa yang benar menurut mereka’,

‘itulah yang baik bagi mereka’ (kebaikan tidak

dapat mendahului kebenaran). Ukuran kebenaran

adalah akal dan rasio sehingga yang benar adalah

yang masuk akal, dan/atau yang logis. Sebaliknya,

yang tidak masuk akal, tidak logis, dan irasional

adalah yang salah. Artinya masyarakat modern

lebih mengedepankan rasionalitas daripada

moralitas, sedangkan masyarakat tradisional lebih

mengutamakan moralitas daripada rasionalitas.

Walaupun ini buka soal pilihan, tetapi dapat

diduga di antara rasionalitas dan moralitas ini Desa

Pakraman mengalami anomali dan kebingungan

berkepanjangan. Kebingungan rasionalitas

mengakibatkan ketersesatan moralitas sehingga

Desa Pakraman mengalami kesulitan mewujudkan

sukerta tata parhyangan , pawongan, dan

palemahan.

Desa Pakraman sebagaimana diatur dalam

Page 154: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 147(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 03 Tahun

2001 setidak-tidaknya dibentuk oleh beberapa

unsur pokok, yaitu kesatuan masyarakat hukum

adat, mempunyai satu-kesatuan tradisi dan tata

krama pergaulan hidup menurut Hindu, ikatan

Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa), mempunyai

wilayah dan harta kekayaan sendiri, dan berhak

mengurus rumah tangganya sendiri. Di dalam

unsur ini hendak menegaskan bahwa sistem

sosial masyarakat adat Bali bercorak Hindu dan

ini menjadi semacam indentitas Desa Pakraman.

Aktivitas sosial-religius masyarakat adat yang

dijiwai oleh agama Hindu dimanifestasikan dalam

bentuk pemujaan kepada Ida Shang Hyang Widhi

melalui Kahyangan Tiga. Demikian juga substansi

awig-awig Desa Pakraman dijiwai oleh agama

Hindu, yaitu penjabaran dari falsafah Tri Hita

Karana. Parhyangan mengatur kegiatan manusia

melakukan hubungan dengan Tuhan, pawongan

mengatur hubungan manusia dengan sesamanya

dalam kegiatan sosial, dan palemahan berupa

perwujudan hubungan manusia dengan alam

yang menjadi tempat permukiman dan sumber

kehidupan masyarakat.

Ini berarti Desa Pakraman merupakan satu

kesatuan harmonis dari tiga gatra, yaitu krama

desa sebagai gatra pawongan membutuhkan

ruang untuk melaksanakan aktivitasnya, berupa

kewajiban hidup di wilayah Desa Pakraman,

yaitu gatra palemahan. Selain kesejahteraan juga

manusia memiliki kerinduan religius sehingga

memerlukan hubungan khusus dengan Tuhan, yaitu

Page 155: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

148 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

gatra parhyangan. Kenyataannya, manusia adalah

bagian dari alam yang berpartisipasi membentuk

watak alam dan sebaliknya, juga alam turut serta

membangun karakter manusia. Demikian juga

untuk melangsungkan kehidupannya, manusia

tergantung pada lingkungannya, baik lingkungan

alam tempat tinggalnya maupun lingkungan sosial

tempat tempat menjalankan kehidupan sosial.

Dengan demikian, manusi amemengaruhi, bahkan

mengubah lingkungannya, karena itu antara

krama desa dan lingkungan desanya terdapat satu

jalinan saling memengaruhi. Krama desa sebagai

makhluk sosila membutuhkan jalinan komunikasi

harmonis untuk memenuhi kebutuhan dan

kepentingan bersama dalam suasana aman dan

nyaman.

Bali sebagai pulau yang mana di setiap tempat,

memiliki budaya dan alam saling berpautan erat,

tempat tinggal sebuha masyarakat mapan dan

harmonis secara berkala digairahkan ritus-ritus

mempesona. Alamnya menyajikan keindahan

Bali dalam warna gaib tridatu dan kilauan sunset

dewata nawa sanga yang menggetarkan rasa-

agama-budhi. Budaya Bali yang diwarnai pernak-

pernik upacara Yadnya menawarkan keramahan

orang Bali khas bhakti dalam tatanan dan tuntutan

santun sarat pesona melalui jalinan tattwa-susila-

acara. Perpaduan harmonis antara kelimpahan

upacara keagamaan, kesenian, dan pemandangan

hijau menggambarkan cari khas kebudayaan Bali.

Melimpahnya kegiatan ritual dan seni orang Bali

menurut Mead dan Bateson (Picard, 2006) patut

Page 156: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 149(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

dilihat sebagai gejala yang harus dibahas dalam

kerangka psikologis-kulturalis. Dalam pandangan

mereka bahwa kebudayaan Bali menjadi semacam

sistem pengatur dorongan-dorongan naluri yang

menimbulkan sejenis skizofrenia-kultural. Dalam

setiap ucapan dan tindakan masyarakat pastinya

memiliki makna dan fungsi dalam setiap pemujaan

terhadap dewa dan para roh leluhur.

Ini sebabnya dalam komunitas adat, seperti

Desa Pakraman bahwa bagian masa lalu dan simbol

merupakan sarana untuk menangani ruang dan

waktu dengan memasukkan segala pengalaman

dalam keberlanjutan masa lalu, masa kini, dama

masa depan distrukturkan oleh praktik-praktik

sossial yang sedang berlangsung. Agama sebagai

inti dari sistem nilai yang dipraktikkan menjadi

norma dalam dunia sosial, karena itu kekuasaan

Tri Murti yang secaera teologis dipahami sebagai

konsepsi kehadiran, sedangkan secara kontekstual

menjadi siklus strukturisasi, destrukturisasi, dan

restrukturisasi tatana nilai dalam kosmologi adat.

Menurut tindakan ini bukan rangkaian

kumpulan interaksi dan nalar, tetapi konsistensi

monitoring perilaku dan konteksnya yang

ditujukan pada keteraturan dan keseimbangan

sosial. Oleh karena itu, Sukarma (Sarad No. 109

Mei 2009) menegaskan bahwa tatanan nilai dalam

komunitas adat selalu dalam proses perubahan

sehingga tradisi tidak sepenuhnya statis. Artinya,

generasi baru harus menemukan ulang tradisinya

ketika mengambil alih warisan budaya dari

pendahulunya karena pewarisan nilai dalam suatu

Page 157: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

150 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

komunitas tidak dimungkinkan tanpa proses

pembelajaran. Pengalaman belajar inilah upaya

merangkai masa lalu, masa kini, dan masa depan

agar Desa Pakraman senantiasa selaras dengan

nilai-nilai Hindu.

Istilah Desa Pakraman mulai dipergunakan

sejak dikeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali

Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.

Sebelumnya, lebih dikenal dengan desa adat

sesuai Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1986

tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa

Adar sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Wayan

Surpha menyebut, sebagai desa dresta, desa adat

merupakan kesatuan masyarakat hukum adat di

Provinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu

kesatuian tradisi dan tata krama pergaulan hidup

masyarakat umat Hindu secara turun-temurun

dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa)

yang mempunyai wilayah tertentu, harta kekayaan

sendiri, dan berhak mengurus rumah tangganya

sendiri.

Desa adat menampakkan dirinya sebagai

suatu organisasi kemasyarakatan dan sekaligus

merupakan suatu organisasi pemerintahan yang

berdiri sendiri di bawah kecamatan dan kota/

kabupaten di Bali. Desa adat adalah desa yang

otonom sehingga mempunyai kewenangan untuk

mengurus dan menyelenggarakan kehidupan

rumah tangganya sendiri. Dalam perkembangan

lebih lanjut otonomi itu hanya bersifat sosial

religius dan sosila kemasyarakatan. Desa adat

Page 158: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 151(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

memiliki struktur kepengurusan yang pada

umunya disebut dulu atau padulan dan berfungsi

untuk membantu tercapainya kepentingan para

anggotanya secara maksimal, terutama sekali

menyangkut kebutuhan dasar sebagai manusia

(terpenuhinya kebutuhan hidup termasuk rasa

aman dan nyaman).

Desa adat secara yuridis mendapat

pengyoman dan landasan hukum yang kuat

bukan saja dari Pancasila dan Pasal 18 UUD 1945

tetapi juga dari Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2)

UUD 1945 yang menyatakan negara berdasarkan

Ketuhana Yang Maka Esa dan negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agama masing-masing dan untuk beribadat

menurut agama dan kepercayannya itu. Tempat

pelembagaan ajaran-ajaran agama Hindu dalam

adat istiadatnya inilah yang disebut desa adat.

Dalam perkembangannya desa Bali

mengandung dua fungsi, dinas dan adat untuk

membedakannya dengan desa dinas yang diberi

tugas-tugas khusus dalam bidang pemerintahan

umum oleh penguasa yang berwenang sejak zaman

pemerintahan Belanda, pemerintahan militer

Jepang, sampai pemerintahan Republik Indonesia.

Sedangkan desa adar lebih banyak menekankan

urusan upacara keagamaan, seremoni ritual yang

bersifat religiusitas, persembahyangan desa. pada

proses selanjutnya setelah terjadi perubahan dan

tata sikap warga desa adat maka akhirnya muncul

perbaikan pada Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun

1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranana

Page 159: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

152 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum

Adat dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali kemudian

dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan

zaman sehingga pada tahun 2001 diganti menjadi

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun

2001 tentang Desa Pakraman.

Desa Pakraman sebagai Kesatuan Masyarakat

Hukum Adata Mengenai kesatuan masyarakat

hukum adat, Van Hollenhoven menjelaskan untuk

mengetahui hukum, maka yang perlu diselidiki

adalah pada waktu dan bilamana serta di daerah

mana sifat dan susunan badan-badan persekutuan

hukum di mana orang-orang dikuasai oleh hukum

dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara Soepomo mengemukakan

penguraian tentang badan-badan persekutuan itu

harus tidak didasarkan atau sesuatu yang dogmatik,

melainkan harus didasarkan atas kehidupan yang

nyata dari masyarakat yang bersangkutan. Dari

pendapat-pendapat ini memperlihatkan bahwa

masyarakat yang mengembangkan hukum adat

ini adalah persekutuan hukum adat (Adatrechts

Gemeenschapen).

Persekutaun hukum atau masyarakat hukum

ini didefinisikan sebagai orang-orang yang terikat

sebagai suatu kesatuan dalam susunan yang

teratur, yang menempati suatu wilayah tertentu,

kesatuan ini bersifat abadi, memiliki pimpinan,

serta memiliki kekayaan sendiri, baik yang

berwujud maupun tidak berwujud. Persekutuan-

persekutuan hukum di Indonesia awalnya menurut

Soepomo dapat dibagi menjadi dua golongan

Page 160: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 153(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

menurut dasar susunannya, yaitu berdasarkan

pertalian suatu keturunan (genealogi) dan

berdasarkan lingkungan daerah (teritorial).

Soepomo menambahkan lagi susunan

yang didasarkan atas genealogi-teritorial.

Desa Pakraman yang ada di Bali, berdasarkan

persyaratan sebagai kesatuan masyarakat hukum

adat sudah memenuhi unsur-unsurnya. Desa

Pakraman memiliki anggota kelompok yang

terdiri dari orang-orang yang terikat sebagai suatu

kesatuan dalam susunan yang teratur, Anggota

kelompok disebut krama, pengurus kelompok

disebut prajuru.

Dengan demikian, Desa Pakraman menempati

suatu wilayah tertentu yang disebut wewidangan

dengan batas-batas wilayah yang sudah mereka

tentukan. Kesatuan yang dibuat ini bersifat abadi

dan mereka memiliki aturan yang tertuang dalam

awig-awig (aturan) Desa Pakraman. Desa Pakraman

juga memiliki kekayaan sendiri, yang disebut

catu atau pelaba. Berdasar dasar susunannya,

Desa Pakraman merupakan kesatuan masyarakat

hukum adat yang berdasarkan lingkungan daerah

(teritorial). Menuru Soepomo, “orang-orang yang

bersama bertempat tinggal di suatu desa(di

Jawa dan Bali) atau di suatu marga (Palembang)

merupakan suatu golongan yang mempunyai tata

susunan ke dalam dan bertindak sebagai kesatuan

terhadap dunia luar.

Jika ditelaah lebih dalam lagi, Desa

Pakraman memiliki kelompok-kelompok kecil

yang berdasarkan pertalian suatu keturunan

Page 161: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

154 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

(genealogis). Mereka membentuk kelompok yang

disebut dadia. Ada juga kelompok-kelompok yang

didasarkan atas kesamaan fungsional. Mereka

membentuk kelompok yang disebut subak karena

memiliki kesamaan fungsi di bidang pertanian.

Des adat dengan sistem lingkungan terkecilnya

disebut banjar. Banjar adalah lembaga masyarakat

umat Hindu sepenuhnya berdasarkan keagamaan

dan adat. Secara nyata dasar keagamaan itu dapat

dilihat pada Kahyangan Tiga dan upacara-upacara

agama yang berlangsung di desa adat seperti

upacara Tawur Kesanga, Usabha Desa dan lain-

lain, agama Hindu menjiwai dan meresapi segala

kegiatan Krama Desa.

Desa adat yang kemudian disesuaikan menjadi

Desa Pakraman merupakan suatu kesatuan

masyarakat sosial religius yang bersifat otonom,

berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Hak

ini selanjutnya disebut sebagai hak tradisional

hukum adat yang diakui dan dihormati negara

sepetti diatur dalam Pasal 18B UUD NRI 1945,

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukuim adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarajat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur

dalam undang-undang”.

Pengejawantahan Desa Pakraman

termasuk dalam kesatuan masyarakat hukum

adat sudah terjawab dengan adanya putusan

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pertimbangan

hukum Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 (Kasus

Page 162: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 155(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Pembentukan Kota Tual) dan Putusan Nomor

6/PUU-VI/2008 (Kasus pemindahan ibukota

Kabupaten Banggai Kepulauan dari Banggai ke

Selatan). MK telah merumuskan kriteria atau tolok

ukur terpenuhinya ketentuan Pasal 18B ayat (2)

UUD NRI 1945 sebagai berikut:

1. Kesatuan masyarakat hukuma adat dapat

dikatakan masih hidup jika secara de facto

mengandung unsur-unsur antara lain ada

masyarakat yang warganya memiliki perasaan

kelompok; ada pranata pemerintahan adat,

ada harta kekayaan atau benda-benda adat

dan adanya perangkat norma hukum adat.

2. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta

hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip

negara kesatuan apabila kesatuan masyarakat

hukum adat tersebut tidak menggangu

eksistensi Negara Kesatuan Republik

Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik

dalam arti, keberadaannya tidak mengancam

kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan

Republik Indonesia, substansi norma hukum

adatnya sesuai dan tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan.

3. Kesatuan masyarakat hukum adat dan hak

tradisionalnya sesuai dengan perkembangan

masyarakat jika keberadaannya telah diakui

berdasarkan undang-undang (umum maupun

sektoral termasuk Perda), substansi hak-hak

tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh

wagra kesatuan masyarakat hukum adat yang

bersangkutan maupun masyarakat yang lebih

Page 163: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

156 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

luas serta tidak bertentangan dengan Hak

Asasi Manusia.

Dari penjelasan ini, Desa Pakraman telah

memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam

Pasal 18B ayat (2) UUD NR 1945. Karena itu, negara

mengakui dan menghormati keberadaannya

beserta hak-hak tradisionalnya yang disebut

otonomi desa. dalam pelaksanaan hak-hak

tradisionalnya, Desa Pakraman dilengkapi

kekuasaan mengatur kehidupan warganya.

Kekuasaan itu di antaranya: (1) kekuasaan untuk

menetapkan aturan-aturan untuk menjaga

kehidupan organisasi secara tertib dan tenteram.

Kekuasaan ini diselenggarakan bersama dalam

suatu rapat desa (paruman atau sangkep desa); (2)

kekuasaan untuk menyelenggarakan kehidupan

organisasi yang bersifat sosial-religius; (3) kekuasaan

untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang

menunjukkan adanya pertentangan kepentingan

antara warga desa atau berupa tindakan yang

menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan

yang berupa tindakan yang menyimpang dari

aturan yang telah ditetapkan yang dapat dinilai

sebagai perbuatan yang mengganggu kehidupan

bermasyarakat, baik melalui perdamaian maupun

dengan memberikan sanksi adat.

Pengaturan tentang desa adat bisa

ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal

1 ayat (12) menyatakan desa atau yang disebut

dengan nama lain, selanjutnya disebut desa

Page 164: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 157(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

batas-batas wilayah yang berwenang untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat. Berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat

setempat yang diakui dan dihormati dalam

sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Dalam Pasal 2 ayat (9) dinyatakan

negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa juga memuat tentang desa adat.

Pasal 96 menyatakan Pemerintah, Pemerintah

Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota

melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum

adat dan dapat ditetapkan menjadi desa adat.

Pasal 97 memuat tentang penetapan desa adat

sebagaimana dimaksud Psal 96 memenuhi syarat:

Pertama, kesatuan masyarakat hukum adat beserta

hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik

yang bersifat genealogis maupun fungsional.

Kedua, kesatuan masyarakat hukum adat beserta

hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan

perkembangan masyarakat; dan Ketiga, kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya

sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun

2001 tentang Desa Pakraman yang diubah menjadi

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun

Page 165: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

158 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

2003 dengan jelas mendefinisikan Desa Pakraman

adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi

Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata

krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu

secara turun temurun dalam ikatan kahyangan

tiga atau kahyangan desa yang mempunyai

wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta

berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dari

definisi ini sudah ditegaskan Desa Pakraman

merupakan suatu kesatuan masyarakat sosial

religius yang bersifat otonom, berhak mengurus

rumah tangganya sendiri. Dalam mekanisme

kehidupan Desa Pakraman, warga memiliki hak

antara lain hak untuk memilih pimpinan adat,

ikut dalam rapat (sankep/parum) adat, ikut serta

dalam Pemerintahan Desa Pakraman bersama,

dan berhak dipilih sebagai prajuru (pengurus)

adat. Kewajibannya melaksanakan ayahan (tugas)

adat dan tunduk serta taat kepada peraturan yang

berlaku bagi warga Desa Pakraman, yakni awig-

awig (aturan) baik tertulis maupun tidak tertulis,

paswara dan sima yang berlaku.

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor

3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang

diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali

Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman

disebutkan bahwa Desa Pakraman di Provinsi Bali

yang tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah

selama berabad-abad, yang memiliki otonomi

asli mengatur rumah tangganya sendiri, telah

memberikan kontribusi yang sangat berharga

terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat

Page 166: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 159(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

dan pembangunan. Desa Pakraman sebagai

kesatuan masyarakat hukum adat yang dijiwai

oleh ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya

yang hidup di Bali sangat besar peranannya dalam

bidang agama dan sosial budaya sehingga perlu

diayomi, dilestarikan, dan diberdayakan.

Dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Daerah

Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa

Pakraman, Desa Pakraman didefinisikan sebagai

kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali

yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata

krama. Pergaulan hidup masyarakat umat Hindu

secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga

atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah

tertentu dan harta kekayaan sendiri yang berhak

mengurus rumah tangganya sendiri.

2) Majelis Desa Pakraman

Desa Pakraman sebagai wilayah yang otonom

tidak selamanya berada dalam posisi “sendiri”.

Sejak 27 Februari 2004 terbentuk Majelis Desa

Pakraman (MDP). Kehadiran MDP membawa

angin baru bagi kehidupan Desa Pakraman di Bali.

Sebelum adanya MDP, Desa Pakraman seolah-

olah “yatim piatu”, tanpa “orangtua” untuk diajak

menimbang rasa dalam suka dan duka. Jika

ada Desa Pakraman memiliki masalah, mereka

menjadikan bupati sebagai tempat mengadu.

Padahal secara struktural bupati dan pemerintah

kabupaten tidak dapat disebut atasan Desa

Pakraman. Setelah terbentuknya MDP di Bali, ada

Page 167: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

160 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

wadah bagi Desa Pakraman untuk bertukar pikiran

dalam merancang masa depan Desa Pakraman

yang lebih baik, meningkatkan kualitas prajuru,

merumuskan awig-awig dan perarem serta

menyelesaikan permasalahan yang muncul di

Desa Pakraman.

MDP sebagai satu-satunya organisasi tempat

berhimpunnya Desa Pakraman memiliki peran

strategis dalam usaha meningkatkan kualitas

Desa Pakraman baik dalam hubungan dengan

parhyangan, pawongan, maupun palemahan.

MDP memiliki tingkatan yang mulai dari

kecamatan dengan nama Majelis Desa Pakraman

yang mpembentukannya melalui Paruman Alit. Di

tingkat kabupaten/kota ada Majelis Desa Pakraman

yang pembentukannya melalui Paruman Madya. Di

tingkat provinsi ada Majelis Utama Desa Pakraman

yang pembentukannya melalui Paruman Agung.

MDP memiliki peran strategis dalam menjawab

tantangan dan permasalahan yang berkaitan

dengan Desa Pakraman. Pertama, memperkuat

kelembagaan Desa Pakraman melalui kerja sama

dengan pemerintah Provinsi Bali dan pemerintah

kabupaten/kota dalam usaha melestarikan agama

Hindu sebagai jiwa Desa Pakraman dan jiwa Bali.

Kedua, sebagai media komunikasi antar krama

desa dan antar Desa Pakraman berdasarkan spirit

Bali mawacara. Ketiga, menjadi filter terhadap

pengaruh yang datang dari berbagai arah di luar

Desa Pakraman.

Untuk itu perlu adanya prosedur tetap

(protap) kerja sama Desa Pakraman yang dapat

Page 168: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 161(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

dijadikan panduan bagi lembaga pemerintah

maupun swasta, parpol, LSM dan organisasi lain

dalam menjalin kontak dengan Desa Pakraman.

Selanjutnya secara proaktif membangun

komunikasi dan hubungan baik dengan

organisasi lain di luar Desa Pakraman dalam usaha

mewujudkan kedamaian di Bali (Bali Shanti).

Dalam Pasal 16 ayat (1) Perda No. 3 Tahun

2001 tentang Desa Pakraman, MDP mempunyai

tugas mengayomi adat istiadat, memberikan

saran, usul, dan pendapat kepada berbagai pihak

baik perorangan, kelompok/lembaga termasuk

pemerintah tentang masalah adat, melaksanakan

tiap keputusan-keputusan paruman dengan

aturan-aturan yang ditetapkan, membantu

penyuratan awig-awig, dan melaksanakan

penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh.

Ayat (2) menyatakan tentang kewenangan MDP,

antara lain merumuskan berbagai hal yang

menyangkut masalah-masalah adat dan agama

untuk kepentingan Desa Pakraman, sebagai

penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak

dapat diselesaikan di tingkat desa, dan membantu

penyelenggaraan upacara keagamaan di

kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi.

Sebelum ada MDP, pada tahun 1968, terbentuk

Badan Musyawarah Desa Adat (Desa Pakraman)

sebagai wadah untuk mengkoordinasikan

pembinaan desa adat. Lembaga ini selanjutnya

dikuatkan legalitasnya melalui SK Gubernur Kepala

Daerah Tingkat I Bali Nomor 18/Kesra.II/c/19/1979

tentang Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA)

Page 169: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

162 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

MPLA memiliki tugas memberi pertimbangan,

saran, usul mengenai permasalahan adat kepada

pemerintah daerah baik diminta maupun tidak,

dalam rangka pelaksanaan kebijakan pemerintah

daerah. MPLA juga mengadakan pembinaan

pembuatan awig-awig dan pembinaan adat

istiadat secara menyeluruh di dalam segala

aspeknya.

3) Awig-Awig (Peraturan) Desa Pakraman

Awig-awig merupakan tata dalam hidup

bermasyarakat. Masyarakat sendiri ditandai oleh

beberapa ciri, seperti adanya interaksi, ikatan,

pola tingkah laku yang khas dalam semua aspek

kehidupan yang bersifat mantap dan berkelanjutan,

serta danya rasa identitas terhadap kelompok

di mana individu yang bersangkutan menjadi

anggotanya. Dalam kehidupan bermasyarakat,

manusia akan senantiasa berhadapan dengan

kekuatan-kekuatan manusia lainnya, sehingga

diperlukan adanya norma-norma dan aturan-

aturan yang menentukan tindakan mana yang

boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan.

Dalam kehidupan masyarakat adat Bali yang

diwadahi oleh Desa Pakraman, norma-norma

tersebut lazim disebut dengan istilah awig-awig,

sima, dresta, perarem, dan istilah-istilah lainnya.

Secara umum yang dimaksud dengan awig-awig

adalah patokan-patokan tingkah laku, baik tertulis

maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat

yang bersangkutan, berdasarkan rasa keadilan dan

kepatutan yang hidup dalam masyarakat, dalam

Page 170: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 163(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

hubungan antara krama (anggota Desa Pakraman)

dengan Tuhan, antara sesama krama, maupun

antara krama dengan lingkungannya.

Dengan pengertian demikian, menjadi

jelas bahwa semua Desa Pakraman mempunyai

awig-awig, walaupun mungkin bentuknya ada

yang belum tertulis. Belakangan, terutama sejak

tahun 1969, ada kecenderungan Desa Pakraman

menuliskan awig-awig-nya dalam bentuk dan

sistematika yang seragam. Tujuannya adalah

agar prajuju desa adat dan generasi mendatang

dapat lebih mudah mengetahui isi awig-awig

desanya. Awig-awig yang dijadikan pegangan

oleh prajuru Desa Pakraman dalam mengemban

kewajibannya, dibuat sesuai dengan situasi dan

kondisi objektif masing-masing Desa Pakraman.

Hal ini yang menyebabkan adanya perbedaan

antara awig-awig Desa Pakraman yang satu

dengan yang lainnya walaupun secara geografis

letaknya berdekatan. Perbedaan ini dianggap

normal dan lumrah sesuai dengan dengan asas

desa mawacara. Awig-awig secara proporsional

berisi aturan-aturan yang bertujuan menjaga

atau mewujudkan keseimbangan hubungan

antara manusia dengan Ida Sanghyang Widi

Wasa /Tuhan Yang Maha Esa (aspek parhyangan),

keseimbangan hubungan antara manusia dengan

manusia, (aspek pawongan), dan keseimbangan

hubungan manusia dengan alam lingkungan

(aspek palemahan).

Landasan Awig-awig Desa Pakraman mulai

dikenal masyarakat Bali sejak tahun 1986 setelah

Page 171: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

164 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

keluarnya Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi

Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan,

Fungsi, dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan

Masyarakat Hukum Adat dalam Provinsi Daerah

Tingkat I Bali. Sebelum lahirnya Perda ini, dipkaia

istilah bermacam-macam, di antaranya pangeling-

eling, paswara, geguat, awig, perarem, gama, dresta,

cara, tunggul, kerta, palakerta dan sima. Dalam Bab

IV Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi Bali Nomor

6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan

Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat.

Hukum Adat dalam Provinsi Dasrah Tingkat

I Bali disebutkan tentang Awig-awig Desa Adat

antara lain: Setiap Desa Adat agar memiliki awig-

awig tertulis, Awig-awig Desa Adat tidak boleh

bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang

Dasar 1945 dan Peraturan Perundang-undangan

yang berlaku, Awig-awig Desa Adat dibuat dan

disahkan oleh krama Desa Adat , Awig-awig Desa

Adat dicatatkan di Kantor Bupati/Walikotamadya,

Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

Sanksi yang diatur dalam awig-awig Desa Adat

tidak boleh bertentangan dengan Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku dan rasa

keadilan dalam masyarakat.

Dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 disebutkan

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur

dalam undang-undang”. Apa yang disebutkan

Page 172: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 165(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

sebagai syarat untuk mendapat pengakuan

negara tentu harus dipenuhi oleh Desa Pakraman

termasuk awig-awig yang dimiliki. Pengakuan

terhadap kesatuan masyarakat hukum adat ini

mengandung empat konsekuensi. Pertama, suatu

kesatuan masyarakat diakui sebagai sautu kesatuan

masyarakat hukum sehingga dapat bertindak

sebagai subjek hukum yang berbeda dengan

anggota-anggotanya. Kedua, terhadap kesatuan

masyarakat hukum adat dapat diletakkan hak

dan kewajiban serta dapat melakukan tindakan

hukum sebagai satu kesatuan. Ketiga, pada saat

pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum

adat, maka dengan sendirinya negara mengakui

sistem hukum yang membentuk dan menjadikan

kesatuan masyarakat adat itu sebagai kesatuan

hukum. Keempat, pengakuan terhadap kesatuan

masyarakat hukum adat juga dengan sendirinya

berarti pengakuan terhadap struktur dan tata

pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma

hukum tata negara adat setempat.

Awig-awig Desa Pakraman sebagai

bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan

masyarakat Hindu di Bali memiliki korelasi yang

sangat kuat dengan konsep Tri Hita Karana. Tri

Hita Karana merupakan tiga hubungan yang

harmoni yang harus dijalankan manusia untuk

mencapai kesempurnaan. Hubungan itu terdiri

dari hubungan manusia dengan Tuhan yang

diwujudkan dalam bentuk bhakti. Hubungan

manusia dengan manusia yan diwujudkan dalam

bentuk tresna. Hubungan manusia dengan

Page 173: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

166 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk asih

(sih).

Keseimbangan dalam melaksanakan bhakti,

tresna, dan sih ini diwujudkan dalam perilaku

sehari-hari. Karena itulah awig-awig menjadi

konsep Tri Hita Karana ini sebagai landasan

filosofisnya. Dengan mengusung konsep ini

karma diharapkan berperilaku sesuai dengan

ajaran agama Hindu, di antaranya tat twan asi (aku

adalah kamu), persaudaraan, keharmonisa, dan

antikekerasan dalam hidup bersama.

Masyarakat Desa Pakraman selalu berusaha

bersikap seimbang terhadap alam sekitarnya.

Hal ini didasarkan oleh kesadaran bahwa alam

semesta merupakan sebuah kompleksitas unsur-

unsur yang satu sama lain terkait dan membentuk

suatu sistem kesemestaan. Dari sini ditemukan

bahwa nilai dasar kehidupan adat di Bali adalah

nilai keseimbangan. Nilai keseimbangan ini lalau

diwujudkan ke dalam dua hal. Pertama, selalu

berusaha menyesuaikan diri dan menjalin dengan

elemen-elemen alam dan kehidupan yang berada

di sekelilingnya. Kedua, ingin menciptakan

suasana kedamaian dan ketentraman agar sesama

makhluk dan alam di mana manusia sebagai salah

satu elemen dari alam semesta.

Masyarakat kemudian menjadikan kedua hal

tersebut sebagai asas dalam kehidupan. Nilai dan

asas-asas ini dipersepsikan ke dalam ajaran filsafat

Tri Hita Karana. Tri artinya tiga; Hita artinya baik,

senang, gembira; Karana artinya sebab musabab,

sumbernya sebab. Secara singkat Tri Hita Karana

Page 174: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 167(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

didefinisikan sebagai tiga hal yang menyebabkan

manusia mencapai kesejahteraan, kebahagiaan,

dan kedamaian (I Made Suastawa Dharmayuda

dan I Wayan Koti Cantika, 1991, Filsafat Adat Bali,

Upada Sastra, Denpasar, h.6. 33).

Menurut I Gusti Ketut Kaler, unsur Tri Hita

Karana adalah jiwa (atman), tenaga atau kekuatan

(prana), dan badan wadag (sarira). Ketiga unsur

ini kemudian menjadi pola masyarakat Bali,

dalam pembuatan rumah dan desa. Dalam

rumah, unsur atman (Tuhan) ditempatkan di

merajan atau sanggah tempat ibadah sebagai

parhyangan rumah. Unsur prana adalah anggota

keluarga sebagai pawongan rumah. Unsur sarira

adalah keseluruhan pekarangan rumah sebagai

palemahan rumah.

Dalam desa, unsur atman berupa Pura

Kahyangan Tiga sebagai parhyangan desa. unsur

prana berupa krama desa sebagai pawongan

desa. unsur sarira berupa wilayah desa sebagai

palemahan desa. Awig-awig Desa Pakraman

sebagai pedoman perilaku sudah disusun

berdasarfkan Tri Hita Karana. Hubungan manusia

dan Tuhan diatur dalam Sukerta Tata Agama

(Parhyangan). Hubungana antara manusia dengan

manusia diatur dalam Sukerta Tata Pawongan.

Hubungan antara manusia dengan lingkungan

masyarakat dan lingkungan alam diatur dalam

Sukerta Tata Palemahan.

Tri Hita Karana sebagai landasan filosofis

awig-awig juga terjabarkan dalam falsafah Hindu

lainnya seperti Tri Mandala, Catur Purusa Artha,

Page 175: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

168 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Desa Kala Patra, Tat Twam Asi, dan Tri Upasaksi.

Awig-awig Desa Pakraman merupakan patokan

tingkah laku baik tertulis maupun tidak tertulis

yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan

berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang

hidup dalam masyarakat. Dilihat dari pengertian

ini bisa dipastikan semua Desa Pakraman memiliki

awig-awig. Namun ada yang sudah tertulis dan

ada yang belum tertulis. Majelis Utama Desa

Pakraman (MUDP) mendata di Bali ada 1.488

Desa Pakraman. Sampai saat ini masih dilakukan

inventarisir beberapa Desa Pakraman yang sudah

menyuratkan awig-awignya dan beberapa yang

belum. Sejak tahun 1969 ada kecenderungan

Desa Pakraman menuliskan awig-awignya dalam

bentuk dan sistematika yang seragam. Tujuannya

antara lain memberi peluang kepada prajuru

adat dan generasi yang akan datang untuk lebih

memahami isi awig-awig desanya.

Penulisan awig-awig ini dianggap penting

atas dasar pertimbangan bahwa hukum adat

dalam bentuk tidak tertulis yang berupa kebiasaan-

kebiasaan sangat sulit dikenali. Dengan penulisan

ini diharapkan kepastian hukum (rechtzekkerheid)

lebih terjamin dan penting untuk penemuan

hukum (rechtsvinding). Dengan kepastian hukum,

dalam bentuknya yang tertulis, hukum adat

(awig-awig) akan memberi rasa kepastian dalam

bersikap dan bertindak hingga tak ada keragu-

raguan dalam penerapan hukum. Kepastian

hukum ini mencakup masyarakat, pasti bagi

prajuru, dan pasti untuk pemerintah. Dalam hal

Page 176: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 169(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

penemuan hukum, penulisan hukum adat (awig-

awig) untuk memudahkan dalam hal menemukan,

mengetahui, dan memahami isi ketentuan hukum

adat. Dalam bentuknya yang tertulis akan sangat

mudah ditemukan oleh kalangan petugas hukum

dan generasi yang akan datang. Karena itu, perlu

adanya keseragaman dan penerbitan dalam

bentuk dan sistematikanya.

Hal yang tidak terpisahkan dalam penyusunan

awig-awig adalah patokan yang digunakan

merupakan cerminan dari nilai-nilai Pancasila,

antara lain mengatur tentang kewajiban krama

dalam kehidupan ber-Ketuhanan Yang Maha

Esa; Pengakuan martabat yang sama sebagai

krama desa; adanya kekompakan dan kesatuan

sebagai pengikat; selalu bermusyawarah dalam

sangkepan atau paruman; adanya unsur suka-

duka dalam kehidupan bermasyarakat serta diikat

oleh kehidupan paras-paros. Sbagai hukum yang

tumbuh dari bawah, scara psikologis awig-awig

memiliki legitimasi yang kuat dalam masyarakat.

Awig-awig diterima dan ditaati di dalam

masyarakat yang berada di wilayah Desa Pakraman

yang bersangkutan. Awig-awig jika dilihat dari

fungsinya merupakan alat kontrol sosial (hukum

sebagai sarana kontrol sosial). Hal ini dilihat dari

asumsi awig-awig mampu mengontrol perilaku

krama desa dan menciptakan kesesuaian dalam

perilaku mereka, baik secara preventif maupun

represif.

Awig-awig juga berfungsi sebagai sarana untuk

mengubah masyarakat (social engineering) karena

Page 177: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

170 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

kemampuannya merespon dan mengantisipasi

perubahan dalam masyarakat. Karena itu awig-

awig harus mengarahkan perubahan masyarakat

sesuai dengan rel yang telah dibakukan dalam

awig-awig tersebut. Dengan adanya awzig-

awig memudahkan tujuan Desa Pakraman yakni

kasukertan desa sekala-niskala (ketertiban,

ketentraman, dan kedamaian lahir batin) di Desa

Pakraman. Kasukertan desa tidak saja berlaku bagi

internal Desa Pakraman (krama desa) melainkan

berlaku juga bagi eksternal Desa Pakraman

terutama dengan Desa Pakraman tetangga

(pasuwitran nyatur desa).

Penulisan awig-awig bukanlah perkara

mudah, karena itu memerlukan pemikiran

bersama karena hasilnya akan dipakai bersama.

Substansi awig-awig menjadi hal yang penting

untuk dibahas sebelum menuliskan awig-awig.

Jangan sampai menuliskan awig-awig hanya untuk

kepentingan praktis sesaat, misalnya keperluan

lomab Desa Pakraman atau syarat mendapatkan

dana dalam rangka pembentukan Lembaga

Perkreditan Desa (LPD). Jika yang dilakukan hanya

untuk kepentingan sesaat, adakalanya Desa

Pakraman menyalin mentah-mentah awig-awig

Desa Pakraman lain. Hal ini tentu sangat tidak

disarankan karena sunbstansi awig-awig antara

lain Desa Pakraman dengan Desa Pakraman lain,

walaupun secara geografis berdekatan. Awig-awig

hasil salinana atau duplikasi ini nantinya tidak akan

dapat dipergunakan.

Dalam hal substansi, adakalanya ditemukan

Page 178: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 171(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

norma-norma yang sulit diubah, padahal ada

keinginan untuk mengubah. Kadang tidak semua

hukum adat tidak tertulis (dresta) dapat dituangkan

dalam awig-awig tertulis. Bisa jadi karena kesulitan

saat merumuskannya dalam substansi awig-awig

tertulis atau bisa jadi karena kelupaan. Hal ini

jangan sampai menjadikan penyusunan awig-

awig tertulis menjadi tidak terealisasikan. Dresta

yang terlupakan biarkan tetap berlaku sebagai

awig-awig tidak tertulis. Di kemudian hari, ada

kesempatan untuk memasukkannya dalam

perarem pengele sebagai pelengkap awig-awig. Di

sinilah dresta mendapat tempat sehingga menjadi

bagian dari awig-awig tertulis.

Substansi awig-awig besarnya berisi Murdha

Citta, Pamikukuh, Petitis, asas-asas, norma atau

kaidah, dan sanksi. Asas-asas misalnya gotong

royong, tolong menolong, musyawarah mufakat,

saling asah saling asih saling asuh, paras paros,

rukun laras patut. Norma/kaidah dirumuskan

dalam bentuk larangan, perintah, dan kebolehan.

Hal-hal yang dilarang, diperintahkan, dan

dibolehkan harus mengacu pada pamikukuh dan

petitis yang telah ditetapkan. Norma-norma yang

berupa perintah dan laranga, rumusannya disertai

sanksi yang jelas. Norma-norma yang berisi

kebolehan, rumusannya tidak disertai sanksi.

Rumusan norma dalam awig-awig suapaya

bersifat mendidik dalam arti mendidik krama

supaya bersikap dan berperilaku bhakti kepada

Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha

Esa), tresna kepada sesama, dan asih terhadap

Page 179: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

172 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

lingkungan. Semua ini merupakan inti dari Tri

Hita Karana. Isi awig-awig di bagian norma harus

bersifat moderat dan fleksibel. Hal ini bertujuan

mengakomodir kebutuhan perkembangan zaman

terutama yang berkaitan dengan kependudukan,

kebersihan lingkungan, kesejahteraan, dan lain

sebagainya.

Umunya awig-awig tertulis hanya memuat

pokok-pokok mengenai kehidupan Desa

Pakraman. Aturan pelaksanaan yang lebih rinci

dituangkan dalam bentuk keputusan rapat

desa yang disebut perarem. Perarem memiliki

kekuatan mengikat yang secara substansi bisa

dikelompokkan menjadi tiga, perarem penyahcah

awig, perarem ngele/lepas, dan perarem penepas

wicara. Perarem penyahcah awig artinya aturan

pelaksanaan dari awig-awig tertulis yang sudah

ada. Perarem ngele berupa keputusan paruman

yang merupakan aturan hukum baru yang tidak

ada landasannya dalam awig-awig tertulis. Hal ini

biasanya dipakai untuk mengakomodir kebutuhan

hukum baru untuk mengikuti perkembangan

masyarakat. Perarem penepas wicara merupakan

keputusan paruman mengenai suatu wicara

(perkara) yang berupa persoalan hukum seperti

sengketa maupun pelanggaran hukum.

Dengan demikian, Tri Hita Karana

menyebabkan kehidupan yang harmonis antara

sesama wagra desa adat untuk mewujudkan

kesejahteraan dan kebahagian hidup merupakan

landasan bagi desa adat. Terhadap adanya

kesatuan pandangan dalam kehidupan desa adat

Page 180: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 173(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

kemudian di Bali, kita mengenal adagium yang

merupakan asas dari kebersamaan, yakni: Salulung

Sabyayantaka (sa + luhung + luhung sa + byaya (sa)

+ antaka) yang artinya sehidup semati atau dalam

istilah Bali disebut Beriuk Seguluk artinya sehidup

senasib dan sepenanggungan.

Atas dasar asas kebersamaan ini, hendaknya

setiap anggota desa adat merupakan bagian

keluarga besar desa adat termasuk masalah

kesejahteraan warga. Bila desa adat mampu

melaksanakan fungsi dan peranannya, maka

tujuan desa adat dalam mewujudkan desa yang

Sukertagama (masyarakat tenteram karena

melaksanakan ajaran agama), Tata Tenteram

Kertaraharja (tenteram dan sejahtera) akan dapat

diwujudkan.

Dalam penelitian ini diambil obyek

pengamatan terhadap wilayah Bali bagian selatan.

Bali selatan yang terdiri dari Kabupaten Badung,

Denpasar, Gianyar, dan Tabanan merupakan

salah satu pusat pariwisata di Provinsi Bali. Secara

keseluruhan Bali selatan memiliki jumlah potensi

wisata sebanyak 146 daya tarik wisata dengan

persebaran 36 daya tarik wisata di Kabupten

Badung, 28 daya tarik di Kota Denpasar, 59 daya

tarik di Kabupaten Gianyar, dan 23 daya tarik di

Kabupaten Tabanan. Perlu dicatat, pengembangan

pariwisata di Provinsi Bali belum merata pada semua

kabupaten, pengembangan pariwisata hanya

berpusat di Kabupaten Badung dan Denpasar. Hal

tersebut menyebabkan perekonomian wilayah

tersebut lebih tinggi dibandingan dengan wilayah

Page 181: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

174 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

lainnya.

Pada Tahun 2015 persentase PDRB sektor

akomodasi makan dan minum di Kabuapten

Badung dan Denpasar lebih besar dibandingakan

dengan Kabupaten Gianyar dan Tabanan yaitu

26.18% dan 23.09 %. Sedangkan Kabupaten Gianyar

dan Tabanan memiliki persentase sebesar 20.48%

dan 18.27%.157 Selain itu dari aspek ketersediaan

fasilitas akomodasi makan dan minum, Kabupaten

Badung dan Denpasar memiliki jumlah hotel dan

restoran lebih banyak dibandingkan Kabupaten

Gianyar dan Tabanan.

Pada Tahun 2015 Kabupaten Badung memiliki

jumlah hotel berbintang sebanyak 357 dan

491 hotel non bintang, Kota Denpasar memiliki

65 buah hotel berbintang dan 251 hotel non

bintang, sedangkan Kabupaten Gianyar memiliki

hotel berbintang sebanyak 49 dan 358 hotel non

bintang, serta Kabupaten Tabanan memiliki 6

buah hotel berbintang dan 109 hotel non bintang.

Begitu pula pada fasilitas untuk memenuhi

kebutuhan wisatawan seperti restoran, pada

Tahun 2015 Kabupaten Badung dan Denpasar

memiliki jumlah restoran masing-masing 825 dan

449 buah, sedangkan Kabupaten Gianyar dan

Tabanan memiliki jumlah restoran masing-masing

504 buah dan 32 buah.158

Tahun 2015-2018 Pemerintah Daerah

Provinsi Bali melalui Program Bali Mandara Jilid II

157 Badan Pusat Statistik, “Provinsi Bali dalam Angka 2016” (Bali: Badan

Pusat Statistik Bali, 2016).158 Ibid.

Page 182: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 175(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

mencanangkan pembentukan 100 desa wisata159

yang tersebar pada 8 kabupaten dan 1 kota.

Seratus desa wisata tersebut penyebarannya

masing-masing 22 desa wisata di Kabupaten

Buleleng, 6 desa wisata di Kabupaten Jembrana,

16 desa wisata di Kabupaten Tabanan, 5 desa

wisata di Kabupaten Badung, 15 desa wisata di

Kabupaten Gianyar, 10 desa wisata di Kabupaten

Klungkung, 11 desa wisata di Kabupaten Bangli,

10 desa wisata di Kabupaten Karangasem, dan 5

desa wisata di Kotamadya Denpasar. Desa Wisata

Timbrah adalah salah satu dari 10 desa wisata yang

dikembangkan di Kabupaten Karangasem melalui

Program Bali Mandara Jilid II, sedangkan sembilan

lainnya adalah desa wisata Budekeling, Sibetan,

Tenganan, Prangsari, Iseh, Antiga, Jasri, Besakih,

dan Munti Gunung.160

d. Kabupaten Badung

1) Profil dan Program

Wilayah Kabupaten Badung terletak pada posisi

08°14’17”—08°50’57” Lintang Selatan (LS)

dan 115°05’02”—15°15’ 09” Bujur Timur (BT)

159 Kementerian Pariwisata mendefinisikan desa wisata sebagai: “Suatu wilayah dengan luasan tertentu dan memiliki potensi keunikan

daya tarik wisata yang khas dengan komunitas masyarakatnya yang

mampu menciptakan perpaduan berbagai daya tarik wisata dan

fasilitas pendukungnya untuk menarik kunjungan wisatawan termasuk

didalamnya kampung wisata karena keberadaannya di daerah kota.”

Lihat: Direktorat Pengembangan Destinasi Wisata, Pengembangan

Desa Wisata (Jakarta: Kementerian Pariwisata, 2016), 1.160 Dewa Putu Oka Prasiasa, “Strategi Pengembangan Dan Pemberdayaan

Masyarakat Desa Wisata Timbrah Kecamatan Karangasem Kabupaten

Karangasem” (Seminar Nasional Hasil Penelitian-Denpasar, Denpasar,

Bali: Universitas Udayana, 2017), 103–26.

Page 183: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

176 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

membentang di tengah-tengah Pulau Bali. Luas

wilayah Kabupaten Badung adalah 418,52 km2

(7,43% dari luas Pulau Bali). Bagian Utara Kabupaten

Badung merupakan daerah pegunungan yang

berudara sejuk, berbatasan dengan Kabupaten

Buleleng. Wilayah di bagian Selatan merupakan

dataran rendah dengan pantai berpasir putih

dan berbatasan langsung dengan Samudera

Indonesia. Sebelah Timur wilayahnya berbatasan

dengan Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar.

Bagian tengah wilayah Badung merupakan daerah

persawahan. Di sebelah Barat berbatasan dengan

Kabupaten Tabanan. Secara umum Kabupaten

Badung merupakan daerah beriklim tropis yang

memiliki dua musim, yaitu musim kemarau (April–

Oktober) dan musim hujan (November – Maret).

Curah hujannya rata-rata 893,4 – 2.702,6 mm per

tahun. Kemudian suhu udaranya berkisar 25°C –

30°C dengan kelembapan udara rata-rata mencapai

79%. Secara administratif, Kabupaten Badung

terbagi menjadi 6 ( enam ) wilayah Kecamatan

yang terbentang dari bagian Utara ke Selatan

yaitu: Kecamatan Petang, Abiansemal, Mengwi,

Kuta, Kuta Utara, dan Kuta Selatan. Disamping itu,

di wilayah ini juga terdapat 16 Kelurahan, 46 Desa,

369 Banjar Dinas, 164 Lingkungan 8 Banjar Dinas

Persiapan dan 8 Lingkungan Persiapan. Selain

Lembaga Pemerintahan seperti tersebut di atas, di

Kabupaten Badung juga terdapat Lembaga Adat

yang terdiri dari 120 Desa Adat, 523 Banjar dan 523

Sekaa Teruna. Di Kabupaten Badung juga terdapat

1 BPLA Kabupaten dan 6 BPLA Kecamatan serta

Page 184: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 177(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

1 Widyasabha Kabupaten dan 6 Widyasabha

Kecamatan. Lembaga - lembaga adat ini memiliki

peran yang sangat strategis dalam pembangunan

di wilayah Badung pada khususnya dan Bali pada

umumnya.

Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga,

anggota masyarakat adat ini terikat dalam suatu

aturan adat yang disebut awig - awig. Keberadaan

awig-awig ini sangat mengikat warganya sehingga

umumnya masyarakat sangat patuh kepada

adat. Oleh karena itu, keberadaan Lembaga

Adat ini merupakan sarana yang sangat ampuh

dalam menjaring partisipasi masyarakat. Banyak

program yang dicanangkan pemerintah berhasil

dilaksanakan dengan baik di daerah ini, berkat

keterlibatan dan peran serta lembaga adat yang

ada. Pengembangan wilayah Kabupaten Badung

didasarkan pada potensi dan kendala aspek fisik

lingkungannya. Berdasarkan karakteristik topografi

dan kelerengannya, wilayah kabupaten ini memiliki

variasi yang sangat beragam, yaitu ketinggiannya

antara 0 – 3.000 m dpl dengan kelerengan datar

hingga jurang yang curam. Penataan ruang pada

wilayah seperti ini relatif sulit dibandingkan dengan

wilayah yang datar. Kondisi ini telah mendorong

Pemkab Badung untuk bersikap berhati-hati dan

bijaksana dalam merencanakan pengembangan

wilayahnya. Kabupaten Badung dibagi menjadi

3 Wilayah Pengembangan yaitu: Badung Utara,

Badung Tengah dan Badung Selatan. Masing-

masing wilayah memiliki perbedaan karakteristik

fisik lingkungan yang mencolok. Wilayah Badung

Page 185: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

178 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Utara, merupakan kawasan pegunungan yang

subur dengan hutan dan RTH yang luas, karena

itu sesuai untuk fungsi konservasi lingkungan.

Wilayah Badung Tengah, merupakan kawasan

dengan ketinggian dan kesuburan sedang, karena

itu sesuai untuk fungsi transisi antara fungsi

lindung dan budidaya alamiah seperti pertanian.

Wilayah Badung Selatan, merupakan kawasan

yang datar, tidak subur dan pesisir. Karena itu

sepenuhnya sesuai untuk fungsi budidaya yang

bersifat terbangun.

Selain kabupaten yang memiliki Pendapatan

Asli Daerah (PAD) tertinggi di Provinsi Bali, di tahun

2013 mencapai 2 triliun rupiah, Kabupaten Badung

juga merupakan kabupaten dengan pertumbuhan

ekonomi tertinggi di Provinsi Bali. Berdasarkan data

di tahun 2013, mampu mencatatkan pertumbuhan

ekonomi sebesar 6,41 persen. Dilihat dari

perspektif ilmu pariwisata, masih banyak dimensi

kosong atau belum terfasilitasi untuk mewujudkan

pemerataan pembangunan di Kabupaten Badung.

Badung utara secara empiris saat ini terlihat masih

mempertahankan sektor pertanian, tetapi jika

secara jujur dicermati, sebagaian generasi muda

di Badung Utara pada usia produktif justru bekerja

di luar desa (Badung Selatan, Denpasar dan

Gianyar). Artinya para petani di Badung Utara saat

ini adalah mereka yang sudah berusia rata-rata di

atas 45 tahun atau bahkan sudah lanjut usia Dapat

dibayangkan keberlanjutan sektor pertanian

di Kabupaten Badung jika fenomena ini tidak

segera dipecahkan. Bukannnya tidak mungkin

Page 186: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 179(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

10 sampai 25 tahun lagi Badung Utara akan

berkembang menjadi kawasan pariwisata karena

sektor pertanian sudah ditinggalkan sehingga

memerlukan sektor real yang diyakini mampu

mensejahterahkan masyarakatnya.

alam rangka menyeimbangkan

pembangunan Badung Selatan, Badung

Tengah, dan Badung Utara maka Pemerintah

Kabupaten Badung mengeluarkan kebijakan

yang strategis yang salah satunya adalah dengan

mengembangkan 11 (sebelas) desa-desa wisata

yang ada di wilayah Badung Tengah dan Badung

Utara berdasarkan Perbup (Peraturan Bupati)

Badung Nomor 47 Tertanggal 15 September 2010

tentang Penetapan Kawasan Desa Di Kabupaten

Badung dan Surat Edaran Kadisparda Provinsi Bali

Nomor 556/317/I/DISPAR tentang Pengembangan

100 Desa Wisata 2014-2018.

2) Pemberdayaan Desa Wisata

Upaya pengembangan desa-desa wisata

Kabupaten Badung adalah untuk pemerataan

pembangunan sektor pariwisata agar tidak

hanya terfokus di Badung Selatan (Kuta, Nusa

Dua dan sekitarnya) yang sudah menjadi trade

mark pariwisata Bali. Selain itu, masih kentalnya

tradisi nilai budaya lokal dan alam yang masih

asri dipandang sebagai potensi yang layak

untuk pembangunan sektor pariwisata dengan

meminimalkan dampak-dampak negatif.

Berdasarkan Surat Edaran Kadisparda Provinsi Bali

Nomor 556/317/I/DISPAR tentang Pengembangan

100 Desa Wisata 2014-2018, dan Peraturan Bupati

Page 187: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

180 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Badung Nomor 47 Tahun 2010 tentang Penetapan

Kawasan Desa Wisata di Kabupaten Badung maka

Kabupaten Badung memiliki 11 (sebelas) desa

wisata terletak di Badung Tengah dan Badung

Utara.

Ke-11 desa wisata di kabupaten Badung

di atas tidak ada yang berada di wilayah Badung

Selatan. Keseluruhannya berada di Badung

Tengah dan Badung Utara kecuali desa wisata

Munggu yang berada di perbatasan wilayah

Badung Tengah dan Badung Selatan. Hal tersebut

sangat beralasan karena keberadaan desa wisata

merupakan suatu model pembangunan pariwisata

yang berbeda dengan pembangunan pariwisata

di Badung Selatan pada umumnya. Desa wisata

adalah model pembangunan kepariwisataan

yang mengoptimalkan ragam potensi desa,

mengedepankan partisipasi masyarakat lokal,

dengan memperhatikan aspek-aspek pelestarian

dan keberlanjutan untuk kesejahterahaan

masyarakatnya. Desa wisata dengan demikian

merupakan suatu bentuk antitesa dari mass

tourism yang sudah sangat berkembang di

Badung Selatan. Sebagai bentuk dari alternative

tourism desa wisata sepatutnya memiliki ciri

khas dan karakteristik berbeda dengan aktifitas

pariwisata seperti mass tourism. Ciri khas yang

paling mudah dilihat adalah jumlah wisatawan

yang berskala kecil dan memiliki minat khusus

tertarik dengan keunikan budaya, keindahan

alam dan suasana natural minim rekayasa atau

kehidupan masyarakat lokal yang disaksikan oleh

Page 188: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 181(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

wisatawan secara apa adanya/tanpa dibuat-buat.

Wilayah Badung Utara dikenal mengedepankan

pembangunan sektor pertanian, berbeda dengan

wilayah Badung Selatan dapat dikatakan lebih

dari 90% mengandalkan sektor jasa pariwisata.

Secara teoritis tidak terlihat terjadi ketertinggalan

di Badung Utara, tetapi jika dicermati terkesan

terjadi kesenjangan pembangunan ketika

dihubungkan dengan faktor-faktor ekonomi

dan kesejahterahaan. Secara singkat dapat

disampaikan pesatnya pembangunan pariwisata

di Badung Selatan tidak sama halnya dengan

pembangunan pertanian/perkebunan di Badung

Utara. Artinya, pembangunan sektor pertanian

di Badung Utara masih lambat dan diperlukan

percepatan akselerasi. Kondisi ini disebabkan

oleh banyak faktor seperti masih menggunakan

pola tanam tradisional, belum memaksimalkan

diversifikasi pertanian, petani belum mampu

mencukupi kebutuhan pasar, minimnya minat

generasi muda untuk terjun di sektor pertanian

dan belum tercapainya sinergi antar sektor seperti

sektor pariwisata bersama sektor pertanian.

Perkembangan pariwisata di Badung Selatan seperti

Nusa Dua, Kuta, Seminyak bahkan sekarang sudah

mengarah ke Canggu dan Munggu, begitu pesat

memberikan banyak perubahan dan manfaat bagi

masyarakat Kabupaten Badung pada khususnya

dan masyarakat Bali pada umumnya. Tidak dapat

dipungkiri pariwisata telah memberikan warna

dalam kehidupan masyarakat meskipun tidak

secara keseluruhan merasakan dampak langsung

Page 189: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

182 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

dari nilai ekonomi kepariwisataan. Pembangunan

infrastruktur dengan mengedepankan

pendekatan mass tourism diyakini sangat

mendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun

dalam kenyataannya tidak dapat dipungkiri terjadi

ketimpangan pembangunan antara Badung Utara

dan Badung Selatan. Pemerintah Kabupaten

Badung pada satu dasa warsa terakhir mulai

serius menyikapi permasalahan di atas. Mulai era

kepemimpinan Anak Agung Gde Agung selama

dua periode (2005-2010 dan 2010-2015) berupaya

menciptakan pemerataan pembangunan antara

Badung Utara dan Badung Selatan. Langkah

nyata yang sudah dilakukan antara lain dengan

sangat berani membuka SMK 1 Badung (Sekolah

Menengah Kejuruan Pertanian) di Petang/Badung

Utara, memberikan bantuan-bantuan secara

berlanjut kepada subak-subak, termasuk pula

upaya perpaduan antara pertanian dan pariwisata

dengan mengadakan festival tahunan yaitu

Festival Budaya Pertanian Badung yang digelar

di Jembatan Tukad Bangkung/Badung Utara, dan

upaya untuk mengaktifkan desa-desa wisata yang

berada di Kabupaten Badung. Keberadaan desa

wisata di Kabupaten Badung diharapkan mampu

melestarikan pertanian dengan perpaduan

bersama sektor pariwisata, memberikan manfaat

bagi masyarakat lokal, memberikan kesempatan

kerja bagi warga masyarakat lokal, memberikan

varian baru dalam produk dan atraksi wisata, dan

akhirnya mampu memberikan manfaat ekonomi

bagi pembangunan di tingkat desa dalam rangka

Page 190: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 183(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

mewujudkan kesejahterahaan masyarakat secara

berkelanjutan. Besar pula harapan pada akhirnya

desa wisata dapat memberikan sumbangan

bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kabupaten Badung dengan perpaduan sektor

pariwisata dan sektor pertanian.

Permasalahannya adalah dari 11 desa

wisata tersebut, belum semuanya menunjukkan

aktifitas kepariwisataan. Dapat dilihat belum

optimalnya pemanfaatan potensi yang dimiliki

melalui minimnya produk dan atraksi wisata

kepada wisatawan. Fakta tersebut tidak terlepas

dari pengelolaan, kelembagaan dan partisipasi

masyarakat yang tidak kesemua desa wisata

memiliki pola-pola yang baik. Untungnya, desa-

desa wisata tersebut berada pada lokasi strategis,

seperti memang memiliki daya tarik wisata di

desanya, berada pada jalur-jalur yang harus

dilalui ketika wisatawan menuju daya tarik wisata

tertentu dan terutama memiliki keindahan alam

pegunungan memukau berbeda dengan Badung

Selatan yang pada umumnya pesisir.

e. Kabupaten Tabanan

1) Profil dan Program

Kabupaten Tabanan adalah salah satu kabupaten

dari beberapa kabupaten/kota yang ada di

Provinsi Bali dengan pendapatan asli daerah

(PAD) rata-rata sebesar 15,07% dari total APBD.

Hal ini menunjukkan tingkat ketergantungan

sumber-sumber pendanaan pembangunan

kepada pemerintah pusat. Upaya yang dilakukan

Page 191: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

184 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Pemerintah Kabupaten Tabanan antara lain

menggalakkan kepariwisataan, dengan harapan

mampu mempercepat laju pembangunan

dan meningkatkan pendapatan asli daerah

Kabupaten Tabanan. Kabupaten Tabanan, Bali

memiliki potensi wisata yang luar biasa namun

belum dikelola secara optimal. Saat ini Tabanan

memiliki 22 objek wisata yang tersebar di sepuluh

kecamatan, yang belum dikelola secara maksimal.

2) Pemberdayaan Desa Wisata

Kebijakan pariwisata yang dikembangkan di

Tabanan menggunakan konsep Pariwisata

Kerakyatan yaitu dengan pengembangan

kawasan pariwisata melibatkan peran masyarakat

dalam menjaga dan mengelola potensi dan

wilayah pariwisata tersebut. Hal itu dikarenakan

wilayah di Tabanan merupakan wilayah yang

dijaga keutuhannya secara adat sehingga tidak

boleh berkurang atau rusak terutama ekosistem

lingkungannya. Kedudukan masyarakat sebagai

pengelola pariwisata juga menjadi nilai tambah

baik dari segi pendapatan masyarakat maupun dari

segi kemandirian masyarakat dalam pelaksanaan

pembangunan wisata di Tabanan. Beberapa

keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan

pariwisata adalah dengan mengoptimalkan

sektor pariwisata, seperti dengan pelaksanaan

festival, promosi pariwisata, pembangunan

Tourism Information Center (TIC), penataan

dan pengembangan infrastruktur pariwisata,

pelestarian seni dan budaya, penguatan peran

Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) dan Badan

Page 192: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 185(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Usaha Milik Daerah (BUMDA) dalam sektor

pariwisata serta program gerbang pariwisata.

Kebijakan pengelolaan pariwisata

Kabupaten Tabanan menggunakan konsep

Nyegara Gunung, yaitu memadukan potensi pantai

dan gunung. Tabanan mempunyai panjang pantai

yang indahnya hingga 33 Kilometer, hal tersebut

didukung dengan bentangan pemandangan

sawah yang menawan sepanjang dataran rendah

menuju puncak, dan pemandangan pegunungan

di dataran perbukitan. Nyegara Gunung mengacu

pada sapta pesona, ditunjang pula dengan tatanan

kehidupan masyarakat melalui penerapan prinsip

filosofi Tri Hita Karana Agama Hindu melengkapi

kesempurnaan alam Tabanan sebagai potensi

pariwisata.

Keberadaan desa wisata di Tabanan

merupakan salah satu bentuk program Investasi

Hati, dengan pengertian bahwa Investasi

Hati adalah sebuah konsep pelayanan kepada

masyarakat menitik beratkan pada ketulusan

melalui kebijakan-kebijakan pengelolaan

pariwisata yang pro rakyat. Investasi Hati Politik

dalam pengelolaan kepariwisataan dilaksanakan

melalui kebijakan dan program dengan hati/

pro rakyat antara lain Investasi ekonomi dan

sosial melahirkan masyarakat yang sejahtera dan

mandiri. Adapun langkah terhadap investasi hati

agama dan budaya dapat menciptakan kerukunan

dan kedamaian dalam perbedaan.

Saat ini (2018) terdapat 13 desa wisata di

Kabupaten Tabanan. Target pengembangan akan

Page 193: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

186 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

dicapai hingga 133 desa wisata. Semua desa wisata

itu diharapkan dapat dapat terintegrasi, dimana

Kabupaten Tabanan tinggal mempromosikan

dan mengenalkan desa secara nasional maupun

internasional. Kebijakan pemberdayaan desa

wisata tersebut sebagai penopang pendapatan

asli daerah disamping pendapatan sektor

pariwisata yang saat ini sudah ada dari lokasi daya

tarik wisata unggulan pariwisata Tabanan mulai

dari Pura Tanah Lot, Ulundanu, Jatiluwih, Kebun

Raya Eka Karya Bali, Alas Kedaton, Museum Subak,

Areal Pura Batukaru, Taman kupu-kupu Bali, TPB

Margarana, dan Air Panas Panatahan.

f. Kabupaten Gianyar

1) Profil dan Program

Kabupaten Gianyar merupakan salah satu dari

9 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Bali,

dengan luas wilayah 36.800 hektar atau 6,53%

dari luas wilayah Provinsi Bali secara keseluruhan.

Kabupaten Gianyar memiliki 7 Kecamatan yaitu

Kecamatan Sukawati, Kecamatan Blahbatuh,

Kecamatan Gianyar, Kecamatan Tampaksiring,

Kecamatan Ubud, Kecamatan Tegallalang,

dan Kecamatan Payangan. Kecamatan terluas

adalah Kecamatan Payangan dan paling kecil

adalah kecamatan Blahbatuh. Jumlah penduduk

di Kabupaten Gianyar tahun 2017 sebanyak

503.900 jiwa yang terdiri dari 254.400 jiwa

(50,49%) laki-laki dan 249.500 jiwa (49,51%)

perempuan. Tingkat pertumbuhan penduduk

0,99% dibandingkan dengan jumlah penduduk

Page 194: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 187(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

tahun 2016 yang mencapai 499.600 jiwa. Tingkat

kepadatan penduduk 1.358 jiwa per km². Angka

harapan hidup masyarakat rata-rata 72,84 per

tahun. Diantara 7 Kecamatan maka Kecamatan

Sukawati memiliki penduduk paling banyak yaitu

122.430 (24,30%) dari total penduduk yang ada

di Kabupaten Gianyar dan yang paling sedikit

adalah di Kecamatan Payangan yaitu 42.860 jiwa

(8,50%).161

Kabupaten Gianyar tidak memiliki

Sumber Daya Alam (SDA) yang potensial untuk

dikembangkan guna menopang pembangunan

daerah yang berkelanjutan. Dalam pembangunan

bidang ekonomi Kabupaten Gianyar bertumpu

pada sektor unggulan yaitu sektor pariwisata,

sektor industri dan sektor pertanian dalam arti

luas. Sektor pariwisata dikembangkan dengan

memanfaatkan keunggulan budaya dan pertanian

sehingga mampu menjadi penyangga utama

perkembangan perekonomian Kabupaten Gianyar.

Kabupaten Gianyar memiliki 2 (dua) Kawasan

Pariwisata yaitu Kawasan Pariwisata Lebih dan

Kawasan Pariwisata Ubud, dimana Kawasan

Pariwisata Ubud meliputi 3 (tiga) Kecamatan

yakni Kecamatan Ubud, Kecamatan Payangan

dan Kecamatan Tegallalang, sedangkan Kawasan

Pariwisata Lebih meliputi Kecamatan Sukawati,

Kecamatan Blahbatuh dan Kecamatan Gianyar.162

Kabupaten Gianyar memiliki beberapa

161 Pemerintah Kabupaten Gianyar, “Laporan Kinerja Instansi Pemerintah

Kabupaten Gianyar 2017” (Gianyar: Pemerintah Kabupaten Gianyar,

2018), 5.162 Ibid., 6.

Page 195: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

188 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

faktor yang dapat menunjang pembangunan

kepariwisataan. Faktor-faktor tersebut antara

lain: (1) kebudayaan dan kehidupan masyarakat

yang bersumber pada kebudayaan dan dijiwai

oleh agama Hindu yang merupakan daya tarik

kunjungan bagi wisatawan asing ke Kabupaten

Gianyar; (2) keindahan alam, peninggalan sejarah

dan purbakala sebagai objek wisata yang cukup

mempesona; (3) tersedianya fasilitas transportasi

dan telekomunikasi yang memadai; (4) fasilitas lain

seperti hotel, home stay, dan restoran yang cukup

banyak berkembang di sudut kota Gianyar.

Salah satu misi pemerintah Kabupaten

Gianyar adalah menumbuhkembangkan budaya

masyarakat yang berbasis nilai-nilai kearifan lokal

yang dapat menumbuhkan relegiusitas, disiplin,

kerja keras, berorientasi pada prestasi dengan

meningkatkan peran desa pakraman, banjar,

subak, dan sekaha-sekaha serta institusi-institusi

yang telah ada dalam menjaga adat, budaya dan

agama.163 Proteksi secara legal formal adalah melalui

kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Daerah

Kabupaten Gianyar Nomor 10 tahun 2013 tentang

Kepariwisataan Budaya Kabupaten Gianyar.

Kebijakan ini mengarahkan pengembangan dan

pembangunan pariwisata di Kabupaten Gianyar

yang berpijak pada budaya masyarakatnya.

Sebagai contoh pembangunan hotel di kawasan

Kabupaten Gianyar wajib mengadopsi budaya asli

dalam bentuk arsitekturnya, orang-orang yang

bekerja di dalamnya, serta elemen-elemen budaya

asli lainnya.

163 Ibid., 16.

Page 196: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 189(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

2) Pemberdayaan Desa Wisata

Komitmen terhadap pariwisata budaya

di Kabupaten Gianyar juga terwujud melalui

pengembangan desa wisata. Saat ini terdapat

9 desa wisata yang dikembangkan Kabupaten

Gianyar dengan berbagai macam potensi wisata

budaya yang menjadi daya tarik di masing-masing

desa wisata tersebut. Desa menjadi jalur utama

pariwisata budaya.

Alur utama yang turut mendukung potensi

wisata budaya dimulai dari Desa Batubulan, Desa

Celuk, Desa Singapadu, dan Desa Batuan yang

terkonsentrasi di Kecamatan Sukawati. Desa Mas,

Desa Peliatan, dan Desa Ubud terkonsentrasi di

Kecamatan Ubud. Desa Sebatu terkonsentrasi di

kecamatan Tegallalang, dan Desa Tampaksiring

terkonsentrasi di Kecamatan Tampaksiring.

Jalur wisata yang telah disebutkan di atas,

masyarakatnya mempunyai aktivitas tersendiri

sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang

mereka miliki. Tari Barong terkonsentrasi di Desa

Batuan dan Desa Singapadu. Seni kerajinan perak

terletak di Desa Celuk, seni ukir kayu terkonsentrasi

di Desa Batubulan, seni lukis terdapat di Desa Mas

dan Desa Ubud, sedangkan seni kerajinan kayu

terdapat di Desa Sebatu, Desa Tegallalang, Desa

Tampaksiring, dan Desa Peliatan. Sementara

itu seni kerajinan yang mengacu pada tradisi

terfokus di daerah tertentu. Hal itu disebabkan

tidak semua perajin mampu membuatnya, karena

masih harus memperhatikan hal-hal yang sifatnya

Page 197: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

190 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

sacral, sedangkan seni kerajinan yang bentuknya

mengacu pada benda sakral tetapi sudah dibuat

untuk kepentingan pariwisata, terdapat di Desa

Pakuduwi, Tegallalang, Singapadu, Guang, dan

Desa Puaya. Desa Pakuduwi merupakan tempat

berkumpulnya para seniman dan berkembangnya

seni kerajinan kayu yang mengambil objek garuda.

Desa Singapadu dan Desa Puaya merupakan

tempat pembuatan Barong, baik untuk kebutuhan

dalam seni pertunjukan ritual dan wisata maupun

sebagai benda seni kerajinan.

G. Analisis Kebijakan Kepariwisataan Berbasis

Pluralisme Lokal untuk Mewujudkan Negara

Kesejahteraan

Berdasarkan hasil penelitian di atas, Pemerintah dan

Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam

membentuk peraturan dan kebijakan pariwisata yang ideal

untuk mewujudkan negara kesejahteraan. Hasil inventarisasi

regulasi yang terkait kebijakan kepariwisataan, ditemukan

sebanyak 47 (empat puluh tujuh ) peraturan perundang-

undangan, yang terdiri dari: 10 (sepuluh) Undang-Undang,

21 (dua puluh satu) Peraturan Pemerintah, 10 (sepuluh)

Peraturan Presiden, dan 6 (enam) Peraturan Menteri. Dari ke-

47 regulasi tersebut, analisis terhadap 28 ( dua puluh delapan)

PUU, yaitu: 10 (sepuluh) Undang-undang, 9 (sembilan)

Peraturan Pemerintah, 7 (tujuh) Peraturan Presiden dan 2

(dua) Peraturan Menteri terkait.

Kebijakan pariwisata harus memberikan dampak

positif berupa peningkatan terhadap devisa Negara juga

harus dapat meningkatkan perekonomian di lokasi-lokasi

tujuan wisata misalnya meningkatkan jumlah tenaga kerja,

Page 198: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 191(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

meningkatkan jumlah wisatawan lokal maupun mancanegara,

meningkatkan perkembangan kebudayaan dan seni budaya

Indonesia. Pembangunan pariwisata berbasis masyarakat

merupakan sebuah teori yang menekankan pada ekonomi

rakyat dan pemberdayaan rakyat. Teori ini dipergunakan

sebagai reaksi dari kegagalan modernisasi yang diterapkan

selama ini di negara-negara berkembang. Pengambilan

kebijakan top-down dianggap telah melupakan hakikat dasar

pembangunan itu sendiri sehingga rakyat bukannya semakin

meningkat kualitas hidupnya, tetapi malah dirugikan dan

cenderung termarjinalkan di lingkungan miliknya sendiri.

Keterlibatan masyarakat setempat menjadi penting,

mengingat kenyataan selama ini, yaitu manfaat pariwisata

lebih banyak berpihak pada pemilik modal yang umumnya

berasal dari luar masyarakat setempat.

Pada penelitian ini, dengan demikian dapat dirumuskan

bahwa kebijakan pariwisata berbasis pluralisme lokal untuk

mewujudkan negara kesejahteraan mengandung elemen-

elemen sebagai berikut: (1) Dukungan peraturan dan

kelembagaan yang memihak masyarakat lokal; (2) Daya tarik

alam, daya tarik budaya dan daya tarik buatan adalah tiga

komponen pembentuk produk wisata, dimana ketiganya

dapat dikombinasikan satu dengan yang lainnya; (3) Karakter

kebijakan berbasis integrasi dan karakteristik budaya; (4)

Desa wisata sebagai produk wisata alternatif disajikan

untuk menjawab kejenuhan yang dialami wisatawan dalam

mengkonsumsi produk wisata. Jika digambarkan, visualisasi

model tersebut adalah sebagai berikut:

Page 199: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

192 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Gambar 1

Model Kebijakan Kepariwisataan Berbasis Pluralisme Lokal

untuk Mewujudkan Negara Kesejahteraan

Data penelitian juga menunjukkan bahwa dalam relasi

dengan kerangka kebijakan nasional, kebijakan pariwisata di

lokasi penelitian (Kota Surakarta, Kota Batu, dan Provinsi Bali)

menunjukkan focus dan skala prioritas yang tidak sama. Hal

ini nampak dalam analisis di bawah ini.

Page 200: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 193(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Page 201: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

194 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Berdasarkan data di atas nampak bahwa terdapat

perbedaan dalam perspektif pemerintahan untuk

melaksanakan kebijakan pariwisata berbasis pluralisme lokal

untuk mewujudkan negara kesejahteraan. Di Kota Surakarta,

elemen desa wisata sebagai alternatif tidak dijumpai. Hal ini

karena dalam lingkungan pemerintahan tidak terdapat satuan

wilayah berupa desa. Sisi yang berbeda dijumpai di Kota

Batu, sebagai akibat sejarah perkembangan wilayah, masih

dijumpai satuan wilayah desa yang kemudian dicoba untuk

pengembangan dan inisiasi desa wisata. Namun demikian,

Kota Batu tidak memiliki peraturan mengenai desa wisata. Di

Bali, seluruh wilayah penelitian memiliki, baik dalam taraf lama

maupun baru, komitmen pengembangan desa wisata. Hanya

saja Kabupaten Badung sejak awal telah memiliki peraturan

mengenai desa wisata. Sementara Kabupaten Tabanan baru

tahun 2018 disahkan dan bahkan Kabupaten Gianyar belum

memiliki.

Seluruh lokasi penelitian telah memiliki dokumen

perencanaan pembangunan jangka menengah, yang

merupakan penjabaran visi dan misi Kepala Daerah, kecuali

Kabupaten Tabanan yang belum disahkan hingga 2018 ini.

Kecuali Kota Surakarta dan Kabupaten Badung, seluruh lokasi

penelitian tidak memiliki Rencanan Induk Pembangunan

Pariwisata Daerah yang diamanahkan oleh Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Sebaliknya,

semua lokasi penelitian memiliki Peraturan Daerah tentang

Kepariwisataan. Hanya Kota Surakarta yang memiliki Peraturan

Daerah ini dengan nama yang spesifik yaitu penyelenggaraan

usaha pariwisata.

Kota Surakarta tidak memiliki daya tarik alam dan daya

tarik buatan, tetapi mayoritas kebijakan pariwisata ditopang

oleh daya tarik budaya. Kebudayaan juga menjadi komponen

Page 202: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 195(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

utama kepariwisataan, dilembagakan dalam pemerintahan

daerah, dan terdapat sejumlah atraksi dan eksplorasi yang

digelar secara rutin. Seluruh lokasi penelitian di Provinsi Bali

memiliki daya tarik budaya dan daya tarik alam, tetapi tidak

mengembangkan daya tarik buatan. Di Bali, basis integrasi dan

karakteristik budaya merupakan hal yang paling menonjol

dibandingkan lokasi penelitian yang lain.

Kota Batu menjadi kasus unik. Komitmen dan karakter

kebijakan kepariwisataan sangat kuat tetapi didominasi

oleh daya tarik buatan. Kohesi dengan budaya tidak ada.

Pada tahun 2003, Kota Batu mengakui bahwa seni Tari

Bantengan merupakan seni tari yang berasal dari wilayah

itu. Namun kebenarannya masih diragukan, pengakuan Kota

Batu menjadi kontroversi di antara masyarakat pecinta seni

serta para seniman tari ini. Sebab sebelum pengakuan Kota

Batu tersebut mencuat, seni Tari Bantengan tumbuh dan

berkembang di seluruh wilayah Malang.

Kabupaten Badung, dengan komponen kebijakan

paling lengkap, mendukung kenyataan bahwa wilayah ini

adalah penopang utama kepariwisataan di Bali, yang karena

posisi kepulauan ini, lantas juga menjadi penopang utama

kebijakan serupa di Indonesia. Kota Batu menyusul dalam hal

perolehan pendapatan asli daerah, namun segera nampak

kekurangannya dibandingkan Kabupaten Badung. Perbedaan

hasil dan kebijakan di ketiga lokasi penelitian di Provinsi

Bali, mengkonfirmasikan bahwa dalam wilayah yang sama

terdapat keragaman. Kota Surakarta diuntungkan dengan

aspek budaya dan dominasi daya tarik kebudayaan, sembari

menegaskan posisi di masa lalu, yang masih terus berpacu

untuk mengembangkan kohesi dalam aspek lain.

Penelitian ini dengan demikian memberikan peluang

untuk kajian yang lebih mendalam. Mengapa terjadi

Page 203: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

196 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

perbedaan focus dan skala prioritas pluralisme lokal dalam

kebijakan kepariwisataan pada masing-masing daerah?

Apakah perolehan pendapatan asli daerah seperti dalam

kasus Kota Baru dapat dipertahankan dalam jangka panjang

untuk pelaksanaan kebijakan kepariwisataan dibandingkan

usaha melengkapi elemen-elemen lainnya? Daya tarik

alam, daya tarik budaya dan daya tarik buatan adalah tiga

komponen pembentuk produk wisata, dimana ketiganya

dapat dikombinasikan satu dengan yang lainnya. Ketiga

komponen produk wisata tersebut dapat mempengaruhi

satu dengan yang lainya secara langsung maupun tidak

langsung. Akan tetapi bagaimanakah pengaruh itu dapat

digambarkan dan kemudian dilembagakan dalam kebijakan

kepariwisataan? Sisi penting berikutnya, dikaitkan dengan

kebijakan kepariwisataan nasional, apakah mungkin akan

terjadi proses social learning sehingga masyarakat setempat

disyaratkan terlibat dalam berbagai tahap pembangunan?

Dan kemudian, bagaimanakah fasilitais ideal pemerintah

pusat dalam kerangka tersebut, dan kemudian, bagaimanakah

tipologi formulasi ideal dalam pembentukan hukum yang

sesuai?

Page 204: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 197(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

A. Simpulan

Berdasarkan uraian di atas, maka perspektif pemerintahan

dikaitkan dengan model kebijakan kepariwisataan berbasis

pluralisme lokal untuk mewujudkan negara kesejahteraan

mengandung elemen-elemen sebagai berikut: (a) Dukungan

peraturan dan kelembagaan yang memihak masyarakat lokal;

(b) Daya tarik alam, daya tarik budaya dan daya tarik buatan

adalah tiga komponen pembentuk produk wisata, dimana

ketiganya dapat dikombinasikan satu dengan yang lainnya;

(c) Karakter kebijakan berbasis integrasi dan karakteristik

budaya; (d)) Desa wisata sebagai produk wisata alternatif

disajikan untuk menjawab kejenuhan yang dialami wisatawan

dalam mengkonsumsi produk wisata.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian untuk tahun kedua yang

meliputi aspek-aspek permasalahan sebagai berikut:

1. focus dan skala prioritas pluralisme lokal dalam kebijakan

kepariwisataan;

2. daya tarik alam, daya tarik budaya dan daya tarik buatan

dalam pola keruangan yang menihilkan kebudayaan;

dan

3. fasilitasi ideal pemerintah dan formulasi hukum yang

ideal.

PENUTUPGH

GH

BaB V

Page 205: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

198 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Adhikari, B., dan J. Lovett. “Institutions and collective action: Does

heterogeneity matter in community-based resource

management?” Journal of Development Studies 42, no. 3

(2006): 426–445.

Algra, N.E., dan et.al. Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda

Indonesia. Jakarta: Bina Cipta, 1983.

Allan M., William, King Russel, Anthony Warner, dan Guy Patterson.

“Tourism and international retirement migration: new

forms of an old relationship in southern Europe.” Tourism

Geographies 2, no. 1 (2000): 28–49.

Anderson, J. E. Public policy making. New York, NY: CBS College

Publishing, 1984.

Anderson, James. Public Policy Making. Boston: Houghton Mifflin,

2000.

Arcodia, C., dan M. Whitford. “Festival attendance and the

development of social capital.” Journal of Convention &

Event Tourism 8, no. 1 (2006): 1–18.

Arnegger, J., dan M. Herzt. “Economic and destination image

impacts of mega-events in emerging tourist destinations.”

Journal of Destination Marketing & Management 5, no. 2

(2016).

Arzt, Katja. “The dynamic infl uences of institutions and

designprinciples on the outcomes of a local agricultural–

DAFTAR PUSTAKAGH

GH

Page 206: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 199(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

environmental decision-making process.” Amsterdam,

2007.

Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Konstitusi Sosial : Institusionalisasi dan

Konstitusionalisasi kehidupan Sosial Masyarakat Madani.

Jakarta: LP3ES, 2015.

Avraham, E. “Destination marketing and image repair during

tourism crises: The case of Egypt.” Journal of Hospitality and

Tourism Management 28 (2016): 41–48.

Badan Pusat Statistik. “Provinsi Bali dalam Angka 2016.” Bali: Badan

Pusat Statistik Bali, 2016.

Bannink, Duco, dan Marcel Hoogenboom. “Hidden change:

disaggregation of welfare state regimes for greater insight

into welfare state change.” Journal of European Social Policy

17, no. 1 (2007): 19–32.

Basah, Sjachran. Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak

Administrasi Negara. Bandung: Alumni, 1992.

Baso, G. “Mophilonga Katuvua: Konsepsi Masyarakat Adat Toro

Dalam Mempertahankan Kelestarian Sumberdaya Hutan.”

Dalam Situs Keramat Alami: Peran Budaya Dalam Konservasi

Keragaman Hayati, disunting oleh H. Soedjito, Y. Purwanto,

dan E. Sukara. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2009.

Basri. “Kajian Empiris Pelaksanaan Rencana Induk Pengembangan

Pariwisata Daerah Kalimantan Barat.” Tesis Magister

Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 2012.

Bintari, Antik, dan Landrikus Hartarto Sampe Pandiangan.

“Formulasi Kebijakan Pemerintah Tentang Pembentukan

Badan Usaha Milik Daerah (Bumd) Perseroan Terbatas (Pt)

Mass Rapid Transit (Mrt) Jakarta Di Provinsi Dki Jakarta.”

Page 207: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

200 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Jurnal Ilmu Pemerintahan 2, no. 2 (2016): 220–38.

Bowdin, G. Events management. London: Routledge, 2012.

Brown, S, Getz, D., Pettersson, R., dan Wallstam, M. “Event evaluation:

Definitions, concepts and a state of the art review.”

InternationalJournal of Event and Festival Management 6,

no. 2 (2015): 135–57.

Burkhauser, Richard V., dan John A. Turner. “Life-Cycle Welfare

Costs of Social Security.” Public Finance Review 9, no. 2

(1981): 123–42.

Canavan, Brendan. Journal of Sustainable Tourism 26, no. 4 (2018):

551–66.

Carballo, Rita R., dan Carmelo J. León. “The influence of artistically

recreated nature on the image of tourist destinations:

Lanzarote’s art, cultural and tourism visitor centres and

their links to sustainable tourism marketing.” Journal of

Sustainable Tourism 26, no. 2 (2018): 192–204.

Chalip, L. “Beyond impact: A general model for sport event

leverage.” Dalam Sport tourism: Interrelationships, impacts

and issues, disunting oleh B. W. Ritchie dan D. Adair.

Clevedon: Channel View Publications, 2004.

Chen, Chien-Min, Sheu Hua Chen, dan Hong Tau Lee. “The

destination competitiveness of Kinmen’s tourism

industry: exploring the interrelationships between tourist

perceptions, service performance, customer satisfaction

and sustainable tourism.” Journal of Sustainable Tourism 19,

no. 2 (2011): 247–64.

Chen, .F., dan S.Z. Chiou‐Wei. “Tourism expansion, tourism uncer-

tainty and economic growth: New evidence from Taiwan

and Korea.” Tourism Management 30, no. 6 (2009): 812–18.

Page 208: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 201(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Cheron, E.J., dan J.R.B. Ritchie. “Leisure activities and perceived

risk.” Journal of Leisure Research 14, no. 2 (2010): 139–154.

Chheang, Vannarith. “The Political Economy of Tourism in

Cambodia.” Asia Pacific Journal of Tourism Research 13, no.

3 (2008): 281–97.

Christopher, Pierson. Welfare State: The New Political Economy of

Welfare. Pennsylvania: Pennsylvania State University Press,

2007.

Claudia I., Dobre, dan Costin I. Răsăuţeanu. “Global Economic Crisis

and Government Intervention.” Economic Sciences Series

16, no. 2 (2016): 14–19.

Considine, M. Making public policy: Institutions, actors, strategies.

Cambridge: Polity Press, 2005.

Cosmo, Howard. “The Policy Cycle: A Model of Post-Machiavellian

Policy Making?” Australian Journal of Public Administration

64, no. 3 (2005): 3–13.

Dahlan, Ahmad. “Krisis Negara Kesejahteraan.” Harian Suara

Merdeka. 20 Mei 2008.

Dahlan, Ahmad, dan Irfaan Santoso. “Menggaas Negara

Kesejahteraan.” Jurnal el-Jizya 2, no. 1 (2014): 1–22.

Deldago, M. Celebrating urban community life: Fairs, festivals,

parades, and community practice. Toronto: University of

Toronto Press, 2016.

Dewa Putu Oka Prasiasa. “Strategi Pengembangan Dan

Pemberdayaan Masyarakat Desa Wisata Timbrah

Kecamatan Karangasem Kabupaten Karangasem,” 103–26.

Denpasar, Bali: Universitas Udayana, 2017.

Dhana, Made Metu. Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap

Page 209: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

202 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Wisatawan. Surabaya: Paramita, 2012.

Diane, O’Sullivan, Pickernell David, dan Senyard, Julienne. “Public

Sector Evaluation of Festivals and Special Events.” Journal

of Policy Research in Tourism, Leisure and Events 1, no. 1

(2009).

Direktorat Pengembangan Destinasi Wisata. Pengembangan Desa

Wisata. Jakarta: Kementerian Pariwisata, 2016.

Djauhari. “Pergeseran Pemikiran Negara Kesejahteraan Pasca

Amandemen UUD 1945.” Jurnal Pembaharuan Hukum 1,

no. 3 (2014): 318.

Doherty, Alison. “The Volunteer Legacy of A major Sport Event.”

Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 2,

no. 1 (2010): 185–207.

Douglas, Jason A. “What’s political ecology got to do with tourism?”

Tourism Geographies 16 (2014): 8–13.

Dredge, Dianne. “Policy for Sustainable and Responsible Festivals

and Events:Institutionalisation of a new Paradigm a

Response.” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and

Events 2, no. 1 (2010): 1–13.

Dunn, William. Public Policy Analysis : An Introduction. New Jersey:

Pearson Education, 2004.

Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:

Gadjah Mada University, 2003.

Dwyer, L., R. Mellor, N. Mistilis, dan T. Mules. “A framework for

assessing ‘tangible’ and ‘intangible’ impacts of events and

conventions.” Event Management 6, no. 3 (2000): 175–91.

Dye, T. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs: Prentice-Hall,

1992.

Page 210: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 203(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Easton, David. A System Analysis of Political Life. New York: Willey,

1965.

Edgell, D. L. International tourism policy. New York: Van Nostrand

Reinhold, 1990.

Eisinger, Peter. The rise of the entrepreneurial state: State and local

economic development policy in the United States. Madison:

University of Wisconsin Press, 1988.

Eriksson, Ove. “Evaluation of interventions in the government

sector in Sweden: a need for change.” Policy and Practice in

Health and Safety, no. 1 (t.t.): 75–89.

Fayissa, B., C. Nsiah, dan B. Tadasse. “Impact of tourism on economic

growth and development in Africa.” Tourism Economics 14,

no. 4 (2008): 807–18.

Fenna, A. Australian public policy. Sydney: Pearson Education

Australia, 2004.

Font, Xavier, dan Scott McCabe. “Sustainability and marketing in

tourism: its contexts, paradoxes, approaches, challenges

and potential.” Journal of Sustainable Tourism 25, no. 7

(2017): 869–83.

Forestra, H. de, A. Kusworo, G Mirchon, dan W.A. Djatmiko. Ketika

Kebun Berupa Hutan: Agroforest Khas Indonesia Sebuah

Sumbangan Masyarakat. Bogor: International Centre for

Research in Agroforestry, 2000.

Fox, William. Jr. Understanding Administrative Law. New York: Lexis

Publishing, 2000.

Francisco, Esparraga, dan Ian Ellis. Administrative Law. Oxford:

Oxford University Press, 2011.

Fredline, L., L. Jago, dan M. Deery. “The development of a generic

Page 211: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

204 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

scale to measure the social impacts of events.” Event

Management 8, no. 1 (2003): 23–37.

Fuadi, Ariza. “Negara Kesejahteraan (Welfare State) dalam

Pandangan Islam dan Kapitalisme.” Jurnal Ekonomi Syariah

Indonesia 5, no. 5 (2015): 14.

Getz, D. Event tourism: Concepts, international case studies, and

research. New York: Cognizant Communication Corp, 2013.

Getz, D., dan S. Page. Event studies: Theory, research, and policy for

planned events. 3 ed. London: Routledge, 2016.

Getz, Donald. “Policy for Sustainable and Responsible Festivals and

Events : Institutionalization of a New Paradigm.” Journal

of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 1

(2009): 61–78.

Giddens, Anthony. Beyond Left and Right : Tarian Ideologi Alternatif

di Atas Pusara Sosialisme dan Kapitalisme. Cetakan 2.

Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.

Gladys Angelika. “Awal Mula Pariwisata di Indonesia.” Www.historia.

co.id, 7 Juli 2017. https://historia.id/budaya/articles/awal-

mula-pariwisata-di-indonesia-PMLx3.

Guy Peters. American Public Policy. New Jersey: Chatam House,

1993.

Habibuw, Y. “Implementasi Kebijakan Program Pengembangan

Pariwisata Daerah: Studi Kasus RIPP di Mojokerto.” Tesis

Magister Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada,

1997.

Hakim, Lukman. “Kewenangan Organ Negara Dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan.” Jurnal Konstitusi 4, no. 1

(2011): 5–21.

Page 212: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 205(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Hall, C. M. Tourism and politics. Policy, power and place. Chichester:

John Wiley & Son, 1998.

———. Tourism planning. Policies, processes and relationships.

London: Pearson Prentice Hall, 2008.

Hall, C. M., dan J. M. Jenkins. Tourism and public policy. London &

New York: Routledge, 1995.

Hall, Michael C. “Innovation and Tourism Policy in Australia and New

Zealand : Never the Twain Shall Meet ?” Journal of Policy

Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 1 (2009): 2–8.

Haydock, William. “The ‘Civilising’ Effect of a ‘Balanced’ night time

ecpnomy for ‘better people’: Class and the Cospmopoilitan

Limit in the Consumption and Regulation of Alcohol in

Bournermout.” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure,

and Events 6, no. 2 (2014): 172–85.

Huang, Wei-Jue, J.Adam Beeco, Jeffrey C. Hallo, dan William

C. Norman. “Bundling attractions for rural tourism

development.” Journal of Suistanable Tourim 24, no. 10

(2016): 1387–1402.

Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan

Tata Usaha Negara (I). Jakarta: Sinar Harapan, 1993.

Ingram, Hadyn. “Clusters and gaps in hospitality and tourism

academic research.” International Journal of Contemporary

Hospitality Management 8, no. 7 (1996): 91–95.

Isharyanto. Hukum Internasional dalam Pusaran Politik dan

Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Pedia, 2017.

Iskandar, J. Manusia Budaya dan Lingkungan: Kajian Ekologi

Manusia. Bandung: Humaniora Utama Press, 2001.

———. “Pelestarian Daerah Mandala dan Keragaman Hayati Oleh

Page 213: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

206 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Orang Baduy.” Dalam Situs Keramat Alami: Peran Budaya

Dalam Konservasi Keragaman Hayati, disunting oleh H.

Soedjito, Y. Purwanto, dan E. Sukara. Jakarta: Yayasan

Pustaka Obor, 2009.

James P. Lesters, dan Joseph Steward Jr. Public Policy : An

Evolutionary Approach. Belmonth: Wadsworth, 2000.

Jenkins Smith. Democratic Politics and Policy Analysis. California :

Wadsworth: Inc.Hall, 1990.

Jenkins, W. I. Policy analysis: Apolitical and organizational perspective.

London: Robertson, 1978.

Jerrim, John, dan Robert de Vries. “The limitations of quantitative

social science for informing public policy.” Evidence &

Policy: A Journal of Research, Debate and Practice 13, no. 1

(2017): 117–33.

Johann Höchtl, Peter Parycek, dan Ralph Schöllhammer. “Big data

in the policy cycle: Policy decision making in the digital

era.” Journal of Organizational Computing and Electronic

Commerce 26, no. 1–2 (2016): 147–69.

Johnson, Gbemende. “Legislative ‘Allies’ and Judicial Oversight of

Executive Power.” Justice System Journal 38, no. 2 (2017):

116–34.

Kadir, A. “Analisis Implementasi Kebijakan Pengembangan

Pariwisata Daerah.” Tesis Magister Administrasi Publik,

Universitas Gajah Mada, 1996.

Kati Kuitto. “From social security to social investment?

Compensating and social investment welfare policies in

a life-course perspective.” Journal of European Social Policy

26, no. 5 (2016): 442–59.

Page 214: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 207(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New Brunswick, USA:

Transaction Publisher, 2006.

Keston K. Perry. “The Dynamics of Industrial Development in a

Resource-Rich Developing Society: A Political Economy

Analysis.” Journal of Developing Societies 34, no. 3 (2018):

264–96.

Kim, H.J., M.H. Chen, dan S.C. Jang. “Tourism expansion and

economic development: The case of Taiwan.” Tourism

Management 27, no. 5 (2006): 925–33.

Kiswanto, Eddy. “Negara Kesejahteraan (Welfare State) :

Mengembalikan Peran Negara Dalam Pembangunan

Kesejahteraan Sosial di Indonesia.” Jurnal Kebijakan dan

Administrasi Publik 9, no. 2 (2005): 91.

Krasner, Stephen D. Sovereignty: Organized Hypocrisy. Pricenton NJ:

Princeton University Press, 1999.

Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep-Konsep Hukum dalam

Pembangunan. Bandung: Alumni, 2004.

Laksana, Praditya Budi, Riyanto, dan Abdullah Said. “Strategi

Pemasaran Pariwisata Kota Surakarta Melalui City

Branding (Studi pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

Kota Surakarta.” Jurnal Administrasi Publik 3, no. 1 (2015):

73.

Laswell, Harold, dan Abraham Kaplan. Power and Society. New

Heaven: Yale University Press, 1970.

Latif, Yudi. Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas, dan

Aktualitas Pancasila. Cetakan 4. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2012.

Lee, J., dan M.C. Strazicich. “Minimum LM unit root test with two

structural breaks.” Review of Economics and Statistics 85, no.

Page 215: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

208 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

4 (2003): 1082–1089.

Lettau, M., dan S. Ludvigson. “Consumption, aggregate wealth,

and expected stock returns.” Journal of Finance 3 (2001):

815–49.

Lubis, Z.B. “Lubuk Larangan: Revivalisasi Situs Keramat Alami

di Kabupaten Mandailing Natal.” Dalam Situs Keramat

Alami: Peran Budaya Dalam Konservasi Keragaman Hayati,

disunting oleh H. Soedjito, Y. Purwanto, dan E. Sukara.

Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2009.

Maffi, L. “Linguistic Diversity.” Dalam Cultural and Spiritual Values

of Biodiversity, disunting oleh D. Posey, 21–35. London:

Intermediate Technology Publications, 1999.

Malik, S., I.S. Chaudhry, M.R. Sheikh, dan F.S. Farooqi. “Tourism,

economic growth and current account deficit in Pakistan:

Evidence from co‐integration and causal analysis.”

European Journal of Economics, Finance and Administrative

Sciences 22 (2010): 21–31.

Manan, Bagir. “Politik Perundang-undangan Dalam Rangka

Mengantisipasi Liberalisme Perekonomian.” Dalam

Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Lampiung: Fakultas Hukum Universitas Lampung, 1996.

———. “Wewenang Propinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka

Otonomi Daerah.” Dalam Seminar Nasional Pengembangan

Wilayah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kawasan

Pesisir dalam Rangka Penataan Ruang. Bandung: Fakultas

Hukum Universitas Padjadjaran, 2000.

Marie-Louise Mangion, Chris Cooper, Isabel Cortés-Jimenez, dan

Ramesh Durbarry. “Measuring the Effect of Subsidization

on Tourism Demand and Destination Competitiveness

Page 216: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 209(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

through the AIDS Model: An Evidence-Based Approach to

Tourism Policymaking.” Tourism Economics 18, no. 6 (2012):

1251–72.

M.Dagun, Save. Kamus Besar Imu Pengetahuan. Jakarta: LKPN, 2000.

Michael, Howlett, dan M. Ramesh. Studying Public Policy : Policy

Cycles and Policy Subsystem. Oxford: Oxford University

Press, 1995.

Moeliono, Anton M., dan Et.al. Kamus Umum Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka, 1995.

Moscardo, G. “Analyzing the role of festivals and events in regional

development.” Event Management 11, no. 1 (2007): 23–32.

Mouw, E. “Implementasi Kebijakan Pengembangan Pariwisata

Bahari di Kabupaten Halmahera Barat.” Tesis Magister

Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 2012.

Naidoo, P., P. Ramseook‐Munhurrun, dan A.K. Seetaram.

“Marketing the hotel sector in economic crisis: Evidence

from Mauritius.” Global Journal of Business Research 5, no.

2 (2011): 1–12.

Nyoman S. Pendit. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar. Jakarta:

Pradnya Paramita, 1980.

Oka A. Yoeti. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa, 1996.

Ooi, Natalie, dan Jennifer H. Laing. “Backpacker tourism: sustainable

and purposeful? Investigating the overlap between

backpacker tourism and volunteer tourism motivations.”

Journal of Sustainable Tourism 18, no. 2 (2010): 191–206.

Pass, Christopher, dan Bryan Lowes. Collins Kamus Lengkap Ekonomi.

Diterjemahkan oleh Tumpal Rumapea dan Posman Halolo.

Jakarta: Erlangga, 1999.

Page 217: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

210 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Patricio Aroca, Juan Gabriel Bilda, dan Serena Volo. “Tourism

statistics: Correcting data inadequacy.” Tourism Economics

23, no. 1 (2017): 99–112.

Pemerintah Kabupaten Gianyar. “Laporan Kinerja Instansi

Pemerintah Kabupaten Gianyar 2017.” Gianyar: Pemerintah

Kabupaten Gianyar, 2018.

Pomering, Alan, Gary Noble, dan Lester W. Johnson.

“Conceptualising a contemporary marketing mix for

sustainable tourism.” Journal of Sustainable Tourism 19, no.

8 (2011): 953–69.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia.

Jakarta: Dian Rakyat, 1980.

Purba, J., ed. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Jakarta: Yayasan

Pustaka Obor, 2006.

Ramesh, D., dan M. Thea Sinclair. “Market shares analysis the case

of French tourism demand.” Annals of Tourism Research 30,

no. 4 (2003): 927–941.

Renko, Sanda, dan Kristina Buar. “How Changing Lifestyles Impact

The Development Of Some Special Interests Of Tourism:

The Case Of Spa Tourism In Croatia.” International Journal

of Management Cases 5 (2008): 101–10.

Riant Nugroho. Public Policy. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2008.

Roberts, Ken. “Can Employment Policies Improve a Society’s

Leisure ?.” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and

Events 2, no. 1 (2010): 82–87.

Saayman, Melville. “The Socio-Economic Impact of an Urban Park :

The Case of Wilderness National Park.” Journal of Policy

Research in Tourism, Leisure and Events 1, no. 3 (2010): 247–

Page 218: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 211(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

64.

Saeroji, Amad, dan Deria Adi Wijaya. “Pemetaan Wisata Kuliner

Khas Kota Surakarta.” Jurnal Pariwisata Terapan 1, no. 1

(2017): 12.

Salmenkaita, Jukka-Pekka, dan Ahti Salo. “Rationales for

Government Intervention in the Commercialization of

New Technologies.” Technology Analysis and Strategic

Management 14, no. 2 (2002): 183–200.

Sandang, Yesaya, dan Rindo Bagus Sanjaya. “Pariwisata Indonesia

Dalam Citra Mooi Indie: Dahulu Dan Sekarang.” Jurnal Studi

Pembangunan Interdisiplin 24, no. 2 (2015).

Sarah, Roche, F. Spake Deborah, dan Joseph Mathews. “A model of

sporting event tourism as economic development.” Sport,

Business and Management: An International Journal 3, no. 3

(2013): 145–71.

Sarbini Mbah Ben. Filsafat Pariwisata: Sebuiah Kajian Filsafat Praktis.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018.

Sastrapradja, S.D. Memupuk Kehidupan di Nusantara: Memanfaatkan

Keragaman Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2010.

Schulenkorf, N., dan D. Edward. “Maximizing positive social

impacts:Strategies for sustaining and leveraging the

benefits of intercommunity sport events in divided

societies.” Journal of Sport Management 26, no. 5 (2012):

379–90.

Sequeira, T.N., dan C. Campos. “International tourism and economic

growth: A panel data approach.” Fondazione Eni Enrico

Mattei Nota di Lavoro, 2005.

Simon Chak-keung, Wong, dan Liu Gloria Jing. “Will parental

influences affect career choice?: Evidence from hospitality

Page 219: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

212 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

and tourism management students in China.” International

Journal of Contemporary Hospitality Management 22, no. 1

(2010): 82–101.

Smith, Andrew. “Spreading The Positive Effects of Major Events

to Peripheral Areas.” Journal of Policy Research in Tourism,

Leisure and Events 1, no. 2 (2009): 231–46.

Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2000.

Soekadijo. Anatomi Pariwisata: Memahami sebagai Systemic

Linkage. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta:

Rajawali, 1988.

Soemardi. Teori Umum Hukum dan Negara : Dasar-Dasar Ilmu

Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik.

Bandung: Bee Media Indonesia, 2010.

Soemarwoto, Otto. Pembangunan Berkelanjutan: Antara Konsep

dan Reaita. Bandung: Universitas Padjajaran, 2006.

Spillani, James J. Pariwisata Indonesia: Siasat Ekonomi dan Rekayasa

Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Suharto, Edi. “Globalisasi, Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan :

Mengkaji Peran Negara dalam Pembangunan

Kesejahteraan Sosial di Indonesia.” Http://www.policy.hu/

suharto/mamakIndo10, 2004.

———. Kebijakan Sosial: Sebagai Kebijakan Publik. Bandung:

Alfabet, 2007.

Sunjayadi, Achmad. “Dari Vreemdelingenverkeer ke

Toeristenverkeee: Dinamika Pariwisata Di Hindia-Belanda

1891-1942.” Disertasi Doktor Ilmu Sejarah, Universitas

Indonesia, 2017.

Page 220: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 213(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Sutardi, Tedi. Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya.

Bandung: Setia Purna Inves, 2010.

Syarifudin, Ateng. Butir-Butir Gagasan Tentang Penyelenggaraan

Hukum Dan Pemerintahan Yang Baik. (Bandung: PT Citra

Adtya Bakti, 1996.

Synmann, P.C.A. “Public policy in Anglo-Americal law.” Comparative

and International Law Journal of Southern Africa `19, no. 2

(1986): 220–35.

Teeuw, A. Kamus Indonesia-Belanda. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1999.

Teodora, Mot. “Buzias as a cultural and therapeutic tourism

destination.” Scientific Papers Animal Science and

Biotechnologies 47, no. 2 (2014): 321–24.

Thacher, Devid, dan Martin Rein. “Managing Value Conflict in Public

Policy.” Governance 17, no. 4 (2004): 457–86.

Theodoraki, Eleni. “Organisational Communication on the Impacts

of the Athens 2004 Olympic Games.” Journal of Policy

Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 2 (2009): 141–

55.

Tjandra, W. Riawan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Sinar

Grafika, 2018.

———. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Sinar Grafika, 2018.

Triegaardt, Jean D. “Social policy domains: Social welfare and social

security in South Africa.” International Social Work 45, no. 3

(2002): 325–36.

Triwibowo, Darmawan, dan Sugeng Bahagio. Mimpi Negara

Kesejahteraan. Jakarta: LP3ES, 2006.

Page 221: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

214 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Tsiotsou, Rodoula, dan Vanessa Ratten. “Future research directions

in tourism marketing.” Marketing Intelligence & Planning 28,

no. 4 (2010): 533–44.

Umar, Zulkarnain. “Analisis Implementasi Kebjakan Standar

Pelayanan Minimal Untuk Peningkatan Kualitas Layanan

Publik di Daerah.” Jurnal Analisis dan Kebijakan Publik 3, no.

1 (2017): 6.

Vecchi, Veronica, Manuela Brusoni, dan Elio Borgonovi. “Public

Authorities for Entrepreneurship: A management approach

to execute competitiveness policies.” Public Management

Review 16, no. 2 (2014): 256–73.

Veriani, R. “Implementasi Pengembangan Kebijakan Pariwisata

Kebumen.” Tesis Magister Administrasi Publik, Universitas

Gajah Mada, 2009.

Wahab, Solichin Abdul. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke

Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. V.

Jakarta: Bumi Aksara, 2016.

Wallstam, Martin, Dimitri Ioannides, dan Robert Pettersson.

“Evaluating the social impacts of events: in search of

unified indicators for effective policymaking.” Journal

Of Policy Research In Tourism, Leisure And Events 10, no. 1

(2018).

Wang, Y.S. “The impact of crisis events and macroeconomic activity

on Taiwan’s international inbound tourism demand.”

Tourism Management 30 (2009): 75–82.

Warhurst, Chris. “The knowledge economy, skills and government

labour market intervention.” Policy Studies 29, no. 1 (2008):

71–86.

W.C., Po, dan Huang B.N. “Tourism development and economic

Page 222: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 215(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

growth‐a nonlinear approach.” Physica A: Statistical

Mechanics and its Applications 38, no. 7 (2008): 535–542.

Wood, E. “An impact evaluation framework: Local government

community festivals.” Event Management 12, no. 3 (2009):

171–85.

Wood, E. “Measuring the economic and social impacts of local

authority events.” International Journal of Public Sector

Management 18, no. 1 (2005): 37–53.

Xu, Honggang. “Managing Side Effects of Cultural Tourism

Development - The Case of Zhouzhuang.” Systems Analysis

Modelling Simulation 43, no. 2 (2003): 175–88.

Yaghmour, Samer, dan Scott, Noel. “Inter-Organizational

Collaboration Characteristics and Outcomes : A Case

Study of The Jeddah Festival.” Journal of Policy Research in

Tourism, Leisure, and Events 1, no. 2 (2009): 115–30.

Yamin, Muhammad. Naskah Persiapan UUD 1945: Risalah Sidang

BPUPKI/PPKI. Jakarta: Prapanca, 1959.

Yap, G. “An examination of the effects of exchange rates on

Australia’s inbound tourism growth: A multivariate

conditional volatility approach.” International Journal of

Business Studies 20, no. 1 (2012): 111–32.

Yusdiyanto. “Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam

Pembuatan Perda dan Peraturan Lainnya.” Jurnal Fiat

Justisia Ilmu Hukum 6, no. 3 (2012): 7.

Zendrato, Rosleini Ria Putri, Adhie Tri Wahyusi, dan Bagus Ismail

Adhi Wicaksana. “Implementasi Semantic Trip Planning

dalam Perancangan Aplikasi Mobile Perencanaan

Perjalanan Wisata di Wilayah Eks-Karisidenan Surakarta.”

Jurnal Techno 17, no. 1 (2016): 1.

Page 223: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

216 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Page 224: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 217(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Page 225: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

218 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Page 226: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 219(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Page 227: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

220 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Page 228: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 221(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Page 229: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

222 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Page 230: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 223(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Page 231: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

224 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Page 232: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 225(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Page 233: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

226 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Page 234: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 227(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Page 235: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

228 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Page 236: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 229(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Page 237: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

230 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Page 238: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 231(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Page 239: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

232 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Page 240: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 233(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Page 241: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

234 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Page 242: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 235(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Page 243: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

236 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Page 244: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 237(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Page 245: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

238 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Page 246: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 239(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Page 247: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

240 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Page 248: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 241(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Page 249: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

242 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Page 250: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 243(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Page 251: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

244 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Page 252: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 245(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Page 253: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

246 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN

Page 254: HUKUM KEPARIWISATAAN file/Buku ISHARYANTO/2… · Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. Sebagaimana diketahui,

◼ 247(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)