hukum pajak internasional auto saved)

24
HUKUM PAJAK INTERNASIONAL PELAKSANAAN DAN HAMBATAN DALAM PENEGAKAN PAJAK INTERNASIONAL MAKALAH Disusun dalam memenuhi nilai Tugas dalam Mata Kuliah Hukum Pajak Semester Genap - Tahun Akademik 2009-2010 Oleh: DYAH AYU PARAMITA 1101 1006 0071 FAKULTAS HUKUM

Upload: dydi-arifien

Post on 05-Jul-2015

622 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum Pajak Internasional Auto Saved)

HUKUM PAJAK INTERNASIONAL

PELAKSANAAN DAN HAMBATAN DALAM PENEGAKAN PAJAK INTERNASIONAL

MAKALAH

Disusun dalam memenuhi nilai Tugas dalam Mata Kuliah Hukum Pajak

Semester Genap - Tahun Akademik 2009-2010

Oleh:

DYAH AYU PARAMITA

1101 1006 0071

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2010

Page 2: Hukum Pajak Internasional Auto Saved)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkembangan teknologi yang diciptakan manusia,

mempersingkat jarak, waktu, dan dimensi yang ada di dalam dunia nyata.

Hal ini juga mempersingkat waktu tempuh dengan semakin canggihnya

moda transportasi yang ada di seluruh dunia. Dengan demikian, mobilitas

manusia di dunia ini menjadi hampir tidak terbatas, terutama bagi mereka

yang memiliki keinginan dan terfasilitasi secara finansial.

Kemudahan perpindahan ini pun merambah ke bidang investasi

dan bisnis, di mana seseorang dari negara A, dapat menanamkan

modalnya dan membuat usaha di negara B, sementara berbelanja di

negara C, dan seterusnya. Terhadap apa yang dilakukan oleh orang ini,

terdapat berbagai objek yang dikenakan pajak oleh masing-masing

negara yang bersangkutan, oleh sebab itu, negara-negara di dunia perlu

menyusun suatu kesepakatan di dalam kebijakan Hukum Pajak

Internasional.

Dunia perdagangan berkembang dan terus berjalan dengan

adanya permintaan dan pasokan yang tersebar dari berbagai penjuru

dunia. Dan perkembangan teknologi, khususnya di bidang transportasi

dan komunikasi, mempermudah sekaligus meningkatkan konsentrasi

pertumbuhan kebutuhan masyarakat tersebut, oleh sebab itu, muncullah

berbagai peluang usaha di yang melintas batas negara, di mana kegiatan

usaha tersebut pun memiliki potensi terkena pajak yang melintas batas

negara.

Setiap negara memiliki kebijakannya masing-masing mengenai

pengenaan pajak terhadap wajib pajak dan objek pajak yang berada di

wilayah kekuasaannya. Perbedaan pendekatan, yakni azas nasional aktif

dan azas nasional pasif, memberikan dua keadaan yang berbeda yang

mungkin terjadi dalam praktek pemungutan pajak.

Page 3: Hukum Pajak Internasional Auto Saved)

Pajak, sebagaimana kita ketahui, secara ekonomis memiliki

konsekuensi yakni mengurangi daya beli wajib pajak yang

membayarkannya. Oleh sebab itu pajak harus diatur sedemikian rupa,

sehingga tidak membebani wajib pajak secara berlebihan, sehingga roda

perekonomian dapat terus berjalan, baik secara mikro maupun secara

makro.

Hal-hal tersebut di atas merupakan alasan yang melandasi

perlunya diatur suatu Hukum Pajak Internasional oleh negara-negara di

dunia, bagi subjek dan objek pajak yang melintas batas negara.

Beberapa ahli telah mencoba memberikan pengertian dari Hukum

Pajak Internasional, di antaranya:

1. Rosendorff Hukum Pajak Internasional adalah keseluruhan dari hukum pajak nasional dari semua negara – yang maksudnya adalah, sepanjang tidak khusus diatur mengenai suatu negara (misalnya Indonesia), maka hukum tersebut dianggap sebagai Hukum Pajak Internasional.

2. Dr. P. Verloren van ThemaatHukum Pajak Internasional adalah keseluruhan norma-norma (kebiasaan dan traktat) internasional, yang membatasi kedaulatan suatu negara dalam soal pajak.

3. R. Santoso Brotodihardjo, S.H.Hukum Pajak Internasional adalah Tata tertib dan norma-norma hukum pajak dipandang dari segi internasional – contohnya adalah sebagaimana yang diatur di Indonesia melalui Staatblaad 1934 No. 291 jo. 1946 No. 62 jo. 1948 No. 22 jo. 1949 No. 174 mengenai penghindaran pajak berganda bagi wajib pajak.1

Hukum Pajak Internasional adalah Hukum Pajak nasional yang di

dalamnya mengandung unsure-unsur asing.2 Unsur asing yang dimaksud

1 R. Santoso Brotodihardjo, S.H., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Eresco, 1986, hlm. 219.2 Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung: Eresco, 1992, hlm.57.

Page 4: Hukum Pajak Internasional Auto Saved)

di sini dapat mengenai subjeknya, objeknya, dan mungkin juga

pemungutnya.3

Permasalahan yang kerap timbul di dalam lapangan Hukum Pajak

Internasional ini adalah resiko atas pajak berganda. Terutama mengenai

pembagian bagi objek pajak dan subjek pajak mana yang termasuk ke

dalam yurisdiksi dari suatu negara untuk memungutnya.

Pajak berganda di dalam prakteknya, dapat menurunkan daya

saing subjek pajak, dan pada suatu titik yang tidak seimbang, dapat

menimbulkan kerugian bagi subjek pajak. Yang kemudian membuatnya

rentan akan kebangkrutan, yang mana akan memberikan dampak cukup

besar bagi ekonomi mikro di lingkungan di mana subjek pajak tersebut

berada. Misalnya apabila subjek pajak tersebut adalah seorang

pengusaha pabrik garmen yang merugi akibat pajak berganda, maka

seluruh karyawannya terancam kehilangan pekerjaan dan penghasilan,

yang juga akan menimbulkan pengangguran dan hilangnya kemampuan

ekonomis berpuluh-puluh keluarga.

Pajak berganda ini dapat diatur melalui berbagai cara, salah satu

di antaranya yakni dengan mengadakan perjanjian bilateral untuk

mengatur pembagian pemungutan pajak di antara kedua negara yang

bersangkutan. Perjanjian bilateral ini disebut dengan Traktat Pajak, dan

dapat berlaku di negara-negara yang menandatanganinya setelah

diratifikasi oleh lembaga perwakilan rakyat negara yang bersangkutan

sebagai lembaga legislatif.

Permasalahan kembali muncul apabila terjadi sengketa pajak

karena ada wajib pajak yang merasa dirugikan dengan dibebankannya

pajak berganda atas dirinya, wajib pajak ini dapat mengajukan tuntutan

kepada negara, untuk meluruskan apa yang merupakan hak dan

kewajibannya. Namun kepada negara mana tuntutan dapat diajukan pun

akan menjadi masalah tersendiri.

3 Ibid.

Page 5: Hukum Pajak Internasional Auto Saved)

Hukum Pajak Internasional, sebagaimana Hukum Perdata

Internasional, memiliki karakteristik perselisihan hukum yang cukup

kental. Namun tidak seperti Hukum Perdata Internasional yang telah

memiliki azas-azas dan patokan-patokan yang tercipta dari adanya

customary law (hukum kebiasaan), Hukum Pajak Internasional tidak

memiliki patokan yang demikian.

Dari pemikiran tersebut, maka penyusun menyusun makalah ini

yang akan membahas mengenai penyelesaian sengketa Hukum Pajak

Internasional di dalam teori dan prakteknya.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Untuk memberikan batasan di dalam pembahasan mengenai

Hukum Pajak Internasional ini, maka masalah yang akan diidentifikasi

melalui makalah ini, yakni:

1. Bagaimanakah cara penghindaran pajak berganda yang

dilaksanakan oleh negara Republik Indonesia?

2. Apakah traktat pajak bilateral yang dimiliki Indonesia mengikat

umum secara hukum dan telah memenuhi syarat-syarat

hukum?

3. Apakah Arbitrase Internasional memiliki yurisdiksi untuk

memutus perkara pajak Internasional?

Page 6: Hukum Pajak Internasional Auto Saved)

BAB II

HUKUM PAJAK INTERNASIONAL

A. LINGKUP HUKUM PAJAK INTERNASIONAL

Di dalam etika hukum antar-negara terdapat suatu azas yang

disebut kedaulatan negara, di mana tidak ada suatu negara pun yang

memiliki kedudukan lebih tinggi dari negara lainnya, dan masing-masing

negara dapat memberlakukan hukumnya masing-masing di wilayahnya,

tanpa dapat diintervensi oleh negara lain.

Hukum sebagaimana disebut di atas, termasuk di antaranya yakni

pengenaan pajak. Kekuasaan pemerintah dari suatu negara atas pajak ini

adalah:

1. Kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang-

undangan, dan

2. Kekuasaan untuk menarik pajak.4

Namun kekuasaan ini pun terbatas dengan azas-azas dan norma-

norma hukum internasional, di mana di antaranya yakni:

1. Norma yang menetapkan, bahwa pemerintah suatu negara

hanya dapat mengatur sesuatu di luar wilayahnya apabila

sekurang-kurangnya ada satu titik hubungannya dengan

negaranya.

Titik hubungan ini dapat bersifat perorangan atau

kebendaan yang haruslah merupakan hubungan ekonomi

dan dapat dimasukkan ke dalam 4 (empat) golongan yang

berbeda sifatnya, yakni hubungan ekonomi:

a. Karena dalam wilayah suatu negara terdapat

sumber pendapatan seseorang yang berdomisili di

negara lain;

4 R. Santoso Brotodihardjo, S.H., op.cit, hlm. 218.

Page 7: Hukum Pajak Internasional Auto Saved)

b. Karena dalam wilayah suatu negara terdapat suatu

bagian dari kekayaan seseorang yang berdomisili di

negara lain;

c. Karena hak-hak atas suatu bagian dari kekayaan di

suatu negara miliki seseorang yang berdomisili di

negara lain hanya dapay dipergunakan di negara

letak kekayaannya itu saja; dan

d. Karena kekayaan dikonsumsi atau dipergunakan

dalam suatu negara domisili.

2. Norma worldwide income yang dapat diterapkan oleh

negara domisili, yang dikenal sebagai norma hukum

umum.

Di dalam Hukum Pajak Internasional, kita mengenal istilah negara

sumber, yakni negara di mana kekayaan dan pendapatan seorang subjek

pajak internasional berada; negara domisili, yakni negara di mana

seorang subjek pajak internasional tinggal dan menggunakan

kekayaannya; dan negara kewarganegaraan, yakni negara di mana

seorang subjek pajak internasional merupakan warga negaranya.

B. SUMBER HUKUM PAJAK INTERNASIONAL

Yang menjadi sumber Hukum Pajak Internasional yakni:

1. Asas-asas yang terdapat dalam hukum antarnegara, baik secara

tertulis maupun tidak tertulis;

2. Peraturan-peraturan unilateral (sepihak) dari setiap negara yang

maksudnya tidak ditujukan kepada negara lain, dan diteapkan

secara nasional oleh suatu negara;

3. Perjanjian / Traktat yang disepakati oleh 2 (dua) negara atau lebih,

yakni:

Page 8: Hukum Pajak Internasional Auto Saved)

a. untuk meniadakan / menghindarkan pajak berganda

b. untuk mengatur perlakuan fiscal terhadap orang-orang

asing

c. untuk mengatur mengenai pemecahan laba (winstspliting),

di dalam hal perusahaan multinasional

d. untuk saling memberi bantuan dalam pengenaan pajak

lengkap dengan pemungutannya, termasuk juga usaha

untuk memberantas evasion fiscal, yang dapat terjelma

dalam saling memberi informasi

e. untuk menetapkan tariff-tariff douane

C. PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM PAJAK INTERNASIONAL

Mengingat adanya pajak berganda dapat menyebabkan ketidak

adilan, beban pajak yang tidak seharusnya, mengganggu iklim kompetisi,

dan sebagainya, maka diperlukan upaya untuk meniadakan pajak ganda

itu melalui berbagai cara dan dengan menggubnakan berbagai metode

yang dianggap paling sesuai dengan tuntutan kebutuhan negara yang

bersangkutan.

Penghindaran pajak berganda tersebut dapat dilakukan melalui

cara-cara sebagai berikut:

1. SECARA UNILATERAL / NASIONAL

Penyelesaian pajak berganda dapat diselesaikan dengan cara

unilateral, atau secara sepihak oleh suatu negara. Caranya adalah

memasukkan ketentuan yang dapat menghindarkan pajak

berganda ke dalam peraturan perundang-undangan perpajakan

nasional suatu negara. Cara unilateral ini dapat dilakukan melalui

berbagai metode, yakni:

Page 9: Hukum Pajak Internasional Auto Saved)

a. Tax Exemption

Metode ini adalah metode yang biasanya digunakan untuk

menghindari pajak berganda oleh negara domisili di mana

subjek pajak berganda tinggal. Negara domisili memiliki

kewenangan pemungutan pajak secara tak terbatas

(worldwide income) terhadap subjek pajak, namun dengan

menggunakan metode ini, maka negara domisili tersebut

melepaskan hak worldwide income-nya tersebut dalam hal

pajak yang sumber atau asalnya berasal dari luar negara

domisili, dan diserahkan kepada negara sumber di mana

objek pajak tersebut berada. Metode Tax Exemption ini

memiliki 2 (dua) varian, yakni:

(1) Pure Territorial Principle

Suatu negara domisili yang menerapkan pure

territorial principle, akan melepaskan segala haknya

atas objek pajak yang dimiliki oleh subjek pajak

yang berasal dari luar wilayah negara domisili

tersebut. Negara domisili dalam hal ini melepaskan

secara penuh haknya yang berdasarkan atas asas

worldwide income dan hanya memungut pajak dari

objek pajak yang berasal dari dalam negaranya.

(2) Restricted Territorial Principle

Apabila suatu negara menggunakan metode

restricted territorial principle, maka negara domisili

akan menghitung pendapatan subjek pajak yang

berasal dari luar negeri untuk kemudian menjadi

bahan perhitungan dari tariff pajak yang akan

dikenakan.

Misalnya, seorang pebisnis memiliki usaha di

negara A dan negara B, dan yang bersangkutan

tinggal di negara B, yang menggunakan restricted

Page 10: Hukum Pajak Internasional Auto Saved)

territorial principle. Dia memiliki pendapatan

sebesar $100,000 dari negara A dan $65,000 dari

negara B, berdasarkan mata uang negara B. Di

negara B, untuk pendapatan di atas $100,000 akan

dikenakan tariff pajak sebesar 20%. Dalam hal ini,

pendapatan yang bersangkutan dihitung sebesar

$165,000, tetapi yang dikalikan dengan tariff pajak

hanya sejumlah pendapatan yang didapatkannya

dari negara B, sehingga $65,000 x 20%.

Kasus ini hanya berlaku untuk pajak pendapatan,

dan bukan pajak atas kepemilikan yang lainnya.

b. Tax Credit

Tax Credit merupakan metode untuk memberikan

pengurangan pajak apabila penghasilan yang diperoleh

subjek pajak dari luar negeri dikenakan pajak baik di dalam

negeri maupun di luar negeri (negara sumber). Pemberian

tax credit ini dilakukan apabila jumlah pajak yang

dikenakan oleh negara sumber tidak melebihi jumlah pajak

yang dikenakan oleh negara domisili. Atau, dengan kata

lain, tax credit hanya diberikan maksimum sebesar pajak

yang dikenakan oleh negara domisili. Metode tax credit

yakni:

(1) Direct Tax Credit

Metode ini merupakan cara penghindaran pajak

berganda yang banyak diterapkan di negara-negara

yang menggunakan sistem hukum anglo saxon.

Subjek pajak dikenakan pajak di negara domisili

dengan menggunakan asas worldwide income, di

mana terhadap jumlah pajak itu dapat dikurangkan

seluruhnya jumlah pajak yang dikenakan oleh

Page 11: Hukum Pajak Internasional Auto Saved)

negara sumber atas penghasilan yang berasal dari

negara sumber.

(2) Indirect Tax Credit

Metode ini dimaksudkan untuk memberikan tax

credit kepada perushaan induk di negara domisili

terhadap pajak yang dibayar oleh subsidiary-nya di

negara sumber.

(3) Fictitious Tax Credit / Tax Sparing

Dalam hubungan negara berkembang dengan

negara maju, seringkali negara berkembang

memiliki kepentingan untuk mengundang investor

dari negara maju dengan memberikan berbagai tax

incentive. Salah satunya dengan memberikan

pengenaan pajak dengan tariff yang lebih rendak

dan tidak sama dengan tariff yang berlaku pada

umumnya di negara berkembang itu sendiri, atau

bahkan tidak mengenakan pajak sepanjang

keuntungan itu ditanam kembali di negara

berkembang yang bersangkutan. Sementara itu,

negara maju tempat investor berdomisili

mengenakan pajak dengan menerapkan tax credit

terhadap penghasilan yang diperoleh oleh subjek

pajak dari negara asing, di mana pengenaan tax

credit itu didasarkan pada tariff umum yang

dikenakan pada negara sumber. Dari kenyataan ini,

maka subjek pajak akan memperoleh keuntungan

ganda, dengan ada peniadaan pajak dari kedua

negara.

c. Reduced rate for foreign income

Metode ini adalah metode penghindaran pajak berganda

yang dilakukan oleh negara domisili terhadap penghasilan

Page 12: Hukum Pajak Internasional Auto Saved)

yang diperoleh subjek pajak yang berdomisili di negara

tersebut yang bersumber dari luar negeri, di mana

penghasilan yang berasal dari luar negeri itu dikenakan

pajak dengan menggunakan tariff yang diperingan dan

tidak sama dengan taif umum yang berlaku di negara

domisili tersebut.

d. Tax deduction for foreign income

Metode ini, adalah dengan menghitung pajak yang

dibayarkan oleh subjek pajak dari hasil pendapatannya di

luar negeri sebagai komponen biaya. Sehingga

pendapatannya setelah dikurangi biaya (termasuk pajak di

negara sumber dan lain sebagainya) akan dikenakan lagi

pajak berdasarkan peraturan nasional.

2. SECARA BILATERAL

Secara Bilateral, penghindaran atas terjadinya pajak berganda

dilaksanakan melalui perjanjian bilateral. Menurut Peraturan

Direktur Jenderal Pajak Nomor 67 Tahun 2009, Pasal 1 (1),

Persetujuan Penghindaran Pajak Berdanda (Tax Treaty) yang

selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian anatara Pemerintah

Indonesia dengan Pemerintah negara mitra P3B dalam rangka

penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.

Secara umum, dikenal dua model Perjanjian Penghindaran Pajak

Berganda. Model pertama adalah model yang disusun oleh Komite

Fiskal Organisasi Kerja Ekonomi dan Pembangunan (Organization

for Economic Cooperation and Development / OECD). Sedangkan

model yang kedua adalah model P3B yang disusun berdasarkan

Konvensi PBB.

Page 13: Hukum Pajak Internasional Auto Saved)

3. SECARA MULTILATERAL

Secara multilateral yakni dengan adanya suatu perjanjian

internasional yang dibentuk secara umum untuk mengatur negara-

negara anggotanya, yang secara hukum internasional dikenal

dengan sebutan contracting parties atau contracting states.

Contohnya yakni Vienna Convention on Diplomatic Relation 1961

dan Vienna Convention on Consular Relation 1963, yang mana di

dalamnya disepakati mengenai objek-objek apa saja yang

dibebaskan oleh pajak, yang berhubungan dengan misi diplomatik

negara maupun organisasi internasional. Seperti diplomatic

premises, penghasilan pejabat diplomatik, harta kekayaan misi

diplomatik, dan lain sebagainya.

4. SECARA KEBIASAAN INTERNASIONAL

Cara penyelesaian pajak berganda internasional yang dilakukan

melalui kebiasaan internasional, adalah apabila terjadi sengketa

sehubungan dengan pemungutan pajak berganda, dan tidak ada

pengaturannya baik secara nasional, bilateral, maupun

multilateral.

Untuk menerapkan kebiasaan internasional untuk menyelesaikan

sengketa pajak berganda, perlu ditekankan bahwa harus telah

dicapainya segala upaya yang diperlukan dan tercapainya

exhaustion of local remedies, sebagai salah satu prinsip dapat

diterapkannya hukum internasional.

Page 14: Hukum Pajak Internasional Auto Saved)

BAB III

KESIMPULAN

Hukum Pajak adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi

wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan dari seseorang dan

menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara,

sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-

hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan hukum yang

berkewajiban membayar pajak (subjek pajak).5

Sedangkan Hukum Pajak Internasional adalah keseluruhan peraturan

yang mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur tentang hak pengenaan

pajak di masing-masing negara.6

Berdasarkan prinsip ubi societas ibi ius, yakni di mana ada masyarakat di

sana ada hukum, maka Hukum Pajak Internasional memiliki suatu tujuan untuk

menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat, khususnya

anggota masyarakat yang memiliki asset dan penghasilan di dan dari beberapa

negara sekaligus, masalah ini yakni pajak berganda.

Masalah di dalam pajak berganda yang paling esensial adalah dalam hal

pajak penghasilan. Sebagaimana Hukum Perdata Internasional, Hukum Pajak

Internasional pun sebenarnya adalah hukum nasional dari suatu negara untuk

mengatur mengenai pelaksanaan dan pemungutan pajak. Oleh sebab itu,

penanggulangan permasalahan pajak berganda hanya dapat diselesaikan

dengan diaturnya di dalam hukum nasional suatu negara.

Di Indonesia sendiri, pajak berganda secara umum diatur berdasarkan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang

kemudian menunjuk kepada pembuatan Perjanjian Penghindaran Pajak

Berganda (P3B) yang telah dijalin oleh Republik Indonesia dengan beberapa

negara lainnya.

5 R. Santoso Brotodihardjo, S.H., op. cit., hlm. 16 Agus Setiawan, Ak., Pajak Internasional, Jakarta: Pusdiklat Pajak, 2006, hlm. 11

Page 15: Hukum Pajak Internasional Auto Saved)

Namun, Tax Treaty yang dijalin oleh Republik Indonesia dan negara mitra

lainnya, sehubungan dengan penghindaran pajak berganda, memiliki

kekurangan secara hukum, karena sebagai suatu perjanjian internasional yang

seharusnya diratifikasi oleh lembaga legislatif, yakni Dewan Perwakilan Rakyat,

melalui undang-undang dan diumumkan di dalam Lembaran Negara secara

resmi, Tax Treaty yang dilaksanakan di Indonesia bersama dengan negara-

negara mitra lainnya, hanya dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden.

Perselisihan pajak, apabila ada salah satu pihak yang merasa dirugikan di

dalam penarikan pajak yang mengandung unsur pajak berganda, diselesaikan

sesuai dengan cara yang disepakati, baik itu di dalam perjanjian bilateral,

regional, maupun multilateral. Sehingga, tidak tertutup kemungkinan untuk

diselesaikan di dalam Permanent Court of Arbitration (PCA). Namun, beberapa

ahli menyatakan bahwa pajak itu adalah salah satu objek dari kedaulatan, yang

bukan merupakan objek perjanjian, sehingga harus diselesaikan melalui hukum

nasional. Hal ini adalah wajar, mengingat adanya perbedaan mazhab hukum dan

pandangan umum.

Page 16: Hukum Pajak Internasional Auto Saved)

DAFTAR PUSTAKA

Agus Setiawan, Ak., Pajak Internasional, Jakarta: Pusdiklat Pajak, 2006.

R. Santoso Brotodihardjo, S.H., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Eresco, 1986.

Rochmat Soemitro, Prof., Dr., H., S.H., Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung: Eresco, 1992.

Y. Sri Pudyatmoko, S.H., M.Hum., Pengantar Hukum Pajak, Yogyakarta: ANDI, 2008.

http://www.pajak.go.id

Page 17: Hukum Pajak Internasional Auto Saved)

Lampiran

Perjanjian Pajak Berganda

Republik Indonesia - Kanada