i. pendahuluan 1.1 latar belakang - core.ac.uk fileyang dilakukan oleh masyarakat, maka peningkatan...
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan kebutuhan energi mempunyai keterkaitan erat dengan kian
berkembang kegiatan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk. Permasalahan
energi bagi kelangsungan hidup manusia merupakan masalah yang dihadapi oleh
hampir seluruh negara di dunia. Dengan keterbatasan sumber daya alam di dunia
dimana cadangan energi yang kian menipis khususnya bahan bakar minyak (BBM).
Tidak lagi ditemukan cadangan dalam jumlah yang besar pada rentang waktu terakhir
ini serta dengan semakin melambungnya harga minyak dunia, membuat hampir
seluruh negara berupaya mengoptimalkan sumber energi yang mungkin untuk
diproduksi sendiri guna mengurangi ketergantungan dari negara lain.
Untuk skala dunia, saat ini ada sekitar 1,6 milyar penduduk yang masih
mengalami kesulitan akses terhadap listrik, dan sekitar 2,4 milyar penduduk masih
bergantung pada bahan bakar tradisional biomassa untuk memasak dan pemanas.
Berdasarkan perkiraan sampai dengan tahun 2030 masih akan ada sekitar 1,4 milyar
penduduk yang mengalami kesulitan akses terhadap listrik, turun sekitar 200 juta dari
kondisi saat ini dan lebih dari 2,6 milyar penduduk akan masih bergantung pada
bahan bakar biomassa (Nuryanti, 2007). Berdasarkan catatan World Energi Outlook
2002, ada sekitar 20% penduduk terkaya di dunia menggunakan 55% energi primer,
sedangkan sekitar 20% penduduk termiskin menggunakan energi primer sekitar 5%
saja (Saghir, 2005 dalam Nuryanti, 2007).
2
Di Indonesia sendiri dengan pertumbuhan penduduk yang terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun dan pertumbuhan ekonomi yang terus berlangsung
yang ditunjukkan oleh kian bertambahnya output dengan beragam aktivitas ekonomi
yang dilakukan oleh masyarakat, maka peningkatan kebutuhan energi adalah suatu
hal yang tidak bisa dihindari. Dalam kurun waktu antara tahun 1990 sampai dengan
2005, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) mencatat terjadinya
pertumbuhan yang cukup substantial dalam permintaan energi final (termasuk
biomassa) di Indonesia, yaitu dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi sebesar 4,08%
per tahun. Pada tahun 2005, konsumsi energi final mencapai angka sekitar 863.750
ribu satuan barel minyak (SBM). Pangsa pemakaian energi final walaupun tidak
melakukan aktivitas produksi bersifat komersial, sektor rumah tangga merupakan
sektor pemakai energi final terbesar diantara sektor lainnya (Hidayat, 2005). Pada
tahun 1990, sektor rumah tangga mengkonsumsi 56,5% dari total energi final.
Memasuki tahun 1995 proporsi pemakaiannya mulai menurun menjadi 49,5% dan
kecenderungan penurunan ini terus berlangsung, bahkan pada tahun 2005 tingkat
pemakaian energi final oleh rumah tangga menjadi 36,5% atau sekitar 315.135 ribu
SBM. Kian menurunnya pemakaian energi final di sektor rumah tangga ini bukan
dikarenakan penurunan pemakaian energi di rumah tangga, namun lebih disebabkan
oleh terjadinya pertumbuhan sektor industri dan transportasi yang sangat pesat
sehingga menyebabkan besaran konsumsi energi final menjadi bertambah besar.
Konsumsi energi sektor rumah tangga adalah seluruh konsumsi energi untuk
keperluan rumah tangga tidak termasuk konsumsi untuk kendaraan pribadi. Konsumsi
energi untuk kendaraan pribadi dimasukkan ke dalam kelompok pengguna sektor
3
transportasi. Konsumsi energi untuk keperluan rumah tangga tersebut 71,7%
diantaranya atau sebesar 225.848 ribu SBM adalah energi tradisional yakni energi
yang berasal dari kayu bakar, arang dan briket. Pola konsumsi energi non
minyak/biomassa di sektor rumah tangga lebih terkonsentrasi pada penggunaan kayu
bakar rata-rata 73,6% per tahun dari total energi rumah tangga. Sementara briket yang
sudah diperkenalkan secara luas kepada masyarakat sebagai bahan bakar alternatif
pengganti minyak tanah untuk memasak pada tahun 2005 tingkat penggunaannya
hanya 0,03% dari seluruh energi rumah tangga. Dilihat dari pertumbuhan pun dari
tahun 1993 sampai 2005 tidak mengalami perubahan hanya berkisar 0,03%. Sama
halnya dengan briket, konsumsi LPG dan gas kota juga tingkat penggunaanya masih
relatif kecil. Pada tahun 1990, tingkat penggunaan LPG oleh rumah tangga hanya
0,42%, sementara gas kota hanya 0,02%. Limabelas tahun berturut-turut proporsi
penggunaan LPG pertumbuhan rata-ratanya hanya 1,18%, gas kota hanya 0,03%.
Lain halnya dengan minyak tanah proporsi penggunaanya relatif stabil pada tahun
1990, tingkat penggunaannya sebesar 18,43% atau sebesar 39.490 ribu SBM
limabelas tahun kemudian yakni tahun 2005 proporsi penggunaannya sebesar 18,87%
atau sebebesar 59.459 ribu SBM.
Beberapa faktor yang menyebabkan pola konsumsi di sektor rumah tangga
lebih terkonsentrasi pada penggunaan minyak tanah dan kayu bakar, yaitu : (1) faktor
harga, minyak tanah dan kayu bakar merupakan energi dengan harga relatif lebih
murah dibandingkan dengan energi lain yang digunakan untuk keperluan yang sama;
(2) faktor pendapatan, sebagian besar rumah tangga di Indonesia berpendapatan
rendah dan menengah. Pada kelompok ini, bahan bakar yang terjangkau dan biasa
4
digunakan adalah minyak tanah dan kayu bakar; (3) alasan kepraktisan; (4)
kurangnya sosialisasi pemanfaatan energi non minyak (Hidayat, 2005).
Jika dilihat dari konsumsi energi final berdasarkan klasifikasi jenis energi,
pada kurun waktu 1990 sampai dengan 2005 BBM masih merupakan energi utama
yang dikonsumsi oleh masyarakat. Persentase konsumsinya terhadap total pemakaian
energi final merupakan yang terbesar dan terus mengalami peningkatan rata-rata
4,80% per tahun. Pada tahun 1990 konsumsi sebesar 173.135.825 SBM angka ini
adalah 40,21% dari total konsumsi energi final. Limabelas tahun kemudian, pada
tahun 2005, konsumsinya meningkat menjadi 347.289.308 SBM.
Proporsi pemakaian BBM yang tinggi terkait dengan keterlambatan upaya
diversifikasi ke energi non minyak akibat harga BBM yang relatif murah karena
masih mendapat subsidi dari pemerintah. Kebijakan pemberian subsidi BBM ini
dimulai sejak tahun anggaran 1977/1978 dengan maksud untuk menjaga stabilitas
perekonomian nasional melalui penciptaan stabilitas harga BBM sebagai komoditas
yang strategis. Namun dalam perjalannya subsidi BBM ini ternyata menimbulkan
masalah tersendiri. Masyarakat cenderung boros menggunakan BBM dan ada indikasi
bahwa alokasi subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat
berpenghasilan tinggi yang seharusnya tidak perlu mendapatkan subsidi.
Sementara peningkatan kebutuhan BBM tersebut ternyata belum diimbangi
oleh pertumbuhan produksi minyak dalam negeri, bahkan sejak tahun 1990 hingga
2007 produksi minyak dalam negeri terus mengalami penurunan dengan rata-rata
2,383% per tahun dimana pada tahun 1990 tercatat sebesar 533.562 ribu barrel
sementara pada tahun 2007 hanya 348.358 ribu barrel. Untuk mengimbangi
5
peningkatan kebutuhan BBM dalam negeri tersebut pemerintah terpaksa harus
mendatangkan/impor dari luar negeri dengan peningkatan rata-rata 6,442% per tahun,
tahun 1990 sebesar 46.225 ribu barrel, tahun 2007 menjadi 111.067 ribu barrel.
Jika keadaan ini terus berlangsung ditambah lagi dengan harga minyak yang
terus melambung tentunya berdampak kepada harga jual minyak di dalam negeri, dan
sudah barang tentu subsidi pemerintah terhadap bahan bakar minyak yang meliputi
premium, minyak tanah, solar , minyak disel dan minyak bakar juga meningkat
sehingga membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan devisa
negara.
Besarnya beban pemerintah Indonesia untuk subsidi BBM mengakibatkan
berbagai revisi APBN harus dilakukan agar kegiatan perekonomian dan pemerintahan
terus dapat berjalan. Selain itu dampak dari keterbatasan APBN dan devisa negara
maka pemerintah dengan terpaksa mengurangi pasokan BBM terutama minyak tanah.
Pada tahun 2006 subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk BBM sebesar 64,212
triliun rupiah, 31,580 triliun rupiah diantaranya atau sekitar 49,18% dipergunakan
untuk subsidi minyak tanah (DESDM, 2007). Sementara untuk tahun 2007
berdasarkan APBNP subsidi minyak tanah sebesar 28,8 triliun rupiah dari total
subsidi BBM sebesar 49,3 triliun rupiah atau sebesar 58,42% (Pertamina, 2007).
Untuk mengatasi beban subsidi dan ketergantungan terhadap impor BBM
maka pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui program konversi minyak tanah ke
LPG. Melalui kebijakan ini diharapkan beban subsidi yang dikeluarkan pemerintah
dan ketergantungan terhadap impor dapat dikurangi serta dapat meningkatkan
6
pemanfaatan potensi sumber daya energi dalam negeri yang penggunaannya relatif
kecil.
Program konversi minyak tanah ke LPG diluncurkan dengan pertimbangan
satuan subsidi per kilogram yang lebih kecil dibandingkan subsidi per liter minyak
tanah, LPG dipandang sebagai energi altenatif yang aman bagi kesehatan, dan ramah
lingkungan (Anonim, 2006 dalam Sunarti 2007). Konversi penggunaan minyak tanah
ke LPG dipandang sebagian kalangan sebagai jalan keluar dan langkah yang tepat
untuk pengurangan beban devisa negara, juga karena Indonesia memiliki cadangan
gas yang cukup besar dan belum dimanfaatkan secara optimal, serta beragam alasan
lain terkait kualitas lingkungan, efisiensi dan harga per satuan energi yang dihasilkan
(Sunarti, 2007).
Sosialisasi program konversi minyak tanah ke LPG mulai dilakukan
pemerintah pada bulan Agustus 2006 yang diawali dengan uji coba pasar di
kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat, dengan target responden 500 ibu rumah tangga
(Pertamina, 2007). Uji coba pasar ini dilakukan oleh konsultan independent dengan
tujuan untuk : (1) Mengetahui reaksi masyarakat pengguna minyak tanah beserta jalur
distribusi; (2) Mengetahui faktor penghambat dan pendorong penggunaan LPG; (3)
Mengetahui sensitifitas harga Elpiji 3 kg. Metode yang digunakan dalam uji coba
adalah : (1) Responden pengguna minyak tanah dibagikan tabung LPG 3 kg beserta
isi, kompor dan perlengkapannya secara cuma-Cuma; (2) Responden diajari cara
menggunakan kompor dan tabung, handling serta safety; (3) Responden diminta
untuk mencoba menggunakan LPG; (4) Responden diamati selama 4 kali pengisian
7
ulang. Setiap kali selesai melakukan pengisian ulang, responden akan diinterview
oleh konsultan.
Setelah uji pasar tahap pertama dilakukan langkah selanjutnya pemerintah
melakukan uji pasar tahap kedua pada bulan Desember 2006 dengan melibatkan
jumlah responden yang lebih besar dari uji pasar tahap pertama yakni 25.000 KK.
Program yang sesungguhnya dimulai pada bulan Mei 2007, dengan target jumlah KK
yang dikonversi pada tahun 2007 adalah 6 juta KK. Untuk mensukseskan program
pengalihan minyak tanah ke LPG ini, pemerintah melibatkan berbagai instansi terkait
yang masing-masing bertanggungjawab sesuai bidang tugasnya, membentuk tim
independen sebagai tim pengarah yang keanggotaannya mewakili instansi-instansi
yang terkait dalam program ini, yaitu : (1) Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral c.q. Ditjen Migas, sebagai koordinator; (2) Departemen Keuangan,
bertanggungjawab dalam penganggaran dalam APBN; (3) Departemen Perindustrian,
bertanggungjawab dalam pengadaan tabung; (4) Kementerian Pemberdayaan
Perempuan, bertanggungjawab dalam sosialisasi; (5) Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah, bertanggung jawab dalam pengadaan kompor; (6)
Departemen Sosial, bertanggungjawab pengalihan profesi dalam usaha niaga minyak
tanah; (7) Badan Pengatur BBM dan Gas Melalui Pipa, bertanggung jawab dalam
penarikan minyak tanah pada daerah konversi. Untuk efektifitas pelaksanaan program
ini, ditunjuk PT Pertamina (Persero) yang telah mempunyai pengalaman dan
infrastruktur pendistribusian BBM, selaku pelaksana program pemerintah dapat
menugasi Badan Usaha Nasional lain untuk mempercepat pelaksanaan program ini
(Blue Print Program Pengalihan Minyak Tanah ke LPG, DESDM, 2007).
8
Program konversi minyak tanah ke LPG ini memiliki target rumah tangga dan
usaha mikro. Target rumah tangga adalah ibu rumah tangga yang tidak memiliki
pekerjaan, pengguna minyak tanah murni, kelas sosial C1 ke bawah (keluarga yang
berpenghasilan kurang dari 1,5 juta rupiah per bulan), serta penduduk yang sah pada
daerah tempat konversi tersebut dilakukan (Tim Studi Pusat Kebijakan Belanja
Negara Badan Kebijakan Fiskal milik Pemerintah Indonesia, 2008). Sedangkan usaha
mikro yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan produksinya, penduduk legal
dari tempat konversi dilakukan serta memiliki surat keterangan dari kelurahan
setempat.
Mekanisme konversi minyak tanah ke LPG kepada rumah tangga pengguna
minyak tanah dan usaha mikro yaitu : warteg, pedagang martabak, pedagang
makanan dalam gerobak (mie ayam, gorengan) dan pedagang baso/mie rebus
dilakukan dengan cara (Program Konversi Minyak Tanah ke LPG, Pertamina, 2007) :
1. Untuk rumah tangga pengguna minyak tanah (a) Membagikan secara cuma-cuma
tabung LPG 3 kg beserta isi perdana, kompor gas 1 tungku, beserta
perlengkapannya (selang, klem dan regulator); (b) Distribusi LPG 3 kg
menggunakan jalur distribusi eks minyak tanah, yaitu agen dan pangkalan minyak
tanah; (c) Pelaksanaan konversi dengan membagi paket konversi kepada
masyarakat dilakukan bertahap dari satu kecamatan ke kecamatan lainnya; (d)
Penarikan minyak tanah dilakukan di daerah yang sudah selesai dicacah dan
didistribusikan paket konversi. Penarikan ini dilakukan secara bertahap, untuk
memberi kesempatan kepada masyarakat pengguna untuk beradaptasi.
9
2. Untuk kelompok usaha mikro (a) Warteg: dua set kompor khusus (sanggup
menahan beban sampai dengan 100 kg) dan perlengkapannya, beserta 2 tabung
LPG 3 kg dan isi; (b) Pedagang makanan dalam gerobak: satu kompor gas high
pressure, satu tabung LPG 3 kg dan isi; (c) Pedagang martabak: satu kompor gas
khusus berlubang banyak, satu tabung LPG 3 kg dan isi; (d) Pedagang baso/mie
rebus: satu kompor gas seperti untuk rumah tangga, satu tabung LPG 3 kg dan isi.
Sasaran program pengalihan/konversi minyak tanah ke LPG adalah ZERO-
KERO 2012. Pengertian “Zero-Kero” adalah kondisi dimana tidak ada lagi minyak
tanah bersubsidi yang digunakan untuk memasak. Sesuai Peraturan Presiden No. 9
Tahun 2006 maka minyak tanah untuk penerangan tetap tersedia. Selain itu minyak
tanah akan tetap dipasarkan dengan harga keekonomian atau ditingkatkan nilai
tambahnya menjadi avtur. Terdistribusinya tabung LPG 3 kg untuk 6 juta KK pada
tahun 2007 dan sekitar 42 juta KK pada akhir tahun 2012.
Meskipun program konversi minyak tanah ke LPG sudah berjalan lebih dari
dua tahun yang diawali uji coba pasar pada bulan Agustus dan Desember 2006,
melibatkan beberapa instansi pemerintah dan konsultan independen dengan berbagai
metode sosialisasi telah dilakukan antara lain melalui penyuluhan langsung kepada
masyarakat, iklan layanan masyarkat di lima radio swasta (Radio Delta, Muara,
Elangga, Camajaya, RKM Jakarta) dan RRI, dialog interaktif di lima radio swasta
dan RRI, iklan layanan masyarakat di dua stasiun televisi swasta dan TVRI
(Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2009) dengan pesan yang
disampaikan “LPG lebih mudah dan hemat, aman, bersih, ramah lingkungan dan
praktis”. Dari uji pasar disimpulkan bahwa program pengalihan akan mendapat
10
dukungan dari masyarakat. Responden menganggap mereka lebih suka menggunakan
LPG daripada minyak tanah dengan alasan utama: cepat, hemat, praktis dan bersih
(Pertamina, 2007). Telah pula dilakukan penelitian mengenai aspek sosial budaya
program konversi BBM dimana kesiapan dan persentase terbesar contoh
menganggap program penting dan bersedia berpartisipasi (Sunarti, 2007), serta telah
pula dilakukan kajian efektivitas program konversi minyak tanah ke LPG yang
dilakukan oleh Tim Studi Pusat Kebijakan Belanja Negara Badan Kebijakan Fiskal
milik Pemerintah Indonesia, hasil penelitian ini antara lain menyimpulkan bahwa
pemakaian LPG lebih efisien dan ekonomis dibandingkan dengan minyak tanah
sehingga pengguna LPG akhirnya lebih banyak dibandingkan minyak tanah.
Namun, dalam kenyataannya belum semua masyarakat pengguna minyak
tanah yang menjadi target program konversi minyak tanah ke LPG termotivasi untuk
beralih menggunakan bahan bakar LPG. Terbukti sejak diluncurkannya program
konversi ini hingga Desember 2008 untuk seluruh Indonesia belum memenuhi target
yang telah ditetapkan yakni 15 juta KK dan baru tercapai 6,9 juta KK atau 35,7%
(http://energialternatif.ekon.go.id).
1.2 Perumusan Masalah
Program konversi minyak tanah ke LPG diluncurkan dengan tujuan selain
untuk menghemat anggaran pemerintah, juga untuk menghemat pengeluaran keluarga
dan rumah tangga. Namun dalam pelaksanaannya program konversi minyak tanah ke
LPG yang dilakukan di beberapa wilayah tidak mudah mengubah perilaku konsumsi
energi bahan bakar rumah tangga dari minyak tanah ke LPG. Tingkat penerimaan dan
11
partisipasi keluarga di berbagai wilayah beragam, dan tingkat partisipasi paling
rendah yang dilaporkan adalah 30%. Bahkan disinyalir terdapat sebagian keluarga
yang semula mencoba beralih dari minyak tanah ke LPG, kembali menggunakan
bahan bakar minyak (Sunarti, 2007).
Menurut Sunarti (2007) berbagai penelitian dan kajian mengenai penyebaran
(difusi) inovasi untuk diadopsi masyarakat menunjukkan bahwa pada umumnya
terdapat beberapa tahap dalam proses difusi inovasi. Hal tersebut memberikan makna
perlunya sosialisasi dan pendampingan yang memadai dalam mengintroduksi sebuah
perubahan kepada masyarakat. Apalagi jika aspek yang ingin diubah memiliki
sensitifitas yang tinggi terkait kebiasaan, kemampuan ekonomi, serta risiko atau
keselamatan yang dirasakan masyarakat manakala mengadopsi inovasi yang
didifusikan. Kesediaan atau partisipasi keluarga dan atau masyarakat untuk berubah
seringkali diawali oleh pengetahuan, persepsi, sikap masyarakat terhadap program
atau kegiatan yang diluncurkan. Proses keputusan konsumen selain dipengaruhi sosial
dan budaya, juga dipengaruhi pengetahuan, persepsi, motivasi dan sikap. Sikap
merupakan faktor penting yang mempengaruhi keputusan seseorang (Sumarwan,
2002).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dipandang penting untuk
mengetahui pengetahuan dan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan sikap
ibu rumah tangga dalam menggunakan bahan bakar LPG. Untuk itu diperlukan
informasi tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi dan sikap ibu
rumah tangga dalam program konversi minyak tanah ke LPG, serta faktor-faktor yang
12
mempengaruhi ibu rumah tangga dalam menggunakan bahan bakar LPG, sehingga
menimbulkan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana upaya sosialisasi konversi minyak tanah yang dilakukan pemerintah
di desa Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor.
2. Bagaimana pengetahuan ibu rumah tangga mengenai bahan bakar LPG kemasan
3 kg.
3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi persepsi dan sikap ibu rumah tangga
terhadap bahan bakar LPG kemasan 3 kg.
4. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi ibu rumah tangga dalam menggunakan
bahan bakar LPG kemasan 3 kg.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi dan menginventarisasi upaya sosialisasi konversi minyak tanah
yang dilakukan pemerintah di Desa Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang.
2. Mengidentifikasi pengetahuan ibu rumah tangga di Desa Leuwiliang, Kecamatan
Leuwiliang mengenai bahan bakar LPG kemasan 3 kg
3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan sikap ibu rumah
tangga di Desa Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang terhadap bahan bakar LPG
kemasan 3 kg.
4. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penggunaan bahan bakar
LPG kemasan 3 kg di Desa Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang.
13
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh
Badan Pengelola Kegiatan Hilir Minyak dan Gas (BPH MIGAS) Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral (DESDM) Republik Indonesia dan instansi terkait
merumuskan alternatif strategi sosialisasi konversi minyak tanah ke LPG dalam
upaya meningkatkan penggunaan bahan bakar LPG kemasan 3 kg dilingkungan
keluarga.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini akan mengidentifikasi dan menganalisis pengetahuan, persepsi
dan sikap serta faktor-faktor yang mempengaruhi ibu rumah tangga terhadap
penggunaan bahan bakar LPG. Untuk dapat memberikan gambaran secara umum
mengenai faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan ibu rumah tangga dalam
menggunakan bahan bakar LPG kemasan 3 kg, faktor yang dijadikan pertimbangan
adalah karakteristik individu/keluarga : umur, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran
rumah tangga, jumlah anggota keluarga, jarak/akses tempat tinggal ke pasar
kecamatan, persepsi dan sikap terhadap bahan bakar LPG. Responden yang dijadikan
objek contoh dalam kajian ini adalah ibu rumah tangga sasaran program konversi
minyak tanah ke LPG bertempat tingal di Desa Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat.