ibadah

27
BAB I PENDAHULUAN Ibadah adalah masalah terpokok dalam ajaran agama islam, karena hakekat diciptakannya manusia di muka bumi ini adalah untuk beribadah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-dzariyat 56 : “ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” Ibadah merupakan pengabdian dan dedikasi terhadap semangat hidup yang bertujuan untuk mendapatkan keridhaahn Allah SWT, karena Allah SWT-lah yang telah menciptakan dan memberi kehidupan kepada manusia dan makhluk lainnya. Perlu ditegaskan bahwa ibadah merupakan hak Allah SWT atas hamba-Nya. Yang dijelaskan dalam sebuah dialog antara Rasulullah SAW dengan seorang sahabat yaitu Mu’az bin Jabal (W.18H/639M) sebagai berikut : “ Wahai Mu’az tahukah engkau tentang hak Allah terhadap hamba- hambaNya? “ Jawab Mu’az “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahuinya”. Rasulullah menjelaskan: “Hak Allah atas hamba-hambanya adalah mereka (hamba) menyembah (beribadah) 1

Upload: fadhila-yukers

Post on 25-Oct-2015

222 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ibadah

BAB I

PENDAHULUAN

Ibadah adalah masalah terpokok dalam ajaran agama islam, karena

hakekat diciptakannya manusia di muka bumi ini adalah untuk beribadah.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-dzariyat 56 :

“ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

mengabdi kepada-Ku”

Ibadah merupakan pengabdian dan dedikasi terhadap semangat hidup yang

bertujuan untuk mendapatkan keridhaahn Allah SWT, karena Allah SWT-lah

yang telah menciptakan dan memberi kehidupan kepada manusia dan makhluk

lainnya.

Perlu ditegaskan bahwa ibadah merupakan hak Allah SWT atas hamba-

Nya. Yang dijelaskan dalam sebuah dialog antara Rasulullah SAW dengan

seorang sahabat yaitu Mu’az bin Jabal (W.18H/639M) sebagai berikut :

“ Wahai Mu’az tahukah engkau tentang hak Allah terhadap hamba-hambaNya? “

Jawab Mu’az “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahuinya”. Rasulullah

menjelaskan: “Hak Allah atas hamba-hambanya adalah mereka (hamba)

menyembah (beribadah) kepada-Nya dan tidak menyekutukannya”. (HR. Bukhari

dan Muslim)

1

Page 2: Ibadah

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi, Urgensi dan Kedudukan Ibadah

Definisi Ibadah

Secara etimologi Ibadah berasal dari kata ‘abada-ya’budu-‘ibadatan yang

berarti mengesakan, beribadah menyembah dan mengabdi1 kepada Allah SWT.

Ibadah juga dapat bererti ta’at, tunduk, menurut, mengikut dan juga do’a2.

Beberapa pengertian tersebut di ambil dari ayat-ayat Al-Qur’an diantaranya QS.

Yasin, An-Nisa dan Al-Mu’min.

Secara terminologis definisi ibadah dikemukakan oleh para ulama yaitu 3:

1. Menurut ulama Tauhid, Tafsir dan Hadis, Ibadah mempunyai makna “tauhid”,

mengesakan Allah, menta’zhimkan-Nya dengan sepenuh-penuhnya takhzim serta

menghinakan diri kita dan menundukkan jiwa kepada-Nya. Tauhid adalah

mengesakan Allah, Tuhan yang disembah serta mengi’tikadkan pula keesaan pada

zat-Nya dan pada pekerjaan-Nya. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :

“ Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan

seuatupun “ (An-Nisa:36)

2. Menurut ulama Akhlak, Ibadah adalah mengerjakan segala sesuatu dengan

ketatan badan dan menegakkan syariat (hukum). Yang dimaksud dengan

mengerjakan segala sesuatu dengan ketatan badan dan menegakkan syariat yaitu

berperilaku akhlakul karimah dalam berbagai bentuk kehidupan, baik terhadap

diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bernegara.

1 Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-lughah wa al-I’lam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1987,h. 487. Bandingkan dengan Habsi al-Shiddieqy, kuliah ibadah, Jakarta:Bulan bintang, 1968, cet. IV, H.7. lihat pula ensiklopedia Hukum islam, Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Hove, 1997, Jilid II, h.592

2 Lihat Hasbi al-Shiddieq, Kuliah Ibadah, dan bandingkan dengan Ensiklopedia Hukum Islam, h.592

3 Lihat Hasbi al-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, h. 7-10. Lihat juga Himpunan Putusan Tarjih , h.277

2

Page 3: Ibadah

3. Menurut ulama Tasawuf, Ibadah adalah seorang mukalaf mengerjakan sesuatu

yang berlawanan dengan keinginan hawa nafsunya untuk membesarkan tuhannya.

Mereka mengartikan ibadah dengan menepati segala janji yang ditepati Allah,

memelihara segala batas ketentuan serta meridho’i segala yang ada, dan bersabar

terhadap sesuatu yang tidak diperolehnya atau bersabar akan sesuatu yang telah

hilang.

Para ulama tasawuf membagi ibadah menjadi 3 bagian yaitu :

Beribadah kepada Allah karena mengharap benar akan memperoleh pahala-

Nya, atau karena takut akan siksa-Nya.

Beribadah kepada Allah karena memandang bahwa ibadah itu perbuatan mulia

yang dilakukan oleh orang yang mulia jiwa-Nya.

Beribadah kepada Allah karena memandang bahwa Allah berhak disembah

dengan tidak memprdulika apa yang akan diterimanya atau diperoleh dari-Nya.

4. Menurut Fuqaha’ (para ulama fiqih), Ibadah adalah apa-apa yang dikerjakan

untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharap pahala di Akhirat. Ibadah dalam

hal ini diartikan ‘al-qiyamu bi haqqihi ta’ala” (mengerjakan semua hak Allah).

5. Dalam Ensiklopedia Hukum Islam dikemukakan bahwa Ulama mahzab Syafii

mengartikan Ibadah adalah perbuatan yang dibebankan Allah SWT kepada

hambanya yang tidak selamanya sesuai dengan keinginan yang bersangkutan. Dan

menurut ulama mahzab Hanafi, ibadah adalah perbuatan mukallaf untuk melawan

hawa nafsunya dalam rangka menggangungkan Allah SWT.

6. Menurut Ibnu Taimiyah (Seorang pembaharu Islam, Yusuf Qardlawi (pemikir

islam kontemporer) dan Syekh Abu al-Ainain Badran (ahli fikih dari mesir),

Ibadah adalah ketatan dan ketundukan yang sempurna.

7. Menurut Yusuf al-Qardlawi secara tersendiri, Ibadah sebagai nama bagi semua

yang akan membuat Allah SWT senang dan ridha, baik yang terdiri atas perkataan

maupun perbuatan, baik yang bersifat lahir maupun batin dan hanya ditujukan

kepada Allah SWT tidak kepada yang lain.

3

Page 4: Ibadah

Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ibadah mencakup semua

aktifitas yang dilakukan manusia yang disenangi Allah SWT dan diridhai-Nya,

baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang bersifat lahiriah

maupun batiniyah. Berdasarkan penjelasan Ibnu Taimiyah tersebut, Yusuf Al-

Qardlawi mengatakan bahwa segenap aspek kehidupan manusia bernilai ibadah.

Muhammad Abduh berpendapat, perbedaan beribadah kepada Allah SWT dengan

ibadah kepada selain Allah SWT bukan terletak pada tingkatan kedudukan dan

ketaatan tapi pada munculnya perasaan tunduk dan taat tersebut. Apabila sumber

dan penyebabnya adalah sesuatu yang bersifat lahiriyah seperti kekutan dan

kekuasaan yang bukan dari Allah SWT maka bukan merupakan ibadah. Apabila

sumber ketundukan dan ketaatan berasal dari suatu keyakinan (al-‘itiqad) bahwa

yang disembah (Al-Ma’bud) yaitu Allah memiliki keagungan, maka disebut

ibadah4.

Urgensi Ibadah

Beribadah pada hakekatnya ditujukan kepada Allah SWT, tetapi Allah tidak

memiliki kebutuhan dan kepentingan apapun terhadap perbuatan hamba-hamba-

Nya. Allah menegaskan hukum atau aturan-aturan tentang ibadah dan tata

caranya, namun kepentingan maupun manfaat ibadah (orang yang melakukan

ibadah) itu sendiri. Bahwa hakekat ibadah adalah ketundukkan, kepatuhan,

kecintaan yang sempurna kepada Allah SWT.

Ketundukan dan kepatuhan ini akan melahirkan :

1. Kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT dan

harus mengabdi dan menyaembah kepada-Nya, sehingga ibadah menjadi

tujuan hidupnya5

2. Kesadaran bahwa sesudah kehidupan didunia ini akan ada kehidupan di

akhirat sebagai masa untuk mempertanggung jawabkan pelaksanaan perintah

Allah SWT selama menjlani kehidupan di dunia6

4 Lihat Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hove, 1997, jilid IIh.5935 Lihat QS.Al-Dzariat /51:566 Lihat Qs. Al- Zalzalah/99:7-8

4

Page 5: Ibadah

3. Kesadaran bahwa dirinya diciptakan Allah SWT bukan sebagai pelengkap

alam semesta, tetapi justru menjadi sentral alam semesta.7

Allah mewajibkan manusia untuk selalu beriman dan membersihkan hati

dari perbuatan syirik. Diwajibkan shalat untuk mensucikan diri dari ketakutan.

Diperintahkan berzakat agar mensucikan jiwa serta dapat menumbuhkan harta

atau menambah rezeki. Diperintahkan berpuasa untuk menguji keikhlasan

manusia. Diperintahkan silahturahmi untuk menciptakan persaudaraan, persatuan

dan kesatuan umat Islam. Mewajibkan berlaku taat agar memperoleh nilai yang

tinggi di hadapan Allah 8

Dengan demikian, agar kita mampu mengambil hikmah dari pelaksanaan

ibadah,hendaknya kita pelajari berbagai macam hikmah ibadah tersebut. Apabila

kita mengetahui hikmah ibadah, ibadah kita akan terasa lebih khusyu’ dan ikhlas.

Kedudukan Ibadah

Ibadah merupakan suatu hal yang prinsipil dan menjadi ciri khas setiap

orang yang beragama. Maka, berbeda agama berbeda pula cara peribadatannya.

Pelaksnaan ibadah sangat berkait dengan faktor keimanan atau keyakinan dan

juga tidak terlepas dari akhlak atau perilaku, serta berhubungan erat dengan

mu’amalah atau persoalan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Dalam sistem ajaran islam, terdapat persoalan-persoalan yang prinsip yaitu :

akidah, ibadah, akhlak dan muamalah. Antara yang satu dengan yang lainnya

tidak dapat dipisahkan, saling terkait dan berjalin berkelindan. Ajaran islam

sangat mendambakan kehidupan sosial yang penuh kedamaian, saling

menolong(ta’awun), saling mengingatkan (tawashaw), dan menjalin hidup penuh

rasa persaudaraan (ukhuwwah).

Iman tanpa ibadah tidak memiliki bentuk. Ibadah tanpa akidah laksana

bangunan yang rapuh, tidak kokoh. Ibadah tanpa diiringi perbuatan baik /

akhlakuk karimah bagaikan pohon tak berbuah atau sayur tanpa garam. Karena

77 Lihat Qs. Al- Baqarah/2 :298 Lihat Hasbi Al- Shiddieqy yang mengutip sebuah Atsar, Kuliah Ibadah,h.

5

Page 6: Ibadah

posisi ibadah merupaka suatu hal yang prinsip dalam islam, tanpa mengamalkan

ibadah tidak akan dinyatakan sebagai orang islam. Ibadah merupakan perwujudan

ketaatan dan ketundukkan serta kecintaan makhluk kepada khaliknya.

B. Tujuan, Macam-macam dan Prinsip Ibadah

Tujuan Ibadah

Allah SWT menciptakan manusia dimuka bumi ini sebagai “khalifah”, yang

mengemban misi untuk menjadi pemimpin, pengelola, pemakmur dan pemelihara

keselamatan alam semesta. Allah juga telah menganugerahkan manusia sebuah

perangkat istimewa yaitu berupa ilmu pengetahuan dan akal pikiran yang

membedakan dari makhluk tuhan lainnya.

Dengan bekal ilmu pengetahuan, manusia melaksanakan amanat yang

diperintahkan Allah SWT, sehingga memperoleh kedudukan yang sangat tinggi

bahkan melebihi kedudukan malaikat sekalipun. Hanya saja selain manusia

memiliki potensi kebaikan, juga memiliki potensi keburukan (seperti Zhalim dan

Jahil) yang akan menjurumuskan kedalam jurang yang paling dalam. Dan

keadaan manusia yang dilingkupi hawa nafsu akan menempatkan dirinya dalam

posisi yang sangat rendah, bahkan lebih rendah dari makhluk Allah yang paling

rendah (binatang).

Beberapa nash al-Qur’an tentang tugas dan fungsi manusia serta kedudukan

mereka :

“Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “

Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi... Dan dia

mengajarkan kepada Adam nama (benda-benda) seluruhnya,...” (QS. Al-baqarah:

30-31)

“ Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan

gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka

khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.

Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (QS.Al-Ahzab:72)

6

Page 7: Ibadah

“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang

sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ketempatnyang serendah-

rendahnya (neraka)”. (QS.At-Tin :4-5)

Manusia terdiri dari 2 unsur yaitu jasmani dan rohani, yang harus

berkembang dengan baik dan seimbang. Unsur jasmani yang memiliki sifat

material seperti sandang, papan, dan pangan. Sedangkan unsur rohani bersifat

immateri yang membutuhkan sesutau yang bersifat immaterial seperti ajaran

akhlak, kesenian dan agama.

Jika manusia dalam kehidupan hanya mementingkan unsur jasmani saja,

maka akan menjadi materialistik. Sebaliknya, jika hanya mementingkan unsur

rohani saja, maka akan menjadi immaterialistik atau spiritualistik. Tuntutan ajaran

islam tidak mementingkan ajaran islam saja, namaun sekaligus kedua-duanya.

Islam mengandung ajaran yang berwawasan dunia dan akhirat, dan tidk

memisahkan antara dunia dan akhirat. Allah menjadikan manusia bukan untuk

sekedar hidup di dunia kemudian mati tanpa pertanggungjawaban manusia,

sebagaimana dalam firmannya:

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kami menciptakan

kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepda

kami ?”. (QS. Al-Mu’minun:115)

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).

Sehingga diperlukan manusia yang bertaqwa yang mematuhi segala perintah dan

meninggalkan segala larangan Allah. Karena manusia yang bertaqwa memiliki

akhlak yang mulia yang dapat memberikan kebaikan-kebaikan, memeliharadan

menyelamatkan alam semesta sehingga islam sebagai rahmat bagi seluruh alam

akan dapat terwujud.

Terwujudnya rahmat bagi seluruh alam semesta merupakan tujuan dari

ibadah itu sendiri. Tapi perlu ditegaskan bahwa ibadah hanya sebagai washilah

7

Page 8: Ibadah

(perantara,metode atau cara), maka perwujudan ibadah berlebih-lebihan tidak

dibenarkan menurut ajaran islam9.

Macam-macam Ibadah

Ibadah terdiri atas beberapa macam tergantung sudut pandang yang

digunakan dalam memandangnya, diantaranya:

1. Ditinjau Secara Umum

Ibadah khassah (ibadah khusus) atau ibadah mahdlah

Ibadah khusus yaitu segala kegiatan yang ketentuannya ditetapakan oleh

syaria’at (Al-Qur’an dan Al-Sunnah) mulai dari ketentuan umum hingga

ketentuan rinci. Ibadah dalam arti khusus ini tidak menerima perubahan, baik

penambahan maupun pengurangan contohnya seperti shalat. Ketentuan shalat

tentang berapa raka’atnya, kapan waktunya, bagaimana tata caranya adalah sesuai

dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Kecuali hal-hal yang

berkenan dengan sarana ibadah shalat karena masalah sarana tidak termasuk

ibadah.

Ibadah ‘ammah (ibadah umum) atau ibadah ghairu mahdlah

Ibadah umum ketentuannya secara garis besar ditetapkan oleh syariat tetapi

rincian pelaksanaanya diserahkan epenuhnya kepada manusia sesuai dengan

situasi, kondisi dan kemampuan manusia itu sendiri. Ibadah dalam artian ini

adalah segala macam bentuk perbuatan manusia secara umum, asalkan

mengandung hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi semua pihak serta ditujukan

karena Allah semata. Contohnya seperti tolong-menolong, dan kasih-mengasihi.

2. Ditinjau dari Segi Pelaksanaanya

Ibadah jasmaniyah-ruhaniyah

Ibadah yang pelaksanaanya memerlukan kegiatan fisik disertai jiwa yang

tulus ikhlas kepada Allah, contohnya: shalat dan puasa.

9 Lihat dan bandingkan dengan Djaelani Husnan dkk, Kuliah Ibadah, Jakarta: IKIP Muhammadiyah Press, 1997,h.15

8

Page 9: Ibadah

Ibadah ruhaniyah-maliyah

Ibadah yang pelaksananya seperti perbuatan mengeluarkan sesuatu harta

yang menjadi hak miliknya yang diiringi niat ikhlas semata karena Allah,

contohnya: Ibadah zakat.

Ibadah jasmaniyah-ruhaniyah-maliyah

Ibadah yang memerlukan kegiatan fisik dengan melakukan beberapa bentuk

amalan, dan perlu mengeluarkan biaya sebagai ongkos perjalanannya, serta

diniatkan untuk memenuhi panggilan Allah. Contohnya: Naik Haji

3. Ditinjau dari Segi Kepentingannya

Ibadah fardiy

Bentuk ibadah yang manfaatnya hanya dapat dirasakan oleh orang yang

melakukannya saja, dan tidak ada hubungannya dengan orang lain. Ibadah ini

memeiliki hubungan hanya antara manusia dengan tuhannya, seperti Shalat dan

Puasa.

Ibadah ijtima’iy

Ibadah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh yang mengerjakan ibadah

tersebut, juga mengandung aspek sosial yakni dapat dirasakan langsung oleh

orang lain, seperti Zakat. Ibadah jenis ini memiliki hubungan antara manusia

dengan tuhannya (hablum minallah) juga memilii hubungan antara sesama

manusia (hablum minannas).

4. Ditinjau dari Segi Waktu Pelaksanaanya

Ibadah muwaqqat (terikat waktu)

Ibadah yang waktu pelaksanaanya sangat terikat oleh waktu yang telah

ditetapkan oleh Allah Rasul-Nya. Apabila melaksaakannya diluar waktu yang

ditetapkan, maka nilainya akan menjadi hampa, atau menjadi tidak sah scara

hukum, bahkan dianggap berdosa. Misalnya, Shalat dan Puasa.

Setiap shalat memiliki waktu-waktu tertentu, artinya tiap-tiap shalat

dilaksanakan pada waktunya masing-masing. Begitu juga dengan puasa, waktunya

telah ditetapkan pada bulan Ramadhan dan ibadah haji pada bulan dzulqaedah.

9

Page 10: Ibadah

Ibadah ghairu muwaqqat (tidak terikat waktu)

Ibadah yang waktu pelaksanaanyatiadak tergantung dengan waktu-waktu

tertentu, selama diizikan Allah hal itu dapat dilakukan. Contohnya, bertasbih,

berzikir dan bersedekah. Tapi dalam pelaksanaanya ada yang afdhal (diutamakan)

waktunya yaitu pada bulan ramadhan.

5. Ditinjau dari Segi status Hukum

Ibadah Wajib

Ibadah yang harus dilaksanakan, bagi pelanggarnya dianggap berdosa dan

akan memperoleh siksa Allah SWT. Contohnya: Shalat lima waktu, puasa

Ramadhan, zakat dan haji.

Ibadah sunnah

Ibadah yang dianjurkan pelaksanaanya, pelaksanaanya akan memperoleh

pahala dari allah SWT, namun bagi yang tidak melaksanakannya tidak dianggap

berdosa. Contohnya: shalat sunnat rawatib, sedekah,dan lain-lain.

6. Ditinjau dari Segi Bentuk dan Sifat

Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan, contohnya: berzikir, berdo’a, tahmid

dan memebaca Al-Qur’an.

Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya. Contohnya:

menolong orang lain, jihad dan mengurus jenazah.

Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya.

Contohnya: shalat, puasa, zakat dan haji.

Ibadah yang tata cara dan pelaksanaanya berbentuk menahan diri. Contohnya:

puasa, iktikaf dan ihram.

Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak. Contohnya: mema’afkan orang

yang melakukan kesalahanterhadap dirinya dan membebaskan seseorang yang

berutang kepadanya.

Prinsip Ibadah

10

Page 11: Ibadah

Prinsip ibadah yang akan dibahas dibatasi hanya ibadah khashshah dan

ibadah mahdah saja. Prinsip-prinsipnya adalah sebagai berikut:

1. Ada perintah dan ketentuan

Islam tidak memberikan otoritas kepada manusia untuk turut menentukan

ibadah, kecuali nabi utusan-Nya. Dalam melakukan ibadah kepada Allah manusia

tidak mempunyai kekuasaan untuk menentukannya, bahkan sebaliknya manusia

terikat pada ketentuan-ketentuan yang diberikan Allah dan Rasul-Nya. Berbeda

halnya dengan mu’amalah (masalah keduniaan), terdapat kelonggaran yang

demikian luas bagi manusia untuk menentukannya.

Dalam suatu qaidah ushul dikemukakan sebagi berikut:

“Ashal (hukum pokok) terhadap ibadah itu batal atau haram (tidak boleh

dikerjakan) sehingga ada dalil yang memerintahkannya”.

“Ashal (hukum pokok) dari segala sesuatu adalah boleh sehingga terdapat dalil

yang mengharamkannya”.

2. Meniadakan Kesukaran Dan Tidak Banyak Beban

Keseluruhan ibadah dalam syari’at tidak ada yang menyukarkan dan

memberatkan mukallaf. Semua ibadah berada dalam batas kewajiban dan berjalan

dengan kadar kesanggupan manusia. Prinsip ini sebagaimana diterangkan Allah

dalam Al-Qur’an berikut:

“...Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran...” (QS. Al-

baqarah:185)

“Allah tidak mebebani seseorang melainkan sesuai dengan

kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kejahatan) yang di usahakannya dan

ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. (QS.Al-baqarah:286)

Seperti ibadah shalat bagi yang tidak mampu melaksanakanya karena sakit,

diperbolehkan shalat dengan cara berbaring. Demikian pula dengan puasa bagi

yang sedang melakukan perjalanan jauh, maka boleh berbuka (tidak berpuasa) dan

harus membayar puasa tersebut sebanyak yang ditinggalkannya.

11

Page 12: Ibadah

3. Hanya Allah yang Berhak Disembah

Terdapat keanekaragaman dalam tata cara pelaksanaan serta bermacam-

macam tujuan ibadah, yang membuktikan bahwa keanekaragaman itu tidak

berasal dari satu sumber. Oleh karena itu, ajaran Islam yang disampaikan oleh

nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir dan memperoleh wahyu terakhir

pula, menegaskan bahwa satu hal yang mutlak dalam hidup beragama bahwa

hanya Allah saja yang berhak disembah.

4. Tanpa Perantara

Islam sebagai agama lebih mempertegas bahwa hubungan agama dengan

tuhan (melalui ibadah) tidak perlu dengan perantara apa-apa dan melalui siapa

pun. Manusia harus melakukan langsung dengan Allah SWT.

Begitu dekatnya Allah dengan manusia, Allah sendiri yang menyatakan

secara langsung di dalam Al-Qur’an bahwa ia lebih dekat dari urat leher10. Hal ini

menunjukkan bahwa islam mengajarkan hubungan langsung dengan Allah dalam

beribadah.

5. Ikhlas Dalam Beribadah

Dalam beribadah harus disadari dengan niat yang tulus, semata-mata hanya

mengharap ridha Allah. Dalam hadis nabi dinyatakan bahwa segala sesuatu itu

tergantung dar niatnya (innama al-a’amal bi al-niat). Dalam Al-Qur’an

dinyatakan bahwa orang-orang ahli kitab hanya untuk beribadah kepada Allah

dengan niat yang tulus dan murni, taat kepada Allah dan menjauhi kemusyrikan

serta mendirikan shalat dan menunaikan zakat.

Niat yang tulus murni adalah ikhlas dalam istilah ajaran islam. Oleh karena

itu ikhlas adalah sikap jiwa yang menjadi landasan atau sendi dalam beribadah.

Dengan ikhlas itu manusia akan terhindar dari perbuatan sesat dantindak

kemusyrikan yang merupakan dosa terebesar yang tidak akan diampuni.

C. Hubungan Ibadah Dengan Akhlak

10Lihat Qs. Qaf/50: 16

12

Page 13: Ibadah

Pada hakekatnya, manusia diperintahkan supaya mengabdi kepada allah

SWT, sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk mengabaikan kewajiban

beribadah kepada-Nya.11 Ibadah merupakan inti ajaran islam yang mengandung

makna adanya penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah. Manusia

yang telah menyatakan dirinya sebagai muslim dituntut senantiasa melaksanakan

ibadah sebagai petanda keikhlasan mengabdikan diri kepada-Nya. Tanpa ketaatan

beribadah, berarti pengakuannya sebagai eorang muslim perlu dipertanyakan.

Ibadah secara ritus atau tindakan ritual mempunyai dimensi eksetoris

(simbol), yakni kaifiat atau manasik ibadah yang harus dilaksanakan menurut

tuntunan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Disamping itu, ibadah juga

mengandung dimensi esoteris yakni esensi (inti sari) dan substansi (hakikat)

ibadah, yang hanya dipahami oleh beberpa orang tertentu saja.12 Dalam banyak

isyarat Al-Qur’an dan Al-Sunnah, dimesi esotoris ini menjadi lebih penting tanpa

meninggalkan dimensi eksetorisnya karena merupakan ruha ibadah.

Dimensi Eksetoris Ibadah

Ibadah memiliki prinsip adanya perintah dan ketentuan yang telah

ditetapkan oleh syari’at. Sebagai misalnya, Allah memerintahkan orang-orang

beriman untuk mengamalkan shalat sedangkan tata caranya mengikuti petunjuk

Rasul-Nya. Pelaksanaan shalat sesuai dengan petunjuk Rasul, sebagaimana cara

berdiri, ruku’, sujud dan duduk serta bacaanya dengan baik dan benar adalah

makna eksoteris ibadah.

Perintah dapat berupa suruhan maupun larangan sedangkan ketentuan

adalah adalah ketetapan berupa hukum, waktu dan tata cara semuanya tidak boleh

bertentangan dengan perintah dan ketentuan tersebut. Apabila terjadi

penyimpangan dari perintah dan ketentuan, maka akan menjadikan ibadah itu

tergelincir kepada sikap primitif dalam mengekspresikan ketundukkanya kepada

al-Khaliq (Pencipta).

11 Lihat Qs. Al-Dzariyat/51: 56

12 John M.Echols Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1990, h.218

13

Page 14: Ibadah

Oleh karena itu, dimensi eksoterik (khususnya dalam ibadah mahdhah)

pelaksanaanya haruslah berdasarkan perintah dan ketentuan dari nash (syaria’at),

berdasarkan petunjuk dari Allah yang tercantum dalam al-Qur’an, serta mengikuti

praktek perbuatan rasul yang menjadi suri tauladan umat manusia. Bahwa dalam

melaksanakaan ibadah (mahdhah) tidak boleh disusupi unsur bid’ah, yakni

mengada-ngadakan yang tidak berdasarkan tuntunan Rasulullah SAW. Jadi,

dimensi eksoteris dalam beribadah adalah mengamalkan praktek ibadah, yang

bersifat lahiriah sesuai dengan tuntunan syari’at.

Dimensi Esoteris ibadah

Pengalaman ibadah seharusnya tidak sekedar berdimensi eksoteris, yang

hanya bersifat simbolik dan lahiriah namun hendaknya sampai kepada

pemahaman dan penghayatannya. Pemahaman dalam ibadah adalah memahami

makna-makna dan nilai-nilai dari esensi ibadah, sedangkan penghayatan ibadah

adalah melakukan apresiasi dan ekspresi ibadah dengan diiringi perbuatan-

perbuatan yang bersifat aplikatif yang sejalan dengan hakikat dan hikmah ibadah.

Ibadah yang dilakukan manusia harus bermakna didalam kehidupan

kesehariannya. Bila pengalaman ibadah tidak memiliki makna, maka amalan

ibadah secara eksoterik tidak akan membawa manfaat , baik bagi dirinya maupun

sesama.

Ibadah dalam dimensi esoteris lebih tertuju kepada kandungan makna

ibadah itu sendiri diiringi rasa keikhlasan untuk mendapat ridha ilahi. Pelaksanaan

ibadah harus mencapai esensi dan hakikat tujuannya, yang akan memberi dampak

positif bagi si pelaku sendiri maupun lingkungan sekitarnya.

Dari uraian diatas, makna ibadah tidaklah semata dilakukan dalam satu

dimensi saja. Kedua-duanya harus seiring dan sejalan. Bila hanya berdimensi

eksoteris, maka ibadah tidak memiliki makna dan tidak memperoleh hakikat

tujuan ibadah itu sendiri. Namun jika hanya mengamalkan ibadah esoteris saja

juga dianggap tidak sah, sebab ibadah itu harus secara lahiriahpraktek

perbuatannya dilakukan sesuai dengan petunjuk dan tuntunan syariat.

14

Page 15: Ibadah

Hubungan ibadah dengan akhlak walaupun tidak tepat benar dapat ditarik

suatu kesamaan pandangan bahwa pengamalan ibadah tidak berdiri sendiri, baik

dari segi lahiriah maupun kandungan jiwa ibadah tersebut. Ibadah dan akhlak satu

dengan lainnya menyatu dan seharusnya demikian, antara satu dengan lainya tidak

terpisahkan. Dalam melakukan ibadah mengandung implikasi akhlak . Demikian

halnya dengan berakhlakul karimah merupakan efek atau akibat melakukan ibdah

yang teratur, baik dan benar.

Setelah memahami makna eksoteris dan esoteris ibadah, maka dalam

mempraktekkan ibadah akan timbul suatu kesadaran terhadap aplikasi dan

implikasi amaliah ibadahnya, baik terhadap dirinya maupun masyarakat

sekitarnya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ibadah adalah segala bentuk ucapan dan perbuatan manusia yang ditujukan

kepada Allah SWT dalam rangka ketaatan dengan mematuhi perintah-Nya

15

Page 16: Ibadah

mengharapkan ridha dan pahala-Nya dan mengagungkan-Nya, sekaligus

menundukkan dan serta menghambakan diri sebagai rasa cinta kepada-Nya

Hakikat tujuan beribadah adalah untuk mencapai ridha Allah dalam rangka

taqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya. Kaitan implikasi ibadah bagi

perwujudan kesejahteraan dan kebahagiaan kehidupan di dunia, ditujukan untuk

membina jiwa dan akhlak manusia kepada jalan kebenaran yang akan menuntun

kepada perbaikan-perbaikan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa.

Ibadah terdiri atas beberapa macam tergantung sudut pandang yang

digunakan dalam memandangnya, diantaranya:

Ditinjau Secara Umum, seperti :ibadah mahdlah, ibadah ghairu mahdlah

Ditinjau dari Segi Pelaksanaanya, Seperti: Ibadah jasmaniyah-ruhaniyah,

Ibadah ruhaniyah-maliyah, Ibadah jasmaniyah-ruhaniyah-maliyah

Ditinjau dari Segi Waktu Pelaksanaanya, seperti: Ibadah muwaqqat (terikat

waktu), Ibadah ghairu muwaqqat (tidak terikat waktu)

Ditinjau dari Segi status Hukum, seperti: Ibadah Wajib, Ibadah sunnah

Hubungan Ibadah Dengan Akhlak dibagi menjadi dua yaitu:

Dimensi Eksetoris Ibadah

Dimensi eksoterik pelaksanaanya haruslah berdasarkan perintah dan

ketentuan dari syaria’at, berdasarkan petunjuk dari Allah yang tercantum

dalam al-Qur’an, serta mengikuti praktek perbuatan rasul yang menjadi suri

tauladan umat manusia. Dalam melaksanakaan ibadah (mahdhah) tidak

boleh disusupi unsur bid’ah, yakni mengada-ngadakan yang tidak

berdasarkan tuntunan Rasulullah SAW

Dimensi Esoteris

Ibadah dalam dimensi esoteris lebih tertuju kepada kandungan makna

ibadah itu sendiri diiringi rasa keikhlasan untuk mendapat ridha ilahi.

16

Page 17: Ibadah

Pelaksanaan ibadah harus mencapai esensi dan hakikat tujuannya, yang akan

memberi dampak positif bagi si pelaku sendiri maupun lingkungan

sekitarnya.

B. SARAN

Pembuatan makalah ini masih banyak membutuhkan kritik dan saran

untuk dapat memperbaiki dan meningkatkan lagi. Jika masih ada kekurangan

dalam penyusunan makalah ini. Kritik juga dapat membangun kreativitas kami

lebih luas dan lebih baik lagi

17

Page 18: Ibadah

DAFTAR PUSTAKA

Ma’rifat iman KH dkk, Ibadah-Akhlak untuk Perguruan Tinggi, Jakarta:

UHAMKA Press, 2012

Djaelani Husnan dkk, Kuliah Ibadah, Jakarta: IKIP Muhammadiyah Press,

1997

Majelis Tarjih PP.Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih, Jakarta: 1996

Ma’rifat iman KH dan Nandi Rahman, Ibadah Akhlak Tinjauan Eksoteris dan

esoteric, Jakarta: UHAMKA Press,1998

Ensiklopedia Hukum Islam,Jakarta : PT.Ikhtiar Baru van Hove, 1997, jilid II

18