icaseps working paper no. 103pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/wp_103_2010.pdfdi indonesia,...
TRANSCRIPT
ICASEPS WORKING PAPER No. 103
KINERJA DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGANUSAHATERNAK SAPI POTONG:PROSPEK PENGEMBANGAN MELALUIUSAHATERNAK SAPI POTONG RAKYAT
Sri Wahyuni
Maret 2010
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianKementerian Pertanian
1
KINERJA DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN USAHATERNAK SAPI POTONG:
PROSPEK PENGEMBANGAN MELALUI USAHATERNAK SAPI POTONG RAKYAT
Sri Wahyuni
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan PertanianJalan A. Yani No.70 Bogor 16161
ABSTRAK
Pengembangan usahaternak sapi potong rakyat (USPR) diharapkan dapat membantuusaha pemerintah dalam mencapai swasembada daging. Untuk memperoleh prospek kebijakanpengembangan yang tepat perlu difahami: kinerja produksi dan kebijakan pengembangan sapipotong. Hasil kajian menunjukkan Kinerja produksi daging nasional (1990 – 2005) berkembangdari 259 ribu ton menjadi 454 ribu ton namun pangsa terhadap total daging menurun (dari 42%menjadi 24%) sehingga Tahun 2010 diproyeksikan terjadi defisit 279 ribu ton. Tahun 2000diluncurkan kebijakan swasembada daging sapi pada tahun 2005, namun belum berhasilsehingga tahun 2006 diimplementasikan Program “Swasembada Daging 2010”. Dari hasil studiUSPR di Jawa Timur diperoleh fakta, kinerja ekonomi peternakan sapi potong perlu terusdiupayakan melalui pendekatan industri berskala kecil 1, sedang dan besar. Programswasembada USPR mengakomodir dan mensosialisasi ”success story” yang dicapai peternakUSPR yaitu 1) memberi modal sapi bakalan kepada peternak yang dihimpun dalam satukelompok dengan bunga pinjaman tidak lebih dari 1,5 persen/th. 2) SPR dapat berfungsi sebagaipenyediaan jaminan (colateral) untuk pengajuan kredit modal kerja dan (3) meninjau kembali UUberkaitan dengan perpajakan serta UU otonomi daerah melalui penetapan retribusi ternak potongpada berbagai tingkatan wilayah/jalur pemasaran karena tidak kondusif dalam pengembanganagribisnis peternakan.
Kata kunci: Usahaternak Sapi potong Rakyat, kinerja
PENDAHULUAN
Konsumsi produk peternakan agregat nasional masih sangat rendah yaitu daging
6,08 kg, telur 4,47 kg, dan susu 7,28 kg/kapita/tahun untuk tahun 2003 (Ditjennak,
2004). Sementara Indonesia memiliki potensi pasar domestik yang sangat besar di
masa yang akan datang. Antisipasi pasar domestik ini perlu dimanfaatkan sebesar-
besarnya melalui pengembangan peternakan di dalam negeri. Potensi pasar saat ini
diintervensi negara produsen peternakan dunia terbukti misalnya peningkatan pangsa
impor, kasus CLQ, daging dan telur impor ilegal. Pengembangan usahaternak sapi
2
potong rakyat diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran pemanfaatan
potensi pasar domestik sebesar-besarnya bagi peternakan rakyat dalam negeri.
Untuk memperoleh prospek pengembangan yang tepat terlebih dahulu perlu
dipahami tentang: 1) Kinerja ekonomi dan 2) Kebijakan pengembangan sapi potong.
Mengingat kebijakan difokuskan pada usahaternak rakyat dalam negeri maka disamping
informasi di tingkat nasional perlu dipelajari strategi dan kondisi wilayah yang potensial
dalam pengembangan usahaternak sapi potong untuk dijadikan acuan dan
pertimbangan dalam membuat kebijakan.
Di Indonesia, Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki populasi ternak sapi
potong tertinggi 24% dari populasi ternak di Indonesia yang jumlahnya 10 679 504 ekor
(Direktorat Jenderal Peternakan, 2005). Sedangkan untuk tingkat kabupaten Jawa
Timur, populasi tertinggi Sumenep (226.555 ekor) peringkat ke dua Jember (195.951
ekor) dan ke tiga adalah Tuban dengan populasi 150.070 ekor (Dinas Peternakan
Proipinsi Jawa Timur, 2005). Dari ke tiga Kabupaten tersebut, Tuban memiliki posisi
paling strategis dalam lalu lintas ternak maupun daging karena dekat dengan Ibukota
propinsi maupun jalur perdagangan ke Jawa Tengah sehingga informasi terkait
perkembangan usahaternak sapi potong tersebut relevan untuk disimak dan dijadikan
pelajaran.
Makalah ini mengemukakan 1) Kinerja ekonomi (Dinamika produksi, dinamika
konsumsi dan perdagangan) dan 2) Kebijakan pengembangan sapi potong di tingkat
nasional dan Jawa Timur sebagai wilayah yang potensial untuk dijadikan acuuan dan
pertimbangan dalam membuat kebijakan pengembangan usahaternak sapi potong
rakyat (USPR).
KINERJA SAPI POTONG
Dinamika Produksi
Perkembangan produksi daging sapi di Indonesia belum stabil. Sejak tahun 1990
kenaikan produksi sangat kecil namun tren mulai meningkat hingga tahun 2005 kecuali
saat krisis ekonomi tahun 1997-1999 (Tabel-1)
3
Tabel.1. Perkembangan Produksi Daging Sapi, Daging Broiler, dan Telur Ayam Ras diIndonesia, Tahun 1990-2004
TahunProduksi (000 Ton)
Daging Sapi DagingBroiler Total Daging Telur Ayam
Ras Total Telur
1990 259,2 261,4 1027,7 279,8 484
1991 262,2 326,4 1099,1 303,8 510,4
1992 297,0 267,4 1239,2 350,8 572,3
1993 346,3 422,7 1378,3 354,7 572,9
1994 336,5 498,5 1492,9 423,5 688,6
1995 312,0 551,8 1508,2 547 436,1
1996 347,2 605 1632,2 500,6 479,8
1997 353,7 515,3 1555,1 483,1 465
1998 340,7 285 1228,5 266,9 529,8
1999 308,8 294,5 1195,9 357,2 640,4
2000 339,9 515 1445,3 503 783,3
2001 338,7 537 1560,5 537,8 850,3
2002 330,3 751,9 1769,7 614,4 945,7
2003 369,7 771,1 1871,4 611,5 973,5
2004 447,6 846,1 2020,4 762 1107,3
2005 463,8 883,4 2113,2 787,7 1149
Trend (%)
1990-1996 4,66 14,60 7,69 11,06 -0,30
1997-1999 -6,71 -30,25 -13,54 -17,06 16,09
2000-2005 2,30 14,65 8,67 6,85 7,23
1990-2005 1,65 5,57 2,90 4,49 5,00Keterangan : Tahun 2004 = angka sementara
Pada saat krisis ekonomi tren produksi menurun secara drastis hingga minus
6,71%. Salah satu penyebab adalah perusahaan importir sapi bakalan kolaps. Antara
tahun 2000 – 2005 mulai meningkat walau baru mencapai sekitar 50% dari kondisi
sebelum krisis. Secara keseluruhan trend dari tahun 1990 – 2005 sangat menurun
dibanding sebelumnya yaitu 4,66% pada 1990 – 1996 dibanding 1,65%.
Produksi diatas dihasilkan oleh sapi dengan jumlah populasi seperti tercermin
pada Tabel 2, ditambah impor sapi bakalan yang terus meningkat hingga hampir 30%.
4
Tabel 2. Perkembangan Populasi Sapi, Ayam Broiler, Ayam Ras di Indonesia, Tahun1990 – 2005
TahunPopulasi (000Ekor)
Sapi Potong Ayam Broiler Ayam Ras
1990 10410 326612 43185
1991 10667 407908 46885
1992 11211 459097 54146
1993 10829 528159 54736
1994 11367 622965 63334
1995 11534 689467 68897
1996 11816 755956 78706
1997 11939 641374 70623
1998 11634 354004 38861
1999 11276 324347 45531
2000 11008 530874 69366
2001 11138 621870 70254
2002 11298 865075 78039
2003 10504 847744 79206
2004 10533 778970 93416
2005 10680 864246 98491
Trend (%)
1990-1996 1,96 13,29 9,75
1997-1999 -2,85 -36,03 -24,28
2000-2005 -1,24 15,87 4,94
1990-2005 0,17 3,97 3,05Keterangan : Tahun 2004 = angka sementara
Sementara itu perkembangan produksi daging di Jawa Timur (Tabel 3)
menunjukkan peningkatan mulai dari tahun 1990 dengan puncak pata tahun 1998.
Fakta ini menunjukkan bahwa Jawa Timur memiliki daya tahan kuat walaupun kondisi
umum di Indonesia menunjukkan penurunan. Namun kondisi tersebut kemudian
menurun lagi hingga tahun 2002 dimana produksi setara dengan tahun 1990. Salah satu
penyebab utama adalah terjadinya penurunan jumlah sapi lokal akibat pemotongan sapi
yang lebih besar pada tahun sebelumnya.
5
Tabel 3. Perkembangan produksi daging Sapi , broiler dan ayam Ras di Jawa TimurTahun 1990 – 2005
Tahun
Produksi (Ton) Pangsadaging sapi
(%)Daging
SapiDagingBroiler
TotalDaging
TelurAyam Ras
Total Telur
1990 71,28 24,07 171 74,59 96,57 0,417
1991 78,94 27,05 171,88 84,54 106,26 0,459
1992 81,46 39,51 183,19 98,83 121,73 0,445
1993 85,268 59,05 223,174 94,659 117,756 0,382
1994 94,907 68,24 246,931 104,874 141,41 0,384
1995 89,416 38,597 212,934 110,255 148,559 0,420
1996 95,614 38,627 223,679 120,63 152,785 0,427
1997 96,105 125,354 230,765 127,034 161,038 0,416
1998 98,055 71,896 0 38,828 64,663
1999 72,28 39,827 225,327 44,174 70,358 0,321
2000 76,42 72,664 0 93,044 119,476
2001 78,11 74,008 220,696 94,719 131,442 0,354
2002 71,65 101,52 248,212 96,122 133,146 0,289
2003 77,359 142,336 311657 133,226 176,129 0,000
2004 78,069 162,781 334,106 224,399 267,889 0,234
2005 80,711 165,792 342,561 228,887 272,92 0,236
Trend (%)
1990-1996 4,50 13,47 20,26 7,10 35,18 0,222
1997-1999 -66,20 -1,80 -9,57 -59,18 -45,94 6,915
2000-2005 -7,89 3,53 -2,01 10,86 11,43 3,919
1990-2005 -1,02 9,02 6,98 0,75 8,04 -0,146Keterangan : Tahun 2004 = angka sementara
Pangsa daging sapi di Jawa Timur sebanyak 42% pada 1990 dan menurun
menjadi 24% pada 2005 karena adanya substitusi dari daging asal broiler yang terus
meningkat. Penurunan pangsa daging sapi tersebut seirama dengan populasi ternak di
Jawa Timur (Tabel 4) dimana trennya terus menurun dibanding tahun 1990. Seperti
6
telah dikemukakan bahwa penyebab utama adalah terus terkurasnya sapi akibat
pemotongan yang terus meningkat dimana pertambahan permintaaan setiap tahun terus
beningkat sementara untuk menghasilkan sapi agar bisa dipotong minimal memerlukan
waktu 3 tahun.
Tabel 4. Perkembangan Populasi Sapi, Ayam Broiler dan Ayam Ras di Provinsi JawaTimur Provinsi, 1990 – 2005
TahunPopulasi (Ekor)
Sapi Potong Ayam Broiler Ayam Ras
1990 3005059 324174 992280
1991 3062494 364258 112467
1992 3156880 532085 131474
1993 3163096 795080 125931
1994 3328494 826444 136098
1995 3302426 415359 159098
1996 3339260 416107 185400
1997 3382670 156305 240556
1998 3223055 893002 599200
1999 3380547 429041 681893
2000 3312015 880774 143586
2001 3312015 897068 146171
2002 3312015 153818 147027
2003 2516777 185450 143208
2004 2519030 162781 241212
2005 2519534 166037 246036
Trend (%)
1990-1996 1,85 36,06 9,38
1997-1999 -0,03 -58,96 -70,13
2000-2005 -0,08 25,17 -0,02
1990-2005 -0,08 15,07 1,01Keterangan : Tahun 2004 = angka sementara
7
Gambaran kondisi populasi dan produksi daging di Kabupaten Tuban disajikan
Tabel 5. Dati Tabel 5 ditunjukkan bahwa perkembangan populasi ternak sapi di Provinsi
Jawa Timur periode pasca krisis ekonomi taun (2001-2005) mengalami kecenderungan
pertumbuhan yang positif, yakni meningkat 0.08 persen per tahun atau naik dari
2.514.341 ekor tahun 2001 menjadi 2.524.476 ekor tahun 2005. Tampak bahwa
pertumbuhannya relatif kecil, yang disebabkan oleh terkurasnya sapi bakalan dari
Provinsi Jawa Timur ke luar wilayah khususnya DKI Jakarta. Demikian pula di Tuban
pertumbuhannya cenderung negatif yaitu -0,07 persen per tahun. Sementara itu,
perkembangan produksi di tingkat provinsi pada periode tahun 2001-2005 mengalami
pertumbuhan yang negatif, yaitu -2,24 persen per tahun. Berbeda dengan di Tuban,
meskipun populasi menunjukkan pertumbuhan yang negatif, namun dalam
perkembangan pertumbuhan produksi daging mengalami peningkatan sebesar 3,55
persen pertahun. Di Kabupaten Tuban penurunan populasi tejadi pada tahun 2003 dan
2004, sedangkan produksi daging terjadi penurunan di tahun 2002 dan 2004.
Tabel 5. Perkembangan Populasi dan Produksi Daging Ternak Sapi di Provinsi JawaTimur dan Kabupaten Tuban, Tahun 2001- 2005.
TahunJawa Timur Tuban
Populasi(ekor)
Produksi(kg)
Populasi(ekor)
Produksi(kg)
Share untukJatim (%)
2001 2514341 78110461 152869 1181850 1,51
2002 2515439 64934152 152888 1012886 1,55
2003 2516777 70603420 151102 1101316 1,56
2004 2519030 71203804 150070 958240 1,34
2005 2524476 71358140 152372 1633884 2,23
Trend (%) 0,08 -2,24 -0,07 3,55
Sumber: Peternakan Dalam Data, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, 2006
Dinamika Kebutuhan/Konsumsi
Tabel 6 menyajikan perkembangan konsumsi hasil ternak (daging, telur dan
susu) Indonesia, dimana berdasarkan wilayah masyarakat di desa mengkonsumsi lebih
rendah dari pada di kota. Semakin tinggi pendapatan konsumsi semakin meningkat dan
8
masyarakat bermata pencaharian pertanian mengkonsumsi daging paling rendah
dibanding industri/perdagangan dan lainnya.
Di tingkat nasional tingkat konsumsi terjadi penurunan pada tahun 1999
kemudian meningkat lagi pada tahun 2002 dan jika dibandingkan dengan tingkat
konsumsi tahun 2002 maka di Jawa Timur sangat tinggi (0,53 : 1,55) yang berarti 5 kali
lipat. Semakin tinggi pendapatan semakin tinggi tingkat konsumsi daging sapi.
Sedangkan berdasarkan sumber matapencaharian tingkat konsumsi tertinggi oleh
masyarakat bermatapencaharian utama selain pertanian dan industri/pedagangan.
Tabel 6. Tingkat Konsumsi Daging Sapi di Indonesia dan Jawa Timur, Tahun 1996,
1999, dan 2002 (kg/kap/th)
No UraianIndonesia Jawa Timur
1996 1999 2002 1996 1999 2002
1 Merurut Wilayah
Desa 0.30 0.28 0.25 0, 42 0,38 0,32
Kota 1.23 0.77 0.88 1,49 1,00 1,18
Desa + Kota 0,67 0,48 0,53 0,80 0,61 0,69
2 Menurut kelompok Pendapatan
Rendah 0.32 0.23 0.09 0,22 0,21 0,10
Sedang 0.64 0.47 1.43 0,76 0,58 0,53
Tinggi 1.43 1.02 1.66 2,02 1,48 2,21
3 Menurut Sumber Matapencaharian
Pertanian 0.20 0.21 0.21 0,27 0,26 0,25
Industri /perdagangan 0.95 0.64 0.68 1,09 0,75 0,95
Lainnya 1.00 0.67 0.81 1,29 0,92 1,11Sumber: BPS (2003)
Adapun tingkat partisipasi masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi daging
sapi (Desa + Kota) menunjukkan angka partisipasi yang rendah yaitu hanya sebanyak
12,84 pada tahun 1996 dan menurun menjadi 9,20 dan 8,99 masing-masing pada tahun
1999 dan 2002 (Tabel 7). Berdasarkan kelompok pendapatan, semakin tinggi tingkat
pendapatan semakin tinggi tingkat partisipasi sedangkan berdasarkan sumber
pendapatan masyarakat petani berpartisipasi paling rendah dibanding
industri/perdagangan dan lainnya.
9
Tabel 7. Tingkat Partisipasi Konsumsi Daging Sapi di Indonesia, Tahun 1996, 1999,dan 2002 (%)
No UraianIndonesia Jawa Timur
1996 1999 2002 1996 1999 2002
1 Merurut Wilayah
Desa 5,14 4,73 4,05 10,72 8,88 7,18
Kota 20,54 13,67 15,25 34,6 25,45 25,94
Desa + Kota 12,84 9,20 8,99 22,26 17,16 15,55
2 Menurut kelompok Pendapatan
Rendah 5,66 4,21 2,31 5,52 5,26 3,42
Sedang 11,74 8,59 7,76 20,92 15,76 13,44
Tinggi 21,59 16,58 21,62 42,67 33,64 36,86
3 Menurut SumberMatapencaharian
Pertanian 3,46 3,51 3,51 6,86 6,94 5,88
Industri /perdagangan 16,23 11,41 12,02 27,33 19,40 22,69
Lainnya 16,62 11,73 13,22 28,29 21,89 22,57
Sumber: BPS (2003)
Di Provinsi Jawa Timur tahun 2004 – 2005 (Tabel 8) pangan asal ternak yang
tersedia untuk dikonsumsi penduduk cenderung mengalami penurunan, dimana
konsumsi daging adalah 1,55 kg/kapita/tahun. Hal ini dimungkinkan oleh adanya isu flu
burung dan wabah sapi gila dan antrhrax sehingga terjadi penurunan konsumsi,
sementara pada tahun 2004 sebesar 1,79 kg/kapita/tahun atau menurun 13,40 persen.
Demikian pula konsumsi telur menurun 8,95 persen kemudian untuk konsumsi susu
mengalami peningkatan 0,95 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Tabel .8. Perkembangan Konsumsi Daging, Telur dan Susu di Provinsi Jawa Timur,2004-2005
Komoditi Kg/Kap/Tahun2004 2005
1. Daging 1.79 1.55
2. Telur 0.65 0.62
3. Susu 0.19 0.20Sumber: Peternakan Dalam Data, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, 2006
10
Terdapat peraturan pemerintah RI No 12 Tahun 2001 tentang “Impor dan atau
penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis” yang dibebaskan dari
pengenaan pajak pertambahan nilai. Termasuk dalam UU tersebut diantaranya
makanan ternak dan bahan baku pembuatan makanan ternak serta barang hasil
pertanian yaitu yang dihasilkan oleh kegiatan usaha dibidang pertanian (Pasal 1).
Terdapat juga peraturan khusus tentang prosedur pemasukan sapi potong
(Direktorat Budidaya Peternakan, 2004) yang memperjelas tata cara pemasukan ternak
sapi potong bakalan dari luar negeri dan memperlancar pelaksanaan pengawasan lalu
lintas ternak dalam upaya mencegah kemungkinan masuknya dan menyebarnya
penyakit. Prosedur mencakup persyaratan permohonan, pengawasan dan pembinaan
serta ketentuan sangsi. Persyaratan permohonan terdiri dari secara administrasi (11
syarat) dan persyaratan teknis (2 syarat) sedangkan pengawasan dan pembinaan
mengemukakan bahwa: 1) pengawasan peredaran ternak dilakukan oleh Dirjen Bina
Produksi bersama Kadisnak di propinsi dan Kabupaten setempat. 2) Jika ada
Penyimpangan persyaratan teknis maka Karantina hewan harus melapor ke Dirjen Bina
Produksi tembusan ke Kadisnak di propinsi dan Kabupaten setempat. 3) Kadisnak di
propinsi dan Kabupaten melakukan pembinaan terhadap diterapkannya budidaya sapi
potong yang baik. 4) Dirjen Bina Produksi peternakan melakukan monitoring dan
evaluasi secara berkala (Tri wulan) tentang realisasi pemasukan ternak sapi potong
bakalan.
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG
Program Utama
Pemerintah Indonesia memberikan dukungan yang cukup besar terhadap
subsektor peternakan. Berbagai program pengembangan agribisnis sapi potong dengan
program utama diantaranya:
1. Pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Sumatera Barat dan
Sulawesi Selatan bertujuan untuk mengembangkan komoditas unggulan melalui soft
technology (kelembagaan, pemberdayaan masyarakat).
11
2. Integrasi sapi potong dan kelapa sawit di Nanggroe Aceh Darussalam dan Bengkulu
bertujuan untuk mengoptimalisasikan pemanfaatan perkebunan untuk
pengembangan ternak.
3. Intensifikasi sapi potong dan jagung di Gorontalo dan Bengkulu bertujuan untuk
mengoptimalisasikan pemanfaatan lahan untuk pengembangan ternak.
4. Sistem integrasi ternak tahun 2002 di 11 propinsi dan tahun 2003 di 14 propinsi yang
bertujuan meningkatkan produksi daging melalui peningkatan populasi sapi produktif
dan pemeliharaan intensif.
5. Swasembada daging 2005 sebetulnya telah diantisipasi dengan program terobosan
“Gaung”, singkatan dari tiga ung yang mengemukakan tiga prinsip upaya kecukupan
daging sapi pada tahun 2005
6. Swasembada daging tahun 2005 yang diimplementasikan di sentra-sentra produksi
dengan tujuan memenuhi daging nasional.
7. Tahun 2006 Direktorat Jenderal Peternakan memaparkan “Implementasi program
menuju swasembada daging 2010
Dari program-program yang diimplementasikan diatas, Yusdja et al. (2002)
melaporkan bahwa program IB belum mampu mengatasi pesatnya permintaan
kebutuhan konsumsi masyarakat. Sedangkan program INSAP dinilai berhasil dalam hal
realisasi kelahiran pedet hasil IB sebanyak 200.586 ekor dalam tahun 1999/2000
dengan sapi jenis Brahman merupakan jumlah terbesar (61,55%), kedua Ongole
(14,96%), ke tiga sapi Madura (2,18%) dan selebihnya 21,31% merupakan hasil
persilangan dari berbagai ras. Namun demikian jumlah tersebut ternyata belum sesuai
dengan yang diharapkan karena pada peiode tahun 2000 jumlah ternak sapi yang
dipotong 431.108 ekor, belum termasuk sapi potong yang dikirim ke DKI Jakarta, Jawa
Barat dan antar pulau.
Strategi kebijakan swasembada daging sapi tahun 2005 yang dirumuskan tahun
2000 dan berakhir 2004 sebagai berikut: 1) Pengembangan wilayah berdasarkan
komoditas ternak unggulan. 2) Pengembangan kelembagaan petani peternak. 3)
Peningkatan usaha dan industri peternakan. 4) Optimalisasi pemanfaatan dan
pengamanan serta perlindungan sumberdaya alam lokal dan 5) Pengembangan
12
kemitraan yang lebih luas dan saling menguntungkan dan 6) Mengembangkan teknologi
tepat guna yang ramah lingkungan telah dievaluasi dan dikatakan tidak berhasil Yusdja
et al. (2004) karena populasi tidak meningkat, impor sapi bakalan tidak menurun dan
pemotongan sapi lokal terus meningkat (Tabel 9).
Tabel 9. Populasi, Jumlah Pemotongan dan Impor Sapi di Indonesia Tahun 1994 –2000
Tahun Populasi(juta (ekor)
Pemotongan(juta ekor)
Impor sapi bakalan(ribu)
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
10,829
11,368
11,634
11,816
11,939
11,634
11,276
11,008
11,298
11,396
1,55
1,59
1,77
1,66
1,79
1,64
1,70
1,78
1,69
1,79
118
228
389
428
42
157
297
289
428
375Sumber data : Direktorat Jenderal Peternakan (2005)
Secara rinci dikemukakan 4 penyebab kegagalan kebijakan yaitu: 1) Tidak ada
rencana operasional yang rinci melainkan hanya judul dan sasaran. 2) Bersifat top down
dan skala kecil. 3) Implementasi program di sama ratakan dan 4) implementasi tidak
dilaksanakan dengan metode yang memungkinkan evaluasi dampak.
Kurang berhasilnya program swasembada daging 2005 sebetulnya telah
diantisipasi dengan program terobosan “Gaung”, singkatan dari tiga ung yang
mengemukakan tiga prinsip upaya kecukupan daging sapi pada tahun 2005 (Sudrajad
2003) mencakup : 1 Azas kelestarian sumberdaya ternak nasional, 2 . Azas
keseimbangan supply and demand dan 3. Azas kemandirian (mengurangi import).
Namun demikian tampaknya “gaung” belum membuahkan hasil sesuai harapan
sehingga pada tahun 2006 Direktorat Jenderal Peternakan memaparkan “Implementasi
program menuju swasembada daging 2010” (Riady, 2006).
Program Swasembada daging 2010 tersebut di dasarkan pada proyeksi daging
sapi dan program strategis yang dicanangkan (Tabel 10).
13
Tabel 10. Proyeksi Daging Sapi dan Program Strategis yang Dicanangkan
No. Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Populasi sapi riel (000 ek)
Pertumbuhan (%)
Betina produktif (000 ek)
Impor betina produktif (000 ek)
Tunda potong betina (000 ek)
Peningkatan akseptor IB (000 ek)
Kelahiran 65% (000 ek)
Replacement (000 ek)
Pemotongan IB/KA (000 ek)
Produksi daging (000 ek)
Penduduk (juta orang)
Total konsumsi (000 ton)
Neraca kebutuhan (000 ton)
Setara sapi hidup (000 ek)
Populasi ideal (000 ek)
10.679,50
0,30
3.726,81
0
0
0
2.317,33
320,39
1.827,98
263,90
220,33
384,81
(120,83)
(975,16)
12.247,70
10.809,97
1,22
3.772,33
0
0
0
2.345,64
132,06
2.042,56
290,56
223,63
410,94
(120,38)
(971,49)
12.372,30
11.374,47
5,22
4.677,03
400,00
25,00
1.500,00
2.908,17
800,00
1.916,98
327,46
226,99
438,85
(111,39)
(898,94)
12.820,10
12.174,47
7,03
5.024,30
0
25,00
1.500,00
4.039,40
966,53
2.370,70
384,18
230,39
468,65
(84,47)
(681,74)
13.270,80
13.074,47
7,39
5.338,37
0
25,00
1.500,00
4.039,40
966,53
2.850,39
443,12
233,85
500,48
(57,36)
(462,91)
13.818,93
14.041,00
7,39
5.950,82
0
25,00
1.500,00
4.420,22
1.037,98
3.142,24
481,23
237,35
534,47
(53,24)
(429,68)
14.732,02
Untuk memperbaiki implementasi program, dikemukakan langkah-langkah
operasional secara kongkrit yang mencakup: 1) Lokasi pengembangan, 2) Pelaksanaan
Program, 3) Kegiatan pendukung, 4) Infrastruktur Peternakan dan 5) Kebijakan impor.
Lokasi pengembangan tersebar di 18 Propinsi yang dikelompokkan dalam 3 daerah
yaitu prioritas implementasi IB (seluruh Jawa dan Bali),kawin alam (NTT, Sulawesi
Tengah dan tenggara) dan campuran IB dan kawin alam pada propinsi selebihnya.
Pelaksanaan program mencakup kegiatan pokok yaitu: 1) Penambahan
induk/bibit 2) Penyelamatan dan penjaringan ternak sapi betina produktif 3) Penanganan
Gangguan Reproduksi 4) Intensifikasi pelaksanaan inseminasi buatan 5) Intensifikasi
kawin alam (Distribusi pejantan unggul) 6) Pengembangan pakan ternak dan
kelembagaan peternak dan 7) Pengembangan SDM dan Kelembagaan. Adapun
kegiatan penunjang meliputi: 1) Pengembangan kawasan usaha peternakan. 2)
Pelayanan kesehatan hewan. 3) Pelayanan kesehatan masyarakat veteriner. 4)
Penumbuhan kemitraan/swasta dan 5) Fasilitas permodalan usaha yaitu penguatan
modal usaha kelompok (PUMK). 6) program aksi pembibitan. 7) Sarjana membangun
desa dan 8) Pengembangan usaha agribisnis pedesaan (PUAP).
14
Pembenahan infrastruktur peternakan mencakup segmen hulu fokus pada
penyediaan bibit unggul, segmen onfarm fokus pada kesehatan hewan dan pakan
sedangkan segmen hilir fokus pada pengembangan RPH .
Kebijakan impor menekankan bahwa sapi yang boleh diimpor hanya jenis sapi
bibit untuk pengembangan industri dan sapi bakalan dengan berat maksimal 350 kg dan
bukan sapi afkir (Permentan no 7/permentan/OT.140/1/2008. Adapun prinsip impor
daging adalah memenuhi syarat aman dan halal dikonsumsi dan tidak berpotensi
membawa agen penyakit.
Analisis Arah Kebijakan Program
Analisis arah dan kebijakan pengembangan agribisnis peternakan nasional yang
dilakukan Simatupang et al. (2004) menunjukkan beberapa antisipasi sebagai berikut:
(1) Perdagangan global produk peternakan bersifat distortif dan tidak adil sehingga
industri peternakan nasional patut mendapatkan perlindungan dari impor produk
peternakan yang relatif murah; (2) Secara struktural industri peternakan domestik
mengalami kendala produksi, sehingga perlu dipertimbangkan kepada sumber
pertumbuhan ternak ruminansia.
Secara lebih spesifik Yusdja et al. (2004) ; Yusdja dan Ilham (2004) memberikan
arah pengembangan agribisnis sapi potong dan peningkatan produksi daging sapi,
sebagai berikut : (1) Reorientasi struktur pengembangan ternak sapi potong dengan
memberikan prioritas pada daerah sentra produksi yang difasilitasi dengan infrastruktur
pasar hewan, RPH, dan informasi pasar yang akurat; (2) Pengembangan agroindustri
sapi potong melalui peningkatan efektivitas RPH dengan orientasi pasar produk
daging/karkas (bukan ternak hidup) dalam rangka peningkatan daya saing terhadap
produk daging impor; (3) Dibutuhkan kerja sama pemerintah dan swasta dalam
memanfaatkan keunggulan komparatif untuk mencapai keunggulan kompetitif dengan
memberikan kesempatan pada investor (PMDN dan PMA) khususnya dalam
pengembangan ternak bibit dan agribisnis sapi potong, untuk memperbaiki struktur
usaha yang selama ini didominasi usahaternak rakyat; (4) Jumlah impor sapi bakalan
harus mempertimbangkan tingkat pengurasan dan tingkat kemampuan produksi dalam
negeri, sehingga harus mengacu pada analisis suplai (di wilayah sentra produksi) dan
permintaan (di wilayah sentra konsumsi) dalam negeri; (5) Memberikan peluang
15
investasi yang lebih besar pada perusahaan peternakan (kecil, menengah, dan besar),
dan menjadikan usaha rakyat sebagai bumper, sehingga industri peternakan modern
dapat dilakukan segera tanpa mengganggu pemenuhan kebutuhan konsumsi daging
dalam negeri.
Kebijakan pengembangan budidaya ternak sapi yang dilakukan selama ini (Ilham
et al. 2001) adalah: (1) Program pengembangan ternak pemerintah baik untuk
pembibitan (lokal, kemitraan, impor) dan penggemukan; (2) Program pengembangan
inseminasi buatan; (3) Program pengendalian dan pemberantasan penyakit; (4)
Program perbaikan pemeliharan ternak ke arah intensifikasi dan perbaikan sistem dan
manajemen perbaikan pakan.
Analisis empirik pengembangan sistem dan usaha agribisnis sapi potong secara
parsial (Jamal, 1994; Adnyana, 1998; Adnyana et al. 1999; Ilham et al. 2001; dan
Basuno, 2004) memberikan beberapa informasi menarik, sebagai berikut: (1)
Pengembangan usahaternak di lapangan perlu dilakukan secara partisipatif dengan
dukungan infrastruktur dan kebijakan yang optimal dengan sasaran pengembangan
kemampuan dan kemandirian peternak; (2) Pengaturan volume impor daging sapi dapat
dijadikan stabilisator harga daging sapi di dalam negeri, tanpa harus mengganggu
kelangsungan usaha dalam negeri; (3) Untuk menghindari pengurasan populasi, dalam
jangka pendek kebijakan impor dapat dilakukan dengan impor bibit dan sapi bakalan,
tetapi dalam jangka panjang perlu dilakukan intensifikasi pengusahaan ternak sapi; (4)
Pengusahaan usahaternak rakyat di sentra produksi memiliki efisiensi pemanfaatan
kapital yang relatif baik dengan RCR sebesar 1.40 dan memiliki keunggulan komparatif
yang memadai dengan nilai DRCR daging di Jakarta sebesar 0.75; (5) Kemitraan
pedagang antar pulau dengan peternak sapi perlu diarahkan pada fasilitasi pengadaan
ternak bibit kepada peternak, sebagai bentuk pengalihan insentif yang diterima
pedagang yang relatif tinggi.
Pemerintah daerah Jawa Timur merespon kebijakan diatas melalui instansi
terkaitnya (Dinas Peternakan) dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang
mengatur keberadaan dan keberlangsungan usaha pada subsektor peternakan.
Beberapa kebijakan tersebut diantaranya adalah: (1) Yang terkait dengan inseminasi
buatan yaitu, SK. Dirjen. Peternakan No. 52/OT.210/Kpts/0896 tentang Tata Cara dan
Syarat-syarat Pelatihan serta Penyelengaraan IB, kemudian ditindaklanjuti dengan
dikeluarkannya SK. Gubernur Provinsi Jawa Timur No. 64 tahun 2003 tentang
16
Pelaksaan Program IB Intan Sejati, Selanjutnya diterjemahkan oleh instansi terkati
melalui SK. Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur Nomor.
188.4/865/117.06/2001 tentang Standarisasi Pedoman Pelaksanaan Pelayanan IB
Provinsi Jawa Timur. Selain itu diterbitkan pula SK. Kepala Dinas Peternakan Provinsi
Jawa Timur No. 188.4/376/117.06/2001 tentang Penetapan Organisasi Satuan
Pelayanan IB (SP IB) Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur; (2) Yang terkait dengan
Pelayanan Tata Niaga yaitu, UU No. 6 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok
peternakan dan kesehatan hewan;. UU No. 16 tahun 1992 tentang karantina hewan,
ikan dan tumbuhan; UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen; PP No. 15
tahun 1977 tentang penolakan pencegahan, pemberantasan dan pengobatan penyakit
hewan; SK. Dirjen. Peternakan No. 71/TN.690/Kpts/DJP/Deptan/2000 tentang prosedur
baku Importasi hewan dan bahan asal hewan; Perda Provinsi Jawa Timur No. 9 tahun
2002 tentang distrbusi pemakaian kekayaan daerah; Perda No. 6 tahun 1997 tentang
ketentuan dan tatacara pelaksanaan pemberian ijin pendaftaran usaha di bidang
peternakan, dan sebagainya.
Kebijaksanaan Teknis Sub sektor peternakan di Provinsi Jawa Timur antara lain:
1. Peningkatan pemberdayaan ekonomi peternakan untuk meningkatkan produksi
ternak dalam rangka swasembada daging.
2. Peningkatan program “INTAN SEJATI”, yang meliputi (1) Pembibitan ternak dan
pembinaan pakan; (2) Intensifikasi sapi potong (INSAPP); (3) Grading Up Sapi
Madura.
3. Peningkatan pengamanan ternak dari penyakit hewan menular yang mewabah yang
meliputi (1) Pemberdayaan laboratorium diagnostik dan laboratorium kesmavet; (2)
Pemberantasan dan penanggulangan penyakit hewan menular; (3) Pengawasan
obat hewan dan residu; (4) Pembinaan sertifikat obat hewan; (5) Pemeriksaan lalu
lintas ternak dan BAH antar provinsi.
4. Peningkatan pengendalian pemotongan hewan betina produktif yang meliputi: (1)
Pengendalian pemotongan hewan betina produktif; (2) Penetapan standarisasi
Rumah Potong Hewan (RPH); (3) Penetapan standarisasi Pasar Hewan.
5. Pengembangan standarisasi tataniaga ternak melalui program promosi dan peluang
investasi (tata niaga dan kewirausahaan) yang meliputi: (1) Promosi komoditi
unggulan dan ekspor peternakan; (2) Pembinaan tataniaga dan informasi pasar; (3)
17
Peningkatan motivasi kemitraan yang berkesinambungan antar kabupaten/kota; (4)
Informasi harga pasar produk peternakan.
6. Pengembangan usaha perbaikan gizi keluarga (Gerakan Makan Telur dan Susu)
melalui program pendukung gerakan perbaikan gizi keluarga yang meliputi: (1)
Penganekaragaman pangan dan gizi; (2) Gerakan makan telur ayam bagi putra/putri
Indonesia (Gemmarampal); (3) Gerakan memeilihara ayam buras membangun desa
(Gema Alaras Bangsa); (4) Usaha perbaikan giizi keluarga (UPGK); (5) Gerakan
minum susu; (6) Gema proteina (Gerakan Mandiri Protein Hewani).
7. Peningkatan pemberdayaan IPTEK bidang peternakan melalui program
pemberdayaan IPTEK yang ramah lingkungan yang meliputi: (1) Kerjasama
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi peternakan (dalam dan luar negeri);
(2) Pengkajian dan penetapan teknologi alat dan mesin bidang peternakan dan
kesehatan hewan; (3) Standarisasi teknologi distribusi ayam potong (tempat
pengumpulan ayam, tempat pemotongan ayam dan kios daging ayam).
Di Kabupaten Tuban, pelaksanaan IB tahun 2004 hanya tercapai 83,28% dari
yang ditargetkan yaitu dari target 25 000 akseptor hanya terealisir 23 212 (Dinas
Pertanian Kabupaten Tuban, 2004). Disisi lain pemotongan ternak yang sasarannya
hanya 7 561 ekor ternyata realisasinya mencapai 7 614 ekor yang berarti melebihi target
0,7% sementara perkembangan populasi hanya 0,14%. Fakta tersebut menunjukkan
masih sangat diperlukannya program pengembangan ternak sapi potong secara serius
agar ternak sapi lokal tidak semakin terkuras.
Prospek dan Kebijakan Pendukung Pengembangan Perusahaan
Kebijakan yang berkaitan dengan perusahaan ternak sapi potong diantaranya
UU No 5 Th 2000, PP No 12 Th 2001 dan KMK 155 Tahun 2001 dan UU N0 22 Tahun
1999 (Tabel 11 ). Undang undang tentang otonomi daerah berdampak pada maraknya
kebijakan pemerintah daerah dalam membuat peraturan daerah (perda) untuk
memperoleh pendapatan sehingga retribusi ternak potong menjadi mahal dan berkali-
kali sesuai tingkat wilayah.
Berkaitan dengan kesehatan hewan yang sudah dilakukan sedemikian ketat dan
konsekwen hendaknya tidak semakin berlebihan karena akan berdampak merugikan
perusahaan sapi potong. Diakui selama ini impor hanya dari Australia sementara biaya
18
kesehatan ternak impor dari Australia paling mahal dibanding negara lain. Untuk itu
perusahaan menghimbau agar persyaratan protokol kesehatan hewan untuk ternak
potong ditinjau kembali , sebaiknya tidak disamakan dengan ternak untuk bibit.
Tabel 11. Deskripsi dan Dampak Kebijakan yang Bersifat Mendukung danMenghambat Perusahaan Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Tuban,Jawa Timur, 2006
Deskripsi Kebijakan Antisipasi Dampak
1. Kebijakan Bersifat Menghambat
UU N0-5 Th 2000
PP No 12 Th 2001
KMK 155 Tahun 2001
UU N0 22 Tahun 1999
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Untuk mendukung perkembangan industri feedlotter agar tumbuh 10%/tahun
dikemukakan oleh APFINDO (2006), diperlukan sebanyak 30 000 – 45 000 ekor sapi
sehingga diperlukan tambahan modal Rp 50 milyar – Rp 75 milyar/tahun. Implementasi
penambahan ternak dilakukan secara bermitra dengan peternak mengadopsi sistem
KKP (Kredit Ketahanan Pangan). Kemudian untuk pemasaran tambahan sapi
tersebut, yaitu membantu pedagang diperlukan dana Rp 19 milyar karena turn over
penjualan diperlukan waktu 4 hari.
Belum terdapat kebijakan khusus berkaitan dengan sapronak untuk usaha ternak
sapi potong, Industri pengolahan maupun konsumen lembaga kecuali berkaitan dengan
kesehatan masyarakat yang ditangani oleh bagian KESMAVET. Kebijakan dari
KESMAVET adalah ASUH dan telah terinternalisasi bagi seluruh konsumen lembaga.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan perbedaan karakteristik antara
usahaternak rakyat dan perusahaan (Tabel 12).
19
Tabel 12. Kriteria Peternakan Rakyat dan Peternak Perusahaan Sapi Potong
No. Kriteria Peternakanperusahaan 1)
PeternakanRakyat
1. Kapasitas kandang penggemukan(ekor)
15 000 - 30 000 30 – 600
2. Turn over per tahun (Rp.) 2 triliun -
3. Manajemen dan teknologi
- Waktu penggemukan (bulan)
- Pakan
- Kandang
- Penimbangan secara rutin
Intensif
3-4
Industri
Permanen
ya
Intensif
3 – 6
Buatan sendiri
Permanen
ya
4. Integratif farming system
- Feed meal
- Feedlot
- Meat processing
- Rumah potong hewan (RPH)
Tersedia
Tersedia
Tersedia
Tersedia
Tersedia
Tersedia
Belum
Tersedia
5. Sapi bakalan Impor Lokal
6. Umur Seragam Beragam
7. Berat Seragam Beragam
8. Jenis kelamin ternak Jantan Jantan danbetina
9. Lainnya
- Melakukan transaksi tukar tambahternak
- Melakukan kemitraan
Tidak
Tidak
Ya
Ya
10. Berperan sebagai pedagang ternak dandaging Ya Ya
1) Noor, Yudi Guntoro. 2004. Industri Penggemukan Sapi Potong (Feedlot) di Indonesia.Bahan Seminar di Bank Indonesia. Juli 27.
20
KESIMPULAN
usahaternak sapi potong rakyat (USPR) dapat membantu usaha pemerintah
dalam mencapai swasembada daging. Dari hasil studi USPR di Jawa Timur diperoleh
pembelajaran bahwa dalam meningkatkan kinerja ekonomi peternakan sapi potong
perlu diupayakan pendekatan industri mulai dari yang berskala kecil 1 500 sampai 3 000
ekor, berskala sedang lebih besar dari 3 000 sampai 6 000 ekor dan industri berskala
besar dengan jumlah lebih besar dari 6 000. Program swasembada USPR hendaknya
mengakomodir fakta di lapangan dan mensosialisasi ”success story” yang dicapai
peternak USPR yaitu 1) memberi modal kredit sapi bakalan terhadap 20 keluarga
dengan jumlah bakalan sebanyak 5 ekor per kepala keluarga yang kemudian dihimpun
dalam satu kelompok peternak dengan bunga pinjaman tidak lebih dari 1,5 persen/th.
2) SPR dapat berfungsi sebagai penyediaan jaminan (colateral) untuk pengajuan kredit
modal kerja dan (3) meninjau kembali UU berkaitan dengan perpajakan serta UU
otonomi daerah melalui penetapan retribusi ternak potong pada berbagai tingkatan
wilayah/jalur pemasaran karena tidak kondusif dalam pengembangan agribisnis
peternakan.
21
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M. O. 1998. Prospek dan Kendala Agribisnis Peternakan dalam Era PasarBebas. Analisis Kebijakan: Pembangunan Agribisnis di Pedesaan dan AnalisisDampak Krisis. Monograph Series No.18 (Ed. A. Suryana et al., 1998). PusatPenelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Adnyana, M. O., K. Kariyasa, N. Ilham, S.K. Dermoredjo, dan I. Sadikin. 1999. Prospekdan Kendala Agribisnis Sapi Potong di Indonesia Memasuki Era GlobalisasiEkonomi. Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian (Ed. IW.Rusastra et al., 1999). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Basuno, E. 2004. Mengembalikan Status Wilayah Nusa Tenggara Sebagai GudangTernak. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol.2 No.4. Desember 2004. PusatPenelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Dinas Pertanian Kabupaten Tuban. 2004. Laporan Tahunan Sub Dinas Peternakan.Tuban.
Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur. 2005. Peternakan Dalam Data.
Direktorat Jenderal Peternakan, 2005. Statistik Peternakan 2005, Dirjen Peternakan,Departemen Pertanian RI.
Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan. 2005. Pola PengembanganPasca Panen Ayam Broiler. Departemen Pertanian.
Direktorat Budidaya Peternakan Ditjen Bina Produksi Peternakan. 2004. ProsedurTetap Pemasukan Sapi Potong Bakalan dan Pengawasannya.
Ditjen Peternakan. 2004. Buku Statistik Peternakan 2003. Direktorat Jenderal BinaProduksi Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta.
Ilham, N., B. Wiryono, I K. Kariyasa, M.N.A. Kirom, dan S.H. Suhartini. 2001. AnalisisPenawaran dan Permintaan Komoditas Peternakan Unggulan. Pusat Penelitiandan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Jamal, E. 1994. Analisis Pemasaran Sapi Potong di Provinsi Bali. Forum Penelitian AgroEkonomi. Vol.12 No.1, Juli 1994. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,Bogor.
Riady. M. 2006. Implementasi Program Menuju Swasembada Daging 2010. SeminarNasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. 5–6 September.
Rusastra, I W., Y. Yusdja, dan Sumaryanto. 1990. Analisis Kelembagaan PerusahaanInti Rakyat Perunggasan Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol.8 No.1dan 2, Desember 1990. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Simatupang, P., N. Syafa’at dan P.U. Hadi. 2004. Arah dan Kebijakan PengembanganAgribisnis Peternakan di Indonesia. Analisis Kebijakan Pembangunan Pertanian:Respon Terhadap Isu Aktual (Ed. P. Simatupang et al., 2004). Pusat PenelitianSosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Sudrajad, S. 2003. Operasionalisasi Program Terobosan Menuju Kecukupan Daging2005. Jurnal Analisis kebijakan (AKP) Vol 1. No. 1. P 23 -45. Pusat PenelitianSosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
22
Yusdja, Y. 1997. Profil dan Permasalahan Peternakan Broiler Rakyat Setelah DeregulasiTahun 1990. Kebijakan Pembangunan Pertanian: Analisis Kebijakan Antisipatifdan Responsif. Monograph Series No.17. Pusat Penelitian Sosial EkonomiPertanian, Bogor.
Yusdja, Y. dan Nyak Ilham. 2004. Tinjauan Kebijakan Pengembangan Agribisnis SapiPotong. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol.2, No.2, Juni 2004. Pusat PenelitianSosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Yusdja, Y., E. Basuno, I W. Rusastra, M. Ariani, Suharsono, dan P. Simatupang. 2004.Penelitian Dampak Sosial Ekonomi Krisis Avian Influenza Terhadap SistemProduksi Unggas di Indonesia dengan Fokus Utama Peternak Kecil Mandiri.Kerjasama Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor; Direktorat Kesehatan Hewan,Ditjen Bina Produksi Peternakan, Jakarta; dan FAO-RAPBangkok-TCP/RAS/3010.
Yusdja, Y., R. Sayuti., B. Winarso., I. Sadikin dan C. Muslim. 2004. PemantapanProgram dan Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi Daging. Laporan Akhir.Puslitbang Sosek pertanian. Badan Litbang. Deptan.
Yusdja. Y., N. Ilham dan W.K. Sedjati. 2002. Outlook Peternakan 2002. Laporan HasilPenelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor.