icaserd working paper no. 12 -...
TRANSCRIPT
ICASERD WORKING PAPER No. 12
DAMPAK PEMBANGUNANPERKEBUNAN KARET RAKYATTERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI RIAUIkin Sadikin dan Rudi Irawan
Agustus 2003
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No. 12
DAMPAK PEMBANGUNANPERKEBUNAN KARET RAKYATTERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI RIAUIkin Sadikin dan Rudi Irawan
Agustus 2003
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari dan Agus Suwito. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : [email protected]
No. Dok.009/12/1/03
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
1
DAMPAK PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KARET RAKYAT TERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI RIAU
Oleh : Ikin Sadikin1 dan Rudi Irawan2
1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor2 Fakultas Pertanian Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, Riau
ABSTRACT
Meaning sense of this paper is to explain and to analyze development process (in smallholder rubber sub sector) that have done by the government in Riau Province. Agricultural system which plantation system is a compatible model with in local people. Afterwards for to explain reality and to phenomenon analysis and what dynamic happen in that development, so analysis and its examine pressured to literacy study and others theory and to use information’s. The development problems appear because of the modernization strategy that applied by the government less accommodating local potential’s, with the result that local societies think that the development are not for them. And finally, development programs less popular in the societies and can not supported by the people, so consequences social change not yet.
Key word : Development, smallholder rubber, farmer income
ABSTRAK
Tulisan berikut memaparkan dan menganalisis bagaimana proses pembangunan (di sub sektor perkebunan karet rakyat) yang telah dilakukan pemerintah selama ini di Propinsi Riau. Dimana sistem pertanian dengan sistem perkebunan merupakan model yang sudah menjadi budaya masyarakat setempat. Untuk memaparkan realitas dan menganalisis fenomena serta dinamika yang terjadi dalam pembangunan tersebut, analisis dan kajiannya lebih ditekankan pada studi literatur (pustaka) dan berbagai teori dengan memanfaatkan segala informasi dan data yang ada. Dalam pembangunan tersebut, ternyata persoalannya muncul lebih banyak disebabkan olehstrategi modernisasi yang diterapkan oleh Pemerintah kurang mengakomodasi potensi lokal. Sehingga masyarakat setempat merasa bahwa pembangunan itu bukan untuk dirinya. Akhirnya program pembangunan pemerintah kurang populer dan kurang mendapat dukungan sehingga belum bisa menghasilkan perubahan seperti yang diharapkan.
Kata kunci : Pembangunan, perkebunan karet, pendapatan petani
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Selama ini telah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan
kesejahteraan petani di pedesaan. Kebijaksanaan ini diterapkan karena adanya kenyataan bahwa
mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih tergolong “miskin” dan umumnya
menggantungkan hidupnya dari kemurahan alam atau bermatapencaharian di sektor pertanian. Salah
satu upaya yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi
2
kemiskinan petani adalah melalui pengembangan daerah pedesaan dengan cara membangun
perkebunan karet rakyat. Hal ini cukup beralasan,
karena berdasarkan data sejak tahun 1964 hingga 1988 luas areal, produksi dan produktivitas karet
rakyat di Indonesia selalu mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Mubyarto dan Dewanta,
1991).
Perkebunan karet rakyat banyak tersebar di wilayah Indonesia, termasuk di propinsi Riau,
yang sudah membudaya dalam kehidupannya. Umumnya diusahakan oleh petani rakyat dalam skala
kecil (sempit) dan dengan system tradisional. Sedangkan yang diusahakan oleh perusahaan
pemerintah/swasta umumnya dalam skala besar dan modern. Namun demikian, bila dilihat dari
proporsi luasannya, kebun karet milik rakyat lebih dominan, sehingga usaha itu patut diperhitungkan,
karena cukup menentukan bagi dunia perkaretan Indonesia.
Pada tahun 2001 luas total perkebunan karet rakyat (PR) di Riau mencapai 412.998 ha atau
95,82 persen dari luas total seluruh perkebunan karet, sementara luas PR di Indonesia mencapai
sekitar 86 persen dari luas total 3,61 juta hektar (Dirjen Perkebunan, 2001). Ini merupakan areal lahan
perkebunan karet yang terbesar di dunia (meskipun sebagian besar merupakan perkebunan karet
rakyat yang tidak dikelola dengan baik). Pengelolaannya dilakukan secara sederhana; setelah bibit
karet ditanam kemudian dibiarkan begitu saja tanpa perawatan yang memadai, sehingga
produktivitasnya dikategorikan masih rendah (3,39 kw/ha/th). Disamping itu, yang lebih
memprihatinkan lagi adalah mutu olahan karet yang dihasilkan masih berkualitas rendah. Hal ini
umumnya disebabkan oleh teknologi yang dimiliki dan kemampuan (keterampilan) petani rendah,
sehingga sampai di pasaran internasional pun karet Indonesia terkenal sebagai karet yang bermutu
rendah. Sebaliknya negara jiran kita, seperti Thailand dan Malaysia masih mampu mempertahankan
mutu karetnya, sehingga sampai sekarang masih menguasai pasaran karet dunia.
Adanya realitas itu membuat posisi Indonesia sebagai negara penghasil karet alam terbesar di
dunia turun. Padahal pada periode sebelum PD II hingga tahun 1956 Indonesia berhasil menjadi
produsen karet terbesar di dunia dan mencapai masa jaya karet alam. Kemudian, meski setelah itu ada
“boom” harga karet alam dunia yang cukup tinggi, namun booming harga karet tersebut hanya
mampu meningkatkan jumlah luasan kebun karet rakyat saja. Tapi belum mampu meningkatkan
kualitas bokar yang dihasilkan oleh rakyat. Oleh karenanya, informasi/data dari Dirjen Perkebunan
(2001) menunjukkan, bahwa posisi Indonesia sejak 1990 hingga tahun 2000 tetap berada di posisi
kedua setelah Thailand sebagai produsen karet alam di dunia.
Menurut Mubyarto dan Dewanta (1991), meskipun dalam berbagai tulisan banyak diyakinkan
tentang peranan besar dari industri karet yang memproduksi barang-barang konsumsi vital bagi
masyarakat modern (ban mobil/sepeda/pesawat terbang, dsb), namun kunjungan ke pusat-pusat
produksi karet rakyat di Sumatera dan Kalimantan masih merisaukan, karena keadaan kemiskinan
3
yang serius masih mewarnai kehidupan para petani karet. Pendek kata, selama ini masih banyak
usaha pembangunan perkebunan karet rakyat yang telah dilakukan oleh pemerintah belum mampu
mengangkat derajat kehidupan petani ke tingkat yang lebih sejahtera. Dengan kata lain pembangunan
itu masih membuat petani karet rakyat yang jumlahnya lebih 1 juta orang dan hampir menghidupi 10
juta orang Indonesia masih tetap hidup dalam serba kemiskinan.
Dalam rangka untuk mengembalikan posisi Indonesia sebagai produsen karet alam terbesar di
dunia dan memperbesar peranan subsektor perkebunan dalam menyumbang devisa negara, maka
pemerintah perlu melakukan usaha pembangunan perkebunan karet rakyat, baik yang sudah ada
maupun membangun yang baru. Pembangunan perkebunan karet rakyat itu tujuannya adalah untuk
meningkatkan jumlah produksi atau bokar yang pada akhirnya sangat diharapkan akan meningkatkan
kesejahteraan petani.
Banyak usaha yang telah dilakukan pemerintah berkaitan dengan pembangunan dan
pengembangan perkebunan karet rakyat, seperti melalui SRDP1, PIR/NES2, TCSDP3, PRPTE4, dsb..
Langkah atau strategi pembangunan (proyek) perkebunan yang ditempuh oleh pemerintah pada saat
itu bertujuan untuk meningkatkan devisa negara melaui ekspor yang diharapkan dapat mempercepat
laju pertumbuhan ekonomi. Sehingga usaha yang dilakukan pun banyak mengambil langkah
modernisasi, dengan mengadopsi dan menggunakan berbagai teknologi di bidang pertanian, misalnya
pemakian bibit unggul, pupuk, pengendalian hama/penyakit, pemeliharan kebun dan berbagai teknik
pengolahan karet.
Propinsi Riau merupakan salah satu propinsi penghasil utama komoditas perkebunan karet,
dimana sebagian besar dihasilkan oleh perkebunan rakyat. Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas
penduduk Riau yang notabene adalah petani perkebunan dengan tingkat pendapatan masih rendah.
Penyebab utamanya adalah, produktivitas karet rakyat yang dihasilkan petani masih rendah, yaitu
hanya sekitar 300-500kg/ha/thn. Kenyataan ini sangat ironis, sebab dengan berbagai proyek yang
telah dikembangkan oleh pemerintah sepertinya belum memperlihatkan hasil yang signifikan
terhadap taraf hidup petani atau kesejahteraannya, meskipun sumbangan sektor perkebunan terhadap
pendapatan daerah maupun nasional sangat besar (Rusli dkk 1996).
Berdasarkan realitas itu, khususnya yang berkaitan dengan rendahnya kesejahteraan petani
perkebunan rakyat, maka tulisan ini hendak melihat sejauh mana pembangunan yang telah dilakukan
pemerintah dan bagaimana langkah yang telah diterapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan
kesejahhteraan rakyatnya. Dalam rangka melihat hasil pembangunan yang ada di propinsi Riau, maka
1 Smallholder Rubber Development Project. 2 Perkebunan Inti Rakyat/Nucleus Estate Smallholder.3 Three Crops Smallholder Development Project.5 Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Ekspor.
4
informasi dan data dalam tulisan ini banyak diambil dari studi kepustakaan, terutama laporan-laporan
hasil penelitian yang berkaitan dengan topik tulisan ini.
Perumusan Masalah
Pembangunan yang telah dilakukan oleh pemerintah khususnya di subsektor perkebunan belum
begitu banyak berarti dalam rangka meningkatkan kemakmuran kehidupan para petani. Hal ini
menunjukkan bahwa persoalan pembangunan, khususnya dalam perkebunan karet rakyat tidaklah
cukup hanya sekedar meningkatkan produksi. Artinya strategi pembangunan yang diterapkan
pemerintah selama ini mengacu pada paradigma modernisasi yang berlandaskan pada asumsi-asumsi
ekonomi neo-klasik, dimana manusia dianggap rasional dan terangsang oleh insentif material, sebab
dalam kenyataan kehidupan social dan ekonomi petani selama ini belum menunjukkan hasil seperti
yang diharapkan. Dengan demikian pemecahan berbagai persoalan yang dihadapi dalam
pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sudah seharusnya memperhatikan dan
mempertimbangkan berbagai potensi sumberdaya lokal yang dimiliki masyarakat setempat, sebab hal
itu telah melembaga dan beradaptasi dengan lingkungannya.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka permasalahan yang perlu untuk diketahui dan dicari
jawabannya adalah pertama, sejauh mana sebenarnya usaha pembangunan perkebunan karet rakyat
yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani, dan kedua, apakah
pembangunan perkebunan juga mampu menciptakan perubahan (sosial, kultural) yang lebih baik bagi
masyarakat. Dengan kata lain, apakah usaha pembangunan perkebunan rakyat yang dilakukan oleh
pemerintah tersebut sudah melibatkan berbagai potensi sosial dan budaya masyarakat setempat serta
menciptakan suatu perubahan, misalnya tradisi-tradisi, lembaga-lembaga norma, dan adat masyarakat.
Selanjutnya apakah pembangunan tersebut juga turut memberdayakan lembaga lokal atau kelompok
sosial yang menunjang pembangunan perkebunan karet tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan adalah sebuah kata kunci yang selama ini sering disosialisasikan oleh
pemerintah sebagai lembaga untuk menyejahterakan rakyat; seolah-olah berbagai persoalan mendasar
yang berkembang dan berkaitan dengan kehidupan masyarakat akan dapat diselesaikan dengan
adanya pembangunan. Dalam pelaksanaannya, strategi atau pilihan kebijaksanaan yang dipilih dan
dilakukan oleh pemerintah di suatu Negara ternyata berlainan coraknya, sebab istilah pembangunan
itu bisa dimaknai secara berbeda oleh semua orang, tidak terkecuali pemerintah dan masyarakat.
Banyak hal yang bisa menyebabkan perbedaan dalam pemaknaan pembangunan tersebut. Salah
satunya adalah karena adanya perbedaan cara suatu masyarakat atau bangsa untuk mengejar masa
5
depan yang lebih baik, yang tentu alasannya selalu didasarkan pada potensi dan kemampuan modal
sumberdaya yang dimilki oleh masing-masing negara dan masyarakat.
Berkaitan dengan hal pemaknaan terhadap konsep pembangunan itu, maka terlebih dulu
kiranya perlu dikemukakan beberapa makna yang terkandung dalam istilah pembangunan. Sebab
dalam upaya untuk menyejahterakan rakyat, istilah pembangunan sering dimaknai dan diasosiasikan
dengan modernisasi (modernization), pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan perubahan sosial
(social change).
Menurut Schoorl (1980), definisi modernisasi adalah penerapan pengetahuan ilmiah yang ada
pada semua aktivitas, semua bidang kehidupan atau semua aspek masyarakat. Pendapat Schoorl ini
dapat diartikan bahwa jika suatu masyarakat atau bangsa ingin membangun maka harus
menghilangkan semua unsur yang tidak rasional. Dengan kata lain segala sesuatu yang sifatnya
tradisional harus dapat dihindari, karena persoalan ini akan dapat menghambat langkah modernisasi
yang dilakukan pada tahap selanjutnya. Konsep Schoorl ini tidak berbeda jauh dengan apa yang
dikemukakan oleh Wilbert Moorre dalam Long (1987). Menurutnya konsep modernisasi adalah suatu
transformasi secara menyeluruh masyarakat tradisional atau masyarakat pra-modern menjadi
masyarakat yang corak teknologi serta organisasi sosialnya seperti yang terdapat di negara-negara
dunia Barat yang maju, makmur dari segi ekonomi dan relatif stabil dari segi politik.
Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan pertama, problem keterbelakangan di segala
aspek/ kehidupan yang ada di Dunia Ketiga dapat diselesaikan dengan pembangunan yang
menerapkan strategi modernisasi. Artinya mereka memandang bahwa kerumitan persoalan di Dunia
Ketiga seperti masalah kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan sejenisnya akan dapat di atasi
dengan modernisasi, seperti halnya yang telah dilakukan oleh Dunia Barat sebelumnya. Dengan
demikian aspek yang paling menonjol dalam modernisasi ini adalah perubahan teknik produksi
(industri) dari cara-cara tradisional ke cara-cara modern. Karena inspirasi modernisasi di negara Barat
itu dihasilkan dari adanya revolusi industri yang terjadi di Inggris. Dimana setelah revolusi industri
tersebut, muncul pemahaman bahwa seluruh aspek persoalan kehidupan akan dapat diselesaikan
dengan penerapan ilmu pengetahuan, termasuk penggunaan teknologi. Kedua adalah bahwa
pembangunan juga mengindikasikan adanya suatu transformasi atau perubahan dari satu jenis ke jenis
lainnya, misalnya dalam bidang ekonomi.
Proses pembangunan yang dilaksanakan dengan strategi modernisasi, kemudian diasumsikan
juga akan mampu menggerakan sektor ekonomi. Karena dengan berkembangnya teknologi dan
industri, maka sektor perekonomian dengan sendirinya akan bergiat aktif mengikuti laju kecepatan
sektor industri. Oleh karena itu pembangunan dengan strategi modernisasi tidak akan mampu
mengisolasi faktor ekonomi yang dengan sendirinya akan mengikuti langkah dan arah perubahan
proses tersebut. Tetapi justru sebaliknya, seperti yang diungkapkan oleh Smelser dalam Long (1987),
6
bahwa usaha ini adalah suatu upaya untuk memadukan dan memberikan perubahan sosial ekonomi.
Karena pada dasarnya pembangunan ekonomi (di pedesaan) yang berlangsung akan memberikan
implikasi seperti: (a) modernisasi teknologi akan membawa perubahan dari teknik-teknik tradisional
kepada aplikasi ilmu pengetahuan (rasionalitas yang tinggi); dan (b) munculnya pertanian komersial,
dimana proses ini dicirikan dengan adanya pergeseran dari sisitim pertanian subsisten menuju ke
pertanian sistim pasar.
Proses ini secara linier akan mampu meningkatkan output (produksi) setiap individu atau
kelompok masyarakat. Sebab peningkatan output akan mempengaruhi kehidupan masyarakat atau
suatu bangsa menuju ke arah yang lebih baik (sejahtera). Dengan kata lain meningkatnya pendapatan
per kapita penduduk merupakan suatu tanda terhapusnya persoalan-persoalan keterbelakangan yang
terjadi di negara-negara Dunia Ketiga. Oleh karena itu, masih banyak negara atau pemerintahan di
Dunia Ketiga yang memahami makna pembangunan hanya sebatas sebagai pertumbuhan ekonomi
(economic growth). Pembangunan disebut berhasil jika indikator ekonomi meningkat, jadi
berhasilnya pembangunan hanya dilihat dari sisi kenaikan pendapatan nasional riel dalam jangka
waktu tertentu (Thirwall dalam Ndraha, 1990).
Sebagaimana diungkapkan di atas, bahwa proses modernisasi berkaitan dengan perubahan
social; sebab perubahan sosial menurut Soemardjan (1962) adalah perubahan lembaga-lembaga
(institutions) masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk nilai sosial, sikap dan pola
perilaku kelompok. Artinya kelancaran modernisasi dapat tercapai jika adanya perubahan sikap
masyarakat lembaga-lembaga sosial terhadap nilai-nilai yang terbawa oleh langkah modernisasi itu.
Dengan kata lain perubahan sikap masyarakat dan lembaga-lembaga sosial merupakan prasyarat
modernisasi, dan sesungguhnya modernisasi itu akan menghasilkan perubahan.
Berbeda dengan perubahan yang terjadi di negara Barat. Perubahan sosial yang terjadi di Dunia
Ketiga awalnya lebih banyak digerakkan, dirangsang dan diakibatkan oleh adanya keterlibatan
pengaruh berbagai kekuatan ekstrateresterial, yaitu kekuatan yang berasal dari luar desa atau
kekuasaan atas desa (Long, 1987). Oleh karena itu pemerintahan di negara-negara Dunia Ketiga
kemudian sering membuat lembaga tertentu (formal) di tingkat desa untuk memacu modernisasi,
pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial itu. Sesungguhnya persoalan ini yang paling penting
untuk dikembangkan di negara-negera terbelakang. Karena dengan adanya perubahan sosial tersebut
keberlanjutan sebuah proyek pembangunan yang awalnya dari pemerintah akan dapat terus
dilanjutkan, meskipun pihak pemerintah dikemudian hari tidak lagi terlibat secara langsung dalam
kegiatan tersebut.
Selanjutnya proses pembangunan untuk mewujudkan perubahan itu tentu tidak akan luput dari
suatu hambatan ataupun tantangan yang berasal dari unsur dalam desa sendiri. Menurut Horowitz
dalam Ndraha (1980), pada dasarnya terdapat dua faktor yang menghambat perubahan sosial, yaitu
7
yang bersifat kolektif (collective resistance) dan yang bersifat individual. Tantangan yang bersifat
kolektif ini biasanya dilakukan atas dasar demi keamanan dan ketertiban, sedangkan tantangan
bersifat individual biasanya bersifat intelektual. Kedua tantangan ini dilatari oleh ketakutan akan
hancurnya tradisi sebagai milik masyarakat yang telah dipegang sejak lama. Berbeda dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Evers (1988), bahwa tantangan perubahan sosial dalam masyarakat
Dunia Ketiga justru datang dari kaum elite yang biasanya dianggap sebagai agen perubahan. Terlebih
lagi, jika perubahan tersebut merugikan kepentingan kaum elite yang bersangkutan.
Disinilah penting adanya unsur fleksibelltas social agar proses pembangunan yang dilakukan
melalui modernisasi dapat berlanjut dan memberi manfaat bagi masyarakat banyak; sebab menurut
Eisenstadt dalam Long (1987), modernisasi dapat dilanjutkan hanya kalau masyarakat dapat
mengembangkan unsur fleksibelitas, berusaha menyelesaikan masalah-masalah baru dan problematik
yang selalu berubah serta mau menerima lingkungan institusi sentral. Meskipun demikian diharapkan
institusi sentral yang dibangun di pedesaan bersifat lebih adaptif dengan kondisi lokal dimana institusi
itu berada.
Jadi dengan beragamnya makna yang terkandung dari konsep ataupun teori-teori pembanguan
tersebut akan digunakan untuk menganalisis suatu teorema pembangunan yang dipilih oleh
pemerintah menjadi suatu kebijaksanaan dalam melakukan strategi pembangunan perkebunan karet
rakyat di propinsi Riau, yang tentunya telah memiliki pengaruh dan menimbulkan dampak terhadap
kehidupan sosial masyarakat petani karet. Pembahasan selanjutnya akan merekontruksi teorema suatu
proses pembangunan perkebunan karet rakyat di propinsi Riau dari sisi sosiologi, yang dimulai
dengan ulasan sejarah perkaretan di Riau.
PEMBAHASAN
Sejarah Perkebunan Karet Rakyat dan Kondisi Petani di Riau
Menjelaskan persoalan kapan sesungguhnya tanaman karet dikenal dan mulai dibudiayakan
oleh masyarakat, khususnya di propinsi Riau, maka hal ini tentu juga tidak bisa dilepaskan dari
sejarah perkaretan di Indonesia. Tanaman karet mulai dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan
Belanda. Awalnya karet ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman baru untuk dikoleksi (Tim
Penulis PS, 1992). Selanjutnya tanaman karet dikembangkan menjadi tanaman perkebunan dan
tersebar di beberapa daerah.
Adanya krisis tembakau dan kopi yang pada waktu itu menjadi komoditas andalan pemerintah
kolonial Hindia Belanda (HB), maka selanjutnya pemerintahan HB tertarik untuk mengembangkan
dan membangun perkebunan karet. Pada tahun 1864 perkebunan karet mulai diperkenalkan dan
8
dikembangkan di Indonesia. Perkebunan karet pertama dibuka oleh Hofland (perusahaan Belanda) di
daerah Pamanukan dan Ciasem Jawa Barat. Jenis tanaman karet yang diusahakan pada waktu itu
adalah karet rambung atau Ficus elastica. Sedangkan jenis karet Hevea brasiliensis baru di tanam di
Sumatera Timur pada tahun 1902. Perkembangan tanaman karet di Indonesia ini lebih berkembang
setelah Netherlands Indies membuka pintu bagi para investor luar, terutama dari Inggris, Belanda dan
Belgia serta Amerika (Tim Penulis PS, 1992).
Selanjutnya Tim penulis mengemukakan, seiring dengan hal tersebut, maka pemerintah HB
untuk pertama kalinya memperkenalkan sistem perkebunan besar (modern) yang dibuka di daerah
Indragiri pada tahun 1893. Selanjutnya disusul oleh perkebunan-perkebunan lainnya. Pada tahun 1915
saja, di seluruh Kepulauan Riau, Indragiri dan Kuantan terdapat 12 onderneming.5 Tanah- tanah
erfpacht6 yang luas di Japura, Kelawat, Sungai Lalak, Sungai Parit Gading, Air Molek dan Sungai
Sagu dimanfaatkan untuk perkebunan dan ditanami dengan tanaman karet.
Di sisi lain, perkebunan karet rakyat juga berkembang seiring dengan perkembangan
permintaan karet alam, terutama adanya pengaruh “boom” harga karet alam setelah PD II.
Perkebunan karet yang dikelola oleh rakyat (perkebunan rakyat) sudah terlebih dahulu di kenal
masyarakat Riau, bahkan jauh sebelum diperkenalkan oleh pemerintah colonial HB. Mereka
mendapatkan benih atau bibit tanaman karet dari para jemaah haji yang singgah di Malaysia atau
Singapura. Selain itu pedagang-pedagang Cina (Malaysia dan Singapura) yang membeli produksi
karet rakyat, juga sering membawakan benih-benih karet untuk ditanam. Oleh karena itu bahwa
tanaman karet telah lebih dahulu berkembang di tengah masyarakat Riau dan bahkan sudah
merupakan bagian dari budaya kehidupan mereka. Keadaan ini juga didukung oleh kondisi alam
Riau, sehingga masyarakat pun akhirnya lebih mengenal sistem pertanian kebun. Selain itu sistem
pertanian perkebunan bagi masyarakat Riau juga merupakan suatu bentuk adaptasi di bidang
pertanian, karena disamping iklim, kondisi tanah Riau tidak sesubur tanah di Jawa yang mudah untuk
ditanami tanaman pangan lainnya. Sehingga tidak mengherankan jika disebut oleh Rusli dkk (1996),
subsektor perkebunan di propinsi Riau melaju lebih cepat dibandingkan dengan sektor pertanian
lainnya.
Jadi singkatnya budaya pertanian yang mendasari seluruh kehidupan penduduk di propinsi
Riau adalah kehidupan pertanian yang berpusat pada lahan kering. Tanaman-tanaman utama yang
telah lama menjadi kesukaan dan seting budaya mereka adalah tanaman karet dan kelapa. Sedangkan
untuk tanaman kelapa sawit baru berkembang kemudian pada zaman prakemerdekaan. Kebanyakan
perkebunan kelapa sawit yang ada di propinsi Riau dikelola oleh pemerintah (BUMN) ataupun
5 Perkebunan pemerintah Hindia Belanda 6 Tanah yang disewa oleh perusahaan swasta dari pemerintahan Hindia Belanda untuk perkebunan.
9
perusahaan swasta besar yang melibatkan hanya segelintir penduduk tenaga kerja buruh harian atau
kerja borongan kasar.
Kondisi Sosial Ekonomi Petani Karet dan Wajah Desa: Realitas Empiris
Asumsi-asumsi umum yang sering dipakai selama ini adalah keadaan sosial ekonomi petani
karet mempunyai hubungan dengan hasil produksi karet rakyat. Ini berarti bahwa usaha peningkatan
produksi dan mutu karet rakyat secara otomatis akan meningkatkan kondisi sosial ekonominya.
Dengan kata lain peningkatan produksi dan mutu hasil kebun menjadi kurang efektif jika keadaan
sosial ekonomi petani karet tidak ditingkatkan. Untuk itu usaha yang paling cepat dan sering
dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi petani karet adalah dengan
meningkatkan pendapatan.
Kalau dilihat besarnya pendapatan petani karet tradisional di Riau yang dihimpun dari data
Dinas Perkebunan Propinsi Riau tahun 1991 dalam hasil penelitian Rusli dkk (1996), rata-rata
pendapatan per bulan hanya mencapai Rp 28.230. Kenyataan seperti ini sesungguhnya sudah bisa
secara gamblang dibaca bahwa pendapatan sebesar itu tentu akan menyulitkan petani karet rakyat
untuk memelihara kebunnya agar mampu menghasilkan produksi karet yang lebih baik. Jangankan
memelihara kebun, untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari pun sangat sulit. Pada akhirnya
keadaan sosial ekonomi petani karet yang masih kurang memadai, dilihat dari sisi pendapatan dan
distribusinya berakibat pada pemeliharaan tanaman karet yang kurang intensif. Dan pada gilirannya
tentu produksi karet rakyat pun tidak akan mampu memberikan harga yang layak bagi petani untuk
kehidupannya. Kondisi demikian sesungguhnya terjadi juga pada petani karet rakyat di propinsi
lainnya, seperti Jambi, Sumsel, Kalbar, dan Sumbar (Thahar, 2000).
Kondisi dan situasi sosial ekonomi petani yang sangat rawan (terdesak oleh kebutuhan
ekonomi rumah tangga) ini sering dimanfaatkan oleh pihak luar (toke, tengkulak) untuk memberikan
bantuan finansial kepada para petani, sehingga akibatnya lama kelamaan para petani karet akan
semakin sulit keluar dari ikatan hutang-piutang. Dengan kata lain petani tidak pernah bisa memiliki
posisi tawar sesuai dengan harga yang sesungguhnya berlaku di pasaran. Jika kondisi seperti ini terus
berlangsung, maka petani karet tidak akan mampu menghilangkan masalahnya sendiri, yaitu untuk
keluar dari lingkaran kemiskinan yang selalu melilitnya.
Kenyataan kondisi sosial ekonomi petani karet ini sebetulnya hanya menggambarkan
bagaimana sesungguhnya wajah petani karet di desa tersebut. Kondisi empiris di berbagai pedesaan di
propinsi Riau ini, sesungguhnya juga tidak jauh berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. Artinya,
kehidupan masyarakat pedesaan di propinsi Riau yang masih didominasi oleh para petani karet rakyat
(basis agraris), kehidupannya masih dalam kondisi serba kekurangan dan derajat kesejahteraanya
masih rendah. Gambaran ini juga didukung oleh data yang dihimpun oleh Rusli dkk (1996), bahwa
10
jumlah desa miskin yang terdapat di propinsi Riau tahun 1990 berjumlah 291 buah desa dari total
1.142 desa dan sebelas tahun kemudian jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan Riau mencapai
405,9 ribu orang (BPS, 2001). Mungkin kalau diadakan penelitian dan kajian lebih lanjut, tidak
mustahil jumlah desa miskin ini akan semakin bertambah jumlahnya, karena adanya “badai” krisis
multi dimensi berkepanjangan yang menerpa Indonesia yang hingga sekarang belum juga hilang.
Pemasaran Karet Rakyat : Jaringan Bisnis Karet di Tingkat Bawah
Rendahnya harga karet yang diterima oleh petani selama ini sering dituduhkan karena jeleknya
kualitas produksi karet rakyat. Sehingga petani tidak dapat menerima pendapatan yang cukup
memadai dan pada akhirnya tidak mampu mencapai kehidupan yang layak. Persoalan yang menimpa
petani karet ini sebenarnya tidak boleh hanya dilihat dari sisi dampak rendahnya mutu karet yang
dihasilkan petani karet rakyat. Namun perlu dilihat juga dari sisi atau faktor penyebab lainnya,
misalnya ditinjau dari sisi hubungan sosial antara petani dengan pihak lain yang ada di tingkat lokal.
Artinya, persoalan rendahnya harga (pendapatan) dan kehidupan petani tidak hanya disebabkan oleh
persoalan iklim alam dan teknologi semata, tapi yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan situasi
dan kondisi (iklim) sosial masyarakat di tingkat bawah yang kurang memadai. Iklim sosial yang
dimaksud adalah adanya kenyataan bahwa penentuan harga karet di tingkat bawah justeru sering
ditentukan oleh keterikatan hubungan sosial antara petani kecil, petani besar dengan pedagang karet
di tingkat lokal. Jadi dengan demikian harga yang diterima petani juga ditentukan oleh lemahnya
posisi tawar petani di dalam sistim penentuan harga dan pemasaran karet rakyat di tingkat lokal.
Kenyataan seperti ini, di pedesaan sulit sekali untuk dihindarkan. Keinginan yang besar dari
petani untuk tetap menjaga keeratan hubungan sosial sering memaksa dan menghilangkan rasionalitas
petani dalam berbisnis. Artinya, kebanyakan petani di pedesaan lebih cenderung untuk menomor-
satukan hubungan resiprositas sosial dibandingkan dengan keuntungan dalam bisnis karetnya.
Padahal bisnis karet tersebut merupakan penyokong kehidupan ekonomi keluarga. Realitas seperti ini
bukan sesuatu yang mustahil adanya, karena sampai saat ini, di pedesaan masih banyak dijumpai para
toke atau petani besar (induk somang), disamping berperan sebagai pembeli karet, juga masih
mempunyai hubungan kekerabatan dekat dengan petani produsen. Misalnya, selain sebagai toke,
pembeli itu juga berperan sebagai mertua/famili, atau pemberi dana bagi kehidupan rumah tangga dan
lain sebagainya. Jadi hubungan patron-client tersebut sudah bercampur aduk dengan hubungan sosial
kekeluargaan. Dimana resiprositas dan keterikatan sosial ini pada akhirnya akan menyulitkan posisi
petani dalam proses tawar menawar atau penentuan harga bagi produksi karetnya. Karenanya
kebanyakan mereka, suka atau tidak, terpaksa atau rela, mereka pasrah dan menerima harga yang
telah ditentukan (sepihak) oleh para toke atau induk somang-nya.
11
Selain itu rantai pemasaran karet juga menentukan pendapatan yang diterima petani. Kenyataan
yang ada menunjukkan bahwa rantai tataniaga karet itu cukup panjang (banyak pedagang yang
terlibat). Kondisi ini sesungguhnya sudah merupakan suatu fenomena lama. Petani dalam
memasarkan produksi karetnya tidak pernah bisa langsung kepada pabrik atau pedagang eksportir.
Paling kurang mereka harus melalui dua orang pedagang perantara yaitu pedagang di tingkat desa dan
pedagang di tingkat kecamatan. Namun rantai tataniaga yang pendek ini jarang sekali dijumpai,
karena umumnya sentra produksi karet rakyat di Riau masih relatif jauh dari pusat kota dengan
kondisi jaringan transportasi yang kurang baik. Akhirnya petani harus melalui rantai pemasaran yang
panjang, mulai dari pedagang ditingkat kelompok, ke pedagang di tingkat desa, lalu ke pedagang di
tingkat kecamatan, terus kepada agen komisi, baru masuk ke pabrik pengolahan atau eksportir karet.
Panjangnya rantai tataniaga itu tentu akan berakibat kepada rendahnya harga jual di tingkat
petani, sehingga pada gilirannya petani hanya bisa menerima harga karet sadapan yang rendah pula.
Mubyarto dan Dewanta (1991) menyebutkan bahwa dengan adanya rantai tataniaga yang panjang
tersebut petani karet di Sumatera dan Kalimantan hanya menerima sekitar 25-30% dari harga ekspor
karet alam. Dibandingkan dengan pendapatan petani karet di negara jiran Malaysia, petani Riau jauh
tertinggal, karena petani negara jiran itu mampu menerima paling sedikit 70-80% dari harga ekspor
karet alam. Jadi tidak mustahil bila kondisi sosial ekonomi atau kehidupan petani karet di pedesaan
masih rendah. Meskipun produksi karet rakyat sudah tinggi, tetapi kondisi sosial ini tidak segera
diperbaiki maka peningkatan produksi itu akan menjadi sia-sia (tidak efektif hasilnya). Untuk itu
bagian berikut akan memaparkan bagaimana pembangunan perkebunan karet rakyat yang seharusnya
dilakukan oleh pemerintah guna memperbaiki kondisi petani.
PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KARET RAKYAT DI RIAU
Strategi Kebijaksanaan Pembangunan
Adanya kenyataan bahwa kondisi sosial dan ekonomi petani di pedesaan kurang
menguntungkan maka Pemerintah Indonesia dewasa ini semakin intensif melaksanakan berbagai
program pembangunan di daerah pedesaan. Kartodirdjo (1990) menyebut istilah itu dengan syndrome
pedesaan. Jadi, jika akan memecahkan berbagai persoalan di pedesaan, maka harus bertitik tolak dari
syndrome tersebut. Menurutnya syndrome pedesaan ada dua jenis, yaitu syndrome kemiskinan
(berkaitan dengan rendahnya produktivitas, pengangguran, tuan tanah, kurang gizi-saling
berhubungan) dan syndrome inertia (adanya sifat serba patuh, pasivisme, fatalisme dan
ketergantungan-sudah lama berakar). Kedua syndrome ini sesungguhnya merupakan persoalan pokok
yang sudah lama ada di pedesaan yang perlu segera dipecahkan dalam usaha pembangunan. Dengan
usaha mengatasi kedua syndrome tersebut diharapkan semua sumberdaya alam dan manusia yang
12
sangat potensial di negeri ini dapat digali dan dikembangkan untuk mempertinggi martabat kehidupan
rakyat.
Untuk segera mengatasi persoalan pedesaan di Riau, sejak tahun 1970-an pemerintah daerah
dan pusat telah melakukan pembangunan dengan menerapkan strategi modernisasi dan secepat
mungkin melakukan pembangunan perkebunan karet rakyat. Secara umum strategi yang diterapkan
untuk membangun perkebunan karet rakyat itu adalah: pertama, pemerintah membentuk pusat-pusat
pengolahan karet di beberapa daerah sentra produksi, dengan tujuan menampung dan mengolah lateks
dari hasil perkebunan rakyat. Program ini dimaksudkan untuk memperbaiki mutu olahan karet
rakyat. Yang kedua adalah dengan melakukan pembinaan perkebunan rakyat dengan membentuk unit
pelaksana proyek (UPP). Untuk propinsi Riau, program ini banyak dilaksanakan dan lebih dikenal
dengan istilah proyek SRDP. Sistem ini diharapkan mampu berfungsi sebagai pembina petani karet
secara menyeluruh yang meliputi masalah penanaman hingga persoalan pemasaran.
Strategi dan program pembangunan yang diterapkan pemerintah tersebut selain untuk
memperbaiki kondisi petani, dalam jangka panjang juga diasumsikan mampu meningkatkan laju
pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial petani. Strategi dan program pertama segera dilakukan
dengan membentuk pusat-pusat pengolahan karet di beberapa daerah sentra produks karet. Proyek ini
dilaksanakan hampir di seluruh daerah yang menjadi sentra-sentara produksi karet rakyat di Riau.
Untuk membangun sentra-sentra pengolahan ini tentu pemerintah tidak sedikit mengeluarkan dana.
Diharapkan dengan cepat terselesaikannya program ini, kondisi kehidupan petani dan kemiskinan di
pedesaan akan segera teratasi.
Di tahap-tahap awal pelaksanaan program yang pertama ini banyak sekali petani yang
“merespon” baik program pemerintah itu. Karena untuk menyukseskan program tersebut, pemerintah
mengeluarkan seluruh daya dan upayanya, dan tidak jarang unsur-unsur pemaksaan dilakukan agar
petani berkenan membawa ojol-nya ke pusat pengolahan yang dibangun oleh pemerintah. Yang
terpenting pada saat itu adalah target pembangunan tercapai, tidak peduli keluhan petani seperti apa.
Pola seperti ini sebenarnya adalah pola yang tidak dikehendaki oleh petani. Karena dalam
pelaksanaan program ini, pemerintah cenderung untuk memaksakan kepentingannya yang ingin
berusaha untuk mengejar target pembangunan yang telah dicanangkan terlebih dahulu.
Selain itu dalam pelaksanaan program ini para petani juga mendapat kesulitan untuk mematuhi
peraturan yang menetapkan harus memenuhi kriteria standar kadar karet kering tertentu yang telah
ditetapkan pemerintah. Biasanya petani dalam berusahatani karet tidak pernah memperhatikan
kriteria standar kadar karet kering ini. Tetapi setelah masuknya program pemerintah ini, justru banyak
sekali peraturan yang dianggap merugikan kegiatan usahatani karet mereka (seperti penentuan syarat
kadar karet kering). Hal ini jelas membingungkan petani, karena selama pengalamannya berkebun
13
karet, persoalan ini tidak pernah menjadi hambatan, dan kenyataannya ojol mereka juga laku terjual
atau dibeli oleh para tengkulak.
Oleh karena itu, program pemerintah ini pada akhirnya kalah bersaing dengan para tengkulak
dan induk somang dalam menampung produksi karet rakyat. para tengkulak dan induk somang lebih
banyak mengetahui apa yang diinginkan oleh para petani, karena mereka telah lama menjalin
hubungan sosial dengan mereka. Pemerintah dalam usaha untuk menyejahterakan rakyatnya juga
hanya mengetahui dan mengejar targetnya sendiri. Sementara, Pemerintah justru sering menganggap
para tengkulak dan induk somang sebagai musuh petani dan musuh pemerintah dalam pemasaran
karet rakyat. Padahal sesungguhnya hubungan antara petani dan para tengkulak serta induk somang,
bukanlah hanya sekedar hubungan antara petani dan pedagang semata, bahkan lebih dari itu, ikatan
sosial mereka sudah begitu kuat dan mengakar lebih lama.
Jelas bahwa, lama kelamaan program pemerintah yang demikian ini tidak lagi mendapat respon
positif dari para petani karet di Riau. Dengan kata lain program tersebut gagal dalam memenuhi
sasaran pembangunan yang sesungguhnya. Para petani sudah mengetahui bahwa program tersebut
lebih banyak untuk memenuhi kepentingan dan keinginan pemerintah yaitu mengejar devisa dan
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Keinginan pemerintah yang menggebu dalam
menciptakan pertumbuhan ekonomi inilah pada akhirnya sering melupakan kepentingan utamanya,
yaitu mensejahterakan rakyatnya. Akhirnya petani pun merasakan bahwa pembangunan sentra-sentra
penampungan karet yang dibuat oleh pemerintah selama ini belum menyentuh kepentingannya,
apalagi meningkatkan taraf kehidupannya.
Selanjutnya kegagalan program yang pertama tersebut, mendorong pemerintah untuk
mengembangkan strategi yang lain, yitu strategi kedua yang melakukan pembinaan perkebunan
rakyat dengan membentuk unit pelaksana proyek (UPP). Usaha ini diharapkan oleh pemerintah
mampu mengakomodasi secara menyeluruh kepentingan pihak-pihak yang terlibat. Salah satu usaha
ini di Riau dikenal dengan istilah proyek SRDP. Proyek SRDP utamanya ditujukan untuk
membangun dan mengembangkan perkebunan karet rakyat. Sebagaimana program yang pertama,
proyek SRDP ini juga kental dengan nuansa modernisasi dalam sentuhan pembangunannya. Oleh
karena itu tidak mustahil lagi bahwa untuk melaksanakan dana kelancaran proyek ini perlu memenuhi
persyaratan tertentu yang diharuskan oleh sistem tersebut.
Dalam target pembangunan proyek SRDP ditargetkan bahwa pendapatan petani harus mampu
mencapai minimal US $1.500 per tahun. Dengan kata lain proyek ini dikatakan berhasil jika para
petani yang dibinanya mampu menghasilkan pendapatan dalam setahun sebesar US $ 1.500. Untuk
itu setiap petani yang ingin menjadi anggota SRDP harus memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan
tersebut antara lain petani harus mempunyai kebun karet minimal seluas 2 ha, berusia tidak lebih dari
45 tahun, jarak antara kebun dengan rumah tidak lebih dari 1 km dsb.
14
Selain itu dalam pelaksanaan pembangunan dan pengembangan perkebunan karet rakyat
berikutnya para petani juga masih dipusingkan dengan persyaratan teknik budidaya yang menurut
mereka masih “asing”. Persyaratan ini bagi proyek memang sudah tidak bisa dihindarkan lagi,
artinya memang sudah given harus dilaksanakan. Karena modernisasi perkebunan rakyat yang
dilakukan oleh pemerintah menggunakan teknologi baru, bibit unggul, pupuk lengkap, pengendalian
hama/penyakit sampai teknik penyadapan sudah ada aturan baku.
Singkatnya, proyek SRDP ini riwayatnya hampir sama dengan program pertama, yaitu gagal di
tengah jalan. Beragamnya persyaratan yang ditetapkan oleh proyek bukan membuat petani senang
dan terbantu, justru mereka semakin merasa berat untuk memenuhinya. Pemerintah sering kurang
memperhatikan kendala sosial yang dihadapi petani karet di tingkat lokal. Misalnya tentang
persyaratan usia yang telah digariskan oleh proyek. Kebanyakan yang mengelola perkebunan karet
rakyat adalah para petani yang usianya sudah relatif tua. Para generasi muda kebanyakan lebih suka
merantau ke luar desa atau sekolah ke pusat keramaian kota. Selain itu ada juga kendala dalam teknik
penyadapan dan pemeliharaan.
Umumnya petani kesulitan untuk menyadap dua kali sehari seperti yang ditentukan oleh
proyek. Petani lebih senang menyadap kebun karet sesuaikan dengan kebutuhan ekonomi
keluarganya. Artinya jika rumah tangga kekurangan uang atau anaknya yang sekolah meminta biaya;
mereka baru rajin melakukan penyadapan kebun guna memenuhi kepentingan keluarganya.
Singkatnya dalam proses pembangunan perkebunan tersebut pemerintah masih kurang
memperhatikan kendala-kendala social, kunci yang dihadapi petani. Selain itu pemerintah juga
kurang memperhatikan kebiasaan yang telah dilakukan petani secara turun temurun. Malah, terkesan
pemerintah cenderung memberantas budaya petani yang telah mentradisi tersebut. Dengan demikian
tujuan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah yang cenderung menerapkan strategi
modernisasi di berbagai bidang kehidupan masyarakat justru akhirnya menjadi bumerang.
Sektor perkebunan karet rakyat dibangun dengan mengintroduksi berbagai macam teknologi
yang mutakhir, semua persoalan yang berkaitan dengan rendahnya produksi dan produktivitas lahan
perkebunan dipecahkan secara teoritis yang dianggap paling rasional dan semua hal yang bersipat
tidak logis diabaikan. Tindakan pengabaian dan penghilangan budaya masyarakat ini kemudian justru
sering menjadi bumerang dalam melaksanakan program pembangunan tersebut. Akibatnya, semua
jenis program dan institusi yang dibentuk oleh pemerintah (formal) untuk melaksanakan program itu
tidak mendapat dukungan dari rakyat dan akhirnya tidak populer sehingga mati di tengah jalan
sebelum tujuannya tercapai.
15
Peranan Perkebuan Karet dalam Membangun Masyarakat Petani di Riau
Konsep pembangunan dewasa ini lebih banyak dimaknai oleh sebagian besar petani hanya
sebagai upaya untuk meningkatkan devisa negara dengan memperbesar atau meningkatkan laju
pertumbuhan ekonomi (economic growth). Artinya berhasil atau gagalnya program pembangunan
hanya diukur dari indikator ekonomi saja. Sebetulnya kalau saja pembangunan hanya dimaknai
sebatas itu, mungkin sejak zaman Orde Lama hingga Orde Baru pembangunan Indonesia sudah nyata
menunjukkan kemajuannya. Tapi kenyataan ini dapat dilihat dalam pembangunan perkebunan
nasional, khususnya dalam pembangunan perkebunan karet. Menurut Mubyarto dan Dewanta (1991),
sumbangan ekspor komoditas karet untuk devisa negara sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1925,
khususnya dari daerah Sumatera Timur. Sumbangan tersebut terus meningkat seiring dengan
peningkatan permintaan karet alam dunia. Pada awal masa Orde Baru (1971), sumbangan devisa
negara dari karet alam baru sebesar US $22 juta. Kalau dikaitkan dengan penerimaan ekspor nasional,
maka sumbangan dari sektor ini saja mencapai 16 persen. Pada tahun 1980 penerimaan devisa negara
dari sektor perkebunan telah meningkat menjadi US $1.113 juta.
Demikian pula halnya yang terjadi dengan pembangunan perkebunan karet rakyat di propinsi
Riau. Tujuan pembangunan perkebunan skala mikro adalah untuk meningkatkan produksi yang
selanjutnya diharapkan akan meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Sedangkan dalam skala
yang lebih besar (nasional/makro) pembangunan perkebunan itu tentu untuk meningkatkan
sumbangan devisa negara dari sektor perkebunan. Untuk itu, kemudian pemerintah mengadakan dan
melaksanakan berbagai proyek pembangunan perkebunan karet rakyat, seperti SRDP, PIR/NES dan
PRPTE. Menurut Rusli dkk (1996), sebagian besar komoditas perkebunan yang merupakan
komoditas ekspor dihasilkan oleh perkebunan rakyat yang produktivitasnya masih rendah. Memang
dengan adanya proyek-proyek perkebunan rakyat tersebut produktivitas karet rakyat dapat meningkat,
dari semula hanya berkisar 300-500kg/ha meningkat menjadi 800kg/ha/tahun.
Namun makna pembangunan sesungguhnya bukan hanya economic growth. Sebab jika
keberhasilan pembangunan hanya dilihat dari peningkatan indikator ekonomi semata, maka hal
tersebut dapat menyesatkan. Pada dasarnya hakikat pembangunan tidaklah sesederhana itu. Sebab
salah satu makna pembangunan adalah mampu untuk mengadakan perubahan sosial di dalam
masyarakat dan pembebasan. Apakah keberhasilan pembangunan yang dilihat hanya dari indikaktor
ekonomi berdampak positif terhadap perubahan masyarakat sekitar dan menjadikan masyarakat lebih
otonom, mandiri dan kreatif. Hal ini perlu ditinjau dan dikaji lebih jauh secara menyeluruh dari
berbagai dimensi sesuai dengan tujuan pembangunan masyarakat seutuhnya.
Kalau mencermati makna pembangunan sebagai suatu agen perubahan sosial, maka perlu
dilihat apakah dengan adanya pembangunan itu juga akan membawa perubahan sosial. Sebab
perubahan sosial yang dimaksudkan tentu mengarah kepada suatu perubahan lembaga-lembaga
16
(instituions) masyarakat, termasuk di dalamnya perubahan yang mempengaruhi sistem sosial seperti
nilai sosial, sikap dan pola perilaku masyarakat pedesaan. Artinya pembangunan yang dapat dinilai
berhasil tentu tidak hanya mampu menunjukkan perubahan-perubahan terhadap indikator ekonomi
saja. Namun lebih jauh dari itu, sesungguhnya makna dan keberhasilan pembangunan akan langgeng
artinya jika pembangunan itu juga mampu untuk melakukan perubahan sosial seperti yang telah
disebutkan tadi. Jika pembangunan bertujuan untuk melakukan perubahan sosial, maka mutlak harus
melibatkan masyarakat setempat, termasuk mengacuhkan budaya dan norma yang berlaku, sehingga
dengan adanya pembangunan, mereka akan merasa diberdayakan, tidak hanya dijadikan sebagai
subyek pembangunan semata.
Kelembagaan tingkat desa yang dimaksudkan mencakup semua institusi yang ada di pedesaan,
baik yang merupakan lembaga-lembaga formal (organisasi-organisasi) maupun yang merupakan
lembaga-lembaga non-formal (kelompok dan pranata sosial). Sebenarnya pemerintah daerah Riau
menaruh perhatian yang besar untuk membina lembaga masyarakat dalam upaya untuk menggerakan
pembangunan di berbagai aktivitas kehidupan masyarakat. Dalam rangka menunjukkan
kepeduliannya, Pemerintah pusat dan Pemda selanjutnya mengatur (top-down planning) lembaga
masyarakat di pedesaan dengan mengeluarkan Undang-undang, Kepres/ Inpres, dan berbagai
peraturan daerah lainnya (seperti UU No. 5 Th. 1979 tentang Pemerintahan Desa dan Kepres No. 4 th.
1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan koperasi/KUD). Selanjutnya diwujudkan dalam
lembaga-lembaga formal seperti LMD, LKMD, KUD, Kelompok Tani, Kelompok KB, Kelompok
Belajar dan sebagainya. Diantara semua lembaga formal bentukan Pemerintah itu yang diandalkan
untuk menggerakan pembangunan adalah LKMD dan KUD. LKMD merupakan perpanjangan tangan
pemerintah untuk melaksanakan pembangunan di tataran yang paling bawah. Sedangkan KUD
diharapkan akan mampu menggairahkan sektor produktif di pedesaan.
Kalau melihat hasil penelitian Rusli dkk (1996) berkaitan dengan pembangunan yang diangkat
dari kasus profil Propinsi Riau, maka terlihat bahwa dari 19 LKMD di desa-desa penelitiannya
banyak yang tidak efektif. Keberadaan lembaga LKMD di pedesaan hanya sebatas memperlihatkan
papan namanya di halaman Kantor Desa. Sementara gagasan dan kegiatannya untuk menggerakan
masyarakat atau melakukan perubahan di desa masih jauh dari harapan. Demikian pula halnya dengan
KUD yang diharapkan mampu menjadi penggerak perekonomian desa, ternyata juga menunjukkan
belum dapat menjadi penggerak perekonomian di pedesaan. Banyak KUD yang belum mampu
berfungsi sebagai lembaga pemasaran di daerah pedesaan. Masalahnya banyak KUD tidak mampu
membuka jaringan (relasi) lebih luas sampai ke lokasi pusat produksi, dtempat produsen karet berada.
Rantai pemasaran hasil kebun berupa getah (petani Riau menyebutnya ojol) dari perkebunan rakyat
hingga pabrik pengolahan sepenuhnya masih dikuasai oleh para toke (tengkulak) yang mampu
17
membuka jaringan kerja ke tingkat yang paling bawah dan mampu membentuk sistem patron-client
yang sudah mengakar kuat di tingkat produsen karet.
Perubahan sosial di pedesaan juga sulit terlaksana, karena pada umumnya lembaga-lembaga
formal bentukan Pemerintah itu juga kurang populer di tengah masyarakat, sehingga keikutsertaan
masyarakat pedesaan pun (misalnya menjadi anggota) sangat kecil. Realitas ini sebenarnya juga
cukup beralasan, karena banyak petani menyaksikan terjadi kasus (misalnya penyelewengan dana),
sehingga lembaga-lembaga formal bentukan Pemerintah di pedesaan reputasinya kurang baik. Bahkan
istilah KUD pun sering kali diplesetkan dengan sebutan Ketuo Untung Duluan. Fenomena-fenomena
yang berkembang inilah akhirnya semakin menyurutkan masyarakat untuk ikut aktif dalam proses
pembangunan. Ternyata masalahnya tidak hanya melanda lembaga LKMD dan KUD saja, namun
juga sampai kepada Kelompok Tani (KT). Penelitian Rusli dkk (1996) mencatat sekitar 80 persen KT
di propinsi Riau yang terdapat di ketiga kabupaten besar (Kampar, Bengkalis dan Indragiri Hilir)
ternyata masih merupakan KT pemula (Tabel 1). Padahal KT diharapkan sebagai lembaga kunci yang
mampu menggerakan pembangunan pertanian di pedesaan.
Tabel 1: Jumlah Kelompok Tani Menurut Kabupaten/Kodya dan Kelas Perkembangannya.
No. Kabupaten / Kodya Kelas
Pemula Lanjut Madya Utama Jumlah
1. Indragiri Hulu 381 155 25 - 561
2. Indragiri Hilir 1.083 183 63 11 1.340
3. Kepualauan Riau 63 23 - - 86
4. Kampar 756 241 57 - 1.054
5. Bengkalis 776 377 173 14 1.340
6. Pekanbaru 35 9 - - 44
Jumlah 3.093 988 318 25 4.424
Sumber: Kanwil Deptan Riau tahun 1992 dalam Rusli dkk.1996
Disamping lembaga-lembaga formal, juga ada lembaga non-formal yang telah tumbuh lama
berkembang di kalangan masyarakat. Namun ironisnya lembaga tradisional/lokal tersebut tidak
pernah atau diabaikan keterlibatannya dalam proses pembangunan. Malahan yang sering terjadi di
lapangan justru sebaliknya, banyak sekali kelompok tani hasil bentukan Pemerintah yang tidak
mampu berjalan sebagaimana mestinya. Karena kelompok formal tersebut dirasakan oleh masyarakat
petani bukan sebagai patner dalam bekerja, namun tidak lebih, hanya dipandang sebagai “tandingan
atau rival” saja, sehingga petani setempat pun merasa harus menjaga jarak dan mempertahankan
eksistensinya.
18
Kalau dicermati, sesungguhnya kelompok non-formal tersebut sudah beradaptasi dan teruji
kemampuannya di dalam lingkungan masyarakat setempat. Karena perkembangannya lebih didorong
oleh adanya kebutuhan-bersama (seperti kelembagaan gotong royong yang didasarkan pada tradisi
batobo) yang merupakan ikatan turun temurun, maka sampai sekarang keberadaannya tetap masih
eksis. Padahal aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat mulai dari pengolahan tanah
sampai tahap pemanenan. Dalam hal ini, petani yang tergabung dalam kelompok batobo tidak pernah
mempersoalkan luas atau sempitnya lahan yang akan dikerjakannya. Tapi mereka secara
berkelompok mampu secara sukarela menanggung seluruh biaya natura yang dipergunakan selama
berlangsungnya kegiatan batobo. Jadi kalaulah Pemerintah mampu membaca kebiasaan-kebiasaan
masyarakat setempat dan berkolaborasi dengan lembaga-lembaga non-formal yang ada di pedesaan
secara simbiosis mutualistis, tidak mustahil pembangunan yang selama ini dilaksanakan dengan
gencar oleh Pemerintah akan mendapat sambutan yang bernilai positif dari masyarakat petani di
pedesaan Riau.
Upaya mempercepat dan memberikan stimulus kepada masyarakat di Riau agar mampu
meningkatkan produksi dan kesejahteraannya, selain lembaga-lembaga formal yang telah disebutkan
sebelumnya, saat ini Pemerintah juga telah melibatkan perusahaan negara (BUMN) dan swasta yang
kemudian membangun perkebunan karet. Awalnya pilihan ini sesungguhnya sudah baik, karena
perkebunan karet rakyat telah lebih lama membudaya dalam masyarakat Riau. Namun dalam
menetapkan langkah (strategi) selanjutnya untuk diterapkan di lapangan sering mengalami kendala
social yang serius. Misalnya dalam pembangunan sebuah perkebunan. Pemerintah biasanya tidak
pernah memikirkan bagaimana fungsi pengawasan bisa dijalankan dengan baik, seperti membangun
dan memperlancar sarana dan prasarana transportasi. Akhirnya perkebunan yang dibangun di lokasi
yang jauh dari pusat pengawasan pemerintah menjadi suatu daerah yang benar-benar “terisolasi”.
Sebab pembangunan yang telah dilaksanakan tanpa kontrol dari pemerintah tersebut juga tidak
melaksanakan fungsinya, yaitu melibatkan masyarakat untuk memberdayakan mereka. Dengan
demikian wajar kalau pihak perusahaan dituduh hanya berfikir untuk mengejar keuntungan
kelompoknya saja.
Akibat permasalahan isolasi tersebut jika tidak diantisipasi dengan cepat, maka tidak mustahil
kemudian pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah hanya akan membuat kesan yang negatif di
mata masyarakat. Artinya sebagaimana disebutkan oleh Rusli dkk (1996) bahwa akibat permasalahan
isolasi tersebut program pembangunan lebih terkesan hanya sebagai sinterklas yang membagi-
bagikan sarana dan dana, namun tidak memberikan dampak yang nyata dan mengakar pada
masyarakat. Selain itu hadirnya berbagai perusahaan swasta juga cenderung sebagai “kelompok luar”
yang keberadaannya kurang mengakar pada kehidupan masyarakat lokal (kurang berpengaruh
terhadap penciptaan lapangan kerja dan peluang berusaha bagi penduduk setempat). Justru hadirnya
19
perusahaan swasta menimbulkan kecemburuan sosial masyakarat lokal, karena atas alasan etos kerja
yang kurang baik, akhirnya masyarakat setempat tidak dilibatkan pekerjaan. Bahkan langkah yang
ditempuh perusahaan pun akhirnya hanya merekrut tenaga kerja dari luar daerah yang dianggap lebih
mampu.
Orientasi Pembangunan Daerah: Sudut Pandang Baru
Wilayah propinsi Riau luasnya kurang lebih 94.562 km2 dan memiliki situasi geografis khusus,
karena propinsi ini terdiri dari banyak pulau besar dan kecil (sekitar 3.214 buah) dengan perairannya
yang luas (Depdikbud, 1993). Karena itu orientasi dalam membangun daerah (wilayah) untuk
meningkatkan kehidupan masyarakatnya juga memerlukan strategi dan kebijaksanaan tersendiri.
Dengan demikian sebaiknya strategi dan kebijaksanaan pembangunan yang ditempuh juga harus
berdasarkan kenyataan yang ada itu. Artinya usaha pembangunan harus dilandasi dengan kenyataan
daerah yang sebenarnya dan menggunakan segala kemampuan (sumberdaya daerah) yang tersedia.
Bukan malah sebaliknya, dengan mencontek konsep pembangunan dari Barat menjadi suatu
keharusan dan kemampuan mencetak hutang dari luar negeri dianggap suatu prestasi gemilang. Selain
itu tujuan pembangunan yang hanya mengejar laju pertumbuhan ekonomi tinggi memang pada
dasarnya tidak selalu salah, tetapi pengalaman telah menunjukkan bahwa tujuan itu kemudian
membuat pandangan kita menjadi kabur dan lupa dengan persoalan pokok yang dihadapi rakyat, yaitu
kemiskinan dan ketimpangan. Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan pembangunan daerah yang
sesungguhnya, maka semua orientasi lama tersebut harus mulai ditinggalkan.
Berkaitan dengan hal itu maka pelaksanaan pembangunan propinsi Riau tentu harus melihat
dan memadukan berbagai aspek yang ada di wilayahnya. Kenyataan ini tidak dapat dihindari jika
kemudian propinsi Riau juga memiliki pembangunan yang sifatnya multidimensi. Artinya, di satu sisi
propinsi Riau mempunyai pembangunan yang berdimensi pertumbuhan sangat cepat, dan umumnya
ada pada sektor industri pertambangan, pengolahan minyak, dan pengolahan kayu. Namun dalam
kenyataannya industri-industri ini tidak begitu banyak memiliki pengaruh yang nyata terhadap
kehidupan masyarakat (kurang mampu memberikan pengaruh kepada pendapatan masyarakat dan
penyerapan tenaga kerja lokal). Sementara di sisi lain propinsi ini juga mengalami permasalahan
pembangunan masyarakat suku terasing seperti suku Sakai, Talang Mamak, dan Suku Laut, bahkan
akibat cepatnya pertumbuhan pembangunan seperti tersebut di atas, justru kemudian semakin
menyingkirkan dan menyengsarakan masyarakat terasing ini.
Demikian pula dengan pembangunan pertanian. Sebagaimana telah diungkapkan di atas
pembangunan pertanian, khususnya di subsektor perkebunan di daerah propinsi Riau juga
menghadapi permasalahan. Pembangunan di subsektor pertanian ini menghadapi permasalahan yang
khas dan kompleks, yaitu di satu sisi pembangunan dan perkembangan di subsektor perkebunan
20
secara ekonomis menunjukkan atau berjalan relatif cepat, namun di pihak lain subsektor ini juga
masih belum mampu memberikan perubahan dalam kehidupan sosial (pendapatan dan kesejahteraan
rakyat) karena pembangunan itu sepertinya tidak didukung atau tidak membangun dan tidak
memberdayakan masyarakat serta lembaga-lembaga lokal yang sudah ada di dalam masyarakat.
Sehingga manfaat pembangunan subsektor ini pun akhirnya hanya bisa dirasakan oleh sebagian orang
saja, sementara masyarakat masih tetap belum mampu merasakan hasil pembangunan ini.
Oleh karena itu, dengan realitas yang ada, maka sebaiknya dalam mengatasi berbagai
kesenjangan dan kemiskinan yang masih dirasakan tersebut, paling tidak dalam hal ini
penanggulangannya juga perlu dilihat dalam dimensi; pertama, pembangunan dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi tentunya harus melalui pemanfaatan sumberdaya, terutama
yang dikuasai oleh kelompok-kelompok masyarakat kecil (petani); kedua, perlunya memberikan
kemudahan kepada kelompok miskin dan para petani untuk memperoleh dan memanfaatkan
(aksesbilitas) tanah, modal, dan berbagai infrastruktur serta input-input produktif lainnya dan ketiga,
perlu diingat adalah perlunya mengembangkan struktur sosial kelembagaan dalam meningkatkan
kemampuan masyarakat, khususnya untuk para petani dan kelompok miskin lainnya agar mereka
nantinya mampu mengatasi permasalahannya secara otonom, kreatif dan mandiri. Ketiga hal tersebut
dalam jangka panjang akan menciptakan kehidupan yang produktif dan diharapkan akan mampu
meningkatkan kesempatan dan kemampuan kerja serta pendapatan mereka.
Selain itu perlu juga diperhatikan bahwa, meningkatkan taraf kehidupan petani dan kelompok
masyarakat miskin lainnya merupakan bagian integral dari pembangunan yang sedang dilaksanakan
yang perlu dilihat dalam jangka panjang dan berkesinambungan serta sungguh-sungguh. Dalam hal
ini pengaruh aspek sosial dan kelembagaan semakin menekankan pentingnya proses pentahapan
kegiatan untuk menanggulangi persoalan tersebut. Oleh karena itu kegiatan untuk meningkatkan
kehidupan petani dan kelompok masyarakat miskin tidak dapat dilihat sebagai suatu perhitungan
untung dan rugi atau manfaat dan biaya yang diterima saja. Meskipun demikian strategi untuk
menanggulangi permasalahan tersebut masih perlu didasarkan pada usaha peningkatan kesempatan
kerja dan pendapatan masyarakat secara keseluruhan. Secara khusus strategi dan kebijaksanaan ini
sebaiknya ditujukan bagi masyarakat petani di pedesaan dan kelompok masyarakat miskin lainnya.
Intinya strategi dan kebijaksanaan pembangunan daerah yang perlu ditempuh adalah yang
mampu memacu kemandirian masyarakat. Meskipun pada awalnya memang harus melakukan
kemajuan ekonomi daerah (khususnya daerah tertinggal) sehingga bisa mengurangi kesenjangan
dalam masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan peluang pembangunan secara terus-
menerus. Sebagai konsekuensi dari strategi dari kebijaksanaan tersebut, tentu mengharuskan berbagai
lembaga formal (dinas dan instansi pemerintah) dan lembaga swasta serta masyarakat sebagai pelaku
21
pembangunan untuk melihat kembali peran masing-masing dalam upaya mendukung pertumbuhan
ekonomi dan mewujudkan jalur-jalur pemerataan.
Program-program yang perlu dibuat untuk melaksanakan strategi dan kebijaksanaan itu
misalnya pertama, mengembangkan infrastruktur yang menghubungkan daerah sentra produksi
perkebunan (karet) dan mungkin juga daerah pedalaman dengan pusat pertumbuhan sehingga mampu
membuka isolasi daerah itu. Terbukanya isolasi akan melancarkan komunikasi, sehingga
memudahkan informasi, pendidikan, pengawasan dan sebagainya. Kedua, mengembangkan kegiatan
pertanian rakyat kembali melalui jalur yang benar, misalnya dengan pola intensifikasi dan penerapan
teknologi yang sesuai dengan kondisi lokal serta dibarengi dengan pemberdayaan lembaga agribisnis
yang ada dengan memperhatikan keterkaitan antar subsistem.
Selanjutnya yang ketiga, perlu mengembangkan swadaya lokal. Artinya membangun
kemampuan masyarakat agar mereka mampu mengatasi masalahnya sendiri dengan otonom, kreatif
dan mandiri. Untuk membangun ini, awalnya perlu pembinaan dari pihak (lembaga) atas desa yang
bersifat multisektoral. Hal ini dikarenakan pada kenyataan bahwa biasanya kepentingan masyarakat
(petani) di pedesaan tidak pernah tunggal, melainkan majemuk, sehingga memerlukan pelayanan
yang terpadu. Keswadayaan lokal ini juga menyangkut kelembagaan lokal, SDA dan SDM lokal serta
berbagai perencanaan di tingkat lokal pula. Kemudian kemungkinan yang keempat adalah perlu
memadukan seluruh kebijaksanan dan strategi itu dalam keputusan pemerintah (daerah) yang
mungkin dapat direfleksikan dalam perencanaan pembangunan daerah. Sehingga porsi untuk
mengatasi persoalan ketimpangan kehidupan masyarakat akan mendapat penekanan yang seimbang
dengan porsi kegiatan yang ditujukan untuk kegiatan pertumbuhan ekonomi.
KESIMPULAN
Wilayah propinsi Riau terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil serta wilayah perairan yang
luas. Dalam proses pembangunan wilayah (daerah) sering menghadapi berbagai masalah yang cukup
komplek. Selain luasnya wilayah, permasalahan muncul disebabkan oleh adanya keragaman
aksesbilitas antar daerah, teknologi, sumberdaya manusia dan keragaman perkembangan
pembangunan. Keadaan seperti ini terasa sekali di daerah pedesaan. Dimana sebagian besar
masyarakat Riau yang tinggal di pedesaan adalah sebagai petani karet rakyat dan umumnya masih
dalam kondisi yang memprihatinkan.
Sejauh ini strategi dan langkah kebijaksanaan pembangunan untuk membangun dan
mengembangkan perkebunan karet rakyat telah diusahakan oleh pemerintah, seperti pertama,
pemerintah membentuk pusat-pusat pengolahan karet di beberapa daerah sentra produksi dengan
tujuan menampung dan mengolah lateks dari hasil perkebunan rakyat dan untuk memperbaiki mutu
22
olahannya. Kedua, melakukan pembinaan perkebunan rakyat dengan membentuk unit pelaksana
proyek (UPP). Untuk propinsi Riau, program ini kemudian banyak dilaksanakan dan lebih dikenal
dengan istilah proyek SRDP. Sistem ini diharapkan mampu berfungsi sebagai pembina petani karet
secara menyeluruh yang meliputi masalah budidaya sampai persoalan pemasaran.
Namun dalam perjalanannya pembangunan perkebunan (rakyat) tersebut belum banyak
memberikan manfaat kepada petani kebun, terlebih lagi bagi masyarakat miskin di pedesaan lainnya.
Hal ini umumnya disebabkan oleh strategi pembangunan perkebunan yang lebih condong/berorientasi
kepada meningkatkan produksi guna mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan memperbesar
devisa negara. Sementara, aspek persoalan sosial kemasyarakatan seperti lembaga-lembaga lokal dan
berbagai relasi produksi di tingkat lokal yang terkait langsung dengan upaya meningkatkan kehidupan
masyarakat di pedesaan justru tidak dibangun secara memadai. dan terkesan diabaikan.
Selain itu hadirnya perusahaan perkebunan modern yang besar, seperti BUMN dan swasta yang
diharapkan akan mampu memberikan stimulus pada masyarakat untuk lebih produktif, ternyata tidak
bisa memberikan “apa-apa”. Bahkan hadirnya berbagai perusahaan itu justru oleh masyarakat
dianggap sebagai “kelompok lain”. Sehingga berbagai program Pemerintah, termasuk yang berkaitan
dengan pembangunan perkebunan rakyat kurang populer dan tidak mendapatkan dukungan di tingkat
bawah, bahkan tidak jarang justeru mendapatkan penolakan dari masyarakat lokal. Dengan demikian
sasaran pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat malah melahirkan
ketimpangan (kemiskinan) dalam banyak aspek dan di berbagai daerah. Kondisi ini menunjukkan
bahwa program pembangunan pemerintah, khususnya di subsektor perkebunan rakyat belum
memperlihatkan keberhasilan yang benar dan nyata. Jadi, strategi pembangunan perkebunan karet
rakyat yang dilakukan oleh pemerintah selama ini belum mampu mencapai sasaran pembangunan
yang sesungguhnya, yaitu membangun dan menciptakan masyarakat (petani) agar mereka mampu
mengatasi segala persoalannya secara mandiri, kreatif dan otonom.
Oleh karena itu agar pembangunan dapat bergerak dengan baik dan berhasil seperti yang
diharapkan, maka (khususnya) pemerintah harus mampu mengakomodasikan berbagai modal dan
kekuatan yang ada di tingkat lokal, baik yang berupa SDA, SDM maupun modal-modal sosial lainnya
untuk menggerakan roda pembangunan tsb. Sebab keberhasilan pembangunan tidak hanya dinilai dari
meningkatnya indikator ekonomi saja. Namun yang lebih penting dari itu adalah pembangunan
mampu mengadakan perubahan sosial, yaitu membuat masyarakat menjadi mampu memecahkan
persoalannya secara otonom, kreatif dan mandiri. Jadi kalau sudah mencapai tingkatan yang demikian
boleh disebut bahwa pembangunan sudah memberikan nilai tambah nyata kepada rakyat dan bangsa
ini.
23
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2001. Statistik Penduduk Indonesia 2001. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Depdikbud. 1993. Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan dalam Upaya Pemeliharaan
Lingkungan Hidup di Daerah Riau. Depdikbud, Jakarta.
Dirjen Perkebunan, 2001. Statistik Perkebunan Karet Indonesia 1999-2001. Direktorat Jenderal
Perkebunan, Jakarta.
Evers Hans Dieter, 1988. Teori Masyarakat Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern.
Yayasan Obor. Jakarta.
Kartodirdjo, Sartono. 1990. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Long, Norman, 1987. Sosiologi Pembangunan Pedesaan. Bina Aksara. Jakarta.
Mubyarto dan Dewanta, Awan Setyawan. 1991. Karet Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media.
Yogyakarta
Ndraha, Taliziduhu. 1990. Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal
Landas. Rineka Cipta. Jakarta.
Rusli, Said dkk. 1996. Pembangunan dan Fenomena Kemiskinan Kasus Profil Riau. Grasindo.
Jakarta.
Soemardjan, Selo. 1962. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yayasan Obor. Jakarta.
Schoorl, J.W. 1980. Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara Sedang
Berkembang. Gramedia. Jakarta.
Suwarsono & Alvin So. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan Indonesia. LP3ES. Jakarta.
Thahar Nasrul. 2000. Petani Karet Jambi Terbelenggu Kemiskinan. Harian Kompas, 25 Juli
2000, p.26, Jakarta.
Tim Penulis PS. 1992. Karet Strategi Pemasaran Tahun 2000, Budidaya dan Pengolahan.
Panebar Swadaya. Jakarta.