identitas politik islam
DESCRIPTION
Padangan yang keliru tentang politik tumbuh di tengah-tengah umat Islam. Politik itu kotor dan menghalakan segala cara. Hal ini disebabkan karena pemikiran sekuler yang mendominasi kehidupan mereka. Oleh karena itu, perlu diberikan pandangan yang utuh terkait bagaimana Islam mengatur politik sekaligus menunjukan bahwa realitas politik yang ada saat ini bukanlah politik yang diperintahkan Islam. Sehingga realitas tesebut harus diganti dan supremasi politik Islam harus ditegakkan.TRANSCRIPT
1 | P a g e
IDENTITAS POLITIK ISLAM Oleh : Asep Bagja Nugraha
1
Dalam sebuah hadist2, Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa umat terbaik adalah generasi para sahabat,
lalu generasi setelahnya, dan generasi setelahnya lagi. Di zaman terbaik itu, khususnya sesudah Rasulullah
saw. wafat, masalah paling menonjol dan mengemuka adalah masalah kepemimpinan (bai’at, khilafah).
Peristiwa di Tsaqifah Bani Saidah3, untuk mengangkat seorang khalifah (Abu Bakar), menunjukan bahwa
masalah ini adalah masalah yang sangat penting. Pemilihan khalifah telah menyita perhatian umat Islam pada
saat itu, sehingga penguburan jenazah Rasulullah harus ditunda. Para sahabat, yang berkewajiban untuk
mengurus jenazah Rasulullah dan menguburnya, ternyata sebagian dari mereka lebih menyibukan diri untuk
mengangkat khalifah dan menunda pemakaman Rasulullah saw. Sebagian sahabat yang lain mendiamkan
perkara tersebut dan ikut serta dalam penundaaan penguburan jenazah Rasulullah saw. hingga dua malam.
Hal ini tidak akan terjadi kecuali perkara mengangkat khalifah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.
Para sahabat telah berijmak terkait kewajiban untuk mengangkat seorang khalifah.
1 PENDAHULUAN
Adakah sistem politik dalam Islam ? Ada tiga jawaban yang bisa kita dapatkan terkait pertanyaan ini.
Pertama, pendapat yang disampaikan oleh al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah dari kalangan ulama
salaf; Abu'l 'Ala al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani, Abdul Qadin Zallum dari kalangan ulama
mutaakhirin. Dalam pandangan mereka, sistem politik dalam Islam bukan sekedar ada, tetapi menjadi
perkara ma'lumun min ad-din bi adh-dharurah (sesuatu yang sudah jelas diketahui wajibnya) sebagaimana
wajibnya shalat, zakat, puasa, jihad atau haji. Bahkan mekanisme pelaksanaan negara seperti pola kekuasaan,
suksesi, pertanggungjawaban dan kontrol masyarakat sudah dijelaskan dengan detail seperti yang
disampaikan Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani.
Perkara bahwa politik adalah bagian dari agama, tidak pernah diragukan oleh generasi terdahulu. Pertanyaan
di atas tidak pernah muncul hingga munculnya pemikir seperti Ali Abdur Raziq4, alumni Oxford University,
Inggris yang mengeluarkan buku kontrovesial Al Islam wa Ushulul Hukm. Buku tersebut diterbitkan pada
tahun 1925 atau satu tahun setelah runtuhnya Khilafah Utsmani. Abdur Raziq mengatakan bahwa Islam
sebagimana pengertian agama dalam pandangan barat tidak mempunyai atau mendoktrinkan sedikitpun
tentang sistem politik. Islam adalah agama yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Akibat dari pandangan-panangannya ini, dia kemudian diusir dari Al-Azhar Mesir. Pendapat ini mewakili
pendapat yang kedua.
Pendapat ketiga, pada intinya tidak menolak pendapat yang pertama tetapi juga tidak setuju dengan pendapat
kedua. Menurut mereka, Islam adalah agama yang lengkap meliputi segala aspek kehidupan, bukan seperti
agama dalam pandangan barat yang terbatas pada hubungan manusia dengan Tuhan. Islam memiliki sistem
politik namun sebatas garis besar, pokok-pokok atau substansi saja sehingga dalam perinciannya diserahkan
kepada manusia. Bagi mereka bagaimanapun negara dijalankan, selama sejalan dan tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip Islam maka itu sudah bisa disebut negara Islam. Pendapat ini bisa kita lihat dari para
politikus muslim di negeri ini.
Pendapat kedua dan ketiga, jelas-jelas tidak berdasarkan dalil-dalil syara bahkan bertentangan dengan ajaran-
ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam al-Quran dan contoh dari Rasulullah saw. Oleh karena itu,
memahami realitas politik umat Islam pada saat ini harus dilakukan. Kemudian kita juga harus menjelaskan
kepada umat Islam tentang realitas politik seperti apa yang dituntut oleh Islam. Hal inilah yang akan coba
kita kaji lebih jauh melalui tulisan ini.
1 Disampaikan dalam Halaqoh Syahriyyah 13 Maret 2011
2 HR Bukhari No. 3377
3 Ajihizah ad-Daulah al-Khilafah yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir atau Tarikh Khulafa oleh Imam Suyuthi
4 http://blog.re.or.id/kontroversi-ali-abd-al-raziq-masalah-negara-dalam-islam-i-2.htm
2 | P a g e
2 REALITA POLITIK DALAM UMAT ISLAM MASA KINI
2.1 Peruntuhan Institusi Politik Islam Yang Terakhir
Pada tanggal 29 Oktober 1923, Majelis Nasional mengadakan suatu pertemuan penting. Mustafa Kamal
berdiri di atas podium dan menyampaikan pidato. Dia menyatakan pendirian Negara Republik Turki. Di
antara isi pidatonya adalah sebagai berikut5
“Anda telah menugaskan saya untuk menyelamatkan keadaan di saat yang kritis ini. Namun krisis ini bukan
akibat perbuatan Anda. Sumber dari krisis ini bukanlah suatu perkara yang sederhana, namun karena
kesalahan mendasar dalam sistem pemerintahan kita. Majelis nasional melaksanakan fungsi sebagai
lembaga legislatif sekaligus lembaga eksekutif. Setiap anggota Majelis Nasional masih harus ikut campur
dalam tiap pengambilan keputusan pemerintahan dan turut mengatur departemen-departemen pemerintahan
dan keputusan-keputusan para mentri. Tuan-tuan ! Tidak seorang mentri pun yang dapat melaksanakan
tanggung jawabnya dan menerima kedudukannya dalam kondisi seperti itu. Anda harus menyadarai bahwa
pemerintahan yang dibangun dengan landasan seperti itu tidak akan dapat berdiri tegak. Kalaupun tegak,
itu suatu opemerintahan yang kacau. Oleh sebab itu, saya telah memutuskan bahwa Turki harus menjadi
sebuah republik dengan seorang presiden terpilih”
Kemudian pada tanggal 3 Maret 1924, Majelis Nasional menyetujui penghapusan Khilafah dan pemisahan
agama dari urusan-urusan negara. Pada tanggal 24 Juli 1924 ditandatangani Perjanjian Lausanne yang
kemudian diikuti dengan pengakuan negara-negara barat terhadap Republik Turki. Salah seorang perwira
polisi militer Inggris menyatakan keberatannya terhadap pengakuan Inggris atas kemerdekaan Turki. Lord
Curzon, Menteri Luar Negeri Inggris pada saat itu, menjawab
“Yang penting Turki telah dihancurkan dan tidak akan pernah bangkit lagi, karena kita telah
menghancurkan kekuatan spiritiual mereka, yaitu Khilafah dan Islam”
Sejak saat itu, berbagai upaya dilakukan oleh umat Islam untuk mengembalikan khilafah mereka. Upaya-
upaya tersebut tidak berjalan dengan mudah, karena semakin lama tantangannya semakin besar. Upaya
membangkitkan pemikiran umat Islam semakin berat dengan berkembangnya pemikiran sekuler di tengah-
tengah mereka. Pada sisi lain, umat Islam seakan-akan tidak berdaya ketika berhadapan dengan kemajuan
peradaban barat beserta segala macam hadharah-nya. Ketika mereka dihadapkan pada permasalahan aktual
yang semakin kompleks, mereka tidak bisa menjawab permasalahan-permasalahan tersebut dengan Islam.
Akibatnya yang muncul bukanlah dalil tetapi dalih, bukan untuk mencari kebenaran tetapi pembenaran.
Sikap defensif apologetik inilah yang kemudian muncul di tengah-tengah rendahnya konstruksi berfikir umat
Islam terhadap ideologi mereka sendiri, yaitu Islam.
2.2 Sekulerisasi
Harvey Cox, dalam bukunya The Secular City,6 berpendapat bahwa sekulerisasi adalah pembebasan manusia
dari proteksi agama dan metafisika, pengalihan dari alam lain kepada dunia ini.
“Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention
away from other world and towards this one”
Pemikiran sekulerisme tidak pernah dikenal dalam Islam pada generasai terdahulu, gagasan ini berkembang
luas dalam peradaban Kristen di Eropa. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari keterbatasan kitab-kitab suci
mereka dalam mengatur manusia, sehingga para agamawan bisa bertindak semena-mena dengan
mengatasnamakan Tuhan. Penindasan ini menimbulkan trauma sejarah yang besar di tengah-tengah
masyarakat Kristen pada zaman kegelapan. Sebagai jalan keluarnya, muncullah pemikiran untuk
memisahkan tanggung jawab tertentu dari Gereja kepada kekuasaan politik. Pemikiran inilah yang kemudian
melahirkan ideologi sekulerisme.
Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani mendefinisikan sekulerisme sebagai pemisahan antara agama dengan
kehidupan7. Gagasan ini kemudian masuk ke dalam pemikiran umat Islam. Orientasi hidup mereka tidak lagi
5 Kaifa Hudimatil khilafah (Terjemah) oleh Abdul Qadim Zalum
6 The Secular City oleh Harvey Cox
7 Nizham al-Islam dari Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani
3 | P a g e
dibimbing oleh wahyu, tetapi lebih didorong oleh kepentingan materi (ekonomi). Oleh karena itu wajar, jika
muncul ungkapan
“Karl Marx remains the genuine father of the present human generation all over the world”8
Karl Marx tetap menjadi panglima dalam segala aspek kehidupan mayoritas manusia pada saat ini. Tentu
banyak orang yang tidak mau disebut sebagai penganut Marxis, walaupun dalam kenyataanya telah
menempatkan materi (ekonomi) sebagai panglima dalam kehidupannya, ketika pembangunan bangsa dan
negara diorientasikan dengan ekonomi sebagai garda terdepannya.
2.3 Sekulerisasi Politik
Pemisahan agama dari kehidupan diikuti oleh sekulerisasi politik, yaitu pemisahan agama dari politik. Hans J
Morgenthau9 mengungkapkan bahwa politik merupakan perjuangan menuju kekuasaan. Sedangkan WA
Robson10
menyatakan bahwa perhatian ilmuwan politik tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau
mempertahankan kekuasaan. Prof. Miriam Budiarjo11
menyebutkan bahwa perhatian ilmuwan politik tertuju
pada perjuangan untuk mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain,
atau menentang pelaksanaan kekuasaan tersebut.
Paradigma politik seperti ini telah menjadi mainframe politik secara umum termasuk di negeri-negeri Islam
seperti Indonesia. Gagasan Machiavelli dalam bukunya The Prince, telah memberikan justifikasi bahwa
politik identik dengan kekuasaan. Oleh karena itu, sekulerisasi politik telah menjadikan politik kotor dimana
tujuan menghalakan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Beberapa gagasan Machiavelli yang kontroversial antara lain :12
Pertama, Machiavelli mengajarkan bahwa kekerasan, brutalitas dan kekejaman merupakan cara yang-cara
yang seringkali perlu diambil penguasa dalam rangka melanggengkan kekuasaannya. Malah, ada ahli yang
mengatakan bahwa Machiavelli adalah guru dalam “pengelolaan kekerasan”. Karena itulah di kemudian hari
muncul semboyan terkenal “menghalalkan segala cara”.
Kedua, penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai kebajikan puncak (summum bonum).
Musuh tidak boleh diberi kesempatan untuk bangkit kembali, apalagi untuk menyusun kekuatan kembali.
Politik semacam ini berintikan pada nafsu untuk merebut kekuasan dan menguasai pemerintahan tanpa
mengenal batas, sehingga penindasan dan penaklukan terhadap musuh-musuh politik dianggap sebagai
sebuah keharusan.
Ketiga, dalam menjalankan kekuasaan politiknya seorang penguasa harus dapat bertindak seperti binatang
buas, terutama seperti singa dan sekaligus anjing pemburu. Kebuasan seekor singa dapat membuat takut
seekor serigala, sedang kecerdikan dan kecerdasan anjing pemburu akan membantunya melewati berbagai
jebakan yang menghadang.
Gagasan ini pada awalnya ditujukan untuk pangeran yang berkuasa pada waktu itu. Akan tetapi, praktik-
praktik seperti di atas tetap dilakukan hingga saat ini. Memang, di kemudian hari Machiavelli menuliskan
Discourse on the First Ten Books of Titus Livius yang lebih memperlihatkan bagaimana pandangan politik
Machiavelli yang humanis, beretika dan bermoral. Namun sayangnya, seperti yang ditulis Amien Rais,
dalam bukunya Cakrawala Islam, gagasan-gagasan dalam The Prince sudah terlanjur mengakar dalam alam
bawah sadar para politikus busuk tersebut.
8 Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives oleh Fazlur Rahman
9 Politic Among Nation : The Strugel for Power and Peace oleh Hans J Morgenthau.
10 The University Teaching of Social Sciences : Political Science oleh WA Robson sebagaimana disandur
dalam : http://roudhzmee.wordpress.com/2009/01/01/pengertian-ilmu-politik-politik-dan-konsep-dasar-
ilmu-politik/ 11
Dasar-Dasar Ilmu Politik oleh Prof. Miriam Budiarjo 12
http://zulfiblog.wordpress.com/2008/03/05/politik-machiavelli-itu-politik-busuk/
4 | P a g e
2.4 Stigmatisasi Sistem Politik Islam
Snouck Hurgronje mengatakan bahwa musuh kolonialisme bukanlah islam sebagai doktrin agama melainkan
islam sebagai doktrin politik13
. Tidak dapat dielakan bahwa ketakutan Barat terhadap Islam adalah Islam
sebagai aqidah siasiyyah (politik). Oleh kerena itu, untuk menjamin bahwa umat Islam tidak dapat bangkit
dan untuk mempertahankan hegemoni peradaban barat terhadap umat Islam perlu dilakukan upaya untuk
menjauhkan umat Islam dari aktivitas politik. Serangan-serangan pemikiran dilakukan oleh para orientalis
dan pemikir barat untuk mencitraburukan sistem politik Islam. Sistem politik Islam digambarkan sebagai
sistem yang teokratis, despotik, dan otoriter. Stigmatisasi ini mempengaruhi pandangan umat Islam dan
orang bukan Islam terhadap sistem politik Islam.
Joseph Schacht mengatakan bahwa seorang khalifah adalah orang yang paling berdaulat dan penetap
hukum14
“… the caliphs acted to a great extent as the lawgivers of the community; during the whole of this first
century the administrative and legislative activities of the Islamic government cannot be separated. This
administrative legislation, however, was hardly, if at all, concerned with modifying the existing customary
law; its object was to organize the newly conquered territories for the benefit of the Arabs. In the field of
penal law, the first caliphs went beyond the sanctions enacted in the Koran by punishing with flogging, for
instance, the authors of satirical poems directed against rival tribes, a form of poetic expression common in
ancient Arabia. The introduction of stoning to death as a punishment for unlawful intercourse, which does
not occur in the Koran and which is obviously taken from Mosaic law, also belongs to this period.”
Hal yang serupa juga disebutkan oleh Bernard Lewis, yang mengatakan bahwa pemerintahan despotik dan
ototriter dibenarkan dalam islam dengan merujuk pada nash-nash sumber hukum islam15
.
“A tenthcentury jurist of the HanbalI school, Ibn Batta, observed, "You must abstain and refrain from
sedition. You must not rise in arms against the Imams, even if they be unjust. The caliph 'Umar, may God be
pleased with him, said: 'If he [the ruler], oppress you, be patient; if he dispossess you, be patient.' The
Prophet, may God bless and save him, said to Abu Dharr: 'Be patient, even if he be an Ethiopian slave.'' The
two quotations, the one ascribed to a caliph, the second to the Prophet himself, are undoubtedly false. They
are, however, frequently quoted, for obvious purposes-to provide canonical authority for principles
expressed with increasing frequency in this period: the need to give unquestioning and unfaltering obedience
to the ruler, however oppressive he might be, and to obey the agents of that ruler, however improbable the
guise in which they appear”
Kekeliruan dan keraguan terhadap sistem politik Islam di atas sebenarnya bisa dijawab, jika mereka mau
jujur menggali maksud dan kedudukan nash-nash syara dalam pemikiran politik Islam. Pengkajian yang
seharusnya dilakukan secara objektif bukan untuk kepentingan-kepentingan yang lain.
2.5 Problem Politisasi Agama
Pada tanggal 19 Maret 2001, sekitar 20 kyai khos NU Jawa Timur berkumpul di Surabaya untuk membahas
masalah bughot. Persoalan yang sama juga dibahas ulama NU se-Jawa di Sukabumi, Jawa Barat, 4 April
2001. Forum bahtsul masail tersebut dibuat terkait dengan kemungkinan lahirnya “Resolusi Jihad” jika
mereka menyimpulkan telah terjadi bughot. Sedangkan pertemuan 200 ulama NU di Rembang, Jawa Tengah,
pada 3-4 April 2001 justru menolak membahas soal bughot. Sekalipun hasil resmi pembahasannya baru
diumumkan setelah Sidang Pleno PBNU pada 13-14 April 2001 di Cilegon, Banten, namun tanggapan pun
bermunculan. Pihak yang berseberangan dengan mereka menudingnya sebagai menekuk agama demi
kepentingan politis sesaat.
Pada saat yang sama, pihak pro Gus Dur juga menuding mereka yang secara gencar menuntut Gus Dur
mundur seraya “membujuk” Megawati untuk menjadi RI-1, sebagai pihak yang mempolitisasi agama (baca:
Islam) juga. Alasannya, pada waktu terjadi pemilihan presiden tahun 1999, pihak yang tahun 2001
“membujuk” Megawati untuk tidak ragu menjadi Presiden, justru menentangnya. Alasannya, Islam
13
Politik Islam Hindia Belanda : http://serbasejarah.wordpress.com/2008/12/11/politik-islam-hindia-belanda/ 14
An Introduction To Islamic Law oleh Joseph Schacht hal. 15 15
The Political Language of Islam oleh Bernard Lewis hal. 99-100
5 | P a g e
mengharamkan perempuan untuk menjadi kepala negara. Tiba-tiba setelah setahun setengah masa
pemerintahan Gus Dur, mereka bersikap sebaliknya. Argumentasi yang dibangun berdasarkan pada alasan
keagamaan pula, perempuan dibolehkan oleh syariat Islam menjadi kepala negara karena keadaan darurat.
Akhirnya, masing-masing pihak mengklaim pihak lain mempolitisasi agama.
Peristiwa di atas semakin membenarkan pandangan yang dikenal dalam politik masa kini. Bahwa tidak ada
kawan yang abadi, tetapi yang ada adalah kepentingan yang abadi. Melihat realitas demikian, sebagian pihak
justru mendapatkan justifikasi untuk mengokohkan pendapatnya sejak lama : agama harus dipisahkan dari
politik.
2.6 Problem Ijtihad Politik
Pada tahun 2010 kemarin, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) di
Hotel The Ritz Calrton Jakarta. Ada bebarapa isu kontroversial muncul dalam pelaksanaan kegiatan ini. Yang
pertama adalah pemilihan Hotel The Ritz Calrton sendiri dan yang paling penting adalah deklarasi menjadi
partai terbuka. Isu-isu ini menjadi ijtihad politik bagi PKS, yang kemudian banyak mendapat sorotan baik
dari kader dan simpatisan PKS maupun umat Islam dan masyarakat secara umum.
Gagasan menjadi partai terbuka memang mengagetkan umat islam. Banyak pihak yang mempertanyakan
mengapa PKS harus meninggalkan idealismenya sebagai partai dakwah demi tujuan pragmatis meraih suara
di pemilu 2014 nanti. Kalangan yang mempertanyakan keputusan ini menganggap bahwa PKS telah
menyimpang dari khittah partai pada saat pendiriannya sebagai partai dakwah. Jika partai dakwah
ditinggalkan, maka PKS tidak memiliki lagi kekhasannya dan akan sama dengan partai islam lainnya yang
bersifat terbuka. Mereka juga mengaitkan hal tersebut dengan proses pembinaan melalui tarbiyah yang
menjadi basis perekrutan kader sekaligus internalisasi ideologi partai. Jika ada kalangan non-muslim
bagaimana mungkin hal tersebut dijalankan ? Bukankah ini adalah kesalahan dalam memilih strategi ?
Mereka juga kahwatir bahwa kebijakan ini justru akan menjauhkan kader-kader yang berlatar belakang
tarbiyah dari PKS sendiri. Keraguan ini dijawab oleh para elitnya dengan mengatakan bahwa kondisi politik
terkini memaksa partai untuk membuka diri. Artinya PKS mutlak harus bersifat inklusif untuk memperbesar
konstituen partai. Kegagalan di pemilu 2009 dan pemilukada di beberapa daerah seperti Banten dan Jakarta
menjadi pelajaran bagi PKS. Posisi PKS sebagai partai islam dikeroyok oleh partai-partai sekuler.
Kekhawatiran PKS akan ditinggalkan kadernya dibantah Tifatul Sembiring dengan mengatakan bahwa PKS
tetap berasas Islam dan menjunjung pluralisme. Syariah Islam tetap mejadi pedoman pribadi bagai kader
partai. Dengan demikian PKS mengambil dua kepentingan sekaligus, yakni menjunjung tinggi idealisme
partai dengan asas Islam bagi pribadi kader-kadernya sekaligus menyuarakan keterbukaan, dan inklusifisme
untuk memperbesar perolehan suara dalam pemilu.16
Seperti yang disampaikan oleh Ketua Dewan Syuro PKS Hilmi Aminuddin, inklusifisme adalah bagian dari
pelaksanaan ajaran Islam. Pelaksanaan ajaran Islam harus menerima pluralitas sebagai bagian dari dinamika
kehidupan. “Inklusif ini bukan taktik atau strategi, tapi pelaksanaan ajaran Islam yang hakiki”, tegasnya.
Pernyataan yang lebih ambisius disampaikan oleh Sekjen PKS Anis Mata yang menyatakan “Kami harus
mengadakan lompatan besar untuk masuk menjadi tiga besar pada pemilu 2014”, ujar Anis Matta. “Parpol
Islam harus tidak lagi menampilkan citra yang kaku, eksklusif dan ideologis, melainkan justru tampil segar,
ringan, pluralis”, tegasnya.17
3 IDENTITAS POLITIK ISLAM
3.1 Definisi Politik Dalam Islam
Para ulama terdahulu maupun yang sekarang telah menggunakan istilah politik (siyasah) dalam berbagai
kitabnya. Diantaranya adalah Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya As Siyasah Syar’iyah, Imam al-Mawardi
dalam kitabnya Ahkamus Sulthoniyah, Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Nidzamul Hukmi fil Islam, Ad
Daulah Al Islamiyah, Muqaddimah Dustur, Mafahim Siyasiyah, Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al
Afkaru Siyasiyah, dan lain sebagainya.
16
http://alinur.wordpress.com/2008/02/24/ijtihad-politik-pks-menjadi-partai-terbuka/ 17
http://www.eramuslim.com/berita/analisa/segalanya-berakhir-di-the-ritz-carlton.htm
6 | P a g e
Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Afkaru Siyasiyah mendefiniskan politik dengan makna mengatur
urusan umat, baik secara dalam maupun luar negeri.18
Definisi ini bersifat umum karena menggambarkan
realitas aktivitas politik yang difahami semua orang. Namun demikian masing-masing manusia memiliki
mekanisme yang berbeda terkait dengan bagaimana proses pengaturan (ri’ayah) dalam diri mereka.
Aktivitas politik dalam Islam dilakukan baik oleh negara (pemerintah) ataupun umat. Negara adalah institusi
yang mengatur urusan umat secara praktis, sedangkan umat mengoreksi (muhasabah) pemerintah dalam
menjalankan tugasnya. Dalam konteks dalam negeri, politik negara Islam dilakukan dengan menerapkan
hukum Islam dalam setiap aspek kehidupan. Negara mengatur mu’amalat, menegakkan uqubat, memelihara
akhlak, menjamin syi’ar-syi’ar ibadah dan mengurus umat dengan hukum Islam. Dalam konteks luar negeri,
politik daulah Islam diwujudkan dengan menjalin hubungan dengan berbagai bangsa, umat dan negara lain.
Politik luar negeri Islam dibangun atas dasar dakwah Islam ke seluruh dunia.
Secara bahasa, politik (siyasah) berasal dari kata sasa, yasuusu, siyasatan yang berarti mengurusi
kepentingan seseorang. Dalan kamus al-Muhith disebutkan bahwa sustu ar-ra’iyata siyasatan berarti saya
memerintahnya dan melarangnya. Definisi di atas juga dapat diambil dari berbagai hadist yang
menggambarkan aktivitas penguasa, kewajiban mengoreksinya serta pentingnya mengurus kepentingan umat
Islam.
ة فلم يحطها بنصيحة إله لم يجد رائحة الجنهة رعيه ما من عبد استرعاه للاه“Tidaklah seorang hamba yang diserahi tugas oleh Allah untuk mengatur urusan umatnya tapi dia tidak
melakukannya dengan penuh nashihat (berbuat dzalim) kecuali dia tidak akan merasakan baunya surga.
(HR. Bukhari)”
ل نب ه بددو وسيكون للها فيكررون االوكانت بنو إسرائيل تسوسهم ال ا فما تأمرنا اال فوا نبيا كلهما لل نب خ لله نب خ وإنها استر سائلهم عمه ل أعطولم حقههم فإنه للاه ل فالوه عالم ببيدة الوه
“Bani Israil urusannya selalu diatur oleh para nabi, apabila ada seorang nabi yang meninggal dunia maka
akan digantikan dengan nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi lagi setelahku tapi akan terdapat
banyak khalifah, para shahabat bertanya : Apa yang engkau perintahkan kepada kami ? Rasul menjawab :
penuhilah bai’at bagi khalifah yang pertama dan hanya yang pertama, karena Allah akan menanya mereka
tentang apa-apa yang mereka urusi.” (HR Bukhari Muslim).
Umat Islam juga diperintahkan untuk senantiasa memperhatikan urusan sesama mereka.
“Barang siapa yang ada pada waktu shubuh tapi cita-citanya adalah selain keridhaan Allah maka dia bukan
termasuk yang diridhai Allah, dan barang siapa yang ada pada waktu shubuh tapi tidak memperhatikan
urusan umat muslimin maka dia bukan bagian dari mereka”. (HR. Hakim).
Bagi seorang muslim, definisi di atas adalah hukum syara bagi mereka dalam menjalankan aktivitas politik.
Hal ini karena definisi tadi diambil dari nash-nash syara yang kita kenal sebagai ta’rif syar’i atau dalam
ushul fiqh dikenal dengan istilah haqiqoh syar’iyyah (terminologi menurut agama). Dengan demikian, politik
yang diperintahkan oleh Islam bukanlah aktivitas yang kotor karena aktivitas politik tersebut tidak bisa
dipisahkan dari agama. Ketika berbicara politik maka kita berbicara tentang bagaimana mengatur umat
dengan hukum Islam. Ketika berbicara Islam maka kita berbicara tentang bagaimana Islam ditegakkan di
tengah-tengah umat.
Namum demikian, pemahaman ini semakin kabur ketika aqidah sekulerisme masuk ke pemikiran umat
Islam. Dalam iklim pemikiran sekuler, ketika kita mendengar istilah partai politik, maka yang terlintas di
benak kita adalah kelompok yang akan berebut kekuasaan atau kursi parleman. Ketika mendengar penguasa,
maka yang muncul di benak kita adalah orang yang cenderung akan mempertahakan kekuasaan. Ketika
mendengar orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah maka dia akan dicurigai berusaha
merongrong dan menjatuhkan pemerintah.
18
Afkaru Siyasiyyah (Terjemah) oleh Abdul Qadim Zalum
7 | P a g e
3.2 Islam Adalah Aqidah Ruhiyah dan Aqidah Siyasiyyah
Islam adalah agama ataupun mabda yang berbeda dengan dengan yang lain. Islam bukan saja mengurusi
masalah spiritual (ruhiyyah), akan tetapi juga meliputi masalah politik (siyasiyyah). Atau dengan kata lain
Islam adalah aqidah spiritual dan politik (al-aqidah ar-ruhiyyah wa as-siyasiyyah).19
Aqidah ar-ruhiyyah
adalah akidah atau ajaran yang mengatur urusan keakhiratan seperti surga, neraka, pahala, siksa termasuk
juga masalah ibadah seperti shalat, zakat, haji, puasa, dan jihad. Sedangkan aqidah as-siyasiyyah adalah
akidah atau ajaran yang mengatur urusan keduniaan seperti politik, ekonomi, sosial, hukum, dan sebagainya.
Kedua akidah atau ajaran tersebut dibangun di atas dasar yang sama yaitu akidah islam. Firman Allah dalam
Al-Quran
ون زلنا عليك الكتاب تب يانا لكل شيء “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu” (QS. An-Nahl : 89)
سلم دينا الي وم أكملت لكم دينكم وأتمت عليكم نعمت ورضيت لكم ال
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maidah : 03)
Allah telah memerintahkan kepada Rasulullah sebagai pemimpin umat Islam untuk mengurus dan
menghukumi manusia dengan hukum-hukum Allah. Dengan demikian, Allah telah memerintahkan untuk
membawa hukum-hukum Allah ke dalam ranah politik untuk mengatur dan menghukumi manusia.
ن هم با أن زل الله ا جاءك من الق فاحكم ب ي ول ت تبع أهواءهم عم
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (QS. Al Maidah : 48)
Keterikatan dan ketundukan kepada hukum Allah merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
ن هم ث ل يدوا ف أن فسهم حرجا م ف ا قضيت ويسلموا تسليمال وربك ل ي ؤمنون حت يكموك فيما شجر ب ي
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An Nisa :
65)
3.3 Sistem Politik Islam
Sistem politik dalam pandangan Islam adalah hukum atau pandangan yang berkaitan dengan bagaimana
pengaturan masyarakat dengan hukum Islam. Oleh karena itu, Islam telah menetapkan asas bagi sistem
politiknya. Jika salah satu dari keempat asas ini hilang maka politik Islam akan hancur. Oleh karena itu,
keempat asas ini harus ada dalam sistem politik Islam. Asas-asas tersebut adalah :20
a. Kedaulatan ada di tangan syara
b. Kekuasaan ada di tangan umat
c. Pengangkatan khalifah untuk seluruh umat muslimin hukumnya wajib
d. Khalifahlah satu-satunya yang berhak untuk mengadopsi hokum syara untuk dijadikan undang-undang.
Pembahasan lebih jauh terakit hal ini bisa dilihat dalam Kitab Ajihizah ad-Daulah al-Khilafah.
4 BARAT BELAJAR DARI ISLAM
Daulah Islam pertama yang didirikan oleh Rasulullah di Madinah adalah pemerintahan konstitusional
pertama di dunia. Pengaturan urusan rakyat dilakukan tidak boleh sembarangan tetapi harus terikat dengan
Al-Quran dan sunnah. Kontrol masyarakat pun menjadi suatu kewajiban dengan adanya perintah untuk
mengoreksi dan menasehati penguasa. Islam telah memerintahkan mekanisme yang dapat menghalangi
terjadinya pemerintahan otoriter.
19
Diskursus Islam Politik dan Spiritual oleh Hafidz Abdurrahman 20
Ibid
8 | P a g e
Adalah suatu keanehan jika para pemikir Barat mendapatkan gagasan tentang pemerintahan konstitusional
dan pembatasan kekuasaan penguasa, kecuali mereka mendapatkannya dari sistem politik Islam yang
Rasulullah saw. wariskan. Konstitusi pertama dalam peradaban Barat adalah Magna Carta yang ditetapkan
pada tahun 1215 M di Inggris. Jika kita bandingkan dengan Piagam Madinah yang dibuat dan disepakati oleh
penduduk Madinah pada tahun 622 M, maka jelas sekali bahwa Islam telah mendahului barat hampir enam
ratus tahun.
Count Leon Ostrorog (1867-1932) menegaskan bahwa prinsip-prinsip seperti kebebasan individu, kesucian
jiwa manusia, konsep kontrak social, konsep toleransi, telah didahului oleh pemikir-pemikir Muslim:
“Those Eastern thinkers of the ninth century laid down, on the basis of their theology, the principle of the
rights of man, in those very terms, comprehending the rights of individual liberty, and of inviolability of
person and property, described the supreme power in Islam, or caliphate, as based on contract, implying
conditions of capacity and performance, and subject to cancellation if the conditions under the contract were
not fulfilled … [those Eastern thinkers of old have also] expounded a doctrine of tolerance of non-muslim
creeds so liberal that our West had to wait a thousand years before seeing equivalent principles adopted”21
Robert Briffault juga mengatakan bahwa konsep kebebasan dan persamaan manusia di bawah undang-
undang, konsep perwakilan dan pemilihan umum telah memberi inspirasi kepada Eropa sehingga
mencetuskan Revolusi Prancis dan menjadi pedoman dalam pembuatan konstitusi Amerika.
“The ideals of freedom for all human being, of human brotherhood, of the equality of all men before the law,
of democratic Goverment by consultation and universal suffrage, the ideals that inspired the French
Revolution and the Declaration of Rights, that guided the framing of the American Constitution and inflamed
the struggle for independence in the Latin American countries were not inventions of the West. They find
their ultimate inspiration and source in the Holy Qur’an. They are the quintessence of what the intelligentsia
of Mediaeval Europe acquired from Islam over a period of centuries through the various channels of Muslim
Spain, Sicily, the Crusades, and of the ideals propagated by the various societies that developed in Europe in
the wake of the Crusades in imitation of the brotherhood association of Islam”22
Masih banyak lagi konsep-konsep politik Barat yang diambil dari Islam. Konsep perwakilan mirip dengan
bay’ah wakalah yang sudah dilakukan secara ijma oleh para sahabat pada saat pengangkatan khalifah.
Begitupula konsep musyawarah mufakat, sudah dipraktikan beratas-ratus tahun sebelumnya oleh Rasulullah
saw. di Madinah.
5 PENUTUP
Padangan hidup sekuler telah membuang segala sesuatu yang bersifat transenden (ilahiyah) dan mengalihkan
perhatian manusia kepada realitas yang bersifat kekinian dan keduniaan. Apa yang manusia kejar hanyalah
kesenangan jasmani dan materi, sekadar untuk memenuhi dorongan yang timbul dari fitrah manusia yaitu
naluri dan kebutuhan jasmani. Ketika manusia melepaskan diri dari agama, manusia sekuler sesungguhnya
sedang berada dalam putaran relativisme dan nihilisme hasil ciptaan mereka sendiri.
Islam adalah suatu metode kehidupan yang unik23
. Metode ini kemudian menghasilkan peradaban yang
berbeda dengan yang lainnya. Metode kehidupan Islam dibangun atas dasar tiga prinsip. Pertama, landasan
yang mendasarinya adalah aqidah Islam. Kedua, tolak ukur perbuatannya adalah perintah dan larangan Allah.
Ketiga, makna kebahagian dalam pandangan islam adalah menggapai ridha Allah. Tiga prinsip inilah yang
kemudian membangun peradaban Islam dan ide-ide turunannya. Dengan demikian, Islam adalah suatu jalan
kehidupan yang mengaitkan antara kehidupan dunia saat ini dengan kehidupan sesudah kematian sebagai
suatu kesatuan. Inilah kehidupan yang dijalani oleh umat Islam, dimana mereka berusaha bersungguh-
sungguh untuk meraihnya dan berjalan di atas manhaj-nya. Wallahu a’lam.
21
The Angora Reform oleh Count Leon Ostrorog sebagaimana disandur dalam Dewesternisasi dan Desekulerisasi
Politik Kontemporer oleh Dr. Khalif Muammar. 22
The Making of Humanity oleh Robert Briffault sebagaimana disandur dalam Dewesternisasi dan Desekulerisasi
Politik Kontemporer oleh Dr. Khalif Muammar. 23
Daulah Islamiyyah oleh Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani