ideologi aktor dan persepsi masyarakat terhadap dampak ... · terbalik dengan ideologi swasta dan...
TRANSCRIPT
IDEOLOGI AKTOR DAN PERSEPSI MASYARAKAT
TERHADAP DAMPAK PERTAMBANGAN PASIR
DI PEDESAAN GUNUNG GALUNGGUNG
FARIS RAHMADIAN
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Ideologi Aktor
dan Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Pertambangan Pasir di Pedesaan
Gunung Galunggung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Faris Rahmadian
iii
ABSTRAK
FARIS RAHMADIAN. Ideologi Aktor dan Persepsi Masyarakat terhadap
Dampak Pertambangan Pasir di Pedesaan Gunung Galunggung. Dibimbing oleh
ARYA HADI DHARMAWAN.
Pasca erupsi, kawasan Gunung Galunggung merupakan salah satu
kawasan yang menjadi arena besar pertarungan kepentingan antara pemerintah,
masyarakat dan swasta. Objek pasir yang berlimpah menjadikan pertambangan
skala besar hadir dan berimplikasi secara esensial terhadap kehidupan masyarakat
lokal yang tidak hanya berada dekat dengan kawasan pertambangan, namun juga
berada jauh dengan lokasi pertambangan. Terlebih diketahui bahwa ideologi
masyarakat yang menekankan pada kesejahteraan dan populisme, berbanding
terbalik dengan ideologi swasta dan pemerintah yang menekankan pada profit dan
pembangunan. Dampak negatif dan positif aktivitas pertambangan mulai secara
nyata dirasakan oleh masyarakat, diantaranya seperti degradasi kualitas air,
tingkat pendapatan atau konflik yang secara krusial merepresentasikan respons
masyarakat terhadap keberadaan perusahaan pertambangan pasir yang telah
hampir tiga puluh tahun mengeruk kawasan ini.
Kata kunci: Analisis aktor, pemanfaatan sumber daya alam, penilaian dampak,
Persepsi masyarakat, pertambangan pasir
ABSTRACT
FARIS RAHMADIAN. Actor Ideology and Public Perception of Sand Mining
Impacts on Rural Galunggung Mountain. Supervised by ARYA HADI
DHARMAWAN.
After the eruption, the region of Galunggung is one of area that become
contestation arena between the interests of the government, public and private.
The abundant of sand mining object, make large scale mining industry came in
and implicates essentially on the lives of local communities who are not only
close to the mining area, but also are away from the mining area. Moreover, it is
known that the public ideology is emphasizes to welfare and populism, inversely
proportional to the private and government ideology that emphasizes to profit and
developmentalism. Negative and positive impacts of mining activity started
significantly perceived by the public, such as degradation of water quality, the
level of income, or conflict that represents the community response to the
presence of sand mining company that has been almost thirty years to dredge this
area.
Key words: Actor analysis, natural resources utilization, impact assessment,
public perception, sand mining
iv
IDEOLOGI AKTOR DAN PERSEPSI MASYARAKAT
TERHADAP DAMPAK PERTAMBANGAN PASIR
DI PEDESAAN GUNUNG GALUNGGUNG
FARIS RAHMADIAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
v
Judul Skripsi : Ideologi Aktor dan Persepsi Masyarakat terhadap
Dampak Pertambangan Pasir di Pedesaan
Gunung Galunggung
Nama : Faris Rahmadian
NIM : I34100120
Disetujui oleh
Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr
Pembimbing
Diketahui
Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen
Tanggal pengesahan: _______________________
vi
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan YME atas rahmat dan
hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul
“Ideologi Aktor dan Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Pertambangan Pasir
di Pedesaan Gunung Galunggung” dengan baik. Karya ilmiah ini mengangkat isu
pertambangan serta dampak yang ditimbulkannya terhadap masyarakat di dua
desa di kawasan gunung Galunggung, dimana sejak tahun 1984 kawasan ini telah
menjadi ladang galian tambang pasir yang memberikan dampak positif maupun
negatif terhadap tiga ruang aktor, yakni masyarakat, pemerintah dan swasta.
Pada kesempatan ini penulis ingin berterima kasih kepada Bapak Dr. Ir.
Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan banyak anjuran dan arahan pada penulis selama proses penulisan
proposal hingga penyelesaian skripsi ini, serta Ir. Fredian Tonny, Ms. selaku
dosen penguji utama skripsi, dan Ir. Hadiyanto, Msi. selaku dosen penguji
perwakilan departemen SKPM yang memberikan berbagai saran dan pencerahan
dalam penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada orang tua serta adik tercinta yang selalu memberikan
semangat, inspirasi, intimasi, edukasi dan doa untuk penulis. Serta ucapan terima
kasih juga sebesar-besarnya pada masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa
Rancapaku, khususnya warga RW 07 dan RW 10 serta kelompok pembenihan
ikan Mekar Saluyu yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data
serta menerima dengan hangat penulis disana sebagai pendatang selama periode
penelitian.
Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada semua teman
dan kerabat yang telah memberi dukungan baik moril maupun materil kepada
penulis selama proses penulisan laporan ini. Terlebih kepada keluarga besar
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, teman-teman
serta sahabat di SKPM 47. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juni 2014
Faris Rahmadian
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN xi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 5
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 6
PENDEKATAN TEORITIS 7
Tinjauan Pustaka 7
Urgensi Ekologi 7
Etika Lingkungan 10
Pengertian Pertambangan 11
Dampak Ekologi, Sosial dan Ekonomi 12
Pengertian Persepsi 15
Kerangka Konseptual 16
Hipotesis Penelitian 17
Definisi Operasional 18
METODE PENELITIAN 21
Lokasi dan Waktu Penelitian 21
Teknik Pengumpulan Data 22
Teknik Pemilihan Responden dan Informan 23
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 23
PROFIL MASYARAKAT DESA RANCAPAKU
DAN DESA MEKARJAYA 25
Letak Geografis dan Keadaan Lingkungan 25
Struktur Sosial dan Ekonomi 26
Kondisi Fisik 29
Ikhtisar 30
ANALISIS IDEOLOGI DAN PERAN AKTOR
DALAM PERTAMBANGAN PASIR GALUNGGUNG 31
Aktor Masyarakat 31
Aktor Swasta 33
Aktor Pemerintah 37
Ikhtisar 42
ANALISIS DAMPAK PERTAMBANGAN PASIR 45
Dampak Ekologi 45
Persepsi Terhadap Tingkat Degradasi Kualitas Air 47
Persepsi Terhadap Tingkat Kerentanan Terhadap Bencana 51
viii
Persepsi Terhadap Tingkat Polusi Melalui Udara 57
Persepsi Terhadap Tingkat Alih Fungsi Lahan 61
Dampak Sosial 66
Persepsi Terhadap Dampak Keberadaan Perusahaan Tambang Pasir 67
Persepsi Terhadap Hubungan Antar Aktor 72
Persepsi Terhadap Konflik Sosial 75
Persepsi Terhadap Cara Pandang Lingkungan 79
Dampak Ekonomi 82
Tingkat Pendapatan 83
Persepsi Terhadap Tingkat Kesempatan Bekerja 87
Persepsi Terhadap Tingkat Aktivitas Ekonomi Desa 90
Ikhtisar 94
PENUTUP 99
Simpulan 99
Saran 100
DAFTAR PUSTAKA 101
LAMPIRAN 105
RIWAYAT HIDUP 123
ix
DAFTAR TABEL
1 Jadwal pelaksanaan penelitian 22
2 Sejarah letusan Gunung Galunggung 25
3 Jumlah perusahaan industri sedang dan besar
Kabupaten Tasikmalaya tahun 2013
40
4 Analisis aktor pertambangan pasir Gunung Galunggung 43
5 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap tingkat degradasi kualitas air
48
6 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap tingkat kerentanan terhadap bencana
52
7 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap tingkat polusi melalui udara
58
8 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap tingkat alih fungsi lahan
62
9 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap dampak keberadaan perusahaan tambang pasir
68
10 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap hubungan antar aktor
73
11 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap konflik sosial
76
12 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap cara pandang lingkungan
80
13 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap tingkat kesempatan bekerja
88
14 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap tingkat aktivitas ekonomi desa
91
x
DAFTAR GAMBAR
1 Pola hubungan antar aktor dalam pemanfaatan SDA 10
2 Kerangka konseptual 17
3 Proses produksi pertambangan pasir di Desa Mekarjaya 36
4 Rata-rata pendapatan rumah tangga responden Desa Mekarjaya
dan Desa Rancapaku April 2013 – April 2014
84
5 Rantai penjualan pasir Galunggung 86
6 Grafik perbandingan dampak pertambangan pasir 94
xi
DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta lokasi penelitian: Desa Mekarjaya 106
2 Peta lokasi penelitian: Desa Rancapaku 107
3 Kuesioner penelitian 108
4 Panduan wawancara mendalam 115
5 Surat pernyataan tentang kesepakatan antara masyarakat
dengan perusahaan pertambangan pasir pada bulan maret tahun
2013
118
6 Salah satu bentuk protes warga terhadap dampak negatif dari
aktivitas penambangan pasir di Desa Mekarjaya melalui media
massa
120
7 Dokumentasi penelitian 121
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia telah merumuskan bahwa pemanfaatan sumber daya alam
adalah untuk memajukan kesejahteraan bersama, seperti yang termuat dalam
filosofi dasar negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan
cita-cita tersebut, perlu adanya pengelolaan sumber daya alam yang serasi
dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan,
yang memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang.
Sebagai lembaga formal, aparatur pemerintahan memiliki kewenangan
dalam mengatur dan mengelola sumber daya alam di daerahnya. Beberapa
pasal pengelolaan lingkungan hidup telah dibuat guna menunjang
keberlangsungan sumber daya alam di Indonesia, diantaranya adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 (UU Air), Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 (UU Kehutanan), Undang-Undang No. 4 tahun 2009 (UU
Minerba), hingga Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPLH).
Undang-undang tersebut pada dasarnya saling memperjelas dan
mendukung posisi masyarakat dalam sektornya masing-masing, dalam
konteks wilayah hutan contohnya, disebutkan bahwa UU Kehutanan
memandang hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan
dan sumber kemakmuran masyarakat, oleh karena itu keberadaannya harus
dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan
diurus dengan peran terbuka dan progresif pemerintah untuk kepentingan
sebesar-besarnya bagi masyarakat. Selain itu, dalam pembukaan undang-
undang ini juga disebutkan bahwa dalam rangka melakukan pengelolaan
kawasan hutan, haruslah mampu menampung dinamika aspirasi, adat dan
budaya, serta tata nilai masyarakat. Begitu pula dengan UU Air dan UU
Minerba, dua undang-undang ini sangatlah krusial mengingat posisinya
yang sangat dekat dengan masyarakat dan peran besarnya bagi aspek sosial
hingga ekonomi masyarakat. Pada UU Minerba, disebutkan bahwa pada
dasarnya tujuan pengelolaan mineral dan batu bara adalah untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta
menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
Demikian halnya pada UU Air, disebutkan jika sumber daya air sejatinya
dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup
dengan tujuan untuk mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang
berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Lebih lanjut pada
pasal enam undang-undang ini disebutkan jika penguasaan sumber daya air
diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap
mengakui posisi dan hak ulayat masyarakat, hukum adat setempat dan hak
yang serupa dengan itu.
Undang-undang sebagai perangkat dasar aturan dasar Negara jelas
telah mengatur dan menjaga posisi masyarakat sebagai elemen penting yang
berkaitan langsung dengan pengelolaan dan sumber daya alam itu sendiri.
Tetapi fakta dilapangan justru menunjukkan banyak kasus yang
memperlihatkan minimnya intervensi dan peran pemerintah dalam upaya
2
penegakan amanat-amanat konstitusi tersebut. Sepanjang 2013 lalu,
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat setidaknya telah terjadi
369 konflik agraria dengan luasan lahan mencapai 1.281.660 hektare dengan
melibatkan setidaknya 139.874 keluarga. Konflik perkebunan di peringkat
teratas dengan 180 kasus (48.78%), disusul infrastruktur 105 kasus
(28.46%), pertambangan 38 kasus (10.3%), kehutanan 31 kasus (8.4%),
pesisir kelautan sembilan kasus (2.44%) dan lain-lain enam kasus (1.63%).
Berdasarkan data tersebut, dapat diambil gambaran jika setiap hari terjadi
lebih dari satu konflik agraria yang melibatkan atau mengorbankan 383
keluarga atau 1.532 jiwa dengan luasan wilayah sekiar 3.512 hektare
(Nugraha 2013). Berdasarkan data tersebut kita dapat melihat jika
permasalahan sumber daya alam terdapat pada berbagai lini. Padahal,
pengelolaan sumber daya alam yang serasi dan seimbang sangatlah
diperlukan untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan dan
menunjang keberlanjutan kehidupan ekosistem di Indonesia.
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun
2012 menyebutkan, pada sektor pertambangan setidaknya terdapat 5.940
izin usaha pertambangan (IUP) yang dinyatakan masih bermasalah, baik
dari segi perizinan, kepemilikan lahan, dan lain sebagainya (Wihardandi
2012). Terlebih pada era ini isu pertambangan semakin kompleks dan
dipenuhi polemik, walaupun legalitas pertambangan belum diperoleh,
banyak perusahaan tambang yang tetap melakukan aktivitas
pertambangannya, dan lagi-lagi permasalahan seperti ini terjadi karena
banyaknya oknum-oknum baik swasta maupun pemerintah sendiri yang
memiliki otoritas namun cenderung berorientasi profit tanpa
mempertimbangkan aspek kepentingan dan hak-hak masyarakat banyak.
Sehingga perlu untuk dipahami, bahwa urgensi sumber daya alam sama
sekali bukan hanya berada pada tataran kepentingan ekonomi apalagi politik
belaka. Bagi masyarakat khususnya masyarakat yang rentan atau miskin,
sumber daya alam merupakan aspek krusial yang menyangkut hidup dan
mati diri serta keluarganya. Seperti yang disebutkan oleh Dharmawan
(2006), sumber daya alam adalah “last resort” atau tempat pengaduan
terakhir bagi lapisan masyarakat miskin untuk mempertahankan
kehidupannya (survival strategy), oleh karena itu sumber daya alam
bukanlah sekedar permasalahan yang ada di permukaan, namun esensial dan
seharusnya menjadi prioritas isu nasional yang memerlukan sinergi seluruh
stakeholder terkait.
Demokrasi pada era ini tidak jarang justru membuat masyarakat
semakin menempati posisi inferior dan tidak memiliki kekuasaan serta hak
atas sumber daya alam yang berada di lingkungannya. Kondisi yang dialami
oleh masyarakat ini semakin diperparah ketika dampak-dampak yang
ditimbulkan oleh pemanfaatan sumber daya alam tersebut ternyata juga
menggangu dan merugikan pihak masyarakat. Sebagai contoh adalah
aktivitas penambangan pasir besi di kawasan selatan Cianjur, aktivitas
penambangan pasir tersebut dianggap telah merugikan masyarakat Cianjur
Selatan. Mulai dari dampak lingkungan seperti jalan yang rusak,
pencemaran, hingga dampak sosial yakni konflik antar pihak, baik
masyarakat dengan swasta, masyarakat dengan pemerintah, atau bahkan
3
masyarakat dengan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, Ketua
Pengurus Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan
Masyarakat Indonesia (Yappika), Lili Hasanuddin mengungkapkan,
desentralisasi dan demokratisasi pada era ini memang hanya cenderung
sebatas menimbulkan keriuhan politik. Masyarakat memang semakin bebas
mengekspresikan diri dan menuntut kesetaraan politik, namun akses ke
sumber daya alam masih tetap digenggam elite politik dan elite pengusaha
(Otonomi… 2011). Orientasi apatis pemeritah terhadap masyarakat inilah
yang akhirnya menyebabkan kerugian baik moril maupun materil bagi
masyarakat. Masyarakat seolah hanya menerima “sisa” dari pemanfaatan
sumber daya alam pihak otoritas dan bahkan tidak jarang hingga harus
kehilangan akses terhadap sumber daya yang selama ini menjadi sumber
penghidupannya. Selain itu, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat
aktivitas-aktivitas pengelolaan sumber daya alam tersebut tentunya akan
berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap mata
pencaharian mereka, kondisi lingkungan dan tentunya juga tempat tinggal
masyarakat sekitarnya.
Gambaran-gambaran tersebut seolah direfleksikan secara nyata di
kawasan Gunung Galunggung, Jawa Barat. Beberapa titik di kawasan
Gunung Galunggung, khususnya di daerah Kecamatan Padakembang telah
menjadi kawasan pengerukan pasir berbagai pihak, diantaranya oleh CV
PG, CV AS dan CV FR. Walaupun kehadiran perusahaan seperti CV AS
bukan yang pertama di kawasan ini, namun bagi masyarakat sekitar,
perusahaan tambang yang masih eksis pada saat ini yakni CV AS,
merupakan salah satu faktor yang dianggap sangat mengancam kondisi
sosial, lingkungan dan ekonomi masyarakat di kawasan kaki Gunung
Galunggung. Pasalnya, perusahaan tersebut telah cukup lama aktif dalam
aktivitas pertambangan pasir di Gunung Galunggung (khususnya
Kecamatan Padakembang), dan masih terus melakukan aktivitas
penambangan serta eksplotiasinya, namun cenderung mengabaikan
kepentingan dan kondisi masyarakat sekitarnya.
Kawasan Gunung Galunggung memang memiliki jumlah material
pasir yang sangat berlimpah. Pasca erupsi pada tahun 1982 dan berakhir
pada bulan Januari 1983, Gunung Galunggung seolah telah menjadi
“ladang” pasir serta material bebatuan lainnya yang dihasilkan oleh letusan
Gunung. Walaupun tragedi tahun 1982 - 1983 dianggap sebagai bencana
besar yang banyak menelan korban jiwa, dan sebagai salah satu bencana
letusan gunung terburuk di Indonesia, namun di satu sisi bencana tersebut
dianggap telah membawa manfaat yang banyak bagi masyarakat yang
berada di sekitar kawasan kaki Gunung Galunggung. Pada awalnya, banyak
masyarakat yang menganggap kondisi pasca letusan ini sebagai “neraka”
karena telah banyak merenggut nyawa dan menghilangkan tempat tinggal
mereka, namun lambat laun mereka menganggap kondisi pasca letusan ini
sebagai “surga” karena telah mendatangkan sumber penghasilan dan mata
pencaharian baru yang memberikan manfaat ekonomis cukup besar. Setelah
beberapa tahun kemudian, masyarakat yang semakin pulih pasca letusan
Gunung Galunggung mulai melakukan berbagai aktivitas seperti sediakala,
tetapi pada saat itu juga masyarakat yang menganggap aktivitas
4
pertambangan pasir sebagai berkah justru malah terganggu oleh aktivitas
pertambangan pasir yang semakin gencar dilakukan oleh perusahaan-
perusaahan disana. Masyarakat di kawasan Gunung Galunggung merasa
aktivitas pertambangan pasir yang dilakukan oleh perusahaan tersebut
semakin mengancam kondisi sosial, lingkungan serta ekonomi mereka.
Aktivitas pertambangan tersebut pada akhirnya menimbulkan
berbagai reaksi dalam masyarakat, baik positif maupun negatif. Namun
respons penolakan atas dampak-dampak yang terjadi seolah diabaikan baik
oleh pihak perusahaan maupun pemerintah sendiri. Masyarakat cenderung
berada pada posisi minor yang aspirasinya dan haknya seolah dikebiri
walaupun berada pada lingkungannya sendiri. Bagi masyarakat lokal,
aktivitas pertambangan pasir yang dilakukan oleh industri besar tersebut
jelas secara langsung maupun tidak langsung akan mengancam dan perlahan
„membunuh‟ kelangsungan hidup masyarakat lokal dan masyarakat sekitar
kawasan tambang. Berdasarkan pemaparan tersebut, masyarakat di kawasan
Gunung Galunggung tidak hanya tertekan karena dampak lingkungan yang
ditimbulkan, namun juga implikasinya terhadap ancaman eksistensi mata
pencaharian hingga konflik baik vertikal maupun horizontal. Tendensi
pengelolaan sumber daya alam di berbagai sektor yang lebih mengabdi pada
kepentingan elite politik dan elite pengusaha dengan mengorbankan
kepentingan dan hak-hak rakyat, membuat dampak yang ditimbulkan tidak
hanya sebatas dampak fisik, namun juga non-fisik. Seperti banyak contoh-
contoh yang terjadi di Indonesia, isu pertambangan merupakan
permasalahan sensitif yang tidak hanya disikapi sebagai permasalah yang
bersifat permukaan, namun juga sebagai permasalahan ekologi, sosial dan
ekonomi mendalam dan kompleks.
Pertambangan pada era ini semakin mengarah pada permasalahan
komperhensif yang tidak jarang menggiring pada ancaman krisis ekologi
yang serius. Terlebih jika ditinjau dari sudut pandang ekonomi, tidak jarang
isu pertambangan menjadi dua sisi yang saling bertolak, yang
menguntungkan bagi daerah atau sebagian kelompok kapitalis dan
berkepentingan, namun merugikan dan bahkan mengancam eksistensi
masyarakat yang berada di sekitar kawasan aktivitas tambang itu sendiri.
Padahal dengan penghasilan dan keuntungan dari sektor pertambangan yang
besar baik pada daerah maupun Negara, sudah seharusnya kesejahteraan
masyarakat sekitar kawasan tambang menjadi prioritas dan diperhatikan
secara khusus dalam mencapai kesejahteraannya. Ancaman dampak
pertambangan pasir di kawasan kaki Gunung Galunggung pada saat ini
secara nyata telah mengarah pada ancaman krisis ekologi dan menjadi isu
dan polemik yang kompleks, maka berdasarkan uraian tersebut, perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana ideologi aktor dan
persepsi masyarakat terhadap dampak pertambangan pasir di kawasan
pedesaan Gunung Galunggung.
5
Rumusan Masalah
Lingkungan dan sumber daya alamnya pada era ini merupakan isu
masyarakat global yang berkaitan dengan jaringan interaksi politik yang
paling kompleks. Lingkungan beserta sumber daya alamnya dianggap
sebagai objek yang selalu berkaitan dengan pola-pola interaksi dan variasi
yang paling rumit, dan sekaligus dengan pelibatan aktor yang paling
majemuk (Lay 2007). Demikian halnya dengan kasus pemanfaatan sumber
daya alam di kawasan Gunung Galunggung. Aktor-aktor yang terlibat di
dalamnya sangatlah beragam, terlebih mengingat aktivitas pertambangan
pasir yang dilakukan oleh perusahaan didalamnya yakni CV AS, merupakan
aktivitas pertambangan yang bukan lagi dalam ruang lingkup pertambangan
skala kecil, namun termasuk pada skala besar sehingga memerlukan
berbagai izin serta proses yang panjang baik dengan pihak pemerintah dan
juga masyarakat.
Perbedaan kepentingan antara masyarakat, pemerintah dan swasta
tidak jarang berakibat pada gesekan sosial antar pihak tersebut yang mulai
mengarah pada letupan-letupan konflik. Pasalnya, sumber daya alam yang
seharusnya juga menjadi hak masyarakat seolah direbut secara paksa oleh
pihak yang tiba-tiba datang dengan kekuatan industrinya dan secara
perlahan mengancam eksistensi mereka. Walaupun berbagai dampak negatif
telah secara nyata diklaim oleh masyarakat, baik pihak pemerintah maupun
swasta tetap mempertahankan dan menjalankan proyek pertambangan pasir
tersebut. Hal tersebut seolah menggambarkan kondisi kepentingan yang
saling bertolak belakang antara pihak masyarakat, pemerintah, dan swasta,
yang pada akhirnya menimbulkan berbagai reaksi dan persaingan antar
aktor-aktor yang terlibat. Oleh karena itu, berdasarkan uraian tersebut, perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana ideologi dan peran para
aktor yang terlibat dalam aktivitas pertambangan pasir di kawasan kaki
Gunung Galunggung?
Pemanfaatan sumber daya alam yang tendensius dan tidak
mengindahkan aspek-aspek ekologis jelas akan berdampak buruk terhadap
kondisi ekosistem dan lingkungan sekitarnya. Terlebih aktivitas
pertambangan pasir yang dilakukan di kawasan Gunung Galunggung telah
dilakukan sejak lama bahkan sebelum kehadiran perusahaan CV AS.
Sehingga dampak yang ditimbulkan tidak hanya sebatas pada aspek
ekologis, namun lebih esensial dan bahkan hingga menyentuh aspek sosial
dan ekonomi masyarakat. Masyarakat juga telah menyuarakan pendapatnya
terkait keberadaan perusahaan tambang, baik melalui ruang publik atau
melalui forum-forum di tingkat regional bahkan nasional, atas berbagai
dampak baik positif maupun negatif yang secara nyata telah terjadi dan
dirasakan secara beragam oleh masyarakat. Terlebih, dampak tersebut tidak
hanya dirasakan oleh masyarakat yang berada dekat dengan lokasi tambang,
namun juga yang berada jauh dengan lokasi tambang. Oleh karena itu,
berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
sejauh mana persepsi masyarakat terhadap dampak negatif ekologi, sosial
dan ekonomi yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan pasir di
kawasan kaki Gunung Galunggung?
6
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka penelitian ini secara
khusus bertujuan untuk:
1. Mengetahui ideologi dan peran para aktor yang terlibat dalam
aktivitas pertambangan pasir di kawasan kaki Gunung Galunggung.
2. Mengetahui sejauh mana persepsi masyarakat terhadap dampak
negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan pasir, baik
pada aspek ekologi, sosial, dan ekonomi.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi
akademisi, pemangku kebijakan dan masyarakat pada umumya mengenai
penilaian dampak (impact assesment) galian tambang golongan C. Secara
spesifik dan terperinci manfaat yang didapatkan oleh berbagai pihak adalah
sebagai berikut:
1. Bagi Akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan kajian
mengenai dampak-dampak ekologi, sosial dan ekonomi yang
ditimbulkan oleh aktivitas galian tambang golongan C dengan objek
spesifik tambang pasir yang dampaknya kerap tidak dianggap
sebagai isu yang strategis dan sentral.
2. Bagi Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat menambah rujukan para pemangku
kebijakan dalam membuat kebijakan sumber daya alam yang
seharusnya mempertimbangkan banyak aspek secara rasional dan
tidak menimbulkan disparitas. Terlebih ketika berkaitan dengan
sumber daya alam yang menjadi tumpuan penghidupan serta hidup
dan mati masyarakat.
3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan masyarakat
mengenai dampak-dampak terhadap aktivitas pertambangan pasir
yang terjadi secara masif di kawasan kaki Gunung Galunggung.
Serta memberikan penyadaran atas ancaman dampak ekologi, sosial
dan ekonomi akibat aktivitas pertambangan pasir yang tendensius
dan tidak memperhatikan kepentingan masyarakat, yang senantiasa
ada dan akan terus mengancam masyarakat pada dewasa ini.
7
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Urgensi Ekologi
Pada dasarnya, makhluk hidup akan selalu membutuhkan dan
berinteraksi dengan lingkungannya. Terlebih manusia, baik untuk
pemenuhan kebutuhan hidup ataupun untuk keberlangsungan hidup
tentunya tidak akan terlepas dari lingkungan beserta sumber daya alamnya.
Namun terkadang, manusia melupakan bahwa interaksi dan hubungan
manusia dengan lingkungan atau sumber daya alamnya terjalin hubungan
yang resiprokal. Itulah yang menjadi basis dalam konsep ekologi, yang
berfokus pada hubungan timbal balik antara manusia dengan
lingkungannya. Dalam konsep ekologi, ekosistem dimaknai sebagai sistem-
sistem dalam lingkungan yang terdiri atas komponen-komponen (baik
komponen biotik maupun abiotik) yang bekerja secara teratur sebagai suatu
kesatuan. Ketraturan tersebut terjadi akibat adanya arus materi dan energi
yang terkendalikan oleh arus informasi antara komponen dalam ekosistem.
Ketika masing-masing komponen tersebut menjalankan fungsi dan bekerja
dengan baik, maka keteraturan ekosistem terjaga, namun sebaliknya, jika
terjadi perubahan-perubahan dalam ekosistem (baik secara alamaiah
maupun akibat perbuatan manusia), maka ekosistem dapat menunjukkan
ketikdakseimbangannya (Soemarwoto 1997). Lebih lanjut, Soemarwoto
(1997) juga menjelaskan jika ekologi merupakan salah satu komponen
dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup yang harus ditinjau bersama
dengan komponen lain untuk mendapatkan keputusan dan hasil yang
seimbang antara elemen makhluk hidup dan lingkungan itu sendiri.
Tidak bisa dipungkiri jika aspek lingkungan dan sumber daya
alamnya merupakan aspek krusial yang harus dijaga seluruh komponennya
demi mencapai keberlanjutan kehidupan manusia yang baik, terlebih
lingkungan dan sumber daya alamnya juga menyangkut hajat hidup orang
banyak. Seperti juga yang disebutkan oleh Dharmawan (2006), bahwa
sumber daya alam merupakan “last resort” atau tempat pengaduan terakhir
bagi lapisan masyarakat miskin untuk mempertahankan kehidupannya
(survival strategy), oleh karena itu sumber daya alam bukanlah persoalan
sepele, namun persoalan kompleks yang harus diperhatikan karena berkaitan
juga dengan hidup masyarakat, khususnya masyarakat yang rentan atau
miskin. Namun, hingga pada saat ini pengelolaan lingkungan masih saja
menimbulkan problematik. Baik pada sektor hulu (kebijakan) hingga pada
tahap hilir (implementasi atau pelaksanaannya). Padahal, negara Indonesia
telah mengatur persoalan lingkungan hidup secara cukup komperhensif,
salah satunya adalah Undang-Undang No. 32 tahun 2009 (UUPLH). Dalam
UUPLH pada pasal 16 contohnya, secara jelas telah disebutkan jika setiap
rencana pembangunan atau pemanfaatan sumber daya alam yang
diperkirakan memiliki dampak-dampak terhadap lingkungan wajib
dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Amdal
8
merupakan kajian mengenai dampak suatu usaha atau kegiatan terhadap
lingkungan hidup, yang diperlukan sebagai dasar pertimbangan dalam
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau
kegiatan. Dalam dokumen Amdal terdapat beberapa kriteria mengenai
dampak suatu usaha atau kegiatan terhadap lingkungan hidup, diantaranya
adalah jumlah manusia yang akan terkena dampak, luas wilayah persebaran
dampak, intensitas dan lamanya dampak berlangsung, banyaknya komponen
lingkungan yang terkena dampak, sifat kumulatif dampak, dan berbalik atau
tidak berbaliknya dampak (PP No. 27 Tahun 1999).
Uraian pasal undang-undang tersebut merupakan salah satu contoh
yang menunjukkan pihak pemerintah telah melakukan upaya-upaya regulasi
untuk mengantisipasi atas dampak pemanfaatan sumber daya alam yang
berlebihan dan tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan1. Namun,
berbagai permasalahan lingkungan dan sumber daya alam bukan berarti
langsung menghilang. Banyak kasus dan permasalahan pemanfaatan sumber
daya alam yang terus menerus terulang. Sebagai contoh adalah dampak dari
penambangan pasir besi di kawasan pesisir selatan Jawa Barat.
Penambangan pasir di kawasan ini telah dilakukan sejak tahun 2011. Jika di
kalkulasikan, maka kerusakan alam akibat penambangan pasir besi kurang
lebih mencapai 2.250 hektare dari sekira 15 ribu hektare area yang dijadikan
lokasi tambang (Riswan 2013). Hal tersebut tentu saja menimbulkan
dampak yang tidak sedikit, dan tentu saja dampak tersebut juga akan
berpengaruh pada kondisi hidup masyarakat sekitarnya.
Permasalahan ekologi memang tidak hanya berakar pada kesalahan
regulasi, namun juga penyimpangan implementasi yang tidak jarang
dilakukan oleh oknum pihak pemerintah yang memiliki otoritas dalam
melegalkan aktivitas pemanfaatan sumber daya alam tanpa
mempertimbangkan dampak-dampaknya secara komperhensif. Terlebih
pada era ini Indonesia telah mengusung sistem pemerintahan yang berbasis
daerah atau disebut otonomi daerah. Secara konseptual, otonomi daerah
merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya
sendiri, namun secara tidak langsung otonomi daerah kerap menjadi dalih
pemerintah daerah atas kewenangannya dalam segala aspek yang terdapat di
daerahnya (Tarmansyah 2011).
Tarmansyah (2011) secara lebih lanjut juga menyebutkan, tidak
jarang era otonomi daerah ini justru menjadi „lahan‟ untuk pihak pemerintah
dapat memanfaatkan sumber daya alam daerahnya secara lebih maksimal.
Dengan tuntutan kebutuhan dana seperti pembangunan dan dana rutin
operasional pemerintahan yang besar, memaksa pemerintah daerah
menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau
meningkatkan objek pajak dan retribusi, menguras sumberdaya alam yang
tersedia, dan lain sebagainya. Padahal dalam kaitannya dengan kewenangan
dan otoritasnya di daerah, seharusnya penyimpangan semacam ini tidak
muncul, karena memang tujuan dibentuk otonomi daerah adalah agar
1 Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung kehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar
9
peraturan-peraturan yang ada dan dibuat pemerintah daerah dapat langsung
menyentuh dan menguntungkan masyarakat daerahnya sendiri. Seperti juga
yang disebutkan oleh Kartodihardjo (2008), pembangunan pada era ini yang
lebih condong didasari oleh mazhab ekonomi pasar secara konseptual hanya
akan mentransaksikan komoditi yang dihasilkan dari sumber daya alam, dan
seolah tidak memperhatikan dampak-dampak atau kerusakan dari sumber
daya alam itu sendiri. Kartodihardjo (2008) juga menjelaskan terkait
perbedaan antara pengelolaan dan pemanfaatan. Menurutnya dalam konsep
pengelolaan, terdapat berbagai kegiatan atau proses yang ditujukan juga
untuk memastikan status dan fungsi serta daya dukung sumber daya alam,
sedangkan dalam konsep pemanfaatan lebih cenderung terbatas pada upaya
eksploitasi manfaat semata.
Dampak aktivitas pemanfaatan sumber daya alam yang eksploitatif
tidak jarang mendorong kondisi krisis yang lebih sering disebut sebagai
krisis ekologi. Krisis ekologi yang dimaknai sebagai suatu keadaan dimana
sistem ekologi mengalami destabilisasi keseimbangan alam yang
diakibatkan oleh peradaban „late-modernity‟, yang menempatkan seluruh
elemen ekosistem biosfer dalam ancaman kehancuran bersama (Dharmawan
2007). Raharja (2011) secara lebih lanjut juga menjelaskan krisis ekologi
sebagai krisis hubungan antar manusia dan kebudayaannya dengan
lingkungan hidup yang merupakan tempat mereka berlindung, bermukim,
dan mengeksploitasi sumber daya alam. Berbagai penjelasan definisi
tersebut pada intinya mengarah pada kondisi kritis antara manusia dengan
lingkungannya yang juga berdampak terhadap aspek-aspek luas, seperti
aspek sosial dan ekonomi. Ancaman krisis ekologi memang akan terus
mengancam seiring terus berkembanganya investasi dan proyek
pemanfaatan sumber daya alam di daerah-daerah oleh pihak kapitalis.
Khususnya aktivitas seperti pertambangan, reklamasi, ekspansi serta
pembukaan lahan perusahaan merupakan aktivitas-aktivitas yang memang
memiliki dampak terhadap ekosistem secara krusial.
Aktivitas pertambangan pada satu sisi mungkin dapat dilihat juga
memberi manfaat yang positif, khususnya dalam memberikan keuntungan
baik pada sektor pendapatan daerah (PAD) ataupun peluang bekerja
masyarakat, namun seharusnya masyarakat juga menyadari atas dampak
negatif terhadap ekosistem mereka yang akan sulit pulih. Inilah yang disebut
juga oleh Dharmawan (2007) sebagai akar penyebab krisis ekologi dalam
perspektif developmentalism. Perpsektif ini menyebutkan tentang growth-
mania-syndrome, atau gejala yang pada era ini hampir dirasakan oleh
seluruh Negara tentang orientasi pembangunan berskala besar yang
terkadang tanpa menghiraukan dampaknya yang menyebabkan degradasi
lingkungan dan degradasi sumber daya alam yang ada. Dengan
pembangunan yang berdasar pada 'ketamakan', semua tatanan kelembagaan
atau norma dan nilai yang mengatur tentang tatakrama dan etika berprilaku
terhadap alam terkesan diabaikan. Manusia harus menyadari jika hubungan
antara manusia dan lingkungan hidupnya merupakan hubungan yang
sirkuler, dimana kegiatan-kegiatan yang dilakukannya baik sedikit atau
banyak (dan baik langsung maupun tidak langsung) akan juga berdampak
pada lingkungan dan ekosistem sekitarnya (Soemarwotto 1997a).
10
Etika Lingkungan
Pemerintah, swasta ataupun masyarakat tidak jarang seolah saling
berkompetisi dalam memperoleh akses dan manfaat yang sebesar-besarnya
dalam rangka pemanfaatan objek sumber daya alam. Era demokrasi
Indonesia pada saat ini yang mengusung sistem otonomi daerah2 tidak
jarang justru malah menimbulkan dinamika dalam pengelolaan atau
pemanfaatan sumber daya alam yang baru, yang justru dapat semakin
membuka lebar jurang kesenjangan antara pihak penguasa dan pihak
masyarakat yang dapat berimplikasi pada menurunnya kualitas dan kondisi
hidup mereka. Hal tersebut tentu saja mengindikasikan adanya perbedaan
pemakanaan dan sudut pandang baik antara pihak pemerintah, swasta dan
masyarakat terhadap sumber daya alam. Pada satu sisi, pemerintah dan/atau
swasta memandang lingkungan dan sumber daya alam sebagai aspek
ekonomis, sedangkan masyarakat lebih memandang sebagai aspek
mutualistis yang berkaitan pula dengan kondisi hidup mereka.
Pihak pemerintah sebagai representasi negara yang seharusnya
menjadi aktor netral dan seharusnya memihak kepentingan masyarakat,
malah terkesan turut berpartisipasi dalam kontestasi antar aktor dalam
sumber daya alam. Bahkan, dengan mudah kita dapat memperoleh literatur
dan fakta yang menunjukkan bahwa pihak pemerintah tidak berbeda jauh
dengan orientasi dan pandangan kapitalis perusahaan-perusahaan swasta
yang cenderung mengabaikan pihak masyarakat. Sitorus dan Wiradi (dalam
Antoro 2010) mengungkapkan, bahwa dalam kaitannya dengan hubungan
antar aktor, masyarakat kerap menempati posisi yang lebih lemah:
Gambar 1 Pola hubungan antar aktor dalam pemanfaatan sumber daya alam
Gambar di atas menjelaskan hubungan interaksi negara dengan pasar yang
mutualistik, hubungan interaksi negara-pasar terhadap masyarakat yang
bersifat hegemonik (kuat mempengaruhi), hubungan antara negara-pasar
dengan SDA yang berorientasi pasar, serta hubungan antara produksi
masyarakat dengan SDA yang lemah dan terus tergerus akibat dominasi
aktor-aktor lainnya.
2 Pada era ini konflik lebih banyak mengambil bentuk “konflik kewenanangan”,
yang mulai mengemuka sejak rejim pengaturan pemerintahan desentralisasi secara
penuh sejak Undang-Undang (UU) No. 22/1999 dan dilanjutkan dengan UU No.
32/2004 sebagai konsekuensi otonomi daerah (Dharmawan 2007)
NEGARA PASAR
MASYARAKAT SDA
11
Perbedaan kepemilikan akses akan sumber daya alam dan cara
pandang terhadap sumber daya tidak jarang justru menyebabkan berbagai
permasalahan krusial yang tidak hanya menyangkut aspek lingkungan,
namun juga sosial dan ekonomi masyarakat. Keraf (2010) juga secara tidak
langsung menyatakan dalam berbagai permasalahan ekologi hingga
ancaman krisis yang terjadi pada dewasa ini tidak hanya disebabkan oleh
faktor alam, namun juga faktor internal dari manusia sebagai pihak yang
terus menerus berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini yang selanjutnya
juga disebut sebagai cara pandang ataupun etika terhadap lingkungan.
Secara harfiah, etika dapat dimaknai sebagai nilai-nilai atau norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya (Bertens 1993). Lebih lanjut, Keraf (2010)
menyebutkan tentang tiga etika lingkungan yang berbeda:
1. Anthropocentrism
Merupakan cara pandang yang menekankan pada manusia dan
kepentingannya sebagai prioritas utama, manusia sebagai aktor
kausal, dan lingkungan serta sumber daya alamnya hanya sebatas
aspek pemenuhan kebutuhan manusia.
2. Biocentrism
Merupakan cara pandang yang menanggap bahwa lingkungan dan
sumber daya alam lainnya memiliki nilai tersendiri, dan manusia
merupakan bagian dari alam yang interdependen.
3. Ecocentrism
Merupakan cara pandang yang menekankan pada etika terhadap
seluruh komunitas ekologis, baik yang biotik maupun abiotik.
Ecocentrism membawa etika yang menandang semua komponen
dalam dimensi lingkungan memiliki nilainya tersendiri.
Pengertian Pertambangan
Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam
rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan objek tambang yang
rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,
serta kegiatan pascatambang (UU No. 4 Tahun 2009). Berdasarkan definisi
tersebut, dapat dilihat jika pada dasarnya aktivitas pertambangan merupakan
suatu proses yang panjang dan tentunya melibatkan berbagai tahap dan
materi-materi yang beragam.
Undang-undang Negara Indonesia juga telah secara jelas
meengklasifikasikan jenis terkait izin usaha pertambangan, meliputi izin
untuk memanfaatkan bahan galian tambang yang bersifat ekstraktif seperti
bahan galian tambang golongan A, golongan B, maupun golongan C
(Ngadiran dalam Samad 2013). Golongan bahan galian tambang tersebut
terbagi atas perbedaan materi dan fungsinya, atau dengan penjelasan sebagai
berikut:
1. Galian Tambang Golongan A
12
Bahan galian strategis golongan A, terdiri atas: minyak bumi, aspal,
antrasit, batu bara, batu bara muda, batu bara tua, bitumen, bitumen
cair, bitumen padat, gas alam, lilin bumi, radium, thorium,
uranium, dan bahan-bahan galian radio aktif lainnya (antara lain
kobalt, nikel dan timah).
2. Galian Tambang Golongan B
Bahan galian vital golongan B, terdiri atas: air raksa, antimon,
aklor, arsin, bauksit, besi, bismut, cerium, emas, intan, khrom,
mangan, perak, plastik, rhutenium, seng, tembaga, timbal,
titan/titanium, vanadium, wolfram, dan bahan-bahan logam langka
lainnya (antara lain barit, belerang, berrilium, fluorspar, brom,
koundum, kriolit, kreolin, kristal, kwarsa, yodium, dan zirkom).
3. Galian Tambang Golongan C
Bahan galian golongan C, terdiri atas; pasir, tanah uruk, dan batu
kerikil. Golongan ini dianggap paling kurang memiliki nilai
strategis dan dampak yang vital.
Dampak Ekologi, Sosial dan Ekonomi Pertambangan
Aktivitas pertambangan merupakan salah satu aktivitas yang kerap
menuai dilematika karena berbagai dampaknya, baik yang bersifat positif
maupun negatif. Terkait dengan hal tersebut, Soemarwotto (1997b)
menyebutkan pada dasarnya “dampak” dapat bernilai positif maupun
negatif. Tapi secara umum, masyarakat lebih mengenal dampak sebagai
suatu konotasi yang negatif, karena dampak yang akan bernilai berbeda jika
berada pada ruang atau sudut pandang yang berbeda.
Diantara berbagai dampak yang timbul, namun pada tataran realitas,
tidak jarang dampak yang muncul lebih sering mengarah pada dampak
negatif, terlebih terhadap aspek ekologi. Aktivitas pertambangan dapat
menciptakan resiko kerusakan ekologis yang fatal. hal tersebut tidak lepas
dari berbagai proses kompleks yang harus dilalui dalam aktivitas
penambangan, seperti bagaimana teknik penambangan yang dilakukan,
hingga bagaimana mengelola dan mengolah hasil tambang yang telah
diperoleh, yang pada akhirnya akan mempengaruhi ekosistem di dalam dan
sekitar lokasi penambangan.
Penelitian yang dilakukan di berbagai lokasi juga menunjukkan
berbagai dampak yang diakibatkan oleh kehadiran aktivitas pertambangan.
Dampak tersebut tidak hanya sebatas pada aspek ekologi, namun juga sosial
dan ekonomi. Seperti halnya penelitian yang dilakukan di Desa Cipinang,
Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan pada tahun 2007 ini, dampak-dampak dari aktivitas penambangan
cukup beragam, diantaranya adalah terdapat perubahan yang nyata pada
kondisi udara dan sumber air. Udara yang kotor dan cenderung lebih panas
menurut sebagian warga dianggap sebagai konsekuensi dari hadirnya
aktivitas penambangan pasir dan juga truk yang terus berlalu lalang. Bahkan
tidak jarang udara yang terhirup dapat memicu terjadinya infeksi saluran
pernafasan hingga flu. Selain itu, air yang tercemar oleh aktivitas
13
pertambangan sangat berdampak terhadap kondisi kesehatan dan
penghidupan masyarakat, dari air yang semakin sulit diperoleh khususnya
pada musim kemarau hingga air yang dikonsumsi memicu terjangkitnya
penyakit diare. Selain itu dampak secara sosial juga dapat terlihat,
khususnya antara masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal. Banyak
faktor yang mempengaruhinya, diantaranya persaingan terhadap peluang
kerja yang minim, dan juga pekerja lokal yang mayoritas hanya bekerja
sebagai buruh tambang, sedangkan pendatang banyak yang memiliki jabatan
lebih baik (Sulton 2011). Demikian halnya yang terjadi di kawasan kota
Samarinda, di kelurahan Sempaja Utara. Walaupun terdapat perbedaan
dimana objek tambang di kawasan ini adalah batubara, namun terdapat
kesamaan dimana kesempatan bekerja sektor pertambangan pada
masyarakat lokal di wilayah ini sangatlah minim. Masyarakat lokal yang
bekerja pada perusahaan hanyalah sebagai buruh kasar dan supir truk
penangkut batubara. Namun hal lain yang tidak dapat diabaikan adalah
permasalahan ekologi, berdasarkan penelitian ini disebutkan bahwa ini
pasca kehadiran perusahaan tambang kerap muncul permasalahan
diantaranya adalah banjir, sumur masyarakat yang tercemar, saluran air
tersendat, debu, terjadinya tanah longsor dan jalan yang rusak. Hal ini jugas
semakin diperparah dengan masih rendahnya kepedulian perusahaan
terhadap masyarakat, hanya kepada sebagaian kecil masyarakat saja yang
pernah memberikan dana kompensasi (“uang debu”), akan tetapi pemberian
dana tersebut tidak merata dan diarasakan oleh masyarakat tidak cukup
untuk menggantikan dampak negatif yang dihasilkan (Pertiwi 2011).
Penyerapan tenaga kerja masyarakat lokal di perusahaan
pertambangan yang pada awalnya diharapkan mampu memberikan insentif
ekonomi yang jauh lebih berarti, namun ternyata tidak mampu terwujud dan
hanya digantikan dengan uang kompensasi yang tidak sebanding dengan
berbagai dampak negatif yang ditimbulkan. Baik contoh kasus di Desa
Cipinang maupun kelurahan Sempeja Utara, setidaknya memang mampu
merefleksikan kesenjangan keuntungan yang tidak berimbang antara
masyarakat dengan pihak swasta dan pemerintah. Samad (2013) yang juga
melakukan penelitian atas dampak pertambangan di Kecamatan Wasile,
Halmahera Timur menyebutkan masyarakat lokal yang bekerja pada
pertambangan hanya sebesar 37.12 persen dan 62.87 persen lainnya adalah
pendatang. Hal ini tentunya tidak berimbang dengan pendapatan daerah
yang semakin meningkat pasca kehadiran perusahaan pertambangan pasir.
Bahkan untuk kasus di Kecamatan Wasile, Halmahera Timur, pihak
perusahaan tambang telah menyebabkan berbagai dampak ekologis yang
signifikan seperti, pemakaian hutan untuk tambang meluas, porositas tanah
menurun sehingga tanaman sulit untuk dikembangkan, hingga air dan udara
yang tercemar. Hal ini juga semakin diperparah dengan sarana dan
prasarana yang dijanjikan pihak perusahaan pertambangan tidak dipenuhi,
yang pada akhirnya juga kembali berdampak pada munculnya
ketidaksejahteraan dan kesenjangan antara pihak masyarakat dan
perusahaan.
Disamping berbagai dampak negatif yang secara nyata semakin terus
terlihat, ternyata berdasarkan beberapa data dari hasil penelitian
14
menyebutkan jika dampak positif hanya cenderung berada pada “lingkar
kekuasaan”. Yakni dampak positif yang dihasilkan semata-mata hanya dapat
dirasakan oleh segelintir pihak, khususnya pihak-pihak yang memiliki
otoritas. Namun secara makro dan dalam sudut pandang yang berbeda,
Salim (dalam Sulton 2011) menjabarkan tentang dampak positif dan negatif
yang cenderung ditimbulkan dari kegiatan pembangunan di bidang
pertambangan, yaitu:
1. Dampak Positif:
a) Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan
ekonomi nasional.
b) Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
c) Meningkatkan peluang kerja, ekonomi, dan usaha mikro
masyarakat lingkar tambang.
d) Meningkatkan kualitas SDM dan derajat kesehatan masyarakat
lingkar tambang.
2. Dampak Negatif:
a) Ancaman kehancuran lingkungan hidup dan sumber daya alam.
b) Penderitaan masyarakat lokal sekitar lingkar tambang.
c) Menurunnya kualitas hidup penduduk lokal (khususnya yang
berada di lingkar tambang)
d) Meningkatnya kekerasan atau aksi kriminalitas sejenis.
e) Kehancuran ekologi pulau-pulau.
f) Terjadi pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat secara makro dampak yang
ditimbulkan sangatlah beragam, meliputi dampak ekologi, sosial maupun
ekonomi, yang berada pada dimensi aktor pemerintah, swasta dan tentu saja
masyarakat. Hal ini jika terus menerus dibiarkan akan dapat menimbulkan
masalah yang lebih krusial dan tentunya akan menggiring masyarakat pada
krisis ekologi yang serius.
Krisis ekologi pada dasarnya merupakan suatu kondisi krisis antara
manusia dengan lingkungannya yang dapat disebabkan oleh berbagai
kondisi, termasuk didalamnya faktor aktivitas-aktivitas manusia yang
melakukan eksploitasi dan dominasi terhadap lingkungan dan cenderung
mengabaikan kepentingan lingkungan, seperti halnya banyak perusahaan
pertambangan yang bermunculan pada dewasa ini. Dharmawan (2007)
menjelaskan pada era ini dampak krisis ekologi ditunjukkan oleh beberapa
situasi, diantaranya:
1. Kelangkaan sumber pangan. Hal ini telah terjadi di beberapa
kawasan di dunia dan berdampak pada bencana kelaparan atau gizi
buruk yang terus meluas.
2. Kelangkaan sumber energi. Energi di bumi ini cenderung masih
bergantung pada fossil-fuel energy, dimana pada saat ini
persediaannya semakin berkurang.
3. Pemburukan kualitas kehidupan akibat polusi, serta ledakan
penduduk di atas habitat yang makin sempit.
4. Eskalasi erosi, banjir, dan longsor akibat ekspansi kegiatan manusia
hingga ke kawasan rawan bencana alam.
15
5. Menurun atau hingga hilangnya keanekaragaman hayati akibat dari
eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.
6. Kriminalitas, perilaku menyimpang dan masalah sosial lain akibat
dari tingginya kompetisi karena terbatasnya relung kehidupan yang
memadai bagi kehidupan lestari.
Dampak-dampak tersebut juga secara langsung maupun tidak
langsung berdampak selain pada kondisi lingkungan masyarakat, namun
juga ekonomi masyarakat. Lingkungan dan sumber daya alamnya
merupakan elemen penting yang berkontribusi besar dalam penghidupan
manusia. Baik dalam kaitannya untuk kepentingan konsumsi, maupun
produksi. Namun ketika pemanfaatan sumber daya alam yang ada terlalu
berlebihan, tendensius dan berorientasi ekonomi atau egoisme belaka,
lingkungan dan sumber daya alamnya justru dapat mengancam eksistensi
manusia dan bahkan penghidupannya. Lebih lanjut, lingkungan merupakan
suatu kesatuan ruang yang terdiri dari komponen fisik (abiotik) seperti air,
tanah, batuan dan iklim serta komponen biotik seperti tumbuhan, hewan dan
jasat renik, komponen tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi memiliki
keterkaitan antara satu unsur dengan unsur lainnya (Indrawan dalam
Suriansyah 2009).
Pengertian Persepsi
Persepsi memiliki makna sebagai suatu proses kognitif yang dialami
dan dimiliki oleh setiap orang dalam kaitannya dengan memahami informasi
tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan,
perasaan, dan penciuman (Thoha 2004). Tidak berbeda jauh dengan definisi
tersebut, Walgito (dalam Zabila 2013) menyebutkan bahwa persepsi
merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap suatu
stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan
aktivitas yang terintegrasi dan berada dalam diri individu. Karena persepsi
merupakan aktivitas yang terintegrasi, maka seluruh pribadi, seluruh apa
yang ada dalam diri individu ikut aktif berperan dalam persepsi itu.
Berdasarkan definisi tersebut, persepsi memiliki sudut pandang subjektif
yang tentunya akan dapat berbeda pada setiap manusia, karena proses
kognitif, penafsiran serta pemaknaan terhadap subjek atau objek tertentunya
akan memiliki bentuk atau intensitas yang berbeda.
Banyak faktor yang pada dasarnya mempengaruhi persepsi dari
individu itu sendiri. Seperti disebutkan oleh Erwiantono (2004), berkaitan
dengan faktor-faktor dalam persepsi, banyak faktor yang mempengaruhi
persepsi tersebut, namun dalam penelitiannya ditekankan bahwa
karakteristik sosial dan ekonomi berhubungan dengan terciptanya persepsi
dalam suatu komunitas. Adapun faktor-faktor yang berhubungan tersebut
adalah faktor jenis pekerjaan dan satus sosial.
16
Kerangka Konseptual
Seperti yang telah disebutkan oleh Sitorus dan Wiradi (dalam Antoro
2010), pada dasarnya permasalahan sumber daya alam atau agraria selalu
melibatkan tiga aktor, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Seperti
halnya dalam kasus di kawasan Gunung Galunggung, pada dasarnya pihak
swasta dan pemerintah merupakan pihak yang saling berkaitan dalam
rangka penguasaan sumber daya alam. Pihak pemerintah selaku pemilik
otoritas atas legalitas pemanfaatan kawasan, melakukan proses politik dan
kebijakan sehingga pada akhirnya memberikan pihak swasta (perusahaan
tambang pasir) izin untuk memanfaatkan sumber daya alam di kawasan kaki
Gunung Galunggung.
Objek sumber daya alam yang dimanfaatkan oleh pihak swasta dan
pemerintah dalam penelitian ini adalah sumber daya alam pertambangan
dengan objek spesifik pasir. Walaupun sebenarnya pasir tidak dimanfaatkan
secara langsung oleh masyarakat, namun pasir yang tersedia dan terdapat di
kawasan ini merupakan komponen vital yang juga turut menjaga
keseimbangan ekosistem wilayah Gunung Galunggung. Sehingga bukan
tidak mungkin dengan adanya aktivitas penambangan pasir di kawasan ini
akan dapat berdampak pada ketidakseimbangan kondisi alam, atau dengan
kata lain dapat menimbulkan destabilisasi ekosistem di kawasan Gunung
Galunggung. Dengan kehadiran aktivitas pertambangan pasir pasir berskala
besar, eksistensi kawasan dan degradasi lingkungan akan terus menggiring
kawasan Gunung Galunggung pada ancaman krisis ekologi yang serius.
Dampak-dampaknya pun meliputi berbagai aspek, diantaranya pada aspek
ekologi, sosial dan ekonomi. Dalam dampak ekologi, permasalahan yang
melingkupinya diantaranya adalah degradasi kualitas air, kerentanan
terhadap bencana, polusi melalui udara, dan alih fungsi lahan. Pada aspek
sosial, hal ini dapat dilihat seperti dampaknya pada persepsi terhadap
perusahaan, hubungan antar aktor, konflik sosial dan cara pandang terhadap
lingkungan. Sedangkan pada aspek ekonomi, dampaknya dianggap
berpengaruh terhadap pendapatan, dan kesempatan bekerja, serta aktivitas
ekonomi desa.
Masyarakat merupakan suatu kesatuan yang dinamis. Oleh karena
itu, dalam relevansinya dengan aktivitas pertambangan skala industri yang
dilakukan oleh pihak swasta, tidak jarang respons yang diterima oleh
masyarakat sangatlah variatif, baik bersifat positif maupun negatif, baik
yang berada pada tataran fisik, atau juga dapat jauh lebih dalam melalui
perubahan-perubahan persepsi. Oleh karena itu penelitian ini juga mengarah
pada analisis antar aktor dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya
alam, proses politik dan kebijakan, hingga aktivitas pertambangan yang
dilakukan oleh pihak swasta, serta dampak-dampak yang ditimbulkan
termasuk persepsinya dari masyarakat baik pada aspek ekologi, sosial dan
ekonomi.
17
Gambar 2 Kerangka Konseptual
Keterangan:
: Menyebabkan
: Saling Mempengaruhi
: Arena Pertarungan Kepentingan Aktor
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka hipotesis
yang dapat ditarik adalah:
1. Diduga masing-masing aktor memiliki ideologi dan peran yang
berbeda.
2. Diduga semakin jauh jarak desa dari aktivitas pertambangan pasir
maka dampak negatif ekologi, sosial dan ekonomi akan semakin
dirasakan oleh masyarakat desa.
PEMERINTAH
Dampak Sosial:
- Persepsi Perusahaan
- Hubungan Antar Aktor
- Konflik Sosial
- Cara Pandang Lingkungan
OBJEK
SDA
Dampak Ekologi:
- Degradasi Kualitas Air
- Kerentanan Bencana
- Polusi Melalui Udara
- Alih Fungsi Lahan
Aktivitas
Pertambangan
Pasir
SWASTA
MASYARAKAT
Dampak Ekonomi:
- Tingkat Pendapatan
- Kesempatan Bekerja
- Aktivitas Ekonomi Desa
18
Definisi Operasional
1. Dampak Ekologi adalah dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas
pertambangan pasir terhadap perubahan struktur ekosistem dan/atau
lingkungan masyarakat. Pengukuran dilakukan secara kuantitatif
melalui dua puluh pernyataan untuk pengukuran persepsi dalam
kuesioner, dan akumulasi skor akan dibagi secara ordinal dalam tiga
kategori: Rendah (20-33), Sedang (34-46), dan Tinggi (47-60).
Pengukuran dilakukan berdasarkan indikator-indikator berikut:
a. Persepsi Terhadap Tingkat Degradasi Kualitas Air, merupakan
persepsi masyarakat terhadap perubahan yang terjadi pada
kualitas air yang biasa mereka pergunakan untuk konsumsi
maupun non-konsumsi (aktivitas usaha, pengarian, dll). Indikator
terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor:
i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S
ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N
iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS
b. Persepsi Terhadap Tingkat Kerentanan Bencana, merupakan
persepsi masyarakat terhadap kondisi masyarakat yang lebih
rentan terhadap suatu bahaya, kecelakaan, atau bentuk kesusahan
lainnya. Variabel diukur dengan skala likert, dengan skor:
i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S
ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N
iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS
c. Persepsi Terhadap Tingkat Polusi Melalui Udara, merupakan
persepsi masyarakat terhadap polusi atau gangguan yang terjadi
melalui medium udara, baik polusi udara seperti debu atau polusi
suara seperti kebisingan yang diakibatkan oleh berbagai aktivitas
dan proses pertambangan pasir. Indikator terbagi menjadi tiga
kategori, dengan skor:
i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S
ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N
iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS
d. Persepsi Terhadap Tingkat Alih Fungsi Lahan, merupakan
persepsi masyarakat terhadap perubahan kondisi, keberadaaan,
serta bentuk atau fungsi tanah terbuka dan/atau tanah garapan,
hutan, dsb. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor:
i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S
ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N
iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS
2. Dampak Sosial adalah dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas
pemanfaatan sumber daya alam terhadap perubahan kondisi sosial
dan interaksi antar aktor (masyarakat, pemerintah, dan swasta) dan
juga lingkungannya. Pengukuran dilakukan secara kuantitatif
melalui dua puluh lima pernyataan untuk pengukuran persepsi dalam
kuesioner, dan akumulasi skor akan dibagi secara ordinal dalam tiga
19
kategori: Rendah (25-42), Sedang (43-58), dan Tinggi (59-75).
Pengukuran dilakukan berdasarkan indikator-indikator berikut:
a. Persepsi Terhadap Keberadaan Perusahaan, merupakan persepsi
masyarakat terhadap keberadaan dan kehadiran pihak swasta
yang melakukan aktivitas pertambangan pasir di kawasan
Gunung Galunggung. Indikator terbagi menjadi tiga kategori,
dengan skor:
i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S
ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N
iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS
b. Persepsi Terhadap Hubungan Antar Aktor, merupakan persepsi
masyarakat terhadap kecenderungan hubungan atau interaksi
antara masyarakat dengan perusahaan serta masyarakat dengan
pemerintah. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor:
i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S
ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N
iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS
c. Persepsi Terhadap Tingkat Konflik Sosial, merupakan persepsi
masyarakat terhadap kedalaman atau bentuk konflik baik antara
masyarakat dengan masyarakat, ataupun antara masyarakat
dengan swasta dan pemerintah. Indikator terbagi menjadi tiga
kategori, dengan skor:
i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S
ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N
iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS
d. Persepsi Terhadap Cara Pandang Lingkungan, merupakan cara
pandang masyarakat terhadap lingkungannya pasca kehadiran
berbagai aktivitas dan proses pertambangan pasir. Indikator
terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor:
i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S
ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N
iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS
3. Dampak Ekonomi adalah dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas
pertambangan pasir terhadap perubahan pola dan struktur ekonomi
masyarakat. Pengukuran dilakukan secara kuantitatif melalui satu
pertanyaan terbuka dan sepuluh pernyataan untuk pengukuran
persepsi dalam kuesioner, dan akumulasi skor akan dibagi secara
ordinal dalam tiga kategori: Rendah (10-16), Sedang (17-23), dan
Tinggi (24-30). Pengukuran dilakukan berdasarkan indikator-
indikator berikut:
a. Tingkat Pendapatan, merupakan ukuran besaran pendapatan yang
didapat oleh masyarakat baik dari sektor pertanian maupun sektor
non-pertanian. Indikator diukur berdasarkan tiga kategori:
i. Tinggi, jika pendapatan > Rp. 13.400.000 per tahun
ii. Sedang, jika pendapatan Rp. 9.400.100 - Rp. 13.390.000
per tahun
iii. Pendapatan rendah jika < Rp. 9.400.000 per tahun
20
b. Persepsi Terhadap Tingkat Kesempatan Bekerja, merupakan
persepsi masyarakat terhadap peluang yang diperoleh responden
dalam kaitannya dengan berbagai pekerjaan baik yang berkaitan
langsung dengan pertambangan ataupun tidak. Indikator terbagi
menjadi tiga kategori, dengan skor:
i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S
ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N
iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS
c. Persepsi Terhadap Tingkat Aktivitas Ekonomi Desa, merupakan
persepsi masyarakat terhadap interaksi dalam kegiatan ekonomi
dan/atau jumlah aktivitas yang berhubungan dengan ekonomi di
desa. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor:
i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S
ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N
iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS
21
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di dua lokasi (Lampiran 1 dan Lampiran 2),
yakni desa yang berada dekat dengan aktivitas pertambangan pasir: (1) Desa
Mekarjaya, Kecamatan Padakembang, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi
Jawa Barat dan Desa yang berada jauh dengan aktivitas pertambangan pasir:
(2) Desa Rancapaku, Kecamatan Padakembang, Kabupaten Tasikmalaya,
Provinsi Jawa Barat. Alasan terperinci pemilihan lokasi diantaranya adalah:
1. Kawasan Gunung Galunggung telah lama menjadi tumpuan hidup
dan tempat tinggal masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa
Rancapaku. Pasca erupsi Gunung Galunggung tahun 1982 - 1983,
material pasir dan bebatuan di sekitar kawasan gunung menjadi
berlimpah, dan tidak jarang hal tersebut dimanfaatkan masyarakat
sebagai sumber mata pencaharian. Ketika kondisi pasca letusan
membaik, sebagian masyarakat mulai kembali ke profesi lamanya
seperti petani, peternak ikan, dll. Namun, kondisi pasca letusan
tersebut juga telah membuat berbagai perusahaan swasta masuk dan
memanfaatkan material pasir yang berlimpah, sehingga baik secara
langsung ataupun tidak langsung juga berperan dalam mengubah
kondisi ekosistem hingga tatanan sosial masyarakat. Terlebih,
penambangan pasir yang dilakukan oleh pihak swasta tidak
berbanding lurus dengan peningkatan ekonomi masyarakat, justru
sebaliknya, banyak masyarakat yang merasa dirugikan dan tidak
dilibatkan dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam
di daerahnya sendiri. Oleh karena itu, penelitian ini juga diarahkan
pada analisis aktor dan sejarah, dimana telaah terhadap kondisi
tersebut perlu ditinjau guna memahami kondisi nyata atas krisis yang
sedang dihadapi masyarakat.
2. Desa Mekarjaya merupakan salah satu desa di Kecamatan
Padakembang yang memiliki industri pertambangan pasir.
Sedangkan Desa Rancapaku, merupakan desa yang lokasinya berada
cukup jauh dengan aktivitas pertambangan pasir. Namun kedua Desa
tersebut memiliki karakteristik yang kurang lebih sama, diantaranya
adalah ekosistem, kondisi ekonomi, sosial serta budaya
masyarakatnya. Sehingga pemilihan kedua lokasi ini diharapkan
mampu memberikan perbandingan persepsi atas dampak dan
perubahan sosial yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir
yang terjadi di kawasan kaki Gunung Galunggung.
Proses penelitian atau skripsi ini dilaksanakan selama bulan Februari
hingga Juni 2014 (Tabel 1). Kegiatan penelitian meliputi penyusunan
proposal skripsi, kolokium, perbaikan proposal, pengambilan data lapangan,
pengolahan dan analisis data, penulisan draf skripsi, sidang skripsi, dan
perbaikan skripsi.
22
Tabel 1 Jadwal pelaksanaan penelitian
KEGIATAN Februari Maret April Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan
proposal skripsi
Kolokium
Perbaikan
proposal
Pengambilan
data lapang
Pengolahan dan
analisis data
Penulisan draf
skripsi
Sidang skripsi
Perbaikan
skripsi
Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan melalui pengumpulan data primer maupun
data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari
lapangan, baik melalui observasi, kuesioner (Lampiran 3), dan kegiatan
wawancara mendalam (in-depth interview) (Lampiran 4) yang dilakukan
pada responden maupun pada informan. Sedangkan data sekunder
merupakan data yang diperoleh baik berupa dokumen-dokumen dari
pemerintah Desa, masyarakat ataupun pihak lainnya yang berkaitan, serta
literatur-literatur yang menunjang data ataupun deskripsi kondisi yang
berkaitan dengan penelitian.
Dalam melakukan pengumpulan data primer, peneliti telah
menyiapkan kuesioner dengan sejumlah pernyataan yang dipergunakan
untuk mengukur persepsi responden terhadap dampak pertambangan pasir
baik pada aspek ekologi, sosial maupun ekonomi. Serta panduan wawancara
mendalam yang telah dipersiapkan untuk menjaga konsistensi arah
pengambilan data dan juga agar data dapat saling melengkapi. Pada
dasarnya, kedua metode ini (pengumpulan data primer dan sekunder)
dilakukan agar data dan fakta yang digali lebih komperhensif dan tidak
berkecenderungan subjektif.
23
Teknik Pemilihan Responden dan Informan
Dalam memperoleh data primer, sumber data didapatkan melalui
kuesioner serta wawancara terhadap responden dan informan. Responden
adalah pihak yang memberikan keterangan mengenai kondisi dirinya
dan/atau keluarganya sesuai dengan pertanyaan yang diajukan dalam
kuesioner. Dalam penelitian ini, populasinya adalah rumah tangga
masyarakat Desa Mekarjaya (desa yang berada dekat dengan aktivitas
pertambangan) dan Desa Rancapaku (Desa yang berada jauh dengan
aktivitas pertambangan) dengan jumlah penduduk sebanyak 236 orang.
Sedangkan unit analisis yang diambil adalah individu rumah tangga di Desa
Mekarjaya dan Desa Rancapaku. Hal ini dilakukan secara sengaja karena
unit analisis tersebut dianggap paling mampu merepresentasikan kondisi
dan objek penelitian yang dilakukan. Responden berjumlah 30 orang dari
Desa Mekarjaya (yang berasal dari RW 07) dan 30 orang dari Desa
Rancapaku (yang berasal dari RW 10). Pemilihan lokasi di RW 07 untuk
Desa Mekarjaya dan RW 10 untuk Desa Rancapaku ditentukan berdasarkan
observasi dan rekomendasi masyarakat setempat dan dianggap paling
mampu merepresentasikan masyarakat desanya secara keseluruhan, dan
responden di masing-masing desa tersebut dipilih secara acak sederhana
(simple random sampling), sehingga responden yang dipilih memiliki latar
belakang serta karakteristik yang bervariasi.
Informan adalah pihak yang memberikan keterangan dan informasi
mengenai kondisi dan situasi yang terjadi sesuai dengan pertanyaan yang
diajukan dalam pedoman wawancara. Dalam penelitian ini informan dipilih
secara sengaja, baik yang berasal dari pemerintahan, baik pemerintah desa
maupun kecamatan, dan masyarakat, baik tokoh masyarakat, masyarakat
yang tinggal dekat lokasi pertambangan, masyarakat yang pernah bekerja di
pertambangan, maupun masyarakat yang memiliki informasi terkait dengan
kasus yang diteliti.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Dalam penelitian ini data baik yang diperoleh secara kuantitatif
maupun kualitatif akan diolah untuk selanjutnya dianalisis dan
diinterpretasikan. Untuk data yang diperoleh melalui metode kuantitatif,
data diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2010. Pembuatan tabel
tabulasi silang, tabel frekuensi, grafik, serta diagram diolah menggunakan
aplikasi tersebut.
Data kualitatif, data diolah melalui proses penafsiran dan penarikan
kesimpulan dari hasil wawancara yang tertulis dalam catatan harian. Proses
ini pada intinya bertujuan untuk menyimpulkan data yang lebih relevan dan
objektif, namun terdapat juga data hasil wawancara yang secara utuh
(dengan pengubahan seperlunya) yang langsung disajikan oleh penulis
dalam kutipan wawancara.
24
25
PROFIL MASYARAKAT DESA MEKARJAYA
DAN DESA RANCAPAKU
Letak Geografis dan Keadaan Lingkungan
Kecamatan Padakembang merupakan salah satu kecamatan yang
terletak di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Dengan luas wilayah 1809
ha dan penduduk yang mencapai 31.013 jiwa, Kecamatan Padakembang
mencakup lima wilayah desa didalamnya, yakni Desa Padakembang, Desa
Cisaruni, Desa Mekarjaya, Desa Rancapaku, dan Desa Cilampunghilir.
Kecamatan yang berada di ketinggian 700 m di atas permukaan laut ini juga
terletak tepat di kawasan kaki Gunung Galunggung. Kawasan Gunung
Galunggung ini memiliki varian flora dan fauna yang beragam, pasalnya
sebagaian besar kawasannya adalah hutan montane, atau hutan yang berada
pada dataran rendah dimana rimbunnya pepohonan besar hingga hewan-
hewan seperti kera mendominasi kawasan hutan ini. Selain itu aliran sungai
besar, seperti Sungai Ciwulan dan Sungai Cikunir juga mengalir deras dari
puncak Gunung Galunggung yang sering juga dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk berbagai kegiatan mereka. Namun, Gunung Galunggung
merupakan Gunung berapi yang masih aktif. Hal ini tentunya juga
berpengaruh besar khususnya terkait dengan kondisi ekosistem di dalamnya.
Apalagi letusan Gunung berapi merupakan salah satu bencana alam yang
dapat berakibat fatal, dan dampaknya pun dapat bersifat permanen dan dapat
dirasakan dalam jangka waktu yang lama. Terhitung setidaknya Gunung
Galunggung telah memuntahkan lahar panasnya sebanyak empat kali,
berikut sejarah letusan Gunung Galunggung menurut tahunnya:
Tabel 2 Sejarah letusan Gunung galunggung
Tahun Keterangan
1882
1. Pada tanggal 8-12 Oktober 1882, letusan Galunggung
menghasilkan hujan pasir panas berwarna kemerahan dan juga
abu halus yang hampir menyelimuti secara merata wilayah Jawa
Barat dan Jawa Tengah.
2. Selain itu, letusan juga mengalirkan lahar yang bergerak ke
arah tenggara Gunung mengikuti aliran-aliran sungai yang telah
ada, diantaranya adalah sungai Cikunir yang hulunya tepat
berada di kawasan puncak Gunung Galunggung.
3. Letusan ini setidaknya menewaskan sekitar 4.011 jiwa dan
menghancurkan 114 Desa yang berada di kawasan Gunung
Galunggung.
1894
1. Letusan kembali terjadi pada bulan Oktober 1894, namun
aktivitas letusan ini lebih rendah dibandingkan dengan letusan
pada tahun 1882.
2. Pada letusan ini aliran lahar dan hujan abu menghancurkan
setidaknya 50 Desa. Namun tidak ada data yang menunjukkan
adanya korban jiwa.
26
1918
1. Terjadi letusan yang selanjutnya membentuk kubah lava di
dalam danau kawah Gunung Galunggung.
2. Letusan ini juga memuntahkan abu yang cukup tebal yang
hampir tersebar merata di Jawa Barat.
1982
1. Aktivitas letusan ini dimulai pada pertengahan tahun 1982,
dan aktivitas letusan baru berakhir pada bulan Januari 1983.
2. Merupakan letusan terbesar kedua setelah letusan tahun 1882
menurut cerita masyarakat. Bahkan ada warga yang
menyebutnya sebagai letusan “siklus seratus tahun”.
3. Menewaskan setidaknya 18 orang dan puluhan Desa
ditinggakan tanpa penghuni. Sebagian besar masyarakat
mengungsi di kawasan Singaparna hingga kota Tasikmalaya.
4. Menyebabkan berubahnya peta wilayah dan batas-batas
wilayah Desa (termasuk kepemilikan sawah dan tanah
pekarangan masyarakat) yang diakibatkan aliran lahar serta
timbunan pasir dan bebatuan. Sumber: Data sekunder
Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat jika pada dasarnya masyarakat
telah mengalami dampak yang cukup parah dengan letusan Gunung
Galunggung yang telah terjadi sebanyak empat kali. Dari korban jiwa,
hingga harta benda harus dikorbankan oleh masyarakat sebagai konsekuensi
tinggal di kawasan Gunung berapi aktif yang harus dirasakan baik oleh
masyarakat Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku. Terlebih mengingat
kedua desa tersebut merupakan desa yang dilalui oleh jalur aliran lahar,
sehingga implikasi yang diakibatkan oleh letusan cukup masif dirasakan
masyarakat kedua desa. Namun pasca letusan tahun 1982 tersebut,
masyarakat Kecamatan Padakembang, khususnya Desa Mekarjya dan Desa
Rancapaku juga disibukkan dengan pembuatan tanggul setinggi kurang
lebih dua meter yang mengitari kawasan sungai Cikunir yang juga melewati
kawasan kedua desa tersebut.
Pada pertengahahn tahun 2013 lalu, masyarakat kawasan Gunung
Galunggung sempat kembali cemas karena adanya pemberitahuan tentang
meningkatnya aktivitas Gunung Galunggung. Namun akhirnya tidak terjadi
peningkatan aktivitas dan status Gunung Galunggung dapat kembali normal.
Walaupun demikian, banyak masyarakat yang langsung meninggalkan desa
untuk mengungsi dan mengantisipasi peningkatan aktivitas gunung yang
berpotensi meletus tersebut selama beberapa minggu. Hal tersebut juga
mengindikasikan bahwa masyarakat di kawasan Gunung Galungggung atau
Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku khususnya, juga sangat bergantung
dan dipengaruhi oleh kondisi dan keberadaaan aktivitas Gunung
Galunggung.
Struktur Sosial dan Ekonomi
Secara spesifik baik Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku,
memiliki kondisi dan karakteristik sosial dan ekonomi yang kurang lebih
27
sama. Pasalnya Desa Mekarjaya merupakan desa hasil pemekaran dari Desa
Rancapaku yang dilakukan pada tahun 1978, dimana penduduknya bermata
pencaharian beragam, mulai dari petani, peternak ikan, wiraswasta hingga
buruh. Selain itu, mayoritas masyarakat di kedua desa mayoritasnya
memiliki kolam ikan baik berukuran kecil, sedang atau besar yang terletak
di sekitar pekarangan rumah. Umumnya kolam-kolam ini dimanfaatkan
untuk konsumsi sehari-hari, namun tidak jarang juga hasil dari kolam
tersebut selanjutnya di jual di pasar desa atau warung atau pasar di luar desa.
Pada sektor pekerjaan yanng berbasis pada pertanian maupun
peternakan, kedua desa memiliki memiliki basis wadah masyarakat yang
berbentuk kelompok tani maupun kelompok pembenihan atau peternak ikan.
Kelompok yang merupakan hasil kolektif masyarakat tersebut hingga pada
saat ini masih tergolong aktif, namun minimnya program atau kegiatan
bersama khususnya untuk kelompok tani tidak jarang menyebabkan
kelompok ini hanya berfungsi aktif ketika adanya penyaluran bantuan-
bantuan tani. Sedangkan untuk kelompok atau kelembagaan lainnya di
kedua desa ini, terdapat juga karang taruna dan pembinaan kesejahteraan
keluarga (PKK), baik karang taruna maupun PKK juga pada akhirnya
berkontribusi dalam meinginisiasi berbagai kegiatan warga, diantaranya
adalah perlombaan olah raga hingga berbagai kegiatan keagamaan.
Berkaitan dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat lainnya,
pada pasca letusan pada tahun 1982 - 1983, baik masyarakat Desa
Mekarjaya ataupun Desa Rancapaku banyak yang mengalami kerugian
karena rumah yang hancur, hingga sawah dan kolam-kolam ikan yang
tertimbun oleh pasir. Namun masyarakat yang semula merasa sangat
dirugikan oleh letusan Gunung Galunggung, mulai berbalik menjadi
diuntungkan dengan material pasir yang berlimpah hampir merata di seluruh
desa. Sebetulnya material pasir telah tersedia sebelum tahun 1983 (yang
berasal dari letusan gunung pada tahun sebelumnya), namun pada saat itu
masyarakat belum memanfaatkannya secara serius dan hanya dimanfaatkan
secara skala kecil untuk keperluan membangun rumah atau fasilitas desa
lainnya. Namun baru pada pasca letusan tahun 1983, banyak masyarakat
yang mulai lebih fokus melakukan penjualan pasir hingga keluar daerah,
bahkan hingga ada yang masih bertahan dengan industrinya sampai saat ini.
Berdasarkan penjabaran tersebut, struktur penghidupan yang
beragam yang dimiliki kedua desa ini juga dapat digolongkan menjadi basis
pertambangan dan juga non-pertambangan. Namun pada dasarnya basis
pertambangan hanya dimiliki oleh masyarakat yang berasal dari Desa
Mekarjaya, berbeda dengan masyarakat yang berasal dari Desa Rancapaku,
dimana menurut keterangan pihak pemerintah sama sekali tidak ada
warganya yang bekerja di sektor pertambangan sejak beberapa tahun
belakangan ini. Pola pekerjaan yang lebih bervariasi pada Desa Mekarjaya
diantaranya dengan hadirnya warga yang bekerja sebagai petani – buruh
tambang, ataupun petani – supir truk tambang, pada akhirnya juga
memunculkan kondisi ekonomi dan sosial yang lebih kompleks. Banyak
pihak yang secara langsung maupun tidak langsung bergantung pada sektor
pertambangan, baik pekerja atau buruh tambang itu sendiri ataupun pemilik
warung makan yang dibuka di sekitar lokasi tambang. Namun walaupun
28
demikian, dapat dikatakan juga bahwa sebagian besar masyarakat Desa
Mekarjaya masih tetap menggantungkan penghidupannya pada sektor
pertanian pada skala prioritas, hal ini karena pekerjaan pada sektor
pertambangan bukanlah pekerjaan yang bersifat mengikat, namun hanya
temporer dan bersifat kontrak berkala saja.
Kondisi atau struktur penghidupan tersebut, pada akhirnya
terepresentasi dalam kultur atau respons politik ekologi yang berbeda
diantara kedua desa tersebut. Desa Mekarjaya cenderung lebih memiliki
respons yang kompromistik, sedangkan untuk Desa Rancapaku cenderung
memiliki respons yang lebih radikal terhadap keberadaan perusahaan
pertambangan pasir. Hal ini diantaranya dikarenakan adanya ketergantungan
ekonomi dan juga relasi atau kedekatan sosial dengan pihak perusahaan
tambang pada masyarakat Desa Mekarjaya, sedangkan hal sebaliknya terjadi
pada masayarakat Desa Rancapaku. Kondisi yang berbeda pada Desa
Mekarjaya tersebut juga didukung oleh elite atau sesepuh desa yang juga
tergolong tidak vokal dalam menyikapi keberadaan perusahaan
pertambangan atas kerugian yang ditimbulkan di masyarakat.
Namun kondisi masyarakat yang menggantungkan penghidupannya
pada sektor pertambangan lambat laun semakin berkurang seiring dengan
masuknya industri pertambangan pasir, masyarakat Desa Mekarjaya
khususnya, mau tidak mau harus mulai tersingkir akibat industri
pertambangan pasir yang semakin kuat dan besar. Hal tersebut juga semakin
diperparah dengan ketatnya persaingan dalam memperoleh pekerjaan,
dengan jumlah penduduk sebanyak 7.604 jiwa di Desa Mekarjaya dan 9.185
jiwa untuk Desa Rancapaku, menjadikan persaingan dalam memperoleh
pekerjaan di tingkat desa semakin sulit, dan tidak jarang sebagian
masyarakat harus mencari pekerjaan hingga ke luar kota, diantaranya Garut,
Bandung, atau bahkan hingga Jakarta. Sebagian besar warga kedua desa
yang merantau tersebut bermata pencaharian sebagai buruh lepas dan juga
usaha warung makanan atau warung kelontong. Namun migrasi warga
tersebut juga berlaku sebaliknya, pasca masuknya industri serta perbaikan
kawasan wisata3 Gunung Galunggung, banyak pendatang yang mulai
melakukan wirausaha di kawasan ini dan sebagian diantaranya menjadi
warga tetap, bahkan untuk Desa Mekarjaya sendiri terdapat dua orang warga
negara Asing yaitu dari Singapura yang bertinggal di Desa Mekarjaya.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat terlihat bahwa masyarakat baik di
Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapku sangat bergantung pada kondisi
ekosistem di dalamnya. Terlebih bagi mata pencaharian masyarakat yang
secara garis besar masih menggantungkan pada sektor pertanian dan
perikanan, walaupun demikian, kehadiran perusahaan tambang pasir
ternyata juga membawa perubahan sosial yang juga berpengaruh pada
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
3 Disamping “berkah” pasir yang menjadi berlimpah pasca erupsi Galunggung,
tempat wisata pemandian air panas yang bernama Cipanas dan wisata kawah juga
menjadi salah satu faktor pemikat wisatawan yang berkontribusi dalam
meningkatkan ekonomi warga
29
Kondisi Fisik
Berbagai perubahan secara nyata telah terjadi pasca terjadinya erupsi
Gunung Galunggung pada tahun 1982 - 1983. Terlebih pada sebelum tahun
1982 masih banyak rumah warga yang merupakan rumah panggung,
sehingga tidak jarang pada pasca erupsi ditemui rumah yang benar-benar
hancur akibat tidak mampu menopang semburan abu dan pasir dari erupsi
Gunung Galunggung. Demikian halnya dengan rumah yang beratap genting,
walaupun tidak separah rumah panggung, namun sampai saat ini kita masih
dapat melihat terdapat beberapa rumah warga yang fondasinya mengalami
kemiringan. Karena memang menurut penuturan sebagian warga semburan
abu dan pasir pada erupsi tahun 1982 - 1983 sangat tebal, sehingga memang
perbaikan dan pembersihan lingkungan warga sampai harus menghabiskan
waktu berbulan-bulan atau bahkan tahun.
Perbaikan dan pembersihan namun tidak hanya dilakukan oleh
masyarakat, kondisi pasca erupsi Galunggung tersebut juga menjadi
perhatian pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Rehabilitasi kawasan ini
akhirnya selesai dan memakan waktu hampir satu tahun oleh pemerintah
dengan bantuan masyarakat, cukup banyak fasilitas desa yang diperbaharui
dan dibuat, diantaranya adalah jalan dan tanggul. Seiring dengan prosesnya
kawasan Gunung Galunggung menjadi primadona bagi pebisnis, karena
selain berlimpahnya material pasir di kawasan ini wisata kawah Gunung
Galunggung dan pemandian air panas Cipanas yang mulai dibuka pasca
rehabilitasi erupsi Gunung Galunggung juga sangat menarik wisatawan.
Pada akhirnya berbagai jalan-jalan yang dipergunakan untuk jalur kendaraan
bermotor berlalu lalang mulai dibuka dan dikembangkan yang juga
didukung oleh sebagian warga, bahkan sempat pernah ada jalur rel kereta
api yang menghubungkan kawasan Gunung Galunggung sampai dengan
stasiun Indihiang yang dimanfaatkan untuk mengangkut berbagai material
pasir. Namun pada saat ini, eksploitasi dan aktivitas penambangan pasir
yang berlebihan dan terus menerus dilakukan semakin memperburuk
berbagai fasilitias desa tersebut, jalan utama desa yang juga dimanfaatkan
warga harus hancur hampir sepanjang 1.5 kilometer. Bahkan perbaikan jalan
yang telah dilakukan berkali-kali pada saat ini tidak mampu terus menopang
kendaraan pribadi khususnya kendaraan truk pengangkut material pasir yang
terus berlalu lalang.
Disamping itu, fasilitas pendidikan maupun kesehatan di kedua desa
dapat dikatakan cukup mumpuni. Dari tingkat pendidikan anak usia dini
(PAUD) atau taman kanak-kanak (TK) sampai dengan sekolah menengah
atas (SMA) terdapat di kawasan ini, demikian halnya dengan Posyandu,
pelayanan dan program dilaksanakan secara rutin, namun untuk Posyandu
kelompok 08 di Desa Rancapaku pada saat ini belum memiliki bangunan
sendiri, sehingga dalam pelaksanaan kegiatan Posyandu tidak jarang harus
meminjam gedung PAUD yang berada tidak jauh dari rumah para kader
posyandu. Selain itu, secara khusus di Desa Mekarjaya memiliki pasar ikan
yang juga sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menjual berbagai
hasil dari ternak ikan, diantaranya seperti ikan mas, mujaer, nila, hingga
gurami. Pasar ikan ini kerap dipergunakan warga di Kecamatan
30
Padakembang dan bahkan luar dari Kecamatan Padakembang untuk
melakukan jual dan beli berbagai komoditas ikan tersebut. Namun walaupun
demikian, tidak jarang banyak masyarakat yang lebih memilih menjual hasil
ikan ternaknya ke tengkulak atau ke pasar Singaparna yang kurang lebih
berjarak lima kilometer dari Desa.
Secara garis besar, masih banyak sarana dan prasarana baik di Desa
Mekarjaya ataupun Desa Rancapaku yang harus lebih diperhatikan. Baik
pihak masyarakat, swasta ataupun pemerintah seharusnya harus mampu
saling bekerja sama untuk mewujudkannya. Terlebih kawasan ini telah
menghasilkan pundi-pundi rupiah yang tergolong besar bagi pihak swasta
dan pemerintah, yang seharusnya juga disalurkan untuk kepentingan
masyarakat.
Ikhtisar
Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku merupakan desa yang terletak
tepat di kawasan kaki Gunung Galunggung. Pada dasarnya, Desa Mekarjaya
merupakan desa hasil pemekaran dari Desa Rancapaku yang dilakukan pada
tahun 1978, sehingga baik kondisi fisik maupun sosial dan ekonominya
memiliki cukup banyak kesamaan yang menonjol. Mayoritas mata
pencaharian di kedua desa tersebut adalah petani, peternak ikan dan juga
buruh. Masing-masing desa tersebut juga memiliki kelompok tani ataupun
karang taruna yang cukup aktif berkontribusi dalam berbagai kegiatan desa.
Namun terkait mata pencaharian, untuk Desa Mekarjaya sedikit memiliki
perbedaan dimana terdapat juga pekerjaan atau mata pencaharian
masyarakat yang berbasis pada sektor pertambangan, seperti buruh tambang
dan supir truk penangkut pasir. Hal ini dikarenakan Desa Mekarjaya
merupakan salah satu desa yang telah menjadi primadona sektor
pertambangan sejak pasca letusan Gunung Galunggung yang terjadi pada
tahun 1982 – 1983.
Keberadaan perusahaan tambang di kawasan Desa Mekarjaya pada
akhirnya membawa suatu kondisi sosial dan ekonomi yang baru. Dimana
muncul suatu “ketergantungan” ekonomi baik secara langsung maupun
tidak langsung dengan kehadiran perusahaan tersebut, berbeda dengan
masyarakat di Desa Rancapaku yang tidak ada satupun warganya yang
bekerja di sektor pertambangan. Hal ini pada akhirnya berimplikasi terhadap
respons ekologi politik yang berbeda antara kedua desa tersebut, dimana
dalam menyikapi keberadaan serta dampak yang ditimbulkan oleh
perusahaan tambang, Desa Mekarjaya lebih memiliki respons yang
cenderung kompromistik, berbeda dengan masyarakat dari Desa Rancapaku
yang cenderung memiliki respons yang radikal dan terbuka. Berbagai faktor
tersebut pada akhirnya menjadi gambaran kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat di kedua desa yang memang bervariasi, tentunya disamping
faktor geografis atau letak desa yang sejatinya memang saling berjauhan.
31
ANALISIS IDEOLOGI DAN PERAN AKTOR
DALAM PERTAMBANGAN PASIR GALUNGGUNG
Bab ini membahas ideologi dan peran aktor dalam pemanfaatan
sumber daya alam di kawasan Gunung Galunggung, yang secara dominan
dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ekonomi lokal. Aktor yang
dibahas dalam bab ini mencakup tiga aktor besar yaitu, masyarakat,
pemerintah dan juga swasta.
Aktor Masyarakat
Berbicara tentang aktivitas pertambangan pasir di Gunung
Galunggung, maka tidak akan lepas dari sejarah dan peran masyarakat lokal
itu sendiri. Berawal dari pasca rehabilitiasi erupsi Gunung Galunggung pada
tahun 1983, masyarakatlah yang memulai melakukan aktivitas
pertambangan pasir tanpa bantuan dari pihak pemerintah ataupun swasta
untuk pertama kalinya. Kondisi pasca erupsi Gunung Galunggung
menyebabkan lahan-lahan milik warga dipenuhi oleh material pasir,
sehingga aktivitas pengerukan pasir sudah mulai dikenal warga ketika
namun lebih ditujukkan untuk membersihkan lahan-lahan atau pekarangan
milik mereka. Seperti yang disebutkan oleh APH (55 tahun) yang
merupakan warga asli Desa Mekarjaya:
“Pada awalnya itu sebetulnya masyarakatlah yang memulai
melakukan aktivitas penambangan. Pasca letusan, sawah, kolam,
hingga rumah itu hancur karena hujan abu dan pasir. Tebalnya
itu kurang lebih sampai 20 cm. Kondisi itulah yang paling sulit,
karena setelah bencana (letusan) itu kita perlu modal banyak
untuk memperbaiki rumah. Tapi soal dana kembali jadi masalah,
karena ketika itu sawah yang jadi andalan saja tertimbun. Tapi
akhirnya ada yang mulai menjual pasir timbunan tersebut, orang
daerah atas (Kec. Sukaratu) kalau tidak salah. Dari yang
awalnya dibuang-buang di dalam tanah atau sungai oleh
masyarakat, lama kelamaan masyarakat mulai mengikuti. Sejak
itu pasir mulai dijual ke berbagai tempat, dan ternyata karena
kualitas pasirnya yang baik, harganya pun dapat dijual cukup
tinggi. Akhirnya hampir semua mengikuti, bahkan tidak jarang
“juragan” sawah yang memiliki ratusan bata4 sampai
menyewakan sawahnya untuk dikeruk material pasirnya.”
Lebih lanjut, berdasarkan pemaparan bapak APH, memang pada awalnya
masyarakatlah yang melakukan aktivitas penambangan pasir secara
konvensional, dan ketika itu pasir lebih dimanfaatkan untuk berbagai
4 Bata merupakan istilah pengukuran tanah yang lazim dipergunakan oleh
masyarakat lokal, satu bata setidaknya sama dengan 14 m².
32
keperluan pribadi. Pada umumnya pasir itu dimanfaatkan untuk membangun
rumah yang hancur akibat letusan Gunung, namun lambat laun masyarakat
mulai ada yang menjual pasir tersebut hingga keluar dari Desa. Tidak jarang
bahkan pasir ini juga dibeli oleh orang-orang yang umumnya juga
pengusaha toko bangunan atau pebisnis yang mencari pasir dengan harga
yang miring. Bahkan tidak jarang orang-orang tersebut mendatangi lokasi
Desa yang cukup parah tertimbun oleh pasir-pasir untuk mendapatkan harga
yang lebih murah. Namun, mulai sejak itu pula masyarakat di kawasan
Gunung Galunggung mulai menyadari bahwa pasir yang menimbun hampir
seluruh wilayah di Desa mereka tersebut diburu dan memiliki nilai ekonomi
tersendiri.
Bahkan menurut salah seorang warga, ketika itu ada sebagian
masyarakat yang sampai membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan
penambangan pasir, walaupun hanya bermodalkan cangkul, wadah dan
serokan, kelompok masyarakat tersebut bertahan cukup lama sebelum
akhirnya tersingkir oleh industri penambangan pasir yang jauh lebih besar.
Masuknya industri pertambangan di Desa ini pada akhirnya hanya
menjadikan mereka sebagai pekerja, limpahan pasir yang awalnya menurut
sebagian masyarakat mampu mereka manfaatkan untuk mensejahterakan
mereka ternyata justru sebatas mensejahterakan para pemodal besar.
Walaupun perusahaan tambang pada sebelum tahun 2000 lebih tergolong
padat karya, namun faktanya tidak pernah ada masyarakat yang mampu
mencapai titik kesejahteraan tersebut. Seperti halnya yang disebutkan oleh
ATP (60 tahun):
“Saya dulu (sekitar tahun 1990) sempat kerja menggali pasir
juga di PT BO, hanya dibayar beberapa perak, tapi yang
terpenting bisa untuk makan keluarga. Dahulu pekerjanya sangat
banyak, banyak warga desa yang ikut menambang, tapi “mandor-
mandornya” itu bukan orang sini, apalagi bosnya itu kan orang
Jakarta. Kalau bos atau mandor saya kurang tahu dapat berapa,
tapi pastilah mereka dapat lebih besar. Berbedalah sama pekerja
walaupun yang lelah itu kita.”
Memang hal yang dinyatakan oleh bapak ATP merupakan salah satu awal
dimana ironi pertambangan pasir Galunggung dimulai. Namun hal tersebut
belum seberapa dibanding kondisi pasca tahun 2000, dimana industri
pertambangan pasir yang masuk sudah mulai menggunakan alat-alat berat.
Memang menurut sebagian masyarakat apa yang terjadi pasca
masuknya industri pertambangan pada tahun 2000 merupakan hal yang
berdampak buruk bagi mereka. Berbeda ketika dahulu dimana pihak
perusahaan masih menggunakan cara konvensional, industri yang masuk
pasca tahun 2000 lebih tergolong sebagai industri padat modal, sehingga
dampak positif yang ditimbulkan pun tergolong minim, bahkan dalam
kaitannya dengan peluang kerja, hanya sedikit masyarakat dari Desa
Mekarjaya yang pada saat itu bekerja di perusahaan tambang. Justru secara
nyata berbagai dampak negatif terus mulai mereka rasakan, dari kerusakan
ekologi hingga sosial maupun ekonomi. Hingga pada akhirnya berbagai
33
lapisan masyarakat mulai melakukan penolakan atas kehadiran perusahaan
tambang pasir tersebut. Penolakan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat
lokal, namun juga hingga masyarakat yang bukan merupakan warga
Galunggung. Bahkan menurut sebagian informan, lembaga swadaya
masyarakat (LSM) seperti WALHI sempat masuk untuk melakukan
advokasi. Namun hingga saat ini menurutnya tidak ada langkah atau
informasi yang lebih lanjut terkait dengan advokasi yang dilakukan oleh
LSM tersebut. Selain LSM skala nasional, kelompok atau basis masyarakat
lokal juga ada yang turut berkontribusi untuk melakukan advokasi terhadap
pihak pemerintah dan perusahaan tambang, diantaranya adalah Kelompok
Pembenihan Ikan Mekar Saluyu. Bahkan pada tahun 2013 lalu, kelompok
pembenihan ikan ini dan didukung dengan sebagian masyarakat di Desa
Mekarjaya, telah berhasil membuat pernyataan kesepakatan antara pihak
masyarakat, perusahaan tambang dan juga pemerintah terkait dengan
dampak ekologis yang disebabkan oleh aktivitas penambangan pasir
(Lampiran 5). Beberapa poin utama yang menjadi kesepakatan yang
melibatkan masyarakat, pemerintah, dan empat orang perwakilan dari
perusahaan tambang tersebut diantaranya adalah bahwa pihak perusahaan
tambang harus secara nyata menganggulangi persoalan dampak dan limbah
tambang yang menyebabkan degradasi kualitas lingkungan, dengan
membuat saluran irigasi baru ataupun membuat kantong limbah.
Walaupun surat kesepakatan tersebut telah ditandatangani seluruh
stakeholders terkait, dan menyatakan jika terdapat segala ketidaksesuaian
atau pelanggaran dari poin-poin perjanjian tersebut maka pihak perusahaan
tambang dapat dituntut secara hukum, namun hingga saat ini belum ada
realisasi yang dapat memuaskan seluruh pihak. Bahkan lambat laun,
penolakan kehadiran perusahaan tambang tidak hanya sebatas pada
penekanan permasalahan lingkungan, namun juga implikasinya terhadap
aspek sosial hingga tuntutan ekonomi masyarakat.
Masyarakat kawasan Gunung Galunggung yang pada awalnya
menjaga keseimbangan alam dan ekosistem Gunung Galunggung secara
baik dengan menghargai nilai lingkungan serta sumber daya alam di
dalamnya (biocentrism), mau tidak mau pada dewasa ini justru memperoleh
hasil yang sebaliknya, berupa degradasi kualitas ekosistem yang diakibatkan
oleh dominasi kekuatan industri tambang pasir yang semakin berkembang
dan besar. Merupakan suatu ironi pula ketika pada awalnya banyak
masyarakat yang mengaharapkan kesejahteraan dengan kehadiran
perusahaan tambang pasir tersebut, namun justru harus dihadapkan dengan
fakta jika industri tersebut malah membuat eksistensi mata pencaharian
mereka semakin terancam.
Aktor Swasta
Sebagai kawasan pertambangan yang memiliki sumber daya pasir
yang berlimpah, kawasan Gunung Galunggung dianggap sebagai lahan
strategis yang sejak lama telah menjadi incaran berbagai industri besar.
Bahkan seusai rehabilitasi kawasan pasca erupsi pada tahun 1982 - 1983,
34
mulai marak industri pertambangan pasir di kawasan ini, mulai yang
berskala kecil yang merupakan hasil inisiasi dari masyarakat lokal, hingga
yang berskala besar yang merupakan hasil investasi pejabat nasional pada
era itu. Selain itu, pasir Galunggung yang dianggap memiliki kualitas
terbaik pada eranya, menurut sebagian informan dipergunakan untuk
menyokong program pembangunan yang kala itu sedang digencarkan oleh
pemerintah orde baru.
Aktivitas yang dilakukan masyarakat itu namun pada akhirnya mulai
menarik masuk berbagai perusahaan atau industri tambang yang berskala
lebih besar. Pada sekitar tahun 1984-1985 mulai masuklah industri tambang
pasir pertama di kawasan Gunung Galunggung, diantaranya adalah PT HS
dan PT BO. Kedua perusahaan tersebut juga masih menggunakan cara
konvensional dalam melakukan aktivitas penambangan. Selain itu, kedua
perusahaan ini juga masih memanfaatkan hampir 80 persen tenaga kerja
masyarakat lokal, sehingga tergolong sebagai usaha yang padat karya.
Seperti yang disebutkan oleh DDG (52 tahun) yang merupakan salah satu
pegawai pemerintah di Desa Mekarjaya:
“Ketika jaman PT HS atau PT BO itu masyarakat seolah semakin
terbantu. Mereka itu sama sekali belum menggunakan „beku‟
(„beku‟ merupakan istilah lokal untuk menyebut buldozer), jadi
ada kerjasama antara pihak perusahaan dengan masyarakat.
Sehingga kalau ketika itu mungkin istilahnya perusahaan sebagai
pihak yang memberi modal untuk masyarakat. Jadi masyarakat
tidak keberatan walaupun sudah muncul istilah “perusahaan
tambang”, berbeda dengan sekarang.”
Pasca masuknya PT HS dan PT BO di Kecamatan Sukaratu dan juga
sebagian di wilayah Kecamatan Padakembang, sebagian besar masyarakat
mulai mengetahui bahwa pasir Galunggung ternyata memiliki nilai jual
yang tinggi. Masyarakat lokal yang awalnya secara bebas melakukan
aktivitas penambangan secara individual namun pada akhirnya mulai kalah
dan secara perlahan tersingkir oleh industri-industri skala besar yang juga
masuk untuk mengeruk sumber daya alam pasir Galunggung tersebut.
Terlebih pasca pembangunan rel kereta api yang langsung
menghubungkan antara Gunung Galunggung dan stasiun kereta api yang
berada di daerah Indihiang, kota Tasikmalaya. Rel kereta tersebut
dimanfaatkan untuk membawa material pasir dengan jumlah yang sangat
besar. Hal tersebut juga mengindikasikan kualitas pasir Galunggung yang
memang memiliki pangsa pasarnya tersendiri. Menurut salah seorang
informan, rel kereta tersebut dibangun oleh PT BO, perusahaan yang juga
merupakan milik salah satu anggota dari keluarga cendana, keluarga yang
menguasai rezim pemerintahan kala itu. Pasir-pasir yang diangkut tersebut
juga dianggap sebagai cikal bakal berbagai pembangunan gedung hingga
jalan tol di kota Jakarta.
“Pasir Galunggung sudah terkenal di seluruh pelosok sepertinya.
Apalagi ketika jaman Pak Harto itu kan menggunakan rel kereta
35
pasir, yang selanjutnya dikirim ke Jakarta untuk program
pembangungan. Untuk sampai kesini kan bisa melalui Tol
Cipularang, tol tersebut juga kan hasil dari pasir Galunggung.
Belum lagi gedung-gedung tinggi, jalan tol lainnya, sampai ada
yang bilang bandara juga itu kan pasir Galunggung semua.”
(MKM 51 tahun)
Lebih lanjut, bahkan beberapa pihak sempat menyebutkan pada tahun 2000-
an pasir Galunggung sempat sampai di ekspor ke luar negeri, namun
sayangnya tidak banyak bukti atau informasi yang dapat diperoleh dalam
kaitannya dengan informasi tersebut.
Keberadaan rel kereta ini namun secara umum membawa perubahan
yang cukup berarti terhadap kondisi di Desa, walaupun dari proses
pengambilan pasirnya masih tergolong menggunakan cara yang
konvensional, namun aktivitas pertambangan pasir skala besar yang
dilakukan oleh industri tersebut sama sekali belum pernah terjadi dan
dialami oleh masyarakat sebelumnya. Walaupun aktivitas pertambangan
tersebut sebagian besar lebih terkonsentrasi di kawasan utara, atau tepatnya
di Kecamatan Sukaratu, namun masyarakat di Kecamatan Padakembang
juga lama kelamaan menjadi mulai banyak terpengaruh dengan keberadaan
aktivitas pertambangan tersebut, sehingga pasca habisnya izin PT HS dan
PT BO pada pertengahan tahun 1990-an, banyak masyarakat yang mulai
mencoba untuk berbisnis pasir Galunggung secara mandiri ataupun
berkelompok.
Setelah era pertambangan dengan cara konvensional usai, pada pasca
reformasi atau tepatnya sekitar tahun 2000 mulai masuk berbagai
perusahaan yang menggunakan alat berat untuk melakukan pengerukan
pasir, termasuk di Desa Mekarjaya. Seperti yang juga disebutkan oleh DDG
(52 tahun):
“Setelah sekitar tahun 2000, itu baru mulai banyak masuk yang
menggunakan „beku‟. Ada CV PG, CV FR, CV SA, dan yang
terakhir PT KR dan CV AS. Walaupun dapat dikatakan
perusahaan tidak sebesar PT HS atau PT BO, tapi ternyata
dampak yang ditimbulkan lebih parah untuk masyarakat.”
Pasca masuknya perusahaan-perusahaan tersebut, kawasan Gunung
Galunggung seolah semakin menjadi wilayah yang dimanfaatkan hanya
untuk kepentingan golongan tertentu. Pihak swasta yang melakukan
pengerukan secara besar-besaran ini keberadaannya semakin diperparah
ketika mereka mengabaikan berbagai hal yang seharusnya menjadi tanggung
jawab dari perusahaan, diantaranya seperti melakukan pengelohan limbah
serta tanggung jawab sosial dan lingkungan lainnya. Faktanya, hal seperti
itu tidak pernah secara tegas dan teratur dilakukan oleh pihak pertambangan,
bahkan tuntutan masyarakat untuk melakukan pengelolaan limbah seolah
tidak pernah memiliki lanjutannya hingga kini, hal tersebut tentunya tidak
sesuai dengan dampak yang ditimbulkan dengan keuntungan yang diperoleh
oleh pihak perusahaan pertambangan.
36
Gambar 3 Proses produksi pertambangan pasir di Desa Mekarjaya
Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat juga memang penjualan pasir
Galunggung sudah memiliki pasarnya sendiri, bahkan sampai hingga luar
daerah Jawa Barat. Bahkan istilah “pasir Galunggung” sudah cukup terkenal
di kalangan-kalangan industri. Berikut pernyataan dari bapak ABK (51
tahun) yang dahulu juga sempat bekerja sebagai supir truk pasir
Galunggung di salah satu perusahaan swasta:
“Kalau soal kualitas dapat digolongkan nomor satu. Dulu saja
saya (ketika jadi supir truk pasir) setiap hari bisa membawa
sampai ratusan kubik itu pesanan orang. Sampai-sampai banyak
itu pengusaha yang langsung datang ke lokasi. Ketika itu kalau
tanya tukang ojek di bawah (daerah Singaparna) atau yang
daerah Indihiang itu pasti langsung diantarkan ke lokasi. Kalau
kata orang-orang itu kan pasir Galunggung bagus untuk semen
dan bangunan. Bahkan istilahnya pasir Galunggung itu punya
jenisnya sendiri, bukan pasir putih atau pasir beton, tapi pasir
Galunggung namanya.”
Bahan Material
Pasir
Proses Penggalian /
Pengambilan Material Pasir
Proses Pembersihan Material
Pasir Hasil Tambang
Limbah
Tambang
Pemindahan Material Pasir ke
Truk Pengangkut
Dijual Langsung
di sekitar lokasi
Dibawa ke
Penampung Pasir
Dijual untuk
lingkup
dalam kota
Dijual untuk
lingkup
luar kota
Harga Pasaran
< Rp. 80.000/kubik
Harga Pasaran
> Rp. 80.000/kubik
37
Keuntungan dan berlimpah tersebut namun menurut sebagian masyarakat
tidak diimbangi dengan tanggung jawab sosial dan transparansi antara
stakeholders terkait.
Berdasarkan penjabaran tersebut, dapat diketahui jika pada dasarnya
orientasi profit swasta yang menjadikan sumber daya alam hanya sebatas
untuk pemenuhan kebutuhan manusia (antroposentris) menyebabkan adanya
ketidakadilan yang harus diterima oleh masyarakat. Terlebih mengingat
kawasan ini telah dikeruk sejak tahun 1984, seharusnya perjuangan
masyarakat atas kepentingan serta tuntutan kesejahteraan mereka harus
menjadi aspek vital yang diperhatikan oleh penyelenggara industri maupun
seluruh stakeholders yang terkait.
Aktor Pemerintah
Negara Indonesia pada dasarnya merupakan negara yang
memposisikan penting masyarakatnya khususnya ketika berkaitan dengan
pemanfaatan atau pengelolaan sumber daya alam. Seperti yang termuat
dalam landasan dasar negara Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar (UUD)
1945. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3), disebutkan jika, bumi dan air dan
kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ayat tersebut secara
jelas mensyaratkan jika segala kekayaan sumber daya alam yang dimiliki
oleh Indonesia akan didistribusikan, dimanfaatkan, dan dipergunakan oleh
pemerintah sebagai representasi Negara untuk kepentingan masyarakat
Indonesia secara keseluruhan. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat di
interpretasikan juga bahwa kedua aktor tersebut, baik masyarakat dan
pemerintah memang dituntut untuk memiliki kerja sama dan sinergi yang
positif untuk mencapai kesejahteraan bersama. Namun hal tersebut pada
faktanya sulit untuk diimplementasikan, terlebih ketika hadirnya pihak
swasta atau perusahaan, yang terkadang memiliki kepentingan yang bertolak
dengan pihak masyarakat.
Dalam konteks pemanfaatan objek tambang pasir di kawasan
Gunung Galunggung, perusahaan tambang berskala besar mulai masuk di
kawasan ini pada pasca rehabilitasi kawasan yang terkena dampak erupsi
Gunung Galunggung usai, atau sekitar tahun 1984. Secara konstitusional,
pada era tersebut Indonesia memiliki satu undang-undang yang secara
khusus membahas tentang ketentuan-ketentuan pokok lingkungan hidup,
yakni dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1982. Undang-undang yang juga
dianggap tumpang-tindih dengan keberadaan Undang-Undang Pokok
Agraria tahun 1960 ini juga pada awalnya menimbulkan polemik, namun
terdapat butir baru yang dianggap berpihak terhadap masyarakat dan juga
lingkungan. Butir ini yang selanjutnya dikenal dengan Analisis Dampak
Lingkungan (AMDAL). AMDAL sendiri merupakan suatu kajian tentang
dampak dari suatu usaha ataupun kegiatan yang nantinya menjadi
pertimbangan utama dalam perizinan suatu usaha atau kegiatan tersebut.
Namun pada implementasinya, belum adanya pedoman pelaksanaan yang
jelas menyebabkan AMDAL hanya tercantum sebagai formalitas atau
38
hingga hanya sebagai pemenuhan persyaratan bantuan luar negeri dan
permintaan lembaga donor. Seperti halnya yang disebutkan oleh RHM (60
tahun) yang dulunya merupakan pegawai pemerintah Desa Mekarjaya:
“Dulu itu sepertinya tidak ada AMDAL. Perusahaan masuk ya
langsung saja, mungkin saya kurang paham prosesnya
bagiamana, tapi saya juga sebagai masyarakat tidak pernah
dengar yang seperti itu, apalagi kalau tahu di syarat AMDAL
harus persetujuan masyarakat. Hal seperti itu tidak pernah ada.”
Secara tekstual, peraturan dan perundang-undangan Indonesia sudah
cukup ideal jika mampu dilaksanakan sesuai amanatnya, namun seperti yang
dapat dengan mudah kita temui, justru banyak terjadi tumpang tindih
perizinan atau penyimpangan dalam pelaksanaan undang-undang tersebut
yang pada akhirnya dapat secara nyata merugikan masyarakat. Bahkan
aktivitas seperti pertambangan pasir skala besar yang pernah terjadi di
kawasan Gunung Galunggung pada era orde baru, sama sekali hampir tidak
ada bekas rekam jejaknya. Menurut sebagian besar masyarakat, hal tersebut
terjadi karena hegemoni politik orde baru yang menyebabkan seluruh
tindakan pejabat adalah benar masih melekat dengan pemikiran masyarakat
kala itu. Mereka menganggap walaupun perusahaan-perusahaan tersebut
datang tanpa izin dan tidak transparan terhadap masyarakat, selama itu
didukung oleh pemerintah pusat maka hal tersebut merupakan hal yang
harus juga mereka dukung. Terlebih bagi sebagaian masyarakat yang berada
di lokasi sekitar pertambangan kala itu, terbukanya peluang kerja yang baru
merupakan suatu insentif ekonomi yang dianggap sangat menguntungkan.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada masa awal kehadiran
perusahaan tambang di kawasan Gunung Galunggung ini memang lebih
tergolong padat karya dibandingkan dengan saat ini, hal tersebut pada
akhirnya yang juga membuat masyarakat cenderung mendukung keberadaan
perusahaan-perusahaan tersebut. Industri pertambangan padat modal yang
ditandai dengan pemanfaatan alat-alat berat yang mulai masuk di kawasan
Kecamatan Padakembang pada tahun 2000-an, secara perlahan semakin
membatasi peluang kerja masyarakat yang seharusnya sebagai pihak yang
diuntungkan secara ekonomi pasca kehadiran perusahaan tambang.
Seiring berkembangnya waktu, pemerintah semakin memperjelas
posisi masyarakat dan hukum dan peraturan tentang lingkungan dalam
konstitusi Indonesia. Sebagai contoh adalah hasil revisi dari UU No. 4 tahun
1982, yakni adalah UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Dalam undang-undang ini, dijelaskan juga
tentang Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL), baik UKL dan UPL pada dasarnya
merupakan upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan/atau kegiatan yang tidak
wajib melakukan AMDAL. Kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL
umumnya merupakan suatu kegiatan atau usaha yang dianggap tidak
menimbulkan dampak krusial baik pada aspek ekologi, sosial maupun
ekonomi. Pada umumnya, pertambangan galian golongan C yang termasuk
39
di dalamnya adalah objek tambang pasir tergolong pada kegiatan yang tidak
wajib melakukan AMDAL.
UKL-UPL ataupun AMDAL pada dasarnya mensyaratkan adanya
transparansi dan keberpihakan perusahaan terhadap masyarakat dan
lingkungannya. Namun walaupun demikian, dalam konteks pemanfaatan
sumber daya alam pasir di kawasan ini masih sangatlah rawan
penyimpangan, Hal ini juga dikarenakan tidak adanya peraturan di tingkat
daerah yang secara khusus menyoroti persoalan pertambangan pasir.
Padahal terhitung setidaknya sudah hampir 30 tahun lebih pasir Galunggung
telah dikeruk oleh berbagai industri yang keluar dan masuk, dan tidak hanya
menguntungkan bagi pendapatan lokal daerah, namun bahkan hingga
pendapatan nasional.
Hal ini juga yang menjadi tuntutan dari sebagian masyarakat dan
sebagiannya adalah kelompok Masyarakat Galunggung Menggugat, mereka
mendesak untuk dilakukannya moratorium atas penambangan pasir
Galunggung. Menurut mereka keuntungan yang dirasakan oleh pihak
perusahaan ataupun pemerintah tidak berimbang dengan dampak dari
pertambangan pasir yang semakin nyata dirasakan oleh masyarakat. Bahkan
menurut mereka, regulasi yang lemah menyebabkan berbagai celah yang
dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh penambang yang hanya sekedar cari
untung. Implikasinya, banyak perusahaan yang sama sekali tidak
mengantongi izin dapat dengan bebas melakukan aktivitas penambangan
dan bahkan mengabaikan tanggung jawabnya sebagai perusahaan tambang.
Boks 1. Kisah Kehidupan kasus Bapak JIL (53 Tahun)
Bapak JIL merupakan warga asli kampung Karangdan, Desa
Mekarjaya, kecamatan Padakembang. Ketika tahun 2005, beliau
merupakan salah satu orang yang turut terlibat dalam proses produksi di
perusahaan pertambangan pasir milik salah satu juragan tambang yang
bertempat tinggal di Jakarta. Menurutnya, ketika itu aktivitas
pertambangan memang mengalami masa “keemasannya”. Banyak
bermunculan perusahaan tambang pasir yang menerima pesanan pasir
dalam jumlah yang besar.
Namun menurutnya, hampir kesemua perusahaan tersebut tidak
pernah melalui proses perizinan yang resmi. “Sudah rahasia umum jika
disini orang lebih senang mengurus lewat jalur „belakang‟. Dan sudah
rahasia umum juga jika juragan tambang semakin kaya, dan
pekerjanya tetap miskin”. Pernyataan tersebut juga setidaknya telah
menggambarkan alasan kuat mengapa beliau memilih kembali bekerja
sebagai buruh tani dan mengurus kolam ikan pada tahun 2007.
“Bagaimanapun juga pertanian jauh lebih menjanjikan”, tuturnya.
40
Tabel 3 Jumlah perusahaan industri sedang dan besar Kabupaten
Tasikmalaya Tahun 2013
Sumber: Kabupaten Tasikmalaya dalam Angka 2013
Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat data yang cukup berbeda dengan
fakta yang ada di lapangan. Berdasarkan tabel tersebut, dari total enam
Kecamatan yang berada di kawasan sekitar wilayah Gunung Galunggung,
hanya Kecamatan Singaparna yang disebutkan terdapat industri sedang dan
besar. Padahal industri besar dan sedang yang berada di kawasan
Kecamatan Singaparna bukanlah industri pertambangan pasir. Sedangkan
Kecamatan yang secara nyata kaya dengan industri pertambangannya seperti
Kecamatan Padakembang dan Kecamatan Sukaratu disebutkan tidak
terdapat satupun industri golongan sedang atau besar. Padahal yang
dimaksudkan dengan industri besar-sedang adalah perusahaan industri
dengan jumlah tenaga kerja minimal 20 orang. Padahal industri tambang
yang pada saat ini ada di Kecamatan Padakembang khususnya Desa
Mekarjaya merupakan industri berskala besar yang jelas-jelas memiliki
tenaga kerja lebih dari 20 orang. Bahkan menurut pemerintah Desa
Mekarjaya sendiri, CV AS yang merupakan salah satu industri tambang
terbesar di kawasan Gunung Galunggung telah melakukan aktivitas
pertambangannya sejak tahun 2006. Bahkan menurut pihak Desa CV AS
baru saja memperpanjang kontraknya pada tahun 2011 lalu. Tentunya
sebagai perusahaan besar yang telah lama eksis CV AS setidaknya dapat
digolongkan pada perusahaan golongan sedang dan besar.
Pernyataan tersebut juga diperjelas oleh beberapa warga dari Desa
Mekarjaya yang rumahnya berada tepat di pinggir jalan utama yang
merupakan jalur dimana truk-truk pengangkut material pasir berlalu-lalang.
Menurut mereka sejak dahulu atau khususnya pasca-orde baru tahun 1998
aktivitas pertambangan pasir hanya sempat berhenti beberapa saat, namun
tidak lama kemudian truk-truk kembali berlalu lalang mengangkut material
pasir Gunung Galunggung. Terlebih menurut mereka semenjak adanya
pembangunan jalan aspal yang diinisiasi juga oleh pihak masyarakat,
pemerintah dan pihak pertambangan pasir. Jalan aspal yang selanjutnya
kerap disebut warga sebagai jalan baru ini setidaknya telah menjadi “saksi”
bahwa aktivitas pengangkutan material pasir dari Gunung Galunggung
memang tidak pernah sepenuhnya berhenti. Seperti halnya yang dikatakan
No. Kecamatan Sedang Besar Jumlah
1 Singaparna 3 1 4
2 Cigalontang 1 0 1
3 Leuwisari 0 0 0
4 Sariwangi 0 0 0
5 Padakembang 0 0 0
6 Sukaratu 0 0 0
41
oleh SNY (43 tahun) warga Desa Mekarjaya yang bertempat tinggal di
sekitar pinggir jalan baru:
“Sepengetahuan saya itu tidak pernah sampai tidak ada truk di
jalan (jalan Desa Mekarjaya), pasti saja selalu ada. Apalagi
kalau sampai satu atau dua tahun tidak ada truk pasir yang “lalu
lalang” itu tidak pernah sama sekali. Belakangan ini juga sama,
saya kan sejak lama tinggal di sini (di pinggir jalan), jadi selalu
dengar kalau ada truk yang lewat. Tapi kalau masalah ada izin
atau tidak, kita masyarakat kurang mengerti, yang masyarakat
tahu selama ini jika masih ada truk lewat, maka berarti
penambangan pasir masih berlangsung.”
Pernyataan SNY juga mengindikasikan adanya data yang bertolak belakang
dengan fakta yang berada di lapangan. Walaupun menurut data pada tahun
2013 di wilayah Kecamatan Padakembang tidak terdapat industri yang
termasuk pada golongan menenengah atau besar, sebagian besar masyarakat
menyatakan pernyataan yang menyatakan sebaliknya, dimana pada tahun
2013 mereka masih dapat melihat truk yang berlalu lalang membawa
material pasir. Pada dasarnya, isu aktivitas penambangan pasir Galunggung
secara ilegal atau tanpa izin memang sudah sering didengar warga sejak
aktivitas penambangan pasir pada zaman rezim orde baru, namun hingga
saat ini masih banyak warga yang tidak mampu bertindak untuk
menanggapi persoalan tersebut. Namun bagaimanapun juga, bagi sebagian
warga yang kritis dan menuntut dampak-dampak negatif yang ditimbulkan
dari aktivitas penambangan pasir Gunung Galunggung, transparansi dan
kejelasan legalitas aktivitas penambangan pasir Galunggung merupakan
salah satu hal yang mereka gaungkan. Tetapi baik pemerintah tingkat Desa
maupun di tingkat Kecamatan seolah saling menghindar dan cenderung
beralasan permasalahan penambangan merupakan permasalahan kompleks
yang dari aspek perizinannya lebih banyak diurus oleh pemerintah pusat.
Seperti yang disebutkan oleh YYT (52 tahun) seorang peternak ikan di Desa
Mekarjaya yang juga cukup aktif dalam menuntut hak-hak masyarakat yang
terkena dampak dari aktivitas penambangan pasir:
“Saya dan teman-teman dari kelompok pembenihan ikan itu
sudah bukan sekali atau dua kali datang ke kantor desa. Tapi
tetap saja hasilnya sama, ketika awal tahun kemarin kita baru
kesana dan meminta surat tentang perizinan perusahaan
tambang, tetapi tidak pernah ada. Padahal seharusnya izin
menambang di daerah kita, di wilayah kita, ya minimal harus
jelaslah suratnya ke masyarakat, karena itu hak masyarakat
sebenarnya, tapi ya kenyataannya berbeda. Disini pokoknya uang
yang berkuasa.”
Kelompok pembenihan ikan yang bapak YYT maksud adalah kelompok
pembenihan ikan Mekar Saluyu Desa Mekarjaya yang mayoritas
anggotanya merasa dirugikan atas dampak degradasi kualitas air sungai dari
42
aktivitas penambangan pasir. Berdasarkan pemaparan bapak YYT juga,
pada saat ini setidaknya terdapat tiga perusahaan pertambangan pasir yang
melakukan aktivitas penambangannya di tiga lokasi yang berbeda di Desa
Mekarjaya. Hal ini kembali menunjukkan adanya perbedaan pernyataan
antara pemerintah Desa dengan masyarakat. Dimana menurut pihak
pemerintah Desa pada tahun 2014 ini hanya terdapat satu perusahaan
pertambangan pasir yang sedang aktif melakukan aktvitas penambangan,
yakni CV AS.
Berbagai fakta dan data yang menyatakan adanya penyimpangan
tersebut setidaknya mampu memperlihatkan arah tendensi pihak pemerintah
terkait dengan permasalahan pertambangan di kawasan Gunung
Galunggung. Pemerintah yang seharusnya mampu merepresentasikan
kekuatan populis justru malah terksesan bertindak sebaliknya dengan
otoritas yang dimiliki. Bahkan dapat dikatakan orientasi pemerintah dalam
kasus ini lebih cenderung mirip dengan pihak swasta yang mengedepankan
keuntungan elite semata.
Cara pandang pemerintah yang lebih cenderung bertumpu pada
benefit, developmentalism, dan antroposentris atau cara pandang yang
menganggap alam hanya sebagai pemenuhan kebutuhan manusia, ini
merupakan cara pandang yang setidaknya telah merugikan masyarakat yang
berada di kawasan Gunung Galunggung selama kurang lebih tiga puluh
tahun. Permasalahan ini pula yang sepertinya telah bercabang dan
berkembang hingga tataran dan struktur pemerintah yang lebih kompleks.
Terbukti dengan hingga saat ini sama sekali tidak terdapat kebijakan
afirmatif yang dianggap mampu mendorong tujuan utama masyarakat yang
berada di sekitar kawasan pertambangan, yakni kesejahteraan.
Ikhtisar
Penyelenggaraan otonomi daerah pada era ini tidak jarang justru
menimbulkan dinamika dan polemik yang baru. Hal ini tergambarkan juga
dengan carut marut politik dan kepentingan para aktor dalam kaitannya
keberadaan perusahaan pertambangan pasir di kawasan Gunung
Galunggung. Terlebih, sebagai sebagai objek tambang yang memiliki nilai
strategis, pasir di Gunung Galunggung harusnya dikeruk dengan
mementingkan kepentingan masyarakat sekitarnya. Namun fakta di
lapangan justru menunjukkan adanya penyimpangan dan non-transparansi
pihak pemerintah terhadap keberadaan perusahaan tambang di Desa
Mekarjaya. Padahal dampak yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan
tersebut tidak hanya sebatas di satu desa, namun juga hingga Desa-Desa
lainnya diantaranya Desa Rancapaku yang tepat berada di sebelah Desa
Mekarjaya. Namun memang pada akhirnya permasalahan ini bermuara pada
perbedaan ideologi serta cara pandang para aktor tersebut dalam
memandang lingkungan dan juga objek sumber daya alam. Seperti yang
disimpulkan dalam Tabel 4 berikut ini:
43
Tabel 4 Analisis aktor pertambangan pasir Gunung Galunggung
No. Aktor Ideologi Peran Fakta
1 Masyarakat
Kesejahteraan,
Populis,
Biocentrism
(1) Penambang
konvensional,
(2) korban
kebijakan
(3) advokasi
Suara masyarakat
yang minor
meyebabkan
masyarakat
tersingkir dan
berada pada posisi
inferior atas
tekanan dan
dominasi pihak
swasta dan
pemerintah
2 Swasta Profit,
Antroposentris
(1) Pelaku
industri
pertambangan,
(2) penyuplai
dan
pendistribusi
kebutuhan pasir
konsumen,
(3) tanggung
jawab sosial
terhadap
masyarakat
Tuntuntan suplai
pasir yang tinggi
tidak jarang
menyebabkan
pihak swasta
cenderung
mementingkan
keuntungan tanpa
memperhatikan
aspek ekologi,
sosial dan
ekonomi
sekitarnya
3 Pemerintah
Profit,
Antroposentris,
Developmentalism
(1) Mengatur
regulasi,
(2)
memberikan
izin
penambangan,
(3) melakukan
pengawasan
kontrak dan
aktivitas
penambangan
Lemahnya
regulasi di
tingkat daerah
dan law
enforcement
menybabkan
banyaknya celah
penyimpangan
yang
dimanfaatkan
oknum
pemerintah untuk
melanggengkan
kepentingan dan
ego elite
Berdasarkan tabel 4, setidaknya dapat mengindikasikan jika memang
terdapat perbedaan ideologi dan kepentingan antara pihak masyarakat,
pemerintah, dan swasta. Padahal seharusnya masing-masing aktor tersebut
dapat saling bersinergi untuk mencapai tujuan bersama yang saling
44
menguntungkan, terlebih dengan landasan pemerintah yang memegang
prinsip otonomi daerah, seharusnya semakin menjadikan pihak pemerintah
sebagai pemegang otoritas mutlah yang dapat berpihak terhadap masyarakat
dan memposisikan mereka sebagai objek dan juga subjek prioritas sesuai
dengan amanat konstitusi. Dimana seharusnya pemerintah dapat
mengeluarkan kebijakan yang lebih afirmatif yang mampu secara esensial
menyentuh kepentingan masyarakat. Namun faktanya, memang di
Kabupaten Tasikmalaya sendiri sampai saat ini belum ada kebijakan yang
secara khusus mengatur permasalahan penambangan pasir di kawasan
Gunung Galunggung. Padahal mungkin ketegasan pihak pemerintah seperti
itu yang dapat menjadi salah satu faktor yang dapat benar-benar mencapai
kepentingan dan tujuan bersama antara stakeholders terkait.
45
ANALISIS DAMPAK PERTAMBANGAN PASIR
Bab ini akan membahas mengenai dampak yang ditimbulkan dari
aktivitas pertambangan pasir yang dilakukan di Kecamatan Padakembang
terhadap masyarakat di Desa Mekarjaya (Desa yang berada dekat dengan
aktivitas pertambangan pasir) dan Desa Rancapaku (Desa yang berada jauh
dengan aktivitas pertambangan pasir). Dampak yang menjadi fokus
penelitian dibagi menjadi tiga aspek, yakni, dampak ekologi, dampak sosial,
dan juga dampak ekonomi.
Dampak Ekologi
Permasalahan ekologi yang terdapat di kawasan Gunung
Galunggung mulai muncul pasca masuknya aktivitas pertambangan pasir
skala industri pada sekitar tahun 1984. Pada tahun tersebut, rehabilitasi
kawasan serta pembangunan tanggul penyangga sepanjang sungai Cikunir
yang berfungsi sebagai “jalur” aliran lahar juga dibuat. Tanggul tersebut
terbentang dari hulu ke hilir sungai Cikunir yang juga melewati Desa
Mekarjaya dan Desa Rancapaku. Namun bagi masyarakat, ternyata tanggul
tersebut tidak dapat menjadi “penyangga” sebenarnya untuk bencana yang
secara nyata mengancam mereka, karena bagi sebagian masyarakat, bencana
yang sebenarnya justru berada di arah Barat Laut Desa Mekaraya dan Desa
Rancapaku, yakni di kawasan dusun Karangdan, Desa Mekarjaya,
Kecamatan Padakembang.
Dusun Karangdan merupakan salah salah satu kawasan dimana
terdapat perusahaan tambang berskala besar yang sudah cukup lama
melakukan pengerukan pasir. Terhitung sejak tahun 2006 (dan masih
diperpanjang hingga sekarang) perusahaan CV AS sudah melakukan
aktivitas penambangan pasir di kawasan tersebut. Namun, sebetulnya
perusahaan seperti CV AS hanya merupakan salah satu perusaahaan yang
aktif pada saat ini di kawasan Kecamatan Padakembang. Setidaknya lebih
dari lima perusahaan besar silih berganti melakukan pengerukan pasir di
kawasan Kecamatan Padakembang, khususnya di Desa Mekarjaya sejak
tahun 1984. Seiring dengan keluar-masuknya perusahaan pertambangan
tersebut, permasalahan yang ditimbulkan khususnya terkait dengan aspek
lingkungan juga semakin nyata terlihat. Pasalnya. aktivitas pertambangan
yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut menghasilkan limbah
yang juga mengalir melalui sungai Cikunir, yang baik secara langsung
ataupun melalui anak sungainya dimanfaatkan oleh masyarakat baik untuk
keperluan sehari-hari ataupun mata pencaharian. Tentunya hal tersebut
sangat berpengaruh terhadap masyarakat, bahkan banyak masyarakat yang
hingga kesulitan memperoleh air bersih, terlebih bagi mereka yang benar-
benar menggantungkan sumber airnya pada aliran sungai.
Dampak ekologi lain yang ditimbulkan juga dapat secara jelas
terlihat dari jalan utama yang dimanfaatkan oleh truk-truk perusahaan
tambang yang lalu lalang membawa material pasir hasil kerukan. Seperti
46
sudah disebutkan pada bab sebelumnya, pasir Gunung Galunggung
merupakan pasir unggulan yang banyak dicari oleh orang, terlebih dengan
harga yang kompetitif dan kualitasnya yang baik, tentunya banyak orang
yang mencari atau “memburu” pasir Galunggung langsung di lokasinya. Hal
tersebut terbukti karena memang sepanjang jalan alternatif menuju Gunung
Galunggung yakni jalan Cisinga5, kita dapat menemui banyaknya titik-titik
atau gundukan pasir di pinggir jalan yang langsung dijual oleh beberapa
perusahaan tambang pasir. Namun, konsekuensinya adalah jalan yang
dilalui oleh truk-truk tersebut lebih cepat rusak, bahkan hal tersebut dapat
dirasakan sepanjang jalan Kecamatan Padakembang sepanjang kurang lebih
1.5 kilometer.
Maka dari itu, berdasarkan penjabaran tersebut permasalahan aspek
ekologi yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir di kawasan
Gunung Galunggung akan dibahas kedalam empat sub-bab yang
merepresentasikan empat indikator, yaitu:
1. Tingkat Degradasi Kualitas Air
Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap perubahan
yang terjadi pada kualitas air, baik yang berasal dari aliran sungai
ataupun galian sumur yang biasa masyarakat manfaatkan untuk
keperluan konsumsi maupun non-konsumsi.
2. Tingkat Kerentanan Terhadap Bencana
Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap perubahan
kondisi masyarakat yang lebih peka atau rentan terhadap suatu
ancaman bahaya, kecelakaan, atau bencana atas perubahan kondisi
alam atau lingkungan lainnya.
3. Tingkat Polusi Melalui Udara
Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap kondisi
udara serta polusi atau gangguan yang terjadi melalui medium udara
lainnya, baik polusi udara seperti debu atau polusi suara seperti
kebisingan yang diakibatkan oleh berbagai proses dan aktivitas
penambangan pasir.
4. Tingkat Alih Fungsi Lahan
Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap perubahan
kondisi, keberadaaan, serta bentuk atau fungsi lahan atau tanah
terbuka dan/atau tanah garapan yang berada di lingkungannya.
Secara spesifik, dampak ekologi yang terjadi di Desa Mekarjaya dan
Desa Rancapaku dapat dilihat pada pembahasan dan tabel-tabel dibawah ini.
5 Jalan Cisinga merupakan jalan yang terletak di antara Kota Tasikmalaya dan
Kecamatan Singaparna. Jalan ini merupakan jalan yang kerap dipergunakan
beberapa truk perusahaan tambang pasir untuk mengangkut material pasir dari
lokasi pertambangan yang terletak di puncak Gunung Galunggung ke tempat
pengumpulan pasir, dan untuk selanjutnya didistribusikan ke kota Tasikmalaya
atau bahkan luar kota.
47
Persepsi Terhadap Tingkat Degradasi Kualitas Air
Salah satu aspek yang paling krusial dan menyusun keseimbangan
ekosistem di Desa Mekarjaya maupun di Desa Rancapaku adalah air. Air
yang bersih ketika dahulu dapat dengan mudah diperoleh oleh masyarakat
melalui aliran sungai besar maupun cabang anak sungai yang juga kerap
dibuat secara sengaja untuk kepentingan sawah, kolam ternak ikan dan lain
sebagainya. Namun masyarakat di kedua desa tersebut harus merasakan
permasalahan yang lambat laun semakin mengancam mereka, hal tersebut
antara lain karena air yang dahulu berlimpah pada saat ini sudah berbalik
menjadi “aliran limbah” yang tidak dapat mereka atau bahkan pihak
pemerintah kendalikan (Lampiran 7).
Sungai Cikunir yang bahkan sejak dahulu menjadi tempat tumpuan
masyarakat untuk pengairan sawah hingga sanitasi, dari tempat bermain
anak-anak sampai tempat wisata untuk orang tua, harus mau tidak mau
mengalami perubahan yang cukup singifikan. Seperti yang disebutkan oleh
OTR (46 Tahun):
“Dulu kalau diingat sungai Cikunir itu sangat luas, lebar. Airnya
juga bening, bersih. Sampai-sampai kalau lagi nonton film
Mahabharata di TV, saya suka bilang ke si Anwar anak saya, tuh
dulu sungai Cikunir itu sebesar sungai Gangga, bagusnya juga
seperti sungai Gangga, kalau sore atau pulang sekolah suka
dipakai minum sampai mandi anak-anak, masih berani dulu mah
soalnya emang airnya masih bersih. Tapi sekarang “boro-boro”
lah, sekarang air sungainya sudah keruh, warnanya hitam,
banyak pasir-pasirnya.”
Pernyataan oleh ibu OTR bukanlah tidak beralasan, pasalnya untuk kawasan
gunung, air merupakan suatu sumber daya alam yang memang tersedia
secara berlimpah dan banyak dimanfaatkan masyarakatnya. Sebagai
kawasan dataran tinggi, sumber daya air yang secara alami mengalir dari
puncak gunung ini seharusnya dapat memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya bagi kepentingan masyarakat. Namun kenyataannya pada saat ini
sumber daya air justru seolah hanya bermanfaat bagi sebagian pihak saja.
Terlebih mengingat kawasan industri pertambangan pasir terletak di
kawasan hulu Gunung Galunggun, sehingga pemanfaatan air di kawasan
hulu oleh industri ini akan menghasilkan limbah yang akan mengalir hingga
ke kawasan hilir.
Masyarakat yang awalnya memiliki sumber daya air bersih yang
berlimpah, pada saat ini mau tidak mau harus berusaha lebih keras untuk
memperoleh air bersih yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari. Keberadaan industri pertambangan yang seharunsnya memperhatikan
aspek ekologis dan sosial yang komperhensif, justru seolah tidak peduli dan
bahkan cenderung mengabaikan atas fakta degradasi kualitas lingkungan
yang terjadi. Dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan
persepsi terhadap degradasi kualitas air dapat dilihat pada pada Tabel 5.
48
Tabel 5 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap tingkat degradasi kualitas air
No. Pernyataan
Presentase (%) Total (%)
MKJ RCP
S N TS S N TS MKJ RCP
1
Aktivitas
penambangan
pasir
menyebabkan air
menjadi tidak
jernih (keruh)
56.67 40.00 3.33 83.33 16.67 0.00 100.00 100.00
2
Aktivitas
penambangan
pasir
menyebabkan
warna air menjadi
berwarna gelap
30.00 53.33 16.67 73.33 26.67 0.00 100.00 100.00
3
Aktivitas
penambangan
pasir
menyebabkan air
dipenuhi oleh
endapan pasir /
butir-butir batuan
halus
13.33 53.33 33.33 80.00 16.67 3.33 100.00 100.00
4
Aktivitas
penambangan
pasir
menyebabkan air
bersih lebih sulit
diperoleh
6.67 26.67 66.67 83.33 16.67 0.00 100.00 100.00
5
Aktivitas
penambangan
pasir
menyebabkan air
menjadi berbau
tidak sedap
(seperti bau besi,
lumpur dsj)
13.33 46.67 40.00 63.33 30.00 6.67 100.00 100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju,
MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat bahwa secara garis besar
masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku memiliki penilaian yang
berbeda terkait dengan tingkat degradasi kualias air. Masyarakat Desa
Mekarjaya memiliki penilaian yang lebih variatif dan memiliki
kecenderungan netral, sedangkan Desa Rancapaku memiliki penilaian ke
arah negatif secara mutlak. Berikut adalah penjelasan terkait data dari Tabel
5:
1. Aktivitas penambangan pasir telah menyebabkan air menjadi tidak
jernih, hal ini dirasakan secara nyata oleh masyarakat di Desa
49
Mekarjaya dan Desa Rancapaku. Namun terdapat perbedaan dimana
untuk masyarakat Desa Mekarjaya, hanya sebanyak 56.67 persen
yang menjawab setuju dengan pernyataan tersebut, sedangkan
masyarakat Desa Rancapaku lebih besar yakni sebanyak 83.33
persen. Namun walaupun demikian, beberapa responden dari Desa
Rancapaku mengatakan bahwa dalam beberapa tahun belakangan
ini, masyarakat lebih kesulitan ketika mencari sumber air bersih.
Masyarakat harus menggali sumur jauh lebih dalam dibanding
dengan sebelumnya, karena menurut masyarakat, “lapisan kotor”
yang ada ketika menggali sumur pada saat ini jauh lebih banyak.
Terbukti dengan hasil sebanyak 83.33 persen masyarakat Desa
Rancapaku yang merasa air bersih lebih sulit diperoleh, sedangkan
hasil sebaliknya, yakni sebesar 66.67 persen masyarakat Desa
Mekarjaya merasa tidak setuju jika air bersih lebih sulit diperoleh.
2. Bagi masyarakat, perubahan warna air merupakan salah satu
indikator apakah air tersebut layak ataukah tidak layak untuk
dikonsumsi atau dimanfaatkan untuk kepentingan lainnya.
Masyarakat Desa Mekarjaya lebih mengganggap warna air yang ada
selama ini mungkin tidak mengalami perubahan yang berarti,
terbukti dengan 53.33 persen yang menjawab pernyataan tersebut
dengan jawban netral, berbeda dengan masyarakat Desa Rancapaku
yang sebanyak 73.33 persen menjawab pernyataan tersebut dengan
jawaban setuju. Hal tersebut memang kembali lagi dikarenakan
posisi Desa Rancapaku yang mayoritas kampung atau dusunnya
dilewati oleh aliran sungai Cikunir yang saat ini telah tercemar.
Selain berwarna gelap, sungai Cikunir juga terkadang membawa
butiran-butiran pasir halus, hal ini juga yang meresahkan
masyarakat, terbukti dengan 80 persen masyarakat Desa Rancapaku
merasa telah terjadi degradasi kualitas air karena banyaknya material
pasir yang terbawa melalui sungai dan lain sebagainya. Berbeda
dengan masyarakat Desa Mekarjaya yang menjawab pernyataan
tersebut dengan mayoritas jawaban netral sebanyak 53.33 persen.
3. Selain perubahan warna, ternyata aroma air juga mengalami
perubahan. Khususnya bagi masyarakat Desa Rancapaku, sebagiam
responden setuju jika air yang saat ini terdapat di Desa terkadang
berbau lumpur, hal itu dapat terlihat dari jawaban masyarakat Desa
Rancapaku yang menjawab setuju pernyataan tersebut sebanyak
63.33 persen. Sedangkan sebaliknya, mayoritas responden Desa
Mekarjaya menjawab pertanyaan tersebut dengan netral sebanyak
46.67 persen.
Terdapat perbedaan persepsi antara masyarakat di Desa Mekarjaya
dan Desa Rancapaku terkait dengan berbagai pernyataan tersebut. Memang
faktor posisi sangat mempengaruhi permasalahan air di kawasan ini. Desa
Rancapaku yang hampir seluruh wilayahnya terlewati oleh aliran sungai
Cikunir, dimana sungai Cikunir pasca pertambangan pasir mengalami
perubahan ke arah keruh yang cukup jelas terlihat, sedangkan masyarakat
yang dulunya hanya memperoleh air bersih dari air sungai Cikunir harus
50
kesulitan memperoleh sumber air alternatif lainnya. Berbeda dengan
masyarakat Desa Mekarjaya, walaupun aktivitas pertambangan pasir justru
dilakukan di Desa ini, namun tidak semua kampung atau dusunnya terlewati
aliran sungai Cikunir, sehingga memang sejak dahulu banyak masyarakat
Desa Mekarjaya yang sudah mencari sumber air bersih alternatif,
diantaranya adalah dengan menggali sumur.
Selain permasalahan lokasi Desa, menurut sebagian warga khususnya
masyarakat Desa Mekarjaya, munculnya mayoritas tanggapan netral atau
tidak setuju dengan pernyataan yang menyatakan terjadinya degradasi
kualitas air tersebut juga hal dikarenakan adanya “insentif ekonomi” secara
tidak langsung yang dirasakan oleh masyarakat Desa Mekarjaya. Hal ini
seperti yang diutarakan oleh LSR (47 tahun):
“Warga disini memang lebih sering “diam” kalau masalah air.
Bukannya tidak bermasalah, itu contohnya Dusun Karangdan
yang bersebelahan dengan Sungai Cikunir. Tapi mereka diam
saja, karena memang banyak warung disana yang buka gara-
gara banyaknya supir atau pekerja tambang yang beristirahat.
Jadi kalau protes sama saja membuat pendapatan berkurang,
sehingga yang protes justru orang dari Desa Rancapaku.
Bagaimanapun di Desa Rancapaku tidak ada penambangan
pasir, tapi mau tidak mau masyarakat desa jadi terkena
dampaknya juga. Bukanya dapat untung, tapi malah buntung. ”
Pada dasarnya memang masyarakat Desa Rancapaku justru menjadi
pihak yang lebih dirugikan dengan aktivitas pertambangan pasir yang
dilakukan di Desa Mekarjaya. Walaupun demikian, masyarakat Desa
Rancapaku memiliki beberapa solusi yang secara kolektif dilakukan
bersama-sama untuk mengatasi kesulitan dalam memperoleh air bersih.
Diantaranya adalah kerja sama masyarakat dalam melakukan aktivitas
gotong royong, misalnya ketika melakukan penggalian sumur. Bahkan
selain itu. masyarakat Desa Rancapaku banyak yang mengadakan
“patungan” untuk pembelian pompa air di beberapa titik di Desa, yang
nantinya dapat dimanfaatkan dan disalurkan ke rumah-rumah masyarakat
yang tidak memiliki sumur.
Beberapa hal tersebut mungkin dapat menjadi manfaat positif yang
masyarakat peroleh dibalik berbagai dampak negatif yang semakin nyata
mereka hadapi. Namun, hal tersebut juga bukan berarti masyarakat Desa
Mekarjaya tidak merasakan dampak dari aktivitas pertambangan pasir.
Sama halnya dengan masyarakat Desa Rancapaku, banyak masyarakat Desa
Mekarjaya yang memanfaatkan sumber air untuk kegiatan petanian dan
beternak ikan. Sehingga tentunya perubahan kualitas air juga akan
berpengaruh terhadap mata pencaharian mereka. Seperti yang disebutkan
oleh RYD (60 tahun) seorang peternak ikan di Desa Mekarjaya yang sangat
merasakan dampak negatif dari aktivitas pertambangan pasir:
51
“Dulu misalnya dari 50 biji benih bayi ikan itu hasilnya bisa
hampir 100 persen hidup semua, tapi sekarang paling juga hanya
30 sampai 50 persen yang hidup. Air untuk kolam kan diambil
langsung dari sungai, tapi sekarang sungainya kotor, banyak
lumpur dan pasir. Akhirnya benih-benih bayi ikan banyak yang
tertimbun dibawah lumpur dan mati, tebalnya (lumpur) bahkan
pernah sampai dua centimeter hanya dalam waktu dua hari”
Demikian halnya dengan DNG (57 tahun) yang berprofesi sebagai petani di
Desa Mekarjaya. Beliau telah bertani sejak usianya masih masih muda, dan
sampai sekarang beliau masih menjalani profesi tersebut, namun beliau
menyatakan terdapat beberapa perbedaan dalam bercocok tanam ketika pada
zaman dahulu dan sekarang, terlebih pada satu sampai tiga tahun
belakangan ini:
“Waktu masih muda, petani itu kesulitannya itu kalau bukan
pupuk ya benih. Tapi sekarang malah susahnya karena cuaca
yang tidak tentu, ditambah air yang buruk. Saya sendiri kurang
paham apakah ada hubungannya atau tidak, tapi rasanya sejak
kualitas air buruk gara-gara tambang pasir, sawah juga jadi
buruk, semakin kesini (padi) jadi banyak penyakit dan
kualitasnya menurun.”
Dampak tersebut hampir dirasakan serupa oleh mayoritas masyarakat Desa
Mekarjaya yang berprofesi sebagai petani maupun peternak ikan, khususnya
yang berada di dekat aliran sungai Cikunir. Namun, secara garis besar
kesulitan yang dialami oleh masyarakat Desa Mekarjaya berbeda dengan
masyarkat di Desa Rancapaku, dimana masyarakat Desa Rancapaku benar-
benar mengalami kesulitan dalam memperoleh air bersih yang dimanfaatkan
untuk kebutuhan sehari-hari dan juga mata pencaharian, sedangkan
masyarakat Desa Mekarjaya mengalami kesulitan hanya sebatas ketika
melakukan kegiatan bertani atau beternak ikan, namun untuk konsumsi atau
kebutuhan sehari-hari masih dapat terpenuhi.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan jika
degradasi kualitas air lebih dirasakan oleh masyarakat Desa Rancapaku
yang merupakan desa yang berada di sekitar kawasan hilir Sungai Cikunir.
Faktor lokasi memang sangat mempengaruhi dampak air ini, terlebih
sebagian besar dusun di Desa Rancapaku berada tepat bersebelahan dengan
aliran Sungai Cikunir.
Persepsi Terhadap Tingkat Kerentanan Terhadap Bencana
Banyak faktor yang pada dasarnya mempengaruhi terjadinya suatu
bencana atau suatu keadaan yang bahaya, diantaranya adalah faktor alam
hingga faktor buatan manusia itu sendiri. Seringkali manusia tidak
menyadari aktivitas atau kegiatan yang dilakukannya secara langsung
maupun tidak langsung menyebabkan terjadinya kerusakan alam. Seperti
52
yang terjadi di kawasan Kecamatan Padakembang, aktivitas pertambangan
yang dilakukan di salah satu lokasi Desanya yakni Desa Mekarjaya, secara
cepat atau lambat juga mendorong terjadinya suatu kondisi bahaya yang
dapat mengancam masyarakat. Dampak aktivitas pertambangan pasir dan
kaitannya dengan persepsi terhadap kerentanan terhadap bencana dapat
dilihat pada pada Tabel 6:
Tabel 6 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap tingkat kerentanan terhadap bencana
No Pernyataan
Presentase (%) Total (%)
MKJ RCP
S N TS S N TS MKJ RCP
1
Aktivitas
penambangan
pasir
menyebabkan
terjadinya banjir
6.67 40.00 53.33 86.67 13.33 0.00 100.00 100.00
2
Aktivitas
penambangan
pasir
menyebabkan
tanah menjadi
tidak subur
13.33 66.67 20.00 60.00 40.00 0.00 100.00 100.00
3
Aktivitas
penambangan
pasir
menyebabkan
terjadinya
longsor
10.00 33.33 56.67 53.33 33.33 13.33 100.00 100.00
4
Aktivitas
penambangan
pasir
menyebabkan
jalan di Desa
banyak yang
berlubang
90.00 3.33 6.67 16.67 40.00 43.33 100.00 100.00
5
Aktivitas
penambangan
pasir
menyebabkan
mobilitas
masyarakat
terhambat
80.00 13.33 6.67 40.00 46.67 13.33 100.00 100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju,
MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
Berdasarkan Tabel 6, baik Desa Mekarjaya ataupun Desa Rancapaku
memiliki variasi jawaban yang berbeda. Bahkan dapat dikatakan antara dua
Desa tersebut tidak memiliki jawaban yang mutlak sama, berikut adalah
penjelasannya:
53
1. Banjir merupakan bencana yang tergolong jarang untuk kawasan
pegunungan atau yang berada di dataran tinggi. Namun tidak dengan
Desa Mekarjaya atau khususnya Desa Rancapaku, terbukti dengan
persentase jawaban responden Desa Rancapaku sebesar 86.67 persen
yang menyatakan bahwa bencana banjir yang beberapa waktu
belakangan ini terjadi merupakan salah satu dampak dari aktivitas
penambangan pasir yang dilakukan di Desa Mekarjaya. Sedangkan
bagi masyarakat Desa Mekarjaya, sebanyak 53.33 persen responden
justru mengatakan sebaliknya, mereka merasa banjir yang terjadi di
Desa lebih disebabkan faktor alam, dan bukan merupakan dampak
jangka pendek atau bahkan jangka panjang dari aktivitas
pertambangan pasir. Walaupun demikian, setidaknya terdapat 6.67
persen masyarakat di Desa Mekarjaya yang menganggap bahwa
aktivitas pertambangan pasir memang salah satu penyebab utama
dari terjadinya banjir di kawasan ini. 2. Kesuburan tanah merupakan faktor penting yang berkaitan juga baik
dengan aktivitas sehari-hari ataupun mata pencaharian masyarakat.
Berdasarkan data, sebanyak 60.00 persen masyarakat Desa
Rancapaku menyatakan aktivitas pertambangan pasir merupakan
penyebab dari tanah yang tidak subur, sedangkan 40.00 persen
lainnya menyatakan netral. Persentase netral yang cukup besar
tersebut diantaranya disebabkan oleh masyarakat yang merasa
kurang adanya hubungan langsung antara aktivitas pertambangan
pasir dengan tingkat kesuburan tanah. Sedangkan untuk masyarakat
Desa Mekarjaya, sebesar 66.67 persen menjawab netral, dan 20
persen lainnya menjawab tidak setuju dengan pernyataan tersebut. 3. Longsor juga merupakan salah satu bencana yang belakangan
banyak diketahui justru dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Dalam
konteks pertambangan misalnya, aktivitas pengerukan pasir atau
objek material tambang lainnya secara tidak langsung membuat
kawasan sekitarnya menjadi terkikis. Hal tersebut yang selanjutnya
menjadikan kawasan tanah tersebut rawan dan dapat dengan mudah
menyebabkan longsor. Sebanyak 53.33 persen masyarakat Desa
Rancapaku juga sependapat dengan hal tersebut, mereka menyatakan
aktivitas pertambangan pasir erat kaitannya dengan bencana longsor,
walaupun demikian, sebanyak 56.67 persen masyarakat Desa
Mekarjaya tidak setuju dengan pernyataan tersebut, padahal di
beberapa titik kawasan Desa Mekarjaya khususnya daerah Barat dan
Barat Laut sempat terjadi beberapa kali longsor, namun banyak dari
mereka yang beranggapan itu lebih disebabkan oleh faktor alam.
4. Jalan merupakan salah satu faktor yang penting untuk dibahas,
karena kecelakaan juga kerap terjadi di jalanan. Terlebih mayoritas
masyarakat Desa Mekarjaya ataupun Rancapaku mengandalkan
kendaraan roda dua untuk beraktifitas. Namun hal yang menarik
adalah pada poin ini, hampir seluruh responden dari Desa Mekarjaya
memiliki jawaban yang sama, yakni 90 persen responden di Desa
Mekarjaya menyebutkan jalanan yang berlubang atau rusak saat ini
disebabkan oleh aktivitas pertambangan pasir, atau lebih tepatnya
54
akibat lalu-lalang truk yang membawa muatan pasir. Sedangkan di
Desa Rancapaku, 43.33 persen justru tidak setuju dengan pernyataan
tersebut, dan hanya 16.67 persen yang setuju. Hal tersebut juga
dikarenakan faktor peraturan yang dibuat oleh masyarakat, yang
melarang segala truk bermuatan pasir untuk melewati jalan Desa.
Walaupun demikian, masih ada saja truk yang lewat jika malam hari
atau diwaktu-waktu ketika Desa sedang sepi.
5. Mobilitas masyarakat juga berkaitan dengan kemampuan masyarakat
dalam merespon bencana. Mobilitas masyarakat yang terhambat
tentunya akan berpengaruh terhadap berkurangnya kemampuan
masyarakat dalam mengantisipasi suatu bencana atau bahaya,
terlebih masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku tinggal di
kawasan Gunung berapi yang masih aktif. Sebanyak 80.00 persen
masyarakat Desa Mekarjaya setidaknya menyebutkan hal yang
serupa, mereka merasa mobilitas mereka terhambat karena faktor
aktivitas pertambangan pasir, baik akibat jalan yang rusak hingga
truk-truk besar yang selalu mendominasi jalan Desa hampir selama
24 jam. Sedangkan untuk masyarakat Desa Rancapaku, sebanyak
46.67 persen masyarakatnya menyatakan netral tentang pengaruh
aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan mobilitas
masyarakat yang terhambat. Hal ini salah satunya dikarenakan
adanya jalan alternatif Desa untuk menuju pusat kota atau kabupaten
yang berada di sebelah timur Desa Rancapaku. Jalan ini juga yang
sering dimanfaatkan masyarakat untuk “menghindari” jalan utama
Kecamatan dan juga jalan utama Desa Mekarjaya yang hancur akibat
lalu-lalang truk bermuatan pasir.
Berbicara soal bencana, memang secara empiris baik Desa
Mekarjaya maupun Desa Rancapaku tergolong kawasan yang tidak terlalu
rawan oleh bencana. Namun walaupun demikian, baik banjir maupun
longsor sempat terjadi di kedua desa tersebut. Berikut pemaparan ASD (50
tahun):
“Kalau di Desa Mekarjaya sebenarnya longsor atau banjir itu
hampir tidak pernah. Tapi longsor beberapa bulan yang lalu
sempat ada di daerah dekat Dusun Karangdan. Tapi untungnya
tidak terlalu parah. Kalau banjir baru bulan Meret lalu tanggal
19 kalau tidak salah, lokasinya juga di dusun Karangdan, daerah
Kubangeceng, banjir saat itu bahkan sampai ke pesantren yang
dibawahnya. Sedangkan kalau daerah Desa Rancapaku,
banjirnya yang cukup sering terjadi, karena banyak rumah dekat
sungai Cikunir atau Cikunten situ, sehingga kalau sedang hujan
besar langsung membanjiri rumah warga”
Berdasarkan penuturan Bapak ASD, untuk Desa Mekarjaya sebetulnya
wilayah yang rawan longsor dan banjir itu adalah kawasan dusun
Karangdan, dusun yang juga merupakan kawasan dimana aktvitas
penambangan pasir dilakukan. Walaupun mungkin masyarakat Desa
55
Mekarjaya banyak yang tidak menyadari secara langsung dampak
pertambangan pasir terhadap bencana longsor atau banjir tersebut. namun
sebagian masyarakat berpendapat dan merasakan bahwa seiring dengan
berkembangnya industri pertambangan di kawasan Desa Mekarjaya,
bencana alam yang terjadi di kawasan desa ini juga cenderung lebih terlihat.
Terlebih aktivitas penambangan pasir yang telah dilakukan hampir kurang
lebih 20 tahun di desa ini dilakukan hampir secara konstan atau terus
menerus, hampir tidak ada “waktu luang” bagi ekosistem untuk memulihkan
kondisinya. Sehingga tentu saja hal tersebut akan berpengaruh secara nyata
terhadap eksistensi kondisi dan struktur tanah serta lingkungan di kawasan
sekitar lokasi pertambangan itu sendiri. Seperti halnya yang disebutkan oleh
ibu OTR (46 Tahun) seorang warga Desa Mekarjaya:
“Kalau lihat ke daerah tambang (daerah dusun Karangdan) sana
itu “parah” kondisinya”. Selain jalanan hancur, banyak truk-truk
besar yang lewat, kalau lihat sepanjang jalan itu benar-benar
seperti jalan kering, seperti sama sekali tidak diperhatikan
kondisi lingkungan disekitarnya. Pokoknya melihatnya sudah
“ngeri”, apalagi kalau membayangkan dulu itu juga sebenernya
hutan yang banyak hewannya, banyak tumbuhannya, bisa-
bisanya sampai berubah seperti itu.”
Pendapat berbeda justru dinyatakan oleh masyarakat di Desa
Rancapaku, menurut masyarakat hal yang menjadi penyebab terjadinya
bencana banjir atau longsor di daerah ini justru diantaranya diakibatkan oleh
masyarakat sendiri. Hal ini berawal dari tanggul yang dibuatkan oleh
pemerintah pada tahun 1984, tanggul itu berfungsi sebagai penyangga
sungai Cikunir yang dahulu juga berfungsi sebagai jalur lahar dari puncak
Gunung Galunggung. Tanggul setinggi kurang lebih dua meter dan lebar
kurang lebih empat meter itu didirikan sepanjang hulu hingga hilir sungai
Cikunir. Namun ketika itu, masyarakat banyak yang kecewa dengan
pemerintah yang tidak melakukan kompensasi atau penggantian biaya atas
tanggul yang dibuat di atas tanah milik masyarakat. Hal tersebut pada
akhirnya menimbulkan reaksi masyarakat yang agresif, masyarakat yang
kecewa dengan pemerintah pada akhirnya merusak dan bahkan menjual
pasir yang menjadi badan tanggul Sugai Cikunir tersebut.
Bantuan yang diberikan oleh pemerintah tersebut sebetulnya
bertujuan positif, tanggul yang dibuat tersebut setidaknya akan dapat
mengantisipasi aliran lahar hingga menjalar ke pemukiman masyarakat,
namun pada saat itu nyatanya banyak masyarakat yang tidak terima dengan
tindakan pemerintah tersebut. Hingga pada akhirnya tanggul yang berisi
pasir yang digunakan untuk menyangga aliran lahar itu dihancurkan oleh
masyarakat, dan pasir-pasirnya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk dijual
kembali, bahkan ada beberapa yang memanfaatkannya untuk kepentingan
membangun rumah.
Berikut pemaparan salah satu warga Desa Rancapaku yang ikut
dalam aktivitas pengrusakan tanggul yang ada di Kampung Cipager, Desa
Rancapaku dalam boks kasus
56
Selain permasalahan banjir dan longsor, permasalahan utama yang
disoroti dalam penelitian ini adalah permasalahan aksesibilitas atau jalan
yang dimanfaatkan oleh masyarakat setiap harinya. Jalan utama di
Kecamatan Padakembang merupakan jalan yang selain dimanfaatkan oleh
warga juga dimanfaatkan oleh truk-truk pengangkut material pasir yang
selama hampir 24 jam terus berlalu-lalang. Jalan utama ini melewati dua
Desa di Kecamatan Padakembang, yakni Desa Cisaruni, dan Desa
Mekarjaya.
Permasalahan jalan secara spesifik dapat dilihat di Desa Mekarjaya,
sepanjang jalan dari dusun Karangdan (yakni dusun yang terdapat aktivitas
pertambangan) hingga masuk ke jalan utama, jalan yang setiap hari dilewati
truk-truk pengangkut pasir ini dapat dikatakan rusak parah. Selain
membahayakan masyarakat, jalanan yang rusak ini juga membuat mobilitas
masyarakat menjadi terhambat. Namun sebagai reaksi atas hal tersebut,
beberapa masyarakat di Desa Mekarjaya khususnya daerah dusun
Cikembang membuat “jalur bebas truk”, yakni melarang truk yang
bermuatan pasir untuk lewat. Bahkan secara khusus masyarakat di kampung
Babedahan, Desa Mekarjaya membuat portal yang bertujuan untuk
menghalangi truk masuk ke kawasan kampung. Hal tersebut juga serupa
seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Rancapaku, bahkan untuk
Desa Rancapaku, hampir sepanjang jalan Desa ini hampir tidak pernah
Boks 2. Kisah Kehidupan kasus Bapak KRN (55 Tahun)
Bapak KRN merupakan warga asli kampung Cipager, Desa
Rancapaku, kecamatan Padakembang. Lokasi rumah beliau yang hanya
kurang lebih berjarak 10 meter dari sungai Cikunir, membuat erupsi
Gunung Galunggung pada tahun 1982 juga turut memporak-porandakan
lingkungan tempat tinggalnya. Pasca rehabilitasi kawasan pada tahun
1983-1984, bapak KRN juga turut membantu proses perbaikan fasilitas
Desa, termasuk dalam pembuatan tanggul yang dibuat sepanjang sungai
Cikunir. Tanggul yang tujuan awalnya adalah positif, yakni menjadi
penyangga aliran lahar jika kembali mengalir melalui sungai Cikunir,
lama kelamaan malah dianggap sebagian warga sebagai hal yang negatif
karena tidak adanya kompensasi, khususnya yang berkenaan dengan
pemanfaatan lahan yang dijadikan tanggul. Hingga pada akhirnya di
penghujung tahun 1998, ketika orde-baru runtuh dan krisis ekonomi
melanda Indonesia, masyarakat satu persatu mulai “menghancurkan”
tanggul yang berisi pasir tersebut. “Karena tidak ada kompensasi, ya
sudah kita buat kompensasi sendiri” tuturnya, beliau juga mengatakan
pasir dari tanggul ini sangat bermanfaat, baik untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari hingga membangun rumah-rumah warga yang memang pada
saat itu sedang sulit-sulitnya. Walaupun pada akhirnya masyarakat
memperoleh “kompensasi” dari „pembangunan tanggul‟, yakni dengan
„menjual tanggul‟ itu sendiri, banyak masyarakat yang pada akhirnya
menyadari dampak buruk dari hancurnya tanggul tersebut, diantaranya
adalah Bapak KRN. “Memang semua itu akan selalu ada positif dan
negatifnya”, tuturnya.
57
dilintasi oleh truk-truk besar pengangkut pasir, padahal jalur-jalur tersebut
(termasuk jalan di dusun Cikembang) merupakan jalan yang dulunya juga
dimanfaatkan oleh truk-truk pasir untuk membawa material pasirnya ke
tempat penampungan.
Reaksi yang dilakukan masyarakat memang tergolong wajar,
mengingat dampak dari lalu lalang truk ini secara nyata telah mengancam
warga. Seperti yang disebutkan oleh LSR (47 tahun), yang juga merupakan
pedagang di kawasan jalan utama Kecamatan Padakembang:
“Jalan utama yang di depan itu kan namanya jalan baru, tapi
sama sekali tidak terlihat baru, seharusnya mungkin itu
dinamakan “jalan baru setaun tapi sudah rusak”. Apalagi kalau
naik motor, depan dan belakang truk semua, ditambah jalannya
juga banyak yang berlubang, sangat rawan. Untung saja tidak
pernah ada yang sampai tabrakan atau kecelakaan parah, tapi
kalau yang jatuh dari motor lumayan sering sepertinya. Rasanya
jika dikatakan jalannya mau diperbaiki juga bakal sama saja
selama masih dilewatin truk-truk pasir itu.”
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan jika
kemunculan resiko atau kerentanan masyarakat terhadap bencana dirasakan
baik oleh masyarakat di Desa Mekarjaya dan juga Desa Rancapaku. Namun
hal yang esensial justru lebih dirasakan oleh mayoritas masyarakat Desa
Rancapaku dimana ancaman banjr dan longsor lebih sering terjadi akibat
jarak Desa yang lebih dekat dengan aliran sungai. Walaupun demikian Desa
Mekarjaya juga merasakan hal yang sama, namun hanya sebagian kecil
wilayahnya yang mengalami bencana banjir atau longsor, yakni hanya di
kawasan dusun Karangdan. Sedangkan untuk permasalahan jalan yang
rusak, masyarakat Desa Mekarjaya lebih merasakan dampaknya
dibandingkan dengan masyarakat Desa Rancapaku. Hal ini dikarenakan
Desa Mekarjaya merupakan jalan utama truk-truk besar pengangkut material
pasir yang berlalu lalang.
Persepsi Terhadap Tingkat Polusi Melalui Udara
Udara yang bersih dan sehat mungkin menjadi dambaan bagi banyak
orang, bahkan bagi sebagian orang mungkin akan bersusah payah mencari
“udara” tersebut ke daerah dataran yang lebih tinggi. Karena memang
seperti kita ketahui, daerah yang lebih tinggi atau apalagi memiliki
ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut, umumnya sudah
mulai banyak ditumbuhi oleh pepohonan besar yang menjulang tinggi, yang
biasanya sarat akan oksigen dan lingkungan yang asri. Namun hal tersebut
agaknya sulit diperoleh oleh masyarakat Kecamatan Padakembang,
khususnya Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku, walaupun berada di
daerah pegunungan, namun letak Desa yang hanya sekitar 400-600 di atas
permukaan laut ditambah dengan aktivitas pertambangan dan lalu-lalang
truk yang membawa material pasir, membuat udara di kawasan ini seolah
58
tidak hanya kering, namun juga dipenuhi oleh debu-debu atau pasir halus
yang berterbangan.
Selain menyalurkan debu, medium udara juga mampu menghasilkan
apa yang disebut sebagai “polusi suara”. Terlebih aktivitas pertambangan
merupakan suatu aktivitas industri yang memerlukan berbagai alat berat,
yang tentunya bagi sebagian orang apalagi yang berada dekat kawasan
tambang akan merasa terganggu dengan suara-suara yang dihasilkan. Belum
lagi seperti permasalahan truk besar yang lalu-lalang membawa material
pasir, tentunya bagi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar jalan
utama atau jalan yang dilalui truk tersebut secara langsung maupun tidak
langsung akan terganggu. Dampak aktivitas pertambangan pasir dan
kaitannya dengan persepsi terhadap kerentanan terhadap polusi melalui
udara dapat dilihat pada pada Tabel 7:
Tabel 7 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap tingkat polusi melalui udara
No. Pernyataan
Presentase (%) Total (%)
MKJ RCP
S N TS S N TS MKJ RCP
1
Aktivitas
penambangan pasir
menyebabkan udara
dipenuhi debu
70.00 23.33 6.67 10.00 30.00 60.00 100.00 100.00
2
Aktivitas
penambangan pasir
menyebabkan jalan
atau rumah dipenuhi
debu
73.33 23.33 3.33 13.33 36.67 50.00 100.00 100.00
3
Aktivitas
penambangan pasir
menimbulkan
kebisingan yang
mengganggu
56.67 30.00 13.33 0.00 36.67 63.33 100.00 100.00
4
Aktivitas
penambangan pasir
menyebabkan
masyarakat enggan
berlama-lama di luar
rumah
30.00 50.00 20.00 0.00 46.67 53.33 100.00 100.00
5
Aktivitas
penambangan pasir
menyebabkan
masyarakat lebih
mudah terserang
penyakit (ISPA)
46.67 40.00 13.33 10.00 43.33 46.67 100.00 100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju,
MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
Berdasarkan Tabel 7, baik Desa Mekarjaya ataupun Desa Rancapaku
memiliki pernyataan yang sangat bertolak. Tidak terdapat satupun
59
pernyataan yang yang dijawab sama oleh mayoritas responden yang berasal
dari kedua Desa tersebut, berikut adalah penjelasannya:
1. Sebagian masyarakat Desa Mekarjaya mungkin dapat dikatakan
sudah terbiasa dengan aktivitas pertambangan yang dilakukan di
Desa ini. Namun berdasarkan data, terlihat sebanyak 70.00 persen
masyarakat Desa Mekarjaya merasa dampak dari aktivitas
pertambangan ini cukup mengganggu, khususnya dalam kaitannya
dengan banyaknya debu yang dihasilkan oleh truk-truk pembawa
pasir yang lalu lalang pada siang hari. Sedangkan bagi masyarakat
Desa Rancapaku, dimana di Desa ini tidak terdapat aktivitas
pertambangan dan jalan utama Desanya tidak boleh dilalui truk
pengangkut pasir, setidaknya 60.00 persen responden menyatakan
tidak setuju dengan pernyataan yang menyebutkan akibat
pertambangan pasir, udara menjadi dipenuhi debu.
2. Demikian halnya dengan debu yang berada di jalan-jalan atau
bahkan rumah warga. Masyarakat Desa Mekarjaya sebagaian besar
atau sebanyak 73.33 menjawab setuju, sedangkan berbanding
terbalik dengan masyarakat di Desa Rancapaku yang sebanyak 50.00
persen menjawab tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Namun
responden dari Desa Rancapaku sisanya menjawab pada pilihan
netral (36.67 persen), dan setuju (13.33 persen). Terdapat beberapa
alasan oleh responden yang memilih jawaban tersebut, diantaranya
adalah bahwa walaupun tidak ada truk yang membawa material pasir
yang diperbolehkan melewati kawasan Desa Rancapaku, tetapi
seperti yang sudah disebutkan sebelumnya masih kerap ada truk-truk
yang melanggar peraturan tersebut dan melewati kawasan ini,
sehingga tidak jarang bekas-bekas pasir ikut terbawa angin dan
bahkan sampai ke dekat rumah warga.
3. Kebisingan atau gangguan suara secara nyata dirasakan oleh
masyarakat Desa Mekarjaya, terlihat dari tabel sebanyak 56.67
persen masyarakat Desa Mekarjaya merasakan kebisingan atau
gangguan suara yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir.
Sedangkan sebaliknya, masyarakat Desa Rancapaku menyatakan
tidak setuju dengan adanya kebisingan yang diakibatkan oleh
aktivitas pertambangan pasir dengan persentase sebesar 63.33
persen.
4. Dengan kondisi lingkungan yang banyak tercemar oleh polusi udara
seperti debu-debuan dan lain sebagainya, ada kemungkinan
masyarakat akan enggan untuk berlama-lama diluar rumah. Namun
masyarakat Desa Mekarjaya sebanyak 50.00 persen memiliki
jawaban netral terhadap pernyataan tersebut, sedangkan persentase
terbesar kedua berada pada jawaban setuju (30.00 persen), dimana
masyarakat memang menjadi enggan berlama-lama diluar rumah
lantaran debu-debu tersebut memunculkan perasaan udara cenderung
“tidak aman” untuk dihirup. Namun sebaliknya, masyarakat Desa
Rancapaku memiliki jawaban yang bertolak dengan jawaban
mayoritas responden dari Desa Mekarjaya, dimana sebanyak 53.33
60
persen responden dari Desa Rancapaku tidak setuju dengan
pernyataan tersebut.
5. Debu atau polusi melalui udara erat kaitannya dengan penyakit atau
infeksi saluran pernafasan. Berkaitan dengan hal tersebut, sebanyak
46.67 persen masyarakat Desa Mekarjaya setuju dengan
pernyataanaktivitas pertambangan pasir menyebabkan masyarakat
lebih rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk diantaranya
masalah saluran pernafasan. Namun sebaliknya, masyarakat Desa
Rancapaku memiliki pernyataan yang berbeda, yakni sebesar 46.67
responden tidak setuju terhadap pernyataan tersebut.
Ketika membahas tentang pencemaran atau polusi, maka akan
dibahas pula terkait dengan sumber pencemaran atau polusi itu sendiri.
Dalam kaitannya dengan aktivitas pertambangan pasir, tentu saja aktivitas
penggalian material tambang hingga pengangkutan material tambang dapat
menyebabkan dampak polusi udara yang cukup berarti. Terlebih dengan
objek tambang yang berupa pasir, pada dasarnya pasir merupakan butir-butir
batuan halus atau dapat disebut juga sebagai kersik halus, yang ukuran
materinya sangat kecil yang dapat dengan mudah terbawa oleh angin.
Pasir yang terbawa oleh angin dapat dengan mudah terhirup oleh
manusia, dan itulah yang dapat menjadi pemicu atau penyebab berbagai
penyakit diantaranya adalah infeksi saluran pernafasan. Belum lagi akibat
debu-debu lain atau kotoran yang ikut terbang terbawa angin karena jalanan
yang kotor dan gersang akibat lalu-lalang truk-truk besar pembawa material
pasir. Hal tersebut selain membawa penyakit, dianggap sebagian besar
masyarakat khususnya masyarakat Desa Mekarjaya membawa pengaruh
yang buruk juga terhadap aktivitas atau kegiatan sehari-hari. Seperti yang
dituturkan oleh LSR (47 tahun), seorang ibu dari Desa Mekarjaya yang juga
merupakan pedagang di kawasan jalan utama Kecamatan Padakembang:
“Masyarakat disini mungkin sudah sampai biasa dengan debu,
bahkan mungkin suara berisik truk pasir yang lewat juga sudah
biasa. Tapi sebenarnya bagaimana juga dibalik hati masing-
masing pasti “risih”, tapi mau mengeluh juga percuma. Apalagi
itu debu kan sangat menganggu, dagangan ibu saja kalau
didiemkan satu hari pasti sudah tebal debu-debunya. Takutnya
kalau kotor gitu juga konsumen jadi pada tidak mau beli.”
Senada dengan pernyataan ibu LSR, salah seorang masyarakat Desa
Rancapaku yakni pak JJG (54 tahun) menuturkan tentang keluhannya terkait
dengan dampak polusi udara yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan
pasir:
“Saya dulu sempat tinggal di daerah Kubangeceng. Disana bisa
dibilang kondisinya cukup jauh dengan disini, disana tiap jam
truk juga lewat, mau magrib, tengah malam, sampai subuh juga
masih saja ada truk.. Parahnya, truknya bukan sekedar truk
biasa, tetapi truk tua yang hampir selalu membawa muatan pasir
61
berlebih. Coba saja dilihat pasti selalu kelebihan muatan, dan
bukan apa-apa, jadinya juga masyarakat yang terkena
dampaknya, pasirnya kan jadi pada jatuh, selain bikin kotor dan
itu juga jadi kehirup sama kita.”
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan jika
permasalahan polusi melalui udara jauh lebih dirasakan di Desa Mekarjaya.
Hal ini dikarenakan jalan Desa Mekarjaya juga dimanfaatkan oleh truk-truk
pengangkut material pasir berlangsung hampir selama 24 jam. Hal itu yang
pada akhirnya berdampak pada kebisingan dan polusi udara berupa debu
dan pasir-pasir yang berterbangan sepanjang Desa Mekarjaya. Berbeda
dengan Desa Rancapaku, dimana di Desa ini memang sama sekali tidak
terdapat aktivitas penambangan pasir. Hal ini juga bahkan didukung dengan
kesepakatan yang disusun oleh masyarakat dan pihak pemerintah Desa yang
melarang truk pengangkut material pasir untuk melewati jalur di Desa.
Padahal jalur Desa Rancapaku ketika dahulu menjadi salah satu alternatif
jalan yang cukup sering dilalui truk.
Persepsi Terhadap Tingkat Alih Fungsi Lahan
Konversi lahan merupakan suatu fenomena tersendiri yang dapat
menjadi pembahasan menarik dari sudut pandang agraria. Bahkan secara
khusus lahan juga memiliki definisi dan tipe-tipenya sendiri, namun secara
umum dalam penelitian ini, alih fungsi lahan dimaknai sebagai suatu
transformasi areal pertanian menjadi areal non-pertanian. Seperti diketahui,
mayoritas mata pencaharian masyarakat baik di Desa Mekarjaya maupun
Desa Rancapaku berada pada sektor pertanian. Namun pasca terjadinya
erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1982 - 1983, lahan-lahan sawah
yang sebelumnya mereka manfaatkan untuk bertani, serta lahan pekarangan
yang sebelumnya mereka manfaatkan untuk beternak atau berkebun menjadi
tertimbun oleh material pasir.
Banyak masyarakat yang merasa mampu mengatasi masalah
timbunan pasir tersebut dengan caranya masing-masing, diantaranya adalah
dengan membuangnya ke aliran sungai, hingga menjualnya kepada
tengkulak atau “pengepul pasir dadakan” yang pada pasca meletusnya
Gunung Galunggung memang banyak tersebar hampir di seluruh Desa.
Namun, tidak semua masyarakat merasa mampu dalam melakukan
pekerjaan pembersihan pasir tersebut. Sebagian besar masyarakat juga
banyak yang akhirnya menyewakan, atau bahkan hingga menjual lahannya
untuk dimanfaatkan oleh masyarakat yang umumnya lebih memiliki modal,
atau juga disewakan pada industri penjualan pasir skala kecil yang dimiliki
secara kolektif oleh masyarakat. Namun masyarakat tidak sadar bahwa pada
dasarnya akibat konversi lahan tersebut memunculkan berbagai dampak
yang mungkin dapat dikatakan juga merugikan masyarakat. Dampak
aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan persepsi terhadap alih
fungsi lahan dapat dilihat pada pada Tabel 8:
62
Tabel 8 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap tingkat alih fungsi lahan
No. Pernyataan
Presentase (%) Total (%)
MKJ RCP
S N TS S N TS MKJ RCP
1
Aktivitas
penambangan
pasir
menyebabkan
jumlah hutan
berkurang
76.67 20.00 3.33 36.67 13.33 50.00 100.00 100.00
2
Aktivitas
penambangan
pasir
menyebabkan
banyak fauna
yang punah
33.33 40.00 26.67 20.00 13.33 66.67 100.00 100.00
3
Aktivitas
penambangan
pasir
menyebabkan
banyak flora
yang punah
16.67 53.33 30.00 3.33 23.33 73.33 100.00 100.00
4
Aktivitas
penambangan
pasir
menyebabkan
jumlah atau luas
sawah menjadi
berkurang
60.00 20.00 20.00 20.00 26.67 53.33 100.00 100.00
5
Aktivitas
penambangan
pasir
menyebabkan
luas pekarangan
atau kebun
warga menjadi
berkurang
70.00 20.00 10.00 33.33 30.00 36.67 100.00 100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju,
MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
Pada Tabel 8 dapat dilihat jika persentase jawaban mayoritas
responden antara Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku kembali saling
bertolak belakang. Hal tersebut secara spesifik dapat dikarekan faktor
lokasi, dimana Desa Mekarjaya sejak tahun 1984 atau pasca erupsi Gunung
Galunggung sudah mulai diminati oleh industri pertambangan, baik industri
pertambangan kecil, hingga industri pertambangan besar-sedang. Sedangkan
berbeda dengan Desa Rancapaku, dimana di kawasan ini hampir tidak
pernah ada satupun industri pertambangan skala besar-sedang yang
melakukan pengerukan material pasir.
63
Bagi masyarakat Desa Mekarajaya, sebetulnya banyak “harga” yang
harus dibayar oleh masyarakat dengan pembiaran masuknya industri-
industri tersebut. Diantaranya seperti yang empiris dapat terlihat, dimana
pada saat ini kawasan Desa Mekarjaya semakin terkikis oleh aktivitas
pertambangan itu sendiri, bahkan lambat laun mulai meninggalkan
“romantisme Desa” yang sejatinya dimiliki oleh Desa ini. Terkait dengan
masing-masing pernyataan dalam tabel, berikut adalah penjelasannya:
1. Aktivitas pertambangan pasir jelas-jelas menyebabkan luas hutan
berkurang. Terlebih untuk masyarakat Desa Mekarjaya, seperti
dalam tabel terlihat sebanyak 76.67 persen responden menjawab
setuju dengan pernyataan tersebut. Jawaban itu muncul memang
dikarenakan jumlah hutan yang terkonversi akibat pembukaan lahan
aktivitas pertambangan pasir cukup besar, terlebih jika
dikalkulasikan semenjak pembukaan lahan pertama secara besar-
besaran atau yang menurut responden terjadi pada sekitar tahun
1986. Namun hal yang sebaliknya terlihat pada Desa Rancapaku,
berdasarkan data setidaknya 50.00 persen responden menjawab tidak
setuju dengan pernyataan yang menyatakan aktivitas pertambangan
pasir menyebabkan luas hutan berkurang. Namun walaupun
demikian, terdapat 36.67 persen responden dari Desa Rancapaku
yang menjawab setuju pada pernyataan tersebut. Menurut sebagian
masyarakat, memang sebetulnya dahulu banyak kawasan hutan yang
menyimpan gundukan pasir, dan itu juga akhirnya dimanfaatkan
sebagian besar masyarakat, namun untungnya tidak pernah sampai
pada penjualan lahan atau dikonversikan untuk hal yang lainnya.
2. Terkait dengan keberadaan fauna, sebetulnya di kawasan ini bukan
merupakan tempat tinggal banyak hewan apalagi satwa endemik.
Hanya saja banyak hewan sejenis kera yang tinggal di habitat hutan
sebelah utara Kecamatan Padakembang. Dan menurut sebagaian
masyarakat, pasca adanya aktivitas pertambangan pasir para kera
tersebut menjadi terusir dari habitat aslinya, dan bahkan pernah
sampai ada kera yang menyusuri perumahan warga. Namun
pernyataan yang menyatakan dampak aktivitas pertambangan
menyebabkan punah atau langkanya suatu hewan tersebut ditanggapi
netral oleh mayoritas responden Desa Mekarjaya (40.00 persen), dan
tidak setuju oleh mayoritas responden Desa Rancapaku (66.67
persen).
3. Demikian halnya dengan keberadaan flora, di kawasan ini tidak
terdapat tumbuh-tumbuhan khas yang secara nyata dapat dilihat
keberadaannya. Dan tidak berbeda jauh dengan pernyataan
sebelumnya, untuk responden di Desa Mekarjaya mayoritas
menjawab pernyataan ini dengan jawaban netral sebesar 53.33
persen, sedangkan untuk masyarakat di Desa Rancapaku menjawab
pernyataan ini dengan jawaban tidak setuju sebesar 73.33 persen.
Persentase tidak setuju yang cukup tinggi ini dipercaya oleh sebagian
dari responden karena memang di kawasan ini tidak terdapat
tumbuh-tumbuhan atau pohon yang khas sejak zaman dahulu.
Walaupun demikian, ada juga sebagian masyarakat yang
64
mempercayai tentang keberadaan pohon Jamuju, sebuah jenis pohon
langka yang habitatnya adalah kawasan selatan Tasikmalaya.
4. Areal sawah merupakan salah satu areal yang pada erupsi tahun
1982 - 1983 banyak tertimbun oleh material pasir dari Gunung
Galunggung. Hal tersebut juga yang menjadikan banyak masyarakat
mengkonversikan areal sawahnya untuk kepentingan pertambangan
atau yang lainnya. Berdasarkan data, sebanyak 60.00 persen
responden dari Desa Mekarjaya menjawab setuju dengan pernyataan
tersebut, sedangkan sebanyak 53.33 persen responden dari Desa
Rancapaku tidak setuju dengan pernyataan tersebut.
5. Sama halnya dengan areal persawahan, areal pekarangan rumah
menurut sebagian besar responden pada pasca erupsi tahun 1982 -
1983 banyak yang dimanfaatkan oleh warga untuk dikeruk material
pasirnya. Hal ini terlihat dengan jawaban sebagian besar responden
dari Desa Mekarjaya yang mengatakan Setuju (70.00 persen)
terhadap pernyataan tersebut. Namun hal ini masih berbanding
terbalik dengan jawaban responden dari Desa Rancapaku, dimana
sebesar 36.67 persen responden menjawab pernyataan ini dengan
jawaban tidak setuju.
Material pasir yang berlimpah pada pasca erupsi Gunung
Galunggung pada tahun 1982 - 1983 memang memunculkan suatu
dilematika baru. Pasalnya, di satu sisi gelimpangan pasir tersebut
memberikan kerugian karena banyaknya areal sawah, pekarangan, hutan
hingga rumah warga yang rusak. Namun, di satu sisi juga memberikan
manfaat positif karena material pasir tersebut dapat dijual dengan harga
yang cukup tinggi. Namun ketika pemanfaatan terhadap sumber daya alam
yang ada terlalu “bablas” atau tendensius, yang terjadi justru kerugian yang
mungkin akan senantiasa dirasakan oleh masyarakat di generasi-generasi
mendatang.
Kerugian atas pertambangan pasir itu yang pada saat ini mayoritas
masyarakat Desa Mekarjaya rasakan, pasalnya ketika zaman dahulu
sebelum erupsi Gunung Galunggug terjadi, kawasan Desa Mekarjaya masih
sangat terbilang asri dengan hutan-hutan yang sangat banyak. Bahkan
beberapa diantara masyarakat mengganggap ketika dahulu hutan
Galunggung menyimpan jenis pohon yang pada saat ini tergolong langka,
yakni pohon Jamuju. Sebetulnya pohon Jamuju merupakan pohon endemik
yang hidup di habitat selatan Tasikmalaya, namun pohon yang memiliki
kemiripan karakteristik dengan pohon Akasia ini dianggap memang cocok
untuk hidup di daerah kawasan Gunung Galunggung. Seperti halnya yang
disampaikan oleh OMH (58 tahun) yang merupakan warga asli Desa
Mekarjaya:
“Waktu jaman dulu disini banyak pohon, dari yang kecil-kecil
sampai yang besar. Tapi saya kurang tahu juga itu namanya
pohon apa, tapi dulu katanya ada yang nyebut juga pohon
Jamuju. Tapi kita tidak pernah memperhatikan, tapi yang pasti
setelah banyaknya penambangan pasir di daerah atas
65
(Kecamatan Sukaratu) dan terus berlanjut ke bawah (Kecamatan
Padakembang) pohon-pohon ya sudah jadi habis begitu saja.
Binatang-binatangnya juga jadi mulai berkurang, yang dulunya
banyak terlihat tupai lompat-lompat, atau bahkan suara jangkrik,
saat ini sekarang jadi mulai ikut menghilang.”
Walaupun pohon Jamuju di kawasan Gunung Galunggung kebaeradaannya
belum pasti, namun setidaknya hal tersebut mengindikasikan adanya
perubahan ekosistem yang nyata di kawasan ini.
Disamping eksistensi dan keberadaan hutan serta flora dan faunanya,
sawah juga dapat menjadi indikator dalam melihat gejala konversi lahan
yang ada di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, pasca letusan Gunung Galunggung pada tahun 1982
- 1983, banyak areal sawah dan pekarangan warga yang menjadi tertimbun
oleh pasir. Namun hal tersebut justru disambut positif oleh masyarakat,
bahkan ketika itu sempat dikenal dengan istilah sewa lahan untuk para
penambang pasir. Seperti yang disebutkan oleh SMT (50 tahun) yang juga
merupakan warga asli dari Desa Mekarjaya:
“Dulu itu pasca letusan pasir ada dimana-mana, Jadi banyak
warga yang menyewakan sawahnya untuk dikeruk. Masyarakat
jelas inginnya dapat untung, selain untung karena sawahnya
“dibersihkan”, dapat uang juga dari uang sewa tersebut.
Makanya dulu itu banyak yang menyewakan sampai puluh-
puluhanan bata ke si penambang (pemodal) itu. Tapi selain di
sewakan, juga banyak yang akhirnya sampai dijual, bayarannya
soalnya juga lumayan, katanya sampai ada yang ditukar dengan
kerbau, alat-alat tani, elektronik ya macam-macam.”
Berdasarkan pemaparan tersebut, memang banyak responden maupun
informan yang mengatakan sampai akhirnya menjual sawah atau
pekarangan6 yang sebelumnya disewakan itu karena dirasa cukup
menguntungkan. Namun sayangnya tidak semua masyarakat merasakan
manfaat jangka panjang dari menjual sawah atau pekarangan tersebut,
karena pasca rehabilitasi lokasi, sebagian besar masyarakat mulai kembali
ke profesi awalnya, dan kembali menggantungkan hidup pada bertani
ataupun beternak.
Dampak negatif semakin dirasakan khususnya bagi masyarakat yang
telah terlanjur menjual habis areal sawah atau pekarangannya, mereka justru
mengalami masalah yang berlipat karena tidak adanya sawah atau
pekarangan yang dapat ditanami dengan berbagai tanaman atau tumbuhan
yang dapat dijual atau dikonsumsi. Padahal, bagi masyarakat Desa, terlebih
dengan mayoritas penduduknya adalah petani, sebetulnya sawah merupakan
suatu investasi jangka panjang antara “hidup dan mati”.
6 Isitlah “Pekarangan” yang digunakan disini tidak selalu merujuk pada definisi
tanah yang berada di sekitar rumah, ataupun halaman belakang. Istilah
“Pekarangan” ini juga digunakan masyarakat untuk merujuk pada kebun milik
warga bahkan yang letaknya cukup jauh dengan lokasi tempat tinggal.
66
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan jika
permasalahan alih fungsi lahan akibat kehadiran perusahaan pertambangan
lebih dominan terlihat di wilayah Desa Mekarjaya. Karena pasca erupsi
Gunung Galunggung tahun 1982 - 1983 Desa Mekarjaya sudah menjadi
daya tarik tersendiri bagi pebisnis tambang. Hal ini semakin diperparah
dengan banyaknya sawah atau lahan warga yang dijual kepada pihak
perusahaan tambang. Dengan banyaknya material pasir yang menimbun
sawah dan pekarangan warga kala itu ditambah tawaran bayaran yang
tinggi, banyak masyarakat di Desa Mekarjaya yang langsung tergiur untuk
menjual lahan miliknya. Sedangkan respons berbeda terdapat di Desa
Rancapaku, sehingga tidak terdapat lahan yang beralih fungsi menjadi lokasi
penambangan di kawasan ini.
Dampak Sosial
Masyarakat sebagai suatu kesatuan yang dinamis, tentunya dapat
terpengaruh oleh berbagai perubahan kondisi yang terjadi di lingkungannya.
Demikian halnya dengan masyarakat di Desa Mekarjaya dan Desa
Rancapaku, aktivitas pertambangan pasir yang telah sejak dahulu terdapat di
kawasan ini bukan tidak mungkin akan dapat mempengaruhi kondis sosial
masyarakat. Dari pembentukan opini masyarakat, hingga mungkin
kaitannya dengan tingkat kesadaran atau kepeduliannya terhadap
lingkungannya yang secara nyata semakin terdegradasi oleh berbagai proses
dari aktivitas pertambangan pasir.
Respons atau reaksi masyarakat terhadap aktivitas pertambangan
pasir ini pada dasarnya akan selalu terpolarisasi ke dalam dua kubu yang
berbeda. Ada pihak yang akan merasakan dampak positif pasca kehadiran
perusahaan tambang, diantaranya seperti bagaimana perusahaan tambang
mampu membantu dalam meningkatkan ekonomi desa, membantu
masyarakat dalam aktivitas sosial atau pembangunan fasilitas desa, hingga
dianggap sebagai pihak yang berjasa dalam membantu “memulihkan”
kondisi pasca erupsi Gunung Galunggung yang pada saat itu memang
dipenuhi oleh timbunan pasir yang tidak terkontrol. Namun demikian juga
sebaliknya, ada pihak-pihak yang merasa bahwa dampak negatif yang
dibawa oleh perusahaan tambang ini jauh lebih dominan, seperti anggapan
bahwa perusaahan pertambangan ini hanya sebatas berorientasi profit, tidak
mementingkan dan memperhatikan hak-hak masyarakat hingga
memunculkan suatu perasaan tidak suka yang direpresentasikan dengan
tensi konflik yang berbeda-beda.
Secara lebih lanjut, hal tersebut juga dapat dilihat terkait dengan
respons ekologi politik yang terjadi baik di Desa Mekarjaya dan juga Desa
Rancapaku. Sebagian masyarakat ada yang merespons keberadaan
perusahaan pertambangan berserta dampak yang ditimbulkannya dengan
reaksi radikal, namun ada juga yang cenderung kompromistik. Berbagai hal
tersebut pada akhirnya menunjukkan bagaimana keberagaman dan dinamika
sosial yang juga secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh
keberadaan perusahaan tambang pasir.
67
Maka dari itu, berdasarkan penjabaran tersebut permasalahan aspek
sosial yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir di kawasan
Gunung Galunggung dalam penelitian ini akan dibahas kedalam empat sub-
bab yang juga akan merepresentasikan empat indikator, yaitu:
1. Keberadaan Perusahaan Tambang Pasir
Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap keberadaan
perusahaan pertambangan, apakah keberadaannya justru sebagai
sumber berbagai masalah dan merebut hak-hak masyarakat, atau
malah justru sebaliknya.
2. Tingkat Hubungan Antar Aktor
Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap bagaimana
kecenderungan hubungan atau interaksi antara masyarakat dengan
perusahaan, serta masyarakat dengan pemerintah.
3. Tingkat Konflik Sosial
Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap kedalaman
atau bentuk konflik baik antara masyarakat dengan masyarakat,
ataupun antara masyarakat dengan swasta dan pemerintah.
4. Cara Pandang Terhadap Lingkungan
Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap
lingkungannya pasca kehadiran berbagai aktivitas dan proses
penambangan pasir.
Secara spesifik, dampak sosial yang terjadi di Desa Mekarjaya dan
Desa Rancapaku dapat dilihat pada pembahasan dan tabel-tabel dibawah ini.
Persepsi Terhadap Dampak Keberadaan Perusahaan Tambang Pasir
Pada saat ini, mungkin memang terhitung hanya terdapat satu
perusahaan atau industri tambang berskala besar yang aktif di Desa
Mekarjaya, namun bagaimanapun juga perusahaan tersebut telah membawa
berbagai dampak yang secara langsung maupun tidak langsung juga akan
dirasakan masyarakat, bahkan hingga sampai pada masyarakat Desa
Rancapaku dimana tidak terdapat industri tambang pasir di desa ini.
Indikator ini pada akhirnya melihat persepsi masyarakat terkait
kehadiran perusahaan tambang pasir, dan kaitannya dengan hak-hak yang
seharusnya masyarakat peroleh baik dalam aspek sosio-ekologis maupun
sosio-ekonomi. Dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan
persepsi terhadap keberadaan perusahaan tambang pasir dapat dilihat pada
pada Tabel 9:
68
Tabel 9 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap dampak keberadaan perusahaan tambang pasir
No. Pernyataan
Presentase (%) Total (%)
MKJ RCP
S N TS S N TS MKJ RCP
1
Aktivitas
penambangan pasir
yang dilakukan
Perusahaan
Tambang Pasir
tidak memperhatikan
kepentingan
masyarakat
sekitarnya
43.33 50.00 6.67 70.00 30.00 0.00 100.00 100.00
2
Aktivitas
penambangan pasir
yang dilakukan oleh
Perusahaan
Tambang Pasir
tidak sesuai dengan
janji / kesepakatan
awal ketika
melakukan perizinan
56.67 36.67 6.67 76.67 23.33 0.00 100.00 100.00
3
Aktivitas
penambangan pasir
yang dilakukan oleh
Perusahaan
Tambang Pasir telah
mengabaikan hak
atas ekonomi yang
seharusnya
masyarakat peroleh
6.67 50.00 43.33 66.67 33.33 0.00 100.00 100.00
4
Aktivitas
penambangan pasir
yang dilakukan oleh
Perusahaan
Tambang Pasir telah
mengabaikan hak
atas lingkungan
yang seharusnya
masyarakat peroleh
33.33 60.00 6.67 60.00 40.00 0.00 100.00 100.00
5
Aktivitas
penambangan pasir
yang dilakukan oleh
Perusahaan
Tambang Pasir
merupakan
penyebab terjadinya
perselisihan di
masyarakat
26.67 50.00 23.33 63.33 33.33 3.33 100.00 100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju,
MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
69
Berdasarkan Tabel 9, dapat dilihat jika mayoritas jawaban dari
masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku memiliki perbedaan yang
cukup bertolak dalam kaitannya dengan persepsi terhadap keberadaan
perusahaan tambang. Hanya terdapat satu pernyataan yang dijawab dengan
penilaian yang sama. Terkait dengan masing-masing pernyataan dalam
tabel, berikut adalah penjelasannya:
1. Bagi masyarakat Desa Mekarjaya, aktivitas pertambangan pasir
memang menghadirkan suatu kondisi yang baru. Dimana sebagaian
masyarakat menganggap keberadaannya membawa dampak positif,
dan ada juga yang negatif. Namun mayoritas responden atau sebesar
50.00 persen dari Desa Mekarjaya menjawab netral pernyataan yang
menyatakan bahwa keberadaan peusahaan tambang tidak
memperhatikan kepentingan masyarakat sekitarnya. Namun ternyata,
sebanyak 43.33 persen mayarakat Desa Mekarjaya juga menjawab
setuju pernyataan tersebut, bagi sebagian responden ini diakibatkan
karena perusahaan tambang cenderung hanya mementingkan
kepentingan bisnis, apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab
perusahaan seperti, program-program lingkungan ataupun
pemberdayaan masyarakat lokal tidak pernah ada yang terealisasi.
Sedangkan bagi masyarakat Desa Rancapaku, sebesar 70.00 persen
responden menyatakan setuju dengan pernyataan tersebut. Hal ini
dikarenakan mayoritas masyarakat Desa Rancapaku tersebut
menganggap mereka tidak pernah ikut dilibatkan dalam bantuan atau
bentuk apapun oleh pihak perusahaan tambang pasir, padahal
mereka juga harus merasakan dan menanggung dampak-dampak
negatif yang diakibatkan aktivitas pertambangan.
2. Dalam proses perizinan aktivitas pertambangan, biasanya akan
didahului oleh pembuatan AMDAL ataupun UKL-UPL. Menurut
pihak pemerintah Desa, memang AMDAL telah dibuat oleh seluruh
pihak perusahaan tambang yang akan melakukan aktivitasnya di
Desa Mekarjaya. Dokumen tersebut menurut pihak pemerintah Desa
juga berisi tentang kesepakatan dan persetujuan masyarakat terkait
dengan aktivitas pertambangan. Namun, hal tersebut bertolak dengan
apa yang sebanyak 56.67 persen responden dari Desa Mekarjaya
katakan, mereka justru menganggap dokumen tersebut hanya sebagai
“penghias” dan isinya justru dengan mudah diabaikan oleh
pemerintah maupun pihak perusahaan tambang, bahkan untuk hal
yang paling dasar seperti air saja, mereka harus mengalami kesulitan
karena pencemaran yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan
pasir. Tidak berbeda jauh, mayoritas responden di Desa Rancapaku
juga menjawab setuju dengan pernyataan yang menyatakan aktivitas
penambangan pasir tidak sesuai dengan janji atau kesepakatan awal
ketika melakukan perizinan. Sebanyak 76.67 persen responden yang
menjawab ini, juga menyebutkan air merupakan poin penting yang
ditutuntut masyarakat untuk menjadi fokus perhatian perusahaan
perusahaan tambang sejak dahulu, namun tetap saja kehadiran
perusahaan tambang masih membuat mereka kesulitan dalam
memperoleh air bersih yang seharusnya menjadi hak mutlak mereka.
70
3. Dalam kaitannya dengan hak atas ekonomi, mayoritas responden di
Desa Mekarjaya menjawab pernyataan tersebut dengan jawaban
netral sebesar 50.00 persen. Hal ini diantaranya dikarenakan karena
walaupun tidak terdapat program atau perhatian khusus terkait aspek
ekonomi, aktivitas pertambangan pasir dapat membuka peluang-
peluang kerja baru seperti warung kelontong atau warung makan,
yang juga turut meningkatkan ekonomi masyarakat. Namun bagi
66.67 persen masyarakat dari Desa Rancapaku, menyatakan bahwa
aktivitas pertambangan pasir lebih negatif terkait hak atas ekonomi
yang seharusnya mereka peroleh, diantaranya karena perusahaan
pertambangan tidak membuka peluang kerja ataupun memberi
bantuan ekonomi (kompensasi) yang berarti.
4. Aktivitas pertambangan memang secara jelas harus memperhatikan
hak masyarakat atas lingkungan, seperti halnya yang tertera dalam
dokumen AMDAL ataupun UKL-UPL. Namun bagi sebesar 60.00
persen responden di Desa Mekarjaya, mereka memilih menjawab
pernyataan tersebut dengan jawaban netral, karena menurut mereka
kerusakan lingkungan yang ada pada saat ini bukan tanggung jawab
perusahaan tambang sepenuhnya, namun juga harus diingat tentang
faktor alam. Kecuali seperti kerusakan jalan dan banyaknya debu,
menurut mereka itu memang murni disebabkan oleh pertambangan
pasir. Namun berbeda dengan mayoritas responden di Desa
Rancapaku, sebanyak 60.00 persen responden menjawab pernyataan
tersebut dengan pilihan setuju. Hal ini diantaranya karena
lingkungan yang menjadi tercemar pada saat ini memang berkaitan
langsung dengan aktivitas pertambangan pasir, bahkan salah seorang
responden ada yang mengatakan ketika dahulu sempat selama
hampir tiga hari pertambangan pasir yang berada di Desa Mekarjaya
berhenti beroperasi, dan aliran sungai Cikunir yang melewati
sebagian besar kampung di Desa Rancapaku menurutnya telah
menjadi lebih jernih.
5. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam masyarakat sendiri
terdapat pihak-pihak yang mendukung keberadaan pertambangan
pasir dan pihak yang menolak keberadaan pertambangan pasir. Dua
hal yang berbeda tersebut bukan tidak mungkin dapat menimbulkan
perselisihan diantara masyarakat sendiri, atau dapat dikatakan juga
sebagai konflik horizontal. Namun sebanyak 50.00 persen responden
dari Desa Mekarjaya menjawab netral dengan pernyataan tersebut,
sedangkan 63.33 persen masyarakat dari Desa Rancapaku menjawab
setuju, hal ini menurut masyarakat dikarenakan memang pernah
sampai ada konflik yang terjadi diantara masyarakat Desa sendiri,
walaupun masih berada pada tataran laten.
Berdasarkan penjelasan di atas, memang dapat diketahui jika masyarakat
Desa Mekarjaya lebih bersifat netral dan cenderung sulit dalam menentukan
sikap positif atau negatif terhadap keberadaan perusahaan tambang. Banyak
faktor yang mempengaruhinya, diantaranya seperti yang juga disebutkan
oleh ASD (50 tahun):
71
“Masyarakat disini memang bingung, mau dibilang merasa rugi
ya rugi, untung ya untung (dengan keberadaan perusahaan
tambang). Terlebih disini kalau ada pembangunan masjid,
sampai kemarin itu kantor desa juga dapat sumbangan dari
perusahaan tambang. Pokoknya kalau untuk pembangunan atau
sosial, perusahaan tambang pasti ngasih, jadi mau bagimana
juga jadi untung ke masyarakat.”
Memang apa yang disebutkan oleh bapak ASD dapat menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan mengapa mayoritas responden Desa Mekarjaya
menjawab pada pilihan jawaban netral. Belum lagi, hal ini juga nantinya
akan berkaitan juga dengan dampak-dampak positif terhadap ekonomi
masyarakat Desa Mekarjaya. Namun hal berbeda terdapat pada mayoritas
jawaban masyarakat di Desa Rancapaku. Hampir keseluruhan responden di
Desa ini menjawab dengan respons negatif terkait keberadaan perusahaan
tambang pasir. Walaupun sama seperti di Desa Mekarjaya, perusahaan
tambang pasir kerap memberikan bantuan berupa material pasir jika
masyarakat Desa Rancapaku membutuhkannya untuk kepentingan sosial.
Namun seperti yang disebutkan oleh JJG (54 tahun), yang juga merupakan
warga dari Desa Rancapaku:
“Mau bagaimana juga perusahaan tambang melakukan
“perusakan” lebih parah. Disini sungai kotor, air bersih jadi
sulit, mau keluar desa juga jalanan rusak (ke arah Desa
Mekarjaya), kan seperti itu mah tidak akan bisa “dibayar” pakai
pasir saja. Mau dibayar pakai pasir berapa truk juga tetap saja,
yang jadi masalah kan lingkungannya ini yang sudah mereka
rusak. Harusnya kalau memang mau memperhatikan masyarakat
ya coba bantulah warga dengan air bersih, bantulah warga
dengan program-program tani, benih atau pupuk. Kalau sebatas
seperti ini (memberi pasir) sebetulnya tidak lebih dari cara
mereka (pihak perusahaan tambang) “cari muka”, tetapi
dibaliknya tetep saja merusak.”
Memang menurut sebagian besar responden dari Desa Rancapaku,
permasalah lingkungan khususnya air merupakan salah satu hal yang tidak
dapat dibayar dengan materi apapun. Terlebih, air sungai Cikunir yang sejak
dahulu masyarakat manfaatkan untuk berbagai kebutuhan masyarakat sudah
semakin mengalami penyusutan akibat dari aktivitas pertambangan pasir.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan jika
pernyataan terkait keberadaan perusahaan tambang yang berada di Desa
Mekarjaya dijawab oleh mayoritas masyarakat di Desa Rancapaku secara
negatif, sedangkan sebagian besar masyarakat di Desa Mekarjaya menjawab
dengan netral. Walaupun sebenarnya di kawasan Desa Rancapaku sama
sekali tidak terdapat perusahaan tambang, namun dampak negatif yang
diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir secara esensial berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat pada akhirnya menyebabkan masyarakat
merasa perusahaan tambang benar-benar merebut hak-hak mereka,
72
khususnya terkait dengan air bersih yang kualitasnya semakin terdegradasi
pasca kehadiran perusahaan tambang. Sedangkan untuk Desa Mekarjaya,
keberadaan perusahaan tambang justru dianggap sebagian warga
memberikan keuntungan ekonomi baik langsung maupun tidak langsung,
hal ini juga yang akhirnya menimbulkan dilema dan masyarakat cenderung
netral pada pernyataan tersebut.
Persepsi Terhadap Hubungan Antar Aktor
Masyarakat, pemerintah dan swasta merupakan tiga aktor yang akan
selalu berhubungan apalagi jika kaitannya dengan pemanfaatan suatu
sumber daya alam. Pihak pemerintah merupakan pihak yang memiliki
otoritas dan juga penentu legalitas atas izin aktivitas ataupun lahan yang
dimanfaatkan oleh pihak swasta. Namun tidak jarang atas otoritas besar
yang dimilikinya tersebut justru memunculkan adanya celah penyimpangan
yang kerap dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu baik dari pihak
pemerintah maupun pihak swasta dalam melanggengkan kepentingan
ataupun ego elite tertentu.
Demikian halnya dengan aktivitas pertambangan pasir yang terdapat
di Desa Mekarjaya, pihak swasta yang dimaksudkan disini adalah CV AS,
yang merupakan salah satu industri pertambangan skala besar yang kurang
lebih selama delapan tahun telah melakukan aktivitas pertambangan di desa
ini. Sedangkan pihak pemerintah yang dimaksud adalah pihak aparatur
tingkat Desa dan Kecamatan, baik di Desa Mekarjaya maupun di Desa
Rancapaku.
Menurut masyarakat, baik pemerintah ataupun swasta terkadang
berada pada pihak yang sama dan terkesan “mengabaikan” atau
memposisikan masyarakat sebagai subjek yang tidak memiliki peran
penting dalam pengambilan suatu keputusan. Padahal sesuai dengan amanat
konstitusi, masyarakat justru merupakan pihak yang seharusnya paling
diperhatikan dan menjadi pertimbangan dalam pengambilan suatu
keputusan, terlebih terhadap sesuatu hal yang nantinya akan berpengaruh
secara nyata terhadap kondisi lingkungan dan hidup masyarkat banyak.
Berkaitan dengan hal tersebut, berikut dampak aktivitas pertambangan pasir
dan kaitannya dengan persepsi terhadap hubungan antar aktor pada Tabel
10:
73
Tabel 10 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap hubungan antar aktor
No. Pernyataan
Presentase (%) Total (%)
MKJ RCP
S N TS S N TS MKJ RCP
1
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan rasa tidak suka
antara masyarakat dengan pihak
Perusahaan Tambang Pasir
40.00 36.67 23.33 76.67 23.33 0.00 100.00 100.00
2
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan rasa tidak percaya
antara masyarakat dengan pihak
Perusahaan Tambang Pasir
26.67 43.33 30.00 73.33 26.67 0.00 100.00 100.00
3
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan rasa saling curiga
antara masyarakat dengan pihak
Perusahaan Tambang Pasir
60.00 30.00 10.00 66.67 33.33 0.00 100.00 100.00
4
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan renggangnya
hubungan antara masyarakat
dengan pihak Perusahaan
Tambang Pasir
13.33 56.67 30.00 60.00 33.33 6.67 100.00 100.00
5
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan kebencian antara
masyarakat dengan pihak
Perusahaan Tambang Pasir
10.00 36.67 53.33 50.00 46.67 3.33 100.00 100.00
6
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan rasa tidak suka
antara masyarakat dengan pihak
pemerintah
10.00 60.00 30.00 3.33 43.33 53.33 100.00 100.00
7
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan rasa tidak percaya
antara masyarakat dengan pihak
pemerintah
33.33 43.33 23.33 0.00 46.67 53.33 100.00 100.00
8
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan rasa saling curiga
antara masyarakat dengan pihak
pemerintah
63.33 23.33 13.33 6.67 60.00 33.33 100.00 100.00
9
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan renggangnya
hubungan antara masyarakat
dengan pihak pemerintah
13.33 56.67 30.00 10.00 43.33 46.67 100.00 100.00
10
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan kebencian antara
masyarakat dengan pihak
pemerintah
3.33 40.00 56.67 0.00 40.00 60.00 100.00 100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju,
MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
74
Berdasarkan data dari Tabel 10 dapat terlihat jika antara responden
dari Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku memiliki respons yang cukup
berbeda. Seperti pada kolom pernyataan nomor satu sampai dengan lima
dimana berisi pernyataan persepsi terhadap pihak swasta atau perusahaan
tambang, dan kolom nomor enam sampai dengan sepuluh dimana berisi
pernyataan persepsi terhadap pihak pemerintah. Berikut adalah
penjelasannya:
1. Dari sebanyak sepuluh pernyataan yang menyatakan tentang
persepsi terhadap pihak swasta dan juga pemerintah, responden dari
Desa Mekarjaya memiliki variasi jawaban yang beragam, dari setuju,
netral hingga tidak setuju. Jawaban mayoritas setuju muncul pada
pernyataan aktivitas pertambangan pasir menyebabkan masyarakat
tidak suka dengan keberadaan tambang pasir (40.00 persen), dan
juga pada pernyataan aktivitas pertambangan pasir menyebabkan
masyarakat menjadi curiga dengan pihak pertambangan (60.00
persen). Hal tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas responden
merasa sebenarnya ada yang tidak beres dengan aktivitas
pertambangan pasir di Desa Mekarjaya, bahkan ada salah seorang
responden yang menyebutkan jika sebenarnya adanya “kong-
kalikong” antara pihak perusahaan pertambangan dengan pihak
pemerintah. Itu juga didukung dengan mayoritas responden dari
Desa Mekarjaya yang menjawab setuju dengan pernyataan aktivitas
pertambangan pasir menyebabkan rasa saling curiga antara pihak
masyarakat dengan pihak pemerintah (63.33 persen). Namun
walaupun demikian, mayoritas responden menjawab tidak setuju
dengan pernyataan yang menyatakan aktivitas pertambangan pasir
menyebabkan kebencian antara masyarakat dengan pihak swasta
ataaupun pihak pemerintah.
2. Berbeda dengan mayoritas responden dari Desa Mekarjaya, untuk
persepsi terhadap swasta atau pihak perusahaan tambang mayoritas
responden dari Desa Rancapaku memiliki jawaban yang seragam,
yakni setuju. Hal ini memang seperti yang telah dibahas sebelumnya
bahwa mayoritas masyarakat Rancapaku tidak memiliki kedekatan
atau kepentingan khusus dengan pihak perusahaan tambang,
sehingga pernyataan yang menyatakan aktivitas penambangan pasir
menyebabkan masyarakat tidak suka dengan keberadaan perusahaan
tambang dijawab oleh responden sebanyak 76.67 persen. Namun
walaupun demikian, masyarakat Desa Rancapaku merasa pihak
pemerintah lebih mendukung dan turut memperhatikan keluhan
masyarakat khususnya yang berkaitan dengan dampak pertambangan
pasir.
Terkait dengan hasil dari Tabel 10, seorang informan yakni bapak
SND (50 tahun) yang merupakan warga asli Desa Mekarjaya menyebutkan
tentang alasan kuat mengapa mayoritas responden memiliki memiliki rasa
curiga cukup tinggi dengan pihak pemerintah:
75
“Orang-orang disana (kantor desa) saya kenal dan pada baik-
baik, cuma ya mungkin ini kan namanya “uang berkuasa”.
Seperti waktu bikin perizinan tambang, atau perpanjang usaha
tambang itu sering ktia dengan ada tanda tangan palsu, jadi
dianggapnya masyarakat setuju padahal sama sekali tidak
pernah. Saya sebetulnya kurang tahu karena itu urusan
“pejabat”, tapi bisa dinilai sendiri seperti apa keadaan
sebenarnya. Itu juga Alfamart baru yang dijalan utama, kan
sekarang ditutup. Kenapa? Ya kasusnya sama, tanda tangan
persetujuan warga ada padahal tidak ada warga yang
sebenarnya menandatangani.”
Berbeda dengan mayoritas masyarakat Desa Mekarjaya, seperti yang terlihat
di Tabel 10 jika mayoritas responden masyarakat Rancapaku memiliki
jawaban yang positif terhadap persepsi dan hubungan dengan pihak
pemerintah. Seperti yang juga disebutkan oleh JJG (54 tahun):
“Pemerintah sebetulnya mendukung masyarakat. Kita beberapa
kali demo tentang tambang pihak pemerintah juga sampai ikut
mendukung. Jadi kalau ada apa-apa masyarakat juga jadi enak
melapor ke mereka (pemerintah). Sampai waktu itu juga pernah
orang desa (pemerintah) yang bantu melaporkan soal tambang
itu ke pihak kecamatan. Jadi masyarkat juga nyaman untuk
menyampaikan keluh kesahnya.”
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan jika
masyarakat Desa Mekarjaya memang sebagian besar masyarakatnya berada
pada posisi dilematis, dimana cenderung netral dengan variasi jawaban
lainnya berada pada jawaban setuju dan tidak setuju dengan pernyataan
yang menyatakan hubungan atau relasi masyarakat dengan pihak swasta dan
juga pemerintah. Sedangkan respons berbeda ditunjukkan oleh responden
Desa Rancapaku, tidak hanya sebatas curiga dan tidak percaya terhadap
perusahaan tambang, sebagian besar responden menyatakan bahkan sampai
mulai muncul perasaan benci. Namun walaupun demikian responden dari
Desa Rancapaku memiliki kecenderungan respons yang cukup positif
terhadap pihak pemerintah, hanya saja muncul perasaan curiga khususnya
hal yang berkenaan dengan adanya kompensasi atau uang yang diberikan
perusahaan tambang.
Persepsi Terhadap Konflik Sosial
Konflik pada umumnya dapat terjadi ketika adanya dua atau lebih
perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok yang saling bertemu.
Dalam kasus pertambangan pasir di kawasan Gunung Galunggung, seperti
yang sudah disebutkan sebelumnya baik pihak pemerintah, swasta ataupun
masyarakat memiliki cara pandang dan kepentingan yang berbeda terhadap
objek sumber daya alam yang ada. Hal tersebut tentunya dapat memicu
76
gesekan-gesekan sosial yang dapat berujung pada konflik. Konflik sendiri
memiliki variasi bentuk hingga tensinya senidri. Berkaitan dengan hal
tersebut, berikut dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan
persepsi terhadap konflik sosial pada Tabel 11.
Tabel 11 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap konflik sosial
No. Pernyataan
Presentase (%) Total (%)
MKJ RCP
S N TS S N TS MKJ RCP
1
Aktivitas
penambangan pasir
menyebabkan
masyarakat kerap
mendapat teguran
dari pihak tertentu
3.33 16.67 80.00 16.67 70.00 13.33 100.00 100.00
2
Aktivitas
penambangan pasir
menyebabkan
masyarakat kerap
mendapat terror dari
pihak tertentu
0.00 23.33 76.67 6.67 63.33 30.00 100.00 100.00
3
Aktivitas
penambangan pasir
menyebabkan
masyarakat kerap
mendapat ancaman
dari pihak tertentu
3.33 16.67 80.00 26.67 50.00 23.33 100.00 100.00
4
Aktivitas
penambangan pasir
menyebabkan
masyarakat
melakukan aksi
demonstrasi secara
halus (pemogokan,
long march, dll)
20.00 56.67 23.33 63.33 36.67 0.00 100.00 100.00
5
Aktivitas
penambangan pasir
menyebabkan
masyarakat
melakukan
demonstrasi secara
radikal (kekerasan,
perusakan, dll)
0.00 46.67 53.33 33.33 50.00 16.67 100.00 100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju,
MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
Berdasarkan data dari Tabel 11 maka dapat dilihat jika kembali
terdapat perbedaan antara jawaban mayoritas responden dari Desa
77
Mekarjaya dan mayoritas dari Desa Rancapaku. Berikut penjelasan dari data
Tabel 11:
1. Mayoritas masyarakat Desa Mekarjaya tidak setuju dengan
pernyataan yang menyatakan adanya teguran, terror ataupun
ancaman terhadap masyarakat yang diakibatkan oleh aktivias
pertambangan pasir. Persentase sebesar 76.00 sampai 80.00 persen
mendominasi jawaban responden dengan pilihan tidak setuju. Hal
ini dikarenan menurut sebagian besar responden baik pihak
tambang, pemerintah maupun masyarakat memang enggan dan
tidak pernah mau untuk menempuh jalur represif dalam
menyelesaikan suatu permasalahan. Bahkan walaupun pernah
terjadi beberapa kali aksi demo di Kecamatan Padakembang,
mungkin secara umum dapat dikatakan hanya sedikit masyarakat
dari Desa Mekarjaya yang ikut dalam aksi demonstrasi tersebut.
Beberapa masyarakat Desa Mekarjaya khususnya yang tinggal di
daerah dekat aliran sungai Cikunir memiliki caranya sendiri dalam
melakukan “demonstrasi”, bukan dengan long march, ataupun aksi
kekerasan. Terbukti berdasarkan data dari Tabel 11 bahwa sebanyak
53.33 persen responden Desa Mekarjaya tidak setuju dengan
pernyataan yang menyatakan akibat aktivitas pertambangan pasir,
masyarakat melakukan demonstrasi secara radikal atau melalui jalur
kekerasan. Walaupun demikian, sebesar 56.67 persen responden
menyatakan setuju dengan pernyataan yang menyatakan akibat
aktivitas pertambangan pasir, masyarakat melakukan demonstrasi
secara halus.
2. Berdasarkan Tabel 11 mayoritas masyarakat Desa Rancapaku
memilih netral dengan pernyataan yang menyebutkan adanya
teguran, terror ataupun ancaman terhadap masyarakat yang
diakibatkan oleh aktivias pertambangan pasir. Terkait dengan alasan
memilih jawaban netral, beberapa responden beranggapan jika di
Desa Rancapaku sendiri terdapat “orang tambang” yang kerap
mengawasi aksi masyarakat, terlebih ketika akan melakukan
demonstrasi. Walaupun sebetulnya yang dimaksud oleh masyarakat
lebih mengarah pada hambatan, dan bukan ancaman secara
langsung, masyarakat tetap merasa hal tersebut sebagai tekanan
tersendiri yang mempengaruhi aksi masyarakat. Dan terkait dengan
aksi masyarakat, sebanyak 63.33 persen responden setuju dengan
pernyataan yang menyatakan akibat aktivitas pertambangan pasir,
masyarakat melakukan demonstrasi secara halus. Serta sebesar
50.00 persen responden netral dengan pernyataan akibat aktivitas
pertambangan pasir, masyarakat melakukan demonstrasi secara
radikal atau melalui jalur kekerasan.
Aksi demontrasi yang terjadi di Kecamatan Padakembang memang
telah beberapa kali terjadi. Demonstrasi yang diikuti oleh hanya beberada
desa dari Kecamatan Padakembang ini setidaknya dalam satu tahun terakhir
ini telah dilakukan kurang lebih empat sampai sepuluh kali. Namun hasilnya
masih saja nihil, walaupun sempat ada surat kesepakatan yang
78
ditandatangani oleh pihak masyarakat dan swasta (Lampiran 5), namun
sepertinya hal tersebut sama sekali belum memberikan keadilan seperti yang
masyarakat dambakan. Seperti yang disebutkan oleh ibu LSR (47 tahun)
yang merupakan warga Desa Mekarjaya:
“Kalau dari jaman dulu demo mungkin sudah ada puluhan kali.
Bahkan dulu bukan cuma warga sini yang ikut berdemo. Tahun
2010 – 2011 banyak juga orang luar yang kesini untuk tanya-
tanya tentang tambang, seperti wartawan. Tapi akhrinya sama-
sama saja, sampai sekarang juga tetap saja perusahaan tambang
beroprasi. Malah sepertinya semakin “menjadi”.”
Memang seperti yang disebutkan oleh ibu LSR, sebetulnya aksi demonstrasi
telah cukup banyak dilakukan. Seperti yang pada tahun 2011 lalu,
masyarakat yang tergabung dengan Masyarakat Galunggung Menggugat
(MGM) menuntut adanya moratorium penambangan pasir galunggung.
Bahkan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat ini sudah
beberapa kali disorot media. Bahkan sempat sampai ada dukungan dari
Asosiasi Pengusaha Tambang (APT) Tasikmalaya yang juga menuntut
adanya pertimbangan lebih lanjut tentang kegiatan penambangan pasir di
Gunung Galunggung. Walaupun demikian, menurut masyarakat, perusahaan
tambang tidak pernah sampai ada yang berhenti beroperasi. Bahkan paling
lama hanya berhenti selama dua atau tiga hari setelah mendapat teguran,
namun selanjutnya kembali beroperasi tanpa adanya perbaikan sistem
operasional.
Penjelasan di atas mungkin dapat menjadi salah satu faktor alasan
mengapa masyarakat Desa Mekarjaya menjadi lebih apatis terhadap aksi-
aksi demonstrasi. Karena menurut sebagian masyarakat, aksi demonstrasi
yang dilakukan tidak akan berpengaruh terhadap kondisi penghidupan
mereka, apalagi hingga menutup perusahaan tambang yang ada di desa
mereka. Selain itu, cara pandang kompromistik ini juga dikarenakan adanya
ketergantunggan ekonomi ataupun kedekatan relasional antara masyarakat
dengan pihak pertambangan pasir. Baik secara langsung maupun tidak
langsung keberadaan perusahaan pertambangan membawa perubahan sosial
yang secara nyata dirasakan masyarakat, dari terbukanya peluang kerja atau
meningkatnya aktivitas ekonomi desa. Berbeda dengan kondisi atau respons
dari masyarakat Desa Rancapaku yang tidak memiliki ketergantungan
ekonomi atau kedekatan sosial dengan perusahaan pertambangan, sehingga
respons radikal cenderung menonjol dari masyarakat desa ini, karena
munculnya paradigma “nothing to lose” sehingga representasi tindakan
mereka lebih bebas dan tidak terikat oleh nilai-nilai tertentu.
Walaupun demikian, pernyataan tersebut tidak berlaku untuk seluruh
masyarakat Desa Mekarjaya. Karena sampai pada saat ini masih cukup
banyak masyarakat Desa Mekarjaya yang melakukan perjuangannya dengan
caranya masing-masing. Sepert YYT (52 tahun) yang merupakan
masyarakat Desa Mekarjaya yang juga aktif di kelompok pembenihan Ikan
Mekar Saluyu. Berikut pemaparan tentang bapak YYT dalam boks kasus.
79
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan jika pada
dasarnya konflik lebih cenderung lebih dalam pada masyarakat di Desa
Rancapaku. Mereka cenderung melakukan protes secara bersama-sama yang
tidak jarang mengarah pada tindakan-tindakan anarkis, seperti melempari
batu alat-alat berat pihak tambang, truk pengangkut pasir dan lain
sebagainya.
Bahkan dahulu sempat ada kejadian dimana masyarakat Desa
Rancapaku dan kampung-kampung di sekitarnya melakukan perlawanan
dan penolakan terhadap keberadaan truk pasir dengan menanam pisang di
jalur yang menjadi lalu lalang truk tersebut. Sedangkan untuk Desa
Mekarjaya, mayoritas masyarakatnya cenderung lebih menghindari aksi-
aksi protes seperti yang terdapat di Desa Rancapaku. Namun walaupun
demikian, sebagian masyarakatnya tetap ada yang melakukan aksi-aksi
perlawanan dan penolakan terkait keberdaan perusahaan pertambangan
dengan memanfaatkan sarana ruang publik (Lampiran 6), spanduk protes
dan cara yang lebih non-represif lainnya.
Persepsi Terhadap Cara Pandang Lingkungan
Kelestarian lingkungan dan keseimbangan ekosistem dapat terwujud
jika manusia yang berada didalamnya juga turut serta menjaganya. Namun
faktanya, kondisi yang menyimpang semakin banyak ditemui, tidak jarang
Boks 3. Kisah Kehidupan kasus Bapak YYT (52 Tahun)
Bapak YYT merupakan seorang warga Desa Mekarjaya yang
berprofesi sebagai peternak ikan. Sebagai seseorang yang menggantungkan
hidupnya pada hasil penjualan ikan, tentu pencemaran air yang diakibatkan
oleh limbah pertambangan akan sangat mempengaruhi mata pencahariannya.
Namun sebagai respons atas hal tersebut, bapak YYT memiliki caranya
sendiri. Ditengah gegap gempita demonstrasi dan penolakan oleh masyarakat
secara berbondong-bondong, bapak YYT lebih memilih “berdemo” dengan
caranya sendiri. Beliau mendokumentasikan berbagai dampak yang
diakibatkan pertambangan pasir dengan kamera telepon genggamnya. Dari
air sungai yang keruh, hingga ikan-ikan mati yang berasal dari kolam
berukuran 1.5 x 3 meter miliknya. Namun dari situ, beliau mulai dianggap
sebagai “aktivis” yang turut memperjuangkan hak-hak masyarakat. Sampai
pada akhirnya beliau juga dipanggil untuk berdiskusi langsung dengan pihak
pemerintah hingga perwakilan tambang.
Pada saat ini mungkin kita masih dapat melihat tulisannya yang
terpampang jelas di pinggir jalan utama Desa Mekarjaya, tulisan itu berbunyi
“PEMERINTAH JANGAN PURA-PURA TIDAK TAHU TENTANG
PENCEMARAN LIMBAH, KARENA KAMI SUDAH BERI TAHU!”.
Emosi tulisan tersebut juga benar-benar tergambarkan ketika penulis sempat
berdiskusi dengan beliau, “Air ini nafkah saya, untuk keluarga saya. Dan
saya rela mati demi itu”.
80
justru manusia yang menjadi salah satu penyebab utama kerusakan tersebut.
Terlebih dengan dalih “sudah faktor alam”, banyak manusia yang semakin
acuh terhadap kelestarian lingkungan.
Cara pandang individu terhadap lingkungannya memang beragam,
dan banyak faktor juga yang mempengaruhinya, dari pengetahuan, pola atau
kebiasaan hingga kelembagaan. Namun pada dasarnya cara pandang
tersebut lebih dikonstruksikan secara abstrak dan subjektif. Demikian
halnya dengan masyarakat di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku, dampak
dari aktivitas pertambangan pasir tidak hanya telah menyentuh pada tataran
fisik, namun juga jauh bahkan hingga cara pandang masyarakat terhadap
lingkungannya. Dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan
persepsi terhadap cara pandang lingkungan dapat dilihat pada pada Tabel
12.
Tabel 12 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapak terhadap
cara pandang lingkungan
No. Pernyataan
Presentase (%)
Total (%) MKJ RCP
S N TS S N TS MKJ RCP
1
Aktivitas penambangan
pasir menyebabkan
masyarakat menjadi
acuh terhadap
lingkungan
23.33 53.33 23.33 56.67 43.33 0.00 100.00 100.00
2
Aktivitas penambangan
pasir menyebabkan
masyarakat menjadi
enggan untuk
melakukan kerja bakti
10.00 60.00 30.00 10.00 56.67 33.33 100.00 100.00
3
Aktivitas penambangan
pasir menyebabkan
masyarakat menjadi
enggan untuk
membersihkan
lingkungan sekitar
rumah
40.00 43.33 16.67 36.67 46.67 16.67 100.00 100.00
4
Aktivitas penambangan
pasir menyebabkan
masyarakat menjadi
lebih leluasa mencemari
sungai, kolam, dsj.
6.67 23.33 70.00 40.00 36.67 23.33 100.00 100.00
5
Aktivitas penambangan
pasir menyebabkan
masyarakat menjadi
lebih leluasa membuang
sampah sembarangan
3.33 20.00 76.67 13.33 30.00 56.67 100.00 100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju,
MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
81
Berikut adalah penjelasan dari hasil data di Tabel 12:
1. Masyarakat Desa Mekarjaya cenderung memilih posisi netral
(dengan persentase sebesar 43.00–60.00 persen) dalam kaitannya
dengan pernyataan dampak aktivitas pertambangan pasir
menyebabkan masyarakat menjadi acuh terhadap lingkungan dan
enggan untuk melakukan kerja bakti dan bersih-bersih rumah.
Responden yang menjawab ini secara garis besar mengatakan bahwa
pasca maraknya aktivitas pertambangan pasir di Desa, banyak
rumah-rumah khususnya yang berada di daerah pinggir jalan
kesulitan untuk membersihkan rumahnya dari debu-debu yang
bertumpuk, sehingga pada akhirnya lebih memilih untuk
mendiamkannya. Selain itu, pola atau kebiasaan masyarakat untuk
melakukan kerja baki memang semakin memudar pasca masuknya
modernisasi di Desa ini, bahkan menurut salah seorang responden,
kerja bakti di Desa Mekarjaya hanya dilakukan hanya ketika ada
acara seremonial atau menyambut hari kemerdekaan ataupun pejabat
yang akan datang. Namun walaupun demikian, sebanyak 70.00 -
76.00 persen responden dari Desa Mekarjaya tidak setuju dengan
pernyataan yang menyatakan aktivitas penambangan pasir
menyebabkan masyarakat menjadi lebih leluasa mencemari atau
membuang sampah sembarangan.
2. Respons yang berbeda dapat ditemui di mayoritas responden dari
Desa Rancapaku. Terlihat dari sebesar 56.67 persen responden setuju
dengan pernyataan yang menyatakan aktivitas penambangan pasir
menyebabkan masyarakat menjadi acuh terhadap lingkungan.
Pernyataan setuju sebesar 40.00 persen juga terdapat pada
pernyataan lainnya, yakni aktivitas penambangan pasir
menyebabkan masyarakat menjadi lebih leluasa mencemari sungai
ataupun kolam. Hal tersebut menurut sebagian responden adalah
wajar, karena pasca sungai Cikunir tercemar oleh limbah
pertambangan, masyarakat jadi sama sekali tidak dapat
memanfaatkan air tersebut. Bahkan hingga ke air selokan di tingkat
Desa pun sudah tercemar oleh air-air limbah, sehingga bagi
masyarakat, tidak akan ada pengaruhnya jika mereka juga turut
mencemari air tersebut. Namun untuk pernyataan yang menyatakan
aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat menjadi lebih
leluasa membuang sampah sembarangan, mayoritas responden
menjawabnya dengan tidak setuju sebesar 56.67 persen.
Baik masyarakat di Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku telah
mengalami cara pandang lingkungan yang berbeda dalam kaitannya dengan
keberadaan peruahaan pertambangan pasir. Namun walaupun demikian,
terkait dengan upaya mengelola sampah atau limbah rumah tangga di kedua
Desa ini masih sangatlah minin. Baik di Desa Mekarjaya ataupun Desa
Rancapaku hampir seluruh dusun atau kampungnya sama sekali tidak
memiliki tempat sampah yang dikelola baik oleh pemerintah maupun secara
kolektif. Masyarakat kedua Desa ini masih menggunakan cara konvensional,
yakni dengan membakar sampah-sampah rumah tangganya. Bagi mereka
82
hal tersebut tidaklah salah, selain itu, sebagian besar responden juga
memiliki kecenderungan membalikkan pernyataan tersebut dengan
membandingkan dengan apa yang telah dilakukan oleh perusahaan
pertambangan. Seperti halnya yang disebutkan oleh OTR (46 Tahun):
“Kalau sampah plastik, kertas, atau daun itu dibakar. Tapi kalau
ada sisa makanan. nasi, lauk pauk itu kita lempar ke “balong”
(kolam perorangan milik warga). Disini memang kebanyakan
seperti itu, orang yang ngelola sampahnya juga tidak ada, ya jadi
dikelola masing-masing. Tapi itu saja perusahaan tambang juga
buang limbahnya sembarangan. Limbahnya juga lebih kotor,
seharusnya itu yang lebih dulu diatur oleh pemerintah.”
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan jika pada
dasarnya keberadaan perusahaan tambang mempengaruhi juga cara pandang
masyarakatnya terhadap lingkungan. Khususnya untuk masyarakat Desa
Rancapaku, apatisme masyarakat terhadap sungai Cikunir juga secara jelas
ditunjukkan dengan banyaknya masyarakat yang membuang sampah di
aliran sungai ini. Karena menurut mereka sungai yang pada awalnya sangat
jernih dan deras ini memang sudah rusak dan tidak dapat dimanfaatkan lagi
pasca kehadiran perusahaan tambang. Sedangkan itu untuk Desa Mekarjaya,
khususnya untuk yang bertempat tinggal di sekitar jalan utama yang juga
dilewati truk pembawa material pasir, rasa ketidakpedulian juga setidaknya
terdapat di sebagian warga, pasalnya truk yang hampir 24 jam berlalu lalang
ini juga menibulkan debu-debu yang sangat tebal yang mengotori teras atau
pekarangan rumah warga.
Dampak Ekonomi
Keberadaan industri skala sedang atau besar di Desa tentunya akan
dapat berpengaruh kuat terhadap aktivitas ekonomi Desa secara umum.
Selain diharapkan mampu menyerap tenaga kerja, keberadaan industri
tersebut juga dianggap mampu memberikan dampak positif terhadap
industri-industri kecil yang berada di lingkungan sekitarnya, seperti dengan
adanya program kemitraan, program pemberdayaan, dan lain sebagainya.
Namun pada dasarnya hal tersebut juga kembali pada pihak industri itu
sendiri, dan tentunya peran serta pemerintah yang harus lebih dominan dan
berpihak kepada masyarakat.
Secara garis besar, keberadaan aktivitas pertambangan pasir di Desa
Mekarjaya juga dianggap sebagian masyarakatnya membawa dampak
positif. Namun terdapat juga beberapa pihak yang justru merasa keberadaan
perusahaan tambang tersebut tidak berarti apa-apa, bahkan justru dianggap
sebagai penghambat aktivitas ekonomi Desa. Terlebih untuk sebagian besar
masyarakat dari Desa Rancapaku, dimana pandangan mereka terhadap
keberadaan perusahaan pertambangan lebih berkecenderungan negatif.
Maka dari itu, berdasarkan penjabaran tersebut permasalahan aspek
ekonomi yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir di kawasan
83
Gunung Galunggung akan dibahas kedalam empat sub-bab yang juga akan
merepresentasikan empat indikator, yaitu:
1. Tingkat Pendapatan
Indikator ini akan melihat ukuran besaran pendapatan yang didapat
oleh masyarakat baik dari sektor pertanian maupun sektor non-
pertanian.
2. Tingkat Kesempatan Bekerja
Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap bagaimana
peluang yang diperoleh masyarakat dalam kaitannya dengan
berbagai pekerjaan baik yang berkaitan langsung dengan
pertambangan ataupun tidak.
3. Tingkat Aktivitas Ekonomi Desa
Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap interaksi
dalam kegiatan ekonomi dan/atau jumlah aktivitas yang
berhubungan dengan kegiatan ekonomi di Desa.
Secara spesifik, dampak ekonomi yang terjadi di Desa Mekarjaya
dan Desa Rancapaku dapat dilihat pada pembahasan dan tabel-tabel
dibawah ini.
Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan pada dasarnya merupakan suatu jumlah atau
total uang yang diterima oleh responden yang diperoleh baik dari sektor
pertanian maupun non-pertanian. Pendapatan tentunya berkaitan erat dengan
profesi atau mata pencaharian masyarakat itu sendiri. Walaupun
berdasarkan data pemerintah desa mayoritas mata pencaharian masyarakat
di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku adalah petani. Namun kondisi
dilapangan justru menunjukkan kondisi dimana banyak warga yang
berprofesi sebagai buruh, khususnya buruh kasar. Selain itu dari sudut
pandang lain, keberadaan perusahaan pertambangan juga ternyata
menimbulkan perubahan sosial yang berimplikasi terhadap mata
pencaharian masyarakat, diantaranya dengan munculnya pola pekerjaan
masyarakat yang bekerja merangkap sebagai petani dan buruh tambang,
ataupun petani dan supir truk pasir.
Menurut masyarakat, transisi pekerjaan masyarakat pada saat ini
diantaranya dikarenakan semakin sedikitnya lahan pertanian, selain itu
banyaknya sawah milik masyarakat yang diperjualbelikan menyebabkan
lahan sawah yang besar dan luas hanya cenderung dimiliki perorangan.
Sehingga pada akhirnya mulai banyak warga baik di Desa Rancapaku
maupun Desa Mekarjaya yang mau tidak mau beralih profesi menjadi buruh
baik di dalam kota maupun luar kota. Berikut adalah grafik rata-rata
pendapatan rumah tangga responden dari Desa Mekarjaya dan Desa
Rancapaku:
84
Gambar 4 Rata-rata pendapatan rumah tangga responden Desa Mekarjaya
dan Desa Rancapaku April 2013 – April 2014
Gambar 4 menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan yang diperoleh oleh
masyarakat Desa Mekarjaya lebih besar daripada masyarakat di Desa
Rancapaku. Dapat terlihat baik pada kategori pendapatan sedang dan juga
tinggi masyarakat dari Desa Mekarjaya memiliki jumlah yang lebih besar.
Walaupun nilai tersebut secara garis besar bukan merupakan kontribusi
langsung dari sektor pertambangan, namun hal tersebut dipengaruhi juga
oleh kontribusi secara tidak langsung dari keberadaan perusahaan tambang
pasir, diantaranya peluang kerja dan wirausaha masyarakat di Desa
Mekarjaya yang lebih besar dari masyarakat di Desa Rancapaku. Namun
terdapat juga faktor lainnya, diantaranya adalah seperti yang sudah
disebutkan sebelumnya, sebagian besar kampung atau dusun di Desa
Rancapaku terlewati oleh aliran sungai Cikunir, demikian halnya dengan
sawah milik warga, cukup banyak yang terletak tepat di pinggiran sungai
Cikunir. Hal ini tentunya sangat mengancam mata pencaharian masyarakat,
terlebih dengan penyusutan ukuran dan pengendapan yang dialami sungai
Cikunir, ancaman banjir yang akan langsung merendam sawah masyarakat
menjadi salah satu ancaman besar yang juga kerap mempengaruhi hasil
produksi dan pendapatan masyarakat.
Permasalahan peluang kerja juga menjadi salah satu faktor yang
berkaitan erat dengan tingkat pendapatan, dan untuk di Desa Mekarjaya
memang secara kasat mata dapat terlihat jika banyak masyarakat yang
berasal dari Desa Mekarjaya yang berjualan makanan atau usaha warung
kelontong. Karena memang pada dasarnya kawasan Desa Mekarjaya
merupakan salah satu kawasan strategis yang kerap dimanfaatkan oleh para
supir-supir truk atau pekerja tambang untuk berisrirahat, selain itu jalan
utama Desa yang juga menjadi salah satu jalan alternatif menuju kawasan
Rp15,800,000
Rp10,620,000
Rp7,447,059
Rp14,520,000
Rp10,425,000
Rp7,668,000
Rp-
Rp2,000,000
Rp4,000,000
Rp6,000,000
Rp8,000,000
Rp10,000,000
Rp12,000,000
Rp14,000,000
Rp16,000,000
Rp18,000,000
Tinggi Sedang Rendah
Kategori
Tingkat Pendapatan
Desa Mekarjaya
Desa Rancapaku
85
wisata Gunung Galunggung secara tidak langsung juga membuat banyaknya
wisatawan khususnya pada akhir minggu berlalu-lalang melalui jalur ini.
Namun hal sebaliknya justru terdapat di Desa Rancapaku, seperti yang
disebutkan oleh USR (43 tahun) yang merupakan salah satu penjual warung
kelontong di Desa Rancapaku:
“Kalau disini (Desa Rancapaku) tergolong sepi jalannya. Coba
saja lewat sekitar jam 12.00, pasti jalan sepi, orang yang lalu
lalang juga jarang. Beda lah kalau dibandingkan dengan Desa
Mekarjaya. Makanya dikit yang buka warung disini, paling hanya
ada beberapa. Sisanya ya bertani, kalau bapak-bapaknya apalagi
yang masih muda banyak yang jadi buruh ke Jakarta, ada yang
kerja juga di tempat wisata, tapi kalau kerja di tambang itu
hampir tidak ada disini. Soalnya memang kalah sama „beku‟, jadi
tidak terlalu untung, untungnya cuma kecil.”
Pernyataan yang dinyatakan oleh ibu USR memang cukup
menggambarkan juga bagaimana kondisi mata pencaharian sebagian besar
masyarakat di Desa Mekarjaya. Memang pada dasarnya baik masyarakat di
Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku pada saat ini hampir sudah tidak
ada yang menggantungkan secara mutlak penghidupan mereka pada sektor
pertambangan. Hanya beberapa orang mungkin yang bertahan di sektor ini,
itu pun biasanya hanya orang-orang yang memiliki relasi dan jabatan
tertentu di perusahaan. Sedangkan untuk buruh dan supir pengangkut pasir,
pekerjaan itu lebih bersifat tidak mengikat dan hanya cenderung “musiman”.
Lain halnya ketika dulu, sebelum masuknya era industri di kawasan ini,
seorang informan menyatakan masih ada masyarakat yang melakukan
penambangan pasir baik secara berkelompok ataupun perorangan, namun
seiring dengan masuknya industri tersebut, penambang konvensional ini
semakin tersingkir dan bahkan sama sekali tidak ada yang bertahan. Seperti
halnya yang disebutkan oleh bapak RRK (56 tahun) yang merupakan warga
Desa Rancapaku.
“Dulu itu jelas ramai, hampir seluruh warga di kawasan Gunung
Galunggung mungkin setidaknya sempat ikut menambang. Tapi
sekarang jelas semakin kalah oleh perusahaan, warga sama
sekali tidak bisa apa-apa, tidak ada tambahan dari “berkah
pasir” lagi. Tapi walaupun begitu masih ada saja yang
mengambil pasir kalau hujan, karena kalau hujan, pasir itu cukup
banyak yang terbawa arus sampai-sampai menggumpal. Hal ini
dimanfaatkan dan dikumpulkan warga, siapa tau bermanfaat.”
Memang banyak masyarakat yang beranggapan pada saat ini pasir
tidak lagi membawa “berkah” seperti yang mereka rasakan ketika sebelum
runtuhnya rezim orde baru. Bahkan masyarakat juga mengatakan pada saat
ini keuntungan hanya diperoleh oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas dan
kekuatan jaringan serta kekuasaan, dan bukan berada pada masyarakat
86
sekitar ataupun buruh pertambangan. Hal ini seperti yang dapat dilihat pada
Gambar 6.
Gambar 5 Rantai penjualan pasir Galunggung
Berdasarkan Gambar 5, setidaknya memang dapat terlihat jika
penggali pasir yang langsung menjualnya ke toko bangunan atau tauke7
hanya mendapat keuntungan yang tergolong rendah. Harga pasir yang
berada di tangan pihak tauke setidaknya menjadi belipat dua kali lipat dari
harga yang dijual oleh penggali tambang. Demikian halnya ketika tauke
melakukan penjualan langsung ke konsumen, harga jual menjadi kembali
bertambah menjadi sekitar Rp. 80.000 per-kubik. Harga yang ditawarkan
tersebut setidaknya memiliki selisih harga sekitar Rp. 50.000 per-kubik
dengan harga yang ditawarkan oleh penggali pasir. Namun perbedaan yang
paling terlihat adalah ketika pasir Galunggung telah dijual oleh pihak toko
bangunan. Setidaknya terdapat selisih harga sebesar kurang lebih Rp.
200.000 per-kubik antara harga jual penggali pasir dan harga jual toko
bangunan. Angka yang cukup jauh berbeda ini, telah mengindikasikan
adanya ketidakadilan ekonomi yang terjadi antara pihak-pihak yang sama-
sama memanfaatkan objek material pasir Galunggung.
Padahal secara logika, para pekerja dan penggali pasir tersebut harus
lebih banyak menguras waktu dan tenaga. Namun insentif dan keuntungan
yang diperoleh oleh para pekerja seolah sangat tidak adil dan justru
menguntungkan pihak pemodal saja. Hal tersebut memang pada akhirnya
menjadi salah satu faktor menagapa banyak masyarakat yang enggan untuk
bekerja di sektor pertambangan. Konstruksi sistem kapitalisme yang
7 Tauke merujuk pada istilah pihak perusahaan atau kepala kerja suatu perusahaan
pertambangan.
Penggali
Pasir
Tauke Pasir
Toko Bangunan / Pasir
Konsumen
Harga Pasaran
± Rp. 30.000/kubik
Harga Pasaran
± Rp. 80.000/kubik
Harga Pasaran
± Rp. 30.000/kubik
Harga Pasaran
± Rp. 60.000/kubik
Harga Pasaran
± Rp. 230.000/kubik
87
dipraktikan oleh pihak swasta secara nyata hanya akan semakin
memunculkan kesenjangan antara pihak pekerja dan pemodal. Pihak pekerja
(masyarakat) yang mengidamkan kesejahteraan akan selalu terganjal oleh
perbedaan cara pandang dan ideologi yang saling bertentangan. Terlebih
tidak jarang pihak swasta mendapat dukungan dari oknum pemerintahan
yang juga memiliki cara pandang yang lebih berorientasi profit dan
cenderung mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat.
Berdasarkan pernyataan di atas, secara garis besar dapat disimpulkan
jika pendapatan masyarakat di Desa Mekarjaya memiliki perolehan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Rancapaku. Hal ini diantaranya
dikarenakan faktor implikasi dampak ekologis yakni banjir terhadap
berkurangnya hasi produksi masyarakat Desa Rancapaku, hingga adanya
peluang kerja yang lebih besar untuk bidang wirausaha di Desa Mekarjaya.
Sedangkan dalam kaitannya dengan pendapatan dari faktor pertambangan,
pada saat ini sangatlah kecil jumlahnya masyarakat baik dari Desa
Mekarjaya maupun Desa Rancapaku yang melakukan aktivitas
penambangan secara konvensional. Selain karena tergerus oleh kehadiran
industri, pendapatan yang dihasilkan oleh sektor ini tergolong tidak terlalu
besar, sehingga banyak masyarakat yang justru mencari alternatif sumber
pendapatan lainnya.
Persepsi Terhadap Tingkat Kesempatan Bekerja
Industri pertambangan memang dapat menyerap tenaga kerja yang
cukup tinggi. Karena terdapat berbagai proses didalamnya, dari penggalian
hingga pengangkutan hasil tambang yang membutuhkan jumlah pekerja
yang banyak. Hal tersebut mungkin pada dasarnya dapat dikatakan sebagai
salah satu manfaat positif yang diakibatkan oleh keberadaan aktivitas
tambang pasir.
Dampak negatif yang diakibatkan pertambangan pasir namun lambat
laun lebih dirasakan secara esensial, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Diantaranya adalah untuk peluang kerja di sektor tambang
tersebut justru lebih di dominasi oleh orang-orang dari luar Desa, atau
kehadiran perusahaan tambang yang justru semakin mengancam eksistensi
pekerjaan petani ataupun peternak ikan, baik karena adanya konversi lahan
ataupun dampak ekologis lain yang ditimbulkan. Dampak aktivitas
pertambangan pasir dan kaitannya dengan persepsi terhadap kesempatan
bekerja dapat dilihat pada pada Tabel 13:
88
Tabel 13 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap tingkat kesempatan bekerja
No. Pernyataan
Presentase (%) Total (%)
MKJ RCP
S N TS S N TS MKJ RCP
1
Aktivitas
penambangan
pasir
menyebabkan
berkurangnya
peluang kerja
masyarakat di
bidang pertanian
36.67 46.67 16.67 56.67 43.33 0.00 100.00 100.00
2
Aktivitas
penambangan
pasir
menyebabkan
berkurangnya
peluang kerja
masyarakat di
bidang non-
pertanian
10.00 33.33 56.67 53.33 46.67 0.00 100.00 100.00
3
Aktivitas
penambangan
pasir
menyebabkan
terbatasnya
ruang kerja
masyarakat
3.33 66.67 30.00 13.33 60.00 26.67 100.00 100.00
4
Aktivitas
penambangan
pasir tidak
membuka
peluang bekerja
bagi masyarakat
setempat
10.00 46.67 43.33 56.67 43.33 0.00 100.00 100.00
5
Aktivitas
penambangan
pasir didominasi
oleh pekerja dari
luar Desa
26.67 40.00 33.33 80.00 20.00 0.00 100.00 100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju,
MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
Berdasarkan data dari Tabel 13 maka dapat dilihat kecenderungan
responden di Desa Mekarjaya menjawab pada pilihan netral, sedangkan
untuk responden di Desa Rancapaku cenderung menjawab pada pilihan
Setuju. Berikut adalah penjelasannya:
1. Pada pernyataan pertama, yakni aktivitas penambangan pasir
menyebabkan berkurangnya peluang kerja masyarakat di bidang
pertanian, sebesar 46.67 persen responden di Desa Mekarjaya
menjawab pada pilihan netral. Namun, mayoritas pilihan kedua
adalah setuju, dengan persentase sebesar 36.67 persen. Hal tersebut
dikarenakan bagi sebagian masyarakat, aktivitas pertambangan pasir
89
tidak secara langsung berakibat pada berkurangnya peluang kerja
masyarakat di bidang pertanian, walaupun memang akibat air bersih
yang semakin sulit diperoleh berimplikasi juga terhadap menurunnya
hasil produksi mereka, tetapi menurut mereka berkurangnya peluang
kerja pertanian pada saat ini lebih disebabkan oleh individu itu
sendiri. Karena semakin banyaknya orang yang menjual sawah
hingga pekarangan rumah mereka, baik untuk alasan ekonomi
ataupun pembangunan. Namun, untuk pernyataan aktivitas
penambangan pasir menyebabkan berkurangnya peluang kerja
masyarakat di bidang non-pertanian, sebesar 56.67 persen responden
di Desa Mekarjaya tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Karena
dengan aktivitas pertambangan yang hampir 24 jam terus beroperasi,
dianggap dapat membuka peluang baru khususnya bagi masyarakat
yang berada di dekat lokasi tambang untuk membuka warung
kelontong dan warung makan, bahkan terdapat juga industri batako
yang cukup menyerap tenaga kerja dari warga Desa Mekarjaya.
2. Berbeda dengan mayoritas responden di Desa Mekarjaya, sebagian
besar responden di Desa Rancapaku atau sebesar 56.67 Setuju
dengan pernyataan yang menyatakan aktivitas penambangan pasir
menyebabkan berkurangnya peluang kerja masyarakat di bidang
pertanian, dan sebesar 53.33 persen juga setuju dengan pernyataan
aktivitas penambangan pasir menyebabkan berkurangnya peluang
kerja masyarakat di bidang non-pertanian. Secara spesifik responden
menyebutkan alasannya, diantaranya untuk bidang pertanian jelas
disebabkan oleh keruhnya air yang berpengaruh terhadap hasil
produksi pertanian, bahkan sampai ada yang pada akhirnya menjual
sawah milikinya karena dirasa beberapa tahun belakangan ini
pertanian kurang menguntungkan. Terlebih untuk yang memiliki
sawah di sekitar sungai Cikunir, pendangkalan sungai yang
diakibatkan pertambangan pasir juga telah menyebabkan beberapa
kali sawah yang berada di sekitarnya hancur karena terendam luapan
sungai.
3. Terkait dengan peluang kerja yang diciptakan oleh aktivitas
pertambangan pasir, walaupun mayoritas responden Desa Mekarjaya
lebih memilih jawaban netral, namun kecenderungan responden
tersebut juga berada pada jawaban tidak setuju. Terbukti dengan
persentase tidak setuju sebesar 33.33 – 43.33 persen mendominasi
pernyataan yang menyatakan, aktivitas pertambangan pasir
menyebabkan terbatasnya ruang kerja masyarakat, dan juga
pernyataan yang menyatakan aktivitas penambangan pasir
didominasi oleh pekerja dari luar Desa. Hal tersebut diantaranya
dikarenakan memang terdapat beberapa masyarakat Desa Mekarjaya
yang bekerja di perusahaan tambang, dimana mayoritas bekerja
sebagai supir truk dan buruh tambang harian. Sedangkan untuk Desa
Rancapaku, yang terjadi justru sebaliknya, seluruh responden dari
Desa Rancapaku mengatakan di Desa Rancapaku sama sekali tidak
ada yang bekerja di perusahaan tambang pasir. Walaupun pernah ada
beberapa orang yang bekerja di perusahaan tambang, itu lebih
90
dikarenakan sistem kekerabatan, bukan karena memang terbukanya
lowongan kerja.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui jika dampak
negatif terkait keberadaan perusahaan tambang jauh lebih dirasakan oleh
masyarakat di Desa Rancapaku. Berbeda dengan masyarakat di Desa
Mekarjaya yang masih dapat merasakan insentif ekonomi yang diakibatkan
oleh keberadaan perusahaan pertambangan. Seperti halnya yang juga
dikatakan oleh LSR (47 tahun):
“Masyarakat di sini memang beberapa ada yang bekerja di
perusahaan. Itu seperti pemuda yang di warung dekat rumah, itu
beberapa orang selain ngojek juga ada yang menjadi supir truk.
Namun mereka bekerja kalau sedang ada proyeknya saja, yang
kerjanya tetap atau bosnya tetap saja bukan orang sini (Desa
Mekarjaya).”
Berdasarkan pernyataan tersebut, kesimpulan yang dapat diambil adalah
bahwa pada dasarnya masyarakat Desa Mekarjaya memiliki peluang atau
kesempatan kerja yang lebih besar dibandingkan dengan Desa Rancapaku
dalam kaitannya dengan kehadiran perusahaan tambang. Hal ini selain
d\ikarenakan Desa Rancapaku cukup berada jauh dengan lokasi tambang,
jalur Desa Rancapaku yang sama sekali tidak boleh dilalui oleh truk
pengangkut material pasir. Padahal untuk di Desa Mekarjaya, beberapa
warung makan atau kelontong kerap menjadi salah satu incaran para supir
truk pengangkut pasir untuk beristirahat.
Persepsi Terhadap Tingkat Aktivitas Ekonomi Desa
Keberadaan perusaahaan pertambangan pasir tentunya selain
diharapkan dapat membuka peluang kerja baru, tentunya diharapkan juga
bahwa mereka mampu menggerakkan atau meningkatkan aktivitas ekonomi
yang terdapat di desa. Baik itu yang diindikasikan dengan meningkatnya
transaksi jual beli masyarakat, hingga semakin ramainya warung makan
ataupun warung kelontong di desa. Seperti halnya yang disebutkan oleh
Bapak CHY (43 tahun) yang dulunya sempat menjadi mandor tambang di
salah satu perusahaan berskala sedang di Desa Mekarjaya:
“Salah satu tanggung jawab perusahaan sebetulnya ya memang
harus mampu menggerakan perekonomian desa. Dari awal kita
juga diminta untuk mampu membuka peluang pekerjaan, hingga
membantu kegiatan ekonomi ataupun sosial di desa. Itu semua
sudah perusahaan lakukan sebetulnya, walaupun pada akhirnya
sering muncul pro dan kontra.”
Dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan persepsi
terhadap tingkat aktivitas ekonomi desa dapat dilihat pada pada Tabel 14.
91
Tabel 14 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
terhadap tingkat aktivitas ekonomi desa
No Pernyataan
Presentase (%) Total (%)
MKJ RCP
S N TS S N TS MKJ RCP
1
Aktivitas
penambangan pasir
menyebabkan
menurunnya daya
beli masyarakat
3.33 63.33 33.33 13.33 76.67 10.00 100.00 100.00
2
Aktivitas
penambangan pasir
menyebabkan
aktivitas transaksi
jual beli di Desa
menurun
3.33 70.00 26.67 36.67 60.00 3.33 100.00 100.00
3
Aktivitas
penambangan pasir
menyebabkan
menurunnya
frekuensi orang
yang keluar Desa
untuk melakukan
jual beli
66.67 30.00 3.33 50.00 36.67 13.33 100.00 100.00
4
Aktivitas
penambangan pasir
menyebabkan
warung kelontong
di Desa semakin
sepi
3.33 56.67 40.00 46.67 53.33 0.00 100.00 100.00
5
Aktivitas
penambangan pasir
menyebabkan
warung makan di
Desa semakin sepi
10.00 43.33 46.67 43.33 46.67 10.00 100.00 100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju,
MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
Berdasarkan Tabel 14 maka dapat dilihat jika mayoritas jawaban
responden dari kedua Desa memiliki pola dan kecenderungan yang sama.
Berikut adalah penjelasannya:
1. Baik untuk Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku, pernyataan yang
menyatakan, aktivitas penambangan pasir menyebabkan
menurunnya daya beli dan transaksi jual beli masyarakat, dijawab
oleh mayoritas responden dengan pilihan netral sebesar 60.00 –
76.67 persen. Berdasarkan penuturan salah satu responden dari Desa
Mekarjaya, menurutnya memang dapat dikatakan jika pasca
masuknya industri pertambangan pasir transaksi jual beli di Desa
menjadi meningkat, khsusunya sekitar tiga atau empat tahun
belakangan ini, namun menurutnya itu hanya terjadi pada awal-
92
awalnya saja, sekarang bahkan transaksi atau jual beli di tingkat
Desa terlihat semakin menurun, hal ini diindikasikan dari semakin
sedikitnya masyarakat Desa yang berlama-lama di warung kopi atau
warung makan, hingga semakin jarang terlihatnya orang keluar Desa
untuk membeli kebutuhan sehari-hari atau menjual hasil pertanian
atau perikanan. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan
responden dari Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku sebesar 50.00
dan 66.67 persen yang setuju dengan pernyataan, aktivitas
penambangan pasir menyebabkan menurunnya frekuensi orang yang
keluar Desa untuk melakukan jual beli.
2. Terkait dengan peluang usaha baru dan semakin ramainya warung
kelontong atau warung makan di Desa akibat dari keberadaan
perusahaan tambang, sebesar 46.67 – 56.67 persen responden dari
Desa Mekarjaya setuju dengan pernyataan tersebut. Namun berbeda
dengan sebagian besar responden dari Desa Rancapaku, dimana
sebesar 46.67 – 50.00 persen responden tidak setuju dengan
pernyataan yang menyatakan warung kelontong atau warung makan
menjadi semakin ramai dengan adanya kegiatan atau keberadaan
pertambangan pasir. Hal ini kembali lagi dipengaruhi dengan posisi
atau lokasi Desa, dimana di Desa Mekarjaya merupakan salah satu
pusat dari aktivitas pertambangan pasir yang terdapat di Kecamatan
Padakembang, sedangkan Desa Rancapaku sama sekali tidak
terdapat perusahaan atau industri pertambangan, dan bahkan truk-
truk pembawa material pasir dilarang lewat di kawasan ini. Padahal
seperti yang dikatakan oleh salah seorang responden dari Desa
Mekarjaya, semenjak maraknya aktivitas pertambangan baik
pendapatan warung makan ataupun warung kelontong menjadi
meningkat tajam, terlebih untuk warung yang buka hingga larut
malam.
Walaupun secara garis besar responden di Desa Mekarjaya setuju
dengan pernyataan yang menyatakan keberadaan perusahaan tambang
membuat baik warung kelontong atau warung makan menjadi ramai, namun
menurut salah seorang responden tidak semuanya dapat bertahan dan
memanfaatkan peluang tersebut, pasalnya supir truk yang beristirahat itu
umumnya secara bergerombol atau ramai-ramai, sehingga ketika mereka
sudah nyaman berada di satu lokasi atau warung, mereka akan enggan untuk
berpindah-pindah lagi. Seperti halnya yang dialami oleh ibu TIN (46 tahun)
yang merupakan warga Desa Mekarjaya yang sempat mencoba membuka
warung makan di pinggiran jalan Desa Mekarjaya:
“Dulu waktu awalnya itu dikasih tahu teman, katanya ramai
disana, banyak yang nongkrong, apalagi kalau sore atau malam
kan suka banyak yang istirahat. Tapi baru jalan hampir satu
tahun sudah mau bangkrut itu (warung) punya saya. Soalnya
kalau supir itu sudah pada punya tempat istirahat sendiri, jadi
ternyata kalau sore atau malam hari ya sudah sepi.”
93
Namun walaupun demikian, bagi sebagian orang lainnya ramainya jalan
utama masih menjadi sesuatu yang menjanjikan. Diantaranya adalah ibu
MMN (56 tahun), beliau merupakan warga kampung Kubangeceng, Desa
Mekarjaya yang baru saja memulai usahanya berjualan makanan rumahan di
sekitar jalan utama di Desa Mekarjaya:
“Disini ibu jualan belum sampai satu bulan. Ibu tertarik soalmya
disini ramai, apalagi kalau hari sabtu – minggu, banyak juga
wisatawan dari dalam atau luar kota yang datang. Tapi kalau
hari biasa ya “untung-untungan” saja, kalau sopir (truk) gitu
agak jarang kesini. Paling di warung bawah (daerah Desa
Cisaruni, Kec. Mekarjaya) atau daerah dekat jembatan (daerah
Desa Tawangbanteng, Kec. Sukaratu) pada ngumpulnya. Jadi
kalau ditanya keuntungan warung setelah adanya tambang mah
sebenernya emang mungkin menguntungkan buat warga, tapi
satu dua orang aja.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, kesimpulan yang dapat diambil
adalah bahwa pada dasarnya keberadaan perusahaan pertambangan pasir
cukup berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi Desa. Diantaranya adalah
dampaknya terhadap frekuensi orang yang keluar Desa untuk melakukan
jual beli. Pernyataan tersebut ditanggapi secara negatif oleh mayoritas
responden baik di Desa Mekarjaya ataupun Desa Rancapaku, hal ini cukup
beralasan dikarenakan jalan utama yang juga dipergunakana untuk jalur truk
pembawa material pasir telah menyebabkan jalanan rusak parah, sehingga
tidak jarang membuat masyarakat menjadi terhambat atau bahkan enggan
untuk berpergian. Bahkan sebagian responden juga mengatakan, tidak
jarang masyarakat terlebih ibu-ibu yang mengambil jalur memutar untuk
menghindari jalan rusak dan juga truk. Membayar ongkos bahan bakar lebih
besar menurutnya lebih baik daripada harus melewati jalanan yang rusak
dan debu-debu yang dihasilkan oleh truk-truk pengangkut pasir.
94
Ikhtisar
Secara garis besar, baik Desa Mekarjaya (Desa yang berada dekat
dengan aktivitas pertambangan pasir) dan Desa Rancapaku (Desa yang
berada jauh dengan aktivitas pertambangan pasir) memiliki kecenderungan
jawabannya masing-masing terkait dengan keberadaan perusahaan tambang
pasir. Perbedaan dan perbandingan dampak ekologi, sosial dan ekonomi
masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku dapat dilihat pada
Gambar 7:
Gambar 6 Perbandingan dampak pertambangan pasir Desa Mekarjaya dan
Desa Rancapaku
Berdasarkan Gambar 6 dapat disimpulkan, baik pada aspek sosial maupun
ekonomi, dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat Desa Rancapaku
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat Desa Mekarjaya.
Namun untuk aspek ekologi, masyarakat Desa Mekarjaya memiliki
persentase ke arah negatif yang lebih tinggi.
Desa Mekarjaya yang terletak di hulu, dan Desa Rancapaku yang
terletak di hilir pada akhirnya menjadi salah satu faktor alasan mengapa
dampak ekologi di Desa Rancapaku menjadi lebih krusial. Konsekuensi
letak Desa ditambah sebagian besar kampung atau dusun di kawasan Desa
Rancapaku yang terlewati aliran sungai Cikunir menjadikan berbagai
permasalahan ekologis lebih tampak di kawasan ini. Berikut dampak negatif
ekologi yang terdapat di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku:
1. Kualitas air yang memburuk, khususnya air yang mengalir melalui
sungai. Selain menjadi tidak dapat dikonsumsi, air tersebut juga
menyebabkan munculnya endapan pasir yang mengancam eksistensi
mata pencaharian warga yang beternak ikan dan juga petani, baik di
Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku.
2. Kualitas udara yang memburuk, khususnya untuk Desa Mekarjaya
dimana kawasan Desa ini memang terdapat aktivitas pertambangan
0
5
10
15
20
25
30
DampakEkologi
DampakSosial
DampakEkonomi
DampakEkologi
DampakSosial
DampakEkonomi
Desa Mekarjaya Desa Rancapaku
Fre
ku
ensi
Perbandingan Dampak Ekologi, Sosial dan Ekonomi Aktivitas
Pertambangan Pasir di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
95
dan jalur Desanya dimanfaatkan untuk pengangkutan pasir oleh truk-
truk besar. Selain itu, hal ini juga berimplikasi terhadap jalanan di
Desa dan Kecamatan yang rusak parah. Bahkan tidak jarang
menyebabkan warga dari Desa Rancapaku mengambil jalur yang
lebih jauh untuk menghindari jalanan rusak yang kurang lebih
sepanjang 1.5 kilometer tersebut.
3. Kerentanan terhadap bencana alam seperti longsor dan banjir yang
semakin mengancam masyarakat. Terlebih untuk Desa Rancapaku,
penyusutan ukuran Sungai Cikunir yang juga melewati sebagian
besar pemukiman warga menyebabkan bencana banjir lebih sering
terjadi ketika turun hujan besar.
4. Jumlah hutan, sawah dan pekarangan warga yang semakin
berkurang. Walaupun berada di kawasan pegunungan, namun
keasrian dan segarnya udara pegunungan sulit ditemukan di kawasan
ini. Khususnya di kawasan Desa Mekarjaya yang telah menjadi
primadona dan lokasi strategis penambangan pasir sejak era orde
baru.
Selain dampak ekologi, dampak sosial juga merupakan suatu aspek
yang sangat sensitif jika dikaitkan dengan keberadaan perusahaan
pertambangan pasir. Polarisasi masyarakat menjadi setuju dan tidak setuju
dengan aktivitas penambangan pasir, hingga memunculkan konflik-konfik
baik antara masyarakat dengan swasta, pemerintah atau bahkan dengan
masyarakat itu sendiri. Berikut dampak negatif sosial yang terdapat di Desa
Mekarjaya dan Desa Rancapaku:
1. Mayoritas masyarakat di Desa Rancapaku menyatakan kehadiran
perusahaan pertambangan pasir telah merebut hak-hak dan tidak
memperhatikan kepentingan masyarakat. Walaupun terdapat
kompensasi seperti bantuan pasir untuk pembangunan masjid atau
kegiatan sosial lainnya, bagi masyarakat Desa Rancapaku hal
tersebut tidak berarti apa-apa. Namun bagi Desa Mekarjaya,
bantuan-bantuan tersebut cukup memberikan kompensasi atas
keberadaan perusahaan tambang di Desanya disamping terbukanya
peluang kerja dan usaha baru, namun mayoritas masyarakat Desa
Mekarjaya tetap menyatakan perusahaan pertambangan tetap telah
merebut hak-hak masyarakat, khususnya hak atas lingkungan yang
sehat dan air yang bersih.
2. Bagi masyarakat Desa Rancapaku, kehadiran perusahaan tambang
tidak hanya menimbulkan rasa tidak suka, namun juga hingga
menimbulkan rasa curiga dan bahkan kebencian. Hal ini hampir
berbanding terbalik dengan persepsi masyarakat di Desa Mekarjaya.
Namun baik untuk Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku, keduanya
sama-sama memiliki rasa curiga terhadap pihak pemerintah dalam
kaitannya dengan keberadaan perusahaan pertambangan pasir.
3. Munculnya konflik dan gerakan sosial masyarakat yang memprotes
keberadaan perusahaan pertambangan. Namun baik Desa Rancapaku
dan Desa Mekarjaya memiliki cara protes yang berbeda, dimana
Desa Rancapaku melakukannya dengan aksi long-march secara
96
bersama-sama yang tidak jarang mengarah pada aksi-aksi anarkis,
sedangkan Desa Mekarjaya melakukannya dengan memanfaatkan
ruang publik, spanduk, surat-surat teguran dan lainnya yang
cenderung dilakukan perorangan.
4. Cara pandang lingkungan sebagian masyarakat baik di Desa
Mekarjaya maupun Desa Rancapaku memiliki perubahan ke arah
yang negatif pasca kehadiran aktivitas pertambangan pasir. Tidak
jarang apatisme ini ditunjukkan warga dengan membuang sampah
sembarangan, atau bahkan memudarnya kebiasaan gotong royong
warga dalam membersihkan lingkungan.
Pada aspek eknomi, dampak negatif juga lebih cenderung menonjol
pada Desa Rancapaku, yakni di Desa yang berada jauh dengan lokasi
pertambangan. Begitupun dengan di Desa Mekarjaya, walaupun dapat
dikatakan ada manfaat positif yang diakibatkan oleh keberadaan perusahaan
pertambangan, namun hal tersebut tidaklah berpengaruh secara krusial.
Berikut dampak negatif ekonomi yang terdapat di Desa Mekarjaya dan Desa
Rancapaku:
1. Keberadaan perusahaan pertambangan pasir pada akhirnya tidak
mempengaruhi peningkatan tingkat pendapatan masyarakat secara
berarti. Hanya sedikit masyarakat Desa Mekarjaya yang bekerja di
perusahaan tambang, dan hal tersebut nyatanya juga tidak mampu
memberikan keadilan dan peningkatan ekonomi masyarakat.
2. Peluang kerja di sektor pertambangan sangatlah minim, bahkan
dapat dikatakan pekerjaan sektor ini hanya terbuka untuk pekerjaan
buruh tambang dan supir truk. Pada akhirnya hal ini juga yang
menjadi salah satu faktor penyebab masyarakat Desa Mekarjaya
ataupun Rancapaku lebih memilih bekerja di sektor non
pertambangan, bahkan banyak masyarakat yang lebih memilih
merantau hingga ke kota-kota besar untuk menjadi buruh kasar
dibanding menjadi buruh tambang di Desanya sendiri.
3. Telah terjadi penurunan aktivitas ekonomi di desa. Hal ini
diantaranya diindikasikan dengan sepinya warung kelontong ataupun
warung makan baik di Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku,
tempat yang ketika dulu sering dimanfaatkan warga untuk bersantai
atau berdiskusi tersebut menurut sebagian warga saat ini cenderung
lebih sepi, terlebih pada siang hari dimana sedang terjadi puncak
aktivitas penambangan pasir. Bahkan lebih jauh, hal ini juga
berdampak pada keengganan masyarakat untuk melakukan jual beli
keluar Desa.
Pada dasarnya, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya pada
masing-masing indikator baik pada aspek ekologi, sosial maupun ekonomi,
dapat dikatakan bahwa memang aktivitas pertambangan pasir yang
dilakukan di kawasan Gunung Galunggung ini telah memberikan suatu
perubahan kondisi yang secara esensial terhadap masyarakat di Desa
Mekarjaya dan Desa Rancapaku. Namun permasalahan-permasalahan yang
muncul tersebut juga dapat dikatakan merupakan permasalahan klasik yang
97
memang selalu dapat ditemui di kawasan sekitar lokasi pertambangan. Baik
dengan penelitian yang dilakukan di Kecamatan Rumpin pada tahun 2011
(Sulton 2011), ataupun penelitian yang di lakukan di kawasan Gunung
Merapi pada tahun terkait dengan kehadiran perusahaan tambang galian
golongan C (Yudishtira, Hidayat, Hadiyanto 2011), memang permasalahan
utamanya selalu terletak pada beberapa aspek berikut, diantaranya adalah
berkurangnya debit dan juga degradasi kualitas air permukaan dan mata air,
aktivitas dan proses penambangan yang membuat jalanan rusak dan juga
mendatangkan polusi udara, ancaman krisis ekologi dan bencana alam, serta
konflik yang diakibatkan oleh persaingan pekerjaan dan ketidakadilan sosial
dan juga ekonomi.
Dibalik berbagai dampak negatif tersebut, namun terdapat juga
dampak positif yang dirasakan oleh pihak masyarakat maupun pemerintah.
Walaupun dampak positif tidak terlalu nyata terlihat, namun berikut adalah
beberapa dampak positif dari keberadaan perusahaan pertambangan pasir:
1. Keberadaan perusahaan pertambangan pasir secara tidak langsung
membuka peluang usaha baru. Hal ini khususnya dimanfaatkan oleh
masyarakat Desa Mekarjaya yang bertempat tinggal di dekat lokasi
tambang. Terbukti pasca banyaknya supir truk dan pekerja tambang,
banyak bermunculan warung-warung makan di sekitar lokasi
tambang yang kerap dimanfaatkan oleh pekerja tersebut untuk
beristirahat. Selain itu, peluang usaha juga memang terbuka untuk
mereka yang memiliki modal, diataranya seperti peluang usaha
pabrik pembuatan batako.
2. Adanya bantuan materi dari pihak perusahaan pertambangan untuk
kegiatan pembangunan dan kegiatan sosial di Desa. Walaupun tidak
mendapat respons yang baik dari seluruh warga, namun bantuan
yang diberikan oleh pihak pertambangan ini setidaknya telah
berkontribusi dalam membangun jalan bahkan hingga fasilitas Desa
lainnya.
Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat dilihat adanya
kontradiksi dan hal yang tidak berimbang antara dampak positif dan juga
dampak negatif yang ditimbulkan dengan keberadaan perusahaan
pertambangan pasir. Hal ini juga pada akhirnya berkaitan dengan bagaimana
ideologi dan orientasi kepentingan para aktor yang terlibat di dalamya.
Terbukti hampir selama tiga puluh tahun pasir Galunggung dimanfaatkan
oleh kapitalis, kejelasan regulasi dan penanggulangan atas berbagai dampak
tersebut tidak pernah ada yang berarti dan dapat menyentuh akar
permasalahan didalamnya. Terlebih permasalahan lingkungan merupakan
permasalahan kompleks yang saling terintegrasi dengan aspek-aspek
lainnya. Sudah seharusnya fakta di atas menjadi salah satu langkah untuk
menghadirkan solusi atas dampak ekologi, sosial dan ekonomi akibat
pertambangan pasir di Gunung Galunggung yang seharusnya didukung oleh
seluruh stakeholders terkait.
98
99
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan pemaparan data dan deskripsi pada pembahasan skripsi
ini, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut:
1. Terdapat tiga aktor besar yang terlibat dalam kontestasi kepentingan
atas pertambangan pasir di kawasan Gunung Galunggung, yakni
masyarakat, pemerintah dan swasta. Masing-masing aktor tersebut
memiliki ideologi dan cara pandang yang berbeda. Aktor masyarakat
cenderung memiliki ideologi populisme serta menekankan pada
kesejahteraan dan biocentrism, aktor swasta cenderung memiliki
ideologi yang berorientasi pada profit dan pandangan yang
antroposentris, sedangkan pemerintah cenderung memiliki ideologi
developmentalism dan pandangan yang antroposentris. Pihak
masyarakat yang mengidamkan kesejahteraan justru menjadi aktor
yang menempati posisi paling inferior, terlebih pasca tahun 2000
dimana industri pertambangan cenderung berorientasi padat modal.
Orientasi pihak swasta yang cenderung mementingkan profit semata
hanya semakin memperparah keadaan, tidak jarang hal ini juga pada
akhirnya memunculkan protes atau gelombang pergerakan di lapisan
masyarakat sipil yang menuntut adanya keadilan atas tidak
berimbangnya keuntungan yang diperoleh antara masyarakat dan
pihak swasta. Keberadaan perusahaan tambang yang seharusnya
mampu mensejahterakan masyarakat, justru malah menciptakan
kesenjangan yang baru. Lemahnya law enforcement juga
menyebabkan celah penyimpangan kebijakan dapat dengan mudah
disusupi. Terbukti dengan aturan atau perizinan yang tidak melalui
proses semestinya, mengindikasikan adanya deal politik yang terjadi
antara oknum pemerintah dengan swasta. Padahal, permasalahan
pertambangan di Gunung Galunggung merupakan permasalahan
kompleks yang membutuhkan penyelesaian komperhensif
stakeholders terkait yang didukung dengan paradigma pencapaian
kepentingan dan kesejahteraan bersama.
2. Telah terjadi perubahan ekologi, sosial dan ekonomi baik di Desa
Mekarjaya maupun Desa Rancapaku, namun secara esensial,
dampak negatif justru lebih dirasakan oleh masyarakat Desa
Rancapaku yang merupakan desa yang berada jauh dengan lokasi
pertambangan. Perubahan yang terjadi tidak hanya berada pada
tataran fisik, namun juga mendalam dan secara langsung menyentuh
kehidupan masyarakat. Namun pada akhirnya, respons masyarakat
terkait perubahan tersebut juga relevan dengan ideologi aktor serta
bagaimana dinamika sosial yang terjadi di dalamnya. Respons
ekologi politik yang kompromistik pada Desa Mekarjaya dinilai
sebagai representasi “ketergantungan” ekonomi baik secara langsung
maupun tidak langsung dan juga kedekatan sosial antara masyarakat
dengan pihak pertambangan. Lain halnya dengan respons radikal
100
yang ditunjukkan sebagian masyarakat di Desa Rancapaku yang
menunjukkan adanya paradigma “nothing to lose”. Namun secara
garis besar, perubahan yang telah terjadi akibat aktivitas
penambangan pasir adalah: (a) degradasi kualitas air dimana
sebagian besar sumber air di tingkat Desa telah tercemar oleh limbah
penambangan pasir (b) lalu lalang truk pengangkut pasir yang
menyebabkan udara dipenuhi debu dan jalan yang hancur yang pada
akhirnya menghambat mobilitas masyarakat (c) bencana banjir dan
longsor yang diakibatkan oleh penyusutan sungai dan konversi lahan
untuk kepentingan penambangan (d) konflik baik laten maupun
manifes yang bersifat horizontal dan juga vertikal (e) munculnya
apatisme masyarakat terhadap kelestarian lingkungan (f) munculnya
peluang usaha dan kerja baru baik yang secara langsung maupun
tidak langsung diakibatkan oleh keberadaan penambangan pasir.
Saran
1. Perlu adanya tindakan penanggulangan limbah secara spesifik dan
serius oleh pihak swasta dengan melibatkan masyarakat dan
pemerintah secara mutlak, baik dari hulu hingga hilir. Terlebih
mengingat aktivitas penambangan pasir di kawasan Gunung
Galunggung telah dilakukan sejak lama, dimana sudah terdapat
belasan atau bahkan puluhan perusahaan tambang yang keluar-
masuk untuk melakukan pengerukan pasir di kawasan ini. Sehingga
pemulihan kondisi lingkungan dan pemberhentian aktivitas
pertambangan secara temporer mungkin dapat menjadi opsi yang
harus dipertimbangkan secara khusus.
2. Kebijakan afirmatif yang pro-rakyat di tingkat daerah perlu
diciptakan untuk mendukung sinergi yang saling menguntungkan
antar stakeholders terkait. Law enforcement dan revolusi mental para
elite juga perlu ditekankan untuk menciptakan regulasi yang sesuai
amanat konstitusi dan tendensi populisme yang sejati. Kebebasan
pemerintah yang berlandaskan otonomi daerah seharusnya mampu
menjadikan pihak pemerintah mampu mengelola objek tambang
pasir di kawasan Gunung Galunggung menjadi objek yang memiliki
nilai jual dan posisi pasar yang strategis, dimana selain dapat
memeberikan peningkatan pendapatan asli daerah namun juga dapat
memberi peningkatan pendapatan bagi masyarakat.
3. Perlu adanya transparansi dan pelibatan masyarakat di sekitar
kawasan pertambangan dalam kaitannya dengan proses perizinan
ataupun pengelolaan dampak lingkungan di kawasan Gunung
Galunggung. Terlebih dengan berbagai dampak negatif yang
ditimbulkan pasca aktvitas penambangan pasir baik pada aspek
ekologi, sosial maupun ekonomi, baik pihak pemerintah maupun
pihak swasta seharusnya dapat lebih terbuka dan memperhatikan
kepentingan masyarakat untuk meminimalisir dampak negatif yang
terus semakin memburuk.
101
DAFTAR PUSTAKA
Antoro KS. 2010. Konflik-konflik sumberdaya alam di kawasan
pertambangan pasir besi: studi implikasi otonomi daerah (studi kasus
di kabupaten Kulon Progo provinsi daerah istimewa Yogyakarta).
[tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 149 hal.
Bertens K. 1993. Etika. Jakarta [ID]: PT Gramedia Pustaka Utama. 328 hal.
Dharmawan AH. 2006. Mewujudkan good ecological governance dalam
pengelolaan sumberdaya alam. [Internet]. [diunduh 3 Februari 2014].
Dapat diunduh dari:
http://www.psp3.ipb.ac.id/file/Studi_Pembangunan_Lingkungan2006.
pdf.
_____. 2007. Dinamika sosio-ekologi pedesaan: perspektif dan pertautan
keilmuan ekologi manusia, sosiologi lingkungan dan ekologi politik.
Sodality. [Internet]. [diunduh 5 Februari 2014]. 1(1): 1-40. Dapat
diunduh dari:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46436/arya%2
0hadi%20dharmawan_001.pdf?sequence=3.
Erwiantono. 2004. Hubungan antara karakteristik komunikasi dan sikap
komunitas terhadap perusahaan (kasus pertambangan timah di
Kabupaten Bangka Barat) [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian
Bogor. 115 hal.
Hakri, Dadang. 2011 9 Sep. Masyarakat Desak moratorium penambangan
pasir Galunggung. [Internet]. [diunduh 18 April 2014]. Tunas Bangsa.
Utama: [tidak ada nomor halaman dan kolom]. Dapat diunduh dari:
http://www.tubasmedia.com/berita/masyarakat-Desak-moratorium-
penambangan-pasir-galunggung/.
Kartodihardjo H. 2008. Pengelolaan sumberdaya alam (SDA): Krisis
ekologi dan masalah di baliknya. [Internet]. [diunduh 6 Februari
2014]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Dapat diunduh dari:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/41924/pengelo
laan%20sumbet%20daya%20alam%20%28SDA%29.pdf?sequence=.
Keraf AS. 2010. Etika lingkungan hidup. Jakarta [ID]: Kompas. 408 hal.
Lay C. 2007. Nilai strategis isu lingkungan dalam politik Indonesia. Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. [Internet]. [dikutip 11 Oktober 2013].
11(2): 153-172. Dapat diunduh dari:
http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/download/51
/42.
102
Nugraha I. 2013 22 Des. Konflik agraria 2013 meningkat, 21 warga tewas,
30 tertembak. [Internet]. [diunduh 5 Februari 2014]. Mongabay.
Utama: [tidak ada nomor halaman dan kolom]. Dapat diunduh dari:
http://www.mongabay.co.id/2013/12/22/konflik-agraria-2013-
meningkat-21-warga-tewas-30-tertembak/.
Otonomi belum sejahterakan rakyat. 2011 7 Des. [Internet]. [diunduh 12
Oktober 2013]. Kompas. Nasional : [tidak ada nomor halaman dan
kolom]. Dapat diunduh dari:
http://nasional.kompas.com/read/2011/12/07/04254547/Otonomi.Belu
m.Sejahterakan.Rakyat.
[PP] Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
Pertiwi HD. 2011. Dampak keberadaan perusahaan pertambangan batubara
terhadap aspek ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat di era
otonomi daerah (kasus: Kelurahan Sempaja Utara, Kecamatan
Samarinda Utara, Kota Samarinda). [skripsi]. Bogor [ID]: Institut
Pertanian Bogor.
Raharja S. 2011. Pendidikan berwawasan ekologi: pemberdayaan
lingkungan sekitar untuk pembelajaran. [Internet]. [diunduh pada 24
Juni 2013]. Dapat diakses pada:
http://eprints.uny.ac.id/137/1/PENDIDIKAN_BERWAWASAN_EK
OLOGI.pdf.
Riswan O. 2013 6 Nov. 2.300 hektare rusak akibat tambang pasir besi.
[Internet]. [diunduh 3 Februari 2013]. Sindo. Metro : [tidak ada nomor
halaman dan kolom]. Dapat diunduh dari:
http://metro.sindonews.com/read/2013/11/06/21/802219/2-300-
hektare-rusak-akibat-tambang-pasir-besi.
Samad F. 2013. Dampak pertambangan nikel terhadap sosial - ekonomi -
ekologi masyarakat di Kecamatan Wasile Kabupaten Halmahera
Timur. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 84 hal.
Soemarwotto O. 1997a. Analisis mengenai dampak lingkungan. Yogyakarta
[ID]: Gadjah Mada University. 326 hal.
_____. 1997b. Ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan. Jakarta [ID]:
Djambotan. 381 hal.
Sulton A. 2011. Dampak aktivitas pertambangan bahan galian golongan C
terhadap kondisi kehidupan masyarakat Desa. [skripsi]. Bogor [ID]:
Institut Pertanian Bogor. 120 hal.
103
Suriansyah EA. 2009. Dampak pertambangan terhadap fungsi ekonomi
lingkungan dan pendapatan masyarakat. [tesis]. Bogor [ID]: Institut
Pertanian Bogor. 106 hal.
Tarmansyah US. 2011 29 Jun. Dampak negatif otonomi daerah dan peran
dephan dalam pendayagunaan sumber daya nasional untuk
kepentingan pertahanan negara. [Internet]. [diunduh 5 Februari 2014].
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pertahanan RI.
Utama: [tidak ada nomor halaman dan kolom]. Dapat diunduh dari:
http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/dampak-negatif-
otonomi-daerah-dan-peran-dephan-dalam-pendayagunaan-sumber-
daya-nasional-untu.
Thoha M. 2004. Perilaku organisasi: Konsep dasar dan aplikasinya. Jakarta
(ID): PT Raja Grafiindo Persada. 375 hal.
[UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan.
[UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air.
[UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral Dan Batubara.
[UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Wihardandi A. 2012 15 Feb. Lemah tegakkan hukum, akan perparah konflik
lahan akibat tambang. [Internet]. [diunduh 16 Maret 2014].
Mongabay. Utama: [tidak ada nomor halaman dan kolom]. Dapat
diunduh dari: www.mongabay.co.id/2012/08/15/lemah-tegakkan-
hukum-akan-perparah-konflik-lahan-akibat-tambang/.
Yudhistira, Hidayat, Hadiyanto. 2011. Kajian dampak kerusakan lingkungan
akibat kegiatan penambangan pasir di Desa keningar daerah kawasan
Gunung Merapi. Jurnal Ilmu Lingkungan. 09 (02): 76-84. [Internet].
[diunduh 20 Mei 2014]. Dapat diunduh dari:
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/ilmulingkungan/article/view/407
2/pdf.
Zabila N. 2013. Persepsi dan partisipasi wanita tani dalam kegiatan
optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP) P2KP. [skripsi]. Bogor
[ID]: Institut Pertanian Bogor. 92 hal.
104
105
LAMPIRAN
106
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian: Desa Mekarjaya
107
Lampiran 2 Peta lokasi penelitian: Desa Rancapaku
108
Lampiran 3 Kuesioner penelitian
KUESIONER PENELITIAN
DAMPAK PERTAMBANGAN PASIR TERHADAP KONDISI
EKOLOGI, SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT
PEDESAAN GUNUNG GALUNGGUNG
A. IDENTITAS RESPONDEN
Nama lengkap :
No. Telp. / HP :
Jenis kelamin : ( ) L / ( ) P
Umur : Tahun.
Suku :
Alamat :
Lama tinggal di lokasi : Tahun.
Pendidikan terakhir : ( ) Tidak Sekolah
( ) SD (Tamat/Tidak Tamat)
( ) SMP (Tamat/Tidak Tamat)
( ) SMA (Tamat/Tidak Tamat)
( ) Universitas (Tamat/Tidak Tamat)
( ) Lainnya.........
Status kependudukan : ( ) Asli
( ) Pendatang, dari…………
Status perkawinan : ( ) Belum menikah
( ) Menikah
( ) Cerai Hidup
( ) Cerai Mati
Pekerjaan utama : ( ) Petani
( ) Buruh Tani
( ) Peternak Ikan
( ) Pegawai Swasta (Buruh)
( ) Wiraswasta
( ) Pelajar
( ) Lainnya:………………….
Pekerjaan sampingan :
No. Responden : ……………………………………….................
Nama Responden : .............................................................................
Lokasi Wawancara : .............................................................................
Hari/Tanggal Wawancara : .............................................................................
109
B. DAMPAK EKOLOGI
Berilah tanda (X) pada pernyataan dibawah ini pada kolom yang telah
disediakan. Isi kolom tersebut sesuai dengan dampak yang ditimbulkan oleh
aktivitas pertambangan pasir terhadap perubahan kondisi ekosistem dan/atau
lingkungan, sesuai dengan yang anda rasakan.
Keterangan:
o S = Setuju
o N = Netral
o TS = Tidak Setuju
I. Persepsi Terhadap Tingkat Degradasi Kualitas Air
No Pernyataan S N TS
1.
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan air menjadi tidak
jernih (keruh)
2.
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan warna air menjadi
berwarna gelap
3.
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan air dipenuhi oleh
endapan pasir / butir-butir batuan
halus
4.
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan air bersih lebih sulit
diperoleh
5.
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan air menjadi berbau
tidak sedap (seperti bau besi,
lumpur dsj)
II. Persepsi Terhadap Tingkat Kerentanan Terhadap Bencana
No Pernyataan S N TS
6. Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan terjadinya banjir
7.
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan tanah menjadi tidak
subur
8. Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan terjadinya longsor
9.
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan jalan di Desa banyak
yang berlubang
10.
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan mobilitas masyarakat
terhambat
110
III. Persepsi Terhadap Tingkat Polusi Melalui Udara
No Pernyataan S N TS
11. Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan udara dipenuhi debu
12.
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan jalan atau rumah
dipenuhi debu
13.
Aktivitas penambangan pasir
menimbulkan kebisingan yang
mengganggu
14.
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan masyarakat enggan
berlama-lama di luar rumah
15.
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan masyarakat lebih
mudah terserang penyakit (ISPA)
IV. Persepsi Terhadap Tingkat Alih Fungsi Lahan
No Pernyataan S N TS
16.
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan jumlah hutan
berkurang
17.
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan banyak fauna yang
punah / berkurang
18.
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan banyak flora yang
punah / berkurang
19.
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan jumlah atau luas
sawah menjadi berkurang
20.
Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan luas pekarangan atau
kebun warga menjadi berkurang
111
C. DAMPAK SOSIAL
Berilah tanda (X) pada pernyataan dibawah ini pada kolom yang telah
disediakan. Isi kolom tersebut sesuai dengan dampak yang ditimbulkan oleh
aktivitas pertambangan pasir terhadap perubahan kondisi sosial dan
interaksi antar aktor (masyarakat, pemerintah, dan swasta) serta lingkungan,
sesuai dengan yang anda rasakan.
I. Persepsi Terhadap Keberadaan Perusahaan Tambang Pasir
No. Pernyataan S N TS
1 Aktivitas penambangan pasir
yang dilakukan Perusahaan
Tambang Pasir tidak
memperhatikan kepentingan
masyarakat sekitar
2 Aktivitas penambangan pasir
yang dilakukan oleh
Perusahaan Tambang Pasir
tidak sesuai dengan janji /
kesepakatan awal ketika
melakukan perizinan
3 Aktivitas penambangan pasir
yang dilakukan oleh
Perusahaan Tambang Pasir
telah mengabaikan hak
ekonomi yang seharusnya
masyarakat peroleh
4 Aktivitas penambangan pasir
yang dilakukan oleh
Perusahaan Tambang Pasir
telah mengabaikan hak atas
lingkungan yang seharusnya
masyarakat peroleh
5 Aktivitas penambangan pasir
yang dilakukan oleh
Perusahaan Tambang Pasir di
Kecamatan Padakembang
merupakan penyebab
terjadinya perselisihan di
masyarakat
112
II. Persepsi Terhadap Hubungan Antar Aktor
No. Pernyataan S N TS
6 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan rasa tidak suka
antara masyarakat dengan
pihak Perusahaan Tambang
Pasir
7 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan rasa tidak
percaya antara masyarakat
dengan pihak Perusahaan
Tambang Pasir
8 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan rasa saling
curiga antara masyarakat
dengan pihak Perusahaan
Tambang Pasir
9 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan renggangnya
hubungan antara masyarakat
dengan pihak Perusahaan
Tambang Pasir
10 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan kebencian antara
masyarakat dengan pihak
Perusahaan Tambang Pasir
11 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan rasa tidak suka
antara masyarakat dengan
pihak pemerintah
12 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan rasa tidak
percaya antara masyarakat
dengan pihak pemerintah
13 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan rasa saling
curiga antara masyarakat
dengan pihak pemerintah
14 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan renggangnya
hubungan antara masyarakat
dengan pihak pemerintah
15 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan kebencian antara
masyarakat dengan pihak
pemerintah
113
III. Persepsi Terhadap Konflik Sosial
No. Pernyataan S N TS
16 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan masyarakat
kerap mendapat teguran dari
pihak tertentu
17 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan masyarakat
kerap mendapat terror dari
pihak tertentu
18 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan masyarakat
kerap mendapat ancaman dari
pihak tertentu
19 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan masyarakat
melakukan aksi demonstrasi
secara halus (pemogokan, long
march, dll)
20 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan masyarakat
melakukan demonstrasi secara
radikal (kekerasan, perusakan,
dll)
IV. Persepsi Terhadap Cara Pandang Lingkungan
No. Pernyataan S N TS
21 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan masyarakat
menjadi acuh terhadap
lingkungan
22 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan masyarakat
menjadi enggan untuk
melakukan kerja bakti
23 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan masyarakat
menjadi enggan untuk
membersihkan lingkungan
sekitar rumah
24 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan masyarakat
menjadi lebih leluasa mencemari
lingkungan
25 Aktivitas penambangan pasir
menyebabkan masyarakat
menjadi lebih leluasa membuang
sampah sembarangan
114
D. DAMPAK EKONOMI
Berilah tanda (X) pada pernyataan dibawah ini pada kolom yang telah
disediakan. Isi kolom tersebut sesuai dengan dampak yang ditimbulkan oleh
aktivitas pertambangan pasir terhadap perubahan pola dan struktur ekonomi,
sesuai dengan yang anda rasakan:
I. Pendapatan Selama Satu Tahun Terakhir
Anggota
Keluarga
Pendapatan (Rp/tahun) dari Jenis Pekerjaan
Utama Sampingan Total
Kepala Keluarga
Istri
Anak
Lainnya……
Total keseluruhan
Catatan:
II. Persepsi Terhadap Tingkat Kesempatan Bekerja
No Pernyataan S N TS
1.
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan
berkurangnya peluang kerja masyarakat di
bidang pertanian
2.
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan
berkurangnya peluang kerja masyarakat di
bidang non-pertanian
3. Aktivitas penambangan pasir menyebabkan
terbatasnya ruang kerja masyarakat
4. Aktivitas penambangan pasir tidak membuka
peluang bekerja bagi masyarakat setempat
5. Aktivitas penambangan pasir didominasi
oleh pekerja dari luar Desa
III. Persepsi Terhadap Tingkat Aktivitas Ekonomi Desa
No Pernyataan S N TS
6. Aktivitas penambangan pasir menyebabkan
menurunnya daya beli masyarakat
7. Aktivitas penambangan pasir menyebabkan
aktivitas transaksi jual beli di Desa menurun
8.
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan
menurunnya frekuensi orang yang keluar
Desa untuk melakukan jual beli
9. Aktivitas penambangan pasir menyebabkan
warung kelontong di Desa semakin sepi
10. Aktivitas penambangan pasir menyebabkan
warung makan di Desa semakin sepi
115
Lampiran 4 Panduan wawancara mendalam
Pedoman Wawancara Mendalam Kepada Aparatur Pemerintah
dan/atau Dinas-Dinas Terkait
Hari dan Tanggal Wawancara :
Lokasi dan Waktu Wawancara :
Nama dan Umur Informan :
Pekerjaan Informan :
• Pra-Kehadiran Perusahaan Tambang Pasir
a. Bagaimana sejarah pemanfaatan sumber daya alam di kawasan
Gunung Galunggung?
b. Sumber daya alam apa saja yang pada saat itu dimanfaatkan?
c. Apakah dalam kaitannya dengan sumber daya alam pasir,
pemerintah memiliki aturan atau regulasi khusus?
d. Secara umum, apa saja manfaat yang timbul setelah pemanfaatan
sumber daya alam tersebut?
e. Secara khusus, apa saja manfaat yang muncul setelah pemanfaatan
sumber daya alam tersebut khususnya bagi masyarakat Desa
Mekarjaya (dan/atau) Desa Rancapaku?
f. Secara umum, apa saja dampak yang timbul setelah pemanfaatan
sumber daya alam di kawasan Gunung Galunggung?
g. Secara khusus, apa saja dampak yang timbul setelah pemanfaatan
sumber daya alam tersebut khususnya bagi masyarakat Desa
Mekarjaya (dan/atau) Desa Rancapaku?
h. Apakah pernah muncul permasalahan-permasalahan terkait
pemanfaatan sumber daya alam tersebut, baik antara pihak
pemerintah dengan pihak swasta, swasta dengan masyarakat, atau
bahkan pemerintah dengan masyarakat?
• Pasca-Kehadiran Perusahaan Tambang Pasir
a. Bagaimana awal mula kehadiran pihak Perusahaan Tambang Pasir
di Kecamatan Padakembang?
b. Siapa saja aktor atau perusahaan-perusahaan yang terlibat?
c. Bagaimana proses AMDAL / UKL-UPL hingga akhirnya muncul
pemberian izin pemanfaatan kawasan terhadap Perusahaan
Tambang Pasir tersebut?
d. Pertimbangan apa yang utama yang akhirnya muncul pemberian
izin pemanfaatan kawasan terhadap Perusahaan Tambang Pasir
tersebut?
e. Apakah sebelum melakukan pemanfaatan ada sosialisasi atau
penjelasan khusus kepada masyarakat baik dari pihak Perusahaan
Tambang Pasir ataupun Pemerintah?
116
f. Secara umum, apa saja manfaat yang timbul setelah adanya
penambangan pasir yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang
Pasir tersebut?
g. Secara khusus, apa saja manfaat yang muncul setelah adanya
penambangan pasir yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang
Pasir tersebut khususnya bagi masyarakat Desa Mekarjaya
(dan/atau) Desa Rancapaku?
h. Secara umum, apa saja dampak yang timbul setelah adanya
penambangan pasir yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang
Pasir tersebut?
i. Secara khusus, apa saja dampak yang timbul setelah adanya
penambangan pasir yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang
Pasir tersebut khususnya bagi masyarakat Desa Mekarjaya
(dan/atau) Desa Rancapaku?
(Pada aspek Ekologi, Sosial dan Ekonomi)
j. Bagaimana tanggung jawab Perusahaan Tambang Pasir tersebut
terhadap dampak-dampak yang ditimbulkan?
k. Pasca kehadiran Perusahaan Tambang Pasir tersebut, apakah
pernah muncul permasalahan-permasalahan lain misalnya, antara
pihak pemerintah dengan pihak swasta, swasta dengan masyarakat,
atau bahkan pemerintah dengan masyarakat?
Pedoman Wawancara Mendalam Kepada Tokoh Desa
atau Masyarakat Informan
Hari dan Tanggal Wawancara :
Lokasi dan Waktu Wawancara :
Nama dan Umur Informan :
Pekerjaan Informan :
a. Bagaimana awal mula kehadiran pihak Perusahaan Tambang Pasir
di Kecamatan Padakembang?
b. Perusahaan apa saja yang pada saat ini masih melakukan
aktivitasnya? Apakah anda dilibatkan dalam kaitannya izin atau
aktivitas perusahaan tambang tersebut?
c. Secara umum, apa saja manfaat yang timbul setelah kehadiran
Perusahaan Tambang Pasir tersebut?
d. Secara khusus, apa saja manfaat yang muncul setelah adanya
penambangan pasir yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang
Pasir tersebut khususnya bagi masyarakat Desa Mekarjaya
(dan/atau) Desa Rancapaku?
e. Secara umum, apa saja dampak yang timbul setelah kehadiran
Perusahaan Tambang Pasir tersebut?
117
f. Secara khusus, apa saja dampak yang timbul setelah adanya
penambangan pasir yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang
Pasir tersebut khususnya bagi masyarakat Desa Mekarjaya
(dan/atau) Desa Rancapaku?
(Pada aspek Ekologi, Sosial dan Ekonomi)
g. Menurut anda siapa yang paling bertanggung jawab atas dampak
yang ditimbulkan?
h. Apakah pernah terjadi bencana atau kejadian kecelakaan beberapa
waktu belakangan ini di Desa Mekarjaya (dan/atau) Desa
Rancapaku?
i. Apakah menurut anda hal tersebut terjadi ada kaitannnya dengan
aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang
Pasir tersebut?
j. Apakah secara khusus ada perubahan cara atau pola mata
pencaharian masyarakat akibat adanya aktivitas pertambangan yang
dilakukan oleh Perusahaan Tambang Pasir tersebut?
k. Apakah pernah terjadi konflik yang terjadi di masyarakat sebagai
respons dari dampak tersebut?
l. Jika Ya, apakah terdapat aksi-aksi lanjutan sebagai representasi
dari konflik? Apa saja yang diperjuangkan (atau dituntut) oleh
masyarakat Desa Mekarjaya (dan/atau) Desa Rancapaku ketika
melakukan aksi tersebut?
m. Menurut anda, seberapa penting ekosistem kawasan Gunung
Galunggung bagi kehidupan masyarakat Desa Mekarjaya
(dan/atau) Desa Rancapaku?
118
Lampiran 5 Surat pernyataan tentang kesepakatan antara masyarakat dengan
perusahaan pertambangan pasir pada bulan Maret tahun 2013
119
120
Lampiran 6 Salah satu bentuk protes warga terhadap dampak negatif dari
aktivitas penambangan pasir di Desa Mekarjaya melalui media
massa
121
Lampiran 7 Dokumentasi penelitian
Penambang pasir konvensional yang masih
memanfaatkan kawasan Sungai Cikunir Aktivitas penambangan skala industri yang
berada di hulu sungai Cikunir
Truk pengangkut pasir yang melewati jalan Desa
Mekarjaya
Pemindahan pasir dari truk pengangkut ke tempat
penampungan
Spanduk protes masyarakat Desa Mekarjaya yang
terpampang dijalan raya Kolam milik warga yang airnya tercemar akibat
penambangan pasir
122
Salah satu peternak ikan dari Desa Mekarjaya
yang sedang menulis spanduk protes
Salah satu jalan Desa Mekarjaya yang diberi
penghalang agar truk tidak lewat
Tidak jarang pengendara motor harus
menyingkir ketika truk pasir lewat
Salah satu jalan penjual pasir yang berada di
Desa Mekarjaya
Jalanan utama menuju Desa Mekarjaya yang
hancur akibat lalu lalang truk pasir
Penyusutan Sungai Cikunir yang dapat dilihat dari
kawsan Desa Rancapaku
123
RIWAYAT HIDUP
Faris Rahmadian dilahirkan di Bogor pada tanggal 29 Agustus 1992.
Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara pasangan Edi Saputra dan
Farma Ruri Utari, dengan adik bernama Vania Rahmasari. Penulis memulai
jenjang pendidikan formal pertama yakni pada tahun 1998 – 2004 di SDN
Polisi 1 Bogor, lalu penulis melanjutkannya ke SMP Negeri 9 Bogor pada
tahun 2004 – 2007, dan SMA Negeri 7 Bogor pada tahun 2007 – 2010. Pada
tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM).
Selama berkuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis juga turut aktif
dalam organisasi kampus. Penulis merupakan pengurus Himpunan
Mahasiswa Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
(HIMASIERA) selama dua periode (2012-2013) di divisi Community
Development. Selain itu, penulis juga turut aktif berkontribusi pada berbagai
kegiatan di kampus, diantaranya dalam berbagai kepanitiaan HIMASIERA,
Familiarity Night FEMA, Indonesian Ecology Expo, dan lain sebagainya.