ii. tinjauan pustakamedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2008/240210080006_2_3078.pdf · pengutipan...
TRANSCRIPT
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001640/020
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Tebu
Tanaman Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman tahunan dari
family Gramineae (keluarga rumput) yang sudah dibudidayakan sejak lama di daerah
asalnya yaitu, Papua Nugini. Tanaman tebu memiliki kemiripan bentuk fisik dengan
tanaman jagung dan sorgum. Tanaman tebu dikembangkan sebagai salah satu sumber
gula komersil sejak tahun 1800an dan menjadi sumber ekonomi utama dari gula
bersama gula bit. Tanaman tebu diklasifikasikan dalam divisi Maqnoliophyta, kelas
Liliopsida, ordo Cyperales, family Poaceae (Gramineae) (Barnes 1973). Tanaman ini
dapat tumbuh di daerah beriklim tropik dan subtropik dengan kelembaban tahunan
minimum 600 nm. Tanaman tebu termasuk tanaman yang paling efisien dalam
berfotosintesis dimana hanya membutuhkan 2% saja dari energi matahari untuk
dikonversi menjadi biomassa (Sharpe 1998).
Perkembangan produksi tebu di Indonesia selama tiga tahun terakhir terus
mengalami penurunan. Pada tahun 2008 produksi tebu (setara gula) mencapai 2,55
juta ton dan turun 8,53% pada tahun 2009 menjadi sebesar 2,33 juta ton. Pada tahun
2010 produksi tebu kembali mengalami penurunan sekitar 2,39% atau menjadi 2,28
juta ton (Badan Pusat Statistik, 2010). Perkembangan produksi tebu Indonesia tahun
2008 sampai 2010 dapat dilihat pada Tabel 1.
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001640/021
7
Tabel 1. Perkembangan Produksi Gula Tebu di IndonesiaTahun Jumlah (ton) Pertumbuhan200820092010
2.551.5132.333.8852.278.127
-2,75-8,53-2,39
Sumber : Badan Pusat Statistik (2010)
Bagian dari tanaman tebu yang diambil untuk pembuatan gula adalah
batangnya. Batang tebu diekstrak untuk memperoleh sukrosa. Batang tebu berdiri
tegak dengan diameter 3-4 cm dan tinggi 2-5 meter serta tidak bercabang (Soebroto
1983). Batang terdiri dari ruas-ruas dan dibatasi dengan buku-buku, dimana setiap
buku terdapat mata ruas. Gambar tanaman dan batang tebu disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman dan Batang Tebu(Dokumentasi Pribadi, 2011)
Tanaman tebu dipanen pada usia 8-12 bulan. Pemanenan merupakan tahapan
penting dalam penanganan tebu. Makin mendekati umur panen, kadar sukrosa dalam
batang tebu semakin meningkat dan setelah melampaui umur panen terjadi penurunan
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001640/022
8
kadar sukrosa yang diikuti peningkatan kadar glukosa dan fruktosa. Penurunan kadar
sukrosa tersebut disebabkan oleh aktivitas enzim invertase dalam batang tebu yang
meningkat aktivitasnya. Peningkatan aktivitas invertase dalam jaringan tanaman
disebabkan karena adanya signal kebutuhan energi bagi tanaman untuk metabolisme
selanjutnya (Foyer et al. 1997). Energi tersebut dapat diserap tanaman dalam bentuk
gula sederhana (glukosa dan fruktosa) sehingga aktivitas invertase pada sukrosa
terpacu untuk bekerja.
2.2. Nira Tebu
Nira tebu adalah suatu ekstrak cairan yang berasal dari batang tebu,
mengandung kadar gula relatif tinggi dan dijadikan bahan baku pembuatan gula
kristal. Dalam pabrik gula, proses ekstraksi nira tebu dari batangnya dilakukan
dengan cara pemecahan dan penggilingan.
Komposisi nira tebu tidak akan selalu sama, tergantung pada jenis tebu,
kondisi geografis, tingkat kematangan serta cara penanganan selama penebangan dan
pengangkutan (Reece, 2003). Umumnya nira terdiri atas 73-76% air, 11-16% serat,
dan 11-16% padatan-padatan terlarut dan tersuspensi (James dan Chen 1985).
Nira tebu segar berwarna coklat kehijau-hijauan dengan pH 5,0-6,0 (Goutara
dan Wijandi 1975). Menurut Gillet (1965) zat warna yang terdapat dalam nira tebu
adalah klorofil yang berasosiasi dengan xantofil, karoten, antosianin, tannin dan
sakretin, sedangkan warna coklat timbul akibat reaksi pencoklatan enzimatis dan
polifenol. Beberapa jenis polisakarida lain juga terdapat dalam nira tebu sebagai hasil
metabolisme tanaman seperti dextran, levan, pektin, selulosa, hemiselulosa, pati dan
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001640/023
9
gum (Cuddihy et al. 2000). Semua bahan selain sukrosa dapat memberikan efek
negatif terhadap proses pertumbuhan gula kristal, seperti memberi kesempatan
mikroorganisme untuk tumbuh, mempersulit proses pemurnian dan menghambat
proses kristalisasi. Keberadaan pati yang relatif tinggi pada nira akan menyebabkan
filtrasi berjalan lambat dan larutan tampak lebih keruh. Komponen kimia pada nira
tebu disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Komponen Kimia Nira TebuKomponen Jumlah
Gula sukrosa 10,29 %Glukosa 2,43 %Fruktosa 0,94 %Dekstran 1,41 %Total asam 62,5 mleqpH 5,1Sumber : Filianty (2007)
Menurut Paine (1953) dikutip Filianty (2007), nira tebu mengandung
komponen senyawa nitrogen organik berupa protein tinggi (albumin), protein
sederhana (albuminosa dan peptosa), asam amino (glisin, asam aspartat) dan asam
amida (asparagin, glutamin). Selain itu nira tebu juga mengandung komponen asam
organik lain seperti okonitat, oksalat, suksinat, glikolat dan malat. Kandungan garam
organik yang teridentifikasi dalam nira tebu diantaranya adalah fosfat, klorida, sulfat,
silikat dan nitrat dari Na, K, Ca, Al, dan Fe. Menurut legaz et al. (2000), nira tebu
dapat mengandung glikoprotein bila nira tersebut dihasilkan dari batang yang
mengalami kerusakan atau terserang mikroorganisme patogen.
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001640/024
10
2.3. Kerusakan Nira
Kualitas nira hasil sadapan sangat menentukan mutu gula yang dihasilkan.
Ciri-ciri nira yang berkualitas baik antara lain berwarna bening (tidak keruh), rasanya
manis, berbau harum, derajat keasaman (pH) 6-7 dan kadar sukrosa lebih dari 12%.
Tebu yang disimpan dalam ruangan dan ditumpuk akan menyebabkan suhu dalam
tumpukan naik sehingga mengakibatkan invertasi sukrosa dan merangsang
pertumbuhan mikroba. Pengangkatan yang jaraknya terlalu jauh dari pabrik dan sinar
matahari juga menyebabkan turunnya kadar sukrosa (Azmi, 2008).
Sukrosa (C12H22O11) atau biasa dikenal sebagai gula meja merupakan jenis
disakarida yang berwarna putih, berbentuk kristal padat dengan rasa manis dan dapat
membentuk karamel serta terdekomposisi pada suhu 186ºC (Winarno, 1992). Sukrosa
yang mengalami degradasi akan menghasilkan karbondioksida dan air serta
menghasilkan warna coklat pada produknya. Terbentuknya asam pada saat degradasi
sukrosa menyebabkan pH larutan menurun. Menurut Rahman et al (2004), penurunan
nilai pH karena pembentukan asam menyebabkan warna berkurang, tetapi sekitar pH
netral akan mulai terjadi kehilangan sukrosa akibat invertasi. Menurut Lingle (2004),
degradasi sukrosa yang paling rendah terjadi pada pH 9, karena konsentrasi H+
(penyebab invertasi) dan konsentrasi OH- (penyebab terbentuknya asam dan warna)
sangat rendah sekali. Kehilangan sukrosa pada pH 9 dan tekanan normal kurang lebih
sebanyak 0,05 %. Sukrosa yang dipanaskan dibawah titik cair akan mengalami
degradasi yang lambat, tetapi bila panasnya lebih tinggi lagi degradasi akan semakin
cepat.
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001640/025
11
Gambar 2. Struktur Kimia Glukosa, Fruktosa, dan Sukrosa(Winarno, 1992)
Degradasi sukrosa juga dapat terjadi oleh asam mineral kuat seperti asam
sulfat dan asam klorida. Sukrosa dengan hidrogen peroksida menghasilkan O2, H2,
CO2, asam format serta asam aldehid lainnya (Browne, 1912, dikutip Azmi, 2008).
Sukrosa dapat tereduksi dengan adanya katalis metal menghasilkan D-manitol, D-
sorbitol, gliserol, propilen glikol, etilen glikol dan senyawa lainnya (Pancoast, 1980,
dikutip Rachma, 2006).
Degradasi sukrosa pada nira tebu juga dapat disebabkan oleh aktivitas
mikroba melalui proses fermentasi. Beberapa mikroba dalam nira, seperti
Saccharomyces cerevisiae dan Saccharomyces caribergensis dapat menghasilkan
enzim invertase. Invertasi dapat menyebabkan reaksi inversi sukrosa menjadi glukosa
dan fruktosa. Invertase dalam tanaman tebu dapat berupa invertase netral, invertase
asam vakuola, invertase asam yang terikat pada dinding sel dan invertase asam
apoplastik terlarut (Vorster dan Botha, 1998). Nira tebu juga dapat terkontaminasi
oleh Leuconostoc mesenteroides dimana mikroba tersebut dapat menghasilkan enzim
11
Gambar 2. Struktur Kimia Glukosa, Fruktosa, dan Sukrosa(Winarno, 1992)
Degradasi sukrosa juga dapat terjadi oleh asam mineral kuat seperti asam
sulfat dan asam klorida. Sukrosa dengan hidrogen peroksida menghasilkan O2, H2,
CO2, asam format serta asam aldehid lainnya (Browne, 1912, dikutip Azmi, 2008).
Sukrosa dapat tereduksi dengan adanya katalis metal menghasilkan D-manitol, D-
sorbitol, gliserol, propilen glikol, etilen glikol dan senyawa lainnya (Pancoast, 1980,
dikutip Rachma, 2006).
Degradasi sukrosa pada nira tebu juga dapat disebabkan oleh aktivitas
mikroba melalui proses fermentasi. Beberapa mikroba dalam nira, seperti
Saccharomyces cerevisiae dan Saccharomyces caribergensis dapat menghasilkan
enzim invertase. Invertasi dapat menyebabkan reaksi inversi sukrosa menjadi glukosa
dan fruktosa. Invertase dalam tanaman tebu dapat berupa invertase netral, invertase
asam vakuola, invertase asam yang terikat pada dinding sel dan invertase asam
apoplastik terlarut (Vorster dan Botha, 1998). Nira tebu juga dapat terkontaminasi
oleh Leuconostoc mesenteroides dimana mikroba tersebut dapat menghasilkan enzim
11
Gambar 2. Struktur Kimia Glukosa, Fruktosa, dan Sukrosa(Winarno, 1992)
Degradasi sukrosa juga dapat terjadi oleh asam mineral kuat seperti asam
sulfat dan asam klorida. Sukrosa dengan hidrogen peroksida menghasilkan O2, H2,
CO2, asam format serta asam aldehid lainnya (Browne, 1912, dikutip Azmi, 2008).
Sukrosa dapat tereduksi dengan adanya katalis metal menghasilkan D-manitol, D-
sorbitol, gliserol, propilen glikol, etilen glikol dan senyawa lainnya (Pancoast, 1980,
dikutip Rachma, 2006).
Degradasi sukrosa pada nira tebu juga dapat disebabkan oleh aktivitas
mikroba melalui proses fermentasi. Beberapa mikroba dalam nira, seperti
Saccharomyces cerevisiae dan Saccharomyces caribergensis dapat menghasilkan
enzim invertase. Invertasi dapat menyebabkan reaksi inversi sukrosa menjadi glukosa
dan fruktosa. Invertase dalam tanaman tebu dapat berupa invertase netral, invertase
asam vakuola, invertase asam yang terikat pada dinding sel dan invertase asam
apoplastik terlarut (Vorster dan Botha, 1998). Nira tebu juga dapat terkontaminasi
oleh Leuconostoc mesenteroides dimana mikroba tersebut dapat menghasilkan enzim
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001640/026
12
dekstransukrase yang mampu menghidrolisis sukrosa menjadi fruktosa dan dekstran.
Keberadaan dekstran dalam nira akan menghambat kristalisasi sukrosa (Legaz et al,
2000). Jenis mikroba lain dalam nira tebu adalah Brevibacterium sulferes, Candida
pulchemma, Saccharomyces lactis dan Saccharomyces sacchari yang dapat
membentuk glikoprotein dalam batang tebu (Legaz et al, 2000). Degradasi sukrosa
dalam nira tebu ditandai dengan rasa asam, berbuih dan berlendir.
Reaksi invertasi sukrosa maksimal terjadi pada pH 7,2 dan suhu 60ºC
(Rahman et al, 2004). Tahap awal reaksi invertasi sukrosa menjadi glukosa dan
fruktosa dengan katalis invertase adalah sebagai berikut :
C12H22O11 + H2O C6H12O6 + C6H12O6
Sukrosa Glukosa Fruktosa
Selanjutnya glukosa dan fruktosa hasil invertasi akan terfermentasi oleh
khamir Saccharomyces ellipsoids menghasilkan alkohol (Muchtadi, 1992, dikutip
Azmi, 2008) dengan reaksi sebagai berikut :
C6H12O6 + Saccharomyces ellipsoids 2C2H5OH + CO2
Glukosa/Fruktosa Etanol
Fermentasi terutama terjadi karena adanya enzim zimase yang dikeluarkan oleh
khamir. Fermentasi berjalan baik pada suhu 30ºC sampai 35ºC dengan konsentrasi
gula pereduksi antara 5 % sampai 20 % (Wijandi, 1985).
Reaksi selanjutnya adalah reaksi oksidasi etanol oleh bakteri Acetobacter
aceti menjadi asam asetat, yaitu :
C2H5OH + O2 + Acetobacter aceti CH3COOH + H2OEtanol asam asetat
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001640/027
13
Gula invert juga dapat terfermentasi menjadi asam laktat oleh bakteri Bacillus lactis
acidi pada suhu 45ºC sampai 55ºC selama 3 sampai 6 hari. Reaksi-reaksi diatas dapat
menyebabkan kadar sukrosa menurun dan kadar asam meningkat sehingga pH
cenderung menurun (Rahman et al, 2004).
2.4. Penghambatan Kerusakan Nira Tebu
Bahan pangan semenjak dipanen, diolah, dikemas, sampai dengan tiba di
tangan konsumen selalu mengalami penurunan kualitas sampai pada suatu titik bahan
pangan tersebut sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Penurunan kualitas ini
kemudian diidentikkan dengan kerusakan pangan yang dapat terjadi karena dua hal
utama yaitu kerusakan alami akibat aktivitas dalam bahan itu sendiri (moisture loss
dan aktivitas enzim) dan kontaminasi dari luar oleh mikroorganisme (Tull, 1987).
Upaya pencegahan kerusakan dalam nira tebu akibat reaksi enzimatis dan
mikrobiologis dapat dilakukan dengan penambahan bahan pengawet, baik yang
bersifat inhibitor enzim ataupun antimikrobial. Inhibisi enzim atau penghambatan
aktivitas enzim merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam penelitian yang
menyangkut kesehatan. Misalnya Pb, Hg, dan logam berat lainnya bersifat sebagai
penghambat kerja enzim, namun sangat beracun pada manusia. Meskipun mekanisme
penghambatan kerja invertasi oleh logam-logam berat berbeda dengan mekanismenya
pada enzim lain, namun dapat dipastikan bahwa logam-logam berat tersebut sangat
menghambat kerja invertasi.
Sebagai contoh, ion Ag++ menyerang rantai sisi histidin pada molekul
invertasi dan menyebabkan invertasi tidak aktif. Beberapa jenis logam sangat efektif
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001640/028
14
menghambat aktivitas enzim invertase seperti HgCl2, ZnCl2, AgNO3 dan CuSO4
(Vorster dan Frederik, 1998). Natrium benzoat dan larutan amoniak dalam jumlah
0,05% dan 0,32% dapat menghentikan fermentasi pada nira selama 2 - 3 hari, pada
konsentrasi 0,10% dan 1,28% dapat menghentikan fermentasi hingga 6 hari
(Bobadilla dan Preston, 1981).
Menurut Mealor dan Townshend (1968) dalam Trojanowiez et al (2004)
menyatakan bahwa kation logam seperti Cu(II), Zn(II), Cd(II) dan Pb(II) dapat
menghambat aktivitas invertase. Penghambatan aktivitas enzim juga dapat dilakukan
dengan memberikan kondisi ekstrim bagi reaksi inversi oleh invertase seperti suhu,
pH maupun tekanan. Seperti penghambatan aktivitas invertase yang dilakukan oleh
Cavaille dan Didier (1996) dengan mengkombinasikan perlakuan tekanan tinggi dan
suhu, sedangkan menurut Causette et al (1998), perlakuan suhu dan tekanan yang
tinggi akan mempengaruhi kualitas produk (sukrosa) akibat terjadi reaksi lain yang
tidak diinginkan (lateral reaction).
Suatu sel hidup dari mikroorganisme memiliki sejumlah besar enzim, protein,
asam nukleat dan sistem jaringan sel untuk kepentingan proses metaboliknya.
Kerusakan pada salah satu komponen sel dapat mengawali terjadinya perubahan-
perubahan yang menuju pada kematian sel mikroorganisme. Berdasarkan hal tersebut
beberapa mekanisme kerja senyawa antimikroba, yaitu merusak dinding sel
mikroorganisme, merubah permeabilitas sel, merubah molekul protein dan asam
nukleat, menghambat kerja enzim dan menghambat sintesis asam nukleat dan protein
(Pelzcar dan Chan, 1988). Antimikroba yang ideal menunjukkan sifat toksisitas
selektif yaitu fungsi reseptor yang spesifik yang hanya dibutuhkan untuk melekatnya
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001640/029
15
obat atau karena hambatan biokimia yang terjadi bagi organisme namun tidak bagi
inang (Ganiswarna, 1995, dikutip Dirga, 2011). Antimikroba ideal mempunyai
spektrum penghambatan yang luas, tidak menimbulkan resistensi mikroorganisme
patogen, tidak menimbulkan efek samping dan tidak mengganggu keseimbangan
flora normal tubuh manusia (Dimas, 2009, dikutip Dirga, 2011).
Aplikasi penambahan pengawet pada nira harus mengikuti aturan pemerintah
dan mengikuti standar food grade. Penggunaan beberapa jenis bahan kimia dalam
bahan pangan seperti formalin dan borax kini sangat dilarang karena membahayakan
kesehatan. Berbagai bahan alami kini dikembangkan sebagai pengawet seperti yang
dilakukan oleh petani-petani nira sejak lama, yaitu memanfaatkan akar kawao, kulit
dan buah manggis, laru janggut, kulit batang kusambi, remasan daun jambu metem
tangkal dan kulit batang nangka (Sedernawati et al, 1999). Pemanfaatan komponen
kimia dari ekstrak tanaman atau komponen fitokimia telah diaplikasikan sejak lama,
yang diketahui melalui pengalaman empiris. Pada masa kini komponen-komponen
fitokimia tersebut banyak diteliti untuk diidentifikasikan.
2.5. Akar Kawao
Kawao (Millettia) merupakan tanaman perdu yang memanjat, tegak, dengan
panjang 10 - 30 m. Kawao (Milletia) tumbuh di hutan hutan dan di tepi-tepi sungai
mulai dari dataran rendah sampai ± 1000 m di atas permukaan laut (Menninger,
1970). Tanaman ini berasal dari kingdom Plantae, sub kingdom Tracheobionta, super
divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Rosidae,
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001640/030
16
ordo Fabales, famili Papilionaceae, genus Milletia dan spesies Milletia sericea
(Vent.) (Anonim, 2009).
Tanaman kawao (Millettia) dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah.
Permukaan kulit yang padat pada tanaman kawao (Millettia) mengakibatkan
lambatnya laju evaporasi air permukaan keluar batang. Struktur akarnya mendukung
fiksasi nitrogen sehingga dapat membawa nutrient dari udara ke tanah (Green Oil
Plantations, 2011). Bentuk daun dan akar tanaman kawao (Millettia) disajikan pada
Gambar 4.
Gambar 3. Kawao (Millettia)(Dokumentasi pribadi, 2011)
Tanaman ini memiliki 200 spesies yang tersebar di daerah tropis Afrika
(Irvine, 1961), Asia, Australia dan Amerika (Thulin, 1983), di mana tiap-tiap
spesiesnya memiliki kandungan fitokimia yang banyak dimanfaatkan dalam dunia
kesehatan, terutama bagian akar tanaman. Cairan dari tanaman kawao (Millettia)
dapat dimanfaatkan sebagai antiseptik dan obat pembasmi hama. Akar tanaman ini
digunakan sebagai obat tradisional oleh sebagian masyarakat Indonesia seperti obat
cacing, mata dan luka luar (Menninger, 1970, dikutip Filianty, 2007).
Akar
Daun
16
ordo Fabales, famili Papilionaceae, genus Milletia dan spesies Milletia sericea
(Vent.) (Anonim, 2009).
Tanaman kawao (Millettia) dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah.
Permukaan kulit yang padat pada tanaman kawao (Millettia) mengakibatkan
lambatnya laju evaporasi air permukaan keluar batang. Struktur akarnya mendukung
fiksasi nitrogen sehingga dapat membawa nutrient dari udara ke tanah (Green Oil
Plantations, 2011). Bentuk daun dan akar tanaman kawao (Millettia) disajikan pada
Gambar 4.
Gambar 3. Kawao (Millettia)(Dokumentasi pribadi, 2011)
Tanaman ini memiliki 200 spesies yang tersebar di daerah tropis Afrika
(Irvine, 1961), Asia, Australia dan Amerika (Thulin, 1983), di mana tiap-tiap
spesiesnya memiliki kandungan fitokimia yang banyak dimanfaatkan dalam dunia
kesehatan, terutama bagian akar tanaman. Cairan dari tanaman kawao (Millettia)
dapat dimanfaatkan sebagai antiseptik dan obat pembasmi hama. Akar tanaman ini
digunakan sebagai obat tradisional oleh sebagian masyarakat Indonesia seperti obat
cacing, mata dan luka luar (Menninger, 1970, dikutip Filianty, 2007).
Akar
Daun
16
ordo Fabales, famili Papilionaceae, genus Milletia dan spesies Milletia sericea
(Vent.) (Anonim, 2009).
Tanaman kawao (Millettia) dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah.
Permukaan kulit yang padat pada tanaman kawao (Millettia) mengakibatkan
lambatnya laju evaporasi air permukaan keluar batang. Struktur akarnya mendukung
fiksasi nitrogen sehingga dapat membawa nutrient dari udara ke tanah (Green Oil
Plantations, 2011). Bentuk daun dan akar tanaman kawao (Millettia) disajikan pada
Gambar 4.
Gambar 3. Kawao (Millettia)(Dokumentasi pribadi, 2011)
Tanaman ini memiliki 200 spesies yang tersebar di daerah tropis Afrika
(Irvine, 1961), Asia, Australia dan Amerika (Thulin, 1983), di mana tiap-tiap
spesiesnya memiliki kandungan fitokimia yang banyak dimanfaatkan dalam dunia
kesehatan, terutama bagian akar tanaman. Cairan dari tanaman kawao (Millettia)
dapat dimanfaatkan sebagai antiseptik dan obat pembasmi hama. Akar tanaman ini
digunakan sebagai obat tradisional oleh sebagian masyarakat Indonesia seperti obat
cacing, mata dan luka luar (Menninger, 1970, dikutip Filianty, 2007).
Akar
Daun
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001640/031
17
Akar tanaman kawao teridentifikasi mengandung beberapa kandungan
fitokimia yang penting seperti yang disajikan pada Tabel 3. Dalam penelitian lain,
akar kawao atau dikenal sebagai Millettia diidentifikasikan mengandung komponen
fitokimia berupa : alkaloid, diterpenoid, coumarin, flavonoid dan isoflavonoid
(Wanda, 2006). Menurut Yankep et al. (2003), identifikasi lanjut pada isoflavon
dalam millettia dikarakterisasi sebagai kalkone, rotenoid, fenylcoumarine dan
beberapa jenis isoflavon lain. Komponen-komponen tersebut diekstraksi dari bagian
akar dengan menggunakan heksan.
Tabel 3. Hasil uji fitokimia kawao (Milletia sp.)Komponen AktivitasAlkaloidSaponinTaninFenolikFlavonoidTriterpenoidSteroidGlikosida
+ + + ++-+
+ + + ++ ++
+ + + +Sumber : Filianty (2007)Keterangan :- : Negatif + + + : Positif kuat+ : Positif lemah + + + + : Positif kuat sekali+ + : Positif
Menurut Galeffi et al (1997), jenis M. pervilleana mengandung 2 jenis
isoflavonoid terprenilasi atau tergeranilasi yang menunjukkan aktivitas toksisitas
yang tinggi pada bagian akar tanaman tersebut. Penelitian yang juga dilakukan oleh
Dagne et al (1989), menunjukkan adanya kandungan chalcone dan tujuh jenis
isoflavonoid pada akar dan biji tanaman M. ferruginea subsp. Darassana. M. conraui,
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001640/032
18
M. laurantii dan M. sanagana digunakan sebagai obat sakit perut yang disebabkan
parasit pada anak (Singhal, 1982). M. zechiana digunakan sebagai obat bronchial
rhinopharyngial. Ekstrak akar dan batang M. griffoniana digunakan sebagai obat
tradisional, insektisida, mengurangi peradangan yang disebabkan penyakit paru dan
asma, infertilitas, smenorrhea dan masalah menopause (Sandberg and Cronlund,
1977). Ekstrak akar M. griffoniana mengandung isoflavon Griffonianone D yang
bersifat mengurangi peradangan (antiimflamantory) (Yankep et. al., 2003).
Petani nira di daerah Jawa Barat khususnya nira aren dan kelapa, masih
banyak yang memanfaatkan akar tanaman kawao untuk mengawetkan nira agar tidak
cepat berubah menjadi asam dan memiliki bau yang khas setelah diolah menjadi gula.
Penggunaan akar tanaman kawao oleh para petani biasanya dengan cara
mememarkan akar tanaman kawao sebesar ibu jari dan memasukkannya ke dalam
lodong atau wadah yang digunakan untuk menampung nira. Sebelumnya wadah yang
digunakan dicuci dengan air panas dan untuk lodong bambu dilanjutkan dengan
diasapi terlebih dahulu sebelum digunakan untuk membunuh mikroorganisme
kontaminan.
Akar kawao dalam bentuk segar tidak tahan lama dalam penyimpanannya
karena masih mengandung komponen air yang tinggi yaitu 66,34% (Dirga, 2011).
Umur simpan akar kawao dapat diperpanjang melalui proses pengeringan.
Pengeringan bertujuan untuk mencegah fermentasi mikrobial dan degradasi senyawa
metabolit berkelanjutan. Pengeringan akar kawao akan menghasilkan chip atau
gaplek seperti yang disajikan pada Gambar 5. Gaplek atau chip akar kawao dapat
diekstrak lebih lanjut sehingga fitokimia yang terkandung di dalamnya dapat diisolasi
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001640/033
19
dan pada akhirnya dapat dijadikan sediaan bahan pengawet nira. Penelitian yang
dilakukan Fillianty (2007), Kusumah (1992) dan Widipratomo (2006) menunjukkan
bahwa akar kawao dapat menghambat kerusakan pada nira segar.
Gambar 4. Gaplek Akar Kawao (Millettia sericea)(Dokumentasi Pribadi, 2011)
2.6. Ekstrak Bahan Alam
Ekstraksi adalah cara untuk mengisolasi metabolit atau isolat dari bahan alam
yang dapat teridentifikasi sebagai komponen dengan berbagai jenis ikatan atau dapat
juga senyawa fitokimia (Seidel dalam Sarker, 2006). Ekstraksi adalah pemisahan
bagian yang aktif jaringan tanaman atau hewan dari komponen inaktif atau inert
menggunakan pelarut tertentu sesuai standar prosedur ekstraksi. Prinsip dari ekstraksi
adalah ketika komponen padatan bersentuhan dengan pelarut, komponen terlarut di
dalam padatan akan berpindah ke dalam pelarut. Hasil dari ekstraksi adalah
perpindahan massa komponen terlarut ke dalam pelarut sehingga akan menimbulkan
peningkatan konsentrasi. Laju perpindahan masa akan berkurang seiring dengan
meningkatnya konsentrasi komponen terlarut di dalam pelarut hingga mencapai titik
kesetimbangan (Handa, 2008).
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001640/034
20
Menurut Seidel dalam Sarker (2006), terdapat berbagai metode ekstraksi
bahan alam dengan menggunakan ekstraksi-solvent (ekstraksi menggunakan pelarut)
yaitu maserasi, perkolasi, ekstraksi soxhlet, refluks dan distilasi. Pada ektraksi
menggunakan pelarut, terdapat beberapa perlakuan pendahuluan yang harus
dilakukan yaitu pengeringan dan pengecilan ukuran. Pengeringan bertujuan untuk
mencegah tumbuhnya mikroorganisme kontaminan, mencegah terjadinya kerusakan
metabolit dan menghambat reaksi enzimatis. Sedangkan proses pengecilan unkuran
bertujuan untuk meningkatkan proses ekstraksi selanjutnya dengan sampel yang lebih
homogen, meningkatkan luas permukaan dan memfasilitasi penetrasi pelarut ke
dalam sel.
Metode ekstraksi yang sederhana dan banyak digunakan adalah metode
maserasi. Maserasi merupakan proses ekstraksi menggunakan pelarut diam atau
dengan beberapa kali pengocokan pada suhu ruang (Singh, 2008). Ekstraksi akhirnya
berhenti ketika keseimbangan terjadi antara konsentrasi metabolit dalam ekstrak dan
bahan tanaman. Setelah ekstraksi, sisa bahan tanaman harus dipisahkan dari pelarut
dan senyawa yang diektrak dipisahkan lebih lanjut dari pelarutnya (Seidel, 2006,
dalam Sarker, 2006). Pemisahan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
rotary evaporator pada suhu 30 - 40º C (Harborne, 1987).
Proses ekstraksi dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti jenis pelarut, suhu,
rasio pelarut dan bahan baku serta ukuran partikel. Jenis pelarut mempengaruhi
senyawa yang tersaring, jumlah solut yang terekstrak dan kecepatan ekstraksi. Secara
umum, kenaikan suhu akan meningkatkan jumlah zat terlarut ke dalam pelarut.
Sedangkan rasio pelarut yang semakin besar akan memperbesar pula jumlah senyawa
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001640/035
21
yang terlarut. Faktor lain seperti ukuran partikel akan meningkatkan laju ekstraksi
apabila ukuran partikel bahan baku semakin kecil (Lansida, 2011, dikutip Wulandari,
2011).
Metode pemisahan secara ektraksi ini membutuhkan pelarut sebagai media
perpindahan komponen sehingga disebut solvent extraction. Jika produk yang
dihasilkan akan digunakan dalam produk pangan maka harus menggunakan pelarut
yang sesuai dengan aturan. Menurut European Union and Governmental regulations,
pelarut yang diperbolehkan adalah air dan pelarut lein seperti propane, butane, etil
asetat, etanol, CO2, N2O dan aseton (Bart, 2011). Pelarut yang dipilih harus
memenuhi syarat sebagai seperti tidak mudah bereaksi, tidak beracun, tidak mudah
terbakar, ekonomis dan mudah didaur ulang dengan metode evaporasi (Seidel, 2006,
dalam Sarker, 2006).
2.7. Pelarut Etanol
Etanol atau etil alkohol yang memiliki rumus kimia CH3CH2OH adalah salah
satu senyawa organik yang mengandung oksigen paling serba guna karena kombinasi
yang unik dari sifat-sifat etanol sebagai pelarut, obat penghilang kuman penyakit,
minuman, antibeku (antifreeze), bahan bakar, obat penenang dan terutama sebagai
bahan kimia lanjutan untuk pembuatan bahan kimia organik lainnya (Tau, Elango dan
Joseph, 1994 dikutip Wulandari, 2011).
Etanol merupakan cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, encer serta
tidak berwarna (Widyawati, 2005). Sifat kimia dan fisik etanol terutama bergantung
pada gugus hidroksilnya. Gugus hidroksil ini memberi polaritas terhadap molekul dan
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001640/036
22
meningkatkan ikatan hidrogen antar molekul (Tau, et al., dikutip Wulandari, 2011).
Kepolaran relatif dari etanol lebih kecil yaitu sebesar 0,654.
Menurut Tau, et al. (1994) dikutip Wulandari (2011), menyatakan bahwa
dalam lingkungan industri, etanol bukan merupakan bahan kimia yang
membahayakan bagi kesehatan. Jika dalam lingkungan industri terdapat ventilasi
yang sesuai, maka sedikit kemungkinan bahwa penghirupan uap dari etanol tidak
akan membahayakan. Nilai ambang batas dari uap etanol di udara adalah 1000 rpm
selama 8 jam, tetapi jika konsentrasinya mencapai 5000-10000 rpm akan
menyebabkan iritasi mata dan selaput lendir dari sistem pernafasan bagian atas. Sifat
fisik etanol ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Sifat Fisik EtanolSifat Jumlah
Titik beku (°C)Titik didih (°C)Densitas (g/mL)Viskositas (mPa.s=scP) pada 20°CPanas spesifik pada 20°C (J/(g.°C))Konduktivitas thermal pada 20°C (W(m.K))Momen dipole cairan pada 25°C (C.m)Konstanta dielektrik pada 20°C
-114,178,32
0,78931,172,42
0,1705,64 x 10-30
25,7Sumber : Tau, et al. (1994) dikutip Wulandari (2011)
Menurut Morris, et al. (1993) dikutip Wulandari (2011), beberapa kegunaan
dari etanol yang tampak secara ekonomis adalah sebagai bahan kimia lanjutan dalam
industri untuk pembuatan bahan kimia lainnya seperti asetildehida, asam asetat, etil
asetat dan dietil eter. Etanol juga dapat dijadikan sebagai pelarut untuk berbagai
substansi kimia serta komponen bahan baku untuk farmasi, parfum, flavor dan lain
sebagainya.
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
FTIP001640/037
23
Menurut Lewis (1989) dikutip Wulandari (2011), penggunaan etanol dalam
makanan digunakan sebagai antimikrobial dan sebagai pelarut dalam proses ekstraksi.
Etanol sebagai pelarut merupakan bahan pengawet kedua setelah air. Kebanyakan
etanol yang digunakan sebagai pelarut adalah 95% etanol dan 5% H2O. Sedangkan
etanol murni (100%) dapat diperoleh dari proses distilasi azeotropik dengan
menggunakan benzene atau diperoleh dari perlakuan menggunakan kalsium oksida.
Alkohol murni ini disebut sebagai etanol mutlak atau absolute etanol (Spangler, 1980
dikutip Wulandari, 2011).