ii. tinjauan pustaka 2.1. jahemedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2012/240210120117_2_7983.pdf ·...
TRANSCRIPT
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jahe
Jahe (Zingiber officinale) merupakan tumbuhan terna bertahunan yang
tingginya 30-100 cm. Jenis ini merupakan kultigen yang telah dimanfaatkan dan
dibudidayakan secara luas di kawasan tropik, di tanam di daerah rendah sampai
berketinggian 1500m dpl.Tumbuhan ini mempunyai rimpang yang bervariasi,
baik dalam kandungan minyak atsiri, kandungan air, serat, dan juga bentuk serta
warnanya. Variasi tersebut diduga berkembang tergantung dari keadaan tanah,
iklim, dan cara pembudidayaannya (Purseglove dkk., 1981).
Batang pada tanaman jahe merupakan batang semu yang tumbuh tegak
lurus, berbentuk bulat pipih, tidak bercabang tersusun atas seludang-seludang dan
pelepah daun yang saling menutup sehingga membentuk seperti batang. Bagian
luar batang berlilin dan mengilap, serta mengandung banyak air/succulent,
berwarna hijau pucat, bagian pangkal biasanya berwarna kemerahan. Bagian
batang yang terdapat di dalam tanah, berdaging, bernas, berbuku-buku, dan
strukturnya bercabang. Daun terdiri atas pelepah dan helaian. Pelepah daun
melekat membungkus satu sama lain sehingga membentuk batang. Helaian daun
tersusun berseling, tipis berbentuk bangun garis sampai lanset, berwarna hijau
gelap pada bagian atas dan lebih pucat pada bagian bawah, tulang daun sangat
jelas, tersusun sejajar. Panjang daun sekitar 5-25 cm dan lebar 0,8-2,5 cm. Bagian
ujung daun agak tumpul dengan panjang lidah 0,3-0,6 cm. Permukaan atas daun
terdapat bulu-bulu putih. Ujung daun meruncing, pangkal daun membulat atau
tumpul. Batas antara pelepah dan helaian daun terdapat lidah daun (Ajijah dkk.,
10
1997 dikutip Bermawie dan Purwiyanti, 2011). Gambar tanaman jahe dapat
dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1. Ilustrasi Tanaman Jahe
(Mirocha, 2011)
Dalam sistemika tumbuhan, tanaman jahe termasuk dalam kingdom
Plantae, subkingdom Tracheobionta, subdivisi Angiospermae, kelas Liliopsida-
Monocotyledoneae, subkelas Zingiberidae, ordo Zingiberales, family
Zingiberaceae, genus Zingiber, species Zingiber officinale (US National Plant
Database, 2004).
Rimpang jahe merupakan modifikasi bentuk dari batang tidak teratur.
Bagian luar rimpang ditutupi dengan daun yang berbentuk sisik tipis, tersusun
melingkar. Rimpang adalah bagian tanaman jahe yang memiliki nilai ekonomi dan
dimanfatkan untuk berbagai keperluan antara lain sebagai rempah, bumbu masak,
bahan baku obat tradisional, makanan dan minuman dan parfum (Bermawie dan
Purwiyanti, 2011).
Rimpang
Bunga
Daun
11
Rimpang jahe mengandung 2 komponen utama yaitu (1) komponen volatil
dan (2) komponen non-volatil. Komponen volatil terdiri dari oleoresin (4,0-7,5%),
yang bertanggung jawab terhadap aroma jahe (minyak atsiri) dengan komponen
terbanyak adalah zingiberen dan zingiberol. Minyak atsiri atau dikenal juga
sebagai minyak eteris (aetheric oil), minyak esensial, minyak terbang, serta
minyak aromatik adalah kelompok besar minyak nabati yang berwujud cairan
kental pada suhu ruang namun mudah menguap sehingga memberikan aroma
yang khas. Minyak atsiri jahe berwarna bening sampai kuning tua (Hernani dan
Mulyono , 1997).
Berdasarkan bentuk, warna, dan ukuran rimpang, ada tiga jenis jahe yang
dikenal, yaitu jahe putih besar/jahe badak, jahe putih kecil atau emprit dan jahe
sunti atau jahe merah. Secara umum, ketiga jenis jahe tersebut mengandung pati,
minyak atsiri, serat, sejumlah kecil protein, vitamin, mineral, dan enzim
proteolitik yang disebut zingibain (Denyer et al., 1994).
Jahe emprit dan gajah memiliki harga yang lebih murah dibandingkan jahe
merah namun jahe merah memiliki khasiat sebagai obat-obatan tradisional yang
sering digunakan oleh masyarakat. Jahe emprit dan jahe merah sering digunakan
sebagai bahan baku pembuatan minyak atsiri karena memiliki kandungan minyak
yang cukup tinggi. Jahe merah mempunyai kandungan pati (52,9%), minyak atsiri
(3,9%) dan ekstrak yang larut dalam alkohol (9,93%) lebih tinggi dibandingkan
jahe emprit (41,48, 3,5 dan 7,29%) dan jahe gajah (44,25, 2,5 dan 5,81%)
(Hernani dan Hayani, 2001).
Penelitian modern telah membuktikan secara ilmiah berbagai manfaat
jahe, antara lain :
12
a. Menurunkan tekanan darah. Hal ini karena jahe merangsang pelepasan
hormon adrenalin dan memperlebar pembuluh darah, akibatnya darah
mengalir lebih cepat dan lancar dan memperingan kerja jantung memompa
darah.
b. Membantu pencernaan. Jahe mengandung enzim pencernaan yaitu protease
dan lipase, yang masing-masing mencerna protein dan lemak.
c. Gingerol pada jahe bersifat antikoagulan, yaitu mencegah penggumpalan
darah sehingga mencegah tersumbatnya pembuluh darah, penyebab utama
stroke, dan serangan jantung. Gingerol juga diduga membantu menurunkan
kadar kolesterol.
d. Mencegah mual, karena jahe mampu memblok serotonin, yaitu senyawa kimia
yang dapat menyebabkan perut berkontraksi, sehingga timbul rasa mual.
e. Membuat lambung menjadi nyaman, meringankan kram perut dan membantu
mengeluarkan angin.
f. Jahe juga mengandung antioksidan yang membantu menetralkan efek merusak
yang disebabkan oleh radikal bebas di dalam tubuh (Kusnandar, 2010).
Kandungan senyawa metabolit sekunder pada tanaman jahe-jahean
terutama golongan flavonoid, fenol, terpenoid dan minyak atsiri. Senyawa
metabolit sekunder yang dihasilkan tumbuhan Zingiberaceae ini umumnya dapat
menghambat pertumbuhan patogen yang me-rugikan kehidupan manusia,
diantaranya bakteri E. coli, Bacillus subtilis, S. aureus, jamur Neurospora sp,
Rhizopus sp. dan Penicillium sp. (Nursal, Sri, dan Wilda, 2006). Berbagai macam
komponen yang terdapat pada jahe dapat dilihat pada Tabel 1.
13
Tabel 1. Komponen volatil dan non volatil rimpang jahe
Fraksi Komponen
Nonvolatil Gingerol, shogaol, gingediol, gingediasetat,
Gingerdion, Gingerenon
Volatil
(-)-zingiberene,(+)-ar-curcumene,(-)-β-
sesquiphelandrene, β-bisabolene, α-pinene, bornyl
acetate, borneol, camphene, p-cymene, cineol, citral,
cumene, β-elemene, farnesene, β-phelandrene,
geraniol, limonene, linalol, myrcene, β-pinene,
sabinene
Sumber: WHO(1999) dikutip Kusumaningati (2009)
Minyak jahe dengan jumlah yang besar digunakan dalam pembuatan soft
drinks. Digunakan juga dalam campuran rempah-rempah yang digunakan pada
industry bakery dan confectionary. Jahe emprit atau jahe putih kecil merupakan
varietas jahe yang memilik bentuk paling kecil.Jahe jenis ini memiliki kandungan
minyak atsiri yang paling tinggi dibanding jenis jahe lainnya yaitu jahe gajah dan
jahe sunti.Jahe emprit atau jahe putih kecil merupakan varietas jahe yang memilik
bentuk paling kecil. Jahe jenis ini memiliki kandungan minyak atsiri yang paling
tinggi dibanding jenis jahe lainnya yaitu jahe gajah dan jahe sunti.
Gambar 2. Rimpang Jahe Emprit
(Anonim, 2015)
14
Minyak jahe tidak memiliki sensasi rasa panas yang ada pada oleoresin ,
dan kedua bahan baku tersebut sering dicampur bersamaan. Komponen utama
pada ginger oil yaitu dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:
Jahe emprit atau jahe putih kecil merupakan varietas jahe yang memilik
bentuk paling kecil.Jahe jenis ini memiliki kandungan minyak atsiri yang paling
tinggi dibanding jenis jahe lainnya yaitu jahe gajah dan jahe sunti. Jahe emprit
(Zingiber officinale var.Amarum ) merupakan salah satu jenis jahe yang banyak
dimanfaatkan sebagai bahan baku obat-obatan. Hal ini dikarenakan rimpang jahe
emprit berserat lembut, beraroma tajam, dan berasa pedas meskipunukuran
rimpang kecil. Rimpang jahe empritjuga mengandung gizi cukup tinggi, antara
lain 58% pati, 8% protein, 3-5% oleoresin dan 1-3% minyak atsiri (Rukmana,
2000).
Tabel 2. Komponen utama minyak jahe
Nama Komponen Jumlah (%)
Zingiberene 35
AR-curcumene 10
Beta-sesquiphellandrene 10
Bisabolene 8
Camphene 6
Beta-phellandrene 3
1,8-cineole 2
Sumber: Ashurst (1999)
Jahe emprit memiliki tinggi batang berkisar 41,87-56,45 cm dengan warna
batang hijau muda berbentuk bulat dan agak keras. Daunnya berwarna hijau muda
berbentuk lanset dengan kedudukan daun berselang-seling teratur. Panjang daun
pada jahe emprit mencapai 17,4 -19,8 cm dengan luas helaian daun 24,9 – 27,5
cm. Jumlah daun pada jahe emprit berkisar antara 20 -28 helai. Jahe emprit
15
memiliki rimpang relatif kecil, bentuknya pipih, berwarna putih sampai kuning,
seratnya agak kasar dan rasa pedas (Rostiana dkk.,1991). Rimpang jahe emprit
dapat dilihat pada Gambar 2.
2.2. Minyak Atsiri Jahe
Minyak atsiri atau yang disebut juga dengan essential oils, etherial oils,
atau volatile oils adalah komoditi ekstrak alami dari jenis tumbuhan yang berasal
dari daun, bunga, kayu, biji-bijian bahkan putik bunga. Setidaknya ada 150 jenis
minyak atsiri yang selama ini diperdagangkan di pasar internasional dan 40 jenis
di antaranya dapat diproduksi di Indonesia. Meskipun banyak jenis minyak atsiri
yang bisa diproduksi di Indonesia, baru sebagian kecil jenis minyak atsiri yang
telah berkembang dan sedang dikembangkan di Indonesia.
Kegunaan minyak atsiri sangat banyak, tergantung dari jenis tumbuhan
yang diambil hasil sulingannya. Minyak atsiri digunakan sebagai bahan
bakudalam perisa (penyedap rasa/flavour) maupun pewangi. Industri kosmetik
dan parfum menggunakan minyak atsiri kadang sebagai bahan pewangi
pembuatan sabun, pasta gigi, sampho, lotion dan parfum. Industri makanan
menggunakan minyak atsiri setelah mengalami pengolahan sebagai perisa atau
menambah cita rasa. Industri farmasi menggunakannya sebagai obat anti nyeri,
anti infeksi, dan pembunuh bakteri (Feriyanto,2013).
Minyak atsiri memiliki banyak kegunaan di berbagai sektor kehidupan.
Minyak atsiri yang didapatkan dari berbagai tanaman sering digunakan sebagai
bahan pemberi aroma makanan, ataupun parfum, namun dalam studi yang lebih
16
lanjut minyak atsiri dapat juga digunakan sebagai antimikroba terhadap bakteri-
bakteri patogen.
Minyak atsiri yang disuling dari jahe berwarna bening sampai kuning tua
bila bahan yang digunakan cukup kering. Lama penyulingan dapat berlangsung
sekitar 10-15 jam, agar minyak dapat tersuling semua. Kadar minyak dari jahe
sekitar 1,5- 3%. Standar mutu minyak jahe, masih mengacu pada ketentuan EOA
(Essential Oil Association) (Herudianto dan Indiarto, 2010). Standar mutu minyak
jahe dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Persyaratan minyak atsiri jahe
No Spesifikasi Persyaratan
1 Warna Kuning muda-kuning
2 Bobot jenis 25/25oC 0,877-0,882
3 Indeks bias (nD25
) 1,486-1,492
4 Putaran optik (-28o)-(-45
o)
5 Bilangan penyabunan, maksimum 20
Sumber: Herudianto dan Indiarto (2010)
Komponen utama minyak atsiri jahe adalah seskuiterpen hidrokarbon, dan
paling dominan adalah zingiberen (35%), kurkumen (18%), farnesen (10%), dan
sejumlah kecil bisabolen dan β-seskuifellandren. Sejumlah kecil termasuk 40
hidrokarbon monoterpen seperti 1,8-cineole, linalool, borneol, neral, dan geraniol
(Govindarajan 1982). Komposisi seskuiterpen hidrokarbon (92,17%), antara lain
β- seskuifellandren (25,16%), cis-kariofilen (15,29%), zingiberene (13,97%), α-
farnesen (10,52%), α- (7,84%) dan β-bisabolene (3,34%) dan lainnya. Selain itu,
terkandung juga sejumlah kecil limonen (1,48 – 5,08%), dimana zingiberene dan
β-seskuiterpen sebagai komponen utama dengan jumlah 10 sampai 60%
17
(Wohlmuth et al., 2006 dan Felipe et al., 2008 dikutip Henarni dan Winarti,
2011).
Minyak jahe berisi gingerol yang berbau harum khas jahe, berkhasiat
mencegah dan mengobati mual dan muntah, misalnya karena mabuk kendaraan
atau pada wanita yang hamil, rasanya yang tajam merangsang nafsu makan,
memperkuat otot usus, membantu mengeluarkan gas usus serta membantu fungsi
jantung. Dalam pengobatan tradisional Asia, jahe dipakai untuk mengobati
selesma, batuk, diare dan penyakit radang sendi tulang seperti artritis. Jahe juga
dipakai untuk meningkatkan pembersihan tubuh melalui keringat (Kusnandar,
2010).
2.3 Penyulingan Minyak Atsiri Jahe (Ginger Essential Oil )
Minyak atsiri (essential oil) dapat diperoleh dengan beberapa cara,
diantaranya yaitu dengan metode destilasi, metode pengepresan, enfleurasi,
maserasi,metode ekstraksi dengan pelarut dan metode ekstraksi dengan CO2 dan
CO2 super kritis. Cara minyak diekstraksi dari tumbuhan penting karena beberapa
proses menggunakan pelarut yang dapat merusak sifat terapeutik. Beberapa
tanaman, terutama bunga, tidak dapat diekstrak dengan distilasi uap. Mereka
sangat halus, atau aroma dan komponen terapeutik mereka tidak dapat didapatkan
hanya dengan menggunakan air. Minyak akan diproduksi sebagai ‘absolut’ dan
walaupun tidak dikenali sebagai minyak atsiri mereka masih memiliki fungsi
terapeutik. Nilai dari proses pembuatan minyak atsiri yang baru sangat bergantung
kepada pengalaman dari pendistilasi, dan juga aplikasi produk akhir yang
diinginkan (Rao dan Pandey, 2006).
18
2.4. Destilasi
Metode destilasi adalah salah satu metode yang paling sering digunakan
dalam produksi minyak atsiri. Metode destilasi dengan uap atau air merupakan
metode yang mudah dilakukan dan relatif aman karena tidak menggunakan
pelarut yang berbahaya sehingga metode destilasi sering digunakan pada produksi
minyak atsiri skala besar.
Metode destilasi secara umum dapat dibagi menjadi tiga jenis metode
yaitu :
1) Destilasi Air
2) Destilasi Uap dan Air
3) Destilasi Uap Langsung (Guenther, 1948).
2.4.1. Destilasi Air
Bahan yang akan disuling berhubungan langsung dengan air mendidih. Bahan
yang akan disuling kemungkinan akan mengapung di atas air ataupun terendam
seluruhnya, bergantung kepada berat jenis dan kuantitas bahan yang akan
diproses. Air dapat dididihkan dengan api secara langsung. Sejumlah bahan
tanaman ada kalanya harus diproses dengan penyulingan air (contoh bunga
mawar, bunga-bunga jeruk) sewaktu terendam dan bergerak bebas dalam air
mendidih. Sedangkan bila bahan tersebut diproses dengan penyulingan uap maka
menyebabkan terjadinya pengumpulan hingga uap tidak dapat menembusnya.
Penyulingan air ini tidak ubahnya bahan tanaman direbus secara langsung
(Sastrohamidjojo, 2004). Proses destilasi air dapat dilihat pada Gambar 3.
19
Gambar 3. Destilasi Air
(Guenther, 1948)
2.4.2. Destilasi Uap dan Air
Bahan tanaman yang akan diproses dengan penyulingan uap dan air
ditempatkan pada suatu tempat yang bagian bawah dan tengah berlubang-lubang
dan ditopang diatas dasar alat penyulingan. Bagian bawah alat penyulingan diisi
sedikit air dibawah bahan ditempatkan. Air dipanaskan dengan api seperti pada
penyulingan air. Bahan tanaman yang disuling hanya terkena uap dan tidak
terkena air yang mendidih (Sastrohamidjojo, 2004).
Bila dibandingkan dengan destilasi air, destilasi uap dan air memiliki
kelebihan yaitu mengurangi kemungkinan terbentuknya produk dekomposisi
dalam minyak (hidrolisis ester, polimerisasi, resinifikasi, dll.), selama
dibutuhkannya bejana yang dapat dipindahkan (portable) dan perlengkapan yang
berukuran kecil, maka destilasi uap dan air di beberapa kasus merupakan metode
20
yang lebih baik dibandingkan destilasi air, metode ini membutuhkan lebih sedikit
bahan bakar, waktu yang lebih pendek, dan memproduksi lebih banyak minyak
walaupun dengan kecepatan penguapan yang rendah (Guenther, 1948). Proses
destilasi uap dan air dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Destilasi Uap dan Air
(Guenther, 1948)
2.4.3. Destilasi Uap langsung
Destilasi dengan uap adalah metode destilasi yang paling sering
digunakan.Uap dapat dialirkan dari bejana yang berbeda (Destilasi Uap
Langsung) ataupun diproduksi dari air yang ditambahkan di dasar bejana
(Destilasi Uap dan Air). Destilasi uap langsung hampir sama dengan destilasi uap
dan air namun uap yang digunakan dihasilkan dari suatu pembangkit uap air
(Guenther, 1948).
21
Destilasi uap memungkinkan suatu senyawa atau campuran senyawa untuk
disuling pada temperatur dibawah titik didih dari masing masing unsur. Minyak
atsiri mengandung substansi dengan titik didih 200oC atau lebih tinggi, termasuk
beberapasubstansi dalam bentuk padatan pada temperatur normal. Zat-zat tersebut
diuapkan pada suhu mendekati 100oC pada tekanan atmosfer dengan uap air atau
air mendidih. Suhu uap yang digunakan harus cukup untuk menguapkan
kandungan minyak dalam bahan namun tidak terlalu tinggi sehingga dapat
merusak bahan atau kandungan minyak. Campuran uap panas akan melewati
sistem pendingin, terkondensasi dan membentuk cairan dimana biasanya minyak
atsiri membentuk lapisan pada bagian atas air (Rao dan Pandey 2006).
Uap panas yang digunakan untuk destilasi dihasilkan baik dalam bejana
dari baja yang berisi material tanaman (yang berisi air mendidih pada dasarnya)
atau dengan boiler eksternal. Penggunaan uap yang dihasilkan dari bejana
mengharuskan bahan baku untuk ditopang diatas air mendidih dengan
menggunakan kisi. Air dipanaskan baik secara langsung menggunakan api
ataupun dengan kumparan heat exchanger. Kesederhanaan dari metode ini
menjadikannya cocok digunakan untuk destilasi dalam skala lebih kecil minyak
atsiri. Apabila uap panas diatur oleh eksternal boiler, uap tersebut akan dialirkan
ke dalam dasar bejana melalui kumparan terbuka, jets atau perangkat serupa.
Keuntungan dari destilasi tipe ini adalah relatif cepat dan lebih mudah untuk
dikontrol. Bejana dapat dikosongkan dan diisi dengan cepat dan dengan
reintroduksi langsung dari uap panas tidak ada penundaan saat dimulainya proses
destilasi (Coppen, 1995).
22
Destilasi uap memiliki beberapa keuntungan diantaranya yaitu merupakan
proses yang relatif murah untuk dioperasikan pada tingkat dasar, dan karakteristik
minyak yang dihasilkan oleh metode ini sudah dikenal (Rao dan Pandey, 2006).
Proses destilasi uap langsung dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Destilasi Uap Langsung
(Ashurst, 1999)
2.5. Mikroenkapsulasi
Proses mikroenkapsulasi adalah proses dimana partikel yang sangat kecil
atau butiran diselimuti oleh suatu lapisan, atau tertanam dalam matriks yang
homogen atau heterogen untuk memberikannya berbagai fungsi yang berbeda.
Mikroenkapsulasi dapat memberikan batasan antara bahan inti dengan komponen
lain di dalam produk. Di dalam bidang pangan, mikroenkapsulasi adalah teknik
dimana cairan dalam bentuk tetesan, bahan padat, atau gas terperangkap di dalam
lapisan tipis yang aman digunakan untuk bahan pangan (food grade). Bahan inti
dapat terdiri dari satu jenis bahan atau merupakan campuran beberapa bahan yang
berbeda dan bahan pelapis dapat berupa tunggal atau terdiri dari beberapa lapisan
(double-layered). Penghambatan kerusakan bahan inti diatur oleh fungsi kimia,
23
solubilitas, polaritas, dan volatilitas produk (Gharsallaoui dkk., 2007). Berbagai
jenis struktur mikrokapsul dapat dilihat pada gambar 6 dibawah.
Gambar 6. Berbagai Bentuk Mikrokapsul
(Gibbs, Kermasha, dan Mulligan, 1999)
Proses mikroenkapsulasi secara umum melalui tiga tahap dalam suatu
pengadukan yang sinambung, yaitu:
a. Bentuk tiga fase kimia yang belum saling bercampur, yaitu fase pembawa
(air), fase material inti yang akan dilapisi dan fase pengkapsul.
b. Penempelan bahan pengkapsul pada permukaan bahan inti. Umumnya tahapan
ini terjadi karena bahan pengkapsul diadsorbsikan pada antar permukaan yang
terbentuk antara materi inti dan bahan cair
c. Pemadatan lapisan bahan pengkapsul untuk membentuk mikrokapsul yang
biasanya terjadi akibat panas (Martins dkk., 2014).
Beberapa teknik mikroenkapsulasi yang sering digunakan antara lain
adalah teknik spray drying, freeze drying, fludized bed coating, dan coacervation.
Spray drying adalah metode mikroenkapsulasi yang menggunakan spray dryer
yang merupakan unit operasi dimana bahan inti (core product) yang berupa liquid
diatomisasi di dalam aliran gas panas dalam waktu yang singkat untuk
24
memperoleh produk akhir berupa bubuk (powder). Jenis gas yang paling sering
digunakan adalah udara atau gas inert seperti nitrogen. Bahan awal yang
dimasukan ke dalam sprayer dapat berupa campuran, emulsi, ataupun suspensi.
Teknologi spray drying menghasilkan produk akhir bubuk yang sangat halus (10-
15 lm ) atau dengan ukuran partikel yang lebih besar (2-3 mm) yang tergantung
kepada bahan awal dan kondisi operasi (Gharsallaoui dkk., 2007). Karakteristik
berbagai proses enkapsulasi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 . Karakteristik berbagai Proses Enkapsulasi
Jenis Proses Teknik enkapsulasi Ukuran partikel (µm)
Proses kimia
Simple coacervation
Complex Coaservation
Molecular inclusional Cocrystallization
Interfacial polymerization
Solvent evaporation Polyelectrolyte multilayer
Phase inversion
20-200*
5-200*
5-50*
3-30*
1-beberapa*
0.5-1000**
0.02-20
**
0.5-5**
Proses mekanik
Spray drying Spray chilling
Extrusion
Fluidized bed
Pan coating Spinning disc
1-50*
20-200*
200-2000*
˃100*
600-5000**
5-1500
**
Sumber: * Srivastava, Semwal, dan Sharma, 2013.
**S.Sri, dkk., 2012.
Metode spray drying paling sering digunakan dalam proses enkapsulasi,
namun metode spray drying masih memiliki kekurangan, seperti hal nya beberapa
senyawa aromatik dapat hilang (Srivastava, Semwal, dan Sharma, 2013), dapat
mengoksidasi senyawa lemak selama proses pengolahan, produk tidak stabil
dalam penyimpanan, dan memerlukan biaya operasional yang tinggi (Zuidam dan
Nevodic, 2010).
25
Salah satu metode enkapsulasi lain yang dapat digunakan adalah metode
vacuum drying. Metode ini cocok diterapkan pada bahan yang volatil dan tidak
tahan suhu tinggi. Metode pengeringan vakum dapat dilakukan dengan
menggunakan oven vakum yang dapat dilihat pada Gambar 7. Metode ini lebih
sederhana dan murah, selain itu metode vakum dapat mengeringkan bahan pada
suhu yang lebih rendah dibandingkan spray drying sehingga dapat menjadi
alternatif dari pengeringan untuk mikroenkapsulasi.
Gambar 7. Oven Vakum
(Yamato, 2008 dikutip Pratama, 2009)
Pengering rak hampa terdiri dari suatu kabinet dengan rak berongga yang
berlubang. Produk diletakkan di dalam nampan yang ditempatkan di atas rak-rak
yang berlubang tersebut atau jika produk berupa zat padat dapat secara langsung
diletakkan di atas rak berlubang tersebut. Unit pengering ini ditutup rapat dan
kemudian dihampakan. Uap, air panas, minyak panas, Dowtherm atau media
pemanas lain yang cocok dialirkan melalui rongga rak berlubang tadi sehingga
26
dapat memanasi produk yang dikeringkan (Desrosier, 1988). Prinsip kerja oven
vakum dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Cara Kerja Oven Vakum
(Prasetyaningrum, 2010)
Udara dari luar masuk ke alat pengering vakum. Udara ini disedot oleh
pompa vakum agar tekanan udara di dalam alat pengering di bawah satu atm 0,6 -
0.9 atm dan kemudian digunakan untuk proses pengeringan. Sementara itu udara
yang keluar dari pompa vakum dimasukkan ke dalam air pendingin (cooling
water), yang berfungsi vacuum jet ejector. Demikian seterusnya, sehingga proses
pengeringan dapat dilakukan pada tekanan dan suhu yang rendah. Penggunaan
suhu dan tekanan rendah berpotensi untuk meningkatkan kualitas produk, dan
energi efisiensi proses pengeringan. Sistem pengeringan ini sangat cocok dan
efisien untuk mengeringkan bahan-bahan yang tidak tahan suhu tinggi
(Prasetyaningrum, 2010).
2.6. Bahan Penyalut
Bahan penyalut adalah bahan-bahan yang digunakan untuk melapisi inti
dari bahan yang akan dimikroenkapsulasi. Berbagai jenis bahan penyalut telah
27
digunakan dalam proses mikroenkapsulasi seperti maltodekstrin, gum arab, Na-
kaseinat, pati termodifikasi, lemak dan lainnya. Perbedaan bahan penyalut yang
digunakan akan mempengaruhi hasil akhir dari mikrokapsul , oleh karena itu
tahap pemilihan bahan penyalut merupakan salah satu tahap yang penting dalam
proses mikroenkapsulasi.
Struktur dinding dari bahan penyalut dirancang untuk melindungi bahan
inti dari faktor-faktor yang dapat menyebabkan kerusakan, mencegah terjadinya
interaksi antara bahan inti dengan komponen lain, membatasi kehilangan
komponen volatil, dan juga mengontrol atau menjaga pelepasan bahan inti pada
kondisi yang diinginkan (Gharshalloui et al., 2007). Berbagai macam jenis bahan
penyalut di bidang pangan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
Karbohidrat adalah material yang paling sering digunakan di dalam kelas matriks
hidrofilik yang digunakan dalam mikroenkapsulasi. Karbohidrat diklasifikasikan
menjadi empat kategori : gula sederhana atau monosakarida, seperti glukosa dan
fruktosa, disakarida, seperti sukrosa dan laktosa, dan oligosakarida seperti
maltodekstrin dan dekstrin (Vasisht, 2014).
Tabel 5. Bahan Penyalut untuk Enkapsulasi di Bidang Pangan
Parameter Bahan penyalut
Karbohidrat Pati, maltodekstrin, corn syrup solid, dextran, cyclodextrins, pati
termodifikasi, sukrosa
Selulosa Carboxymethyl, cellulose, methylcellulose, ethylcellulose,
nitrocellulose
Gum Gum arab, agar, karagenan, sodium alginat
Lipid Lilin, parafin, lilin lebah(beeswax), asam tristearat , minyak,
lemak, minyak yang dipadatkan
Protein Gluten, kasein, gelatin, albumin, peptida
28
Sumber: Srivastava, Semwal, dan Sharma (2013)
2.6.1. Maltodekstrin
Maltodekstrin adalah suatu produk modifikasi pati. Maltodekstrin sebagai
produk modifikasi pati mempunyai rumus kimia (C6H10O5)nH2O, adalah produk
degradasi bahan baku pati yang memiliki unit α-D-glukosa yang saling berikatan
oleh ikatan glikosidik. Kualitas maltodekstrin dipresentasikan kedalam nilai DE
(Dextrose Equivalent) sesuai dengan spesifisitas Pharmacopeial standar USPNF
XVII untuk produk maltodekstrin yang mempunyai nilai kisaran DE 5-
20.Kelebihan produk ini dapat bercampur dengan air membentuk cairan koloid
bila dipanaskan dan mempunyai kemampuan sebagai perekat, dan tidak bersifat
toksik sehingga dapat digunakan dalam pembuatan tablet obat (Jufri,Anwar dan
Djajadisastra, 2004).
Maltodekstrin atau pati terkombinasi dengan DE yang rendah (kurang dari
20) efektif untuk mikroenkapsulasi flavor (Zuidam dan Nevodic, 2010).
Penggolongan maltodekstrin menjadi maltodekstrin DE rendah dan maltodekstrin
DE tinggi didasarkan pada jumlah maltodekstrin yang terkandung di dalamnya
Dextrose equivalent (DE) adalah persentase hidrolisis dari ikatan glikosidik yang
menyatakan jumlah gula tereduksi. Maltodekstrin DE rendah mengandung jumah
DE antara 3 sampai 15, sedangkan maltodekstrin DE tinggi mengandung DE
antara 16 sampai 20 (Kennedy et al., 1995 dikutip Iskandar 2001). Perbedaan
jumlah kandungan DE menyebabkan adanya perbedaan sifat fungsional dan
stabilitas maltodekstrin.Maltodekstrin DE rendah cenderung mempunyai sifat
mendekati sifat pati sedangkan maltodekstrin DE tinggi bersifat seperti sirup
(Kennedy et.al., 1995 dikutip Desmawarni, 2007).
29
Maltodekstrin memiliki beberapa keuntungan yaitu biaya yang relatif
murah, aroma dan rasa yang netral, viskositas yang rendah pada konsentrasi
padatan yang tinggi dan perlindungan yang baik terhadap oksidasi. Namun
kekurangan maltodekstrin adalah sifat emulsi yang rendah sehingga maltodekstrin
harus dikombinasikan dengan permukaan aktif biopolimer seperti gum arab, pati
termodifikasi, dan protein (Carneiro dkk., 2013).
Maltodekstrin sudah banyak digunakan sebagai bahan penyalut dalam
proses enkapsulasi karena harganya yang cukup murah dan mudah ditemukan.
Maltodekstrin dapat digunakan sebagai pengganti penyalut lain yang lebih mahal
yang sudah digunakan terlebih dahulu seperti gum arab, Na-kaseinat dan whey.
Maltodekstrin dapat dilihat pada Gambar 9 berikut.
Gambar 9. Maltodekstrin
(Anonim2, 2012)
2.6.2. Gum Arab
Gum Arab adalah eksudat kering yang diperoleh dari batang dan cabang
Acaciasenegal (L.) Willdenow atau dekat dengan spesies Acacia (fam.
Leguminosae) terkait. A.seya ladalah spesies yang terkait erat. Gum arab sebagian
besar terdiri dari polisakarida tinggi berat molekul dan kalsium mereka,
magnesium, dan garam kalium, yang pada hasil hidrolisis arabinosa, galaktosa,
30
rhamnose, dan asam glukuronat. Gum arab dari A.seyal kadang-kadang disebut
sebagai permen karettalha (FAO,1995).
Gum ini berasal dari cairan atau getah yang menetes dari batang tanaman
yang biasanya berkayu keras. Umumnya tetesan hidrokoloid ini keluar bila ada
luka pada batang kayu tersebut atau pada kondisi pertumbuhan yang buruk seperti
pada kondisi udara yang terlalu panas atau pada saat kekurangan air. Ada juga
pendapat lain yang menyatakan bahwa cairan ini keluar sebagai proses
metabolisme fisiologis tanaman atau sebagai mekanisme perlindungan diri
terhadap keadaan yang dapat merusak tanaman tersebut (Anonim3, 2006 ).
Gum Arab terbilang unik diantara hidrokoloid alami yang lain karena
kelarutannya yang sangat tinggi di dalam air. Kebanyakan gum tidak dapat larut
dalam air pada konsentrasi yang lebih tinggi dari konsentrasi 55%. Pada
konsentrasi yang tinggi tersebut , gum dapat membentuk massa seperti gel yang
sangat kental yang memiliki karakteristik yang mirip dengan gel pati yang kuat.
Karena dapat membentuk gel dengan padatan tinggi jenis ini, gum arab dapat
digunakan pada konsentrasi yang lebih rendah sebagai pengental dan pengikat
dikombinasikan dengan gum lain (Glicksman, 1983).
Selain kelarutannya yang tinggi, karakteristik utama gum arab adalah
bersifat pembentuk tekstur, pembentuk film, pengikat dan juga pengemulsi yang
baik dengan adanya komponen protein di dalam gum arab. Gum arab dapat
mempertahankan flavor dari makanan yang dikeringkan dengan metode spray
drying karena gum ini dapat membentuk lapisan yang dapat melindungi dari
proses perubahan dekstruktif. Meski begitu gum arab memiliki kelemahan yakni
harganya yang cukup mahal dan ketersediaannya terbatas serta ketahanan
31
oksidasinya rendah. Untuk itu biasanya penggunaan gum arab dicampur dengan
dekstrin seperti maltodekstrin (Thevenet, 1988 dikutip Desmawarni 2007).
Gum arab telah banyak digunakan dan diaplikasikan dalam bidang pangan
seperti dalam konfektionari, produk bakeri, minuman ringan (soft drink),
enkapsulasi flavor, lapisan pelindung (protective coating) untuk melindungi
vitamin, minyak, dan flavor yang tidak stabil dan bermacam-macam kegunaan
lainnya dalam bidang pangan (dalam buku hidrokoloid). Gum arab dapat
diaplikasikan sebagai binding agent bahan pangan maupun bahan obat. Selain itu
gum arab bersifat sebagai emulsifier sehingga bahan yang telah diproses dengan
penambahan gum arab akan mudah dilarutkan dalam air maupun minyak.
Sementara itu dekstrin dapat digunakan sebagai bahan enkapsulasi senyawa
volatile dan minyak (Aghbashlo et al., 2012).
Gum arab dapat digunakan sebagai emulsifier, stabilizer, dan pengental
(FAO, 1995), oleh karena itu gum arab dapat dikombinasikan dengan
maltodekstrin yang memiliki daya emulsifier yang lemah terutama pada bahan
yang berbahan dasar minyak untuk menghasilkan formula penyalut yang baik.
Gambar 10 berikut adalah gambar gum arab yang diambil dari pohonnya.
Gambar 10. Gum Arab
(Cecil, 2005)
32
2.7. Bakteri pada Makanan
Gejala keracunan sering terjadi karena seseorang mengkonsumsi makanan
yang mengandung bahan-bahan berbahaya, termasuk mikroorganisme, yang tidak
dapat dideteksi langsung dengan indera manusia. Bahan-bahan kimia berbahaya
yang terdapat pada makanan sukar diketahui secara langsung oleh orang yang
akan mengkonsumsi makanan tersebut, sehingga seringkali mengakibatkan
keracunan. Mikroorganisme berbahaya yang terdapat di dalam makanan kadang-
kadang dapat dideteksi keberadaannya di dalam makanan jika pertumbuhan
mikroorganisme tertentu menyebabkan perubahan-perubahan pada makanan,
misalnya menimbulkan bau asam, bau busuk, dan lain-lain. Akan tetapi tidak
semua mikroorganisme menimbulkan perubahan yang mudah dideteksi secara
langsung oleh indera kita, sehingga kadang-kadang juga dapat menimbulkan
gejala sakit pada manusia jika tertelan dalam jumlah sangat kecil di dalam
makanan. Jumlah yang sangat kecil ini tidak mengakibatkan perubahan pada sifat-
sifat makanan (Siagian, 2002).
Foodborne disease (penyakit bawaan pangan) merupakan penyakit yang
disebabkan oleh konsumsi pangan (makanan atau minuman) yang terkontaminasi
oleh mikroorganisme atau bahan kimia. Kontaminasi tersebut dapat terjadi pada
berbagai tahap seperti dalam proses pengolahan dan dapat pula diperoleh dari
kontaminasi lingkungan termasuk polusi air, tanah atau udara. Keracunan pangan,
terutama yang disebabkan oleh bakteri patogen, masih menjadi masalah serius di
berbagai negara termasuk Indonesia. Seringkali diberitakan terjadi keracunan
pangan akibat mengkonsumsi hidangan pesta, makanan jajanan, makanan
33
catering, bahkan pangan segar. Bakteri yang mencemari pangan dapat
menyebabkan sakit pada seseorang melalui dua mekanisme, yaitu:
a. Intoksikasi
Merupakan keracunan pangan yang disebabkan oleh produk toksik bakteri
patogen (baik itu toksin maupun metabolit toksik). Bakteri tumbuh pada pangan
dan memproduksi toksin. Jika pangan ditelan, maka toksin tersebut yang akan
menyebabkan gejala, bukan disebabkan bakterinya. Beberapa jenis bakteri yang
menginfeksi manusia dengan menghasilkan toksin antara lain adalah Bacillus
cereus, Clostridium botulinum dan S. aureus.
b. Infeksi
Bakteri patogen dapat menginfeksi korbannya melalui pangan yang
dikonsumsi.Dalam hal ini, penyebab sakitnya seseorangadalah akibat masuknya
bakteri patogen ke dalam tubuh melalui konsumsi pangan yang telah tercemar
bakteri.Untuk menyebabkan penyakit, jumlah bakteri yang tertelan harus
memadai. Hal ini dinamakan dosis infeksi. Beberapa jenis bakteri yang
menginfeksi manusia secara langsung antara lain yaitu bakteri jenis Salmonella,
Clostridium perfringens, dan E.coli (BPOM, 2014).
2.7.1. Staphylococcus aureus
Famili dari Staphylococcaceae terdiri dari empat subfamili, genus
Staphylococcus merupakan yang terpenting. Anggota dari genus ini merupakan
anaerobik fakultatif, nonmotil, kokus gram positif yang biasanya membentuk
gugus tidak beraturan. Sifat bakteri S. aureus adalah katalase positif, oksidase
negatif, memfermentasi glukosa, dan memiliki asam teichoic dalam dinding
selnya. Staphylococcus biasanya berada pada kulit, kelenjar kulit, dan selaput
34
lendir hewan berdarah panas. Staphylococcus berkaitan dengan beberapa penyakit
yang ditemukan pada manusia. S. aureus adalah bakteri Staphylococcus patogen
yang paling berpengaruh pada manusia dan menyebabkan bisul, abses, infeksi
luka, pneumonia, toxic shocks syndrome dan penyakit lainnya (Willey, Sherwood
dan Woolverton, 2008).
S.aureus merupakan bakteri berbentuk bulat (coccus), yang bila diamati di
bawah mikroskop tampak berpasangan, membentuk rantai pendek, atau
membentuk kelompok yang tampak seperti tandan buah anggur. Organisme ini
gram positif. Beberapa strain dapat menghasilkan racun protein yang sangat tahan
panas, yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Staphylococcus ada di
udara, debu, air buangan, air, susu, dan makanan atau pada peralatan makan,
permukaan-permukaan di lingkungan, manusia, dan hewan. Manusia dan hewan
merupakan sumber utama infeksi. Staphylococcus ada pada saluran hidung dan
tenggorokan dan pada rambut dan kulit dari 50% atau lebih individu yang sehat.
Tingkat keberadaan bakteri ini bahkan lebih tinggi pada mereka yang
berhubungan dengan individu yang sakit dan lingkungan rumah sakit. Walaupun
pengolah makanan merupakan sumber utama kontaminasi dalam kasus-kasus
keracunan makanan, peralatan dan permukaan lingkungan dapat juga menjadi
sumber kontaminasi oleh S. aureus. Keracunan pada manusia disebabkan oleh
konsumsi enterotoxin yang dihasilkan oleh beberapa strain S. aureus di dalam
makanan , biasanya karena makanan tersebut tidak disimpan pada suhu yang
cukup tinggi (60°C, atau lebih) atau cukup dingin (7.2°C, atau kurang) (Anonim4,
2014).
35
S. aureus diklasifikasikan ke dalam kingdom Bacteria, subkingdom
Posibacteria, filum Firmicutes, kelas Bacilli, orde Bacillales, famili
Staphylococcaceae, genus Staphylococcus, dan spesies Staphylococcus aureus
(ITIS, 2012). Gambar sel S. aureus dapat dilihat pada Gambar 11.
S. aureus adalah penyebab utama dari kasus keracunan makanan. Strain S.
aureus menunjukkan bahwa mikroba jenis ini mudah untuk mendapatkan unsur
genetik dari bakteri lain. Pada kenyataannya, unsur genetik yang besar dan dapat
bergerak muncul untuk mengkodekan faktor antibiotik resisten dan protein yang
meningkatkan keracunan. Salah satu faktor penyebab keracunan yang diproduksi
oleh S. aureus adalah enzim koagulase yang menyebabkan pembekuan plasma
darah. Media perkembangan blood agar dengan pola hemolisis juga berguna
dalam mengidentifikasi staphylococcus ini. S. aureus biasanya tumbuh pada
membran nasal dan kulit. Ditemukan juga pada saluran pencernaan dan saluran
urin hewan berdarah panas (Willey, Sherwood dan Woolverton, 2008).
Gambar 11.Staphylococcus aureus
(Willey, Sherwood dan Woolverton, 2008)
Berbagai macam zat kimia dapat digunakan sebagai pengawet untuk
membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti S.aureus pada
makanan namun banyak zat pengawet kimia yang berbahaya seperti formalin dan
Sel S. aureus
berbentuk kokus
36
boraks yang sering disalahgunakan penggunaannya pada makanan, oleh karena itu
dapat digunakan zat antimikroba alami sebagai pengawet pada makanan.
Elgayyar, dkk (2001) membuktikan bahwa beberapa jenis rempah-rempah
memiliki efektivitas antimikroba terhadap S. aureus dan beberapa bakteri patogen
lain dengan rempah oregano yang memiliki aktivitas antibakteri paling besar
dengan zona bening ≥70-80 mm. Ekstrak jahe juga memiliki aktivitas antibakteri
terhadap bakteri S. aureus dengan zona hambat 9,67 mm dengan pelarut air dan
zona hambat sebesar 13.05 mm untuk pelarut etanol (Ogodo dan Ekeleme, 2013).
2.5.2. Escherichia coli
Spesies E.coli terdiri gram-negatif, oksidasi negatif langsung,
berbentuk batang silinder berukuran1,1-1,5x2,0-6,0 pM. Bakteri ini termasuk
golongan aerobik dan anaerobic fakultatif, bergerak dengan flagellaperitrichous,
atau non-motil (Scheutz &Strockbine, 2005).
Berikut adalah taksonomi dari E. coli: kingdom Proteobacteria,
subkingdom Negibacteria, filum Proteobacteria, kelas Gamma proteobacteria,
orde Enterobacteriales, family Enterobacteriaceae, genus Escherichia, spesies
Escherichia coli (ITIS, 2012). Bentuk sel dari Escherichia coli dapat dilihat pada
Gambar 12.
Gambar 12.Escherichia coli
(Commisso, 2014)
Sel E coli
berbentuk basil
37
E. coli biasanya berkoloni di saluran pencernaan bayi beberapa jam setelah
dilahirkan E. coli dan inang manusia yang pada umumnya berkerja sama untuk
menghasilkan kesehatan yang baik dan keuntungan bersama dalam waktu yang
lama. Strain E.coli jarang menyebabkan penyakit kecuali pada inang yang
imunitasnya rendah atau pencernaan yang tidak normal, contohnya penyakit
peritonitis tetapi saat ini sudah ada beberapa jenis E.coli beradaptasi yang
memiliki atribut penyakit spesifik, dimana dapat meningkatkan kemampuan
beradaptasi terhadap lingkungan baru dan membuatnya dapat menimbulkan
spektrum penyakit yang luas (Kaper, Nataro, dan Mobley, 2004).
Anggota dari Enterobacteriaceae sangatlah banyak, tersebar luas dan
mungkin lebih sering terlihat di kebanyakan laboratorium dibandingkan dengan
bakteri lain. E. Coli merupakan bakteri yang sudah banyak dipelajari dan
merupakan organism eksperimental pilihan banyak mikrobiologis. Bakteri E coli
ada dalam kolon pada manusia dan hewan berdarah panas yang lain, dan sangat
bermanfaat untuk analisis air pada kontaminasi fekal. Beberapa strain
menyebabkan gas troenteritis atau infeksi saluran kemih. Beberapa genus
memiliki patogen manusia yang penting yang bertanggung jawab untuk
beberapa penyakit (Willey, Sherwood dan Woolverton, 2008).
Senyawa bioaktif alami yang didapatkan dari beberapa tumbuhan terbukti
memiliki sifat antimikroba yang dapat mengurangi jumlah bakteri E. coli pada
makanan. Berdasarkan penelitian Elgayyar dkk., (2014) rempah ketumbar dan
basil memiliki efektivitas antibakteri yang cukup tinggi (52 mm dan 37 mm)
terhadap bakteri E.coli O157:H7. Menurut penelitian Rialita (2014), minyak atsiri
jahe merah dan lengkuas merah 1% v/v terbukti memiliki aktivitas antimikroba
38
yang bersifat sedang terhadap E. coli dan beberapa bakteri patogen lainnya
dengan zona bening berkisar antara 7.17-11.17 mm.
2.8. Antimikroba
Antimikroba adalah suatu bahan yang dapat mengganggu pertumbuhan
dan metabolisme mikroorganisme. Pemakaian bahan antimikroba merupakan
suatu usaha untuk mengendalikan bakteri maupun jamur, yaitu segala kegiatan
yang dapat menghambat, membasmi, atau menyingkirkan mikroorganisme.Tujuan
utama pengendalian mikroorganisme untuk mencegah penyebaran penyakit dan
infeksi, membasmi mikroorganisme pada inang yang terinfeksi, dan mencegah
pembusukan dan perusakan oleh mikroorganisme. Ada beberapa hal yang harus
dipenuhi oleh suatu bahan antimikroba, seperti mampu mematikan
mikroorganisme, mudah larut dan bersifat stabil, tidak bersifat racun bagi manusia
dan hewan, tidak bergabung dengan bahan organik, efektif pada suhu kamar dan
suhu tubuh, tidak menimbulkan karat dan warna, berkemampuan menghilangkan
bau yang kurang sedap, murah dan mudah didapat (Pelczar & Chan, 1988).
Zat pengawet dapat bersifat bakterisidal atau membunuh bakteri,
bakteristatik atau menghambat pertumbuhan bakteri, fungisidal, fungistatik,
menghambat germinasi spora bakteri dan sebagainya. Mekanisme penghambatan
pertumbuhan mikroba oleh komponen antimikroba adalah sebagai berikut:
perusakan dinding sel mikroba (lisis), perubahan permeabilitas membran
sitoplasma, terjadi denaturasi protein sel dan penghambatan kerja enzim di dalam
sel.
Komponen utama yang memberikan sifat antimikroba pada rempah-
rempah adalah minyak esensial. Minyak esensial dikenal juga dengan nama
39
minyak terbang atau minyak atsiri dan kadang-kadang disebut juga sebagai
minyak rempah. Minyak ini mengandung komponen aromatik yang tinggi
(Purseglove et al., 1981 dikutip Susilawati, 1987).
Menurut Shelef (1983) dikutip Susilawati, (1987), komponen antimikroba
yang terdapat didalam rempah-rempah terutama kandungan fenolnya dengan berat
molekul antara 150 sampai 160, yaitu yang mempunyai gugus OH. Eugenol,
carvacrol dan timol merupakan komponen antimikroba utama yang ada pada
cengkih, lada, dan kayu manis. Umumnya bakteri gram positif dihambat pada
konsentrasi rempah-rempah yang lebih rendah dibandingkan dengan bakteri gram
negatif karena dinding sel bakteri dengan gram positif lebih mudah untuk
dirusakkan oleh zat-zat antimikroba. Contoh bakteri yang pertumbuhannya
terhambat oleh rempah adalah E.coli, B. cereus, B. subtilis, A. flavus, dan A.
parasiticus. Mekanisme penghambatan oleh senyawa fenol sebagai antibakteri
adalah dengan cara meracuni protoplasma sel dan merusak dinding sel serta
mengendapkan protein sel mikroba. Senyawa yang ada dalam rempah dapat
menyebabkan denaturasi protein sehingga merusak membran sel bakteri.
Efektifitas sifat antimikroba dari setiap jenis rempah-rempah berbeda untuk setiap
mikroba.
Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi dan
metodedilusi (pengenceran). Disc diffusion test atau uji difusi disk dilakukan
dengan mengukur diameter zona bening (clear zone) yang merupakan petunjuk
adanya respon penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri
dalam ekstrak. Syarat jumlah bakteri untuk uji kepekaan / sensitivitas yaitu 105-
108 CFU/mL (Hermawan, Hana, dan Wiwiek, 2007).
40
a. Metode Difusi
Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar. Cakram
kertas saring berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada permukaan medium
padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah
inkubasi, diameter zona hambatan sekitar cakram dipergunakan mengukur
kekuatan hambatan obat terhadap organisme uji. Metode ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor fisik dan kimia, selain faktor antara obat dan organisme (misalnya
sifat medium dan kemampuan difusi, ukuran molekular dan stabilitas obat).
Meskipun demikian, standarisasi faktor-faktor tersebut memungkinkan melakukan
uji kepekaan dengan baik (Jawetz et al., 2001).
Pada uji difusi cakram , efektivitas antimikroba dapat diketahui dengan
melihat zona bening (inhibition zone) yang terbentuk. Hasil difusi agar umumnya
kualitatif. Sensitivitas mikroorganisme yang diuji berkaitan dengan ukuran zona
hambat dalam millimeter. Seperti dijelaskan Elgayyar et al.,(2001), aktivitas
antimikroba ekstrak tumbuh-tumbuhan dapat dikelompokkan berdasarkan
diameter penghambatan pada media agar menjadi tiga kategori, yaitu tinggi ( >
11mm), sedang ( > 6mm - < 11 mm) dan rendah (˂ 6 mm ).
b. Metode Dilusi
Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara
bertahap, baik dengan media cair ataupun padat. Kemudian media diinokulasi
bakteri uji dan dieramkan. Tahap akhir dilarutkan antimikroba dengan kadar yang
menghambat atau mematikan. Uji kepekaan cara dilusi agar memakan waktu dan
penggunaannya dibatasi pada keadaan tertentu saja (Jawetz, et al., 2001).