ii. tinjauan pustaka 2.1. bawang merah -...
TRANSCRIPT
-
FTIP001630/001
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bawang Merah
Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas yang sudah tidak asing
lagi manfaatnya, yaitu sebagai bumbu dapur atau penyedap masakan sehari-hari. Bawang merah
termasuk kedalam Divisio Spermatophyta, Subdivisio Angiospermae, Kelas Monocotyledonae,
Ordo Asparagales (Liliiflorae), Famili Alliacea, Genus Allium, Spesies Allium ascalonicum L
(Sumarni dan Sumiati, 1995 dikutip Djali, 2009). Bawang merah merupakan tanaman semusim
sejenis rumput-rumputan, tumbuh tegak dengan tinggi mencapai 15-50 cm, membentuk rumpun
dan berumbi lapis. Sistem perakaran bawang merah berbentuk akar serabut tidak panjang, bentuk
daun bulat kecil dan memanjang seperti pipa. Bagian ujung daunnya meruncing, bagian
bawahnya melebar dan membengkak serta daunnya berwarna hijau.
Bagian pangkal umbi berbentuk cakram dan merupakan batang pokok tidak sempurna
(rudimenter). Akar-akar serabut tumbuh dari bagian bawah cakram, sedangkan di bagian atas
cakram diantara lapisan daun yang membengkak terdapat tunas yang akan tumbuh menjadi
tanaman baru. Tunas ini dinamakan tunas lateral. Tunas apical terdapat di bagian tengah cakram
dan kelak akan tumbuh menjadi bunga. Penampang melintang dan membujur umbi bawang
merah serta bagian-bagiannya disajikan pada Gambar 1 dibawah ini.
-
FTIP001630/002
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Gambar 1. Penampang Melintang dan Membujur Umbi Bawang Merah
(Wibowo, 1999)
Bawang merah memiliki umbi yang berlapis-lapis dan dibungkus oleh lapisan
pembungkus. Lapisan pembungkus siung umbi bawang merah biasanya 2-3 helai dan lapisan
dari setiap siung berukuran relatif lebih tebal. Menurut Djali (2009), besar kecilnya siung
bawang merah ditentukan oleh banyak dan tebal lapisan pembungkusnya.
Kandungan zat gizi dalam umbi bawang merah dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan,
waktu panen, penyimpanan, dan pengolahan. Air merupakan salah satu komponen yang cukup
tinggi yaitu dapat mencapai 85% (Wibowo, 1999). Bawang merah juga mengandung senyawa
kimia dan asam amino yang mudah larut dalam air. Ikatan asam amino ini dikenal sebagai aliin.
Senyawa-senyawa lain yang terdapat dalam minyak atsiri bawang merah diduga dapat bersifat
antibakteri dan antijamur tertentu. Kandungan zat gizi umbi bawang merah per 100 gram dapat
dilihat pada Tabel 1.
Bawang-bawangan memiliki bau khas yang disebabkan oleh senyawa belerang yang
timbul bila jaringan tanaman tersebut terluka. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dan letak
prekursor flavor dan enzim. Prekursor flavor terletak pada bagian sitoplasma, sedangkan enzim
pada bagian vakuola.
Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Umbi Bawang Merah per 100 gram
Keterangan :
A. Sosok utuh tanaman bawang merah
B. Potongan melintang umbi bawang merah
1. Akar serabut
2. Cakram (batang pokok rudimenter)
3. Umbi lapis
4. Tunas lateral (kuncup)
5. Daun muda
6. Calon tunas
-
FTIP001630/003
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Komponen Komposisi
Air (%) 80-85
Protein (%) 1,5
Lemak (%) 0,3
Karbohidrat (%) 9,2
-karoten (IU) 50
Thiamin (mg) 30
Riboflavin (mg) 0,04
Niasin (mg) 20
Asam askorbat (mg) 9
Kalium (mg) 30
Zat besi (mg) 0,8
Fosfor (mg) 40 Sumber : Wibowo, 1999
Dikenal ada beberapa varietas bawang merah yang berasal dari daerah tertentu seperti
varietas bawang merah Sumenep, Bima, Lampung, Maja, dan sebagainya, yang satu sama lain
nampak perbedaannya yaitu dari bentuk dan warnanya. Varietas Bima misalnya dikenal tinggi
hasilnya, bentuk umbinya lonjong, dan berwarna merah muda. Varietas Lampung bentuknya
bulat, warnanya merah pucat dengan hasil sedang-sedang saja. Menurut Rismunandar (1986),
varietas khusus daerah dapat saja terbentuk karena ulah manusia juga. Bawang merah yang
ditanam melalui umbi atau dengan kata lain secara vegetatif, keturunannya tidak akan berubah
secara drastis, seperti halnya dengan pengembangan melalui persilangan.
Kebutuhan bawang merah di Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya namun tidak
diiringi oleh jumlah produksi yang terjadi penurunan. Data produksi dan luas panen bawang
merah dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Produksi dan Luas Panen Bawang Merah
Wilayah Produksi (ribu ton) Luas panen (ribu ha)
2001 2002 2001 2002
Jawa 665,0 596,3 62,5 67,2
Bali & Nusa Tenggara 129,3 115,9 8,7 9,4
Sumatera 43,3 38,8 5,4 5,8
Kalimantan 0,1 0,1 0,0 0,0
Sulawesi 18,7 16,8 5,2 5,6
Maluku & Papua 4,8 4,3 0,4 0,4
-
FTIP001630/004
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Luar Jawa 196,2 175,9 19,7 21,2
Indonesia 861,2 772,1 82,2 88,4 Sumber : Statistik Indonesia, 2002
Berdasarkan Tabel 2 diatas, pulau Jawa memiliki tingkat produksi terbesar dibandingkan
dengan pulau-pulau lain di Indonesia. Tingkat produksi pada tahun 2001 sebesar 665,0 ribu ton,
namun menurun pada tahun berikutnya menjadi sebesar 596,3 ribu ton. Hal tersebut tidak sejalan
dengan peningkatan luas panen bawang merah di pulau Jawa dari 62,5 ribu ha meningkat
menjadi 67,2 ribu ha. Perbedaan produktivitas dari setiap varietas bawang merah tidak hanya
bergantung pada sifatnya, namun juga dipengaruhi oleh kondisi daerah. Iklim, pengairan, dan
kondisi tanah merupakan faktor penentu dalam produktivitas maupun kualitas umbi bawang
merah. Menurut SNI 01-3159-1992, umbi bawang merah memiliki syarat mutu seperti pada
Tabel 3, sedangkan menurut Rismunandar (1986), kualitas umbi bawang merah ditentukan oleh
beberapa faktor misalnya :
warna yang merah cerah lebih menarik dan disukai
ketatnya umbi alias kepadatannya
rasanya pedas, lemah, sedang, atau keras
baunya setelah digoreng sedap/wangi
bentuknya, umbi yang bulat nampak lebih disukai daripada yang lonjong.
Tabel 3. Syarat Mutu Bawang Merah (SNI 01-3159-1992)
Karakteristik
Syarat Cara
pengujian Mutu
I
Mutu
II
Kesamaan sifat varietas Serag
am
Serag
am Organoleptik
Ketuaan Tua Cuku
p tua Organoleptik
Kekerasan Keras Cuku
p keras Organoleptik
Diameter (cm) min. 1,7 1,3 SP-SMP-309-
1981
-
FTIP001630/005
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Kekeringan Kerin
g simpan
Kerin
g simpan Organoleptik
Kerusakan, % (bobot/bobot)
maks. 5 8
SP-SMP-310-
1981
Busuk, % (bobot/bobot) maks. 1 2 SP-SMP-311-
1981
Kotoran, % (bobot/bobot) maks. Tidak
ada
Tidak
ada
SP-SMP-313-
1981
Kadar Air (%) 80-85 75-80 SP-SMP-313-
1981 Sumber : Badan Standardisasi Nasional, 1992
Umur panen bawang merah sangat ditentukan oleh jenis varietas dan ketinggian tempat
tumbuhnya. Bawang merah yang ditanam di dataran tinggi (suhu 15C-21C) umur panennya
lebih panjang karena pembentukan umbi lambat sedangkan yang ditanam di dataran rendah
(suhu 25C-30C) umumnya umur panen lebih pendek karena umbinya cepat terbentuk
(Sunarjono dan Soedomo, 1989). Bawang merah pada umumnya sudah dapat dipanen pada umur
60-70 hari setelah tanam di dataran rendah dan 80-90 hari di dataran tinggi. Jika penanaman
bawang merah dimaksudkan untuk menghasilkan bibit, pemanenan harus dilakukan setelah
bawang merah benar-benar telah cukup tua, sedangkan untuk konsumsi dapat dipanen sedikit
lebih muda.
Kriteria panen bawang merah dapat ditentukan secara visual yang ditandai dengan daun
tanaman sudah berwarna kekuning-kuningan dan sudah rebah, bagian leher mulai menjadi lunak
dan ujungnya terpisah serta warnanya berubah menjadi kuning. Pemanenan bawang merah
varietas Bima di dataran rendah untuk konsumsi berbeda dengan bawang merah untuk bibit. Ciri
tanaman bawang merah untuk konsumsi ditandai dengan perubahan warna daun menjadi
kekuningan telah mencapai 60%-70% dengan umur 50-55 hari setelah tanam; sedangkan untuk
bibit perubahan warna daun menjadi kekuningan telah mencapai 90% dengan umur 60-65 hari
setelah tanam (Wills et al.,1981 dikutip Djali, 2009).
-
FTIP001630/006
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
2.1.1. Curing Bawang Merah
Istilah curing umumnya hanya digunakan pada penanganan ubi-ubian. Curing adalah
proses pengeringan kulit terluar batang semu dan bagian leher umbi bawang sehingga
membentuk semacam sisik kering. Tujuannya adalah agar permukaan kulit yang terluka atau
tergores dapat tertutup kembali (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Hal ini biasanya dilakukan
dengan cara membiarkan umbi bawang untuk beberapa hari pada suhu ruang. Proses
penyembuhan ini diperlukan agar luka atau goresan tersebut tidak menjadi lokasi masuknya
patogen (Muchtadi, 1992). Curing umbi dilakukan segera setelah panen sebelum disimpan atau
dipasarkan.
Curing dapat dilakukan secara tradisional yaitu dengan mengandalkan sinar matahari
sebagai sumber panas maupun secara artifisial yaitu dengan hembusan udara segar menggunakan
alat pembangkit panas untuk memanaskan udara pengering atau dapat pula dengan asap panas
pembakaran. Curing umbi bawang merah pada prinsipnya adalah proses pengeringan. Proses
curing untuk mendapatkan umbi bawang merah kering lokal umumnya dilaksanakan dengan
penjemuran selama 3-4 hari dibawah terik matahari langsung, sedangkan bila diinginkan umbi
kering simpan diperlukan waktu sekitar 10-14 hari (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Apabila
cuaca tidak memungkinkan, curing dilaksanakan secara mekanis. Aplikasi pengering mekanis
pada proses curing bawang merah perlu mempertimbangkan faktor-faktor suhu, kelembaban
udara, dan lama pengeringan.
Proses curing secara konvensional berakhir apabila leher umbi tampak telah menyempit
dan keras, kulit terluar umbi bawang menjadi kering dan mengeluarkan bunyi gemerisik bila
digesek-gesekkan dan umbi menjadi lebih keras (Musaddad dan Sinaga (1995). Pada kondisi
tersebut susut bobot dapat mencapai 5% (Sanguansari dkk, 1995 dikutip Djali, 2009).
-
FTIP001630/007
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
2.1.2. Penyimpanan Bawang Merah
Kegiatan pascapanen yang mempunyai peranan penting dalam mempertahankan kualitas
umbi bawang merah adalah saat penyimpanan. Penyimpanan bawang merah dapat dilakukan
dengan dua metode antara lain penyimpanan tradisional dan penyimpanan modern. Penyimpanan
tradisional dilakukan dengan kondisi ruang penyimpanan pada suhu antara 25C-30C dengan
kelembaban relatif (RH) 65%-70% dan sirkulasi udara yang cukup baik. Penyimpanan modern
dilakukan dengan teknologi pendinginan. Kondisi yang ideal untuk cara ini adalah udara dengan
suhu 0C (Hall, 1980).
Petani bawang merah dengan jumlah produksi sedikit dapat menyimpannya di ruangan
dapur, digantung pada tambang yang direntangkan dari bilik ke bilik. Cara penyimpanan umbi
demikian dapat bertahan lama, karena setiap harinya mengalami pengasapan. Udara didalam
ruangan dapat tetap relatif kering sehingga tetap terjamin tidak akan terjadi infeksi dari jamur
maupun hama. Ikatan umbi bawang merah yang digantung pada tambang maupun pada belahan
bambu dalam gudang dapat bertahan hingga 6 bulan dalam suhu udara 26C-29C. Udara yang
terlalu lembab dapat mengundang infeksi penyakit cendawan tumbuh dalam gantungan
(Rismunandar, 1986).
2.2. Aktivitas Air
Aktivitas air (aw) merupakan salah satu parameter hidratasi yang sering diartikan sebagai
air dalam bahan yang digunakan untuk pertumbuhan jasad renik. Scott (1957) dalam Purnomo
(1995) pertama kali menggunakan aw sebagai petunjuk adanya sejumlah air dalam bahan pangan
yang dibutuhkan bagi pertumbuhan mikroorganisme. Aktivitas air ini juga terkait erat dengan
adanya air dalam bahan pangan.
-
FTIP001630/008
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Aktivitas air dinyatakan sebagai potensi kimia yang nilainya bervariasi dari 0 sampai 1.
Pada nilai aw sama dengan 0 berarti molekul air yang bersangkutan sama sekali tidak dapat
melakukan aktivitas dalam proses kimia, sedangkan nilai aw sama dengan 1 berarti potensi air
dalam proses kimia dalam kondisi maksimal.
Purnomo (1995) menyatakan bahwa masing-masing mikroorganisme membutuhkan
jumlah air yang berbeda untuk pertumbuhannya. Pada nilai aw tinggi sekitar 0,91 bakteri
umumnya tumbuh dan berkembang biak dan khamir dapat tumbuh dan berkembang biak pada
nilai aw 0,87-0,91 sedangkan kapang lebih rendah yaitu pada nilai aw 0,80-0,87. Aktivitas air
merupakan nilai desimal kelembaban relatif (RH) kesetimbangan udara yang berhubungan
langsung dengan bahan pada kadar air setimbang (Toledo, 1980).
Dalam fase gas, aktivitas dari salah satu jenis gas adalah sama dengan tekanan parsialnya
dibagi dengan tekanan total dari sistem apabila ruangan itu dijenuhi oleh gas yang bersangkutan
(Labuza, 1984); lebih lanjut aw dinyatakan dalam bentuk persamaan :
aw =
Dimana :
aw = aktivitas air
P = tekanan parsial uap air
P0 = tekanan uap air murni
Apabila nilai RH udara diketahui dan air dalam bahan telah mencapai kesetimbangan
dengan lingkungannya, maka persamaan aw (Labuza, 1984) adalah :
aw =
dimana ERH = kelembaban relatif udara pada kadar air setimbang bahan
-
FTIP001630/009
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Sudarmadji dkk. (1996) dikutip Kusnandar (2003) menyatakan bahwa besarnya aw
dipengaruhi oleh jenis bahannya. Pada kadar air yang tinggi belum tentu memberikan aw yang
tinggi bila bahannya berbeda. Jika suatu bahan pangan disusun oleh zat-zat yang mudah
mengikat air maka air bebas pada bahan pangan tersebut relatif menjadi lebih kecil dan akibatnya
bahan pangan tersebut mempunyai aw yang rendah.
2.3. Kadar Air
Kadar air merupakan salah satu sifat fisik dari bahan yang menunjukkan banyaknya air
yang terkandung di dalam bahan yang mempengaruhi beberapa hal yaitu seberapa jauh
penguapan dapat berlangsung, lamanya proses pengeringan dan jalannya proses pengeringan.
Kadar air dapat dinyatakan dalam basis basah atau basis kering. Kadar air basis basah (wb)
adalah perbandingan berat air didalam bahan tersebut dengan berat total bahan. Kadar air basis
basah dapat ditentukan dengan persamaan berikut (Henderson dan Perry, 1976) :
M = x 100% = x 100%
Keterangan :
M = kadar air basis basah (%)
Wm = berat air dalam bahan (g)
Wd = berat bahan kering (g)
Wt = berat total bahan (g)
Cara lain untuk menyatakan kadar air yaitu dengan menggunakan basis kering (db), yaitu
perbandingan berat air dalam bahan terhadap berat bahan keringnya. Kadar air basis kering dapat
ditentukan oleh persamaan berikut (Henderson dan Perry, 1976) :
-
FTIP001630/010
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
M = x 100%
Keterangan :
M = kadar air basis kering (%)
Wm = berat air dalam bahan (g)
Wd = berat bahan kering (g)
Berdasarkan perbandingan terhadap berat kering bahan, kadar air basis kering nilainya
akan lebih besar dari kadar air basis basah. Hubungan antara kadar air basis basah dengan kadar
air basis kering secara matematis dapat ditulis sebagai berikut (Nurhadi dan Nurhasanah, 2008) :
Kadar air basis kering =
2.4. Kadar Air Kesetimbangan (Equilibrium Moisture Content)
Menurut Purwadaria dkk. (1982) kadar air kesetimbangan atau equilibrium moisture
content (EMC) suatu bahan pangan didefinisikan sebagai tingkat kadar air bahan tersebut setelah
berada pada suatu keadaan lingkungan tertentu untuk jangka waktu tertentu. EMC dipengaruhi
oleh kelembaban relatif (RH) dan suhu lingkungan serta jenis dan kematangan bahan pangan.
Setiap jenis bahan pangan memiliki karakteristik tekanan parsial uap air pada suhu dan kadar air
tertentu. Karakteristik tersebut menentukan apakah bahan tersebut akan melakukan proses
penyerapan atau penguapan air, dengan demikian EMC adalah kadar air yang dicapai oleh bahan
setelah tekanan uap airnya setimbang dengan tekanan uap air dari udara sekelilingnya.
EMC dapat digunakan untuk mengetahui kadar air terendah yang dapat dicapai pada
proses pengeringan dengan tingkat suhu dan RH tertentu. Menurut Heldman dan Singh (1981),
kadar air kesetimbangan dari bahan pangan adalah kadar air bahan tersebut pada saat tekanan
-
FTIP001630/011
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
uap air dari bahan setimbang dengan lingkungannya; sedangkan RH pada saat terjadinya kadar
air kesetimbangan disebut RH kesetimbangan.
Penentuan EMC ada dua metode yaitu metode dinamis dan statis. Pada metode dinamis,
EMC diperoleh pada keadaan udara yang bergerak. Metode dinamis biasanya digunakan untuk
pengeringan, dimana pergerakan udara digunakan untuk mempercepat proses pengeringan dan
menghindari penjenuhan uap air disekitar bahan. Pada metode statis, EMC diperoleh pada
keadaan udara diam. Metode statis biasanya digunakan untuk keperluan penyimpanan karena
umumnya udara disekitar bahan relatif tidak bergerak.
2.5. Sorpsi Isotermis
Sorpsi isotermis adalah hubungan antara kadar air dalam bahan dengan aw bahan atau
kesetimbangan kelembaban relatif (RH) udara lingkungan (ERH) pada suhu tertentu (Henderson
dan Perry, 1976). Labuza (1968) menyatakan bahwa sorpsi isotermis menunjukkan hubungan
antara kadar air bahan dengan RH kesetimbangan ruang tempat penyimpanan bahan atau aw pada
suhu tertentu.
Secara umum kurva sorpsi isotermis bahan pangan berbentuk sigmoid. Ada perbedaan
yang nyata antara kadar air kesetimbangan yang dicapai secara desorpsi dan adsorpsi pada
kondisi suhu dan RH yang sama yaitu bahwa kadar air desorpsi lebih tinggi dari kadar air
adsorpsi. Fenomena ini disebut histeresis (dapat dilihat pada Gambar 2) (Chistensin, 1974 dalam
Manalu, 2001).
-
FTIP001630/012
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Gambar 2. Bentuk Umum Sorpsi Isotermis Pada Bahan Pangan
(Labuza, 1968)
Menurut Labuza (1968), berdasarkan keadaan air dalam bahan pangan, sorpsi isotermis
dapat dibagi menjadi tiga daerah berikut :
Daerah pertama (I) terletak pada selang aw 0,00 sampai 0,20 yang disebut sebagai daerah
adsorpsi monolayer, tetapi tidak diartikan sebagai hanya satu lapis molekul saja karena
adanya penjenuhan gugus polar oleh molekul air pada perbandingan 1:1. Ikatan air pada
gugus ini lebih bersifat ionik sehingga memiliki ikatan yang sangat erat terhadap air. Air
pada daerah ini disebut sebagai air terikat (bound water) dan energi sorpsinya sangat
tinggi
Daerah kedua (II) terletak pada selang aw 0,20 sampai 0,60 adalah daerah adsorpsi lebih
dari satu lapisan air dan merupakan lapisan air yang terletak di atas monolayer
Daerah ketiga (III) adalah dimana kondensasi air terjadi dalam pori-pori bahan pangan.
Pada daerah ini keadaan air telah menjadi air bebas dengan energi adsorpsi sama dengan
energi penguapan.
Keterangan :
I. Daerah adsorpsi monolayer II. Daerah adsorpsi lebih dari satu
lapisan air
III. Daerah adsorpsi sama dengan
penguapan
-
FTIP001630/013
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Batas-batas ketiga daerah sorpsi pada kenyataanya tidak dapat ditentukan oleh suatu nilai
aw tertentu, dapat berbeda untuk setiap bahan pangan. Secara teoritis I dan II ditentukan oleh air
terikat, sedangkan daerah II dan III dapat ditentukan berdasarkan energi adsorpsi sama dengan
energi desorpsi (Ngoddy dan Bakker-Arkema, 1972 dalam Purwadaria dkk, 1982).
Sorpsi isotermis dapat digunakan untuk perhitungan pendugaan umur simpan produk
pangan dengan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) yaitu penyimpanan produk
pangan dalam kondisi lingkungan yang lebih tinggi dari kondisi penyimpanan normal. Sorpsi
isotermis dapat digunakan untuk memprediksi waktu proses pengeringan dan menduga energi
dari dehidrasi serta dapat memprediksi transfer kadar air pada sistem pangan yang multi
komponen termasuk pengemasan kedap udara.
Syarief dan Halid (1991) dikutip Supriadi (2004) melaporkan bahwa sorpsi isotermis
dapat menunjukkan pada titik kadar air berapa dapat dicapai tingkat aw yang diinginkan atau
yang tidak diinginkan, namun juga menunjukkan terjadinya perubahan-perubahan penting
kandungan air yang dinyatakan dalam aw. Model sorpsi isotermis Brunauer-Emmett-Teller
(BET) sangat bermanfaat bagi penentuan kadar air dimana adsorpsi bersifat satu lapis molekul
air.
Persamaan model BET merupakan model yang paling luas digunakan dan paling tepat
untuk diterapkan pada bahan pangan yang mempunyai kisaran aw tertentu yaitu 0,05 sampai 0,45
(Rizvi, 1995 dikutip Supriadi, 2004). Model ini dapat digunakan untuk menduga nilai lapisan air
monolayer yang diadsorpsi pada permukaan. Kandungan air pada lapisan monolayer ini sangat
penting dalam menentukan stabilitas fisik dan kimia bahan yang dikeringkan. Secara umum
model persamaan BET adalah :
=
-
FTIP001630/014
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
Dimana :
= kadar air kesetimbangan (EMC)
= kadar air lapis tunggal
C = konstanta yang dipengaruhi oleh energi adsorpsi lapisan pertama
= aktivitas air
Beberapa hal yang mendasari teori persamaan BET (Rizvi, 1995 dikutip Supriadi, 2004)
yaitu kondensasi pada lapisan pertama sebanding dengan laju penguapan dari lapisan kedua;
energi ikatan seluruh molekul penyerap (adsorben) pada lapisan pertama sama, energi ikatan
pada lapisan lain sebanding dengan energi ikatan adsorben murni. Asumsi lebih jauh tentang
permukaan adsorben yang seragam dan tidak adanya interaksi lateral antara molekul adsorben
adalah tidak benar, karena interaksi pada permukaan bahan pangan sangat beragam.
Persamaan BET sangat cocok digunakan untuk bahan pangan kering dengan kadar air
dibawah 20% basis basah (Brooker et al, 1992). Persamaan tersebut dapat digunakan pada
berbagai bahan pangan, tetapi hanya dapat memprediksi nilai kadar air kesetimbangan bahan
lebih tepat pada RH dibawah 50%.
Persamaan lain yang dapat digunakan adalah model persamaan Guggenheim- Anderson-
deBoer (GAB). Model persamaan GAB sebenarnya merupakan modifikasi dari model persamaan
BET dengan asumsi bahwa adsorpsi gas dapat terjadi lebih dari satu lapisan molekul. Persamaan
ini dianggap masih memiliki kelemahan karena hanya dapat menggambarkan sorpsi isotermis
pada selang aw di bawah 0,05.
Van der Berg memperbaiki model persamaan BET dengan memperkenalkan model
persamaan GAB yang dapat memprediksi nilai kadar air kesetimbangan bahan pangan pada
rentang RH 10%-90% atau aw 0,10-0,90. Model persamaan ini merupakan bentuk model sorpsi
-
FTIP001630/015
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
molekul banyak (multi molekul) semi teoritis yang homogen (Van der Berg, 1981 dalam
Kumendong, 1986). Bentuk persamaan GAB secara umum adalah sebagai berikut :
=
Dimana :
= kadar air kesetimbangan (EMC)
= kadar air lapis tunggal
= konstanta yang dipengaruhi energi adsorpsi lapisan pertama
k = konstanta yang dipengaruhi energi adsorpsi lapisan banyak
= aktivitas air
Model persamaan GAB mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan model
persamaan BET yaitu memiliki latar belakang yang bersifat teoritis, dapat digunakan pada
hampir semua bahan pangan dengan kisaran aw 0,1 < aw < 0,9 dan mempunyai bentuk persamaan
matematika yang sederhana dengan tiga parameter, yaitu nilai konstanta C dan k yang
berhubungan dengan energi interaksi antara air dan bahan, serta nilai yang menunjukkan
kadar air saat terjadi satu lapis molekul air (Rizvi, 1995 dikutip Supriadi, 2004).