ii. tinjauan pustaka 2.1. tinjauan teoretis 2.1.1. konsep ... · gender dapat menentukan akses...
TRANSCRIPT
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoretis
2.1.1. Konsep Gender dan Ketimpangan Gender
Pemahaman tentang nilai gender di dalam perencanaan pembangunan
merupakan hal yang penting karena terkait masalah pembangunan yang tidak
hanya ditentukan oleh faktor ekonomi saja, tetapi juga oleh faktor sosial budaya
dan lingkungan. Keseluruhan faktor ini akan menentukan posisi dan bentuk
hubungan laki-laki dan perempuan selaku sasaran pembangunan. Dalam hal ini
pemahamanan nilai gender oleh para perencana pembangunan dengan sendirinya
akan turut mempengaruhi pendekatan dan orientasi program pembangunan untuk
laki-laki atau perempuan atau keduanya sekaligus (Hubeis, 2010).
Membicarakan persoalan gender berarti membahas persoalan relasi sosial
antara perempuan dan laki-laki yang dipertautkan dengan pembagian kerja dan
tanggung jawab. Pembahasan tersebut kerap diacu pada pembedaan biologis yang
merupakan produk kodrati yang dibawa oleh setiap anak manusia. Belakangan ini,
persoalan relasi sosial antara perempuan dan laki-laki tidak lagi sekedar dilihat
dari perbedaan biologis tetapi juga dilihat dari nilai-nilai sosial historis dan
budaya, lingkungan sosial ekonomi dan politik sebagai suatu proses pembelajaran
sosial yang eksis di masyarakat (Hubeis, 2010).
Membedakan relasi sosial antara lelaki dan perempuan dari acuan biologis
dan acuan pembelajaran sosial merupakan sesuatu yang sulit dicari garis
pemisahnya secara jelas karena keduanya bersifat saling melengkapi. Namun,
perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki apapun wujudnya merupakan
pusat perhatian analisis gender.
Untuk memahami persoalan gender perlu dipahami dahulu pengertian
gender dan seks (jenis kelamin). Menurut Sugiarti dan Handayani (2008), seks
adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada
jenis kelamin tertentu dan tidak dapat dipertukarkan, dan bersifat kodrati,
misalnya adalah bentuk tubuh dan alat reproduksi. Sedangkan gender adalah sifat
yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-
faktor sosial, agama, budaya, bahkan kekuasaan negara sehingga lahir beberapa
10
anggapan peran sosial laki-laki dan perempuan. Prosesnya cukup panjang
sehingga gender lambat laun seolah-olah ketentuan Tuhan atau kodrat dan tidak
dapat diubah lagi. Padahal sebenarnya sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan,
berubah dari waktu ke waktu dan bisa berbeda antar tempat.
Selanjutnya menurut Mosse (1993), gender menentukan kehidupan
individu ke depannya. Gender dapat menentukan akses terhadap pendidikan,
pekerjaan dan sumber daya. Gender bisa menentukan kesehatan, harapan hidup,
dan kebebasan gerak. Gender akan menentukan hubungan dan kemampuan kita
untuk membuat keputusan. Gender bisa jadi merupakan satu-satunya faktor
terpenting dalam membentuk individu akan menjadi apa nantinya.
2.1.2. Landasan Hukum Kesadaran Gender
Konferensi Internasional pertama tentang perempuan diselenggarakan di
Mexico City pada tahun 1975. Pada konferensi itu hak-hak perempuan
dibicarakan sebatas upaya meninjau kembali aturan/perundangan yang ada sesuai
dengan instrumen internasional yang ada dan bagaimana memperkuatnya. Di
konferensi internasional di Mexico City ini untuk pertama kalinya dilaksanakan
pertemuan NGO internasional yang berlangsung secara paralel dengan pertemuan
resmi delegasi antarnegara.
Topik-topik yang dibicarakan pada konferensi pertama adalah peningkatan
partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, perlakuan yang lebih baik terhadap
tenaga kerja perempuan yang mencerminkan prinsip-prinsip dalam konfensi ILO,
kesehatan dan pendidikan, konsep keluarga dalam masyarakat modern,
kependudukan dan tren demografi, perumahan dan berbagai fasilitas yang
berhubungan dengan itu, dan masalah-masalah sosial yang mempengaruhi situasi
sosial seperti kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan sosial,
perempuan migran, orang tua, kriminalitas perempuan, prostitusi, dan trafficking.
Konferensi ini menghasilkan world plan for action, yaitu suatu program
untuk jangka waktu sepuluh tahun. Sasarannya adalah agar dalam jangka waktu
sepuluh tahun tersebut perempuan dapat mencapai kemajuan sehingga dapat
berpartisipasi penuh dalam semua kegiatan pembangunan.
Konferensi internasional kedua diselenggarakan di Kopenhagen pada
Tahun 1980. Tema yang dibahas dalam konferensi adalah “ pekerjaan, kesehatan,
11
dan pendidikan”. Hal terpenting dari konferensi kedua ini adalah diadopsinya
“konvensi perempuan” sebagai dokumen internasional yang dapat diratifikasi oleh
negara-negara anggota PBB. Konvensi ini telah diratifikasi oleh lebih dari 165
negara anggota PBB.
Konvensi ini merupakan dokumen internasional yang penting dalam
menciptakan kesetaraan perempuan. Konvensi ini memuat kesamaan hukum bagi
perempuan sebagai warga negara dan diakuinya hak-hak perempuan dalam
lingkup domestik dan dalam lingkup keluarga. Konvensi ini mencerminkan
seperangkat nilai dan norma sekaligus instrumen yang prinsip-prinsipnya
memungkinkan dipenuhi oleh negara yang meratifikasi. Konferensi internasional
yang kedua ini juga menghasilkan “ Conpenhagen Programme for Action” yang
difokuskan untuk mendukung peran perempuan dalam proses pembangunan
melalui peningkatan pendidikan, pelayanan kesehatan, akses pada pasar tenaga
kerja dan mendukung peran perempuan di bidang pertanian.
Konferensi ketiga di Nairobi pada tahun 1985 mengambil tema “equity,
development and peace”. Tujuan dari konferensi ketiga ini adalah untuk meninjau
pencapaian dari satu dekade kesetaraan gender dan mencatat kemajuan yang telah
dicapai. Hasil dari konferensi ini adalah “Nairobi Forward Looking Strategies
for the Advancement of Women” to the year 2000. Dokumen tersebut masih
menyoroti fakta bahwa masih didapati ketidaksetaraan gender, kemiskinan massal
dan keterbelakangan yang dihadapi sebagian besar perempuan di muka bumi
terutama di banyak negara-negara berkembang.
Konferensi Internasional keempat tentang perempuan berlangsung di
Beijing pada tahun 1995. Hasil konferensi keempat ini adalah penegasan secara
global mengenai peran sentral dari Hak Asasi Manusia (HAM) untuk perjuangan
ke arah kesetaraan gender. Konferensi ini menghasilkan Beijing Platform for
action (BPFA) yang melipui 12 bidang kritis keprihatinan (critical point of
concern), yaitu perempuan dan kemiskinan, perempuan dan pendidikan serta
pelatihan, perempuan dan kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, perempuan
dalam konflik bersenjata, ketimpangan ekonomi, perempuan dan politik dan
pengambilan keputusan, HAM perempuan, mekanisme institusional, perempuan
dalam media, perempuan dan lingkungan hidup, dan hak anak perempuan.
12
Selanjutnya, komitmen mengkonkretkan penanganan kualitas hidup
penduduk termasuk perempuan dilanjutkan dengan lahirnya deklarasi Millenium
Development Goals (MDGs). MDGs merupakan paradigma pembangunan global
yang disepakati secara internasional oleh 189 negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium PBB
bulan September 2000 silam. Majelis Umum PBB kemudian melegalkannya ke
dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 55/2 tanggal
18 September 2000 Tentang Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa
(A/RES/55/2. United Nations Millennium Declaration).
Lahirnya Deklarasi Milenium merupakan buah perjuangan panjang
negara-negara berkembang dan sebagian negara maju. Deklarasi ini menghimpun
komitmen para pemimpin dunia, yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk
menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak asasi, dan kebebasan
fundamental dalam satu paket. Negara-negara anggota PBB kemudian
mengadopsi MDGs. Setiap tujuan memiliki satu atau beberapa target berikut
indikatornya. MDGs menempatkan pembangunan manusia sebagai fokus utama
pembangunan serta memiliki tenggat waktu dan kemajuan yang terukur. MDGs
didasarkan atas konsensus dan kemitraan global, sambil menekankan tanggung
jawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka,
sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut.
Dampak berbagai komitmen internasional tersebut terhadap Indonesia
adalah dibentuknya kementerian untuk meningkatkan status dan kondisi
perempuan dengan dibentuknya Menteri Muda Urusan Peningkatan Wanita
(Menmud-UPW) tahun 1978 dalam rangka menindaklanjuti konferensi
perempuan pertama di Mexico tahun 1975. Kementerian ini terus mengalami
metamorfosis yang sampai sekarang dikenal dengan kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemeneg PP-PA).
Selanjutnya, menyadari perlunya penegakan keadilan dalam perbaikan
kualitas hidup penduduk, terutama perempuan maka pemerintah pada tahun 2000
telah mengeluarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender
(PUG) di segala bidang pembangunan beserta pedoman pelaksanaannya yang
menginstruksikan pejabat daerah untuk melaksanakan PUG agar perencanaan,
13
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan pengevaluasian kebijakan dan program
pembangunan menjadi responsif gender.
Untuk memperkuat aturan pengarusutamaan gender ke dalam semua
aspek pembangunan, maka dikeluarkanlah permenndagri No. 123 tahun 2003.
Kemudian, tahun 2008 dikeluarkan Inmendagri No. 15 untuk menggantikan
permenndagri No. 123 tahun 2003 sebagai pedoman umum pelaksanaan PUG di
daerah. Berikutnya pada tahun 2010, perencanaan dan penganggaran responsif
gender sudah menjadi agenda nasional dan penyosialisasikannya ke daerah-
daerah dilakukan oleh kemeneg PP-PA. Selain itu, tahun 2000 Indonesia ikut
meratifikasi komitmen internasional untuk mencapai tujuan global yang dikenal
dengan Millenium Development Goals (MDGs). Indonesia mempunyai
kewajiban melaporkan progres pencapaian MDG setiap tahunnya, di mana butir-
butir MDGs tersebut dapat dicapai salah satunya melalui kesetaraan gender.
2.1.3. Teori Tenaga Kerja dan Pasar Tenaga Kerja
Menurut BPS, angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan
lebih) yang bekerja atau memiliki pekerjaan tetapi tidak bekerja dan
pengangguran. Selanjutnya, tenaga kerja adalah seseorang yang bekerja paling
sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut
termasuk pula kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu
usaha/kegiatan ekonomi. Pasar tenaga kerja terbentuk karena adanya permintaan
dan penawaran tenaga kerja.
Permintaan tenaga kerja adalah hubungan antara tingkat upah dan jumlah
tenaga kerja yang dikehendaki oleh perusahaan untuk dipekerjakan. Sedangkan
penawaran tenaga kerja adalah suatu hubungan antara tingkat upah dengan
jumlah tenaga kerja yang siap untuk disediakan.
Terkait dengan permintaan tenaga kerja, perusahaan yang diasumsikan
hendak memaksimalkan keuntungan akan membayar tenaga kerja sebesar value
marginal product (VMP). Oleh karena itu, kurva permintaan tenaga kerja
merupakan kurva VMP.
14
Sumber: Bellante dan Jackson (1990)
Gambar 2. Perubahan Permintaan Tenaga Kerja
Permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja secara bersama-
sama menentukan tingkat upah dan penggunaan tenaga kerja keseimbangan. Pada
Gambar 2 tampak bahwa tingkat upah keseimbangan (W1) dan tingkat
penggunaan tenaga kerja keseimbangan (L1) ditentukan oleh interaksi kurva
permintaan tenaga kerja (D1=VMP1) dengan kurva penawaran tenaga kerja (S).
Apabila permintaan tenaga kerja meningkat sehingga menggeser kurva
permintaan menjadi D2, maka akan terdapat kelebihan permintaan tenaga kerja
sebesar L3-L1 pada tingkat upah semula. Suatu keseimbangan baru akan
terbentuk pada tingkat upah yang lebih tinggi yaitu sebesar W2 dengan tingkat
penggunaan tenaga kerja sebesar L2.
Selanjutnya, apabila penawaran tenaga kerja meningkat sehingga
menggeser kurva permintaan menjadi S2 (Gambar 3), maka akan terdapat
kelebihan penawaran tenaga kerja sebesar L3-L1 pada tingkat upah semula. Suatu
keseimbangan baru akan terbentuk pada tingkat upah yang lebih rendah yaitu
sebesar W2 dengan tingkat penggunaan tenaga kerja sebesar L2.
15
Sumber: Bellante dan Jackson (1990)
Gambar 3. Perubahan Penawaran Tenaga Kerja
2.1.4. Pasar Tenaga Kerja dan Ketimpangan Gender
Perbedaan jenis kelamin tidak menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan
struktur di mana baik laki-laki dan perempuan bisa menjadi korban dari sistem
tersebut. Ketidakadilan gender menyebabkan ketimpangan gender di mana salah
satu gender mengalami kerugian dari kebijakan pembangunan misalnya tidak
memiliki kesempatan yang sama dalam kepemilikan sumber daya, pendidikan
dan pasar tenaga kerja.
a. Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja
Ketimpangan gender antara tenaga kerja laki-laki dan perempuan dapat
dikaji berdasarkan karakteristik produktif identik. Menurut kajian ini,
ketimpangan gender muncul karena adanya diskriminasi antara laki-laki dan
perempuan yang memiliki kesamaan karakteristik produktif.
Ketimpangan gender juga dapat dikaji antara laki-laki dan perempuan pada
pasar tenaga kerja yang tersegmentasi. Menurut kajian ini, ketimpangan gender
muncul ketika salah satu jenis kelamin terwakili secara berlebih pada segmen
yang tidak menguntungkan.
16
Ketimpangan Gender Berdasarkan Karakteristik Produktif yang Identik
Menurut Bellante dan Jackson (1983), diskriminasi pasar tenaga kerja
berdasarkan gender terjadi jika pekerja yang memiliki karakteristik produktif
identik tetapi diperlakukan berbeda karena berasal dari jenis kelamin tertentu.
Diskriminasi tersebut merupakan sumber ketimpangan gender yang terjadi antara
pekerja laki-laki dan perempuan. Diskriminasi berdasarkan gender di dalam pasar
tenaga kerja dibagi ke dalam dua bentuk yaitu diskriminasi upah (wage
discrimination) dan diskriminasi pekerjaan (occupational discrimination).
Diskriminasi Upah (Wage Discrimination)
Diskriminasi upah terjadi jika perusahaan membayar pekerja perempuan
lebih rendah dibandingkan laki-laki dengan kondisi memiliki lama pengalaman
yang sama dan bekerja di bawah kondisi yang sama di pekerjaan yang sama.
Ilustrasi diskriminasi upah dapat dilihat pada Gambar 4.
Sumber: Bellante dan Jackson (1990)
Gambar 4. Dampak Diskriminasi Upah Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja
Perempuan
Permintaan tenaga kerja perempuan ditentukan oleh rasio upah perempuan
terhadap upah laki-laki (Wf/Wm). Perusahaan yang tidak diskriminatif akan
menyamakan upah antara pekerja perempuan (Wf) dan laki-laki (Wm). Sedangkan
perusahaan yang diskriminatif akan menetapkan upah perempuan lebih rendah
dari laki-laki. Perusahaan yang diskriminatif memiliki ukuran yang berbeda-beda
Wf/Wm S1
S2
A
0.75
1.0
D
N2 N0 N1
17
terhadap upah diskriminatifnya, ada yang rendah dan tinggi. Hal ini menyebabkan
kurva permintaan tenaga kerja patah pada titik A. Kurva ini menggambarkan
bahwa untuk mempekerjakan perempuan lebih dari N0 menyebabkan turunnya
rasio upah perempuan (Wf) terhadap upah laki-laki (Wm).
Jika penawaran tenaga kerja perempuan relatif kecil (S1), maka seluruh
pekerja perempuan akan direkrut oleh perusahaan yang tidak diskriminatif
sehingga tidak terjadi perbedaan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan.
Tetapi jika jumlah perempuan yang mencari pekerjaan relatif besar (S2) maka
sejumlah perusahaan yang diskriminatif akan merekrut pekerja perempuan
sehingga menurunkan rasio upah pekerja perempuan terhadap laki-laki. kombinasi
penawaran dan permintaan pekerja perempuan pada Gambar 4 menyebabkan rasio
upah turun menjadi 0.75.
Diskriminasi Pekerjaan (Occupational Discrimination)
Diskriminasi pekerjaan terjadi jika pekerja perempuan dengan pendidikan
dan potensi produktivitas yang sama ditempatkan di pekerjaan dengan upah
rendah, sedangkan pekerjaan bergaji tinggi diposisikan untuk laki-laki.
Diskriminasi pekerjaan berbeda dengan seagregasi pekerjaan. Seagregasi
pekerjaan terjadi jika suatu pekerjaan tertentu didominasi oleh perempuan dan
pekerjaan yang lain didominasi oleh laki-laki. Seagregasi pekerjaan
menggambarkan diskriminasi pekerjaan jika pilihan pekerjaan bagi gender
tertentu tersebut secara langsung dibatasi atau menggambarkan upah yang lebih
rendah pada tingkat sumberdaya manusia yang sama.
Diskriminasi pekerjaan menyebabkan perempuan terkumpul pada
pekerjaan tertentu yang terbatas jumlahnya, sehingga menurunkan upah di
pekerjaan tersebut. Di sisi lain, luasnya lapangan pekerjaan yang didominasi laki-
laki menyebabkan tingginya permintaan tenaga kerja laki-laki sehingga
mendorong upah di sektor-sektor tersebut.
Diskriminasi pekerjaan dapat diilustrasikan seperti Gambar 5. Misalkan
ada 2 pekerjaan yang secara tradisi pekerjaan M diperuntukan bagi laki-laki dan
pekerjaan F diperuntukan bagi perempuan. Tanpa ada diskriminasi pekerjaan,
upah di kedua pekerjaan itu adalah sama pada tingkat We. Hal tersebut terjadi
karena ketika upah di salah satu pekerjaan meningkat, menyebabkan terjadinya
18
We
Wf
perpindahan tenaga kerja dari pekerjaan lebih murah sehingga secara perlahan
upah di kedua pekerjaan tersebut bergerak kembali menjadi sama. Ketika ada
diskriminasi pekerjaan, peningkatan upah di sektor M tidak menyebabkan
perpindahan tenaga kerja perempuan dari sektor F yang bergaji lebih murah ke
sektor M yang bergaji lebih tinggi. Hal ini menyebabkan pekerja perempuan akan
menumpuk pada sektor F sehingga berdampak pada rendahnya upah Wf yang
diterima perempuan. Sedangkan laki-laki akan menikmati upah Wm yang lebih
tinggi karena pasar tenaga kerja di sektor M tidak sejenuh di sektor F. Jadi,
adanya diskriminasi menghalangi pekerja perempuan untuk berpindah dari sektor
F ke sektor M.
Sektor M Sektor F
Sumber: Bellante D dan Jackson M (1990)
Gambar 5. Dampak Diskriminasi Pekerjaan Terhadap Penyerapan Tenaga
Kerja Perempuan
Gambar 5 menunjukkan bahwa tenaga kerja di kedua sektor dibayar
berdasarkan produk marginalnya. Upah yang lebih rendah yang diterima pekerja
perempuan bukan karena dibayar di bawah produk marginalnya, melainkan
karena tertumpuknya pekerja perempuan pada sektor F yang memaksa produk
marginal pekerja perempuan harus diturunkan lebih rendah daripada pasar tenaga
kerja yang bebas.
Diskriminasi pekerjaan tersebut disebabkan karena empat faktor yaitu:
prasangka dari perusahaan, informasi yang kurang sempurna dari perusahaan,
prasangka di pihak pekerja, dan prasangka di pihak pelanggan. Umumnya
S2
Wf S1
S1
S2 Wm
D= VMP D= VMP
E2 E1 E2 E1
19
sumber tingkah laku diskriminasi yang pertama terkait dengan alasan pribadi
perusahaan sedangkan tingkah laku ketiga lainnya merupakan akibat dari tingkah
laku ingin meraih keuntungan maksimal.
Prasangka perusahaan dapat terjadi bila perusahaan secara pribadi
menaruh prasangka terhadap pekerja perempuan. Ada kemungkinan seorang
perusahaan memiliki alasan pribadi untuk menyukai atau tidak menyukai
mempekerjakan pekerja perempuan sehingga mengorbankan keuntungan atas
pilihannya tersebut. Sedangkan informasi yang kurang sempurna dari perusahaan
bisa terjadi karena perusahaan memiliki pengalaman masa lalu yang
menggambarkan bahwa pekerja perempuan memiliki produktivitas lebih rendah.
Selain itu perusahaan juga bisa melakukan diskriminasi berdasarkan prasangka
yang dimiliki pihak pekerja. Misalkan pekerja laki-laki bisa saja menolak bekerja
secara berdampingan dengan pekerja perempuan, di mana hubungan tenaga kerja
yang serius mengakibatkan perusahaan hanya memperkerjakan pekerja laki-laki
saja. Sumber diskriminasi terakhir adalah prasangka dari pihak pelanggan, di
mana pelanggan lebih menyukai pekerja laki-laki atau pekerja perempuan saja
sehingga menyebabkan perusahaan melakukan diskriminasi dalam memilih
pekerjanya. Keempat sumber diskriminasi tersebut dapat menyebabkan
diskriminasi di pasar tenaga kerja, baik itu berupa diskriminasi upah ataupun
diskriminasi jabatan.
Ketimpangan Gender Berdasarkan Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
Menurut Hulk (2011), Pasar tenaga kerja di negara-negara berkembang
cenderung sangat tersegmentasi dengan upah dan kondisi kerja yang berbeda di
setiap sektor dan mobilitas tenaga kerja yang rendah dari pekerjaan "kurang
produktif" ke pekerjaan "lebih produktif". Tenaga kerja akan memilih pekerjaan
“kurang produktif” sebagai alternatif pekerjaan untuk keluar dari pengangguran.
Pekerjaan “kurang produktif” memiliki pendapatan dan kondisi kerja di
bawah pekerjaan "lebih produktif". Pekerjaan “kurang produktif” seringkali
diwakili oleh pekerjaan informal, sedangkan pekerjaan "lebih produktif" diwakili
oleh pekerjaan formal. Menurut ILO, pekerjaan informal adalah pekerjaan dengan
upah lebih rendah tidak memiliki perlindungan sosial (tunjangan kerja dan
asuransi kesehatan) seperti pada pekerjaan formal.
20
Ketimpangan dengan kriteria pekerja formal dan informal digunakan oleh
Wanjala dan Were (2010) untuk melihat ketimpangan gender di pasar tenaga
kerja Kenya. Wanjala dan Were (2010) menyimpulkan bahwa ketimpangan
gender terjadi di pasar tenaga kerja Kenya disebabkan karena perempuan terwakili
secara berlebih sebagai pekerja informal.
b. Definisi dan Kriteria Pekerja Formal dan Informal
Merujuk pada Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan No. 13/2003,
pekerja informal mengacu pada orang yang bekerja tanpa relasi kerja, yang berarti
tidak ada perjanjian yang mengatur elemen-elemen kerja, upah dan kekuasaan.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi secara umum mendefinisikan sektor
informal sebagai semua bisnis komersial dan non-komersial (atau aktivitas
ekonomi) yang tidak terdaftar, yang tidak memiliki struktur organisasi formal dan
secara umum memiliki ciri-ciri: dimiliki oleh keluarga, kegiatan berskala kecil,
padat karya, menggunakan teknologi yang diadaptasi dan bergantung pada sumber
daya lokal.
Banyak istilah digunakan para peneliti yang merujuk pada ekonomi
informal. Istilah-istilah itu antara lain irregular economy (Ferman dan Ferman,
1973), the subterranean economy (Gutmann, 1977), the underground economy
(Simon dan Witte, 1982; Houston, 1987), the black economy (Dilnot dan Morris,
1981), the shadow economy (Frey, Weck, dan Pommerehne, 1982; Cassel dan
Cichy, 1986), dan informal economy (Mc Crohan dan Smith, 1986).
Istilah formal dan informal dalam ketengakerjaan pertama kali
diperkenalkan dalam studi ILO tentang pasar tenaga kerja Ghana. Studi tersebut
menyimpulkan ada dualisme dalam pasar tenaga kerja di daerah perkotaan, yaitu
sektor informal yang terdiri dari usaha-usaha tidak terdaftar dan berproduktivitas
rendah sangat banyak muncul berdampingan dengan sektor formal yang terdiri
dari usaha terdaftar dan sektor publik.
ILO bersama sekelompok peneliti telah memperluas definisi sektor
informal dengan menggunakan istilah ekonomi informal (Chen, 2007). Menurut
definisi baru ini, ekonomi informal tidak hanya mencakup usaha-usaha yang tidak
terdaftar, tetapi juga terkait dengan hubungan kerja yang secara resmi tidak diatur
dan tidak dilindungi. Bentuk tidak dilindunginya pekerja informal adalah tidak
21
memiliki perlindungan sosial (tunjangan kerja dan asuransi kesehatan) seperti
yang diberikan kepada tenaga kerja formal. Tenaga kerja Informal umumnya
memiliki upah yang lebih rendah dibanding pekerja formal sehingga sering
dihubungkan dengan tingkat kemiskinan (ILO, 2013).
Secara singkat, Bertulfo (2011) meringkas pembagian tenaga kerja formal
dan informal menurut ILO seperti yang terlihat pada Tabel 3. Sektor informal
mengacu pada usaha informal, sedangkan tenaga kerja informal mengacu pada
pekerjaan informal. Tenaga kerja di ekonomi informal didefinisikan sebagai
jumlah dari tenaga kerja di sektor informal dan tenaga kerja informal yang berada
di luar sektor informal (A+B+C).
Tabel 3. Matriks Tenaga Kerja Formal dan Informal
Jenis Usaha Pekerjaan Informal Pekerjaan Formal
Usaha sektor Informal A B
Usaha Sektor Formal C D
Keterangan:
A + C = Orang yang bekerja sebagai tenaga kerja informal
A + B = Orang yang bekerja sebagai tenaga kerja di sektor informal
C = Tenaga kerja informal di luar sektor informal
B = Tenaga kerja formal di dalam sektor informal
A + B + C = Total tenaga kerja di dalam ekonomi
Selanjutnya, BPS (2009) menyatakan bahwa kegiatan informal mengacu
pada kegiatan ekonomi yang umumnya dilakukan secara tradisional oleh
organisasi bertingkat rendah ataupun yang tidak memiliki struktur, tidak ada akun
transaksi (transaction accounts) dan ketika terdapat relasi kerja biasanya bersifat
musiman (casual), pertemanan atau relasi personal, ketimbang berbasis perjanjian
kontrak. Secara spesifik, kegiatan informal dan formal merupakan tabulasi silang
antara status pekerjaan dan pekerjaan utama seperti yang terlihat pada Tabel 4.
Selanjutnya, data yang dikumpulkan BPS tersebut digunakan sebagai data dasar
penelitian ini.
Status pekerjaan menurut BPS dikategorikan menjadi tujuh, yaitu:
1) Berusaha sendiri
22
2) Berusaha sendiri dengan bantuan keluarga atau anggota keluarga dengan
tidak dibayar
3) Pengusaha dengan pekerja tetap atau pekerja diupah
4) Karyawan/staf/pekerja
5) Pekerja musiman di bidang pertanian
6) Pekerja musiman di bidang non-pertanian
7) Pekerja tidak dibayar
Tabel 4. Kriteria Pekerja Formal dan Informal Menurut Definisi BPS Status Pekerjaan
Jenis Pekerjaan
Umum
Berusaha
sendiri
Berusaha
sendiri
dengan
bantuan
keluarga
atau
anggota
keluarga
dengan
Pengusaha
dengan
pekerja
tetap/
pekerja
diupah
Karyawan
/staf/
pekerja
Pekerja
musiman di
bidang
pertanian
Pekerja
musiman di
bidang non-
pertanian
Pekerja
tidak
dibayar
Pekerja
profesional,
teknik, dan
pekerja terkait
lainnya
F F F F F F INF
Pekerja
administrasi dan
manajerial
F F F F F F INF
Pekerja juru tulis
dan terkait F F F F F F INF
Pekerja bidang
penjualan INF INF F F INF INF INF
Pekerja bidang
jasa INF F F F INF INF INF
Pekerja pertanian,
peternakan,
kehutanan,
nelayan dan
pemburu
INF F F F INF INF INF
Pekerja produksi
dan terkait INF F F F INF INF INF
Sumber: Nazara, 2009
Sedangkan pekerjaan utama menurut BPS dikategorikan menjadi 10
kategori, yaitu:
1) Pekerja profesional, teknik, dan pekerja terkait lainnya
2) Pekerja administrasi dan manajerial
3) Pekerja juru tulis dan terkait
4) Pekerja bidang penjualan
5) Pekerja bidang jasa
23
6) Pekerja pertanian, peternakan, kehutanan, nelayan dan pemburu
7) Pekerja produksi dan terkait
8) Operator dan pekerja perlengkapan pengangkutan
9) Buruh
10) Lain-lain
Pembagian pekerja informal berdasarkan kriteria BPS tersebut mirip
dengan definisi ekonomi informal ILO. Bisa saja sektor informal memiliki pekerja
formal. Contohnya adalah pekerjaan pemulung yang dikutip dari Nazara (2009).
Seorang bos pemulung yang melaksanakan beberapa pekerjaan administratif,
manajerial bahkan sejumlah pekerjaan profesional, kemungkinan mendapatkan
imbalan finansial cukup banyak. Terkait dengan itu, pemulung yang sebenarnya
pergi dari satu rumah ke rumah lain dapat dikategorikan sebagai pekerja informal
(pekerja berusaha sendiri di bidang penjualan), namun bos yang menjalankan
bisnis pemulung ini dapat dikategorikan sebagai pekerja formal. Bos tersebut
menjalankan pekerjaan profesional atau manajerial. Fenomena ini banyak
ditemukan di kota-kota besar di seluruh dunia.
Di sisi lain, terdapat juga kasus-kasus di mana semakin banyak pekerja
yang berusaha sendiri dapat dikategorikan sebagai seorang profesional. Seorang
programer komputer dapat dikategorikan sebagai pekerja formal, walaupun orang
tersebut mungkin saja bekerja sendiri atau dibantu oleh pekerja sementara.
Meskipun pekerja informal umumnya dikenal terkait dengan kemiskinan,
tetapi ada satu kajian yang dilakukan Angelini dan Hirose (2004) dalam Nazara
(2009) menunjukkan bahwa hampir seperlima dari pekerja/karyawan yang terlibat
dalam kegiatan informal mampu memperoleh pendapatan lebih dari rata-rata
nasional. Namun menurut Nazara (2009), diperlukan sebuah kajian yang lebih
sistematis dengan sampling yang dapat digeneralisir untuk mencapai kesimpulan
tersebut.
Menurut Nazara (2009), peningkatan informalitas tidak selalu berarti
buruk dan tidak terhindarkan pekerjaan informal adalah alternatif pekerjaan
terbaik ketika pertumbuhan ekonomi belum mampu menyediakan cukup banyak
pekerjaan formal. Sektor informal dengan segala kekurangannya mampu berperan
sebagai penampung dan alternatif peluang kerja bagi para pencari kerja. Tapi
24
pergerakan ke arah formalisasi ekonomi senantiasa menjadi tujuan utama
pembangunan.
Segmentasi ternyata juga terjadi pada ekonomi informal. Menurut Chen
(2007) ekonomi informal terdiri dari beberapa segmen yang dapat memengaruhi
pendapatan di setiap segmen. Segmen paling bawah adalah outworker (pekerja
lepas) industrial atau pekerja rumahan, dan pekerja lepas diupah. Segmen paling
atas adalah karyawan informal dan pengusaha informal.
Segmen paling bawah berada dalam posisi paling terakhir dalam hal
penghasilan dan didominasi oleh pekerja perempuan. Sedangkan segmen paling
atas memiliki penghasilan pada posisi tertinggi dan didominasi oleh pekerja laki-
laki.
Sumber: Chen (2007)
Gambar 6. Struktur Ekonomi Informal
2.1.5. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga
Kerja
Pakar ekonomi menggunakan banyak jenis data untuk mengukur kinerja
perekonomian. Salah satu kinerja perekonomian yang penting adalah Produk
Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan indikator ekonomi yang mengukur
jumlah barang dan jasa yang diproduksi suatu negara. Pertumbuhan PDB ini
Pengusaha Informal
Pekerja Informal
Operator dengan usaha sendiri
Pekerja musiman
Pekerja lepas/pekerja rumahan
Penghasilan Tinggi
Penghasilan Rendah
Mayoritas Laki-laki
Mayoritas Perempuan
Laki-laki dan Perempuan
25
disebut sebagai pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya Todaro dan Smith (2003),
menyatakan bahwa pengejaran pertumbuhan ekonomi merupakan tema sentral
dalam perekonomian suatu negara, bahkan sering kali program-progam
pembangunan di negara berkembang dinilai berdasarkan tinggi rendahnya
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional.
Pertumbuhan ekonomi yang kuat dianggap sebagai cara terbaik untuk
menciptakan lapangan kerja. Ketika pertumbuhan ekonomi tinggi maka semakin
banyak barang dan jasa yang dihasilkan, selanjutnya semakin banyak juga tenaga
kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang dan jasa tersebut. Oleh karena
itu pertumbuhan ekonomi menjadi instrumen penting untuk meningkatkan
penyerapan tenaga kerja disuatu negara.
a. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Gender di
Pasar Tenaga Kerja
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja
dapat dijelaskan dengan Hukum Okun. Hukum Okun muncul dari pengamatan
bahwa untuk memproduksi lebih banyak barang dan jasa dalam suatu
perekonomian diperlukan tenaga kerja yang banyak pula. Oleh karena itu hukum
ini mengindikasikan hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan
pengangguran, di mana semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi, semakin
rendah tingkat pengangguran. Adapun formula Hukum Okun dalam Knotek
(2007), adalah sebagai berikut:
Perubahan tingkat pengangguran = a + b (pertumbuhan output real)
Parameter b disebut "Koefisien Okun" yang diharapkan bernilai negatif,
sehingga ketika pertumbuhan output meningkat maka tingkat pengangguran akan
turun. Rasio "-a/b" merupakan tingkat pertumbuhan output untuk
mempertahankan tingkat pengangguran tetap stabil.
Adapun hasil regresi Hukum Okun dengan data Amerika pada kuartal
kedua tahun 1948 sampai dengan kuartal keempat tahun 1960, adalah sebagai
berikut:
Perubahan tingkat pengangguran = 0,30-0,07(pertumbuhan output real)
Hasil regresi ini menunjukkan bahwa ketika pertumbuhan ekonomi yang
terjadi sebesar 0% maka pengangguran akan meningkat sebesar 0,3 %. Sedangkan
26
laju pertumbuhan output yang mampu mempertahankan tingkat pengangguran
stabil adalah sebesar 4,285714 % (- 0,3/0,07). Pertumbuhan ekonomi lebih besar
dari 4,285714 % berarti terjadi pengurangan pengangguran, sedangkan
pertumbuhan ekonomi yang kurang dari 4,285714 % berarti terjadi penambahan
pengangguran.
Hukum Okun membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi berdampak
terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja termasuk juga tenaga kerja
perempuan. Tetapi peningkatan jumlah pekerja perempuan harus dicermati karena
tidak bisa menggambarkan kesejahteraan perempuan karena secara umum mereka
terserap pada pekerjaan kasar dan bergaji murah Abdullah (2001). Peningkatan
tenaga kerja perempuan pada pekerjaan kasar mengindikasikan terjadinya
ketimpangan gender khususnya di pasar tenaga kerja (Illich, 1983: Molo, 1993
dalam Abdullah, 2001). Penomena tersebut diperkuat oleh Wanjala dan Were
(2010) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh investasi di
Kenya menyebabkan perempuan lebih banyak terserap sebagai pekerja informal
jika dibandingkan dengan laki-laki.
Hal senada diungkapkan dalam studi Seguino (2000). Studi tersebut
menyatakan bahwa di negara semi industri yang berorientasi ekspor, perempuan
merupakan sumber tenaga kerja murah yang mampu mendorong pertumbuhan
ekonomi.
Sumber: World Bank (2011a)
Gambar 7. Peningkatan Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan Sepanjang
Waktu pada Setiap Tingkatan GDP Per Kapita di 130 Negara
Rat
a-ra
ta p
arti
sipas
i T
K
per
empuan
Log, PDB per kapita (konstan Tahun 2000, US$)
27
Secara global, fakta yang sama ditunjukkan dalam laporan World Bank
(2011a). Laporan tersebut berdasarkan data GDP per kapita dan partisipasi
angkatan kerja perempuan tahun 1980 dan 2008 untuk 130 negara. Disimpulkan
bahwa hubungan antara pertumbahan ekonomi dan partisipasi angkatan kerja
perempuan di berbagai negara berbetuk U, baik pada tahun 1980 maupun 2008
(gambar 7). Kurva U tahun 2008 bergerak ke kanan atas, yang artinya pada setiap
perubahan GDP perkapita di setiap titik kurva U tersebut terjadi peningkatan
jumlah partisipasi angkatan kerja perempuan. Atau dengan kata lain jumlah
partisipasi tenaga kerja perempuan tahun 2008 lebih tinggi dari pada tahun 1980
seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada rentang tahun tersebut.
Peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan tersebut menyebabkan
menyempitnya gap partisipasi angkatan kerja perempuan dan laki-laki dari 32
persen di tahun 1980 menjadi 26 persen pada tahun 2008. Salah satu penyebab
meningkatnya tingkat partisipasi perempuan dalam dunia kerja adalah karena
membaiknya tingkat pendidikan perempuan.
Selanjutnya studi World Bank tersebut menyatakan bahwa peningkatan
partisipasi angkatan kerja perempuan tersebut ternyata tidak bisa menggambarkan
adanya perbaikan ketimpangan gender. Hal tersebut disebabkan karena
perempuan lebih banyak terserap pada pekerjaan informal dan produktivitas
rendah.
b. Penetapan Target Pertumbuhan Ekonomi dalam Perencanaan
Pembangunan
Pertumbuhan ekonomi mencerminkan peningkatan produksi barang dan
jasa di suatu negara, sehingga menjadi indikator berjalannya suatu perekonomian.
Oleh karena itu, penting untuk menetapkan target pertumbuhan ekonomi baik
dalam jangka panjang, menengah, ataupun pendek.
Di Indonesia, target pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu
komponen penting dalam perencanaan pembangunan. Target pertumbuhan
ekonomi tersebut dituangkan dalam rencana pembangunan jangka panjang (RPJP)
nasional, rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, dan rencana
kerja pemerintah (RKP).
28
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Periode 20
Tahunan
RPJP nasional yang sedang berlangsung sekarang adalah RPJP nasional
2005-2025 yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007.
RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan
Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam
Sebelumnya, RPJP nasional dikenal sebagai Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN). Pergantian ini disebabkan karena adanya perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah mengakibatkan
terjadinya perubahan dalam pengelolaan pembangunan. Oleh karena itu,
Indonesia memerlukan perencanaan pembangunan jangka panjang baru sebagai
arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara
bertahap.
RPJP Nasional tahun 2005–2025, memiliki delapan arah pembangunan,
yaitu: (1) mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, beretika,
berbudaya, dan beradab; (2) mewujudkan bangsa yang berdaya-saing; (3)
mewujudkan Indonesia yang demokratis berlandaskan hukum; (4) mewujudkan
Indonesia yang aman, damai dan bersatu; (5) mewujudkan pembangunan yang
lebih merata dan berkeadilan; (6) mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari; (7)
mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan
berbasiskan kepentingan nasional; (8) mewujudkan Indonesia yang berperan aktif
dalam pergaulan internasional
Untuk mencapai sasaran pokok sebagaimana dimaksud di atas,
pembangunan jangka panjang membutuhkan tahapan dan skala prioritas yang
akan menjadi agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah. Tahapan
dan skala prioritas yang ditetapkan mencerminkan urgensi permasalahan yang
hendak diselesaikan, tanpa mengabaikan permasalahan lainnya. Oleh karena itu,
29
tekanan skala prioritas dalam setiap tahapan berbeda-beda, tetapi semua itu harus
berkesinambungan dari periode ke periode
Pelaksanaan RPJP Nasional 2005-2025 terbagi dalam tahap-tahap
perencanaan pembangunan dalam periodisasi perencanaan pembangunan jangka
menengah nasional 5 (lima) tahunan, yang dituangkan dalam RPJM Nasional I
Tahun 2005–2009, RPJM Nasional II Tahun 2010–2014, RPJM Nasional III
Tahun 2015–2019, dan RPJM Nasional IV Tahun 2020–2024.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Periode Lima
(5) Tahunan
Definisikan RPJM nasional, dituangkan dalam pasal 4 Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN). Menurut UU Nomor 25 Tahun 2004, RPJM Nasional merupakan
penjabaran dari visi, misi, dan program presiden terpilih. Penyusunannya
berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan Nasional,
kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas
Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka
ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh
termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi
dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Adapun rangkaian RPJM nasional menurut RPJP nasional 2004-2020
adalah sebagai berikut:
a. RPJM ke-1 (2005 – 2009), fokus kepada penataan kembali negara kesatuan
Republik Indonesia, membangun Indonesia yang aman dan damai, yang adil
dan demokratis, dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
b. RPJM ke-2 (2010 – 2014), fokus kepada memantapkan kembali negara
kesatuan Republik Indonesia, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia,
membangun kemampuan IPTEK, memperkuat daya saing perekonomian.
c. RPJM ke-3 (2015 – 2019), fokus kepada memantapkan pembangunan secara
menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif
perekonomian yang berbasis sumberdaya alam yang tersedia, sumberdaya
manusia yang berkualitas, serta kemampuan IPTEK.
30
d. RPJM ke-4 (2020 – 2024), fokus kepada mewujudkan masyarakat Indonesia
yang mandiri, maju, adil dan makmur melalui percepatan pembangunan di
segala bidang struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan
konpetitif.
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Periode Satu (1) Tahunan
Menurut UU Nomor 25 Tahun 2004, RKP merupakan penjabaran dari
RPJM Nasional. Berikutnya, RKP akan menjadi pedoman bagi penyusunan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) seperti yang
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Rencana pembangunan
memiliki kaitan erat dengan pembiayaan. Adapun alur RPJP nasional sampai
dengan penyusunan APBD yang diatur oleh UU Nomor 25 Tahun 2004 dan UU
Nomor 17 Tahun 2003 dapat dilihat pada Gambar 8.
Ketiga tahapan perencanaan pembangunan tersebut selalu memiliki target.
Target tersebut akan dicapai melalui rincian rencana program. Pertumbuhan
ekonomi menjadi salah satu target penting dalam setiap tahapan perencanaan
pembangunan tersebut. Pertumbuhan ekonomi selalu ditargetkan baik pada RPJP
nasional, RPJM nasional, dan RKP.
Sumber: Riyadi, 2011
Gambar 8. Alur Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional
UU 25/2004 ttg SPPN
UU 17/2003 ttg KN
31
Tabel 5. Target Pertumbuhan Ekonomi 2010 – 2014 Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahap II
Target Pertumbuhan Ekonomi (%)
Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 Rata-rata
Total 5.5-5.6 6.0-6.3 6.4-6.9 6.7-7.4 7.0-7.7 6.3-6.8
Sisi Pengeluaran
a. Konsumsi Masyarakat 5.2-5.2 5.2-5.3 5.3-5.4 5.3-5.4 5.3-5.4 5.3-5.4
b. Konsumsi Pemerintah 10.8-10.9 10.9-11.2 12.9-13.2 10.2-13.5 8.1-9.8 10.6-11.7
c. Investasi 7.2-7.3 7.9-10.9 8.4-11.5 10.2-12.0 11.7-12.1 9.1-10.8
d. Ekspor Barang dan Jasa 6.4-6.5 9.7-10.6 11.4-12.0 12.3-13.4 13.5-15.6 10.7-11.6
e. Impor Barang dan Jasa 9.2-9.3 12.7-15.2 14.3-15.9 15.0-16.5 16.0-17.4 13.4-14.9
Sisi Produksi
a. Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan, dan
Perikanan 3.3-3.4 3.4-3.5 3.5-3.7 3.6-3.8 3.7-3.9 3.6-3.7
b. Pertambangan dan penggalian 2.0-2.1 2.1-2.3 2.3-2.4 2.4-2.5 2.5-2.6 2.2-2.4
a. Industri Pengolahan 4.2-4.3 5.0-5.4 5.7-6.5 6.2-6.8 6.5-7.3 5.5-6.0
b. Industri Bukan Migas 4.8-4.9 5.6-6.1 6.3-7.0 6.8-7.5 7.1-7.8 6.1-6.7
c. Listrik, Gas dan Air 13.4-13.5 13.7-13.8 13.8-13.9 13.9-14.0 14.1-14.2 13.8-13.9
d. Konstruksi 7.1-7.2 8.4-8.5 8.8-9.3 8.9-10.1 9.1-11.1 8.4-9.2
e. Perdagangan, Hotel, dan restoran 4.0-4.1 4.2-4.8 4.4-5.2 4.5-6.4 4.6-6.6 4.3-5.4
f. Pengangkutan dan telekomunikasi 14.3-14.8 14.5-15.2 14.7-15.4 14.9-15.6 15.1-16.1 14.7-15.4
g. Keuangan, Real Estat, dan jasa perusahaan 6.5-6.6 6.6-6.7 6.8-7.0 6.9-7.0 7.2-7.3 6.8-6.9
h. Jasa-jasa 6.7-6.9 6.9-7.0 7.0-7.1 7.1-7.2 7.2-7.4 6.9-7.1
Sumber: RPJM, 2010
32
Indonesia saat ini telah memasuki RPJM Tahap 2. Adapun target
pertumbuhan ekonomi RPJM nasional Tahap 2 Tahun 2010-2014 ditunjukkan
pada Tabel 5. Tampak bahwa total pertumbuhan ekonomi ditargetkan meningkat
setiap tahunnya. Pada Tahun 2010 pertumbuhan ekonomi ditargetkan sebesar 5.5-
5.6 persen. sedangkan pada tahun 2014 di targetkan sebesar 7.0-7.7 persen. Target
pertumbuhan dalam RPJM dibuat fleksibel pada rentang tertentu agar dapat
mengakomodasi berbagai perubahan variabel yang mempengaruhi perekonomian.
Pertumbuhan ekonomi yang lebih akurat akan ditentukan pada RKP yang
merupakan rencana pembangunan periode satu tahun yang diacu dari RPJM
nasional dan perkembangan perekonomian nasional maupun internasional. Tabel
6 menunjukkan rincian target pertumbuhan ekonomi tahun 2003. Tampak bahwa
pertumbuhan ekonomi 2013 berdasarkan RKP sebesar 7 persen. Pertumbuhan
ekonomi dari sisi pengeluaran lebih banyak didorong oleh sektor jasa yaitu
sebesar 8.1 persen, diikuti oleh sektor industri dan pertanian masing-masing
sebesar 4.9 persen dan 3.9 persen. Target pertumbuhan ekonomi 2013 berdasarkan
RKP ini digunakan dalam simulasi penelitian.
Tabel 6. Target Pertumbuhan Ekonomi 2013 menurut Rencana Kerja Pemerintah
Keterangan Target (%)
Pertumbuhan Ekonomi 7
1. Sisi Pengeluaran
a. Konsumsi Masyarakat 5
b. Konsumsi Pemerintah 7.1
c. Investasi 11.1
d. Ekspor Barang dan Jasa 12.3
e. Impor Barang dan Jasa 13.1
2. Sisi Produksi
a. Pertanian, Perkebunan, Peternakan,
Kehutanan, dan Perikanan 3.9
b. Pertambangan dan penggalian 3
c. Industri Pengolahan 6.7
d. Listrik, Gas dan Air 6.8
e. Konstruksi 7.5
f. Perdagangan, Hotel, dan restoran 9.1
g. Pengangkutan dan telekomunikasi 12.4
h. Keuangan, Real Estat, dan jasa
i. perusahaan 6.3
j. Jasa-jasa 6.3
Sumber: RKP, 2012
33
2.1.6. Pengeluaran Pemerintah dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga
Kerja
Pengeluaran pemerintah merupakan kebijakan fiskal yang mampu
meningkatkan permintaan barang dan jasa nasional, dan selanjutnya
meningkatkan sejumlah tenaga kerja untuk memproduksi tambahan permintaan
barang dan jasa tersebut. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah dapat
mempengaruhi ketimpangan gender di pasar tenaga kerja.
a. Hubungan Antara Pengeluaran Pemerintah dan Ketimpangan Gender di
Pasar Tenaga Kerja
Hubungan antara pengeluaran pemerintah dan penyerapan tenaga kerja
diawali dari perubahan realisasi pengeluaran pemerintah (G) pada perpotongan
Keynesian. Misalkan yang terjadi adalah peningkatan G. Peningkatan G sama
artinya dengan peningkatan permintaan barang dan jasa yang dibeli oleh
pemerintah, yang selanjutnya akan meningkatkan total permintaan barang dan jasa
nasional. Karena permintaan meningkat, maka produsen akan merekrut tenaga
kerja baru untuk memproduksi tambahan permintaan tersebut.
Perpotongan Keynesian
Model dasar perpotongan Keynesian (Keynesian cross) ini adalah
interpretasi paling mudah dari teori pendapatan Keynes (Mankiw, 2003).
Perpotongan Keynesian akan menjelaskan bagaimana konsumsi, investasi, dan
pengeluaran pemerintah mempengaruhi pendapatan. Ekuilibrium dari perpotongan
Keynesian terjadi ketika pengeluaran aktual (AE) sama dengan pengeluaran yang
direncanakan (PE). Ekuilibrium dari perpotongan Keynesian merupakan
pendapatan nasional atau produk domestik bruto (PDB). Teori pendapatan
nasional Keynesian dalam Mankiw (2002) dituliskan kembali sebagai berikut:
Y = C + I + G ........................................................................................ (2.1)
Gambar 5 menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan pengeluaran
pemerintah (G) sebesar G , maka AE akan bergeser dari AE1 ke AE2 sehingga
output akan meningkat dari Y1 ke Y2. Pengganda pengeluaran pemerintah
dituliskan kembali sebagai berikut:
MPCG
Y
1
1 ...................................................................................... (2.2)
34
Sumber: Mankiw (2002)
Gambar 9. Kurva Perpotongan Keynesian
Gambar 9 adalah kurva perpotongan Keynesian yang merupakan kerangka
dasar terbentuknya keseimbangan di pasar barang dan jasa. Apabila keseimbangan
di pasar barang dan jasa berinteraksi dengan keseimbangan di pasar uang, maka
akan terbentuk kurva permintaan agregat (AD). Peningkatan G akan menggeser
kurva AD ke kanan atas pada level Y yang lebih tinggi.
Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Keseimbangan Pemintaan
Agregat, Penawaran Agregat dan Penyerapan Tenaga Kerja
Apabila pemerintah meningkatkan pengeluarannya (G), maka dalam
jangka pendek akan meningkatkan jumlah permintaan barang dalam negeri.
Selanjutnya, peningkatan permintaan barang dan jasa berdampak pada
meningkatkan output dari Y1 ke Y2 seperti pada Gambar 10. Peningkatan output
tersebut kemudian mendorong permintaan jumlah tenaga kerja untuk
memproduksi output sehingga tenaga kerja meningkat dari L1 menjadi L2.
Uraian di atas menjalaskan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah
mampu memberikan pengganda penyerapan tenaga kerja. Tetapi, peningkatan
penyerapan tenaga kerja tersebut tidak bisa menggambarkan distribusi yang
merata antara laki-laki dan perempuan. Hal ini disebabkan karena pengambil
kebijakan cenderung melihat anggaran sebagai instrumen yang netral gender.
Anggaran yang netral gender mengabaikan efek penganggaran pembangunan
yang berbeda antara laki-laki dan perempuan (Budlender dan Sharp, 1998).
Padahal menurut Mosse (1993), inisiatif pembangunan apapun akan
35
mempengaruhi kehidupan kaum laki-laki dan perempuan dengan cara yang
berbeda, termasuk juga dalam hal penyerapan tenaga kerja.
Output, Y
Y=F(L)
L1 L2 Tenaga Kerja, L
Sumber: Mankiw (2003)
Gambar 10. Dampak Pengeluaran Pemerintah dalam Jangka Pendek dan
Penyerapan Tenaga Kerja
Apabila realisasi pengeluaran pemerintah tersebut netral gender maka
ketimpangan antara laki-laki dan perempuan di suatu negara akan semakin besar.
Menurut Balmori (2003), gap ini tidak hanya mengurangi kualitas hidup setengah
penduduk suatu negara tetapi juga memiliki risiko pertumbuhan ekonomi jangka
panjang karena negara yang tidak menggunakan setengah dari potensi sumber
daya manusianya akan mengurangi daya saing negaranya. Biaya dari ketimpangan
Y2
Y1
36
gender tersebut terlihat dari rendahnya produktifitas, daya saing dan level
kehidupan.
b. Pengarusutamaan Gender Mendukung Pengeluaran Pemerintah
Responsif Gender
Upaya pemerintah untuk memperbaiki ketimpangan gender melalui
kebijakan anggarannya tampak dari dikeluarkannya kebijakan pengarusutamaan
gender dan dipertegas dengan kebijakan anggaran responsif gender. Kebijakan
pengarusutamaan gender diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000
(Lampiran 6). Kebijakan anggaran responsif gender diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) No. 104 Tahun 2010.
Kebijakan Pengarusutamaan Gender
Menurut Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000, pengarusutamaan
gender (gender mainstreaming) adalah strategi yang dibangun untuk
mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program
pembangunan nasional.
Pengarusutamaan gender dilaksanakan dengan dua cara: analisis dan
upaya komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang pengarusutamaan gender
pada instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah. Analisis
gender dilaksanakan untuk mengidentifikasi dan memahami ada atau tidak adanya
dan sebab-sebab terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender, termasuk
pemecahan permasalahannya. Sedangkan upaya komunikasi, informasi, dan
edukasi (KIE) dilaksanakan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan
instansi dan lembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah tentang gender.
Kegiatan analisis gender meliputi: 1) identifikasi ketimpangan antara laki-
laki dan perempuan dalam memperoleh hasil dari kebijakan dan program
pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan, 2) identifikasi dan memahami
sebab-sebab terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dan
menghimpun faktor-faktor penyebabnya, 3) menyusun langkah-langkah yang
diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, 4) menetapkan
indikator gender untuk mengukur capaian dari upaya-upaya mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender.
37
Pimpinan instansi dan lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah
melaksanakan dan bertanggung jawab atas pemantauan dan evaluasi terhadap
pelaksanaan pengarusutamaan gender di lingkungannya. Hasil pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan pengarusutamaan gender, oleh pimpinan instansi dan
lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah dilaporkan kepada Presiden
dengan tembusan kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.
Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksaaan pengarusutamaan
gender dibebankan kepada: (1) anggaran Pendapatan dan Pengeluaran Negara
(APBN) untuk masing-masing instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat,
(2) Anggaran Pendapatan dan Pengeluaran Negara (APBD) untuk masing-masing
instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Daerah.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan melaporkan hasil pelaksanaan
pengarusutamaan gender secara berkala kepada Presiden. Laporan hasil
pelaksanaan pengarusutamaan gender meliputi: 1) hambatan-hambatan yang
tejadi, 2) upaya-upaya yang telah dilakukan, dalam mengatasi hambatan yang
terjadi, dan 3) hasil-hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan pengarusutamaan
gender.
Anggaran Responsif Gender
Dalam rangka mempertegas pengarusutamaan gender dalam
pembangunan, maka dikeluarkanlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 104
Tahun 2010. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Tahun 2010, Anggaran
Responsif Gender (ARG) adalah anggaran yang memberi/mengakomodasi
terhadap 2 (dua) hal:
1. Keadilan bagi perempuan dan laki-laki (dengan mempertimbangkan peran
dan hubungan gendernya) dalam memperoleh akses, manfaat (dari program
pembangunan), berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan
mempunyai kontrol terhadap sumber-sumber daya;
2. Kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki terhadap kesempatan/peluang dalam
memilih dan menikmati hasil pembangunan.
ARG bukan suatu pendekatan yang berfokus pada klasifikasi anggaran.
ARG lebih menekankan pada masalah kesetaraan dalam penganggaran.
Kesetaraan tersebut berupa proses maupun dampak alokasi anggaran dalam
38
program/kegiatan yang bertujuan menurunkan tingkat ketimpangan gender. ARG
bekerja dengan cara menelaah dampak dari belanja suatu kegiatan terhadap
perempuan dan laki-laki, dan kemudian menganalisa apakah alokasi anggaran
tersebut telah menjawab kebutuhan perempuan serta kebutuhan laki-laki. Oleh
karena itu ARG melekat pada struktur anggaran (program, kegiatan, dan output)
yang ada dalam RKA-KL. Suatu output yang dihasilkan oleh kegiatan akan
mendukung pencapaian hasil (outcome) program. Hanya saja muatan
subtansi/materi output yang dihasilkan tersebut dilihat dari sudut pandang
(perspektif) gender.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan anggaran responsif
gender yaitu:
1. ARG merupakan penyusunan anggaran guna menjawab secara adil kebutuhan
setiap warga negara dari berbagai kelompok yang berbeda, baik laki-laki
maupun perempuan (keadilan dan kesetaraan gender)
2. Bukan fokus pada penyediaan anggaran dengan jumlah tertentu untuk
pengarusutamaan gender, tapi lebih luas lagi, bagaimana anggaran
keseluruhan dapat memberikan manfaat yang adil untuk laki-laki dan
perempuan. Prinsip tersebut mempunyai arti:
a. ARG bukanlah anggaran yang terpisah untuk laki-laki dan perempuan
b. ARG sebagai pola anggaran yang akan menjembatani ketimpangan status
peran dan tanggung jawab laki-laki, perempuan serta kelompok lain
c. ARG bukanlah dasar yang “valid” untuk meminta tambahan alokasi
anggaran
d. Adanya ARG tidak berarti adanya penambahan dana yang dikhususkan
untuk program perempuan
e. Bukan berarti bahwa alokasi ARG berada dalam program khusus
pemberdayaan perempuan
f. ARG bukan berarti ada alokasi dana 50% laki-laki – 50% perempuan
untuk setiap kegiatan
39
g. Tidak harus semua program dan kegiatan perlu mendapat koreksi agar
menjadi responsif gender
c. Desentralisasi Fiskal
Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem
pemerintahan sentralistik. Sistem pemerintahan sentralistik tersebut tercermin dari
dominasi pemerintah pusat dalam merencanakan dan menetapkan prioritas
pembangunan (top down) di daerah, dan kurang melibatkan stakeholders di
daerah. Selain itu, pemerintah daerah juga harus tunduk kepada berbagai arahan
berupa petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis dari pemerintah pusat.
Menurut Said (2004), sebelum desentralisasi fiskal, pemerintah daerah tidak
terlibat banyak dalam menentukan sektor-sektor pembangunannya termasuk
sektor-sektor penting di daerah.
Besarnya peran pemerintah pusat dalam mengatur rumah tangga
pemerintah daerah menyebabkan besarnya kewenangan keuangan yang dikelola
oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak diberikan keleluasaan untuk
memperoleh pendapatan daerah. Sumber pendapatan daerah relatif terbatas, yakni
hanya mengandalkan pendapatan asli daerah dan persentase bagi hasil yang
relatif sedikit. Salah satu dana bantuan pusat berupa subsidi daerah otonom yang
digunakan untuk membiayai pegawai pemerintah di daerah dan instruksi presiden
yang digunakan untuk kegiatan pembangunan di daerah.
Peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri semakin
meningkat pada tahun 2001 ketika diberlakukan Undang-Undang Otonomi
Daerah yang terdiri dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (telah diganti dengan Undang-Undang RI No. 34 Tahun
2004) dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah (telah diganti dengan Undang-Undang RI No.
33 Tahun 2004).
Menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2004, otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Konsekuensi otonomi daerah tersebut adalah
40
penyerahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah
untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya dalam mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan (kecuali untuk beberapa urusan yang masih menjadi bagian
pemerintah pusat, yaitu: urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal nasional, dan agama)
Otonomi daerah menyebabkan pemerintah daerah leluasa untuk
menentukan sektor-sektor pembangunan yang paling tepat dan dibutuhkan
masyarakat lokal, karena pemerintah daerah dianggap lebih mengerti kebutuhan
masyarakatnya dibanding pemerintah pusat. Adanya penyerahan sebagian
wewenang pusat ini menyebabkan semakin besarnya dana transfer ke daerah guna
mendukung penyerahan wewenang tersebut.
Desentralisasi fiskal merupakan bagian penting dari otonomi daerah.
Desentralisasi fiskal ditandai dengan meningkatnya alokasi dana transfer dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah (dana perimbangan), yaitu berupa: (1)
peningkatan persentase bagi hasil bagi pemerintah daerah, (2) peningkatan dana
alokasi umum yang sebelumnya dikenal dengan subsidi daerah otonom dan
Instruksi presiden, dan (3) pelimpahan dana alokasi khusus.
Dana Bagi Hasil
Untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara pusat
dan daerah dilakukan sistem bagi hasil. Pola bagi hasil ini dilakukan dengan
persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil (by origin). Bagi hasil
tersebut meliputi bagi hasil pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah
dan bangunan, dan bagi hasil sumber daya alam yang terdiri dari sektor kehutanan,
pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan.
Dari Tabel 7 terlihat bahwa dana bagi hasil setelah desentralisasi fiskal
telah mempertimbangkan daerah penghasil, seperti pos iuran hasil hutan (IHH),
provisi sumber daya hutan (PSDH), royalti dan land rent sumber daya alam
pertambangan umum, dan royalti sumber daya alam migas. Selain
mempertimbangkan daerah penghasil, undang-undang yang baru ini memberikan
persentase bagi hasil yang lebih besar dari pada undang-undang sebelumnya untuk
beberapa pos.
41
Tabel 7. Proporsi Pembagian Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah
Diberlakukannya Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
No. Jenis Penerimaan
Lama (%) Baru (%)
Pusat Prop Kab/
Kota Pusat Prop
Semua
Kab/
Kota
Kab/
Kota
Penghasil
Kab/
Kota
Lain
I
Bagian daerah
1. Pajak bumi & bangunan
(PBB)
2. Bea perolehan atas tanah
& bangunan (BPHTB)
3. Pajak penghasilan (PPh)
perorangan
4. SDA kehutanan:
- Iuran hasil hutan (IHH)
- Provisi sumber daya
hutan (PSDH)
5. SDA pertambangan
umum:
- royalti 3.3% dari 13.5%
(batu bara + emas)
- landrent (iuran tetap)
6. SDA migas:
- royalti migas
a. Minyak bumi
b. gas alam
7. Agraria
8. Royalti perikanan
- pungutan pengusaha
perikanan (PPP) &
pungutan hasil
perikanan (PHP)
10
20
80
55
30
20
20
100
100
40
-
16.2
16
20
30
70
16
16
-
-
40
-
64.8
64
-
15
-
64
64
-
-
20
-
10
20
80
20
20
20
20
85
70
100
20
16.2
16
20
16
16
16
16
3
6
-
-
64.8
64
-
-
-
-
-
-
-
-
80
-
-
-
64
32
32
64
6
12
-
-
-
-
-
-
32
32
-
6
12
-
-
II (DAU) SDO dan Inpres 75 2.5 22.5 - -
III DAK Dialokasikan tergantung pada kebutuhan
Sumber: Tambunan ( 2001)
Dana Alokasi Umum
Pola sistem bagi hasil berhasil mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat
dan daerah karena sebagian keuangan pusat telah di limpahkan ke daerah untuk
mendukung desentralisasi tetapi akan menimbulkan ketimpangan horizontal
(horizontal imbalance) antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini
42
disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi sumber
daya alam secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam, pertambangan, dan
kehutanan. Demikian pula halnya dengan potensi penerimaan daerah dari pajak
bumi dan bangunan, bea perolehan atas tanah & bangunan, dan pajak penghasilan
perorangan, dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh beberapa
daerah saja. Dana alokasi umum merupakan dana transfer dari pemerintah pusat ke
daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah.
Menurut Tambunan (2001), setelah otonomi dana alokasi umum
(sebelumnya dikenal dengan istilah dana rutin daerah dan dana pembangunan
daerah) meningkat signifikan dibanding dengan pola lama karena jumlahnya
paling tidak 25 persen dari penerimaan dalam negeri pemerintah sesudah
dikurangi bagian dari pajak dan sumber daya alam yang diserahkan ke daerah.
Jadi tujuannya lebih kepada pemerataan.
Dana Alokasi Khusus
Pada hakikatnya pengertian dana alokasi khusus adalah dana yang berasal
dari anggaran pendapatan dan belanja negara, yang dialokasikan kepada daerah
untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Pengalokasian dana alokasi
khusus ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, yang dimaksud
dengan kebutuhan khusus adalah: (1) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan
dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang
tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan
transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan
jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan
(2) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.
Peningkatan yang cukup signifikan pada transfer dana ke daerah melalui
dana perimbangan menyebabkan pengelolaan fiskal pemerintah pusat dalam
pengelolaan fiskal pemerintah secara umum telah berkurang. Sebaliknya proporsi
fiskal dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab daerah
sepenuhnya melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) akan
meningkat tajam. Perubahan peta pengelolaan fiskal ini juga diikuti dengan
43
kenyataan bahwa pemerintah daerah akan mempunyai fleksibilitas yang cukup
tinggi, atau bahkan diskresi penuh dalam pemanfaatkan sumber-sumber utama
pembiayaan tersebut (Sidik, 2002).
Desentralisasi fiskal menyebabkan dana transfer dari pemerintah pusat dan
daerah meningkat cukup tinggi. Akhmad (2012) menunjukkan bahwa DBH dan
DAU meningkat sekitar Rp 22 triliun dan Rp 61 miliar dari sebelumnya sebesar
Rp 4 triliun dan Rp 15 triliun. Meskipun DAK mengalami penurunan menjadi Rp
1 triliun dari sebelumnya sebesar Rp 10 triliun, tetapi secara keseluruhan total
dana perimbangan mengalami peningkatan sebesar 184 persen.
Peningkatan dana perimbangan tersebut terjadi di seluruh kabupaten dan
kota di Indonesia. Barbara (2008) menunjukkan bahwa setelah desentralisasi
fiskal, dana perimbangan kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah meningkat
menjadi Rp 544 miliar dari sebelumnya sebesar Rp 246 miliar, atau naik sebesar
121.32 persen. Rindayati (2009) menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal
menyebabkan rata-rata dana perimbangan daerah Jawa Barat meningkat menjadi
Rp 3 triliun (2001-2005) dari sebelumnya sebesar Rp 0.4 triliunr (1995-2000),
atau dengan kata lain terjadi kenaikan sebesar 571 persen.
Berikutnya, Astuti (2007) menggambarkan bahwa kebijkan desentralisasi
fiskal menyebabkan rata-rata penerimaan dana perimbangan kabupaten dan kota
di Bengkulu meningkat dari Rp 129 miliar (1998-2000), menjadi Rp 372 miliar
(2001-2003), atau dengan kata lain terjadi kenaikan sebesar 190 persen. Terakhir,
Panjaitan (2006) menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal menyebabkan dana
perimbangan pemerintah daerah Sumatera Utara naik sekitar 41 persen.
2.1.7. Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Dampak pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap
ketimpangan gender di pasar tenaga kerja dapat dianalisis dengan menggunakan
Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Alat analisis yang sama digunakan oleh
Wanjala dan Were (2010) untuk mengkaji dampak investasi terhadap
ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Kenya.
Daryanto dan Hafizrianda (2010) menjelaskan SNSE sebagai berikut.
Tabel input-output adalah komponen dasar untuk membentuk SNSE. Apabila
variabel endogen tabel input-output terdiri dari faktor produksi dan sektor
44
produksi, maka SNSE melengkapinya dengan menambahkan satu variabel
endogen yaitu institusi. Adanya variabel institusi ini menyebabkan SNSE mampu
menganalisis distribusi pendapatan ketika variabel eksogen berubah.
a. Kerangka Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Kerangka dasar pembentukan SNSE adalah berbentuk matriks dengan
ukuran 4x4, yang berbasis pada neraca-neraca pelaku ekonomi (actors) yang telah
dikonsolidasikan. Bentuk dari matriks yang menggambarkan perilaku dari pelaku-
pelaku ekonomi dalam bentuk berbagai transaksi tersebut dapat dilihat pada Tabel
8.
Tabel 8. Kerangka Dasar SNSE
Pengeluaran
Penerimaan
Neraca Endogen Neraca
Eksogen Jumlah Faktor
Produksi Institusi
Sektor
Produksi
1 2 3 4 5
Ner
aca
Endoen
Faktor
Produksi 1 0 0 T13 X1 Y1
Institusi 2 T21 T22 0 X2 Y2
Sektor
produksi 3 0 T32 T33 X3 Y3
Neraca eksogen 4 L1 L2 L3 L4 Y4
Jumlah 5 Y’1 Y’2 Y’3 Y’4
Sumber: Daryanto dan Hafizrianda (2010)
Tabel 8 ini merupakan tabel contoh yang sangat ringkas yang tujuannya
adalah untuk menunjukkan bagaimana sistem data ini bekerja. Susunan angka-
angka yang terlihat pada tabel merupakan suatu sistem neraca, di mana pada
setiap angka yang ada pada sel-sel matriks mencerminkan hubungan antara
transaksi pada satu neraca dengan transaksi pada neraca yang lainnya. Dalam
kerangka SNSE terdapat 4 neraca utama, yaitu:
1. Neraca faktor produksi,
2. Neraca institusi,
3. Neraca sektor produksi, dan
4. Neraca lainnya (rest of the world)
Masing-masing neraca tersebut menempati satu lajur baris dan satu lajur
kolom. Isian pada setiap lajur baris menjelaskan tentang struktur penerimaan,
45
sedangkan isian pada setiap lajur kolom menjelaskan tentang struktur
pengeluaran. Perpotongan antara suatu neraca dengan neraca yang lainnya
memberikan arti tersendiri. Tabel 9 memberikan arti secara singkat mengenai
masing-masing perpotongan tersebut.
Tabel 9. Arti Hubungan Antarneraca dalam Kerangka SNSE
Pengeluaran
Penerimaan
Neraca Endogen
Neraca
Eksogen Jumlah Faktor
Produksi Institusi
Sektor
Produksi
1 2 3 4 5
Ner
aca
En
do
en
Faktor
Produksi 1 0 0
Alokasi
nilai tambah
ke faktor
produksi
Pendapatan
faktor
produksi dari
luar negeri
Distribusi
pendapatan
faktorial
Institusi 2
Alokasi
pendapatan
faktor ke
institusi
Transfer
antar
institusi
0 Transfer dari
luar negeri
Distribusi
pendapatan
institusional
Sektor
produksi 3 0
Penerimaa
n domestik
Penerimaan
antara
Ekspor dan
investasi
Total output
menurut sektor
produksi
Neraca
eksogen 4
Alokasi
pendapatan
faktor ke
luar negeri
Tabungan
pemerintah
swasta dan
rumahtang
ga
Impor dan
pajak tak
langsung
Transfer
lainnya
Total
penerimaan
neraca lainnya
Jumlah 5
Distribusi
pengeluaran
faktor
Distribusi
pengeluara
n institusi
Total input
Total
pengeluaran
lainnya
Sumber: Daryanto dan Hafizrianda (2010)
Neraca SNSE dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu neraca endogen dan
neraca eksogen. Neraca endogen terdiri dari neraca (sub-sistem) faktor produksi,
neraca institusi kecuali pemerintah, neraca sektor produksi, dan neraca komoditas.
Sedangkan yang dikelompokkan dalam neraca eksogen adalah neraca atau
variabel yang dapat dijadikan alat untuk mengatur kebijaksanaan (policy tools)
oleh pemerintah atau variabel yang sulit dikontrol (di luar jangkauan model), yang
meliputi neraca pemerintah, neraca kapital, pajak tak langsung neto, dan neraca
luar negeri.
b. Keterkaitan Antarindustri
Ketika kita berbicara tentang "guncangan sisi permintaan eksogen" untuk
ekonomi, kita mengacu kepada perubahan ekspor permintaan, pengeluaran
pemerintah, atau investasi permintaan. Dampak guncangan ini memiliki baik
46
langsung dan efek tidak langsung. Efek langsung adalah yang berkaitan dengan
sektor yang secara langsung dipengaruhi oleh shock. Sebagai contoh,
peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian memiliki dampak
langsung pada sektor pertanian. Selain itu, peningkatan permintaan untuk ekspor
pertanian juga memiliki efek tidak langsung yang berasal dari keterkaitan sektor
pertanian dengan sektor lain dalam perekonomian, misalnya industri pupuk, bibit,
dan industri pengguna output pertanian dalam negeri.
c. Analisis Multiplier
Berdasarkan tabel sebelumnya, distribusi pendapatan dan pengeluaran
neraca endogen dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pendapatan faktor produksi : Y1 = T13 + X1 ............................. (2.3)
Pendapatan institusi : Y2 = T21 + T 22 + X2 ............................. (2.4)
Pendapatan kegiatan produksi : Y3 = T32 + T33 + X3 ............................. (2.5)
Pengeluaran faktor produksi : Y1 = T21 + L1 ............................. (2.6)
Pengeluaran institusi : Y2 = T22 + T32 + L2 ............................. (2.7)
Pengeluaran kegiatan produksi : Y3 = T13 + T33 + L3 ............................. (2.8)
Persamaan-persamaan di atas dapat ditulis kembali secara singkat sebagai berikut:
Y = T + X ............................. (2.9)
Dalam hal ini Y adalah pendapatan/pengeluaran, T adalah transaksi, dan X adalah
neraca eksogen. Matriks T sebagai matriks transaksi antar blok di dalam neraca
endogen ditulis sebagai berikut:
........................... (2.10)
Matriks transaksi T menunjukkan adanya transaksi antarneraca seperti T13,
T21, T32, dan transaksi dalam neraca sendiri yaitu: T22 dan T33. Transaksi antar
neraca ini dapat juga dituangkan dalam bentuk gambar, sebagaimana yang terlihat
pada Gambar 11.
Apabila kecenderungan pengeluaran Aij merupakan pembagian antara
pengeluaran sektor j untuk sektor ke i dengan total pengeluaran ke j (Yj), maka:
........................... (2.11)
Maka matriks Aij dapat ditulis kembali sebagai berikut:
47
........................... (2.12)
Apabila persamaan sebelumnya dibagi dengan Y diperoleh persamaan-persamaan
sebagai berikut:
........................... (2.13)
........................... (2.14)
........................... (2.15)
........................... (2.16)
........................... (2.17)
(T32) (T13) T13
(T21)
Sumber: Daryanto dan Hafizrianda (2010)
Gambar 11. Keterkaitan Transaksi dalam SNSE
di mana: adalah merupakan matrix accounting multiplier.
Melalui multiplier tersebut dapat diperoleh berbagai macam jenis multiplier
ekonomi yang sangat bermanfaat dalam menentukan seberapa besar hubungan
antara aktivitas ekonomi dalam suatu perekonomian secara keseluruhan. Adapun
multiplier yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Production multiplier atau gross output multiplier yaitu besaran multiplier
yang menunjukkan berapa besar pengaruh dari suatu sektor produksi terhadap
perubahan output perekonomian secara keseluruhan
Aktivitas
produksi
(T33)
Distribusi
pendapatan institusi
(T22)
Distribusi
pendapatan
factorial (T11)
48
2. Value added multiplier yaitu besaran multiplier yang menunjukkan berapa
besar pengaruh dari suatu sektor dalam blok produksi terhadap perubahan
value added.
3. Other sektor linkage multiplier yaitu besaran multiplier yang menunjukkan
berapa besar pengaruh dari suatu sektor terhadap perubahan output di sektor-
sektor lainnya dalam blok produksi.
4. Induced household income multiplier yaitu besaran multiplier yang
menunjukkan berapa besar pengaruh dari suatu sektor dalam blok produksi
terhadap perubahan pendapatan rumahtangga dalam blok institusi.
Penjumlahan kolom anak matriks SNSE memiliki nilai yang sama dengan
keempat multiplier tersebut. Berdasarkan masing-masing nilai multiplier dapat
diketahui bagaimana peran dari suatu sektor produksi misalnya terhadap
penciptaan nilai ambah atau pendapatan rumahtangga.
d. Pengganda Tenaga Kerja
Perkiraan jumlah penyerapan tenaga kerja (L) dihitung dengan
mengalikan matriks koefisien tenaga kerja (i) dengan matriks PDB per sektor (Y).
Setiap sektor memiliki jumlah penyerapan tenaga kerja yang berbeda-beda karena
masing-masing sektor memiliki koefisien tenaga kerja dan pendapatan yang
berbeda. Oleh karena itu, jika diuraikan untuk masing-masing sektor maka
diperoleh:
........................... (2.18)
........................... (2.19)
........................... (2.20)
Dalam bentuk matriks, persamaan-persamaan di atas dapat ditulis sebagai:
........................... (2.21)
Dimana:
L = Matriks jumlah tenaga kerja
Y = Output
49
........................... (2.22)
Karena , maka:
........................... (2.23)
Dimana:
L = Kebutuhan tenaga kerja yang dipengaruhi permintaan akhir
2.2. Tinjauan Empiris
Khan (1999), melakukan penelitian tentang pertumbuhan sektoral dan
pengurangan kemiskinan di Afrika Selatan dengan menggunakan teknik
dekomposisi multiplier. Dalam penelitian ini, Khan mencoba untuk menjelaskan
bagaimana hubungan antara pertumbuhan sektoral dan pengurangan kemiskinan
di Afrika Selatan.
Penelitian ini mencoba untuk mengeksplorasi hubungan antara
pertumbuhan sektoral dan pengurangan kemiskinan sama seperti yang dilakukan
Thorbecke dan Hong-sang di Indonesia. Secara empiris, ekonomi Afrika selatan
lebih maju daripada Indonesia tetapi kemiskinan yang berlangsung lama terjadi
pada kelompok masyarakat berwarna kulit hitam yang merupakan penduduk asli.
Oleh karena itu penelitian ini difokuskan pada kebijakan untuk pengentasan
kemiskinan, khususnya di antara penduduk asli Afrika .
SNSE Afrika Selatan yang digunakan memiliki tiga faktor endogen yaitu
faktor produksi, rumahtangga dan kegiatan produksi. Sedangkan faktor
eksogennya adalah pengeluaran pemerintah, kapital, dan rest of the world.
Nilai tambah yang dihasilkan dalam kegiatan produktif didistribusikan
antara pemilik tanah, pemilik modal, kelompok pekerjaan yang dibagi
berdasarkan ras. Pengelompokan berdasarkan ras ini bertujuan untuk menangkap
kebijakan masa lalu di mana pekerjaan banyak ditentukan oleh faktor ras. Untuk
tujuan mempelajari hubungan antara pertumbuhan dan kemiskinan rumahtangga
dipisahkan menjadi tipe pedesaan dan perkotaan. Selanjutnya, dalam wilayah
50
perkotaan dan pedesaan, rumahtangga diklasifikasikan menjadi tinggi, menengah,
dan rendah menurut status ekonomi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan pangsa pedesaan
berpendapatan rendah dan sedang signifikan lebih tinggi dibandingkan empat
rumahtangga lainnya. Pada saat yang sama, kelompok berpenghasilan rendah
perkotaan merupakan kantong kemiskinan di kawasan perkotaan.
Sektor pertanian dan pertambangan memberikan dampak paling besar
terhadap pengurangan kemiskinan total diikuti oleh transportasi dan jasa, dan
manufaktur. Pengolahan makanan, tekstil, tenun, kulit dan kayu memiliki dampak
pengentasan kemiskinan yang lebih besar dibandingkan kertas, listrik bahan
kimia, atau konstruksi. Ini kemungkinan besar merupakan refleksi dari perbedaan
di antara sektor-sektor dalam hal keterkaitan ke belakang dan penggunaan tenaga
kerja tidak terampil di Afrika Selatan
Pengentasan kemiskinan untuk beberapa sektor industri seperti konstruksi,
bahan kimia dan listrik sangat rendah hal ini disebabkan masyarakat miskin
Afrika tidak dipekerjakan secara signifikan di sektor ini. Implikasi kebijakannya
adalah orang Afrika miskin harus dibawa ke dalam proses industrialisasi secara
langsung. Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan kualitas sumberdaya
manusia sehingga rekomendasi kebijakan jangka panjang yang diambil adalah
pendidikan dan pelatihan kepada penduduk Afrika miskin.
Hafizrianda (2007), melakukan penelitian dengan judul Dampak
Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap Distribusi Pendapatan dan
Perekonomian Regional Provinsi Papua dengan alat analisis SNSE. Ada tiga yang
menjadi tujuan berbasis pertanian terhadap distribusi pendapatan di Provinsi
Papua, yaitu: 1) menganalisis peranan dari sektor-sektor ekonomi yang berbasis
pertanian terhadap distribusi pendapatan di Provinsi Papua, 2) mengukur dan
menganalisis besarnya ketimpangan pendapatan antara sektor-sektor ekonomi,
rumahtangga dan tenaga kerja di provinsi Papua, 3) menganalisis dampak
pembangunan sektor-sektor ekonomi berbasis pertanian terhadap penurunan
ketimpangan pendapatan di Propinsi Papua. Alat analisis yang digunakan adalah
analisis multiplier SNSE, dekomposisi multiplier SNSE, structural path analysis
SNSE, Theil-index dan L-index.
51
Penelitian ini melakukan pemutahiran Tabel Input Output Papua menjadi
tahun 2003, yang kemudian menjadi dasar untuk membangun SNSE Papua.
Neraca SNSE Papua dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu neraca endogen dan
eksogen. Neraca endogen terdiri atas blok neraca faktor produksi, blok neraca
institusi, dan blok neraca aktivitas produksi. Faktor produksi terdiri atas tenaga
kerja dan modal, di mana tenaga kerja didisagregasi menjadi tenaga kerja papua
dan nonpapua. Institusi dibagi menjadi dua kelompok yaitu: rumahtangga
(rumahtangga desa berpendapatan rendah, rumahtangga desa pendapatan sedang,
rumahtangga desa pendapatan tinggi, rumahtangga kota pendapatan rendah,
rumahtangga kota pendapatan sedang, dan rumahtangga kota pendapatan tinggi)
dan institusi lainnya (swasta dan pemerintah). Sedangkan aktivitas produksi
meliputi 20 sektor dengan fokus utama pada sektor-sektor berbasisi pertanian.
Neraca eksogen dipisah menjadi neraca kapital (capital account), neraca pajak tak
langsung (indirect tax account), dan neraca rest of the world. Sebagai catatan,
masuknya pemerintah ke dalam neraca endogen menyebabkan simulasi
pengeluaran pemerintah tidak dapat dilakukan, sehingga simulasi hanya
bergantung pada peran swasta saja.
Data-data yang diperlukan untuk membangun SNSE Papua adalah hasil
pemutahiran tabel input-output Papua tahun 2003, pengeluaran konsumsi
penduduk Papua tahun 2002, statistik penduduk Papua tahun 2003, SNSE
Indonesia tahun 2002, Survei khusus tabungan dan investasi rumahtangga
(SKTIR) tahun 2003, susenas 2003 dan statistik keuangan Papua 2002/2003.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang
berbasis pertanian mampu memperbaiki distribusi pendapatan di Provinsi Papua.
Hal ini dapat dilihat dari sebagian hasil simulasi yang menunjukkan bahwa sektor
berbasis pertanian mampu mengurangi ketimpangan pendapatan dalam
perekonomian Papua. Rekomendasi kebijakan yang diberikan adalah redistribusi
pendapatan yang dilaksanakan baik secara vertikal maupun horisontal.
Berdasarkan Tabel Input-output 1993-1994, Fontana dan Wobst (2001)
membangun sebuah SNSE Bangladesh dengan membagi tenaga kerja berdasarkan
gender. SNSE yang dibangun terdiri atas 43 sektor dengan fokus analisis pada 10
sektor pertanian dan 19 sektor industri. Neraca institusi dibagi kedalam dua belas
52
kelompok sosial-ekonomi untuk mempertajam analisis kesejahteraan rumahtangga
dan kemiskinan. Sedangkan faktor produksi terdiri atas sepuluh yaitu modal,
tanah dan delapan jenis tenaga kerja yang dipilah berdasarkan tingkat pendidikan
dan gender. Dengan dipilahnya tenaga kerja maka SNSE yang dibangun dapat
menjadi dasar untuk analisis sensitif gender ketika terjadi perubahan kebijakan.
Tenaga kerja yang dipilah terdiri atas delapan kategori, yaitu: tenaga kerja
perempuan tak terdidik, tenaga kerja perempuan berpendidikan rendah, tenaga
kerja perempuan berpendidikan sedang, tenaga kerja perempuan berpendidikan
tinggi, tenaga kerja laki-laki tak terdidik, tenaga kerja laki-laki berpendidikan
rendah, tenaga kerja laki-laki berpendidikan sedang, tenaga kerja laki-laki
berpendidikan tinggi. Dikatakan tidak terdidik jika tidak pernah mengikuti
pendidikan formal, dikatakan berpendidikan rendah jika lama pendidikan antara
1-5 tahun, dikatakan berpendidikan sedang jika lama sekolah antara 5-10 tahun,
dan dikatakan berpendidikan tinggi jika lama sekolah di atas 10 tahun.
Wanjala dan Were (2010) meneliti tentang ketimpangan gender dan
pertumbuhan ekonomi di Kenya dengan menggunakan SNSE. Penelitian ini
menganalisis dampak investasi dari berbagai sektor terhadap pendapatan tenaga
kerja di Kenya. Alat analisis yang digunakan adalah matriks pengganda SNSE, di
mana SNSE yang digunakan memilah tenaga kerja berdasarkan gender sehingga
diperoleh hasil penelitian yang responsif gender.
Ketimpangan gender memang sudah ada di Kenya, hanya saja
implementasi kebijakan yang buta gender dapat melanggengkan ketidaksetaraan
gender di Kenya. Reformasi kebijakan Kenya bertujuan untuk meningkatkan
peran swasta sehingga diharapkan mampu mengurangi ketimpangan di sektor
swasta yang sebagaian besar adalah sektor informal. Penelitian ini bertujuan
untuk menggambarkan bagaimana ketimpangan di pasar tenaga kerja Kenya dan
struktur ekonomi menjadi penentu terbesar yang menciptakan ketimpangan
pendapatan antara laki-laki dan perempuan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor pertanian Kenya memberikan
dampak peningkatan tertinggi terhadap pendapatan tenaga kerja (terutama tenaga
kerja laki-laki terampil, sementara sektor industri tertinggi dalam persentase
peningkatan lapangan kerja. Walaupun perempuan banyak diuntungkan oleh
53
penciptaan tanaga kerja tersebut, tetapi lebih besar terjadi pada sektor informal.
ketimpangan gender di Kenya adalah gambaran dari adanya ketimpangan di pasar
tenaga kerja dan struktur sosial ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan yang
ditujukan mengatasi kendala yang membatasi partisipasi efektif perempuan dalam
Kenya pasar tenaga kerja, termasuk meningkatkan produktivitas dan
meningkatkan keterampilan perempuan, adalah penting agar perempuan dan laki-
laki memiliki kesempatan yang sama dalam menikmati peningkatan kesempatan
kerja dan pertumbuhan ekonomi.