ii. tinjauan pustaka a. polimer - selamat datangdigilib.unila.ac.id/12936/16/bab ii.pdfpolimer jenis...
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Polimer
Polimer merupakan suatu senyawa dengan berat molekul yang besar dan
tersusun atas unit-unit kecil berulang yang disebut monomer (Stevens, 2001).
Monomer-monomer ini saling terhubung satu sama lain melalui ikatan kovalen.
Meskipun struktur polimer bervariasi secara luas, struktur polimer dapat
dikombinasikan dengan jumlah unit-unit kecil yang berbeda; dalam banyak
kasus, satu unit monomer sudah cukup untuk mewakili keseluruhan molekul
polimer. Struktur polimer ini terbentuk melalui pengulangan dari satu atau
beberapa monomer yang merupakan karakteristik dasar dari senyawa polimer,
sehingga diistilahkan dengan “polimer” yang berarti “banyak anggota” (Flory,
1995).
1. Klasifikasi Polimer
Polimer yang terdapat di alam dapat diklasifikasikan berdasarkan kategori-
kategori tertentu. Kategori-kategori tersebut adalah berdasarkan asal, bentuk
struktur, sifat termal, geometri, dan fase. Berdasarkan sumbernya, polimer
diklasifikasikan menjadi sebagai berikut:
7
a. Polimer alami (Biopolimer)
Polimer jenis ini terbentuk melalui proses alami yang terjadi di kehidupan
sehari-hari, contoh yang paling banyak dijumpai adalah protein, karbohidrat
dan turunannya (seperti pati, selulosa, kitin, dan kitosan), dan lain sebagainya.
b. Polimer Sintetik
Polimer jenis ini diperoleh melalui serangkaian proses reaksi kimia. Polimer
sintetik yang paling banyak ditemui adalah polipropilen, polistirena, nylon, dan
lain-lain (Stevano, 2013).
Berdasarkan struktur dari rantainya, polimer dapat dibedakan menjadi tiga
jenis, yaitu:
a. Polimer Rantai Lurus
Polimer jenis ini memiliki bentuk rantai yang tersusun dari monomer-monomer
yang saling berikatan membentuk suatu rantai lurus. Adapun gambar struktur
dari polimer rantai lurus ditunjukkan oleh gambar 1.A. Contoh dari polimer
rantai lurus adalah kitin, strukturnya ditunjukkan oleh gambar 1.B.
A B
Gambar 1. Struktur polimer rantai lurus (A) (Stevano, 2013) dan struktur kitin
(B) (Nelson et al., 2004)
8
b. Polimer Bercabang
Gabungan dari beberapa jenis rantai lurus atau rantai bercabang yang dapat
digabungkan melalui ikatan silang (cross-linking). Adapun struktur dari
polimer rantai bercabang ditunjukkan oleh gambar 2.A dan contoh dari polimer
jenis ini ada amilopektin yang ditunjukkan oleh gambar 2.B.
A B
Gambar 2. Struktur polimer rantai bercabang (A) (Stevano, 2013) dan struktur
amilopektin (B) (Nelson et al., 2004)
c. Polimer Jaringan
Jika ikatan silang terjadi ke berbagai arah maka terbentuk polimer sambung
silang tiga dimensi atau yang sering disebut polimer jaringan (Cowd, 1991).
Struktur polimer jaringan ditunjukkan oleh gambar 3.A dan contohnya adalah
bakelit yang ditunjukkan oleh gambar 3.B.
9
A B
Gambar 3. Struktur polimer jaringan (A) (Stevano, 2013) dan struktur bakelit
(B)
Berdasarkan sifat termal dari polimer tersebut, maka polimer dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu:
a. Polimer Termoplastik
Jika dipanaskan, polimer jenis ini bersifat lunak dan meleleh (viscous) dan saat
didinginkan akan menjadi kaku (rigid). Contoh yang paling sering ditemui
adalah polietilen, polipropilen, dan lain-lain.
b. Polimer Termoset
Polimer termoset merupakan polimer yang akan melebur ketika dipanaskan
dan ketika didinginkan akan mengeras secara permanen. Polimer ini memiliki
bentuk struktur tiga dimensi (jaringan) sehingga polimer ini memiliki sifat
lebih kaku (rigid) (Rahmat, 2008).
10
Berdasarkan geometrinya, polimer diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Sindiotaktik
Polimer jenis ini memiliki konfigurasi yang selang-seling antara monomer satu
dengan monomer lainnya. Adapun struktur dari polimer sindiotaktik ini
ditunjukkan pada gambar 4. berikut ini.
Gambar 4. Polimer Sindiotaktik (Stevens, 2001)
b. Isotaktik
Konfigurasi pada polimer ini sejajar antara monomer satu dengan monomer
lainnya. Struktur dari polimer isotaktik dapat dilihat pada gambar 5. di bawah
ini.
Gambar 5. Polimer Isotaktik (Stevens, 2001)
11
c. Ataktik
Konfigurasi pada polimer ini tidak teratur atau acak antara monomer satu
dengan monomer lainnya. Struktur polimer ataktik ini dapat ditunjukkan oleh
gambar 6. di bawah ini.
Gambar 6. Polimer Ataktik (Stevens, 2001)
Dan yang terakhir berdasarkan fasenya, polimer dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu:
a. Amorf
Polimer ini memiliki susunan yang tidak teratur dan memiliki suhu transition
glass (Tg). Contoh dari fase amorf ini adalah karet dan polietena yang dapat
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
b. Kristalin
Polimer ini memiliki susunan rantai yang teratur dan memiliki titik leleh
(melting point). Contohnya yang dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari
adalah pati, selulosa, dan lain-lain (Stevano, 2013).
12
2. Reaksi Polimerisasi
Reaksi polimerisasi merupakan suatu reaksi pembentukan polimer dengan cara
menggabungkan berbagai monomer-monomer baik yang sejenis maupun yang
tidak sejenis. Adapun reaksi polimerisasi dibedakan menjadi 2 jenis adalah
yakni polimerisasi adisi dan polimerisasi kondensasi.
Polimerisasi Adisi
Polimerisasi adisi merupakan reaksi polimerisasi yang melibatkan pemutusan
ikatan rangkap pada monomer-monomer yang akan bergabung menjadi suatu
polimer. Reaksi polimerisasi ini menggabungkan monomer-monomer
penyusun polimer ini sehingga menjadi suatu rantai polimer yang sangat
panjang. Monomer-monomer ini biasanya merupakan suatu senyawa yang
memiliki ikatan rangkap yang kemudian akan bereaksi dengan inisiator
(radikal bebas) dan membentuk suatu spesi aktif. Spesi aktif ini selanjutnya
akan bereaksi dengan monomer lain untuk membentuk suatu polimer adisi
dengan cara memindahkan gugus aktif ke ujung rantai polimer. Gugus aktif ini
juga dapat bereaksi cepat dengan atom atau molekul lain yang tidak
diharapkan. Tahapan reaksi polimerisasi adalah sebagai berikut:
Inisiasi
Tahap ini merupakan tahap pembentukan radikal bebas yang berasal
dari pemicu (inisiator) yang terdekomposisi. Radikal bebas ini
kemudian akan langsung menyerang ikatan rangkap pada monomer
13
menghasilkan suatu spesi aktif yang dapat menjadi pemicu terjadinya
reaksi polimerisasi adisi. Reaksi dari tahap ini adalah sebagai berikut:
I 2 R.
Propagasi
Setelah radikal bebas terbentuk pada tahap inisiasi, kemudian radikal
bebas ini akan menyerang seluruh monomer yang ada dan membentuk
suatu rangkaian karbon yang sangat panjang dan berlangsung terus
menerus dan akan berhenti hingga tahapan penghentian reaksi terjadi.
Tahapan ini disebut tahapan propagasi. Reaksi dari tahapan ini adalah
sebagai berikut:
Terminasi
Pada tahapan ini, reaksi propagasi akan dihentikan. Tahapan ini terjadi
hingga seluruh monomer telah habis bereaksi. Bila konsentrasi
monomer sistem menurun kemungkinan reaksi antara pusat aktif
dengan monomer menjadi kecil. Sebaliknya, pusat aktif akan
cenderung berinteraksi satu sama lain dengan spesies lain dalam sistem
14
membentuk polimer yang mantap. Disamping ketiga reaksi di atas,
proses polimerisasi radikal selalu diikuti proses lain yang melibatkan
interaksi radikal dengan molekul di sekitar pelarut, aditif bahkan
monomer. Interaksi ini dikenal dengan proses alih rantai dan
membentuk radikal baru yang mantap. Reaksi dari tahapan terminasi ini
adalah sebagai berikut: (Cowd, 1991).
Polimerisasi Kondensasi
Polimerisasi kondensasi merupakan suatu reaksi polimerisasi yang melibatkan
gugus-gugus fungsi yang terdapat pada monomer-monomer penyusun polimer.
Reaksi ini akan menghasilkan suatu polimer berantai panjang dan disertai
dengan pelepasan molekul air melalui reaksi kondensasi. Reaksi kondensasi ini
dapat menghasilkan suatu produk polimer yang rigid dan memiliki struktur 3D
yang kompleks (Stevano, 2013).
B. Nanopartikel dan Nanoteknologi
Nanopartikel merupakan partikel koloid padat yang memiliki ukuran sekitar 1-
100 nm. Nanopartikel ini sendiri terdiri dari makro molekul material yang
direduksi secara top down maupun secara bottom up. Top down mengacu pada
pembentukan nanopartikel dari bulk kemudian menjadi serbuk dan menjadi
nanopartikel. Sedangkan bottom up mengacu pada pembentukan nanopartikel
15
dari partikel atom menjadi molekul lalu menjadi nanopartikel (Allemann,
1993).
Menurut Nagavarma et al., (2012), nanopartikel polimer merupakan
nanopartikel yang banyak dibuat dan memiliki peran penting dalam bidang
elektronik, fotonik, material konduktor, sensor, obat-obatan, bioteknologi, serta
teknologi penanganan polusi dan lingkungan. Nanopartikel ini sangat efektif
digunakan untuk membawa obat-obatan, protein, dan DNA ke dalam sel dan
organ target.
Nanoteknologi adalah ilmu yang mempelajari tentang desain, fabrikasi, dan
penggunaan material, struktur, dan peralatan dengan ukuran dibawah 100 nm.
Satu nm sepadan dengan 1 x 10-9 meter atau 50.000 kali lebih kecil dari
diameter rambut manusia. Para peneliti mengambil acuan pada dimensi 1-100
nm sebagai nanoscale, dan material dalam skala ini disebut nanomaterial.
Nanoscale ini unik karena banyak dari mekanisme biologi dan fisik bekerja
pada skala 0,1-100 nm. Rentang ukuran ini memperlihatkan fungsi fisiologi
yang berbeda-beda, sehingga banyak peneliti mengharapkan efek novel terjadi
pada kisaran nanoscale yang akan menjadi sebuah penemuan dan terobosan
baru dalam teknologi (Winarti, 2013).
Nanopartikel biasa digunakan dalam sistem penghantaran obat yang ada di
dalam bidang farmasi. Hal ini disebabkan karena ukuran partikel yang sangat
kecil dari nanopartikel dan sifat permukaannya yang dapat diatur dan diubah
dengan mudah. Hal ini yang membuat nanopartikel dapat mengatur dan
menahan pelepasan zat aktif selama obat tersebut bekerja sehingga dapat
16
meningkatkan efek dari obat tersebut dan juga mengurangi efek samping.
Dengan nanopartikel ini, pelepasan obat dapat diatur dengan cara memilih
matriks penyusun yang tepat sehingga dapat menghasilkan sistem pelepasan
yang berbeda-beda (Rawat et al., 2006).
C. Kitosan
Kitosan merupakan suatu biopolimer yang memiliki struktur lurus dan tersusun
atas 2000-3000 monomer N-Glukosamin dalam ikatan -(1-4). Kitosan
diperoleh melalui proses deasetilasi kitin dengan basa kuat seperti NaOH atau
KOH. Kitin merupakan senyawa penyusun pada kulit hewan crustacea
(Hendri, 2013). Adapun struktur kitosan ditunjukkan oleh gambar 7. berikut
ini.
Gambar 7. Struktur Kitosan (Rodrigues et al., 2012)
1. Isolasi Kitosan
Kitosan diisolasi melalui kitin yang telah diperoleh dari kulit udang yang telah
dibersihkan dan dihaluskan. Proses pembuatan kitin ini melibatkan 3 tahapan,
yaitu:
17
Tahap deproteinasi
Tahapan ini merupakan proses penghilangan protein dari kitin dengan
menggunakan larutan NaOH 20% dan dipanaskan pada suhu 90oC selama 60
menit. Hal ini diperlukan karena kitin memiliki kadar protein sebanyak 30-35%
(Peter, 1995). Protein yang dihilangkan akan bereaksi dengan NaOH
membentuk Na-proteinat dan ketika diuji dengan menggunakan CuSO4 akan
menghasilkan larutan kompleks berwarna ungu pekat.
Tahap demineralisasi
Tahapan ini bertujuan untuk menghilangkan mineral-mineral pada kitin dengan
menggunakan larutan HCl 1,25 N dan dipanaskan pada suhu 90oC selama 90
menit. Mineral-mineral utama yang terkandung dalam kitin adalah kalsium
fosfat, kalsium karbonat, dan magnesium karbonat. Mineral-mineral ini akan
bereaksi dengan HCl menghasilkan garam CaCl2 dan MgCl2. Garam-garam
yang terbentuk diuji dengan amonium oksalat menghasilkan endapan putih
keruh (Hendri, 2013).
Tahap depigmentasi
Tahapan ini berfungsi untuk menghilangkan zat warna yang berada pada kitin
dengan menggunakan aseton hingga warnanya menghilang dan dikeringkan.
Setelah itu, sampel diputihkan dengan NaOCl 0,5% selama 10 menit. Menurut
Hendri, dkk (2005) zat warna yang terkandung dalam kulit udang adalah
astakantin dan karotenoid.
18
Produk yang dihasilkan dari ketiga tahapan tersebut adalah kitin. Pembuatan
kitosan dapat dilakukan dengan cara penghilangan gugus asetil pada kitin
menjadi gugus –NH2 dengan menggunakan basa kuat. Proses deasetilasi
kitosan biasanya menggunakan larutan NaOH 40-60% pada suhu yang tinggi
yaitu berkisar 100-150oC. Hal ini disebabkan karena kitin memiliki struktur
yang panjang dan ikatan antara ion nitrogen dan gugus asetil yang kuat
(Pramudita, 2013).
2. Sifat Kimia Fisika Kitosan
Kitosan merupakan turunan kitin yang paling bermanfaat, hal ini dikarenakan
kitosan memiliki sifat polielektrolit, berat molekul yang tinggi (sekitar 1,2 x 10
Dalton), keberadaan gugus fungsional, kemampuan membentuk gel, dan
kemampuan mengadsorbsi. Selain itu, kitosan juga dapat dimodifikasi baik
secara kimia maupun enzimatik. Terdapat 2 parameter yang dapat
mempengaruhi kelarutan, sifat-sifat fisikokimia, sifat biokompabilitas, dan
aktivitas imunitas suatu kitosan, dua parameter tersebut adalah berat molekul
dan tingkat deasetilasi (Utami, 2014).
Menurut Knoor (1984), banyaknya gugus asetil yang dapat dihilangkan dari
rendemen kitosan dinyatakan dalam derajat deasetilasi. Kualitas dari suatu
kitosan ditentukan oleh derajat deasetilasinya. Semakin besar derajat
deasetilasi kitosan, maka kualitas kitosan tersebut akan semakin bagus.
Besarnya derajat deasetilasi pada kitosan tergantung dari proses deasetilasi
yang dijalankan (Suhardi, 1992).
19
Kitosan tidak larut dalam air, namun larut dengan baik dalam larutan asam
organik seperti, asam asetat, asam format, dan asam sitrat (Mekawati dkk,
2000). Kitosan juga tidak larut dalam basa kuat, asam mineral, dan beberapa
pelarut organik (alkohol, aseton, dimetil formamida, dan dimetil sulfoksida)
(Hendri, 2013).
Kitosan akan larut dalam larutan asam organik dengan pH di bawah 6.
Semakin rendah nilai pH, maka kelarutan kitosan akan meningkat. Hal ini
disebabkan karena gugus amino pada kitosan akan mendapatkan donor proton
(terprotonasi) yang berasal dari molekul asam sehingga menjadi polielektrolit
kationik yang akan berinteraksi dengan muatan negatif. Namun, jika pH
meningkat, maka gugus amino pada kitosan akan mengalami deprotonasi dan
menghasilkan polimer yang tidak larut dan bermuatan netral.
Kitosan memiliki sifat biodegradable dan biocompatible yang akan mudah
terdegradasi secara biologis dan tidak beracun. Kitosan dengan mudah
membentuk membran atau film atau gel. Pembentukan gel ini terjadi pada
medium asam yang disebabkan oleh sifat kationik kitosan. Semakin besar berat
molekul kitosan dan semakin rendah pH, maka nilai viskositas (kekentalan) gel
kitosan akan mengalami peningkatan (Zhang et al., 2004).
Kitosan merupakan salah satu polimer alam yang paling sering digunakan
dalam produksi nanomedicines, karena kitosan memiliki karakteristik yang
baik sebagai media penghantaran obat dan efektif ketika dijadikan bentuk
nanopartikel. Sifat-sifat seperti kationik dan kelarutannya dalam medium berair
20
menjadi faktor yang menentukan kesuksesan dari polisakarida ini (Janes et al.,
2001).
Adapun sifat-sifat biologi dan kimiawi dari kitosan ditunjukkan oleh Tabel 1.
Tabel 1. Sifat biologis dan kimiawi kitosan
Sifat Biologis Sifat Kimiawi
1. Polimer alami, biokompatibel
2. Biodegradable oleh unsur tubuh
normal
3. Aman dan non toksik
4. Melekat pada mukosa
5. Hemostatik
6. Antimikrobal dan antiviral
7. Antitumoral
8. Mempunyai aktivitas
immunoadjuvan
9. Biaya terjangkau dan serbaguna
1. Poliamina kationik dengan
densitas muatan yang tinggi
pada pH <6,5
2. Berat molekul tinggi
3. Polielektrolit linear
4. Kondensasi asam nukleat
5. Khelat beberapa logam
transisional
6. Mudah dimodifikasi secara
kimiawi
7. Gugus amino/hidroksi reaktif
(Hejazi, 2003).
3. Penentuan Derajat Deasetilasi Kitosan dengan Menggunakan Fourier
Transformed Infra Red (FTIR)
Derajat deasetilasi kitosan dapat ditentukan dengan menggunakan FTIR. FTIR
merupakan suatu teknik analisis yang digunakan untuk melihat atom-atom
dalam sebuah molekul melalui vibrasi-vibrasi yang ditimbulkan oleh atom
tersebut. Untuk dapat melihat atom-atom tersebut diperlukan suatu spektrum
IR yang diperoleh dengan cara menembakkan radiasi sinar infra merah ke
sampel menentukan fraksi apa yang terjadi saat melewatkan radiasi yang
terabsorpsi dengan energi khusus. Energi yang terdapat pada beberapa puncak
dalam sebuah spektrum absorpsi menunjukan kecocokan terhadap frekuensi
pada vibrasi dari sebagian molekul sampel (Ayyad, 2011).
21
Fourier Transformed Infrared Spectroscopy (FTIR) telah menggantikan
instrumen-instrumen pendispersi lainnya pada banyak aplikasi karena
sensitivitas dan kecepatannya yang tinggi. FTIR memiliki kemampuan hebat
secara luas yang telah diaplikasikan dalam beberapa area yang sangat sulit dan
hampir tidak mungkin untuk dianalisis oleh instrumen-instrumen pendispersi
lainnya.
Prinsip dasar dari analisis spektrofotometri IR adalah penyerapan radiasi
elektromagnetik oleh gugus-gugus fungsi tertentu, sehingga dari spektrum
serapan yang terbaca kita mampu mengetahui gugus fungsi apa saja yang
terdapat pada suatu senyawa. Bila sinar inframerah dilewatkan melalui sebuah
cuplikan, maka sejumlah frekuensi diserap oleh cuplikan tersebut dan
frekuensi lainnya diteruskan atau ditransmisikan tanpa adanya penyerapan.
Hubungan antara persen absorbansi dengan frekuensi maka akan dihasilkan
sebuah spektrum inframerah (Hardjono, 1990).
Pada analisis dengan spektrofotometer FTIR diharapkan terlihat pita serapan
melebar dengan intensitas kuat pada daerah 3500-3000 cm-1 yang
menunjukkan karakteristik vibrasi ulur OH, pita serapan diatas 3300 cm-1 yang
menunjukkan karakteristik vibrasi ulur NH amina. Pita serapan lainnya yang
menunjukkan adanya vibrasi NH amina yaitu pada daerah 1650-1550 cm-1
yang menunjukkan vibrasi tekuk NH2 (amina primer), diharapkan muncul pita
serapan pada daerah 1250-1000 cm-1 yang menunjukkan vibrasi ulur CN, pita
serapan pada daerah 3000-2850 cm-1 menunjukkan karakteristik vibrasi ulur
CH, pita serapan lainnya pada daerah 1470-1350 cm-1 yang menunjukkan
22
vibrasi tekuk CH, dan pita serapan pada daerah 1250-970 cm-1 yang
menunjukkan vibrasi tekuk C-O (Hendri, 2007).
Adanya kehadiran analisis menggunakan Spektrofotometri Inframerah saat ini
secara kesuluruhan memberikan dua keuntungan utama dari metode
konvensional lainnya, yaitu :
a. Mampu digunakan pada semua frekuensi dari sumber cahaya secara
bersamaan sehingga analisis dapat dilakukan lebih cepat daripada
menggunakan metode sekuensial atau scanning.
b. Analisis menggunakan metode spektrofotometri FTIR memiliki
sensitivitas yang lebih besar daripada metode dispersi. Hal ini dikarenakan
radiasi yang masuk ke sistem detektor lebih banyak karena tanpa harus
melalui celah (slitless) terlebih dahulu (Hsu, 1994).
Derajat deasetilasi kitosan ditentukan dengan menggunakan metode garis dasar
atau baseline. Metode garis dasar ini terdapat 2 jenis yaitu; metode baseline A
(Domzy dan Roberts, 1985) dan metode baseline B (Baxter et al., 1992).
Metode baseline A dapat digunakan untuk penentuan derajat deasetilasi kitosan
dengan cara membandingkan absorbansi pada bilangan gelombang 1655 cm-1
dengan absorbansi pada bilangan gelombang 3455 cm-1 dan mengalikannya
dengan suatu faktor yang bernilai 100/1,33. Maka rumus penentuan derajat
deasetilasi kitosan dengan menggunakan metode baseline A adalah sebagai
berikut:
%𝐷𝐷 = 100 − [𝐴1655
𝐴3455 𝑥
100
1,33]
23
Metode baseline B digunakan dengan cara membandingkan absorbansi pada
bilangan gelombang 1655 cm-1 dengan absorbansi pada bilangan gelombang
3455 cm-1 dan mengalikannya dengan suatu faktor yang bernilai 115. Adapun
rumus penentuan derajat deasetilasi kitosan dengan metode baseline B adalah
sebagai berikut:
%𝐷𝐷 = 100 − [𝐴1655
𝐴3455 𝑥 115]
(Sabnis and Block, 1997).
4. Aplikasi Kitosan
Berdasarkan atas sifatnya, kitosan memiliki aplikasi yang memungkinkan
dalam berbagai bidang seperti bidang kedokteran, perlakuan dalam limbah air,
kosmetik, pasta gigi, makanan, pertanian, kertas, dan industri tekstil. Dalam
industri tekstil kitosan ditemukan dalam pemanfaatannya pada produksi utama
serat (berguna sebagai benang pembedahan, pembalut luka dan lain-lain).
Kitosan juga ditemukan bermanfaat dalam pembuatan wool yang akan
meminimalisir permasalahan dalam kenyamanan menggunakan wool. Sifat
bioadhesive dan struktur kationik dari kitosan inilah yang memampukan untuk
melekat kuat pada serat dan mencegah serat menjadi kusut. Sedangkan
berdasarkan atas sifat antibakterialnya, kitosan mampu mencegah pakaian dari
bau busuk yang disebabkan oleh bakteri (Chattopadhyay, 2010).
Secara khusus kitosan digunakan untuk preparasi mucoadhesive yang berperan
untuk meningkatkan kelarutan bagi obat yang sulit untuk larut di dalam tubuh.
Kelarutan dari kitosan itulah yang berpengaruh dalam penggunaannya sebagai
media penghantaran obat (Muzarelli, 1996).
24
D. Reaksi Degradasi Kitosan dengan H2O2
Berat molekul dari kitosan akan sangat mempengaruhi ukuran nanopartikel
kitosan yang akan dibuat. Maka dari itu, diperlukan suatu reaksi degradasi
untuk membentuk kitosan dengan berat molekul rendah atau yang disebut
dengan LWCS (Low Molecular Weight Chitosan). LWCS ini memiliki efek
yang lebih baik terhadap pembuatan nanopartikel kitosan dibandingkan dengan
kitosan biasa. Semakin kecil berat molekul kitosan maka ukuran nanopartikel
kitosan akan semakin kecil (Yang et al., 2009).
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk membuat LWCS ini, seperti salah
satunya adalah degradasi kimiawi dengan zat oksidator kuat seperti H2O2. Zat
ini dapat memutus ikatan glikosidik pada kitosan sehingga kitosan dapat
menjadi LWCS. Sejumlah kecil hidrogen peroksida saja dapat mengurangi
berat molekul kitosan. Semakin besar konsentrasi hidrogen peroksida, maka
semakin kecil berat molekul kitosan yang didapat. Ketika konsentrasi H2O2
diatas 0,5 M, maka produk utamanya adalah LWCS.
Mekanisme dari degradasi kitosan ini dapat diamati pada reaksi di bawah ini:
R-NH2 + H2O2 R-NH3+ + HOO-
Anion HOO- ini sangat tidak stabil dan mudah terdekomposisi menjadi radikal
hidroksil (OH.) yang sangat reaktif. Selama proses reaksi degradasi, kitosan
bereaksi dengan ion H+ untuk memproduksi R-NH3+ dimana akan
menyebabkan kenaikan pH. Kemudian ion HOO- akan terdekomposisi menjadi
kitosan
25
radikal OH. yang kemudian dapat membentuk produk yang larut dalam air
dengan berat molekul yang rendah (Tian et al., 2004).
E. Nanopartikel Kitosan
Nanopartikel kitosan merupakan partikel kitosan yang berukuran pada kisaran
1-100 nm. Nanopartikel kitosan ini sangat baik digunakan untuk media
penghantar obat. Partikel kitosan yang dibuat berukuran nano ini dapat
meningkatkan kemampuan penghantaran dari kitosan, memiliki stabilitas yang
tinggi, dan meningkatkan adsorpsi kitosan (Fan et al., 2012).
1. Pembuatan Nanopartikel Kitosan
Nanopartikel kitosan pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan yang bernama
Ohya dan para pekerjanya pada tahun 1994. Pada saat itu, nanopartikel kitosan
dibuat dengan bertujuan untuk menghantarkan suatu zat anti kanker yang
bernama 5-Fluorouacil ke dalam pembuluh darah. Sejak saat itulah, mulai
berkembang metode pembuatan kitosan yang dilakukan oleh para ahli untuk
mempelajari sistem penghantaran obat dengan menggunakan nanopartikel
kitosan (Grenha, 2012).
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, telah
banyak sekali dilakukan pembuatan nanopartikel kitosan dengan berbagai
macam metode yang berbeda. Ada terdapat 3 metode yang paling sering
dilakukan dalam pembuatan nanopartikel kitosan, antara lain:
26
a. Metode Mikroemulsi
Pada metode ini, kitosan awalnya dilarutkan dalam glutaraldehid. Hal ini akan
menyebabkan gugus amino pada kitosan akan membentuk ikatan sambung-
silang (cross-linking) dengan gugus aldehid pada glutaraldehid. Kemudian
larutan kitosan-glutaraldehid ini dimasukkan ke dalam campuran surfaktan-
heksana sambil diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer pada suhu
kamar. Pengadukan ini dilakukan selama semalam untuk menyempurnakan
proses cross-linking yang berlangsung, sehingga nanopartikel kitosan akan
mulai terbentuk. Pelarut organik yang terdapat dalam sampel diuapkan dan
surfaktan dihilangkan dengan cara pengendapan bersama CaCl2 dan presipitan
dipisahkan melalui proses sentrifugasi. Kemudian suspensi nanopartikel
diliofilisasi (freeze-drying). Metode ini dapat menghasilkan nanopartikel
kitosan dengan ukuran di bawah 100 nm dan ukurannya dapat diatur melalui
glutaraldehid yang divariasikan untuk mengubah derajat cross-linking. Namun,
metode ini memiliki kekurangan yaitu penggunaan pelarut organik, waktu
preparasi yang lama, dan proses pencucian yang rumit (Kurniawan, 2012).
b. Metode Emulsifikasi Difusi Pelarut
Hal spesifik dalam preparasi nanopartikel dengan menggunakan metode ini
adalah penambahan fase organik seperti campuran metilen klorida-aseton yang
mengandung gugus hidrofobik ke dalam campuran kitosan dengan stabilizer
(poloxamer dan lesitin) sambil diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer.
Ini akan membentuk emulsi minyak/air yang akan dihomogenisasi pada
tekanan tinggi. Kemudian metilen klorida akan dihilangkan dengan cara
27
mengurangi tekanan pada suhu kamar. Pada tahap ini, aseton akan terdifusi ke
fase encer yang akan mengurangi kelarutan dari kitosan, sehingga nanopartikel
kitosan akan terbentuk melalui pengendapan. Untuk meningkatkan difusi
aseton, biasanya dilakukan penambahan air. Kelemahan dari metode ini adalah
penggunaan pelarut organik dan diperlukannya tekanan tinggi dalm proses
preparasi.
c. Metode Gelasi Ionik dan Komplek Polielektrolit
Kitosan memiliki gugus amino yang memiliki derajat protonasi yang cukup
tinggi dalam asam, hal ini menyebabkan kitosan memiliki kemampuan untuk
membentuk hidrogel dengan adanya polianion yang spesifik. Proses ini
disebabkan karena adanya ikatan sambung-silang intermolekular dan
intramolekular yang dilakukan oleh molekul anion. Metode gelasi ionik dan
kompleks polielektrolit menggunakan prinsip ini untuk membentuk
nanopartikel kitosan. Metode gelasi ionik ini sangat lebih disukai oleh para
peneliti karena proses gelasi kitosan ini dapat mengurangi ukuran partikel
kitosan dengan kehadiran molekul anion kecil seperti; fosfat, sulfat, dan sitrat.
Sedangkan kompleks polielektrolit dilakukan jika dalam proses pembuatan
nanopartikel kitosan tersebut digunakan molekul anion yang besar. Metode
gelasi ionik meliputi interaksi ionik antara muatan positif gugus amino pada
kitosan dengan muatan negatif pada polianion. Polianion yang paling sering
digunakan dalam metode gelasi ionik ini adalah tripolifosfat (TPP) yang juga
berperan sebagai cross-linker. Nanopartikel akan terbentuk kira-kira setelah
penambahan larutan TPP ke dalam larutan kitosan sambil diaduk dengan
28
kecepatan pengadukan yang ringan pada suhu kamar. Pengadukan
dipertahankan selama 10 menit agar proses cross-linking dapat berlangsung
sempurna dan juga untuk menstabilkan nanopartikel yang telah terbentuk.
Suspensi nanopartikel yang telah diperoleh kemudian disentrifuse untuk
memisahkan nanopartikel dari kitosan dan TPP yang tidak bereaksi. Kemudian
nanopartikel dipisahkan dari filtrat dan dikeringkan (Grenha, 2012).
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembuatan Nanopartikel Kitosan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fan et al., (2012) bahwa terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ukuran nanopartikel kitosan dalam
proses pembuatannya dengan metode gelasi ionik. Faktor-faktor tersebut antara
lain:
a. Pengaruh Konsentrasi Larutan Kitosan dan TPP
Ukuran nanopartikel kitosan akan semakin mengecil apabila konsentrasi
larutan kitosan dan TPP yang digunakan juga kecil. Setelah dilakukan
penelitian, pembentukkan nanopartikel kitosan dapat terjadi jika konsentrasi
larutan kitosan yang digunakan di bawah 1,5 mg/mL dan konsentrasi larutan
TPP di bawah 1,0 mg/mL. Pada rentang konsentrasi ini, konsentrasi larutan
kitosan dan TPP akan memiliki pengaruh yang kecil terhadap monodipersitas
dari nanopartikel kitosan. Telah diketahui pula bahwa dalam keadaan asam,
molekul kitosan memiliki gaya tolakan elektrostatik yang dikarenakan oleh
gugus amino yang terprotonasi pada kitosan. Disamping itu, terdapat juga
interaksi hidrogen intermolekular pada kitosan tersebut. Jika larutan kitosan
29
yang digunakan memiliki konsentrasi di bawah 1,5 mg/mL, maka gaya tarik-
menarik dari ikatan hidrogen intermolekular dan gaya tolakan elektrostatik
pada kitosan ini berada dalam kesetimbangan, sehingga molekul kitosan akan
mendekat satu sama lain secara terbatas yang mengakibatkan terjadinya
peningkatan yang terbatas pada ikatan sambung-silang intermolekular,
memang lebih besar namun dapat membentuk partikel-partikel berukuran nano.
b. Pengaruh Perbandingan Massa antara Kitosan dan TPP
Telah diketahui bahwa perbandingan massa antara kitosan dan TPP juga
memberikan pengaruh yang begitu signifikan. Semakin kecil perbandingan
massa antara kitosan dan TPP (dari 4:1 ke 2,9:1) yang dimasukkan maka
ukuran nanopartikel kitosan akan menurun. Namun, penurunan ukuran
nanopartikel ini tidak mutlak terjadi, pada satu kondisi (pada perbandingan
dibawah 3,03:1) ukuran nanopartikel ini meningkat secara dramatis. Pada
perbandingan massa di atas 4:1, Larutan reaksi akan menjadi berwarna jernih
yang menandakan bahwa volume TPP tidak memadai untuk melalukan reaksi
cross-linking dengan kitosan sehingga pembentukkan nanopartikel kitosan
tidak terjadi secara sempurna. Ketika perbandingan massa diperkecil (volume
TPP bertambah) ukuran nanopartikel kitosan akan berkurang dikarenakan
meningkatnya densitas cross-linking antara kitosan dan TPP. Ketika
perbandingan massanya lebih rendah dari 3,03:1, maka kitosan sudah ter-cross-
linking seluruhnya dan kelebihan TPP dapat menyebabkan ukuran partikel
lebih besar.
30
c. Pengaruh pH Larutan Kitosan
Ketika pH larutan kitosan berada di bawah 4,5 maka tidak mudah untuk
membentuk nanopartikel kitosan dengan distribusi ukuran partikel unimodal.
Namun, ketika pH larutan berada di atas 5,2 maka mikropartikel akan segera
terbentuk di dalam larutan. pH larutan kitosan akan dapat mempengaruhi
derajat protonasi dari kitosan tersebut. Semakin tinggi pH larutan kitosan maka
akan semakin rendah derajat protonasi dari kitosan tersebut (Shu dan Zhu,
2002).
Ion TPP hanya dapat bereaksi dengan gugus amino yang terprotonasi pada
kitosan melalui reaksi cross-linking ionik. Jika pH larutan kitosan berada di
atas pH kritis, kitosan akan mengalami deprotonasi sehingga ion TPP tidak
dapat bereaksi dengan kitosan untuk membentuk nanopartikel kitosan. Jika pH
larutan berada pada sekitar pH kritis, ion TPP akan memberikan pengaruh pada
derajat protonasi kitosan sehingga ukuran dari partikel kitosan akan berkurang.
Sedangkan jika pH larutan kitosan berada di bawah pH kritis, ion TPP
memiliki pengaruh yang kecil terhadap derajat protonasi kitosan sehingga
kitosan masih terprotonasi sepenuhnya (Fan et al., 2012).
3. Aplikasi Nanopartikel Kitosan
Menurut Soutter (2013), Nanopartikel kitosan memiliki kegunaan dan aplikasi
sebagai berikut:
a) Sebagai agen anti bakteri, media penghantaran gen dan pelepasan
protein serta obat-obatan.
31
b) Digunakan sebagai zat pembantu vaksin, seperti vaksin influenza,
hepatitis B, dan tipes.
c) Digunakan untuk mengembangkan antigen yang diambil dari jaringan
limfoid mukosa dan menstimulasi kekuatan tanggap dari imun untuk
melawan antigen.
d) Digunakan untuk mencegah infeksi pada luka dan mempercepat proses
penyembuhan dengan cara meningkatkan pertumbuhan sel kulit.
e) Digunakan sebagai zat pengawet pada kemasan makan dan dapat juga
digunakan untuk mengurangi karies pada gigi.
F. Natrium Tripolifosfat (TPP)
Natrium tripolifosfat merupakan suatu senyawa yang berupa serbuk atau granul
berwarna putih dan memiliki sifat sedikit higroskopis. Tripolifosfat atau yang
biasa disebut sebagai TPP ini memiliki kelarutan yang sangat baik dalam air.
Namun, TPP tidak larut dalam etanol. TPP ini dalam nanopartikel berperan
sebagai cross-linker yang membentuk ikatan sambung-silang dengan kitosan.
TPP ini digunakan karena sifatnya sebagai anion multivalen dan hasil
nanopartikel yang diperoleh menjadi lebih stabil dan memiliki karakter
penembusan membran yang baik (Yu Shin et al., 2008). Berikut adalah struktur
dari natrium tripolifosfat:
Gambar 8. Natrium Tripolifosfat
32
Ikatan sambung-silang antara kitosan dengan TPP bergantung pada
ketersediaan gugus kation dan anion. Ikatan sambung-silang yang terbentuk ini
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor penting yaitu konsentrasi kitosan, pH,
dan konsentrasi TPP. Pada medium asam, ion tripolifosfat akan berikatan
dengan ion NH3+ pada kitosan. Namun pada medium basa, dihasilkan ion OH-
dan tripolifosfat yang bersaing untuk dapat berinteraksi dengan ion NH3+ pada
kitosan.
Adapun reaksi disosiasi TPP dalam air adalah sebagai berikut (Lee et al.,
2001):
Na5P3O10 + 5 H2O 5 Na+ + H5P3O10 + 5 OH-
H5P3O10 + OH- H4P3O10- + H2O
H4P3O10- + OH- H3P3O10
2- + H2O
G. Bahan Pendegradasi Hidrogen Peroksida
Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan peroksida yang paling sederhana
(senyawa dengan ikatan oksigen-oksigen tunggal). Zat ini juga merupakan
oksidator kuat yang merupakan cairan bening dan sedikit lebih kental
dibandingkan dengan air. Dalam larutan encer, zat ini tampak tidak berwarna.
Karena memiliki sifat sebagai oksidator, hidrogen peroksida sering digunakan
sebagai pemutih atau bahan pembersih. Kapasitas oksidasi hidrogen peroksida
begitu kuat sehingga dianggap sebagai jenis oksigen yang sangat reaktif.
Hidrogen peroksida mempunyai kemampuan melepaskan oksigen yang cukup
kuat dan mudah larut dalam air. Keuntungan penggunaan hidrogen peroksida
33
antara lain tidak menghasilkan residu atau endapan, larutan hidrogen peroksida
menghasilkan produk yang putih bersih dan bahan organik yang diputihkannya
sedikit sekali mengalami kerusakan, bahkan tidak rusak sama sekali. Selain itu,
OOH- yang berperan dalam oksidasi bersifat ramah terhadap lingkungan.
Hidrogen peroksida dalam air akan terurai menjadi H+ dan OOH-. Ion OOH-
ini merupakan oksidator kuat. Hidrogen peroksida dapat memutus ikatan C𝛼
dan C𝛽 dan mampu membuka cincin. Peroksida merupakan oksidan yang kuat
juga mempunyai kemampuan mengoksidasi senyawa fenolik, amina, eter
aromatik, dan senyawa aromatik polisiklik (Julianti, 2012).
H. Rotational Rheometer (Viscometer)
Rotational rheometer terdiri dari beberapa sistem sensor yang memungkinkan
untuk merancang suatu rheometer yang baik, mutlak, dan serbaguna. Alat ini
secara umum digunakan untuk mengamati parameter-parameter rheological
suatu cairan atau senyawa semi-padat. Parameter-parameter rheological
tersebut antara lain: viskositas, shear stress, dan shear rate. Shear stress
merupakan suatu gaya atau tegangan yang diterapkan ke suatu sistem yang
menjadi penghubung antara bagian atas wadah dengan bagian bawah larutan
dan mengarah ke aliran dalam lapisan cairan. Sedangkan shear rate merupakan
gradien kecepatan yang menyebabkan suatu fluida mengalir dalam pola yang
khusus.
Pada instrumen ini terdapat tiga jenis prinsip yang berdasarkan jenis sistem
sensornya yaitu: sistem sensor coaxial cylinder, cone and plate, dan parallel-
plate. Sekilas dari bentuknya, sistem sensor coaxial cylinder terlihat seperti
34
hasil dari kedua plat datar yang membungkuk dari parallel-plate. Cairan
sampel mengisi kesenjangan di antara dua silinder dapat terkena untuk geser
(shear) dalam beberapa waktu. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya aliran
yang berlapis sehingga data pengukuran dapat memberikan hasil uji shear
stress, shear rate, dan viskositas dalam unit fisik yang sesuai. Hal ini dapat
juga terjadi pada sistem sensor cone and plate maupun parallel-plate yang
memiliki area aplikasi yang khusus.
Dalam pengukuran viskositas, terdapat dua jenis cairan yang dikenal yaitu:
Newtonian fluid dan non-Newtonian fluid. Newtonian fluid merupakan suatu
cairan yang memiliki nilai viskositas tetap seiring dengan perubahan nilai
shear rate serta memenuhi aturan Newton. Contohnya adalah air, minyak,
aspal, dan lain-lain. Sedangkan non-Newtonian fluid merupakan cairan yang
tidak memenuhi aturan Newton, cairan ini memiliki nilai viskositas yang
berubah-ubah seiring dengan perubahan nilai shear rate (Schramm, 1998).
Larutan kitosan memiliki sifat non-Newtonian fluid. Wang and Xu (1993)
membuktikan bahwa larutan kitosan memiliki nilai viskositas yang berubah-
ubah pada nilai shear rate yang berubah-ubah pula. Mereka juga mengamati
bahwa nilai shear viscosity (Pa. s) atau yang bisa disebut juga dengan
viskositas dinamik berbanding lurus dengan viskositas intrinsik. Sehingga
dapat ditarik garis hubungan antara viskositas dinamik dengan viskositas
intrinsik dan berat molekul kitosan. Jika viskositas dinamik semakin besar,
maka viskositas intrinsik juga semakin besar dan jika viskositas intrinsik besar,
maka berat molekul juga akan semakin besar. Jadi kesimpulannya adalah jika
35
viskositas dinamik semakin besar, maka berat molekul juga akan semakin
besar.
I. Analisis Termal dengan Menggunakan TG/DTA (Thermo Gravimetric-
Differential Thermal Analysis)
Thermo Gravimetric Analysis (TGA) merupakan suatu teknik eksperimental
dimana suatu berat atau massa diukur sebagai fungsi temperatur sampel atau
waktu. Sampel ini dipanaskan dengan laju alir panas (heat flow) yang konstan
atau dapat juga terjadi pada suhu yang konstan (pengukuran isotermal). Pilihan
pada temperatur program bergantung pada informasi yang dibutuhkan pada
sampel tersebut. Hasil dari pengukuran TGA ini biasanya ditampilkan dalam
bentuk termogram (kurva TGA) dimasa persen berat pada sampel diplotkan
terhadap temperatur dan/atau waktu. Selain kurva TGA diatas, dapat juga
dihasilkan suatu bentuk turunan pertama dari kurva TGA yang disesuaikan
terhadap temperatur dan waktu yang akan menunjukkan laju pada perubahan
massa yang disebut sebagai Differential Thermo Gravimetric atau kurva DTG.
Terdapat 3 jenis thermobalance yang digunakan pada instrumen TGA saat ini,
ketiga jenis thermobalance tersebut adalah horizontal arrangement, top
loading, dan hang down. Ketiga jenis thermobalance ini dapat diamati pada
gambar 9. di bawah ini.
36
Gambar 9. Jenis-jenis Thermobalance pada Instrumen TGA (Gabbott, 2008)
Pada beberapa thermobalance, sebuah pemanas eksternal diletakkan tidak
memiliki kontak dengan atmosfer, sehingga dapat bermanfaat untuk
eksperimen yang menggunakan gas hidrogen murni. Thermobalance modern
saat ini telah diperlengkapi agar dapat merekam sinyal DTA (Differential
Thermal Analysis) pada saat yang bersamaan ketika melakukan pengukuran
Thermo Gravimetric. Sinyal DTA ini dapat memperlihatkan efek termal yang
tidak dipengaruhi oleh perubahan berat sampel, contohnya titik leleh,
kristalisasi atau transisi gelas (glass transition). Data evaluasi ini hanya
terbatas pada temperatur awal dan temperatur puncak. Setiap proses yang
menyebabkan kehilangan berat pada sampel biasanya memberikan puncak
endotermik pada DTA yang disebabkan karena ekspansi kerja. Namun terdapat
pengecualian untuk hal ini, ketika gas mudah terbakar terbentuk pada
temperatur yang tinggi dan tersedia oksigen yang cukup, maka entalpi
pembakaran lebih besar dan reaksinya eksotermis. Berikut ini contoh
termogram yang dihasilkan pada instrumen TGA yang dilengkapi dengan DTA
(Gabbott, 2008).
37
Gambar 10. Termogram TG yang Disertai dengan DTA (Gabbott, 2008).
J. Karakterisasi Nanopartikel
1. PSA (Particle Size Analyzer)
Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel merupakan suatu karakteristik
khusus dalam sistem nanopartikel. Suatu materi dikatakan nanopartikel jika
memiliki ukuran partikel di bawah 100 nm. Ada banyak cara atau metode yang
digunakan untuk menentukan ukuran partikel dari nanopartikel. Cara yang
paling sering digunakan untuk menentukan ukuran suatu partikel adalah
dengan metode PCS (Photon Correlation Spectroscopy) dan DLS (Dynamic
Light Scattering). PCS dapat digunakan untuk menentukan ukuran partikel
dengan cara mendispersikan sampel dalam medium cair. Pada kondisi ini,
partikel-partikel sampel akan bergerak secara acak mengikuti aturan gerak
Brown. PCS akan mengukur ukuran partikel dengan cara menembakkan
partikel-partikel yang bergerak acak dengan menggunakan laser. PCS akan
38
menentukan distribusi ukuran partikel rata-ratanya, sedangkan DLS digunakan
untuk menentukan ukuran partikel dengan cara memasukkan partikel kecil di
dalam suspensi yang bergerak dalam pola acak. Pengukuran dilakukan dengan
prinsip bahwa partikel yang lebih besar akan bergerak dengan lambat
dibandingkan dengan partikel yang lebih kecil (Jahanshahi et al., 2008).
PSA merupakan suatu alat yang digunakan untuk menentukan ukuran partikel
yang berbasis PCS (Photon Correlation Spectroscopy) dan menggunakan
metode LAS (Laser Diffraction). Metode LAS ini dibagi menjadi 2 metode,
yaitu:
1. Metode basah (Wet Dispersion Unit), metode ini menggunakan media
pendispersi untuk mendispersikan material uji.
2. Metode kering (Dry Dispersion Unit), metode ini memanfaatkan udara
atau aliran udara untuk melarutkan partikel dan membawanya ke sensing
zone. Metode ini baik digunakan untuk ukuran yang kasar, dimana
hubungan antar partikel lemah dan kemungkinan untuk beraglomerasi
kecil.
Gambar 11. Alat Particle Size Analyzer (PSA) Fritsch Analysette 22
39
Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA-DLS biasanya menggunakan
metode basah. Metode ini dinilai lebih akurat jika dibandingkan dengan
metode kering ataupun pengukuran partikel dengan metode ayakan dan analisa
gambar. Terutama untuk sampel-sampel dalam orde nanometer dan submicron
yang biasanya memiliki kecenderungan aglomerasi yang tinggi. Hal ini
dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media sehingga partikel tidak
saling beraglomerasi (menggumpal). Dengan demikian, ukuran partikel yang
terukur adalah ukuran dari single particle. Selain itu, hasil pengukuran
dimunculkan dalam bentuk distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat
diasumsikan sudah menggambarkan keseluruhan kondisi sampel (Susanti,
2013).
Hal yang diharapkan dari analisis ini adalah, distribusi ukuran nanopartikel
kitosan yang dihasilkan berada pada rentang nano (<100 nm) dan memiliki
keseragaman (homogenitas) ukuran yang baik.
Keunggulan penggunaan Particle Size Analyzer (PSA) untuk mengetahui
ukuran partikel adalah sebagai berikut:
a) Lebih akurat dan mudah digunakan, pengukuran partikel dengan
menggunakan PSA lebih akurat jika dibandingkan dengan pengukuran
partikel dengan alat lain seperti TEM ataupun SEM. Hal ini dikarenakan
partikel dari sampel yang akan diuji didispersikan ke dalam sebuah media
sehingga ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle.
b) Hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga dapat menggambarkan
40
keseluruhan kondisi sampel, yang berarti penyebaran ukuran rata-rata
partikel dalam suatu sampel.
c) Rentang pengukuran dari 0,6 nanometer hingga 7 mikrometer
(Rusli, 2011).
2. SEM (Scanning Electron Microscope)
SEM merupakan alat yang sangat kuat untuk menguji, menginterpretasikan
mikro-struktur dari suatu material, dan secara luas digunakan pada material-
material sains. Mikroskop ini digunakan untuk mempelajari struktur
permukaan obyek, yang secara umum diperbesar antara 1.000-40.000 kali.
Prinsip dasar dari SEM ialah berdasarkan atas sebuah peristiwa interaksi antara
sinar elektron dengan spesimen padatan.
Gambar atau foto yang dihasilkan oleh SEM memiliki penampilan tiga dimensi
serta berguna dalam menentukan struktur permukaan dari sebuah sampel.
Sebuah filamen (electron gun) pada scanning electron microscope digunakan
untuk membangkitkan sinar elektron pada sebuah vakum yang dihasilkan
dalam sebuah kamar dimana sampel disimpan untuk dianalisis. Sinar tersebut
diarahkan dengan akurat oleh lensa kondensor elektromagnetik, difokuskan
oleh lensa objektif, dan dipindai melewati permukaan sampel oleh gulungan
pendeteksi elektromagnetik.
Metode penggambaran yang utama ialah dengan mengumpulkan elektron
sekunder yang dilepaskan oleh sampel. Elektron sekunder dideteksi oleh
sebuah material kilau yang menghasilkan kilat cahaya dari elektron-elektron.
41
Selanjutnya, kilat cahaya dideteksi dan diperkuat oleh sebuah photomultiplier
tube. Dengan menghubungkan posisi pemindaian sampel dengan sinyal yang
dihasilkan, maka dihasilkan gambar atau foto berwarna hitam putih (Ayyad,
2011).
Dalam prinsip pengukuran SEM dikenal ada dua jenis elektron, yaitu elektron
primer dan elektron sekunder. Elektron primer merupakan elektron berenergi
tinggi yang dipancarkan dari sebuah katoda (Pt, Ni, W) yang dipanaskan.
Katoda yang biasa digunakan adalah tungsten (W) atau lanthanum hexaboride
(LaB6). Tungsten digunakan sebagai katoda karena memiliki titik lebur yang
paling tinggi dan tekanan uap yang paling rendah dari semua meta, sehingga
memungkinkannya dipanaskan pada temperatur tinggi untuk emisi elektron.
Sedangkan elektron sekunder adalah elektron berenergi rendah, yang
dibebaskan oleh atom pada permukaan. Atom akan membebaskan elektron
sekunder setelah ditembakkan oleh elektron primer. Elektron sekunder inilah
yang akan ditangkap oleh detektor dan mengubah sinyal tersebut menjadi suatu
sinyal gambar.
Dari analisis ini, diharapkan ukuran partikel nanokitosan berada pada rentang
nano (<100 nm) dan memiliki morfologi yang cukup baik dan tidak terjadi
aglomerasi (penumpukkan) pada partikel-partikelnya.
SEM memiliki beberapa keunggulan, antara lain sebagai berikut:
1. Kemampuan untuk menggambar area yang besar secara komparatif dari
spesimen.
42
2. Kemampuan untuk menggambar materi bulk, dan berbagai mode
analitikal yang tersedia untuk mengukur komposisi dan sifat dasar dari
spesimen (Marlina, 2007).
Skema alat Scanning Electron Microscope disajikan pada gambar 12.
Gambar 12. Skema alat Scanning Electron Microscope (Ayyad, 2011)