ii. tinjauan pustaka menurut kazuoki ohara bahwa dalam

31
II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam konsep ekomuseum terdapat tiga unsur yang terpenting, yakni museum; pelestarian lingkungan; dan komuniti (Ohara, 1998). 2.1. Museum Menurut International Council of Museums (ICOMOS) yang dimaksud dengan museum adalah lembaga permanen yang bersifat nir-laba, yang ditujukan untuk melayani masyarakat dan perkembangannya, yang terbuka untuk umum, dengan cara mengumpulkan, mengonservasi, meneliti, mengomunikasikan dan memamerkan koleksi warisan peradaban manusia dan lingkungannya, baik yang bersifat bendawi maupun tak bendawi untuk tujuan edukasi, kajian dan kesenangan (ICOM Statues, 2007). 1 Museum juga harus mempunyai seorang kurator yang memiliki kompetensi keahlian untuk bertanggung jawab dalam pengelolaan koleksi museum. Museum menerima pendapatan dari berbagai sumber. Kebanyakan pendukung pertamanya datang dari pihak pemerintah, dengan tidak menutup kemungkinan dari pihak lain. Adapun pendapatan tambahan boleh datang dari karcis masuk, toko cinderamata, donasi, atau jasa layanan makanan. Kebanyakan, kadang, khususnya museum pemerintah, tidak mengizinkan untuk mendapatkan pendapatan dari tempat lain. Berkenaan dengan hal tersebut, ada kegiatan yang dapat dilakukan oleh museum, misalnya untuk kemandirian pendanaan museum (self finance). Peluang self finance didapatkan melalui tiket museum; toko cinderamata; rumah makan/cafe; Universitas Sumatera Utara

Upload: buidung

Post on 16-Jan-2017

220 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam konsep ekomuseum terdapat tiga unsur

yang terpenting, yakni museum; pelestarian lingkungan; dan komuniti (Ohara, 1998).

2.1. Museum

Menurut International Council of Museums (ICOMOS) yang dimaksud dengan

museum adalah lembaga permanen yang bersifat nir-laba, yang ditujukan untuk

melayani masyarakat dan perkembangannya, yang terbuka untuk umum, dengan cara

mengumpulkan, mengonservasi, meneliti, mengomunikasikan dan memamerkan

koleksi warisan peradaban manusia dan lingkungannya, baik yang bersifat bendawi

maupun tak bendawi untuk tujuan edukasi, kajian dan kesenangan (ICOM Statues,

2007). 1 Museum juga harus mempunyai seorang kurator yang memiliki kompetensi

keahlian untuk bertanggung jawab dalam pengelolaan koleksi museum.

Museum menerima pendapatan dari berbagai sumber. Kebanyakan pendukung

pertamanya datang dari pihak pemerintah, dengan tidak menutup kemungkinan dari

pihak lain. Adapun pendapatan tambahan boleh datang dari karcis masuk, toko

cinderamata, donasi, atau jasa layanan makanan. Kebanyakan, kadang, khususnya

museum pemerintah, tidak mengizinkan untuk mendapatkan pendapatan dari tempat

lain. Berkenaan dengan hal tersebut, ada kegiatan yang dapat dilakukan oleh

museum, misalnya untuk kemandirian pendanaan museum (self finance). Peluang self

finance didapatkan melalui tiket museum; toko cinderamata; rumah makan/cafe;

Universitas Sumatera Utara

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

pemasaran; jasa wisata dan fasilitas; sumbangan sukarela; sponsor perorangan dan

pengusahaan; penggabungan dan konsolidasi; terbitan; dan pembayaran untuk

perjalanan dari pameran (Haryonagoro, 2010)

Thomas Haryonagoro, Ketua Badan Musayawarah Museum Daerah Istimewa

Yogyakarta (Barahmusda DIY), menyampaikan bila museum dapat menjalankan

fungsinya dengan baik, maka museum akan berarti dan bermanfaat bagi masyarakat

luas, sebab fungsi keberadaan museum adalah untuk memberi manfaat bagi orang

banyak/masyarakat. Agar museum berhasil dari semua aspek operasional, maka

museum perlu mencerminkan komitmen dan kewajiban dalam pelayanan untuk

masyarakat. Museum sebagai bagian pranata sosial dan sebagai suatu lembaga yang

bertanggungjawab mencerdaskan bangsa, menggalang persatuan dan kesatuan dan

wawasan nusantara serta memberikan layanan kepada masyarakat. Museum dituntut

untuk melestarikan asset bangsa sebagai sumber penguatan pemahaman, apresiasi dan

keperdulian identitas bangsa. Di dalam peningkatan peran museum kepada

masyarakat, bagaimanapun museum dalam waktu yang bersamaan perlu memelihara

sistem prosedur operasional (Haryonagoro, 2010).

2.2. Pelestarian Lingkungan

Untuk membatasi pengerusakan hutan dan lingkungan yang sifatnya jangka

panjang, maka pada tahun 1987 World Comission on Environment and Development

(WCED) atau dikenal dengan Brundtland Commision memberikan enam sudut

pandang bagi masalah lingkungan dan pembangunan, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

a. Keterkaitan (interdependency); masalah polusi, penggunaan bahan-bahan kimia,

kerusakan sumber plasma nuftah, peledakan tumbuhan kota dan konservasi

sumber alam tidak lagi terbatas dalam batas-batas negara;

b. Berkelanjutan (sustainability); berbagai pengembangan sektoral seperti

pertanian, kehutanan, industri, energi, perikanan, investasi, perdagangan, bantuan

ekonomi, memerlukan sumberdaya alam yang harus dilestarikan kemampuannya

untuk menunjang proses pembangunan secara berkelanjutan;

c. Pemerataan (equity); desakan kemiskinan mengakibatkan eksploitasi sumberdaya

alam secara berlebihan, sehingga perlu diikhtiarkan kesempatan merata untuk

memperolah sumberdaya alam bagi pemenuhan kebutuhan pokok, seperti sumber

air, tanah dan yang lain;

d. Sekuriti dan Resiko Lingkungan; perlombaan persenjataan memperbesar potensi

kerusakan lingkungan. Begitu pula cara-cara pembangunan tanpa

memperhitungkan dampak-dampak negatif kepada lingkungan turut

memperbesar resiko lingkungan;

e. Pendidikan dan komunikasi; pendidikan dan komunikasi berwawasan lingkungan

dibutuhkan untuk ditingkatkan di berbagai tingkat pendidikan dan lapisan

masyarakat;

f. Kerjasama international; pola kerja sama internasional dipengaruhi oleh

pendekatan pengembangan sektoral, sedangkan pertimbangan lingkungan kurang

diperhitungkan (Hardjasoemantri, 1988 : 14).

Universitas Sumatera Utara

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

WCED membuat suatu definisi tentang pembangunan berkelanjutan, dan

menjabarkan bahwa pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang

memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi

yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Diberikan prioritas dan

usaha untuk memenuhi kebutuhan esensial atas kemiskinan dan menyadari

keterbatasan teknologi dan ilmu pengetahuan dalam memenuhi kebutuhan masa kini

dan masa yang akan datang (Hardjasoemantri, 1988 : 15).

Konsep tentang pembangunan berkelanjutan diperjelas dengan adanya Agenda

21 yang merupakan rencana kerja global yang pertama kali disusun secara

menyeluruh mengenai pembangunan berkelanjutan. Rencana kerja global itu

meliputi isu ekonomi, sosial dan lingkungan yang berbeda. Tujuan setiap kegiatan

Agenda 21 adalah mengentaskan kemiskinan, kelaparan, pemberantasan penyakit,

pemberantasan buta huruf di seluruh dunia, dan menghentikan kerusakan ekosistem

penting bagi kehidupan manusia (Hardjasoemantri, 1988 : 23).

Diketahui bahwa belakangan ini kawasan Padanglawas yang dahulu termasuk

dalam kawasan hutan (remaining forest) sudah tidak lagi lestari, dan peninggalan

budaya yang ada serta sumberdaya alam yang bersifat non-renewable dikuatirkan

akan mengalami kepunahan. Dikuatirkan pula masyarakat, di sekitar Kawasan

Padanglawas khususnya, tidak dapat lagi menikmatinya, dan hal ini sangat

bertentangan dengan Deklarasi Rio Prinsip 1, yang menyebutkan bahwa manusia

merupakan perhatian utama dari pembangunan berkelanjutan, mereka berhak

mendapatkan suatu kehidupan yang baik dan produktif yang harmonis dengan alam. 2

Universitas Sumatera Utara

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

Untuk itu semua pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten

Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara diharapkan ikut berikhtiar bagi

pelestarian lingkungan di Kawasan Padanglawas. Dalam Agenda 21 pasal 28

dikaitkan bahwa berhubung banyak masalah beserta penyelesaiannya berakar pada

kegiatan lokal, keikutsertaan pemerintah daerah akan merupakan faktor yang sangat

menentukan (Anonim, 1999).

Kerjasama dan keikutsertaan pemerintah daerah di dalam mengelola

sumberdaya budaya dan sumberdaya alam yang ada di Kawasan Padanglawas sangat

ditentukan oleh adanya international of law of ecodevelopment yang mengemukakan

tiga kewajiban negara, yakni : (1) mengintergrasikan manajemen lingkungan ke

dalam kebijakan pembangunan; (2) meningkatkan sumberdaya alam; dan (3)

mengevaluasi pembangunan dengan memperhatikan kemampuan lingkungan

(Anonim, 1999).

Ke tiga kewajiban tersebut di atas berhubungan dengan pengelolaan Obyek dan

Daya Tarik Wisata (ODTW) yang mempunyai konteks wawasan baru. Ke semuanya

diharapkan mengarah pada terwujudnya tahapan pengelolaan pariwisata

berkelanjutan (sustainable tourism management) yang mengisyaratkan prinsip-

prinsip berikut.

1. Prinsip pengelolaan berpijak pada dimensi pelestarian dan berorientasi ke depan

(jangka panjang);

2. Penekanan pada nilai manfaat yang besar bagi masyarakat lokal;

3. Prinsip pengelolaan aset/sumber daya yang tidak merusak;

Universitas Sumatera Utara

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

4. Kesesuaian antara kegiatan pengelolaan pariwisata dengan skala, kondisi dan

karakter suatu area yang dikembangkan;

5. Keselarasan dan sinergi antara kebutuhan wisatawan lingkungan hidup dan

masyarakat lokal;

6. Antisipasi dan monitoring terhadap proses perubahan yang terjadi akibat

pengelolaan pariwisata;

7. Pengelolaan harus didasari perencanaan dan difokuskan untuk memperkuat

potensi lokal; dan

8. Pengelolaan pariwisata harus mampu mengembangkan apresiasi yang lebih peka

dari masyarakat terhadap warisan budaya dan lingkungan hidup (Kusworo, 2005).

Di dalam pengelolaan ODTW diharapkan ada perhatian terhadap pengelolaan

cagar budaya. Ada beberapa prinsip pelestarian yang mencakup (1) pemeliharaan

(preservation, conservation); (2) perlindungan; (3) pendokumentasian (foto, film dan

gambar); dan (4) daya dukung (carrying capacity) (Mundardjito, 2002).

2.2.1. Pemeliharaan

Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang

Cagar Budaya Bab I Pasal 1 Butir 27 disebutkan bahwa pemeliharaan adalah upaya

menjaga dan merawat agar kondisi fisik Cagar Budaya tetap lestari. Juga dalam pasal

76 disebutkan bahwa (1) pemeliharaan dilakukan dengan cara merawat Cagar Budaya

untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan akibat pengaruh alam dan/atau

Universitas Sumatera Utara

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

perbuatan manusia; (2) pemeliharan Cagar Budaya dapat dilakukan di lokasi asli atau

di tempat lain, setelah lebih dahulu didokumentasikan secara lengkap; (3) perawatan

dilakukan dengan pembersihan, pengawetan, dan perbaikan atas kerusakan dengan

memperhatikan keaslian bentuk, tata letak, gaya, bahan, dan/atau teknologi Cagar

Budaya, (4) perawatan Cagar Budaya yang berasal dari air harus dilakukan sejak

proses pengangkatan sampai ke tempat penyimpanannya dengan tata cara khusus; (5)

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat mengangkat atau menempatkan juru

pelihara untuk melakukan perawatan Cagar Budaya.

Pemeliharaan terhadap benda cagar budaya dilakukan dengan cara perawatan

sehari-hari atau pengawetan untuk mencegah benda tersebut dari kerusakan dan atau

pelapukan. Perawatan sehari-hari dapat dilakukan secara manual, dapat pula secara

kimiawi. Di dalam kegiatan pemeliharaan biara yang pada umumnya terbuat dari

bahan bata atau batu andesit, pemeliharaannya dapat dilakukan melalui dua cara

yaitu, secara manual atau dengan menggunakan bahan kimia. Secara manual,

linkungan situs/biara cukup dibersihkan dengan sapu lidi, dan tanaman yang tumbuh

dicabut, sedangkan secara kimiawi hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan

kimia seperti AC 322 (Setianingsih, 2003).

Pemeliharaan terhadap bangunan yang terbuat dari bata umumnya dilakukan

untuk menghambat proses pelapukan dan kerusakan. Metode konservasi yang

dilakukan harus memperhatikan faktor-faktor penyebab pelapukan, sehingga proses

pelapukan dapat dihambat melalui pengendalian faktor-faktor tersebut. Pengendalian

faktor penyebab pelapukan dilakukan dengan terencana dan memperhatikan dampak-

Universitas Sumatera Utara

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

dampak yang timbul. Salah satu faktor pelapukan utama pada bangunan yang terbuat

dari bata adalah penggaraman. Ada usaha yang dapat meminimalkan terjadinya

penggaraman, yaitu dengan pemilihan bata pengganti yang berkualitas, atau dengan

meminimalisasi aktivitas air dalam material. Serta memperhatikan penggunaan

bahan-bahan kimia (Setianingsih, 2003).

Jika bahan tinggalan budaya tersebut terbuat dari kayu, pengawetannya dapat

dilakukan dengan cara yang tradisional yaitu, dengan menggunakan air rendaman

tembakau atau juga dapat menggunakan air rendaman bunga cengkih. Bahan ini lebih

ramah lingkungan, dan lebih dianjurkan, karena dapat membuatnya tetap tahan lama

(sustainable) (Setianingsih, 2003). Hal tersebut di atas sesuai dengan uangkapan

yang terdapat dalam kode Etik Pariwisata Dunia (Global Code of Ethics for Tourism)

yang menyebutkan bahwa ”..........pemeliharaan secara khusus harus diberikan guna

pelestarian dan peningkatan monumen........... (Anonim: 22).

Pelestarian pada hakekatnya adalah berbagai upaya untuk mempertahankan

suatu benda dari proses kerusakan dan kemusnahan, sehingga tetap terjaga

kelestariannya baik secara fisik maupun nilai yang terkandung di dalamnya. Dalam

menjaga kelestarian diharuskan mengacu kepada 4 (empat) prinsip keaslian

(authenticity) yaitu,

- Keaslian bahan (authenticity in material);

- Keaslian bentuk (authenticity in design);

- Keaslian teknologi pengerjaan (authenticity in workmanship); dan

- Keaslian tata letak (authenticity in setting) (Mundardjito, 2002)

Universitas Sumatera Utara

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

Bangunan historis dan arkeologis yang mengalami kerusakan dapat disebabkan

karena 3 faktor, yaitu :

1. Mekanik, yaitu faktor yang berasal dari atau ditimbulkan oleh kegiatan-

kegiatan alam seperti banjir, gunung meletus, gempa bumi;

2. Kimia, yaitu kerusakan yang ditimbulkan oleh proses kimia, misalnya

pengaruh oksidasi; dan

3. Biologi, yaitu kerusakan yang disebabkan oleh perlakuan benda-benda hidup

seperti tanaman, binatang dan manusia (Mundardjito, 2002).

Oleh karena itu diupayakan adanya pelestarian, yang berdasarkan tingkat

penanganannya dapat dikategorikan dalam :

- Pelestarian secara menyeluruh (total preserved), yaitu melestarikan benda

dalam keadaan utuh dalam arti bentuk, wujud maupun tata letaknya sesuai

dengan keberadaannya (existing condition) masih tetap dipertahankan;

- Pelestarian sebagian (partial preserved), yaitu melestarikan pada sebagian saja

yang masih dapat dipertahankan; dan

- Pelestarian dengan cara pendokumentasian (preserved by record), yaitu

perlakuan bila keberadaan benda sudah tidak dapat dipertahankan lagi.

Biasanya pelestarian dengan cara pendokumentasian diberlakukan pada kasus

dimana kepentingan pembangunan yang berdampak pada kelestarian benda

dirasa lebih penting daripada dipertahankan, yang berdasarkan atas potensi

dan kondisi ketahanannya (survival condition) sudah tidak mungkin

dipertahankan lagi (Mundardjito, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

2.2.2. Perlindungan

Program pelestarian mencakup tigal hal yang amat penting dan saling berkaitan

yaitu perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Pada hakekatnya pelindungan

adalah upaya mencegah dan menanggulangi kerusakan, kehancuran, atau

kemusnahan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan

Pemugaran Cagar Budaya (Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

2010 Tentang Cagar Budaya, Pasal 1 butir 23).

Perlindungan pada prinsipnya mengandung dua aspek, yakni perlindungan

hukum dan perlindungan fisik. Perlindungan hukum dilakukan melalui peraturan-

peraturan sesuai perundang-undangan yang berlaku, dan dimaksud untuk memberikan

legalitas hukum tinggalan arkeologis dan historis, sehingga eksistensinya terjaga.

Langkah perlindungan hukum dapat direalisasikan melalui program zonasi atau

pemintakatan, yakni penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan

Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan. Perlindungan fisik dilakukan

karena adanya ancaman proses alam, dan dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan

(preservation); konservasi (conservation); dan pemugaran (restoration) (Keputusan

Menteri Republik Indonesia nomor 063/U/1995 tentang Perlindungan dan

Pemeliharaan Benda Cagar Budaya).

Pemeliharaan merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk menjaga

kondisi keterawatan benda, situs dan kawasan dari pengaruh alam, unsur kimiawi,

dan jasad renik; dan kegiatan ini harus dilakukan secara terus menerus. Sedangkan

konservasi merupakan kegiatan perawatan dengan cara pengawetan yang dilakukan

Universitas Sumatera Utara

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

terhadap peninggalan - peninggalan budaya yang mengalami kerusakan atau

pelapukan, baik secara mekanis, khemis, maupun biotis. Tekanan tindakan lebih

bersifat kuratif atau pengobatan dan penanggulangan terhadap kerusakan.

Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, dalam Peraturan Bersama Menteri

Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009

Tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan Bab I butir 3 menyebutkan bahwa

perlindungan adalah upaya pencegahan dan penanggulangan yang dapat

menimbulkan kerusakan, kerugian, dan kepunahan kebudayaan berupa gagasan,

karya budaya termasuk harkat dan martabat serta hak budaya yang dapat diakibatkan

oleh perbuatan manusia ataupun karena proses alam. Bab III, Pasal 9 juga

menyebutkan bahwa perlindungan dapat dilakukan melalui usaha (a) mencatat,

menghimpun, mengolah, dan menata informasi kebudayaan; (b) registrasi; (c)

pendaftaran atas hak kekayaan intelektual; (d) legalitas aspek budaya; (e) penelitian;

dan (f) penegakan peraturan perundang-undangan (Menteri Dalam Negeri dan

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, 1999).

2.2.3. Pengembangan

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar

Budaya, Pasal 78 menyebutkan bahwa (1) Pengembangan Cagar Budaya dilakukan

dengan memperhatikan prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan, keaslian, dan

nilai-nilai yang melekat padanya; (2) Setiap orang dapat melakukan Pengembangan

Cagar Budaya setelah memperoleh: (a) izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan

Universitas Sumatera Utara

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

(b) izin pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya. (3) Pengembangan Cagar

Budaya dapat diarahkan untuk memacu pengembangan ekonomi yang hasilnya

digunakan untuk Pemeliharaan Cagar Budaya dan peningkatan kesejahteraan

masyarakat; (4) setiap kegiatan pengembangan Cagar Budaya harus disertai dengan

pendokumentasian.

Dalam implementasinya pengembangan kawasan diwujudkan melalui

pengaturan peringkat peruntukan lahan dengan batas-batas yang dikenal sebagai

sistem zonasi. Dalam sistem zonasi diperlukan pendekatan yang berbeda di setiap

kawasan/situs sesuai dengan karakter yang dimiliki, misalnya kawasan urban tentu

berlainan penanganannya kawasan di daerah pinggiran/kawasan/situs perbukitan atau

pegunungan.

Sistem zonasi terdiri atas (a) zona inti, area perlindungan utama untuk menjaga

bagian terpenting Cagar Budaya; (b) zona penyangga, area yang melindungi zona

inti; (c) zona pengembamgan, area yang diperuntukan bagi pengembangan potensi

cagar budaya bagi kepentingan rekreasi, daerah konservasi alam, lanskap budaya, dan

kepariwisataan; dan (d)zona penunjang, area yang diperuntukan bagi sarana dan

prasarana penunjang untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum.

2.2.4. Pemanfaatan

Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang

Cagar Budaya Pasal 85 dikatakan bahwa (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan

setiap orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama, sosial,

Universitas Sumatera Utara

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata, (2) Pemerintah

dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya yang

dilakukan oleh setiap orang, (3) Fasilitasi berupa izin pemanfaatan, dukungan Tenaga

Ahli Pelestarian, dukungan dana, dan/atau pelatihan, (4) Promosi dilakukan untuk

memperkuat identitas budaya serta meningkatkan kualitas hidup dan pendapatan

masyarakat.

Demikian pula dalam Keputusan Menteri Republik Indonesia Nomor

062/U/1995 Bab VII Pasal 10, dikatakan bahwa pemanfaatan benda cagar budaya

diberikan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu

pengetahuan, dan kebudayaan; dan penggandaan dilakukan dengan tetap

memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian benda cagar budaya. 4 Berkenaan dengan

pemanfaatan cagar budaya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun

1990 Tentang Kepariwisataan yang selanjutnya merupakan dasar hukum dalam skala

nasional untuk pedoman pengembangan dan pengelolaan pariwisata di Indonesia,

menyatakan bahwa keadaan alam, flora dan fauna, peninggalan purbakala,

peninggalan sejarah, serta seni dan budaya dimiliki bangsa Indonesia merupakan

sumber daya dan modal yang besar. Penyelenggaraan kepariwisataan selanjutnya

tetap memelihara kelestarian dan mendorong upaya peningkatan mutu lingkungan

hidup serta obyek dan daya tarik wisata (Hardjasoemantri, 1997).

Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang

Cagar Budaya Pasal 87 dikatakan bahwa Cagar Budaya yang pada saat ditemukan

sudah tidak berfungsi seperti semula dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

Pemanfaatan Cagar Budaya dilakukan dengan izin Pemerintah atau Pemerintah

Daerah sesuai dengan peringkat Cagar Budaya dan/atau masyarakat hukum adat yang

memiliki dan/atau menguasainya.

Pemahaman cagar budaya yang pada saat ditemukan ditemukan sudah tidak

berfungsi seperti semula dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.

Pemanfaatan dapat digunakan untuk kepentingan kepariwisataan, penelitian, dan

pengembangan ilmu pengetahuan, sejarah, dan kebudayaan. Pehamaman bahwa

Cagar Budaya mengandung beberapa aspek nilai penting adalah sebagai berikut,

pertama aspek kesejarahan, yakni sejauhmana Cagar Budaya dilatarbelakangi

peristiwa sejarah yang dianggap penting serta berkaitan secara simbolis dengan

peristiwa terdahulu. Kedua adalah aspek ilmu pengetahuan, yakni deposit mutu serta

keluasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada Cagar Budaya. Kemudian

ketiga adalah aspek kebudayaan, yakni peran penting Cagar Budaya pada suatu

masyarakat, terutama berkaitan dengan tradisi, kesenian, maupun kepercayaan

setempat. Adapun yang keempat, adalah aspek sosial ekonomi, berkenaan dengan

peran penting Cagar Budaya bagi aspek nilai dan kehidupan masyarakat, seperti

pendidikan, jatidiri, dan citra kawasan.

Sumberdaya budaya masih sangat terbatas pemberdayaannya, dan

penggaliannya belum dilakukan secara optimal. Oleh karena itu obyek-obyek yang

ada, perlu terus digali agar dapat meningkatkan kualitas kepariwisataan, karena

sumberdaya budaya adalah produk,

- Ciptaan manusia;

Universitas Sumatera Utara

Page 15: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

- Pola hidup masyarakat (tata hidup masyarakat);

- Senibudaya; dan

- Sejarah bangsa, ditekankan pada budaya (Brahmana, 2002).

Pemanfaatan dan pengembangan cagar budaya juga harus memperhatikan

prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (Anonim, 1997) yaitu,

- Konservasi (conservation);

- Peningkatan (amelioration);

- Kehati-hatian dan pencegahan (precaution and prevention); dan

- Perlindungan (protection)

- Pencemar pembayar (the polluter pays).

2.2.5. Pendokumentasian

Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan

Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan Bab I

Butir 12 menyebutkan bahwa pendokumentasian adalah upaya menghimpun,

mengolah, menata informasi kebudayaan dalam bentuk rekaman berupa tulisan,

gambar, foto, film, suara, atau gabungan unsur-unsur tersebut (multimedia) (Menteri

Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, 1999). Bila suatu tinggalan

budaya tidak dapat dikonsevasi atau dipugar, maka perlu diadakan pendokumentasian

lewat foto, gambar atau video. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi jika suatu saat

bangunan atau tinggalan tersebut punah/tidak ada lagi, dokumentasinya masih ada.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

Untuk itu pengambilan data harus dilakukan sedetail mungkin, diambil pada setiap

sisi, sudut atau hal-hal yang dianggap menjadi ciri khasnya.

2.3. Komuniti

Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk melibatkan komuniti

(masyarakat lokal) dalam pariwisata. Penerapan strategi-strategi itu atas berbagai

lapisan masyarakat memungkinkan.

1. Menjadikan masyarakat sumber tenaga kerja utama di sektor pariwisata;

2. Menjadikan kelompok masyarakat sebagai pemasok barang dan jasa pariwisata;

3. Mendorong masyarakat untuk menjual barang dan jasa wisata secara langsung

kepada wisatawan;

4. Mendorong masyarakat menjadi pemilik dan pelaku usaha jasa pariwisata;

5. Terbentuknya infrastruktur pariwisata yang memungkinkan masyarakat

memperoleh keuntungan;

6. Memperkerjakan masyarakat dalam perusahaan penyedia jasa wisata dengan cara

memberikan pelatihan;

7. Mendorong munculnya entitas kelembagaan baru yang mewadahi kepentingan

masyarakat lokal; dan

8. Mengoptimalkan potensi-potensi lokal untuk mengganti kegiatan karitas dalam

pembangunan pariwisata (Damanik, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 17: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

Sebuah organisasi pemerhati pariwisata (REST - Responsible Ecological Sosial

Tours) mengarisbawahi bahwa pariwisata berbasis masyarakat is managed by the

community, with the purpose of enabling visitors to increase their awareness and

learn about the community and local -ways of life (Damanik, 2002). Ini sesuai dengan

isi Deklarasi Yogyakarta 1992 (The Yogyakarta Declaration on National Cultures

and Universal Tourism 1992) yang menyatakan bahwa pengembangan pariwisata

harus diatur dalam perencanaan yang melibatkan partisipasi masyarakat luas dengan

menjamin keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial dan kebudayaan. Deklarasi

Yogyakarta 1992 secara tegas memberi gambaran bahwa dalam pengembangan

pariwisata ada empat aspek yang harus diperhatikan, yaitu (1) kelestarian lingkungan;

(2) keselarasan hubungan antara wisatawan, lokasi, dan masyarakat setempat; (3)

keseimbangan aspek ekonomi, sosial, dan kebudayaan, dan keberadaan manusia; (4)

peran serta pemerintah, masyarakat, dan swasta (Nuryanti, 1997).

Senada dengan itu, Nuryanti (1997) juga berpendapat bahwa pembangunan

pariwisata yang mengikutsertakan pengembangan masyarakat lokal didasarkan pada

lima kriteria berikut,

a. Memajukan tingkat hidup masyarakat sekaligus melestarikan identitas budaya

dan tradisi lokal;

b. Meningkatkan tingkat pendapatan secara ekonomi sekaligus mendistribusikan

secara merata pada penduduk lokal;

c. Brorientasi pada pengembangan wirausaha berskala kecil dan menengah dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 18: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

daya serap tenaga kerja besar dan berorientasi pada teknologi tepat guna;

d. Mengembangkan semangat kompetisi sekaligus kooperatif; dan

e. Memanfaatkan pariwisata seoptimal mungkin sebagai agen perubahan sosial,

budaya, dan lingkungan ke arah perubahan yang positip dengan

meminimalisasikan dampak negatip seminimal mungkin (Nuryanti, 1999).

Pengembangan pariwisata dengan pendekatan partisipasi didasarkan pada

pertimbangan bahwa karakter masyarakat lokal secara fisik dan sosial budaya

merupakan sumber daya utama. Masyarakat lokal sebagai sumber daya yang

berkembang dinamis harus dapat berperan sebagai subyek dan bukan hanya sebagai

obyek. Nasikun (1997) menuturkan bahwa pengembangan pariwisata yang

melibatkan partisipasi masyarakat setempat dapat dilakukan melalui penerapan

pendekatan manajemen global. Prinsip dalam pendekatan manajemen global ini

adalah pendekatan manajemen terpadu yang membantu menyalurkan energi

masyarakat ke dalam proses kemandirian yang maju. Dengan demikian masyarakat

diberi kesempatan untuk memberdayakan segenap potensi yang dimilikinya sehingga

mampu untuk menganalisis keadaan mereka sendiri, menghasilkan jalan keluar bagi

masalah, merencanakan pembangunan daerah mereka sendiri, dan menilai hasil-

hasilnya.

Masyarakat selain diberdayakan juga diharapkan ikut serta dalam pelestarian

kebudayaan, seperti yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri

dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pedoman

Universitas Sumatera Utara

Page 19: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

Pelestarian Kebudayaan Bab IV, Pasal 16, dalam butir (2) yang menyatakan peran

serta masyarakat yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui

perorangan, organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan dan/atau forum

komunikasi kebudayaan di propinsi, kabupaten/kota, dan desa. Begitupun ayat (3)

yang menyebutkan bahwa peran serta masyarakat sebagaimana yang dimaksud pada

ayat (1) meliputi (a) berperan aktif dalam menanam pemahaman kebhinekaan,

memperkokoh jati diri bangsa, menumbuhkan kebanggaan nasional, dan mempererat

persatuan bangsa; (b) berperan aktif dalam mengembangkan kebudayaan melalui

dialog, temu budaya, sarasehan, dan lain sebagainya; serta (3) memberikan masukan

dan membantu kepala daerah dalam pelestarian kebudayaan (Menteri Dalam Negeri

dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, 2009).

Konsep ekomuseum mencakup museum; pelestarian lingkungan dan

masyarakat. Menurut Corsane, prinsip dasar ekomuseum adalah (1) revalonzation;

(2) transmisi/penyebaran; (3) komunikasi; (4) pelestarian sebagai saksi dari masa lalu

untuk sekarang; (5) sebuah wilayah dengan mempunyai hak istimewa; (6) lanskap

alam yang unik; (7) warisan budaya; dan (8) seorang museumlog yang berkewajiban

mengelolanya (Corsane, 2008).

Adapun indikator ekomuseum menurut Davis adalah,

1. Ekomuseum dikelola dan diberdayakan oleh masyarakat setempat;

2. Ekomuseum dapat dijadikan sebagai sebuah sarana partisipasi masyarakat secara

demokrasi;

3. Apakah di kawasan ekomuseum dikelola secara bersama-sama antara masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Page 20: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

dan pemerintah;

4. Apakah ekomusuem memberikan tekanan di dalam prosesnya daripada produknya;

5. Apakah ekomuseum sudah melibatkan pengrajin, seniman, penulis dan pemusik

6. Ekomuseum sudah dependen secara sukarela;

7. Ekomuseum mempunyai identitas lokal dan tempat yang berguna;

8. Ekomuseum mencakup kawasan teritori secara geografi yang mempunyai

karateristik tertentu;

9. Ekomuseum berhubungan pada masa lalu, sekarang dan masa akan datang;

10. Ekomuseum berhubungan dengan bangunan dan situs;

11. Ekomuseum mempromosikan pelestarian, pemeliharaan dan perlindungan

kawasan secara in situ;

12. Ada perhatian terhadap warisan sumberdaya intangble;

13. Ekomuseum memperhatikan pengembangan berkelanjutan di dalam penggunaan

sumberdaya alam dan budaya;

14. Kawasan dapat berubah dan berkembang bagi masa depan, baik bagi situs maupun

masyarakat setempat; dan

15. Ekomuseum memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal, seperti rasa bangga,

regenerasi dan menambah ekonomi

(Davis, 1999).

Kawasan Padanglawas untuk sekarang ini belum termasuk dalam kriteria

sebuah ekomuseum, karena masih adanya beberapa indikator yang menyatakan

sebuah area/situs bukan sebuah ekomuseum, yakni :

Universitas Sumatera Utara

Page 21: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

1. Situs tersebut masih dikelola sendiri oleh pemilik (dalam hal ini pemerintah) dan

tidak melibatkan masyarakat;

2. Merupakan sebuah penempatan kembali dari sumberdaya warisan budaya

sebagai sebuah museum terbuka (open-air museum); dan

3. Di sekitar lokasi tersebut masyarakat belum mendapatkan pemasukan yang

memadai (Davis, 1999).

Harmin dan Hulander menyebutkan adanya 18 karakteristik ekomuseum,

masing-masing adalah,

1. Mencakup area yang luas;

2. Lanskap harus insitu;

3. Melibatkan kegiatan bagi wisatawan;

4. Mempromosikan pariwisata budaya;

5. Berkerjasama dengan penguasa daerah/lokal;

6. Ada perkumpulannya atau persatuannya;

7. Ada organisasinya;

8. Ada perusahaannya;

9. Ada lembaganya;

10. Mendorong sukarelawan untuk aktif;

11. Membantu penduduk lokal untuk mencerminkan identitas budayanya;

12. Membantu memberikan pendidikan bagi penduduk lokal;

13. Ada lembaga yang dinamik dan mempunyai program kerja jangka panjang;

14. Bekerjasama sama dengan para seniman, pengrajin, penulis dan musisi;

Universitas Sumatera Utara

Page 22: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

15. Bekerjasama dengan lembaga untuk penelitian;

16. Membantu untuk menjelaskan hubungan antara teknologi dan individu;

17. Membantu untuk menjelaskan hubungan antara alam dan budaya; dan

18. Membantu menjelaskan hubungan masa lalu dan masa sekarang (Corsane, 1995).

Tetapi lain dengan pendapat Davis, yang mengikuti pendapat Rivie’re, ada

beberapa indikator atau ciri ekomuseum yang dapat diterapkan di dalam menjalankan

ekomuseum, yaitu :

1. Ekomuseum harus dikonsep dan dirancang oleh lembaga yang bertanggungjawab

bersama-sama dengan penduduk setempat untuk memelihara warisan budaya dan

menjadi alat untuk memenuhi minat bersama;

2. Baik pengunjung maupun penduduk setempat akan dapat berkaca tentang

hubungan penduduk setempat dengan lingkungannya;

3. Menunjukkan hubungan alami antara manusia dengan alam;

4. Mampu mencerminkan masa sejarah yang panjang, dari sejak masa prasejarah

hingga kini;

5. Menawarkan tempat khusus istimewa untuk mereka yang ingin berkunjung

sejenak maupun beberapa lama;

6. Menjadi laboratorium sebagai tempat penelitian yang dapat menyumbangkan

pengetahuan tentang lingkungan masa kini dan masa lampau

7. Menjadi pusat perlindungan sumberdaya alam dan pelestarian jatidiri budaya atau

kemanusiaan, maupun warisan alam; dan

Universitas Sumatera Utara

Page 23: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

8. Menjadi sekolah, tempat penelitian lebih lanjut, upaya pelestarian, dan mampu

mendorong penduduk setempat untuk menentukan nasib masa depan mereka

sendiri (Davis, 1999).

Sedangkan Boylan mengatakan bahwa ada lima kunci konsep bagi ekomuseum,

yakni :

- teritori/wilayah/kawasan;

- koleksi ecomuseum alam dan budaya;

- pendekatan interdisiplin untuk menginterpretasikan/mengartikan;

- konsumen dari ecomuseum alam;

- demokrasi lokal; dan

- pemberdayaan masyarakat (Donghai, 2008).

Kawasan Padanglawas jika dimanfaatkan menjadi suatu kawasan ekomuseum

diharapkan melakukan zonasi atau pemintakatan. Zonasi menurut Undang Undang

Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab VII Pasal 72

Ayat (1) bahwa Pelindungan Cagar Budaya dilakukan dengan menetapkan batas-

batas keluasannya dan pemanfaatan ruang melalui sistem Zonasi berdasarkan hasil

kajian, Ayat (2) Pemanfaatan zona pada Cagar Budaya dapat dilakukan untuk tujuan

rekreatif, edukatif, apresiatif, dan/atau religi. Pasal 73 juga menyebutkan bahwa (1)

sistem zonasi mengatur fungsi ruang pada Cagar Budaya, baik vertikal maupun

horizontal; (2) pengaturan zonasi secara vertikal dapat dilakukan terhadap lingkungan

alam di atas Cagar Budaya di darat dan/atau di air;l (3) sistem zonasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas (a) zona inti; (b) zona penyangga; (c) zona

Universitas Sumatera Utara

Page 24: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

pengembangan; dan/atau; (d) zona penunjang; (4) penetapan luas, tata letak, dan

fungsi zona ditentukan berdasarkan hasil kajian dengan mengutamakan peluang

peningkatan kesejahteraan rakyat.

2.4. Kawasan Padanglawas

Kawasan Padanglawas terletak di daerah terbuka dan dikelilingi oleh

pegunungan Bukit Barisan, sehingga daerah tersebut seolah-olah merupakan danau

kering yang tepiannya adalah rangkaian perbukitan. Di dataran rendah yang panas

dan kering ini mengalir tiga sungai besar, yaitu Sungai Barumun, Batang Pane dan

Sungai Sirumambe.

Di daerah dataran rendah Padanglawas angin berhembus dengan kecepatan

tinggi, merupakan angin fohn (angin panas jatuh), dan terjadi pada waktu tekanan

atmospher di sebelah timur Bukit Barisan rendah, sedangkan di sebelah barat Bukit

Barisan tekanannya tinggi. Akibatnya terjadi aliran udara dengan kecepatan yang

tinggi dari barat menuju ke timur Bukit Barisan (Anwar, 1984).

Daerah yang dipengaruhi angin fohn dekat Padanglawas dulunya mungkin

ditumbuhi oleh hutan kerangas (kata kerangas dari bahasa Iban di Serawak

Kalimantan) yang miskin jenis vegetasi dan fauna. Hutan kerangas adalah lahan yang

telah dihutankan, dan bila dibuka hutan ini tidak dapat ditanami padi. Hutan kerangas

biasanya tumbuh di atas tanah yang berasal dari bahan-bahan silika yang jarang,

miskin akan basa, mempunyai struktur yang kasar dan mudah kering. Padang-padang

Universitas Sumatera Utara

Page 25: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

yang terbuka permukaan tanah ditutupi lapisan pasir putih setebal 0,5 - 5 cm dan di

bagian bawahnya berwarna gelap (Anwar, 1984).

Hutan kerangas juga merupakan suatu tipe hutan dengan pohon-pohon yang

berukuran "pole" (pancang) yang tumbuh di atas pasir putih. Jenis-jenis pohon yang

terdapat pada tipe hutan ini antara lain: Dacrrydium, Eugenia, Lithocarpus

conocarpus, Castanopsis, Hopea, Schima, don Don Malaleuca. Lantai hutan ter-

tutup lumut dan jarang dijumpai pohon-pohon yang berukuran besar. Pada umumnya

keliling batang pohon tidak lebih dari 2 meter dan tajuk tidak lebih dari 20 meter.

Pasir pantai yang terdapat di daerah hutan kerangas dekat Padanglawas

memberikan indikasi mengenai perubahan garis pantai pesisir di bagian timur

Sumatera, yang mungkin terjadi pada kurun geologi, bukan kurun sejarah. Pada

muara Sungai Besitang, Barumun, Rokan, Siak, Kampar, Indragiri, dan juga di daerah

aliran Sungai Musi dan Sungai Banyuasin, terjadi perubahan garis pantai karena

pengendapan lumpur, yang merupakan ciri khas dari perluasan pantai (Anwar, 1984).

Dari hasil penelitian Vita diketahui bahwa Kawasan Padanglawas merupakan

daerah yang kering dan hanya ditumbuhi oleh tumbuhan alang-alang. Alang-alang

(Imperata cylindrica) merupakan jenis tumbuhan rumput-rumputan yang tidak

memerlukan persyaratan tumbuh tinggi. Saat ini itu di daerah tersebut ditanami

kelapa sawit (Elais guineensis), kopi (Coffea arabica), karet (Ficus elastica) dan jati

(Tectona grandis). Serta di sepanjang aliran Batang Pane didominasi oleh tumbuhan

bambu seperti Gigantochloa apus, Dendrocalamus asper dan Bambusa Spinosa

(Vita, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Page 26: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

Di samping itu tumbuhan galoga (Sacarum spontaneum) juga mendominasi

tumbuhan sepanjang aliran Batang Pane. Ada pula tumbuhan semak belukar seperti

Lantana camara, Pandanus tectorius, Ageratum, Eupathorium, Urena lobata, Hyptis

capitata, Piper aduncum. Jenis pohon lainnya adalah pisang (Musa paradisiaca), seri

(Muntinga calabubura), jengkol (Pithecelobium jiringa), pinang (Areca catecu),

durian belanda (Annona muricata), dan sukun (Artocarpus communis). Jenis

tumbuhan khas di Kawasan Padanglawas adalah kelompok kembang bangkai

(Amorphopallus sp.) dan pohon balaka (Phyllanthus emblica). Jenis pohon balaka ini

tampaknya mendominasi hampir di semua bangunan biara atau situs. Juga ada pohon

buah-buahan seperti mangga (Mangifera indica), lontar (Borassus flabelifer), dan

kelapa (Cocos nurifera) (Vita, 2010).

Berkenaan dari hasil survei ke lapangan dijumpai berbagai fauna, seperti kerbau

dan sapi yang merupakan ternak dan hampir setiap keluarga memilikinya dan

kehidupan binatang liar tampak lebih menonjol di kawasan yang berupa dataran

berbukit yaitu babi hutan (Sus scrofa) yang dalam pandangan penduduk adalah hama

tanaman. Juga ada kancil (Tragulus javanicus), rusa (Cervus equunus), monyet,

lutung (Pythecus pyrrahus), kalong (Pterocarpus edulis), beruang, dan berjenis

biawak (Varanus). Secara umum dapat dikatakan bahwa populasi hewan-hewan liar

itu cenderung menurun akibat aktivitas manusia, terutama berkenaan dengan

eksplotasi lahan yang sebelumnya merupakan habitat fauna tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

2.5. Model

Ada empat kategori model, yaitu :

1. Cognitive Models (Human Concepts);

2. Normative Models (Purpose Oriented);

3. Descriptive Models (Behavior Oriented); dan

4. Functional Models (Action and Control Oriented)

Cognitive Models merupakan model-model konseptual yang mendasari

pembuatan keputusan, perencanaan, juga bermakna sebagai usaha manusia untuk

memahami dan mengontrol segala seluk-beluk yang berkaitan dengan dunianya.

Normative Models merupakan penggambaran mengenai fungsi-fungsi spesifik atau

yang diinginkan, tujuan, dan sasaran sebuah sistem atau proses. Model normatif

biasanya dipakai dalam kerangka desain rekayasa dan regulasi pemerintahan.

Sementara itu, Descriptive Models dan Functional Models umumnya digunakan

untuk tujuan-tujuan saintifik dan teknologi (Ramly, 2007).

Berdasarkan model kategori tersebut, model yang dikembangkan dalam

disertasi ini mengacu pada model konseptual yakni, yang merancang model

pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Padanglawas yang dapat menguraikan pola

kebijakan dalam pengelolaan.

2.6. Nilai

Potensi Kawasan Cagar Budaya Padanglawas dapat diketahui dari beberapa

kriteria dari nilai seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

Tabel 2.1. Kriteria Nilai

Nilai Mengapa

Arkeologi dan Sejarah

• bukti tingkat peradaban daerah yang belum dikenal • tingkat pelestarian yang tinggi • bantuan dari pendanaan

Kelangkaan • urutan biara atau situs yang diketahui dari periodesasi daerah yang relatif kecil

• peninggalan khusus bagi kesenian Lansekap • tata guna lahan adalah ciri khusus

• pertanian terus menerus yang digunakan sebagai lansekap Ilmu Peng. • tingkat dan kualitas dari informasi biara atau situs Kebudayaan • sejarah awal tradisi yang merupakan kelanjutan, mencakup

suatu kehidupan, pembuatan gerabah dan keranjang Pendidikan • keuntungan di dalam pembelajaran pengalaman

• interaksi dengan para arkeolog, dalam proses arkeologi • hubungan dengan sekolah lokal dan nasional • tingkat perkembangan profesi dan pelatihan

Masyarakat • mempunyai arti dalam hubungan lokal pada mitos lokal, dahulu dan sekarang

• identifikasi lokal dan kebanggaan biara dan situs Ekonomi • menciptakan lapangan kerja melalui penggalian biara/situs

• manfaat penggalian bagi masyarakat lokal • meningkatkan kepariwisataan biara, situs dan kawasan • barang-barang dagangan • memasukan investasi ke daerah sebagai hak dari nilai

sebuah biara atau situs Kepariwisataan • atraksi wisata

• perkembangan wisata berhubungan dengan pelayanan • memikat wisatawan dengan produk-produk daerah • menambah nilai-nilai dan mengenalkan situs sejarah yang

lain dan situs arkeologi di daerah Politik • biara dan situs sebagai daerah tujuan untuk meningkatkan

profil tingkat kunjungan • asosiasi politik dengan biara dan situs • penggunaan situs sebagai simbol nasional

Simbolik • inspirasi bagi para artis, penulis dan designer

Spiritual • makna biara atau situs bagi kepercayaan masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Page 29: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

Setelah mengetahui nilai Kawasan Cagar Budaya Padanglawas, diperlukan

langkah-langkah dalam mengelolanya, seperti diuraikan di bagan bawah ini.

1. Identifikasi dan deskripsi Pengumpulan data/informasi

1.1 Tujuan Apa yang menjadi tujuan dan harapan perencanaan?

1.2 Pemangku kepentingan

Siapa yang terlibat dalam perencanaan?

1.3 Dokumentasian dan deskripsi

Apa yang dikenal dari biara/situs dan apa yang perlu diketahui?

2. Penafsiran dan Analisis Mengadakan pemeriksaan

2.1.Nilai/signifikan kebudayaan

Mengapa biara/situs itu penting atau mempunyai nilai dan oleh siapa dianggap mempunyai nilai?

2.2 . Kondisi fisik

Bagaimana kondisi biara/situs atau strukturnya dan apa yang menjadi ancaman?

2.3. Hubungan Pengelolaan Apa yang menjadi ketidak-leluasaan/paksaan akhir-akhir ini dan apa keuntungan yang didapat dari pelestarian dan pengelolaan biara dan situs?

3. Tanggapan Membuat Keputusan

3.1. Menetapkan tujuan dan kebijaksanaan Untuk apa biara/situs tersebut dilestarikan dan dikelola ? Bagaimana nilai biara/situs jika dilestarikan? 3.2. Kumpulkan sasaran Apa yang dilakukan untuk mewujudkan kebijaksanaan menuju suatu tindakan/aksi 3.3. Strategi pengembangan Bagaimana sasaran/tujuan dapat diajukan dalam praktik? 3.4. Mempersatukan dan menyiapkan rencana

Peninjauan ulang berkala dan perbaikan

Gambar 2.1. Langkah-langkah Pengelolaan

Universitas Sumatera Utara

Page 30: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

Peninjauan ulang berkala (periodic review) dan perbaikan merupakan suatu

tindakan bagi evaluasi Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW), yang harus

dilakukan secara berkala, dan perlu sekali adanya perbaikan-perbaikan sehingga di

dalam mengelola membuahkan hasil yang maksimal. Revisi yang diharapkan,

hendaknya tidak lepas memperhatikan adanya prinsip pengelolaan sejarah dan budaya

yang berpijak pada pelestarian dan mencakup (1) pemeliharaan (preservation,

consevation); (2) perlindungan; (3) pendokumentasian (foto, film, gambar); dan (4)

daya dukung (carring capasity) (Setyastuti, 2005).

Catatan :

1. A museum as not-profit making, permanent institution in the service of society and of its development, and open to the public, which acquires, conserves, researches, communicates and exhibits, the tangible intangible heritage of humanity and its environments for the purposes of education, study and enjoyment. ICOM Statues, adopted by the 22nd General Assembly, Vienna, Austria, 24 Agugust 2007

2. Principle 1. Human beings are at the centre of concerns for sustainable development. They are entitled to a healthy and productive life in harmony with nature (Hardjasoemantri, 2005 : 585).

3. Dalam Pedoman Zonasi Situs dan Kawasan Cagar Budaya, yang dimaksud dengan zonasi adalah salah satu upaya pelindungan Situs dan Kawasan Cagar Budaya. Dalam zonasi dilakukan penentuan batas wilayah atau daerah tertentu untuk tujuan melindungi aspek-aspek yang memiliki nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Dengan adanya zonasi, diharapkan ada rambu-rambu yang jelas dalam pengembangan dan pemanfaatan Situs dan Kawasan Cagar Budaya, sehingga dapat meminimalisasi ancaman kerusakan Situs dan Kawasan Cagar Budaya. Zonasi situs yang selama ini dilaksanakan ternyata lebih memungkinkan diterapkan pada situs yang memiliki areal yang luas sehingga dapat dibagi ke dalam zona inti, penyangga, pengembang, dan penunjang. Kendala muncul pada situs-situs yang berada dalam pemukiman yang padat atau situs yang telah terlanjur dalam pengembangan tanpa mempertimbangkan pelestarian situs. Penerapan zonasi situs terhadap situs-situs semacam itu tentunya akan berbeda

Universitas Sumatera Utara

Page 31: II. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kazuoki Ohara bahwa dalam

dengan lazimnya. Dengan demikian pedoman zonasi yang diperlukan adalah pedoman yang dapat mengakomodir berbagai kondisi situs.

4. Dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya yang dimaksud dengan pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.

Universitas Sumatera Utara