ilegal fishing
DESCRIPTION
MAKALAH ILEGAL FISHINGTRANSCRIPT
BAB II
Pembahasan
I.Kronologi Kasus
Kapal illegal dari negara tetangga Malaysia ditangkap oleh Kapal patroli Polisi 1001-
II milik Polda Sumatra Utara yaitu 1 (satu) kapal illegal fishing KM. PKFB 628 lebih kurang
GT 60 dengan Nahkoda Mr. Win Naing kebangsaan Myamar yang menggunakan alat
tangkap trawl di perairan teritorial selat Malaka pada tanggal 30 September 2012 jam 17.00
WIB pada posisi 03º57’00” LU – 099º29’00” BT sekitar 11 mil utara pulau Berhala
Kabupaten Serdang Berdagai Propinsi Sumatra Utara.
Kronologi penangkapan ketika Kapal patroli Polisi 1001-II milik Polda Sumatra
Utara yang dinahkodai oleh Bripka R. Lubis, SH sedang melakukan patroli rutin di perairan
Selat Malaka, melihat kapal yang yang sedang melakukan penangkapan ikan dengan alat
tangkap trawl, ketika diperiksa ternyata kapal tersebut tidak bisa memperlihatkan dokumen
perizinan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, selain itu
menggunakan alat tangkap terlarang yaitu trawl. Barang bukti diamankan oleh Kapal patroli
Polisi 1001-II milik Polda Sumatra Utara adalah 1 unit Kapal KM. PKFB 628 , satu set alat
tangkap trawl dan ikan campuran lebih kurang 2 blong.
Kapal KM. PKFB 628 dengan Nahkoda Mr. Win Naing kebangsaan Myamar . Saat
ini kapal disandarkan di Dermaga Pelabuhan Polisi Perairan Polda Sumatra Utara di Gudang
Arang untuk proses lebih lanjut.
Menurut bapak Ranu Subroto, SH Kejari Belawan Surat pemberitahuan dimulai
penyidikan kapal tersebut tertanggal 3 Oktober 2012 yang diterima tgl 4 Oktober 2012. Lebih
lanjut menurut beliau bahwa selama tahun 2012 ini sudah delapan kasus kapal illegal fishing
yang diserahkan ke Kejaksaan Negeri Belawan untuk diproses lebih lanjut yaitu 7 unit kapal
yang diserahkan oleh Stasiun Pengawasan SDKP Belawan Kementerian Kelautan dan
Perikanan dan satu lagi yg baru masuk dari Polisi Perairan Polda Sumut.
Dari 7 kapal yg diserahkan oleh Stasiun Pengawasan SDKP Belawan Kementerian
Kelautan dan Perikanan yaitu 6 kapal illegal fishing berbendera Thailand semuannya sudah 1
inkrah dari Pengadilan Negeri Medan dengan keputusan Kapal disita oleh negara. Sedangkan
satu lagi baru kapal illegal fishing Malaysia hari ini dikelurkan P21. Menurut Mukhtar, A.Pi,
M.Si kapal Malaysia yaitu KM. PKFA 8096 dengan Nahkoda Mr. Soe Min Lat kebangsaan
Myamar akan diserahterimakan hari senin tgl 8 Nopember 2012.Menurut laporan Pokmaswas
dan masyarakat Pulau Berhala kerap kali kapal kapal Illegal Fishing Malaysia mendekati pulau
berhala kalau tidak ada aparat dari RI.
II .Pengaturan Secara Hukum
A. UNCLOS 1982
Dalam konvensi UNCLOS 1982 telah diatur secara umum mengenai hal-hal terkait
penangkapan ikan yaitu pada pasal 42 dan 61,62 ,73,111
Pasal 42 ayat 1 butir c yang berbunyi “Dengan tunduk pada ketentuan bagian ini, Negara yang
berbatasan dengan selat dapat membuat peraturan perundangundangan yang bertalian dengan
lintas transit melalui selat, mengenai semua atau setiap hal berikut (c) bertalian dengan kapal
penangkap ikan, pencegahan penangkapan ikan, termasuk cara penyimpanan alat penangkap
ikan;”
Pasal 61
Konservasi sumber kekayaan hayati
1. Negara pantai harus menentukan jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat
diperbolehkan dalam zona ekonomi eksklusifnya.
2. Negara pantai, dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik yang tersedia baginya harus
menjamin dengan mengadakan tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat
sehingga pemeliharaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif tidak
dibahayakan oleh eksploitasi yang berlebihan. Di mana Negara pantai dan organisasi
internasional berwenang, baik sub-regional, regional maupun global, harus bekerja sama
untuk tujuan ini.
3. Tindakan demikian juga bertujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis
yang dapat dimanfaatkan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang
lestari, sebagaimana ditentukan oleh faktor ekonomi dan lingkungan yang relevan,
termasuk kebutuhan ekonomi masyarakat nelayan daerah pantai dan kebutuhan khusus
Negara berkembang, dan dengan memperhatikan pola penangkapan ikan, saling 2
ketergantungan persediaan jenis ikan dan standar minimum internasional yang diajukan
secara umum, baik di tingkat sub-regional, regional maupun global.
4. Dalam mengambil tindakan demikian, Negara pantai harus memperhatikan akibat
terhadap jenis-jenis yang berhubungan atau tergantung pada jenis yang dimanfaatkan
dengan tujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis yang berhubungan
atau tergantung demikian di atas tingkat dimana reproduksinya dapat sangat terancam.
5. Keterangan ilmiah yang tersedia, statistik penangkapan dan usaha perikanan, serta data
lainnya yang relevan dengan konservasi persediaan jenis ikan harus disumbangkan dan
dipertukarkan secara teratur melalui organisasi internasional yang berwenang baik sub-
regional, regional maupun global di mana perlu dan dengan peran serta semua Negara
yang berkepentingan, termasuk Negara yang warganegaranya diperbolehkan
menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif.
Pasal 62
Pemanfaatan sumber kekayaan hayati
1. Negara pantai harus menggalakkan tujuan pemanfatan yang optimal sumber kekayaan
hayati di zona ekonomi eksklusif tanpa mengurangi arti ketentuan Pasal 61.
2. Negara pantai harus menetapkan kemampuannya untuk memanfaatkan sumber
kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif. Dalam hal Negara pantai tidak memiliki
kemampuan untuk memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang dapat dibolehkan,
maka Negara pantai tersebut melalui perjanjian atau pengaturan lainnya dan sesuai
dengan ketentuan, persyaratan dan peraturan perundang-undangan tersebut pada ayat 4,
memberikan kesempatan pada Negara lain untuk memanfaatkan jumlah tangkapan yang
dapat diperbolehkan yang masih tersisa dengan memperhatikan secara khusus ketentuan
pasal 69 dan 70, khususnya yang bertalian dengan Negara berkembang yang disebut di
dalamnya.
3. Dalam memberikan kesempatan memanfaatkan kepada negara lain memasuki zona
ekonomi eksklusifnya berdasarkan ketentuan Pasal ini, Negara pantai harus
memperhitungkan semua faktor yang relevan, termasuk inter alia pentingnya sumber
kekayaan hayati di daerah itu bagi perekonomian Negara pantai yang bersangkutan dan
kepentingan nasionalnya yang lain, ketentuan pasal 69 dan 70, kebutuhan Negara
3
berkembang di sub-region atau region itu dalam memanfaatkan sebagian dari surplus
dan kebutuhan untuk mengurangi dislokasi ekonomi di negara yang warganegaranya
sudah biasa menangkap ikan di zona tersebut atau telah sungguh-sungguh melakukan
usaha riset dan identifikasi persediaan jenis ikan.
4. Warganegara Negara lain yang menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif harus
mematuhi tindakan konservasi, ketentuan dan persyaratan lainnya yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan Negara pantai. Peraturan perundang-undangan ini
harus sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan dapat meliputi, antara lain hal-hal
berikut :
(a) pemberian ijin kepada nelayan, kapal penangkap ikan dan peralatannya, termasuk
pembayaran bea dan pungutan bentuk lain, yang dalam hal Negara pantai yang
berkembang, dapat berupa kompensasi yang layak di bidang pembiayaan,
peralatan dan teknologi yang bertalian dengan industri perikanan;
(b) penetapan jenis ikan yang boleh ditangkap, dan menentukan kwota-kwota
penangkapan, baik yang bertalian dengan persediaan jenis ikan atau kelompok
persediaan jenis ikan suatu jangka waktu tertentu atau jumlah yang dapat
ditangkap oleh warganegara suatu Negara selama jangka waktu tertentu;
(c) pengaturan musim dan daerah penangkapan, macam ukuran dan jumlah alat
penangkapan ikan, serta macam, ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan yang
boleh digunakan;
(d) penentuan umum dan ukuran ikan dan jenis lain yagn boleh ditangkap;
(e) perincian keterangan yang diperlukan dari kapal penangkap ikan, termasuk
statistik penangkapan dan usaha penangkapan serta laporan tentang posisi kapal;
(f) persyaratan, di bawah penguasaan dan pengawasan Negara pantai, dilakukannya
program riset perikanan yang tertentu dan pengaturan pelaksanaan riset demikian,
termasuk pengambilan contoh tangkapan, disposisi contoh tersebut dan pelaporan
data ilmiah yang berhubungan;
(g) penempatan peninjau atau trainee diatas kapal tersebut oleh Negara pantai;
(h) penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan oleh kapal tersebut di pelabuhan
Negara pantai;
4
(i) ketentuan dan persyaratan bertalian dengan usaha patungan atau pengaturan
kerjasama lainnya;
(j) persyaratan untuk latihan pesonil dan pengalihan teknologi perikanan, termasuk
peningkatan kemampuan Negara pantai untuk melakukan riset perikanan;
(k) prosedur penegakan.
5. Negara pantai harus mengadakan pemberitahuan sebagaimana mestinya mengenai
peraturan konservasi dan pengelolaan
Pasal 73
Penegakan Peraturan perundang-undangan Negara pantai
1. Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan
eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona
ekonomi eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa,
menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin
ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan
Konvensi ini.
2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapalnya harus segera dibebaskan setelah
diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya.
3. Hukuman Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-
undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika
tidak ada perjanjian sebaliknya antara Negara-negara yang bersangkutan, atau setiap
bentuk hukuman badan lainnya.
4. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing Negara pantai harus segera
memberitahukan kepada Negara bendera, melalui saluran yang tepat, mengenai
tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan.
Pasal 111
Hak Pengejaran seketika
(Right of hot pursuit)
5
1. Pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang berwenang
dari Negara pantai mempunyai alasan cukup untuk mengira bahwa kapal tersebut telah
melanggar peraturan perundang-undangan Negara itu. Pengejaran demikian harus
dimulai pada saat kapal asing atau salah satu dari sekocinya ada dalam perairan
pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan negara pengejar, dan
hanya boleh diteruskan di luar laut teritorial atau zona tambahan apabila pengejaran itu
tidak terputus. Adalah tidak perlu bahwa pada saat kapal asing yang berada dalam laut
teritorial atau zona tambahan itu menerima perintah untuk berhenti, kapal yang memberi
perintah itu juga berada dalam laut teritorial atau zona tambahan. Apabila kapal asing
tersebut berada dalam zona tambahan, sebagaimana diartikan dalam pasal 33,
pengejaran hanya dapat dilakukan apabila telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak
untuk perlindungan mana zona itu telah diadakan.
2. Hak pengejaran seketika harus berlaku, mutatis mutandis bagi pelanggaran-pelanggaran
di zona ekonomi eksklusif atau di landas kontinen, termasuk zona-zona keselamatan
disekitar instalasi-instalasi di landas kontinen, terhadap peraturan perundang-undangan
Negara pantai yang berlaku sesuai dengan Konvensi ini bagi zona ekonomi eksklusif
atau landas kontinen, termasuk zona keselamatan demikian.
3. Hak pengejaran seketika berhenti segera setelah kapal yang dikejar memasuki laut
teritorial Negaranya sendiri atau Negara ketiga.
4. Pengejaran seketika belum dianggap telah dimulai kecuali jika kapal yang mengejar
telah meyakinkan diri dengan cara-cara praktis yang demikian yang mungkin tersedia,
bahwa kapal yang dikejar atau salah satu sekocinya atau kapal lain yang bekerjasama
sebagai suatu team dan menggunakan kapal yang dikejar sebagai kapal induk berada
dalam batas-batas laut teritorial atau sesuai dengan keadaannya di dalam zona
tambahan atau zona ekonomi eksklusif atau di atas landas kontinen. Pengejaran hanya
dapat mulai setelah diberikan suatu tanda visual atau bunyi untuk berhenti pada suatu
jarak yang memungkinkan tanda itu dilihat atau didengar oleh kapal asing itu.
5. Hak pengejaran seketika dapat dilakukan hanya oleh kapal-kapal perang atau pesawat
udara militer atau kapal-kapal atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas
dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara dalam dinas pemerintah dan
berwenang untuk melakukan tugas itu.
6. Dalam hal pengejaran seketika dilakukan oleh suatu pesawat udara :
6
(a) ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 dan 4 harus berlaku mutatis mutandis;
(b) pesawat udara yang memberikan perintah untuk berhenti harus melakukan
pengejaran kapal itu secara aktif sampai kapal atau pesawat udara Negara pantai
yang dipanggil oleh pesawat udara pengejar itu tiba untuk mengambil alih
pengejaran itu, kecuali apabila pesawat udara itu sendiri dapat melakukan
penangkapan kapal tersebut. Adalah tidak cukup untuk membenarkan suatu
penangkapan di luar laut teritorial bahwa kapal itu hanya terlihat oleh pesawat
udara sebagai suatu pelanggar atau pelanggar yang dicurigai, jika kapal itu tidak
diperintahkan untuk berhenti dan dikejar oleh pesawat udara itu sendiri atau oleh
pesawat udara atau kapal lain yang melanjutkan pengejaran itu tanpa terputus.
7. Pelepasan suatu kapal yang ditahan dalam yurisdiksi suatu Negara dan dikawal ke
pelabuhan Negara itu untuk keperluan pemeriksaan di hadapan pejabat-pejabat yang
berwenang tidak boleh dituntut semata-mata atas alasan bahwa kapal itu dalam
melakukan perjalanannya, dikawal melalui sebagian dari zona ekonomi eksklusif atau
laut lepas jika keadaan menghendakinya.
8. Dalam hal suatu kapal telah dihentikan atau ditahan di luar laut teritorial dalam keadaan
yang tidak membenarkan dilaksanakannya hak pengejaran seketika, maka kapal itu
harus diberi ganti kerugian untuk setiap kerugian dan kerusakan yang telah diderita
karenanya.
B. UU No 45 tahun 2009 Tentang Perubahan Undang-Undang No 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan
Pasal 5 ayat 1 butir a yaitu” Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk
penangkapan ikandan/atau pembudidayaan ikan meliputi(:a) perairan Indonesia;
Pasal 8
(1) Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau
bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan. Kelestarian sumber daya ikan
dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal
yang melakukan penangkapan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis,
7
bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia.
(3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan
perikanan, dan/atau operator kapal perikanan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/ atau lingkungannya di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia.
(4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan,
dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang melakukan usaha
pembudidayaan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat
dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian
sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indanesia.
(5) Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau
bangunan untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diperbolehkan hanya untuk penelitian.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak,
alat dan/atau cara, dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) , diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Setiap orang yang melakukan usaha perikan di bidang penangkapan, pembudidayaan,
pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia wajib memiliki SIUP.
(2) Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi
nelayan kecil dan/atau pembudidaya ikan kecil.
Pasal 38
(1) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan
ikan selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib menyimpan
alat penangkapan ikan di dalam palka.
(2) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan
dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI dilarang
membawa alat penangkapan ikan lainnya.
8
(3) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan
wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah
penang.kapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
Pasal 84
(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan
kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat
merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/ atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling banyak Rpl.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
Pasal 92
Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan,
pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda
paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratusjuta rupiah).
Pasal 95
Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak
mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 27 ayat 2 “Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memiliki SIPI.”
Pasal 9
(1) Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat
penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak
keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia.
9
(2) Ketentuan mengenai alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang
mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 93 ayat 2 “Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)”.
Selain itu pengaturan lain yang lebih spesifik diatur dalam peraturan
menteri,keputusan menteri, keputusan presiden yaitu, Peraturan Menteri no.2 tahun 2011
tentang Jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkapan ikan dan alat bantu
penangkapan ikan diwilayah pengelolaan perikanan Negara republik Indonesia ,Per
49/MEN/2011 tentang perubahan Per no 14/MEN/2011 tentang usaha perikanan tangkap,Per
15/MEN/2010 tentang organisasi dan tata kerja kementrian kelautan dan perikanan,Keputusan
menteri no 6 tahun 2010 tentang alat penangkapan ikan diwilayah pengelolaan perikanan
Negara republik Indonesia dan lain-lain.
Berdasarkan hukun nasional maka kapal tersebut melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf (a)
Jo pasal 92 Jo pasal 26 ayat (1), pasal 93 ayat (2) Jo pasal 27 ayat (2), pasal 95 jo pasal 9
huruf c UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan dengan ancaman denda Rp. 20 Miliar dan dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun.
III.Upaya Penyelesaian Perkara Illegal Fishing
Perkara illegal fishing sangat sering ditemui di Indonesia,menurut penulis untuk
menanggulangi kasus illegal fishing tidak perlu dibuat suatu UU khusus,karena dikhawatirkan
akan menimbulkan tumpang tindih aturan dan menhasilkan ketidakpastian hukum. upaya
10
pencegahan dan penyelesaian perkara yang dapat ditempuh yaitu berupa peningkatan
perizinan,pengawasan ,dan penegakan hukum ,seperti :
1. Praktik illegal fishing termasuk dalam katagori kejahatan lintas negara (trans-
boundary carime). Kategori kejahatan tersebut tidak bisa diatasi sendiri oleh
suatu negara. Indonesia tidak akan efektif mengatasi persoalan illegal fishing
tanpa dibantu negara lain. Oleh karena itu Indonesia harus membuka diri
membangun hubungan kerjasama dengan negara lain, utamanya negara
tetangga yang memiliki kesamaan dalam hal visi dan kepentingan.
2. Meningkatkan Peran dari penegak hukum yaitu TNI AL dan polisi beserta
KKP dalam pengawasan menjaga perbatasan dan ijin penangkapan yang tidak
dimiliki oleh pada nelayan
3. Meningkatkan peran dari Pemerintah Daerah dalam menanggulangi dan
menindak tegas nelayan-nelayan dari yang tidak memiliki ijin. Peran
pemerintah daerah lebih besar pada illegal fishing karena sebagai pihak yang
berhadapan langsung dengan para pelaku illegal fishing di lapangan. Dari sisi
dampak, daerah lah yang lebih banyak mendapat kerugian baik secara sosial
maupun ekonomi. Oleh karena itu, kerjasama antar pemerintah daerah dan
pusat perlu diwujudkan. Regionalisasi pengolaan perikanan dapat dalam
bentuk kerjasama daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan perairan
tertentu dalam rangka pengelolaan perikanan.Beberapa langkah yang perlu
dilakukan yaitu :
a) pembentukan forum kerjasama yang melibatkan berbagai pemangku
kepentingan dengan tujuan untuk mencegah, meniadakan, dan
mengurangi illegal fishing
b) Pemerintah pusat mengarahkan serta membagi kewenangan dan
tanggung jawab pengelolaan sumberdaya perikanan kepada forum
pemangku kepentingan di tingkat regional
c) Forum melakukan tindakan operasionalisasi wewenang dan tanggung
jawab tersebut dalam penanggulangan illegal fishing. Melalui
regionalisasi pengelolaan perikanan tersebut diharapkan akan terjadi
proses penguatan kelembagaan daerah, efisiensi pelaksanaan tindakan
pengelolaan dan konservasi sumberdaya dan distribusi manfaat
sumberdaya lebih adil diantara pemangku kepentingan baik ditingkap
pusat maupun daerah
11
4. Peran nelayan dapat sekaligus sebagai sumber informasi dari kegiatan illegal
fishing.
5. LSM dan lembaga internasional dalam hal pengawasan
6. Penataan hukum dan kelembagaan beserta pelaksanaan hukum yang baik
menjadi peran penting untuk menanggulangi kegiatan illegal fishing.
BAB III
12
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Indonesiayang terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua
samudera (Pasifik dan Hindia) menyebabkan wilayah perairannya sangat
rawan terjadi penangkapan ikan secara ilegal (Illegal Fishing)
2. Kasus illegal fishing kerap kali dilakukan oleh kapal warga Negara asing
(WNA) yang tidak memiliki surat-surat resmi seperti SIUP dan SIPI yang
menangkap ikan dengan cara yang dilarang seperti mengunakan trawl atau
pukat harimau.
3. Pengaturan yang terkait dengan Negara pantai dan penangkapan ikan lintas
Negara diatur secara umum dalam Konvensi UNCLOS 1982 yaitu pada pasal
42 dan 61,62 ,73,111
4. Sedangkan pengaturan secara nasional diatur dalam UU no 45 tahun 2009
Tentang Perubahan Undang-Undang No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
yaitu pada pasal 27,9,93,95, dll.
5. Selain itu pengaturan tambahan yang lebih spesifik dapat ditemukan dalam,
Peraturan Menteri no.2 tahun 2011 tentang Jalur penangkapan ikan dan
penempatan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan diwilayah
pengelolaan perikanan Negara republik Indonesia ,Per 49/MEN/2011 tentang
perubahan Per no 14/MEN/2011 tentang usaha perikanan tangkap,Per
15/MEN/2010 tentang organisasi dan tata kerja kementrian kelautan dan
perikanan,Keputusan menteri no 6 tahun 2010 tentang alat penangkapan ikan
diwilayah pengelolaan perikanan Negara republik Indonesia dan lain-lain.
6. Upaya penyelesaian dapat dilakukan dengan cara meningkatkan selektivitas
pemberian izin bagi kapal dan kegiatan penangkapan ikan,meningkatkan peran
kepolisian,TNI AU,pemerintah daerah,LSM,lembaga internasional dan juga
para nelayan local yang dalam hal ini langsung berhadapan dengan kasus
illegal fishing
7. Selain itu upaya menjalin kerjasama dengan Negara lain terutama yan
perairannya langsung berbatsan dengan Indonesia
B. Saran
13
Perkara illegal fishing sebenarnya dapat diminimalisir dengan memperbaiki kualitas
penegakan hokum dalam negeri terlebih dahulu,terutama perbaikan moral bagi oknum
yang sering menyalahgunakan jabatannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
14