implementasi kebijakan sistem pelayanan …repository.fisip-untirta.ac.id/750/1/implementasi...
TRANSCRIPT
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SISTEM PELAYANAN INFORMASI DAN PERIZINAN
INVESTASI SECARA ELEKTRONIK (SPIPISE) DI KABUPATEN LEBAK
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik
Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh
DIDI ROSADI
NIM 6661121564
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG, Oktober 2016
PERNYATAAN ORISINALITAS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Didi Rosadi
Nim : 6661121564
Semester : IX (Sembilan)
Program Studi : Administrasi Negara
Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
SISTEM PELAYANAN INFORMASI DAN PERIZINAN INVESTASI SECARA
ELEKTRONIK (SPIPISE) DI KABUPATEN LEBAK adalah hasil karya saya
sendiri, dan seluruh sumber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan
dengan benar. Apabila dikemudian hari skripsi ini terbukti mengandung unsur
plagiat, maka gelar kesarjanaan saya bisa dicabut.
Serang, Oktober 2016
Didi Rosadi
LEMBAR PERSETUJUAN
Nama : Didi Rosadi NIM : 6661121564 Judul Skripsi : IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SISTEM
PELAYANAN INFORMASI DAN PERIZINAN INVESTASI SECARA ELEKTRONIK (SPIPISE) DI KABUPATEN LEBAK
Serang, Oktober 2016 Skripsi ini Telah Disetujui untuk Disajikan
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Dirlanudin, M.Si Anis Fuad, M.Si NIP : 196109031987031001 NIP : 198009082006041002
Mengetahui
Dekan Fisip Untirta
Dr. Agus Sjafari, M.Si NIP : 197108242005011002
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Nama : DIDI ROSADI NIM : 6661121564 Judul Skripsi : IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SISTEM PELAYANAN
INFORMASI DAN PERIZINAN INVESTASI SECARA ELEKTRONIK (SPIPISE) DI KABUPATEN LEBAK
Telah Diuji di Hadapan Dewan Penguji Sidang Skripsi di Serang, tanggal 21 Oktober 2016 dan dinyatakan LULUS.
Serang, 21 Oktober 2016 Ketua Penguji Gandung Ismanto, MM NIP. 197408072005011001
Anggota: Dr. Suwaib Amiruddin, M.Si. NIP. 197405012005011005
Anggota: Anis Fuad, M.Si NIP. 198009082006041002
Mengetahui,
Dekan Fisip Untirta
Dr. Agus Sjafari, M.Si NIP. 197108242005011002
Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Listyaningsih, S.Sos, M.Si. NIP. 197603292003122001
You’ll Never Walk Alone…
Skripsi ini kupersembahkan:
Untuk kedua orang tua,
dan seluruh Keluarga Besar yang tak pernah lelah
memotivasi ku disetiap langkah dan tulus
mencintaiku, terima kasih untuk segalanya.
v
ABSTRAK
Didi Rosadi. NIM. 6661121564. 2016. Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak. Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dosen Pembimbing I, Dr. Dirlanudin, M.Si; Dosen Pembimbing II, Anis Fuad, M.Si.
Penelitian ini dilatar belakangi oleh penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal yang belum optimal, pelaksanaan pelayanan perizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan dan akuntabel yang belum optimal, adanya pelayanan perizinan yang belum diintegrasikan dengan SPIPISE dan kurangnya sosialisasi yang dilakukan mengenai penerapan SPIPISE serta metode pelatihan dan pembinaan tentang SPIPISE kepada perusahaan PMDN dan PMA yang belum efektif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar dan bagaimana implementasi SPIPISE di Kabupaten Lebak. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn yaitu ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya, karakteristik agen pelaksana, disposisi para pelaksana, komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana, dan lingkungan ekonomi, sosial dan politik. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode kombinasi model concurrent embedded dengan metode kuantitatif sebagai metode primer dan kualitatif sebagai metode sekunder. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 65 orang, dan sampel yang digunakan adalah sampel jenuh. Adapun pemilihan informan menggunakan purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner, observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis data menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan implementasi kebijakan SPIPISE di Kabupaten Lebak mencapai angka 63,47% dari angka yang diharapkan yaitu 65%, secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori kurang baik. Saran peneliti dalam penelitian ini yaitu peningkatan kompetensi dari pelaksana, penambahan jumlah sarana dan prasarana, perbaikan fasilitas pendukung SPIPISE dan dilakukannya sosialisasi menyeluruh dan intensif kepada seluruh penanam modal.
Kata kunci: Implementasi Kebijakan, Sistem Pelayanan, Perizinan Investasi
ABSTRACT
Didi Rosadi. NIM 6661121564. 2016. Policy Implementation of the Electronic
Service System of Investment Information and Licensing (SPIPISE) in Lebak
Regency. Major of Public Administration Science. The Faculty of Social Science
and Political Science. Sultan Ageng Tirtayasa University. 1st Advisor, Dr. Dirlanudin, M.Si; 2nd Advisor, Anis Fuad, M.Si.
This research was motivated by the implementation of One Stop Services (OSS) in the field of investment which is not optimal, the licensing service implementation which easy, fast, accurate, transparent and accountable is not optimal, the licensing services that have not been integrated with SPIPISE and lack of socialization on SPIPISE implementation and training and guidance methods on SPIPISE to domestic and foreign companies that have not been effective. The objective of this study is to know how much and how the implementation of SPIPISE in Lebak. The theory was used in this research is policy implementation theory according to Van Meter and Van Horn is the policy standards and objectives, the resources, the characteristics of the implementers agencies, the disposition of implementers, inter-organizational communication and enforcement activities, and the economic, social and political conditions. This research is descriptive research with used model combination of concurrent embedded with quantitative method as primary method and qualitative method as secondary method. The population of this research is 65 people, and the sample is saturated samples. The selection of informants used purposive sampling. The technique of collecting data used questionnaire, observation, interview and documentation. Data analysis used quantitative and qualitative analysis. The result of this research showed the implementation of SPIPISE policy in Lebak reached 63,47% of the number was expectedist 65%, it included in the unfavorable category quantitatively. The researcher suggestions in this research are increasing of the implementer competence, adding the total of facilities and infrastructures, improving support facilities of SPIPISE and doing a thorough and intensive socialization to all investors.
Keywords: Policy Implementation, Service System, Investment Licensing
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini
penulis buat untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa dengan judul “implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi Dan
Perizinan Investasi Secara Elekrronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak”.
Hasil penulisan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan banyak pihak
yang selalu mendukung penulis baik secara moril maupun materiil. Maka dengan
ketulusan hati dan dalam kesempatan ini pula, penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan
dan bantuan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan
dan rasa hormat serta terima kasih penulis tujukan kepada:
1. Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd, Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
2. Dr. Agus Sjafari, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Rahmawati, M.Si, Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa sekaligus dosen pembimbing akademik
peneliti selama menempuh jenjang S1 di Program Studi Ilmu Administrasi
Negara.
4. Iman Mukhroman, S.Sos, M.Si, Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
vii
5. Kandung Sapto Nugroho, M.Si, Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
6. Listyaningsih, S.Sos., M.Si, Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
7. Riswanda, Ph.D, Sekretaris Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
8. Dr. Dirlanudin, M.Si, Dosen Pembimbing I yang senantiasa meluangkan
waktunya untuk melakukan bimbingan dan memberikan masukan dalam setiap
bimbingan yang dilakukan selama ini.
9. Anis Fuad, M.Si, Dosen Pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktunya
untuk melakukan bimbingan dan memberikan masukan dalam setiap bimbingan
yang dilakukan selama ini.
10. Ibu dan Bapak dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa yang senantiasa memberikan pengajaran yang baik dan ilmu
yang sangat bermanfaat.
11. Rukim, SE., M.Si, Kepala Bidang Data dan Pengaduan Badan Penanaman
Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Lebak yang telah
membantu peneliti dalam mengerjakan tugas skripsi ini.
12. Atep Taupik Siregar, S.Kom, Tenaga IT bidang Penanaman Modal Badan
Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Lebak yang
telah bersedia meluangkan waktunya untuk membantu peneliti menyelesaikan
skripsi ini.
viii
13. Staf Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Staf Perpustakaan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik serta Staf Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang telah banyak membantu peneliti
dalam mengurus segala perijinan, surat-menyurat dan urusan akademik lainnya.
14. Untuk Keluarga saya yang selalu memberikan kasih sayang dan dukungan serta
doa yang selalu mengiringi tiap langkah saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
15. Sahabat terdekat peneliti diantaranya Dodo, Damar, Disur, Fahmy, Restu,
Pradytia, Pangku, Haris, Rafli yang selalu ada dan selalu setia mendukung saya
dalam penulisan skripsi ini.
16. Dan tidak lupa Teman-teman Administrasi Negara Angkatan 2012 yang selalu
berjuang bersama-sama serta saling mendukung satu sama lain dalam
mengerjakan skripsi ini.
Akhirnya penulis tak berhenti mengucapkan syukur kepada Allah SWT,
karena atas ridho-Nya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis
menyadari banyak ditemukan kekurangan dalam penyajian materi. Oleh karena itu
penulis memohon maaf atas kekurangan tersebut. Penulis mengharapkan masukan,
baik kritik maupun saran dari pembaca yang membangun.
Serang, Oktober 2016
Didi Rosadi NIM. 6661121564
ix
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORISINALITAS .........................................................................
LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................
ABSTRAK ...............................................................................................................
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR DIAGRAM ......................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Identifikasi Masalah ....................................................................... 12
1.3 Batasan Masalah ............................................................................. 13
1.4 Rumusan Masalah........................................................................... 13
1.5 Tujuan Penelitian ............................................................................ 14
1.6 Manfaat Penelitian .......................................................................... 14
BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS .. 16
2.1 Landasan Teori ............................................................................... 16
2.1.1 Kebijakan Publik ............................................................................ 17
2.1.2 Implementasi Kebijakan ................................................................. 20
x
2.1.3 Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara
Elektronik (SPIPISE) ...................................................................... 35
2.1.4 Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing ... 40
2.1.5 Pelayanan Perizinan Yang di Layani Menggunakan SPIPISE oleh
BPMPPT Lebak .............................................................................. 43
2.2 Penelitian Terdahulu ....................................................................... 50
2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian ...................................................... 51
2.4 Hipotesis Penelitian ........................................................................ 56
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 57
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ................................................. 57
3.2 Ruang Lingkup Penelitian .............................................................. 60
3.3 Lokasi Penelitian ............................................................................ 61
3.4 Variabel Penelitian ......................................................................... 61
3.4.1 Definisi Konsep .............................................................................. 61
3.4.2 Definisi Operasional ....................................................................... 62
3.5 Instrumen Penelitian ....................................................................... 65
3.5.1 Jenis dan Sumber Data ................................................................... 68
3.5.2 Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 68
3.5.3 Pengukuran Validitas Instrumen .................................................... 73
3.5.4 Pengujian Reliabilitas ..................................................................... 75
3.5.5 Uji Normalitas ................................................................................ 76
3.6 Populasi, Sampel dan Informan Penelitian ..................................... 77
3.6.1 Populasi .......................................................................................... 77
xi
3.6.2 Sampel ............................................................................................ 77
3.6.3 Informan ......................................................................................... 77
3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ............................................ 78
3.7.1 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Kuantitatif ......................... 78
3.7.2 Uji T-test ......................................................................................... 79
3.7.3 Uji Pihak Kanan.............................................................................. 80
3.7.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Kualitatif ........................... 81
3.7.5 Uji Keabsahan Data ........................................................................ 82
3.8 Jadwal Penelitian ............................................................................ 83
BAB IV HASIL PENELITIAN .......................................................................... 85
4.1 Deskripsi Obyek Penelitian ............................................................ 85
4.1.1 Gambaran Umum Kabupaten Lebak .............................................. 85
4.1.2 Sistem Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik
(SPIPISE) di Kabupaten Lebak ...................................................... 88
4.2 Pengujian Persyaratan Statistik ...................................................... 94
4.2.1 Uji Validitas Instrumen .................................................................. 95
4.2.2 Uji Reliabilitas ................................................................................ 97
4.2.3 Uji Normalitas ................................................................................ 99
4.3 Deskripsi Data .............................................................................. 100
4.3.1 Identitas Responden ...................................................................... 101
4.3.2 Analisis Data................................................................................. 104
4.4 Pengujian Hipotesis ...................................................................... 139
4.5 Interpretasi Hasil Penelitian .......................................................... 141
xii
4.6 Pembahasan .................................................................................. 142
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 164
5.1 Simpulan ....................................................................................... 164
5.2 Saran ............................................................................................. 166
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 167
LAMPIRAN ..............................................................................................................
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
TABEL 1 Daftar Pelayanan Perizinan yang Menggunakan SPIPISE ...... 9
TABEL 2.1 Model Implementasi Kebijakan Publik ................................. 33
TABEL 3.1 Kisi-kisi Instrumen Penelitian .............................................. 63
TABEL 3.2 Skor Item-item Instrumen Penelitian ................................... 67
TABEL 3.3 Pedoman Wawancara Penelitian .......................................... 70
TABEL 3.4 Jadwal Penelitian .................................................................. 84
TABEL 4.1 Hasil uji validitas instrumen penelitian ................................ 96
TABEL 4.2 Case Processing Summary .................................................... 99
TABEL 4.3 Reliability Statistics .............................................................. 99
TABEL 4.5 One-Sample Statistics ........................................................... 140
TABEL 4.6 One-Sample Test ................................................................... 140
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
GAMBAR 2.1 Model Implementasi Kebijakan Smith ............................ 32
GAMBAR 2.3 Kerangka Berpikir ............................................................ 55
GAMBAR 3.1 Model concurrent embedded dengan metode kuantitatif
sebagai primer ................................................................. 58
GAMBAR 3.2 Analisis Data Miles & Huberman .................................... 81
GAMBAR 4.1 Ruang Lingkup SPIPISE .................................................. 89
GAMBAR 4.2 Matriks Layanan Subsistem-Subsistem SPIPISE ............. 91
GAMBAR 4.3 Grafik Uji Normalitas ....................................................... 99
xv
DAFTAR DIAGRAM
Halaman
DIAGRAM 4.1 Identitas Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ........... 101
DIAGRAM 4.2 Identitas Responden Berdasarkan Usia ........................... 102
DIAGRAM 4.3 Identitas Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir . 103
DIAGRAM 4.4 Indikator Ukuran dan Tujuan Kebijakan ........................ 105
DIAGRAM 4.5 Indikator Sumber Daya ................................................... 108
DIAGRAM 4.6 Indikator Karakteristik Agen Pelaksana ......................... 111
DIAGRAM 4.7 Indikator Sikap/Kecenderungan (Disposisi) Para Pelaksana
...................................................................................... 113
DIAGRAM 4.8 Indikator Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivtas
Pelaksana ......................................................................... 116
DIAGRAM 4.9 Indikator Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik ....... 119
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN I Surat Ijin Penelitian
LAMPIRAN II Angket/kuesioner dan Pedoman Wawancara
LAMPIRAN III Matriks Hasil Penelitian
LAMPIRAN IV Data Pendukung Penelitian
LAMPIRAN V Dokumentasi Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Investasi memegang peranan penting dalam menggerakkan pertumbuhan
ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Investasi dapat dilakukan oleh pemerintah
melalui anggaran pembiayaan pembangunan dan investasi swasta/masyarakat.
Investasi yang dilaksanakan pemerintah terutama untuk mendorong penciptaan
iklim usaha yang kondusif, penyediaan sarana dan prasarana, serta pemberdayaan
ekonomi rakyat. Sedangkan investasi swasta/masyarakat baik yang berupa
penanaman modal asing maupun penanaman modal dalan negeri, dilaksanakan
terutama untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal menjadi kekuatan
ekonomi riil yang mampu menopang pertumbuhan ekonomi, membuka kesempatan
kerja, serta menunjang pendapatan daerah.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa iklim investasi mencerminkan
sejumlah faktor yang berkaitan dengan lokasi tertentu yang membentuk kesempatan
dan insentif bagi pemilik modal untuk melakukan usaha atau investasi secara
produktif dan berkembang. Lebih konkritnya lagi, iklim usaha atau investasi yang
kondusif adalah iklim yang mendorong seseorang melakukan investasi dengan
biaya dan resiko serendah mungkin di satu sisi, dan bisa menghasilkan keuntungan
jangka panjang setinggi mungkin.
Naiknya peringkat investasi Indonesia ke level investment grade
zone dengan outlook positif dan stabil yang disematkan oleh sejumlah lembaga
2
pemeringkat internasional seperti The Fitch, Moodys, S&P, merupakan modal bagi
kesinambungan pembangunan di masa mendatang. Indonesia kini di mata dunia
menjadi destinasi investasi utama di tengah perlambatan ekonomi global sejak
2008. (Sumber: Investasi dan Perekonomian Indonesia, setkab.go.id, diakses
tanggal 26 Maret 2016).
Menariknya perekonomian nasional di tengah perlambatan ekonomi dunia
mendorong para investor global untuk berinvestasi ke Indonesia. Realisasi investasi
dalam 2 (dua) tahun terakhir tercatat melampaui target yang ditetapkan pemerintah.
Tahun 2012 realisasi investasi sebesar Rp.313 triliun dan tahun 2013 sebesar Rp
398,6 triliun. Pada triwulan 1 -2014, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
menyampaikan data realisasi investasi yang masuk ke Indonesia mencapai Rp 106,6
triliun atau naik 14,6% dari periode yang sama tahun lalu. Pemerintah menargetkan
investasi yang masuk pada tahun 2014 sebesar Rp 456,6 triliun. (Sumber: Investasi
dan Perekonomian Indonesia, setkab.go.id, diakses tanggal 26 Maret 2016).
Menguatnya prospek ekonomi nasional dengan stabilitas yang terjaga,
menjadi faktor yang menarik bagi para investor global untuk berinvestasi ke
Indonesia. Indonesia saat ini menjadi negara destinasi investasi utama yang menarik
di saat sebagian besar negara berkembang lainnya menghadapi kontraksi ekonomi.
Bahkan Jepang untuk pertama kalinya menempatkan Indonesia sebagai destinasi
investasi utama menggeser Tiongkok yang selama ini dijadikan tujuan utama
investor Jepang. (Sumber: Investasi dan Perekonomian Indonesia, setkab.go.id,
diakses tanggal 26 Maret 2016).
3
Dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif maka kualitas
pelayanan perizinan penanaman modal merupakan salah satu faktor yang sangat
menentukan meningkatnya investasi di daerah. Dengan pelayanan yang sederhana
pasti akan memberi nilai tambah dan daya tarik tersendiri bagi para investor untuk
menanamkan modalnya. Pemerintah telah membuat beberapa regulasi dalam
rangka penanaman modal dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal dan beberapa peraturan lainnya berkaitan Penanaman
Modal yang semuanya mengarah kepada upaya peningkatan investasi.
Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan posisi Indonesia dalam
hal kemudahan berinvestasi ini adalah dengan membentuk Pelayanan Terpadu Satu
Pintu (PTSP) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009. Dibentuknya
PTSP ini karena dari hasil survey Badan Koordinasi Penanaman Modal, Indonesia
masih tertinggal jauh dalam hal lamanya waktu yang dibutuhkan untuk sebuah
proses mendapatkan izin usaha dan banyaknya pos (meja) yang harus dilalui oleh
investor.
Dalam rangka mewujudkan peningkatan investasi di Indonesia, proses
pelayanan perizinan penanaman modal semakin efektif dengan dukungan e-
government. Oleh karena itu pemerintah melalui Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) mengembangkan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan
Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di berbagai daerah yang menerapkan PTSP,
salah satunya adalah Kabupaten Lebak, sebagai upaya untuk meningkatkan
sinergitas daerah dengan Pemerintah Pusat dalam hal kemudahan berinvestasi.
4
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor
14 Tahun 2009 tentang Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara
Elektronik bahwa SPIPISE adalah sistem pelayanan Perizinan dan Nonperizinan
yang terintegrasi antara BKPM dengan Kementerian/LPNK yang memiliki
kewenangan Perizinan dan NonPerizinan, Perangkat Daerah Provinsi di bidang
Penanaman Modal (PDPPM) dan Perangkat Daerah Kabupaten/Kota dibidang
Penanaman Modal (PDKPM). SPIPISE bertujuan untuk mewujudkan:
a. Penyelenggaraan PTSP sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang
Penanaman Modal;
b. Pelayanan perizinan dan nonperizinan yang mudah, cepat, tepat,
transparan, dan akuntabel;
c. Integrasi data dan pelayanan perizinan dan nonperizinan;
d. Keselarasan kebijakan dalam pelayanan penanaman modal antarsektor
dan pusat dengan daerah.
Pelayanan SPIPISE ini memudahkan investor untuk melakukan pengurusan
perizinan secara simpel, murah, efisien, dan predictable. SPIPISE juga merupakan
sistem informasi yang dibangun untuk memberikan kemudahan, menciptakan
transparansi dan kepastian hukum bagi investor. Pemohon (investor) dapat
mengurus perizinan mereka dengan perangkat teknologi tanpa perlu bersentuhan
langsung dengan petugas pelayanan. Selain itu, SPIPISE juga memberikan
kemudahan bagi petugas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) untuk melakukan
5
validasi dan mendapatkan data dalam memproses permohonan penanaman modal
yang menjadi kewenangan PTSP.
Pemerintah Kabupaten Lebak melalui Badan Penanaman Modal dan
Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMPPT) telah terkoneksi dengan BKPM dalam
pelayanan perizinan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman
Modal Asing (PMA). Sehingga setiap pelayanan perizinan PMDN dan PMA di
Lebak, sejak tahap pengajuan hingga penerbitan dapat dipantau prosesnya oleh
BKPM secara langsung (real time).
Selama ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak berkomitmen untuk
mendatangkan investor baik domestik maupun mancanegara terlebih dengan
adanya pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asia Tenggara atau MEA. Kehadiran
investor tentu berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan
asli daerah (PAD) dan penyerapan lapangan pekerjaan. Karena itu, Pemerintah
Daerah Kabupaten Lebak terus mengoptimalkan promosi agar Kabupaten Lebak
menjadikan daerah investasi yang kondusif dan aman.
Disamping itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia
(BKPM RI) tahun 2015 menetapkan Kabupaten Lebak sebagai pilot project
pemetaan investasi nasional di Provinsi Banten. Terpilihnya Kabupaten Lebak
tersebut lantaran dalam dua tahun terakhir berhasil meningkatkan investasi, baik
Penanaman Modal Asing (PMA) atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
(Sumber: http://bpmppt.lebakkab.go.id/, diakses tanggal 26 Maret 2016).
Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) yang
dilaporkan oleh perusahanaan baik baik Penanaman Modal Asing (PMA) atau
6
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), realisasi nilai investasi di Kabupaten
Lebak hingga 2016 menembus Rp17,156 triliun melalui Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) izin prinsip Rp1,359 triliun, dan Penanaman Modal Asing (PMA)
izin prinsip Rp9,136 triliun, PMA izin usaha Rp4,459 miliar serta Non Fasilitas Rp
6,660 triliun. (Sumber: http://bpmppt.lebakkab.go.id/, diakses tanggal 26 Maret
2016).
Walaupun kondisi iklim investasi di Kabupaten Lebak terbilang kondusif,
dalam kenyataannya masih ada beberapa permasalahan dalam pengimplementasian
SPIPISE pada perusahaan PMDN dan PMA yang terdapat di Kabupaten Lebak,
yang mana sebagai tantangan yang harus di hadapi untuk memperbaiki kualitas
pelayanan yang akan datang, itu semua terlihat pada penjelasan berikut ini.
Pertama, penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang
penanaman modal yang belum optimal. Menurut Peraturan Presiden Nomor 97
tahun 2014 pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang
selanjutnya disingkat PTSP adalah pelayanan secara terintegrasi dalam satu
kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian
produk pelayanan melalui satu pintu. Berdasarkan hasil observasi lapangan, peneliti
menemukan bahwa pelayanan perizinan di Kabupaten Lebak tidak sepenuhnya
diakomodasi oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu
Kabupaten Lebak, melainkan ada sebagian perizinan yang di layani oleh
dinas/instansi terkait. Salah satunya adalah dinas kelautan dan perikanan Kabupaten
Lebak, dimana berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Ibu Oni Maelani, Spi,
selaku Kasi Konservasi dan Pengendalian Sumber Daya Perikanan mengatakan
7
bahwa dinas kelautan dan perikanan masih memproses pelayanan perizinan yakni
Surat Izin Usaha Perikanan dengan cara manual dan bukan menggunakan perizinan
elektronik. (Sumber: Hasil wawancara tanggal 30 Agustus 2016, pukul 09.30 di
Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lebak). Hal tersebut juga di
konfirmasi oleh Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom, selaku tenaga IT pada bidang
penanaman modal di BPMPPT Kabupaten Lebak yang mengatakan bahwa
pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu di Lebak memang belum optimal, masih
ada pelayanan perizinan yang dikeluarkan oleh dinas teknis terkait, yang mana
seharusnya semua pelayanan perizinan sudah dilayani di BPMPPT Lebak. Oleh
sebab itu, pihak BPMPPT Lebak terus berupaya secara bertahap untuk mewujudkan
pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) di Kabupaten Lebak agar optimal sesuai
dengan aturan yang berlaku. (Sumber: Hasil wawancara tanggal 31 Agustus 2016,
pukul 10.00 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak).
Hal tersebut tentunya menjadi penghambat bagi perkembangan iklim
investasi di Kabupaten Lebak, karena menurut Peraturan Presiden Nomor 97 tahun
2014 pasal 2 berbunyi “PTSP bertujuan: (a) memberikan perlindungan dan
kepastian hukum kepada masyarakat; (b) memperpendek proses pelayanan; (c)
mewujudkan proses pelayanan yang cepat, mudah, murah, transparan, pasti dan
terjangkau; dan (d) mendekatkan dan memberikan pelayanan yang lebih luas
kepada masyarakat”. Perizinan yang masih diurus oleh dinas teknis terkait tentunya
tidak sederhana seperti pelayanan yang diurus oleh BPMPPT yang mana akan
membutuhkan waktu yang lama dan belum lagi penanam modal harus mengurus
izin yang lainnya yang juga memakan waktu.
8
Kedua, belum optimalnya pelaksanaan pelayanan perizinan yang mudah,
cepat, tepat, transparan dan akuntabel. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 97
tahun 2014 pasal 2 poin (c) berbunyi “PTSP bertujuan: mewujudkan proses
pelayanan yang cepat, mudah, murah, transparan, pasti dan terjangkau; serta dalam
Peraturan Kepala BKPM RI Nomor 14 tahun 2009 pasal 3 poin b berbunyi
“SPIPISE, bertujuan untuk mewujudkan pelayanan perizinan dan non perizinan
yang mudah, cepat, tepat, transparan dan akuntabel”. Berdasarkan obeservasi
lapangan, peneliti menemukan bahwa pelayanan perizinan dan non perizinan
menggunakan SPIPISE belum sepenuhnya sesuai dengan tujuan adanya SPIPISE
tersebut, yakni penggunaan SPIPISE belum sepenuhnya diketahui oleh semua
penanam modal yang ada di Kabupaten Lebak, dan juga terbatasnya akses untuk
masyarakat umum dalam melihat informasi dalam SPIPISE. Hal ini berdasarkan
wawancara dengan Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom, selaku tenaga IT pada
bidang penanaman modal di BPMPPT Kabupaten Lebak yang mengatakan bahwa
penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak belum dilakukan secara maksimal, hal ini
dikarenakan penggunaan SPIPISE masih menemui beberapa kendala diantaranya
server dan bandwidth yang sering bermasalah sehingga dalam memproses perizinan
kurang cepat. (Sumber: Hasil wawancara tanggal 10 Mei 2016, pukul 09.30 di
Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak). Selain itu, peneliti juga menemukan bahwa
transparansi dalam hal keterbukaan informasi mengenai adanya penerapan SPIPISE
di Kabupaten Lebak belum terwujud, hal ini dibuktikan bahwa informasi mengenai
SPIPISE belum dimasukkan kedalam website BPMPPT Lebak.
9
Ketiga, masih adanya izin-izin yang belum terintegrasi dengan SPIPISE.
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Lebak
selaku badan yang melayani penanaman modal dan perizinan daerah mulai
terbentuk tahun 2013 dan langsung menerapkan SPIPISE dalam kegiatan
penanaman modalnya. Berikut adalah izin – izin yang dilayani oleh BPMPPT yang
menggunakan SPIPISE:
Tabel 1 Daftar Pelayanan Perizinan yang Menggunakan SPIPISE
No. Perizinan yang dilayani Lamanya Proses 1 Izin Prinsip Penanaman Modal 3 hari kerja 2 Izin Usaha Untuk Berbagai Sektor Usaha 7 hari kerja 3 Izin Prinsip Perluasan Penanaman Modal 3 hari kerja
4 Izin Usaha Perluasan Untuk Berbagai Sektor Usaha 7 hari kerja
5 Izin Prinsip Perbahan Penanaman Modal 5 hari kerja
6 Izin Usaha Perubahan Untuk Berbagai Sektor Usaha 5 hari kerja
7 Izin Prinsip Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal 10 hari kerja
8 Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal Untuk Berbagai Sektor Usaha
7 hari kerja
9 Surat Izin Usaha Perdagangan 3 hari kerja 10 Izin Usaha Industri 6 hari kerja
Sumber: BPMPPT Kabupaten Lebak, 2016.
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa ada 10 pelayanan perizinan
yang menggunakan SPIPISE, namun dalam kenyataannya hanya 6 pelayanan
perizinan yang menggunakan SPIPISE yaitu nomor 1, 3, 4, 5, 7, dan 8, sedangkan
nomor 2,6, 9 dan 10 belum diintegrasikan dengan SPIPISE. Berdasarkan observasi
dari peneliti, untuk nomot 2 dan 6 layanan tersebut belum sepenuhnya di akomodir
oleh BPMPPT melainkan masih dilayani oleh dinas teknis terkait. Seharusnya
10
semua pelayanan izin usaha untuk berbagai sektor usaha dan izin usaha perubahan
untuk berbagai sektor usaha sudah diintegrasikan dengan SPIPISE. Untuk nomor 9
dan 10, menurut Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom, selaku tenaga IT pada bidang
Penanaman Modal di BPMPPT Kabupaten Lebak menjelaskan bahwa seharusnya
semua perizinan dengan nilai investasi diatas 500 juta rupiah sudah diintegarsikan
dengan SPIPISE. Namun dalam kenyataannya, untuk perizinan nomor 9 dan 10,
meskipun nilai investasi di atas 500 juta tetapi masih belum dimasukkan kedalam
SPIPISE, hal ini terjadi karena masih adanya kekurangan-kekurangan fasilitas
pendukung, maka izin tersebut belum diintegrasikan dengan SPIPISE. (Sumber:
Hasil wawancara tanggal 10 Mei 2016, pukul 09.30 di Kantor BPMPPT Kabupaten
Lebak).
Hal ini tentunya belum sesuai dengan Perka BKPM RI Nomor 14 Tahun
2009 pasal 3 poin (c) yang menjelaskan bahwa SPIPISE bertujuan untuk
mewujudkan “integrasi data dan pelayanan perizinan dan non perizinan”. Selain itu
juga hal ini belum sesuai dengan Perka BKPM RI Nomor 5 Tahun 2013 pasal 22
ayat 2 yang berbunyi: “Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan total nilai investasi mulai dari Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) izinnya harus diproses menggunakan SPIPISE”.
Keempat, kurangnya sosialsisasi yang dilakukan mengenai penerapan
SPIPISE di Kabupaten Lebak. Sosialisasi tentang SPIPISE merupakan hal yang
sangat penting dilakukan, karena dalam penerapan SPIPISE pada perusahaan
PMDN dan PMA harus mengetahui betul bahwa BPMPPT Kabupaten Lebak telah
menggunakan pelayanan perizinan dan pelaporan kegiatan penanaman modal
11
secara online melalui SPIPISE tersebut. Menurut Bapak Atep Taupik Siregar,
S.Kom, selaku tenaga IT pada bidang penanaman modal di BPMPPT Kabupaten
Lebak mengatakan bahwa sosialsiasi tentang SPIPISE pada perusahaan PMDN dan
PMA di Kabupaten Lebak memang masih kurang, sosialisasi mengenai SPIPISE
pada perusahaan PMDN dan PMA yang ada di Kabupaten Lebak dilakukan satu
tahun sekali yang pelaksanaannya pada pertengahan tahun padahal BPMPPT
sendiri selaku badan yang berwenang di bidang penanaman modal telah melakukan
usulan untuk sosialisasi dilakukan 3 – 4 kali dalam satu tahun, namun yang di
akomodir oleh BKPM Pusat hanya satu tahun sekali. (Sumber: Hasil wawancara
tanggal 10 Mei 2016, pukul 09.30 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak).
Kelima, belum efektifnya metode pelatihan dan pembinaan tentang
SPIPISE bagi pengguna layanan SPIPISE di Kabupaten Lebak. Pelatihan dan
pembinaan tentang SPIPISE merupakan hal yang sangat penting dilakukan, karena
dalam penerapan SPIPISE pada perusahaan PMDN dan PMA harus memahami
betul tentang cara penggunaan dan pelaporan kegiatan penanaman modal secara
online melalui SPIPISE tersebut. Menurut Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom,
selaku tenaga IT pada bidang penanaman modal di BPMPPT Kabupaten Lebak
mengatakan bahwa pelatihan dan pembinaan tentang SPIPISE pada perusahaan
PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak memang belum efektif, hal ini terjadi karena
pengetahuan perusahaan baik PMDN maupun PMA tentang SPIPISE masih
kurang, sehingga pelatihan dan pembinaan belum efektif. Belum efektifnya
pelatihan dan pembinaan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah
pelatihan dan pembinaan dilakukan secara bersamaan dengan sosialisasi terkait
12
penanaman modal di Kabupaten Lebak dan juga tidak tersedianya sarana dan
prasarana untuk menunjang pelatihan dan pembinaan tersebut. (Sumber: Hasil
wawancara tanggal 10 Mei 2016, pukul 09.30 di Kantor BPMPPT Kabupaten
Lebak).
Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan perusahaan
tersebut tentang bagaimana penggunaan SPIPISE sebagai penunjang untuk
berinvestasi di Kabupaten Lebak. Selain itu juga, hal tersebut belum sesuai dengan
Peraturan Kepala BKPM RI Nomor 14 Tahun 2009 Pasal 10 Ayat 2 poin C yang
berbunyi: “pelatihan penggunaan SPIPISE kepada SDM yang akan menggunakan
SPIPISE”. Pasal 10 ayat 2 poin (c) tersebut menjelaskan bahwa setiap SDM yang
akan menggunakan SPIPISE harus mengikuti pelatihan penggunaan SPIPISE.
Berdasarkan latar belakang tersebut pemerintah yang bersangkutan
diharapkan peka melihat kondisi yang terjadi dilingkungan kegiatan investasi,
permasalahan-permasalahan yang ditemukan dalam penerapan SPIPISE di
Kabupaten Lebak diharapkan dapat diatasi dengan baik, dengan latar belakang yang
telah saya paparkan, maka peneliti tertarik dan berinisiatif guna melakukan
penelitian mengenai “implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan
Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak”.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti mencoba
mengidentifikasikan permasalahan yang terkait dengan Implementasi Kebijakan
Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di
13
Kabupaten Lebak yang mulai diterapkan sejak tahun 2013 memiliki beberapa
permasalahan yang dapat di kerucutkan sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang
penanaman modal yang belum optimal.
2. Belum optimalnya pelaksanaan pelayanan perizinan yang mudah, cepat,
tepat, transparan dan akuntabel.
3. Masih ada perizinan yang belum dintegrasikan dengan SPIPISE.
4. Kurangnya sosialisasi yang dilakukan mengenai penerapan SPIPISE.
5. Metode pelatihan dan pembinaan mengenai SPIPISE kepada
perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak yang belum efektif.
1.3 Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah, peneliti membatasi masalah dan agar
penelitian ini tidak menyimpang dari tujuan dan manfaat. Maka penelitian ini
terfokus pada objek penelitian yaitu implementasi kebijakan Sistem Pelayanan
Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten
Lebak.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah diatas, maka yang
menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Seberapa besar implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan
Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak?
14
2. Bagaimana implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan
Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak?
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan esensi dasar dari sebuah penelitian, dan
menjadi faktor pendorong bagi para peneliti untuk melakukan penelitian.
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui seberapa besar implementasi kebijakan Sistem
Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik
(SPIPISE) di Kabupaten Lebak.
2. Untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan Sistem Pelayanan
Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di
Kabupaten Lebak.
1.6 Manfaat Penelitian
Kegunaan atau manfaat dari penelitian merupakan dampak dari tercapainya
tujuan penelitian. Bila tujuan penelitian dapat tercapai, dan rumusan masalah dapat
terjawab secara akurat, maka penelitian ini dapat menghasilkan informasi yang
berguna atau memiliki kegunaan.
Secara lebih detail, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
1. Secara teoritis
15
a. Untuk mengembangkan teori yang sudah diperoleh selama dalam
perkuliahan.
b. Sebagai bahan pemahaman untuk penelitian berikutnya.
c. Untuk memberikan pengaruh yang positif bagi seluruh mahasiswa,
khususnya peneliti agar termotivasi untuk meningkatkan kualitas belajar
dan memberikan wawasan yang lebih luas lagi.
2. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah
Daerah pada umumnya dan Badan Koordinasi Penanaman Modal
Republik Indonesia khususnya selaku pihak yang berwenang dalam
urusan investasi dan pelayanan perizinan untuk dapat meningkatkan
investasi melalui pelaksanaan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan
Investasi Secara Elektronik (SPIPISE).
16
BAB II
KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori
Teori Teori dalam ilmu administrasi negara mempunyai peranan yang sama
dengan teori yang ada dalam bidang ilmu lainnya, yaitu berfungsi untuk
menjelaskan dan panduan dalam penelitian seperti yang dikemukakan oleh Hoy dan
Miskel (Sugiyono, 2007: 55): “Theory is a set of interrelated concepts,
assumptions, and generalizations that systematically describes and explains
regularities in behaviour in organizations”. Berdasarkan hal tersebut, teori
didefinisikan sebagai perangkat konsep, asumsi dan generalisasi yang dapat
digunakan untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam berbagai
organisasi baik organisasi formal maupun organisasi informal.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dikemukakan ada empat kegunaan teori
di dalam penelitian menurut Sugiyono (2007: 55-56), yaitu:
1. Teori berkenaan dengan konsep, asumsi, dan generalisasi yang logis. 2. Teori berfungsi untuk mengungkapkan, menjelaskan dan memprediksi
perilaku yang memiliki keteraturan. 3. Teori sebagai stimulan dan panduan untuk mengembangkan
pengetahuan. 4. Teori sebagai pisau bedah untuk suatu penelitian.
Deskripsi teori adalah teori-teori yang dianggap paling relevan untuk
menganalisis objek penelitian. Landasan ini dimaksudkan untuk memberi jawaban
atas pertanyaan dalam rumusan masalah sebelumnya. Untuk menjawab rumusan
17
masalah tersebut perlu membedah kembali tentang beberapa konsep yang telah
diklarifikasikan oleh penulis.
Dalam penelitian ini, peneliti mengklarifikasikan teori ke dalam beberapa
teori yaitu, Teori Kebijakan Publik, Teori Implementasi Kebijakan Publik.
Kemudian menjelaskan mengenai deskripsi gambaran Sistem Pelayanan Informasi
dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE).
2.1.1 Kebijakan Publik
Dalam melaksanakan agenda dari suatu pemerintahan, maka diperlukan
sebuah program yang mampu diterapkan dan dilaksanakan dalam kehidupan
bernegara. Agenda tersebut dapat menghasilkan sebuah gagasan yang kemudian
menjadi sebuah program yang dapat dilaksanakan oleh para stakeholder. Pada
akhirnya program itu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang
dimaksud dengan agenda publik tersebut adalah kebijakan publik.
Kebijakan publik tidak serta merta dapat diimplementasikan langsung, tentu
harus ada rumusan-rumusan gagasan yang kemudian di formulasikan ke dalam
suatu tindakan (program). Karena di dalam perumusan tersebut, setiap orang atau
sekelompok orang yang ada di dalam pemerintahan memiliki pandangan dan
pemahaman yang berbeda mengenai kebijakan publik. Begitu pula ketika kebijakan
publik itu dapat dilaksanakan, juga tergantung kepada orang atau sekelompok orang
memahami kebijakan tersebut.
Kata ‘kebijakan’ disepadankan dengan kata kata bahasa inggris ‘policy’
yang dibedakan dari kata kebijaksanaan (wisdom) maupun ‘kebajikan’ (virtues)
(Suharto, 2006: 7). Sedangkan pengertian kebijakan publik itu sendiri menurut
18
Nugroho (2012: 119) mengatakan kebijakan publik adalah segala sesuatu yang
dikerjakan pemerintah, mengapa mereka lakukan dan hasil yang membuat sebuah
kehidupan bersama tampil berbeda. Fredrich (Agustino, 2008: 7) menjelaskan
bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan
oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana
terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan
(kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam
mengatasinya untuk mencapai tujuan yang yang dimaksud atau merealisasikan
suatu sasaran atau maksud tertentu. Nugroho (2012: 143) menjelaskan keputusan
yang dibuat oleh negara, sebagai startegi untuk merealisasikan tujuan dari negara.
Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal,
memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju masyarakat yang dicita-
citakan.
Dengan demikian, kebijakan publik adalah sebuah fakta strategis daripada
sebuah fakta politis ataupun teknis. Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik
sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam
proses kebijakan, khususnya pada proses perumusan. Fokus utama kebijakan publik
dalam negara modern adalah pelayanan publik.
Dalam rangka menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban
menyediakan pelayanan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi, dan
pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan
berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi. Dimana pemerintah yang
baik (good governance) sangat penting dibutuhkan untuk membuat kebijakan-
19
kebijakan dalam rangka pengelolaan sumber daya alam yang adil. Intervensi negara
harus lebih difokuskan pada bidang pelayanan umum, seperti pemberian pelayanan
kesehatan. Adapun definisi kebijakan publik adalah sebagai berikut menurut Chief
J.O (Abdul Wahab, 2005: 5) adalah suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada
tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah tertentu yang saling berkaitan
yang mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.
Kebijakan publik adalah fakta strategis daripada fakta politis ataupun teknis.
Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi-
preferensi politik dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khususnya
pada proses perumusan.
Kebijakan publik merupakan keputusan politis yang dikembangkan oleh
badan dan pejabat pemerintah. Karena itu karakteristik khusus dari kebijakan publik
adalah bahwa keputusan politik tersebut dirumuskan oleh apa yang disebut Easton
(Agustino, 2006: 42) sebagai “otoritas” dalam sistem politik yaitu; “para senior,
kepala tertinggi, eksekutif, legislatif, para hakim, administrator, penasehat raja, dan
sebagainya”.
Dari beberapa pengetian yang telah dijelaskan oleh beberapa pakar
kebijakan publik di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan
serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan
yang mengupayakan baik tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan
tersebut. Kebijakan publik lebih menitikberatkan pada masalah publik (masyarakat)
dan permasalahan lainnya. Keputusan-keputusan dalam kebijakan publik berupaya
untuk mensejahterakan masyarakat.
20
2.1.2 Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan pada prinsipnya merupakan cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya. Lester dan Stewart yang dikutip oleh Winarno
(2007: 101-102), menjelaskan bahwa implementasi kebijakan adalah:
“Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan tehnik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan”.
Definisi tersebut menjelaskan bahwa implementasi kebijakan merupakan
pelaksanaan kegiatan administrasif yang legitimasi hukumnya ada. Pelaksanaan
kebijakan melibatkan berbagai unsur dan diharapkan dapat bekerjasama guna
mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Jadi implementasi itu merupakan
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi, pemerintah dalam
membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut
dapat memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat. Hal tersebut
bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi
sampai merugikan masyarakat.
Pendapat Dwijowijoto (2004: 158) mengemukakan bahwa implementasi
kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai
tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan
publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung
mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi
kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut.
21
Implementasi kebijakan menurut pendapat di atas, tidak lain berkaitan
dengan cara agar kebijakan dapat mencapai tujuan kebijakan tersebut melalui
bentuk program-program serta melalui derivate. Derivate atau turunan dari
kebijakan publik yang dimaksud yaitu melalui proyek intervensi dan kegiatan
intervensi. Berikut ini beberapa definisi implementasi kebijakan menurut Bardach
(Agustino, 2006: 54) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan adalah cukup
untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus
diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan
yang kedengarannya mengenakan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih
yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk
yang memuaskan orang”.
Metter dan Horn (Agustino, 2006: 139) implementasi kebijakan ialah
tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat
atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya
tujuan-tujuan yang digariskan dalam keputusan kebijakan. Mazmanian dan Sabatier
(Agustino, 2006: 139) implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan
kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula
berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau
keputusan badan peradilan. Keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang
ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dan
berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.
Jenkins (Persons, 2006: 463) studi implementasi adalah studi perubahan,
22
bagaimana perubahan terjadi, bagaimana kemungkinan perubahan bisa
dimunculkan.
Dari definisi tersebut diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan
menyangkut (minimal) tiga hal yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan, (2)
adanya aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan dan (3) adanya hasil kegiatan.
Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan
merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kegiatan melakukan suatu
kegiatan.Sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan
tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.
2.1.2.1 Pendekatan Implementasi Kebijakan Publik
Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan, dijelaskan
tentang adanya dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan, yakni:
Pendekatan top down dan bottom up. Dalam bahasa Lester dan Stewart (2008: 108)
istilah itu dinamakan dengan the command and control approach (pendekatan
kontrol dan komando, yang mirip dengan top down approach) dan the market
approach (pendekatan pasar, yang mirip dengan bottom up approach). Masing-
masing pendekatan mengajukan model-model kerangka kerja dalam membentuk
keterkaitan antara kebijakan dan hasilnya.
Sedangkan pendekatan top down, misalnya dapat disebut sebagai
pendekatan yang mendominasi awal perkembangan studi implementasi kebijakan,
walaupun diantara pengikut pendekatan ini terdapat perbedaan-perbedaan,
sehingga meneruskan pendekatan bottom up, namun pada dasarnya mereka bertitik-
23
tolak pada asumsi-asumsi yang sama dalam mengembangkan kerangka analisis
tentang studi implementasi.
Dalam pendekatan top down, implementasi kebijakan yang dilakukan
tersentralisir dan dimulai dari aktor tingkat pusat, dan keputusannya pun diambil
dari tingkat pasar. Pendekatan top down bertitik-tolak dari perspektif bahwa
keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat
kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur-administratur atau birokrat-
birokrat pada level bawahnya. Jadi, pendekatan top down ini adalah sejauhmana
tindakan para pelaksana (administratur dan birokrat) sesuai dengan prosedur serta
tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat kebijakan di tingkat pusat.
Fokus analisis implementasi kebijakan berkisar pada masalah-masalah
pencapaian tujuan formal kebijakan yang telah ditentukan. Hal ini sangat mungkin
terjadi oleh karena street-level-bureaucrats tidak dilibatkan dalam formulasi
kebijakan. Sehingga intinya mengarah pada sejauhmana tindakan para pelaksana
sesuai dengan prosedur dan tujuan kebijakan yang telah digariskan para pembuat
kebijakan di level pusat. Fokus tersebut membawa konsentrasi pada perhatian
terhadap aspek organisasi atau birokrasi sebagai ukuran efesiensi dan efektifitas
pelaksanaan kebijakan.
2.1.2.2 Model Implementasi Kebijakan
Dalam literatur ilmu kebijakan publik, terdapat beberapa model
implementasi kebijakan publik yang banyak dipergunakan. Diataranya beberapa
model implementasi kebijakan menurut George C. Edward III dengan Direct and
Indirect Impact on Implementation, Donald Van Meter dan Carl Van Horn dengan
24
A Model of the Policy Implementation Procces, dan Thomas B. Smith dengan The
Policy Implementation Procces.
Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan elaborasi model
implementasi kebijakan yang mana peneliti memilih teori yang dianggap relevan
dengan materi pembahasan dari objek yang diteliti yaitu teori George C. Edward
III dan Van Metter dan Van Horn. Tujuannya yaitu untuk mengarahkan peneliti
agar lebih fokus terhadap variabel-variabel yang dikaji melalui penelitian ini.
1. Implementasi Kebijakan Menurut George C. Edward III
Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh Edward III
disebut dengan Direct and Indirect Impact on Implementation. Berdasarkan
pandangan Edward III (Agustino, 2008: 149), keberhasilan implementasi
kebijakan ditentukan oleh empat faktor penting, yaitu komunikasi, sumber
daya, disposisi dan struktur birokrasi. Adapun penjelasan mengenai keempat
faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1) Faktor Komunikasi (communication)
Menurut George Edward III (Agustino, 2008: 150); komunikasi merupakan variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif akan telaksana, jika para pembuat keputusan mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan baik bila komunikasi berjalan baik. Terdapat tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukut keberhasilan variabel komunikasi. Edward III (Agustino, 2008: 150-151) mengemukakan tiga variabel tersebut, yaitu:
a. Transmisi. Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi masalah dalam penyaluran komunikasi yaitu adanya salah pengertian (miskomunikasi) yang disebabkan banyaknya tingkatan
25
birokrasi yang harus dilalui dalam proses komunikasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan.
b. Kejelasan. Komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-bureaucrats) harus jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua).
c. Konsistensi. Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau dijalankan. Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.
2) Faktor Sumber Daya (Resourches)
Syarat berjalannya suatu organisasi adalah kepemilikan terhadap sumber daya. Edward III mengkategorikan sumber daya organisasi terdiri dari: “Staff, information, authority, facilities, building, equipment, land and supplies”. Menurut Edward III (Agustino, 2008: 151-152) sumber daya merupakan hal penting dalam implementasi kebijakan yang baik. Indikator-indikator yang digunakan untuk melihat sejauhmana sumber daya mempengaruhi implementasi kebijakan terdiri dari:
a. Staf. Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau pegawai (street-level-bureaucrats). Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi ataupun tidak kompeten dalam bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam implementasi kebijakan.
b. Informasi. Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dan para pelaksan terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan.
c. Wewenang. Pada umumnya wewenang harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan secara efektif. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang diterapkan secara politik. Ketika wewenang tidak ada, maka kekuatan para implementor di mata publik tidak dilegitimasi, sehingga menggagalkan implementasi kebijakan publik. Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersedia, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam implementasi kebijaka; tetapi di sisi
26
lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingan sendiri atau kelompoknya.
d. Fasilitas. Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi, kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (saran dan prasaran) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
3) Faktor sikap pelaksana/disposisi (Dispotition)
Disposisi atau sikap dari pelaksana adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai implementasi kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan, tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias.
Menurut Edward III (Winarno, 2005: 142-143) mengemukakan bahwa “kecenderungan-kecenderungan atau disposisi merupakan salah satu faktor yang mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif”. Jika para pelaksana mempunyai kecenderungan atau sikap positif atau adanya dukungan terhadap implementasi kebijakan maka terdapat kemungkinan yang besar implementasi kebijakan akan terlaksana sesuai dengan keputusan awal. Demikian sebaliknya, jika para pelaksana bersikap negatif atau menolak terhadap implementasi kebijakan karena konflik kepentingan maka implementasi kebijakan akan menghadapi kendala yang serius.
Bentuk penolakan dapat bermacam-macam seperti yang dikemukakan Edward III tentang “zona ketidakacuhan”, dimana para pelaksana kebijakan melalui keleluasaannya (diskresi) dengan cara yang halus menghambat implementasi kebijakan dengan cara mengacuhkan, menunda, dan tindakan penghambat lainnya.
4) Faktor Struktur Birokrasi (Bureaucrtic Structure)
Birokrasi merupakan salah satu institusi yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kegiatan. Keberadaan birokrasi tidak hanya dalam struktur pemerintah, tetapi juga ada dalam organisasi-organisasi swasta, institusi pendidikan dan sebagainya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu birokrasi diciptakan hanya untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu.
Menurut Edward III (Agustino, 2008: 153) yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber-sumber untuk melaksanakan suatu
27
kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak terlaksana karena terdapat kelemahan dalam struktur birokrasi.
Implementasi kebijakan yang bersifat kompleks menuntut adanya kerjasama banyak pihak. Ketika struktur birokrasi tidak kondusif terhadap implementasi suatu kebijakan, maka hal ini akan menyebabkan ketidakefektifan dan menghambat jalannya pelaksanaan kebijakan.
Menurut Edward III (Agustino, 2008: 153) terdapat dua karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi kearah yang lebih baik, adalah melakukan: Standard Operational Procedures (SOP) dan fragmentasi. Standard Operational Procedures (SOP) adalah kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pada tiap harinya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Sedangkan pelaksanaan fragmentasi adalah upaya penyebaran tanggung jawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas pegawai di antara beberapa unit kerja atau beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok yang merugikan bagi keberhasilan implementasi kebijakan.
Faktor-faktor komunikasi, sumberdaya, sikap pelaksana, dan
struktur birokrasi dapat secara langsung mempengaruhi implementasi
kebijakan. Di samping itu secara tidak langsung faktor-faktor tersebut
mempengaruhi implementasi melalui dampak dari masing-masing faktor.
Dengan kata lain, masing-masing faktor tersebut saling pengaruh
mempengaruhi, kemudian secara bersama-sama mempengaruhi
implementasi kebijakan.
Kelebihan dari model ini adalah menggunakan logika berpikir dari
‘atas’ kemudian melakukan pemetaan ke ‘bawah’ untuk melihat
keberhasilan atau kegagalan suatu implementasi kebijakan dan model
28
kebijakan ini memfokuskan perhatian peneliti hanya tertuju pada kebijakan
dan berusaha memperoleh fakta apakah kebijakan tersebut efektif atau tidak
serta peneliti lebih fokus pada kegagalan implementasi kebijakan karena
model implementasi kebijakan ini menjelaskan persoalan-persoalan atau
faktor penghambat implementasi kebijakan. Kekurangan terletak pada
bukti-bukti penting atau realisme dan kemampuan pelaksanaan, karena
model ini tidak memperhitungkan level dan peran aktor lain, sehingga
mengabaikan manusia sebagai target group. Model top-down ini juga
memandang bahwa implementasi kebijakan dapat berjalan secara
mekanistis atau linier, maka penekanannya terpusat pada kepatuhan dan
kontrol efektif.
2. Implementasi Kebijakan Model Van Meter dan Van Horn
Model pendekatan top-down yang dirumuskan oleh Donald Van
Meter dan Carl Van Horn disebut dengan A Model of The Policy
Implementation. Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi suatu
implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk
meraih kinerja implementasi kebijakan publik yang tinggi yang berlangsung
dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa
implementasi kebijakan berjalan secara linier dari keputusan politik yang
tersedia, pelaksana, dan kinerja kebijakan publik.
Ada enam variabel, menurut Van Meter dan Van Horn dalam buku
Agustino (2008: 142) yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik
tersebut, adalah:
29
1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopsi) untuk dilaksanakan dilevel warga, maka agak sulit merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.
2. Sumber Daya Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumbernya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit untuk diharapkan. Tetapi diluar sumber daya manusia, sumber-sumber daya lain yang perlu diperhitungkan juga, ialah: Sumber daya finansial dan sumber daya waktu. Karena mau tidak mau, ketika sumber daya manusia yang berkompeten dan kapabel telah tersedia, maka memang menjadi persoalan pelik untuk merealisasikan apa yang hendak dituju oleh tujuan kebijakan publik. Demikian pula halnya dengan sumber daya waktu. Saat sumber daya manusia giat bekerja dan kucuran dana berjalan dengan baik, tetapi terbentur dengan persoalan waktu yang terlalu ketat, maka hali ini pun menjadi penyebab ketidakberhasilan implementasi kebijakan. Karena ini, sumber daya yang diminta dan dimaksud oleh Van Meter dan Van Horn adalah ketiga bentuk sumber daya tersebut.
3. Karakteristik Agen Pelaksana Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan agen pelaksananya. Misalnya, implementasi kebijakan publik yang berusaha untuk merubah perilaku atau tingkah laku manusia secara radikal, maka agen pelaksana projek itu haruslah berkarakteristik keras dan ketat pada aturan serta sanksi hukum. Sedangkan bila kebijakan publik itu tidak terlalu merubah perilaku dasar manusia, maka dapat saja agen pelaksana yang diturunkan tidak sekeras dan tidak setegas gambaran yang pertama. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan
30
agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.
4. Sikap/Kecenderungan (disposisi) para Pelaksana Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang dilaksanakan bukanlah akan implementor laksanakan adalah kebijakan “dari atas” (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.
5. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi. Dan begitu pula sebaliknya.
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Meter dan Van Horn adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.
Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van
Meter dan Van Horn ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu
pengejewantahan kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan
untuk meraih kinerja implementasi kebijakan yang tinggi yang berlangsung
dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa
implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik,
pelaksana dan kinerja kebijakan publik.
31
Kelebihan dari model implementasi kebijakan Van Meter dan Van
Horn yaitu memberikan skor yang tinggi pada kesederhanaan dan
keterpaduan serta memaksimalkan perilaku berdasarkan pemikiran tentang
sebab akibat dan pertanggung jawaban bersifat singel atau penuh.
Kekurangan terletak pada bukti-bukti penting atau realisme dan
kemampuan pelaksanaan, karena model ini tidak memperhitungkan level
dan peran aktor lain, sehingga mengabaikan manusia sebagai target group.
Model implementasi kebijakan ini termasuk dalam model top-down. Model
top down ini juga memandang bahwa implementasi kebijakan dapat berjalan
secara mekanistis atau linier, maka penekanannya terpusat pada kepatuhan
dan kontrol efektif.
3. Implementasi Kebijakan Model Thomas B. Smith
Menurut Smith (Tachjan, 2006: 38), dalam proses implementasi ada
4 (empat) variabel yang perlu diperhatikan. Model implementasi atau alur
smith tersebut dapat disajikan dibawah ini dan eempat variabel dalam
implementasi kebijakan publik tersebut adalah:
1. Kebijakan yang diidealkan (idealized policy), yakni pola-pola interaksi ideal yang telah mereka definisikan dalam kebijakan yang berusaha untuk diinduksikan;
2. Kelompok sasaran (target groups), yaitu mereka (orang-orang) yang paling langsung dipengaruhi oleh kebijakan dan yang harus mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan;
3. Organisasi pelaksana (implementing organization), yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan;
4. Faktor lingkungan (environmental factor), yakni unsur-unsur dalam lingkungan yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh implementasi kebijakan, seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.
32
Gambar 2.1
Model kebijakan Smith (Tachjan, 2006: 39)
Keempat variabel tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan
merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan berinteraksi secara
timbal balik, oleh karena itu terjadi ketegangan-ketegangan (tensions) yang
bisa menyebabkan tibulnya protes-protes, bahkan aksi fisik, dimana hal ini
menghendaki penegakan institusi-institusi baru untuk mewujudkan sasaran
kebijakan tersebut. Ketegangan-ketegangan itu bisa juga menyebabkan
perubahan-perubahan dalam institusi-institusi lini.
Smith menggunakan model teoritisnya dalam bentuk sistem, dimana
suatu kebijakan sedang diimplementasikan, maka interaksi di dalam dan
diantara keempat faktor tersebut mengakibatkan ketidaksesuaian dan
menimbulkan tekanan atau ketegangan. Ketidaksesuaian, ketegangan dan
tekanan-tekanan tersebut menghasilkan pola-pola interaksi yang akan
menghasilkan pembentukan lembaga-lembaga tertentu, sekaligus dijadikan
33
umpan balik untukmengurangi ketegangan dan dikembalikan ke dalam
matriks dan pola-pola interaksi dari kelembagaan.
Kebaikan model pendekatan bottom-up yang dikemukakan Smith
adalah kebijakan tidak berjalan secara linier dan mekanistik (banyak faktor
yang mempengaruhinya) dan memungkinkan terjadinya negosiasi serta
konsensus antara formulator, implementor dan target group. Kelemahannya
adalah, unit birokrasi terendah sebagai pelaksana kadangkala belum siap
ketika kebijakan diimplementasikan serta masih diragukan kesiapan dan
kemampuannya. Berikut adalah tabel mengenai ketiga model implementasi
kebijakan.
Tabel 2.1 Model Implementasi Kebijakan Publik
Model George Edward III
Model Van Metter dan Van Horn
Model Thomas B. Smith
1. Komunikasi 2. Sumberdaya 3. Disposisi 4. Struktur
Birokrasi
1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan
2. Sumberdaya 3. Karakteristik Agen
Pelaksana 4. Sikap Pelaksana 5. Komunikasi Antarorganisasi 6. Lingkungan Ekonomi, Sosial
dan Politik
1. Kebijakan yang di idealkan
2. Kelompok Sasaran 3. Organisasi
Pelaksana 4. Faktor Lingkungan
Sumber: Peneliti, (2016)
Beberapa model implementasi kebijakan di atas menunjukkan
bahwa tidak ada variabel tunggal dalam suatu kegiatan implementasi
kebijakan. Keberhasilan implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh
banyak faktor, baik menyangkut kebijakan yang diimplementasikan,
pelaksana kebijakan, maupun lingkungan di mana kebijakan tersebut
34
diimplementasikan (kelompok sasaran). Namun demikian, melihat berbagai
model di atas nampaknya faktor lingkungan (kondisi sosial, ekonomi dan
politik) di mana kebijakan itu diimplementasikan, komunikasi
antarorganisasi dan birokrasi pelaksana menjadi faktor dominan bagi
penentu keberhasilan implementasi kebijakan.
Adapun model-model kebijakan yang dipilih oleh peneliti dalam
penelitian ini dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan dari
masing-masing model kebijakan diatas adalah model kebijakan menurut
Van Metter dan Van Horn, karena peneliti menilai teori cocok dan relevan
dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti.
2.1.2.3 Faktor Pendorong Pelaksanaan Kebijakan
Pada tahap implementasi, berbagai kekuatan akan berpengaruh baik faktor
yang mendorong atau memperlancar maupun kekuatan yang menghambat atau
memacetkan pelaksanaan program atau kebijakan, faktor pendorong (facilitating
condition) pelaksana implementasi kebijakan menurut Donald P. Warwick (Wahab,
1997: 67), adalah sebagai berikut:
a. Komitmen pimpinan politik (commitment of political leader), yakni adanya komitmen dari pimpinan pemerintahan dalam pelaksanaan suatu proyek menjadi hal yang utama, karena pimpinan politik adalah yang memiliki kekuasaan di daerah.
b. Kemampuan organisasi (organization capacity); Dalam implementasi program pada hakikatnya dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas yang seharusnya, seperti yang telah ditetapkan atau dibebankan pada salah satu unit organisasi. Kemampuan organisasi terdiri dari 2 (dua) unsur pokok, yaitu kemampuan teknis dan kemampuan dalam menjalin hubungan dengan organisasi lain.
c. Komitmen para pelaksana (the commitment of implementers); Salah satu asumsi yang seringkali keliru adalah jika pimpinan telah siap untuk
35
bergerak maka bawahan akan segera ikut untuk mengerjakan dan melaksanakan sebuah kebijaksanaan yang telah disetujui amat bervariasi dan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, psikologis, dan birokratisme.
d. Dukungan dari kelompok pelaksana (interest group support); Pelaksanaan kebijakan lebih sering mendapat dukungan dari kelompok kepentingan dalam masyarakat, khusunya yang berkaitan langsung dengan kebijakan.
2.1.2.4 Faktor Penghambat (Impending Conditions)
Yang termasuk kondisi-kondisi atau faktor-faktor penghambat menurut
Warwick (Wahab, 1997, 67) antara lain:
a. Banyaknya pemain (aktor) yang terlibat; Semakin banyak pihak yang terlibat dan turut mempengaruhi pelaksanaan, maka semakin rumit komunikasi dalam pengambilan keputusan dan semakin besar kemungkinan terjadi hambatan dalam implementasi proyek tersebut.
b. Terdapatnya komitmen atau loyalitas ganda; Hal ini disebabkan adanaya tugas ganda yang dirangkai dan dijabat oleh suatu organisasi sehingga perhatian pelaksana menjadi terpecah.
c. Kerumitan yang melekat pada program itu sendiri; Hambatan yang biasanya melekat adalah disebabkan oleh faktor-faktor teknis, faktor ekonomi, pengadaan pangan dan faktor perilaku pelaksana dan masyarakat.
d. Jenjang pengambilan keputusan yang terlalu banyak; Semakin banyak jenjang pengambilan keputusan atau memiliki prosedur yang harus disetujui oleh pihak yang berwenang, maka akan memerlukan waktu lama dalam pelaksanaannya.
e. Faktor lain, yaitu waktu dan perubahan kepemimpinan; Perubahan kepeminpinan baik pada tingkat pimpinan pelaksana maupun dalam organisasi di daerah sedikit banyak mempunyai pengaruh terhadap proyek atau program.
2.1.3 Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik
(SPIPISE)
Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik yang
selanjutnya disingkat SPIPISE, adalah Sistem elektronik pelayanan perizinan dan
non perizinan yang terintegrasi antara BKPM dan kementerian/Lembaga
36
Pemerintah Non Departemen yang memiliki kewenangan perizinan dan non
perizinan, PDPPM, dan PDKPM.
Implementasi Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi
Secara Elektronik (SPIPISE) diatur di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Peresiden Nomor 97 Tahun 2014
tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu serta Peraturan
Kepala BKPM nomor 14 Tahun 2009 tentang Sistem Pelayanan dan Perizinan
Investasi secara Elektronik. SPIPISE pada hakikatnya adalah
sistem elektronik pelayanan perizinan investasi yang terintegrasi
antara BKPM dengan daerah (dalam hal ini adalah BPMPPT), sehingga proses
pelayanan perizinan investasi yang diselenggarakan oleh BPMPPT langsung dapat
diakses dan terpantau oleh Pemerintah. Portal SPIPISE adalah piranti lunak
berbasis situs (website) yang merupakan gerbang informasi dan pelayanan
perizinan dan non perizinan penanaman modal di Indonesia.
Cara mengajukan hak akses yaitu Hak akses adalah hak yang diberikan
kepada pengguna SPIPISE untuk memanfaatkan perangkat
pelayanan elektronik tersebut, namun dengan syarat telah memiliki identitas
pengguna dan kode akses. Hak akses dapat diajukan langsung ke BKPM maupun
instansi penanaman modal tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang telah
mengoperasikan SPIPISE. Pengajuannya melalui formulir permohonan hak akses,
disertai persyaratan:
1. Dokumen perusahaan yang terdiri dari rekaman Akta Perusahaan yang
terbaru serta rekaman pengesahan Akta Perusahaan tersebut oleh
37
Kementerian Hukum dan HAM atau pengadilan atau Kementerian
Koperasi dan UKM;
2. Dokumen pimpinan (penanggung jawab) perusahaan, berupa rekaman
tanda pengenal pemohon (KTP atau paspor).
Jika pemohon tidak dapat mengajukan sendiri permohonannya, ia dapat
menguasakan kepada pihak lain dengan menyertakan surat kuasa resmi. Surat kuasa
harus bermaterai cukup dan dilengkapi identitas diri yang jelas dari penerima kuasa.
Setelah formulir Permohonan Hak Akses diisi dengan baik dan benar (dan telah
ditandatangani di atas materai yang cukup), berkas permohonan (yang dilengkapi
dokumen yang diperlukan) langsung disampaikan kepada BKPM atau instansi
penanaman modal provinsi atau kabupaten/kota yang dimaksud. Dalam waktu 2
(dua) jam setelah berkas diterima dengan benar dan lengkap, hak akses akan
diberikan oleh petugas PTSP disertai pemberian akun investor.
Penanam modal wajib mengganti kode akses dalam waktu 1 (satu) hari
setelah hak akses diberikan. Ini agar kode akses yang dimilikinya tidak diketahui
pihak lain yang tidak berkepentingan. Jika dalam waktu sehari penanam modal
tidak mengganti kode aksesnya, SPIPISE akan menghapus hak akses tersebut
secara otomatis. Jika ingin mengalihkan hak akses ke instansi penanaman
modal daerah lainnya, investor dapat mengajukan perubahan secara langsung ke
instansi yang menerbitkan hak akses tersebut.
SPIPISE memiliki 3 (tiga) menu utama, yakni: Informasi Penanaman
Modal, Pelayanan Penanaman Modal dan Pendukung. Pada menu Informasi
Penanaman Modal dapat diakses :
38
1. Peraturan perundang-undangan penanaman modal;
2. Potensi dan peluang penanaman modal;
3. Daftar bidang usaha tertutup dan daftar bidang usaha yang terbuka
dengan persyaratan;
4. Jenis, tata cara proses permohonan, biaya dan waktu pelayanan
perizinan dan non-perizinan;
5. Tata cara pencabutan perizinan dan non-perizinan;
6. Tata cara penyampaian laporan kegiatan penanaman modal;
7. Tata cara pengaduan terhadap layanan penanaman modal;
8. Data referensi yang digunakan dalam layanan perizinan dan non-
perizinan penanaman modal;
9. Data perkembangan penanaman modal, kawasan industri, harga utilitas,
upah dan tanah;
10. Informasi perjanjian internasional di bidang penanaman modal;
Pada menu Pelayanan Penanaman Modal, investor disuguhi informasi tentang:
1. Pelayanan perizinan dan nonperizinan;
2. Pelayanan penyampaian LKPM;
3. Pelayanan pencabutan serta pembatalan perizinan dan nonperizinan;
4. Pelayanan pengenaan dan pembatalan sanksi;
5. Aplikasi antar-muka antara SPIPISE dan sistem pada instansi teknis
serta intansi terkait lainnya;
6. Penelusuran proses pelayanan permohonan perizinan dan non-
perizinan;
39
7. Jejak audit (audit trail).
Pada menu Pendukung, informasi yang tersaji berupa:
1. Pengaturan penggunaan jaringan elektronik;
2. Pengelolaan keamanan sistem elektronik dan jaringan elektronik;
3. Pengelolaan informasi yang ditampilkan National Single Window for
Investment (NSWi);
4. Pengaduan terhadap pelayanan perizinan dan non-perizinan dan
masalah dalam penggunaan SPIPISE;
5. Pelaporan perkembangan penanaman modal dan perangkat analisis
pengambilan keputusan yang terkait dengan penanaman modal;
6. Pengelolaan pengetahuan sebagai pendukung analisis dalam
pengambilan putusan pengembangan kebijakan penanaman modal;
7. Penyediaan panduan penggunaan SPIPISE.
Adapun maksud dan tujuan SPIPISE adalah untuk mengatur penanam
modal, penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu di bidang penanaman modal,
serta instansi teknis dalam mengajukan permohonan, atau penyelenggaraan
perizinan dan non perizinan dengan SPIPISE. SPIPISE bertujuan untuk
mewujudkan :
1. Penyelenggaraan PTSP sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang
Penanaman Modal;
2. Integrasi data dan pelayanan perizinan dan nonperizinan;
40
3. Pelayanan perizinan dan nonperizinan yang mudah, cepat, tepat,
transparan, dan akuntabel;
4. Keselarasan kebijakan dalam pelayanan penanaman modal antarsektor
dan pusat dengan daerah.
2.1.4 Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing
Penanaman Modal Dalam Negeri atau (PMDN) adalah kegiatan menanam
modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang
dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam
negeri. Penanam modal Dalam Negeri dapat dilakukan oleh perseorangan WNI,
badan usaha Negeri, dan/atau pemerintah Negeri yang melakukan penanaman
modal di wilayah negara Republik Indonesia. Kegiatan usaha usaha atau jenis usaha
terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha
yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan dan batasan kepemilikan
modal Negeri atas bidang usaha perusahaan diatur di dalam Peraturan Presiden No.
36 Tahun 2010 Tentang Perubahan Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang
Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (Sumber:
https://id.wikipedia.org, diakses April 2016)..
Lebih lanjut mengenai pengertian, Penanaman Modal Dalam Negeri
(selanjutnya disebut sebagai “PMDN”) berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UUPM”), yaitu kegiatan
menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia
yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal
dalam negeri. Pengertian dari penanam modal dalam negeri adalah perseorangan
41
warga Negara Indonesia, badan usaha Indonesia, Negara Republik Indonesia, atau
daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah Negara Republik Indonesia.
Badan usaha Indonesia yang dimaksudkan disini dapat berbentuk perseroan terbatas
(PT) (Sumber: https://id.wikipedia.org, diakses April 2016).
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UUPM, dijelaskan bahwa PMDN dapat
dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan
hukum, atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Pasal 5 ayat (3) UUPM lebih lanjut menjelaskan, penanam modal dalam
negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk PT dilakukan
dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;
b. Membeli saham; dan
c. Melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Berdasarkan Pasal 25 ayat (4) UUPM, perusahaan penanam modal,
termasuk PMDN, yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang
memiliki kewenangan. Izin sebagaimana disebutkan sebelumnya diperoleh melalui
pelayanan terpadu satu pintu. Pelayananan terpadu satu pintu ini bertujuan untuk
membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas
fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal, baik penanaman modal dalam
negeri maupun penanaman modal asing.
42
Perbedaan mendasar pada perusahaan PMDN dan PT biasa yaitu PMDN
mendapatkan fasilitas dari pemerintah Indonesia dalam menjalankan usahanya
dimana fasilitas tersebut tidak didapatkan oleh PT biasa. Berdasarkan Pasal 18 ayat
(2) UUPM dijelaskan bahwa fasilitas penanaman modal tersebut dapat diberikan
kepada penanaman modal yang:
a. Melakukan perluasan usaha; atau
b. Melakukan penanaman modal baru.
Lebih lanjut, Pasal 18 ayat (4) UUPM menjelaskan bentuk fasilitas yang
diberikan oleh Pemerintah kepada penanaman modal, termasuk di dalamnya
PMDN, dapat berupa:
a. Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai
tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan
dalam waktu tertentu;
b. Pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal,
mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat
diproduksi di dalam negeri;
c. Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan
penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan
persyaratan tertentu;
d. Pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor
barang modal atau mesin atau peralatn untuk keperluan produksi yang
belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu;
e. Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan
43
f. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha
tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.
Penanaman Modal Asing atau (PMA) merupakan bentuk investasi dengan
jalan membangun, membeli total atau mengakui sisi perusahaan. Penanaman Modal
di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang
Penanaman Modal. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Penanaman
Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah
Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik menggunakan
modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam
negeri (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal).
Penanaman Modal Asing (PMA) lebih banyak mempunyai kelebihan diantaranya
sifatnya jangka panjang, banyak memberikan adil dalam alih teknologi, alih
keterampilan manajemen, membuka lapangan kerja baru. Lapangan kerja ini,
sangat penting bagi negara sedang berkembang mengingat terbatasnya kemampuan
pemerintah untuk penyediaan lapangan kerja (Sumber: https://id.wikipedia.org,
diakses April 2016). Adapun jumlah perusahaan PMDN dan PMA yang ada di
Kabupaten Lebak adalah 65 perusahaan, hal ini dilihat berdasarkan perusahaan
yang memiliki izin prinsip. Adapun jumlah perusahaan PMDN yaitu sebanyak 42
dan PMA sebanyak 23. (Sumber: bkpm.go.id, diakses tanggal 4 Mei 2016).
2.1.5 Pelayanan Perizinan Yang di Layani Menggunakan SPIPISE oleh
BPMPPT Lebak
Dalam pelaksanaan kegiatan penanaman di Kabupaten Lebak, tidak semua
pelayanan perizinan di layani menggunakan SPIPISE, hanya ada beberapa
44
perlayanan perizinan yang memang dilayanai oleh SPIPISE sesuai dengan
Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor
14 tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara Izin Prinsip Penanaman Modal dan
Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor
15 tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan
Penanaman Modal. Adapun pelayanan perizinan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Izin Prinsip Penanaman Modal, yang selanjutnya disebut Izin Prinsip,
adalah Izin yang wajib dimiliki dalam rangka memulai usaha atau
dengan kata lain izin prinsip adalah izin yang wajib dimiliki dalam
memulai kegiatan usaha baik dalam kegiatan Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Kegiatan
yang mencakup memulai usaha adapun sebagai berikut:
a) Pendirian usaha baru baru, baik dalam rangka PMDN maupun
PMA;
b) Perubahan status menjadi PMA, sebagai akibat dari masuknya
modal asing dalam kepemilikan seluruh/sebagian modal
perseroan dalam badan hukum, atau
c) Perubahan status menjadi PMDN, sebagai akibat dari terjadinya
perubahan kepemilikan modal perseroan yang sebelumnya
terdapat modal asing, menjadi seluruhnya modal dalam negeri.
Terdapat beberapa jenis izin prinsip, sebagaimana yang diuraikan di
bawah ini:
45
a) Izin prinsip baru, yakni izin pertama kali sebelum memulai
kegiatan usaha;
b) Izin prinsip perluasan, yakni izin sebelum melakukan kegiatan
ekspansi perusahaan;
c) Izin prinsip perubahan, yakni izin sebelum melakukan
perubahan rencana investasi atau realisasinya;
d) Izin prinsip penggabungan (merger), yakni izin sebelum
melakukan penggabungan 2 perusahaan atau lebih.
Perizinan sebagaimana yang dimaksud di atas diajukan kepada
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pusat (PTSP) di BKPM, Badan Penanaman
Modal PTSP (BPMPTSP) Provinsi, Kabupaten/Kota, PTSP Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB), dan PTSP Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK).
1) Ketentuan Nilai Investasi dan Pemodalan
PMA dalam memperoleh izin prinsip wajib melaksanakan ketentuan
persyaratan nilai investasi dan permodalan, sebagai berikut:
a) Total nilai investasi lebih besar dari Rp 10.000.000.000 (sepuluh
miliar Rupiah), di luar tanah dan bangunan;
b) Untuk proyek perluasan satu bidang usaha dalam satu kelompok
usaha berdasarkan Klasifikasi Baku Usaha Indonesia (“KBLI”)
di lokasi yang sama, dengan ketentuan akumulasi nilai investasi
atas seluruh proyek di lokasi tersebut mencapai lebih dari Rp
10.000.000.000 (sepuluh miliar Rupiah) di luar tanah dan
46
bangunan, maka nilai investasi diperkenankan kurang dari Rp
10.000.000.000 (sepuluh miliar Rupiah);
c) Untuk perluasan satu atau lebih bidang usaha dalam sub
golongan usaha berdasarkan KBLI, yang tidak mendapatkan
fasilitas di luar sektor industri, di satu lokasi dalam satu
kabupaten/kota maka nilai investasi untuk seluruh bidang usaha
lebih besar dari Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar Rupiah)
diluar tanah dan bangunan;
d) Nilai modal ditempatkan sama dengan modal disetor minimal Rp
2.500.000.000 (dua miliar lima ratus juta Rupiah);
e) Penyertaan dalam modal perseroan, untuk masing-masing
pemegang saham minimal Rp 10.000.000 (sepuluh juta Rupiah)
dan presentase kepemilikan saham dihitung berdasarkan nilai
nominal saham.
Perusahaan PMA yang memiliki izin prinsip sebelum peraturan ini
berlaku dengan nilai modal disetor kurang dari Rp 2.500.000.000 (dua
miliar lima ratus juta Rupiah), yang akan mengajukan permohonan untuk
(i) perpanjangan jangka waktu penyelesaian proyek; atau (ii) izin prinsip
perluasan, wajib menyesuaikan penyertaan dalam modal perseroan minimal
Rp 2.500.000.000 (dua miliar lima ratus juta Rupiah).
Penanam modal dilarang membuat perjanjian dan/atau penyertaan
yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas
adalah untuk dan atas nama orang lain.
47
2) Masa Berlaku Izin Prinsip
Masa berlaku izin prinsip sama dengan jangka waktu penyelesaian
proyek yang ditetapkan dalam izin prinsip. Jangka waktu tersebut diberikan
satu sampai lima tahun tergantung karakteristik bidang usahanya. Apabila
jangka waktu tersebut yang ditetapkan dalam izin prinsip telah habis masa
berlakunya dan proyek tersebut belum selesai, maka perusahaan tidak dapat
mengajukan permohonan perizinan dan non perizinan lainnya. Sehingga
apabila perusahaan belum menyelesaikan proyek sesuai dalam izin prinsip,
perusahaan wajib mengajukan perpanjangan jangka waktu penyelesaian
proyek selambat-lambatnya 30 hari kerja sebelum berakhirnya jangka
waktu penyelesaian proyek yang ditetapkan dalam izin prinsip tersebut.
Untuk jangka waktu penyelesaian proyek dalam izin prinsip yang
telah habis masa berlakunya dan perusahaan tidak memperpanjang atau
terlambat dalam mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu
penyelesaian proyek tersebut, maka perusahaan akan dikenakan sanksi
administrasi berupa surat peringatan dan ditindaklanjuti oleh BKPM
mengenai proyek yang tidak diselesaikan tepat waktu. Lebih lanjut, apabila
hasil dari tindak lanjut tersebut perusahaan tidak dapat menyelesaikan
proyek sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dan terlambat dalam
memperpanjang jangka waktu penyelesaian proyek tersebut maka yang
dapat dilakukan perusahaan adalah mengajukan permohonan izin prinsip
baru, seperti diatur dalam Perka 14/2015, apabila perpanjangan waktu
penyelesaian proyek diajukan setelah berakhirnya masa berlaku jangka
48
waktu penyelesaian proyek maka permohonan perpanjangan tersebut tidak
dapat diproses dan wajib mengajukan permohonan izin prinsip baru.
3) Ketentuan Divestasi
Kewajiban Perusahaan PMA untuk divestasi sebelum berlakunya
Perka BKPM 14/2015 tetap mengikat dan harus dilaksanakan dengan
minimal nominal kepemilikan saham sebesar Rp 10.000.000 (sepuluh juta
Rupiah). Apabila kewajiban divestasinya telah jatuh tempo dan Perusahaan
PMA belum mendapatkan calon penanam modal dalam negeri, maka ia
dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu. Setelah
mendapat persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM, saham peserta
Indonesia akibat pelaksanakaan divestasi dapat dijual kembali kepada
perseorangan warga Indonesia/warga asing/badan usaha Indonesia/badan
usaha asing.
Dalam peraturan yang sebelumnya ketentuan minimal nominal
kepemilikan saham tidak diatur.
4) Percepatan Izin Investasi
Perka BKPM 14/2015 mengatur hal baru yaitu penerbitan izin
prinsip yang disebut izin investasi. Izin ini dapat diterbitkan hanya dengan
waktu 3 jam. Ketentuan untuk mendapatkan percepatan izin investasi
tersebut adalah (i) nilai investasi minimal Rp 100.000.000.000 (seratus
miliar Rupiah), dan/atau (ii) penyerapan tenaga kerja Indonesia minimal
1.000 (seribu) orang. Khusus untuk izin investasi yang berlokasi di kawasan
industri tertentu dan telah disetujui oleh Kepala BKPM dapat memulai
49
konstruksi tanpa terlebih dahulu memiliki izin, seperti Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) dan izin lingkungan, namun izin tersebut harus diurus
bersamaan dengan pelaksanaan konstruksi.
2. Izin Prinsip Perluasan Penanaman Modal, yang selanjutnya disebut Izin
Prinsip Perluasan, adalah Izin Prinsip yang wajib dimiliki perusahaan
untuk memulai kegiatan dalam rangka perluasan usaha.
3. Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal, yang selanjutnya disebut Izin
Prinsip Perubahan, adalah Izin Prinsip yang wajib dimiliki perusahaan,
dalam rangka legalisasi perubahan rencana atau realisasi Penanaman
Modal yang telah ditetapkan sebelumnya.
4. Izin Prinsip Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal, yang
selanjutnya disebut Izin Prinsip Penggabungan Perusahaan, adalah Izin
Prinsip yang wajib dimiliki perusahaan hasil penggabungan, untuk
melaksanakan bidang usaha perusahaan hasil penggabungan.
5. Izin Usaha adalah izin yang wajib dimiliki perusahaan untuk memulai
pelaksanaan kegiatan produksi/operasi yang menghasilkan barang atau
jasa, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
6. Izin Usaha Perluasan adalah izin yang wajib dimiliki perusahaan untuk
memulai pelaksanaan kegiatan produksi/operasi yang menghasilkan
barang atau jasa atas pelaksanaan perluasan usaha, kecuali ditentukan
lain oleh peraturan perundang-undangan.
50
7. Izin Perluasan adalah Izin Usaha yang wajib dimiliki perusahaan untuk
memulai pelaksanaan kegiatan produksi yang menghasilkan barang atau
jasa atas pelaksanaan perluasan usaha, khusus untuk sektor industri.
8. Izin Usaha Perubahan adalah izin yang wajib dimiliki perusahaan,
dalam rangka legalisasi terhadap perubahan realisasi Penanaman Modal
yang telah ditetapkan sebelumnya.
9. Izin Usaha Penggabungan Perusahaan adalah izin yang wajib dimiliki
perusahaan hasil penggabungan dalam rangka memulai pelaksanaan
kegiatan produksi/operasi untuk menghasilkan barang atau jasa.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian ini juga pernah diangkat sebagai topik penelitian oleh beberapa
peneliti sebelumnya. Maka peneliti juga diharuskan untuk mempelajari penelitian-
penelitian terdahulu atau sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi
peneliti dalam melakukan penelitian ini.
Adapun penelitian sebelumnya yang memang dinilai serupa oleh peneliti
yaitu penelitian skripsi tentang Implementasi Strategi Sistem Manajemen Informasi
Objek Pajak (SISMIOP) Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pandeglang oleh
Ela Kholilah (2010). Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian
tersebut adalah kualitatif. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive
sampling dan penentuan sampel adalah snowball sampling. Teknik analisis data
menggunakan teknik analisis interaktif Miles dan Huberman. Hasil penelitian
dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa Implementasi Strategi SISMIOP
51
PBB Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pandeglang kurang optimal karena
masih banyak hambatan-hambatan dalam pelaksanaanya.
Sedangkan penelitian kedua yang dijadikan acuan dalam penelitian ini
adalah skripsi tentang “Implementasi Pemanfaatan Sistem Aplikasi Pelayanan
Kepegawaian (SAPK) di Direktorat Kepangkatan dan Mutasi Badan Kepegawaian
Negara” oleh Rizki Fani Fanatandayu (2014). Metodologi dalam penelitian tersebut
adalah kuantitatif deskriptif. Responden yang dijadikan populasinya adalah 60
orang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Implementasi Pemanfaatan Sistem
Aplikasi Pelayanan Kepegawaian (SAPK) di Direktorat Kepangkatan dan Mutasi
Badan Kepegawaian Negara masih rendah karena hasil perhitungannya diperoleh
64.54% dari angka minimal 65%.
Persamaan penelitian ini dengan kedua penelitian tersebut adalah sama-
sama meneliti tentang implementasi sistem aplikasi yang diterapkan di lembaga
pemerintahan. Selain itu, metodologi yang digunakan dalam penelitian ini juga
sama dengan penelitian kedua yaitu kuantitatif deskriptif. Sementara itu,
perbedaannya adalah lokasi penelitian, sistem aplikasi yang digunakan, dan juga
responden yang menjadi populasi.
2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian
Menurut Sugiyono (2011:60) kerangka berpikir adalah sketsa tentang
hubungan antar variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan
berdasarkan teori-teori yang telah dideskripsikan, selanjutnya dianalisis secara
kritis dan sistematis sehingga menghasilkan sintesa tentang hubungan antar variabel
yang diteliti.
52
Penelitian tentang Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan
Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak menggunakan model
kebijakan yang diungkapkan oleh Van Metter dan Van Horn (Agustino, 2008: 142).
Model teori ini menurut peneliti cocok dan sangat berhubungan dengan masalah
yang akan diteliti. Selain itu, Model implementasi kebijakan ini termasuk dalam
model top-down. Model top down ini juga memandang bahwa implementasi
kebijakan dapat berjalan secara mekanistis atau linier, maka penekanannya terpusat
pada kepatuhan dan kontrol efektif. Adapun dalam melakukan penilaiannya dengan
mengacu pada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau
kegagalan implementasi suatu kebijakan antara lain:
a. Ukuran dan tujuan kebijakan. Kinerja implementasi kebijakan dapat
diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan
dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang mengada di
level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan
kebijakan terlalu ideal untuk dilaksanakan dilevel warga, maka agak
sulit merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan
berhasil.
b. Sumber daya. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam
menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap
tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumber
daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang
diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Tetapi
diluar sumber daya manusia, sumber-sumber daya lain yang perlu
53
diperhitungkan juga, ialah: Sumber daya finansial dan sumber daya
waktu.
c. Karakteristik agen pelaksana. Pusat perhatian pada agen pelaksana
meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat
pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena
kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi
oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan agen pelaksananya.
d. Sikap/kecenderungan (disposisi) para pelaksana. Sikap penerimaan atau
penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi
keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal
ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan
bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan
dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang
dilaksanakan bukanlah akan implementor laksanakan adalah kebijakan
“dari atas” (top down) yang sangat mungkin para pengambil
keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu
menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin
selesaikan.
e. Komunikasi antarorganisasi dan aktivitas pelaksana. Koordinasi
merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan
publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang
terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-
kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.
54
f. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik. Hal terakhir yang perlu
diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh
mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan
publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif
dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi
kebijakan.
Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini, peneliti gambarkan
melalui gambaran berdasarkan latar belakang permasalahan yang peneliti bahas
sebelumnya, teori yang digunakan yang juga telah peneliti paparkan di atas dan
output atau keluaran serta hasil yang diharapkan atau outcome dapat di gambarkan
dalam gambar berikut ini:
55
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
Permasalahan yang terjadi: 1. Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(PTSP) di bidang penanaman modal yang belum
optimal.
2. Belum optimalnya pelaksanaan pelayanan
perizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan
dan akuntabel.
3. Masih ada pelayanan perizinan yang belum
dintegrasikan dengan SPIPISE.
4. Kurangnya sosialisasi yang dilakukan mengenai
penerapan SPIPISE.
5. Metode pelatihan dan pembinaan mengenai
SPIPISE kepada perusahaan PMDN dan PMA
di Kabupaten Lebak yang belum efektif.
1. Ukuran dan tujuan kebijakan.
2. Sumber Daya.
3. Karakteristik agen pelaksana.
4. Sikap/kecenderungan (disposisi) para
pelaksana.
5. Komunikasi antarorganisasi dan
aktivitas pelaksana.
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan
Politik.
Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi
Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak
Keluaran (Output)
Pengetahuan tentang seberapa besar dan bagaimana implementasi kebijakan Sistem Pelayanan
Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak.
Implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik
berjalan dengan efektif dan efisien.
Model Implementasi Kebijakan Van Metter dan Van Horn (Agustino, 2008: 142
56
2.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan salam bentuk
kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban karena jawaban yang
diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-
fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat
dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum
jawaban yang empirik (Sugiyono, 2011: 64). Sedangkan dalam Hipotesis ini di
gunakan Hipotesis Deskriptif, masih di kemukakan oleh Sugiyono (2011:67),
bahwa Hipotesis deskriptif merupakan jawaban sementara terhadap masalah
deskriptif, yaitu yang berkenaan dengan variabel mandiri. Maka hipotesis yang
dipakai adalah dimana peneliti memprediksikan hipotesis paling tinggi sebesar 65%
dengan penjelasan sebagai berikut:
H0 : µ ≤ 65%
H0 : “implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan
Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak kurang dari atau
sama dengan 65%”.
Ha : µ ˃ 65 %
Ha : “implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan
Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak lebih dari 65%”.
57
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut
terdapat empat kata kunci yang perlu diperhatikan, yaitu cara ilmiah, data, tujuan,
dan kegunaan. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri
keilmuan, yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Rasional berarti kegiatan
penelitian itu dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga terjangkau
oleh penalaran manusia. Empiris berarti cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati
oleh indera manusia. Sistematis artinya proses yang digunakan dalam penelitian itu
menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis (Sugiyono, 2011: 2).
Desain dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kombinasi
(mixed methods). Menurut Sugiyono (2012: 404) metode penelitian kombinasi
adalah suatu metode penelitian yang mengkombinasikan atau menggabungkan
antara metode kuantitatif dan metode kualitatif untuk digunakan secara bersama-
sama dalam suatu kegiatan penelitian, sehingga diperoleh data yang lebih
komprehensif, valid, reliabel, dan obyektif. Adapun metode kombinasi yang
digunakan adalah model concurrent embedded (campuran tidak berimbang), yang
menurut Sugiyono (2012: 537) dikatakan metode penelitian kombinasi model
concurrent embedded adalah metode penelitian yang menggabungkan antara
metode penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan cara mencampur kedua metode
58
tersebut secara tidak seimbang. Dalam satu kegiatan penelitian mungkin 70%
menggunakan metode kuantitatif dan 30% metode kualitatif atau sebaliknya.
Metode tersebut digunakan secara bersama-sama, dalam waktu yang sama, tetapi
independen untuk menjawab rumusan masalah yang sejenis. Metode penelitian ini
lebih menarik karena peneliti dapat mengumpulkan dua macam data (kuantitatif
dan kualitatif atau sebaliknya) secara simultan, dalam satu tahap pengumpulan data.
Dengan demikian data yang diperoleh menjadi lengkap dan lebih akurat. Berikut
adalah gambar mengena model concurrent embedded:
Gambar 3.1 Model concurrent embedded dengan metode kuantitatif sebagai primer
Sumber: Sugiyono (2012, 538)
Berdasarkan gambar di atas, dijelaskan bahwa penelitian berangkat dari
permasalahan-permasalahan yang dikemukakan dengan fakta, selanjutnya dibuat
rumusan masalah yang berbentuk pertanyaan penelitian. Setelah masalah
dirumuskan, maka selanjutnya peneliti memilih teori yang dapat digunakan untuk
memperjelas masalah, merumuskan hipotesis dan menyusun instrumen penelitian.
Setelah instrumen disusun, maka selanjutnya diuji validitas, reliabilitas, dan
normalitas. Setelah instrumen valid, reliabel, dan normal, maka selanjutnya
59
dilakukan pengumpulan data kuantitatif (primer) dan kualitatif (sekunder) secara
bersamaan. Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan
instrumen, dan pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan observasi dan
wawancara. Data kualitatif diperoleh dengan sampel purposive sampling. Data
yang telah terkumpul kemudian di analisis untuk digabungkan atau dibandingkan,
sehingga ditemukan data kualitatif mana yang memperkuat, memperluas dan
menggugurkan data kuantitatif. Data kuantitatif yang bersifat deskriptif atau
pengujian hasil hipotesis berikut data kualitatif sebagai pelengkapnya selanjutnya
disajikan dalam bentuk tabel atau grafik dan dilengkapi dengan data kualitatif, dan
langkah terakhir adalah kesimpulan dan saran.
Dalam penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif, digunakan
metode penelitian kombinasi model concurrent embedded dengan metode
primernya adalah metode kuantitatif dan metode sekundernya adalah metode
kualitatif. Hal ini bertujuan untuk mengukur berapa presentase dan bagaimana
implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara
Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak. Menurut Sugiyono (2011 : 13)
penelitian deskriptif yaitu, penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai
variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat
perbandingan, atau menghubungkan dengan variabel yang lain. Berdasarkan teori
tersebut, penelitian deskriptif kuantitatif, merupakan data yang diperoleh dari
sampel populasi penelitian dianalisis sesuai dengan metode statistik yang
digunakan.
60
Penelitian kualitatif sendiri bersifat deskriptif. Langkah kerja untuk
mendeskripsikan suatu obyek, fenomena, atau setting social tertuang dalam suatu
tulisan yang bersifat naratif. Artinya, data, fakta yang dihimpun berbentuk kata atau
gambar daripada angka-angka. Mendeskripsikan sesuatu berarti menggambarkan
apa, mengapa dan bagaimana suatu kejadian terjadi. Dalam menuangkan suatu
tulisan, laporan penelitian kualitatif berisi kutipan, kutipan dari data atau fakta yang
diungkap di lapangan untuk memberikan ilustrasi yang utuh dan untuk memberikan
dukungan terhadap apa yang disajikan (Satori & Komariah 2010:28).
Penelitian deskriptif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan
gambaran dan keterangan-keterangan mengenai implementasi kebijakan Sistem
Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di
Kabupaten Lebak.
3.2 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian merupakan bagian yang membatasi dan
menjelaskan substansi materi kajian penelitian yang akan dilakukan. Dalam hal ini,
ruang lingkup penelitian digunakan sebagai batasan penelitian agar terfokus pada
fokus penelitian. Dengan itu maka diharapkan dapat memudahkan peneliti untuk
lebih fokus pada penelitian yang akan dilakukan yaitu mengenai implementasi
kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik
(SPIPISE) di Kabupaten Lebak.
Pembatasan ruang lingkup penelitian sendiri didasarkan pada penjabaran
yang terdapat pada latar belakang masalah yang mana dipaparkan secara ringkas
61
dalam identifikasi masalah. Adapun, ruang lingkup dalam penelitian ini adalah
mendeskripsikan fenomena terkait seberapa besar dan bagaimana implementasi
kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik
(SPIPISE) di Kabupaten Lebak.
3.3 Lokasi Penelitian
Adapun tempat penelitian ini adalah berlokasi di Kabupaten Lebak.
Pemilihan Kabupaten Lebak sebagai tempat penelitian adalah karena peneliti ingin
mengetahui dan mengkaji secara mendalam seberapa besar dan bagaimana
implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara
Elektronik di Kabupaten Lebak.
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Definisi Konsep
Definisi konseptual digunakan untuk menegaskan konsep-konsep yang
jelas, yang digunakan supaya tidak menjadi perbedaan penafsiran antara penulis
dan pembaca. Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Kebijakan publik merupakan serangkaian instruksi dari para pembuat
keputusan kepada pelaksana kebijakan yang mengupayakan baik tujuan-
tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Kebijakan publik
lebih menitikberatkan pada masalah publik (masyarakat) dan
permasalahan lainnya. Keputusan-keputusan dalam kebijakan publik
berupaya untuk mensejahterakan masyarakat.
62
2) Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang.
Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan
langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk
program-program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan
dari kebijakan publik tersebut. Implementasi kebijakan merupakan
pelaksanaan kegiatan /aktivitas yang mengacu pada pedoman-pedoman
yang telah disiapkan sehingga dari kegiatan atau aktivitas yang
dilaksanakan tersebut memberikan akibat/dampak bagi masyarakat.
3) Sedangkan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara
Elektronik yang selanjutnya disingkat SPIPISE, adalah Sistem elektronik
pelayanan perizinan dan non perizinan yang terintegrasi antara BKPM
dan kementerian/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang memiliki
kewenangan perizinan dan non perizinan, PDPPM, dan PDKPM.
3.4.2 Definisi Operasional
Implementasi kebijakan merupakan pelaksanaan kegiatan administrasif
yang legitimasi hukumnya ada. Pelaksanaan kebijakan melibatkan berbagai unsur
dan diharapkan dapat bekerjasama guna mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan.
Jadi implementasi itu merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan
kebijakan. Akan tetapi, pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji
terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk
63
atau tidak bagi masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak
bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat.
Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh Donald Van Meter
dan Carl Van Horn dengan A Model of the Policy Implementation Procces.
Berdasarkan pandangan Van Metter Van Horn keberhasilan implementasi
kebijakan ditentukan oleh beberapa faktor penting, yaitu ukuran dan tujuan
kebijakan, sumber daya, karakteristik agen pelaksana, sikap/kecenderugan
(disposisi) para pelaksana, komunikasi antaroganisasi dan aktivitas pelaksana, dan
lingkungan ekonomi, sosial dan politik. Berikut ini adalah kisi-kisi instrumen
penelitian yang dibuat oleh peneliti, adapun dengan penjelasan sebagai berikut:
Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Penelitian
Variabel Indikator Sub Indikator No. Butir Pada Instrumen
Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak
1. Ukuran dan tujuan kebijakan
1. Ukuran 1 2. Tujuan 2,3 3. Ketepatan 4
2. Sumber daya 1. Sumber daya manusia
5,6,7,8,9,10,11
2. Waktu 12 3. Pendanaan 13 4. Sarana dan
prasarana 14,15
3. Karakteristik agen pelaksana
1. Standard Operating Procedure (SOP)
16,17,18,19
4. Sikap/kecenderungan (disposisi) para pelaksana
1. Dukungan 20,21, 22,23,24
2. Insentif 25,26,27 5. Komunikasi
antarorganisasi dan aktivitas pelaksana
1. Koordinasi 28,29,30,31 2. Kejelasan 32,33,34,35 3. Sosialisasi 36,37
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
1. Kondisi Ekonomi 38 2. Kondisi Sosial 39 3. Kondisi Politik 40
Sumber: Peneliti, 2016)
64
Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa teori Van Meter dan Van
Horn memiliki 6 (enam) indikator yaitu ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya,
karakteristik agen pelaksana, sikap/kecenderungan (disposisi) para pelaksana,
komunikasi antarorganisasi dan aktivitas pelaksana, dan lingkungan ekonomi,
sosial dan politik.
Pada indikator pertama yaitu ukuran dan tujuan kebijakan dijabarkan
dengan 3 (tiga) sub indikator yaitu, ukuran, tujuan dan ketepatan dengan nomor
pertanyaan pada instrumen pertanyaan nomor 1 untuk sub indikator ukuran,
pertanyaan nomor 2 dan 3 untuk sub indikator tujuan dan pertanyaan nomor 4 untuk
sub indikator ketepatan.
Indikator yang kedua, yaitu sumber daya dijabarkan dengan 4 sub indikator
yaitu sumber daya manusia, waktu, pendanaan dan sarana dan prasarana dengan
nomor pertanyaan pada instrumen pertanyaan nomor 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11 untuk
sub indikator sumber daya manusia, pertanyaan nomor 12 untuk sub indikator
waktu, dan pertanyaan nomor 13 untuk sub indikator pendanaan dan pertanyaan
nomor 14 dan 15 untuk sub indikator sarana dan prasarana.
Selanjutnya indikator yang ketiga yaitu karakteristik agen pelaksana
dijabarkan dengan 1 (satu) sub indikator yaitu Standard Operating Procedure
(SOP) dengan nomor pertanyaan 16, 17, 18, dan 19 pada instrumen pertanyaan
tersebut.
Indikator yang keempat yaitu sikap/kecenderungan (disposisi) para
pelaksana dijabarkan dengan 2 sub indikator yaitu dukungan dan insentif dengan
nomor pertanyaan pada instrumen pertanyaan nomor 20, 21, 22, 23, dan 24 untuk
65
sub indikator dukungan dan pertanyaan nomor 25, 26, dan 27 untuk sub indikator
insentif.
Selanjutnya indikator yang kelima yaitu komunikasi antarorganisasi dan
aktivitas pelaksana dijabarkan dengan 3 sub indikator yaitu koordinasi, kejelasan
dan sosialisasi dengan nomor pertanyaan pada instrumen pertanyaan nomor 28, 29,
30 dan 31 untuk sub indikator koordinasi, pertanyaan nomor 32, 33, 34, dan 35
untuk sub indikator kejelasan dan pertanyaan nomor 36 dan 37 untuk sub indikator
sosialisasi.
Indikator yang keenam yaitu lingkungan ekonomi, sosial dan politik
dijabarkan dengan 3 sub indikator yaitu kondisi ekonomi, kondisi sosial dan kondisi
politik dengan nomor pertanyaan pada instrumen pertanyaan nomor 38 untuk sub
indikator kondisi ekonomi, pertanyaan nomor 39 untuk sub indikator kondisi sosial
dan pertanyaan nomor 40 untuk sub indikator kondisi politik.
3.5 Instrumen Penelitian
Menurut Bungin (2009: 94-95) pengertian dasar dari instrumen penelitian
adalah: Pertama, instrumen penelitian menempati posisi teramat penting dalam hal
bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk memperoleh data dilapangan.
Kedua, instrumen penelitian adalah bagian paling rumit dari keseluruhan proses
penelitian. Kesalahan dibagian ini dapat dipastikan suatu penelitian akan gagal atau
berubah dari konsep semula. Oleh karena itu, kerumitan dan kerusakan instrumen
penelitian pada dasarnya tidak terlepas dari peranan desain penelitian yang telah
dibuat. Ketiga, bahwa pada dasarnya instrumen penelitian kuantitatif memiliki dua
fungsi yaitu sebagai substitusi dan sebagai suplemen. Pada beberapa instrumen,
66
umpamanya angket, instrumen penelitian menjadi wakil peneliti satu-satunya di
lapangan atau wakil satu-satunya orang yang membuat instrumen penelitian
tersebut. Oleh karena itu, kehadiran instrumen penelitian di depan responden
(khususnya untuk instrumen angket) adalah benar-benar berperan sebagai
pengganti (substitusi) dan bukan suplemen penelitian. Sebagai suplemen, instrumen
penelitian hanyalah pelengkap dari sekian banyak alat-alat bantu penelitian yang
diperlukan oleh peneliti pada pengumpulan data yang menggunakan instrumen
penelitian.
Instrumen penelitian digunakan untuk mengukur nilai variabel yang akan
diteliti (Sugiyono, 2011:92). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
berbentuk kuisioner, dengan jumlah variabel sebanyak 1 (satu) varibael. Dalam
pengumpulan data kualitatif menurut Irawan (2006: 15) menjelaskan bahwa satu-
satunya instrumen terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri.
Peneliti mungkin menggunakan alat-alat bantu untuk mengumpulkan data, seperti
tape recorder, video kaset, atau kamera. Tetapi alat-alat ini benar-benar tergantung
pada peneliti untuk menggunakannya. Selain itu, konsep human instrument atau
manusia sebagai instrumen sendiri menurut Satori & Komariah (2010: 61),
dipahami sebagai alat yang dapat mengungkap fakta-fakta lapangan dan tidak ada
alat yang paling elastis dan tepat untuk mengungkapkan data kualitatif kecuali
peneliti itu sendiri. Sebagai instrumen dalam penelitian kualitatif, maka peneliti
menentukan siapa yang tepat dijadikan sebagai sumber data, melakukan
pengumpulan data, dan analisis data kualitatif, dan selanjutnya menyimpulkan
67
secara kualitatif bagaimana implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi
dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak.
Dalam penelitian ini, skala pengukuran instrumen penelitian menggunakan
Skala Likert (Sugiyono, 2011: 93). Indikator variabel yang disusun melalui item-
item instrumen dalam bentuk pertanyaan dan pernyataan, kemudian diberikan
jawaban setiap item instrumennya secara gradasi dari sangat positif sampai sangat
negatif. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner. Dengan
jumlah variabel sebanyak satu variabel. Sedangkan skala pengukuran instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Likert. Skala Likert digunakan
untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang
tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2011: 93).
Indikator variabel yang disusun melalui item-item instrumen dalam bentuk
pertanyaan atau pernyataan diberikan jawaban setiap item instrumennya. Jawaban
setiap item diberi skor, berikut adalah tabel skor item instrumen:
Tabel 3.2 Skor Item-item Instrumen
Pilihan Jawaban Skor
Sangat Setuju 4
Setuju 3
Kurang Setuju 2
Tidak Setuju 1
(Sumber: Sugiyono, 2011: 93)
68
3.5.1 Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data
1) Data Primer, yaitu data yang langsung diperoleh peneliti melalui angket
(kuisioner), wawancara (interview), dan pengamatan (observasi).
2) Data Sekunder, adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber yang
dapat berbentuk buku-buku ilmiah, dokumen administrasi atau bahan
lain yang sudah merupakan sata hasil olahan yang digunakan sebegai
data awal maupun data pendukung dalam penelitian.
b. Sumber Data
1) Responden, pegawai pengguna SPIPISE pada Perusahaan Penanaman
Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Kabupaten Lebak
yang berjumlah 65 orang.
2) Informan, dalam penelitian mengenai implementasi Kebijakan Sistem
Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik
(SPIPISE) di Kabupaten Lebak, pemilihan informannya menggunakan
teknik Purposive Sampling (sampel bertujuan).
3) Literatur, yaitu data kepustakaan yang memiliki hubungan dengan
penelitian.
3.5.2 Teknik Pengumpulan Data
Secara teknik dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data
sebagai berikut:
69
a. Metode Angket
Menurut Sugiyono (2011:142) Angket atau kuisioner merupakan teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat
pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya.
Kuisioner merupakan teknis pengumpulan data yang efisien bila peneliti
tahu dengan pasti variabel yang diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan
dari responden.
b. Wawancara
Merupakan proses untuk memperoleh keterangan untuk mencapai tujuan
penelitian yang dilakukan melalui kegiatan komunikasi verbal berupa
percakapan. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Maksud mengadakan wawancara, seperti ditegaskan oleh Lincoln & Guba
(Moleong 2010: 186), antara lain: mengkonstruksi mengenai orang,
kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain
kebulatan; merekonstruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang
dialami masa lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang
diharapkan untuk dialami pada masa yang akan mendatang; memverifikasi,
mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, baik
manusia maupun bukan manusia (triangulasi); dan memverfikasi,
mengubah, dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti
sebagai pengecekan anggota.
70
Metode wawancara yang digunakan peneliti dalam penelitian mengenai
implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan
Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak, yaitu
wawancara mendalam yang mana peneliti melakukannya dengan sengaja
untuk melakukan wawancara dengan informan dan peneliti tidak sedang
observasi partisipasi, ia bisa tidak terlibat intensif dalam kehidupan sosial
informan, tetapi dalam kurun waktu tertentu. Peneliti bisa datang berkali-
kali untuk melakukan wawancara. Sifat wawancaranya tetap mendalam
tetapi dipandu oleh pertanyaan-pertanyaan dalam pedoman wawancara.
Tujuannya yaitu untuk memperoleh data secara jelas, konkret, dan lebih
mendalam. Pada prinsipnya metode ini merupakan usaha untuk menggali
keterangan yang lebih dalam dari sebuah kajian dari sumber yang relevan
berupa pendapat, kesan, pengalaman, pikiran dan sebagainya yang berkaitan
dengan implementasi implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi
dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak.
Adapun pedoman wawancara penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 3.3 Pedoman Wawancara Penelitian
Variabel Indikator Pertanyaan Kode Informan
Ukuran dan tujuan kebijakan
Menurut anda, apakah ukuran dan tujuan dari penerapan SPIPISE?
I1, I2
Menurut anda, bagaimana pemahaman operator perusahaan mengenai ukuran dan tujuan kebijakan SPIPISE?
I1, I2
Apakah penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak sudah sesuai dengan tujuannya?
I1, I2
71
Implementasi Kebijakan
Sistem Pelayanan
Informasi dan Perizinan Investasi Secara
Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten
Lebak
Apakah kebijakan SPIPISE sudah tepat diterapkan pada perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak?
I1, I2
Sumberdaya
Apakah jumlah dan kompetensi pelaksana untuk penerapan SPIPISE di BPMPPT Lebak dan perusahaan PMDN dan PMA ini sudah cukup dan memadai?
I1, I2
Menurut anda, bagaimana pemahaman operator dalam penginputan data perusahaan ke dalam SPIPISE?
I1, I2
Menurut anda, bagaimana pengetahuan operator SPIPISE mengenai semua informasi tentang SPIPISE tersebut?
I1, I2
Berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam melakukan penginputan ke dalam SPIPISE?
I1, I2
Bagaimana ketepatan waktu penginputan data perizinanan dan non perizinan dengan adanya SPIPISE ini?
I1, I2
Apakah sumber daya finansial mendukung dalam penerapan SPIPISE ini?
I1, I2
Bagaimana fasilitas pendukung di kantor anda, seperti komputer/laptop dan jaringan internet guna menunjang pengoperasian SPIPISE?
I1, I2
Karakteristik agen pelaksana
Dalam penggunaan aplikasi SPIPISE, bagaimana pemahaman operator perusahaan tentang FAQ & troubleshoot yang diberikan oleh PUSDATIN BKPM Pusat.
I1, I2
Bagaimana pengetahuan dan pemahaman operator SPIPISE mengenai Standard Operating Procedures SOP yang diterapkan?
I1, I2
Apakah penerapan SPIPISE sudah sesuai dengan SOP?
I1, I2
Sikap/ kecenderungan (disposisi)
Apakah Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak mendukung penuh penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak?
I1, I2
72
para pelaksana
Apakah Perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak mendukung penuh penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak?
I1, I2
Bagaimana dengan transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya SPIPISE?
I1, I2
Komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana
Bagaimana komunikasi dengan perusahaan dan dinas teknis terkait tentang SPIPISE dilakukan?
I1, I2
Bagaimana proses koordinasi yang dilakukan dengan perusahaan dan antar SKPD teknis terakit dalam penerapan SPIPISE?
I1, I2
Apakah ada sosialisasi yang dilakukan terkait penerapan SPIPISE ini, baik dengan masyarakat atau SKPD terkait?
I1, I2
Bagaimana proses sosialisasi dilakukan?
I1, I2
Apakah Sosialisasi yang dilakukan dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak efektif, efisien dan mudah dipahami?
I1, I2
Apakah kemudahan layanan informasi tentang SPIPISE sudah diketahui oleh masyarakat umum?
I1, I2
Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
Apakah kondisi ekonomi turut mempengaruhi kebijakan ini?
I1, I2
Apakah lingkungan sosial turut mempengaruhi kebijakan ini?
I1, I2
Apakah kondisi politik turut mempengaruhi kebijakan ini?
I1, I2
(Sumber: Peneliti, 2016)
c. Metode Observasi
Menurut Sutrisno Hadi (Sugiyono.2011:145) berpendapat bahwa observasi
merupakan suatu proses yang kompleks, yaitu suatu proses yang tersusun
dari berbagai proses biologis dan psikologis. Observasi merupakan teknik
73
pengumpulan data dengan menggunakan media panca indra dan peneliti
sendiri secara langsung ke lapangan penelitiannya.
d. Studi Dokumentasi
Metode ini merupakan suatu cara pengumpulan data yang menghasilkan
catatan-catatan penting yang berhubungan dengan masalah yang diteliti,
sehingga akan diperoleh data yang lengkap, sah, dan bukan berdasarkan
perkiraan. Metode ini juga digunakan untuk mengumpulkan data yang
sudah tersedia dalam catatan dokumen. Dalam penelitian sosial, fungsi data
yang berasal dari dokumentasi lebih banyak digunakan sebagai data
pendukung dan pelengkap bagi data primer yang diperoleh melalui
kuesioner, observasi dan wawancara mendalam. Penggunaan metode
dokumentasi dalam penelitian mengenai implementasi kebijakan Sistem
Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE)
di Kabupaten Lebak, digunakan sebagai data pendukung terkait masalah
penelitian. Dengan adanya data pendukung tersebut ditujukan sebagai
penguat argumentasi dari data-data primer yang didapatkan dari hasil
kuesioner, observasi dan wawancara yang telah dilakukan peneliti
sebelumnya.
3.5.3 Pengukuran Validitas Instrumen
Uji validitas digunakan untuk sah atau valid tidaknya suatu kuisioner. Uji
validitas instrumen dalam penelitian ini menggunakan korelasi Product Moment.
Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data
(mengukur) itu valid.
74
))(()(((
y)( x)( -xy rxy
2222 yynxxn
n
Pengujian validitas yang diterapkan oleh penulis adalah dengan analisis
faktor, yaitu dengan mengkorelasikan antar skor item instrumen dalam suatu faktor,
dan mengkorelasikan skor faktor dengan skor total (Sugiono, 2011: 125).
Uji validitas digunakan untuk menunjukan tingkat kevalidan instrumen
penelitian, artinya instrumen dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharunya
diukur. Valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada mampu tidaknya alat ukur
tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat. Validitas
dideteksi dengan memperhatikan kolom terakhir pada hasil output SPSS 22. Pada
penelitian ini, pengujian validitas dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi
pearson product moment dengan bantuan piranti lunak Statistic Program For Social
Science (SPSS) versi 22. Berikut rumus dari korelasi product moment:
Rumus Pearson Product Moment (Singarimbun, 1989: 137)
Keterangan:
r = Koefisien Korelasi Product Moment
Σx = Jumlah skor per-item pertanyaan
Σy = Jumlah skor total
Σxy = Jumlah hasil kali skor pertanyaan dengan total
Σx2 = Jumlah skor item yang dikuadratkan
Σy2 = Jumlah skor total yang dikuadratkan
n = Jumlah sampel
75
1-kk
3.5.4 Pengujian Reliabilitas
Sugiyono (2011:130) pengujian reliabilitas instrumen dapat dilakukan
secara eksternal maupun internal. Secara eksternal pengujian dapat dilakukan
dengan test-retest (stability), equivalent, dan gabungan keduanya. Secara internal
reliabilitias instrumen dapat diuji dengan menganalisis konsistensi butir-butir yang
ada pada instrumen dengan teknik tertentu.
Pendekatan yang digunakan untuk uji reliabilitas adalah pendekatan
reliabilitas konsistensi internal. Adapun teknik yang digunakan untuk mengukur
konsistensi internal adalah dilakukan dengan cara mencobakan instrumen sekali
saja, kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan teknik tertentu. Hasil analisis
dapat digunakan untuk memprediksi reliabilitas instrumen (Sugiyono, 2011: 131).
Pengujian reliabilitas instrumen dilakukan dengan internal konsistensi dengan
menggunakan teknik Cronbach Alpha. Cronbach Alpha yaitu penghitungan yang
dilakukan dengan menghitung rata-rata interkorelasi di antara butir-butir
pertanyaan dalam kuesioner, variabel di katakan reliabel jika nilai alphanya lebih
dari 0.30. Pengujian reliabilitas dibantu dengan piranti lunak Statistic Program For
Social Science (SPSS) versi 22. Berikut ini rumus Alpha Cronbach yang digunakan
untuk menguji reliabilitas:
Rumus Alpha Cronbach (Husaini, 2008:291)
Keterangan:
α = Reliabilitas Instrumen
76
K = Jumlah item
Si² = Varians responden untuk item ke i
St² = Jumlah varians skor total
3.5.5 Uji Normalitas
Uji Normalitas data dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa data
sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Pengujian diadakan dengan
maksud untuk melihat normal tidaknya sebaran data yang akan dianalisis (Zuriah,
2007: 201). Cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak,
yaitu dengan analisis grafik dan uji statistik.
Uji grafik dapat digunakan dengan melihat grafik normal probability plot,
yaitu deteksi dengan melihat penyebaran titik pada sumbu diagonal sebuah grafik.
Normalitas akan dipenuhi jika titik menyebar disekitar garis diagonal dengan
penyebaran yang mengikuti arah garis diagonal. Sebaliknya, jika menjauh dari garis
diagonal atau tidak mengikuti arah garis diagonal, regresi tidak memenuhi asumsi
normalitas.
Menurut Arikunto (2002: 284) menyebutkan bahwa untuk melihat data
berdistribusi normal dapat dilihat dari:
1. Mengenai data itu sendiri Dikatakan bahwa data itu berdistribusi normal atau mendekati normal (atau dapat di dekati dengan teknik-teknik untuk data berdistribusi normal).
2. Mengenai populasi dari mana data sampel diambil Dikatakan bahwa populasi dari mana data sampel itu diambil ternyata berdistribusi normal atau hampir berdistribusi normal, atau dapat di dekati oleh distribusi normal. Jika titik-titik yang diletakan tidak menunjukan terletak pada garis lurus maka dapat disimpulkan bahwa data atau sampel yang diambil tidak berasal dari populasi normal.
77
3.6 Populasi, Sampel dan Informan Penelitian
3.6.1 Populasi
Menurut Sugiyono (2011: 80) populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Populasi untuk pengambilan sampel pada penelitian ini adalah pegawai pada
Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di
Kabupaten Lebak 65 orang.
3.6.2 Sampel
Menurut Sugiyono (2011:81) sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti
tidak mungkin mempelajari semua yang ada karena keterbatasan dana, tenaga, dan
waktu, maka peneliti menggunakan sampel dari populasi itu atau dengan kata lain
disebut sampel jenuh. Sampel jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua
anggota populasi digunakan sebagai sampel (Sugiyono, 2011: 85). Istilah lain dari
sampel jenuh adalah sensus dimana semua anggota populasi dijadikan sampel.
Sampel dalam penelitian ini adalah pegawai pengguna pada Perusahaan Penanaman
Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Kabupaten Lebak yang
berjumlah 65 orang.
3.6.3 Informan
Dalam penelitian mengenai implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan
Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten
78
Lebak, pemilihan informannya menggunakan teknik Purposive Sampling (sampel
bertujuan). Menurut Bungin (2011: 107), purposive sampling adalah strategi
menentukan kelompok peserta yang menjadi informan sesuai dengan kriteria
terpilih yang relevan dengan masalah penelitian tertentu.
Key informant digunakan sebagai informan didasarkan pada penguasaan
informasi dan secara logika bahwa tokoh-tokoh kunci dalam proses sosial selalu
langsung menguasai informasi yang terjadi di dalam proses sosial itu. Penentuan
key informant dilakukan dengan pemilihan the primary selection (partisipan
pertama), yaitu pemilihan secara langsung memberi peluang bagi peneliti untuk
menentukan sampel dari sekian informan yang langsung ditemui. Dalam hal ini
informan yang dijadikan sebagai key informant adalah Kepala Bidang Data dan
Pengaduan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten
Lebak sebagai informan pertama dengan kode informan (I1) dan juga Tenaga IT
Bidang Penanaman Modal di Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan
Terpadu Kabupten Lebak sebagai informan kedua dengan kode informan (I2).
3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
3.7.1 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Kuantitatif
Teknik pengolahan data kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan
teknik yang di jelaskan menurut (Bungin, 2009:165-168) yaitu menggunakan cara
sebagai berikut :
1. Editing Data, adalah kegiatan yang dilaksanakan setelah peneliti selesai
menghimpun data dilapangan. Kegiatan ini menjadi penting karena
79
kenyataannya bahwa data yang terhimpun kadang kala belum
memenuhi harapan peneliti, ada diantaranya kurang atau terlewatkan,
tumpang tindih, berlebihan bahkan terlupakan. Oleh karena itu, keadaan
tersebut harus diperbaiki melalui editing ini. Proses editing dimulai
dengan memberi identitas pada instrumen penelitian yang telah
terjawab. Kemudian memeriksa satu per satu lembaran dan poin-poin
serta jawaban yang tersedia.
2. Coding Data, setelah tahap editing selesai dilakukan, berikutnya adalah
mengklarifikasi data-data tersebut melalui tahap koding. Maksudnya
adalah bahwa data yang telah di edit tersebut diberi identitas skor
dengan menggunakan Likert.
3. Tabulating Data, yaitu memasukan data pada tabel-tabel tertentu dan
mengatur angka-angka serta menghitungnya. Penyusunan data dalam
tabel-tabel yang mudah dibaca dan tabel tersebut disiapkan untuk
dianalisis.
Data penelitian ini dianalisis kuantitatifnya dengan menggunakan statistik.
Analisis yang dilakukan dengan dua cara yaitu:
3.7.2 Uji T-test
Uji t-test digunakan untuk menguji hipotesis deskriptif satu atau lebih
variabel yang datanya berbentuk interval atau ratio. Untuk menganalisis
impelementasi kebijakan sistem pelayanan informasi dan perizinan investasi secara
elektronik di Kabupaten Lebak, maka dalam pengujian hipotesis deskriptif
80
digunakan uji t-test untuk satu sampel atau satu variabel, dengan menggunakan
rumus:
Rumus:
Keterangan: t = Nilai t yang dihitung
x = Nilai rata-rata yang diperoleh dari hasil
pengumpulan data
µo = Nilai yang dihipotesiskan
s = Simpangan baku sampel
n = Jumlah anggota sampel
3.7.3 Uji Pihak Kanan
Menurut Sandjaja (2006: 78) bentuk pengujian hipotesis tergantung pada
bunyi kalimat hipotesis. Hipotesis satu arah harus diuji dengan statistik satu arah
atau uji satu sisi (one- tailed test) dan hipotesis dua arah harus diuji dengan tes
statistik dua arah atau uji dua sisi (two-tailed test). Pada suatu penelitian dengan
tingkat signifikasi 0,05 atau α = 0,05, maka daerah penolakan H0 adalah 5% dan
daerah penerimaan H0 adalah 95%. Pada uji satu sisi, daerah penolakan tersebut
dapat terletak di sebelah kanan atau sebelah kiri dan besarnya 5%.
Pengujian hipotesis dimaksudkan untuk mengetahui tingkat signifikansi
dari hipotesis yang diajukan. Berdasarkan metode penelitian, maka pada tahap
pengujian hipotesis penelitian ini menggunakan rumus t-test satu sampel dan
81
pengujian t-test satu sampel dibantu dengan piranti lunak Statistic Program For
Social Science (SPSS) versi 22.
3.7.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Kualitatif
Analisis data kualitatif menurut Bogdan & Biklen (dalam Moleong
2010:248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting
dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang
lain. Dalam menganalisis data penelitian yang diperoleh dari hasil penelitian di
lapangan, maka peneliti menggunakan analisis data model Miles & Huberman.
Model interaktif Miles & Huberman dapat dipahami dengan gambar dibawah ini:
Gambar 3.2
Analisis Data Miles & Huberman
Berikut adalah penjelasan mengenai gambar analisis data menurut Miles &
Huberman (dalam Fuad & Nugroho 2014:16-18), yang diantaranya:
a. Reduksi Data (Data Reduction), dimaknai sebagai proses memilah dan memilih, menyederhanakan data yang terkait dengan kepentingan penelitian saja, abstraksi dan transformasi data-data kasar dari catatan
82
lapangan. Reduksi data perlu dilakukan karena ketika peneliti semakin lama di kancah penelitian akan semakin banyak data atau catatan lapangan yang peneliti kumpulkan. Tahap dari reduksi adalah memilah dan memilih data yang pokok, fokus pada hal-hal yang penting, mengelompokkan data sesuai dengan tema, membuat ringkasan, member kode, membagi data dalam partisi-partisi dan akhirnya dianalisis sehingga terlihat pola-pola tertentu.
b. Penyajian Data (Data Display) berupa uraian singkat, bagan, hubungan kausal dengan kategori, flowchart dan sejenisnya. Penyajian data dapat membantu peneliti dalam memahami apa yang terjadi, merencanakan analisis selanjutnya berdasarkan apa yang sudah dipahami sebelumnya.
c. Menarik kesimpulan/ verifikasi (Conclusion: Drawing/ Verifying), merupakan langkah terakhir dalam analisis data menurut Miles dan Huberman. Berdasarkan pola-pola yang sudah tergambarkan dalam penyajian data, terdapat hubungan kausal atau interaktif antara data dan didukung dengan teori-teori yang sesuai, peneliti kemudian mendapatkan gambaran utuh tentang fenomena yang diteliti dan kemudian dapat menyimpulkan fenomena tersebut sebagai temuan baru.
Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian mengenai implementasi
kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik
(SPIPISE) di Kabupaten Lebak”, menggunakan teknik analisis data Miles &
Huberman dengan empat langkah analisis data, yaitu pengumpulan data, reduksi
data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hal ini digunakan sebagai alat
untuk mempermudah peneliti untuk menganalisis data yang didapat dari hasil
penelitian lapangan dan mendapatkan kesimpulan mengenai penelitian yang
dilakukan peneliti.
3.7.5 Uji Keabsahan Data
Uji keabsahan data dapat dilakukan dengan triangulasi pendekatan dengan
kemungkinan melakukan terobosan metodologis terhadap masalah-masalah
tertentu yang kemungkinan dapat dilakukan seperti seperti yang dikatakan Denzin
dengan “triangulasi”. Istilah penggabungan metode ini dikenal lebih akrab di
83
kalangan pemula dengan istilah ‘meta-metode’ atau ‘mix-method’, yaitu metode
campuran, dimana metode kuantitatif dan kualitatif digunakan bersama-sama dalam
sebuah penelitian (dalam Bungin 2010:257). Metode ini digunakan sebagai alat
untuk menguji apakah data hasil penelitian yang telah dikumpulkan terdapat
perbedaan atau tidak, sehingga dapat diketahui data tersebut dianggap absah atau
tidak. Penelitian mengenai implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan
Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak,
menggunakan satu teknik triangulasi pendekatan untuk menguji keabsahan data
dari hasil penelitian lapangan.
Teknik triangulasi pendekatan yang digunakan peneliti yaitu triangulasi
sumber. Menurut Fuad & Nugroho (2014:19-20) triangulasi sumber dapat
dilakukan dengan mengecek data yang sudah diperoleh dari berbagai sumber. Data
dari berbagai sumber tersebut kemudian dipilah dan dipilih dan disajikan dalam
bentuk tabel matriks. Data dari sumber yang berbeda dideskripsikan,
dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, berbeda dan mana yang lebih
spesifik.
3.8 Jadwal Penelitian
Adapun jadwal penelitian yang telah ditentukan oleh peneliti dalam
menyusun penelitian skripsi tentang implementasi kebijakan Sistem Pelayanan
Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak
adalah sebagai berikut:
84
Tabel 3.4 Jadwal Penelitian
Sumber: Peneliti, (2016)
No Kegiatan Tahun 2015 2016
Bulan Bulan Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt
1. Pengajuan Judul
2. Observasi Awal
3. Penyusunan Proposal
4. Seminar Proposal 5. Revisi dan
Bimbingan
6. Pengumpulan Data
7. Pengolahan dan Analisis Data
8. Sidang Skripsi
9. Revisi Skripsi
85
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Obyek Penelitian
Deskripsi penelitian menggambarkan mengenai objek penelitian yang
meliputi lokasi penelitian secara jelas, struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi
pada lokasi penelitian, serta hal lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang
dilakukan. Deskripsi objek penelitian juga menjelaskan gambaran umum dari
Kabupaten Lebak serta Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara
Elektronik (SPIPISE) yang menjadi objek dalam penelitian ini.
4.1.1 Gambaran Umum Kabupaten Lebak
Kabupaten Lebak terletak di sebelah selatan wilayah Provinsi Banten dan
berbatasan dengan beberapa kabupaten di Provinsi Banten (Pandeglang, Serang,
dan Tangerang) serta berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Barat, yaitu
Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi. Sedangkan sebelah selatan berbatasan
langsung dengan Samudra Hindia.
Secara astronomis Kabupaten Lebak terletak pada 6°18’’ - 7°0’’ Lintang
Selatan (LS) dan 105°25’’-106°30’’ Bujur Timur (BT). Luas wilayah Kabupaten
Lebak adalah 3044,72 km2 atau sekitar 31,51 persen dari luas Provinsi Banten.
Sehinggga menempatkan Kabupaten Lebak sebagai Kabupaten dengan wilayah
terluas di Provinsi Banten (sumber: Statistik Daerah Kabupaten Lebak, 2015).
86
Sebagai Kabupaten dengan wilayah terluas di Provinsi Banten, Kabupaten
lebak memiliki potensi pengembangan ekonomi sebagai sumber penghasilan
daerah dari berbagai sektor, diantaranya adalah sektor peternakan, perikanan,
pertanian, perkebunan, pertambangan, dan pariwisata. Berikut adalah penjelasan
dari masing-masing potensi tersebut yang bersumber dari Badan Penanaman Modal
dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMPPT) Kabupaten Lebak tahun 2016 yaitu:
1. Sektor peternakan, Kabupaten Lebak merupakan wilayah
pengembangan peternakan, pemerintah pusat telah menunjuk
Kabupaten Lebak sebagai daerah terbesar ketujuh tingkat nasional
untuk pengembangan ternak kerbau, maka dengan penetapan tersebut
mulai tahun 2014 hingga 2015 Kabupaten Lebak fokus sebagai daerah
pengembangan ternak kerbau, bahkan di Provinsi Banten, Kabupaten
Lebak adalah salah satu daerah dengan populasi ternak kerbau
terbanyak. Sektor peternakan di Kabupaten Lebak terus mengalami
pertumbuhan dari tahun ke tahun, beberapa jenis ternak yang
dikembangkan oleh masyarakat Kabupaten Lebak antara lain: sapi,
kerbau, kambing, domba, ayam buras, ayam pedaging dan itik.
Pengembangan ternak besar yakni kerbau sudah mencapai swasembada
daging untuk kebutuhan masyarakat Kabupaten Lebak dan sudah
mencukupi pasokan keluar daerah seperti Tangerang, Bogor dan
Jakarta.
2. Sektor perikanan, potensi sumber daya ikan laut di Kabupaten Lebak
cukup besar, mengingat Kabupaten Lebak mempunyai panjang pantai
87
sekitar 91,42 km dengan potensi lestari untuk perairan pantai dan zona
ekonomi ekslusif (ZEE) sebesar 10.557,24 ton/tahun yang terdiri dari
potensi lestari perairan pantai sebesar 3.712,40 ton/tahun dan potensi
ZEE sebesar 6.844,84 ton/pertahun. Potensi perikanan di Kabupaten
Lebak terdiri atas perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Perikanan tangkap terbagi atas perikanan tangkap laut dan perairan
umum. Untuk perikanan budidaya dikelompokkan menjadi budidaya
air tawar dan budidaya air payau. Adapun sarana dan prasarana
pendukung berupa kapal perahu sebanyak 794 unit, Tempat Pelelangan
Ikan (TPI) sebanyak 10 buah.
3. Sektor pertanian, Kabupaten Lebak adalah salah satu kabupaten
penghasil produk pertanian. Konstribusi sektor pertanian pada
pembentukan PDRB Lebak mencapai 38,16 persen dengan nilai
ekonomi mencapai Rp 1,2 triliyun lebik. Hal ini disebabkan karena
pesebaran produk pertanian berada di seluruh kecamatan.
4. Sektor perkebunan, luas areal perkebunan di Kabupaten Lebak adalah
73.566,73 Ha (28,65%) dari luas wilayah Kabupaten Lebak. Yang
meliputi: Perkebunan Rakyat (PR) seluas 57.717,57 Ha, Perkebunan
Besar Swasta (PBS) seluas 6.968,95 Ha dan Perkebunan Besar Negara
(PBN) seluas 8.880,21 Ha.
5. Sektor pertambangan, Kabupaten Lebak sejak zaman penjajahan
Belanda merupakan wilayah pertambangan emas dan bahan galian lain
seperti perak. Bahan galian lainnya adalah gelena yang merupakan bijih
88
timas hitam (Pb). Mineralisasi gelena terkait dengan mineralisasi emas
yang tersebar di Kecamatan Cibeber, Cipanas, Panggarangan, dan
Malingping. Di Kabupaten Lebak, bahan galian non logam yang
bernilai ekonomis adalah berbagai jenis bahan galian industri seperti
zeolit, felspar, bentonit, batu gamping, pasir kuarsa, batu sempur, batu
mulia serta batubara. Kabupaten Lebak merupakan cadangan terbatas
batubara untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar industri menengah
dan industri kecil di dalam negeri. Potensi endapannya tersebar di
daerah-daerah Bojongmanik, Panggarangan, Cihara, Cilograng dan
Bayah.
4.1.2 Sistem Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE)
di Kabupaten Lebak
Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik yang
selanjutnya disingkat SPIPISE, adalah Sistem elektronik pelayanan perizinan dan
non perizinan yang terintegrasi antara BKPM dan kementerian/Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang memiliki kewenangan perizinan dan non
perizinan, PDPPM, dan PDKPM.
Implementasi Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi
Secara Elektronik (SPIPISE) diatur di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Peresiden Nomor 27 Tahun 2009
tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman modal serta Peraturan
Kepala BKPM nomor 14 Tahun 2009 tentang Sistem Pelayanan dan Perizinan
Investasi secara Elektronik. SPIPISE pada hakikatnya adalah
89
sistem elektronik pelayanan perizinan investasi yang terintegrasi
antara BKPM dengan daerah (dalam hal ini adalah BPMPPT), sehingga proses
pelayanan perizinan investasi yang diselenggarakan oleh BPMPPT langsung dapat
diakses dan terpantau oleh Pemerintah. Portal SPIPISE adalah piranti lunak
berbasis situs (website) yang merupakan gerbang informasi dan pelayanan
perizinan dan non perizinan penanaman modal di Indonesia. Berikut adalah
penjelasan mengenai ruang lingkup SPIPISE:
Gambar 4.1 Ruang Lingkup SPIPISE
Sumber: Pusat Pengolahan Data dan Informasi BKPM RI, 2016
Berdasarkan gambar 4.1 di atas, dapat dilihat bagaiman pelayanan investor
menggunakan SPIPISE. Dari portal SPIPISE, investor melihat dan memperoleh
informasi mengenai investasi, kemudian melakukan registrasi data pribadi dan
perusahaan, untuk Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN) pelayanan perizinan
dilayani oleh PTSP Provinsi atau Kabupaten/Kota sesuai dengan persyaratan dan
90
ketentuan yang berlaku, sedangkan untuk Penanam Modal Asing (PMA) pelayanan
perizinan dilayani oleh PTSP Pusat. Selanjutnya izin-izin yang sudah diproses oleh
PTSP Pusat, PTSP Provinsi dan PTSP Kab/Kota akan di koordinasikan dengan
instansi atau dinas teknis terkait guna mendapatkan informasi perizinan yang jelas
dan akan diberikan kepada investor.
Dalam portal SPIPISE, investor harus mendaftar dan mendapatkan hak
akses. Cara mengajukan hak akses yaitu Hak akses adalah hak yang diberikan
kepada pengguna SPIPISE untuk memanfaatkan perangkat
pelayanan elektronik tersebut, namun dengan syarat telah memiliki identitas
pengguna dan kode akses. Hak akses dapat diajukan langsung ke BKPM maupun
instansi penanaman modal tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang telah
mengoperasikan SPIPISE. Pengajuannya melalui formulir permohonan hak akses,
disertai persyaratan:
1. Dokumen perusahaan yang terdiri dari rekaman Akta Perusahaan yang
terbaru serta rekaman pengesahan Akta Perusahaan tersebut oleh
Kementerian Hukum dan HAM atau pengadilan atau Kementerian
Koperasi dan UKM;
2. Dokumen pimpinan (penanggung jawab) perusahaan, berupa rekaman
tanda pengenal pemohon (KTP atau paspor).
Jika pemohon tidak dapat mengajukan sendiri permohonannya, ia dapat
menguasakan kepada pihak lain dengan menyertakan surat kuasa resmi. Surat kuasa
harus bermaterai cukup dan dilengkapi identitas diri yang jelas dari penerima kuasa.
Setelah formulir Permohonan Hak Akses diisi dengan baik dan benar (dan telah
91
ditandatangani di atas materai yang cukup), berkas permohonan (yang dilengkapi
dokumen yang diperlukan) langsung disampaikan kepada BKPM atau instansi
penanaman modal provinsi atau kabupaten/kota yang dimaksud. Dalam waktu 2
(dua) jam setelah berkas diterima dengan benar dan lengkap, hak akses akan
diberikan oleh petugas PTSP disertai pemberian akun investor.
Penanam modal wajib mengganti kode akses dalam waktu 1 (satu) hari
setelah hak akses diberikan. Ini agar kode akses yang dimilikinya tidak diketahui
pihak lain yang tidak berkepentingan. Jika dalam waktu sehari penanam modal
tidak mengganti kode aksesnya, SPIPISE akan menghapus hak akses tersebut
secara otomatis. Jika ingin mengalihkan hak akses ke instansi penanaman
modal daerah lainnya, investor dapat mengajukan perubahan secara langsung ke
instansi yang menerbitkan hak akses tersebut. Untuk lebih jelas mengenai kegunaan
hak akses dapat dijelaskan dalam gambar berikut. Berikut adalah matriks layanan
subsistem-subsistem SPIPISE:
Gambar 4.2 Matriks Layanan Subsistem-Subsistem SPIPISE
Subsistem/ aplikasi Subsistem/ aplikasi
Layanan SPIPISE Publik Penanam
Modal Pelaksana Pengelola
I Informasi: Potensi dan Persyaratan
V V V V
II Pelayanan Penanaman Modal
A. Perizinan dan Nonperizinan
-Pendaftaran Penanaman Modal
No V (tanpa Hak
Akses)
Hak akses Hak akses
92
-Izin Prinsip & Fasilitas No Hak Akses Hak akses Hak akses
-Izin Usaha No Hak akses Hak akses Hak akses
-Rekomendasi No Hak akses Hak akses Hak akses
-Izin & Non Izin daerah No Hak akses Hak akses Hak akses
B. Pencabutan/Pembatalan No No Online Hak akses Hak akses
C. LKPM No Hak akses Hak akses Hak akses
D. Penelusuran No Hak akses Hak akses Hak akses
E. Audit Trail No No Hak akses Hak akses
III Pendukung
1) Panduan Penggunaan V V V V
2) Business Intelligent No No Hak akses Hak akses
3) Knowledge Management No No Hak akses Hak akses
4) Helpdesk/Call Center V V V V
Keterangan: V dapat mengakses tanpa hak akses. Sumber: Pusat Pengolahan Data dan Informasi BKPM RI, 2016.
SPIPISE memiliki 3 (tiga) menu utama, yakni: Informasi Penanaman
Modal, Pelayanan Penanaman Modal dan Pendukung. Pada menu Informasi
Penanaman Modal dapat diakses :
1. Peraturan perundang-undangan penanaman modal;
2. Potensi dan peluang penanaman modal;
3. Daftar bidang usaha tertutup dan daftar bidang usaha yang terbuka
dengan persyaratan;
4. Jenis, tata cara proses permohonan, biaya dan waktu pelayanan
perizinan dan non-perizinan;
5. Tata cara pencabutan perizinan dan non-perizinan;
6. Tata cara penyampaian laporan kegiatan penanaman modal;
93
7. Tata cara pengaduan terhadap layanan penanaman modal;
8. Data referensi yang digunakan dalam layanan perizinan dan non-
perizinan penanaman modal;
9. Data perkembangan penanaman modal, kawasan industri, harga utilitas,
upah dan tanah;
10. Informasi perjanjian internasional di bidang penanaman modal;
Pada menu Pelayanan Penanaman Modal, investor disuguhi informasi tentang:
1. Pelayanan perizinan dan nonperizinan;
2. Pelayanan penyampaian LKPM;
3. Pelayanan pencabutan serta pembatalan perizinan dan nonperizinan;
4. Pelayanan pengenaan dan pembatalan sanksi;
5. Aplikasi antar-muka antara SPIPISE dan sistem pada instansi teknis
serta intansi terkait lainnya;
6. Penelusuran proses pelayanan permohonan perizinan dan non-
perizinan;
7. Jejak audit (audit trail).
Pada menu Pendukung, informasi yang tersaji berupa:
1. Pengaturan penggunaan jaringan elektronik;
2. Pengelolaan keamanan sistem elektronik dan jaringan elektronik;
3. Pengelolaan informasi yang ditampilkan National Single Window for
Investment (NSWi);
4. Pengaduan terhadap pelayanan perizinan dan non-perizinan dan
masalah dalam penggunaan SPIPISE;
94
5. Pelaporan perkembangan penanaman modal dan perangkat analisis
pengambilan keputusan yang terkait dengan penanaman modal;
6. Pengelolaan pengetahuan sebagai pendukung analisis dalam
pengambilan putusan pengembangan kebijakan penanaman modal;
7. Penyediaan panduan penggunaan SPIPISE.
Adapun maksud dan tujuan SPIPISE adalah untuk mengatur penanam
modal, penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu di bidang penanaman modal,
serta instansi teknis dalam mengajukan permohonan, atau penyelenggaraan
perizinan dan non perizinan dengan SPIPISE. SPIPISE bertujuan untuk
mewujudkan :
1. Penyelenggaraan PTSP sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang
Penanaman Modal;
2. Integrasi data dan pelayanan perizinan dan nonperizinan;
3. Pelayanan perizinan dan nonperizinan yang mudah, cepat, tepat,
transparan, dan akuntabel;
4. Keselarasan kebijakan dalam pelayanan penanaman modal antarsektor
dan pusat dengan daerah.
4.2 Pengujian Persyaratan Statistik
Dalam penelitian ini, pengujian persyaratan statistik merupakan hal yang
harus dilakukan untuk memastikan bahwa data yang diperoleh dan disajikan berasal
dari instrumen yang berbentuk kuisioner yang telah diuji validitas, uji reliabilitas
95
))(()(((
y)( x)( -xy rxy
2222 yynxxn
n
dan uji normalitas. Berikut adalah hasil uji validitas, uji reliabilitas dan uji
normalitas yang dilakukan oleh peneliti.
4.2.1 Uji Validitas Instrumen
Uji validitas digunakan untuk menunjukan tingkat kevalidan instrumen
penelitian, artinya instrumen dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharunya
diukur. Valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada mampu tidaknya alat ukur
tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat. Validitas
dideteksi dengan memperhatikan kolom terakhir pada hasil output SPSS 22. Pada
penelitian ini, pengujian validitas dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi
pearson product moment dengan bantuan piranti lunak Statistic Program For Social
Science (SPSS) versi 22. Berikut rumus dari korelasi product moment:
Rumus Pearson Product Moment (Singarimbun, 1989: 137)
Keterangan:
r = Koefisien Korelasi Product Moment
Σx = Jumlah skor per-item pertanyaan
Σy = Jumlah skor total
Σxy = Jumlah hasil kali skor pertanyaan dengan total
Σx2 = Jumlah skor item yang dikuadratkan
Σy2 = Jumlah skor total yang dikuadratkan
n = Jumlah sampel
96
Adapun kriteria item/butir instrumen yang digunakan adalah di mana jika r
hitung > r tabel, berarti item/butir instrumen dinyatakan valid, dan jika r hitung ≤ r
tabel berarti item/butir dinyatakan tidak valid. Perolehan nilai r hitung diperoleh
dari perhitungan statistik korelasi Product Moment dengan bantuan SPSS statistik
versi 22.
Tabel 4.1 Hasil uji validitas instrumen penelitian
Nomor item
r hitung r tabel Keterangan
1 0,771 0,244 Valid 2 0,476 0,244 Valid 3 0,795 0,244 Valid 4 0,790 0,244 Valid 5 0,539 0,244 Valid 6 0,693 0,244 Valid 7 0,451 0,244 Valid 8 0,347 0,244 Valid 9 0,795 0,244 Valid 10 0,771 0,244 Valid 11 0,476 0,244 Valid 12 0,795 0,244 Valid 13 0,790 0,244 Valid 14 0,539 0,244 Valid 15 0,693 0,244 Valid 16 0,451 0,244 Valid 17 0,347 0,244 Valid 18 0,790 0,244 Valid 19 0,451 0,244 Valid 20 0,693 0,244 Valid 21 0,771 0,244 Valid 22 0,476 0,244 Valid 23 0,795 0,244 Valid 24 0,790 0,244 Valid 25 0,771 0,244 Valid 26 0,771 0,244 Valid 27 0,476 0,244 Valid 28 0,795 0,244 Valid 29 0,790 0,244 Valid 30 0,539 0,244 Valid
97
31 0,693 0,244 Valid 32 0,451 0,244 Valid 33 0,347 0,244 Valid 34 0,790 0,244 Valid 35 0,451 0,244 Valid 36 0,795 0,244 Valid 37 0,476 0,244 Valid 38 0,771 0,244 Valid 39 0,476 0,244 Valid 40 0,795 0,244 Valid
Sumber: Pengolahan Data dengan SPPS versi 22, 2016.
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa terdapat 40 item/butir
instrumen yang valid. Perolehan nilai 0,244 dari r tabel merupakan perolehan dari
korelasi product moment dengan tingkat kesalahan 5% tingkat signifikasi untuk uji
satu arah.
4.2.2 Uji Reliabilitas
Pendekatan yang digunakan untuk uji reliabilitas adalah pendekatan
reliabilitas konsistensi internal. Adapun teknik yang digunakan untuk mengukur
konsistensi internal adalah dilakukan dengan cara mencobakan instrumen sekali
saja, kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan teknik tertentu. Hasil analisis
dapat digunakan untuk memprediksi reliabilitas instrumen (Sugiyono, 2011: 131).
Pengujian reliabilitas instrumen dilakukan dengan internal konsistensi dengan
menggunakan teknik Cronbach Alpha. Cronbach Alpha yaitu penghitungan yang
dilakukan dengan menghitung rata-rata interkorelasi di antara butir-butir
pertanyaan dalam kuesioner, variabel di katakan reliabel jika nilai alphanya lebih
dari 0.30. Pengujian reliabilitas dibantu dengan piranti lunak Statistic Program For
Social Science (SPSS) versi 22. Berikut ini rumus Alpha Cronbach yang digunakan
untuk menguji reliabilitas:
98
1-kk
Rumus Alpha Cronbach (Husaini, 2008:291)
Keterangan:
α = Reliabilitas Instrumen
K = Jumlah item
Si² = Varians responden untuk item ke i
St² = Jumlah varians skor total
Dikatakan reliabel menurut Siegel, jika rhitung> rtabel, dimana r tabel telah
ditentukan sebesar 0,244. Instrumen yang dilakukan uji reliabilitas adalah
instrumen yang dinyatakan valid, sedangkan instrumen yang dinyatakan tidak valid
maka tidak bisa dilakukan uji reliabilitas. Dengan menggunakan teknik perhitungan
SPSS, diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.2 Case Processing Summary
N % Cases Valid 65 100.0
Excludeda 0 .0 Total 65 100.0
Tabel 4.3 Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items .963 40
Sumber: Pengolahan dengan SPSS versi 22, 2016.
99
Nilai di atas menunjukkan bahwa rhitung > rtabel atau 0,963 > 0.244. Sehingga
dapat diberikan kesimpulan bahwa, butir instrumen penelitian ini adalah reliabel.
Berdasarkan uji validitas dan uji reliabilitas yang telah dilakukan, maka instrumen
dapat digunakan untuk pengukuran dalam rangka pengumpulan data dalam
penelitian ini.
4.2.3 Uji Normalitas
Uji grafik dapat digunakan dengan melihat grafik normal probability plot,
yaitu deteksi dengan melihat penyebaran titik pada sumbu diagonal sebuah grafik.
Normalitas akan dipenuhi jika titik menyebar disekitar garis diagonal dengan
penyebaran yang mengikuti arah garis diagonal. Sebaliknya, jika menjauh dari garis
diagonal atau tidak mengikuti arah garis diagonal, regresi tidak memenuhi asumsi
normalitas. Berikut adalah uji grafik terhadap sebaran data instrumen:
Gambar 4.3
Grafik Uji Normalitas Sumber: Pengolahan dengan SPSS versi 22, 2016.
100
Berdasarkan data uji grafik diatas, dapat dilihat bahwa titik menyebar
disekitar garis diagonal dengan penyebaran yang mengikuti arah garis diagonal.
Dengan ini dinyatakan bahwa penyebaran titik tersebut memenuhi kriteria bahwa
data ini berdistribusi normal.
4.3 Deskripsi Data
Deskripsi data merupakan bagian untuk menjelaskan penelitian yang telah
diolah dari data mentah dengan mempergunakan teknik analisis data. Peneliti dalam
tahap ini akan melakukan analisis data berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara
yang dilakukan peneliti pada 65 responden dari perusahaan pengguna SPIPISE dan
2 orang informan penelitian, yang terdiri dari Kepala Bidang Data dan Pengaduan
dan Tenaga IT Bidang Penanaman Modal di Badan Penanaman Modal dan
Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMPPT) Kabupaten Lebak dengan menggunakan
teknik pengumpulan informan Purposive Sampling. Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan hasil penelitian, yaitu untuk mengetahui seberapa besar dan
bagaimana implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan
Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak. Analisis data hasil
penelitian dilakukan dengan menggunakan teori implementasi dari Van Metter Van
Horn (Winarno 2012:159) yang mana terdiri dari enam indikator dalam
implemantasi kebijkan, yaitu ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya,
karakteristik agen pelaksana, sikap/kecenderungan (disposisi) para pelaksana,
komunikasi antar organisasi dan aktivitas para pelaksana dan lingkungan
ekonomi,sosial serta lingkungan politik.
101
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kombinasi model
concurrent embedded, dengan metode kuantitatif sebagai metode primer dan
kualitatif sebagai metode sekunder, maka dalam proses menganalisis datanya pun
peneliti melakukan analisis kuantitatif dan kualitatif. Seperti yang telah dipaparkan
dalam bab sebelumnya, bahwa dalam prosesnya analisis dalam penelitian ini
menggunakan pengujian statistik untuk metode kuantitatif dan untuk metode
kualitatif menggunakan model interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan
Huberman, yaitu melakukan tiga kegiatan penting, yaitu reduksi data, penyajian
data dan menarik kesimpulan atau verifikasi hasil penelitian.
4.3.1 Identitas Responden
Adapun responden yang peneliti pilih yakni berjumlah 65 orang. Pada
pengisian kuesioner, responden diharuskan mengisi identitas diri yang meliputi
jenis kelamin, usia dan pendidikan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
beberapa diagram di bawah ini:
Diagram 4.1 Identitas Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
0% 20% 40% 60% 80%
PERMPUAN
LAKI-LAKI
29%
71%
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan Tahun 2016
102
Berdasarkan diagram 4.1 di atas, dapat diketahui bahwa persentase
responden laki-laki sebanyak 46 responden atau 71%, sedangkan responden
perempuan sebanyak 19 responden atau 29%. Hasil pengumpulan dan olah data
hasil kuesioner menunjukkan bahwa responden yang terpilih pada penelitian
mengenai implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan
Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak sebagian besar adalah berjenis
kelamin laki-laki, sedangkan selisih perbedaan adalah 42% dari responden yang
berjenis kelamin perempuan.
Diagram 4.2 Identitas Responden Berdasarkan Usia
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70%
> 56 TAHUN
46 - 55 TAHUN
36 - 45 TAHUN
26 - 35 TAHUN
17 - 25 TAHUN
0%
3%
12%
63%
22%
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan Tahun 2016
Berdasarkan diagram 4.2 di atas, terlihat bahwa responden berusia antara 17
– 25 tahun sebanyak 14 responden atau 22%, responden yang berusia 26 – 35 tahun
sebanyak 41 responden atau 63%, responden yang berusian 36 – 45 tahun sebanyak
8 responden atau 12% dan responden yang berusia 46 – 55 tahun sebanyak 2 orang
atau 3%.
103
Mayoritas responden yang terpilih pada penelitian mengenai implementasi
kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik
(SPIPISE) di Kabupaten Lebak adalah pada rentang 26 – 35 tahun dan yang paling
sedikit adalah responden dengan usia pada rentang 46 – 55 tahun.
Diagram 4.3 Identitas Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
0% 20% 40% 60% 80% 100%
PASCASARJANA
SARJANA
DIPLOMA
SMA / SEDERAJAT
SLTP / SEDERAJAT
3%
83%
14%
0%
0%
Sumber: Hasil Penelitian Lapanga Tahun 2016
Berdasarkan diagram 4.3 di atas, dapat diketahui bahwa sebanyak 9
responden atau 14% berpendidikan diploma, 54 responden atau 83% berpendidikan
sarjana dan 2 orang atau 3% berpendidikan pascasarjana. Mayoritas responden yang
terpilih pada penelitian mengenai implementasi kebijakan Sistem Pelayanan
Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak
adalah berpendidikan sarjana.
Adapun informan dalam penelitian ini adalah informan yang menurut
peneliti memahami betul mengenai permasalahan-permasalahan yang diteliti atau
biasa disebut peneliti menggunakan teknik purposive sampling. Untuk
104
mempermudah peneliti dalam melakukan analisis data kualitatif sebagai bagian
hasil penelitian yang akan digabungkan dengan analisis kuantitatif, maka peneliti
memberikan kode pada aspek-aspek tertentu. Kode-kode tersebut ditentukan
berdasarkan jawaban-jawaban yang sama dan berkaitan dengan permasalahan
penelitian. Yakni I1 adalah Bapak Rukim, SE.,M.Si selaku Kepala Bidang Data dan
Pengaduan BPMPPT dan I2 adalah Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom selaku
Tenaga IT Bidang Penanaman Modal BPMPPT Kabupaten Lebak.
4.3.2 Analisis Data
4.3.2.1 Analisis Data Kuantitatif
Analisis data kuantitatif merupakan tahap penyajian data untuk
mendeskripsikan data dari hasil penelitian yang dilakukan dengan menyebarkan
kuesioner. Kuesioner ini disebarkan kepada 65 responden. Dengan menggunakan
satu variabel penelitian, peneliti menggunakan teori implementasi kebijakan dari
Van Meter dan Van Horn. Dalam teori tersebut mengemukakan enam indikator
yang akan diuraikan ke dalam 40 pernyataan. Skala yang dipakai dalam kuesioner
adalah skala Likert, dengan pilihan jawaban sangat setuju bernilai 4, setuju bernilai
3, kurang setuju bernilai 2 dan tidak setuju bernilai 1. Maka semakin tinggi nilai
yang diperoleh dari kuesioner semakin baik pula implementasi kebijakan Sistem
Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di
Kabupaten Lebak begitupun sebaliknya.
Pemaparan jawaban responden atas kuesioner ini akan digambarkan dalam
bentuk diagram disertai pemaparan dan kesimpulan hasil jawaban dari pernyataan
yang diajukan melalui kuesioner berdasarkan indikator dalam teori tersebut serta
105
akan dipaparkan hasil wawancara dengan informan sebagai hasil dari analisis data
kualitatif yang dilakukan sebelumnya. Adapun pemaparan jawaban atas kuesioner
dan wawancara tersebut peneliti adalah sebagai berikut:
1. Indikator Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Indikator Ukuran dan Tujuan Kebijakan dari teori implementasi Van
Metter Van Horn didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor –
faktor yang menentukan kinerja kebijakan. Suatu kebijakan memiliki
ukuran dan tujuan yang dijadikan acuan berhasil atau tidaknya suatu
kebijakan tersebut diimplementasikan. Berikut adalah pemaparan mengenai
indikator ukuran dan tujuan kebijakan.
Diagram 4.4 Indikator Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan dari Kuesioner Nomor 1-4, 2016.
Berdasarkan diagram 4.4 di atas, hasil jawaban responden terhadap
indikator ukuran dan tujuan kebijakan yaitu pemahaman responden
mengenai ukuran kebijakan penerapan Sistem Pelayanan Informasi dan
106
Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) adalah sebesar 65%,
pemahaman responden mengenai tujuan kebijakan penerapan SPIPISE
sebesar 61.54%, kesesuaian antara pelaksanaan SPIPISE dengan tujuan
yang telah ditetapkan sebesar 62,31%, dan penilaian responden mengenai
kebijakan SPIPISE sudah tepat dan sesuai diterapkan pada perusahaan
Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanam Modal Asing (PMA)
di Kabupaten Lebak sebesar 62,31% serta di dapatkan rata-rata jawaban
responden mengenai ukuran dan tujuan kebijakan sebesar 63%.
Dari hasil jawaban responden di atas, dapat dilihat bahwa pernyataan
yang nilai persentasenya rendah adalah pada pertanyaan mengenai
pemahaman tujuan kebijakan yaitu sebesar 61,54%, hal ini secara kualitatif
berarti pemahaman responden mengenai tujuan kebijakan pada indikator
ukuran dan tujuan kebijakan termasuk dalam kategori kurang baik. Nilai
persentase yang sama terjadi pada pernyataan mengenai pemahaman
responden mengenai kesesuaian antara pelaksanaan SPIPISE dengan tujuan
yang telah ditetapkan sebesar 62,31% dan kebijakan SPIPISE sudah tepat
dan sesuai diterapkan pada perusahaan Penanam Modal Dalam Negeri
(PMDN) dan Penanam Modal Asing (PMA) di Kabupaten Lebak sebesar
62,31%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk kategori kurang baik.
Sementara itu untuk hasil jawaban responden yang nilai persentasenya
tinggi yakni mengenai pemahaman reponden terhadap ukuran kebijakan
sebesar 65%, hal ini berarti secara kualitatif penilaian responden mengenai
pemahaman mengenai ukuran kebijakan SPIPISE termasuk dalam kategori
107
baik. Selanjutnya rata-rata jawaban responden mengenai ukuran dan tujuan
kebijakan didapat angka sebesar 63%, hal ini secara kualitatif berarti
termasuk dalam kategori kurang baik.
2. Indikator Sumber daya
Keberhasilan dari implementasi sebuah kebijakan sangat bergantung
dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk
menunjang setiap kegiatan yang berkaitan dengan kebijakan tersebut.
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan sumber daya yang terpenting
dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan.
Setiap implementasi kebijakan akan menuntut keberadaan sumber
daya manusia yang berkualitas dalam hal ini untuk mendukung pemanfaatan
SPIPISE secara optimal. Selain itu sumber daya finansial dan waktu juga
merupakan faktor penunjang keberhasilan suatu kebijakan tersebut. Dalam
hal ini, salah satu hal terpenting dari implementasi SPIPISE ini adalah
fasilitas yang disediakan agar berjalan dengan baik dan sesuai dengan
harapan. Selain itu waktu pun dipertimbangkan agar dapat berjalan sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu diharapkan agar
SPIPISE ini dapat meningkatkan iklim investasi di Kabupaten Lebak.
Berikut adalah pemaparan mengenai indikator sumber daya.
108
Diagram 4.5 Indikator Sumber Daya
59% 60% 61% 62% 63% 64% 65% 66%
RATA-RATA
FASILITAS PENDUKUNG BAIK DAN MEMADAI
KETERSEDIAAN FASILITAS PENDUKUNG
DUKUNGAN FINANSIAL
WAKTU PENGINPUTAN CEPAT DAN AKURAT
MEMAHAMI KEWENANGAN
SENANTIASA BERDISKUSI BERTUKAR …
MENGETAHUI SEGALA INFORMASI SPIPISE
MENGETAHUI MAKSUD DAN TUJUAN SPIPISE
MEMAHAMI PROSES INPUT SPIPISE
KOMPETENSI YANG BAIK
SESUAI BIDANG
64%
64.62%
63.08%
62.31%
62.31%
61.54%
65%
62.31%
65%
65.38%
64.62%
63.08%
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan dari Kuesioner Nomor 5 – 15, 2016.
Berdasarkan diagram 4.5 di atas, hasil jawaban responden terhadap
indikator sumber daya yaitu, operator yang menangani SPIPISE memiliki
tingkat pendidikan yang sesuai dengan bidang pekerjaanya sebesar 63,08%,
operator yang menangani SPIPISE mempunyai kompetensi yang baik
dalam mengoperasikan SPIPISE sebesar 64,62%, operator yang menangani
SPIPISE memahami proses penginputan data dalam SPIPISE sebesar
65,38%, operator yang menangani SPIPISE mengetahui maksud dan tujuan
pelayanan SPIPISE sebesar 65%, para operator pengguna aplikasi SPIPISE
mengetahui segala informasi yang terdapat dalam penerapan SPIPISE
sebesar 62,31%, para operator pengguna aplikasi SPIPISE senantiasa
berdiskusi dan bertukar informasi dengan sesama rekan kerja sebesar 65%,
operator pengguna aplikasi SPIPISE memahami kewenangan dalam
menjalankan SPIPISE sebesar 61,54%, waktu yang dibutuhkan dalam
109
penginputan data baik perizinan dan non perizinan ke dalam SPIPISE cepat
dan akurat sebesar 62,31%, penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak di
dukung oleh sumber daya finansial yang cukup sebesar 62,31%, operator
pengguna aplikasi SPIPISE disediakan fasilitas pendukung yang memadai
dalam pelaksanaan pelayanan informasi dan perizinan investasi sebesar
63,08%, dan fasilitas pendukung baik sarana dan prasarana dalam
penerapan SPIPISE sudah memadai sebesar 64,62% serta di dapatkan rata-
rata jawaban responden mengenai sumber daya mencapai angka sebesar
64%.
Dari hasil jawaban responden di atas, dapat dilihat bahwa pernyataan
yang nilai persentasenya rendah adalah mengenai pemahaman operator
pengguna aplikasi SPIPISE mengenai kewenangan dalam menjalankan
SPIPISE yakni sebesar 61,54%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk
dalam kategori kurang baik. Nilai persentase yang tinggi didapat pada
pernyataan mengenai pemahaman operator yang menangani SPIPISE dalam
proses penginputan data dalam SPIPISE yakni sebesar 65,38%, hal ini
secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori baik. Nilai persentase yang
sama yakni sebesar 63,08% didapat dari hasil jawaban responden mengenai
tingkat pendidikan operator SPIPISE sudah sesuai bidang kerjanya dan
ketersediaan fasilitas pendukung penggunaan SPIPISE, hal ini secara
kualitatif berarti termasuk dalam kategori kurang baik. Pernyataan
mengenai kompetensi operator dalam menggunakan SPIPISE dan kondisi
fasilitas pendukung yang baik dan memadai mempunyai nilai persentase
110
yang sama juga yakni 64,62%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk
dalam kategori kurang baik. Pernyataan mengenai pengetahuan operator
pengguna SPIPISE tentang maksud dan tujuan penggunaan SPIPISE dan
operator SPIPISE yang senantiasa berdiskusi dan bertukar informasi
keduanya mencapai angka sebesar 65%, hal ini secara kualitatif berarti
termasuk dalam kategori baik. Selanjutnya rata-rata jawaban responden
mengenai sumber daya didapatkan angka sebesar 64%, hal ini secara
kualitatif berarti termasuk dalam kategori kurang baik.
3. Indikator Karakteristik Agen Pelaksana
Karakteristik agen pelaksana merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Agen pelaksana
dari kebijakan ini adalah BPMPPT Lebak, BKPMPT Provinsi, BKPM RI
dan investor.
Karakteristik yang harus dimiliki oleh para implementor tersebut
adalah kemampuan IT minimal sudah familiar dengan penggunaan
komputer atau laptop dan melakukan penelusuran di jaringan internet
karena hal ini berkaitan dengan pengoperasian SPIPISE, dedikasi,
pemahaman SOP serta komitmen yang dimiliki oleh setiap personal dari
pengguna SPIPISE dan pengelola SPIPISE ini. Berikut adalah pemaparan
mengenai penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak dengan indikator
karakteristik agen pelaksana.
Kesesuaian karakteristik ini bisa dilihat dari kinerja mereka setelah
keberadaan dari SPIPISE berkaitan dengan proses perencanaan
111
pembangunan di Kabupaten Lebak. Jika memang kinerja mereka lebih baik
setelah kebaradaan SPIPISE maka karakteristik agen pelaksana dari
implementasi kebijakan ini sudah dapat dikatakan sesuai, begitu pun
sebaliknya.
Diagram 4.6 Indikator Karakteristik Agen Pelaksana
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan dar Kuesioner Nomor 16 – 19, 2016.
Berdasarkan diagram 4.6 di atas, hasil jawaban responden terhadap
indikator karakteristik agen pelaksana yaitu, operator pengguna aplikasi
SPIPISE memahami tentang FAQ & troubleshoot yang diberikan oleh
PUSDATIN BKPM Pusat sebesar 65,38%, semua operator pengguna
aplikasi SPIPISE megetahui tentang Standard Operating Procedures (SOP)
yang diterapkan sebesar 65%, pelaksanaan SPIPISE sudah sesuai dengan
Standard Operating Procedures (SOP) sebesar 62,31%, dan di dalam
lingkungan kerja Operator pelaksana SPIPISE dalam aktivitasnya sudah
60% 61% 62% 63% 64% 65% 66%
RATA-RATA
SESUAI TUPOKSI
SESUAI STANDARD OPERATING PROCEDURES
MENGETAHUI STANDARD OPERATING PROCEDURES
MEMAHAMI FAQ & TROUBLESHOOT SPIPISE
65%
65.38%
62.31%
65%
65.38%
112
sesuai dengan tupoksinya masing-masing sebesar 65,38%, serta didapatkan
rata-rata sebesar 65%.
Dari hasil jawaban responden di atas, dapat dilihat bahwa
pernyataan yang nilai persentasenya rendah adalah mengenai kesesuaian
pelaksanaan SPIPISE dengan Standard Operating Procedures (SOP) yakni
sebesar 62,31%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk kategori kurang
baik. Sementara itu, pernyataan yang nilai persentasenya tinggi adalah
mengenai pemahaman pengguna SPIPISE tentang FAQ & troubleshoot
yang diberikan oleh PUSDATIN BKPM Pusat dan pelaksana SPIPISE
dalam aktivitasnya sudah sesuai dengan tupoksinya masing-masing yakni
sebesar 65,38%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori
baik. Selanjutnya pernyataan mengenai pengetahuan pengguna SPIPISE
tentang Standard Operating Procedures (SOP) yang diterapkan mencapai
angka sebesar 65%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk kategori baik.
Adapun rata-rata yang didapatkan adalah sebesar 65%, hal ini secara
kualitatif berarti termasuk dalam kategori baik.
4. Indikator Sikap/kecenderungan (disposisi) Para Pelaksana
Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat
banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi
kebijakan. Sikap tersebut bisa berbentuk dukungan yang mana dukungan
tersebut akan sangat berpengaruh dalam penerapan suatu kebijakan.
Dalam hal ini kaitannya adalah SPIPISE maka kita bisa mengetahui
bagaimana kecenderungan para pengguna SPIPISE ini, apakah mereka
113
cenderung menerima atau menolak kebijakan ini berkaitan dengan
keberadaan SPIPISE yang bertujuan untuk memudahkan proses
pembangunan di bidang investasi di Kabupaten Lebak. Berikut adalah
pemaparan mengenai indikator sikap/kecenderungan (disposisi) para
pelakasana:
Diagram 4.7 Indikator Sikap/Kecenderungan (Disposisi) Para Pelaksana
59% 60% 61% 62% 63% 64% 65%
RATA-RATA
SETIAP IMBALAN DIPERINCI DENGAN …
BEBAN TUGAS SESUAI INSENTIF ATAU GAJI
MENDAPATKAN INSENTIF ATAU GAJI …
MEMENTINGKAN KEPENTINGAN …
KEMAUAN MENGOPERASIKAN SPIPISE
TERWUJUDNYA TRANSPARANSI DAN …
DUKUNGAN PERUSAHAAN PMDN DAN …
DUKUNGAN PEMDA LEBAK UNTUK SPIPISE
63%
61.54%
65%
65%
62.31%
62.31%
61.54%
65%
64.62%
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan dari Kuesioner Nomor 20-27, 2016.
Berdasarkan diagram 4.7 di atas, hasil jawaban responden terhadap
indikator sikap/kecenderungan (disposisi) para pelaksana yaitu, Pemerintah
Daerah Kabupaten Lebak mendukung penuh penerapan SPIPISE pada
perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing
yang ada di Kabupaten Lebak sebesar 64,62%, perusahaan PMDN dan
PMA di Kabupaten Lebak mendukung penuh penerapan SPIPISE sebesar
65%, terwujudnya transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan
penanaman modal dengan adanya SPIPISE ini sebesar 61,54%, operator
114
pengguna aplikasi SPIPISE memiliki kemauan yang tinggi dalam
mengoperasikan SPIPISE sebesar 62,31%, operator pengguna aplikasi
SPIPISE selalu mementingkan kepentingan organisasi dibandingkan
dengan kepentingan pribadi sebesar 62,31%, operator pelaksana SPIPISE
mendapatkan insentif atau gaji sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan
sebesar 65%, beban tugas yang diberikan dalam input data perizinan dan
penanaman modal sesuai dengan insentif atau gaji yang diberikan sebesar
65% dan setiap jenis imbalan diperinci dengan jelas dan sesuai dengan
aturan yang berlaku sebesar 61,54% serta didapatkan rata-rata sebesar 63%.
Dari hasil jawaban responden di atas, dapat dilihat bahwa pernyataan
yang nilai persentasenya rendah adalah mengenai terwujudnya transparansi
dan akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya
SPIPISE dan setiap jenis imbalan diperinci dengan jelas dan sesuai dengan
aturan yang berlaku yakni sebesar 61,54%, hal ini secara kualitatif berarti
termasuk dalam kategori kurang baik. Pernyataan yang nilai persentasenya
tinggi adalah mengenai dukungan perusahaan PMDN dan PMA di
Kabupaten Lebak penerapan SPIPISE, operator pelaksana SPIPISE
mendapatkan insentif atau gaji sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan,
dan beban tugas yang diberikan dalam input data perizinan dan penanaman
modal sesuai dengan insentif atau gaji yang diberikan sebesar 65%, hal ini
secara kualitatif termasuk dalam kategori baik. Sementara itu dukungan
Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dalam penerapan SPIPISE pada
perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing
115
yang ada di Kabupaten Lebak sebesar 64,62%, hal ini secara kualitatif
termasuk dalam kategori kurang baik. Selanjutnya mengenai pernyataan
operator pengguna aplikasi SPIPISE memiliki kemauan yang tinggi dalam
mengoperasikan SPIPISE dan operator pengguna aplikasi SPIPISE selalu
mementingkan kepentingan organisasi dibandingkan dengan kepentingan
pribadi sebesar 62,31%, hal ini secara kualitatif termasuk dalam kategori
kurang baik. Adapun rata-rata yang didapatkan dari hasil jawaban
responden adalah 63%, hal ini secara kualitatif termasuk dalam kategori
kurang baik.
5. Indikator Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Para
Pelaksana
Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para
pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten
dan seragam dari berbagai sumber informasi. Kejelasan dan konsistensi
komunikasi antarorganisasi dan aktivitas para pelaksana sangat penting agar
memberi kemudahan dalam pelaksanaann suatu kebijakan. Disamping itu,
koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi
kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak – pihak
yang terlibat dalam implementasi kebijakan, dalam hal ini adalah
implementasi SPIPISE di Kabupaten Lebak maka kesalahan akan semakin
kecil, begitupun sebaliknya. Berikut adalah pemaparan mengenai indikator
tersebut:
116
Diagram 4.8 Indikator Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivtas Pelaksana
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan dari Kuesioner Nomor 28 – 37, 2016.
Berdasarkan diagram 4.8 di atas, dapat dilihat bahwa hasil jawaban
responden terhadap indikator komunikasi antarorganisasi dan aktivitas para
pelaksana yaitu, penyampaian komunikasi dari atasan kepada operator yang
menangani SPIPISE sudah baik dinilai responden sebesar 62,31%, operator
pelaksana SPIPISE berkomunikasi dengan baik dengan sesama operator
dalam pelaksanaan SPIPISE sebesar 62,31%, operator pengguna aplikasi
SPIPISE melakukan koordinasi yang baik dengan atasan dalam proses
pelayanan SPIPISE sebesar 63,08%, koordinasi dengan sesama operator
pengguna SPIPISE sudah terjalin dengan baik sebesar 64,62%, kejelasan
komunikasi tentang pelaksanaan SPIPISE sudah baik sebesar 65,38%,
dalam menjalankan tugas operator pengguna SPIPISE diberi pengarahan
sesuai dengan bidang kerjanya masing-masing sebesar 65%, konsistensi
arahan dari atasan kepada operator dalam pelaksanaan inputing data
SPIPISE sudah terjalin dengan baik sebesar 62,31%, operator pelaksana
59% 60% 61% 62% 63% 64% 65% 66%
RATA-RATA
KEMUDAHAN LAYANAN DIKETAHUI …
SOSIALISASI PENERAPAN SPIPISE
KONSISTENSI KOMUNIKASI DAN …
KONSISTENSI ARAHAN DARI ATASAN
PENGARAHAN SESUAI BIDANG KERJA
KEJELASAN KOMUNIKASI
KOORDINASI SESAMA OPERATOR
KOORDINASI DENGAN ATASAN
KOMUNIKASASI SESAMA OPERATOR …
KOMUNIKASI DENGAN ATASAN
63%
61.54%
62.31%
65.38%
62.31%
65%
65.38%
64.62%
63.08%
62.31%
62.31%
117
SPIPISE konsisten melakukan koordinasi dan komunikasi dengan sesama
operator dalam pelaksanaan SPIPISE sebesar 65,38%, sosialisasi yang
dilakukan dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak cukup baik dan
mudah dipahami sebesar 62,31%, kemudahan layanan informasi tentang
SPIPISE sudah diketahui oleh masyarakat umum sebesar 61,54%. Sehingga
didapatkan rata-rata sebesar 63%.
Dari hasil jawaban responden di atas, dapat dilihat bahwa pernyataan
yang nilai persentasenya rendah terdapat pada pernyataan tentang
kemudahan layanan informasi SPIPISE sudah diketahui oleh masyarakat
umum dengan angka sebesar 61,54%, hal secara kualitatif berarti termasuk
dalam kategori kurang baik. Pernyataan yang nilai persentasenya tinggi
terdapat pada pernyataan tentang kejelasan komunikasi tentang pelaksanaan
SPIPISE yang sudah baik dan komunikasi dengan sesama operator dalam
pelaksanaan SPIPISE yakni sebesar 65,38%, hal ini secara kualitatif berarti
termasuk dalam kategori baik. Sementara itu, untuk pernyataan
penyampaian komunikasi dari atasan kepada operator yang menangani
SPIPISE sudah baik, operator pelaksana SPIPISE berkomunikasi dengan
baik dengan sesama operator dalam pelaksanaan SPIPISE, konsistensi
arahan dari atasan kepada operator dalam pelaksanaan inputing data
SPIPISE sudah terjalin dengan baik, dan sosialisasi yang dilakukan dalam
penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak cukup baik dan mudah dipahami
didapatkan nilai sebesar 62,31%, hal ini secara kualitatif termasuk dalam
kategori kurang baik. Selanjutnya pernyataan tentang koordinasi yang baik
118
dengan atasan dalam proses pelayanan SPIPISE sebesar 63,08% dan
koordinasi dengan sesama operator pengguna SPIPISE sudah terjalin
dengan baik sebesar 64,62%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam
kategori kurang baik. Untuk pernyataan tentang pemberian arahan sesuai
dengan bidang kerjanya masing-masing di dalam menjalankan tugas
operator pengguna SPIPISE sebesar 65%, hal ini secara kualitatif berarti
termasuk dalam kategori baik. Adapun untuk rata-rata yang didapatkan
adalah sebesar 63%, hal ini secara kualitatif termasuk dalam kategori kurang
baik.
6. Indikator Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja
implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut
mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan
politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan
kinerja implementasi kebijakan.
Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi
eksternal yang kondusif. Berikut adalah pemaparan mengenai indikator
tersebut.
119
Diagram 4.9 Indikator Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik
59% 60% 61% 62% 63% 64% 65%
RATA-RATA
PENGARUH POLITIK
PENGARUH SOSIAL
PENGARUH EKONOMI
63%
62.31%
61.54%
65%
Sumber: Hasil Peneitian Lapangan dari Kuesioner Nomor 38 – 40, 2016.
Berdasarkan diagram 4.9 di atas, dapat dilihat bahwa hasil jawaban
responden terhadap indikator lingkungan ekonomi, sosial, dan politik yaitu,
lingkungan ekonomi turut mempengaruhi kebijakan SPIPISE di Kabupaten
Lebak sebesar 65%, lingkungan sosial turut mempengaruhi kebijakan
SPIPISE di Kabupaten Lebak sebesar 61,54%, dan lingkungan politik turut
mempengaruhi kebijakan SPIPISE di Kabupaten Lebak sebesar 62,31%
serta didapatkan rata-rata sebesar 63%.
Dari hasil jawaban responden di atas, dapat dilihat bahwa pernyataan
yang nilai persentasenya rendah terdapat pada pernyataan tentang pengaruh
lingkungan sosial terhadap kebijakan SPIPISE di Kabupaten Lebak sebesar
61,54%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori kurang
baik. Untuk pernyataan yang nilai persentasenya tinggi terdapat pada
pernyataan tentang pengaruh lingkungan ekonomi terhadap kebijakan
SPIPISE di Kabupaten Lebak yakni sebesar 65%, hal ini secara kualitatif
120
berarti termasuk dalam kategori baik. Selanjutnya untuk pernyataan tentang
pengaruh lingkungan politik terhadapa kebijakan SPIPISE di Kabupaten
Lebak adalah sebesar 62,31%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk
dalam kategori kurang baik. Adapun nilai rata-rata untuk indikator ini
adalah 63%, hal ini secara kualitatif termasuk dalam kategori kurang baik.
4.3.2.2 Analisis Data Kualitatif
Analisis data kualitatif merupakan pemaparan hasil penelitian yang
didapatkan dengan melakukan wawancara dengan dua orang informan yang
dianggap mewakili dalam memberikan data terhadap implementasi kebijakan
Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE)
di Kabupaten Lebak yakni I1 adalah Bapak Rukim, SE.,M.Si selaku Kepala Bidang
Data dan Pengaduan BPMPPT dan I2 adalah Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom
selaku Tenaga IT Bidang Penanaman Modal BPMPPT Kabupaten Lebak.
Adapun dalam menganalisis data hasil penelitian lapangan dengan
menggunakan teori dari Van Metter dan Van Horn yang mana terdiri dari enam
indikator dalam impelementasi, yaitu ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya,
karakteristik agen pelaksana, sikap atau kecenderungan para pelaksana, komunikasi
antarorganisasi dan aktivitas pelaksana, dan lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
Berikut adalah analisis data penelitian mengenai “implementasi kebijakan Sistem
Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di
Kabupaten Lebak.
121
1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Indikator Ukuran dan Tujuan Kebijakan dari teori implementasi Van
Metter Van Horn didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor –
faktor yang menentukan kinerja kebijakan. Suatu kebijakan memiliki
ukuran dan tujuan yang dijadikan acuan berhasil atau tidaknya suatu
kebijakan tersebut diimplementasikan. Berikut adalah analisis data peneliti
terkait indikator ukuran dan tujuan kebijakan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan I1 mengenai ukuran dan tujuan
kebijakan dijelaskan bahwa Ukurannya adalah Perka BKPM RI Nomor 14
tahun 2009 tentang SPIPISE. Pada dasarnya tujuannya adalah untuk
mengindentifikasi jumlah investasi yang masuk dan untuk
mengintegrasikan semua perizinan, mempermudah serta mempercepat
pelayanan perizinan bagi para investor. Sedangkan hasil wawancara dengan
I2 dijelaskan bahwa Ukuran dan tujuannya tertuang dalam Perka BKPM RI
Nomor 14 tahun 2009 tentang SPIPISE. Pada dasarnya tujuan SPIPISE ini
adalah mengakomodasi data-data perusahaan dari tahap pembangunan
sampai produksi. (Hasil wawancara dengan Bapak Rukim, SE,.M.Si selaku
Kepala Bidang Data dan Pengaduan dan Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom
selaku Tenaga IT bidang Penanaman Modal BPMPPT Kabupaten Lebak
pada hari Rabu tanggal 7 September 2016 di Kantor BPMPPT Kabupaten
Lebak).
122
a) Pemahaman Operator Perusahaan Mengenai Ukuran Kebijakan
SPIPISE
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengapa pengetahuan
operator perusahaan tentang ukuran kebijakan SPIPISE yang mencapai
angka 65%, walaupun angka tersebut sesuai dengan hipotesis yang peneliti
tuliskan namun tentunya peneliti ingin mengetahui secara mendalam
tentang hal ini.
Dari kedua informan yang telah peneliti wawancara, kedua informan
tersebut memberikan informasi yang sama bahwa pemahaman operator
perusahaan mengenai ukuran kebijakan SPIPISE dinilai masih kurang
karena memang hal ini dipengaruhi oleh sosialisasi yang kurang sehingga
penyerapan informasi juga kurang, namun kedua informan tersebut juga
menjelaskan bahwa baik perusahaan PMDN dan PMA tetap konsisten
menggunakan SPIPISE karena memang mempermudah dalam urusan
pelayanan perizinan investasi di Kabupaten Lebak.
b) Pemahaman Operator Perusahaan Mengenai Tujuan Kebijakan
SPIPISE.
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai pemahaman
operator mengenai tujuan kebijakan SPIPISE yang hanya mendapatkan
persentase sebesar 61,54% dari hasil yang hipotesiskan yaitu sebesar 65%.
Dari wawancara dengan kedua infoman dijelaskan bahwa
pemahaman mengenai tujuan kebijakan SPIPISE memang masih kurang,
hal ini disebabkan oleh sosialisasi yang kurang, pembinaan dan pelatihan
123
yang belum optimal serta kurangnya jumlah dan kompetensi operator
perusahaan, sehingga informasi mengenai tujuan SPIPISE belum
sepenuhnya di pahami oleh operator perusahaan.
c) Kesesuaian Pelaksanaan SPIPISE dengan Tujuannya
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengapa kesesuaian
pelaksanaan SPIPISE dengan tujuannya hanya mencapai angka sebesar
62,31% dari hasil yang diharapkan. Tujuan dari pelaksanaan SPIPISE sudah
tertuang dengan jelas dalam Perka BKPM RI Nomor 14 tahun 2009. Adapun
maksud dan tujuan SPIPISE adalah untuk mengatur penanam modal,
penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu di bidang penanaman modal,
serta instansi teknis dalam mengajukan permohonan, atau penyelenggaraan
perizinan dan non perizinan dengan SPIPISE. SPIPISE bertujuan untuk
mewujudkan :
1. Penyelenggaraan PTSP sebagaimana diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu
Pintu di Bidang Penanaman Modal;
2. Integrasi data dan pelayanan perizinan dan nonperizinan;
3. Pelayanan perizinan dan nonperizinan yang mudah, cepat, tepat,
transparan, dan akuntabel;
4. Keselarasan kebijakan dalam pelayanan penanaman modal
antarsektor dan pusat dengan daerah.
Berdasarkan wawancara dengan kedua informan dijelaskan bahwa
penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak dinilai belum sesuai dengan
124
tujuannya karena masih adanya kendala – kendala atau permasalahan yang
sering terjadi dan permasalahan tersebut menghambat implementasi
SPIPISE di Kabupaten Lebak. Permasalahan yang terjadi, diantaranya
server dan bandwidth sering bermasalah, hal ini terjadi karena server dan
bandwidth tersebut berada di BKPM Pusat dan diakses oleh semua
pemerintah daerah di bidang perizinan sehingga tidak mampu
menampungnya, sumber daya manusia yang kurang, masih ada izin usaha
yang nilainya lebih dari 500 juta belum terintegrasi dengan SPIPISE dan
belum optimalnya pelayanan terpadu satu pintu karena masih ada perizinan
yang dikelola oleh dinas teknis terkait.
d) Ketepatan Penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui secara mendalam mengapa
ketepatan penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak hanya mencapai angka
persentase sebesar 62,31% dari hasil yang diharapkan. Jika kebijakan ini
tepat maka tentunya akan membantu daerah dalam pertumbuhan nilai
realisasi investasi dan PAD Kabupaten Lebak tersebut, namun sebaliknya
jika kebijakan ini tidak tepat maka diperlukan kebijakan lainnya untuk
meningkatkan nilai realisasi investasi di Kabupaten Lebak.
Berdasarkan hasil wawancara dijelaskan bahwa kebijakan SPIPISE
sudah tepat diterapkan pada PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak, namun
diperolehnya persentase sebesar 62,31% karena dalam pelaksanaannya
masih terdapat beberapa kekurangannya diantaranya investasi di Lebak bisa
dikatakan belum berskala besar sehingga perlu adanya kebijakan yang
125
bersifat teknis untuk mendukung kebijakan SPIPISE tersebut, fasilitas
pendukung seperi jaringan internet, komputer dan lainnya yang menunjang
penerapan SPIPISE belum sepenuhnya mencukupi sehingga perlu
dilengkapi.
2. Sumber Daya
Dalam hal ini, salah satu hal terpenting dari implementasi SPIPISE
ini adalah kompetensi pelaksana, fasilitas pendukung, dukungan finansial
yang disediakan agar berjalan dengan baik dan sesuai dengan harapan.
Selain itu waktu pun dipertimbangkan agar dapat berjalan sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu diharapkan agar SPIPISE ini
dapat meningkatkan PAD Kabupaten Lebak di bidang penanaman modal.
Berikut adalah hasil analisis kualitatif untuk indikator sumber daya.
a) Kompetensi Pelaksana
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai kompetensi para
pelaksana dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak yang dalam
analisis kuantitatif hanya mencapai angka sebesar 64,62% dari hasil yang
diharapkan. Kompetensi para pelaksana yang mendukung tentunya akan
memudahkan penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak, namun jika
sebaliknya maka kebijkan ini akan sulit diterapkan di Kabupaten Lebak.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua informan dijelaskan
bahwa jumlah dan kompetensi pelakana dalam penerapan SPIPISE baik di
BPMPPT Lebak dan perusahaan PMDN dan PMA dinilai belum mecukupi.
Hal ini terjadi karena jumlah operator SPIPISE di BPMPPT masih kurang
126
yakni hanya ada 4 orang, padahal jumlah yang di perlukan di kantor
BPMPPT Lebak untuk pengoperasian SPIPISE minimal 6 orang. Sementara
untuk operator SPIPISE pada perusahaan PMDN dan PMA dinilai oleh
kedua informan bahwa pemahaman mereka tentang SPIPISE masih kurang
karena SDM di perusahaan belum ada yang secara khusus memahami
SPIPISE.
b) Pemahaman Operator Mengenai Proses Input SPIPISE
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui tentang pemahaman
operator dalam penginputan data perusahaan ke dalam SPIPISE yang pada
analisis kuantitatif mencapai angka 65,38% dan sudah mencapai apa yang
diharapkan oleh peneliti.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua informan dijelaskan
bahwa operator SPIPISE sudah memahami penginputan data perusahaan ke
dalam SPIPISE. SPIPISE sendiri digunakan untuk pembuatan laporan
kegiatan penanaman modal (LKPM) yang mana menjadi hal wajib bagi
setiap perusahaan untuk melakukannya setiap triwulan. Meskipun masih
ada permasalahan dalam hal penginputan namun selama ini belum ada
pengaduan resmi dari para investor.
c) Pengetahuan Operator Mengenai Maksud dan Tujuan Penerapan
SPIPISE
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai pengetahuan
operator SPIPISE tentang maksud dan tujuan diterapkannya SPIPISE di
127
Kabupaten Lebak yang pada analisis kuantitatif mencapai angka sebesar
65% dan sesuai dengan hasil yang diharapkan peneliti.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua informan dijelaskan
bahwa pemahaman operator SPIPISE mengenai maksud dan tujuan
diterapkannya SPIPISE di Kabupaten Lebak sudah baik, karena SPIPISE
bertujuan untuk mempermudah pelayanan kepada masyarakat di bidang
penanaman modal dan juga untuk meningkatkan nilai realisasi investasi.
d) Pengetahuan Operator Mengenai Segala Informasi Tentang
SPIPISE
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai penyebab
pengetahuan operator mengenai segala informasi tentang SPIPISE yang
hanya mencapai angka sebesar 62,31% dan hal ini belum sesuai dengan
harapan peneliti.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua informan dijelaskan
bahwa untuk pengetahuan operator SPIPISE mengenai semua informasi
tentang SPIPISE masih kurang, hal ini karena sosialisasi yang dilakukan
belum optimal, dan juga pembinaan serta pelatihan belum efektif, namun
selama ini belum ada pengaduan mengenai kendala dalam penggunaan
SPIPISE dari para penanam modal.
e) Waktu Penginputan Data Cepat dan Akurat
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai lama waktu yang
dibutuhkan dalam penginputan data ke dalam SPIPISE yang pada analisis
kuantitatif hanya mencapai angka sebesar 62,31% dari hasil yang
128
diharapkan peneliti. Hal ini tentunya belum sesuai dengan apa yang
diharapkan peneliti.
Berdasarkan wawancara dengan kedua informan dijelaskan bahwa
dalam hal lama waktu yang dibutuhkan dalam melakukan penginputan ke
dalam SPIPISE tergantung perizinan yang diproses, ada yang 3 hari, 7 hari
dan 10 hari, semua sudah ada mekanisme yang mengaturnya. Adapun
ketepatan waktu penginputan data perizinanan dan non perizinan dengan
adanya SPIPISE ini dinilai jika tidak ada gangguan server dan jaringan
internet bisa tepat waktu sesuai SOP tergantung perizinan yang di proses.
Namun seringkali terjadi tidak sesuai SOP yang ada.
f) Dukungan Finansial
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai dukungan
finansial dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak yang pada analisis
kuantitatif hanya mencapai angka sebesar 62,31%. Hal ini tentunya tidak
sesuai dengan apa yang diharapkan peneliti karena tidak mencapai angka
yang dihipotesiskan yaitu 65%.
Berdasarkan hasil wawancara dijelaksan bahwa untuk dukungan
dari sumber daya finansial dalam penerapan SPIPISE ini dijelaskan sudah
mendukung namun masih belum mencukupi karena masih ada
permasalahan dari segi finansial dalam penerapan SPIPISE yang kurang,
salah satunya adalah dana untuk mengadakan sosialisasi, dimana
pelaksanaan sosialisasi hanya 1 tahun sekali seperti dijelaskan dalam
wawancara dengan I1 dan I2 berikut.
129
“Sudah mendukung, karena sarana dan prasarana disediakan oleh BKPM RI, sementara dana dari APBD digunakan untuk biaya operasional turut serta dalam pendidikan dan pelatihan tentang pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) yang mana termasuk di dalamnya ada materi tentang SPIPISE.” (Wawancara dengan Bapak Rukim, SE,.M.Si selaku Kepala Bidang Data dan Pengaduan BPMPPT Kabupaten Lebak pada hari Rabu tanggal 7 September 2016 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak).
“Untuk sarana dan prasarana sudah didukung oleh BKPM RI. Namun dukungan finansial untuk acara sosialisasi masih kurang, dimana BPMPPT Lebak sering kali mengajukan pelaksanaan sosialisasi 3-4 kali namun yang di acc hanya 1 kali dalam setahun.” (Wawancara dengan Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom selaku Tenaga IT bidang Penanaman Modal BPMPPT Kabupaten Lebak pada hari Rabu tanggal 7 September 2016 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak).
g) Ketersediaan dan Kondisi Fasilitas Pendukung
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai ketersediaan
fasilitas pendukung pengoperasian SPIPISE yang pada analisis kuantitatif
hanya mencapai angka sebesar 63,08%. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan
apa yang diharapkan peneliti dari angka yang dihipotesiskan sebesar 65%.
Berdasarkan wawancara dengan kedua informan dijelaskan bahwa
untuk fasilitas pendukung untuk menunjang penggunaan SPIPISE masih
kurang yakni dari segi pengadaan komputer atau pc dan jaringan internet
yang masih kurang baik, dan hal ini sedikit menghambat dalam penggunaan
SPIPISE di Kabupaten Lebak dan tentunya dibutuhkan penambahan untuk
fasilitas tersebut.
3. Karakteristik Agen Pelaksana
Karakteristik yang harus dimiliki oleh para implementor tersebut
adalah kemampuan IT minimal sudah familiar dengan penggunaan
130
komputer atau laptop dan melakukan penelusuran di jaringan internet karena
hal ini berkaitan dengan pengoperasian SPIPISE, dedikasi serta komitmen
yang dimiliki oleh setiap personal dari pengguna SPIPISE dan pengelola
SPIPISE ini. Berikut adalah hasil analisis kualitatif untuk indikator
karakteristik agen pelaksana. adalah hasil analisis kualitatif untuk indikator
sumber daya.
a) Pemahaman Operator SPIPISE Mengenai FAQ & Troubleshoot
SPIPISE
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai pemahaman
operator SPIPISE mengenai FAQ & Troubleshoot SPIPISE di Kabupaten
Lebak yang dalam analisis kuantitatif mencapai angka sebesar 65,38% dan
melebihi hasil yang diharapkan yakni 65%.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua informan dijelaskan
bahwa pemahaman operator perusahaan tentang FAQ & troubleshoot yang
diberikan oleh Pusdatin BKPM Pusat dijelaskan bahwa operator perusahaan
cukup memahami, karena FAQ & troubleshoot sudah diberitahu sejak awal
penerapan SPIPISE ini, dan itu dibuktikan dengan belum ada laporan ke kita
mengenai kendala tentang itu.
b) Pengetahuan Operator SPIPISE Mengenai Standard Operating
Procedures (SOP) SPIPISE
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai pengetahuan
operator SPIPISE mengenai SOP dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten
Lebak yang pada analisis kuantitatif mencapai angka sebesar 65%, dalam
131
kategori kualitatif dikatakan baik. Hal ini sesuai dengan angka yang
dihipotesiskan peneliti yakni 65%.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua informan dijelaskan
bahwa dalam hal pemahaman operator SPIPISE mengenai Standard
Operating Procedures SOP yang diterapkan sudah cukup. Karena
perusahaan menggunakan SPIPISE untuk memudahkan pelayanan
perizinan dan sudah ada SOP yang mengatur itu.
c) Penerapan SPIPISE Sesuai dengan Standard Operating Procedures
(SOP)
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai mengapa
penerapan SPIPISE belum sesuai dengan SOP, karena pada analisis
kuantitatif diperoleh angka sebesar 62,31% dari kriteria yang diharapkan
yakni 65%. Hal ini dalam kategori kualitatif termasuk rendah.
Adapun mengenai Apakah penerapan SPIPISE sudah sesuai dengan
SOP, dijelaskan oleh I1 sebagai berikut:
“Belum sesuai, karena memang seringkali perizinan yang diproses mendapatkan tanda merah yang artinya perizinan tersebut keluar dari SOP. Hal ini terjadi karena server dan bandwidth yang bermasalah. Namun tidak berpengaruh terhadap perizinan hanya saja sering keluar dari SOP.” (Wawancara dengan Bapak Rukim, SE,.M.Si selaku Kepala Bidang Data dan Pengaduan BPMPPT Kabupaten Lebak pada hari Rabu tanggal 7 September 2016 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak).
Hal ini dikonfirmasi oleh I2 terkait dengan penerapan SPIPISE sudah
sesuai dengan SOP sebagai berikut:
“Sangat belum sesuai karena seringnya gangguan server dan jaringan, data perizinan sering mendapatkan tanda merah yang artinya keluar dari SOP dan tentunya hal ini harus bisa
132
diselesaikan.” (Wawancara dengan Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom selaku Tenaga IT bidang Penanaman Modal BPMPPT Kabupaten Lebak pada hari Rabu tanggal 7 September 2016 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, diketahui bahwa penerapan
SPIPISE belum sesuai dengan SOP karena seringnya gangguan server dan
jaringan, data perizinan sering mendapatkan tanda merah yang artinya
keluar dari SOP dan tentunya hal ini harus bisa diselesaikan. Namun tidak
berpengaruh terhadap perizinan hanya saja sering keluar dari SOP.
4. Sikap/Kecenderungan (Disposisi) Para Pelaksana
Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat
banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi
kebijakan. Dalam hal ini kaitannya adalah SPIPISE maka kita bisa
mengetahui bagaimana kecenderungan para pengguna SPIPISE ini, apakah
mereka cenderung menerima atau menolak kebijakan ini berkaitan dengan
keberadaan SPIPISE yang bertujuan untuk memudahkan proses
perencanaan pembangunan Kabupaten Lebak. Berikut adalah hasil analisis
kualitatif mengenai indikator ini.
a) Dukungan Pemda Lebak dan Perusahaan PMDN dan PMA
terhadap SPIPISE
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai dukungan Pemda
Lebak dan perusahaan PMDN dan PMA terhadap penerapan SPIPISE di
Kabupaten Lebak. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan angka sebesar
64,62% untuk dukungan Pemda Lebak terhadap SPIPISE, hal ini secara
kualitatif termasuk dalam kategori rendah dan angka sebesar 65% untuk
133
dukungan perusahaan PMDN dan PMA terhadap SPIPISE, hal ini secara
kualitatif termasuk kategori baik dari angka yang dihipotesiskan peneliti
yakni 65%.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan I1 dan I2 mengenai
dukungan Pemda Lebak dalam penerapan SPIPISE ini adalah sangat
mendukung walaupun belum optimal, hal ini dibuktikan dengan adanya
rencana pengajuan pembuatan peraturan bupati yang mengatur tentang izin
usaha. Dimana setiap izin usaha yang nilai investasinya di atas 500 juta
maka wajib membuat izin prinsip menggunakan SPIPISE. Selain itu juga
dukungan perusahaan PMDN dan PMA terhadap penerapan SPIPISE dinilai
oleh I1 dan I2 mendukung, namun hal ini tergantung dari Pemda Lebak
sebagai pemerintah daerah di bidang penanaman modal yang memang
memberikan pelayanan kepada PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak.
b) Terwujudnya Transparansi dan Akuntabilitas dalam penerapan
SPIPISE
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai kenapa
transparansi dan akuntabilitas hanya memperoleh angka sebesar 61,54%
dari kriteria yang diharapkan yakni sebesar 65%. Hal ini secara kualitatif
termasuk dalam kategori rendah.
Adapun mengenai bagaimana dengan transparansi dan akuntabilitas
dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya SPIPISE, dijelaskan oleh
I1 sebagai berikut:
“Untuk transparansi bagi investor itu sudah, karena dalam hal ini perusahaan yang telah mendaftar di SPIPISE itu memiliki hak akses.
134
Untuk masyarakat umum sifatnya terbatas, karena hak akses itu hanya dimiliki perusahaan. Sedangkan untuk akuntabilitas itu sudah cukup baik.” (Wawancara dengan Bapak Rukim, SE,.M.Si selaku Kepala Bidang Data dan Pengaduan BPMPPT Kabupaten Lebak pada hari Rabu tanggal 7 September 2016 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak).
Hal ini dikonfirmasi oleh I2 terkait dengan transparansi dan
akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya SPIPISE
sebagai berikut:
“Transparansi untuk semua investor itu sudah, hanya saja untuk masyarakat umum itu hanya beberapa informasi tertentu saja. Dan untuk akuntabilitasnya sudah baik.” (Wawancara dengan Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom selaku Tenaga IT bidang Penanaman Modal BPMPPT Kabupaten Lebak pada hari Rabu tanggal 7 September 2016 di Kantor BPMPPT Kabupaten Lebak).
Berdasarkan hasil wawancara tersebut diketahui bahwa transparansi
dan akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya
SPIPISE bagi investor itu sudah dilakukan, karena dalam hal ini perusahaan
yang telah mendaftar di SPIPISE itu memiliki hak akses. Untuk masyarakat
umum sifatnya terbatas, karena hak akses itu hanya dimiliki perusahaan.
Sedangkan untuk akuntabilitas itu sudah cukup baik.
5. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana
Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para
pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten
dan seragam dari berbagai sumber informasi. Disamping itu, koordinasi
merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan.
Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak – pihak yang terlibat
dalam implementasi kebijakan, dalam hal ini adalah implementasi SPIPISE
135
di Kabupaten Lebak maka kesalahan akan semakin kecil, begitupun
sebaliknya.
a) Komunikasi dan Koordinasi Para Pelaksana dalam Penerapan
SPIPISE di Kabupaten Lebak
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai bagaimana
komunikasi dan koordinasi para pelaksana dalam implementasi SPIPISE di
Kabupaten Lebak. Yang mana komunikasi dan koordinasi adalah hal
penting agar implementasi SPIPISE berjalan sesuai dengan tujuannya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan I1 dan I2 mengenai bagaimana
komunikasi dengan perusahaan dan dinas teknis terkait tentang SPIPISE
dijelaskan bahwa Komunikasi dengan perusahaan dilakukan sejak awal,
karena memang untuk mengurusi perizinan perusahaan terlebih dahulu
datang ke BPMPPT Lebak, disana dijelaskan secara jelas mengenai
informasi terkait perizinan termasuk di dalamnya tentang SPIPISE. Untuk
komunikasi antar pegawai BPMPPT terjalin baik dan komunikasi dengan
SKPD terkait perizinan juga baik, hal ini dilakukan karena memang
BPMPPT sendiri hanya memiliki kewenangan mengeluarkan izin, untuk
teknisnya ada dinas teknis tekait. Untuk hal terkait komunikasi tentang
SPIPISE yang berwenang hanya BKPM dan BKPMD sementara dinas lait
tidak punya keterkaitan langsung tentang SPIPISE ini.
Dalam hal proses koordinasi yang dilakukan dengan perusahaan dan
antar SKPD teknis terakit dalam penerapan SPIPISE dijelaskan oleh I1 dan
I2 bahwa ada tim pengendalian penanaman modal sudah di SK kan dan
136
bahkan sudah di Perbup kan serta sudah jalan maret 2015. Gunanya adalah
dimana SKPD terkait dikumpulkan dan membahas terkait penanaman
modal. Dengan adanya tim pengendalian penanaman modal, maka sering di
adakan pengawasan dan juga koordinasi antarSKPD terkait perizinan
melalui rapat.
b) Sosialisasi Penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai kenapa sosialisasi
penerapan SPIPISE hanya memperoleh angka sebesar 62,31% dari kriteria
yang diharapkan yakni sebesar 65%. Hal ini secara kualitatif termasuk
dalam kategori rendah.
Adapun dari segi sosialisasi yang dilakukan terkait dengan
penerapan SPIPISE ini dijelaskan oleh I1 dan I2 bahwa sosialisasi dilakukan
setiap satu tahun sekali, dimana BPMPPT mengirimkan surat undangan
kepada perusahaan baik itu PMDN maupun PMA, bagi yang berhalangan
hadir, BPMPPT sendiri yang mendatangi perusahaan tersebut. Adapun
Proses sosialisasi dilakukan dengan memberikan materi pemahaman terkait
penanaman modal yang termasuk di dalamnya ada materi tentang SPIPISE,
dan dihadiri oleh BKPM RI dan BKPMPT Provinsi Banten. Sosialisasi ini
dapat dikatakan belum efektif karena sosialisasi hanya dilakukan satu kali
dalam satu tahun yang mana seharusnya dilakukan 3 – 4 kali setahun, dan
tentunya pemahaman para investor masih kurang.
137
c) Kemudahan layanan SPIPISE Diketahui Masyarakat Umum
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai kenapa
kemudahan layanan untuk masyarakat umum hanya mencapai angka
sebesar 61,54% dari kriteria yang diharapkan yakni sebesar 65%. Hal ini
secara kualitatif termasuk dalam kategori rendah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua informan dijelaskan
bahwa untuk masyarakat umum itu terbatas, namun apabila masyarakat
butuh data terkait penanaman modal seperti LSM atau wartawan itu
diberikan akan tetapi itu bukan data yang dikecualikan.
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja
implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut
mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan
politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan
kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan
mensyaratkan kondisi eksternal yang kondusif. Berikut adalah analisis
kualitatif tentang indikator ini.
a) Pengaruh Kondisi Ekonomi Terhadap Penerapan SPIPISE di
Kabupaten Lebak
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai pengaruh kondisi
ekonomi Kabupaten Lebak terhadap penerapan SPIPIS dari kriteria yang
diharapkan yakni sebesar 65%. Hal ini secara kualitatif termasuk dalam
kategori baik.
138
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan I1 dan
I2 mengenai pengaruh ekonomi terhadap kebijakan ini yakni sangat
mempengaruhi, dimana kondisi ekonomi masyarakat Kabupaten Lebak
yang masih rendah bisa ditingkatkan dengan adanya investor yang bisa
menciptakan lapangan pekerjaan baru, kemudahan pelayanan lewat
penerapan SPIPISE tentunya akan mengundang investor ke Lebak. Hal ini
akan berpengaruh dalam pemasukan PAD Lebak dan bisa mengurangi
angka pengangguran masyarakat Lebak.
b) Pengaruh Lingkungan Sosial Terhadap Penerapan SPIPISE di
Kabupaten Lebak
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai pengaruh
lingkungan sosial masyarakat Kabupaten Lebak terhadap penerapan
SPIPISE yang mana dalam analisis kuantitatif yang hanya mencapai angka
sebesar 61,54%% dari kriteria yang diharapkan yakni sebesar 65%. Hal ini
secara kualitatif termasuk dalam kategori rendah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua informan dijelaskan
bahwa pengaruh lingkungan sosial masyarakat Kabupaten Lebak terhadap
kebijakan ini kurang mempengaruhi karena kebijakan ini hanya diketahui
oleh para investor yang nilai investasinya di atas 500 juta rupiah.
Lingkungan sosial masyarakat Lebak yang memang belum sepenuhnya
melek akan teknologi belum berpengaruh secara signifikan dalam
penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak.
139
c) Pengaruh Kondisi Politik Terhadap Penerapan SPIPISE di
Kabupaten Lebak
Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui mengenai pengaruh
lingkungan sosial masyarakat Kabupaten Lebak terhadap penerapan
SPIPISE yang mana dalam analisis kuantitatif yang hanya mencapai angka
sebesar 62,31%% dari kriteria yang diharapkan yakni sebesar 65%. Hal ini
secara kualitatif termasuk dalam kategori rendah.
Berdasarkan wawancara dengan kedua informan dijelaskan bahwa
kondisi politik lebak yang kondusif tentunya mempengaruhi kebijakan ini.
Angka dari analisis kuantitatif tersebut termasuk dalam kategori rendah
karena memang dukungan politik dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak
belum optimal. Hal ini terjadi karena belum dibentuknya Perda atau Perbup
Kabupaten Lebak untuk mendukung secara teknis penerapan SPIPISE di
Kabupaten Lebak. Perda dan Perbup dibutuhkan karena untuk memperjelas
secara teknis bagaimana pengoperasian SPIPISE dan menyesuaikan
penerapan SPIPISE dengan keadaan iklim investasi di Kabupaten lebak.
4.4 Pengujian Hipotesis
Hipotesis deskriptif merupakan jawaban sementara terhadap masalah
deskriptif, yaitu yang berkenaan dengan variabel mandiri. Maka hipotesis yang
dipakai adalah dimana peneliti memprediksikan hipotesis paling tinggi sebesar
65%, dengan penjelasan sebagai berikut:
140
H0 : µ ≤ 65%
H0 : “Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan
Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak kurang dari atau
sama dengan 65%”.
Ha : µ ˃ 65 %
Ha : “Implementasi Kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan
Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak lebih dari 65%”.
Berdasarkan hipotesis deskriptif, variabel yang diuji bersifat mandiri dan
sampelnya hanya ada satu, maka peneliti menggunkan rumus one sample t-test pada
SPSS versi 22 dan diperoleh hasil sabagai berikut:
Tabel 4.5 One-Sample Statistics
N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Implementasi 65 101.5538 19.14421 2.37455
Tabel 4.6 One-Sample Test
Test Value = 65
t df Sig. (1-tailed) Mean
Difference
95% Confidence Interval of the
Difference Lower Upper
Implementasi 15.394 64 .000 36.55385 31.8101 41.2976 Sumber: Pengolahan dengan SPSS versi 22, 2016.
141
Berdasarkan tabel di atas diperoleh thitung = 15,394. T tabel diperoleh dengan
derajat kebebasan (df) dengan nilai 64 dan taraf signifikasi sebesar 5% dengan nilai
1,671. Karena ttabel ≤ dari thitung (1.671 ≤ 15.394), maka H0 diterima dan Ha ditolak.
Dari perbandingan jumlah data yang terkumpul dengan skor ideal,
ditemukan bahwa Implementasi Kebijakan Sistem Pelayaan Informasi dan
Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak yaitu:
6601 x 100% = 63,47% 10400
Artinya bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa Implementasi Kebijakan
Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di
Kabupaten Lebak kurang dari atau sama dengan 65% diterima, karena hasil dari
perhitungan jumlah data yang terkumpul dengan skor ideal hanya mencapai angka
63,47%.
4.5 Interpretasi Hasil Penelitian
Dalam penelitian ini, yang berjudul Implementasi Kebijakan Sistem
Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten
Lebak, ada hal yang paling penting dan utama yaitu menjawab rumusan masalah
yang telah dibuat oleh peneliti pada awal penelitian. Rumusan masalah tersebut
adalah “seberapa besar dan bagaimana implementasi kebijakan Sistem Pelayanan
Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten
Lebak”.
142
Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, kita dapat melihat
dari pembahasan yang memaparkan pengujian hipotesis dengan menggunakan
rumus t-test satu sampel dengan menguji pihak kanan bahwa t tabel lebih kecil (<)
dari t hitung dan hal itu dapat diartikan bahwa H0 diterima dan Ha di tolak. Karena
hasil pengujian hipotesis mencapai angka 63,47% dari angka yang diharapkan
yakni 65%.
Sehingga dari pengujian hipotesis tersebut dapat dijelaskan bahwa hasil
implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara
Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak mencapai angka 63,47% dari angka
minimal yang di hipotesiskan yaitu 65%, hal ini secara kualitatif berarti termasuk
dalam kategori kurang baik. Hal tersebut dapat dilihat pada kategori berikut:
Tidak baik Kurang baik Baik Sangat baik 2600 5200 7800 10400
6601
Nilai 6601 termasuk dalam kategori interval kurang baik dan baik, maka
hasil di atas masuk dalam kategori kurang baik karena lebih mendekati kategori
kurang baik.
4.6 Pembahasan
Pembahasan yakni mencakup pemaparan lebih lanjut dari hasil analisis data
yang ditujukan untuk memaparkan lebih jauh lagi terkait masing – masing indikator
dari keberhasilan suatu implementasi kebijakan berkaitan dengan SPIPISE di
Kabupaten Lebak. Penelitian dengan judul implementasi kebijakan Sistem
143
Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak
menggunakan teori implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn
dalam Agustino (2008: 142) yang mempunyai enam indikator diantaranya: ukuran
dan tujuan kebijakan, sumber daya, karakteristik agen pelaksana,
sikap/kecenderungan (disposisi) para pelaksana, komunikasi antarorganisasi dan
aktivitas para pelaksana dan lingkungan ekonomi, sosial dan politik. Berikut adalah
hasil pembahasan mengenai keenam indikator tersebut:
1. Indikator Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Dalam indikator ukuran dan tujuan kebijakan, kinerja implementasi
kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran
dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang
mengada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan
kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopsi) untuk dilaksanakan dilevel
warga, maka agak sulit merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang
dapat dikatakan berhasil. Indikator ukuran dan tujuan kebijakan ini
diwujudkan dalam 3 (tiga) sub indikator.
Sub indikator yang pertama adalah ukuran, dimana ukuran dalam
implementasi kebijkan jika dibuat realistis tentunya akan mudah untuk
dilihat hasil dari implementasi kebijakan tersebut. Sub indikator yang kedua
adalah tujuan, dimana tujuan adalah target yang harus dicapai berdasarkan
aturan atau kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya, tujuan ini tentunya
juga bersifat realistis. Sub indikator yang ketiga adalah ketepatan, dimana
144
ketepatan pengimplementasian kebijakan akan sangat berpengaruh dalam
proses implementasi kebijakan tersebut.
Dari pengolahan data dalam indikator ukuran dan tujuan kebijakan
yang memuat 3 (tiga) sub indikator dan terdiri dari 4 (empat) pernyataan,
maka diperoleh skor idela yaitu 4 x 65 x 4 = 1040 (4 = nilai dari setiap
jawaban pernyataan yang diajukan pada responden, kriteria skor
berdasarkan pada skala Likert, 65 = jumlah sampel yang dijadikan
responden, 4 = jumlah pernyataan yang ada pada indikator ukuran dan
tujuan kebijakan). Setelah menemukan skor ideal kemudian dibagikan
dengan skor riil yang diisi oleh responden yaitu sebesar 653 : 1040 = 0,627
x 100 = 62,7% atau dibulatkan 63%. Hal ini dapat diartikan bahwa
implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi
Secara Elektronik di Kabupaten Lebak kurang baik bila dilihat dari indikator
ukuran dan tujuan kebijakan. Sebagaimana diuraikan dalam kategori berikut
ini:
Tidak baik Kurang baik Baik Sangat baik 260 520 780 1040
653
Nilai 653 termasuk dalam interval kurang baik dan baik, maka
masuk dalam kategori kurang baik karena lebih mendekati kategori kurang
baik.
145
Pada temuan lapangan diketahui bahwa ukuran dan tujuan dari
kebijakan SPIPISE ini adalah Perka BKPM RI Nomor 14 tahun 2009
tentang SPIPISE. Pada dasarnya tujuannya adalah untuk mengindentifikasi
jumlah investasi yang masuk dan untuk mengintegrasikan semua perizinan,
mempermudah serta mempercepat pelayanan perizinan bagi para investor
dan mengakomodasi data-data perusahaan dari tahap pembangunan sampai
produksi.
Dalam pemahaman operator perusahaan mengenai ukuran dan
kebijakan SPIPISE dinilai masih kurang karena memang hal ini dipengaruhi
oleh sosialisasi yang kurang sehingga penyerapan informasi juga kurang.
Hal ini tentunya memperkuat hasil analisis data kuantitatif yang
menghasilkan nilai persentase untuk pemahaman operator perusahaan
mengenai ukuran kebijakan SPIPISE yang mencapai angka 65% dan
pemahaman operator perusahaan mengenai tujuan kebijakan hanya
mencapai angka 61,54%.
Penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak dinilai belum sesuai
dengan tujuannya karena masih adanya kendala – kendala atau
permasalahan yang sering terjadi diantaranya adalah server dan bandwidth
dan jaringan internet sering bermasalah, hal ini disebabkan oleh jauhnya
lokasi perusahaan dari jangkauan internet sehingga sulit menggunakan
SPIPISE, sumber daya manusia yang kurang, masih ada izin usaha yang
nilainya lebih dari 500 juta belum terintegrasi dengan SPIPISE, dan belum
optimalnya pelayanan terpadu satu pintu karena masih ada perizinan yang
146
dikelola oleh dinas teknis terkait. Hal ini memperkuat hasil analisis
kuantitatif yang menghasilkan nilai persentase sebesar 62.31% untuk
kesesuaian penerapan SPIPISE dengan tujuannya.
Adapun dalam hal kebijakan SPIPISE diterapkan pada PMDN dan
PMA di Kabupaten Lebak diketahui sudah tepat walaupun masih terdapat
beberapa kekurangannya diantaranya investasi di Lebak bisa dikatakan
belum berskala besar sehingga perlu adanya penyesuaian dengan keadaan
setiap daerah yang berbeda-beda. Hal ini juga memperkuat hasil analisis
kuantitatif yang menghasilkan nilai persentase mencapai 62,31% untuk
ketepatan SPIPISE di terapkan di Kabupaten Lebak.
2. Indikator Sumber daya
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari
kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia
merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu
keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan
proses implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang
berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang
telah ditetapkan secara politik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas
dari sumber-sumbernya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit
untuk diharapkan. Tetapi diluar sumber daya manusia, sumber-sumber daya
lain yang perlu diperhitungkan juga, ialah: Sumber daya finansial dan
sumber daya waktu. Karena mau tidak mau, ketika sumber daya manusia
yang berkompeten dan kapabel telah tersedia, maka memang menjadi
147
persoalan pelik untuk merealisasikan apa yang hendak dituju oleh tujuan
kebijakan publik. Demikian pula halnya dengan sumber daya waktu. Saat
sumber daya manusia giat bekerja dan kucuran dana berjalan dengan baik,
tetapi terbentur dengan persoalan waktu yang terlalu ketat, maka hali ini pun
menjadi penyebab ketidakberhasilan implementasi kebijakan. Berikut ini
merupakan sub indikator dari indikator sumber daya.
Sub indikator yang pertama adalah sumber daya manusia, dimana
sumber daya manusia dalam implementasi kebijkan memegang peranan
yang sangat penting, manusia yang berkualitas dan dengan jumlah yang
cukup tentunya akan memudahkan terlaksananya suatu kebijakan sesuai
tujuan. Sub indikator yang kedua adalah waktu, dimana waktu memegang
peranan yang penting guna mengoptimalkan pelaksanaan suatu kebijakan
agar cepat dan akurat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Sub indikator yang ketiga adalah pendanaan, dimana
dukungan dana yang cukup akan menunjang kemudahan pelaksanaan
kebijakan. Sub indikator yang keempat adalah sarana dan prasarana, dimana
sarana dan prasarana adalah bagian pendukung implementasi kebijakan agar
melengkapi sub indikator yang lainnya.
Dari pengolahan data dalam indikator sumber daya yang memuat 4
(empat) sub indikator dan terdiri dari 11 (sebelas) pernyataan, maka
diperoleh skor idela yaitu 4 x 65 x 11 = 2860 (4 = nilai dari setiap jawaban
pernyataan yang diajukan pada responden, kriteria skor berdasarkan pada
skala Likert, 65 = jumlah sampel yang dijadikan responden, 11 = jumlah
148
pernyataan yang ada pada indikator ukuran dan tujuan kebijakan). Setelah
menemukan skor ideal kemudian dibagikan dengan skor riil yang diisi oleh
responden yaitu sebesar 1818 : 2860 = 0,6356 x 100 = 63,56% atau
dibulatkan 64%. Hal ini dapat diartikan bahwa implementasi kebijakan
Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik di
Kabupaten Lebak kurang baik bila dilihat dari indikator sumber daya.
Sebagaimana diuraikan dalam kategori berikut ini:
Tidak baik Kurang baik Baik Sangat baik 715 1430 2145 2860
1818
Nilai 1818 termasuk dalam interval kurang baik dan baik, maka
masuk dalam kategori kurang baik karena lebih mendekati kategori kurang
baik.
Pada temuan lapangan diketahui bahwa mengenai bahwa jumlah dan
kompetensi pelaksana untuk penerapan SPIPISE di BPMPPT Lebak dinilai
belum mencukupi karena belum memiliki admin khusus SPIPISE. Selain
itu, SDM di perusahaan juga belum cukup memahami mengenai
penggunaan SPIPISE di Kabupaten Lebak. Hal ini juga mempertegas hasil
penelitian kuantitatif yang mencapai 64.62% untuk hal kompetensi operator
perusahaan dalam penggunaan SPIPISE.
Dalam hal pemahaman operator dalam penginputan data perusahaan
ke dalam SPIPISE dijelaskan sudah memahami, karena memang dalam
149
pembuatan laporan kegiatan penanaman modal itu menggunakan SPIPISE,
meskipun masih ada permasalahan, belum ada pengaduan dari perusahaan
mengenai hal ini. Hal ini juga mempertegas hasil analisis kuantitatif yang
mencapai 65,38% untuk hal pemahaman operator dalam penginputan data
perusahaan ke dalam SPIPISE.
Dalam hal lama waktu yang dibutuhkan dalam melakukan
penginputan ke dalam SPIPISE dijelaskan bahwa tergantung perizinan yang
diproses, ada yang 3 hari, 7 hari dan 10 hari, semua sudah ada mekanisme
yang mengaturnya. Adapun ketepatan waktu penginputan data perizinanan
dan non perizinan dengan adanya SPIPISE ini dinilai oleh jika tidak ada
gangguan server dan jaringan internet bisa tepat waktu sesuai SOP
tergantung perizinan yang di proses. Namun seringkali terjadi tidak sesuai
SOP. Hal ini juga mempertegas hasil analisis kuantitatif yang mana
mencapai angka 62,31% untuk hal lama waktu yang dibutuhkan dalam
melakukan penginputan ke dalam SPIPISE dan juga ketepatan waktu
penginputan data perizinanan dan non perizinan dengan adanya SPIPISE
tersebut.
Untuk dukungan dari sumber daya finansial dalam penerapan
SPIPISE ini dijelaskan sudah mendukung namun masih belum mencukupi
karena masih ada permasalahan dari segi finansial dalam penerapan
SPIPISE yang kurang, salah satunya adalah dana untuk mengadakan
sosialisasi, dimana pelaksanaan sosialisasi hanya 1 tahun sekali yang
seharusnya 3 – 4 kali dalam setahun. Hal ini juga mempertegas hasil analisis
150
kuantitatif yang mana mencapai angka 62,31% untuk hal dukungan dari
sumber daya finansial dalam penerapan SPIPISE.
Sementara untuk fasilitas pendukung untuk menunjang penggunaan
SPIPISE dijelaskan bahwa masih kurang yakni dari segi pengadaan
komputer atau pc dan jaringan internet yang masih kurang baik, dan hal ini
sedikit menghambat dalam penggunaan SPIPISE di Kabupaten Lebak. Hal
ini juga mempertegas hasil analisis kuantitatif yang mana mencapai angka
63,08% untuk hal ketersediaan fasilitas pendukung dan 64,62% untuk hal
fasilitas pendukung yang baik dan memadai.
3. Indikator Karakteristik Agen Pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan
organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan
publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan publik
akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan
agen pelaksananya. Misalnya, implementasi kebijakan publik yang
berusaha untuk merubah perilaku atau tingkah laku manusia secara radikal,
maka agen pelaksana projek itu haruslah berkarakteristik keras dan ketat
pada aturan serta sanksi hukum. Sedangkan bila kebijakan publik itu tidak
terlalu merubah perilaku dasar manusia, maka dapat saja agen pelaksana
yang diturunkan tidak sekeras dan tidak setegas gambaran yang pertama.
Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga
diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin
luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula
151
agen yang dilibatkan. Sub indikator dari indikator karakteristik agen
pelaksana adalah Standard Operating Procedure (SOP), dimana Standard
Operating Procedure (SOP) menjadi acuan atau pedoman kerja guna
melaksanakan tujuan pelaksanaan kebijakan yang telah ditentukan
sebelumnya.
Dari pengolahan data dalam indikator ukuran dan tujuan kebijakan
yang memuat 1 (satu) sub indikator dan terdiri dari 4 (empat) pernyataan,
maka diperoleh skor idela yaitu 4 x 65 x 4 = 1040 (4 = nilai dari setiap
jawaban pernyataan yang diajukan pada responden, kriteria skor
berdasarkan pada skala Likert, 65 = jumlah sampel yang dijadikan
responden, 4 = jumlah pernyataan yang ada pada indikator ukuran dan
tujuan kebijakan). Setelah menemukan skor ideal kemudian dibagikan
dengan skor riil yang diisi oleh responden yaitu sebesar 671 : 1040 = 0,6451
x 100 = 64,51% atau dibulatkan 65%. Hal ini dapat diartikan bahwa
implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan
Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak baik bila dilihat dari
indikator karakteristik agen pelaksana sebagaimana diuraikan dalam
kategori berikut.
Tidak baik Kurang baik Baik Sangat baik 260 520 780 1040
671
152
Nilai 671 termasuk dalam interval kurang baik dan baik, maka
masuk dalam kategori baik karena lebih mendekati kategori baik.
Pada temuan dilapangan diketahui bahwa pemahaman operator
perusahaan tentang FAQ & troubleshoot yang diberikan oleh Pusdatin
BKPM Pusat dijelaskan bahwa operator perusahaan cukup memahami,
karena FAQ & troubleshoot sudah diberitahu sejak awal penerapan SPIPISE
ini, dan itu dibuktikan dengan belum ada laporan ke kita mengenai kendala
tentang itu. Hal ini mempertegas hasil analisis kuantitatif yang mencapai
angka 65,38% untuk hal pemahaman operator perusahaan tentang FAQ &
troubleshoot yang diberikan oleh Pusdatin BKPM Pusat.
Dalam hal pengetahuan dan pemahaman operator mengenai SOP
dinilai sudah cukup. Karena perusahaan menggunakan SPIPISE untuk
memudahkan pelayanan perizinan dan sudah ada SOP yang mengatur itu.
Hal ini memperkuat analisis kuantitatif yang mencapai angka 65% untuk
hal pengetahuan dan pemahaman operator mengenai SOP.
Adapun dalam hal penerapan SPIPISE dinilai belum sesuai dengan
SOP karena seringnya gangguan server dan jaringan, data perizinan sering
mendapatkan tanda merah yang artinya keluar dari SOP dan tentunya hal ini
harus bisa diselesaikan. Namun tidak berpengaruh terhadap perizinan hanya
saja sering keluar dari SOP. Hal ini memperkuat analisis kuantitatif yang
mencapai angka 62,31% untuk hal penerapan SPIPISE dinilai belum sesuai
dengan SOP.
153
4. Indikator Sikap/kecenderungan (disposisi) Para Pelaksana
Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat
banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi
kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang
dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul
persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang
dilaksanakan bukanlah akan implementor laksanakan adalah kebijakan
“dari atas” (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya
tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan,
keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan. Sub indikator
dari indikator ini terdiri dari dua diantaranya adalah sebagai berikut.
Sub indikator yang pertama adalah dukungan, dimana dukungan
para pelaksana dalam implementasi kebijkan memegang peranan yang
sangat penting, dukungan tersebut tentunya akan memudahkan
terlaksananya suatu kebijakan sesuai tujuan. Sub indikator yang kedua
adalah insentif dimana insentif merupakan bagian yang tak terpisahkan,
dengan insentif yang adil dan sesuai para pelaksana akan merasa dihargai
dan bisa melaksanakan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Dari pengolahan data dalam indikator sikap/kecenderungan
(disposisi) para pelaksana yang memuat 2 (dua) sub indikator dan terdiri
dari 8 (delapan) pernyataan, maka diperoleh skor idela yaitu 4 x 65 x 8 =
2080 (4 = nilai dari setiap jawaban pernyataan yang diajukan pada
responden, kriteria skor berdasarkan pada skala Likert, 65 = jumlah sampel
154
yang dijadikan responden, 8 = jumlah pernyataan yang ada pada indikator
ukuran dan tujuan kebijakan). Setelah menemukan skor ideal kemudian
dibagikan dengan skor riil yang diisi oleh responden yaitu sebesar 1319 :
2080 = 0,634 x 100 = 63,4% atau dibulatkan 63%. Hal ini dapat diartikan
bahwa implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan
Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak kurang baik bila dilihat dari
indikator sikap/kecenderungan (disposisi) para pelaksana. Sebagaimana
diuraikan dalam kategori berikut ini:
Tidak baik Kurang baik Baik Sangat baik 520 1040 1560 2080
1319
Nilai 1319 termasuk dalam interval kurang baik dan baik, maka
masuk dalam kategori kurang baik karena lebih mendekati kategori kurang
baik.
Pada temuan lapangan diketahui bahwa dukungan Pemda Lebak
dalam penerapan SPIPISE ini adalah sangat mendukung walaupun belum
optimal, hal ini dibuktikan dengan adanya rencana pengajuan pembuatan
peraturan bupati yang mengatur tentang izin usaha. Dimana setiap izin
usaha yang nilai investasinya di atas 500 juta maka wajib membuat izin
prinsip menggunakan SPIPISE. Hal ini memperkuat hasil analisis
kuantitatif yang mencapai angka 64,62% untuk hal dukungan Pemda Lebak
dalam penerapan SPIPISE.
155
Selain itu juga dukungan perusahaan PMDN dan PMA terhadap
penerapan SPIPISE dinilai mendukung, namun hal ini tergantung dari
komitmen pemerintah daerah di bidang penanaman modal yang memang
memberikan pelayanan kepada PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak. Hal
ini memperkuat hasil analisis kuantitatif yang mencapai angka 65% untuk
hal dukungan perusahaan PMDN dan PMA terhadap penerapan SPIPISE.
Dalam hal transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan penanaman
modal dengan adanya SPIPISE bagi investor dinilai sudah dilakukan,
karena dalam hal ini perusahaan yang telah mendaftar di SPIPISE itu
memiliki hak akses. Untuk masyarakat umum sifatnya terbatas, karena hak
akses itu hanya dimiliki perusahaan. Sedangkan untuk akuntabilitas itu
sudah cukup baik. Hal ini memperkuat hasil analisis kuantitatif yang
mencapai angka 61,45% untuk hal transparansi dan akuntabilitas dalam
kegiatan penanaman modal dengan adanya SPIPISE.
5. Indikator Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Para
Pelaksana
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi
kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-
pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya
kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi. Dan begitu pula
sebaliknya. Dalam indikator ini terdapat tiga sub indikator diantaranya
adalah sebagai berikut.
156
Sub indikator yang pertama adalah koordinasi, dimana koordinasi
dalam implementasi kebijkan merupakan proses kerja sama yang aktif dan
berkelanjutan yang tentunya akan mudah untuk menunjang keberhasilan
tujuan dari implementasi kebijakan tersebut. Sub indikator yang kedua
adalah kejelasan, dimana kejelasan dalam pelaksanaan imlementasi
kebijakan akan memuluskan koordinasi dalam setiap kegiatan kebijakan
yang dilakukan. Sub indikator yang ketiga adalah sosialisasi dimana
sosialisasi tentang implementasi kebijakan harus dilakukan agar terjadinya
pemahaman dan pengetahuan dari semua pelaksana kebijakan.
Dari pengolahan data dalam indikator komunikasi antarorganisasi
dan aktivitas para pelaksana yang memuat 3 (tiga) sub indikator dan terdiri
dari 10 (sepuluh) pernyataan, maka diperoleh skor idela yaitu 4 x 65 x 10 =
2600 (4 = nilai dari setiap jawaban pernyataan yang diajukan pada
responden, kriteria skor berdasarkan pada skala Likert, 65 = jumlah sampel
yang dijadikan responden, 10 = jumlah pernyataan yang ada pada indikator
ukuran dan tujuan kebijakan). Setelah menemukan skor ideal kemudian
dibagikan dengan skor riil yang diisi oleh responden yaitu sebesar 1649 :
2600 = 0,634 x 100 = 63,4% atau dibulatkan 63%. Hal ini dapat diartikan
bahwa implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan
Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak kurang baik bila dilihat dari
indikator komunikasi antarorganisasi dan aktivitas para pelaksana.
Sebagaimana diuraikan dalam kategori berikut ini:
157
Tidak baik Kurang baik Baik Sangat baik 650 1300 1950 2600
1649
Nilai 1649 termasuk dalam interval kurang baik dan baik, maka
masuk dalam kategori kurang baik karena lebih mendekati kategori kurang
baik.
Pada temuan lapangan diketahui bahwa komunikasi dengan
perusahaan dan dinas teknis terkait tentang SPIPISE dijelaskan bahwa
Komunikasi dengan perusahaan dilakukan sejak awal, karena memang
untuk mengurusi perizinan perusahaan terlebih dahulu datang ke BPMPPT
Lebak, disana dijelaskan secara jelas mengenai informasi terkait perizinan
termasuk di dalamnya tentang SPIPISE. Untuk komunikasi antar pegawai
BPMPPT terjalin baik dan komunikasi dengan SKPD terkait perizinan juga
baik, hal ini dilakukan karena memang BPMPPT sendiri hanya memiliki
kewenangan mengeluarkan izin, untuk teknisnya ada dinas teknis tekait.
Untuk hal terkait komunikasi tentang SPIPISE yang berwenang hanya
BKPM dan BKPMD sementara dinas lait tidak punya keterkaitan langsung
tentang SPIPISE ini. Hal ini mempertegas hasil kuantitatif yang mencapai
angka 65,38% untuk hal kejelasan komunikasi tentang SPIPISE.
Dalam hal proses koordinasi yang dilakukan dengan perusahaan dan
antar SKPD teknis terakit dalam penerapan SPIPISE dijelaskan bahwa ada
tim pengendalian penanaman modal sudah di SK kan dan bahkan sudah di
158
Perbup kan serta sudah jalan maret 2015. Gunanya adalah dimana SKPD
terkait dikumpulkan dan membahas terkait penanaman modal. Dengan
adanya tim pengendalian penanaman modal, maka sering di adakan
pengawasan dan juga koordinasi antarSKPD terkait perizinan melalui rapat.
Sosialisasi dilakukan setiap satu tahun sekali, dimana BPMPPT
mengirimkan surat undangan kepada perusahaan baik itu PMDN maupun
PMA, bagi yang berhalangan hadir, BPMPPT sendiri yang mendatangi
perusahaan tersebut. Adapun Proses sosialisasi dilakukan dengan
memberikan materi pemahaman terkait penanaman modal yang termasuk di
dalamnya ada materi tentang SPIPISE, dan dihadiri oleh BKPM RI dan
BKPMPT Provinsi Banten. Sosialisasi ini dapat dikatakan belum efektif
karena sosialisasi hanya dilakukan satu kali dalam satu tahun yang mana
seharusnya dilakukan 3 – 4 kali setahun, dan tentunya pemahaman para
investor masih kurang. Hal ini mempertegas hasil analisis kuantitatif yang
mencapai angka 62,31% untuk hal sosialisasi penerapan SPIPISE di
Kabupaten Lebak.
Dan yang terakhir adalah kemudahan layanan informasi tentang
SPIPISE bahwa untuk masyarakat umum itu terbatas, namun apabila
masyarakat butuh data terkait penanaman modal seperti LSM atau
wartawan itu diberikan akan tetapi itu bukan data yang dikecualikan. Hal
ini mempertegas hasil analisis kuantitatif yang mencapai angka 62,31%
untuk hal kemudahan layanan informasi tentang SPIPISE diketahui
masyarakat umum.
159
6. Indikator Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja
implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Meter dan
Van Horn adalah sejauh mana lingkungan ekonomi, sosial dan politik turut
mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Dalam
indikator ini terdapat tiga sub indikator yang dijelaskan sebagai berikut.
Sub indikator yang pertama adalah pengaruh lingkungan ekonomi,
dimana pengaruh lingkungan ekonomi akan berdampak langsung dalam
proses implementasi kebijkan, lingkungan ekonomi yang bagus akan
mempermudah suatu kebijakan untuk diimpelementasikan. Sub indikator
yang kedua adalah pengaruh lingkungan sosial, dimana pengaruh
lingkungan sosial juga akan berdampak pada kebijakan, apakah itu
signifikan atau tidak, tentunya lingkungan sosial yang baik akan
berpengaruh baik pula dalam pelaksanaan imlementasi kebijakan. Sub
indikator yang ketiga adalah pengaruh lingkungan politik dimana kondisi
politik yang kondusif akan memuluskan suatu kebijakan untuk
diimplemetasikan.
Dari pengolahan data dalam indikator lingkungan ekonomi, sosial
dan politik yang memuat 3 (tiga) sub indikator dan terdiri dari 3 (tiga)
pernyataan, maka diperoleh skor idela yaitu 4 x 65 x 3 = 780 (4 = nilai dari
setiap jawaban pernyataan yang diajukan pada responden, kriteria skor
berdasarkan pada skala Likert, 65 = jumlah sampel yang dijadikan
responden, 3 = jumlah pernyataan yang ada pada indikator ukuran dan
160
tujuan kebijakan). Setelah menemukan skor ideal kemudian dibagikan
dengan skor riil yang diisi oleh responden yaitu sebesar 491 : 780 = 0,629 x
100 = 62,9% atau dibulatkan 63%. Hal ini dapat diartikan bahwa
implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan
Investasi Secara Elektronik di Kabupaten Lebak kurang baik bila dilihat dari
indikator lingkungan ekonomi, sosial dan politik. Sebagaimana diuraikan
dalam kategori berikut ini:
Tidak baik Kurang baik Baik Sangat baik 195 390 585 780
491
Nilai 491 termasuk dalam interval kurang baik dan baik, maka
masuk dalam kategori kurang baik karena lebih mendekati kategori kurang
baik.
Pengaruh kondisi ekonomi dalam penerapan SPIPISE sangat
berpengaruh. Pada temuan lapangan diketahui bahwa mengenai pengaruh
ekonomi terhadap kebijakan ini yakni sangat mempengaruhi, dimana
kondisi ekonomi masyarakat Kabupaten Lebak yang masih rendah bisa
ditingkatkan dengan adanya investor yang bisa menciptakan lapangan
pekerjaan baru, kemudahan pelayanan lewat penerapan SPIPISE tentunya
akan mengundang investor ke Lebak dan bisa meningkatkan PAD Lebak
serta bisa mengurangi pengangguran di Kabupaten Lebak. Hal ini
161
mempertegas hasil analisis kuantitatif yang mencapai angka 65% untuk hal
pengaruh kondisi ekonomi terhadap kebijakan SPIPISE di Lebak.
Begitupun dengan pengaruh lingkungan sosial, dimana pengaruh
lingkungan sosial masyarakat Kabupaten Lebak terhadap kebijakan ini
kurang mempengaruhi karena kebijakan ini hanya diketahui oleh para
investor yang nilai investasinya di atas 500 juta rupiah. Lingkungan sosial
masyarakat Lebak yang memang belum sepenuhnya melek akan teknologi
belum berpengaruh secara signifikan dalam penerapan SPIPISE di
Kabupaten Lebak. Hal ini mempertegas hasil analisis kuantitatif yang
mencapai angka 61,54% untuk hal pengaruh kondisi sosial terhadap
SPIPISE di Lebak.
Yang terakhir adalah pengaruh kondisi politik turut mempengaruhi
kebijakan ini karena kondisi lingkungan politik yang kondusif akan
mempermudah penerapan SPIPISE dalam PTSP di Kabupaten Lebak.
Dimana tergantung pada kebijakan dan dukungan Pemda Kabupaten Lebak
itu sendiri, dan sejauh ini Pemda Lebak mendukung penerapan SPIPISE ini
walaupun belum optimal. Hal ini terjadi karena belum dibentuknya Perda
atau Perbup Kabupaten Lebak untuk mendukung secara teknis penerapan
SPIPISE di Kabupaten Lebak. Perda dan Perbup dibutuhkan karena untuk
memperjelas secara teknis bagaimana pengoperasian SPIPISE dan
menyesuaikan penerapan SPIPISE dengan keadaan iklim investasi di
Kabupaten lebak. Hal ini sesuai dengan hasil analisis kuantitatif yang
162
mencapai angka 62,31% untuk hal pengaruh kondisi politik terhadap
SPIPISE di Lebak.
Adapun penelitian terdahulu yang peneliti baca sebelumnya yang memang
dinilai serupa oleh peneliti yaitu penelitian skripsi tentang Implementasi Strategi
Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP) Pada Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Pandeglang oleh Ela Kholilah (2010). Metodologi penelitian yang
digunakan dalam penelitian tersebut adalah kualitatif. Teknik sampling yang
digunakan adalah purposive sampling dan penentuan sampel adalah snowball
sampling. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis interaktif Miles dan
Huberman. Hasil penelitian dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa
Implementasi Strategi SISMIOP PBB Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Pandeglang kurang optimal karena masih banyak hambatan-hambatan dalam
pelaksanaanya.
Sedangkan penelitian kedua yang dijadikan acuan dalam penelitian ini
adalah skripsi tentang “Implementasi Pemanfaatan Sistem Aplikasi Pelayanan
Kepegawaian (SAPK) di Direktorat Kepangkatan dan Mutasi Badan Kepegawaian
Negara” oleh Rizki Fani Fanatandayu (2014). Metodologi dalam penelitian tersebut
adalah kuantitatif deskriptif. Responden yang dijadikan populasinya adalah 60
orang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Implementasi Pemanfaatan Sistem
Aplikasi Pelayanan Kepegawaian (SAPK) di Direktorat Kepangkatan dan Mutasi
Badan Kepegawaian Negara masih rendah karena hasil perhitungannya diperoleh
64.54% dari angka minimal 65%. Persamaan penelitian ini dengan kedua penelitian
tersebut adalah sama-sama meneliti tentang implementasi sistem aplikasi yang
163
diterapkan di lembaga pemerintahan. Sementara itu, perbedaannya adalah metode
penelitian, dimana peneliti menggunakan penelitian kombinasi model concurrent
embedded atau kombinasi tidak berimbang, lokasi penelitian, sistem aplikasi yang
digunakan, dan juga responden yang menjadi populasi.
Peneliti dalam pembahasan ini juga ingin menyampaikan keterbatasan
dalam penelitian ini. Keterbatasan peneliti dalam penelitian ini adalah masih
banyak temuan-temuan penelitian yang sekiranya masih perlu diteliti dalam
penelitian selanjutnya. Peneliti berharap untuk penelitian selanjutnya akan lebih
baik lagi untuk dapat menyempurnakan penelitian yang dilakukan peneliti.
164
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilaksanakan,
dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Persentase implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan
Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak
mencapai angka sebesar 63,47% dari kriteria yang diharapkan, hal ini
secara kualitatif berarti termasuk dalam kategori kurang baik dan ini
berarti ketercapaiannya kurang dari 65% yang mana angka tersebut
merupakan hipotesis yang peneliti tentukan sejak awal.
2. Berdasarkan hasil analis data kualitatif, diketahui bahwa implementasi
Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik
(SPIPISE) di Kabupaten Lebak masih terdapat kendala atau
permasalahan sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi
kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara
Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak belum optimal. Permasalahan
tersebut diantaranya:
1) Dalam indikator ukuran dan tujuan kebijakan permasalahan yang
terjadi adalah pemahaman para investor mengenai ukuran dan tujuan
kebijakan dalam penerapan SPIPISE masih kurang, pelaksanaan
SPIPISE belum sesuai dengan tujuannya dan untuk ketepatan dan
165
kesesuaian penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak masih belum
optimal.
2) Dalam indikator sumber daya permasalahan yang terjadi adalah
jumlah dan kompetensi pelaksana dalam penerapan kebijakan
SPIPISE belum mencukupi, sumber daya manusia di perusahaan
juga belum cukup memahami mengenai penggunaan SPIPISE,
dukungan dari sumber daya finansial dalam penerapan SPIPISE
belum mencukupi dan ketepatan waktu penginputan data perizinan
dan non perizinan dengan adanya SPIPISE seringkali terjadi tidak
sesuai SOP dan menjadi masalah yang berulang-ulang setiap
tahunnya serta fasilitas pendukung untuk penggunaan SPIPISE
masih kurang yakni dari segi pengadaan komputer atau pc dan
jaringan internet yang masih kurang baik.
3) Dalam indikator karakteristik agen pelaksana permasalahan yang
terjadi adalah penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak belum sesuai
dengan SOP yang ada.
4) Dalam indikator komunikasi antarorganisasi dan aktivitas para
pelaksana permasalahan yang terjadi adalah sosialisasi tentang
penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak belum berjalan dengan
optimal.
166
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan di atas, dapat dilihat bahwa
implementasi kebijakan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara
Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten Lebak kurang baik sehingga saran peneliti
dalam penelitian ini adalah:
1. Peningkatan komptensi para pelaksana yang menggunakan SPIPISE
baik untuk operator Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu
(BPMPPT) Kabupaten Lebak dan operator Perusahaan Penanam
Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanam Modal Asing (PMA).
2. Perlu ada penambahan jumlah sarana dan prasarana penunjang SPIPISE
serta perbaikan fasilitas pendukung SPIPISE.
3. Dilaksanakan Sosialisasi yang menyeluruh dan intensif, bila perlu 3 – 4
kali dalam satu tahun agar pemahaman para pelaksana mengenai
SPIPISE semakin baik.
167
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichin. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Agustino, Leo. 2006. Politik dan Kebijakan Publik. Bandung: AIPI.
_______. 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Bungin, Burhan. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Pernada Media Group.
Fuad, Anis & Kandung Sapto Nugroho. 2014. Panduan Praktis Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Koentjaraningrat. 1991. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Moleong, Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakaya Offsett.
Nugroho, Riant D. 2012. Public Policy. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Parsons, Weynes. 2006. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sandjaja B., Alberto Heriyanto. 2006. Panduan Penelitian. Jakarta: Prestasi Pustakakarya.
Santoso, S. 2003. SPSS Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Satori, Djam’an & Aan Komariah. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Siagian, Sondang. 2009. Sistem Informasi Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara.
Singarimbun, M., Effendi,. S. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
168
_______. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
_______. 2013. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta.
Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung.
Usman, Husaini, & Purnomo Setiady A. 2008. Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi Aksara
Wahab, S.A. 1997. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Widodo, M.S, Joko. 2007. Analisis Kebijakan Publik. Jawa Timur: Bayu Media Publishing.
Widya Wicaksono, Kristian. 2006. Administrasi dan Birokrasi Pemerintah. Yogyakarta: GRAHA ILMU.
Winarno, B. 2007. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo.
Zuriah, Nurul. 2007. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Jurnal Penelitian:
Kholilah, Eka. 2010. Implementasi Strategi Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP) Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pandeglang. Serang: FISIP UNTIRTA.
Fani Fanatandayu, Rizki. 2014. Implementasi Pemanfaatan Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaian (SAPK) di Direktorat Kepangkatan dan Mutasi Badan Kepegawaian Negara. Serang: FISIP UNTIRTA.
Dokumen:
Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2009 Tentang Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik.
Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal.
169
Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara Izin Prinsip Penanaman Modal.
Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal.
Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Sumber Lain:
setkab.go.id, diakses tanggal 26 Maret 2016 pukul 10.30 WIB.
http://www.bkpm.go.id/, diakses tanggal 20 Maret 2016 pukul 11.35 WIB.
http://bpmppt.lebakkab.go.id/, diakses tanggal 26 Maret 2016 pukul 16.20 WIB.
https://online-spipise.bkpm.go.id/, diakses tanggal 31 Agustus 2016 pukul 09.00 WIB.
LAMPIRAN
LAMPIRAN I (Surat Ijin Penelitian)
LAMPIRAN II (Angket/Kuesioner dan Pedoman Wawancara)
JUDUL PENELITIAN:
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SISTEM PELAYANAN INFORMASI DAN PERIZINAN INVESTASI SECARA ELEKTRONIK (SPIPISE)
DI KABUPATEN LEBAK
INFORMASI RESPONDEN
Kuesioner
I. Petunjuk 1. Berikanlah tanda ceklis (√) pada jawaban yang anda pilih dari pernyataan
dibawah ini. 2. Untuk memudahkan dalam mengisi data, mohon diisi sesuai dengan
keadaan dan kondisi yang terjadi dilapangan. 3. Keterangan dari jawaban :
SS = Sangat Setuju S = Setuju KS = Kurang Setuju TS = Tidak Setuju
II. Identitas Responden
Nomor Responden ………………….(Diisi oleh petugas) Jenis Kelamin (1) Laki – laki (2) Perempuan
Usia (1) 17 – 25 tahun (4) 46 – 55 tahun (2) 26 – 35 tahun (5) > 56 tahun (3) 36 – 45 tahun
Pendidikan Terakhir (1) SLTP / sederajat (4) Sarjana (2) SMA / sederajat (5) Pascasarjana (3) Diploma
PERNYATAAN
Implementasi Kebijakan Indikator 1 : Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Pernyataan SS S KS TS 1. Ukuran dari penerapan SPIPISE sudah cukup
jelas dan mudah dipahami.
2. Tujuan dari penerapan SPIPISE sudah cukup jelas dan mudah dipahami.
3. Pelaksanaan SPIPISE sudah sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan.
4. Kebijakan SPIPISE sudah tepat dan sesuai diterapkan pada perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak.
Indikator 2 : Sumber Daya 5. Operator yang menangani SPIPISE memiliki
tingkat pendidikan yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.
6. Operator yang menangani SPIPISE mempunyai kompetensi yang baik dalam mengoperasikan SPIPISE.
7. Operator yang menangani SPIPISE memahami proses penginputan data dalam SPIPISE.
8. Operator yang menangani SPIPISE mengetahui maksud dan tujuan pelayanan SPIPISE.
9. Para operator pengguna aplikasi SPIPISE mengetahui segala informasi yang terdapat dalam penerapan SPIPISE.
10. Para operator pengguna aplikasi SPIPISE senantiasa berdiskusi dan bertukar informasi dengan sesama rekan kerja.
11. Operator pengguna aplikasi SPIPISE memahami kewenangan dalam menjalankan SPIPISE.
12. Waktu yang dibutuhkan dalam penginputan data baik perizinan dan non perizinan ke dalam SPIPISE cepat dan akurat.
13. Penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak di dukung oleh sumber daya finansial yang cukup.
14. Operator pengguna aplikasi SPIPISE disediakan fasilitas pendukung yang memadai dalam pelaksanaan pelayanan informasi dan perizinan investasi.
15. Fasilitas pendukung baik sarana dan prasarana dalam penerapan SPIPISE sudah memadai.
Indikator 3 : Karakteristik Agen Pelaksana 16. Operator pengguna aplikasi SPIPISE memahami
tentang FAQ & troubleshoot yang diberikan oleh PUSDATIN BKPM Pusat.
17. Semua operator pengguna aplikasi SPIPISE megetahui tentang Standard Operating Procedures (SOP) yang diterapkan.
18. Pelaksanaan SPIPISE sudah sesuai dengan Standard Operating Procedures (SOP).
19. Di dalam lingkungan kerja Operator pelaksana SPIPISE dalam aktivitasnya sudah sesuai dengan tupoksinya masing-masing.
Indikator 4 : Sikap/Kecenderungan (Disposisi) Para Pelaksana 20. Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak
mendukung penuh penerapan SPIPISE pada
perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing yang ada di Kabupaten Lebak.
21. Perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak mendukung penuh penerapan SPIPISE.
22. Terwujudnya transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya SPIPISE ini.
23. Operator pengguna aplikasi SPIPISE memiliki kemauan yang tinggi dalam mengoperasikan SPIPISE.
24. Operator pengguna aplikasi SPIPISE selalu mementingkan kepentingan organisasi dibandingkan dengan kepentingan pribadi.
25. Operator pelaksana SPIPISE mendapatkan insentif atau gaji sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
26. Beban tugas yang diberikan dalam input data perizinan dan penanaman modal sesuai dengan insentif atau gaji yang diberikan.
27. Setiap jenis imbalan diperinci dengan jelas dan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Indikator 5 : Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana 28. Penyampaian komunikasi dari atasan kepada
Operator yang menangani SPIPISE sudah baik.
29. Operator pelaksana SPIPISE berkomunikasi dengan baik dengan sesama operator dalam pelaksanaan SPIPISE.
30. Operator pengguna aplikasi SPIPISE melakukan koordinasi yang baik dengan atasan dalam proses pelayanan SPIPISE.
31. Koordinasi dengan sesama operator pengguna SPIPISE sudah terjalin dengan baik.
32. Kejelasan komunikasi tentang pelaksanaan SPIPISE sudah baik.
33. Dalam menjalankan tugas operator pengguna SPIPISE diberi pengarahan sesuai dengan bidang kerjanya masing-masing.
34. Konsistensi arahan dari atasan kepada operator dalam pelaksanaan inputing data SPIPISE sudah terjalin dengan baik.
35. Operator pelaksana SPIPISE konsisten melakukan koordinasi dan komunikasi dengan sesama operator dalam pelaksanaan SPIPISE.
36. Sosialisasi yang dilakukan dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak cukup baik dan mudah dipahami.
37. Kemudahan layanan informasi tentang SPIPISE sudah diketahui oleh masyarakat umum.
Indikator 6 : Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik 38. Lingkungan ekonomi turut mempengaruhi
kebijakan SPIPISE di Kabupaten Lebak.
39. Lingkungan sosial turut mempengaruhi kebijakan SPIPISE di Kabupaten Lebak.
40. Lingkungan politik turut mempengaruhi kebijakan SPIPISE di Kabupaten Lebak.
Terimakasih atas partisipasinya, semoga penelitian ini bermanfaat dalam
membangun Kabupaten Lebak yang lebih baik.
Pedoman Wawancara Penelitian
Variabel Indikator Pertanyaan Kode Informan
Implementasi Kebijakan
Sistem Pelayanan
Informasi dan Perizinan Investasi Secara
Elektronik (SPIPISE) di Kabupaten
Lebak
Ukuran dan tujuan kebijakan
Menurut anda, apakah ukuran dan tujuan dari penerapan SPIPISE?
I1, I2
Menurut anda, bagaimana pemahaman operator perusahaan mengenai ukuran dan tujuan kebijakan SPIPISE?
I1, I2
Apakah penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak sudah sesuai dengan tujuannya?
I1, I2
Apakah kebijakan SPIPISE sudah tepat diterapkan pada perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak?
I1, I2
Sumberdaya
Apakah jumlah dan kompetensi pelaksana untuk penerapan SPIPISE di BPMPPT Lebak dan perusahaan PMDN dan PMA ini sudah cukup dan memadai?
I1, I2
Menurut anda, bagaimana pemahaman operator dalam penginputan data perusahaan ke dalam SPIPISE?
I1, I2
Menurut anda, bagaimana pengetahuan operator SPIPISE mengenai semua informasi tentang SPIPISE tersebut?
I1, I2
Berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam melakukan penginputan ke dalam SPIPISE?
I1, I2
Bagaimana ketepatan waktu penginputan data perizinanan dan non perizinan dengan adanya SPIPISE ini?
I1, I2
Apakah sumber daya finansial mendukung dalam penerapan SPIPISE ini?
I1, I2
Bagaimana fasilitas pendukung di kantor anda, seperti komputer/laptop dan jaringan internet guna menunjang pengoperasian SPIPISE?
I1, I2
Karakteristik agen pelaksana
Dalam penggunaan aplikasi SPIPISE, bagaimana pemahaman operator perusahaan tentang FAQ & troubleshoot yang diberikan oleh PUSDATIN BKPM Pusat?
I1, I2
Bagaimana pengetahuan dan pemahaman operator SPIPISE mengenai Standard Operating Procedures SOP yang diterapkan?
I1, I2
Apakah penerapan SPIPISE sudah sesuai dengan SOP?
I1, I2
Sikap/ kecenderungan (disposisi) para pelaksana
Apakah Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak mendukung penuh penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak?
I1, I2
Apakah Perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak mendukung penuh penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak?
I1, I2
Bagaimana dengan transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya SPIPISE?
I1, I2
Komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana
Bagaimana komunikasi dengan perusahaan dan dinas teknis terkait tentang SPIPISE dilakukan?
I1, I2
Bagaimana proses koordinasi yang dilakukan dengan perusahaan dan antar SKPD teknis terakit dalam penerapan SPIPISE?
I1, I2
Apakah ada sosialisasi yang dilakukan terkait penerapan SPIPISE ini, baik dengan masyarakat atau SKPD terkait?
I1, I2
Bagaimana proses sosialisasi dilakukan? I1, I2 Apakah Sosialisasi yang dilakukan dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak efektif, efisien dan mudah dipahami?
I1, I2
Apakah kemudahan layanan informasi tentang SPIPISE sudah diketahui oleh masyarakat umum?
I1, I2
Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
Apakah kondisi ekonomi turut mempengaruhi kebijakan ini?
I1, I2
Apakah lingkungan sosial turut mempengaruhi kebijakan ini?
I1, I2
Apakah kondisi politik turut mempengaruhi kebijakan ini?
I1, I2
(Sumber: Peneliti, 2016)
LAMPIRAN III (Matriks Hasil Penelitian)
MATRIKS HASIL WAWANCARA
1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan
I
Q1
Menurut anda, apakah ukuran dan tujuan dari penerapan SPIPISE?
I1
Ukurannya adalah Perka BKPM RI Nomor 14 tahun 2009 tentang
SPIPISE. Pada dasarnya tujuannya adalah untuk mengindentifikasi
jumlah investasi yang masuk dan untuk mengintegrasikan semua
perizinan, mempermudah serta mempercepat pelayanan perizinan
bagi para investor.
I2
Ukuran dan tujuannya tertuang dalam Perka BKPM RI Nomor 14
tahun 2009 tentang SPIPISE. Pada dasarnya tujuan SPIPISE ini
adalah mengakomodasi data-data perusahaan dari tahap
pembangunan sampai produksi.
I
Q2
Menurut anda, bagaimana pemahaman operator perusahaan mengenai ukuran dan tujuan kebijakan SPIPISE?
I1
Pemahaman operator perusahaan mengenai ukuran dan kebijakan
SPIPISE masih kurang. Hal ini disebabkan oleh belum optimalnya
sosialisasi yang dilakukan mengenai SPIPISE tersebut. Dari belum
optimalnya sosialisasi tersebut, maka informasi mengenai ukuran dan
kebijakan SPIPISE belum terserap dengan baik oleh operator
perusahaan tersebut. Namun demikian, perusahaan PMDN dan PMA
tetap konsisten menggunakan SPIPISE karena memang
penggunannya mempermudah pelayanan perizinan.
I2 Pemahaman operator perusahaan PMDN dan PMA mengenai ukuran
dan tujuan kebijakan masih kurang, karena informasi mengenai
SPIPISE juga kurang, hal ini disebabkan oleh sosialisasi yang belum
optimal.
I
Q3
Apakah penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak sudah sesuai dengan tujuannya?
I1
Belum, karena dalam penerapan SPIPISE masih banyak permasalahan
yang terjadi, diantaranya server dan bandwidth sering bermasalah, hal
ini terjadi karena server dan bandwidth tersebut berada di BKPM
Pusat dan diakses oleh semua pemerintah daerah di bidang perizinan
sehingga tidak mampu menampungnya, sumber daya manusia yang
kurang, dan belum optimalnya pelayanan terpadu satu pintu karena
masih ada perizinan yang dikelola oleh dinas teknis terkait.
I2
Belum, karena pelaksanaanya masih terdapat kendala atau
permasalahan diantaranya jaringan internet yang bermasalah, hal ini
disebabkan oleh jauhnya lokasi perusahaan dari jangkauan internet
sehingga sulit menggunakan SPIPISE, permasalahan selanjutnya
adalah sumber daya manusia yang belum memahami mengenai
SPIPISE itu, dan yang terakhir adalah masih ada izin usaha yang
nilainya lebih dari 500 juta belum terintegrasi dengan SPIPISE,
padahal jika diintegrasikan tentunya akan meningkatkan realisasi
invetsasi di Lebak.
I
Q4
Apakah kebijakan SPIPISE sudah tepat diterapkan pada perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak?
I1 Sudah tepat, walaupun investasi di Lebak bisa dikatakan belum
berskala besar. Fasilitas pendukung seperti SPIPISE sangat
dibutuhkan menarik investor agar menanamkan modal di Lebak,
karena mau tidak mau untuk ikut berkonstribusi dalam MEA, maka
pelayanan investasi harus ditingkatkan dan disediakan dengan baik.
I2
Bisa dikatakan tepat, namun perlu adanya pengembangan lagi karena
masing-masing wilayah berbeda kebutuhan dalam pelayanan
penanam modalnya sehingga butuh penyesuaian agar penerapan di
daerah sesuai.
2. Sumber daya
I
Q5
Apakah jumlah dan kompetensi pelaksana untuk penerapan SPIPISE di BPMPPT Lebak dan perusahaan PMDN dan PMA ini sudah cukup dan memadai?
I1
Belum mencukupi, karena jumlah operator SPIPISE hanya ada 4
orang, diperlukan setidaknya 6 orang termasuk admin. Untuk
diperusahaan kompetensi pelaksanannya dinilai belum memadai
karena memang pemahamannya kurang.
I2 Kalau di BPMPPT cukup, namun diperusahaan masih kurang, karena
SDM di perusahaan belum ada yang secara khusus memahami
SPIPISE.
I
Q6
Menurut anda, bagaimana pemahaman operator dalam penginputan data perusahaan ke dalam SPIPISE?
I1
Cukup memahami untuk proses penginputan karena memang dalam
pembuatan laporan kegiatan penanaman modal itu menggunakan
SPIPISE, meskipun masih ada permasalahan, belum ada pengaduan
dari perusahaan mengenai hal ini.
I2 Cukup memahami untuk proses penginputan data karena dalam
pembuatan izin prinsip misalnya itu menggunakan SPIPISE selain itu
dalam melaporkan kegiatan penanaman modal itu juga menggunakan
SPIPISE.
I
Q7
Menurut anda, bagaimana pengetahuan operator SPIPISE mengenai semua informasi tentang SPIPISE tersebut?
I1
Pengetahuan operator SPIPISE mengenai semua informasi SPIPISE
itu masih kurang, hal ini karena sosialisasi yang memang belum
optimal, namun selama ini belum ada pengaduan mengenai kendala
dalam penggunaan SPIPISE.
I2 Pengetahuan operator perusahaan dalam hal tahu tentang semua
informasi itu masih kurang, karena sosialisasi yang dilakukan belum
optimal.
I
Q8
Berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam melakukan penginputan ke dalam SPIPISE?
I1 Tergantung perizinan yang diproses, ada yang 3 hari, 7 hari dan 10
hari, semua sudah ada mekanisme yang mengaturnya.
I2 Tergantung perizinan yang diproses, ada yang 3 hari, 7 hari dan 10
hari, semua sudah ada mekanisme yang mengaturnya.
I
Q9
Bagaimana ketepatan waktu penginputan data perizinanan dan non perizinan dengan adanya SPIPISE ini?
I1
Jika tidak ada gangguan server dan jaringan internet bisa tepat waktu
sesuai SOP tergantung perizinan yang di proses. Namun seringkali
terjadi tidak sesuai SOP. Namun selama ini belum ada komplain dari
para investor.
I2 Kurang tepat karena seringkali keluar dari SOP dan itu menjadi
masalah yang berulang-ulang setiap tahunnya.
I
Q10
Apakah sumber daya finansial mendukung dalam penerapan SPIPISE ini?
I1
Sudah mendukung, karena sarana dan prasarana disediakan oleh
BKPM RI, sementara dana dari APBD digunakan untuk biaya
operasional turut serta dalam pendidikan dan pelatihan tentang
pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) yang mana termasuk di
dalamnya ada materi tentang SPIPISE.
I2
Untuk sarana dan prasarana sudah didukung oleh BKPM RI. Namun
dukungan finansial untuk acara sosialisasi masih kurang, dimana
BPMPPT Lebak sering kali mengajukan pelaksanaan sosialisasi 3-4
kali namun yang di acc hanya 1 kali dalam setahun.
I
Q11
Bagaimana fasilitas pendukung di kantor anda, seperti komputer/laptop dan jaringan internet guna menunjang pengoperasian SPIPISE?
I1 Masih kurang, terutama komputer atau pc dan jaringan internet masih
kurang baik.
I2 Masih kurang, terutama komputer atau pc dan jaringan internet masih
kurang baik.
3. Karakteristik Agen Pelaksana
I
Q12
Dalam penggunaan aplikasi SPIPISE, bagaimana pemahaman operator perusahaan tentang FAQ & troubleshoot yang diberikan oleh Pusdatin BKPM Pusat?
I1 Menurut saya cukup memahami, karena FAQ & troubleshoot sudah
diberitahu sejak awal penerapan SPIPISE ini, dan itu dibuktikan
dengan belum ada laporan ke kita mengenai kendala tentang itu.
I2 Cukup memahami menurut saya, walapun belum secara keseluruhan
paham tentang FAQ & troubleshoot itu.
I
Q13
Bagaimana pengetahuan dan pemahaman operator SPIPISE mengenai Standard Operating Procedures SOP yang diterapkan?
I1 Pengetahuan dan pemahaman operator mengenai SOP sudah cukup.
Karena perusahaan menggunakan SPIPISE untuk memudahkan
pelayanan perizinan dan sudah ada SOP yang mengatur itu gitu.
I2 Pemahamannya dan pengetahuannya sudah cukup baik. Karena
memang SPIPISE ini dibuat untuk kemudahan perizinan dan
tentunya sudah ada SOP yang mengatur tentang itu.
I
Q14
Apakah penerapan SPIPISE sudah sesuai dengan SOP?
I1
Belum sesuai, karena memang seringkali perizinan yang diproses
mendapatkan tanda merah yang artinya perizinan tersebut keluar dari
SOP. Hal ini terjadi karena server dan bandwidth yang bermasalah.
Namun tidak berpengaruh terhadap perizinan hanya saja sering
keluar dari SOP.
I2 Sangat belum sesuai karena seringnya gangguan server dan jaringan,
data perizinan sering mendapatkan tanda merah yang artinya keluar
dari SOP dan tentunya hal ini harus bisa diselesaikan.
4. Indikator Sikap/kecenderungan (disposisi) Para Pelaksana
I
Q15
Apakah Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak mendukung
penuh penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak?
I1 Sangat mendukung walaupun belum optimal, karena memang
penerapan SPIPISE ini masih dalam pengembangan dan penerapan
di Kabupaten Lebak pun masih bertahap.
I2
Sangat mendukung, dalam hal ini kita berencana mengajukan
pembuatan peraturan bupati yang mengatur tentang izin usaha.
Dimana setiap izin usaha yang nilai investasinya di atas 500 juta
maka wajib membuat izin prinsip menggunakan SPIPISE.
I
Q16
Apakah Perusahaan PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak mendukung penuh penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak?
I1
Sangat mendukung. Dibuktikan dengan realisasi investasi Lebak
yang melebih target yang ditetapkan dalam RPJMD Lebak, dimana
target setiap tahunnya adalah 1 triliyun rupiah, kita dapat 5 triliyun
rupiah dan itu respon yang bagus dari perusahaan.
I2 Mendukung, dan ini tergantung dari kita sebagai pemerintah daerah
di bidang penanaman modal yang memang memberikan pelayanan
kepada PMDN dan PMA di Kabupaten Lebak.
I
Q17
Bagaimana dengan transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan penanaman modal dengan adanya SPIPISE?
I1 Untuk transparansi bagi investor itu sudah, karena dalam hal ini
perusahaan yang telah mendaftar di SPIPISE itu memiliki hak akses.
Untuk masyarakat umum sifatnya terbatas, karena hak akses itu
hanya dimiliki perusahaan. Sedangkan untuk akuntabilitas itu sudah
cukup baik.
I2 Transparansi untuk semua investor itu sudah, hanya saja untuk
masyarakat umum itu hanya beberapa informasi tertentu saja. Dan
untuk akuntabilitasnya sudah baik.
5. Indikator Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Para Pelaksana
I
Q18
Bagaimana komunikasi dengan perusahaan dan dinas teknis terkait tentang SPIPISE dilakukan?
I1
Komunikasi dengan perusahaan dilakukan sejak awal, karena
memang untuk mengurusi perizinan perusahaan terlebih dahulu
datang ke BPMPPT Lebak, disana dijelaskan secara jelas mengenai
informasi terkait perizinan termasuk di dalamnya tentang SPIPISE.
Untuk komunikasi antar pegawai BPMPPT terjalin baik dan
komunikasi dengan SKPD terkait perizinan juga baik, hal ini
dilakukan karena memang BPMPPT sendiri hanya memiliki
kewenangan mengeluarkan izin, untuk teknisnya ada dinas teknis
tekait. Untuk hal terkait komunikasi tentang SPIPISE yang
berwenang hanya BKPM dan BKPMD sementara dinas lait tidak
punya keterkaitan langsung tentang SPIPISE ini.
I2
Untuk komunikasi dengan perusahaan sangat baik, karena memang
untuk mengurusi perizinan perusahaan terlebih dahulu datang ke
BPMPPT Lebak, disana dijelaskan secara jelas mengenai informasi
terkait perizinan termasuk di dalamnya tentang SPIPISE.
Komunikasi antar pegawai BPMPPT terjalin baik dan komunikasi
dengan SKPD Terkait perizinan juga baik. Hal itu dibuktikan dengan
dibentuknya tim pengendalian penanaman modal yang sudah
memiliki SK Bupati dan sudah berjalan dari maret 2015. Untuk hal
terkait komunikasi tentang SPIPISE yang berwenang hanya BKPM
dan BKPMD sementara dinas lait tidak punya keterkaitan langsung
tentang SPIPISE ini.
I
Q19
Bagaimana proses koordinasi yang dilakukan dengan perusahaan dan antar SKPD teknis terakit dalam penerapan SPIPISE?
I1
Proses koordinasi selalu dilakukan, baik ketika BPMPPT
mengundang SKPD teknis terkait melalu rapat koordinasi ataupun
sebaliknya, SKPD terkait perizinan selalu melibatkan BPMPPT
dalam rapat terkait dengan perizinan.
Jadi ada tim pengendalian penanaman modal sudah di SK kan dan
bahkan sudah di Perbup kan serta sudah jalan maret 2015. Gunanya
adalah dimana SKPD terkait dikumpulkan dan membahas terkait
penanaman modal.
I2
Ada tim pengendalian penanaman modal sudah di SK kan dan
bahkan sudah di Perbup kan serta sudah jalan maret 2015. Gunanya
adalah dimana SKPD terkait dikumpulkan dan membahas terkait
penanaman modal.
Dengan adanya tim pengendalian penanaman modal, maka sering di
adakan pengawasan dan juga koordinasi antarSKPD terkait perizinan
melalui rapat.
I
Q20
Apakah ada sosialisasi yang dilakukan terkait penerapan SPIPISE ini, baik dengan masyarakat atau SKPD terkait?
I1
Ada, sosialisasi dilakukan setiap satu tahun sekali, dimana BPMPPT
mengirimkan surat undangan kepada perusahaan baik itu PMDN
maupun PMA, bagi yang berhalangan hadir, BPMPPT sendiri yang
mendatangi perusahaan tersebut.
I2
Ada, sosialisasi dilakukan setiap satu tahun sekali, dimana BPMPPT
mengirimkan surat undangan kepada perusahaan baik itu PMDN
maupun PMA, bagi yang berhalangan hadir, BPMPPT sendiri yang
mendatangi perusahaan tersebut.
I
Q21
Bagaimana proses sosialisasi dilakukan?
I1
Proses sosialisasi dilakukan dengan memberikan materi pemahaman
terkait penanaman modal yang termasuk di dalamnya ada materi
tentang SPIPISE, dan dihadiri oleh BKPM RI dan BKPMPT Provinsi
Banten.
I2
Proses sosialisasi dilakukan dengan memberikan materi pemahaman
terkait penanaman modal yang termasuk di dalamnya ada materi
tentang SPIPISE, dan dihadiri oleh BKPM RI dan BKPMPT Provinsi
Banten.
I
Q22
Apakah Sosialisasi yang dilakukan dalam penerapan SPIPISE di Kabupaten Lebak efektif, efisien dan mudah dipahami?
I1 Belum efektif, karena sosialisasi hanya dilakukan satu kali dalam
satu tahun, dan tentunya pemahaman para investor masih kurang.
I2 Belum efektif, karena sosialisasi hanya dilakukan satu kali dalam
satu tahun seharusnya 3 – 4 kali dalam satu tahun hal ini tentunya
pemahaman para investor masih kurang.
I
Q23
Apakah kemudahan layanan informasi tentang SPIPISE sudah diketahui oleh masyarakat umum?
I1 Untuk masyarakat umum bukan investor itu informasinya itu
terbatas.
I2 Untuk masyarakat umum itu terbatas, namun apabila masyarakat
butuh data terkait penanaman modal seperti LSM atau wartawan itu
diberikan akan tetapi itu bukan data yang dikecualikan.
6. Indikator Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
I
Q26
Apakah kondisi ekonomi turut mempengaruhi kebijakan ini?
I1
Sangat mempengaruhi, dimana kondisi ekonomi masyarakat
Kabupaten Lebak yang masih rendah bisa ditingkatkan dengan
adanya investor yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru,
kemudahan pelayanan lewat penerapan SPIPISE tentunya akan
mengundang investor ke Lebak.
I2
Sangat mempengaruhi, dimana kondisi ekonomi masyarakat
Kabupaten Lebak yang masih rendah bisa ditingkatkan dengan
adanya investor yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru,
kemudahan pelayanan lewat penerapan SPIPISE tentunya akan
mengundang investor ke Lebak.
I
Q27
Apakah lingkungan sosial turut mempengaruhi kebijakan ini?
I1
Pengaruh lingkungan sosial masyarakat Kabupaten Lebak terhadap
kebijakan ini kurang mempengaruhi karena kebijakan ini hanya
diketahui oleh para investor yang nilai investasinya di atas 500 juta
rupiah.
I2
Pengaruh lingkungan sosial masyarakat Kabupaten Lebak terhadap
kebijakan ini kurang mempengaruhi karena kebijakan ini hanya
diketahui oleh para investor yang nilai investasinya di atas 500 juta
rupiah.
I
Q28
Apakah kondisi politik turut mempengaruhi kebijakan ini?
I1
Sangat mempengaruhi karena kondisi lingkungan politik yang
kondusif akan mempermudah penerapan SPIPISE dalam PTSP di
Kabupaten Lebak. Dimana tergantung pada kebijakan dan dukungan
Pemda Kabupaten Lebak itu sendiri, dan sejauh ini Pemda Lebak
mendukung penerapan SPIPISE ini.
I2
Sangat mempengaruhi karena kondisi lingkungan politik yang
kondusif akan mempermudah penerapan SPIPISE dalam PTSP di
Kabupaten Lebak. Dimana tergantung pada kebijakan dan dukungan
Pemda Kabupaten Lebak itu sendiri, dan sejauh ini Pemda Lebak
mendukung penerapan SPIPISE ini.
LAMPIRAN IV (Data Pendukung Penelitian)
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 97 TAHUN 2014
TENTANG
PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendekatkan dan meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat serta memperpendek proses
pelayanan guna mewujudkan pelayanan yang cepat,
mudah, murah, transparan, pasti, dan terjangkau
dilaksanakan suatu pelayanan terpadu satu pintu;
b. bahwa pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dilakukan untuk menyatukan
proses pengelolaan pelayanan baik yang bersifat pelayanan
Perizinan dan Nonperizinan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Presiden tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-2-
Tabun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4724);
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843);
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);
9. Peraturan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-3-
9. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008 tentang
Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan
Penanaman Modal di Daerah ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 88, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor. 4861);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 215, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5357);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENYELENGGARAAN
PELAYANAN TERPADU SATU PINTU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan :
1. Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang selanjutnya disingkat
PTSP adalah pelayanan secara terintegrasi dalam satu
kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai
dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu
pintu.
2. Penyelenggara PTSP adalah Pemerintah, pemerintah
daerah, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas, dan Administrator Kawasan Ekonomi Khusus.
3. Penanaman
P RESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-4-
3. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan
menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri
maupun penanam modal asing, untuk melakukan usaha
di wilayah negara Republik Indonesia.
4. Penanam Modal adalah perseorangan atau badan usaha
yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa
penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing.
5. Perizinan adalah segala bentuk persetujuan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah yang
memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
6. Nonperizinan adalah segala bentuk kemudahan pelayanan,
fasilitas fiskal, dan informasi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
7. Pendelegasian Wewenang adalah penyerahan tugas, hak,
kewajiban, dan pertan.ggungjawaban Perizinan dan
Nonperizinan, termasuk penandatanganannya atas nama
pemberi wewenang.
8. Pelimpahan Wewenang adalah penyerahan tugas, hak,
kewajiban, dan pertanggungjawaban Perizinan dan
Nonperizinan, termasuk penandatanganannya atas nama
penerima wewenang.
9. Pelayanan Secara Elektronik, yang selanjutnya disingkat
PSE adalah pelayanan Perizinan dan Nonperizinan yang
diberikan melalui PTSP secara elektronik.
10. Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara
Elektronik, yang selanjutnya disingkat SPIPISE adalah
Sistem
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-5-
Sistem pelayanan Perizinan dan Nonperizinan yang
terintegrasi antara Pemerintah yang memiliki kewenangan
Perizinan dan Nonperizinan dengan pemerintah daerah.
BAB II
TUJUAN, PRINSIP, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
PTSP bertujuan:
a. memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada
masyarakat;
b. memperpendek proses pelayanan;
c. mewujudkan proses pelayanan yang cepat, mudah, murah,
transparan, pasti, dan terjangkau; dan
d. mendekatkan dan memberikan pelayanan yang lebih luas
kepada masyarakat.
Pasal 3
PTSP dilaksanakan dengan prinsip:
a. keterpaduan;
b. ekonomis;
c. koordinasi;
d. pendelegasian atau pelimpahan wewenang;
e. akuntabilitas; dan
f. aksesibilitas.
Pasal 4
Ruang lingkup PTSP meliputi seluruh pelayanan Perizinan dan
Nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah dan
pemerintah daerah.
Pasal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 6 -
Pasal
( 1) Penyelenggaraan PTSP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, dilaksanakan oleh:
a. Pemerintah yang dilakukan oleh Badan Koordinasi
Penanaman Modal untuk pelayanan Perizinan dan
Nonperizinan di bidang penanaman modal yang
merupakan urusan Pemerintah;
b. Pemerintah provinsi untuk pelayanan Perizinan dan
Nonperizinan dari urusan wajib dan urusan pilihan
yang menjadi urusan provinsi; dan
c. Pemerintah kabupaten/kota untuk pelayanan
Perizinan dan Nonperizinan dari urusan wajib dan
urusan pilihan yang menjadi urusan kabupaten/kota.
(2) Urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah,
pemerintahan provinsi, dan pemerintahan kabupaten/
kota.
BAB III
PENYELENGGARAAN PTSP
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan PTSP oleh Pemerintah
Pasal 6
( 1 ) Penyelenggaraan PTSP oleh Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a mencakup
urusan pemerintahan di bidang Penanaman Modal yang
menjadi kewenangan Pemerintah.
(2) Urusan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-7-
(2) Urusan pemerintahan di bidang Penanaman Modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. penyelenggaraan Penanaman Modal yang ruang
lingkupnya lintas provinsi;
b. urusan pemerintahan di bidang Penanaman Modal
yang meliputi:
1) Penanaman Modal terkait dengan sumber daya
alam yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko
kerusakan lingkungan yang tinggi;
2) Penanaman Modal pada bidang industri yang
merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;
3) Penanaman Modal yang terkait pada fungsi
pemersatu dan penghubung antar wilayah atau
ruang lingkupnya lintas provinsi;
4) Penanaman Modal yang terkait pada pelaksanaan
strategi pertahanan dan keamanan nasional;
5) Penanaman Modal Asing dan Penanam Modal yang
menggunakan modal asing, yang berasal dari
pemerintah negara lain, yang didasarkan
perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan
pemerintah negara lain; dan
6) Bidang Penanaman Modal lain yang menjadi
urusan Pemerintah menurut undang-undang.
( 3) Penanaman Modal Asing dan Penanam Modal yang
menggunakan modal asing, sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b angka 5 meliputi:
a. Penanaman Modal Asing yang dilakukan oleh
pemerintah negara lain;
b. Penanaman Modal Asing yang dilakukan oleh warga
negara asing atau badan usaha asing;
c. Penanam
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-8-
c. Penanam Modal yang menggunakan modal asing yang
berasal dari pemerintah negara lain,
yang didasarkan pada perjanjian yang dibuat oleh
Pemerintah dan pemerintah negara lain.
Pasal 7
(1) Dalam menyelenggarakan PTSP di bidang Penanaman
Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6:
a. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal mendapat
pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari
Menteri teknis/Kepala Lembaga yang memiliki
kewenangan Perizinan dan Nonperizinan yang
merupakan urusan Pemerintah di bidang Penanaman
Modal;
b. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dapat
melimpahkan wewenang yang diberikan oleh Menteri
teknis/Kepala Lembaga dengan hak subsitusi kepada
PTSP provinsi, PTSP kabupaten/kota, PTSP Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, atau
Administrator Kawasan Ekonomi Khusus;
c. Menteri teknis/Kepala Lembaga dapat menugaskan
pejabatnya di Badan Koordinasi Penananam Modal
untuk menerima dan menandatangani Perizinan dan
Nonperizinan yang kewenangannya tidak dapat
dilimpahkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pendelegasian atau Pelimpahan Wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan melalui
Peraturan Menteri teknis/Kepala Lembaga.
Pasal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-9-
Pasal 8
(1) Menteri teknis/Kepala Lembaga yang memiliki
kewenangan Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan
urusan Pemerintah di bidang Penanaman Modal,
menyusun dan menetapkan bidang-bidang usaha
Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) huruf b angka 1), angka 2), angka 3), angka 4),
dan angka 6).
(2) Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal
berkoordinasi dengan Menteri teknis/Kepala Lembaga
untuk menginventarisasi perjanjian yang dibuat oleh
Pemerintah dan pemerintah negara lain di bidang
Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) huruf b angka 5.
Pasal 9
( 1 ) Menteri teknis/Kepala Lembaga yang memiliki
kewenangan Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan
urusan Pemerintah di bidang Penanaman Modal,
menetapkan jenis-jenis Perizinan dan Nonperizinan untuk
penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal.
(2) Tata cara Perizinan dan Nonperizinan untuk setiap jenis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri
teknis/Kepala Lembaga yang memiliki kewenangan
tersebut dalam bentuk Petunjuk Teknis yang meliputi:
a. persyaratan teknis dan nonteknis;
b. tahapan memperoleh Perizinan dan Nonperizinan; dan c. mekanisme pengawasan dan sanksi.
(3) Dalam ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 10 -
( 3) Dalam menetapkan jenis dan tata cara Perizinan dan
Nonperizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), Menteri teknis/Kepala Lembaga berkoordinasi
dengan lembaga/instansi terkait.
Pasal 10
(1) Penyelenggaraan PTSP oleh pemerintah provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b
mencakup urusan pemerintahan provinsi dalam
penyelenggaraan Perizinan dan Nonperizinan yang
diselenggarakan dalam PTSP.
(2) Urusan pemerintahan provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. urusan pemerintah provinsi yang diatur dalam
perundang-undangan;
b. urusan pemerintahan provinsi yang ruang lingkupnya
lintas kabupaten/kota; dan
c. urusan pemerintah yang diberikan pelimpahan
wewenang kepada Gubernur.
( 3 ) Penyelenggaraan PTSP oleh pemerintah provinsi
dilaksanakan oleh Badan Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi (BPMPTSP).
(4) Dalam menyelenggarakan PTSP oleh provinsi, Gubernur
memberikan pendelegasian wewenang Perizinan dan
Nonperizinan yang menjadi urusan pemerintah provinsi
kepada Kepala BPMPTSP Provinsi.
(5) BPMPTSP Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Pasal 11
(1) Penyelenggaraan PTSP oleh pemerintah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c
mencakup urusan pemerintahan kabupaten/kota dalam
penyelenggaraan Perizinan dan Nonperizinan yang
diselenggarakan dalam PTSP.
(2) Urusan pemerintahan kabupaten / kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. urusan pemerintah kabupaten / kota yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan; dan
b. urusan pemerintah yang diberikan pelimpahan
wewenang kepada Bupati/Walikota.
( 3) Penyelenggaraan PTSP oleh pemerintah kabupaten / kota
dilaksanakan oleh Badan Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten/Kota
(BPMPTSP) Kabupaten/ Kota.
(4) Dalam menyelenggarakan PTSP oleh kabupaten/kota,
Bupati/ Walikota memberikan pendelegasian wewenang
Perizinan dan Nonperizinan yang menjadi urusan
pemerintah kabupaten/kota kepada Kepala BPMPTSP
Kabupaten/ Kota.
(5) BPMPTSP Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditetapkan sesuai peraturan perundang-
undangan.
Pasal 12
BPMPTSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan
Pasal 11 ayat (3) selain penyelenggaraan fungsi pelayanan
terpadu Perizinan dan Nonperizinan, melakukan fungsi
penyelenggaraan penanaman modal.
Pasal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 12 -
Pasal 13
(1) Perizinan dan Nonperizinan yang menjadi urusan
Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota di Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas atau di Kawasan Ekonomi Khusus
diselenggarakan oleh Badan Pengusahaan Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas atau
Administrator Kawasan Ekonomi Khusus sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyelenggaraan Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
pelimpahan atau pendelegasian kewenangan dari
Menteri/Kepala Lembaga, Gubernur, dan/atau Bupati/
Walikota.
BAB IV
STANDAR DAN PEMBINAAN PTSP
Bagian Kesatu
Standar
Pasal 14
(1) Penyelenggara PTSP wajib menyusun standar pelayanan
publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pelayanan publik.
(2) Standar pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi komponen:
a. dasar hukum;
b. persyaratan;
c. sistem, mekanisme dan prosedur/Standar Operasional
Prosedur;
d. jangka
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
d. jangka waktu penyelesaian;
e. biaya/ tarif;
f. produk pelayanan;
g. prasarana dan Sarana;
h. kompetensi pelaksana;
i. pengawasan internal;
j. penanganan pengaduan, saran dan masukan;
k. jumlah pelaksana;
1. jaminan pelayanan;
m. jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan; dan
n. evaluasi kinerja pelaksana;
( 3) Standar Pelayanan Publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan oleh:
a. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk
pelayanan Perizinan dan Nonperizinan di bidang
Penanaman Modal;
b. Gubernur untuk pelayanan Perizinan dan
Nonperizinan provinsi;
c. Bupati/Walikota untuk pelayanan Perizinan dan
Nonperizinan kabupaten/kota;
d. Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk pelayanan
Perizinan dan Nonperizinan di Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas atau Administrator
Kawasan Ekonomi Khusus untuk pelayanan Perizinan
dan Nonperizinan di Kawasan Ekonomi Khusus.
(4) Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, gubernur,
Bupati/Walikota, Kepala Badan Pengusahaan Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan
Administrator Kawasan Ekonomi Khusus dalam
menetapkan Standar Pelayanan Publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan norma, standar,
prosedur
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 14 -
prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh
Menteri/Kepala Lembaga.
Pasal 15
Jangka waktu pelayanan PTSP ditetapkan paling lama 7 (tujuh)
hari kerja terhitung sejak diterimanya dokumen Perizinan dan
Nonperizinan secara lengkap dan benar, kecuali yang diatur
waktunya dalam undang-undang atau peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Pembinaan
Pasal 16
(1) Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan
penyelenggaraan BPMPTSP Provinsi dan BPMPTSP
Kabupaten/Kota.
(2) Menteri teknis/Kepala Lembaga melakukan pembinaan
teknis penyelenggaraan BPMPTSP sesuai dengan
kewenangannya masing-masing.
(3) Kepala BKPM melakukan pembinaan atas
penyelenggaraan pelayanan Perizinan dan Nonperizinan di
bidang Penanaman Modal dan penyelenggaraan fungsi
koordinasi penanaman modal oleh BPMPTSP Provinsi,
BPMPBTSP Kabupaten/ Kota, Badan Pengusahaan
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan
Administrator Kawasan Ekonomi Khusus.
BAB V
PERIZINAN DAN NONPERIZINAN SECARA ELEKTRONIK
Pasal 17
Penyelenggaraan Perizinan dan Nonperizinan oleh PTSP wajib menggun.akan PSE.
Pasal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 15 -
Pasal 18
( I ) PSE oleh PTSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
mencakup aplikasi otomasi proses kerja (business process)
dan informasi yang diperlukan dalam pelayanan Perizinan
dan Nonperizinan.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-
kurangnya meliputi:
a. potensi dan peluang usaha;
b. perencanaan umum penanaman modal;
c. pelaksanaan promosi dan kerjasama ekonomi;
d. perkembangan realisasi penanaman modal;
e. daftar bidang usaha tertutup dan bidang usaha yang
terbuka dengan persyaratan;
f. jenis, persyaratan teknis, mekanisme penelusuran
posisi dokumen pada setiap proses, biaya, dan waktu
pelayanan;
g. tata cara layanan pengaduan; dan
h. hal-hal lain yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan di bidang Penanaman Modal.
Pasal 19
PTSP dalam mengelola PSE, mempunyai kewajiban:
a. menjamin PSE beroperasi secara terus menerus sesuai
standar tingkat layanan, keamanan data dan informasi;
b. melakukan manajemen sistem aplikasi otomatisasi proses
kerja (business process) pelayanan Perizinan dan
Nonperizinan, serta data dan informasi;
c. melakukan koordinasi dan sinkronisasi pertukaran data dan informasi secara langsung (online) dengan pihak terkait;
d. melakukan tindakan untuk mengatasi gangguan terhadap PSE;
e. menyediakan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 16 -
e. menyediakan jejak audit (audit trail); dan f. menjamin keamanan dan kerahasiaan data dan informasi
yang disampaikan Kementerian/ Lembaga, BPMPTSP
Provinsi, dan BPMPTSP Kabupaten/ Kota melalui PSE.
Pasal 20
PSE untuk Perizinan dan Nonperizinan di bidang Penanaman
Modal clilakukan melalui SPIPISE.
Pasal 21
(1) Kementerian/ Lembaga yang memiliki kewenangan
Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan urusan
Pemerintah menyampaikan dan membuka akses informasi
Perizinan dan Nonperizinan meliputi jenis, persyaratan
teknis, mekanisme, biaya dan Service Level Arrangement
(SLA) serta informasi potensi Penanaman Modal kepada
Badan Koordinasi Penanaman Modal dan/atau BPMPTSP
Provinsi dan BPMPTSP Kabupaten/ Kota dan secara
bertahap mengintegrasikan dengan PSE.
(2) Kementerian/Lembaga yang memiliki kewenangan
Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan urusan
Pemerintah yang belum memberikan pendelegasian
wewenang atau pelimpahan wewenang kepada Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal:
a. menetapkan tingkat layanan SLA; dan
b. menggunakan standar data referensi yang ditetapkan
PSE.
(3) BPMPTSP Provinsi dan BPMPTSP Kabupaten/ Kota
menggunakan standar data referensi yang ditetapkan
dalam SPIPISE serta menyampaikan dan membuka akses
informasi Perizinan dan Nonperizinan yang meliputi jenis,
persyaratan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 17 -
persyaratan teknis, mekanisme, biaya dan SLA serta
informasi potensi Penanaman Modal daerah kepada
Badan Koordinasi Penanaman Modal.
(4) Kementerian/Lembaga, BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP
Kabupaten/ Kota menyediakan perangkat pendukung
untuk pengolahan data, jaringan dan keterhubungan
(interkoneksi) PSE di lingkungan masing-masing.
Pasal 22
(1) Kementerian/Lembaga, BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP
Kabupaten/Kota memiliki hak akses terhadap PSE.
(2) Kementerian/Lembaga, BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab atas data dan informasi dan menjaga
keamanan atas penggunaan hak akses tersebut.
Pasal 23
(1) Kernenterian/Lembaga, BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP
Kabupaten/Kota yang menggunakan PSE menyediakan
jejak audit (audit trail) atas seluruh kegiatan dalam PSE.
(2) Jejak audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan untuk mengetahui dan menguji kebenaran
proses transaksi elektronik melalui PSE.
(3) Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kementerian/
Lembaga BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP
Kabupaten/Kota menggunakan jejak audit yang ada di
PSE sebagai dasar penelusuran apabila terjadi perbedaan
data dan informasi.
Pasal 24
Dalam menyelenggarakan PSE tanggung jawab pembiayaan
dibebankan kepada:
a. Badan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 18 -
a. Badan Koordinasi Penanaman Modal, untuk antarmuka
sistem (interface) dari Badan Koordinasi Penanaman Modal
ke kementerian/lembaga, BPMPTSP Provinsi, dan
BPMPTSP Kabupaten/Kota;
b. Kementerian/lembaga untuk jaringan dan keterhubungan
dari BPMPTSP Provinsi, dan BPMPTSP Kabupaten/Kota;
c. Pemerintah Provinsi, untuk jaringan dan keterhubungan
dari BPMPTSP Provinsi ke Badan Koordinasi Penanaman
Modal dan BPMPTSP Kabupaten/Kota; dan
d. Pemerintah Kabupaten/Kota, untuk jaringan dan
keterhubungan dari BPMPTSP Kabupaten/Kota ke Badan
Koordinasi Penanaman Modal dan BPMPTSP Provinsi.
Pasal 25
(1) Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan PSE diatur
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
(2) Ketentuan pelaksanaan SPIPISE diatur dengan Peraturan
Kepala/Badan Koordinasi Penanaman Modal.
BAB VI
PEMBIAYAAN PTSP
Pasal 26
Biaya yang diperlukan oleh pemerintah daerah untuk
penyelenggaraan PTSP dibebankan pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah masing-masing.
Pasal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 19 -
Pasal 27
(1) Segala penerimaan negara yang timbul dari pelayanan
Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah
diserahkan kepada Kementerian/ Lembaga se suai
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
penerimaan negara bukan pajak.
(2) Segala penerimaan daerah yang timbul dari pelayanan
Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan urusan
pernerintahan daerah diserahkan kepada daerah sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pajak dan retribusi daerah.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28
Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku:
a. Dalam hal BPMPTSP Provinsi atau BPMPTSP
Kabupaten/Kota belum terbentuk, permohonan Perizinan
dan Nonperizinan yang telah disampaikan kepada daerah
dan belum memperoleh persetujuan diselesaikan lebih
lanjut oleh instansi yang berwenang.
b. Dalam hal BPMPTSP Provinsi atau BPMPTSP
Kabupaten/Kota telah terbentuk permohonan Perizinan
dan Nonperizinan yang telah disampaikan kepada daerah
dan belum memperoleh persetujuan diselesaikan lebih
lanjut oleh BPMPTSP Provinsi atau BPMPTSP Kabupaten/
Kota.
Pasal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 20 -
Pasal 29
(1) Pemerintah daerah yang belum membentuk atau
menetapkan penyelenggara PTSP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (3), agar
membentuk dan mengoperasikan PTSP paling lama 1
(satu) tahun setelah Peraturan Presiden ini diundangkan.
(2) Pemerintah daerah yang telah membentuk atau
menetapkan penyelenggara PTSP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (3) namun
belum beroperasi, segera mengoperasikan PTSP paling
lama 6 (enam) bulan setelah Peraturan Presiden ini
diundangkan.
Pasal 30
(1) Peraturan Menteri/Kepala Lembaga mengenai
pendelegasian wewenang atau pelimpahan wewenang
Pemberian Perizinan dan Nonperizinan di bidang
Penanaman Modal yang diberikan kepada Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal, Gubernur, dan/atau
Bupati/Walikota sebelum ditetapkannya Peraturan
Presiden ini, dinyatakan tetap berlaku dan disesuaikan
dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden ini paling
lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Presiden ini
diundangkan.
(2) Pendelegasian wewenang atau pelimpahan wewenang
pemberian Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a yang belum
diberikan Menteri/Kepala Lembaga kepada Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal pada saat ditetapkannya
Peraturan Presiden ini, dilakukan paling lambat 24 (dua
puluh empat) bulan sejak Peraturan Presiden ini
diundangkan.
(3) Menteri
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-21-
(3) Menteri/Kepala Lembaga dalam rangka pendelegasian
wewenang atau pelimpahan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), melakukan
penyederhanaan tahapan memperoleh Perizinan dan
Nonperizinan untuk setiap jenis Perizinan dan
Nonperizinan yang berada dalam lingkup tugas dan
kewenangannya paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak
Peraturan Presiden ini diundangkan.
(4) Penyederhanaan tahapan memperoleh Perizinan dan
Nonperizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
dilakukan Menteri/Kepala Lembaga secara berkoordinasi
dengan Lembaga/Instansi terkait tanpa mengurangi faktor
keselamatan, keamanan, kesehatan dan perlindungan
lingkungan dari kegiatan Penanarnan Modal.
Pasal 31
Perizinan dan Nonperizinan yang telah diperoleh dari
Pemerintah sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini,
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya
Perizinan dan Nonperizinan terse but dan dapat
diperpanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penanam Modal yang sebelumnya telah memperoleh
Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), yang membutuhkan Perizinan dan Nonperizinan
lebih lanjut, permohonannya diajukan kepada Badan
Koordinasi Penanaman Modal atau BPMPTSP Provinsi
atau BPMPTSP Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya.
( 1)
Pasal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 22 -
Pasal 32
Badan yang telah melaksanakan fungsi pelayanan Perizinan
dan Nonperizinan secara terpadu satu pintu sebelum
berlakunya dan tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden
ini, tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai dengan
terbentuknya BPMPTSP Provinsi atau BPMPTSP
Kabupaten/Kota berdasarkan Peraturan Presiden ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini maka Peraturan
Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu
Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 34
Peraturan yang mengatur PTSP yang telah ada disesuaikan
dengan ketentuan Peraturan Presiden ini paling lambat 6
(enam) bulan setelah Peraturan Presiden ini diundangkan.
Pasal 35
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
-23-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 September 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 September 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 221
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI
DeputH3idang Perekonomian, • e•Cr;+::,
e7 I j1 *
,‹- 4 A t .itt,4 1
V . ..t.c: 2., Ardiati
PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2015
TENTANG
PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN
PENANAMAN MODAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka penyederhanaan Perizinan dan
Nonperizinan Penanaman Modal telah diterbitkan
Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata Cara
Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun
2013;
b. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 16
ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan
Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf c Peraturan Presiden
Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu, dipandang perlu
mengganti Peraturan Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang
Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan
Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 12 Tahun 2013;
c. bahwa . . .
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan
Nonperizinan Penanaman Modal;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3817);
2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan
Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Sabang
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 252, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4054);
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4724);
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725);
6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4756);
7. Undang . . .
- 3 -
7. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan
Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4775);
8. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 58 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4843);
9. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
10. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4866);
11. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5038);
12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
13. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan
Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5066);
14. Undang . . .
- 4 -
14. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negera
Republik Indonesia Nomor 5679);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang
Kemitraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3718);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang
Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4585);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4741);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang
Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas
Batam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4757) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2011 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 16,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5195);
19. Peraturan . . .
- 5 -
19. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2007 tentang
Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas
Bintan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4758);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2007 tentang
Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas
Karimun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4759);
21. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008 tentang
Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan
Penanaman Modal di Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4861);
22. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4987);
23. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2010 tentang
Pelimpahan Wewenang Kepada Dewan Kawasan Sabang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5175);
24. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5186);
25. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2012 tentang
Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Lesung (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5284);
26. Peraturan . . .
- 6 -
26. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5285);
27. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2012 tentang
Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 54, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5287);
28. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2012
tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 215, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5357);
29. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang
Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang
Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan
Persyaratan di Bidang Penanaman Modal;
30. Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan
Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2012
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
210);
31. Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar
Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang
Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
93);
32. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
221);
33. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang
Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang;
34. Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2000 tentang
Kantor Perwakilan Perusahaan Asing;
35. Peraturan . . .
- 7 -
35. Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Nomor SKEP/638/XII/2009 tentang Pendelegasian
Wewenang Pemberian Izin Usaha di Bidang Usaha Jasa
Pengamanan dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal kepada
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal;
36. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27/M-
DAG/PER/5/2012 tentang Ketentuan Angka Pengenal
Importir (API) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 59/M-
DAG/PER/9/2012;
37. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2012
tentang Perusahaan Modal Ventura;
38. Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 2 Tahun 2014 dan
tentang pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Badan
Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 1 Tahun
2015;
39. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 122/M-
IND/PER/12/2014 tentang Pendelegasian Wewenang
Pemberian Perizinan Bidang Industri dalam Rangka
Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu kepada
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal;
40. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 25 Tahun
2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Bidang Ketenagakerjaan di Badan Koordinasi Penanaman
Modal;
41. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 40
Tahun 2014 tentang Pendelegasian Wewenang
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang
Komunikasi dan Informatika kepada Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal;
42. Peraturan . . .
- 8 -
42. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 93 Tahun 2014
tentang Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Bidang Kesehatan di Badan Koordinasi Penanaman
Modal;
43. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Pendelegasian Wewenang
Pemberian Izin Usaha Ketenagalistrikan dalam Rangka
Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kepada
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal;
44. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96/M-
DAG/PER/12/2014 tentang Pendelegasian Wewenang di
Bidang Perdagangan dalam Rangka Pelayanan Terpadu
Satu Pintu kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 10/M-DAG/PER/1/2015;
45. Peraturan Menteri Pertanian Nomor
1312/Kpts/KP.340/12/2014 tentang Pendelegasian
Wewenang Pemberian Izin Usaha di Bidang Pertanian
dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu di Bidang Penanaman Modal kepada Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal;
46. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 15 Tahun 2014 tentang
Penunjukan Pejabat Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk
ditugaskan pada Pelayanan Terpadu Satu Pintu Badan
Koordinasi Penanaman Modal;
47. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pendelegasian
Wewenang Pemberian Izin Usaha di Bidang Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat dalam Rangka Pelayanan
Terpadu Satu Pintu di Badan Koordinasi Penanaman
Modal;
48. Peraturan . . .
- 9 -
48. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.011/2014
tentang Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di
Badan Koordinasi Penanaman Modal;
49. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 69
Tahun 2014 tentang Izin Penyelenggaraan Pendidikan
Nonformal Dengan Modal Asing;
50. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia Nomor 40/2014 tentang Pendelegasian
Wewenang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu Bidang Komunikasi dan Informatika Kepada Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal;
51. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.97/MENHUT-II/2014 tentang Pendelegasian
Wewenang Pemberian Perizinan dan Non Perizinan di
Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dalam Rangka
Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kepada
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana
diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.1/Menhut-II/2015;
52. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
3/PERMEN-KP/2015 tentang Pendelegasian Wewenang
Pemberian Izin Usaha di Bidang Pembudidayaan Ikan
dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu
PIntu kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal;
53. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2015 tentang
Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Bidang
Minyak dan Gas Bumi dalam Rangka Pelaksanaan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu kepada Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal;
54. Peraturan . . .
- 10 -
54. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2015 tentang
Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Bidang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara Dalam Rangka
Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu kepada
kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal;
55. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 03 Tahun
2015 tentang Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Bidang Perhubungan di Badan Koordinasi Penanaman
Modal;
56. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun
2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
Indonesia;
57. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 14 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Penanaman Modal Provinsi dan
Kabupaten/Kota;
58. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelimpahan Wewenang
Pemberian Pendaftaran dan Izin Prinsip Penanaman
Modal Kepada Dewan Kawasan Sabang;
59. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pelimpahan Wewenang
Pemberian Izin Usaha Dalam Rangka Penanaman Modal
Kepada Dewan Kawasan Sabang;
60. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pedoman dan Tata Cara
Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal;
61. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 10 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Standar
Pelayanan Minimal Bidang Penanaman Modal Provinsi
dan Kabupaten/Kota;
62. Peraturan . . .
- 11 -
62. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Wewenang
Pemberian Izin Prinsip Penanaman Modal Kepada Kepala
Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Batam, Kepada Kepala Badan
Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kabupaten, Kepala
Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kota Tanjung Pinang
dan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdaganan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun;
63. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Wewenang
Pemberian Izin Usaha Dalam Rangka Penanaman Modal
Kepada Kepala Badan Pengusahaan Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Kepala
Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kabupaten, Kepala
Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Tanjung Pinang dan
Kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun;
64. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelimpahan Wewenang
Pemberian Izin Prinsip Penanaman Modal kepada Kepala
Administrator Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei;
65. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pelimpahan Wewenang
Pemberian Izin Usaha Penanaman Modal kepada Kepala
Administrator Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei;
66. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 4 Tahun 2014 tentang Sistem Pelayanan Informasi
Dan Perizinan Investasi Secara Elektronik;
67. Peraturan . . .
- 12 -
67. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelimpahan Wewenang
Pemberian Izin Prinsip Penanaman Modal kepada Kepala
Administrator Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung
Lesung;
68. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pelimpahan Wewenang
Pemberian Izin Usaha Penanaman Modal kepada Kepala
Administrator Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung
Lesung;
69. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraaan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pusat di Badan Koordinasi
Penanaman Modal;
70. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara
Izin Prinsip Penanaman Modal;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN
MODAL TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN
DAN NONPERIZINAN PENANAMAN MODAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan
menanam modal, baik oleh Penanam Modal Dalam Negeri
maupun Penanam Modal Asing, untuk melakukan usaha
di wilayah negara Republik Indonesia.
2. Penanam . . .
- 13 -
2. Penanam Modal adalah perorangan atau badan usaha
yang melakukan Penanaman Modal yang dapat berupa
Penanam Modal Dalam Negeri dan Penanam Modal Asing.
3. Penanaman Modal Dalam Negeri, yang selanjutnya
disingkat PMDN, adalah kegiatan menanam modal untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia
yang dilakukan oleh Penanam Modal Dalam Negeri dengan
menggunakan modal Dalam Negeri.
4. Penanaman Modal Asing, yang selanjutnya disingkat PMA,
adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha
di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh
Penanam Modal Asing, baik yang menggunakan modal
asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan
Penanam Modal Dalam Negeri.
5. Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang selanjutnya disingkat
PTSP, adalah pelayanan secara terintegrasi dalam satu
kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai
dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu
pintu.
6. Penyelenggara PTSP adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas, dan Administrator Kawasan
Ekonomi Khusus.
7. Pendelegasian Wewenang adalah penyerahan tugas, hak,
kewajiban, dan pertanggungjawaban perizinan dan
nonperizinan, termasuk penandatanganannya atas nama
pemberi wewenang.
8. Pelimpahan Wewenang adalah penyerahan tugas, hak,
kewajiban, dan pertanggungjawaban perizinan dan
nonperizinan, termasuk penandatanganannya atas nama
penerima wewenang.
9. Pelayanan . . .
- 14 -
9. Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pusat, yang selanjutnya
disebut PTSP Pusat di BKPM, adalah pelayanan terkait
dengan penanaman modal yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat, yang diselenggarakan secara
terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari
tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian
produk pelayanan melalui satu pintu di Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM), yang penyelenggaraannya
dilakukan dengan:
a. pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari
Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian
(LPNK) kepada Kepala BKPM; dan/atau
b. penugasan Pejabat Kementerian/LPNK di BKPM.
10. Perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk
melakukan Penanaman Modal yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan
Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas, dan Administrator Kawasan Ekonomi Khusus,
yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
11. Nonperizinan adalah segala bentuk kemudahan pelayanan
dan informasi mengenai Penanaman Modal, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
12. Perusahaan Penanaman Modal adalah badan usaha yang
melakukan Penanaman Modal baik yang berbadan hukum
maupun belum berbadan hukum.
13. Memulai produksi/operasi adalah saat dimana
perusahaan Penanaman Modal telah siap untuk
melakukan produksi/operasi barang dan/atau jasa.
14. Siap Produksi adalah kondisi dimana 80% (delapan puluh
persen) mesin utama dari kegiatan produksi perusahaan
di bidang usaha industri telah terpasang di lokasi proyek.
15. Siap . . .
- 15 -
15. Siap Operasi adalah kondisi dimana perusahaan di bidang
usaha selain industri, telah menyiapkan seluruh sarana
dan prasarana dalam rangka menjalankan kegiatan
usahanya.
16. Izin Prinsip Penanaman Modal, yang selanjutnya disebut
Izin Prinsip, adalah Izin yang wajib dimiliki dalam rangka
memulai usaha.
17. Izin Prinsip Perluasan Penanaman Modal, yang
selanjutnya disebut Izin Prinsip Perluasan, adalah Izin
Prinsip yang wajib dimiliki perusahaan untuk memulai
kegiatan dalam rangka perluasan usaha.
18. Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal, yang
selanjutnya disebut Izin Prinsip Perubahan, adalah Izin
Prinsip yang wajib dimiliki perusahaan, dalam rangka
legalisasi perubahan rencana atau realisasi Penanaman
Modal yang telah ditetapkan sebelumnya.
19. Izin Prinsip Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal,
yang selanjutnya disebut Izin Prinsip Penggabungan
Perusahaan, adalah Izin Prinsip yang wajib dimiliki
perusahaan hasil penggabungan, untuk melaksanakan
bidang usaha perusahaan hasil penggabungan.
20. Izin Investasi adalah Izin Prinsip yang dimiliki oleh
Perusahaan dengan kriteria tertentu yang diatur dalam
Peraturan Kepala BKPM.
21. Izin Usaha adalah izin yang wajib dimiliki perusahaan
untuk memulai pelaksanaan kegiatan produksi/operasi
yang menghasilkan barang atau jasa, kecuali ditentukan
lain oleh peraturan perundang-undangan.
22. Izin Usaha Perluasan adalah izin yang wajib dimiliki
perusahaan untuk memulai pelaksanaan kegiatan
produksi/operasi yang menghasilkan barang atau jasa
atas pelaksanaan perluasan usaha, kecuali ditentukan
lain oleh peraturan perundang-undangan.
23. Izin . . .
- 16 -
23. Izin Perluasan adalah Izin Usaha yang wajib dimiliki
perusahaan untuk memulai pelaksanaan kegiatan
produksi yang menghasilkan barang atau jasa atas
pelaksanaan perluasan usaha, khusus untuk sektor
industri.
24. Izin Usaha Perubahan adalah izin yang wajib dimiliki
perusahaan, dalam rangka legalisasi terhadap perubahan
realisasi Penanaman Modal yang telah ditetapkan
sebelumnya.
25. Izin Usaha Penggabungan Perusahaan adalah izin yang
wajib dimiliki perusahaan hasil penggabungan dalam
rangka memulai pelaksanaan kegiatan produksi/operasi
untuk menghasilkan barang atau jasa.
26. Izin Usaha Penempatan Tenaga Kerja adalah izin usaha
jasa penempatan tenaga kerja untuk menyelenggarakan
pelayanan penempatan tenaga kerja.
27. Izin Kantor Perwakilan adalah izin untuk perusahaan
asing di luar negeri yang memiliki perwakilannya di
Indonesia.
28. Kantor Perwakilan Perusahaan Asing, yang selanjutnya
disebut KPPA, adalah kantor yang dipimpin oleh satu atau
lebih perorangan warga negara asing atau warga negara
Indonesia yang ditunjuk oleh perusahaan asing atau
gabungan perusahaan asing di luar negeri sebagai
perwakilannya di Indonesia.
29. Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing, yang
selanjutnya disebut KP3A, adalah kantor yang dipimpin
oleh perorangan WNI atau WNA yang ditunjuk oleh
Perusahaan Asing atau Gabungan Perusahaan Asing di
luar negeri sebagai perwakilannya di Indonesia.
30. Kantor . . .
- 17 -
30. Kantor Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing,
adalah badan usaha yang didirikan menurut hukum dan
berdomisili di negara asing, memiliki kantor perwakilan di
Indonesia, dan dipersamakan dengan badan hukum
Perseroan Terbatas yang bergerak di bidang usaha jasa
konstruksi.
31. Angka Pengenal Importir, yang selanjutnya disingkat API,
adalah tanda pengenal sebagai importir.
32. Pimpinan Perusahaan adalah direksi/pimpinan
perusahaan yang tercantum dalam Anggaran Dasar/Akta
Pendirian Perusahaan atau perubahannya yang telah
mendapatkan pengesahan/persetujuan/pemberitahuan
dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menteri
Hukum dan HAM) bagi badan hukum Perseroan Terbatas
dan sesuai peraturan perundang-undangan untuk selain
badan hukum Perseroan Terbatas.
33. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia yang dibantu Wakil Presiden dan
menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
34. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
35. Badan Koordinasi Penanaman Modal, yang selanjutnya
disingkat BKPM, adalah Lembaga Pemerintah Non
Kementerian yang bertanggung jawab di bidang
Penanaman Modal, yang dipimpin oleh seorang Kepala
yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
36. Pejabat . . .
- 18 -
36. Pejabat penghubung adalah pejabat Kementerian/LPNK
yang ditunjuk sebagai front officer dan back officer untuk
memberikan layanan konsultasi dan/atau memproses
permohonan Perizinan dan Nonperizinan terkait dengan
penanaman modal yang menjadi kewenangan Menteri
Teknis/Kepala LPNK dengan uraian tugas, hak,
wewenang, kewajiban, dan pertanggungjawaban yang
jelas.
37. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu Provinsi, atau perangkat pemerintah provinsi yang
menyelenggarakan urusan penanaman modal dengan
nomenklatur lain sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang selanjutnya disebut BPMPTSP Provinsi,
adalah unsur pembantu kepala daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintah daerah provinsi, yang
menyelenggarakan fungsi utama koordinasi di bidang
penanaman modal di Pemerintah Provinsi.
38. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu Kabupaten/Kota, atau perangkat Pemerintah
Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan urusan
penanaman modal dengan nomenklatur lain sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
selanjutnya disebut BPMPTSP Kabupaten/Kota, adalah
unsur pembantu kepala daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintah daerah Kabupaten/Kota,
yang menyelenggarakan fungsi utama koordinasi di bidang
penanaman modal di Pemerintah Kabupaten/Kota.
39. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang
selanjutnya disebut KPBPB, adalah suatu kawasan yang
berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga
bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan
nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai.
40. Kawasan . . .
- 19 -
40. Kawasan Ekonomi Khusus, yang selanjutnya disebut KEK,
adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian
dan memperoleh fasilitas tertentu.
41. Laporan Kegiatan Penanaman Modal, yang selanjutnya
disingkat LKPM, adalah laporan mengenai perkembangan
realisasi penanaman modal dan kendala yang dihadapi
Penanam Modal yang wajib disampaikan secara berkala.
42. Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara
Elektronik, yang selanjutnya disingkat SPIPISE, adalah
sistem pelayanan Perizinan dan Nonperizinan yang
terintegrasi antara Pemerintah Pusat yang memiliki
kewenangan Perizinan dan Nonperizinan dengan
Pemerintah Daerah.
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2
Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan
Penanaman Modal dimaksudkan sebagai panduan
pelaksanaan pelayanan Penanaman Modal terkait prosedur
pengajuan dan persyaratan permohonan Perizinan dan
Nonperizinan Penanaman Modal, yang ditujukan bagi para
pejabat BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota,
PTSP KPBPB, PTSP KEK, para pelaku usaha serta masyarakat
umum lainnya.
Pasal 3
Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan
Penanaman Modal bertujuan:
a. terwujudnya . . .
- 20 -
a. terwujudnya kesamaan dan keseragaman prosedur
pengajuan permohonan, persyaratan dan tata cara
Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal di instansi
BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota,
PTSP KPBPB, PTSP KEK di seluruh Indonesia;
b. memberikan informasi kepastian waktu penyelesaian
permohonan Perizinan dan Nonperizinan Penanaman
Modal; dan
c. tercapainya pelayanan yang mudah, cepat, tepat, akurat,
transparan dan akuntabel.
BAB III
KEWENANGAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN
PENANAMAN MODAL
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan PTSP di Bidang Penanaman Modal
Pasal 4
(1) Penyelenggaraan PTSP di Bidang Penanaman Modal
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, PTSP KPBPB, PTSP
KEK, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
(2) Penyelenggaraan PTSP sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yaitu:
a. Pemerintah Pusat dilakukan oleh PTSP Pusat di BKPM;
b. Pemerintah Provinsi dilakukan oleh BPMPTSP Provinsi;
c. Pemerintah Kabupaten/Kota dilakukan oleh BPMPTSP
Kabupaten/Kota;
d. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas oleh PTSP KPBPB; dan
e. Administrator Kawasan Ekonomi Khusus oleh PTSP
KEK.
(3) Pemerintah . . .
- 21 -
(3) Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mendelegasikan/melimpahkan kewenangan dalam bentuk
penyerahan tugas, hak, kewajiban dan
pertanggungjawaban Perizinan dan Nonperizinan
termasuk penandatanganannya kepada penyelenggara
PTSP di bidang Penanaman Modal.
(4) Penyelenggara PTSP Bidang Penanaman Modal
memperoleh pendelegasian/pelimpahan wewenang sebagai
berikut:
a. Kepala BKPM dari Menteri/Kepala LPNK;
b. Kepala BPMPTSP Provinsi dari Gubernur;
c. Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota dari
Bupati/Walikota;
d. Kepala Badan Pengusahaan KPBPB dari
Menteri/Kepala LPNK, Gubernur dan Bupati/Walikota;
dan
e. Administrator KEK dari Menteri/Kepala LPNK,
Gubernur dan Bupati/Walikota.
Bagian Kedua
PTSP Pusat di BKPM
Pasal 5
(1) Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat diselenggarakan
pada PTSP Pusat di BKPM dan terdiri atas:
a. penyelenggaraan Penanaman Modal yang ruang
lingkupnya lintas provinsi;
b. urusan pemerintahan di bidang Penanaman Modal
yang meliputi:
1. Penanaman Modal terkait dengan sumber daya
alam yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko
kerusakan lingkungan yang tinggi;
2. Penanaman . . .
- 22 -
2. Penanaman Modal pada bidang industri yang
merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;
3. Penanaman Modal yang terkait pada fungsi
pemersatu dan penghubung antar wilayah atau
ruang lingkupnya lintas provinsi;
4. Penanaman Modal yang terkait pada pelaksanaan
strategi pertahanan dan keamanan nasional;
5. Penanaman Modal Asing dan Penanam Modal yang
menggunakan modal asing, yang berasal dari
Pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian
yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah
negara lain; dan
6. bidang Penanaman Modal lain yang menjadi
urusan Pemerintah Pusat menurut peraturan
perundang-undangan.
(2) Penyelenggaraan PTSP Pusat di BKPM sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan atas dasar
pelimpahan/pendelegasian wewenang dari Menteri/Kepala
LPNK yang memiliki kewenangan Perizinan dan
Nonperizinan di bidang Penanaman Modal yang
merupakan urusan Pemerintah Pusat.
(3) Bidang-bidang usaha Penanaman Modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1, angka 2, angka
3, angka 4, dan angka 6 sesuai dengan yang ditetapkan
oleh Menteri/Kepala LPNK yang memiliki kewenangan
Perizinan yang merupakan urusan Pemerintah Pusat di
bidang Penanaman Modal.
Bagian Ketiga
PTSP Pemerintah Provinsi
Pasal 6
(1) Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal yang
menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi diselenggarakan
oleh BPMPTSP Provinsi dan terdiri atas:
a. urusan . . .
- 23 -
a. urusan pemerintah provinsi yang diatur dalam
perundang-undangan;
b. urusan pemerintahan provinsi yang ruang lingkupnya
lintas kabupaten/kota; dan
c. urusan Pemerintah yang diberikan pelimpahan
wewenang kepada Gubernur.
(2) Dalam rangka penyelenggaraan PTSP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Gubernur memberikan
pendelegasian/pelimpahan wewenang pemberian Perizinan
dan Nonperizinan atas urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Provinsi dan Nonperizinan
kepada Kepala BPMPTSP Provinsi.
Bagian Keempat
PTSP Pemerintah Kabupaten/Kota
Pasal 7
(1) Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal yang
menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota
diselenggarakan oleh BPMPTSP Kabupaten/Kota terdiri
atas:
a. urusan Pemerintah Kabupaten/Kota di bidang
Penanaman Modal yang ruang lingkupnya dalam satu
Kabupaten/Kota; dan
b. urusan Pemerintah Pusat yang diberi pelimpahan
wewenang kepada Bupati/Walikota.
(2) Penyelenggaraan PTSP sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bupati/Walikota memberikan pendelegasian/
pelimpahan wewenang pemberian Perizinan dan
Nonperizinan atas urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Kepala
BPMPTSP Kabupaten/Kota.
Bagian . . .
- 24 -
Bagian Kelima
PTSP di KPBPB
Pasal 8
Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal yang
berlokasi di KPBPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf d dilakukan berdasarkan pelimpahan atau
pendelegasian kewenangan dari Menteri/Kepala LPNK,
Gubernur, dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam
PTSP di KEK
Pasal 9
Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal yang
berlokasi di KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) huruf e dilakukan berdasarkan pelimpahan atau
pendelegasian kewenangan dari Menteri/Kepala LPNK,
Gubernur, dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
RUANG LINGKUP PELAYANAN
PENANAMAN MODAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 10
(1) Ruang lingkup layanan yang diatur dalam Peraturan
Kepala ini terdiri atas:
a. layanan Perizinan; dan
b. layanan Nonperizinan;
(2) Layanan . . .
- 25 -
(2) Layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP
Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, PTSP
KEK sesuai kewenangannya, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8.
Bagian Kedua
Jenis Perizinan dan Nonperizinan
Pasal 11
(1) Jenis Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. Izin Usaha untuk berbagai sektor usaha;
b. Izin Usaha Perluasan untuk berbagai sektor usaha;
c. Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman
Modal untuk berbagai sektor usaha;
d. Izin Usaha Perubahan untuk berbagai sektor usaha;
e. Izin Kantor Perwakilan; dan
f. Izin operasional berbagai sektor usaha.
(2) Jenis Nonperizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. Penggunaan Tenaga Kerja Asing;
b. Angka Pengenal Importir; dan
c. Rekomendasi teknis berbagai sektor usaha.
Pasal 12
(1) Jenis Perizinan dan Nonperizinan yang diterbitkan oleh
PTSP Pusat di BKPM, ditetapkan oleh Menteri/Kepala
LPNK yang memiliki kewenangan Perizinan dan
Nonperizinan.
(2) Jenis Perizinan dan Nonperizinan yang tidak diatur
pedoman dan tata caranya dalam Peraturan Kepala ini,
mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri/Kepala
LPNK terkait, Gubernur dan Bupati/Walikota.
(3) Jenis . . .
- 26 -
(3) Jenis Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terdiri dari:
a. Pertimbangan Teknis Pertanahan;
b. Izin Lokasi;
c. Izin Mendirikan Bangunan (IMB);
d. Izin Lingkungan; dan
e. Perizinan dan Nonperizinan lainnya sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Izin Usaha
Pasal 13
(1) Perusahaan yang telah memiliki Izin Prinsip/Izin Investasi,
dan akan melakukan kegiatan produksi/operasi wajib
memiliki Izin Usaha.
(2) Permohonan Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi,
BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP KEK
sesuai kewenangannya secara dalam jaringan (daring),
dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum
pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(3) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB atau PTSP KEK yang belum menerapkan
permohonan perizinan secara daring, permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
secara manual, menggunakan formulir permohonan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dilengkapi
dengan persyaratan sebagaimana tercantum pada
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Kepala ini.
(4) Perusahaan tidak dapat mengajukan Izin Usaha dalam hal
Izin Prinsip/Izin Investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) telah habis masa berlakunya.
(5) Dalam . . .
- 27 -
(5) Dalam hal perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) akan melanjutkan kegiatan usaha, perusahaan wajib
mengajukan permohonan Izin Prinsip baru dengan
mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Perusahaan PMA dapat mengajukan Izin Usaha dengan
total nilai realisasi investasi lebih besar dari
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) diluar nilai
investasi tanah dan bangunan:
a. di dalam subgolongan usaha yang sama di 1 (satu)
lokasi proyek di 1 (satu) Kabupaten/Kota; dan
b. dalam subgolongan usaha yang sama di dalam 1 (satu)
Kabupaten/Kota, di luar sektor industri.
(7) Perusahaan PMA yang telah memiliki Izin Prinsip dengan
nilai investasi sama atau lebih kecil dari
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) diluar nilai
investasi tanah dan bangunan dan jangka waktu
penyelesaian proyeknya masih berlaku, dapat mengajukan
Izin Usaha tanpa perlu memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6).
(8) Perusahaan yang telah memiliki Pendaftaran Penanaman
Modal dan Akta Perusahaan telah disahkan oleh
Kementerian Hukum dan HAM, telah merealisasikan
proyeknya, dan siap/telah berproduksi/beroperasi dapat
langsung mengajukan Izin Usaha.
(9) Perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha yang
diterbitkan oleh:
a. PTSP Pusat di BKPM, PTSP KPBPB, PTSP KEK; atau
b. BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, untuk
bidang usaha di luar sektor perdagangan;
sesuai kewenangannya, tidak wajib memiliki Surat Izin
Usaha Perdagangan (SIUP) yang diterbitkan oleh
Pemerintah Daerah.
(10) Izin . . .
- 28 -
(10) Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak
diterimanya permohonan yang lengkap dan benar atau
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(11) Bentuk Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(12) Izin Usaha berlaku sepanjang perusahaan masih
melakukan kegiatan usaha, kecuali ditentukan lain
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(13) Dalam hal permohonan Izin Usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan (3) ditolak, Kepala BKPM
atau pejabat yang ditunjuk membuat Surat Penolakan
Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja.
(14) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (13) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Pasal 14
(1) Perusahaan yang memiliki Izin Prinsip/Izin Investasi lebih
dari 1 (satu) sektor/bidang usaha dan/atau lokasi proyek
dapat mengajukan permohonan Izin Usaha pada waktu
yang berbeda sepanjang Izin Prinsip/Izin Investasi
tersebut masih berlaku.
(2) Dalam hal perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) masih berminat untuk melaksanakan sektor/bidang
usaha dan/atau lokasi proyek yang belum direalisasikan,
namun masa berlaku Izin Prinsip/Izin Investasi telah
berakhir, maka izin terhadap sektor/bidang usaha
dan/atau lokasi proyek tersebut dinyatakan batal dan
perusahaan harus mengajukan Izin Prinsip baru.
(3) Perusahaan PMDN yang memiliki Izin Prinsip dengan
lokasi proyek lintas provinsi, yang Izin Prinsip diterbitkan
oleh PTSP Pusat di BKPM, apabila:
a. jangka . . .
- 29 -
a. jangka waktu penyelesaian proyek sama, pada saat
akan melakukan kegiatan produksi/operasi harus
mengajukan permohonan Izin Usaha pada saat yang
bersamaan ke PTSP Pusat di BKPM;
b. jangka waktu penyelesaian proyek berbeda, pada saat
akan melakukan kegiatan produksi/operasi harus
mengajukan permohonan Izin Usaha kepada BPMPTSP
Provinsi, atau BPMPTSP Kabupaten/Kota sesuai
kewenangannya; atau
c. hanya merealisasikan proyeknya di 1 (satu) provinsi,
maka permohonan izin usaha diajukan kepada
BPMPTSP Provinsi, atau BPMPTSP Kabupaten/Kota
sesuai kewenangannya.
(4) Perusahaan PMDN yang memiliki Izin Prinsip dengan
lokasi proyek lintas Kabupaten/Kota, yang Izin Prinsip
diterbitkan oleh BPMPTSP Provinsi, apabila:
a. jangka waktu penyelesaian proyek sama, pada saat
akan melakukan kegiatan produksi/operasi harus
mengajukan permohonan Izin Usaha pada saat yang
bersamaan ke BPMPTSP Provinsi;
b. jangka waktu penyelesaian proyek berbeda, pada saat
akan melakukan kegiatan produksi/operasi harus
mengajukan permohonan Izin Usaha kepada BPMPTSP
Kabupaten/Kota; atau
c. hanya merealisasikan proyeknya di 1 (satu)
Kabupaten/Kota, maka permohonan Izin Usaha
diajukan kepada BPMPTSP Kabupaten/Kota.
(5) Atas kegiatan usaha di lokasi proyek yang tidak
direalisasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
c dan ayat (4) huruf c, maka kegiatan usaha di lokasi
proyek tersebut dinyatakan batal.
Bagian . . .
- 30 -
Bagian Keempat
Izin Usaha Perluasan
Pasal 15
(1) Perusahaan yang memiliki Izin Prinsip Perluasan yang
masih berlaku dan akan melakukan kegiatan
produksi/operasi diwajibkan memiliki Izin Usaha
Perluasan.
(2) Khusus untuk Perusahaan PMA, pada saat pengajuan
permohonan Izin Usaha Perluasan, total nilai realisasi
investasi wajib di atas Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) di luar investasi tanah dan bangunan.
(3) Dalam hal Izin Prinsip Perluasan yang telah disetujui
dengan nilai investasi kurang dari Rp.10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) di luar investasi tanah dan
bangunan, dan jangka waktu penyelesaian proyek masih
berlaku, perusahaan PMA dapat mengajukan Izin
Perluasan dengan total nilai investasi kurang dari
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar
investasi tanah dan bangunan, sesuai peraturan
perundang-undangan.
(4) Permohonan Izin Usaha Perluasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP
Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau
PTSP KEK sesuai kewenangannya secara daring,
dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(5) Bagi . . .
- 31 -
(5) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB atau PTSP KEK yang belum menerapkan
permohonan perizinan secara daring, permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
secara manual, menggunakan formulir permohonan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dilengkapi
dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Kepala ini.
(6) Izin Usaha Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak
diterimanya permohonan yang lengkap dan benar atau
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Bentuk Izin Usaha Perluasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(8) Dalam hal permohonan Izin Usaha Perluasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan (5) ditolak, Kepala BKPM atau
pejabat yang ditunjuk membuat Surat Penolakan Izin
Usaha Perluasan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja.
(9) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(8) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(10) Pengaturan terkait Izin Usaha Perluasan sama dengan
pengaturan tentang Izin Usaha sebagaimana tercantum
dalam Pasal 13 dan Pasal 14.
Bagian Kelima
Izin Usaha Penggabungan Perusahaan
Pasal 16
(1) Perusahaan hasil penggabungan yang telah memiliki Izin
Prinsip Penggabungan Perusahaan, wajib memiliki Izin
Usaha Penggabungan Perusahaan pada saat siap
melakukan produksi/operasi.
(2) Izin . . .
- 32 -
(2) Izin Usaha Penggabungan Perusahaan atas pelaksanaan
Izin Prinsip Penggabungan Perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diterbitkan terpisah untuk setiap
sektor atau bidang usaha tertentu, sesuai ketentuan
Kementerian/LPNK pembina sektor atau bidang usaha.
(3) Permohonan Izin Usaha Penggabungan Perusahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke PTSP
Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP
Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP KEK sesuai
kewenangannya secara daring, dilengkapi dengan
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(4) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB atau PTSP KEK yang belum menerapkan
permohonan perizinan secara daring, permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
secara manual, menggunakan formulir permohonan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dilengkapi
dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Kepala ini.
(5) Izin Usaha Penggabungan Perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan selambat-lambatnya 6
(enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang
lengkap dan benar atau sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(6) Bentuk Izin Usaha Penggabungan Perusahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Kepala ini.
(7) Dalam . . .
- 33 -
(7) Dalam hal permohonan Izin Usaha Penggabungan
Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4)
ditolak, Kepala BKPM atau pejabat yang ditunjuk
membuat Surat Penolakan Izin Penggabungan
Perusahaan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja.
(8) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Bagian Keenam
Izin Usaha Perubahan
Paragraf 1
Umum
Pasal 17
(1) Perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha/Izin Usaha
Perluasan/Izin Usaha Penggabungan Perusahaan dapat
melakukan perubahan realisasi Penanaman Modal.
(2) Perubahan realisasi Penanaman Modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup perubahan:
a. lokasi proyek;
b. ketentuan bidang usaha; dan/atau
c. masa berlaku izin usaha;
(3) Atas perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
perusahaan wajib memiliki Izin Usaha Perubahan.
(4) Perubahan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaporkan di dalam LKPM.
(5) Izin Usaha Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat berlaku sebagai penyesuaian jika terjadi
ketidaksesuaian izin yang diterbitkan dengan
permohonan yang disampaikan oleh perusahaan, dalam
hal kekeliruan berasal dari PTSP Pusat di BKPM, PTSP
KPBPB, PTSP KEK, BPMPTSP Provinsi dan BPMPTSP
Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya.
(6) Permohonan . . .
- 34 -
(6) Permohonan Izin Usaha Perubahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diajukan ke PTSP Pusat di BKPM,
BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB atau PTSP KEK sesuai kewenangannya secara
daring, dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(7) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB atau PTSP KEK yang belum menerapkan
permohonan perizinan secara daring, permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan
secara manual, menggunakan formulir permohonan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dilengkapi
dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Kepala ini.
(8) Izin Usaha Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diterbitkan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja
sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar
atau sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Bentuk Izin Usaha Perubahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran IX yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(10) Dalam hal permohonan Izin Usaha Perubahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan (6) ditolak,
Kepala BKPM atau pejabat yang ditunjuk membuat Surat
Penolakan Izin Usaha Perubahan selambat-lambatnya 5
(lima) hari kerja.
(11) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (9) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Paragraf 2 . . .
- 35 -
Paragraf 2
Perubahan Lokasi Proyek
Pasal 18
(1) Perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha/Izin Usaha
Perluasan/Izin Perluasan/Izin Usaha Penggabungan
Perusahaan yang melakukan perubahan lokasi proyek
serta telah memenuhi persyaratan untuk mengajukan
permohonan Izin Usaha di lokasi baru, dapat langsung
mengajukan Izin Usaha Perubahan.
(2) Khusus untuk bidang usaha perdagangan besar
(distributor utama), dalam pengajuan permohonan
perubahan lokasi proyek disertai dengan mencantumkan
besaran luas tanah untuk kantor pusat dan gudang.
(3) Dalam hal perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) belum memenuhi persyaratan untuk mengajukan
permohonan Izin Usaha Perubahan di lokasi baru, dapat
diterbitkan terlebih dahulu Izin Prinsip Perubahan.
(4) Izin Prinsip Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) harus ditindaklanjuti dengan pengajuan permohonan
Izin Usaha Perubahan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
terhitung sejak Izin Prinsip Perubahan diterbitkan.
Paragraf 3
Perubahan Ketentuan Bidang Usaha
Pasal 19
Perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha/Izin Usaha
Perluasan/Izin Perluasan/Izin Usaha Penggabungan
Perusahaan dapat melakukan perubahan ketentuan bidang
usaha yang mencakup:
a. jenis produksi akibat dilakukannya diversifikasi produk
tanpa menambah mesin/investasi;
b. kapasitas . . .
- 36 -
b. kapasitas produksi yang tercantum dalam Izin Usaha/Izin
Usaha Perluasan/Izin Perluasan/Izin Usaha
Penggabungan Perusahaan tidak sesuai dengan kapasitas
terpasang di lokasi proyek berdasarkan hasil pemeriksaan
lapangan;
c. pemasaran dan nilai ekspor per tahun;
d. penyesuaian KBLI;
e. penambahan komoditi tanpa menambah kapasitas dan
investasi, khusus di bidang usaha perdagangan besar;
atau
f. penambahan subkualifikasi, khusus untuk bidang usaha
jasa konsultansi konstruksi asing dan/atau jasa
pelaksana konstruksi asing.
Paragraf 4
Perubahan Masa Berlaku Izin Usaha
Pasal 20
(1) Perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha/Izin Usaha
Perluasan/Izin Perluasan/Izin Usaha Penggabungan
Perusahaan yang masa berlakunya akan berakhir, wajib
memiliki Izin Usaha Perubahan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diterbitkan Izin Usaha Perubahan, yang menyatakan
bahwa Izin Usaha berlaku selama perusahaan masih
melakukan kegiatan produksi/operasi atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Bagi perusahaan yang telah habis masa berlaku Izin
Usaha dan bukan diterbitkan oleh PTSP Pusat di BKPM,
BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB atau PTSP KEK sesuai kewenangannya, wajib
menyesuaikan Izin Usaha dengan melampirkan
persyaratan yang tercantum sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Khusus . . .
- 37 -
(4) Khusus untuk bidang usaha jasa konsultansi konstruksi
asing dan/atau jasa pelaksana konstruksi asing, apabila
masa berlaku Izin Usaha telah berakhir, mengajukan Izin
Usaha baru pada bidang usaha yang sama ke PTSP Pusat
di BKPM tanpa mengajukan Izin Prinsip baru dengan
melampirkan persyaratan yang tercantum sesuai
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Bagian Ketujuh
Izin Kantor Perwakilan
Paragraf 1
Umum
Pasal 21
Izin Kantor Perwakilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 27 terdiri atas:
a. Izin Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA);
b. Izin Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing
(KP3A); dan
c. Izin Kantor Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi
Asing (BUJKA).
Paragraf 2
KPPA
Pasal 22
(1) Kegiatan KPPA terbatas:
a. mengurus kepentingan perusahaan atau perusahaan-
perusahaan afiliasinya; dan/atau
b. mempersiapkan pendirian dan pengembangan usaha
perusahaan Penanaman Modal Asing di Indonesia atau
di negara lain dan Indonesia; dan
c. berlokasi di ibukota provinsi dan beralamat di gedung
perkantoran.
(2) Untuk . . .
- 38 -
(2) Untuk melaksanakan kegiatan kantor perwakilan
perusahaan asing di Indonesia wajib memiliki Izin KPPA.
(3) Dalam hal Kepala KPPA yang ditunjuk adalah WNA
dan/atau memperkerjakan TKA, harus memperkerjakan
TKI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Jangka waktu Izin KPPA sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang
sebanyak 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun.
(5) Setelah periode jangka waktu 5 (lima) tahun, KPPA dapat
diberikan perpanjangan waktu kembali apabila kegiatan
KPPA berbeda dengan kegiatan periode sebelumnya.
(6) Permohonan Izin KPPA sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diajukan ke PTSP Pusat di BKPM dilengkapi dengan
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(7) Izin KPPA diterbitkan selambat-lambatnya 5 (lima) hari
kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan
benar.
(8) Bentuk Izin KPPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(9) Dalam hal permohonan Izin KPPA sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditolak, Kepala BKPM atau pejabat yang
ditunjuk membuat Surat Penolakan Izin KPPA selambat-
lambatnya 5 (lima) hari kerja.
(10) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(10) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Pasal 23
(1) KPPA dapat mengubah ketentuan yang telah disetujui dan
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat di dalam Izin KPPA
antara lain mencakup perubahan:
a. keterangan . . .
- 39 -
a. keterangan tentang perusahaan asing yang diwakili:
1. nama perusahaan principal;
2. alamat kantor pusat/principal; dan
3. kegiatan usaha principal;
b. tempat kedudukan kantor perwakilan di Indonesia:
1. alamat; dan
2. wilayah kegiatan;
c. keterangan tentang Chief of Representative Office:
1. nama;
2. kewarganegaraan;
3. nomor paspor/KTP; dan
4. alamat (di negara asal dan di Indonesia);
d. Penggunaan tenaga kerja:
1. manajemen;
2. tenaga ahli; dan
3. staf dan karyawan.
(2) Dengan terjadinya perubahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), perusahaan harus memiliki Izin Perubahan
Ketentuan KPPA.
(3) Permohonan Izin Perubahan Ketentuan KPPA sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diajukan ke PTSP Pusat di BKPM
dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(4) Izin Perubahan Ketentuan KPPA diterbitkan selambat-
lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya
permohonan yang lengkap dan benar.
(5) Bentuk Izin Perubahan Ketentuan KPPA sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran XI
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(6) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditolak, Kepala BKPM atau pejabat yang ditunjuk
membuat Surat Penolakan Izin Perubahan Ketentuan
KPPA selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja.
(7) Bentuk . . .
- 40 -
(7) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Paragraf 3
KP3A
Pasal 24
(1) KP3A dapat berbentuk Agen Penjualan (Selling Agent)
dan/atau Agen Pabrik (Manufactures Agent) dan/atau
Agen Pembelian (Buying Agent) namun dilarang melakukan
kegiatan perdagangan dan transaksi penjualan, baik dari
tingkat permulaan sampai dengan penyelesaiannya seperti
mengajukan tender, menandatangani kontrak,
menyelesaikan klaim dan sejenisnya.
(2) KP3A dapat dibuka di ibukota provinsi dan
kabupaten/kota di seluruh wilayah Republik Indonesia.
(3) Dalam hal Kepala KP3A yang ditunjuk adalah WNA
dan/atau memperkerjakan TKA, harus memperkerjakan
TKI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Dalam penyelenggaraan kegiatan KP3A, harus
mengajukan permohonan Surat Izin Usaha Perwakilan
Perusahaan Perdagangan Asing (SIUP3A) pada PTSP Pusat
di BKPM dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I.
(5) SIUP3A Sementara, SIUP3A Tetap, dan SIUP3A
Perpanjangan diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam)
hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap
dan benar.
(6) SIUP3A Perubahan diterbitkan selambat-lambatnya 5
(lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang
lengkap dan benar.
(7) Bentuk . . .
- 41 -
(7) Bentuk SIUP3A sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan
ayat (6) tercantum dalam Lampiran XII, Lampiran XIII,
Lampiran XIV, dan Lampiran XV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (5) dan ayat (6) ditolak, Kepala BKPM atau pejabat
yang ditunjuk membuat Surat Penolakan SIUP3A
selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja.
(9) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(8) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Pasal 25
(1) Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan
Asing (SIUP3A), terdiri dari:
a. SIUP3A Sementara;
b. SIUP3A Tetap;
c. SIUP3A Perpanjangan;
d. SIUP3A Perubahan; dan
e. Kantor Cabang Perwakilan Perusahaan Perdagangan
Asing.
(2) SIUP3A Sementara berlaku selama 2 (dua) bulan terhitung
sejak tanggal diterbitkan.
(3) SIUP3A Tetap berlaku selama 1 (satu) tahun terhitung
sejak tanggal diterbitkan.
(4) SIUP3A Perpanjangan berlaku paling lama 3 (tiga) tahun
kecuali ditentukan kurang dari 3 (tiga) tahun dalam surat
penunjukan dan dapat diperpanjang sesuai dengan masa
berlaku penunjukan yang tercantum dalam surat
penunjukan.
Pasal 26
(1) KP3A dapat mengubah ketentuan yang telah disetujui dan
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat di dalam Izin Kegiatan
KP3A dengan mengajukan SIUP3A Perubahan, antara lain
mencakup perubahan:
a. keterangan . . .
- 42 -
a. keterangan tentang perusahaan asing yang diwakili:
1. nama perusahaan principal;
2. alamat kantor pusat/principal; dan
3. kegiatan usaha;
b. tempat kedudukan kantor perwakilan di Indonesia:
1. alamat;
2. wilayah kegiatan; dan
3. bidang kegiatan;
c. keterangan tentang pimpinan kantor perwakilan:
1. nama;
2. kewarganegaraan; dan
3. nomor paspor/KTP;
4. alamat (di negara asal dan di Indonesia);
d. penggunaan tenaga kerja:
1. asisten kepala perwakilan;
2. tenaga ahli; dan
3. staf dan karyawan.
(2) Dengan terjadinya perubahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), perusahaan harus memiliki SIUP3A
Perubahan.
(3) Pengaturan terkait SIUP3A Perubahan sama dengan
pengaturan mengenai SIUP3A sebagaimana tercantum
dalam Pasal 24 Peraturan Kepala ini.
Pasal 27
(1) KP3A dapat membuka Kantor Cabang Perwakilan
Perusahaan Perdagangan Asing di ibukota Provinsi
dan/atau Kabupaten/Kota lainnya.
(2) Pembukaan Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan setelah Kantor Pusat Perwakilan
Perusahaan Perdagangan Asing memiliki SIUP3A.
(3) Izin . . .
- 43 -
(3) Izin Kantor Cabang Perwakilan Perusahaan Perdagangan
Asing berlaku paling lama 3 (tiga) tahun kecuali
ditentukan kurang dari 3 (tiga) tahun dalam surat
penunjukan dan dapat diperpanjang sesuai dengan masa
berlaku penunjukan yang tercantum dalam surat
penunjukan.
Paragraf 4
Kantor Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing
Pasal 28
(1) Izin Perwakilan diberikan kepada Badan Usaha Jasa
Konstruksi Asing (BUJKA) dengan kualifikasi besar
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
(2) Izin Perwakilan dapat digunakan untuk melakukan
kegiatan usaha jasa konstruksi di seluruh wilayah
Indonesia.
(3) Izin Perwakilan berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat
diperpanjang.
(4) Dalam penyelenggaraan kegiatannya, harus memiliki Izin
Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA)
dari PTSP Pusat di BKPM dilengkapi dengan persyaratan
sebagaimana tercantum pada Lampiran I.
(5) Izin Perwakilan BUJKA diterbitkan selambat-lambatnya 2
(dua) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang
lengkap dan benar.
(6) Bentuk Izin Perwakilan BUJKA sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran XVI yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (5) ditolak, Kepala BKPM atau pejabat yang ditunjuk
membuat Surat Penolakan Izin Perwakilan BUJKA
selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja.
(8) Bentuk . . .
- 44 -
(8) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Pasal 29
(1) Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing
(BUJKA) terdiri dari:
a. Izin Baru BUJKA;
b. Perpanjangan izin BUJKA;
c. Pergantian data izin BUJKA; dan
d. Penutupan izin BUJKA.
(2) Permohonan Izin baru, perpanjangan Izin dan/atau
pergantian data Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), dikenakan biaya administrasi sebagai berikut:
a. Bidang jasa konsultansi perencana/pengawasan
konstruksi senilai USD 5.000 (lima ribu dolar Amerika
Serikat); dan/atau
b. Bidang jasa pelaksana konstruksi senilai USD 10.000
(sepuluh ribu dolar Amerika Serikat).
(3) Biaya administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
langsung disetor oleh BUJKA kepada kas Negara.
(4) Permohonan pergantian data sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. pergantian data badan usaha;
b. pergantian data alamat;
c. perubahan jenis usaha; dan/atau
d. pergantian data Kepala Perwakilan BUJKA.
(5) Permohonan penutupan Izin BUJKA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d diajukan pada PTSP Pusat
di BKPM sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian . . .
- 45 -
Bagian Kedelapan
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Paragraf 1
Umum
Pasal 30
(1) Perusahaan Penanaman Modal dan Perwakilan
Perusahaan Asing dapat mempekerjakan Tenaga Kerja
Asing (TKA).
(2) Untuk dapat memperkerjakan TKA, Perusahaan
Penanaman Modal dan Perwakilan Perusahaan Asing
harus memiliki perizinan TKA, yaitu:
a. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA); dan
b. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).
(3) TKA yang akan bekerja pada Perusahaan Penanaman
Modal dan Perwakilan Perusahaan Asing, yang sudah siap
datang ke Indonesia wajib memiliki Visa Untuk Bekerja
yang diterbitkan oleh Kantor Perwakilan Republik
Indonesia di luar negeri.
(4) Permohonan untuk perizinan TKA diajukan secara daring
ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP
Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, atau PTSP KEK sesuai
kewenangannya.
Paragraf 2
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA)
Pasal 31
(1) Permohonan untuk memperoleh pengesahan RPTKA
diajukan pada PTSP Pusat di BKPM dengan menggunakan
formulir RPTKA, sebagaimana diatur dalam Peraturan
mengenai Ketenagakerjaan.
(2) Surat . . .
- 46 -
(2) Surat Keputusan Pengesahan RPTKA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang
lengkap dan benar.
(3) Setiap perubahan dan perpanjangan RPTKA harus
memperoleh pengesahan RPTKA.
(4) Perubahan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
meliputi perubahan jabatan, lokasi dan jumlah tenaga
kerja asing diajukan pada PTSP Pusat di BKPM dengan
menggunakan formulir RPTKA sebagaimana diatur dalam
Peraturan mengenai Ketenagakerjaan.
(5) Perpanjangan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diajukan kepada:
a. PTSP Pusat di BKPM apabila lokasi kerjanya lintas
provinsi, atau
b. BPMPTSP Provinsi apabila lokasi kerjanya dalam 1
(satu) wilayah provinsi;
dengan menggunakan formulir RPTKA sebagaimana diatur
dalam Peraturan mengenai Ketenagakerjaan.
(6) Permohonan perubahan dan/atau perpanjangan RPTKA
dilengkapi persyaratan sebagaimana diatur dalam
Peraturan mengenai Ketenagakerjaan.
(7) Atas permohonan perubahan dan/atau perpanjangan
RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan
Surat Keputusan Perubahan RPTKA yang ditandatangani
oleh pejabat Kementerian Ketenagakerjaan sesuai
kewenangannya.
(8) Surat Keputusan Perubahan dan/atau Perpanjangan
RPTKA diterbitkan selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja
sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar.
Paragraf 3 . . .
- 47 -
Paragraf 3
Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA)
Pasal 32
(1) Permohonan IMTA diajukan pada PTSP Pusat di BKPM
dengan menggunakan formulir IMTA, sebagaimana diatur
dalam Peraturan mengenai Ketenagakerjaan.
(2) Surat Keputusan IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterbitkan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja
sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar.
(3) Surat Keputusan IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berlaku paling lama 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang.
(4) Dalam hal perusahaan dan Perwakilan Perusahaan Asing
akan memperpanjang IMTA wajib mengajukan
permohonan perpanjangan IMTA dengan menggunakan
formulir IMTA, kepada:
a. PTSP Pusat di BKPM untuk TKA yang lokasi kerjanya
lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi dan TKA yang
bekerja di Kantor Perwakilan;
b. BPMPTSP Provinsi untuk TKA yang lokasi kerjanya
lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu)
provinsi; atau
c. BPMPTSP Kabupaten/Kota untuk TKA yang lokasi
kerjanya dalam satu kabupaten/kota.
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diajukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum SK
IMTA dari TKA yang bersangkutan berakhir masa
berlakunya, dengan menggunakan formulir IMTA
sebagaimana diatur dalam Peraturan mengenai
Ketenagakerjaan.
(6) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
pejabat Kementerian Ketenagakerjaan yang ditempatkan
pada PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP
Kabupaten/Kota menerbitkan Surat Keputusan
Perpanjangan IMTA.
(7) Surat . . .
- 48 -
(7) Surat Keputusan Perpanjangan IMTA diterbitkan
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya
permohonan yang lengkap dan benar.
Bagian Kesembilan
Angka Pengenal Importir
Paragraf 1
Umum
Pasal 33
(1) Impor barang hanya dapat dilakukan oleh importir yang
memiliki Angka Pengenal Importir (API).
(2) API sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. API Produsen (API-P); dan
b. API Umum (API-U);
(3) Setiap importir hanya memiliki 1 (satu) jenis API dan
Penandatangan Kartu API adalah Direksi dan Kuasa
Direksi.
(4) API berlaku sejak ditetapkan dan berlaku untuk seluruh
wilayah Indonesia.
(5) Permohonan API sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan ke PTSP Pusat di BKPM atau BPMPTSP Provinsi
sesuai kewenangannya secara manual, menggunakan
formulir permohonan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran XVII dilengkapi dengan persyaratan
sebagaimana tercantum pada Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(6) Perusahaan pemilik API sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), wajib melakukan pendaftaran ulang pada PTSP Pusat
di BKPM atau BPMPTSP Provinsi, sesuai dengan
kewenangannya, setiap 5 (lima) tahun sejak tanggal
penerbitan.
(7) Pendaftaran . . .
- 49 -
(7) Pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
masa 5 (lima) tahun.
(8) API sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya
permohonan yang lengkap dan benar.
(9) Bentuk API yang diterbitkan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran XVII dan Lampiran XIX yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(10) Dalam hal permohonan API sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) ditolak, Kepala BKPM atau pejabat yang ditunjuk
membuat Surat Penolakan API selambat-lambatnya 5
(lima) hari kerja.
(11) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(10) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Paragraf 2
Angka Pengenal Importir Produsen (API-P)
Pasal 34
(1) API-P diberikan hanya kepada perusahaan yang
melakukan impor barang untuk dipergunakan sendiri
sebagai barang modal, bahan baku, bahan penolong,
dan/atau bahan untuk mendukung proses produksi.
(2) Barang yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang untuk diperdagangkan atau dipindahtangankan
kepada pihak lain.
(3) Dalam hal barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) merupakan barang modal yang diberikan fasilitas
pembebasan bea masuk dan telah dipergunakan sendiri
dalam jangka waktu paling singkat 2 (dua) tahun sejak
tanggal pemberitahuan pabean impor, barang impor
tersebut dapat dipindahtangankan kepada pihak lain.
Paragraf 3 . . .
- 50 -
Paragraf 3
Angka Pengenal Importir Umum (API-U)
Pasal 35
(1) API-U diberikan hanya kepada perusahaan yang
melakukan impor barang tertentu untuk tujuan
diperdagangkan.
(2) Impor barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya untuk kelompok/jenis barang yang tercakup 1
(satu) bagian (section) sebagaimana tercantum pada Daftar
Bagian Dalam Sistem Klasifikasi Barang berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan.
(3) Perusahaan pemilik API-U dapat mengimpor
kelompok/jenis barang lebih dari 1 (satu) bagian (section)
apabila:
a. perusahaan pemilik API-U tersebut mengimpor barang
yang berasal dari perusahaan yang berada di luar
negeri dan memiliki hubungan istimewa dengan
perusahaan pemilik API-U dimaksud; atau
b. perusahaan pemilik API-U tersebut merupakan badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh Negara.
(4) Daftar Bagian Dalam Sistem Klasifikasi Barang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(5) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a dapat diperoleh melalui:
a. persetujuan kontraktual untuk berbagi pengendalian
terhadap suatu aktivitas ekonomi;
b. kepemilikan saham;
c. anggaran dasar;
d. perjanjian keagenan/distributor;
e. perjanjian pinjaman (loan agreement);
f. perjanjian penyediaan barang (supplier agreement);
atau
g. diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Paragraf 4 . . .
- 51 -
Paragraf 4
Perubahan API
Pasal 36
(1) Untuk setiap perubahan ketentuan yang telah ditetapkan
dalam API harus mengajukan permohonan perubahan API.
(2) Pengaturan terkait perubahan API sama dengan
pengaturan mengenai API sebagaimana tercantum dalam
Pasal 33 Peraturan Kepala ini.
Bagian Kesembilan
Pembukaan Kantor Cabang
Pasal 37
(1) Perusahaan yang akan membuka Kantor Cabang melaporkan
rencana Pembukaan Kantor Cabang kepada BPMPTSP
Provinsi sesuai lokasi Kantor Cabang.
(2) Laporan rencana pembukaan kantor cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(3) Persetujuan atas rencana pembukaan kantor cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan selambat-
lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan
yang lengkap dan benar.
(4) Bentuk Persetujuan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran XX yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
BAB V . . .
- 52 -
BAB V
JENIS, PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN
NONPERIZINAN SEKTORAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 38
(1) Jenis Perizinan dan Nonperizinan sektoral yang diatur
dalam Peraturan Kepala ini adalah Perizinan dan
Nonperizinan yang diterbitkan oleh PTSP Pusat di BKPM,
BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB, PTSP KEK sesuai kewenangannya.
(2) Jenis Perizinan dan Nonperizinan sektoral yang
merupakan kewenangan Pemerintah Daerah mengikuti
ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri/Kepala LPNK
terkait, Gubernur dan Bupati/Walikota.
Bagian Kedua
Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Paragraf 1
Jenis Perizinan
Pasal 39
Jenis Perizinan di Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat antara lain:
a. Izin penanaman modal di bidang usaha pengusahaan jalan
tol;
b. Izin usaha pengusahaan air minum;
c. Izin usaha pembangunan dan pengusahaan properti;
d. Izin usaha jasa konstruksi asing;
e. Izin usaha jasa konsultansi konstruksi asing; dan
f. Izin usaha bidang perumahan;
Paragraf 2 . . .
- 53 -
Paragraf 2
Pedoman dan Tata Cara Perizinan
Pasal 40
(1) Permohonan Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi,
BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP KEK
sesuai kewenangannya secara daring, dilengkapi dengan
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(2) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih
terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan
terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan
catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem
permohonan secara daring.
(3) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar
maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui
email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda
terima dalam sistem permohonan secara daring.
(4) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB atau PTSP KEK yang belum menerapkan
permohonan perizinan secara daring, permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
secara manual, menggunakan formulir permohonan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dilengkapi
dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Kepala ini.
(5) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya
permohonan yang lengkap dan benar atau sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Bentuk . . .
- 54 -
(6) Bentuk Perizinan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f
mengikuti ketentuan teknis dari instansi pembina
sektornya, sebagaimana tercantum dalam Lampiran III
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(7) Bentuk Perizinan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39 huruf d dan huruf e, sebagaimana
tercantum dalam Lampiran XXI yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditolak, PTSP Pusat di BKPM membuat Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari
kerja sejak diterimanya permohonan.
(9) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Bagian Ketiga
Sektor Perdagangan
Paragraf 1
Jenis Perizinan
Pasal 41
Jenis Perizinan di Sektor perdagangan antara lain:
a. Surat Izin Usaha Perdagangan untuk eksportir, importir
dan distributor;
b. Surat Izin Usaha Pergudangan untuk jasa pergudangan
dan cold storage;
c. Surat Izin Usaha Perdagangan untuk jasa konsultansi
manajemen bisnis;
d. Surat Izin Usaha Perdagangan untuk jasa Pengelolaan
Gedung/ Apartemen;
e. Surat . . .
- 55 -
e. Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) Sementara;
dan
f. Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) Tetap dan
Pendaftaran Ulang Surat Izin Usaha Penjualan Langsung
(SIUPL).
Paragraf 2
Pedoman dan Tata Cara
Pasal 42
(1) Permohonan Perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi,
BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP KEK
sesuai kewenangannya secara daring, dilengkapi dengan
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(2) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB atau PTSP KEK yang belum menerapkan
permohonan perizinan secara daring, permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, diajukan secara
manual, menggunakan formulir permohonan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II dilengkapi dengan
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(3) Permohonan Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf e dan huruf f, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM,
secara daring, dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(4) Bagi . . .
- 56 -
(4) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih
terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan
terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan
catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem
permohonan secara daring.
(5) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar
maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui
email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda
terima dalam sistem permohonan secara daring.
(6) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya
permohonan yang lengkap dan benar atau sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Bentuk Perizinan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 mengikuti ketentuan teknis dari instansi
pembina sektornya, sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Kepala ini.
(8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditolak, PTSP Pusat di BKPM membuat Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari
kerja sejak diterimanya permohonan.
(9) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Paragraf 3
Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL)
Pasal 43
(1) Perusahaan Penanaman Modal yang telah memiliki Izin
Prinsip untuk melakukan kegiatan di bidang usaha
penjualan langsung (multi level marketing/MLM) dan telah
siap untuk melakukan kegiatan operasi, wajib memiliki
Izin Usaha dengan nomenklatur Surat Izin Usaha
Penjualan Langsung (SIUPL).
(2) Dalam. . .
- 57 -
(2) Dalam proses penerbitan Izin Usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), perusahaan harus melakukan
presentasi tentang program pemasaran/marketing plan
dan kode etik di hadapan pejabat BKPM, Direktorat Bina
Usaha Kementerian Perdagangan, dan Asosiasi Penjualan
Langsung Indonesia (APLI) pada PTSP Pusat di BKPM.
(3) Masa berlaku:
a. SIUPL Sementara adalah 1 tahun; dan
b. SIUPL Tetap adalah selama perusahaan menjalankan
bidang usahanya, dengan kewajiban melakukan
pendaftaran ulang setiap 5 (lima) tahun.
(4) Bentuk SIUPL Sementara, SIUPL Tetap dan Pendaftaran
Ulang SIUPL tercantum dalam Lampiran XXII dan
Lampiran XXIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Kepala ini.
Bagian Keempat
Sektor Pariwisata
Paragraf 1
Jenis Perizinan dan Nonperizinan
Pasal 44
Jenis Perizinan dan Nonperizinan di Sektor Pariwisata antara
lain:
a. Tanda Daftar Usaha Daya Tarik Wisata;
b. Tanda Daftar Usaha Kawasan Pariwisata;
c. Tanda Daftar Usaha Jasa Transportasi Wisata;
d. Tanda Daftar Usaha Jasa Perjalanan Wisata;
e. Tanda Daftar Usaha Jasa Makanan dan Minuman;
f. Tanda Daftar Usaha Penyediaan Akomodasi;
g. Tanda Daftar Usaha Penyelenggaraan Kegiatan Hiburan
dan Rekreasi;
h. Tanda . . .
- 58 -
h. Tanda Daftar Usaha Penyelenggaraan Pertemuan,
Perjalanan Insentif, Konferensi dan Pameran;
i. Tanda Daftar Usaha Jasa Informasi Pariwisata;
j. Tanda Daftar Usaha Jasa Konsultan Pariwisata;
k. Tanda Daftar Usaha Wisata Tirta;
l. Tanda Daftar Usaha Usaha Spa;
m. Surat Izin Produksi (SIP) film oleh produser film/TV asing
di Indonesia;
n. Izin Usaha Perfilman Jasa Teknik Film;
o. Izin Usaha Perfilman Pengedaran Film;
p. Izin Usaha Perfilman Pengarsipan Film;
q. Izin Usaha Perfilman Ekspor Film;
r. Izin Usaha Perfilman Impor Film; dan
s. Rekomendasi Terkait Pemberian Izin Lokasi Syuting.
Paragraf 2
Pedoman dan Tata Cara
Pasal 45
(1) Permohonan Perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 huruf a sampai dengan huruf l dilengkapi
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(2) Permohonan Perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 huruf a sampai dengan huruf l, diajukan ke PTSP
Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP
Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP KEK sesuai
kewenangannya secara daring, dilengkapi dengan
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(3) Bagi . . .
- 59 -
(3) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih
terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan
terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan
catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem
permohonan secara daring.
(4) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar
maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui
email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda
terima dalam sistem permohonan secara daring.
(5) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB atau PTSP KEK yang belum menerapkan
permohonan perizinan secara daring, permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a
sampai dengan huruf l, diajukan secara manual,
menggunakan formulir permohonan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II dilengkapi dengan
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(6) Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a
sampai dengan huruf l diterbitkan selambat-lambatnya 6
(enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang
lengkap dan benar atau sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(7) Bentuk Izin Usaha yang diterbitkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 huruf a sampai dengan huruf l
mengikuti ketentuan teknis dari instasi pembina sektor,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(8) Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan
format bentuk Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 huruf m sampai dengan huruf s
diatur dalam Peraturan mengenai Pariwisata.
(9) Dalam . . .
- 60 -
(9) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditolak, PTSP Pusat di BKPM membuat Surat
Penolakan Perizinan selambat-lambatnya 5 (lima) hari
kerja sejak diterimanya permohonan.
(10) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Paragraf 3
Jangka Waktu Tanda Daftar Usaha Penyediaan Akomodasi
Pasal 46
Khusus untuk Tanda Daftar Usaha Penyediaan Akomodasi
jangka waktu diberikan dalam 2 (dua) tahap:
a. Bagi perusahaan yang belum memiliki sertifikasi bintang
dari Lembaga Sertifikasi Usaha (LSU), diberikan Tanda
Daftar Usaha Penyediaan Akomodasi yang berlaku 1 (satu)
tahun; atau
b. Perusahaan yang telah mendapatkan sertifikasi bintang
dari Lembaga Sertifikasi Usaha (LSU), wajib mengajukan
Tanda Daftar Usaha Penyediaan Akomodasi yang berlaku
sepanjang perusahaan masih beroperasi.
Bagian Kelima
Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral
Paragraf 1
Jenis Perizinan
Pasal 47
Jenis Perizinan di Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral
antara lain:
a. Izin Usaha Jasa Penunjang Minyak Dan Gas Bumi;
b. Izin Usaha Jasa Pertambangan;
c. Izin Sektor Panas Bumi;
d.Izin. . .
- 61 -
d. Izin Sektor Ketenagalistrikan;
e. Izin Sektor Minyak dan Gas Bumi; dan
f. Izin Sektor Mineral dan Batu Bara.
Paragraf 2
Pedoman dan Tata Cara
Pasal 48
(1) Permohonan Perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 huruf a dan b, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM,
BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB atau PTSP KEK sesuai kewenangannya secara
daring, dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(2) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih
terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan
terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan
catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem
permohonan secara daring.
(3) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar
maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui
email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda
terima dalam sistem permohonan secara daring.
(4) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB atau PTSP KEK yang belum menerapkan
permohonan perizinan secara daring, permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a
dan b, diajukan secara manual, dilengkapi dengan
persyaratan sebagaimana tercantum pada Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(5) Perizinan . . .
- 62 -
(5) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya
permohonan yang lengkap dan benar atau sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Bentuk Izin Usaha yang diterbitkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 huruf a dan b mengikuti
ketentuan teknis dari instansi pembina sektor,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(7) Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan
format bentuk Perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 diatur dalam Peraturan mengenai Energi dan
Sumber Daya Mineral.
(8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) ditolak, PTSP Pusat di BKPM membuat
Surat Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima)
hari kerja sejak diterimanya permohonan.
(9) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Bagian Keenam
Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Paragraf 1
Jenis Perizinan dan Nonperizinan
Pasal 49
Jenis Perizinan dan Nonperizinan di Sektor Lingkungan Hidup
dan Kehutanan antara lain:
a. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan
Alam (IUPHHK-HA);
b. Izin . . .
- 63 -
b. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan
Tanaman Industri Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI);
c. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi
Ekosistem Dalam Hutan Alam (IUPHHK–RE);
d. Perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Pada Hutan Alam (IUPHHK-HA);
e. Izin Usaha Pemanfaatan Penyerapan Karbon Dan/Atau
Penyimpanan Karbon (UP RAP-KARBON dan/atau UP
PAN-KARBON) Pada Hutan Lindung;
f. Izin Usaha Pemanfaatan Penyerapan Karbon Dan/Atau
Penyimpanan Karbon (UP RAP-KARBON dan/atau UP
PAN-KARBON) Pada Hutan Produksi;
g. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu di atas 6.000
m3/tahun;
h. Izin Perluasan Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan
Kayu di atas 6.000 m3/tahun;
i. Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan Silvo Pastura Pada
Hutan Produksi;
j. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan;
k. Pelepasan Kawasan Hutan;
l. Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam;
m. Izin Lembaga Konservasi;
n. Izin Pengusahaan Taman Buru;
o. Izin Peminjaman Satwa Liar Dilindungi Ke Luar Negeri
Untuk Kepentingan Pengembangbiakan (breeding loan);
p. Izin Usaha Pemanfaatan Air Untuk Skala Menengah dan
Skala Besar di Suaka Margasatwa, Taman Nasional,
Taman Wisata Alam, dan Taman Hutan Raya; dan
q. Izin Usaha Pemanfaatan Energi Air Untuk Skala Menengah
dan Skala Besar di Suaka Margasatwa, Taman Nasional,
Taman Wisata Alam, dan Taman Hutan Raya.
Paragraf 2 . . .
- 64 -
Paragraf 2
Pedoman dan Tata Cara
Pasal 50
(1) Permohonan Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49, diajukan ke PTSP Pusat di
BKPM secara manual.
(2) Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan
format bentuk Perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 diatur dalam Peraturan mengenai Lingkungan
Hidup dan Kehutanan.
(3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditolak, PTSP Pusat di BKPM membuat Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari
kerja sejak diterimanya permohonan.
(4) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Bagian Ketujuh
Sektor Pertanian
Paragraf 1
Jenis Perizinan dan Nonperizinan
Pasal 51
Jenis Perizinan dan Nonperizinan di Sektor Pertanian antara
lain:
a. Izin Usaha Tanaman Pangan;
b. Izin Usaha Hortikultura;
c. Izin Usaha Perkebunan;
d. Izin Usaha Peternakan;
e. Izin Usaha Obat Hewan (produsen); dan
f. Rekomendasi teknis;
Paragraf 2 . . .
- 65 -
Paragraf 2
Pedoman dan Tata Cara
Pasal 52
(1) Permohonan Perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e,
diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi,
BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP KEK
sesuai kewenangannya secara daring, dilengkapi dengan
persyaratan sebagaimana tercantum pada Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(2) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih
terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan
terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan
catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem
permohonan secara daring.
(3) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar
maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui
email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda
terima dalam sistem permohonan secara daring.
(4) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB atau PTSP KEK yang belum menerapkan
permohonan perizinan secara daring, permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, diajukan secara
manual, dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana
tercantum pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(5) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya
permohonan yang lengkap dan benar atau sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Bentuk . . .
- 66 -
(6) Bentuk Izin Usaha yang diterbitkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 huruf a sampai dengan huruf e
mengikuti ketentuan teknis dari instansi pembina sektor,
sebagaimana tercantum pada Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(7) Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan
format bentuk Nonperizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 huruf f diatur dalam Peraturan mengenai
Pertanian.
(8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditolak, PTSP Pusat di BKPM membuat Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari
kerja sejak diterimanya permohonan.
(9) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Bagian Kedelapan
Sektor Perindustrian
Paragraf 1
Jenis Perizinan
Pasal 53
Jenis Perizinan di Sektor Perindustrian antara lain:
a. Izin Usaha Industri; dan
b. Izin Usaha Kawasan Industri.
Paragraf 2 . . .
- 67 -
Paragraf 2
Pedoman dan Tata Cara
Pasal 54
(1) Permohonan Perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP
Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau
PTSP KEK sesuai kewenangannya secara daring,
dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(2) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih
terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan
terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan
catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem
permohonan secara daring.
(3) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar
maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui
email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda
terima dalam sistem permohonan secara daring.
(4) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB atau PTSP KEK yang belum menerapkan
permohonan perizinan secara daring, permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53,
diajukan secara manual, dilengkapi dengan persyaratan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(5) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya
permohonan yang lengkap dan benar atau sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Bentuk . . .
- 68 -
(6) Bentuk Izin Usaha yang diterbitkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan teknis dari
instansi pembina bidang usahanya, sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) ditolak, PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP
Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau
PTSP KEK membuat Surat Penolakan Izin Usaha
selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya
permohonan.
(8) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Bagian Kesembilan
Sektor Kesehatan
Paragraf 1
Jenis Perizinan
Pasal 55
Jenis Perizinan di Sektor Kesehatan antara lain:
a. Izin Usaha untuk Izin Industri Farmasi Obat;
b. Izin Usaha untuk Izin Industri Farmasi Bahan Obat;
c. Izin Usaha untuk Izin Alat Kesehatan;
d. Izin Usaha untuk Izin Rumah Sakit Kelas A;
e. Izin Usaha untuk Izin Rumah Sakit PMA;
f. Izin Usaha untuk Izin Bank Sel Punca;
g. Izin Usaha untuk Izin Laboratorium Pengolahan Sel
Punca;
h. Izin Usaha untuk Izin Klinik Utama/Spesialis PMA; dan
i. Izin Usaha untuk Izin Bank Jaringan.
Paragraf 2 . . .
- 69 -
Paragraf 2
Pedoman dan Tata Cara
Pasal 58
(1) Permohonan Perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP
Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau
PTSP KEK sesuai kewenangannya secara manual.
(2) Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan
format bentuk Perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 diatur dalam Peraturan mengenai Kesehatan.
(3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditolak, PTSP Pusat di BKPM membuat Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari
kerja sejak diterimanya permohonan.
(4) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Bagian Kesepuluh
Sektor Komunikasi dan Informatika
Paragraf 1
Jenis Perizinan
Pasal 57
Jenis Perizinan di Sektor Komunikasi dan Informatika antara
lain:
a. Izin Usaha Penyelenggaraan Pos Nasional;
b. Izin Usaha Penyelenggaraan Pos Provinsi;
c. Izin Usaha Penyelenggaraan Pos Kabupaten/Kota;
d. Izin Usaha Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi;
e. Izin Usaha Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi;
f. Izin Usaha Penetapan Lembaga Uji Perangkat
Telekomunikasi;
g. Izin . . .
- 70 -
g. Izin Usaha Penyelenggaraan penyiaran Lembaga Penyiaran
Swasta;
h. Izin Usaha Penyelenggaraan penyiaran Lembaga-Lembaga
Penyiaran Berlangganan;
i. Verifikasi operasional penyelenggaraan pos;
j. Izin prinsip penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
k. Izin prinsip penyelenggaraan jasa telekomunikasi teleponi
dasar, multimedia dan nilai tambah teleponi;
l. Izin prinsip penyelenggaraan jasa telekomunikasi untuk
Badan Hukum;
m. Izin stasiun radio: pita frekuensi radio dan kanal frekuensi
radio;
n. Sertifikat alat dan perangkat telekomunikasi;
o. Pengujian alat dan perangkat telekomunikasi;
p. Penempatan lembaga uji; dan
q. Pendaftaran Penyelenggaraan sistem elektronika.
Paragraf 2
Pedoman dan Tata Cara
Pasal 58
(1) Permohonan Perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 57 huruf a sampai dengan huruf h, diajukan ke
PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP
Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau PTSP KEK sesuai
kewenangannya secara daring, dilengkapi dengan
persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(2) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih
terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan
terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan
catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem
permohonan secara daring.
(3) Bagi . . .
- 71 -
(3) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar
maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui
email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda
terima dalam sistem permohonan secara daring.
(4) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB atau PTSP KEK yang belum menerapkan
permohonan perizinan secara daring, permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a
sampai dengan huruf h, diajukan secara manual,
dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(5) Permohonan Perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 57 huruf i sampai dengan huruf q, diajukan ke PTSP
Pusat di BKPM secara manual.
(6) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari
kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan
benar atau sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(7) Bentuk Izin Usaha yang diterbitkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 huruf a sampai dengan huruf h
mengikuti ketentuan teknis dari instansi pembina sektor,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(8) Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan
format bentuk Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 diatur dalam Peraturan
mengenai Komunikasi dan Informatika.
(9) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2) dan ayat (3) ditolak, PTSP Pusat di BKPM
membuat Surat Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya
5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
(10) Bentuk . . .
- 72 -
(10) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Bagian Kesebelas
Sektor Kelautan Dan Perikanan
Paragraf 1
Jenis Perizinan
Pasal 59
Perizinan di Sektor Kelautan dan Perikanan, yaitu Izin Usaha
Tetap Perikanan Budidaya.
Paragraf 2
Pedoman dan Tata Cara
Pasal 60
(1) Permohonan Perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP
Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau
PTSP KEK sesuai kewenangannya secara daring,
dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(2) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih
terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan
terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan
catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem
permohonan secara daring.
(3) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar
maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui
email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda
terima dalam sistem permohonan secara daring.
(4) Bagi . . .
- 73 -
(4) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB atau PTSP KEK yang belum menerapkan
permohonan perizinan secara daring, permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59,
diajukan secara manual, dilengkapi dengan persyaratan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(5) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja
sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar
atau sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Bentuk Izin Usaha yang diterbitkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan teknis dari
instansi pembina bidang usahanya, sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) ditolak, PTSP Pusat di BKPM BPMPTSP
Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau
PTSP KEK sesuai kewenangannya, membuat Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari
kerja sejak diterimanya permohonan.
(8) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Bagian Keduabelas
Sektor Pendidikan dan Kebudayaan
Paragraf 1
Jenis Perizinan
Pasal 61
Perizinan di Sektor Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Izin
Usaha Pendidikan Non-formal.
Paragraf 2 . . .
- 74 -
Paragraf 2
Pedoman dan Tata Cara
Pasal 62
(1) Permohonan Perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP
Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau
PTSP KEK sesuai kewenangannya secara daring,
dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(2) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih
terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan
terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan
catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem
permohonan secara daring.
(3) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar
maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui
email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda
terima dalam sistem permohonan secara daring.
(4) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB atau PTSP KEK yang belum menerapkan
permohonan perizinan secara daring, permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61,
diajukan secara manual, dilengkapi dengan persyaratan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(5) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja
sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar
atau sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Bentuk . . .
- 75 -
(6) Bentuk Izin Usaha yang diterbitkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan teknis dari
instansi pembina bidang usahanya, sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) ditolak, PTSP Pusat di BKPM BPMPTSP
Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau
PTSP KEK sesuai kewenangannya, membuat Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari
kerja sejak diterimanya permohonan.
(8) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
Bagian Ketigabelas
Sektor Ketenagakerjaan
Paragraf 1
Jenis Perizinan
Pasal 63
Jenis Perizinan di Sektor Ketenagakerjaan antara lain:
a. Izin Usaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di
Dalam Negeri;
b. Izin Usaha Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh; dan
c. Izin Usaha Lembaga Pelatihan Kerja (LPK).
Paragraf 2
Izin Usaha Penempatan Tenaga Kerja
Pasal 64
(1) Izin Usaha Penempatan Tenaga Kerja meliputi:
a. Penerbitan Izin Usaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja
baru.
b. Penerbitan . . .
- 76 -
b. Penerbitan Izin Usaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja
perpanjangan.
c. Penerbitan Izin Usaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja
perubahan yang mencakup Perubahan nama
perusahaan, perubahan alamat dan/atau Perubahan
direksi atau komisaris.
(2) Permohonan Perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM secara
manual, dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(3) Pelaksanaan verifikasi:
a. Pada saat penyerahan dokumen, perusahaan wajib
menunjukkan dokumen aslinya;
b. Verifikasi terdiri dari verifikasi dokumen,
pemaparan/ekspose dan verifikasi lapangan;
c. Pemaparan/ekspose dilakukan oleh pimpinan
perusahaan atau setingkat direktur kepada tim yang
terdiri dari unsur BKPM dan Kementerian atas profile
usaha dan rencana kerja sekurang-kurangnya 1 (satu)
tahun kedepan.
(4) Penerbitan Izin:
a. Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja
sejak diterimanya dengan lengkap dan benar laporan
verifikasi dokumen, pemaparan/ekspose, dan verifikasi
lapangan, atau sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. Izin usaha diberikan untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun dan dapat diperpanjang lagi untuk jangka waktu
yang sama;
c. Dalam . . .
- 77 -
c. Dalam hal hasil verifikasi dokumen,
pemaparan/ekspose dan verifikasi lapangan sesuai
dengan dokumen yang dipersyaratkan maka Kepala
BKPM untuk atas nama menteri menerbitkan izin
usahanya;
d. Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku,
dan format bentuk Perizinan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 diatur dalam Peraturan mengenai
Ketenagakerjaan.
e. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada
huruf c ditolak, PTSP Pusat di BKPM membuat Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari
kerja sejak diterimanya permohonan.
f. Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada
huruf d tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
g. Izin usaha perpanjangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, tidak dapat diterbitkan apabila permohonan
yang diajukan melampaui batas waktu yang
ditetapkan.
h. Dalam hal perusahaan tidak melakukan pengajuan
perpanjangan izin usaha jasa penempatan tenaga,
maka perusahaan wajib mengembalikan izin usaha
tersebut kepada Kepala BKPM atas nama Menteri.
.
Paragraf 3
Izin Usaha Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh
Pasal 65
(1) Izin Usaha penyediaan jasa pekerja/buruh yaitu izin yang
tertulis diberikan kepada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh yang memiliki modal asing dan memenuhi
syarat untuk melaksanakan usaha penyediaan jasa
pekerja/buruh.
(2) Permohonan . . .
- 78 -
(2) Permohonan Izin Usaha Penyediaan Jasa Pekerja/buruh
meliputi:
a. Penerbitan Izin Usaha Penyediaan Jasa Pekerja/buruh
baru;
b. Penerbitan Izin Usaha Penyediaan Jasa Pekerja/ buruh
perpanjangan.
(3) Syarat perusahaan PMA yang dapat mengajukan
permohonan izin usaha penyediaan jasa pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, meliputi:
a. Mempunyai izin prinsip;
b. Berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PT) yang
telah disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia;
c. Mempunyai kantor dan alamat tetap;
d. Mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP);
e. Mempunyai tanda daftar perusahaan (TDP).
f. Mempunyai izin usaha penyediaan jasa pekerja/buruh
(khusus untuk perpanjangan); dan
g. Mempunyai bukti wajib lapor ketenagakerjaan (khusus
untuk perpanjangan).
(4) Jenis kegiatan usaha penyediaan jasa pekerja/buruh yang
dapat dilakukan perusahaan PMA:
a. Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
b. Usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh
(catering);
c. Usaha tenaga pengamanan (security/satuan
pengamanan);
d. Usaha jasa penunjang di pertambangan dan
perminyakan; dan
e. Usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.
(5) Penerbitan . . .
- 79 -
(5) Penerbitan Izin:
a. Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja
sejak persyaratan diteliti dan diterima dengan lengkap
dan benar, atau sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan
b. Izin pelatihan kerja diberikan untuk jangka waktu 3
(tiga) tahun dan dapat diperpanjang lagi untuk jangka
waktu yang sama;
c. Pada saat penyerahan dokumen, perusahaan wajib
menunjukan dokumen aslinya;
d. Dalam hal hasil verifikasi sesuai dengan dokumen
yang dipersyaratkan maka kepala BKPM menerbitkan
izin usaha pelatihan kerja;
e. Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku,
dan format bentuk Perizinan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 diatur dalam Peraturan mengenai
Ketenagakerjaan.
f. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditolak, PTSP Pusat di BKPM membuat Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari
kerja sejak diterimanya permohonan.
g. Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada
huruf e tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
.
Paragraf 4
Izin Usaha Lembaga Pelatihan Kerja (LPK)
Pasal 66
(1) Lembaga Pelatihan Kerja yaitu instansi pemerintah,
badan hukum atau perseorangan yang memenuhi
persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan kerja.
(2) Permohonan . . .
- 80 -
(2) Permohonan Izin Usaha Lembaga Pelatihan Kerja
meliputi:
a. Penerbitan izin usaha pelatihan kerja baru;
b. Penerbitan izin usaha pelatihan kerja perpanjangan;
c. Penerbitan izin usaha pelatihan kerja perubahan/
penambahan program pelatihan.
(3) Pelaksanaan verifikasi:
a. Verifikasi terdiri dari verifikasi dokumen dan lapangan;
b. Verifikasi dilakukan oleh tim yang terdiri dari unsur
BKPM dan Kementerian;
(4) Penerbitan Izin:
a. Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja
sejak diterimanya dengan lengkap dan benar laporan
verifikasi dokumen dan verifikasi lapangan, atau
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
b. Izin pelatihan kerja diberikan untuk jangka waktu 3
(tiga) tahun dan dapat diperpanjang lagi untuk jangka
waktu yang sama;
c. Dalam hal hasil verifikasi sesuai dengan dokumen
yang dipersyaratkan maka PTSP Pusat di BKPM
menerbitkan izin usaha pelatihan kerja;
d. Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku,
dan format bentuk Perizinan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 diatur dalam Peraturan mengenai
Ketenagakerjaan.
e. LPK yang telah mendapatan izin harus melapor kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota di mana LPK
berlokasi.
f. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditolak, PTSP Pusat di BKPM membuat Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari
kerja sejak diterimanya permohonan.
g. Bentuk . . .
- 81 -
g. Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada
huruf e tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
h. Perpanjangan izin pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf a, tidak dapat diterbitkan
apabila permohonan yang diajukan melampaui batas
waktu yang telah ditetapkan.
Bagian Keempatbelas
Sektor Kepolisian
Paragraf 1
Jenis Perizinan dan Nonperizinan
Pasal 67
Jenis Perizinan dan Nonperizinan di Sektor Kepolisian antara
lain:
a. Izin Usaha Jasa Konsultansi Keamanan;
b. Izin Usaha Jasa Penerapan Peralatan Keamanan;
c. Izin Usaha Jasa Pendidikandan Latihan Keamanan;
d. Izin Usaha Jasa Kawal Angkut Uang dan Barang Berharga;
e. Izin Usaha Jasa Penyediaan Tenaga Keamanan;
f. Izin Usaha Jasa Penyediaan Satwa;
g. Surat Izin Operasional (SIO).
Paragraf 2 . . .
- 82 -
Paragraf 2
Pedoman dan Tata Cara
Pasal 68
(1) Permohonan Perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 67 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf f, diajukan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP
Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau
PTSP KEK sesuai kewenangannya secara daring,
dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
(2) Bagi Permohonan yang telah diverifikasi dan masih
terdapat kekurangan data maka pemberitahuan akan
terkirim secara otomatis melalui email pemohon dan
catatan detail hasil verifikasi dapat dilihat dalam sistem
permohonan secara daring.
(3) Bagi permohonan yang dinyatakan lengkap dan benar
maka pemberitahuan akan dikirim secara otomatis melalui
email pemohon dan pemohon dapat mencetak tanda
terima dalam sistem permohonan secara daring.
(4) Bagi BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB atau PTSP KEK yang belum menerapkan
permohonan perizinan secara daring, permohonan
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, diajukan
secara manual, dilengkapi dengan persyaratan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(5) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diterbitkan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja
sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar
atau sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Bentuk . . .
- 83 -
(6) Bentuk Izin Usaha yang diterbitkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengikuti ketentuan
teknis dari instansi pembina bidang usahanya,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala ini.
(7) Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan
format bentuk Perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 67 huruf g diatur dalam Peraturan mengenai
Kepolisian.
(8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) ditolak, PTSP Pusat di BKPM BPMPTSP
Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB atau
PTSP KEK sesuai kewenangannya, membuat Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari
kerja sejak diterimanya permohonan.
(9) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini
Bagian Kelimabelas
Sektor Perhubungan
Paragraf 1
Jenis Perizinan dan Nonperizinan
Pasal 69
Jenis Perizinan dan Nonperizinan di Sektor Perhubungan
antara lain:
a. Surat Izin Usaha Perusahaan Angkatan Laut (SIUPAL);
b. Surat Izin Operasi Perusahaan Angkutan Laut Khusus
(SIOPSUS);
c. Surat Penetapan Badan Usaha Pelabuhan;
d. Surat . . .
- 84 -
d. Surat Izin Usaha Perusahaan Salvage Dan Pekerjaan
Bawah Air;
e. Izin Usaha Perekrutan Dan Penempatan Awak Kapal
(IUPPAK);
f. Izin Pengusahaan Bandar Udara Komersil (Izin Badan
Usaha Bandar Udara);
g. Izin Usaha Angkutan Udara.
Paragraf 2
Pedoman dan Tata Cara
Pasal 70
(1) Permohonan Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69, diajukan ke PTSP Pusat di
BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota,
PTSP KPBPB atau PTSP KEK sesuai kewenangannya
secara manual.
(2) Persyaratan, jangka waktu penerbitan, masa berlaku, dan
format bentuk Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 diatur dalam Peraturan
mengenai Perhubungan.
(3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditolak, PTSP Pusat di BKPM, membuat Surat
Penolakan Izin Usaha selambat-lambatnya 5 (lima) hari
kerja sejak diterimanya permohonan dengan menyebutkan
alasan penolakan.
(4) Bentuk Surat Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala ini.
BAB VI . . .
- 85 -
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Bagian Kesatu
Penandatangan
Pasal 71
(1) Penerbitan Perizinan dan Nonperizinan berdasarkan
pelimpahan dan/atau pelimpahan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, ditandatangani
oleh Kepala BKPM atas nama Menteri/Kepala LPNK,
kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Menteri/Kepala
LPNK.
(2) Penerbitan Perizinan dan Nonperizinan berdasarkan
pelimpahan dan/atau pelimpahan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, ditandatangani
oleh Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal atas
nama Kepala BKPM untuk Menteri/Kepala LPNK, kecuali
ditentukan lain oleh Peraturan Menteri/Kepala LPNK.
Pasal 72
Penerbitan Perizinan dan Nonperizinan berdasarkan
pendelegasian dan pelimpahan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b, ditandatangani oleh
Kepala BPMPTSP Provinsi.
Pasal 73
Penerbitan Perizinan dan Nonperizinan berdasarkan
pendelegasian dan pelimpahan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c, ditandatangani oleh
Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota.
Pasal 74 . . .
- 86 -
Pasal 74
Penerbitan Perizinan dan Nonperizinan di KPBPB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d,
dilaksanakan oleh PTSP KPBPB berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan terkait KPBPB dengan berpedoman
pada Peraturan ini, ditandatangani oleh Kepala PTSP KPBPB.
Pasal 75
Penerbitan Perizinan dan Nonperizinan di KEK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e dilaksanakan oleh
PTSP KEK berdasarkan peraturan perundang-undangan
terkait KEK dengan berpedoman pada Peraturan ini,
ditandatangani oleh Kepala PTSP KEK.
Bagian Kedua
SPIPISE
Pasal 76
(1) Perusahaan mengajukan permohonan Perizinan dan
Nonperizinan ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi,
BPMPTSPKabupaten/Kota, PTSP KPBPB, PTSP KEK,
sesuai kewenangannya, secara daring melalui SPIPISE.
(2) Perusahaan yang menyampaikan permohonan secara
daring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mengunggah seluruh dokumen asli perusahaan ke dalam
folder perusahaan yang tersedia dalam SPIPISE.
(3) Bagi perusahaan yang telah memiliki folder perusahaan
dapat mengunggah tambahan kelengkapan dokumen asli
sesuai dengan jenis permohonan yang disampaikan.
(4) Permohonan Perizinan dan Nonperizinan yang belum
dapat dilakukan secara daring melalui SPIPISE, dapat
diajukan secara manual.
Bagian . . .
- 87 -
Bagian Ketiga
Sanksi
Pasal 77
(1) Direksi/Pimpinan Perusahaan dan/atau pemohon
Perizinan dan Nonperizinan yang memberikan keterangan
dan/atau data palsu, tidak dapat melakukan pengurusan
Perizinan dan Nonperizinan pada PTSP Pusat di BKPM,
BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP
KPBPB, PTSP KEK, sesuai dengan kewenangannya, untuk
paling sedikit 1 (satu) tahun dan akan diumumkan secara
terbuka.
(2) Direksi/Pimpinan Perusahaan dan/atau pemohon
Perizinan dan Nonperizinan yang memberikan keterangan
dan/atau data palsu yang telah terbukti dalam
permohonan Penanaman Modal yang disampaikan pada
PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP
Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, PTSP KEK, sesuai
kewenangannya, akan dikenakan sanksi pidana sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Surat Kuasa
Pasal 78
(1) Pengurusan permohonan Perizinan dan Nonperizinan
Penanaman Modal ke PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP
Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, atau
PTSP KEK, sesuai dengan kewenangannya, dilakukan
oleh:
a. direksi/pimpinan perusahaan sebagai pemohon;
b. karyawan perusahaan yang diberi kuasa khusus untuk
pengurusan permohonan tanpa hak substitusi;
c. Advokat perseorangan;
d. Advokat yang membentuk persekutuan perdata
sebagai konsultan hukum;
e. Notaris . . .
- 88 -
e. Notaris;
f. Perwakilan Kamar Dagang dan Industri dari negara
calon pemegang saham perusahaan; atau
g. Perusahaan Badan Hukum Indonesia Penanaman
Modal Dalam Negeri dibidang usaha jasa konsultasi;
(2) Karyawan atau kuasa lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g harus mempunyai
kompetensi dan kemampuan untuk memberikan
keterangan yang lengkap dan akurat kepada Pejabat PTSP
Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP
Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, PTSP KEK, sesuai
kewenangannya serta bertanggungjawab atas seluruh
informasi yang disampaikan.
(3) Pemberian kuasa kepada Karyawan atau kuasa lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai
dengan huruf g wajib dilengkapi dengan surat kuasa asli
bermeterai cukup, identitas diri yang jelas dari pemberi
dan penerima kuasa, serta legalitas penerima kuasa.
(4) Legalitas penerima kuasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) adalah sebagai berikut:
a. Karyawan perusahaan: Surat keputusan
pengangkatan sebagai pegawai/kontrak kerja dengan
perusahaan atau surat keterangan sebagai karyawan;
b. Advokat Perseorangan: kartu advokat (tidak dapat
ditugaskan kepada associate/karyawan
kantor/perusahaan);
c. Kantor Konsultan Hukum: akta pendirian firma atau
akta persekutuan perdata, surat keputusan sebagai
pegawai atau kontrak kerja dengan Kantor konsultan
Hukum atau surat keterangan sebagai karyawan;
d. Kantor Notaris: Surat Keputusan Penetapan Notaris
dari Kementerian Hukum dan HAM, dan Surat
keputusan sebagai pegawai atau kontrak kerja
dengan Kantor Notaris;
e. Perwakilan . . .
- 89 -
e. Perwakilan kamar dagang dan industri dari negara
calon pemegang saham perusahaan (Chamber of
Commerce): surat keputusan sebagai pegawai atau
kontrak kerja dengan perusahaan;
f. Kantor Konsultan berbadan hukum Indonesia (100%
Dalam Negeri): Izin Usaha/SIUP (jasa konsultasi
manajemen bisnis/pengurusan dokumen), Surat
keputusan sebagai karyawan perusahaan
Pasal 79
(1) Surat kuasa sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat (3)
wajib menggunakan format/bentuk surat kuasa
sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BKPM ini.
(2) Bentuk surat kuasa penandatanganan permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tercantum dalam
Lampiran XXIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Kepala ini.
(3) Bentuk surat kuasa pengurusan permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tercantum dalam
Lampiran XXV yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Kepala ini.
Pasal 80
Direksi/Pimpinan Perusahaan dan/atau pemohon Perizinan
dan Nonperizinan wajib memahami, menyetujui, menjamin
dan bertanggungjawab atas:
a. keaslian seluruh dokumen yang disampaikan;
b. kesesuaian semua rekaman data yang disampaikan
dengan dokumen aslinya (jika disampaikan secara
manual); dan
c. keaslian seluruh tandatangan yang tercantum dalam
permohonan
Bagian . . .
- 90 -
Bagian Kelima
Standar Penomoran Perizinan
Pasal 81
(1) Dalam rangka penyeragaman penomoran atas Perizinan
dan Nonperizinan Penanaman Modal yang diterbitkan
oleh PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP
Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, PTSP KEK, perlu
dilakukan pengaturan format penomoran.
(2) Format penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
mencakup penomoran perusahaan serta penomoran
produk Perizinan dan Nonperizinan.
(3) Penomoran perusahaan diberikan secara otomatis oleh
SPIPISE.
(4) Penomoran produk Perizinan mencakup komponen antara
lain:
a. nomor urut surat;
b. kode wilayah instansi penyelenggara PTSP penerbit
Perizinan;
c. kode jenis Perizinan yang diterbitkan;
d. kode jenis perusahaan penanaman modal;
e. tahun penerbitan Perizinan;
setiap komponen tersebut dipisahkan dengan garis
miring.
(5) Penomoran produk Nonperizinan mencakup komponen
antara lain:
a. nomor urut surat;
b. kode wilayah instansi penyelenggara PTSP penerbit
Nonperizinan;
c. kode pejabat penandatangan;
d. kode jenis Nonperizinan yang diterbitkan;
e. tahun penerbitan Nonperizinan;
setiap komponen tersebut dipisahkan dengan garis
miring.
Pasal 82 . . .
- 91 -
Pasal 82
(1) Kode wilayah PTSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal
81 ayat (4) huruf b, diatur sebagai berikut:
a. penulisan kode wilayah untuk PTSP Pusat adalah
angka 1 (satu);
b. penulisan kode wilayah untuk PTSP KPBPB adalah
KPBPB- diikuti kode wilayah dimana KPBPB tersebut
berada;
c. penulisan kode wilayah untuk PTSP KEK adalah KEK-
diikuti kode wilayah dimana KEK tersebut berada;
d. penulisan kode wilayah untuk BPMPTSP Provinsi,
BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, PTSP KEK,
mengacu kepada ketentuan kode wilayah yang diatur
oleh Badan Pusat Statistik;
e. penulisan kode wilayah untuk BPMPTSP Provinsi,
BPMPTSP Kabupaten/Kota, diawali dengan kode
wilayah provinsi dilanjutkan dengan kode wilayah
kabupaten/kota mengacu kepada ketentuan kode
wilayah yang diatur oleh Badan Pusat Statistik;
(2) Kode jenis Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
81 ayat (4) huruf c, diatur sebagai berikut:
a. Izin Usaha adalah IU (huruf dalam kapital);
b. Izin Usaha Perluasan adalah IU-PL (huruf dalam
kapital);
c. Izin Usaha Perubahan adalah IU-PB (huruf dalam
kapital);
d. Izin Usaha Penggabungan Perusahaan adalah
IU-PP (huruf dalam kapital).
(3) Kode jenis Perusahaan Penanaman Modal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) huruf d adalah:
a. kode untuk Penanaman Modal yang mengandung
modal asing adalah PMA (huruf dalam kapital);
b. kode . . .
- 92 -
b. kode untuk Penanaman Modal yang seluruh modalnya
adalah modal dalam negeri adalah PMDN (huruf dalam
kapital).
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 83
(1) Semua Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal
yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan
Kepala ini dinyatakan tetap berlaku sampai masa
berlakunya Perizinan berakhir.
(2) Dalam hal masa berlaku Izin Prinsip perusahaan telah
habis, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4),
perusahaan dapat mengajukan Izin Usahanya paling
lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Kepala
ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 84
Dengan berlakunya Peraturan Kepala ini, Peraturan Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013
tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman
Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2013,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 85
Peraturan Kepala ini mulai berlaku:
(1) untuk PTSP Pusat di BKPM setelah 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak tanggal diundangkan; dan
(2) untuk BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota,
PTSP KPBPB, dan PTSP KEK selambat-lambatnya 90
(sembilan puluh) hari kerja sejak tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 93 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
Pengundangan Peraturan Kepala ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA,
FRANKY SIBARANI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
WIDODO EKATJAHJANA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR
DAFTAR LAMPIRAN
PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2015
TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN
PENANAMAN MODAL
NO LAMPIRAN JUDUL
1. LAMPIRAN I Persyaratan Perizinan dan Nonperizinan
2. LAMPIRAN II Bentuk formulir Izin Usaha/Izin Perluasan (khusus
bidang industri)/Izin Usaha Perluasan/Izin Usaha
Penggabungan Perusahaan/Izin Usaha Penjualan
Langsung/ Izin Usaha Jasa Konstruksi/Tanda Daftar
Usaha (khusus di bidang kepariwisataan)
3. LAMPIRAN III Bentuk Izin Usaha Penanaman Modal Asing/Izin Usaha
Penanaman Modal Dalam Negeri
4. LAMPIRAN IV Bentuk Surat Penolakan
5. LAMPIRAN V Bentuk Izin Perluasan (Khusus di bidang industri)/ Izin
Usaha Perluasan
6. LAMPIRAN VI Bentuk Izin Usaha Penggabungan Perusahaan
Penanaman Modal
7. LAMPIRAN VII Bentuk Permohonan Perubahan Penanaman Modal
8. LAMPIRAN VIII Bentuk Izin Usaha Perubahan
9. LAMPIRAN IX Bentuk Izin Kantor Perwakilan Perusahaan Asing
10. LAMPIRAN X Bentuk Perubahan Ketentuan Izin Kantor Perwakilan
Perusahaan Asing
11. LAMPIRAN XI Bentuk Surat Persetujuan Sementara Penunjukan
Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing
12. LAMPIRAN XII Bentuk Izin Usaha Kantor Perwakilan Perusahaan
Perdagangan Asing
13. LAMPIRAN XIII Bentuk Perpanjangan Izin Usaha Kantor Perwakilan
Perusahaan Perdagangan Asing
14. LAMPIRAN XIV Bentuk Perubahan Izin Usaha Kantor Perwakilan
Perusahaan Perdagangan Asing
15. LAMPIRAN XV Bentuk Izin Usaha Jasa Konstruksi Penanaman Modal
Asing
16. LAMPIRAN XVI Bentuk Formulir Angka Pengenal Impor
17. LAMPIRAN XVII Bentuk Angka Pengenal Importir Produsen
NO LAMPIRAN JUDUL
18. LAMPIRAN XVIII Bentuk Angka Pengenal Importir Umum
19. LAMPIRAN XIX Bentuk Izin Pembukaan Kantor Cabang
20. LAMPIRAN XX Bentuk Izin Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing
21. LAMPIRAN XXI Bentuk Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL)
Sementara
22. LAMPIRAN XXII Bentuk Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) Tetap
23. LAMPIRAN XXIII Bentuk Surat Kuasa Penandatanganan
24. LAMPIRAN XXIV Bentuk Surat Kuasa Pengurusan
LAMPIRAN I
PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN
MODAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2015
TENTANG
PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN
PENANAMAN MODAL
PERSYARATAN PERIZINAN DAN NONPERIZINAN
No. Jenis Perizinan Persyaratan
1. Izin Usaha/Izin
Usaha
Perluasan
1. Rekaman perizinan berupa Izin Prinsip/Izin
Investasi/Izin Usaha/Izin Kementerian/
Lembaga/Dinas terkait yang telah dimiliki;
2. Rekaman Akta Pendirian perusahaan dilengkapi
dengan pengesahan Anggaran Dasar Perusahaan
dan persetujuan/pemberitahuan perubahan dari
Menteri Hukum dan HAM, dan perubahannya
(apabila ada)
3. NPWP perusahaan;
4. Rekaman legalitas lokasi proyek dan/atau alamat
perusahaan terdiri dari:
a. Rekaman bukti penguasaan tanah dan/atau
bangunan untuk kantor dan/atau gudang
berupa:
1) Perjanjian pengingkatan jual-beli (PPJB)
disertai dengan bukti pelunasan, atau
2) akta jual beli oleh PPAT atas nama
Perusahaan, atau
3) sertifikat Hak Atas Tanah, dan
4) IMB;
atau
b. Bukti perjanjian sewa menyewa tanah
dan/atau gedung/bangunan, berupa rekaman
perjanjian sewa-menyewa tanah dan/atau
bangunan atas nama perusahaan dengan
jangka waktu sewa:
- 2 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
1) minimal 3 (tiga) tahun untuk bidang usaha
industri,
2) minimal 1 (satu) tahun untuk bidang usaha
jasa/perdagangan,
terhitung sejak tanggal permohonan diajukan;
Keterangan:
- dengan mencantumkan luasan lahan yang
dipergunakan.
- bila kurang dari jangka waktu tersebut,
dilampirkan surat keterangan dari direksi
untuk memperpanjang atau pindah ke lokasi
lain.
c. Bukti afiliasi dan perjanjian pinjam pakai, bila:
1) tempat kedudukan kantor pusat perusahaan
berada dalam 1 (satu) bangunan secara utuh
dan terpadu dengan beberapa perusahaan
lainnya yang memiliki afiliasi, atau
2) tempat kedudukan kantor pusat perusahaan
berada di lahan atau bangunan yang
dikuasai oleh perusahaan lain yang memiliki
afiliasi,
3) afiliasi sebagaimana dimaksud di atas,
apabila 1 (satu) grup perusahaan, yang
dibuktikan dengan kepemilikan saham
dalam Akta perusahaan.
5. Izin lokasi/surat dari instansi terkait mengenai
tata ruang kota dan peruntukan lokasi industri
bila perusahaan berada di luar Kawasan Industri.
6. Kelengkapan perizinan daerah sesuai lokasi
proyek:
a. rekaman Izin Gangguan (UUG/HO) dan/atau
SITU bagi perusahaan yang berlokasi di luar
kawasan industri sesuai dengan ketentuan
Peraturan Daerah setempat;
b. bagi perusahaan yang berlokasi di Kawasan
Industri atau gedung perkantoran, tidak
- 3 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
diwajibkan melampirkan rekaman Izin
Gangguan (UUG/HO) dan/atau SITU;
7. Rekaman dokumen lengkap dan
persetujuan/pengesahan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan (UPL) atau Surat
Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL);
8. Rekaman Izin Lingkungan untuk perusahaan
yang telah memiliki AMDAL atau UKL-UPL;
9. LKPM periode terakhir dan tanda terima
penyampaian dari PTSP Pusat Di
BKPM/BPMPTSP Provinsi/ Kabupaten/Kota;
10. Rekomendasi dari Kementerian/Lembaga
pembina apabila dipersyaratkan sesuai ketentuan
bidang usaha, misalnya:
- rekomendasi dari Kementerian Perdagangan
c.q. Direktorat Bina Usaha untuk pengajuan
SIUPL;
- rekomendasi dari Kementerian Perindustrian:
Industri dengan KBLI 2410 dan 2420/ Industri
cakram optic / Industri minuman beralkohol;
- rekomendasi teknis Izin Usaha dari Direktur
Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian
untuk perkebunan buah kelapa sawit dan
industri minyak kelapa sawit;
- dan lainnya
11. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh direksi/pimpinan
perusahaan dengan dilengkapi dokumen
penerima kuasa;
12. Formulir permohonan sesuai dengan Lampiran II
untuk pengajuan permohonan secara manual;
- 4 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
13. Untuk pengurusan SIUPL Sementara
ditambahkan:
a. rekaman surat izin atau surat pendaftaran
lainnya dari Kementerian/Lembaga untuk jenis
produk yang diperdagangkan sesuai dengan
Peraturan Perundang-undangan dengan
minimal 2 (dua) jenis produk;
b. rekaman kontrak kerjasama atau surat
penunjukan (apabila perusahaan mendapat
barang/jasa dari perusahaan
lain/produsen/supplier);
c. rekaman identitas Direktur Utama atau
penanggungjawab perusahaan dan pasfoto
berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua)
lembar;
d. rancangan program kompensasi mitra usaha,
kode etik, dan peraturan perusahaan;
14. Untuk permohonan SIUPL Tetap ditambah
persyaratan:
a. melampirkan asli dari SIUPL Sementara;
b. rekaman neraca perusahaan tahun terakhir;
15. Untuk Permohonan IUJK ditambah persyaratan:
a. Sertifikat Badan Usaha (SBU) yang masih
berlaku;
b. Rekaman identitas Direktur Utama atau
penanggungjawab perusahaan dan Pasfoto
berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua)
lembar;
16. Untuk permohonan Izin Usaha Tetap Jasa
Penunjang Pertambangan (Minerba, atau Panas
Bumi, atau Migas) ditambahkan persyaratan:
a. Izin Usaha Jasa Penunjang Pertambangan
(IUJP) atau;
b. Surat Keterangan Terdaftar (SKT).
17. Khusus untuk bidang usaha perdagangan dan
jasa, dilampirkan dengan:
- 5 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
a. rincian investasi yang mencantumkan alokasi
investasi terbesar;
b. bukti setor modal ditempatkan dan disetor atau
neraca keuangan yang mencantumkan equity
perusahaan;
18. Khusus untuk bidang usaha perdagangan besar
(distributor utama) ditambahkan persyaratan:
a. Surat Penunjukan Distributor dan;
b. Bukti penguasaan gudang.
19. Hasil pemeriksaan lapangan bila diperlukan;
20. Presentasi bila diperlukan.
2. Izin Usaha
Perubahan
(Perubahan
Lokasi Proyek)
1. Rekaman Izin Usaha/Izin Usaha Perluasan yang
mencantumkan lokasi proyek dan/atau alamat
perusahaan yang dimohonkan untuk diubah;
2. Rekaman Akta Pendirian perusahaan dan
perubahannya dilengkapi dengan pengesahan
Anggaran Dasar Perusahaan dan
persetujuan/pemberitahuan perubahan, apabila
ada, dari Menteri Hukum dan HAM serta NPWP
perusahaan;
3. Untuk perubahan lokasi proyek dan/atau alamat
perusahaan dilengkapi dengan data pendukung
berupa rekaman legalitas lokasi proyek dan/atau
alamat perusahaan terdiri dari:
a. Rekaman bukti penguasaan tanah dan/atau
bangunan untuk kantor dan/atau gudang
berupa:
1) Perjanjian pengingkatan jual-beli (PPJB)
disertai dengan bukti pelunasan, atau
2) akta jual beli oleh PPAT atas nama
Perusahaan, atau
3) sertifikat Hak Atas Tanah, dan
4) IMB;
atau
b. Bukti perjanjian sewa menyewa tanah
dan/atau gedung/bangunan, berupa rekaman
- 6 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
perjanjian sewa-menyewa tanah dan/atau
bangunan atas nama perusahaan dengan
jangka waktu sewa:
1) minimal 3 (tiga) tahun untuk bidang usaha
industri,
2) minimal 1 (satu) tahun untuk bidang usaha
jasa/perdagangan,
3) terhitung sejak tanggal permohonan
diajukan;
Keterangan:
- dengan mencantumkan luasan lahan yang
dipergunakan.
- bila kurang dari jangka waktu tersebut,
dilampirkan surat keterangan dari direksi
untuk memperpanjang atau pindah ke lokasi
lain (pilih salah satu),
c. Bukti afiliasi dan perjanjian pinjam pakai, bila:
1) tempat kedudukan kantor pusat perusahaan
berada dalam 1 (satu) bangunan secara utuh
dan terpadu dengan beberapa perusahaan
lainnya yang memiliki afiliasi, atau
2) tempat kedudukan kantor pusat perusahaan
berada di lahan atau bangunan yang
dikuasai oleh perusahaan lain yang memiliki
afiliasi,
3) afiliasi sebagaimana dimaksud di atas,
apabila 1 (satu) grup perusahaan, yang
dibuktikan dengan kepemilikan saham
dalam Akta perusahaan.
4. Izin lokasi/surat dari instansi terkait mengenai
tata ruang kota dan peruntukan lokasi industri
bila perusahaan berada di luar Kawasan Industri.
5. Kelengkapan perizinan daerah sesuai lokasi
proyek:
a. rekaman Izin Gangguan (UUG/HO) dan/atau
SITU bagi perusahaan yang berlokasi di luar
- 7 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
kawasan industri sesuai dengan ketentuan
Peraturan Daerah setempat;
b. bagi perusahaan yang berlokasi di Kawasan
Industri atau gedung perkantoran, tidak
diwajibkan melampirkan rekaman Izin
Gangguan (UUG/HO) dan/atau SITU;
6. Rekaman dokumen lengkap dan
persetujuan/pengesahan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan (UPL) atau Surat
Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL);
7. Rekaman Izin Lingkungan untuk perusahaan
yang telah memiliki AMDAL atau UKL-UPL;
8. Akta perubahan tempat kedudukan beserta
persetujuan Menteri Hukum dan HAM apabila
lokasi kantor pusat perusahaan yang baru
berbeda Kabupaten/Kota dengan lokasi lama;
9. Rekaman NPWP sesuai lokasi proyek atau alamat
perusahaan yang baru;
10. LKPM periode terakhir dan tanda terima
penyampaian dari PTSP Pusat Di
BKPM/BPMPTSP Provinsi/ Kabupaten/Kota;
11. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh direksi/pimpinan
perusahaan dengan dilengkapi dokumen
penerima kuasa;
12. Formulir permohonan sesuai dengan Lampiran
VIII untuk pengajuan permohonan secara
manual;
3. Izin Usaha
Perubahan
(Perubahan
1. Rekaman Izin Usaha/Izin Usaha Perluasan yang
mencantumkan bidang usaha dan jenis serta
kapasitas produksi yang dimohonkan untuk
- 8 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
Ketentuan
Bidang Usaha)
diubah;
2. Rekaman Akta Pendirian perusahaan dan
perubahannya dilengkapi dengan pengesahan
Anggaran Dasar Perusahaan dan
persetujuan/pemberitahuan perubahan, apabila
ada, dari Menteri Hukum dan HAM serta NPWP
perusahaan;
3. Data pendukung perubahan jenis produksi akibat
dari dilakukannya diversifikasi berupa:
a. diagram alir produksi (flow chart of production)
dilengkapi dengan penjelasan detail;
b. penjelasan perhitungan kapasitas produksi dan
gambar jenis produksi;
4. Untuk perubahan pemasaran dan perkiraan nilai
ekspor per tahun, ditambah persyaratan:
lampirkan alasan perubahan dari
direksi/pimpinan perusahaan;
5. Untuk penyesuaian KBLI, ditambah persyaratan:
melampirkan alasan penyesuaian KBLI dan bukti
atau penjelasan secara detail;
6. Untuk penambahan komoditi (khusus di bidang
usaha perdagangan besar tanpa menambah
kapasitas dan investasi) ditambah persyaratan:
surat penunjukan distributor untuk komoditi
baru yang ditambahkan;
7. Untuk penambahan subkualifikasi (khusus untuk
bidang usaha jasa pelaksana konstruksi atau jasa
konsultansi konstruksi) ditambah persyaratan:
sertifikasi badan usaha (SBU) terbaru;
8. LKPM periode terakhir dan tanda terima
penyampaian dari PTSP Pusat Di
BKPM/BPMPTSP Provinsi/ Kabupaten/Kota;
9. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh direksi/pimpinan
perusahaan dengan dilengkapi dokumen
- 9 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
penerima kuasa
10. Hasil pemeriksaan lapangan (apabila
diperlukan);
11. Formulir permohonan sesuai dengan Lampiran
VIII untuk pengajuan permohonan secara
manual.
4. Izin Usaha
Perubahan
(Perubahan
Masa Berlaku
Izin Usaha)
1. Rekaman Izin Usaha/Izin Usaha Perluasan yang
dimohonkan untuk diubah;
2. Rekaman Akta Pendirian perusahaan dan
perubahannya dilengkapi dengan pengesahan
Anggaran Dasar Perusahaan dan
persetujuan/pemberitahuan perubahan, apabila
ada, dari Menteri Hukum dan HAM serta NPWP
perusahaan;
3. Data pendukung tentang perpanjangan masa
berlaku Izin Usaha, apabila dipersyaratkan,
berupa:
- rekomendasi/izin operasioal dari kementerian
terkait bidang usaha; atau
- persyaratan perpanjangan masa berlaku izin
usaha sesuai ketentuan Peraturan
Perundang-undangan;
4. LKPM periode terakhir dan tanda terima
penyampaian dari PTSP Pusat Di
BKPM/BPMPTSP Provinsi/ Kabupaten/Kota;
5. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh direksi/pimpinan
perusahaan dengan dilengkapi dokumen
penerima kuasa
6. Hasil pemeriksaan lapangan (apabila diperlukan).
7. Formulir permohonan sesuai dengan Lampiran
VIII untuk pengajuan permohonan secara
manual.
- 10 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
5. Izin Usaha
Penggabungan
1. Rekaman perizinan yang dimiliki berupa Izin
Prinsip Penggabungan Perusahaan;
2. Rekaman Akta Pendirian perusahaan dan
perubahannya (Jika ada) dilengkapi dengan
pengesahan Anggaran Dasar Perusahaan dan
persetujuan/pemberitahuan perubahan, dari
Menteri Hukum dan HAM serta NPWP
perusahaan;
3. Legalitas lokasi proyek:
a. rekaman bukti penguasaan tanah dan/atau
bangunan untuk kantor dan/atau gudang
berupa:
1) Perjanjian pengingkatan jual-beli (PPJB)
disertai dengan bukti pelunasan, atau
2) akta jual beli oleh PPAT atas nama
Perusahaan; atau
3) sertifikat Hak Atas Tanah; dan
4) IMB;
atau
b. Bukti perjanjian sewa menyewa tanah
dan/atau gedung/bangunan, berupa rekaman
perjanjian sewa-menyewa tanah dan/atau
bangunan atas nama perusahaan dengan
jangka waktu sewa:
1) minimal 3 (tiga) tahun untuk bidang usaha
industri,
2) minimal 1 (satu) tahun untuk bidang usaha
jasa/perdagangan,
terhitung sejak tanggal permohonan diajukan;
Keterangan:
- dengan mencantumkan luasan lahan yang
dipergunakan.
- bila kurang dari jangka waktu tersebut,
dilampirkan surat keterangan dari direksi
untuk memperpanjang atau pindah ke lokasi
lain.
- 11 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
c. perjanjian pinjam pakai:
1) tempat kedudukan kantor pusat perusahaan
berada dalam 1 (satu) bangunan secara utuh
dan terpadu dengan beberapa perusahaan
lainnya yang memiliki afiliasi; atau
2) tempat kedudukan kantor pusat perusahaan
berada di lahan atau bangunan yang
dikuasai oleh perusahaan lain yang memiliki
afiliasi,
afiliasi sebagaimana dimaksud di atas, apabila
1 (satu) grup perusahaan, yang dibuktikan
dengan kepemilikan saham dalam Akta
perusahaan;
4. Izin lokasi/surat dari instansi terkait mengenai
tata ruang kota dan peruntukan lokasi industri
bila perusahaan berada di luar Kawasan Industri;
5. Kelengkapan perizinan daerah sesuai lokasi
proyek:
a. rekaman Izin Gangguan (UUG/HO) dan/atau
SITU bagi perusahaan yang berlokasi di luar
kawasan industri sesuai dengan ketentuan
Peraturan Daerah setempat;
b. bagi perusahaan yang berlokasi di Kawasan
Industri atau gedung perkantoran, tidak
diwajibkan melampirkan rekaman Izin
Gangguan (UUG/HO) dan/atau SITU;
6. Rekaman dokumen lengkap dan
persetujuan/pengesahan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan (UPL) atau Surat
Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL);
7. LKPM periode terakhir dan tanda terima
penyampaian dari PTSP Pusat Di
BKPM/BPMPTSP Provinsi/ Kabupaten/Kota;
- 12 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
8. Rekomendasi dari Kementerian/Lembaga
pembina apabila dipersyaratkan sesuai ketentuan
bidang usaha, misalnya :
- rekomendasi dari Kementerian Perdagangan
c.q. Direktorat Bina Usaha untuk pengajuan
SIUPL;
- rekomendasi dari Kementerian Perindustrian:
Industri dengan KBLI 2410 dan 2420/
Industri cakram optic / Industri minuman
beralkohol;
- rekomendasi teknis Izin Usaha dari Direktur
Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian
untuk perkebunan buah kelapa sawit dan
industri minyak kelapa sawit;
- dan lainnya
9. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh direksi/pimpinan
perusahaan dengan dilengkapi dokumen
penerima kuasa;
10. Hasil pemeriksaan lapangan (apabila
diperlukan);
11. Formulir permohonan sesuai dengan Lampiran II
untuk pengajuan permohonan secara manual
6. Izin Usaha
Lembaga
Pelatihan Kerja
(LPK)
1. Rekaman perizinan berupa Izin Prinsip dari
BKPM;
2. Surat permohonan tertulis yang ditujan kepada
Menteri Ketenagakerjaan melalui Kepala BKPM,
diketik di atas kertas dengan kop perusahaan
beralamat lengkap disertai nomor telepon, nomor
faksimil, alamat email, distempel dan
ditandatangani oleh perusahaan;
3. Rekaman akte pendirian dan/atau akte
perubahan sebagai badan hukum yang dilegalisir
oleh instansi yang berwenang;
- 13 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
4. Daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan
identitas diri (KTP/paspor) dan pasfoto ukuran
4X6 berlatar belakang merah (foto memakai
pakaian formal);
5. Rekaman Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas
nama lembaga;
6. Rekaman surat tanda bukti kepemilikan atau
penguasaan sarana dan prasarana pelatihan
kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
sesuai dengan program pelatihan yang akan
diselenggarakan;
7. Surat keterangan domisili dari pejabat yang
berwenang;
8. Rekaman bukti registrasi standar kompetensi dari
Kementerian Ketenagakerjaan yang dijadikan
acuan pelaksanaan program pelatihan;
9. Surat kerjasama dengan LPK yang sudah
terakreditasi dari LA-LPK;
10. Profil perusahaan sekurang-kurangnya:
a. struktur organisasi dan uraian tugas;
b. program pelatihan kerja berbasis kompetensi
yang akan diselenggarakan;
c. program kerja LPK dan rencana pembiayaan
selama 1 (satu) tahun;
d. daftar riwayat hidup instruktur dan tenaga
pelatihan;
e. instruktur tenaga kerja asing minimal memiliki
kualifikasi sebagai tenaga ahli dibidangnya;
f. daya kapasitas/daya tampung peserta.
11. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh direksi/pimpinan
perusahaan dengan dilengkapi dokumen
penerima kuasa.
- 14 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
7. Izin Usaha
Lembaga
Pelatihan Kerja
(LPK)Perpanjan
gan
1. Rekaman Izin Usaha Lembaga Pelatihan Kerja
yang masih berlaku;
2. Surat permohonan tertulis yang ditujukan kepada
Menteri melalui Kepala BKPM, diketik di atas
kertas dengan kop LPK beralamat lengkap disertai
nomor telepon, nomor faksimil, alamat email,
distempel dan ditandatangani oleh kepala LPK;
3. Surat rekomendasi dari dinas yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota;
4. Rekaman sertifikat akreditasi dari LA-LPK;
5. Rekaman surat tanda bukti kepemilikan atau
penguasaan sarana dan prasarana pelatihan
kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
sesuai dengan program pelatihan yang telah
diselenggarakan;
6. Realisasi program pelatihan kerja yang telah
dilaksanakan;
7. Laporan kinerja LPK selama 3 (tiga) tahun;
8. Program kerja LPK dan rencana pembiayaan
selama 1 (satu) tahun;
9. Daftar dan riwayat hidup instruktur dan tenaga
pelatihan; dan
10. Dalam hal terdapat instruktur tenaga asingnya
minimal memiliki kualifikasi sebagai tenaga ahli
di bidangnya.
11. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh direksi/pimpinan
perusahaan dengan dilengkapi dokumen
penerima kuasa
8. Izin Usaha
Lembaga
Pelatihan Kerja
(LPK)Perubahan
/ Penambahan
1. Yang terkait dengan susunan direksi/komisaris.
Bagi LPK yang melakukan perubahan terkait
dengan susunan direksi/komisaris, LPK wajib
melaporkan perubahan dimaksud secara tertulis
kepada Menteri melalui Kepala BKPM dengan
- 15 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
Program
Pelatihan
melampirkan dokumen perubahan berupa akte
pendirian perusahaan dan akte perubahan yang
telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM.
2. Perubahan Program Pelatihan
a. Bagi LPK yang akan melakukan perubahan
terkait dengn program pelatihan baik berupa
penambahan atau pengurangan program
pelatihan kerja, harus mengajukan surat
permohonan secara tertulis kepada Menteri
melalui kepala BKPM dengan melampirkan
syarat sebagai berikut:
1) Rekaman Izin Usaha Lembaga Pelatihan
Kerja yang masih berlaku;
2) daftar usulan penambahan atau
pengurangan program pelatihan;
3) daftar instruktur dan tenaga pelatihan
sesuai perubahan program;
4) Rekaman tanda bukti kepemilikan atau
penguasaan saran dan prasarana pelatihan
kerja sesuai perubahan program.
b. Dalam hal penerbitan izin penambahan
program pelatihan maka akan dilakukan
verifikasi dokumen dan lapangan dalam jangka
waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung
sejak pengajuan permohonan perubahan
diterima.
c. Dalam hal hasil verifikasi sesuai dengan
dokumen yang dipersyaratkan maka Kepala
BKPM menerbitkan izin perubahan program
pelatihan.
d. Izin penambahan program pelatihan hanya
diberikan kepada LPK yang tidak sedang
dihentikan sementara (suspend).
e. Jangka waktu berlakunya izin penambahan
program pelatihan kerja tidak boleh melebihi
jangka waktu berlakunya izin LPK.
- 16 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
3. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh direksi/pimpinan
perusahaan dengan dilengkapi dokumen
penerima kuasa
9. Izin Usaha Jasa
Penempatan
Tenaga Kerja Di
Dalam Negeri
1. Rekaman perizinan berupa Izin Prinsip dari
BKPM;
2. Rekaman akta pendirian (berikut perubahannya)
yang telah mendapatkan pengesahan dari
Kementerian Hukum dan HAM
3. Rekaman domisili
4. Rekaman NPWP
5. Rekaman bukti wajib lapor ketenagakerjaan
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1981 yang masih berlaku
6. Rekaman anggaran dasar yang memuat kegiatan
di bidang jasa penempatan tenaga kerja
7. Rekaman bukti kepemilikan sarana dan
prasarana kantor serta peralatan kantor atau
bukti surat perjanjian sewa menyewa
kantor/kerjasama dalam waktu 5 (lima) tahun
8. Bagan struktur organisasi dan personil
9. Rencana kerja lembaga penempatan tenaga kerja
minimal 1 (satu) tahun
10. Pas foto pimpinan perusahaan berukuran 4x6
sebanyak 3 lembar
11. Bukti surat pemberitahuan rencana pendirian
LPTKS dari instansi yang bertangung jawab
dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
sesuai dengan domisili perusahan
12. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh direksi/pimpinan
perusahaan dengan dilengkapi dokumen
penerima kuasa.
- 17 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
10. Izin Usaha Jasa
Penempatan
Tenaga Kerja
Perpanjangan
1. Rekaman surat Izin Usaha Jasa Penempatan
Tenaga Kerja yang masih berlaku;
2. Bukti penyampaian laporan kepada direktur
jenderal pembinaan penempatan tenaga kerja
atau kepala instansi yang bertanggungjawab di
bidang ketenagakerjaan provinsi atau kepala
instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota dalam bentuk
rekapitulasi penempatan;
3. Rekaman NPWP;
4. Rencana penempatan tenaga kerja yang akan
datang sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
5. Rekaman bukti kepemilikan sarana dan
prasarana kantor serta peralatan kantor atau
bukti surat perjanjian sewa menyewa
kantor/kerjasama dalam waktu 5 (lima) tahun;
6. Pas foto pimpinan perusahaan berukuran 4x6
sebanyak 3 lembar;
7. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh direksi/pimpinan
perusahaan dengan dilengkapi dokumen
penerima kuasa.
11. Izin Usaha Jasa
Penempatan
Tenaga Kerja
Perubahan
1. Rekaman Izin Usaha Jasa Penempatan Tenaga
Kerja yang masih berlaku;
2. Surat permohonan perubahan dari pimpinan
perusahaan;
3. Rekaman pengesahan perubahan akta notaris;
4. Rekaman KTP pimpinan perusahaan yang baru
5. Rekaman NPWP;
6. Alamat lengkap dan nomor telp/fax yang baru;
7. Pas foto pimpinan perusahaan berukuran 4x6
sebanyak 3 lembar;
- 18 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
8. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh direksi/pimpinan
perusahaan dengan dilengkapi dokumen
penerima kuasa.
12. Izin Usaha
Penyediaan
Jasa
Pekerja/Buruh
Baru
1. Rekaman perizinan berupa Izin Prinsip dari
BKPM;
2. Rekaman akta pendirian dan anggaran dasar
perusahaan serta perubahannya dan surat
keputusan pengesahan serta surat keputusan
persetujuan dan/atau pemberitahuan yang
dikeluarkan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak
asasi manusia;
3. Rekaman surat keterangan domisili yang masih
berlaku sekurang-kurangnya 3 bulan sebelum
jatuh tempo, yang dikeluarkan oleh Lurah/Kepala
Desa setempat atau surat izin tempat usaha
(SITU);
4. Rekaman surat keterangan sewa gedung yang
dikeluarkan oleh Pengelola Gedung, apabila
penggunaan gedung oleh perusahaan PMA
didasarkan pada perjanjian sewa/kontrak;
5. Rekaman NPWP dan surat keterangan terdaftar
(SKT) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal
Pajak, Kementerian Keuangan;
6. Rekaman TDP yang masih berlaku, yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah provinsi atau
kabupaten/kota yang berwenang;
7. Rekaman surat keterangan dari instansi yang
berwenang mengenai kegiatan usaha jasa
penunjang yang akan dilakukan (misalnya surat
keterangan dari kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang energi dan sumber daya mineral, untuk
- 19 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
jasa penunjang di pertambangan atau
perminyakan);
8. Asli profil perusahaan yang ditandatangani oleh
direktur utama;
9. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh direksi/pimpinan
perusahaan dengan dilengkapi dokumen
penerima kuasa
13. Izin Usaha
Penyediaan
Jasa
Pekerja/Buruh
Perpanjangan
1. Rekaman Izin Usaha Penyediaan Jasa
Pekerja/Buruh yang masih berlaku;
2. Rekaman akta perubahan nama dan kedudukan
perusahaan, maksud dan tujuan serta kegiatan
usaha, permodalan, susunan direksi dan
komisaris (bila ada) dan surat keputusan
persetujuan dan/atau pemberitahuan yang
dikeluarkan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak
asasi manusia (bila ada);
3. Rekaman surat keterangan domisili yang masih
berlaku sekurang-kurangnya 3 bulan sebelum
jatuh tempo, yang dikeluarkan oleh Lurah/Kepala
Desa setempat atau surat izin tempat usaha
(SITU);
4. Rekaman surat keterangan sewa gedung yang
dikeluarkan oleh Pengelola Gedung, apabila
penggunaan gedung oleh perusahaan PMA
didasarkan pada perjanjian sewa/kontrak;
5. Rekaman TDP yang masih berlaku, yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah provinsi atau
kabupaten/kota yang berwenang;
6. Rekaman surat keterangan dari instansi yang
berwenang mengenai kegiatan usaha jasa
penunjang yang akan dilakukan (misalnya surat
keterangan dari kementerian yang
- 20 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang energi dan sumber daya mineral, untuk
jasa penunjang di pertambangan atau
perminyakan);
7. Fotocopy bukti wajib lapor ketenagakerjaan;
8. Asli profil perusahaan yang ditandatangani oleh
direktur utama;
9. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh direksi/pimpinan
perusahaan dengan dilengkapi dokumen
penerima kuasa
14. KPPA 1. Rekaman anggaran dasar (article of association/
incorporation), dari perusahaan asing yang akan
membuka kantor perwakilan, dalam bahasa
Inggris atau terjemahannya dalam bahasa
Indonesia dari penterjemah tersumpah;
2. Surat penunjukan (Letter of Appointment) dari
perusahaan asing yang akan membuka kantor
perwakilan kepada pihak yang ditunjuk sebagai
Chief ofRepresentative Office;
3. Bukti diri Chief of Representative Office:
a. jika perorangan WNA, melampirkan rekaman
paspor yang masih berlaku yang
mencantumkan dengan jelas nama,
tandatangan pemilik paspor;
b. jika perorangan WNI, melampirkan rekaman
KTP yang masih berlaku;
4. Surat pernyataan (Letter of Statement) dari Chief
of Representative Office yang menyatakan
kesediaan untuk tinggal dan hanya bekerja
sebagai Chief of Representative Office, tanpa
melakukan kegiatan bisnis lainnya di Indonesia;
5. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
- 21 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
secara langsung oleh Chief of Representative Office
dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa
15. KPPA
PERUBAHAN
1. Rekaman Izin KPPA;
2. Rekaman Laporan KPPA;
3. Dalam hal terjadi perubahan:
a. keterangan tentang perubahan nama
perusahaan (principal) yang diwakili, agar
melampirkan rekaman anggaran dasar (article
of association/incorporation) atau certificate
change of name dalam Bahasa Inggris atau
terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dari
penterjemah tersumpah atau di legalisasi oleh
perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
b. untuk permohonan perubahan alamat Kantor
Pusat/Principal di luar negeri ditambah
persyaratan berupa bukti registrasi kedudukan
perusahaan dari instansi terkait di luar negeri;
c. tempat kedudukan kantor perwakilan, agar
melampirkan domisili terbaru
d. keterangan tentang Chief of Representative
Office, agar melampirkan:
1) surat penunjukan (Letter of Appointment) dari
perusahaan asing yang akan membuka
kantor perwakilan kepada pihak yang
ditunjuk sebagai Chief of Representative
Office;
2) bukti diri Chief of Representative Office:
perorangan asing, melampirkan rekaman
paspor yang masih berlaku yang
mencantumkan nama dan tandatangan
pemilik paspor dengan jelas;
perorangan Indonesia, melampirkan
rekaman KTP yang masih berlaku dan
rekaman NPWP;
3) surat pernyataan (Letter of Statement) dari
- 22 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
Chief of Representative Office yang
menyatakan kesediaan untuk tinggal dan
hanya bekerja sebagai Chief ofRepresentative
Office, tanpa melakukan kegiatan bisnis
lainnya di Indonesia;
4. Penggunaan tenaga kerja agar melampirkan surat
pernyataan jumlah tenaga kerja yang digunakan
disertai rekaman identitas dan surat keterangan
kerja;
5. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh Chief of Representative Office
dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa.
16. SIUP3A
Sementara
1. Letter of Appointment yang dibuat oleh direksi dari
principal company, menunjuk orang yang akan
menjadi kepala perwakilan dan mencantumkan
dengan jelas masa berlakunya serta dilegalisasi
oleh Notaris Publik dan Atase
Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal ;
2. Letter of Intent berisi tentang kegiatan kantor
perwakilan di Indonesia dan tidak boleh
melakukan kegiatan perdagangan serta transaksi
penjualan yang dilegalisasi oleh Notaris Publik
dan Atase Perdagangan/Perwakilan RI di negara
asal;
3. Letter of Statement yang dibuat oleh kepala
perwakilan yang ditunjuk yang isinya
menyatakan bahwa tinggal di Indonesia dan
hanya bekerja di kantor perwakilan tanpa bekerja
di tempat lain serta dilegalisasi oleh Notaris
Publik dan Atase Perdagangan/Perwakilan RI di
negara asal;
4. Letter of Reference dari Atase
Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal;
5. Rencana kerja perwakilan
6. Kepala kantor perwakilan melampirkan:
- 23 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
a. curiculum vitae/riwayat hidup dan ijazah;
b. perorangan asing, rekaman paspor yang masih
berlaku yang mencantumkan nama dan
tandatangan pemilik paspor dengan jelas; atau
c. perorangan Indonesia, rekaman KTP yang
masih berlaku dan NPWP;
7. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh Chief of Representative
Office dengan dilengkapi dokumen penerima
kuasa
17. SIUP3A Tetap 1. Letter of Appointment yang dibuat oleh direksi dari
principal company, menunjuk orang yang akan
menjadi kepala perwakilan dan mencantumkan
dengan jelas masa berlakunya serta dilegalisasi
oleh Notaris Publik dan Atase
Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal ;
2. Letter of Intent berisi tentang kegiatan kantor
perwakilan di Indonesia dan tidak boleh
melakukan kegiatan perdagangan serta transaksi
penjualan yang dilegalisasi oleh Notaris Publik
dan Atase Perdagangan/Perwakilan RI di negara
asal;
3. Letter of Statement yang dibuat oleh kepala
perwakilan yang ditunjuk yang isinya
menyatakan bahwa tinggal di Indonesia dan
hanya bekerja di kantor perwakilan tanpa bekerja
ditempat lain serta dilegalisasi oleh Notaris Publik
dan Atase Perdagangan/Perwakilan RI di negara
asal;
4. Letter of Reference dari Atase
Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal;
5. Kepala kantor perwakilan melampirkan:
a. curiculum vitae/riwayat hidup dan ijazah;
b. perorangan asing, rekaman paspor yang masih
- 24 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
berlaku yang mencantumkan nama dan
tandatangan pemilik paspor dengan jelas dan
rekaman IMTA; atau
c. perorangan Indonesia, rekaman KTP yang
masih berlaku dan NPWP;
6. Surat Domisili dari Kelurahan setempat/Surat
keterangan ruang kantor dari pengelola gedung;
7. Rekaman SIUP3A Sementara;
8. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh Chief of Representative Office
dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa.
18. SIUP3A
Perpanjangan
1. Letter of Appointment yang dibuat oleh direksi dari
principal company, menunjuk orang yang akan
menjadi kepala perwakilan dan mencantumkan
dengan jelas masa berlakunya serta dilegalisasi
oleh Notaris Publik dan Atase
Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal ;
2. Letter of Intent berisi tentang kegiatan kantor
perwakilan di Indonesia dan tidak boleh
melakukan kegiatan perdagangan serta transaksi
penjualan yang dilegalisasi oleh Notaris Publik
dan Atase Perdagangan/Perwakilan RI di negara
asal;
3. Letter of Statement yang dibuat oleh kepala
perwakilan yang ditunjuk yang isinya
menyatakan bahwa tinggal di Indonesia dan
hanya bekerja di kantor perwakilan tanpa bekerja
ditempat lain serta dilegalisasi oleh Notaris Publik
dan Atase Perdagangan/Perwakilan RI di negara
asal;
4. Letter of Reference dari Atase
Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal;
5. kepala kantor perwakilan melampirkan:
a. curiculum vitae/riwayat hidup dan ijazah;
- 25 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
b. perorangan asing, rekaman paspor yang masih
berlaku yang mencantumkan nama dan
tandatangan pemilik paspor dengan jelas dan
rekaman IMTA; atau
c. perorangan Indonesia, rekaman KTP yang
masih berlaku dan NPWP;
6. Surat Domisili dari Kelurahan setempat/Surat
keterangan ruang kantor dari pengelola gedung;
7. Rekaman TDP;
8. Rekaman SIUP3A Tetap;
9. Laporan kegiatan kantor perwakilan;
10. Penggunaan tenaga kerja (perbandingan tenaga
kerja asing dan tenaga kerja pendamping
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan) agar melampirkan surat
pernyataan jumlah tenaga kerja yang digunakan
disertai rekaman identitas dan slip gaji;
11. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh Chief of Representative Office
dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa
19. SIUP3A
PERUBAHAN
1. Rekaman SIUP3A;
2. Laporan kegiatan kantor perwakilan;
3. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh Kepala KP3A;
4. Untuk permohonan perubahan nama perusahaan
asing (principal) ditambah persyaratan rekaman
anggaran dasar (article of association/
incorporation) atau certificate change of name
dalam Bahasa Inggris atau terjemahannya dalam
Bahasa Indonesia dari penterjemah tersumpah
atau di legalisasi oleh perwakilan Republik
Indonesia di luar negeri;
5. Untuk permohonan perubahan alamat Kantor
- 26 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
Pusat/Principal di luar negeri ditambah
persyaratan berupa Letter of Reference dari Atase
Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal;
6. Untuk permohonan perubahan tempat
kedudukan kantor perwakilan KP3A di Indonesia
ditambah persyaratan:
a. Surat Domisili alamat baru dari Kelurahan
setempat atau surat keterangan ruang kantor
dari pengelola gedung;
b. rekaman TDP atas alamat lama;
7. Untuk permohonan perubahan Kepala/pimpinan
Kantor Perwakilan KP3A ditambah persyaratan:
a. Letter of Appointment Kepala KP3A yang baru
yang dilegalisasi oleh Notaris Publik dan Atase
Perdagangan/Perwakilan RI di negara asal;
b. Letter of Statement yang ditandatangani oleh
Kepala /pimpinan kantor perwakilan di
Indonesia yang dilegalisasi oleh Notaris Publik
dan Atase Perdagangan/Perwakilan RI di
negara asal
c. curriculum vitae/riwayat hidup dan ijazah;
d. perorangan asing, rekaman paspor yang masih
berlaku yang mencantumkan nama dan
tandatangan pemilik paspor dengan jelas; atau
e. perorangan Indonesia, rekaman KTP yang
masih berlaku dan NPWP;
f. pasfoto berwarna 2 (dua) lembar ukuran 4 x 6;
g. Penggunaan tenaga kerja (perbandingan tenaga
kerja asing dan tenaga kerja pendamping
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan) agar melampirkan surat
pernyataan jumlah tenaga kerja yang
digunakan disertai rekaman identitas dan slip
gaji;
8. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
- 27 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
secara langsung oleh Chief of Representative Office
dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa.
20. Izin Baru
BUJKA
1. Surat permohonan;
2. Rekaman akta pendirian BUJKA induk di negara
asal yang telah dilegalisir oleh notaris publik atau
lembaga yang berwenang di negara asal;
3. Data umum BUJKA;
4. Surat rekomendasi dari kedutaan besar negara
asal di Indonesia yang menyatakan bahwa BUJKA
yang bersangkutan merupakan badan usaha yang
teregistrasi dengan sah dan memiliki reputasi
baik;
5. Rekaman Izin Usaha Jasa Konstruksi BUJKA
induk yang masih berlaku yang telah dilegalisir
oleh instansi penerbit;
6. Rekaman Sertifikat Penyetaraan yang telah
dilegalisir oleh Lembaga Tingkat Nasional;
7. Surat penunjukan Kepala Perwakilan BUJKA oleh
BUJKA induk (Letter of Appointment);
8. Rekaman laporan keuangan BUJKA induk yang
terbaru dan telah diaudit oleh akuntan publik;
9. Rekaman paspor atau kartu tanda penduduk
calon Kepala Perwakilan;
10. Daftar riwayat hidup calon Kepala Perwakilan
BUJKA;
11. Rekaman surat keterangan domisili kantor
perwakilan BUJKA di Indonesia yang diterbitkan
oleh Kelurahan setempat;
12. Surat pernyataan kebenaran dan keaslian
dokumen; dan
13. Surat pernyataan bahwa direksi atau komisaris
BUJKA induk tidak sedang menjabat sebagai
direksi atau komisaris pada BUJKA lain.
14. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
- 28 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
secara langsung oleh Chief of Representative Office
dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa.
21. perpanjangan
Izin Perwakilan
BUJKA
1. Surat permohonan;
2. Data umum BUJKA;
3. Izin perwakilan asli yang akan/sudah habis masa
berlakunya;
4. Sertifikat penyetaraan yang telah dilegalisir
Lembaga Tingkat Nasional;
5. Surat rekomendasi yang telah diperbarui dari
kedutaan besar negara asal di Indonesia yang
menyatakan bahwa BUJKA yang bersangkutan
merupakan badan usaha yang teregistrasi dengan
sah dan memiliki reputasi baik;
6. Rekaman Izin Usaha Jasa Konstruksi BUJKA
induk yang masih berlaku;
7. Laporan kegiatan tahunan dan tanda terima
penyerahan.
8. Rekaman NPWP Perwakilan BUJKA yang
bersangkutan;
9. Rekaman paspor atau kartu tanda pengenal
Kepala Perwakilan;
10. Rekaman surat keterangan domisili kantor
perwakilan BUJKA di Indonesia yang diterbitkan
oleh kelurahan setempat;
11. Rekaman bukti pembayaran jaminan sosial
ketenagakerjaan untuk setiap proyek konstruksi
yang dilaksanakan dan telah dilegalisir oleh
instansi terkait jaminan sosial ketenagakerjaan;
dan
12. Surat pernyataan kebenaran dan keaslian
dokumen.
13. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh Chief of Representative Office
- 29 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa.
22. Penutupan izin
BUJKA
1. Surat permohonan;
2. Izin Perwakilan asli; dan
3. Surat pajak nihil.
4. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh Chief of Representative Office
dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa.
23. Pergantian data
izin BUJKA
1. Persyaratan permohonan pergantian data badan
usaha meliputi:
a. surat permohonan;
b. izin Perwakilan asli yang masih berlaku;
c. rekaman akta penggantian nama perusahaan
yang telah dilegalisir oleh notaris publik di
negara asal;
d. surat rekomendasi dari kedutaan besar negara
asal di Indonesia yang menyatakan bahwa
BUJKA yang bersangkutan telah berganti
namanya;
e. rekaman surat keterangan domisili kantor
perwakilan BUJKA di Indonesia yang
diterbitkan oleh kelurahan setempat; dan
f. surat pernyataan kebenaran dan keaslian
dokumen.
2. Persyaratan permohonan pergantian data alamat
meliputi:
a. surat permohonan;
b. izin Perwakilan asli yang masih berlaku;
c. rekaman Akta Penggantian alamat perusahaan
yang telah dilegalisir;
d. surat rekomendasi dari kedutaan besar Negara
asal di Indonesia yang menyatakan bahwa
- 30 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
BUJKA yang bersangkutan telah berganti
alamatnya;
e. rekaman surat keterangan domisili kantor
perwakilan BUJKA di Indonesia yang
diterbitkan oleh kelurahan setempat; dan
f. surat pernyataan kebenaran dan keaslian
dokumen.
3. Persyaratan permohonan perubahan jenis usaha
meliputi:
a. surat permohonan;
b. izin Perwakilan asli yang masihberlaku;
c. rekaman Sertifikat Penyetaraan yang telah
dilegalisir Lembaga Tingkat Nasional; dan
d. surat pernyataan kebenaran dan keaslian
dokumen.
4. Persyaratan permohonan pergantian data Kepala
Perwakilan BUJKA meliputi:
a. surat permohonan;
b. izin Perwakilan asli yang masih berlaku;
c. surat penunjukan Kepala Perwakilan BUJKA
baru oleh BUJKA induk (Letter of
Appointment);
d. daftar riwayat hidup Kepala Perwakilan BUJKA
baru;
e. Exit Permit Only (EPO) Kepala Perwakilan
BUJKA lama;
f. rekaman paspor atau kartu tanda penduduk
Kepala Perwakilan yang baru;
g. surat pernyataan kebenaran dan keaslian
dokumen; dan
h. surat pernyataan bahwa direksi atau komisaris
BUJKA induk tidak sedang menjabat sebagai
direksi atau komisaris pada BUJKA lain.
- 31 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
5. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh Chief of Representative Office
dengan dilengkapi dokumen penerima kuasa.
24. Angka Pengenal
Importir
Produsen
(API-P)
1. Rekaman akta pendirian dan perubahannya yang
terkait dengan susunan direksi terakhir serta
pengesahan/persetujuan/permberitahuan dari
Kementerian Hukum dan HAM;
2. Rekaman surat keterangan domisili kantor pusat
perusahaan dari kantor kelurahan
setempat/pengelola gedung/ pengelola kawasan;
3. Rekaman NPWP dan Rekaman Tanda Daftar
Perusahaan (TDP);
4. Rekaman Izin Prinsip Penanaman Modal/Surat
Persetujuan/Izin Usaha yang dimiliki dan masih
berlaku;
5. Rekaman Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
(IMTA), Kartu Izin Tinggal (KITAS), paspor dan
NPWP bagi penandatangan dokumen impor warga
negara asing (WNA);
6. Rekaman Kartu Tanda Penduduk dan NPWP bagi
Warga Negara Indonesia (WNI);
7. Pasfoto terakhir dengan latar belakang warna
merah masing-masing Pengurus atau Direksi
Perusahaan yang menandatangani API 2 (dua)
lembar ukuran 3 x 4;
8. Penandatangan API-P maksimal 4 (empat) orang
yang terdiri dari minimal 1 (satu) orang direksi
dan lainnya kuasa direksi dengan melampirkan
Surat Kuasa untuk penandatangan dokumen
impor (kartu API-P);
9. Permohonan ditandatangani oleh pimpinan
perusahaan bermeterai cukup dan cap
- 32 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
perusahaan sesuai dengan Lampiran XVII untuk
pengajuan permohonan secara manual;
10. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh direksi/pimpinan
perusahaan dengan dilengkapi dokumen
penerima kuasa; atau
11. Persyaratan lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Untuk permohonan perubahan API-P ditambah
persyaratan :
12. Asli API-P lama.
25. Angka Pengenal
Importir Umum
(API-U)
1. Rekaman akta pendirian dan perubahannya yang
terkait dengan susunan direksi terakhir serta
pengesahan/persetujuan/permberitahuan dari
Kementerian Hukum dan HAM;
2. Rekaman surat keterangan domisili kantor pusat
perusahaan dari kantor kelurahan
setempat/pengelola gedung/ pengelola kawasan;
3. Rekaman NPWP dan Rekaman Tanda Daftar
Perusahaan (TDP);
4. Rekaman Pendaftaran/ Surat Persetujuan yang
dimiliki;
5. Rekaman Izin Usaha dibidang perdagangan impor
yang dimiliki;
6. Referensi asli dari bank devisa;
7. Rekaman Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
(IMTA), Kartu Izin Tinggal (KITAS), paspor dan
NPWP bagi penandatangan dokumen impor warga
negara asing (WNA);
8. Rekaman Kartu Tanda Penduduk dan NPWP bagi
Warga Negara Indonesia (WNI);
9. Pasfoto terakhir dengan latar belakang warna
merah masing-masing Pengurus atau Direksi
- 33 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
Perusahaan yang menandatangani API 2 (dua)
lembar ukuran 3 x 4;
10. Untuk yang mengimpor lebih dari 1 (satu) bagian,
melampirkan:
a. surat pernyataan bermeterai cukup yang
mencantumkan jenis hubungan istimewa dan
negara asal dengan perusahaan yang berada di
luar negeri, bagian (section);
b. bukti hubungan istimewa (persetujuan
kontraktural yang menyatakan jangka waktu
persetujuan, kepemilikan saham, anggaran
dasar, perjanjian keagenan/distributor,
perjanjian pinjaman atau perjanjian
penyediaan barang) yang ditandasahkan oleh
Atase Perdagangan/Pejabat Diplomatik/
konsuler/perwakilan RI di luar negeri;
dan/atau
c. surat keterangan dari Atase
Perdagangan/Pejabat Diplomatik/ konsuler/
perwakilan RI di luar negeri.
11. Penandatangan API-U maksimal 4 (empat) orang
yang terdiri dari minimal 1 (satu) orang direksi
dan lainnya kuasa direksi dengan melampirkan
surat Kuasa untuk penandatangan dokumen
impor (kartu API-U);
12. Permohonan ditandatangani oleh pimpinan
perusahaan bermeterai cukup dan cap
perusahaan sesuai dengan Lampiran XVII untuk
pengajuan permohonan secara manual;
13. Surat kuasa asli bermeterai cukup dan stempel
perusahaan, bila pengurusan tidak dilakukan
secara langsung oleh direksi/pimpinan
perusahaan dengan dilengkapi dokumen
penerima kuasa; atau
14. Persyaratan lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
- 34 -
No. Jenis Perizinan Persyaratan
Untuk permohonan perubahan API-U ditambah
persyaratan :
15. Asli API-U lama.
26. Pembukaan
Kantor Cabang
1. Rekaman seluruh Izin Prinsip/Izin Prinsip
Perluasan/Izin Prinsip Perubahan/Izin
Usaha/Izin Usaha Perluasan;
2. Rekaman akta pendirian perusahaan dan
perubahannya, dilengkapi dengan pengesahan
dan persetujuan/pemberitahuan perubahan dari
Menteri Hukum dan HAM;
3. Rekaman Akta Pembukaan Kantor Cabang;
4. Rekaman Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
5. Rekaman Laporan Kegiatan Penanaman Modal
(LKPM) periode terakhir;
6. Laporan yang tidak disampaikan secara langsung
oleh pelapor harus dilampiri surat kuasa asli
bermeterai cukup dan stempel perusahaan, bila
pengurusan tidak dilakukan secara langsung oleh
direksi/pimpinan perusahaan dengan dilengkapi
dokumen penerima kuasa.
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
FRANKY SIBARANI
LAMPIRAN II
PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN
MODAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2015
TENTANG
PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN
PENANAMAN MODAL
Bentuk formulir Izin Usaha/Izin Perluasan (khusus bidang industri)/Izin Usaha
Perluasan/Izin Usaha Penggabungan Perusahaan/Izin Usaha Penjualan Langsung/
Izin Usaha Jasa Konstruksi/Tanda Daftar Usaha (khusus di bidang kepariwisataan)
FORMULIR
IZIN USAHA/IZIN PERLUASAN (KHUSUS BIDANG INDUSTRI)/IZIN USAHA
PERLUASAN/IZIN USAHA PENGGABUNGAN PERUSAHAAN/IZIN USAHA
PENJUALAN LANGSUNG/IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI/TANDA DAFTAR USAHA
(KHUSUS DI BIDANG KEPARIWISATAAN)*
I. KETERANGAN PEMOHON
1. Nama Perusahaan : ................................................
2. Nomor & Tanggal Izin Prinsip PM : ................................................
3. Bidang Usaha : ................................................
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) : ................................................
5. a. Akte Pendirian dan Perubahannya : ........................................
(Nama Notaris, Nomor dan Tanggal)
b. Pengesahan Menteri Hukum & HAM : ........................................
(Nomor dan Tanggal)
6. Alamat Kantor Pusat : .................................................
- Nomor Telepon : .................................................
- Faksimile : .................................................
- E-mail : .................................................
7. Alamat Lokasi Proyek/Pabrik : ..................................................
- Nomor Telepon : .................................................
- Faksimile : .................................................
- E-mail : .................................................
8. Penanggungjawab Perusahaan a) : .................................................
Nama : .................................................
- 2 -
Alamat Tempat Tinggal : .................................................
Nomor Telepon/Faksimile : .................................................
Nomor KTP/IMTA : ..................................................
a) Diisi untuk Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL), Izin Usaha Jasa
Konstruksi (IUJK) dan Izin Usaha di bidang industri hanya untuk
minuman beralkohol.
9. Nama Penanggung Jawab Teknikb) : ..............................................
b) Diisi untuk Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK)
10. Kemampuan Keuanganc) : ..................................................
c) Diisi untuk Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK)
II. REALISASI PROYEK
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa proyek kami telah siap
produksi/operasi komersial dengan data sebagai berikut :
1. Kapasitas Produksi dan Pemasaran Per Tahun :
Jenis Barang/Jasa Satuan Kapasitas Ekspor (%) Keterangan
…..……… ……… ……. .. …........ ………
…..……… ……… ……. .. …........ ………
Klasifikasi/Kualifikasi Bidang Usaha d):
No. Kualifikasi
Klasifikasi Kemampuan Dasar
Nomor
Kode
Subbidang/bagian
subbidang
Tahun Nilai (juta
Rp)
d) Diisi hanya untuk Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) disesuaikan
dengan Sertifikasi Badan Usaha (SBU)
Jenis barang dagangan:e)
Jenis Barang Nomor Pendaft. BPOM/Kemenkes/ Keterangan
Instansi Teknis
............................ ............................ ............................
............................ ............................ ............................
e) Diisi hanya untuk Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL)
- 3 -
2. Nilai Ekspor per tahun : US$ …….…........….…….…….
3. Saat Mulai Berproduksi/Operasi : .............................................
Bulan : ……………......…………………
Tahun : ………………......………………
4. Investasi Proyek (Menggunakan Mata Uang sesuai IP)
a. Modal Tetap : ………………......………………
- Pembelian & Pematangan Tanah : ………………......………………
- Bangunan / Gedung : ………………......………………
- Mesin & Peralatan : ………………......…………..
- Lain – Lain : ………………......……………….
Sub Jumlah : ………………......………………
b. Modal Kerja (untuk 1 turn over) : ………………......………………
c. Jumlah (a+b) : ……………..…………………
5. Penggunaan Tanah*) : …… m2/ha
*) pilih salah satu milik sendiri
menggunakan proyek terdahulu
sewa
6. Sumber Pembiayaan
a. Modal Sendiri : ………………………………
b. Laba yang Ditanam Kembali : ………………………………
c. Modal Pinjaman : ………………………………
Jumlah : ………………………………
7. Modal Perseroan :
a. Modal Dasar : ………………………………
b. Modal Ditempatkan : ………………………………
c. Modal Disetor : ………………………………
8. Tenaga Kerja : Asing (L/P) Indonesia (L/P)
a. Pimpinan Perusahaan : …………. ………….
- PT. .................... : Komisaris : …………. ………….
Direksi : …………. ………….
- Koperasi ............. : Pimpinan : …………. ………….
b. Tenaga Profesional : …………. ………….
- Manager : …………. ………….
- Tenaga Ahli : …………. ………….
c. Tenaga Kerja Langsung : …………. ………….
Jumlah : …………. ………….
- 4 -
III.PERNYATAAN
Bahwa saya, nama : ………………………., dalam kapasitas saya sebagai
Pimpinan Perusahaan PT .............................. dengan ini menyatakan :
1. Apabila dalam pelaksanaan penanaman modal ini di kemudian hari
menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan
hidup, Perusahaan bersedia memikul segala akibat yang ditimbulkan
termasuk penggantian kerugian kepada masyarakat.
2. Saya menyatakan bahwa permohonan ini dibuat dengan benar,
ditandatangani oleh yang berhak di atas meterai yang cukup, dan saya
menyatakan bahwa saya menjamin dan bertanggung jawab secara
hukum atas :
a. Keaslian seluruh dokumen yang disampaikan,
b. Kesesuaian seluruh rekaman/fotokopi data yang disampaikan
dengan dokumen aslinya, dan
c. Keaslian seluruh tandatangan yang tercantum dalam permohonan.
Mengetahui/Menyetujui, f)
Direktur/Pimpinan Kawasan Industri
…………………………
Nama terang, tanda tangan
Jabatan dan cap Kawasan Industri
…………………………..,………..20…..
Yang membuat pernyataan,
Direktur Utama,
Meterai Rp.6.000,-
…………………………
Nama terang, tanda tangan
Jabatan dan cap perusahaan
f) bagi perusahaan yang berlokasi di Kawasan Industri
- 5 -
Penandatanganan permohonan yang didalamnya tercantum PERNYATAAN
harus dilakukan oleh direksi/pimpinan perusahaan. Untuk kondisi yang
sangat khusus dan terbatas, penandatanganan dapat dilakukan oleh
karyawan perusahaan - satu level dibawah jabatan direksi/pimpinan
perusahaan, dilengkapi dengan:
a. Surat dari direksi/pimpinan perusahaan yang menyatakan penjelasan tentang kondisi yang tidak memungkinan bagi direksi/pimpinan perusahaan untuk menandatangani permohonan dan bahwa direksi/pimpinan perusahaan mengetahui serta menyetujui permohonan yang disampaikan;
b. Surat Perintah Tugas dari direksi/pimpinan perusahaan; c. Rekaman identitas diri direksi/pimpinan perusahaan dengan
menunjukkan aslinya; d. Bagi penerima kuasa dibuktikan dengan rekaman identitas diri dan
surat pengangkatan terakhir sebagai karyawan dengan menunjukkan aslinya.
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
FRANKY SIBARANI
LAMPIRAN III
PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN
MODAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2015
TENTANG
PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN
NONPERIZINAN PENANAMAN MODAL
Bentuk Izin Usaha Penanaman Modal Asing/Izin Usaha Penanaman Modal
Dalam Negeri
KOP SURAT BKPM/BPMPTSP PROVINSI/ KABUPATEN/KOTA/
PTSP KPBPB/PTSP KEK
NOMOR :
TENTANG
IZIN USAHA ......*
PENANAMAN MODAL ASING/
PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI
KEPALA BKPM/BPMPTSP PROVINSI/ KABUPATEN/KOTA/PTSP KPBPB/
PTSP KEK
Menimbang : a. bahwa berdasarkan penelitian terhadap permohonan
yang diterima tanggal ........…. dan Laporan Kegiatan
Penanaman Modal (LKPM) Triwulan ........…. Tahun
........…. atas pelaksanaan Pendaftaran Penanaman
Modal/Izin Prinsip Penanaman Modal/Surat
Persetujuan Penanaman Modal Nomor ........….
tanggal ........…. atas nama PT. ........…. yang
bergerak di bidang usaha ........…. dengan lokasi di
Kabupaten/Kota ........…. Provinsi ........….,
permohonan tersebut telah memenuhi syarat-syarat
sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan;
-2-
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud huruf a, perlu menerbitkan Keputusan
Kepala BKPM/BPMPTSP PROVINSI/BPMPTSP
KABUPATEN/KOTA/PTSP KPBPB/PTSP KEK tentang
Izin Usaha ........….
Mengingat : 1. Undang-Undang ............... (Kementerian teknis
terkait);
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal;
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986
tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan
Pengembangan Industri;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994
tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang
Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 83 Tahun 2001;
6. Peraturan Pemerintah ........…. (Kementerian teknis
terkait);
7. Keputusan Presiden ........…. (Kementerian teknis
terkait);
8. Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang
Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 86
Tahun 2012;
9. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang
Pelayanan Terpadu Satu Pintu;
10. Peraturan Menteri ........….
(Pelimpahan/Pendelegasian dari Kementerian teknis
terkait);
11. Peraturan Menteri ........…. (Kementerian teknis
terkait);
12. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal Nomor ... Tahun ... tentang Pedoman dan Tata
-3-
Cara Pengajuan Permohonan Perizinan dan
Nonperizinan Penanaman Modal.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERTAMA : Memberikan Izin Usaha … kepada perusahaan
penanaman modal asing/dalam negeri:
1. Nama Perusahaan : .................................
2. a. Akta pendirian dan : Nomor... tanggal …
oleh Notaris….. perubahannya
b. Pengesahan/Persetujuan/ : Nomor ... tanggal ......
Pemberitahuan Menteri Hukum dan HAM
3. Bidang Usaha : ................................
4. Nomor perusahaan : ................................
5. NPWP : .................................
6. Penanggung jawab : .................................
Perusahaan **
Catatan:
**) khusus untuk izin usaha di bidang industri hanya
untuk minuman beralkohol
7. Alamat
a. Kantor Pusat : .................................
Telepon/Faksimile : .................................
b. Lokasi Proyek*** : .................................
................................
Telepon/Faksimile : ................................
Catatan:
***) Lokasi proyek berada di luar kawasan industri
sesuai ..........tentang .... (khusus bagi bidang usaha
industri)
Atau
Lokasi telah dimiliki perusahaan sejak tahun....
sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2009 tentang Kawasan Industri diberlakukan.
-4-
8. a. Jenis dan kapasitas produksi terpasang/jenis jasa
per tahun:
Jenis Barang/Jasa KBLI Satuan Kapasitas
Keterangan****
…..……… …… ……... ........ …........
…..……… …… ……... ........ …........
b. Pemasaran (bila ada ekspor)
- ................. : ...... % ( .....................) ekspor
Keterangan:
****) - Setara ..... ton (untuk satuan produksi bukan
ton, sedangkan untuk jasa dalam Rp. atau
US$.)
- Jenis produksi tidak termasuk yang wajib
ekspor
- Perusahaan dapat melaksanakan diversifikasi
produk dalam lingkup industri ……..
- Tidak diperkenankan melakukan kegiatan
perdagangan ……...
- Melaksanakan kemitraan (bagi bidang usaha
yang
diwajibkan bermitra)
9 . Investasi (Rp. atau US$)
a. Modal Tetap
- Pembelian dan pematangan : ….......................
tanah
- Bangunan dan gedung : …........................
- Mesin dan peralatan : …........................
Lain-lain : …........................
Sub. Jumlah : …........................
b. Modal Kerja (untuk 1 : …........................
turn over/3 bulan)
c. Jumlah : ….......................
Keterangan
10. Tenaga Kerja Indonesia : ......Orang(..L/.P)
11. Penggunaan Tanah : ...... m2/ha*****)
-5-
*****): sesuai dengan HGB Nomor.... tanggal.....atas
nama PT.... untuk lahan seluas ... M2 dari Kepala .....
(instansi pertanahan daerah)
KEDUA : Mewajibkan perusahaan sebagaimana tersebut pada
diktum PERTAMA untuk mentaati ketentuan sebagai
berikut :
1. Mengajukan izin perluasan :
a. di bidang usaha industri melakukan
peningkatan kapasitas produksi untuk jenis
produksi dalam 5 (lima) digit KBLI yang sama
dan kapasitas lebih besar dari 30 persen dari
kapasitas izin dilakukan di lokasi yang sama
dengan kegiatan produksi sebelumnya;
b. di bidang usaha selain industri melakukan
penambahan investasi dan peningkatan
kapasitas produksi untuk KBLI 4 (empat) digit
yang sama yang dilaksanakan di lokasi yang
sama atau berbeda dengan pelaksanaan
kegiatan penanaman modal yang tercantum
dalam izin usaha sebelumnya
2. Melaksanakan semua ketentuan yang tercantum
dalam dokumen AMDAL/RKL-RPL atau UKL-UPL
(atau melaksanakan kegiatan pengelolaan
pemantauan lingkungan hidup sesuai dengan
ketentuan yang berlaku).
3. Memenuhi ketentuan nilai investasi Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau
setaranya dalam US Dollar di luar nilai investasi
untuk tanah dan bangunan (khusus untuk
pengajuan izin usaha perdagangan dan/atau jasa
sektor tertentu)
4. Menyampaikan LKPM setiap 6 (enam) bulan
(semester) dengan periode laporan sebagai
berikut:
-6-
1) Laporan Semester I disampaikan paling lambat
pada akhir bulan Juli tahun yang
bersangkutan;
2) Laporan Semester II disampaikan paling
lambat pada akhir bulan Januari tahun
berikutnya.
kepada :
a. Kepala BPMPTSP Provinsi;
b. Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota;
c. Kepala BKPM c.q. Deputi Bidang Pengendalian
Pelaksanaan Penanaman Modal;
d. Pengelola Kawasan Industri (jika lokasi di
kawasan industri).
KETIGA : Izin Usaha …... ini berlaku:
1. Sejak perusahaan berproduksi/beroperasi bulan
…. dan seterusnya selama perusahaan masih
melakukan kegiatan usaha (atau sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan);
2. Untuk melaksanakan kegiatan
pembelian/penjualan dalam negeri dan ekspor
dengan mengikuti ketentuan yang berlaku (atau
untuk melaksanakan kegiatan usaha ….. dengan
mengikuti ketentuan yang berlaku);
3. Untuk pemakaian gudang atau tempat
penyimpanan yang berada dalam komplek/tempat
usaha yang bersangkutan.
4. (Khusus untuk perusahaan yang memiliki Izin
Prinsip Penanaman Modal lebih dari satu
sektor/bidang usaha/lokasi proyek dan baru
direalisasi sebagian) Izin Usaha..... (sesuai dengan
nomenklatur) yang diterbitkan berdasarkan Izin
Prinsip Penanaman Modal Nomor...tanggal...
masih tetap berlaku sebagai dasar hukum
pelaksanaan kegiatan usaha .... .
-7-
KEEMPAT : Berdasarkan data formulir Izin Usaha, perusahaan
telah siap produksi/operasi pada bulan.... tahun .....
KELIMA : Apabila ketentuan dalam keputusan ini tidak
dipenuhi, dapat dikenakan sanksi sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.
KEENAM : Keputusan ini dapat diubah apabila di kemudian hari
terdapat kekeliruan, dan akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di :
Pada Tanggal :
a.n. MENTERI ......
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA,
atau
KEPALA KPBPB/ADMINISTRATOR KEK
………………………………………..
Tembusan disampaikan kepada Yth. :
1. Menteri ........... (kementerian teknis terkait);
2. Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (bagi Izin Usaha dalam rangka
penggabungan perusahaan atau akuisisi);
3. Direktur Jenderal Teknis yang bersangkutan;
4. Direktur Jenderal Pajak;
5. Direktur Jenderal Bea dan Cukai;
6. Gubernur yang bersangkutan;
7. Kepala Kantor Perwakilan Republik Indonesia di negara asal Penanam
Modal Asing;
8. Kepala BKPM (bagi izin usaha yang diterbitkan BPMPTSP PROVINSI/
BPMPTSP KABUPATEN/KOTA atau PTSP KPBPB atau PTSP KEK);
9. Kepala BPMPTSP PROVINSI (bagi izin usaha yang diterbitkan PTSP Pusat di
BKPM atau BPMPTSP KABUPATEN/KOTA);
-8-
10. Kepala BPMPTSP KABUPATEN/KOTA (bagi izin usaha yang diterbitkan
PTSP Pusat di BKPM atau BPMPTSP PROVINSI);
11. Pejabat Promosi Investasi Indonesia di negara asal Penanam Modal Asing.
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
FRANKY SIBARANI
LAMPIRAN IV
PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN
MODAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2015
TENTANG
PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN
PENANAMAN MODAL
Bentuk Surat Penolakan
KOP SURAT INSTANSI
(sesuai kewenangan)
Nomor
Sifat
Lampiran
Perihal
:
:
:
:
Penolakan Pemberian Izin…..... *
(sesuai dengan nomenklatur)
Jakarta,
Kepada Yth.
........................................
........................................
........................................
Sehubungan dengan permohonan Saudara yang diterima PTSP
PUSAT DI BKPM/BPMPTSP PROVINSI/BPMPTSP KABUPATEN/
KOTA/PTSP KPBPB/PTSP KEK tanggal ...................... perihal
permohonan ………..* (sesuai dengan nomenklatur), dan
memperhatikan:
a. ......;
b. ......;
c. dst.
dengan ini kami menolak untuk memberikan izin ..........* (sesuai
dengan nomenklatur), dengan alasan sebagai berikut:
1. ......................
2. .......................
3. dst.
-2-
……., …………
a.n. MENTERI ......
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA,
atau
GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA
...............................................
Tembusan :
1. Menteri ........…. (kementerian teknis terkait);
2. Direktur Jenderal Teknis yang bersangkutan;
3. Direktur Jenderal Pajak;
4. Gubernur yang bersangkutan;
5. Kepala BPMPTSP Provinsi;
6. Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota.
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
FRANKY SIBARANI
LAMPIRAN V
PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN
MODAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2015
TENTANG
PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN
PENANAMAN MODAL
Bentuk Izin Perluasan (Khusus di bidang industri)/ Izin Usaha Perluasan
KOP SURAT INSTANSI
(Sesuai Kewenangannya)
NOMOR :
TENTANG
IZIN PERLUASAN (Khusus di Bidang Industri)/IZIN USAHA PERLUASAN
PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI/ PENANAMAN MODAL ASING*
*coret yang tidak perlu
KEPALA BKPM atau BPMPTSP PROVINSI atau BPMPTSP KABUPATEN/KOTA
Menimbang : a. bahwa berdasarkan penelitian terhadap permohonan
yang diterima tanggal .......…. dan Laporan Kegiatan
Penanaman Modal (LKPM) Triwulan.......…. Tahun
.......…. atas pelaksanaan Pendaftaran Perluasan
Penanaman Modal/Izin Prinsip Perluasan
Penanaman Modal/Surat Persetujuan Perluasan
Penanaman Modal No. .......…. tanggal .......…. atas
nama PT. .......…. yang bergerak di bidang usaha
.......…. dengan lokasi di Kabupaten/ Kota .......….
Provinsi .......…., permohonan tersebut telah
memenuhi syarat-syarat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud huruf a, perlu menerbitkan Keputusan
-2-
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal tentang
Izin Perluasan/Izin Usaha Perluasan;
Mengingat : 1. Undang-Undang .......…. (Kementerian teknis terkait);
1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986
tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan
Pengembangan Industri;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang
Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan
Dalam Rangka Penanaman Modal Asing sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83
Tahun 2001;
5. Peraturan Pemerintah .......…. (Kementerian teknis
terkait);
6. Keputusan Presiden .......…. (Kementerian teknis
terkait);
7. Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang
Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 86
Tahun 2012;
8. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang
Pelayanan Terpadu Satu Pintu;
9. Peraturan Menteri .......….
(Pelimpahan/pendelegasian dari Kementerian teknis
terkait);
10. Peraturan Menteri .......…. (Kementerian teknis
terkait);
11. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal Nomor .... Tahun ... tentang Pedoman dan Tata
Cara Pengajuan Permohonan Perizinan dan
Nonperizinan Penanaman Modal.
-3-
Memperhatikan : 1. Izin Usaha ...........................;
2. Izin Usaha ...........................;
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
PERTAMA : Memberikan Izin Perluasan/ Izin Usaha Perluasan kepada
perusahaan penanaman modal asing atau penanaman
modal dalam negeri:
1. Nama Perusahaan : .................................
2. a. Akta pendirian dan : Nomor... tanggal …
oleh Notaris….. perubahannya
b. Pengesahan/Persetujuan/ : Nomor ... tanggal ......
Pemberitahuan Menteri Hukum dan HAM
3. Bidang Usaha : ................................
4. Nomor perusahaan : ................................
5. NPWP : .................................
6. Penanggung jawab : …..........................
Perusahaan **
Catatan:
**) khusus untuk izin usaha dibidang industri hanya
untuk minuman beralkohol)
7. Alamat
a. Kantor Pusat : .................................
Telepon/Faksimile : ...............................
b. Lokasi Proyek*** : .................................
................................
Telepon/Faksimile : ................................
Catatan:
***) Lokasi proyek berada di luar kawasan industri
sesuai ..........tentang .... (khusus bagi bidang usaha
industri)
Atau
-4-
Lokasi telah dimiliki perusahaan sejak tahun ....
sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009
tentang Kawasan Industri diberlakukan
8. a. Jenis dan kapasitas produksi terpasang/jenis jasa
per tahun:
Jenis Barang/Jasa KBLI Satuan Kapasitas
Keterangan****
…..……… …… ……... ........ …........
…..……… …… ……... ........ …........
b. Pemasaran (bila ada ekspor)
- ................. : ...... % ( .....................) ekspor
Keterangan:
****) - Setara ..... ton (untuk satuan produksi bukan
ton, sedangkan untuk jasa dalam Rp. atau US$.)
- Jenis produksi tidak termasuk yang wajib
ekspor
- Perusahaan dapat melaksanakan diversifikasi
produk dalam lingkup industri ……
- Tidak diperkenankan melakukan kegiatan
perdagangan ....
- Melaksanakan kemitraan (bagi bidang usaha
yang diwajibkan bermitra)
9 . Investasi (Rp atau US$) :
a. Modal Tetap :
- Pembelian dan pematangan : …......................
tanah
- Bangunan dan gedung : .........................
- Mesin & peralatan : ….....................
- Lain-lain : ….....................
Sub. Jumlah : ….....................
b. Modal Kerja : …....................
c. Jumlah : …....................
10. Tenaga Kerja Indonesia : ..orang (..L /..P)
11. Penggunaan Tanah : ..... m2/ha
*****): sesuai dengan HGB Nomor.... tanggal.....atas nama
PT.... untuk lahan seluas ... M2 dari Kepala ..... (instansi
pertanahan daerah)
-5-
KEDUA : Mewajibkan perusahaan sebagaimana tersebut pada
diktum PERTAMA untuk mentaati ketentuan sebagai
berikut :
1. Mengajukan izin perluasan :
a. di bidang usaha industri melakukan peningkatan
kapasitas produksi untuk jenis produksi dalam 5
(lima) digit KBLI yang sama dan kapasitas lebih
besar dari 30 persen dari kapasitas izin
dilakukan dilokasi yang sama dengan kegiatan
produksi sebelumnya;
b. di bidang usaha selain industri melakukan
penambahan investasi dan peningkatan
kapasitas produksi untuk KBLI 4 (empat) digit
yang sama yang dilaksanakan di lokasi yang
sama atau berbeda dengan pelaksanaan kegiatan
penanaman modal yang tercantum dalam izin
usaha sebelumnya.
2. Melaksanakan semua ketentuan yang tercantum
dalam dokumen AMDAL/RKL-RPL atau UKL-UPL
(atau melaksanakan kegiatan pengelolaan
pemantauan lingkungan hidup sesuai dengan
ketentuan yang berlaku);
3. Menyampaikan LKPM setiap 6 (enam) bulan (semester)
dengan periode laporan sebagai berikut:
1) Laporan Semester I disampaikan paling lambat
pada akhir bulan Juli tahun yang bersangkutan;
2) Laporan Semester II disampaikan paling lambat
pada akhir bulan Januari tahun berikutnya.
kepada :
a. Kepala BPMPTSP Provinsi;
b. Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota;
c. Kepala BKPM c.q. Deputi Bidang Pengendalian
Pelaksanaan Penanaman Modal;
d. Pengelola Kawasan Industri (jika lokasi di kawasan
industri).
-6-
KETIGA : Izin Perluasan/ Izin Usaha Perluasan ini berlaku:
1. Sejak perusahaan berproduksi/beroperasi bulan ….
dan seterusnya selama perusahaan masih melakukan
kegiatan usaha (atau sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan);
2. Untuk melaksanakan kegiatan pembelian/penjualan
dalam negeri dan ekspor dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku (atau untuk melaksanakan kegiatan
usaha ….. dengan mengikuti ketentuan yang berlaku);
3. Untuk pemakaian gudang atau tempat penyimpanan
yang berada dalam komplek/tempat usaha yang
bersangkutan.
4. Khusus untuk perusahaan yang memiliki Izin Prinsip
Penanaman Modal lebih dari satu sektor/bidang
usaha/lokasi proyek dan baru direalisasi sebagian)
Izin Usaha..... (sesuai dengan nomenklatur) yang
diterbitkan berdasarkan Izin Prinsip Penanaman
Modal Asing Nomor...tanggal... masih tetap berlaku
sebagai dasar hukum pelaksanaan kegiatan usaha ....
KEEMPAT : Berdasarkan data formulir Izin Usaha, perusahaan telah
siap produksi/operasi pada bulan.... tahun .....
KELIMA : Apabila ketentuan dalam keputusan ini tidak dipenuhi,
dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
KEENAM : Keputusan ini dapat diubah apabila di kemudian hari
terdapat kekeliruan, dan akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di :
Pada Tanggal :
-7-
a.n. MENTERI .........
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA,
atau
KEPALA KPBPB/ADMINISTRATOR KEK
atau
GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA
...........................................
Tembusan disampaikan kepada Yth. :
1. Menteri ....... (kementerian teknis terkait);
2. Kepala BKPM;
3. Direktur Jenderal Teknis yang bersangkutan;
4. Direktur Jenderal Pajak;
5. Gubernur yang bersangkutan;
6. Kepala BPMPTSP Provinsi;
7. Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota.
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
FRANKY SIBARANI
LAMPIRAN VI
PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN
MODAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2015
TENTANG
PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN
PENANAMAN MODAL
Bentuk Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal
KOP SURAT INSTANSI
(sesuai kewenangan)
NOMOR :
TENTANG
IZIN USAHA PENGGABUNGAN PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL
PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI/ PENANAMAN MODAL ASING*
*) pilih salah satu
(Kepala PTSP Pusat di BKPM atau BPMPTSP Provinsi atau BPMPTSP
Kabupaten/Kota)
Menimbang : a. bahwa berdasarkan penelitian terhadap permohonan
yang diterima tanggal ........…. dan Laporan Kegiatan
Penanaman Modal (LKPM) Triwulan ........…. Tahun
........…. atas pelaksanaan Izin Prinsip Penggabungan
Perusahaan Penanaman Modal No. ........…. tanggal
........…. atas nama PT. ........…. yang bergerak di bidang
usaha ........…. dengan lokasi di Kabupaten/Kota ........….
Provinsi ........…., permohonan tersebut telah memenuhi
syarat-syarat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan;
-2-
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud huruf a, perlu menerbitkan Keputusan Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal/ Kepala BPMPTSP
Provinsi / Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota/Kepala
PTSP KPBPB/ Kepala PTSP KEK* tentang Izin Usaha
Penggabungan Perusahaan.
Mengingat : 1. Undang-Undang ........…. (Kementerian teknis terkait);
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal;
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang
Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan
Pengembangan Industri;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang
Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan
Dalam Rangka Penanaman Modal Asing sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83
Tahun 2001;
6. Peraturan Pemerintah ........…. (Kementerian teknis
terkait);
7. Keputusan Presiden ........…. (Kementerian teknis
terkait);
8. Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang
Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun
2012;
9. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang
Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman
Modal;
10. Peraturan Menteri ........…. (Pelimpahan/pendelegasian
dari Kementerian teknis terkait);
11. Peraturan Menteri ........…. (Kementerian teknis terkait);
12. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor.. Tahun .. tentang Pedoman dan Tata Cara
-3-
Pengajuan Permohonan Perizinan dan Nonperizinan
Penanaman Modal.
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
PERTAMA : Memberikan Izin Usaha Penggabungan Perusahaan kepada
perusahaan penanaman modal asing atau penanaman
modal dalam negeri:
1. Nama Perusahaan : .................................
2. a. Akta pendirian dan : Nomor... tanggal … oleh
perubahannya Notaris…..
b. Pengesahan/Persetujuan/ : Nomor ... tanggal ......
Pemberitahuan Menteri Hukum dan HAM
3. Bidang Usaha : ................................
4. Nomor perusahaan : ................................
5. NPWP : .................................
6. Penanggung jawab : ................................
Perusahaan **
Catatan:
**) khusus untuk izin usaha di bidang industri hanya
untuk minuman beralkohol)
7. Alamat :
a. Kantor Pusat : .................................
Telepon/Faksimile : ...............................
b. Lokasi Proyek*** : .................................
................................
Telepon/Faksimile : ................................
Catatan:
***) Lokasi proyek berada di luar kawasan industri
sesuai ..........tentang .... (khusus bagi bidang usaha
industri)
Atau
Lokasi telah dimiliki perusahaan sejak tahun ....
sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009
tentang Kawasan Industri diberlakukan.
-4-
8. a.Jenis dan kapasitas produksi terpasang/jenis jasa per
tahun:
Jenis Barang/Jasa KBLI Satuan Kapasitas
Keterangan****
…..……… …… ……... ........ …........
…..……… …… ……... ........ …........
b. Pemasaran (bila ada ekspor)
- ................. : ...... % ( .....................) ekspor
Keterangan:
****) - Setara ..... ton (untuk satuan produksi bukan
ton, sedangkan untuk jasa dalam Rp. atau US$.)
- Jenis produksi tidak termasuk yang wajib
ekspor
- Perusahaan dapat melaksanakan diversifikasi
produk dalam lingkup industri ……
- Tidak diperkenankan melakukan kegiatan
perdagangan ....
- Melaksanakan kemitraan (bagi bidang usaha
yang diwajibkan bermitra)
9. Investasi (Rp atau US$)
a. Modal Tetap :
- Pembelian dan pematangan : …......................
tanah
- Bangunan dan gedung : .........................
- Mesin & peralatan : ….....................
- Lain-lain : ….....................
Sub. Jumlah : ….....................
b. Modal Kerja : …....................
c. Jumlah : …....................
10. Tenaga Kerja Indonesia : ..orang (..L /..P)
11. Penggunaan Tanah : ..... m2/ha
*****): sesuai dengan HGB Nomor.... tanggal.....atas nama
PT.... untuk lahan seluas ... M2 dari Kepala ..... (instansi
pertanahan daerah)
-5-
KEDUA : Mewajibkan perusahaan sebagaimana tersebut pada diktum
PERTAMA untuk mentaati ketentuan sebagai berikut :
1. Mengajukan Izin Perluasan:
a. di bidang usaha industri melakukan peningkatan
kapasitas produksi untuk jenis produksi dalam 5
(lima) digit KBLI yang sama dan kapasitas lebih
besar dari 30 persen dari kapasitas izin dilakukan di
lokasi yang sama dengan kegiatan produksi
sebelumnya;
b. di bidang usaha selain industri melakukan
penambahan investasi dan peningkatan kapasitas
produksi untuk KBLI 4 (empat) digit yang sama
yang dilaksanakan di lokasi yang sama atau
berbeda dengan pelaksanaan kegiatan penanaman
modal yang tercantum dalam izin usaha
sebelumnya.
2. Melaksanakan semua ketentuan yang tercantum dalam
dokumen AMDAL/RKL-RPL atau UKL-UPL (atau
melaksanakan kegiatan pengelolaan pemantauan
lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang
berlaku);
3. Menyampaikan LKPM setiap 6 (enam) bulan (semester)
dengan periode laporan sebagai berikut:
1) Laporan Semester I disampaikan paling lambat pada
akhir bulan Juli tahun yang bersangkutan;
2) Laporan Semester II disampaikan paling lambat pada
akhir bulan Januari tahun berikutnya.
kepada :
a. Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota;
b. Kepala BPMPTSP Provinsi;
c. Kepala BKPM c.q. Deputi Bidang Pengendalian
Pelaksanaan Penanaman Modal;
d. Pengelola Kawasan Industri (jika lokasi di kawasan
industri).
-6-
KETIGA : Izin Usaha Penggabungan Perusahaan bagi perusahaan
penanaman modal asing atau penanaman modal dalam
negeri ini berlaku :
1. Sejak perusahaan berproduksi/beroperasi bulan …. dan
seterusnya selama perusahaan masih melakukan
kegiatan usaha (atau sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan);
2. Untuk melaksanakan kegiatan pembelian/penjualan
dalam negeri dan ekspor dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku (atau untuk melaksanakan kegiatan usaha
….................. dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku);
3. Untuk pemakaian gudang atau tempat penyimpanan
yang berada dalam komplek/tempat usaha yang
bersangkutan.
4. (Khusus untuk perusahaan yang memiliki Izin Prinsip
Penanaman Modal lebih dari satu sektor/bidang
usaha/lokasi proyek dan baru direalisasi sebagian) Izin
Usaha..... (sesuai dengan nomenklatur) yang diterbitkan
berdasarkan Izin Prinsip Penanaman Modal Asing
Nomor...tanggal... masih tetap berlaku sebagai dasar
hukum pelaksanaan kegiatan usaha .... .
KEEMPAT : Berdasarkan data formulir Izin Usaha, perusahaan telah
siap produksi/operasi pada bulan.... tahun .....
KELIMA : Apabila ketentuan dalam keputusan ini tidak dipenuhi,
dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
KEENAM : Keputusan ini dapat diubah apabila di kemudian hari
terdapat kekeliruan, dan akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.
-7-
Ditetapkan di :
Pada Tanggal :
a.n. MENTERI .........
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA,
atau
KEPALA KPBPB/ADMINISTRATOR KEK
atau
GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA
……………………………………
Tembusan disampaikan kepada Yth. :
1. Menteri ....... (Kementerian teknis terkait);
2. Direktur Jenderal teknis yang bersangkutan;
3. Direktur Jenderal Pajak;
4. Gubernur yang bersangkutan;
5. Kepala BPMPTSP Provinsi;
6. Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota.
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
FRANKY SIBARANI
LAMPIRAN VII
PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN
MODAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2015
TENTANG
PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN
PENANAMAN MODAL
Bentuk Permohonan Perubahan Penanaman Modal
PERMOHONAN PERUBAHAN PENANAMAN MODAL
Permohonan ini disampaikan kepada PTSP Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi,
BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, atau PTSP KEK * untuk mendapatkan
persetujuan perubahan atas realisasi penanaman modal yang sebelumnya telah
dinyatakan dalam Izin Usaha/Izin Usaha Perluasan/Izin Usaha Penggabungan
Perusahaan, dan seluruh perubahannya.
Nama Perusahaan : PT. ..........................................................
Perizinan yang akan diubah : ............................................sebagai berikut :
KETENTUAN SEMULA MENJADI
*) pilih salah satu
Catatan :
diisi dengan ketentuan yang akan diubah
semula : adalah data ketentuan yang akan diubah sebagaimana yang tercantum
dalam Perizinan yang dimiliki
-2-
menjadi : adalah data ketentuan yang diinginkan perusahaan
Alasan perubahan : …………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………………….
PERNYATAAN
Bahwa saya, nama : ………………………., dalam kapasitas saya sebagai
Pimpinan Perusahaan PT .............................. dengan ini menyatakan :
1. Apabila dalam pelaksanaan penanaman modal ini di kemudian hari
menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan hidup,
Perusahaan bersedia memikul segala akibat yang ditimbulkan termasuk
penggantian kerugian kepada masyarakat.
2. Saya menyatakan bahwa permohonan ini dibuat dengan benar,
ditandatangani oleh yang berhak di atas meterai yang cukup, dan saya
menyatakan bahwa saya menjamin dan bertanggungjawab secara hukum
atas:
a. Keaslian seluruh dokumen yang disampaikan,
b. Kesesuaian seluruh rekaman/fotokopi data yang disampaikan dengan
dokumen aslinya, dan
c. Keaslian seluruh tandatangan yang tercantum dalam permohonan.
…………………………..,……….20……..
Pemohon,
Tanda Tangan dan Stempel Perusahaan
Meterai Rp. 6.000,-
……………….………………
Nama dan Jabatan Penandatangan
-3-
Penandatanganan permohonan yang didalamnya tercantum PERNYATAAN
harus dilakukan oleh direksi/pimpinan perusahaan. Untuk kondisi yang
sangat khusus dan terbatas, penandatanganan dapat dilakukan oleh
karyawan perusahaan - satu level dibawah jabatan direksi/pimpinan
perusahaan, dilengkapi dengan:
a. Surat dari direksi/pimpinan perusahaan yang menyatakan penjelasan tentang kondisi yang tidak memungkinan bagi direksi/pimpinan perusahaan untuk menandatangani permohonan dan bahwa direksi/pimpinan perusahaan mengetahui serta menyetujui permohonan yang disampaikan;
b. Surat Perintah Tugas dari direksi/pimpinan perusahaan; c. Rekaman identitas diri direksi/pimpinan perusahaan dengan
menunjukkan aslinya;
d. Bagi penerima kuasa dibuktikan dengan rekaman identitas diri dan surat pengangkatan terakhir sebagai karyawan dengan menunjukkan aslinya.
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
FRANKY SIBARANI
LAMPIRAN VIII
PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN
MODAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2015
TENTANG
PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NONPERIZINAN
PENANAMAN MODAL
Bentuk Izin Usaha Perubahan
KOP SURAT INSTANSI
(sesuai kewenangan)
IZIN USAHA PERUBAHAN
PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI/ PENANAMAN MODAL ASING*
*) pilih salah satu
Nomor :
Nomor Perusahaan :
Sehubungan dengan permohonan yang Saudara sampaikan tanggal ………
dengan ini diberitahukan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah
Republik Indonesia memberikan IZIN USAHA PERUBAHAN, sebagai berikut :
1. Nama Perusahaan : ………………………………………
2. NPWP : ………………………………………
3. Alamat Kedudukan Perusahaan :
a. Alamat Kantor Pusat : ………………………………………
b. Kabupaten/Kota : ………………………………………
c. Provinsi : ………………………………………
d. Telepon : ………………………………………
e. Faksimile : ………………………………………
f. E-mail : ………………………………………
-2-
4. Rekomendasi/Izin Operasional : ………………………………………
(jika dipersyaratkan, diisi dengan nomor, tanggal dan nama
pemerintah/instansi
penerbit rekomendasi /izin operasional)
5. Perizinan yang akan diubah : ………………………………………
(diisi dengan nomor/tanggal perizinan)
6. Data perubahan :
KETENTUAN SEMULA MENJADI
1. Lokasi Proyek
a. Alamat
b. Kabupaten/
Kota
c. Provinsi
2.a. Jenis dan
Kapasitas
produksi
terpasang/
jenis jasa
pertahun
Jenis
KBLI
Satuan
Kapasitas
Keterangan
Jenis
KBLI
Satuan
Kapasitas
Keterangan
b. Pemasaran
(bila ada
ekspor)
...........: ..... % ( ...............) ekspor
...........: ..... % ( ...............) ekspor
3. Masa berlaku
izin usaha
catatan :
dicantumkan catatan yang diperlukan terkait dengan perubahan produksi
LAIN- LAIN :
1. Persetujuan atas perubahan yang dinyatakan dalam Izin Usaha Perubahan
ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Izin Usaha/Izin Usaha
Perluasan/Izin Perluasan Nomor .............. tanggal ..............
2. Hal-hal lain yang tidak dinyatakan dalam Izin Usaha Perubahan ini,
sepanjang tidak bertentangan dengan atau masih dalam ketentuan, hak dan
kewajiban sebagaimana telah ditetapkan dalam perizinan sebelumnya, tetap
berlaku sebagaimana adanya.
-3-
a.n. MENTERI .........
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA,
atau
KEPALA KPBPB/ADMINISTRATOR KEK
atau
GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA
……………………………………
Tembusan disampaikan kepada Yth. :
1. Menteri ....... (kementerian teknis terkait);
2. Kepala BKPM;
3. Direktur Jenderal teknis yang bersangkutan;
4. Direktur Jenderal Pajak;
5. Gubernur yang bersangkutan;
6. Kepala BPMPTSP Provinsi;
7. Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
FRANKY SIBARANI
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL NOMOR 14 TAHUN 2009
TENTANG
SISTEM PELAYANAN INFORMASI DAN PERIZINAN INVESTASI SECARA ELEKTRONIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL,
Menimbang :::: a. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal;
b. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
c. Pasal 27 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di bidang Penanaman Modal;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu ditetapkan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal tentang Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi secara Elektronik;
Mengingat :::: 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844;
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843);
4. Undang-Undang ...
- 2 -
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
7. Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
TENTANG SISTEM PELAYANAN INFORMASI DAN PERIZINAN INVESTASI SECARA ELEKTRONIK.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal I
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing, untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
2. Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.
3. Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.
4. Penanam modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing.
5. Perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk melakukan penanaman modal yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Nonperizinan adalah segala bentuk kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Laporan ...
- 3 -
7. Laporan Kegiatan Penanaman Modal, yang selanjutnya disingkat LKPM, adalah laporan berkala mengenai perkembangan kegiatan perusahaan dan kendala yang dihadapi penanam modal.
8. Badan Koordinasi Penanaman Modal, yang selanjutnya disebut BKPM, adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal, yang dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
9. Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal, yang selanjutnya disingkat PDPPM, adalah unsur pembantu kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi, dengan bentuk sesuai dengan kebutuhan masing-masing pemerintah provinsi, yang menyelenggarakan fungsi utama koordinasi di bidang penanaman modal di pemerintah provinsi.
10. Perangkat Daerah Kabupaten/Kota bidang Penanaman Modal, yang selanjutnya disingkat PDKPM, adalah unsur pembantu kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota, dengan bentuk sesuai dengan kebutuhan masing-masing pemerintah kabupaten/kota, yang menyelenggarakan fungsi utama koordinasi di bidang penanaman modal di pemerintah kabupaten/kota.
11. Departemen adalah lembaga yang dipimpin oleh seorang menteri yang memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan perizinan dan nonperizinan bagi penanam modal.
12. Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang selanjutnya disingkat PTSP, adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.
13. Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi secara Elektronik, yang selanjutnya disingkat SPIPISE, adalah Sistem elektronik pelayanan perizinan dan nonperizinan yang terintegrasi antara BKPM dan kementerian/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan, PDPPM, dan PDKPM.
14. Portal SPIPISE adalah piranti lunak berbasis situs (website) yang merupakan gerbang informasi dan pelayanan perizinan dan nonperizinan penanaman modal di Indonesia.
15. Pengelola adalah Pusat Pengolahan Data dan Informasi BKPM yang melakukan pengelolaan, pemeliharaan, dan pengembangan SPIPISE secara berkelanjutan.
16. Standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan dan acuan penilaian kualitas layanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.
17. Jejak audit adalah rekam jejak seluruh tahap proses yang dilakukan baik dalam satu instansi atau lembaga maupun antarlembaga, untuk menjaga keabsahan hasil proses secara hukum, serta melengkapi semua jejak kejadian dan pertanggungjawaban atas setiap penyimpangan yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemberi layanan perizinan.
18. Akses adalah kegiatan menggunakan SPIPISE.
19. Hak ...
- 4 -
19. Hak akses adalah hak yang diberikan oleh pengelola SPIPISE kepada pengguna SPIPISE yang telah memiliki identitas pengguna dan kode akses untuk menggunakan SPIPISE.
20. Identitas pengguna (user ID) adalah nama atau pengenal unik sebagai identitas diri dari pengguna SPIPISE.
21. Kode akses adalah kumpulan angka, huruf, simbol, karakter lainnya, atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk memverifikasi identitas pengguna.
22. Akun pengguna (user account) yang selanjutnya disebut akun adalah tempat menyimpan berbagai informasi milik pengguna yang disimpan dalam SPIPISE minimal mencakup identitas pengguna dan kode akses.
23. Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telekopi (telecopy), atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
24. Sistem elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik.
25. Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada, tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau arti, atau yang dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
26. Antarmuka sistem (system interface) adalah metode interaksi antara SPIPISE dengan sistem lainnya di luar SPIPISE.
27. Sistem rujukan statistika adalah suatu sistem yang ditetapkan sebagai acuan dalam merencanakan, mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, dan mempresentasikan data.
28. Data referensi adalah data dasar yang disepakati sebagai acuan dalam lalu-lintas hubungan pertukaran data dalam SPIPISE.
BAB II MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2
Peraturan ini dimaksudkan untuk mengatur penanam modal, penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu di bidang penanaman modal, serta instansi teknis dalam mengajukan permohonan, atau penyelenggaraan perizinan dan nonperizinan dengan SPIPISE.
Pasal 3 …
- 5 -
Pasal 3
SPIPISE bertujuan untuk mewujudkan
a. penyelenggaraan PTSP sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman modal;
b. pelayanan perizinan dan nonperizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan, dan akuntabel;
c. integrasi data dan pelayanan perizinan dan nonperizinan;
d. keselarasan kebijakan dalam pelayanan penanaman modal antarsektor dan pusat dengan daerah.
BAB III RUANG LINGKUP SPIPISE
Pasal 4
(1) SPIPISE terdiri dari :
a. Subsistem Informasi Penanaman Modal;
b. Subsistem Pelayanan Penanaman Modal;
c. Subsistem Pendukung.
(2) Subsistem Informasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, menyediakan jenis informasi, antara lain
a. peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal;
b. potensi dan peluang penanaman modal;
c. daftar bidang usaha tertutup dan daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan;
d. jenis, tata cara proses permohonan, biaya, dan waktu pelayanan perizinan dan nonperizinan;
e. tata cara pencabutan perizinan dan nonperizinan;
f. tata cara penyampaian laporan kegiatan penanaman modal;
g. tata cara pengaduan terhadap pelayanan penanaman modal;
h. data referensi yang digunakan dalam pelayanan perizinan dan nonperizinan penanaman modal;
i. data perkembangan penanaman modal, kawasan industri, harga utilitas, upah, dan tanah;
j. informasi perjanjian internasional di bidang penanaman modal.
(3) Subsistem Pelayanan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari sistem elektronik, antara lain
a. pelayanan perizinan dan nonperizinan;
b. pelayanan penyampaian LKPM;
c. pelayanan pencabutan serta pembatalan perizinan dan nonperizinan;
d. pelayanan pengenaan dan pembatalan sanksi;
e. aplikasi ...
- 6 -
e. aplikasi antarmuka antara SPIPISE dan sistem pada instansi teknis dan/atau instansi terkait dengan penanaman modal;
f. penelusuran proses pelayanan permohonan perizinan dan nonperizinan;
g. jejak audit (audit trail).
(4) Subsistem Pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari sistem elektronik, antara lain
a. pengaturan penggunaan jaringan elektronik;
b. pengelolaan keamanan sistem elektronik dan jaringan elektronik;
c. pengelolaan informasi yang ditampilkan dalam NSWi;
d. pengaduan terhadap pelayanan perizinan dan nonperizinan dan masalah dalam penggunaan SPIPISE;
e. pelaporan perkembangan penanaman modal dan perangkat analisis pengambilan keputusan yang terkait dengan penanaman modal;
f. pengelolaan pengetahuan sebagai pendukung analisis dalam pengambilan putusan pengembangan kebijakan penanaman modal;
g. penyediaan panduan penggunaan SPIPISE.
Pasal 5
(1) Sistem Elektronik Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a ayat (1) dan (2) dibangun pengelola dalam bentuk
a. sistem elektronik terpusat, bagi perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan PTSP;
b. antarmuka sistem SPIPISE dengan instansi teknis yang memiliki sistem elektronik yang memenuhi persyaratan kelayakan transaksi elektronik, bagi perizinan dan nonperizinan yang tidak menjadi kewenangan PTSP;
c. formulir elektronik permohonan dan persetujuan perizinan dan nonperizinan untuk instansi teknis, bagi pelayanan perizinan dan nonperizinan yang tidak termasuk pada huruf a dan huruf b.
d. fasilitas penyimpanan atau pengisian dokumen elektronik perizinan dan nonperizinan yang telah disahkan oleh BKPM, PDPPM, PDKPM, atau instansi terkait.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah
a. mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan tentang informasi dan transaksi elektronik;
b. menyediakan sistem elektronik pertukaran data dengan SPIPISE sesuai dengan spesifikasi yang disepakati antara pengelola dan instansi yang bersangkutan;
c. menyediakan informasi ketersediaan sistem elektronik kepada pengelola;
d. menyediakan jaringan elektronik yang teramankan.
Pasal 6 …
- 7 -
Pasal 6
(1) Penanam Modal dapat menyampaikan pengaduan melalui SPIPISE terhadap
a. pelayanan perizinan dan nonperizinan yang tidak sesuai dengan ketentuan, mekanisme, prosedur, dan tingkat pelayanan (service level arrangement/SLA) yang ditampilkan dalam portal SPIPISE;
b. kendala, hambatan, dan masalah dalam penggunaan aplikasi SPIPISE.
(2) SPIPISE akan mengirimkan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada BKPM, PDPPM, PDKPM, dan/atau instansi terkait yang menerbitkan perizinan dan nonperizinan yang diadukan.
(3) BKPM, PDPPM, PDKPM, dan/atau instansi terkait harus memberikan tanggapan terhadap pengaduan yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melalui SPIPISE selambat-lambatnya dalam 2 (dua) hari kerja sejak pengaduan diterima.
(4) BKPM, PDPPM, PDKPM, dan instansi terkait dapat menyampaikan pengaduan terkait kendala, hambatan, dan masalah dalam penggunaan aplikasi SPIPISE kepada pengelola.
(5) Pengelola memberikan tanggapan terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (4) melalui SPIPISE selambat-lambatnya dalam 2 (dua) hari kerja sejak pengaduan diterima.
Pasal 7
(1) Server SPIPISE ditempatkan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(2) SPIPISE dapat diakses melalui portal SPIPISE yang diberi nama National Single Window for Investment (NSWi).
BAB IV HAK AKSES
Pasal 8
(1) Setiap orang dapat mengakses Subsistem Informasi Penanaman Modal,
tanpa menggunakan hak akses.
(2) Penanam modal dapat mengakses sistem elektronik
a. perizinan dan nonperizinan,
b. laporan kegiatan penanaman modal (LKPM),
c. pencabutan dan pembatalan perizinan dan nonperizinan,
d. pemantauan pelayanan permohonan perizinan dan nonperizinan,
dalam Subsistem Pelayanan Penanaman Modal dengan menggunakan hak akses.
(3) Pelayanan perizinan dan nonperizinan sebagaimana pada ayat (2) huruf a, khusus untuk Pendaftaran Penanaman Modal, dapat diakses penanam modal, tanpa menggunakan hak akses.
(4) Penanam ...
- 8 -
(4) Penanam modal hanya dapat mengakses Subsistem Pendukung yang terbatas pada:
a. pelayanan pengaduan terhadap pelayanan perizinan dan nonperizinan;;;;
b. panduan penggunaan SPIPISE,
tanpa menggunakan hak akses.
(5) Pelaksana pelayanan perizinan dan nonperizinan di BKPM, PDPPM, dan PDKPM harus menggunakan hak akses untuk mengakses seluruh Subsistem Pelayanan Penanaman Modal.
(6) Pelaksana pelayanan perizinan dan nonperizinan di BKPM, PDPPM, dan PDKPM dapat mengakses Subsistem Pendukung
a. pengaduan terhadap pelayanan perizinan dan nonperizinan serta masalah dalam penggunaan SPIPISE;
b. pelaporan perkembangan penanaman modal dan perangkat analisis pengambilan putusan yang terkait dengan penanaman modal;
c. pengelolaan pengetahuan sebagai pendukung analisis dalam pengambilan putusan pengembangan kebijakan penanaman modal;
d. panduan penggunaan SPIPISE.
dengan menggunakan hak akses, kecuali huruf a dan huruf d, tanpa menggunakan hak akses.
(7) Pengelola SPIPISE memiliki hak akses ke seluruh subsistem SPIPISE.
Pasal 9
(1) Untuk mendapatkan hak akses SPIPISE, penanam modal harus mengajukan secara langsung ke BKPM, atau PDPPM, atau PDKPM yang telah menggunakan SPIPISE.
(2) Penanam modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus membawa dokumen berupa
a. tanda pengenal pemohon berupa KTP/paspor;
b. bukti sebagai pimpinan perusahaan atau badan usaha atau koperasi, seperti:
1. akta atau akta terakhir yang mencantumkan susunan direksi badan usaha yang dilengkapi dengan pengesahan atau persetujuan oleh departemen yang membidangi masalah hukum,
2. tanda daftar di Pengadilan bagi badan usaha tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, atau
3. pengesahan akte pendirian koperasi dari kementerian/dinas yang membidangi koperasi.
(3) Dalam hal penanam modal tidak dapat mengajukan langsung hak akses ke BKPM, PDPPM, atau PDKPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penanam modal dapat menunjuk pihak lain dengan memberikan surat kuasa asli bermeterai cukup yang dilengkapi identitas diri yang jelas dari penerima kuasa.
(4) Bentuk surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran I.
(5) Penanam ...
- 9 -
(5) Penanam modal atau yang mewakili penanam modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) harus mengisi Formulir Permohonan Hak Akses, sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.
(6) BKPM, PDPPM, atau PDKPM menerima dan menilai permohonan hak akses yang diajukan penanam modal.
(7) Jika hasil penilaian permohonan hak akses telah memenuhi persyaratan, BKPM, PDPPM atau PDKPM akan menerbitkan hak akses berupa surat persetujuan secara otomatis oleh SPIPISE, sebagaimana tercantum dalam Lampiran III.
(8) Pemberian hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (7) sekaligus disampaikan dengan pemberian akun penanam modal.
(9) Pemberian hak akses diterbitkan selambat-lambatnya 2 (dua) jam setelah permohonan hak akses beserta dokumen pendukungnya diterima oleh petugas PTSP dan dinyatakan lengkap dan benar.
(10) Penanam modal wajib mengganti kode akses dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) hari setelah hak akses diberikan.
(11) Apabila penggantian kode akses sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dilakukan, secara otomatis hak akses akan dinonaktifkan.
(12) Penanam modal dapat mengajukan perubahan atau pengalihan hak akses yang telah dimiliki kepada BKPM, PDPPM, atau PDKPM yang menerbitkan hak akses.
Pasal 10
(1) PDPPM, atau PDKPM, atau instansi teknis dapat mengajukan secara tertulis permohonan hak akses penggunaan SPIPISE dan penetapan administrator hak akses kepada pengelola, dengan mengisi permohonan sebagaimana tercantum pada Lampiran IV.
(2) Atas permohonan penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola melakukan
a. evaluasi ketersediaan piranti keras dan piranti lunak serta SDM yang dimiliki pemohon;
b. persiapan awal (setting) piranti keras dan piranti lunak yang akan digunakan;
c. pelatihan penggunaan SPIPISE kepada SDM yang akan menggunakan SPIPISE;
d. evaluasi dan uji coba kesiapan penggunaan SPIPISE.
(3) Jika hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d telah dinyatakan memenuhi syarat, pengelola menerbitkan Surat Penetapan Penggunaan SPIPISE yang juga termasuk penetapan administrator dan jumlah hak akses kepada PDPPM, PDKPM, dan instansi teknis.
(4) Jika hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dinyatakan belum memenuhi syarat, pengelola menerbitkan Surat Penolakan Penggunaan SPIPISE kepada PDPPM, PDKPM dan instansi teknis.
(5) Bentuk Surat Penetapan Penggunaan SPIPISE atau Surat Penolakan Penggunaan SPIPISE sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tercantum pada Lampiran V.
(6) Administrator ...
- 10 -
(6) Administrator hak akses dari PDPPM, PDKPM, dan instansi teknis bertanggung jawab atas pengelolaan hak akses kepada pimpinan instansinya.
(7) Akibat hukum penyalahgunaan hak akses yang dikelola PDPPM, PDKPM, dan instansi teknis menjadi tanggung jawab instansi masing-masing.
(8) Dalam hal PDPPM sudah mampu melaksanakan evaluasi dan persiapan penggunaan SPIPISE oleh PDKPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengelola dapat melimpahkan kewenangan evaluasi persiapan penggunaan SPIPISE kepada PDPPM.
(9) Pelimpahan kewenangan evaluasi persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur tersendiri dengan Peraturan Kepala BKPM.
Pasal 11
(1) Pemilik hak akses wajib menjaga keamanan hak akses dan kerahasiaan
kode akses yang dimilikinya.
(2) Hak akses tidak dapat dipindahtangankan tanpa pemberitahuan kepada BKPM atau PDPPM atau PDKPM pemberi hak akses dengan dilengkapi surat kuasa bermaterai cukup atau surat keterangan penunjukan.
(3) Hak akses berlaku secara hukum sebagai bentuk pemberian persetujuan secara elektronik yang bobot tanggung jawabnya setara dengan tanda tangan tertulis.
(4) Penyalahgunaan hak akses oleh pihak lain yang disebabkan oleh pemindahtanganan tanpa pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab hukum pemilik hak akses.
BAB V
KETENTUAN SUBSISTEM INFORMASI
Pasal 12
Informasi dalam SPIPISE dapat berubah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pengguna.
Pasal 13
(1) BKPM, PDPPM, PDKPM, dan instansi terkait mengintegrasikan informasi penanaman modal yang dimilikinya ke dalam SPIPISE.
(2) Jenis informasi sesuai dengan yang dimaksud pada ayat (1), antara lain sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2).
(3) BKPM, PDPPM, PDKPM, dan instansi terkait menjaga kebenaran, keamanan, kerahasiaan, keterkinian, akurasi, serta keutuhan data dan informasi.
Pasal 14
(1) BKPM bersama-sama dengan instansi teknis menetapkan standar data dan informasi yang digunakan dalam SPIPISE.
(2) Informasi yang disampaikan oleh BKPM, PDPPM, PDKPM, dan instansi teknis berpedoman pada standar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 15 …
- 11 -
Pasal 15
(1) BKPM melakukan harmonisasi dan verifikasi informasi.
(2) Harmonisasi dan verifikasi informasi dilakukan oleh masing-masing unit kerja BKPM sesuai dengan tugas dan fungsinya.
BAB VI KETENTUAN SUBSISTEM PELAYANAN PENANAMAN MODAL
Bagian Kesatu Penanam Modal
Pasal 16
Penanam modal bertanggung jawab atas kebenaran data dan keabsahan permohonan perizinan dan nonperizinan yang diajukan melalui SPIPISE.
Pasal 17
Penanam modal dan penyelenggara SPIPISE berkomunikasi secara elektronik ke alamat email dan/atau akun penanam modal.
Pasal 18
(1) Setiap penanam modal yang telah berbentuk badan hukum atau badan usaha yang mengajukan permohonan perizinan dan nonperizinan ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM akan diberikan nomor perusahaan secara otomatis oleh SPIPISE.
(2) Setiap penanam modal yang tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan akan diberikan nomor perusahaan secara otomatis oleh SPIPISE pada saat memperoleh Izin Prinsip Penanaman Modal/Izin Usaha....
(3) Nomor perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku sebagai identitas penanam modal.
(4) Penanam modal yang dimaksud pada ayat (1) adalah yang sudah memiliki
a. pengesahan dari departemen yang membidangi hukum bagi badan usaha yang berbentuk badan hukum,
b. tanda daftar di Pengadilan bagi badan usaha tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, atau
c. pengesahan akte pendirian koperasi dari kementerian/dinas yang membidangi koperasi.
Pasal 19
(1) Pendaftaran Penanaman Modal adalah bentuk persetujuan awal Pemerintah sebagai dasar memulai rencana penanaman modal.
(2) Penanam modal dapat mengajukan Pendaftaran Penanaman Modal melalui SPIPISE dilengkapi dengan dokumen pendukung secara elektronik.
(3) Apabila terdapat dokumen pendukung yang tidak dapat disampaikan secara elektronik, penanam modal menyampaikan dokumen fisik kepada PTSP BKPM atau PTSP PDPPM atau PTSP PDKPM.
(4) PTSP ...
- 12 -
(4) PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM menerbitkan tanda terima permohonan setelah permohonan dinyatakan lengkap dan benar.
Pasal 20
(1) Permohonan perizinan dan nonperizinan penanaman modal diajukan oleh penanam modal yang telah memiliki hak akses melalui SPIPISE kepada PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM sesuai dengan kewenangannya.
(2) Permohonan perizinan dan nonperizinan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung secara elektronik.
(3) Kelengkapan dokumen permohonan melalui SPIPISE mengacu pada Peraturan Kepala BKPM tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal.
(4) PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM menerbitkan tanda terima permohonan setelah permohonan dinyatakan lengkap dan benar.
Pasal 21
(1) PTSP-BKPM atau PTSP-PDPPM atau PTSP-PDKPM akan menyampaikan
perizinan dan nonperizinan secara elektronik ke alamat surat elektronik (e-mail) atau ke akun penanam modal setelah seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disampaikan kepada PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM.
(2) Dokumen cetak perizinan dan nonperizinan yang telah ditandatangani Kepala BKPM, atau Kepala PDPPM, atau Kepala PDKPM, atau pejabat instansi terkait dapat diambil penanam modal dan/atau penerima kuasa dengan menunjukkan tanda terima.
(3) Dalam hal dokumen perizinan dan nonperizinan tidak diambil dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja, dokumen perizinan dan nonperizinan dikirim melalui pos ke alamat korespodensi.
Pasal 22
Penanam modal dapat menyampaikan LKPM secara elektronik melalui SPIPISE kepada BKPM, PDPPM, atau PDKPM sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu kepada Peraturan Kepala BKPM tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal.
Pasal 23
Sistem elektronik LKPM, pencabutan serta pembatalan perizinan dan nonperizinan serta pengenaan sanksi dan pembatalan sanksi penanaman modal dalam SPIPISE mengacu kepada Peraturan Kepala BKPM tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal.
Bagian Kedua
BKPM, PDPPM, dan PDKPM Pasal 24
(1) PDPPM dan PDKPM yang terintegrasi dengan SPIPISE harus memiliki
tingkat pelayanan (SLA) setiap jenis perizinan dan nonperizinan yang dilayani melalui SPIPISE.
(2) Informasi ...
- 13 -
(2) Informasi tingkat pelayanan masing-masing instansi dipublikasikan melalui portal SPIPISE atau NSWi.
Pasal 25
PDPPM atau PDKPM yang terintegrasi dengan SPIPISE, masing-masing, harus
a. mengoperasikan sistem elektronik berdasarkan panduan penggunaan;
b. mengikuti tingkat pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1);
c. menjaga kerahasiaan data dan informasi penanam modal;
d. melakukan pemeliharaan keterhubungan/interkoneksi dari PDPPM atau PDKPM ke BKPM;
e. melakukan pemeliharaan piranti keras pendukung pelayanan perizinan dan nonperizinan.
Pasal 26
PTSP PDPPM dan PTSP PDKPM menggunakan SPIPISE dalam melakukan pelayanan perizinan dan nonperizinan.
Pasal 27
Ketentuan pelayanan perizinan dan nonperizinan penanaman modal yang menggunakan SPIPISE adalah sebagai berikut:
a. permohonan perizinan dan nonperizinan yang diajukan kepada PTSP BKPM, PTSP PDPPM,,,, dan PTSP PDKPM harus diproses dengan menggunakan SPIPISE;
b. petugas/pejabat yang melaksanakan pelayanan perizinan dan nonperizinan menggunakan hak akses untuk pemberian persetujuan dalam proses otomasi;
c. perizinan dan nonperizinan yang dikeluarkan oleh SPIPISE tetap memerlukan tanda tangan basah sebagai dokumen yang sah;
d. penomoran perizinan dan nonperizinan dilakukan sesuai dengan Peraturan Kepala BKPM tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal;
e. apabila terjadi kesalahan data atau informasi atas perizinan dan nonperizinan yang dikeluarkan oleh PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM, dilakukan perbaikan dengan cara koreksi atas perizinan dan nonperizinan oleh PTSP yang mengeluarkan dengan tembusan kepada pengelola;
f. dalam hal PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM tidak dapat mengakses atau menggunakan SPIPISE
1. permohonan perizinan dan nonperizinan yang lengkap dan benar tetap diterima oleh kantor depan (front office) dengan memberikan tanda terima;
2. penyelesaian permohonan perizinan dan nonperizinan dilakukan oleh PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM, tanpa menggunakan SPIPISE setelah terlebih dahulu memberi tahu secara tertulis kepada pengelola.
Pasal 28 ...
- 14 -
Pasal 28
(1) Dalam hal permohonan perizinan dan nonperizinan yang disampaikan melalui SPIPISE telah lengkap dan benar, kantor depan PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM akan memberikan tanda terima melalui surat elektronik atau SPIPISE kepada penanam modal.
(2) Dalam hal permohonan perizinan dan nonperizinan yang disampaikan melalui SPIPISE belum lengkap dan benar, kantor depan PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM memberitahukan bahwa permohonan tersebut belum dapat diterima.
Pasal 29
LKPM yang lengkap yang disampaikan secara manual, dimasukkan ke dalam SPIPISE oleh BKPM, atau PDPPM, atau PDKPM sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 30
Dalam hal LKPM disampaikan secara elektronik
a. BKPM. atau PDPPM, atau PDKPM sesuai dengan kewenangannya akan memberikan tanda terima secara elektronik ke surat elektronik atau akun penanam modal;
b. apabila LKPM yang disampaikan belum lengkap, BKPM, PDPPM atau PDKPM sesuai dengan kewenangannya meminta perbaikan LKPM secara elektronik kepada penanam modal.
Pasal 31
LKPM yang disampaikan secara elektronik akan diproses lebih lanjut sesuai dengan Peraturan Kepala BKPM tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal.
Bagian Ketiga Instansi Teknis
Pasal 32
Instansi teknis yang telah terintegrasi dengan SPIPISE
a. mengoperasikan aplikasi SPIPISE sesuai dengan panduan penggunaan;
b. mengikuti tingkat pelayanan yang telah disepakati dan dipublikasikan dalam NSWi;
c. menjaga kerahasiaan data dan informasi penanam modal;
d. melakukan pemeliharaan piranti keras pendukung dan interkoneksi ke SPIPISE;
e. menjaga keamanan lalu-lintas pertukaran data ke SPIPISE.
Pasal 33
(1) Instansi teknis yang berwenang di bidang perizinan dan nonperizinan penanaman modal mengintegrasikan sistemnya dengan SPIPISE.
(2) Integrasi ...
- 15 -
(2) Integrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. model interaksi SPIPISE dengan instansi teknis ditetapkan oleh pengelola berdasarkan pemenuhan persyaratan minimum sistem elektronik seperti yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (2);
b. model interaksi SPIPISE dengan instansi teknis yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf a terlebih dahulu dibahas dan dituangkan dalam bentuk kesepakatan antara pengelola SPIPISE dan instansi teknis;
c. kesepakatan sebagaimana dimaksud pada huruf b memuat hal-hal, antara lain
1. model interaksi yang digunakan;
2. jenis layanan perizinan dan nonperizinan dari instansi teknis yang akan diintegrasikan ke SPIPISE;
3. data yang akan dipertukarkan sesuai dengan format atau standar pertukaran data yang disepakati;
4. tingkat layanan perizinan dan nonperizinan yang tidak dilayani PTSP BKPM, atau PTSP PDPPM, atau PTSP-PDKPM.
Bagian Keempat Pengelola SPIPISE
Pasal 34
Pengelola SPIPISE bertanggung jawab untuk
a. membangun dan mengelola SPIPISE yang menjadi tanggung jawab BKPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan pusat data;
b. melakukan koordinasi dengan instansi teknis, PDPPM, dan PDKPM dalam mengembangkan SPIPISE;
c. menyediakan panduan penggunaan setiap sistem elektronik perizinan dan nonperizinan dalam Portal SPIPISE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a;
d. menjamin interoperabilitas SPIPISE;
e. menjamin ketersediaan layanan SPIPISE;
f. menjaga keamanan SPIPISE;
g. menjaga kinerja dan ketersediaan pusat data SPIPISE;
h. melakukan pemantauan dan evaluasi SPIPISE;
i. memelihara pusat data, piranti lunak serta piranti keras dan hosting SPIPISE.
j. menerbitkan laporan perkembangan penanaman modal secara nasional yang mencakupi laporan kinerja PTSP secara nasional dan laporan kinerja SPIPISE secara nasional yang diterbitkan berkala.
Pasal 35
(1) Pengelola melakukan pemantauan dan evaluasi kegiatan penggunaan SPIPISE yang meliputi
a. operasionalisasi SPIPISE;
b. jaringan ...
- 16 -
b. jaringan, piranti keras, piranti lunak, dan telekomunikasi sebagai bagian dari teknologi informasi pendukung SPIPISE;
c. validitas dan integritas data penanaman modal;
d. informasi dalam Portal SPIPISE.
(2) Pemantauan dan evaluasi SPIPISE dilakukan setiap 3 (tiga) bulan sekali.
(3) Pengelola menyampaikan laporan kinerja SPIPISE kepada Kepala BKPM berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Laporan hasil pemantauan dan evaluasi ini sebagai dasar perbaikan dan pengembangan SPIPISE.
Pasal 36
(1) Pengelola menjamin keamanan lalu-lintas pertukaran data dalam SPIPISE melalui
a. kontrol akses (access control), suatu sistem yang memungkinkan
pengelola mengontrol akses terhadap fasilitas fisik dan sistem informasi;
b. kebenaran (authentication), kemampuan setiap pihak yang terlibat dalam transaksi untuk menguji kebenaran dari pihak lainnya;
c. kerahasiaan (confidentiality), perlindungan terhadap data/ informasi terhadap kegiatan akses oleh pihak yang tidak berwenang;
d. keakuratan (Integrity), perlindungan terhadap keakuratan serta keutuhan, baik untuk data/informasi maupun perangkat lunak;
e. non-repudiation, sistem dapat memastikan kebenaran pengirim dan penerima sehingga tidak ada pihak yang dapat menyangkal.
(2) Untuk memberikan jaminan keamanan lalu-lintas pertukaran data dalam SPIPISE sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola menerapkan mekanisme, antara lain
a. enkripsi, untuk menjamin authentication dan integrity;
b. tanda tangan digital (digital signature), untuk menjamin kebenaran/keaslian (authentication), keakuratan (integrity), dan non-repudiation.
(3) Gangguan terhadap keamanan lalu-lintas pertukaran data antarinstansi dengan SPIPISE menjadi tanggung jawab masing-masing instansi.
Pasal 37
(1) SPIPISE menyediakan jejak audit atas seluruh kegiatan dalam pelayanan perizinan dan nonperizinan.
(2) Apabila sistem instansi teknis terintegrasi dengan SPIPISE, sistem tersebut memiliki jejak audit atas seluruh proses sistem elektronik dalam pelayanan perizinan dan nonperizinan.
(3) Jejak audit dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Jejak audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) digunakan untuk
a. mengetahui dan menguji kebenaran proses transaksi elektronik melalui SPIPISE;
b. dasar ...
- 17 -
b. dasar penelusuran kebenaran dalam hal terjadi perbedaan data dan informasi antarpemangku kepentingan SPIPISE;
c. dasar penelusuran kebenaran dalam hal terjadi perbedaan antara dokumen cetak dan data yang tersimpan dalam SPIPISE.
(5) Dalam hal terjadi perbedaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan c, data dan informasi yang tersimpan dalam SPIPISE merupakan data dan informasi yang dianggap benar.
BAB VII PENGEMBANGAN SPIPISE
Pasal 38
(1) Pengembangan SPIPISE dapat dilakukan apabila terjadi penyempurnaan fungsi sistem elektronik dan penambahan atau penyederhanaan jenis perizinan dan nonperizinan.
(2) Sistem elektronik yang dikembangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diaudit kesesuaian fungsinya oleh instansi yang ditunjuk BKPM.
BAB VIII PEMBIAYAAN SPIPISE
Pasal 39
(1) Pembiayaan SPIPISE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 28 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.
(2) Pembiayaan yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara BKPM meliputi pembangunan dan pengelolaan SPIPISE yang terdiri dari
a. perangkat keras dan perangkat pendukung untuk pengolahan data, jaringan, dan keterhubungan/interkoneksi SPIPISE;
b. perangkat lunak yang meliputi
1. Subsistem Informasi Penanaman Modal;
2. Subsistem Pelayanan Penanaman Modal;
3. Subsistem Pendukung.
(3) Subsistem Pelayanan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b termasuk antarmuka sistem (interface) dari BKPM ke kementerian teknis/LPND, PDPPM, dan PDKPM.
(4) Pembiayaan yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara instansi teknis meliputi
a. jaringan dan keterhubungan dari kementerian teknis/LPND ke BKPM;
b. perangkat pendukung untuk pengolahan data, jaringan, dan keterhubungan/interkoneksi SPIPISE.
(5) Pembiayaan yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah pemerintah provinsi meliputi
a. jaringan dan keterhubungan dari PDPPM ke BKPM;
b. perangkat pendukung untuk pengolahan data, jaringan, dan keterhubungan/interkoneksi SPIPISE.
(6) Pembiayaan ...
- 18 -
(6) Pembiayaan yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah pemerintah kabupaten/kota meliputi
a. jaringan dan keterhubungan dari PDKPM ke BKPM;
b. perangkat pendukung untuk pengolahan data, jaringan, dan keterhubungan/interkoneksi SPIPISE.
BAB IX KEADAAN KAHAR
Pasal 40
(1) Dalam hal SPIPISE tidak dapat berfungsi karena keadaan kahar (force majeur), pelayanan perizinan dan nonperizinan melalui PTSP dilaksanakan dengan menggunakan prosedur keadaan darurat.
(2) Prosedur keadaan darurat sebagaimana pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala BKPM.
(3) Dalam hal terjadi keadaan kahar, pengelola tidak bertanggung jawab terhadap tidak beroperasinya SPIPISE dan hilangnya data dan informasi penanaman modal.
(4) Setelah berakhirnya keadaan kahar, data dan informasi penanaman modal yang diproses dalam keadaan darurat dimasukkan ke dalam SPIPISE oleh instansi penerbit perizinan dan nonperizinan.
Pasal 41
Pengelola melengkapi SPIPISE dengan pusat pemulihan data.
BAB X KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 42
Penggunaan SPIPISE oleh PTSP BKPM, PTSP PDPPM, dan PTSP PDKPM dalam pelayanan perizinan dan nonperizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dilakukan secara bertahap dan berlaku sepenuhnya paling lambat 36 (tiga puluh enam) bulan sejak ditetapkan Peraturan Presiden tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di bidang penanaman modal.
Pasal 43
Dalam masa transisi belum terbangunnya SPIPISE dan/atau sudah terbangun tetapi PDPPM dan PDKPM belum terkoneksi dengan SPIPISE,
a. PDKPM menyampaikan setiap Pendaftaran Penanaman Modal/Izin Prinsip Penanaman Modal/Izin Usaha yang diterbitkan setiap hari kepada kepala PDPPM dengan tembusan kepada kepala BKPM melalui faksimili;
b. PDPPM mengirimkan setiap Pendaftaran Penanaman Modal/Izin Prinsip Penanaman Modal/Izin Usaha yang diterbitkan setiap hari ke BKPM melalui faksimili;
c. BKPM memasukkan data Pendaftaran Penanaman Modal/Izin Prinsip Penanaman Modal/Izin Usaha yang dimaksud pada huruf a dan huruf b ke dalam pangkal data (database) perizinan dan nonperizinan.
BAB XI ...
- 19 -
BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Iindonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2009
BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL, KEPALA,
ttd
GITA WIRJAWAN
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 510 Salinan sesuai dengan aslinya Sekretariat Utama BKPM Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan, Humas dan Tata Usaha Pimpinan Natalia Ratna Kentjana
LAMPIRAN V (Dokumentasi Penelitian)
DOKUMENTASI
1. Foto Bersama Informan
Wawancara dengan Bapak Rukim, SE., M.Si, Kepala Bidang Data dan Pengaduan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Lebak.
Wawancara dengan Bapak Atep Taupik Siregar, S.Kom, Tenaga IT bidang Penanaman Modal Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Lebak.
2. Foto Kegiatan Sosialisasi LKPM Online
Sosialisasi dan pembinaaan mengenai LKPM Online, dimana LKPM Online adalah bagian dari SPIPISE dengan pemateri dari BKPMPT
Provinsi Banten dan BKPM RI.
CURRICULUM VITAE
DATA DIRI
Nama : Didi Rosadi
Tempat dan Tanggal Lahir : Lebak, 15 Juni 1994
Alamat : Kp. Kadugawir Ds. Sumberwaras Kec. Malingping
Kabupaten Lebak Provinsi Banten Kode Pos.
42391
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Belum Kawin
Agama : Islam
Moto Hidup : “You’ll Never Walk Alone”
Hobi : Sepakbola dan Futsal
KONTAK
No. Kontak/HP : 08561375663
E-mail : [email protected]
Perguruan Tinggi : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan : Ilmu Administrasi Negara
NIM : 6661121564
Riwayat Pendidikan
Tahun Jenjang Pendidikan Nama Institusi Pendidikan
Sedang di tempuh Strata 1 (S1) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2009-2012 Sekolah Menengah Atas SMA Negeri 1 Malingping
2006-2009 Sekolah Menengah Pertama MTs MA Cikeusik Malingping
2001-2006 Sekolah Dasar SD Negeri 2 Bolang
Organisasi
Tahun Jenis/Nama Organisasi
2007-2008 OSIS MTs MA Cikeusik Malingping
2010-2011 KIR Logos SMAN 1 Malingping
2013-2014 Fosmai FISIP UNTIRTA