implementasi nilai pancasila dalam menangani …

18
408 | volume 8 nomor 3 IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI INTOLERANSI DI INDONESIA Pancasila Value Implementation In Handling Intolerence In Indonesia NINI ADELINA TANAMAL 1 , SAPTA BARALASKA UTAMA SIAGIAN 2 1 Dosen Tetap, Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Indraprasta PGRI Jakarta [email protected]; Hp. 082299093743 2 Alumni Program Pendidikan Angkatan (PPRA) LIV Lemhannas RI tahun 2016, Pendidikan Theologia [email protected]; Hp. 082114505248 ABSTRAK: Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila terbukti mampu mengayomi berbagai macam perbedaan yang ada dalam masyarakat. Namun, aksi intoleransi yang marak terjadi setelah Indonesia mengalami perubahan sistem pemerintahan, menunjukkan tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah untuk mempertahankan Pancasila. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penyebab timbulnya sikap intoleransi antar umat beragama di Indonesia dan bagaimana fungsi pemerintah dan masyarakat dalam menyelesaikan kekerasan dan diskriminasi terhadap sikap intoleransi antar umat beragama di Indonesia guna mengimplementasikan pancasila. Fungsi pemerintah dan masyarakat harus mampu menyelesaikan intoleransi antar umat beragama, dimana pemerintah melakukan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai aturan-aturan yang menjadi landasan kerukunan antar umat beragama dalam Pancasila dan UUD 1945 dengan dialog dan musyawarah dengan masyarakat. Maka tulisan ini memaparkan suatu studi kasus secara deskriftif kualitatif terhadap sikap intoleransi, melalui munculnya radikalisme dan terorisme yang secara nyata dan terjadi di Indonesia. Maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menemukan pemikiran-pemikiran dari pendiri bangsa tentang Pancasila guna memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang sistem ketahanan Nasional, karena pancasila sebagai dasar negara, dan Pancasila sebagai ideologi yang bisa menyatukan keragaman (Suku, etnis, agama, budaya, bahasa) untuk kesatuan bangsa. Kata kunci: Implementasi, Pancasila, intoleransi ABSTRACT: The values contained in Pancasila are proven to be able to protect various kinds of differences that exist in society. However, acts of intolerance that have raged after Indonesia changed in the system of government, show the challenges that must be faced by the government to defend Pancasila. The purpose of this study was to determine how the causes of intolerance among religious communities in Indonesia and how the government and society function in resolving violence and discrimination against intolerant attitudes between religious communities in Indonesia to implement Pancasila. The function of government and society must be able to resolve intolerance between religious communities, where the government conducts outreach to the community regarding the rules that are the basis for harmony between religious communities in Pancasila and the 1945 Constitution through dialogue and deliberation with the community. So this paper describes a qualitative descriptive case study of intolerance, through the emergence of radicalism and terrorism that is real and occurs in Indonesia. So it can be concluded that this research finds the ideas of the nation's founders about Pancasila to provide a complete understanding to the public about the National Resilience system, because Pancasila is the basis of the state, and Pancasila is an ideology that can unite diversity (ethnicity, ethnicity, religion, culture, etc. language) for the unity of the nation. Keywords: Implementation, Pancasila, intolerance

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI …

408 | v o l u m e 8 n o m o r 3

IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI INTOLERANSI

DI INDONESIA

Pancasila Value Implementation In Handling Intolerence

In Indonesia

NINI ADELINA TANAMAL1, SAPTA BARALASKA UTAMA SIAGIAN2

1Dosen Tetap, Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Indraprasta PGRI Jakarta [email protected]; Hp. 082299093743

2Alumni Program Pendidikan Angkatan (PPRA) LIV Lemhannas RI tahun 2016, Pendidikan Theologia [email protected]; Hp. 082114505248

ABSTRAK: Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila terbukti mampu mengayomi berbagai macam perbedaan yang

ada dalam masyarakat. Namun, aksi intoleransi yang marak terjadi setelah Indonesia mengalami perubahan sistem pemerintahan, menunjukkan tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah untuk mempertahankan Pancasila. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penyebab timbulnya sikap intoleransi antar umat beragama di Indonesia dan bagaimana fungsi pemerintah dan masyarakat dalam menyelesaikan kekerasan dan diskriminasi terhadap sikap intoleransi antar umat beragama di Indonesia guna mengimplementasikan pancasila. Fungsi pemerintah dan masyarakat harus mampu menyelesaikan intoleransi antar umat beragama, dimana pemerintah melakukan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai aturan-aturan yang menjadi landasan kerukunan antar umat beragama dalam Pancasila dan UUD 1945 dengan dialog dan musyawarah dengan masyarakat. Maka tulisan ini memaparkan suatu studi kasus secara deskriftif kualitatif terhadap sikap intoleransi, melalui munculnya radikalisme dan terorisme yang secara nyata dan terjadi di Indonesia. Maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menemukan pemikiran-pemikiran dari pendiri bangsa tentang Pancasila guna memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang sistem ketahanan Nasional, karena pancasila sebagai dasar negara, dan Pancasila sebagai ideologi yang bisa

menyatukan keragaman (Suku, etnis, agama, budaya, bahasa) untuk kesatuan bangsa.

Kata kunci: Implementasi, Pancasila, intoleransi

ABSTRACT: The values contained in Pancasila are proven to be able to protect various kinds of differences that exist in

society. However, acts of intolerance that have raged after Indonesia changed in the system of government, show the challenges that must be faced by the government to defend Pancasila. The purpose of this study was to determine how the causes of intolerance among religious communities in Indonesia and how the government and society function in resolving violence and discrimination against intolerant attitudes between religious communities in Indonesia to implement Pancasila. The function of government and society must be able to resolve intolerance between religious communities, where the government conducts outreach to the community regarding the rules that are the basis for harmony between religious communities in Pancasila and the 1945 Constitution through dialogue and deliberation with the community. So this paper describes a qualitative descriptive case study of intolerance, through the emergence of radicalism and terrorism that is real and occurs in Indonesia. So it can be concluded that this research finds the ideas of the nation's founders about Pancasila to provide a complete understanding to the public about the National Resilience system, because Pancasila is the basis of the state, and Pancasila is an ideology that can unite diversity (ethnicity, ethnicity, religion, culture, etc. language) for the unity of the nation. Keywords: Implementation, Pancasila, intolerance

Page 2: IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI …

409 | v o l u m e 8 n o m o r 3

PENDAHULUAN

Sejak negara ini merdeka, para pendiri Negara

Indonesia telah sepakat untuk menempatkan

Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan

falsafah hidup bangsa Indonesia. Ini berarti,

seluruh sendi kehidupan masyarakat, bangsa

dan Negara Indonesia, termasuk sistem

pemerintahan dan tata kelola bernegara,

berlandaskan pada kelima sila yang

terkandung dalam Pancasila, yaitu (1)

Ketuhanan yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan

yang adil dan beradab, (3) Persatuan

Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh

hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan, (5) Keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima

sila/prinsip ini jugalah yang mendasari

pemerintah Indonesia dalam mencapai empat

tujuan utamanya yang dipertegas kembali

pada Pembukaan UUD 1945. Ada makna yang

terkandung dalam UUD 1945 yang harus

diketahui, terutama pada bagian pembukaan.

Masyarakat Indonesia bisa menemukan

melalui UUD 1945 yaitu falsafah, pedoman,

dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan,

serta kepribadian bangsa [1]. Pembukaan

UUD memiliki peranan penting karena

terdapat makna tersendiri yang telah lama

dicita-citakan oleh tokoh perumusan

pancasila bangsa kita (Founding Fathers).

Bunyi Pembukaan UUD 1945 Alinea

Pertama: "Bahwa kemerdekaan itu ialah hak

segala bangsa dan oleh sebab itu, maka

penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,

karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan

dan perikeadilan." Makna pembukaan UUD

1945 alinea pertama menjelaskan bahwa a)

Keteguhan Bangsa Indonesia dalam membela

kemerdekaan melawan penjajah dalam segala

bentuk. b) Pernyataan subjektif bangsa

Indonesia untuk menentang dan manghapus

penjajahan di atas dunia. c) Pernyataan

objektif bangsa Indonesia bahwa penjajahan

tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri

keadilan. d) Pemerintah Indonesia

mendukung kemerdekaan bagi setiap bangsa

Indonesia untuk berdiri sendiri [1].

Pada pembukaan UUD 1945 alinea

ketiga: "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha

Kuasa dan dengan didorongkan oleh

keinginan luhur, supaya berkehidupan

kebangsaan yang bebas, maka rakyat

Indonesia dengan ini menyatakan

kemerdekaannya." Makna pembukaan UUD

1945 alinea ketiga: a) Motivasi spiritual yang

luhur bahwa kemerdekaan kita adalah berkat

rahmat Allah Yang Maha Kuasa. b) Keinginan

yang didambakan oleh segenap Bangsa

Indonesia terhadap suatu kehidupan yang

berkesinambungan antara kehidupan

material dan spiritual, dan kehidupan di dunia

maupun akhirat. c) adanya Pengukuhan

pernyataan proklamasi [2].

Maka pada alenia pertama dan

ketiga ingin menepis masalah intoleransi

yang seringkali menggambarkan secara

implisit tentang makna penjajahan yang

diperangi melalui konsep hidup

Page 3: IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI …

410 | v o l u m e 8 n o m o r 3

keberagamaan yang berbeda

(menganggap agamanya yang paling

benar dan tidak dapat bersikap

bertoleransi pada agama yang berbeda),

dan dilakukan tanpa melihat dari aturan

dan landasaan visional UUD 1945, yaitu:

1) melindungi segenap bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia, 2)

memajukan kesejahteraan umum, 3)

mencerdaskan kehidupan bangsa dan 4)

ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Namun, dalam dua dekade terakhir ini,

bermunculan gerakan-gerakan yang menolak

Pancasila dan berupaya untuk menggantikan

Pancasila dan menggunakan ideologi agama

untuk menjadi dasar negara Indonesia.

Bahkan atas nama agama dengan jumlah

pemeluk terbesar di Indonesia, kelompok-

kelompok intoleran turut andil dalam

menggoyahkan nilai-nilai dalam Pancasila [2],

terutama sila pertama, “Ketuhanan Yang

Maha Esa,” sila kedua, “Kemanusiaan yang

adil dan beradab,” dan sila ketiga, “Persatuan

Indonesia.” Kelompok intoleran ini dengan

sengaja melakukan intimidasi terhadap

kelompok pemeluk agama lainnya yang kerap

didukung juga oleh pemerintah setempat.

Yang lebih menyedihkan lagi, kelompok ini

dapat menghentikan ibadah kelompok agama

lain dengan cara menutup tempat ibadah dan

menarik ijin rumah ibadah dengan

mendapatkan dukungan dari masyarakat dan

pemerintah setempat, seperti yang terjadi

pada gereja HKBP Filadelfia di Bekasi dan GKI

Yasmin di Bogor [2].

Kebijakan dan program Implementasi

Nilai Nilai Pancasila dan UUD 1945 Dalam

Menghadapi Radikalisme dan Terorisme, guna

meningkatkan Ketahanan Ideologi dalam

rangka Ketahanan Nasional, merupakan

sebuah program bersama yang melibatkan

berbagai pihak yaitu negara, pemerintah dan

masyarakat.

Oleh karena itu, artikel ini secara

spesifik akan menggambarkan tentang

intoleransi beragama yang terjadi antara

kelompok radikal terhadap kaum minoritas di

Indonesia, serta menampilkan sejumlah data

yang terkait dengan pengrusakkan dan

penutupan rumah ibadah, khususnya gereja

[2].

Artikel ini bertujuan untuk

menunjukkan pentingnya Pancasila agar

dipertahankan sebagai falsafah hidup bangsa

dan untuk menjamin keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia di mana

rakyatnya terdiri dari berbagai macam suku,

agama dan ras.

Hal ini sangat penting karena persoalan

radikalisme dan terorisme bukan semata

menjadi ancaman dan tanggung jawab

negara, tapi sudah menjadi ancaman

kemanusiaan yang harus menjadi tanggung

jawab kita semua untuk mengatasinya.

Oleh sebab itu, artikel ini menyajikan

satu pemikiran yang berkaitan tentang

Implementasi Nilai Nilai Pancasila dan UUD

Page 4: IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI …

411 | v o l u m e 8 n o m o r 3

1945 yang harus sejalan dengan landasan

filosofis, landasan konstitusional serta

peraturan terkait lainnya, sehingga pemikiran

ini bisa mendukung pencapaian tujuan

pembangunan nasional. Implementasi Nilai

Pancasila dan UUD 1945 dan harus memiliki

landasan moral dan operasional yang sesuai

dengan jiwa, semangat dan amanah

konstitusi.

METODE

Metode yang digunakan dalam

penulisan ini menggunakan metode Kualitatif

studi kasus deskriptif, dimana penelitian yang

menggambarkan suatu keadaan, gejala, fakta

atau realita atas suatu kasus tertentu secara

lebih mendalam dengan melibatkan

pengumpulan beraneka sumber informasi

yang berhubungan dengan topik/judul. Studi

kasus yang digambarkan yaitu bagaimana

fakta atau realita terjadinya sikap intoleransi

di Indonesia yang akhir-akhir ini terjadi pada

suatu kepercayaan keagaamaan yang berbeda

dan dalam kategori minoritas. Hasil analisis

kemudian dipaparkan secara deskriptif

tematis melalui sumber sumber pustaka yang

mendukung penulisan melalui buku buku

yang ada serta karya ilmiah lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pancasila dan aksi intoleransi di

Indonesia

Sebagai dasar negara dan falsafah

hidup bangsa yang melandasi semua sendi

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara, Pancasila terbukti mampu

mengayomi dan melindungi seluruh warga

negara yang berbeda suku, agama dan ras.

Kelima sila dan 45 prinsip yang

terkandung dalam Pancasila merupakan

pedoman yang sangat ideal dalam mengatur

perilaku seluruh warga negara Indonesia dan

dalam mereka berhubungan satu dengan yang

lain sebagai bagian dari negara Indonesia,

serta untuk menjaga keutuhan NKRI.

a. Pancasila sebagai Landasan Idiil

Pancasila merupakan landasan idiil

dalam mengatasi persoalan radikalisme dan

terorisme. Gerakan radikalisme dan terorisme

secara khusus bertentangan dengan tiga sila

utama dalam pancasila yaitu Sila Ketuhanan

Yang Maha Esa, sila Kemanusiaan yang Adil

dan Beradab dan sila Persatuan Indonesia. Sila

Ketuhanan berarti kita harus mempercayai

dan mengimani keberadaan Allah SWT yang

Mengajarkan sifat kasih sayang, menolak

kekerasan dan toleransi. Gerakan radikalisme

dan terorisme sangat bertentangan dengan

sila Ketuhanan Yang Maha Esa karena

bertentangan dengan sifat ketuhanan yang

tidak boleh memaksakan kehendak dan

menggunakan cara kekerasan dalam

mencapai tujuan.

Gerakan radikalisme dan terorisme juga

bertentangan dengan Sila Kemanusiaan

karena radikalisme dan terorisme mendorong

Page 5: IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI …

412 | v o l u m e 8 n o m o r 3

munculnya tindakan kekerasan, pembunuhan,

kematian yang bertentangan dengan nilai

kemanusiaan dan tidak menghargai Hak Asasi

Manusia. Gerakan radikalisme juga

bertentangan dengan sila Persatuan

Indonesia, karena adanya pemaksaan

kehendak melalui cara cara kekerasan, dan

keinginan untuk mengganti dasar negara

Pancasila dengan dasar lainnya, akan merusak

persatuan dan kesatuan bangsa [3].

Seluruh butir yang terkandung dalam

lima sila Pancasila sesungguhnya telah

menjadi landasan ideal bagi seluruh rakyat

Indonesia dalam menjaga keutuhan bangsa.

Sayangnya, keadaan tersebut terganggu

setelah muncul aksi terorisme dan radikalisme

yang mendorong terjadinya intoleransi di

negara ini. Kelompok intoleran di Indonesia

mulai terlihat melakukan aksinya di akhir

tahun 1990-an, bersamaan dengan terjadinya

perubahan signifikan dalam pemerintahan

Indonesia. Tuntutan untuk mengubah sistem

politik menjadi lebih demokratis dan

transparan pada era reformasi, setelah

jatuhnya Presiden Soeharto, mendorong

Presiden ketiga Indonesia, B.J. Habibie

mengeluarkan Undang-undang (UU) No. 2

tahun 1999 tentang Partai Politik. UU ini

membuat politik menjadi wilayah publik di

mana setiap orang dapat terlibat di dalamnya

dan memberikan kesempatan kepada setiap

Warga Negara Indonesia (WNI) untuk

menyampaikan pendapat, berserikat dan

membuat partai politik [4].

b. UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusional Dalam pembukaan UUD 1945, salah

satu tugas negara adalah melindungi segenap

tumpah darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan ikut serta menciptakan

perdamaian dunia. Keberadaan gerakan

radikalisme dan terorisme merupakkan

ancaman terhadap keamanan dan

keselamatan seluruh warga bangsa. Negara

wajib melindungi warganya dari segala bentuk

ancaman kelompok kelompok radikal yang

menggunakan cara cara kekerasan dan

terorisme. Penanaman nilai nilai Pancasila dan

UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara, diharapkan bisa memberikan

imunitas atau kekebalan terhadap warga

negara, untuk tidak terpengaruh dengan

faham faham kelompok radikal yang

menggunakan cara kekerasan dalam

pencapaian tujuan. Implementasi nilai

Pancasila dan UUD 1945 bisa menjadi virus

untuk mencegah muculnya radikalisme dan

terorisme (deradikalisasi) secara lebih efektif

dan efisien [4].

c. Wawasan Nusantara sebagai Landasan Visional

Pada awal kemerdekaan, berdirinya

negara Indonesia tidak didasarkan karena

kesamaan etnis, suku, agama, bahasa,

budaya, dan kedaerahan. Akan tetapi

berdirinya negara Indonesia karena

Page 6: IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI …

413 | v o l u m e 8 n o m o r 3

sebagaimana tercantum dalam pembukaan

UUD 1945 adanya keinginan untuk hidup

bersama sebagai suatu bangsa dalam sebuah

negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil

dan makmur. Hal itu juga diperkuat dalam

Lambang negara Burung Garuda Pancasila

dengan semboyannya Bhinneka Tunggal lka

yang berarti berbeda beda tetapi tetap dalam

satu kesatuan juga. Keragaman etnis, suku,

agama, bahasa, dan budaya bukan alasan

untuk kita berpecah belah sebagai sebuah

bangsa. Perbedaan dan keragaman

merupakan sebuah khazanah kekayaan

bangsa yang bisa menjadi potensi atau

kekuatan, bukan malah menjadi kendala dan

penghambat terhadap persatuan dan

kesatuan. Disinilah urgensinya kita sebagai

sebuah bangsa mengelola sebuah keragaman

dalam semangat persatuan (unity in diversity).

Oleh sebab itu, adanya gerakan radikalisme

dan terorisme yang cenderung

menyeragamkan perbedaan, menjadi sebuah

ancaman terhadap harmoni sosial dan

persatuan nasional. Gerakan radikalisme

keagamaan muncul karena adanya

pemahaman yang sempit terhadap teks

ajaran agama, dan juga masih adanya

sekelompok kecil yang masih memiliki cita cita

ideology yang berbeda bahkan berlawanan

dengan cita cita nasional, yaitu keinginan

mendirikan sebuah negara berdasarkan

paham keagamaan satu kelompok tertentu,

dan mengabaikan keragaman dan perbedaan

dari kelompok lainnya.

d. Ketahanan Nasional sebagai Landasan

Operasional

Hakikat ketahanan nasional Indonesia

adalah keuletan dan ketangguhan bangsa

yang mengandung kemampuan

mengembangkan kekuatan nasional untuk

dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa

dan negara dalam mencapai tujuan nasional.

Hakikat konsepsi ketahanan nasional

Indonesia adalah pengaturan dan

penyelenggaraan kesejahteraan dan

keamanan secara seimbang, serasi, dan

selaras dalam seluruh aspek kehidupan

nasional [5].

Keberhasilan implementasi Nilai

Pancasila dan UUD 1945 dalam konteks

kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam

menghadapi gerakan radikalisme dan

terorisme, akan mampu memperkuat

ketahanan nasional. Nilai nilai Pancasila dan

UUD 1945 yang diyakini kebenarannya,

dihayati dan diamalkan oleh warga negara

Indonesia dalam perilaku kehidupan sosial

sehari hari, bisa menjadi kekuatan efektif

untuk menolak dan menangkal potensi

munculnya benih benih radikalisme dan

terorisme. Kekuatan ideologi Pancasila dan

UUD 1945 sebagai landasan idiil dan

konstitusional, diharapkan bisa mencegah

masuknya faham faham radikal dan aksi

terorisme yang akan merusak persatuan dan

kesatuan bangsa.

Kebebasan mengeluarkan pendapat,

berkumpul dan berserikat bukan hanya

Page 7: IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI …

414 | v o l u m e 8 n o m o r 3

mendorong terbentuknya lebih dari 150

partai politik di Indonesia pada saat itu,

namun juga memberikan kesempatan kepada

warga Indonesia untuk membentuk

organisasi-organisasi sosial-keagamaan.

Sayangnya, seperti yang disampaikan oleh

Bahtiar Effendy [6], sejumlah organisasi

kemasyarakatan yang dibentuk ini bukan

untuk meresponi masalah-masalah sosial,

ekonomi dan politik di Indonesia melainkan

untuk menyampaikan aspirasi keagamaan

mereka. Bahkan beberapa di antaranya

tumbuh menjadi kelompok agama yang

militan dan menyebarkan gagasan-gagasan

radikal di dalam masyarakat, seperti misalnya

Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin

Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia

(HTI), Forum Umat Islam (FUI), Gerakan

Reformis Islam (Garis), Aliansi Gerakan Anti

Pemurtadan (AGAP).

Dalam menghadapi perbedaan yang

ada di sekitar mereka, kelompok-kelompok

militan dan radikal ini tidak segan untuk

menggunakan cara-cara yang kasar dan

merusak, bahkan sampai merusak rumah-

rumah ibadah dari agama lain yang berbeda

atau kelompok aliran yang berbeda dari

agama mereka. Hal inilah yang kemudian

memunculkan intoleransi beragama di negara

ini. Beberapa kelompok radikal tersebut di

atas diduga memiliki hubungan dengan

kelompok separatis Darul Islam (DI) dan

Jemaah Islamiyah Indonesia (JII) yang

dinyatakan sebagai kelompok teroris oleh

pemerintah Indonsia. JII inilah yang

bertanggungjawab atas sejumlah aksi

pengeboman di Indonesia, termasuk terhadap

24 gereja pada malam natal tahun 2000.

Kelompok intoleran yang mengatas-

namakan agama Islam, memulai aksi mereka

dengan melakukan pengrusakan gereja di

beberapa daerah di Jawa Timur pada tahun

1996, seperti di Sidotopo, Kediri, dan

Situbondo, serta di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Hingga akhir Mei 1998, ada 145 gereja di

wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,

Tangerang, Yogyakarta, Lampung, Madura

dan Banjarmasin yang mengalami

pengrusakan akibat kekerasan yang dilakukan

oleh kelompok-kelompok intoleran

tersebut[4]. Gerakan intoleransi ini tidak

berakhir pada pengrusakan gereja saja,

namun bahkan menutup gereja-gereja

tersebut dan menyebabkan sejumlah umat

Kristen di lingkungan gereja tersebut

kehilangan hak mereka untuk beribadah.

Jumlah pengrusakan dan penutupan gereja

bahkan meningkat pesat di era reformasi.

Hingga tahun 2015, tercatat sedikit nya 641

gereja di Indonesia yang dirusak dan ditutup.

Akibatnya umat anggota gereja tersebut tidak

dapat beribadah atau terpaksa melakukan

ibadah mereka dengan cara sembunyi-

sembunyi. Jumlah ini, di luar jumlah

pengrusakan tempat ibadah yang terjadi pada

saat konflik Poso dan konflik Ambon selama

tahun 1998-2002. Tercatat 192 gereja dan 28

mesjid yang rusak pada saat terjadinya konflik

Page 8: IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI …

415 | v o l u m e 8 n o m o r 3

tersebut. Data pengrusakan dan penutupan

gereja di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1

[7][8].

Tabel 1 Jumlah Gereja yang Dirusak dan Ditutup di

Indonesia (Juni 1998-Des 2015)

No Propinsi Wilayah Jumlah

I Jawa Barat Bekasi 87 2 Bandung 81 3 Bogor 18 4 Cianjur 12 5 Depok 5 6 Sukabumi 4 7 Subang 2 8 Purwakarta 4 9 Cirebon 1 11 Indramayu 2 12 Garut 3 13 Sumedang 10 14 Karawang 6 15 Tasikmalaya 3 16 Cimalaya 1 17 Cimahi 11 18 Lembang 3 19 Cisarua 2 20 Ciamis 7 21 Cilacap 3 22 Sindanglaya 1 23 Rengasdengklok 1 24 Gresik 1

Total 268

Ii 25

Banten Banten

5

26 Tanggerang 38

Total 43

Iii 27

Dki Jakarta Jakarta Pusat

17

28 Jakarta Timur 17 29 Jakarta Barat 14 30 Jakarta Utara 6 31 Jakarta Selatan 3

Total 57

Iv 32

Jawa Tengah

Wonogiri 10

33 Kebumen 2 34 Semarang 2 35 Cirebon 5 36 Sukoharjo/Solo 9 37 Sragen 2 38 Magelang 1 39 Purworejo 5 40 Temanggung 4 41 Klaten/Trucuk 6

42 Brebes 1 43 Pekalongan 2 44 Delanggu 1 45 Kendal 2 46 Blora 1 47 Jepara 2 48 Bojonegoro 2 49 Tegal 4 50 Cepu 1

Total 63

V 51

Yogyakarta Pugeran

1

52 Sleman 5 53 Gunung Kidul 2 54 Bantul 3 55 Baciro 1 56 Yogyakarta 8

57 Total 20

Vi 58

Jawa Timur Jombang

1

59 Mojokerto 6 60 Malang 5 61 Lumajang 2 62 Surabaya 6 63 Sidoarjo 3 64 Sukolilo 1 65 Lamongan 1 66 Tuban 1 67 Blitar 1 68 Pasuruan 8 69 Lawang 1

70 Total 36

Vii 71

Sumut Tapanuli Selatan

2

72 Medan 5 73 Binjai 2 74 Padang Laras 1 75 Sibolga 1 76 Asahan 2

77 Total 13

Viii 78

Sumatera Barat

Pasaman

1

Total 1

Ix 79

Aceh Singkil

37

80 Serangen 4 81 Lhoksaumawe 3 82 Peunayong 1 83 Seunagan 1

Total 46

X 84

Sumatera Selatan

Palembang

2

Total 2

Xi 85

Bengkulu Kaur

4

Page 9: IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI …

416 | v o l u m e 8 n o m o r 3

Total 4

Xii Lampung Lampung 4

Total 4

Xiii 86

Riau & Kepulauan Riau

Tembilahan Hulu

1

87 Pekanbaru 3 88 Dumai 1 89 Ulu 1 90 Kampar 1 91 Kepulauan Riau 1 92 Rokan Hulu 1 93 Teluk Kuantan 1 94 Kuantan Singingi 3

Total 13

Xiv 95

Maluku Ambon

2

Total 2

Xv 96

Sulawesi Tengah

Poso

5

97 Palu 5

Total 10

Xvi 98

Sulawesi Selatan

Pangkep

2

99 Luwu 6 100 Makasar 14 101 Bulukumba 1

Total 23

Xvii Kalimantan Timur

Bontang

1

103 Kab.Pasir 1

Total 2

Xviii 104

Jambi Kota Baru

2

Total 2

Xix 105

Kalimantan Selatan

Banjarmasin

3

Total 3

Xx 106

NTB Bima

1

107 Lombok 15 108 Mataram 13

Total 29

Total 641

Berdasarkan Dari data Tabel 1, dapat

kita lihat bahwa aksi intoleransi umat Islam

terhadap umat Kristen paling besar terjadi di

wilayah Jawa Barat seperti di Bekasi,

Bandung, Bogor dan Singkil, Aceh. Namun,

intoleransi beragama tidak hanya terjadi dari

umat Islam radikal terhadap umat Kristen,

melainkan juga terhadap umat beragama

minoritas lainnya, seperti Ahmadiyah, Baha’i,

Syiah, Falun Gong dan beberapa kelompok

agama tradisional lainnya [9].

Aksi intoleransi di Indonesia bukan

hanya dilakukan oleh kelompok Islam radikal.

Di wilayah di mana umat Kristen menjadi

mayoritas, ternyata tindak intoleransi

terhadap warga minoritas lainnya juga terjadi.

Di Manado, Sulawesi Utara misalnya, ada

kelompok Brigade Manguni (BM) yang

dibentuk sejak tahun 1999 dengan tujuan

untuk menjaga keamanan dan stabilitas di

Sulawesi Utara ketika terjadi kerusuhan di

Poso dan di Ambon. Saat ini, ketika konflik di

Poso dan Ambon telah berakhir, BM tetap

melakukan aktivitas mereka menjaga

keamanan di wilayah Manado, namun mereka

dituding melakukan kekerasan terhadap

tempat ibadah dan umat Islam yang hendak

mendirikan mesjid seperti Masjid Asy-

Syuhada di Kompleks Aer Ujang, kelurahan

Girian Permai, di daerah Bitung. Kelompok ini

bahkan merusak mesjid dan rumah sejumlah

tokoh agama serta warga lainnya yang

beragama Islam. Salah satu bentuk

keberagaman yang terdapat di Indonesia

adalah persoalan agama. Indonesia bukan

negara sekuler, bukan pula negara agama,

akan tetapi pengakuan terhadap agama oleh

negara hanya meliputi enam agama saja, yaitu

Islam, Hindhu, Budha, Kristen, Katolik, dan

Page 10: IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI …

417 | v o l u m e 8 n o m o r 3

Kong Hu Chu. Apabila dilihat dari sisi jaminan

kebebasan beragama yang ada dalam

konstitusi, sesungguhnya apa yang ditentukan

oleh negara ini bertentangan, karena negara

justru memberikan pembatasan dengan

menentukan jumlah tertentu dari agama yang

boleh dipeluk, dengan kata lain agama selain

yang ditentukan itu tak boleh hidup di

Indonesia. Ini sesuatu yang paradoksa [10].

Aksi intoleransi lainnya juga terjadi di

Papua pada pertengahan Juli tahun 2015 lalu

di mana Badan Pekerja Gereja Injili di

Indonesia (GIDI) wilayah Toli melarang umat

Islam merayakan Idul Fitri di Karubaga,

Kabupaten Tolikara, Papua, tepat pada hari

raya Idul Fitri. Kemarahan dan serangan

warga gereja terhadap umat Muslim yang

sedang beribadah Sholat Ied dan merayakan

Idul Fitri ini dituding telah menyebabkan

kekacauan dan menimbulkan ketakutan

warga setempat. GIDI di wilayah Tolikara ini

juga dituding telah melarang didirikannya

gereja lain di wilayah tersebut serta melarang

umat Kristen yang ada di Tolikara untuk

beribadah di gereja lain yang denominasinya

berbeda dengan GIDI. Pandangan yang

dimiliki oleh GIDI Papua juga dimiliki oleh

sejumlah gereja Kristen lainnya di Indonesia

yang dianggap fundamental dan

mendapatkan pengaruh dari para penginjil

dari Amerika Serikat. Sejalan dengan

berkembangnya paham Kristen evangelistik

yang fundamentalis untuk melawan

moderenisme di Amerika Serikat tahun 1950-

an, sejumlah gereja di Indonesia pun mulai

mengikuti trend yang sama pada tahun 1970-

an. Meskipun gereja-gereja aliran

fundamentalistik ini tidak melakukan aksi

kekerasan, namun semangat penginjilan yang

tinggi serta upaya untuk menarik orang-orang

di luar agama Kristen untuk memeluk agama

Kristen menimbulkan masalah tersendiri. Isu

kristenisasi ini sangat rentan menimbulkan

ketegangan antar umat beragama.

Implementasi Nilai Pancasila

Implementasi merupakan suatu proses

penerapan ide, konsep, kebijakan, atau

inovasi dalam suatu tindakan praktis

sehingga memberi dampak, baik berupa

perubahan pengetahuan, keterampilan

maupun nilai, dan sikap. Dalam Oxford

Advance Learner’s Dictionary dikemukakan

bahwa implementasi adalah “Put something

into effect”, (penerapan, sesuatu yang

memberikan efek atau dampak). Sedangkan

nilai nilai Pancasila adalah nilai nilai yang

terdapat dalam lima sila Pancasila yaitu nilai

ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai

persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan

sosial. Jadi implementasi nilai pancasila

adalah sebuah proses penerapan, ide

konsep, kebijakan untuk menerapkan atau

mengaplikasikan lima nilai Pancasila dalam

kehidupan individu, sosial kemasyarakatan

dan kebangsaan.

Radikalisme

Page 11: IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI …

418 | v o l u m e 8 n o m o r 3

Munculnya perilaku radikalisme yang

cenderung mengarah kepada kekerasan

ekstrimisme (violent extrime) dari kelompok

kelompok keagamaan, pada dasarnya

merupakan sebuah tindakan menyimpang

(deviasi) dari sebuah pemahaman teks

menjadi sebuah tindakan sosial. Deviasi

aktualisasi keberagamaan dari spirit damai

kepada tindakan radikalisme yang cenderung

menggunakan pendekatan-pendekatan

kekerasan baik dalam konteks sosial dan

politik dapat diindentifikasi dari dua aspek, 1)

aspek internal, yaitu berupa emosi

keagamaan yang berdasarkan interpretasi

ajaran agama. dan 2) aspek eksternal, yaitu

lingkungan budaya, sosial dan politik yang

membentuk radikalisme keberagamaan,

seperti pada masa represif politik Orde Baru

[11].

Dengan demikian, radikalisme dan

kekerasan atas nama agama tidak disebabkan

oleh variabel tunggal, yaitu internalisasi nilai

keagamaan yang tekstualis (skripturalis),

melainkan multi variabel yang berinterseksi

[12]. Misalnya menyebut variabel emosi

negatif yang terepresi. Variabel ini adalah

hasil reduksi dari konsepsi (conception) teori

interaksionisme simbolik dan lainnya. Ia

mengamati secara kualitatif bentuk

radikalisme yang berlandaskan kekerasan

ekstrem dimana pelaku sanggup menjadi

combattan bagi misi tertentu dengan impuls

psikis.

Nilai keagamaan yang dikategorikan

moderat berpotensi pula untuk menjalankan

kekerasan agama yang ekstrem dalam bentuk

serangan-serangan individual yang

combattan. Hal ini merupakan modeling dari

suatu penelitian kuantitatif [13], atas

radikalisme yang berada dalam relasi negara

dan organisasi para-militer dimana terjadi

interaksi kepercayaan dan ketidakpercayaan

antar negara dan organisasi para-militer dan

internal organisasi para militer.

Hubungan antara mayoritas dan

minoritas dalam masyarakat majemuk

menurut Ted R. Gurr terdiri dari 4 hal yaitu

containment, assimilasi, pluralism dan power

sharing. Containment adalah suatu strategi

kelompok mayoritas untuk menjaga agar

kelompok minoritas tetap terpisah dan dalam

posisi yang tidak sama dengan kelompok

mayoritas. Asimilasi adalah strategi yang

ditujukan kepada kelompok minoritas agar

meninggalkan identitas kelompoknya dan

mengadopsi budaya kelompok mayoritas.

Sedangkan pluralisme memberikan tempat

yang lebih besar terhadap hak-hak bersama

dan kepentingan-kepentingan minoritas.

Power sharing adalah tingkat hubungan yang

paling seimbang sebab semua kelompok dan

identitas budaya diakui sebagai elemen dasar

dari masyarakat dan diberikan ruang publik

yang sama di antara kelompok-kelompok

tersebut [14].

Studi radikalisme (Kydd-Walter)

menganalisis kekerasan ekstrem yang

Page 12: IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI …

419 | v o l u m e 8 n o m o r 3

dilakukan individu Hamas (individu dari

organisasi para-militer) terhadap Israel

(negara), seperti pada Gambar 1 [13].

Gambar 1. Dari Moderat ke Perilaku Kekerasan Ekstrim

Salah satu bentuk radikalisme yang

ekstrem dapat kita lihat dalam peristiwa bom

bunuh diri yang terjadi beberapa kali di

Indonesia. Perilaku tersebut tak-dapat lagi

dinilai sebagai akumulasi dari tafsir

skripturalis yang kedap kritik, sekaligus

menandai jejaring baru dimana komunitas itu

tumbuh dan eksis disamping politik aliran di

Indonesia. “Ideological archaeology is not the

answer,” kata Amy Zalman [15].

Terorisme

Terorisme adalah paham yang

berpendapat bahwa penggunaan cara-cara

kekerasan dan menimbulkan ketakutan

adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan

[16]. Oleh sebab itu teror merupakan reaksi

jahat yang dipandang “lebih jahat” oleh

pelaku, sehingga bukan merupakan

kejahatan yang berdiri sendiri

(interactionism) dan dapat dikelompokkan

kedalam kejahatan balas dendam (hate

crimes) [17].

Awalnya terorisme dikategorikan

sebagai kejahatan terhadap negara (Crime

Against State) tapi lambat laun berkembang

menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan

(Crime Against Humanity). Terorisme

memiliki berbagai karakteristik, salah satu

karakteristik terorisme adalah semangat

radikalisme agama. Kelompok-kelompok

radikalis agamapun ditengarai menggunakan

metode teror untuk mencapai

kepentingannya. Kekerasan politik dalam

bentuk teror seringkali dijadikan alat untuk

mencapai tujuan. Kelompok jihad Islam di

Mesir, jihad Islam di Yaman National Isamic

Front di Sudan, Al-Qaeda yang berbasis di

Afganistan, Jamaah Islamiyah yang berbasis

di Malaysia atau kelompok-kelompok

radikal Yahudi seperti Haredi, Bush

Emunim, Kach Kaheni di Israel adalah

sekedar contoh elemen-elemen dengan

spirit radikalisme agama yang cenderung

mengedepankan kekerasan dan teror [18].

Memasuki abad ke 21, modus operandi

terorisme mulai berkembang dengan

mengadopsi kemajuan teknologi

komunikasi, elektronik, transportasi dan

perkembangan ilmu pengetahuan di bidang

kimiawi. Tragedi 11 September 2001

merupakan bukti konkrit dari perkembangan

ini. Dua pesawat komersial Amerika Serikat

menabrak gedung kembar World Trade

Center (WTC), dan salah satu pesawat lagi

menabrak Pentagon, gedung pusat

pertahanan Amerika Serikat. Politik kambing

Page 13: IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI …

420 | v o l u m e 8 n o m o r 3

hitam (Scape Goart Theory) pun dilancarkan

untuk mengurangi rasa malu Negara yang

mengaku sebagai adi kuasa.

Penahanan dan

pengadilan terhadap sejumlah individu dan

kelompok di negara-negara Asia Tenggara

seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan

Indonesia atas tuduhan keterlibatan dalam

aksi terorisme mengindikasikan bahwa

kelompok-kelompok tersebut memiliki

keterkaitan secara regional satu sama lain,

dan juga dengan kelompok-kelompok radikal

internasional [19].

Artikel ini merupakan bagian dari upaya

deradikalisasi melalui pemahaman kembali

nilai nilai Pancasila dan UUD 1945, dalam

menghadapi munculnya faham faham

radikalisme dan terorisme di masyarakat.

Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi bagian

dari 4 konsensus dasar yang bersumberkan

dari nilai ajaran agama, kebudayaan, nilai-nilai

yang berkembang di masyarakat diharapkan

bisa menjadi budaya kearifan lokal dalam

melakukan counter radikalisme melalui

pelaksanaan nilai Pancasila.

Tentunya konsep implementasi

Pancasila dan UUD 1945 menggunakan

pendekatan berbeda dibandingkan program

sejenis yang pernah ada selama Orde Baru.

Program implementasi Pancasila tidak hanya

sekedar menyentuh aspek kognitif

(pengetahuan) tapi juga sudah menyentuh

level attitude dan psikomotorik, sehingga bisa

menimbulkan kesadaran baru tentang

urgensinya kembali kepada nilai nilai

Pancasila. Model implementasi tidak lagi

bersifat monolog, satu arah tapi sudah lebih

dialogis dan demokratis. Implementasi nilai

Pancasila tidak lagi bersifat elitis tapi sudah

lebih populis karena sudah menjadi kesadaran

bersama semua rakyat Indonesia. Sebuah

kesadaran baru tentang pentingnya

mengamalkan nilai Pancasila sebagai benteng

terakhir menghadapi radikalisme dan

terorisme atas nama keyakinan agama.

Ada tiga faktor yang mempengaruhi

munculnya radikalisme dan aksi terorisme

diantaranya: (1) pemahaman teks suci

keagamaan yang sempit, literalis dan

tekstualis. Pemahaman sempit ini dilatar

belakangi oleh bahan bacaan, lingkungan

pergaulan, latar belakang pendidikan.

Keberagamaan sempit ini membuat mereka

mudah menganggap orang lain yang tidak

sealiran sebagai kelompok yang sesat, kafir,

sekuler dan labelling negative lainnya. (2)

rezim pemerintahan negara yang dianggap

memusuhi kelompok agamanya. Negara

dianggap musuh agama yang harus dilawan.

Dasar negara yang tidak sesuai dengan

keyakinannya harus dilawan dan tidak ditaati.

Muncul upaya untuk melawan negara dan

menggantikannya dengan rezim yang

seagama dan se-ideology. Mereka akan

melakukan tindakan radikal ekstrimis dan

teroris dalam rangka memperjuangkan cita

cita ideologinya. (3) transformasi pemikiran,

gagasan, ide dan gerakan dari luar negeri yang

mencoba diadopsi dan direplikasi untuk

Page 14: IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI …

421 | v o l u m e 8 n o m o r 3

diterapkan di Indonesia. Pemikiran politik

keagamaan yang trans-nasionalisme ini tidak

sesuai dengan cita cita bangsa Indonesia

sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan

UUD 1945.

Penamanan nilai nilai Pancasila dan

UUD 1945 dengan model pendekatan yang

lebih menarik, intelektual, akademis

diharapkan bisa menjadi counter wacana

terhadap pemahaman keberagamaan yang

sempit. Pancasila tidak hanya sekedar teoritis

belaka yang tidak bisa dilaksanakan, tapi

ajaran Pancasila sudah hidup, menjadi

perilaku dan akhlak para pendiri bangsa. Para

founding father bangsa ini telah

memperaktekkan nilai nilai Pancasila dan

menjadi mata air keteladanan yang layak

diteladani oleh generasi muda bangsa

Indonesia [20]. Karena dalam Pancasila kita

belajar dan memahami pentingnya nilai nilai

ketuhanan dengan sifat kasih sayangnya yang

sangat menghormati HAM, kita belajar nilai

kemanusiaan, keadilan dan keberadaban, nilai

persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan

sosial. Kelima nilai Pancasila tersebut selama

ini terbukti mampu menjaga keutuhan bangsa

sejak dulu hingga sekarang. Gagasan para

pendiri bangsa tentang Pancasila seolah

menjadi roh dasar dalam pembangunan

kebangsaan yang sangat progresif dan

revolusioner [21].

Kelima nilai Pancasila tersebut sangat

kontra dengan nilai nilai kelompok

radikalisme terorisme yang cenderung

menghalalkan segala cara, menolak

keberagaman, pro terhadap kekerasan dan

tindakan kekejaman lainnya. Dengan

kesadaran nilai nilai Pancasila dan UUD 1945,

maka tidak ada lagi radikalisme dan terorisme

yang muncul atas nama agama, memaksakan

kehendak untuk mengubah dasar negara

dengan keyakinan ideology lain. Karena

dengan Pancasila-lah, ideology yang bisa

merancang dan menjadi arsitektur dalam

membangun demokrasi bangsa ini sesuai

dengan cita cita awal para pendiri bangsa

[22].

Konsep ketahanan nasional merupakan

gabungan antara gatra ilmiah (trigatra) dan

gatra dalam kehidupan sosial masyarakat dan

politik (Pancagatra) yang meliputi ideology,

politik, ekonomi, sosial budaya dan

pertahanan keamanan (Ipoleksosbud dan

Hankam). Aksi aksi radikalisme berdampak

dan mengancam ketahanan nasional

khususnya pada Panca Gatra yaitu:

a. Ancaman terhadap Ideologi Pancasila dan UUD 1945

Karena jelas aksi radikalisme dan

terorisme merupakan sarana/tindakan antara

karena tujuan akhir adalah merebut

kekuasaan dan mengganti ideology negara

Pancasila dan UUD 1945 diganti dengan dasar

negara yang bersumber dari idologi maupun

ajaran keagamaan. Seperti yang dikatakan

oleh Abu Bakar Baasyir, Amir Majelis

Page 15: IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI …

422 | v o l u m e 8 n o m o r 3

Mujahidin Indonesia berpendapat bahwa

Pancasila adalah rekayasa pihak

Kristen/Katolik untuk menghancurkan institusi

Islam di Indonesia [23]. Jadi radikalisme

merupakan ancaman terhadap Pancasila dan

UUD 1945.

b. Ancaman terhadap Keutuhan Politik,

Aksi radikalisme bisa mengancam

ketahanan nasional karena menimbulkan

instabilitas politik, menurunkan kepercayaan

negara negara luar terkait jaminan keamanan

investasi dan rasa aman didalam negeri. Kasus

Bom Bali, Bom Kedubes Australia, Bom Polres

Cirebon memperlihatkan bahwa sasaran

terorisme sudah sangat beragam tidak lagi

rakyat sipil, tapi sudah kepada aparatur

negara, kedutaan asing dan warga asing di

Indonesia.

c. Stabilitas Perekonomian terganggu,

Aksi radikalisme dan terorisme bisa

mengganggu perekonomian karena

mempengaruhi nilai tukar rupiah, harga

rupiah menjadi anjlok dan dolar naik.

Akibatnya harga kebutuhan menjadi semakin

mahal, daya beli rakyat melemah, investor

ketakutan bahkan mereka menarik modalnya

dari Indonesia, PHK dimana mana, sehingga

timbul kekacauan dimana mana

d. Sosial Budaya,

Aksi radikalisme dan terorisme bisa

merusak tatanan budaya masyarakat dan

mengganggu kohesifitas sosial. Masyarakat

menjadi mudah curiga terhadap orang lain,

tidak ada lagi rasa toleransi dan perdamaian,

karena mereka menjadi mudah terhasut dan

terprovokasi. Dari aspek budaya, aksi

radikalisme dan terorisme bisa merusak

tatanan budaya masyarkat Indonesia yang

selama ini dikenal sangat toleran, beradab,

sopan santun, lemah lembut menjadi budaya

yang beringas, kasar, barbar dan biadab.

e. Pertahanan dan Keamanan,

Aksi radikalisme dan terorisme telah

mengakibatkan korban luka dan kematian

bagi mereka yang tidak bersalah. Dari aspek

pertahanan, aksi radikalisme terorisme

membuat kekuatan pertahanan lebih banyak

dikonsentrasikan untuk menghadapi

kelompok radikalis teroris, ketimbang

menghadapi serangan dari luar. Dari sisi

keamanan, aksi radikalisme telah

menciptakan gangguan instabilitas keamanan

karena akan menimbulkan rasa cemas,

ketakutan orang untuk berada di kawasan

umum karena khawatir ada serangan bom

bunuh diri dan lainnya. Orang mulai

mencurigai dan menjadi paranoid terhadap

setiap orang asing di wilayahnya.

Kontribusi Nilai Pancasila Terhadap Ketahanan Nasional

Dengan penanaman nilai Pancasila yang

terus menerus, intensif, massif, terkoordinasi

dan terintegrasi dengan baik, akan membuat

faham dan gerakan radikal menjadi mati dan

tidak berkembang. Gerakan radikal mati

karena sudah tidak ada lagi orang yang mau

terlibat dan berjuang bersamanya. Mereka

Page 16: IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI …

423 | v o l u m e 8 n o m o r 3

tidak mau dibodohi dengan ideologi maut

yang membuat mereka mati sia sia.

Dengan matinya gerakan dan ideologi

radikal, maka akan berdampak terhadap

suasana kehidupan sosial masyarakat yang

lebih tenang, damai, aman dan tanpa ada rasa

ketakutan. Suasana ini akan berdampak

terhadap ketahanan ideologi Pancasila karena

ajaran Pancasila semakin bisa dipercaya dan

dirasakan kebenarannya. Ketahanan ideologi

Pancasila pada akhirnya akan berdampak

terhadap ketahanan nasional bangsa

Indonesia.

Oleh sebab itu perlu sebuah kebijakan

yang komprehensif dan terpadu dalam

penanaman Nilai-Nilai Pancasila dan UUD

1945 sehingga hasilnya bisa lebih optimal.

Kebijakan tersebut harus didukung oleh

dengan langkah-langkah strategis dan upaya

upaya teknis untuk melaksanakan strategi

tersebut pada tingkat operasional. Dengan

Kebijakan, Strategi dan Upaya yang lebih

kongkrit, pemerintah dan jajarannya bersama

masyarakat dapat bersinergi melakukan

penanaman Nilai-Nilai Pancasila dan UUD

1945 sebagai bagian deradikalisasi dalam

menghadapi radikalisme dan terorisme. Maka

pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam

Negeri RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia RI, Menteri Komunikasi dan

Informatika RI, Jaksa Agung RI, Kepala

Kepolisian Negara RI, Kepala Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme memutuskan No.

220-4780 Tahun 2020, No. M.HH-14.HH.05.05

tahun 2020, No. 690 Tahun 2020, No. 264

Tahun 2020, No. KB/3/XII/2020, No. 320

Tahun 2020 tentang larangan kegiatan,

penggunaan simbol dan atribut serta

penghentian kegiatan Front Pembela Islam

tertanggal 30 Desember 2020 untuk

dibubarkan, ini adalah keputusan yang terbaik

yang diambil oleh pemerintah guna

melaksanakan dan menerapkan Implementasi

pancasila dan UUD 1945 demi kesejahteraan

dan keamanan Negara Republik Indonesia

yang bertoleransi dan bermartabat.

SIMPULAN

Munculnya aksi aksi radikalisme dan

terorisme telah menjadi ancaman nyata bagi

kelangsungan ideologi Pancasila dan keutuhan

NKRI. Ideologi radikal yang menggunakan

cara-cara kekerasan, teror, menebar

ancaman, kebencian telah menimbulkan

instabilitas politik dan keamanan,

mengganggu perekonomian Indonesia karena

membuat investor luar takut untuk datang

dan berinvestasi, jatuhnya nilai tukar rupiah,

tidak adanya jaminan kepastian hukum dan

keamanan serta mengancam persatuan dan

kesatuan. Ideologi radikalisme juga

bertentangan dengan Nilai-Nilai Pancasila

yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai

persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan

sosial.

Ancaman terhadap ideologi Pancasila

dan UUD 1945 secara langsung berdampak

terhadap ketahanan nasional. Dengan tidak

Page 17: IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI …

424 | v o l u m e 8 n o m o r 3

adanya Pancasila sebagai dasar negara, maka

tidak ada lagi ideologi yang bisa menyatukan

keragaman (Suku, etnis, agama, budaya,

bahasa) sehingga mengancam persatuan dan

kesatuan bangsa. Pancasila tidak lagi

berfungsi sebagai simbol pemersatu bangsa

karena sudah digantikan dengan ideologi lain.

Kondisi ini akan berdampak terhadap

ketahanan nasional karena bisa mengganggu

dan menghancurkan eksistensi sebuah bangsa

yang bernama Indonesia.

Kebijakan program penanaman nilai

Pancasila dan UUD 1945 saat ini dipandang

penting dan memiliki relevansi mengingat

kondisi bangsa yang masih menghadapi

ancaman dari kelompok kelompok radikal

teroris. Penanaman nilai Pancasila tentunya

berbeda dengan apa yang pernah dilakukan di

era Orde Baru. Penanaman nilai Pancasila

yang sekarang ini dilakukan pada era

demokrasi yang penuh kebebasan dan

keterbukaan. Tujuannya bukan untuk

mempertahankan rezim negara, tapi untuk

menjaga keutuhan bangsa, menciptakan

kondisi negara yang damai, aman, tenteram,

toleran, menghargari perbedaan dan

keragaman

Kebijakan penanaman nilai Pancasila

harus dilakukan secara sinergi dan koordinatif

dengan melibatkan berbagai sektor yang ada,

dan konten materinya harus komprehensif,

integral dan berkelanjutan dengan

memperhatikan kondisi sasaran peserta, latar

pendidikan, pengalaman, usia dengan metode

pendekatan yang dialogis, demokratis dan

partisipatif.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Stev Koresy Rumagit, (2013). Kekerasan

Dan Diskriminasi Antarumat Beragama

Di Indonesia, Jurnal Lex Administratum,

Vol.I/No.2/Jan-Mrt

[2] Cahyo Pamungkas, (2014). Toleransi

Beragama Dalam Praktik Sosial Studi

Kasus Hubungan Mayoritas dan

Minoritas Agama di Kabupaten

Buleleng, jurnal Epistemé, Vol. 9, No. 2,

Desember

[3] Devi Ariyani. (2015). Fenomena

Gerakan Radikalisme ISIS di Indonesia:

Analisis Isi terhadap pemberitaan

media online Mengenai Gerakan ISIS di

Indonesia, Surakarta: FKIP Universitas

Muhammadiyah

[4] Singh, Bilveer, (2001). Habibie and The

Democratisation of Indonesia, Sydney:

Book House

[5] Tim Pokja, (2016) Geo Strategi dan

Konsep Ketahanan Nasional, Lemhanas

RI

[6] Effendy, Bahtiar. (2003). Islam and the

State in Indonesia, Singapore: ISEAS

[7] Kampschulte, Theodor. (2001), Situasi

HAM di Indonesia: Kebebasan

Beragama dan Aksi Kekerasan,

Internationales Katholicsches

Page 18: IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENANGANI …

425 | v o l u m e 8 n o m o r 3

Missioswerk e.v Fachstelle

Menschenrechte

[8] Persatuan Gereja-gereja di Indonesia.

(2016). PGI Laporan Tahunan tentang

Intoleransi Beragama (1998-2015).

Jakarta:

[9] Alternative Report of Indonesia’s ICCPR

State Report (2012)

[10] Rini Fidiyani, (2013). Kerukunan Umat

Beragama Di Indonesia (Belajar

Keharmonisan dan Toleransi Umat

Beragama Di Desa Cikakak, Kecamatan

Wangon, Kabupaten Banyumas), Jurnal

Dinamika Hukum, Volume 13, Nomor 3

[11] Syamsul Bakrie,(2004). Islam dan

Wacana Radikalisme Agama

Kontemporer, DINIKA Vol. 3 No. 1,

Januari

[12] Jonathan H. Turner, (2005). Self,

Emotions, and Extreme Violence:

Extending Symbolic Interactionist

Theorizing.” Symbolic Interaction, Vol.

30, Issue 4

[13] Ted Robert Gurr, (1998), Minorities at

Risk, A Global View of Ethnopolitical

Conflicts, Washington DC: United State

Institute of Peace Press

[14] Andrew Kydd; Barbara F. Walter, (2002)

Sabotaging the Peace: The Politics of

Extremist Violence, International

organization, Vol. 56, No. 2.

[15] Amy Zalman, (2008). Countering Violent

Extremism: Beyond Words, Policy Paper

5, The EastWest Institute

[16] Muchamad Ali Syafa’at, (2003). Tindak

Pidana Teror Belenggu Baru bagi

Kebebasan dalam “terrorism, definisi,

aksi dan regulasi”, Jakarta : Imparsial

[17] Nasir Abas, (2 0 1 2 ) , Kajian tentang

Terorisme, Makalah disampaikan pada

Diskusi Kajian tantang Terorisme di

Ditjenstarahan Kemhan tanggal 16

Januari

[18] Luqman Hakim, (2004). Terorisme

Indonesia, Forum Studi Islam,

Surakarta: Surakarta FSIS

[19] Azyumardi Azra, (2012). Islam Politik

Radikal di Indonesia : Akar Ideologi

Terorisme, Makalah disampaikan pada

Diskusi Kajian tentang Terorisme di

Ditjenstrahan Kemhan tanggal 16

Januari

[20] Yudi Latif, (2014). Mata Air

keteladanan: Pancasila Dalam

Perbuatan, Bandung. Mizan

[21] Hariyono, (2014). Ideologi Pancasila; Roh

Progresif Nasonalisme Indonesia,

Malang: Instrans Publishing

[22] Haryono, (2013). Arsitektur Demokrasi

Indonesia, Malang: Setara Press

[23] A.M. Hendropriyono, (2009), Terorisme:

Fundamentalisme Kristen, Yahudi, dan

Islam, Jakarta: Kompas gramedia