implikasi putusan mahkamah konstitusi nomor...

67
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XIII/2015 TENTANG PASANGAN CALON TUNGGAL TERHADAP DEMOKRASI DI INDONESIA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : Ahmad Kandiaz NIM: 1113048000033 KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439H / 2018M

Upload: phamhanh

Post on 10-Mar-2019

249 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XIII/2015

TENTANG PASANGAN CALON TUNGGAL TERHADAP DEMOKRASI

DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Ahmad Kandiaz

NIM:

1113048000033

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439H / 2018M

Page 2: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

i

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-

XIII/2015 TENTANG PASANGAN CALON TUNGGAL TERHADAP

DEMOKRASI DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu

Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Ahmad Kandiaz

1113048000033

Pembimbing I Pembimbing II

Nur Rohim Yunus, LLM

NIP. 19790416 201101 1 004

Dwi Putri Cahayawati S.H, M.H

NIDN. 0306047002

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439H / 2018 M

Page 3: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS
Page 4: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS
Page 5: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

iv

ABSTRAK

Ahmad Kandiaz, NIM 1113048000033, “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi

No 100/PUU-XIII/2015 Terhadap Demokratisasi di Indonesia (Tinjauan Yuridis

Undang-Undang No 10 Tahun 2016)”, Strata Satu (S1), Konsentrasi Hukum

Kelembagaan Negara, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/ 2018 M, vi+59 halaman. Skripsi ini bertujuan

untuk mengetahui dampak dari pemberlakuan calon tunggal kepala daerah terhadap,

masyarakat, mekanisme pemilihan kepala daerah, dan sistem demokrasi di Indonesia.

Latar Belakang penelitian ini didasari fenomena yang terjadi di Indonesia munculnya

calon tunggal kepala daerah yang dapat merubah pola demokrasi yang sebelumnya

sudah diterapkan di Indonesia. Penelitian ini bersifat library research, mengkaji kasus

yang terjadi dan mengkaitkan peraturan perundangundangan yang berlaku untuk

mendukung penelitian. Metode analisis yang digunakan adalah yuridis normatif

dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach),

pendekatan kasus (case study) serta pendekatan konseptual (conceptual approach).

Dalam penelitian ini menggunakan tiga bahan hukum yang digunakan yakni, bahan

hukum primer terdiri dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, Dan Walikota, Putusan Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-

XIII/2015 Tentang Pemilihan Kepala Daerah Dengan Hanya Satu Pasangan Calon, dan

aturan perundang-undangan lain yang terkait, bahan hukum sekunder terdiri dari

publikasi tentang hukum dalam kepailitan meliputi buku-buku teks, kamus hukum,

jurnal hukum, dan komentar-komentar atas kasus yang terjadi, bahan non hukum terdiri

dari buku-buku mengenai Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu Politik, Filsafat atau

laporan-laporan penelitian non-hukum. Hasil penelitian menunjukan bahwa

munculnya calon tunggal kepala daerah membawa dampak terhadap demokrasi dan

masyarakat di Indonesia yang dimana masyarakat lebih apatis dalam penyelenggaraan

pemilihan umum kepala daerah serentak, peran masyarakat yang seharusnya sangat

berpengaruh untuk negara akan hilang dikarenakan adanya fenomena calon tunggal.

Kata Kunci : Calon Tunggal Kepala Daerah, Calon Tunggal, Pejabat Negara

Pembimbing : Nur Rohim Yunus, LLM.

Dwi Putri Cahayawati, S.H., M.H

Sumber Rujukan dari 1983 sampai 2017

Page 6: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

v

KATA PENGANTAR

بسم هللا الرحمان الرحيم

Assalamualaikum Wr. Wb

Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia yang

tidak terhingga banyakanya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada Nabi

Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga

akhir zaman. Dengan mengucap Alhamdullilahi Robbil ‘alamin penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi

No 100/PUU-XIII/2015 Tentan Pasangan Calon Tunggal Terhadap Demokrasi di

Indonesia”

Dalam penyelsaian Skrpsi ini tidak terlepas dari pengetahuan keilmuan penulis

dapatkan dari berbagai sumber, selain itu tidak lupa pula terimakasih atas bimbingan,

bantuan, nasehat, doa, dan dukungannya. Kepada yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, Ph.D Dekan Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum

dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan arahan serta masukan atas

penyusunan skripsi.

3. Nur Rohim Yunus, LLM dan Dwi Putri Cahayawati, S.H., M.H Selaku dosen

Pembimbing I dan II yang telah bersedia menyediakan waktu, tenaga dan pikirannya

untuk memberikan saran dan masukan terhadap proses penyusunan skripsi ini

4. Kedua Orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi, Bapak D. Syamsurizal Amri

dan Ibu Siti Daolah, S.Pd.i yang telah medoakan, mendukung, dan menjadi motivasi

untuk menyelesaikan skripsi ini, tanpa kalian saya tidak akan bisa sampai ke tahap

ini.

Page 7: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

vi

5. Kepada saudara penulis, Ka Deby, Ka Dety (alm), Ka Desy, Ka Dara serta abang

ipar dalam menulis agar bisa dibanggakan dan Keluarga Besar Penulis yang selalu

mendoakan agar penelitian ini terselesaikan .

6. Kepada Aniza Rahmah orang yang selalu ada untuk saya dan menjadi motivasi saya

untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Sahabat-sahabat seperjuangan yang sekaligus menjadi keluarga, Khaidir Musa,

Rhomi Prayoga, M Nasrullah, Muhammad Eddy Kurniawan, Mizana Ramadhan,

yang telah membantu dalam pengetahuan, memberikan semangat dan dukungan

kepada Penulis sehingga penelitian ini terselesaikan

8. Adik-adik Ilmu Hukum Diana Yurika, Astrid, Indri, Anggi, Intanzi, Alysa, Zahra

yang selalu mensupport saya di Universitas Islam Negeri Jakarta.

9. Teman-teman seperjuangan skripsi penulis dalam Skripsi, Ariq Putra, Tomy Marlin

Manday, Rizky Rahmansyah, Hamalatul Qurani, tetap semangat untuk mengerjakan

skripsi

10. Kawan-kawan HMPS Ilmu Hukum & KKN SEREMPAK 2016 yang telah

membantu menambah pengetahuan penulisan serta memberikan semangat dan

dukungan untuk penulis.

Akhir kata, atas jasa dan bantuan semua pihak yang telah membantu &

memberikan masukan, semoga Allah memberikan balasan yang berlipat. Penulis

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis, masyarakat

serta para pembaca kalangan umumnya.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Jakarta, Januari 2018

Ahmad Kandiaz

Page 8: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

vii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iii

ABSTRAK ................................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR .............................................................................................. v

DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah.................................................................................... 4

C. Perumusan Masalah .................................................................................... 4

D. Tinjauan Kajian Terdahulu ......................................................................... 6

E. Metode Penelitian ....................................................................................... 7

F. Sistematika Penulisan ................................................................................. 9

BAB II TEORI KEDAULATAN, DEMOKRASI LANGSUNG, PEMILIHAN

UMUM ...................................................................................................................... 11

A. Kedaulatan Rakyat ...................................................................................... 11

1. Pengertian Kedaulatan .......................................................................... 11

2. Pengertian Kedaulatan Rakyat .............................................................. 12

B. Demokrasi Langsung .................................................................................. 14

1. Pengertian Demokrasi ........................................................................... 14

C. Pemilihan Umum ........................................................................................ 17

1. Pengertian Pemilu ................................................................................ 17

2. Sistem Pemilu ...................................................................................... 19

D. Pemilihan Kepala Daerah .......................................................................... 20

1. Pengertian ............................................................................................ 20

Page 9: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

viii

BAB III PENGATURAN CALON TUNGGAL PEMILIHAN UMUM KEPALA

DAERAH SERENTAK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 100/PUU-XIII/2015 .................................................................................. 22

A. Latar Belakang Sosiologis dan Pengaturan Calon Tunggal Dalam Pemilihan

Umum Kepala Daerah Serentak ................................................................. 22

1. Pelaksanaan Pemberlakuan Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum

Kepala Daerah Serentak ....................................................................... 22

a. Syarat Pemberlakuan Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum

Kepala Daerah Serentak ................................................................ 22

b. Pelaksanaan Pemilihan Calon Tunggal ......................................... 24

2. Krisis Calon Kepala Daerah ................................................................. 26

a. Faktor Krisis Calon Kepala Daerah ................................................ 26

b. Dampak Krisis Calon Kepala Daerah ............................................. 29

B. Putusan Mahkamah Kontitusi ..................................................................... 31

BAB IV PENGARUH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

100/PUU-XIII/2015 TERHADAP PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM

KEPALA DAERAH SERENTAK .......................................................................... 33

A. Putusan Mahkamah Konstitusi ................................................................... 33

1. Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Putusan Mahkamah Konstitusi

No 100/PUU-XIII/2015 ........................................................................ 33

2. Amar Putusan ....................................................................................... 38

B. Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015

Terhadap Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak ........... 41

1. Dampak Terhadap Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah ................... 41

2. Dampak Terhadap Kompetisi Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah

Serentak ................................................................................................ 44

3. Dampak Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilihan Umum

Kepala Daerah Serentak ....................................................................... 46

BAB V PENUTUP .................................................................................................... 47

Page 10: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

ix

A. Kesimpulan ................................................................................................. 47

B. Saran ........................................................................................................... 48

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 49

Page 11: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bagi sejumlah Negara yang menerapkan atau mengklaim diri sebagai Negara

Demokrasi, pemilu memang dianggap sebagai lambang sekaligus tolak ukur utama dan

pertama demokrasi.1 Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (Role) yang

sangat penting dalam setiap demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang

sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga Negara. Bahkan

banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan

demokrasi.2

Demokrasi digambarkan oleh Aristoteles ialah “… landasan demokratis adalah

kebebasan; yang menurut pendapat orang pada umumnya, hanya dapat dinikmati dalam

Negara semacam itu. Hal ini diakui sebagai tujuan utama setiap demokrasi. Salah satu

prinsip kebebasan ialah setiap orang secara bergantian wajib memerintah dan

diperintah, dan memang keadilan demokratis merupakan penerapan persamaan jumlah

bukan proporsi, dari situ disimpulkan bahwa mayoritas harus memiliki kekuasaan

tertinggi, dan apa pun yang disetujui oleh mayoritas harus menjadi tujuan dan adil.

Setiap warga Negara, dikatakan, harus mempunyai persamaan, dan oleh karenanya

dalam sebuah demokrasi, kaum miskin mempunyai kekuasaan lebih banyak daripada

kaum kaya, karena jumlah mereka lebih besar, dan kehendak mayoritaslah yang paling

tinggi. Oleh karena itu hal ini merupakan salah satu sifat kebebasan yang dianut oleh

kaum demokrat sebagai prinsip Negara merdeka”.3

1Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen

UUD 1945 (Jakarta:Kencana, 2010), h. 329.

2Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

h. 401.

3Diane Ravitch dan Abigail Thernstrom, Demokrasi: Klsik dan Modern

(Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 13.

Page 12: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

2

Landasan konstitusional pemilihan umum kepala daerah termaktub pada Pasal

18 Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota

masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih

secara demokratis, kebijakan desentralisasi yang kemudian diwujudkan dalam bentuk

pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) adalah proses politik yang sangat baik

dalam penentuan pemimpin tingkat lokal. Pada saat inilah rakyat di tiap-tiap

kabupaten/kota dan provinsi memilih para calon pemimpin.4

Supaya perubahan sosial terjadi, orang harus diyakinkan bahwa hal itu mungkin

dan diinginkan di sini perlunya seperangkat keyakinan yang sistematis (ideologi) yang

menentukan kelayakan dan kebaikan dari perubahan-perubahan tertentu.5

Ketika suatu masyarakat mencapai tingkat perkembangan teknologi tertentu,

perubahan akan terjadi secara alamiah tanpa intevensi kehendak manusia. Sebaliknya,

perubahan yang terorganisasi akan berhasil jika suatu partai politik yang kuat, suatu

birokrasi, atau suatu firma ekonomi secara sadar mengarahkannya, dalam kasus ini

individu-individu “mengendalikan waktu” sehingga mereka dapat mengarahkan

kekuatan-kekuatan sejarah menurut arah tertentu.6

Jika suatu perubahan terjadi ke muka, para pemimpin berhasil dalam

menciptakan suatu tipe masyarakat baru dan sistem politik baru yang sebelumnya tidak

ada. Meskipun demikian, perubahan-perubahan ke belakang, mengembalikan tipe

masyarakat dan negara politik yang ada di masa lalu. Penegakan suatu masyarakat yang

tidak mengandung konflik politik dan tidak ada kekerasan akan menunjukkan

perubahan ke muka. Dapat diklasifikasikan empat tipe gerakan revolusioner, reformis,

konservatif dan reksioner berdasarkan arah yang dikehendaki.7

4 Firman Subagyo, Menata Partai Politik (Dalam Arus Demokratisasi Indonesia),

(Jakarta: RMBOOKS, 2009, Cet. Pertama), h. 128.

5 Charles F. Andrani, Kehidupan dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogya, 1992) h.36.

6Charles F. Andrani, Kehidupan dan Perubahan Sosial, h.39.

7Charles F. Andrani, Kehidupan dan Perubahan Sosial, h.42.

Page 13: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

3

Adanya calon tungal disebebakan terjadinya perubahan sosial di daerah yang

terdapat calon tunggal baik dalam perubahan partisipasi politik maupun

ketidakikutsertaan pemilihan umum dikarenakan tidak ada calon yang di inginkan.

Kepala daerah dan wakil kepada daerah dipilih secara langsung oleh rakyat yang

persyaratan dan tata cara ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.8 Dengan

fenomena calon tunggal di pilkada tidak menutup kemungkinan mempengaruhi tugas

dan fungsi kepala daerah kepada masyarakat yang hanya bisa memilih satu calon

kepala daerah secara setuju atau tidak setuju. Tidak seperti Amerika Serikat yang

memiliki ragam bentuk pemerintahan daerah yang begitu tinggi, Indonesia justru

memiliki bentuk pemerintahan daerah yang seragam dan cenderung demikian

sepanjang sejarah pertumbuhannya. Perubahan bentuk pemerintah daerah terjadi

karena fase pemerintahan daerahnya bukan karena kemajemukan dalam fase yang

sama.9

Sebagus apapun sebuah pemerintahan dirancang, tidak bisa dianggap demokratis

kecuali para pejabat yang memimpin pemerintahan itu dipilih secara bebas oleh warga

negara dengan cara yang terbuka dan jujur untuk semuanya.

Karena adanya fenomena calon tunggal, menyebabkan masalah baru warga

negara tidak bebas untuk memilih calon karena hanya ada satu calon, walaupun

Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan No.100/PUU-XII/2015 tetap adanya

pemilihan dengan cara setuju atau tidak setuju cara ini kurang demokratis karena

terlihat disini Mahkamah Konstitusi hanya menetapkan, dan apakah referendum

Mahkamah Konstitusi dalam hal memilih calon tunggal dengan cara setuju atau tidak

setuju sudah memenuhi nilai demokrasi sesungguhnya.

Permasalahan di atas melihat perlu adanya penelitian lebih lanjut serta penjelasan

bagaimanakah dampak akibat putusan mahkamah konstitusi yang meyebabkan

8 Haw Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo

Persada, 2008) h.140.

9 Khairul Muluk, Desentralisasi & Pemerintahan Daerah, (Malang : BayuMedia, 2007)

h.143.

Page 14: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

4

demokratisasi di Indonesia tidak berjalan sempurna. Oleh karena itu, penulis tertarik

memilih judul tentang “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-

XIII/2015 Tentang Pasangan Calon Tunggal Terhadap Demokrasi di Indonesia”

B. Identifikasi Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang disampaikan di atas terdapat beberapa

persoalan yang berkaitan dengan implikasi putusan Mahkamah Konstitusi No

100/PUU-XIII/2015 Terhadap Demokratisasi di Indonesia yaitu :

a. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak.

b. Kompetisi partai politik dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak.

c. Landasan hukum pemberlakuan calon tunggal dalam pelaksanaan pemilihan

kepala daerah serentak.

d. Pertimbangan hakim dalam putusan uji materil Undang-Undang no 8 tahun

2015.

e. Dampak putusan mahkamah konstitusi terhadap legalisasi calon tunggal

dalam pemilihan kepala daerah serentak.

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis hanya membahas berdasarkan

dampak dari putusan mahkamah konstitusi No 100/PUU-XIII/2015 terhadap

demokrasi di Indonesia dengan didasarkan kepada teori demokrasi yang ada di

Indonesia.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang telah

diuraikan di atas, maka perumusan masalahnya akan dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana pelaksanaan pemberlakuan calon tunggal dalam pemilihan

kepala daerah serentak?

b. Bagaimana pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-

XIII/2015 terhadap pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah serentak?

Page 15: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan diatas, tulisan ini bertujuan

untuk:

a. Untuk mengetahui pelaksanaan pemberlakuan calon tunggal dalam

pemilihan umum kepala daerah serentak.

b. Untuk mengetahui pengaruh putusan mahkamah konstitusi no 100/PUU-

XIII/2015 terhadap pelaksana pemilihan umum kepala daerah serentak.

2. Manfaat Penulisan

Pada penelitian skripsi hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

pengetahuan dibidang hukum khususnya baik secara teoritis maupun praktis.

a. Manfaat Teoritis

1) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam

perkembangan ilmu hukum khususnya pada bidang hukum tata negara.

2) Hasil daripada penelitian ini diharapkan dapat memberikan serta

menambah referensi penelitian hukum tata negara khususnya dalam

meneliti pututsan mahkamah konstitusi serta menjadi masukan daripada

penelitian selanjutnya dalam penelitian karya ilmiah pada masa yang akan

datang.

3) Dapat menerapkan ilmu-ilmu yang selama ini telah ditempuh dalam

bangku perkuliahan dalam menganalisis maupun penerapanya secara

langsung dilapangan.

b. Manfaat Praktis

1) Menjadi salah satu tinjauan anggota DPR untuk meratifikasi UU No 10

Tahun 2016 supaya meringankan syarat pencalonan kepala daerah

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi alat informasi bagi seluruh

kalangan masyarakat, maupun pemerintah dalam setiap detail dari hasil

penelitian karya ilmiah ini.

Page 16: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

6

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam menjaga keaslian judul peneliti ajukan dalam skripsi ini perlu kiranya

peneliti melampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi bahan pertimbangan, antara

lain:

a. Dalam skripsi yang ditulis oleh Ummu Salamah, Mahasiswa Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang

berjudul “CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA

DAERAH MENURUT AJARAN KEDAULATAN RAKYAT” dalam

skripsi tersebut membahas tentang apakah terjadinya calon tunggal masih

sejalan dengan kedaulatan rakyat, jelas berbeda dengan penelitian saya yang

menjelaskan tentang implikasi putusan mahkamah konstitusi no 100/PUU-

XIII/2015.

b. Dalam skripsi yang ditulis oleh Sarah Eka Aprilia, Mahasiswa Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

yang berjudul “Terminologi Demokrasi Dalam Pemilihan Kepala Daerah

Menurut Pasal 11 ayat (4) 1945 dalam Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui

mekanisme pemilihan kepala daerah yang demokratis apa dengan cara dipilih

oleh DPR atau dipilih langsung oleh rakyat, jelas berbeda dengan penelitian

saya yang dimana membahas referendum mahkamah konstitusi apakah sudah

memenuhi nilai teori demokrasi sesungguhnya.

c. Buku Mahfud MD. “DEMOKRASI DAN KONSTITUSI DI INDONESIA"

Buku ini membahas tentang bagaimana konstitusi yang ada di Indonesia serta

sejarah konstitusi yang pernah ada di Indonesia, sedangkan penulis

membahas tentang teori demokrasi yang berlaku bukan hanya di Indonesia

tetaoi juga membahas teori teori demokrasi yang berlaku di negara lain juga.

d. Dalam jurnal “RechtsVinding” yang ditulis oleh Sodikin,”sPemilu Serentak

(PEMILU LEGISLATIF DENGAN PEMILU PRESIDEN dan WAKIL

PRESIDEN) dan PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL” Membahas

tentang pemilihan umum serentak yang dinilai bertentangan dengan amanat

Page 17: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

7

konstitusi yaitu UUD 1945 terutama pasal 6 dan pasal 6A UUD 1945 berbeda

dengan apa yang peneliti bahas mengenai tentang kata “dipilih” dalam pasal

18 ayat 4 UUD NRI 1945 dengan referendum mahkamah konstitusi yang

menyatakan pemilihan dengan cara setuju atau tidak setuju.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan ialah jenis penelitian hukum normatif. Penilitian

hukum normatif adalah jenis penelitian yang lazim dilakukan dalam kegiatan

pengembangan Ilmu Hukum yang di Barat biasa juga disebut dogmatika Hukum.10

Penelitian hukum normatif mencangkup penelitian terhadap asas-asas hukum,

penelitian terhadap sistematika hukum, penilitan terhadap sinkronisasi hukum,

penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.11

2. Pendekatan Penelitian

Sehubung dengan jenis penelitian ini, maka pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan kualitatif yaitu dengan :

Melakukan pendekatan terhadap putusan perundang-undangan (Statute

approach).12 Selain itu penulis melakukan Pendekatan terhadap kasus (case approach),

dan pendekatan konseptual.

3. Jenis Data Dan Bahan Hukum

Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. Data

sekunder dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan

10Sulistiyowati Irianto dan Shidarta, ed., Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan

Refleksi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), h. 142.

11Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1983), h. 51.

12Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), h. 93.

Page 18: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

8

kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang

berkaitan dengan masalah atau materi penelitian yang sering disebut bahan hukum.13

Adapun data sekunder atau bahan hukum yang digunakan penulis adalah:

a. Bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang-undangan,

yurisprudensi atau keputusan pengadilan dan penjanjian internasional

(traktat).14 Bahan hukum primer yang digunakan penulis dalam penelitian

ini antara lain seperti, UUD NRI 1945, Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2016, PMK Nomor 100/PUU-XIII/2015.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang dapat berupa rancangan

perundang-undangan, hasil penelitian, buku, buku teks, jurnal ilmiah, surat

kabar (Koran), pamflet, leaflet, brosur, dan berita internet.

c. Bahan non hukum, ini dapat berupa semua literatur yang berasal dari non

hukum, sepanjang berkaitan atau mempunyai relevansi dengan topik

penelitian.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam menyelesaikan penelitian ini, dengan

menggunakan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu suatu metode

pengumpulan dengan cara membaca atau merangkai buku-buku peraturan perundang-

undangan dan sumber kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan objek penelitian.

5. Metode Analisis Data

Setelah data dan bahan hukum dikumpulkan tahap selanjutnya adalah melakukan

pengolahan data, yaitu mengelola data sedemikian rupa sehingga data dan bahan

13Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif

Dan Empiris (Jakarta: Pustaka Pelajar 2010), h. 156.

14Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif

Dan Empiris h. 157.

Page 19: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

9

hukum tersebut tersusun secara runtut, sistematis, sehingga akan memudahkan penulis

melakukan analisis.15

Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan bahan berwujud kegiatan untuk

mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Dalam hal ini

pengolahan bahan dilakukan dengan cara, melakukan seleksi data sekunder atau bahan

hukum, kemudian melakukan klafisikasi menurut penggolongan bahan hukum dan

menyusun data hasil penelitian tersebut secara sistematis.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam skripsi ini

disesuaikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman Penulisan

Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta tahun 2017”

F. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan penjelasan menyeluruh tentang isi skripsi, maka sistematika

penulisan skripsi sebagai berikut:

BAB I: Berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian,

Tinjauan Kajian Terdahulu, dan sistematika penelitian.

BAB II: Menguraikan teori teori kedaulatan rakyat, demokrasi

langsung, pemilihan umum.

BAB III: Menguraikan pencalonan kepala daerah dalam pemilihan

umum kepala daerah serentak

BAB IV: Menguraikan analisis undang-undang no 10 tahun 2016

terhadap calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah

serentak

15Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif

dan Empiris h. 180.

Page 20: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

10

BAB V: Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini,

untuk itu penulis menari beberapa kesimpulan dari hasil

penelitian serta memberikan saran dan kritik yang dianggap

perlu pada permasalahan yang diteliti

Page 21: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

11

BAB II

TEORI KEDAULATAN RAKYAT, DEMOKRASI LANGSUNG,

PEMILIHAN UMUM

A. Kedaulatan Rakyat

1. Pengertian Kedaulatan

Salah satu unsur atau syarat yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu negara

adalah pemerintahan yang berdaulat atau kedaulatan. Suatu komunitas tidak akan

dianggap sebagai negara bila tidak memiliki kedaulatan.16

Istilah kedaulatan pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli kenegaraan

berkebangsaan Perancis yang bernama Jeans Bodin (1539-1596). Beliau

mendefinisikan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi terhadap para warganegara dan

rakyat tanpa suatu pembatasan undang-undang. (Soehino, 1980: 79).17

Terminologi ilmu politik modern menyatakan bahwa kata kedaulatan digunakan

untuk mengartikan kemaharajaan mutlak atau kekuasaan raja yang paripurna.

Kedaulatan memiliki hak yang tidak dapat diganggu gugat untuk memaksakan

perintah-perintahnya kepada semua rakyat negara yang bersangkutan dan rakyat ini

memiliki kewajiban negara yang bersangkutan dan rakyat ini memiliki kewajiban

mutlak untuk mentaatinya tanpa memperhatikan apakah mereka bersedia atau tidak.18

Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa: “Kedaulatan ada di tangan

rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang.” Berdasarkan pasal tersebut jelaslah

bahwa negara Republik Indonesia menganut teori kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang

memegang kekuasaan tertinggi. Di samping itu, karena negara Republik Indonesia

16 Salman Magalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara,

(Bandung: FajarMedia, 2013), h 181.

17 Salman Magalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, h 181.

18 Salman Magalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, h 185.

11

Page 22: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

12

menganut demokrasi yang berdasarkan konstitusi (constitutional democracy), maka

kedaulatan harus dilaksanakan berdasarkan konstitusi (menurut UUD)19

2. Pengertiaan Kedaulatan Rakyat

Istilah kedaulatan rakyat merupakan perpaduan antara dua kata, yaitu kata

“kedaulatan” dan kata “rakyat”, dimana masing-masing kata memiliki arti yang

berbeda. Kata “kedaulatan” merupakan terjemahan dari sovereignity (bahasa Inggris),

souverainete (bahasa Prancis), Sovranus (bahasa Italia),20 souvereiniteit (bahasa

Belanda), superanus (bahsa Latin), yang berarti supermasi = di atas dan menguasai

segala-galanya.21

Sarjana-sarjana dari abad pertengahan lazim menggunakan pengertian-

pengertian yang serupa mangkanya dengan istilah “superanus” itu, yaitu summa

protestas atau plenitude potestis, yang berarti wewenang tertinggi dari suatu kesatuan

politik.22 Istilah kedaulatan ini tampil sebagai istilah (including the superior) is a

society, political and independent” (berkenaan dengan pemimpin masyarakat tidak

selalu ia berkuasa penuh ((superior), pada dasarnya orang tunduk kepada kehendak

sebagian besar masyarakat sehingga pemimpin yang berkuasa dalam masyarakat dan

masyarakat itu sendiri di mana pemimpin termasuk di dalamnya adalah sebuah

masyarakat, persekutuan dan mandiri).23

Kamus Besar Bahasa Indonesia dan juga Kamus Hukum yang ditulis Sudarsono

mengartikan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah

19 Salman Magalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, h 194.

20 F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Penerbit Binacipta, 1966), h 93.

21 Samidjo, Ilmu Negara, (Bandung: CV Armico, 1986), h 137.

22 F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Penerbit Binacipta, 1966), h 93.

23 Samidjo, Ilmu Negara, h 137.

Page 23: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

13

dan sebagainya. Sedangkan Jimly Asshidiqie mendefinisikan kedaulatan sebagai

konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.24

Dari uraian di atas, terang bahwa kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi

dalam negara dan menjadi atribut bagi negara sebagai oraganisasi masyarakat paling

besar.25 Apabila dikaitkan dengan kata “rakyat” , maka rakyat merupakan tempat yang

melahirkan kekuasaan tertinggi. Dengan demikian, kedaulatan rakyat dapat

didefinisikan sebagai kekuasaan tertinggi dalam negara yang dipegang atau terletak di

tangan rakyat. Pada tataran pelaksanaan, kedaulatan rakyat merupakan gabungan

keseluruhan dari kemauan masing-masing pribadi, yang jumlahnya dalam masyarakat

tersebut ditentukan oleh suara terbanyak.26

Kedaulatan rakyat juga diagungkan dengan istilah “demokrasi” (demos = rakyat

= people; kratos = kratein = pemerintahan/kekuasaan = rule).27 Istilah demokrasi

berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri atas dua perkataan, yaitu demos, yang berarti

rakyat, dan cratein yang berarti pemerintah.28

Kedaulatan rakyat merupakan penggambaran dari sistem kekuasaan dalam

sebuah negara yang menghendaki bahwa kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat.

24 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan

Pelaksanaannya di Indonesia Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan

Kolektivisme dalam kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa

Demokrasi, 1945-1980-an, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h 9.

25 Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat Analisis Terhadap Sistem Pemertintahan

Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara Lain, (Malang: Nusa Media, 2007),

h 28.

26 Muhammad Koesnoe, Musyawara dalam buku Masalah Kenegaraan yang diedit

Miriam Budiardjo, (Jakarta: Gramedia, 1982), h 57. Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi,

(Jakarta: Bumi Aksara, 2006) h 66.

27 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, h 31.

28 Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD 1945 Dalam Paradigma Reformasi,

(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), h 81.

Page 24: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

14

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata rakyat diartikan dengan segenap

penduduk suatu negara (sebagai imbangan pemerintah). (KBBI, 1988: 722). Sedang

dalam bahasa Inggris berasal dari kata people, sedangkan dalam bahasa Arab berasal

dari ra’iyah mengacu pada pengertian masyarakat (rakyat). Salah satu syarat sebuah

negara adalah adanya rakyat, dimana rakyat menjadi satu kesatuan bersama dengan

pemerintahan, konstitusi dan pengakuan dari negara lain untuk terpenuhinya syarat

sebuah negara.29

Teori kedaulatan rakyat dalam pandangan negara-negara Barat muncul dan

dicetuskan oleh Jean Jaques Rousseau yang kemudian diikuti oleh Immanuel Kant,

yang menyatakan: “Tujuan negara adalah untuk menegaklan hukum dan menjamin

kebebasan dari para warganya. Dengan perngertian bahwa kebebasan disini adalah

kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan, sedangkan yang berhak membuat

undang-undang adalah rakyat itu sendiri. Maka dengan demikian, undang-undang

merupakan penjelmaan kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili

kekuasaan tertinggi atau kedaulatan.” (Soehino, 2001: 161).30

B. Demokrasi Langsung

1. Pengertian Demokrasi

Demokrasi adalah sintesis mukhtahir bagi manusia modern. Demokrasi

merupakan hasil proses panjang manusia untuk menjadikan dunia sebagai a better place

to live in. Sebuah proses yang di awali catatan sejara “mengesankan” melalui

pergulatan pemikiran dan pertumpahan darah. Misalnya, Perang Dunia I dan II serta

29 Salman Magalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, h 191.

30 Salman Magalatung dan Nur Rohim Yunus Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, h 192.

Page 25: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

15

Perang Dingin, belum termasuk era imperialism dan kolonialisme yang telah

mengorbankan ratusan juta manusia.31

Demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang dianggap baik untuk

semua sistem organisasi dan juga merupakan sistem organisasi yang paling baik di

antara sistem organisasi lain yang pernah ada. Secara etimologis demokrasi terdiri dari

dua kata Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan

cratein atau cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Demos-cratein atau demos-

cratos (demokrasi) memiliki arti suatu sistem pemerintahan dari, oleh, dan untuk

rakyat.32

Ada satu pengertian mengenai demokrasi yang di anggap paling popular diantara

pengertian yang ada. Pengertian tersebut dikemukakan pada tahun 1863 oleh Abraham

Lincoln yang mengatakan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan

untuk rakyat (government of the people, by the people, and for the people).33

Pemerintahan dari rakyat berarti Pemerintahan negara itu mendapat mandate dari

rakyat untuk menyelenggarakan perintahan. Pemerintah oleh rakyat berarti

pemerintahan negara itu dijalankan oleh rakyat. Pemerintahan untuk rakyat berarti

pemerintahan itu menghasilkan dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang diarahkan

untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.34

31 A. Makmur Makka, Demokratisasi Tak Boleh Henti, (Jakarta: The Habibi Center

2002) h. v

32 Budi Waluyo, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Pusat Kurikulum dan

Perbukuan Kementrian Pendidika Nasional, 2009), h. 24.

33 Mahmud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. V, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.

23.

34 Masyur Amin, Agama, Demokrasi dan Transformasi Sosial,(Yogyakarta: LKPSM,

2008), h. 12.

Page 26: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

16

Merujuk kepada pendapat Samuel Huntington, proses menuju demokrasi dapat

berlangsung dalam empat skenario besar. Pertama, disebut dengan istilah transformasi

yakni proses menjadi demokrasinya suatu negara yang awalnya otoriter atau totaliter,

dengan dimotori dan dikendalikan oleh pihak yang berkuasa atau disebut sebagai

perubahan dari atas. Kedua, disebut dengan istilah replacement, pergantian rezim.

Demokratisasi terjadi melalui runtuhnya kekuasaan rezim lama digantikan oleh rezim

yang baru, dan prodemokrasi. Dalam konteks ini perubahan terjadi karena penguasa

dalam rezim mengalami pelemahan-pelemahan (decaying) dari dalam sehingga

berhasil dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mengalami penguatan-penguatan.

Ketiga, disebut dengan istilah transplacement, yakni proses menuju negara yang

demokratis sebagai kombinasi antara gerakan sosial di luar rezim yang mengalami

penguatan-penguatan, misalnya melalui people power, serta adanya dorongan dari

faksi-faksi prodemokrasi didalam rezim yang telah berkuasa. Gerakan di luar dan faksi

prodemokratisasi sebagai perwujudan kontrak sosial baru. Keempat, disebut dengan

istilah intervensi, yakni proses demokratisasi yang dihasilkan oleh ikut sertanya pihak

luar atau negara lain dalam menjatuhkan rezim yang tengah berkuasa.35

Demokrasi langsung juga dikenal dengan demokrasi bersih. Disinilah rakyat

memiliki kebebasan secara mutlak memberikan pendapatnya, dan semua aspirasi

mereka dimuat dengan segera di dalam satu pertemuan.

Menurut Hans kelsen demokrasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu

demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung (perwakilan). Tipe demokrasi yang

ideal diwujudkan pada derajat yang berbeda melalui konstitusi yang berbeda pula.

Demokrasi langsung ditujukan oleh fakta bahwa pembuatan undang-undang, dan juga

eksekutif dan yudikatif yang utama, dijalankan oleh rakyat dalam pertemuan akbar

ataupun rapat umum. Pengorganisasian semacam ini hanya mungkin pada masyarakat

35 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan Desentralisasi dan Federalisme, (Jakarta:

Graha Ilmu 2009), h. 78.

Page 27: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

17

kecil dan dibawah kondisi sosial yang sederhana. Dalam demokrasi langsung seperti

dijumpai bangsa Jerman dan Romawi Kuno, prinsip demokrasi sangat terbatas. Tidak

semua warga mempunyai hak untuk turut serta dalam pembahasan dan keputusan

majelis rakyat. Pada kondisi tertentu pemimpin dapat dipilih oleh majelis, maka setiap

orang harus tunduk pada pimpinan. Karena dipimpin oleh majelis, maka paling tidak

dia menduduki jabatan dengan cara demokratis.36

Di negara Indonesia sendiri demokrasi langsung diterapkan dalam memilih para

pemimpin dengan cara Pemilihan Umum, di Indonesia pemilihan umum dikatakan

sudah demokratis dalam menentukan pemimpin. Tetapi di Indonesia pemilu dapat

dijadikan alat untuk kepentingan penguasa ataupun golongan. Penguasa sebagai aktor

akan dengan mudah menyusun mekanisme pemilu yang dipastikan akan memenangkan

partai atau kelompok penguasa yang menciderai arti demokrasi tersebut.

C. Pemilihan Umum

1. Pengertian Pemilu

Pemilihan umum, selanjutnya disebut pemilu, adalah sarana pelaksanaan

kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan

adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.37

Pemilihan umum merupakan salah satu unsur yang sangat vital, karena salah satu

parameter mengukur demokratis tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana

36 Iza Rumesten RS, “Fenomena Calon Tunggal dalam Pesta Demokrasi”, Jurnal

Konstitusi, Volume 13, Nomor 1, Maret 2016, h. 76.

37 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 tentang, Pemilihan

Umum Angota Dewan Perwakilan Rkayat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah

Page 28: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

18

perjalanan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh negara tersebut. Demokrasi adalah

suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat38

Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan

kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,

dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum

yang mempunyai intergritas, profesionalitas, akuntabilitas.39

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan

bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang

bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi

tuntutan perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat, dan perkembangan

demokrasi yang sejalan dengan pertumbuhan kehidupan berbangsa dan bernegara.40

Dalam pemilu, para pemilih dalam Pemilu disebut konstetuen, dan kepada

merekalah para peseta Pemilu menawarkan janji-janji dan progam-programnya pada

masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang

hari pemungutan suara. Setalah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan

dimulai. Pemenang pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan

pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan

disosialisasikan ke para pemilih.41

38 G. Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2003), h.

1.

39 Jimily Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. V,(Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2009), h. 397.

40 Jimily Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. V h. 401.

41 Jimily Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. V, h. 403.

Page 29: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

19

2. Sistem Pemilu

Sistem Pemilihan Umum adalah metode yang mengatur dan memungkinkan

warga negara memilih para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode berhubungan

dengan prosedur dan aturan merubah (mentranformasi) suara ke kursi dilembaga

perwakilan. Mereka sendiri maksudnya yang memilih maupun yang hendak dipilih

merupakan bagian dari satu entitas yang sama.

Ada dua sistem pemilihan umum, yaitu: perwakilan distrik/mayoritas

(singlemember representation).42

a. Sistem Distrik

Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan

atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis yang dinamakan sebagai

distrik memperoleh satu kursi di parlemen. Negara dibagi kedalam

wilayah/distrik yang sama jumlah penduduknya. Dalam sistem ini, calon

yang mendapatkan suara terbanyak yang akan menjadi pemenang, meskipun

selisih dengan calon lain hanya sedikit. Suara yang mendukung calon lain

akan dianggap hilang dan tidak dapat membantu partainya untuk

mendapatkan jumlah suara partainya di distrik lain.43

b. Sistem Proposional

Dalam sistem ini, presentase kursi di lembaga perwakilan rakyat

dibagikan kepada tiap-tiap parpol sesuai dengan presentase jumlah suara

yang diperoleh tiap-tiap parpol. Jimly Asshidiqie mencontohkan model dari

sistim ini, misalkan jumlah pemilih yang sah dalam pemilu 1 juta orang

sedangkan jumlah jursi diperwakilan rakyat 100 kursi, maka untuk satu

42 Jimly Asshidiqiw, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. II, (Jakarta: Sekretariat

Jendral dan Kepanitiaan MK RI, 2006), h. 182.

43 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi, cet. VI, (Jakarta: Gramedia,

2013), h. 462.

Page 30: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

20

orang wakil rakyat membutuhkan 10 ribu suara. Pembagian kursi di

parlemen tergantung seberapa suara yang diperoleh setiap parpol.44

D. Pemilihan Kepala Daerah

1. Pengertian

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, atau lebih popular disingkat

menjadi PILKADA, adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang

memnuhi ketentuan paraturan perundang-undangan. Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah terdiri dari Gubernur dan Wakil Gubernur untuk provinsi, Bupati dan Wakil

Bupati untuk kabupaten, Walikota dan Wakil Walikota untuk kota.45

Menurut Jimly Asshiddiqie perkataan “dipilih secara demokraris” ini bersifat

luwes, sehingga mencakup pengertian pemilihan langsung oleh rakyat ataupun oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seperti yang pada umumnya sekarang

dipraktikkan di daerah-daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.46

Sebelumnya kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan

Perwakilan akyat Daerah (DPRD). Dasar hukum penyelenggaraan pilkada adalah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-

undang ini, pilkada (pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah) belum

dimasukan dalam rezim pemilihan umum (pemilu). Pilkada pertama kali

diselenggarakan pada bulan juni 2005. Sejak berlakunya undang-undang Nomor 22

44 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. II, (Jakarta: Sekretariat

Jendral dan Kepanitiaan MK RI, 2006), h. 183.

45 Noor M Aziz, Pemilihan Kepala Daerah, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum dan

Ham RI, 2001), h 7.

46 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah perubahan keempat,

(Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002) h. 22.

Page 31: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

21

Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam

rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama “pemilihan umum kepala daerah dan

wakil kepala daerah” (Pemilukada). Pilkada pertama yang diselenggarakan

berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.47

Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan

KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum

(Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di Nanggroe Aceh

Darussalam, pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan

diawasi oleh Panitia Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).

Berdasarkan pasal 40 (1) Undang-undang No 10 Tahun 2016, Partai Politik dan

gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi

persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan

suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah

bersangkutan. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta Pilkada juga dapat

diusulkan oleh partai politik lokal.

47 Hasudungan Sirait, Politik Pemilu Pilkada, (Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen

(AJI), 2006), h. 34.

Page 32: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

22

BAB III

PENGATURAN CALON TUNGGAL PEMILIHAN UMUM KEPALA

DAERAH SERENTAK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 100/PUU-XIII/2015

A. Latar Belakang Sosiologis dan Pengaturan Calon Tunggal Dalam Pemilihan

Umum Kepala Daerah Serentak

1. Pelaksanaan Pemberlakuan Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala

Daerah Serentak

a. Syarat Pemberlakuan Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala

Daerah Serentak

Pemilihan kepala daerah serentak yang dilakukan dalam kurun waktu 5 tahun

sekali merupakan salah satu praktik demokrasi di Indonesia, pada tahun 2015 terjadi

fenomena baru dimana munculnya calon tunggal atau calon kepala daerah yang tidak

memiliki lawan di pemilihan kepala daerah serentak. Pengaturan calon tunggal diatur

dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2016, Dalam Undang-Undang Pilkada

pemilihan kepala daerah dapat dilaksanakan hanya dengan satu pasangan calon

pemilihan kepala daerah serentak dengan ketentuan sebagai berikut48 :

a. Pemilihan calon tunggal dapat dilaksanakan apabila pada saat pendaftaran,

hanya 1 (satu) pasangan calon yang memenuhi syarat dan setelah dilakukan

penundaan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran.

b. Pemilihan calon tunggal dapat dilaksanakan apabila terdapat lebih dari 1

(satu) pasangan calon yang mendaftar dan hanya terdapat 1 (satu) pasangan

calon yang dinyatakan memenuhi syarat dan setelah dilakukan penundaan

48 R. Nazriyah, Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2015 terhadap Putusan

Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 2, Juni

2016, h 403.

22

Page 33: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

23

sampai dengan berakhirnya masa pembukaan kembali pendaftaran tidak

terdapat pasangan calon yang mendaftar atau pasangan calon yang

mendaftar dinyatakan tidak memenuhi syarat.

c. Pemilihan calon tunggal dapat dilaksanakan sejak penetapan pasangan

calon sampai dengan saat dimulainya masa Kampanye terdapat pasangan

calon yang berhalangan tetap. Partai Politik atau Gabungan Partai Politik

tidak mengusulkan calon/pasangan calon pengganti atau calon/pasangan

calon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat.

d. Pemilihan calon tunggal dapat dilaksanakan sejak dimulainya masa

Kampanye sampai dengan hari pemungutan suara terdapat pasangan calon

yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak

mengusulkan calon/pasangan calon pengganti atau calon/pasangan calon

pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat.

e. Pemilihan calon tunggal dapat dilaksanakan terdapat pasangan calon yang

dikenakan sanksi pembatalan.

Kekosongan hukum yang terjadi mengancam hak dipilih dan memilih

masyarakat sebab pilkada tidak akan berlanjut. Majelis hakim menganggap bahwa

kondisi ini bukanlah yang dikehendaki Undang-Undang, sebab semangat

dihadirkannya Undang-Undang tersebut adalah untuk menjamin terselenggaranya hak

warga negara.49

Menurut Tjahjo Kumolo (Menteri Dalam Negeri) “sudah ada putusan

Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan daerah dengan calon tunggal tetap

menggelar Pilkada. Masyarakat cukup memilih setuju atau tidak setuju dengan calon

tunggal itu di kertas suara”.50

49 Hardiyanto, Suharso, Budiharto, “Pemilihan Umum Kepala Daerah Periode 2015/

2020 (Studi Politik Hukum Calon Tunggal ”,Varia Justicia Vol 12 No. 1 Oktober 2016,h 213.

50 Imanuel Nicolas Manafe, “Calon Tunggal Tak Halangi Pilkada Serentak 2017”, di

akses dari http://www.tribunnews.com/nasional/2016/10/01/calon-tunggal-tak-halangi-

pilkada-serentak-2017, diakses pukul 21.10 pada tanggal 10 Oktober 2017.

Page 34: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

24

Sebagaimana diketahui calon tunggal kepala daerah merupakan warga negara

Indonesia yang mempunyai hak untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah serentak,

walaupun tidak ada lawan dalam pemilihan. Calon tunggal dalam pilkada tetap boleh

dipilih walaupun menghapus beberapa nilai demokrasi. Mahkamah Konstitusi

berlandasan pada kedaulatan rakyat yang tertuang di dalam Undang-Undang Dasar

1945 dengan catatan langkah-langkah untuk membuka pendaftaran bagi warga negara

untuk mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah telah diusahakan dengan sungguh

sungguh untuk mendapatkan calon lebih dari satu pasangan calon.

b. Pelaksanaan Pemilihan Calon Tunggal

Selain pengaturan mengenai penetapan dapat dilaksanakannya pemilihan kepala

daerah dengan calon tunggal Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 juga membahas

mengenai mekanisme memilih kepala daerah serentak yang hanya terdapat satu

pasangan calon (calon tunggal). Syarat mengenai pemilihan kepala daerah serentak

dengan satu pasangan calon tidak berbeda dengan syarat pemilihan kepala daerah

serentak dengan lebih dari satu pasangan calon.

Pilkada dengan satu pasangan calon dilanjutkan pasca dikeluarkannya putusan

Mahkamah Konstitusi yang menegaskan pilkada dengan calon tunggal tetap dilakukan

melalui desain surat suara yang menanyakan langsung kepada pemilih “setuju” atau

“tidak setuju”. Mekanisme ini tentunya menjadi barang baru dalam iklim kontestasi

pemilu di Indonesia, sehingga dalam prakteknya terutama tahapan kampanye dan

pemungutan suara masih menyiratkan beberapa persoalan mendasar seperti

kebingungan pemilih dalam menentukan pilihan.51

Adapun mekanisme mengenai pemilihan kepala daerah serentak dengan satu

pasangan calon sebagai berikut :

51 Titi Anggraini, Evaluasi Pilkada Serentak 2015, Yayasan Perludem (Perkumpulan

Untuk Pemilu dan Demokrasi), Jakarta : 2016, h. v.

Page 35: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

25

a. Pemilihan satu pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat

suara yang memuat dua kolom yang terdiri atas satu kolom yang memuat

foto pasangan calon dan satu kolom kosong yang tidak bergambar.

Mahkamah Konstitusi memaknai calon pasangan tunggal dengan

pemilihan melalui kolom “setuju”dan “tidak-setuju” dengan tujuan untuk

memberikan hak pilih masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi

dalam demokrasi.52

b. Pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos.

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh

satu pasangan calon dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada rakyat

(pemilih) untuk menyatakan “Setuju” atau “Tidak Setuju” dalam surat suara yang

didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan rakyat (pemilih) untuk menyatakan

pilihan “Setuju” atau “Tidak Setuju” dimaksud. Apabila pilihan “Setuju” memperoleh

suara terbanyak maka pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dimaksud

ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, sedangkan apabila

pilihan “Tidak Setuju” memperoleh suara terbanyak, maka pemilihan ditunda sampai

Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya.53

Menurut Janedjri M Gaffar (Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi RI)

“Pilkada dengan calon tunggal dilakukan dengan memberikan hak kepada rakyat untuk

menyatakan “setuju” atau “tidak setuju” terhadap pasangan calon. Dengan sendirinya

format surat suara berbeda dengan yang diikuti oleh lebih dari satu pasang calon.

Apabila pilihan “setuju” memperoleh suara terbanyak, pasangan calon kepala daerah

dan wakil kepala daerah dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala

52 Wafia Silvi Dhesinta, “Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan

Konsep Demokrasi”, Jurnal Cita Hukum, Vol. 4 No. 1 Juni 2016, h. 90.

53 Allan Fatchan Gani Wardhana, “Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah Perspektif Hukum Progresif “, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO.

2 VOL. 23 APRIL 2016, h. 226.

Page 36: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

26

daerah terpilih. Sebaliknya, apabila pilihan “tidak setuju” memperoleh suara terbanyak,

pemilihan ditunda sampai pilkada serentak berikutnya.”54

Dengan demikian jika di daerah yang memiliki calon tunggal akan tetap

dilaksanakan pemungutan suara tanpa adanya penundaan demi menjaga nilai

kedaulatan rakyat untuk memilih dan dipilih yang sesuai diatur dalam Undang-Undang

Dasar 1945.

Tetapi karena hanya terdapat satu pasang calon di daerah tersebut mekanisme

atau cara pemungutan suara yang dilakukan untuk daerah yang memiliki calon tunggal

berbeda dengan daerah yang memiliki lebih dari satu pasangan calon.

Jika di daerah yang memiliki lebih dari satu pasang calon kepala daerah mencoblos

antara satu pasangan calon dengan calon kepala daerah yang lain sedangkan untuk

daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon pemilih memilih dengan cara

mencoblos suara setuju dan tidak setuju.

2. Krisis Calon Kepala Daerah

a. Faktor Krisis Calon Kepala Daerah

Minimnya calon kepala daerah menjadi fenomena baru dan meredupnya pesta

demokrasi yang ada di Indonesia dikarenakan nilai kompetisi di dalam demokrasi

berkurang dengan hanya memunculkan satu calon kepala daerah saja.

Fenomena pasangan calon tunggal masih menjadi polemik pelaksanaan Pilkada

serentak 2015. Para pengamat menilai kondisi seperti itu disebabkan terlalu tingginya

elektabilitas seorang calon di daerah. Dengan menganalisis elektabilitas, para kandidat

tentu tidak mau kalah atau rugi karena biaya Pilkada sangat mahal. Hanya calon yang

mempunyai modal kuat dan elektabilitas tinggi yang tidak mau mundur. Jika hanya

54 Pilkada Calon Tunggal, di akses di

https://www.nasional.sindonews.com/read/1049791/18/pilkada-calon-tunggal-1443759497,

pada 10 Oktober 2017 Pukul 21:33.

Page 37: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

27

sekedar coba-coba, mereka lebih memilih mundur karena biaya Pilkada terlalu mahal.

Misalnya kasus di Surabaya, Jawa Timur. Bahwa Tri Rismaharini sebagai Walikota

Surabaya mempunyai elektabilitas yang sangat tinggi di daerah tersebut. Hal itu pula

yang diduga membuat sejumlah kompetitor ‘balik badan’ untuk melawannya.55

Beberapa faktor yang menjadi penyebab meminimnya calon kepala daerah di

dalam Pemilukada serentak ini, antara lain :

a. Undang-Undang

Faktor utama krisis calon kepala daerah adalah sulitnya syarat mengajukan

pasangan calon yang diatur dalam pasal 40 (1) Undang-Undang No 10 Tahun 2016

setiap partai politik atau gabungan partai politk bisa mengajukan pasangan calon

dengan minimal suara 20% dari jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Kriteria yang diatur dalam undang-undang mengenai syarat dukungan dari jalur

parpol yang naik menadi 30% dan syarat dukungan pencalonan perseorangan yang

dinaikkan lebih dari 65%. Hal ini mungkin perlu ditinjau ulang karena masyarakat

Indonesia adalah masyarakat yang baru belajar berdemokrasi, sehingga belum siap

untuk memenuhi syarat yang diatur dalam undang-undang, sehingga hal ini membuat

parpol dan calon perseorangan sulit untuk maju sebagai calon dalam pilkada.56

Menurut Pengamat politik dari Statesmanship & Political Campaign (PARA

Syndicate) Toto Sugiarto mengatakan bahwa partai politik yang ingin menyalonkan

calon Kepala Dearah masih memilih untuk berada pada kubu yang berpotensial

menang karena mereka (partai) tidak mau mengambil keputusan yang merugikan

partainya sendiri dimana dalam pertimbangannya merasa sulit untuk bersaing bersama

calon terkuat yang nantinya akan merugikan perekonomian partai itu sendiri.57

55 R. Nazriyah, Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2015 terhadap Putusan

Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 2, Juni

2016, h 381.

56 Iza Rumesten RA, Fenomena Calon Tunggal dalam Pesta Demokrasi, Jurnal

Konstitusi, Volume 13 Nomor 1 Maret 2016, h 81.

57 Kompas.com, “Selain Menang, Faktor Ini Jadi Pertimbangan Parpol Tentukan Calon

di Pilkada DKI”, di akses dari

Page 38: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

28

b. Partai Politik

Peran partai politik dalam hal calon kepala daerah sendiripun sangat vital dimana

calon kepala daerah diusung dari partai politik maupun gabungan partai politik yang

dijelaskan dalam pasal 40 (1) Undang-Undang No 10 Tahun 2016.

Calon tunggal ini lahir karena mahalnya mahar dari partai pengusung. Maka

secara rasional, jika ada calon petahana yang kuat, calon lain pasti akan berkalkulasi

rasional. Daripada hilang segalanya, lebih baik mengurungkan niat untuk jadi calon.

Karena untuk menjadi calon saja mereka sudah harus membayar mahar. Belum lagi

dana yang akan digunakan untuk kampanye, dana untuk meraih suara pemilih, dana

untuk mengamankan suara mulai dari tingkat TPS sampai mengamankan suara di KPU,

KPU Kabupaten/ Kota, KPU Provinsi, KPU pusat bahkan sampai di tingkat MK jika

terjadi sengketa.58

Sedangkan peneliti senior Populi Center Nico Harjanto mengatakan, munculnya

fenomena bakal pasang calon tunggal pada pilkada serentak 2015 membuktikan,

pendidikan politik di Indonesia tidak baik. Partai politik (parpol) yang tidak

mengajukan kadernya sebagai calon dinilai telah mengingkari janji elektoralnya. Itu

artinya parpol di daerah tersebut tidak siap berkompetisi untuk menang atau kalah.

Padahal janji mereka secara elektoral siap menang, siap kalah. Nico menilai, parpol

seharusnya tidak perlu takut kalah dalam pilkada, meski harus melawan kompetitor

yang sangat kuat sekalipun. Parpol yang berani berkompetisi justru akan

diperhitungkan di kemudian hari.59

http://nasional.kompas.com/read/2016/09/11/17480801/selain.menang.faktor.ini.jadi.pertimb

angan.parpol.tentukan.calon.di.pilkada.dki, 08 Agustus 2017 21:41 WIB.

58 Iza Rumesten RS, Fenomena Calon Tunggal dalam Pesta Demokrasi, Jurnak

Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 13 Nomor 1 Maret 2016, h. 80.

59 R Nazriyah, “Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2015 terhadap Putusan

Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015”, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 2, Juni

2016, h. 382.

Page 39: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

29

c. Waktu Pelaksanaan

Dikarenakan Pemilukada dilangsungkan secara serentak maka waktu untuk para

partai politik menyiapkan calon kepala daerah yang diusung masing - masing partai

politik sangat minim. Ketua Komisi Pemilihan Umum (Juri Ardianto) mengatakan

bahwa masa kampanye di Pilkada 2017 masa sosialisasi selama tiga bulan berdampak

pada munculnya pengaturan waktu kegiatan calon kepala daerah. Dengan demikian,

para calon tidak bisa semaunya melakukan kampanye.60

Juru Bicara PKS menyatakan bahwa pilkada dilaksanakan secara serentak,

sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan sangat minim61.

b. Dampak Krisis Calon Kepala Daerah

Calon tunggal menjadi fenomena yang baru didalam Pemilukada dimana setiap

daerah hanya memunculkan beberapa calon saja. Pada pemilukada tahun 2017

berdasarkan data yang masuk di KPU terkait calon yang mendaftar sampai jadwal

pendaftaran ditutup, terdapat 9 daerah yang hanya memiliki kurang dari dua pasangan

bakal calon, yaitu :

1) Umar Zunaidi Hasibuan - Oki Doni Siregar (Kota Tebing Tinggi,

Sumatera Utara)

2) Umar Ahmad - Fauzi Hasan (Tulang Bawang Barat, Lampung)

3) Haryanto - Saiful Arifin (Pati, Jawa Tengah)

4) Karolin Margaret Natasa - Herculanus Heriadi (Kabupaten Landak,

Kalimantan Barat)

5) Samsu Umar Abdul Samiun - La Bakry (Kabupaten Buton,

Sulawesi Tenggara)

60 Pinter Politik, “KPU: Beberapa Faktor Sebabkan Pilkada Serentak Kurang

Semarak”, di akses dari https://pinterpolitik.com/kpu-beberapa-faktor-penyebab-pilkada-

serentak-kurang-semarak/, , 08 Agustus 2017, 21:04 Wib.

61 Markus Junianto Sihaloho, “Alasan Minimnya Calon Kepala Daerah Versi PKS”, di

akses dari http://www.beritasatu.com/politik/295096-alasan-minimnya-calon-kepala-daerah-

versi-pks.html, 08 Agustus 2017, 20:50 Wib.

Page 40: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

30

6) Tuasikal Abua - Martlatu Leleury (Maluku Tengah)

7) Benhur Tomi Mano - Rustan Saru (Jayapura)

8) Gabriel Asem - Mesak Metusala Yekwam (Tambrauw, Papua

Barat)

9) Lamberthus Jitmau - Pahima Iskandar (Sorong, Papua Barat)

Apabila pemilihan umum kepala daerah dilakukan dengan satu pasang calon saja,

maka nilai demokrasi tidak akan berjalan seutuhnya. Dimana dari sisi kompetisi dalam

demokrasi akan hilang karena tidak ada lawan dalam pemilihan umum kepala daerah.

Apabila hal ini akan terus terjadi dan akan memberikan angin segar kepada partai yang

berkuasa dimana nantinya akan terus dijadikan dalam satu daerah tersebut hanya satu

calon tunggal saja sehingga menjadi bentuk kemunduran demokrasi.

Calon tunggal berbahaya bagi demokrasi. Calon tunggal mengandaikan tidak ada

kompetisi. Padahal, semakin banyak calon yang bersaing, kualitas demokrasi akan

semakin baik.62 Tetapi, banyaknya pasangan calon yang tampil dalam Pilkada juga

akan menimbulkan persoalan antara lain, menyulitkan pemilih untuk mengenali

masing-masing pasangan calon, sehingga pemilih terdorong untuk tidak rasional dalam

menjatuhkan pilihannya. Dari sisi efektifitas pemerintahan, jumlah pasangan calon

terlalu banyak menyebabkan fragmentasi politik di DPRD sangat tinggi, sehingga hal

ini mempengaruhi efektifitas pengambilan kebijakan pemerintahan pasca Pilkada,

karena pasangan calon terpilih harus berhadapan dengan banyak fraksi atau faksi dalam

DPRD. Pada akhirnya kebijakan yang diambil bukan berdasarkan kepentingan rakyat

banyak, melainkan berdasarkan politik ”dagang sapi” antara kepala daerah dengan

DPRD.63

62 Aryojati Ardipandanto, “Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak 2015”, Pusat

Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, ISSN 2088-

2351, Vol. VII, No. 15/I/P3DI/Agustus/2015.

63 Didik Supriyanto, Penataan Kembali Sistem Pemilihan dalam Pemilukada, dalam

Seminar Nasional Evaluasi Pemilukada: Antara Teori dan Praktik, diselenggarakan oleh

Mahkamah Konstitusi pada Rabu-Kamis, 25-26 Januari 2012 di Hotel Sultan Jakarta, h 263.

Page 41: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

31

Salah satu contoh daerah yang mengalami dampak dari calon tunggal di daerah

Blitar seperti kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh KPUD Kabupaten Blitar

tentang tata cara proses pemungutan suara di TPS dengan surat suara “setuju” dan

“tidak-setuju”. Selain beberapa daerah belum mengetahui secara benar tata cara

pemilihan pada pemilihan referendum, partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan

pilkada pada tanggal 9 Desember 2015 juga masih rendah. Karena faktor cuaca yakni

pada saat pelaksanaan pilkada di Kabupaten Blitar diguyur hujan, banyak warga yang

lebih memilih pergi ke sawah daripada pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Faktor lain seperti tidak adanya pemilih yang berada di Kabupaten Blitar juga

mendukung minimnya tingkat partisipasi masyarakat. Geliat Pilkada serentak juga

minim partisipasi dikarenakan beberapa warga sengaja tidak memilih dengan alasan

calon figur yang tidak cocok dengan hati nuraninya. Beberapa warga merasa bahwa

tidak ada kompetisi dalam pilkada. Oleh karenanya, tingkat partisipasi partai politik

ataupun calon independen untuk ikut serta dalam proses pilkada juga mempengaruhi

tingkat partisipasi masyarakat untuk memilih dan memberikan hak pilihnya.64

B. Putusan Mahkamah Konstitusi

Ada beberapa pihak yang mengajukan uji materi seputar syarat minimal

pasangan calon dalam pilkada yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2015 atas perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Walikota yaitu, gugatan pertama bernomor 95/PUU-XIII/2015

diajukan oleh Aprizaldi, Andi Siswanto dan Alex Andreas. Sementara gugatan kedua

dan ketiga dengan nomor perkara 96/PUU-XIII/2015 dan 100/ PUU-XIII/2015

diajukan oleh masing-masing Whisnu Sakti Buana, Syaifuddin Zuhri; serta Effendi

Ghazali (Pemohon I) dan Yayan Sakti Suryandaru. (Pemohon II).

64 Wafia Silvi Dhesinta, “Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan

Konsep Demokrasi”, Jurnal Cita Hukum. Vol. 4 No. 1 Juni 2016. P-ISSN: 2356-1440. E-ISSN:

2502-230X, h. 101-102

Page 42: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

32

Para pemohon merasa hak konstitusional pemilih dirugikan apabila pemilihan

kepala daerah serentak di suatu daerah mengalami penundaan hingga 2017. Pasalnya,

UU Pilkada mengatur bahwa syarat minimal pelaksanaan pilkada harus diikuti oleh

dua pasangan calon kepala daerah. Sementara ada beberapa daerah yang setelah jangka

waktu yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah terlampaui namun,

hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon.65

Namun, Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 ini diwarnai adanya pendapat

berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Menurutnya,

keputusan itu berisiko memunculkan liberalisasi politik untuk memenangkan satu

pasangan calon. keberadaan Calon tunggal pada dasarnya meniadakan kontestasi.

Sedangkan Pemilu tanpa kontestasi hakikatnya bukan Pemilu yang senafas dengan asas

Luber dan Jurdil. Hak-hak untuk memilih dan hak untuk dipilih akan terkurangi dengan

adanya calon tunggal karena pemilih dihadapkan pada pilihan artifisial (semu).66

65 R Nazriyah, Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2015 terhadap Putusan

Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015, Jurnal Konstitusi, Volume 13 Nomor 2 Juni

2016, h 383.

66 R. Nazriyah, Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2015 terhadap Putusan

Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 2, Juni

2016, h 395.

Page 43: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

33

BAB IV

PENGARUH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 100/PUU-XIII/2015

TERHADAP PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH

SERENTAK

A. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Putusan Mahkamah Konstitusi No

100/PUU-XIII/2015

a. Filosifis

Hal yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah menemukan cara agar

hak Konstitusional warga negara yang sekaligus merupakan wujud pelaksanaan

kedaulatan rakyat itu, dalam hal ini hak untuk dipilih dan memilih dalam Pemilihan

Kepala Daerah tetap terpenuhi tanpa tersandera oleh syarat paling sedikit adanya dua

pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam hubungan ini timbul

pertanyaan, demi menjamin terpenuhinya hak konstitusional warga negara untuk

dipilih dan memilih in casu dalam Pemilihan Kepala Daerah, apakah secara

konstitusional dimungkinkan tetap dilakukan Pemilihan Kepala Daerah tanpa

kehilangan sifat demokratisnya dalam hal hanya terdapat satu pasangan calon kepala

daerah dan wakil kepala daerah? Secara tekstual, UUD 1945 tidak menyatakan apa pun

dalam hubungan ini. Namun, sebagai Konstitusi negara demokrasi yang berdasar atas

hukum, UUD 1945 menjamin pemenuhan hak –hak konstitusional warga negaranya.

Guna menjamin pemenuhan hak konstitusional warga negara itulah salah satu alasan

utama Mahkamah Konstitusi dibentuk.67

Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi No

100/PUU-XIII/2015 yang memberikan pertimbangan bahwa “Pemilihan Gubernur dan

Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang

67 R. Nazriyah, Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2015 terhadap Putusan

Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015, h 393.

33

Page 44: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

34

selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah

provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan

Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.

Makna kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi. Kedaulatan atau kekuasaan tertinggi

tersebut, menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, sebagai pelaksanaan kedaulatan

rakyat maka Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta

Walikota dan Wakil Walikota (yang selanjutnya disebut Pemilihan Kepala Daerah)

haruslah menjamin terwujudnya kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat itu.

Oleh karena itu, UU 8 Tahun 2015, sebagai Undang-Undang yang mengatur Pemilihan

Kepala Daerah, harus menjamin terlaksana atau terselenggaranya kekuasaan tertinggi

yang berada di tangan rakyat itu sesuai dengan amanat UUD 1945.68

Demi terlaksanakannya amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan

bahwa kedaulatan tertinggi di tangan rakyat dan untuk menjalankan amanat tersebut

Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa pemilihan umum kepala daerah

serentak harus dilaksanakan tanpa ada penundaan walaupun dibeberapa daerah hanya

memiliki satu pasang calon kepala daerah, karena pemilihan umum kepala daerah

merupakan bagian dari pengedepankan penghargaan atas hak konstitusi publik dalam

penyelenggaraan Pemilukada apa yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi adalah

bagian dari skema untuk tetap mengupayakan terjaganya hak politik publik. Makna

dari kedaulatan yang sesungguhnya adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Sehingga rakyat dapat berpartisipasi untuk memilih kepala daerah walaupun hanya satu

pasang calon.

Menurut Hakim Mahkamah Konstitusi Suhartoyo, penundaan Pilkada

bertentangan semangat demokrasi yang tertuang dalam UUD 1945. Oleh sebab itu

Pilkada harus tetap dilaksanakan. Demi menjamin terpenuhinya hak konstitusional

warga negara pilkada harus tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat satu pasangan

calon.69

68 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XII/2015, h. 38.

69 MK Putuskan Gelar Referendum untuk Calon Tunggal Pilkada, di akses di

https://news.detik.com/berita/d-3030763/mk-putuskan-gelar-referendum-untuk-calon-

tunggal-pilkada, pada 10 Oktober 2017 Pukul 22:33

Page 45: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

35

b. Yuridis

Secara hierarkis kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 adalah lebih tinggi dari

Undang-Undang, Undang-Undang Dasar (Grondwet, Grundgesetz) adalah Undang-

Undang yang menjadi dasar dari segala hukum. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No

12 Tahun 2012 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menentukan:

“Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum

dasar dalam peraturan Perundang-undangan.”70 Oleh karena itu, setiap ketentuan

Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945

(constitutie is de hoogste wet). Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya

dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia turut mewarnai dinamika

ketatanegaraan serta diskursus hukum-hukum kenegaraan. Dalam praktiknya,

dinamika ketatanegaraan itu telah, sedang, dan akan terus berkembang seiring dengan

hadirnya lembaga MK sebagai pengawal Undang- Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Dapat dikatakan bahwa gagasan

pembentukan MK tidak lain merupakan dorongan dalam penyelenggaraan kekuasaan

dan ketatanegaraan Indonesia yang lebih baik.71

Terhadap kondisi demikian, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya memutus

bahwa pasal-pasal yang dimohonkan bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah

menimbang bahwa tidak ada keharusan pasangan calon paling sedikit 2 (dua) pasangan

calon, dengan syarat sepanjang tidak dimaknai sebagai menetapkan 1 (satu) pasangan

calon kepala daerah. Sehingga adanya calon tunggal tidak boleh dimaknai sebagai

penetapan calon tunggal kepala daerah sebagai kepala daerah terpilih tanpa melalui

tahapan pemilihan kepala daerah. Lebih jelasnya dalam putusan tersebut, Mahkamah

menyatakan Pasal 49 ayat (9), Pasal 50 ayat (9) serta Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 52

ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan

70 Salman Magalatung dan Nu Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara,

(Bandung: Percetakan Ragam Offset Bandung), h 216

71 Allan Fatchan Gani Wardhana, “Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah Perspektif Hukum Progresif”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO.

2 VOL. 23 APRIL 2016, h. 207.

Page 46: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

36

hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup pengertian menetapkan satu

pasangan calon kepala daerah.72

Dalam pokok pemohon putusan Mahkamah Konstitusi tertuju ke pengujian

konstitusionalitas Undang-Undang No 8 Tahun 2015 yang pokok argumentasinya

berpusat pada terganggunya atau bahkan tidak dapat diselenggarakannya pemilihan

kepala daerah serentak sebagaimana dijadwalkan dikarenakan adanya norma Undang-

Undang yang menyatakan paling sedikit dua pasang calon kepala daerah dan wakil

kepala daerah.73

Menurut penulis apabila Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 8 Tahun 2015

menyatakan “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta

Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan

kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan

Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara

langsung dan demokratis.” Maka makna kedaulatan rakyat adalah yang tertinggi sesuai

dengan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, kedaulatan berada di tangan

rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, sebagai

pelaksanaan kedaulatan rakyat maka pemilihan umum kepala daerah serentak di daerah

yang hanya memiliki satu pasangan calon harus tetap terlaksana atau terselenggara

karena demi memenuhi nilai kedaulatan rakyat yang sesuai dengan amanat Undang-

Undang Dasar 1945.

c. Sosiologis

“Mahkamah tidak sependapat dengan pandangan Pemohon yang meminta

Mahkamah untuk memaknai bahwa frasa “setidaknya dua pasangan calon” atau

“paling sedikit dua pasangan calon” yang terdapat dalam seluruh pasal yang

dimohonkan pengujian dapat diterima dalam bentuk atau pengertian: Pasangan Calon

Tunggal dengan Pasangan Calon Kotak Kosong yang ditampilkan pada Kertas Suara.

Sebab, Pertama, Pemilihan Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon

haruslah ditempatkan sebagai upaya terakhir, semata - mata demi memenuhi hak

konstitusional warga negara, setelah sebelumnya diusahakan dengan sungguh-sungguh

untuk menemukan paling sedikit dua pasangan calon. kedua,Pemilihan Kepala Daerah

yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, manifestasi kontestasinya lebih tepat

apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan

pilihannya apakah “Setuju” atau “Tidak Setuju” dengan pasangan calon tersebut,

72 Maryam Nur Hidayati, “Problematika Hukum Calon Tunggal dalam

PemilihanKepala Daerah Serentak Tahun 2015”, Lex Renaissance No. 1 Vol. 1 Januari 2016,

h. 46.

73 Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 100/PUU-XIII/2015. h. 37-38.

Page 47: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

37

Mekanisme demikian, menurut Mahkamah, lebih demokratis dibandingkan dengan

menyatakan “menang secara aklamasi” tanpa meminta pendapat rakyat (pemilih) jika

calon tidak memiliki pesaing sebagaimana ditunjukkan hasil studi pemohon yang

terjadi di beberapa negara Seperti Amerika Serikat (dalam pemilihan anggota House

of Representative dan Senat), Inggris, Kanada dan Skotlandia (untuk pemilihan

anggota parlemen), Islandia (untuk pemilihan Presiden), dan Singapura (untuk

pemilihan Presiden dan parlemen). Penekanan terhadap sifat “ demokratis” ini menjadi

substansial karena, sebagaimana disinggung dalam pertimbangan sebelumnya,

merupakan perintah konstitusi, dalam hal ini Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Dengan

mekanisme sebagaimana diuraikan di atas, amanat konstitusi yang menuntut hak

konstitusional warga negara, dalam hal ini hak untuk dipilih dan memilih, serta amanat

agar Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan secara demokrtis dapat diwujudkan. 74

Setelah hampir 10 tahun (sejak 2005) pelaksanaan Pilkada langsung, berbagai

penelitian menemukan fakta mengenai antusiasme masyarakat terhadap proses dan

hasil Pilkada yang cenderung semakin berkurang atau menurun. Masyarakat secara

sadar memang tidak mau menggunakan hak pilihnya karena dilandasi oleh sikap apatis.

Bagi mereka, menggunakan atau tidak menggunakan hak suara dalam Pemilukada

maknanya sama: tidak memberi pengaruh signifikan dalam keseharian hidup.

Masyarakat yang tidak ikut memilih, memperlihatkan kecenderungan yang meningkat

dari waktu ke waktu.75

Kepastian daerah yang tidak memiliki kepastian hukum, bersifat diskriminatif,

dan berpotensi menyebabkan tidak hanya kehilangan hak pilih warga negara tapi juga

perlambatan dan ketidaksinambungan pembangunan suatu daerah (karena pemerintah

dipimpin pelaksanaan tugas dan bukan pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat,

yang dikenal visi, misi dan programnya dalam proses pemilihan kepala daerah), tidak

hanya merugikan warga negara di daerah tersebut namun sebenarnya juga seluruh

warga negara Indonesia, yang amat berpotensi terlibat dengan hasil-hasil pembangunan

di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia.

74 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XII/2015, h. 43-44.

75 R. Nazriyah, Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2015 terhadap Putusan

Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015, h 383.

Page 48: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

38

Fenomena calon tunggal yang bermula pada tahun 2015 ternyata masih

bertahan sampai pemilukada selanjutnya yaitu pada tahun 2017 dimana masih terdapat

9 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon. Hal tersebut berkaitan dengan

kurangnya partisipasi partai politik untuk mengajukan kader-kader terbaik dari masing-

masing partai politik yang nantinya akan berdampak pada terjadinya liberalisasi politik

untuk memenangkan satu pasangan calon, keberadaan calon tunggal pada dasarnya

meniadakan kontestasi. Pemilu tanpa kontestasi hakikatnya bukan Pemilu yang senafas

dengan asas Luber dan Jurdil. Hak-hak untuk memilih dan hak untuk dipilih akan

terkurangi dengan adanya calon tunggal karena pemilih dihadapkan pada pilihan

artifisial (semu). Hal tersebut juga mengakibatkan masyarakat tidak bisa

membandingkan pasangan calon dikarenakan hanya ada satu pasangan calon, tidak

menutup kemungkinan suatu saat jika calon tunggal masih ada dan masyarakat lebih

banyak tidak setuju dengan calon yang hanya satu pasangan calon kepala daerah dapat

mengakibatkan kekosongan jabatan serta penundaan pemilihan umum kepala daerah

di daerah tersebut.

2. AMAR PUTUSAN

a. Mahkamah Konstitusi Mengabulkan Permohonan

1. Menyatakan Pasal 49 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-

Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai mencakup pengertian “termasuk

menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur

peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga) hari dimaksud

terlampaui namun tetap hanya ada 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan

Calon Wakil Gubernur”

Page 49: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

39

2. Menyatakan Pasal 49 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-

Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup

pengertian “termasuk menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan

Calon Wakil Gubernur peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3

(tiga) hari dimaksud terlampaui namun tetap hanya ada 1 (satu) pasangan

Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur”

3. Menyatakan Pasal 50 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-

Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai mencakup pengertian “termasuk

menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta 1

(satu) pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota peserta

Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga) hari dimaksud terlampaui

namun tetap hanya ada 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil

Bupati serta 1 (satu) pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”

4. Menyatakan Pasal 50 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-

Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,

Page 50: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

40

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup

pengertian “termasuk menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon

Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil

Walikota peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga) hari

dimaksud terlampaui namun tetap hanya ada 1 (satu) pasangan Calon Bupati

dan Calon Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan Calon Walikota dan Calon

Wakil Walikota”

5. Menyatakan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-

Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai mencakup “menetapkan 1 (satu)

pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur dalam hal hanya

terdapat 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur”

6. Menyatakan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-

Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup

“menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur

dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon

Wakil Gubernur”

Page 51: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

41

7. Menyatakan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-

Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai mencakup “menetapkan 1 (satu)

pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan

Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dalam hal hanya terdapat 1 (satu)

pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan

Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”

8. Menyatakan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-

Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup

“menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta

1 (satu) pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dalam hal

hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta

1 (satu) pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”

B. Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 Terhadap

Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak

1. Dampak Terhadap Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah

Sebelum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015 setiap

daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon sampai batas waktu perpanjangan

Page 52: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

42

habis dan tetap hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah maka di daerah

tersebut akan di tunda pemilihannya sampai pemilihan umum kepala daerah serentak

selanjutnya.

Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015 adanya

mekanisme baru dalam pelaksanaan pilkada serentak mendatang. Dengan diberikannya

peluang bagi satu pasangan calon Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dan

Gubernur/Wakil Gubernur dalam mengikuti kontestasi pilkada serentak melalui

mekanisme memilih “setuju” atau “tidak setuju” berarti adanya mekanisme baru untuk

menentukan pemimpin di daerah dalam pilkada serentak. Menurut beberapa pihak

mekanisme ini disebut juga mekanisme referendum. Kendatipun demikian, menurut

hakim MK Suhartoyo saat membacakan putusan MK. Dia menyebutkan, pola ini tidak

bertentangan dengan konstitusi lantaran masyarakat telah menyampaikan haknya

melalui persetujuan atau ketidaksetujuan atas calon tunggal tersebut.76

Berkaitan dengan mekanisme pemilihan, Mahkamah menyatakan, untuk Pilkada

yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, manifestasi kontestasinya lebih tepat

apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat sebagai pemilih untuk

menentukan pilihannya apakah “setuju” atau “tidak setuju” dengan pasangan calon

tersebut. Sehingga masyarakat dapat menentukan, apabila jumlah suara lebih banyak

menyatakan setuju kepada calon kepala daerah, maka calon kepala daerah tersebut

terpilih oleh masyarakat untuk memimpin daerah tersebut. Akan tetapi, apabila jumlah

suara yang menyatakan tidak setuju terhadap kepala daerah lebih banyak daripada

setuju maka dilakukan penundaan pemilihan kepala daerah. Penundaan tersebut,

menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan konstitusi. Sebab, pada dasarnya rakyat

telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara “tidak setuju” tersebut.

76 Ferdian Andi, “Implikasi Serius MK Putuskan Calon Tunggal Pilkada”, di akses dari

http://nasional.inilah.com/read/detail/2241166/implikasi-serius-mk-putuskan-calon-tunggal-

pilkada pada pukul 21.19 pada tanggal 10 Oktober 2017.

Page 53: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

43

Mekanisme itu pun dinilai Mahkamah lebih demokratis dibandingkan dengan

menyatakan “menang secara aklamasi” tanpa meminta pendapat rakyat jika calon tidak

memiliki pesaing. Mahkamah menegaskan, penekanan terhadap sifat “demokratis”

menjadi substansial lantaran merupakan perintah konstitusi, dalam hal ini Pasal 18 ayat

(4) UUD 1945. Dengan mekanisme demikian, amanat konstitusi yang menuntut

pemenuhan hak konstitusional warga negara, dalam hal ini hak untuk dipilih dan

memilih, serta amanat agar Pilkada dilaksanakan secara demokratis dapat

diwujudkan.77

Menurut penulis dalam hal mekanisme pemilihan kepala daerah yang tetap di

laksanakan dengan hanya satu pasang calon telah memenuhi nilai dari kedaulatan

rakyat yang dimana hak rakyat untuk memilih telah terpenuhi, tetapi jika tetap

dipertahankan seperti ini yang hanya semata-mata demi memenuhi hak konstitusional

warga negara agar dapat memilih calon kepala daerah akan berdampak pada kurangnya

respon masyarakat ketika datang ke tempat pemilihan umum untuk memilih calon

kepala daerah yang hanya satu pasang calon saja dan disini Mahkamah Konstitusi

hanya sebatas menetapkan calon tunggal kepala daerah itu sah menang dengan

memiliki suara setuju lebih banyak, jika nantinya suara tidak setuju yang lebih banyak

maka akan berdampak pada kekosongan hukum dimana pemilihan umum kepala

daerah serentak tersebut akan ditunda sampai pemilihan umum kepala daerah serentak

selanjutnya.

77 Maryam Nur Hidayati, “Problematika Hukum Calon Tunggal dalam PemilihaKepala

Daerah Serentak Tahun 2015”,h. 46.

Page 54: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

44

Seperti halnya di daerah Tasikmalaya pada pemilihan umum kepala daerah

serentak seorang warga bernama Endi Suwendi mengaku Pilkada kali ini "Kurang

menyenangkan, kalau peserta lebih dari dua, bisa lebih seru."78

2. Dampak Terhadap Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia

Pilihan untuk melangsungkan pemilihan kepala daerah secara langsung tidak

terlepas dari norma yang termaktub dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menghendaki pemilihan secara

demokratis. Mengkhidmati kata demokratis, tidak ada indikator yang mampu

mendefinisikan apakah pemilihan langsung dapat dikatakan demokratis sedangkan

pemilihan yang dilakukan secara tidak langsung dikatakan tidak demokratis. Namun,

pilihan makna demokrasi yang ditetapkan oleh masyarakat melalui wakil-wakilnya di

parlemen menjatuhkan pilihan makna demokratis pada proses pemilihan secara

langsung dengan pemilihan umum oleh Komisi Pemilihan Umum

(KPU).79Pelaksanaan pemilihan kepala daerah merupakan conditio sine quanon dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis. Peraturan perundang-

undangan telah dibentuk untuk memberikan pengaturan terkait pelaksanaan pemilihan

kepala daerah sesuai dengan amanat UUD perubahan kedua Pasal 18 ayat (4) UUD

NRI 1945, yang menyatakan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing

sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara

demokratis.” Pengertian frasa “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4)

UUD 1945 tidak harus diartikan dipilih secara langsung oleh rakyat, tetapi dipilih

78 Pilkada serentak 2015 sepi pemilih,di akses dari

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/12/151209_indonesia_pilkadasepi ,

pada 10 Oktober 2017 Pukul 21:38.

79 Wafia Silvi Dhesinta, “Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan

Konsep Demokrasi”, h. 90.

Page 55: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

45

secara tidak langsung pun dapat diartika demokratis, sepanjang prosesnya

demokratis.80

Demokrasi yang dikenal selama ini oleh masyarakat adalah dengan adanya

kompetisi yang mensyaratkan adanya dua atau lebih pilihan. Tingkat partisipasi partai

politik ataupun calon independen untuk ikut serta dalam pilkada juga mempengaruhi

tingkat partisipasi masyarakat untuk memilih dan memberikan hak pilihnya. Ini semua

tentunya terlepas dari Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengamanatkan KPU untuk

tetap melangsungkan Pilkada meskipun hanya diikuti oleh satu pasangan calon.81

Mahkamah Konstitusi melakukan terobosan hukum yang mampu mengatasi

persoalan masa kini dengan mengikuti perkembangan yang ada di masyarakat, yaitu

fenomena calon tunggal. Terobosan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi

itu berbasis pada makna yang terkandung di dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang

berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokratis” dimana

diterjemahkan bahwa salah satu ukuran kontestasi yang demokratis itu adalah

penyelenggaraannya harus menjamin tersedianya ruang atau peluang bagi rakyat untuk

memanifestasikan kedaulatannya dalam melaksanakan haknya, dalam hal ini baik hak

untuk memilih maupun hak untuk dipilih. Maka baik terdapat banyak calon ataupun

hanya terdapat satu pasangan calon, pilkada harus tetap dilaksanakan untuk

memanifestasikan hak untuk memilih (right to be vote) dan hak untuk dipilih (right to

be candidate) warga negara.82

Dalam hal ini masih banyak perbincangan mengenai pemberlakuan calon tunggal

dalam pemilihan umum kepala daerah serentak apakah sudah dinilai demokratis apa

80 Ni’matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2011, h. 189-190.

81 Wafia Silvi Dhesinta, “Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan

Konsep Demokrasi”, h. 93.

82 Allan Fatchan Gani Wardhana, “Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah Perspektif Hukum Progresif “, h. 225.

Page 56: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

46

hanya sekedar agar terciptanya nilai dari demokrasi yaitu rakyat untuk memilih kepala

daerah atau dipilih sebagai kepala daerah, tetapi jika terus terjadi calon tunggal di

daerah pemilihan dan dilaksanakannya pemilihan tersebut melalui putusan Mahkamah

Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015 akan menutup nilai kompetisi demokrasi dalam hal

ini tidak ada pesaing untuk calon kepala daerah pertahanan yang nantinya akan

melahirkan liberalisasi para penguasa untuk tetap bertahan menguasai daerah tersebut.

Diketahui bersama Pilkada pada hakikatnya adalah memberikan pilihan pemimpin

daerah yang mempunyai visi dan misi terbaik bagi daerahnya dalam kontestasi yang

jujur, adil dan transparan. Kekuasaan hanyalah alat bukan tujuan yang diberikan

kepada kepala daerah terpilih untuk melaksanakan visi dan misi menyejahterakan

masyarakat setempat. Jika terus terjadi calon tunggal yang meniadakan nilai kontestasi

masyarakat akan dijebak pada model demokrasi representative karena partai politik

memegang kendali sepenuh tanpa memikirkan hak masyarakat untuk diberikan pilihan.

3. Dampak Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilihan Kepala Daerah

Pada pemilihan umum kepala daerah serentak tahun 2015 masih terdapat

masyarakat yang belum memahami teknis atau cara pemilihan dengan satu pasangan

calon, beberapa warga di Kecamatan Wonodadi mengaku belum memahami teknis

pencoblosan surat-suara yang hanya mencantumkan satu gambar pasangan calon.

Beberapa warga di Kabupaten Blitar masih belum memahami bahwa pada proses

pelaksanaan pemilu dengan calon tunggal dilakukan dengan mencoblos kolom setuju

jika memilih calon pasangan untuk menjadi kepala daerah, atau dengan tidak

mencoblos gambar pasangan calon. Dengan cara demikian, maka pemilih menyetujui

atau memilih paslon tunggal untuk menjadi kepala daerah. Surat suara akan menjadi

tidak sah jika pemilih mencoblos gambar paslon dalam surat suara. Proses sosialisasi

belum secara merata dilakukan karena masih banyak masyarakat yang memahami

Page 57: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

47

bahwa Pilkada serentak tahun 2015 di Kabupaten Blitar dilakukan sama dengan proses

pemilihan sebelum-sebelumnya.83

Sumber: Diolah penulis dari website KPU.

Pada pemilihan umum kepala daerah tahun 2017 di Kabupaten Pati terdapat

sebuah kelompok yang menyuarakan “kotak kosong” yang fenomenal. Kelompok yang

menamakan diri dengan Aliansi Kawal Demokrasi Pilkada (AKDP) Kabupaten Pati ini

melakukan kegiatan menyuarakan dan memperjuangkan pilihan “kotak kosong” sejak

Oktober 2016 atau lima bulan sebelum Pilkada. Disini bisa dilihat tidak menutup

kemungkinan suara tidak setuju (kotak kosong) bisa lebih banyak dari suara setuju

karena jika diambil contoh dari Kabupaten Pati suara kotak kosong tembus angka

83 Wafia Silvi Dhesinta, “Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan

Konsep Demokrasi”, h. 92.

NO Nama Daerah Setuju Tidak Setuju

1 Pati 74,51% (519.627) 25,49 % (177.771)

2 Buton 55,08% (27.512) 44,92% (22.438)

3 Tulang Bawang Barat 96,75% (167.512) 3,25% (5.625)

4 Kota Tebing Tinggi 71,39% (41.937) 28,61 % (16.807)

5 Landak 96,72 % (226.378) 3,28 % (7.673)

6 Maluku Tengah 70,78% (147.920) 29,22 % (61.063)

7 Kota Jayapura 84,34% (115.996) 15,66% (21.545)

8 Tambrauw 90,06% (14.608) 9,94% (1.613)

9 Kota Sorong 78.09% (73.974) 21,91% (20.761)

Page 58: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

48

177.771 jiwa dan di Kabupaten Buton pun jumlah suara setuju dan tidak setuju (kotak

kosong) berbeda sedikit.

Dengan kondisi yang akan terus seperti ini dimana pemilihan umum kepala

daerah serentak hanya diikuti dengan satu pasang calon saja akan berdampak kepada

antusiasme masyarakat yang menurun karena dari segi kompetisi untuk

membandingkan calon satu dengan calon lainnya hilang, para masyarakat yang

mendukung maju atau memilih calon tunggal merasa hak nya sudah terwakili dengan

calon tersebut jika mengambil contoh di Kabupaten Buton 27.512 suara warga negara

merasa telah terwakili oleh calon tersebut lantas 22.438 suara warga negara tidak setuju

apa bisa terwakili oleh kotak kosong.

“Suara sah di Pilkada Pati 2017 sebanyak 696.310. Ada 15.195 suara tak sah.

Artinya, dari jumlah DPT 1.035.663 orang, hanya 711.402 orang menggunakan hak

pilihnya. Mereka yang tak mencoblos, 324.261 pemilih. Tingkat partisipasi di pilkada

paslon tunggal ini, 68,7 persen. Sebanyak 31,3 persen pemilih tak mencoblos. di

Kecamatan Margoyoso, suara kotak kosong ada 41,9 persen dan pemilih paslon

tunggal, 58,1 persen. Di Kecamatan Pati, suara kotak kosong tercatat 40,4 persen dan

perolehan paslon tunggal, 59,6 persen suara”84

Hampir separuh masyarakat di Kabupaten Pati tidak setuju dengan calon kepala

daerah pertahanan yang artinya masyarakat Pati ingin memiliki atau mencari pasangan

calon kepala daerah yang baru, nilai negatif yang terjadi di pemilihan umum kepala

daerah Kabupaten Pati tidak menutup kemungkinan masyarakat di sana kecewa dengan

hasil kerja dari pasangan calon tersebut, belum lagi suara yang dimiliki pasangan calon

tersebut diunsuri oleh politik uang.

84 Addi M Idhom, “Meski Kalah, Suara Kotak Kosong Signifikan di Pati” di akses dari,

https://tirto.id/meski-kalah-suara-kotak-kosong-signifikan-di-pati-cjgA, diakses pada 10

Oktober 2017 pukul 19 : 20.

Page 59: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

49

Sekretaris AKDPP, Itqonul Hakim menuding separuh suara untuk Haryanto-

Saiful Arifin diperoleh berkat politik uang. Organisasinya sudah melaporkan 12 kasus

politik uang ke Panwaslu Pati. Sebagian besar kasus di laporan-laporan itu terjadi di

tujuh hari jelang pemilihan.85

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah menolak pengajuan penempatan

saksi dari relawan kotak kosong pada Pilkada Pati yang akan berlangsung pada 15

Februari 2017. Hal itu ditegaskan dalam surat Nomor 019/KPU-Prov/012/11/1/2017

per 11 Januari 2017, menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum Pati Much Nasich

“Menurut saya, keberadaan kolom kosong yang ada pada surat suara bukan peserta

pemilu. Jadi, KPU tidak bisa memfasilitasi. Bila ada aturan yang bisa menjadi pijakan,

tentu kami siap memfasilitasinya. Namun, aturannya tidak ada,”86

Perlu adanya aturan atau regulasi untuk kotak kosong mengenai tim pemenang

kotak kosong, kampanye kotak kosong dan hak suara kotak kosong untuk di tindak

lanjuti karena jika pasangan calon tunggal kalah dalam pemilihan umum kepala daerah

serentak tim dari koalisi tersebut bisa memperjuangkan hak suaranya ke Komisi

Pemilihan Umum tetapi jika ingin memperjuangkan hak suara kotak kosong siapa yang

berwenang untuk mewakili suara kotak kosong tersebut yang dimana disana terdapat

hak warga negara yang menginginkan calon kepala daerah lainnya yang dimana lebih

baik visi misi dari calon pertahanan

85 Addi M Idhom, “Meski Kalah, Suara Kotak Kosong Signifikan di Pati”,

https://tirto.id/meski-kalah-suara-kotak-kosong-signifikan-di-pati-cjgA, diakses pada 10

Oktober 2017 pukul 19 : 20.

86 Kholistiono, “KPU Tolak Pengajuan Saksi Pilkada Pati dari Relawan Kotak

Kosong”, di akses dari http://www.murianews.com/2017/01/17/105716/kpu-tolak-pengajuan-

saksi-pilkada-pati-dari-relawan-kotak-kosong.html, diakses pada 10 Oktober 2017 pukul 19 :

40.

Page 60: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

50

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pemberlakuan calon tunggal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 10

Tahun 2016, menyatakan bahwa calon tunggal kepala daerah akan tetap

dilaksanakan pelaksanaan pemberlakuan calon tunggal di daerah yang hanya

terdapat satu pasang calon dengan syarat ketika awal pendaftaran sampai masa

berakhirnya pendaftaran hanya terdapat satu pasangan calon yang terdaftar di

Komisi Pemilihan Umum dengan catatan calon tersebut telah memenuhi

persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2016 calon tersebut

legal untuk dipilih dalam pemilihan umum kepala daerah serentak. Tidak seperti

pemilihan umum di daerah yang memiliki 2 pasangan calon atau lebih pemilihan

umum kepala daerah serentak yang hanya di ikuti satu pasangan calon mempunyai

mekanisme berbeda yaitu dengan cara masyarakat dihadapkan dengan kertas suara

yang berisi suara “setuju” dan “tidak setuju” jika masyarakat memilih calon kepala

daerah tersebut masyarakat meyuarakan suaranya dikertas “setuju” dan jika

masyarkaat tidak ingin memilih calon kepala daerah terebut masyarakat dapat

menyuarakan suaranya ke kertas “tidak setuju”

2. Pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015 terhadap legalitas

calon tunggal dimana putusan Mahkamah tersebut berdampak pada mekanisme

pemilihan kepala daerah, pelaksanaan demokrasi di Indonesia, dan terhadap peran

masyarakat dalam pemilihan kepala daerah. Sebelum adanya putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut mekanisme pemilihan kepala daerah yang diikuti hanya dengan

satu pasangan calon pemilihan umum kepala daerah serentak tersebut ditunda

sampai pemilihan umum kepala daerah serentak selanjutnya setelah lahirnya

putusan Mahkamah tersebut mekanisme pemilihan umum kepala daerah yang

diikuti hanya satu pasang calon tetap dilaksanakan, Mahkamah menyatakan, untuk

Pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, manifestasi kontestasinya

47

Page 61: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

51

lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat sebagai pemilih

untuk menentukan pilihannya apakah “setuju” atau “tidak setuju” dengan pasangan

calon tersebut.

B. Saran

1. Mengusulkan untuk perubahan atas peraturan Undang-Undang No 10 Tahun 2016

yang dimana persyaratan untuk partai politik atau perseorangan mencalonkan diri

untuk menjadi kepala daerah terlalu berat agar lebih diringankan persyaratan untuk

mencalonkan kepala daerah.

2. Perlu adanya peraturan yang lebih rinci jika calon tunggal tetap bertahan sampai

pemilihan umum kepala daerah serentak selanjutnya mengenai hak suara tidak

setuju yang dimana disana terdapat suara masyarakat yang ingin haknya terpenuhi.

3. Setiap kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan nilai nilai yang terkandung

dalam Undang-Undang Dasar 1945 jika tetap terlaksana pemilihan umum kepala

daerah dengan satu pasangan calon walaupun nilai demokrasi untuk terlaksananya

pemilihan itu terpenuhi tetapi nilai kompetisi dalam demokrasi akan hilang dan akan

mematikan budaya pesta demokrasi yang diikuti lebih dari 2 pasangan calon akan

lebih baik persyaratan untuk menjadi kepala daerah diringankan.

Page 62: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

52

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Al Marsudi Subandi, Pancasila dan UUD 1945 Dalam Paradigma Reformasi,

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001

Amin, Masyur, Agama, Demokrasi dan Transformasi Sosial,(Yogyakarta: LKPSM,

2008

Andrani, Charles F., Kehidupan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogya, 1992

Asshiddiqie, Jimly, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan

Pelaksanaannya di Indonesia Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme

dan Kolektivisme dalam kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi

Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1994

Asshiddiqie, Jimly, Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah perubahan keempat,

Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, 2002

Asshidiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. II, Jakarta: Sekretariat

Jendral dan Kepanitiaan MK RI, 2006

Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers,

2009

Aziz, Noor M, Pemilihan Kepala Daerah, Badan Pembinaan Hukum dan Ham RI,

Jakarta, 2001

Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi, cet. VI, Jakarta: Gramedia,

2013

Budi, Waluyo, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Pusat Kurikulum dan

Perbukuan Kementrian Pendidika Nasional, 2009

Dewata Mukti Fajar Nur dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif

Dan Empiris,Jakarta: Pustaka Pelajar 2010

Page 63: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

53

Firmanzah, “Mengelola Partai Politik”, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,

2011

Haris Syamsuddin, Partai Pemilu dan Parlemen, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia, 2014

Hendratno Edie Toet, Negara Kesatuan Desentralisasi dan Federalisme, Jakarta:

Graha Ilmu 2009

Huda, Ni’matul, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2011

Hunington, Samuel P., Political Order in Changing Societies, New Heaven and

London: Yale University Press, 1968

Irianto Sulistiyowati dan Shidarta, ed., Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan

Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009

Isjwara F, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Penerbit Binacipta, 1966

Koesnoe Muhammad, Musyawara dalam buku Masalah Kenegaraan yang diedit

Miriam Budiardjo, Jakarta: Gramedia, 1982

Magalatung Salman dan Nu Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, Bandung:

FajarMedia, 2013

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Jakarta: Kencana, 2005

MD, Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, cet. V, Jakarta: Rajawali Pers, 2012

Muluk, Khairul, Desentralisasi & Pemerintahan Daerah, Malang : BayuMedia, 2007

Nurtjahjo, Hendra, Filsafat Demokrasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2006

Purnama, Eddy, Negara Kedaulatan Rakyat Analisis Terhadap Sistem Pemertintahan

Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara Lain, Malang: Nusa

Media, 2007

Samidjo, Ilmu Negara, Bandung: CV Armico, 1986

Sirait, Hasudungan, Politik Pemilu Pilkada, Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI),

2006

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum Jakarta: UI Press, 1983, Pengantar

Penelitian Hukum, Cet. 3, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1942

Page 64: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

54

Sorensen G., Demokrasi dan Demokratisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2003

Subagyo, Firman, Menata Partai Politik (Dalam Arus Demokratisasi Indonesia),

Jakarta: RMBOOKS, 2009, Cet. Pertama

Supriyanto, Didik, Penataan Kembali Sistem Pemilihan dalam Pemilukada, dalam

Seminar Nasional Evaluasi Pemilukada: Antara Teori dan Praktik,

diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi pada Rabu-Kamis, 25-26 Januari

2012 di Hotel Sultan Jakarta

Diane Ravitch, Thernstrom Abigail dan, Demokrasi: Klsik dan Modern

Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2005

Triwulan, Tutik Titik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen

UUD 1945 Jakarta:Kencana, 2010

Widjaja, Haw, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo

Persada, 2008

Jurnal

Anggraini, Titi, “Evaluasi Pilkada Serentak 2015”, Jurnal Pemilu & Demokrasi,

Yayasan Perludem (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi), Jakarta : 2016

Ardipandanto, Aryojati, “Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak 2015”, Pusat

Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR

RI, ISSN 2088-2351, Vol. VII, No. 15/I/P3DI/Agustus/2015

Dhesinta, Wafia Silvi, “Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan

Konsep Demokrasi”, Jurnal Cita Hukum. Vol. 4 No. 1 Juni 2016

Hardiyanto, Suharso, Budiharto, “Pemilihan Umum Kepala Daerah Periode 2015/

2020 (Studi Politik Hukum Calon Tunggal ”,Varia Justicia Vol 12 No. 1

Oktober 2016

Hidayati, Maryam Nur, “Problematika Hukum Calon Tunggal dalam

PemilihanKepala Daerah Serentak Tahun 2015”, Lex Renaissance No. 1 Vol.

1 Januari 2016

Iza Rumesten RS, “Fenomena Calon Tunggal dalam Pesta Demokrasi”, Jurnal

Konstitusi, Volume 13, Nomor 1, Maret 2016.

Page 65: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

55

Pratikno, “Calon Independen, Kualitas Pilkada dan Pelembagaan Parpol”, Jurnal

Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Vol.ID, No. 3, Maret 2007

R. Nazriyah, Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2015 terhadap Putusan

Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015, Jurnal Konstitusi, Volume 13,

Nomor 2, Juni 2016.

Sodikin, “Pemilu Serentak (Pemilu Legislatif Dengan Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden) dan Penguatan Sistem Presidensial) Jurnal RechtsVinding, April

2014.

Wardhana, Allan Fatchan Gani, “Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah

dan Wakil Kepala Daerah Perspektif Hukum Progresif “, Jurnal Hukum IUS

QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 23 APRIL 2016

Internet

Addi M Idhom, “Meski Kalah, Suara Kotak Kosong Signifikan di Pati” di akses dari,

https://tirto.id/meski-kalah-suara-kotak-kosong-signifikan-di-pati-cjgA

Ferdian Andi, “Implikasi Serius MK Putuskan Calon Tunggal Pilkada”, di akses dari

http://nasional.inilah.com/read/detail/2241166/implikasi-serius-mk-putuskan-

calon-tunggal-pilkada

Imanuel Nicolas Manafe, “Calon Tunggal Tak Halangi Pilkada Serentak 2017”, di

akses dari http://www.tribunnews.com/nasional/2016/10/01/calon-tunggal-tak-

halangi-pilkada-serentak-2017

Kholistiono, “KPU Tolak Pengajuan Saksi Pilkada Pati dari Relawan Kotak Kosong”,

di akses dari http://www.murianews.com/2017/01/17/105716/kpu-tolak-

pengajuan-saksi-pilkada-pati-dari-relawan-kotak-kosong.html

Kompas.com, “Selain Menang, Faktor Ini Jadi Pertimbangan Parpol Tentukan Calon

di Pilkada DKI”, di akses dari

http://nasional.kompas.com/read/2016/09/11/17480801/selain.menang.faktor.in

i.jadi.pertimbangan.parpol.tentukan.calon.di.pilkada.dki

Page 66: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

56

Markus Junianto Sihaloho, “Alasan Minimnya Calon Kepala Daerah Versi PKS”, di

akses dari http://www.beritasatu.com/politik/295096-alasan-minimnya-calon-

kepala-daerah-versi-pks.html

MK Putuskan Gelar Referendum untuk Calon Tunggal Pilkada, di akses di

https://news.detik.com/berita/d-3030763/mk-putuskan-gelar-referendum-untuk-

calon-tunggal-pilkada

Pilkada Calon Tunggal, di akses di

https://www.nasional.sindonews.com/read/1049791/18/pilkada-calon-tunggal-

1443759497

Pilkada serentak 2015 sepi pemilih,di akses dari

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/12/151209_indonesia_pil

kadasepi

Pinter Politik, “KPU: Beberapa Faktor Sebabkan Pilkada Serentak Kurang Semarak”,

di akses dari https://pinterpolitik.com/kpu-beberapa-faktor-penyebab-pilkada-

serentak-kurang-semarak/

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Amandemen

Undang-Undang No 8 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Walikota Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Peneatpan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Walikota Menjadi Undang-Undang

Peraturan Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015

Page 67: IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42238/1/AHMAD...KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS

57

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2015 Pencalonan Pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil

Walikota