implikasi putusan mahkamah konstitusi nomor...
TRANSCRIPT
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XIII/2015
TENTANG PASANGAN CALON TUNGGAL TERHADAP DEMOKRASI
DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Ahmad Kandiaz
NIM:
1113048000033
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H / 2018M
i
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-
XIII/2015 TENTANG PASANGAN CALON TUNGGAL TERHADAP
DEMOKRASI DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Ahmad Kandiaz
1113048000033
Pembimbing I Pembimbing II
Nur Rohim Yunus, LLM
NIP. 19790416 201101 1 004
Dwi Putri Cahayawati S.H, M.H
NIDN. 0306047002
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H / 2018 M
iv
ABSTRAK
Ahmad Kandiaz, NIM 1113048000033, “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
No 100/PUU-XIII/2015 Terhadap Demokratisasi di Indonesia (Tinjauan Yuridis
Undang-Undang No 10 Tahun 2016)”, Strata Satu (S1), Konsentrasi Hukum
Kelembagaan Negara, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/ 2018 M, vi+59 halaman. Skripsi ini bertujuan
untuk mengetahui dampak dari pemberlakuan calon tunggal kepala daerah terhadap,
masyarakat, mekanisme pemilihan kepala daerah, dan sistem demokrasi di Indonesia.
Latar Belakang penelitian ini didasari fenomena yang terjadi di Indonesia munculnya
calon tunggal kepala daerah yang dapat merubah pola demokrasi yang sebelumnya
sudah diterapkan di Indonesia. Penelitian ini bersifat library research, mengkaji kasus
yang terjadi dan mengkaitkan peraturan perundangundangan yang berlaku untuk
mendukung penelitian. Metode analisis yang digunakan adalah yuridis normatif
dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan kasus (case study) serta pendekatan konseptual (conceptual approach).
Dalam penelitian ini menggunakan tiga bahan hukum yang digunakan yakni, bahan
hukum primer terdiri dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota, Putusan Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-
XIII/2015 Tentang Pemilihan Kepala Daerah Dengan Hanya Satu Pasangan Calon, dan
aturan perundang-undangan lain yang terkait, bahan hukum sekunder terdiri dari
publikasi tentang hukum dalam kepailitan meliputi buku-buku teks, kamus hukum,
jurnal hukum, dan komentar-komentar atas kasus yang terjadi, bahan non hukum terdiri
dari buku-buku mengenai Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu Politik, Filsafat atau
laporan-laporan penelitian non-hukum. Hasil penelitian menunjukan bahwa
munculnya calon tunggal kepala daerah membawa dampak terhadap demokrasi dan
masyarakat di Indonesia yang dimana masyarakat lebih apatis dalam penyelenggaraan
pemilihan umum kepala daerah serentak, peran masyarakat yang seharusnya sangat
berpengaruh untuk negara akan hilang dikarenakan adanya fenomena calon tunggal.
Kata Kunci : Calon Tunggal Kepala Daerah, Calon Tunggal, Pejabat Negara
Pembimbing : Nur Rohim Yunus, LLM.
Dwi Putri Cahayawati, S.H., M.H
Sumber Rujukan dari 1983 sampai 2017
v
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمان الرحيم
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia yang
tidak terhingga banyakanya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga
akhir zaman. Dengan mengucap Alhamdullilahi Robbil ‘alamin penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
No 100/PUU-XIII/2015 Tentan Pasangan Calon Tunggal Terhadap Demokrasi di
Indonesia”
Dalam penyelsaian Skrpsi ini tidak terlepas dari pengetahuan keilmuan penulis
dapatkan dari berbagai sumber, selain itu tidak lupa pula terimakasih atas bimbingan,
bantuan, nasehat, doa, dan dukungannya. Kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, Ph.D Dekan Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan arahan serta masukan atas
penyusunan skripsi.
3. Nur Rohim Yunus, LLM dan Dwi Putri Cahayawati, S.H., M.H Selaku dosen
Pembimbing I dan II yang telah bersedia menyediakan waktu, tenaga dan pikirannya
untuk memberikan saran dan masukan terhadap proses penyusunan skripsi ini
4. Kedua Orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi, Bapak D. Syamsurizal Amri
dan Ibu Siti Daolah, S.Pd.i yang telah medoakan, mendukung, dan menjadi motivasi
untuk menyelesaikan skripsi ini, tanpa kalian saya tidak akan bisa sampai ke tahap
ini.
vi
5. Kepada saudara penulis, Ka Deby, Ka Dety (alm), Ka Desy, Ka Dara serta abang
ipar dalam menulis agar bisa dibanggakan dan Keluarga Besar Penulis yang selalu
mendoakan agar penelitian ini terselesaikan .
6. Kepada Aniza Rahmah orang yang selalu ada untuk saya dan menjadi motivasi saya
untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Sahabat-sahabat seperjuangan yang sekaligus menjadi keluarga, Khaidir Musa,
Rhomi Prayoga, M Nasrullah, Muhammad Eddy Kurniawan, Mizana Ramadhan,
yang telah membantu dalam pengetahuan, memberikan semangat dan dukungan
kepada Penulis sehingga penelitian ini terselesaikan
8. Adik-adik Ilmu Hukum Diana Yurika, Astrid, Indri, Anggi, Intanzi, Alysa, Zahra
yang selalu mensupport saya di Universitas Islam Negeri Jakarta.
9. Teman-teman seperjuangan skripsi penulis dalam Skripsi, Ariq Putra, Tomy Marlin
Manday, Rizky Rahmansyah, Hamalatul Qurani, tetap semangat untuk mengerjakan
skripsi
10. Kawan-kawan HMPS Ilmu Hukum & KKN SEREMPAK 2016 yang telah
membantu menambah pengetahuan penulisan serta memberikan semangat dan
dukungan untuk penulis.
Akhir kata, atas jasa dan bantuan semua pihak yang telah membantu &
memberikan masukan, semoga Allah memberikan balasan yang berlipat. Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis, masyarakat
serta para pembaca kalangan umumnya.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Jakarta, Januari 2018
Ahmad Kandiaz
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .............................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah.................................................................................... 4
C. Perumusan Masalah .................................................................................... 4
D. Tinjauan Kajian Terdahulu ......................................................................... 6
E. Metode Penelitian ....................................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan ................................................................................. 9
BAB II TEORI KEDAULATAN, DEMOKRASI LANGSUNG, PEMILIHAN
UMUM ...................................................................................................................... 11
A. Kedaulatan Rakyat ...................................................................................... 11
1. Pengertian Kedaulatan .......................................................................... 11
2. Pengertian Kedaulatan Rakyat .............................................................. 12
B. Demokrasi Langsung .................................................................................. 14
1. Pengertian Demokrasi ........................................................................... 14
C. Pemilihan Umum ........................................................................................ 17
1. Pengertian Pemilu ................................................................................ 17
2. Sistem Pemilu ...................................................................................... 19
D. Pemilihan Kepala Daerah .......................................................................... 20
1. Pengertian ............................................................................................ 20
viii
BAB III PENGATURAN CALON TUNGGAL PEMILIHAN UMUM KEPALA
DAERAH SERENTAK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 100/PUU-XIII/2015 .................................................................................. 22
A. Latar Belakang Sosiologis dan Pengaturan Calon Tunggal Dalam Pemilihan
Umum Kepala Daerah Serentak ................................................................. 22
1. Pelaksanaan Pemberlakuan Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah Serentak ....................................................................... 22
a. Syarat Pemberlakuan Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah Serentak ................................................................ 22
b. Pelaksanaan Pemilihan Calon Tunggal ......................................... 24
2. Krisis Calon Kepala Daerah ................................................................. 26
a. Faktor Krisis Calon Kepala Daerah ................................................ 26
b. Dampak Krisis Calon Kepala Daerah ............................................. 29
B. Putusan Mahkamah Kontitusi ..................................................................... 31
BAB IV PENGARUH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
100/PUU-XIII/2015 TERHADAP PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM
KEPALA DAERAH SERENTAK .......................................................................... 33
A. Putusan Mahkamah Konstitusi ................................................................... 33
1. Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Putusan Mahkamah Konstitusi
No 100/PUU-XIII/2015 ........................................................................ 33
2. Amar Putusan ....................................................................................... 38
B. Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015
Terhadap Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak ........... 41
1. Dampak Terhadap Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah ................... 41
2. Dampak Terhadap Kompetisi Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah
Serentak ................................................................................................ 44
3. Dampak Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah Serentak ....................................................................... 46
BAB V PENUTUP .................................................................................................... 47
ix
A. Kesimpulan ................................................................................................. 47
B. Saran ........................................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 49
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bagi sejumlah Negara yang menerapkan atau mengklaim diri sebagai Negara
Demokrasi, pemilu memang dianggap sebagai lambang sekaligus tolak ukur utama dan
pertama demokrasi.1 Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (Role) yang
sangat penting dalam setiap demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang
sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga Negara. Bahkan
banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan
demokrasi.2
Demokrasi digambarkan oleh Aristoteles ialah “… landasan demokratis adalah
kebebasan; yang menurut pendapat orang pada umumnya, hanya dapat dinikmati dalam
Negara semacam itu. Hal ini diakui sebagai tujuan utama setiap demokrasi. Salah satu
prinsip kebebasan ialah setiap orang secara bergantian wajib memerintah dan
diperintah, dan memang keadilan demokratis merupakan penerapan persamaan jumlah
bukan proporsi, dari situ disimpulkan bahwa mayoritas harus memiliki kekuasaan
tertinggi, dan apa pun yang disetujui oleh mayoritas harus menjadi tujuan dan adil.
Setiap warga Negara, dikatakan, harus mempunyai persamaan, dan oleh karenanya
dalam sebuah demokrasi, kaum miskin mempunyai kekuasaan lebih banyak daripada
kaum kaya, karena jumlah mereka lebih besar, dan kehendak mayoritaslah yang paling
tinggi. Oleh karena itu hal ini merupakan salah satu sifat kebebasan yang dianut oleh
kaum demokrat sebagai prinsip Negara merdeka”.3
1Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945 (Jakarta:Kencana, 2010), h. 329.
2Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
h. 401.
3Diane Ravitch dan Abigail Thernstrom, Demokrasi: Klsik dan Modern
(Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 13.
2
Landasan konstitusional pemilihan umum kepala daerah termaktub pada Pasal
18 Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih
secara demokratis, kebijakan desentralisasi yang kemudian diwujudkan dalam bentuk
pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) adalah proses politik yang sangat baik
dalam penentuan pemimpin tingkat lokal. Pada saat inilah rakyat di tiap-tiap
kabupaten/kota dan provinsi memilih para calon pemimpin.4
Supaya perubahan sosial terjadi, orang harus diyakinkan bahwa hal itu mungkin
dan diinginkan di sini perlunya seperangkat keyakinan yang sistematis (ideologi) yang
menentukan kelayakan dan kebaikan dari perubahan-perubahan tertentu.5
Ketika suatu masyarakat mencapai tingkat perkembangan teknologi tertentu,
perubahan akan terjadi secara alamiah tanpa intevensi kehendak manusia. Sebaliknya,
perubahan yang terorganisasi akan berhasil jika suatu partai politik yang kuat, suatu
birokrasi, atau suatu firma ekonomi secara sadar mengarahkannya, dalam kasus ini
individu-individu “mengendalikan waktu” sehingga mereka dapat mengarahkan
kekuatan-kekuatan sejarah menurut arah tertentu.6
Jika suatu perubahan terjadi ke muka, para pemimpin berhasil dalam
menciptakan suatu tipe masyarakat baru dan sistem politik baru yang sebelumnya tidak
ada. Meskipun demikian, perubahan-perubahan ke belakang, mengembalikan tipe
masyarakat dan negara politik yang ada di masa lalu. Penegakan suatu masyarakat yang
tidak mengandung konflik politik dan tidak ada kekerasan akan menunjukkan
perubahan ke muka. Dapat diklasifikasikan empat tipe gerakan revolusioner, reformis,
konservatif dan reksioner berdasarkan arah yang dikehendaki.7
4 Firman Subagyo, Menata Partai Politik (Dalam Arus Demokratisasi Indonesia),
(Jakarta: RMBOOKS, 2009, Cet. Pertama), h. 128.
5 Charles F. Andrani, Kehidupan dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1992) h.36.
6Charles F. Andrani, Kehidupan dan Perubahan Sosial, h.39.
7Charles F. Andrani, Kehidupan dan Perubahan Sosial, h.42.
3
Adanya calon tungal disebebakan terjadinya perubahan sosial di daerah yang
terdapat calon tunggal baik dalam perubahan partisipasi politik maupun
ketidakikutsertaan pemilihan umum dikarenakan tidak ada calon yang di inginkan.
Kepala daerah dan wakil kepada daerah dipilih secara langsung oleh rakyat yang
persyaratan dan tata cara ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.8 Dengan
fenomena calon tunggal di pilkada tidak menutup kemungkinan mempengaruhi tugas
dan fungsi kepala daerah kepada masyarakat yang hanya bisa memilih satu calon
kepala daerah secara setuju atau tidak setuju. Tidak seperti Amerika Serikat yang
memiliki ragam bentuk pemerintahan daerah yang begitu tinggi, Indonesia justru
memiliki bentuk pemerintahan daerah yang seragam dan cenderung demikian
sepanjang sejarah pertumbuhannya. Perubahan bentuk pemerintah daerah terjadi
karena fase pemerintahan daerahnya bukan karena kemajemukan dalam fase yang
sama.9
Sebagus apapun sebuah pemerintahan dirancang, tidak bisa dianggap demokratis
kecuali para pejabat yang memimpin pemerintahan itu dipilih secara bebas oleh warga
negara dengan cara yang terbuka dan jujur untuk semuanya.
Karena adanya fenomena calon tunggal, menyebabkan masalah baru warga
negara tidak bebas untuk memilih calon karena hanya ada satu calon, walaupun
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan No.100/PUU-XII/2015 tetap adanya
pemilihan dengan cara setuju atau tidak setuju cara ini kurang demokratis karena
terlihat disini Mahkamah Konstitusi hanya menetapkan, dan apakah referendum
Mahkamah Konstitusi dalam hal memilih calon tunggal dengan cara setuju atau tidak
setuju sudah memenuhi nilai demokrasi sesungguhnya.
Permasalahan di atas melihat perlu adanya penelitian lebih lanjut serta penjelasan
bagaimanakah dampak akibat putusan mahkamah konstitusi yang meyebabkan
8 Haw Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada, 2008) h.140.
9 Khairul Muluk, Desentralisasi & Pemerintahan Daerah, (Malang : BayuMedia, 2007)
h.143.
4
demokratisasi di Indonesia tidak berjalan sempurna. Oleh karena itu, penulis tertarik
memilih judul tentang “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-
XIII/2015 Tentang Pasangan Calon Tunggal Terhadap Demokrasi di Indonesia”
B. Identifikasi Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang disampaikan di atas terdapat beberapa
persoalan yang berkaitan dengan implikasi putusan Mahkamah Konstitusi No
100/PUU-XIII/2015 Terhadap Demokratisasi di Indonesia yaitu :
a. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak.
b. Kompetisi partai politik dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak.
c. Landasan hukum pemberlakuan calon tunggal dalam pelaksanaan pemilihan
kepala daerah serentak.
d. Pertimbangan hakim dalam putusan uji materil Undang-Undang no 8 tahun
2015.
e. Dampak putusan mahkamah konstitusi terhadap legalisasi calon tunggal
dalam pemilihan kepala daerah serentak.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis hanya membahas berdasarkan
dampak dari putusan mahkamah konstitusi No 100/PUU-XIII/2015 terhadap
demokrasi di Indonesia dengan didasarkan kepada teori demokrasi yang ada di
Indonesia.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang telah
diuraikan di atas, maka perumusan masalahnya akan dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana pelaksanaan pemberlakuan calon tunggal dalam pemilihan
kepala daerah serentak?
b. Bagaimana pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-
XIII/2015 terhadap pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah serentak?
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan diatas, tulisan ini bertujuan
untuk:
a. Untuk mengetahui pelaksanaan pemberlakuan calon tunggal dalam
pemilihan umum kepala daerah serentak.
b. Untuk mengetahui pengaruh putusan mahkamah konstitusi no 100/PUU-
XIII/2015 terhadap pelaksana pemilihan umum kepala daerah serentak.
2. Manfaat Penulisan
Pada penelitian skripsi hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pengetahuan dibidang hukum khususnya baik secara teoritis maupun praktis.
a. Manfaat Teoritis
1) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam
perkembangan ilmu hukum khususnya pada bidang hukum tata negara.
2) Hasil daripada penelitian ini diharapkan dapat memberikan serta
menambah referensi penelitian hukum tata negara khususnya dalam
meneliti pututsan mahkamah konstitusi serta menjadi masukan daripada
penelitian selanjutnya dalam penelitian karya ilmiah pada masa yang akan
datang.
3) Dapat menerapkan ilmu-ilmu yang selama ini telah ditempuh dalam
bangku perkuliahan dalam menganalisis maupun penerapanya secara
langsung dilapangan.
b. Manfaat Praktis
1) Menjadi salah satu tinjauan anggota DPR untuk meratifikasi UU No 10
Tahun 2016 supaya meringankan syarat pencalonan kepala daerah
2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi alat informasi bagi seluruh
kalangan masyarakat, maupun pemerintah dalam setiap detail dari hasil
penelitian karya ilmiah ini.
6
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam menjaga keaslian judul peneliti ajukan dalam skripsi ini perlu kiranya
peneliti melampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi bahan pertimbangan, antara
lain:
a. Dalam skripsi yang ditulis oleh Ummu Salamah, Mahasiswa Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
berjudul “CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA
DAERAH MENURUT AJARAN KEDAULATAN RAKYAT” dalam
skripsi tersebut membahas tentang apakah terjadinya calon tunggal masih
sejalan dengan kedaulatan rakyat, jelas berbeda dengan penelitian saya yang
menjelaskan tentang implikasi putusan mahkamah konstitusi no 100/PUU-
XIII/2015.
b. Dalam skripsi yang ditulis oleh Sarah Eka Aprilia, Mahasiswa Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang berjudul “Terminologi Demokrasi Dalam Pemilihan Kepala Daerah
Menurut Pasal 11 ayat (4) 1945 dalam Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui
mekanisme pemilihan kepala daerah yang demokratis apa dengan cara dipilih
oleh DPR atau dipilih langsung oleh rakyat, jelas berbeda dengan penelitian
saya yang dimana membahas referendum mahkamah konstitusi apakah sudah
memenuhi nilai teori demokrasi sesungguhnya.
c. Buku Mahfud MD. “DEMOKRASI DAN KONSTITUSI DI INDONESIA"
Buku ini membahas tentang bagaimana konstitusi yang ada di Indonesia serta
sejarah konstitusi yang pernah ada di Indonesia, sedangkan penulis
membahas tentang teori demokrasi yang berlaku bukan hanya di Indonesia
tetaoi juga membahas teori teori demokrasi yang berlaku di negara lain juga.
d. Dalam jurnal “RechtsVinding” yang ditulis oleh Sodikin,”sPemilu Serentak
(PEMILU LEGISLATIF DENGAN PEMILU PRESIDEN dan WAKIL
PRESIDEN) dan PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL” Membahas
tentang pemilihan umum serentak yang dinilai bertentangan dengan amanat
7
konstitusi yaitu UUD 1945 terutama pasal 6 dan pasal 6A UUD 1945 berbeda
dengan apa yang peneliti bahas mengenai tentang kata “dipilih” dalam pasal
18 ayat 4 UUD NRI 1945 dengan referendum mahkamah konstitusi yang
menyatakan pemilihan dengan cara setuju atau tidak setuju.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini terdiri atas:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan ialah jenis penelitian hukum normatif. Penilitian
hukum normatif adalah jenis penelitian yang lazim dilakukan dalam kegiatan
pengembangan Ilmu Hukum yang di Barat biasa juga disebut dogmatika Hukum.10
Penelitian hukum normatif mencangkup penelitian terhadap asas-asas hukum,
penelitian terhadap sistematika hukum, penilitan terhadap sinkronisasi hukum,
penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.11
2. Pendekatan Penelitian
Sehubung dengan jenis penelitian ini, maka pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif yaitu dengan :
Melakukan pendekatan terhadap putusan perundang-undangan (Statute
approach).12 Selain itu penulis melakukan Pendekatan terhadap kasus (case approach),
dan pendekatan konseptual.
3. Jenis Data Dan Bahan Hukum
Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. Data
sekunder dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan
10Sulistiyowati Irianto dan Shidarta, ed., Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan
Refleksi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), h. 142.
11Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1983), h. 51.
12Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), h. 93.
8
kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang
berkaitan dengan masalah atau materi penelitian yang sering disebut bahan hukum.13
Adapun data sekunder atau bahan hukum yang digunakan penulis adalah:
a. Bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi atau keputusan pengadilan dan penjanjian internasional
(traktat).14 Bahan hukum primer yang digunakan penulis dalam penelitian
ini antara lain seperti, UUD NRI 1945, Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2016, PMK Nomor 100/PUU-XIII/2015.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang dapat berupa rancangan
perundang-undangan, hasil penelitian, buku, buku teks, jurnal ilmiah, surat
kabar (Koran), pamflet, leaflet, brosur, dan berita internet.
c. Bahan non hukum, ini dapat berupa semua literatur yang berasal dari non
hukum, sepanjang berkaitan atau mempunyai relevansi dengan topik
penelitian.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam menyelesaikan penelitian ini, dengan
menggunakan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu suatu metode
pengumpulan dengan cara membaca atau merangkai buku-buku peraturan perundang-
undangan dan sumber kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan objek penelitian.
5. Metode Analisis Data
Setelah data dan bahan hukum dikumpulkan tahap selanjutnya adalah melakukan
pengolahan data, yaitu mengelola data sedemikian rupa sehingga data dan bahan
13Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
Dan Empiris (Jakarta: Pustaka Pelajar 2010), h. 156.
14Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
Dan Empiris h. 157.
9
hukum tersebut tersusun secara runtut, sistematis, sehingga akan memudahkan penulis
melakukan analisis.15
Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan bahan berwujud kegiatan untuk
mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Dalam hal ini
pengolahan bahan dilakukan dengan cara, melakukan seleksi data sekunder atau bahan
hukum, kemudian melakukan klafisikasi menurut penggolongan bahan hukum dan
menyusun data hasil penelitian tersebut secara sistematis.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam skripsi ini
disesuaikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2017”
F. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan penjelasan menyeluruh tentang isi skripsi, maka sistematika
penulisan skripsi sebagai berikut:
BAB I: Berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian,
Tinjauan Kajian Terdahulu, dan sistematika penelitian.
BAB II: Menguraikan teori teori kedaulatan rakyat, demokrasi
langsung, pemilihan umum.
BAB III: Menguraikan pencalonan kepala daerah dalam pemilihan
umum kepala daerah serentak
BAB IV: Menguraikan analisis undang-undang no 10 tahun 2016
terhadap calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah
serentak
15Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris h. 180.
10
BAB V: Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini,
untuk itu penulis menari beberapa kesimpulan dari hasil
penelitian serta memberikan saran dan kritik yang dianggap
perlu pada permasalahan yang diteliti
11
BAB II
TEORI KEDAULATAN RAKYAT, DEMOKRASI LANGSUNG,
PEMILIHAN UMUM
A. Kedaulatan Rakyat
1. Pengertian Kedaulatan
Salah satu unsur atau syarat yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu negara
adalah pemerintahan yang berdaulat atau kedaulatan. Suatu komunitas tidak akan
dianggap sebagai negara bila tidak memiliki kedaulatan.16
Istilah kedaulatan pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli kenegaraan
berkebangsaan Perancis yang bernama Jeans Bodin (1539-1596). Beliau
mendefinisikan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi terhadap para warganegara dan
rakyat tanpa suatu pembatasan undang-undang. (Soehino, 1980: 79).17
Terminologi ilmu politik modern menyatakan bahwa kata kedaulatan digunakan
untuk mengartikan kemaharajaan mutlak atau kekuasaan raja yang paripurna.
Kedaulatan memiliki hak yang tidak dapat diganggu gugat untuk memaksakan
perintah-perintahnya kepada semua rakyat negara yang bersangkutan dan rakyat ini
memiliki kewajiban negara yang bersangkutan dan rakyat ini memiliki kewajiban
mutlak untuk mentaatinya tanpa memperhatikan apakah mereka bersedia atau tidak.18
Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa: “Kedaulatan ada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang.” Berdasarkan pasal tersebut jelaslah
bahwa negara Republik Indonesia menganut teori kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang
memegang kekuasaan tertinggi. Di samping itu, karena negara Republik Indonesia
16 Salman Magalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara,
(Bandung: FajarMedia, 2013), h 181.
17 Salman Magalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, h 181.
18 Salman Magalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, h 185.
11
12
menganut demokrasi yang berdasarkan konstitusi (constitutional democracy), maka
kedaulatan harus dilaksanakan berdasarkan konstitusi (menurut UUD)19
2. Pengertiaan Kedaulatan Rakyat
Istilah kedaulatan rakyat merupakan perpaduan antara dua kata, yaitu kata
“kedaulatan” dan kata “rakyat”, dimana masing-masing kata memiliki arti yang
berbeda. Kata “kedaulatan” merupakan terjemahan dari sovereignity (bahasa Inggris),
souverainete (bahasa Prancis), Sovranus (bahasa Italia),20 souvereiniteit (bahasa
Belanda), superanus (bahsa Latin), yang berarti supermasi = di atas dan menguasai
segala-galanya.21
Sarjana-sarjana dari abad pertengahan lazim menggunakan pengertian-
pengertian yang serupa mangkanya dengan istilah “superanus” itu, yaitu summa
protestas atau plenitude potestis, yang berarti wewenang tertinggi dari suatu kesatuan
politik.22 Istilah kedaulatan ini tampil sebagai istilah (including the superior) is a
society, political and independent” (berkenaan dengan pemimpin masyarakat tidak
selalu ia berkuasa penuh ((superior), pada dasarnya orang tunduk kepada kehendak
sebagian besar masyarakat sehingga pemimpin yang berkuasa dalam masyarakat dan
masyarakat itu sendiri di mana pemimpin termasuk di dalamnya adalah sebuah
masyarakat, persekutuan dan mandiri).23
Kamus Besar Bahasa Indonesia dan juga Kamus Hukum yang ditulis Sudarsono
mengartikan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah
19 Salman Magalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, h 194.
20 F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Penerbit Binacipta, 1966), h 93.
21 Samidjo, Ilmu Negara, (Bandung: CV Armico, 1986), h 137.
22 F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Penerbit Binacipta, 1966), h 93.
23 Samidjo, Ilmu Negara, h 137.
13
dan sebagainya. Sedangkan Jimly Asshidiqie mendefinisikan kedaulatan sebagai
konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.24
Dari uraian di atas, terang bahwa kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi
dalam negara dan menjadi atribut bagi negara sebagai oraganisasi masyarakat paling
besar.25 Apabila dikaitkan dengan kata “rakyat” , maka rakyat merupakan tempat yang
melahirkan kekuasaan tertinggi. Dengan demikian, kedaulatan rakyat dapat
didefinisikan sebagai kekuasaan tertinggi dalam negara yang dipegang atau terletak di
tangan rakyat. Pada tataran pelaksanaan, kedaulatan rakyat merupakan gabungan
keseluruhan dari kemauan masing-masing pribadi, yang jumlahnya dalam masyarakat
tersebut ditentukan oleh suara terbanyak.26
Kedaulatan rakyat juga diagungkan dengan istilah “demokrasi” (demos = rakyat
= people; kratos = kratein = pemerintahan/kekuasaan = rule).27 Istilah demokrasi
berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri atas dua perkataan, yaitu demos, yang berarti
rakyat, dan cratein yang berarti pemerintah.28
Kedaulatan rakyat merupakan penggambaran dari sistem kekuasaan dalam
sebuah negara yang menghendaki bahwa kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat.
24 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan
Kolektivisme dalam kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa
Demokrasi, 1945-1980-an, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h 9.
25 Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat Analisis Terhadap Sistem Pemertintahan
Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara Lain, (Malang: Nusa Media, 2007),
h 28.
26 Muhammad Koesnoe, Musyawara dalam buku Masalah Kenegaraan yang diedit
Miriam Budiardjo, (Jakarta: Gramedia, 1982), h 57. Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2006) h 66.
27 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, h 31.
28 Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD 1945 Dalam Paradigma Reformasi,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), h 81.
14
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata rakyat diartikan dengan segenap
penduduk suatu negara (sebagai imbangan pemerintah). (KBBI, 1988: 722). Sedang
dalam bahasa Inggris berasal dari kata people, sedangkan dalam bahasa Arab berasal
dari ra’iyah mengacu pada pengertian masyarakat (rakyat). Salah satu syarat sebuah
negara adalah adanya rakyat, dimana rakyat menjadi satu kesatuan bersama dengan
pemerintahan, konstitusi dan pengakuan dari negara lain untuk terpenuhinya syarat
sebuah negara.29
Teori kedaulatan rakyat dalam pandangan negara-negara Barat muncul dan
dicetuskan oleh Jean Jaques Rousseau yang kemudian diikuti oleh Immanuel Kant,
yang menyatakan: “Tujuan negara adalah untuk menegaklan hukum dan menjamin
kebebasan dari para warganya. Dengan perngertian bahwa kebebasan disini adalah
kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan, sedangkan yang berhak membuat
undang-undang adalah rakyat itu sendiri. Maka dengan demikian, undang-undang
merupakan penjelmaan kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili
kekuasaan tertinggi atau kedaulatan.” (Soehino, 2001: 161).30
B. Demokrasi Langsung
1. Pengertian Demokrasi
Demokrasi adalah sintesis mukhtahir bagi manusia modern. Demokrasi
merupakan hasil proses panjang manusia untuk menjadikan dunia sebagai a better place
to live in. Sebuah proses yang di awali catatan sejara “mengesankan” melalui
pergulatan pemikiran dan pertumpahan darah. Misalnya, Perang Dunia I dan II serta
29 Salman Magalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, h 191.
30 Salman Magalatung dan Nur Rohim Yunus Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, h 192.
15
Perang Dingin, belum termasuk era imperialism dan kolonialisme yang telah
mengorbankan ratusan juta manusia.31
Demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang dianggap baik untuk
semua sistem organisasi dan juga merupakan sistem organisasi yang paling baik di
antara sistem organisasi lain yang pernah ada. Secara etimologis demokrasi terdiri dari
dua kata Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan
cratein atau cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Demos-cratein atau demos-
cratos (demokrasi) memiliki arti suatu sistem pemerintahan dari, oleh, dan untuk
rakyat.32
Ada satu pengertian mengenai demokrasi yang di anggap paling popular diantara
pengertian yang ada. Pengertian tersebut dikemukakan pada tahun 1863 oleh Abraham
Lincoln yang mengatakan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat (government of the people, by the people, and for the people).33
Pemerintahan dari rakyat berarti Pemerintahan negara itu mendapat mandate dari
rakyat untuk menyelenggarakan perintahan. Pemerintah oleh rakyat berarti
pemerintahan negara itu dijalankan oleh rakyat. Pemerintahan untuk rakyat berarti
pemerintahan itu menghasilkan dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang diarahkan
untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.34
31 A. Makmur Makka, Demokratisasi Tak Boleh Henti, (Jakarta: The Habibi Center
2002) h. v
32 Budi Waluyo, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Pusat Kurikulum dan
Perbukuan Kementrian Pendidika Nasional, 2009), h. 24.
33 Mahmud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. V, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.
23.
34 Masyur Amin, Agama, Demokrasi dan Transformasi Sosial,(Yogyakarta: LKPSM,
2008), h. 12.
16
Merujuk kepada pendapat Samuel Huntington, proses menuju demokrasi dapat
berlangsung dalam empat skenario besar. Pertama, disebut dengan istilah transformasi
yakni proses menjadi demokrasinya suatu negara yang awalnya otoriter atau totaliter,
dengan dimotori dan dikendalikan oleh pihak yang berkuasa atau disebut sebagai
perubahan dari atas. Kedua, disebut dengan istilah replacement, pergantian rezim.
Demokratisasi terjadi melalui runtuhnya kekuasaan rezim lama digantikan oleh rezim
yang baru, dan prodemokrasi. Dalam konteks ini perubahan terjadi karena penguasa
dalam rezim mengalami pelemahan-pelemahan (decaying) dari dalam sehingga
berhasil dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mengalami penguatan-penguatan.
Ketiga, disebut dengan istilah transplacement, yakni proses menuju negara yang
demokratis sebagai kombinasi antara gerakan sosial di luar rezim yang mengalami
penguatan-penguatan, misalnya melalui people power, serta adanya dorongan dari
faksi-faksi prodemokrasi didalam rezim yang telah berkuasa. Gerakan di luar dan faksi
prodemokratisasi sebagai perwujudan kontrak sosial baru. Keempat, disebut dengan
istilah intervensi, yakni proses demokratisasi yang dihasilkan oleh ikut sertanya pihak
luar atau negara lain dalam menjatuhkan rezim yang tengah berkuasa.35
Demokrasi langsung juga dikenal dengan demokrasi bersih. Disinilah rakyat
memiliki kebebasan secara mutlak memberikan pendapatnya, dan semua aspirasi
mereka dimuat dengan segera di dalam satu pertemuan.
Menurut Hans kelsen demokrasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung (perwakilan). Tipe demokrasi yang
ideal diwujudkan pada derajat yang berbeda melalui konstitusi yang berbeda pula.
Demokrasi langsung ditujukan oleh fakta bahwa pembuatan undang-undang, dan juga
eksekutif dan yudikatif yang utama, dijalankan oleh rakyat dalam pertemuan akbar
ataupun rapat umum. Pengorganisasian semacam ini hanya mungkin pada masyarakat
35 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan Desentralisasi dan Federalisme, (Jakarta:
Graha Ilmu 2009), h. 78.
17
kecil dan dibawah kondisi sosial yang sederhana. Dalam demokrasi langsung seperti
dijumpai bangsa Jerman dan Romawi Kuno, prinsip demokrasi sangat terbatas. Tidak
semua warga mempunyai hak untuk turut serta dalam pembahasan dan keputusan
majelis rakyat. Pada kondisi tertentu pemimpin dapat dipilih oleh majelis, maka setiap
orang harus tunduk pada pimpinan. Karena dipimpin oleh majelis, maka paling tidak
dia menduduki jabatan dengan cara demokratis.36
Di negara Indonesia sendiri demokrasi langsung diterapkan dalam memilih para
pemimpin dengan cara Pemilihan Umum, di Indonesia pemilihan umum dikatakan
sudah demokratis dalam menentukan pemimpin. Tetapi di Indonesia pemilu dapat
dijadikan alat untuk kepentingan penguasa ataupun golongan. Penguasa sebagai aktor
akan dengan mudah menyusun mekanisme pemilu yang dipastikan akan memenangkan
partai atau kelompok penguasa yang menciderai arti demokrasi tersebut.
C. Pemilihan Umum
1. Pengertian Pemilu
Pemilihan umum, selanjutnya disebut pemilu, adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.37
Pemilihan umum merupakan salah satu unsur yang sangat vital, karena salah satu
parameter mengukur demokratis tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana
36 Iza Rumesten RS, “Fenomena Calon Tunggal dalam Pesta Demokrasi”, Jurnal
Konstitusi, Volume 13, Nomor 1, Maret 2016, h. 76.
37 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 tentang, Pemilihan
Umum Angota Dewan Perwakilan Rkayat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
18
perjalanan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh negara tersebut. Demokrasi adalah
suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat38
Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan
kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum
yang mempunyai intergritas, profesionalitas, akuntabilitas.39
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi
tuntutan perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat, dan perkembangan
demokrasi yang sejalan dengan pertumbuhan kehidupan berbangsa dan bernegara.40
Dalam pemilu, para pemilih dalam Pemilu disebut konstetuen, dan kepada
merekalah para peseta Pemilu menawarkan janji-janji dan progam-programnya pada
masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang
hari pemungutan suara. Setalah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan
dimulai. Pemenang pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan
pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan
disosialisasikan ke para pemilih.41
38 G. Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2003), h.
1.
39 Jimily Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. V,(Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009), h. 397.
40 Jimily Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. V h. 401.
41 Jimily Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. V, h. 403.
19
2. Sistem Pemilu
Sistem Pemilihan Umum adalah metode yang mengatur dan memungkinkan
warga negara memilih para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode berhubungan
dengan prosedur dan aturan merubah (mentranformasi) suara ke kursi dilembaga
perwakilan. Mereka sendiri maksudnya yang memilih maupun yang hendak dipilih
merupakan bagian dari satu entitas yang sama.
Ada dua sistem pemilihan umum, yaitu: perwakilan distrik/mayoritas
(singlemember representation).42
a. Sistem Distrik
Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan
atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis yang dinamakan sebagai
distrik memperoleh satu kursi di parlemen. Negara dibagi kedalam
wilayah/distrik yang sama jumlah penduduknya. Dalam sistem ini, calon
yang mendapatkan suara terbanyak yang akan menjadi pemenang, meskipun
selisih dengan calon lain hanya sedikit. Suara yang mendukung calon lain
akan dianggap hilang dan tidak dapat membantu partainya untuk
mendapatkan jumlah suara partainya di distrik lain.43
b. Sistem Proposional
Dalam sistem ini, presentase kursi di lembaga perwakilan rakyat
dibagikan kepada tiap-tiap parpol sesuai dengan presentase jumlah suara
yang diperoleh tiap-tiap parpol. Jimly Asshidiqie mencontohkan model dari
sistim ini, misalkan jumlah pemilih yang sah dalam pemilu 1 juta orang
sedangkan jumlah jursi diperwakilan rakyat 100 kursi, maka untuk satu
42 Jimly Asshidiqiw, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. II, (Jakarta: Sekretariat
Jendral dan Kepanitiaan MK RI, 2006), h. 182.
43 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi, cet. VI, (Jakarta: Gramedia,
2013), h. 462.
20
orang wakil rakyat membutuhkan 10 ribu suara. Pembagian kursi di
parlemen tergantung seberapa suara yang diperoleh setiap parpol.44
D. Pemilihan Kepala Daerah
1. Pengertian
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, atau lebih popular disingkat
menjadi PILKADA, adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang
memnuhi ketentuan paraturan perundang-undangan. Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah terdiri dari Gubernur dan Wakil Gubernur untuk provinsi, Bupati dan Wakil
Bupati untuk kabupaten, Walikota dan Wakil Walikota untuk kota.45
Menurut Jimly Asshiddiqie perkataan “dipilih secara demokraris” ini bersifat
luwes, sehingga mencakup pengertian pemilihan langsung oleh rakyat ataupun oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seperti yang pada umumnya sekarang
dipraktikkan di daerah-daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.46
Sebelumnya kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan
Perwakilan akyat Daerah (DPRD). Dasar hukum penyelenggaraan pilkada adalah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-
undang ini, pilkada (pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah) belum
dimasukan dalam rezim pemilihan umum (pemilu). Pilkada pertama kali
diselenggarakan pada bulan juni 2005. Sejak berlakunya undang-undang Nomor 22
44 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. II, (Jakarta: Sekretariat
Jendral dan Kepanitiaan MK RI, 2006), h. 183.
45 Noor M Aziz, Pemilihan Kepala Daerah, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum dan
Ham RI, 2001), h 7.
46 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah perubahan keempat,
(Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002) h. 22.
21
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam
rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama “pemilihan umum kepala daerah dan
wakil kepala daerah” (Pemilukada). Pilkada pertama yang diselenggarakan
berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.47
Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum
(Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di Nanggroe Aceh
Darussalam, pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan
diawasi oleh Panitia Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).
Berdasarkan pasal 40 (1) Undang-undang No 10 Tahun 2016, Partai Politik dan
gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi
persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan
suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah
bersangkutan. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta Pilkada juga dapat
diusulkan oleh partai politik lokal.
47 Hasudungan Sirait, Politik Pemilu Pilkada, (Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen
(AJI), 2006), h. 34.
22
BAB III
PENGATURAN CALON TUNGGAL PEMILIHAN UMUM KEPALA
DAERAH SERENTAK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 100/PUU-XIII/2015
A. Latar Belakang Sosiologis dan Pengaturan Calon Tunggal Dalam Pemilihan
Umum Kepala Daerah Serentak
1. Pelaksanaan Pemberlakuan Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah Serentak
a. Syarat Pemberlakuan Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah Serentak
Pemilihan kepala daerah serentak yang dilakukan dalam kurun waktu 5 tahun
sekali merupakan salah satu praktik demokrasi di Indonesia, pada tahun 2015 terjadi
fenomena baru dimana munculnya calon tunggal atau calon kepala daerah yang tidak
memiliki lawan di pemilihan kepala daerah serentak. Pengaturan calon tunggal diatur
dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2016, Dalam Undang-Undang Pilkada
pemilihan kepala daerah dapat dilaksanakan hanya dengan satu pasangan calon
pemilihan kepala daerah serentak dengan ketentuan sebagai berikut48 :
a. Pemilihan calon tunggal dapat dilaksanakan apabila pada saat pendaftaran,
hanya 1 (satu) pasangan calon yang memenuhi syarat dan setelah dilakukan
penundaan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran.
b. Pemilihan calon tunggal dapat dilaksanakan apabila terdapat lebih dari 1
(satu) pasangan calon yang mendaftar dan hanya terdapat 1 (satu) pasangan
calon yang dinyatakan memenuhi syarat dan setelah dilakukan penundaan
48 R. Nazriyah, Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2015 terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 2, Juni
2016, h 403.
22
23
sampai dengan berakhirnya masa pembukaan kembali pendaftaran tidak
terdapat pasangan calon yang mendaftar atau pasangan calon yang
mendaftar dinyatakan tidak memenuhi syarat.
c. Pemilihan calon tunggal dapat dilaksanakan sejak penetapan pasangan
calon sampai dengan saat dimulainya masa Kampanye terdapat pasangan
calon yang berhalangan tetap. Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
tidak mengusulkan calon/pasangan calon pengganti atau calon/pasangan
calon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat.
d. Pemilihan calon tunggal dapat dilaksanakan sejak dimulainya masa
Kampanye sampai dengan hari pemungutan suara terdapat pasangan calon
yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak
mengusulkan calon/pasangan calon pengganti atau calon/pasangan calon
pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat.
e. Pemilihan calon tunggal dapat dilaksanakan terdapat pasangan calon yang
dikenakan sanksi pembatalan.
Kekosongan hukum yang terjadi mengancam hak dipilih dan memilih
masyarakat sebab pilkada tidak akan berlanjut. Majelis hakim menganggap bahwa
kondisi ini bukanlah yang dikehendaki Undang-Undang, sebab semangat
dihadirkannya Undang-Undang tersebut adalah untuk menjamin terselenggaranya hak
warga negara.49
Menurut Tjahjo Kumolo (Menteri Dalam Negeri) “sudah ada putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan daerah dengan calon tunggal tetap
menggelar Pilkada. Masyarakat cukup memilih setuju atau tidak setuju dengan calon
tunggal itu di kertas suara”.50
49 Hardiyanto, Suharso, Budiharto, “Pemilihan Umum Kepala Daerah Periode 2015/
2020 (Studi Politik Hukum Calon Tunggal ”,Varia Justicia Vol 12 No. 1 Oktober 2016,h 213.
50 Imanuel Nicolas Manafe, “Calon Tunggal Tak Halangi Pilkada Serentak 2017”, di
akses dari http://www.tribunnews.com/nasional/2016/10/01/calon-tunggal-tak-halangi-
pilkada-serentak-2017, diakses pukul 21.10 pada tanggal 10 Oktober 2017.
24
Sebagaimana diketahui calon tunggal kepala daerah merupakan warga negara
Indonesia yang mempunyai hak untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah serentak,
walaupun tidak ada lawan dalam pemilihan. Calon tunggal dalam pilkada tetap boleh
dipilih walaupun menghapus beberapa nilai demokrasi. Mahkamah Konstitusi
berlandasan pada kedaulatan rakyat yang tertuang di dalam Undang-Undang Dasar
1945 dengan catatan langkah-langkah untuk membuka pendaftaran bagi warga negara
untuk mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah telah diusahakan dengan sungguh
sungguh untuk mendapatkan calon lebih dari satu pasangan calon.
b. Pelaksanaan Pemilihan Calon Tunggal
Selain pengaturan mengenai penetapan dapat dilaksanakannya pemilihan kepala
daerah dengan calon tunggal Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 juga membahas
mengenai mekanisme memilih kepala daerah serentak yang hanya terdapat satu
pasangan calon (calon tunggal). Syarat mengenai pemilihan kepala daerah serentak
dengan satu pasangan calon tidak berbeda dengan syarat pemilihan kepala daerah
serentak dengan lebih dari satu pasangan calon.
Pilkada dengan satu pasangan calon dilanjutkan pasca dikeluarkannya putusan
Mahkamah Konstitusi yang menegaskan pilkada dengan calon tunggal tetap dilakukan
melalui desain surat suara yang menanyakan langsung kepada pemilih “setuju” atau
“tidak setuju”. Mekanisme ini tentunya menjadi barang baru dalam iklim kontestasi
pemilu di Indonesia, sehingga dalam prakteknya terutama tahapan kampanye dan
pemungutan suara masih menyiratkan beberapa persoalan mendasar seperti
kebingungan pemilih dalam menentukan pilihan.51
Adapun mekanisme mengenai pemilihan kepala daerah serentak dengan satu
pasangan calon sebagai berikut :
51 Titi Anggraini, Evaluasi Pilkada Serentak 2015, Yayasan Perludem (Perkumpulan
Untuk Pemilu dan Demokrasi), Jakarta : 2016, h. v.
25
a. Pemilihan satu pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat
suara yang memuat dua kolom yang terdiri atas satu kolom yang memuat
foto pasangan calon dan satu kolom kosong yang tidak bergambar.
Mahkamah Konstitusi memaknai calon pasangan tunggal dengan
pemilihan melalui kolom “setuju”dan “tidak-setuju” dengan tujuan untuk
memberikan hak pilih masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
dalam demokrasi.52
b. Pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh
satu pasangan calon dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada rakyat
(pemilih) untuk menyatakan “Setuju” atau “Tidak Setuju” dalam surat suara yang
didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan rakyat (pemilih) untuk menyatakan
pilihan “Setuju” atau “Tidak Setuju” dimaksud. Apabila pilihan “Setuju” memperoleh
suara terbanyak maka pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dimaksud
ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, sedangkan apabila
pilihan “Tidak Setuju” memperoleh suara terbanyak, maka pemilihan ditunda sampai
Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya.53
Menurut Janedjri M Gaffar (Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi RI)
“Pilkada dengan calon tunggal dilakukan dengan memberikan hak kepada rakyat untuk
menyatakan “setuju” atau “tidak setuju” terhadap pasangan calon. Dengan sendirinya
format surat suara berbeda dengan yang diikuti oleh lebih dari satu pasang calon.
Apabila pilihan “setuju” memperoleh suara terbanyak, pasangan calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala
52 Wafia Silvi Dhesinta, “Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan
Konsep Demokrasi”, Jurnal Cita Hukum, Vol. 4 No. 1 Juni 2016, h. 90.
53 Allan Fatchan Gani Wardhana, “Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah Perspektif Hukum Progresif “, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO.
2 VOL. 23 APRIL 2016, h. 226.
26
daerah terpilih. Sebaliknya, apabila pilihan “tidak setuju” memperoleh suara terbanyak,
pemilihan ditunda sampai pilkada serentak berikutnya.”54
Dengan demikian jika di daerah yang memiliki calon tunggal akan tetap
dilaksanakan pemungutan suara tanpa adanya penundaan demi menjaga nilai
kedaulatan rakyat untuk memilih dan dipilih yang sesuai diatur dalam Undang-Undang
Dasar 1945.
Tetapi karena hanya terdapat satu pasang calon di daerah tersebut mekanisme
atau cara pemungutan suara yang dilakukan untuk daerah yang memiliki calon tunggal
berbeda dengan daerah yang memiliki lebih dari satu pasangan calon.
Jika di daerah yang memiliki lebih dari satu pasang calon kepala daerah mencoblos
antara satu pasangan calon dengan calon kepala daerah yang lain sedangkan untuk
daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon pemilih memilih dengan cara
mencoblos suara setuju dan tidak setuju.
2. Krisis Calon Kepala Daerah
a. Faktor Krisis Calon Kepala Daerah
Minimnya calon kepala daerah menjadi fenomena baru dan meredupnya pesta
demokrasi yang ada di Indonesia dikarenakan nilai kompetisi di dalam demokrasi
berkurang dengan hanya memunculkan satu calon kepala daerah saja.
Fenomena pasangan calon tunggal masih menjadi polemik pelaksanaan Pilkada
serentak 2015. Para pengamat menilai kondisi seperti itu disebabkan terlalu tingginya
elektabilitas seorang calon di daerah. Dengan menganalisis elektabilitas, para kandidat
tentu tidak mau kalah atau rugi karena biaya Pilkada sangat mahal. Hanya calon yang
mempunyai modal kuat dan elektabilitas tinggi yang tidak mau mundur. Jika hanya
54 Pilkada Calon Tunggal, di akses di
https://www.nasional.sindonews.com/read/1049791/18/pilkada-calon-tunggal-1443759497,
pada 10 Oktober 2017 Pukul 21:33.
27
sekedar coba-coba, mereka lebih memilih mundur karena biaya Pilkada terlalu mahal.
Misalnya kasus di Surabaya, Jawa Timur. Bahwa Tri Rismaharini sebagai Walikota
Surabaya mempunyai elektabilitas yang sangat tinggi di daerah tersebut. Hal itu pula
yang diduga membuat sejumlah kompetitor ‘balik badan’ untuk melawannya.55
Beberapa faktor yang menjadi penyebab meminimnya calon kepala daerah di
dalam Pemilukada serentak ini, antara lain :
a. Undang-Undang
Faktor utama krisis calon kepala daerah adalah sulitnya syarat mengajukan
pasangan calon yang diatur dalam pasal 40 (1) Undang-Undang No 10 Tahun 2016
setiap partai politik atau gabungan partai politk bisa mengajukan pasangan calon
dengan minimal suara 20% dari jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Kriteria yang diatur dalam undang-undang mengenai syarat dukungan dari jalur
parpol yang naik menadi 30% dan syarat dukungan pencalonan perseorangan yang
dinaikkan lebih dari 65%. Hal ini mungkin perlu ditinjau ulang karena masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang baru belajar berdemokrasi, sehingga belum siap
untuk memenuhi syarat yang diatur dalam undang-undang, sehingga hal ini membuat
parpol dan calon perseorangan sulit untuk maju sebagai calon dalam pilkada.56
Menurut Pengamat politik dari Statesmanship & Political Campaign (PARA
Syndicate) Toto Sugiarto mengatakan bahwa partai politik yang ingin menyalonkan
calon Kepala Dearah masih memilih untuk berada pada kubu yang berpotensial
menang karena mereka (partai) tidak mau mengambil keputusan yang merugikan
partainya sendiri dimana dalam pertimbangannya merasa sulit untuk bersaing bersama
calon terkuat yang nantinya akan merugikan perekonomian partai itu sendiri.57
55 R. Nazriyah, Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2015 terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 2, Juni
2016, h 381.
56 Iza Rumesten RA, Fenomena Calon Tunggal dalam Pesta Demokrasi, Jurnal
Konstitusi, Volume 13 Nomor 1 Maret 2016, h 81.
57 Kompas.com, “Selain Menang, Faktor Ini Jadi Pertimbangan Parpol Tentukan Calon
di Pilkada DKI”, di akses dari
28
b. Partai Politik
Peran partai politik dalam hal calon kepala daerah sendiripun sangat vital dimana
calon kepala daerah diusung dari partai politik maupun gabungan partai politik yang
dijelaskan dalam pasal 40 (1) Undang-Undang No 10 Tahun 2016.
Calon tunggal ini lahir karena mahalnya mahar dari partai pengusung. Maka
secara rasional, jika ada calon petahana yang kuat, calon lain pasti akan berkalkulasi
rasional. Daripada hilang segalanya, lebih baik mengurungkan niat untuk jadi calon.
Karena untuk menjadi calon saja mereka sudah harus membayar mahar. Belum lagi
dana yang akan digunakan untuk kampanye, dana untuk meraih suara pemilih, dana
untuk mengamankan suara mulai dari tingkat TPS sampai mengamankan suara di KPU,
KPU Kabupaten/ Kota, KPU Provinsi, KPU pusat bahkan sampai di tingkat MK jika
terjadi sengketa.58
Sedangkan peneliti senior Populi Center Nico Harjanto mengatakan, munculnya
fenomena bakal pasang calon tunggal pada pilkada serentak 2015 membuktikan,
pendidikan politik di Indonesia tidak baik. Partai politik (parpol) yang tidak
mengajukan kadernya sebagai calon dinilai telah mengingkari janji elektoralnya. Itu
artinya parpol di daerah tersebut tidak siap berkompetisi untuk menang atau kalah.
Padahal janji mereka secara elektoral siap menang, siap kalah. Nico menilai, parpol
seharusnya tidak perlu takut kalah dalam pilkada, meski harus melawan kompetitor
yang sangat kuat sekalipun. Parpol yang berani berkompetisi justru akan
diperhitungkan di kemudian hari.59
http://nasional.kompas.com/read/2016/09/11/17480801/selain.menang.faktor.ini.jadi.pertimb
angan.parpol.tentukan.calon.di.pilkada.dki, 08 Agustus 2017 21:41 WIB.
58 Iza Rumesten RS, Fenomena Calon Tunggal dalam Pesta Demokrasi, Jurnak
Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 13 Nomor 1 Maret 2016, h. 80.
59 R Nazriyah, “Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2015 terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015”, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 2, Juni
2016, h. 382.
29
c. Waktu Pelaksanaan
Dikarenakan Pemilukada dilangsungkan secara serentak maka waktu untuk para
partai politik menyiapkan calon kepala daerah yang diusung masing - masing partai
politik sangat minim. Ketua Komisi Pemilihan Umum (Juri Ardianto) mengatakan
bahwa masa kampanye di Pilkada 2017 masa sosialisasi selama tiga bulan berdampak
pada munculnya pengaturan waktu kegiatan calon kepala daerah. Dengan demikian,
para calon tidak bisa semaunya melakukan kampanye.60
Juru Bicara PKS menyatakan bahwa pilkada dilaksanakan secara serentak,
sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan sangat minim61.
b. Dampak Krisis Calon Kepala Daerah
Calon tunggal menjadi fenomena yang baru didalam Pemilukada dimana setiap
daerah hanya memunculkan beberapa calon saja. Pada pemilukada tahun 2017
berdasarkan data yang masuk di KPU terkait calon yang mendaftar sampai jadwal
pendaftaran ditutup, terdapat 9 daerah yang hanya memiliki kurang dari dua pasangan
bakal calon, yaitu :
1) Umar Zunaidi Hasibuan - Oki Doni Siregar (Kota Tebing Tinggi,
Sumatera Utara)
2) Umar Ahmad - Fauzi Hasan (Tulang Bawang Barat, Lampung)
3) Haryanto - Saiful Arifin (Pati, Jawa Tengah)
4) Karolin Margaret Natasa - Herculanus Heriadi (Kabupaten Landak,
Kalimantan Barat)
5) Samsu Umar Abdul Samiun - La Bakry (Kabupaten Buton,
Sulawesi Tenggara)
60 Pinter Politik, “KPU: Beberapa Faktor Sebabkan Pilkada Serentak Kurang
Semarak”, di akses dari https://pinterpolitik.com/kpu-beberapa-faktor-penyebab-pilkada-
serentak-kurang-semarak/, , 08 Agustus 2017, 21:04 Wib.
61 Markus Junianto Sihaloho, “Alasan Minimnya Calon Kepala Daerah Versi PKS”, di
akses dari http://www.beritasatu.com/politik/295096-alasan-minimnya-calon-kepala-daerah-
versi-pks.html, 08 Agustus 2017, 20:50 Wib.
30
6) Tuasikal Abua - Martlatu Leleury (Maluku Tengah)
7) Benhur Tomi Mano - Rustan Saru (Jayapura)
8) Gabriel Asem - Mesak Metusala Yekwam (Tambrauw, Papua
Barat)
9) Lamberthus Jitmau - Pahima Iskandar (Sorong, Papua Barat)
Apabila pemilihan umum kepala daerah dilakukan dengan satu pasang calon saja,
maka nilai demokrasi tidak akan berjalan seutuhnya. Dimana dari sisi kompetisi dalam
demokrasi akan hilang karena tidak ada lawan dalam pemilihan umum kepala daerah.
Apabila hal ini akan terus terjadi dan akan memberikan angin segar kepada partai yang
berkuasa dimana nantinya akan terus dijadikan dalam satu daerah tersebut hanya satu
calon tunggal saja sehingga menjadi bentuk kemunduran demokrasi.
Calon tunggal berbahaya bagi demokrasi. Calon tunggal mengandaikan tidak ada
kompetisi. Padahal, semakin banyak calon yang bersaing, kualitas demokrasi akan
semakin baik.62 Tetapi, banyaknya pasangan calon yang tampil dalam Pilkada juga
akan menimbulkan persoalan antara lain, menyulitkan pemilih untuk mengenali
masing-masing pasangan calon, sehingga pemilih terdorong untuk tidak rasional dalam
menjatuhkan pilihannya. Dari sisi efektifitas pemerintahan, jumlah pasangan calon
terlalu banyak menyebabkan fragmentasi politik di DPRD sangat tinggi, sehingga hal
ini mempengaruhi efektifitas pengambilan kebijakan pemerintahan pasca Pilkada,
karena pasangan calon terpilih harus berhadapan dengan banyak fraksi atau faksi dalam
DPRD. Pada akhirnya kebijakan yang diambil bukan berdasarkan kepentingan rakyat
banyak, melainkan berdasarkan politik ”dagang sapi” antara kepala daerah dengan
DPRD.63
62 Aryojati Ardipandanto, “Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak 2015”, Pusat
Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, ISSN 2088-
2351, Vol. VII, No. 15/I/P3DI/Agustus/2015.
63 Didik Supriyanto, Penataan Kembali Sistem Pemilihan dalam Pemilukada, dalam
Seminar Nasional Evaluasi Pemilukada: Antara Teori dan Praktik, diselenggarakan oleh
Mahkamah Konstitusi pada Rabu-Kamis, 25-26 Januari 2012 di Hotel Sultan Jakarta, h 263.
31
Salah satu contoh daerah yang mengalami dampak dari calon tunggal di daerah
Blitar seperti kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh KPUD Kabupaten Blitar
tentang tata cara proses pemungutan suara di TPS dengan surat suara “setuju” dan
“tidak-setuju”. Selain beberapa daerah belum mengetahui secara benar tata cara
pemilihan pada pemilihan referendum, partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
pilkada pada tanggal 9 Desember 2015 juga masih rendah. Karena faktor cuaca yakni
pada saat pelaksanaan pilkada di Kabupaten Blitar diguyur hujan, banyak warga yang
lebih memilih pergi ke sawah daripada pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Faktor lain seperti tidak adanya pemilih yang berada di Kabupaten Blitar juga
mendukung minimnya tingkat partisipasi masyarakat. Geliat Pilkada serentak juga
minim partisipasi dikarenakan beberapa warga sengaja tidak memilih dengan alasan
calon figur yang tidak cocok dengan hati nuraninya. Beberapa warga merasa bahwa
tidak ada kompetisi dalam pilkada. Oleh karenanya, tingkat partisipasi partai politik
ataupun calon independen untuk ikut serta dalam proses pilkada juga mempengaruhi
tingkat partisipasi masyarakat untuk memilih dan memberikan hak pilihnya.64
B. Putusan Mahkamah Konstitusi
Ada beberapa pihak yang mengajukan uji materi seputar syarat minimal
pasangan calon dalam pilkada yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 atas perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota yaitu, gugatan pertama bernomor 95/PUU-XIII/2015
diajukan oleh Aprizaldi, Andi Siswanto dan Alex Andreas. Sementara gugatan kedua
dan ketiga dengan nomor perkara 96/PUU-XIII/2015 dan 100/ PUU-XIII/2015
diajukan oleh masing-masing Whisnu Sakti Buana, Syaifuddin Zuhri; serta Effendi
Ghazali (Pemohon I) dan Yayan Sakti Suryandaru. (Pemohon II).
64 Wafia Silvi Dhesinta, “Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Konsep Demokrasi”, Jurnal Cita Hukum. Vol. 4 No. 1 Juni 2016. P-ISSN: 2356-1440. E-ISSN:
2502-230X, h. 101-102
32
Para pemohon merasa hak konstitusional pemilih dirugikan apabila pemilihan
kepala daerah serentak di suatu daerah mengalami penundaan hingga 2017. Pasalnya,
UU Pilkada mengatur bahwa syarat minimal pelaksanaan pilkada harus diikuti oleh
dua pasangan calon kepala daerah. Sementara ada beberapa daerah yang setelah jangka
waktu yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah terlampaui namun,
hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon.65
Namun, Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 ini diwarnai adanya pendapat
berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Menurutnya,
keputusan itu berisiko memunculkan liberalisasi politik untuk memenangkan satu
pasangan calon. keberadaan Calon tunggal pada dasarnya meniadakan kontestasi.
Sedangkan Pemilu tanpa kontestasi hakikatnya bukan Pemilu yang senafas dengan asas
Luber dan Jurdil. Hak-hak untuk memilih dan hak untuk dipilih akan terkurangi dengan
adanya calon tunggal karena pemilih dihadapkan pada pilihan artifisial (semu).66
65 R Nazriyah, Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2015 terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015, Jurnal Konstitusi, Volume 13 Nomor 2 Juni
2016, h 383.
66 R. Nazriyah, Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2015 terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 2, Juni
2016, h 395.
33
BAB IV
PENGARUH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 100/PUU-XIII/2015
TERHADAP PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
SERENTAK
A. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Putusan Mahkamah Konstitusi No
100/PUU-XIII/2015
a. Filosifis
Hal yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah menemukan cara agar
hak Konstitusional warga negara yang sekaligus merupakan wujud pelaksanaan
kedaulatan rakyat itu, dalam hal ini hak untuk dipilih dan memilih dalam Pemilihan
Kepala Daerah tetap terpenuhi tanpa tersandera oleh syarat paling sedikit adanya dua
pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam hubungan ini timbul
pertanyaan, demi menjamin terpenuhinya hak konstitusional warga negara untuk
dipilih dan memilih in casu dalam Pemilihan Kepala Daerah, apakah secara
konstitusional dimungkinkan tetap dilakukan Pemilihan Kepala Daerah tanpa
kehilangan sifat demokratisnya dalam hal hanya terdapat satu pasangan calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah? Secara tekstual, UUD 1945 tidak menyatakan apa pun
dalam hubungan ini. Namun, sebagai Konstitusi negara demokrasi yang berdasar atas
hukum, UUD 1945 menjamin pemenuhan hak –hak konstitusional warga negaranya.
Guna menjamin pemenuhan hak konstitusional warga negara itulah salah satu alasan
utama Mahkamah Konstitusi dibentuk.67
Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi No
100/PUU-XIII/2015 yang memberikan pertimbangan bahwa “Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang
67 R. Nazriyah, Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2015 terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015, h 393.
33
34
selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah
provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.
Makna kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi. Kedaulatan atau kekuasaan tertinggi
tersebut, menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, sebagai pelaksanaan kedaulatan
rakyat maka Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota (yang selanjutnya disebut Pemilihan Kepala Daerah)
haruslah menjamin terwujudnya kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat itu.
Oleh karena itu, UU 8 Tahun 2015, sebagai Undang-Undang yang mengatur Pemilihan
Kepala Daerah, harus menjamin terlaksana atau terselenggaranya kekuasaan tertinggi
yang berada di tangan rakyat itu sesuai dengan amanat UUD 1945.68
Demi terlaksanakannya amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan
bahwa kedaulatan tertinggi di tangan rakyat dan untuk menjalankan amanat tersebut
Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa pemilihan umum kepala daerah
serentak harus dilaksanakan tanpa ada penundaan walaupun dibeberapa daerah hanya
memiliki satu pasang calon kepala daerah, karena pemilihan umum kepala daerah
merupakan bagian dari pengedepankan penghargaan atas hak konstitusi publik dalam
penyelenggaraan Pemilukada apa yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi adalah
bagian dari skema untuk tetap mengupayakan terjaganya hak politik publik. Makna
dari kedaulatan yang sesungguhnya adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sehingga rakyat dapat berpartisipasi untuk memilih kepala daerah walaupun hanya satu
pasang calon.
Menurut Hakim Mahkamah Konstitusi Suhartoyo, penundaan Pilkada
bertentangan semangat demokrasi yang tertuang dalam UUD 1945. Oleh sebab itu
Pilkada harus tetap dilaksanakan. Demi menjamin terpenuhinya hak konstitusional
warga negara pilkada harus tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat satu pasangan
calon.69
68 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XII/2015, h. 38.
69 MK Putuskan Gelar Referendum untuk Calon Tunggal Pilkada, di akses di
https://news.detik.com/berita/d-3030763/mk-putuskan-gelar-referendum-untuk-calon-
tunggal-pilkada, pada 10 Oktober 2017 Pukul 22:33
35
b. Yuridis
Secara hierarkis kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 adalah lebih tinggi dari
Undang-Undang, Undang-Undang Dasar (Grondwet, Grundgesetz) adalah Undang-
Undang yang menjadi dasar dari segala hukum. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No
12 Tahun 2012 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menentukan:
“Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum
dasar dalam peraturan Perundang-undangan.”70 Oleh karena itu, setiap ketentuan
Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
(constitutie is de hoogste wet). Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia turut mewarnai dinamika
ketatanegaraan serta diskursus hukum-hukum kenegaraan. Dalam praktiknya,
dinamika ketatanegaraan itu telah, sedang, dan akan terus berkembang seiring dengan
hadirnya lembaga MK sebagai pengawal Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Dapat dikatakan bahwa gagasan
pembentukan MK tidak lain merupakan dorongan dalam penyelenggaraan kekuasaan
dan ketatanegaraan Indonesia yang lebih baik.71
Terhadap kondisi demikian, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya memutus
bahwa pasal-pasal yang dimohonkan bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah
menimbang bahwa tidak ada keharusan pasangan calon paling sedikit 2 (dua) pasangan
calon, dengan syarat sepanjang tidak dimaknai sebagai menetapkan 1 (satu) pasangan
calon kepala daerah. Sehingga adanya calon tunggal tidak boleh dimaknai sebagai
penetapan calon tunggal kepala daerah sebagai kepala daerah terpilih tanpa melalui
tahapan pemilihan kepala daerah. Lebih jelasnya dalam putusan tersebut, Mahkamah
menyatakan Pasal 49 ayat (9), Pasal 50 ayat (9) serta Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 52
ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan
70 Salman Magalatung dan Nu Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara,
(Bandung: Percetakan Ragam Offset Bandung), h 216
71 Allan Fatchan Gani Wardhana, “Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah Perspektif Hukum Progresif”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO.
2 VOL. 23 APRIL 2016, h. 207.
36
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup pengertian menetapkan satu
pasangan calon kepala daerah.72
Dalam pokok pemohon putusan Mahkamah Konstitusi tertuju ke pengujian
konstitusionalitas Undang-Undang No 8 Tahun 2015 yang pokok argumentasinya
berpusat pada terganggunya atau bahkan tidak dapat diselenggarakannya pemilihan
kepala daerah serentak sebagaimana dijadwalkan dikarenakan adanya norma Undang-
Undang yang menyatakan paling sedikit dua pasang calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah.73
Menurut penulis apabila Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 8 Tahun 2015
menyatakan “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan
kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan
Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara
langsung dan demokratis.” Maka makna kedaulatan rakyat adalah yang tertinggi sesuai
dengan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, sebagai
pelaksanaan kedaulatan rakyat maka pemilihan umum kepala daerah serentak di daerah
yang hanya memiliki satu pasangan calon harus tetap terlaksana atau terselenggara
karena demi memenuhi nilai kedaulatan rakyat yang sesuai dengan amanat Undang-
Undang Dasar 1945.
c. Sosiologis
“Mahkamah tidak sependapat dengan pandangan Pemohon yang meminta
Mahkamah untuk memaknai bahwa frasa “setidaknya dua pasangan calon” atau
“paling sedikit dua pasangan calon” yang terdapat dalam seluruh pasal yang
dimohonkan pengujian dapat diterima dalam bentuk atau pengertian: Pasangan Calon
Tunggal dengan Pasangan Calon Kotak Kosong yang ditampilkan pada Kertas Suara.
Sebab, Pertama, Pemilihan Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon
haruslah ditempatkan sebagai upaya terakhir, semata - mata demi memenuhi hak
konstitusional warga negara, setelah sebelumnya diusahakan dengan sungguh-sungguh
untuk menemukan paling sedikit dua pasangan calon. kedua,Pemilihan Kepala Daerah
yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, manifestasi kontestasinya lebih tepat
apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan
pilihannya apakah “Setuju” atau “Tidak Setuju” dengan pasangan calon tersebut,
72 Maryam Nur Hidayati, “Problematika Hukum Calon Tunggal dalam
PemilihanKepala Daerah Serentak Tahun 2015”, Lex Renaissance No. 1 Vol. 1 Januari 2016,
h. 46.
73 Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 100/PUU-XIII/2015. h. 37-38.
37
Mekanisme demikian, menurut Mahkamah, lebih demokratis dibandingkan dengan
menyatakan “menang secara aklamasi” tanpa meminta pendapat rakyat (pemilih) jika
calon tidak memiliki pesaing sebagaimana ditunjukkan hasil studi pemohon yang
terjadi di beberapa negara Seperti Amerika Serikat (dalam pemilihan anggota House
of Representative dan Senat), Inggris, Kanada dan Skotlandia (untuk pemilihan
anggota parlemen), Islandia (untuk pemilihan Presiden), dan Singapura (untuk
pemilihan Presiden dan parlemen). Penekanan terhadap sifat “ demokratis” ini menjadi
substansial karena, sebagaimana disinggung dalam pertimbangan sebelumnya,
merupakan perintah konstitusi, dalam hal ini Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Dengan
mekanisme sebagaimana diuraikan di atas, amanat konstitusi yang menuntut hak
konstitusional warga negara, dalam hal ini hak untuk dipilih dan memilih, serta amanat
agar Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan secara demokrtis dapat diwujudkan. 74
Setelah hampir 10 tahun (sejak 2005) pelaksanaan Pilkada langsung, berbagai
penelitian menemukan fakta mengenai antusiasme masyarakat terhadap proses dan
hasil Pilkada yang cenderung semakin berkurang atau menurun. Masyarakat secara
sadar memang tidak mau menggunakan hak pilihnya karena dilandasi oleh sikap apatis.
Bagi mereka, menggunakan atau tidak menggunakan hak suara dalam Pemilukada
maknanya sama: tidak memberi pengaruh signifikan dalam keseharian hidup.
Masyarakat yang tidak ikut memilih, memperlihatkan kecenderungan yang meningkat
dari waktu ke waktu.75
Kepastian daerah yang tidak memiliki kepastian hukum, bersifat diskriminatif,
dan berpotensi menyebabkan tidak hanya kehilangan hak pilih warga negara tapi juga
perlambatan dan ketidaksinambungan pembangunan suatu daerah (karena pemerintah
dipimpin pelaksanaan tugas dan bukan pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat,
yang dikenal visi, misi dan programnya dalam proses pemilihan kepala daerah), tidak
hanya merugikan warga negara di daerah tersebut namun sebenarnya juga seluruh
warga negara Indonesia, yang amat berpotensi terlibat dengan hasil-hasil pembangunan
di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
74 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XII/2015, h. 43-44.
75 R. Nazriyah, Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2015 terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015, h 383.
38
Fenomena calon tunggal yang bermula pada tahun 2015 ternyata masih
bertahan sampai pemilukada selanjutnya yaitu pada tahun 2017 dimana masih terdapat
9 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon. Hal tersebut berkaitan dengan
kurangnya partisipasi partai politik untuk mengajukan kader-kader terbaik dari masing-
masing partai politik yang nantinya akan berdampak pada terjadinya liberalisasi politik
untuk memenangkan satu pasangan calon, keberadaan calon tunggal pada dasarnya
meniadakan kontestasi. Pemilu tanpa kontestasi hakikatnya bukan Pemilu yang senafas
dengan asas Luber dan Jurdil. Hak-hak untuk memilih dan hak untuk dipilih akan
terkurangi dengan adanya calon tunggal karena pemilih dihadapkan pada pilihan
artifisial (semu). Hal tersebut juga mengakibatkan masyarakat tidak bisa
membandingkan pasangan calon dikarenakan hanya ada satu pasangan calon, tidak
menutup kemungkinan suatu saat jika calon tunggal masih ada dan masyarakat lebih
banyak tidak setuju dengan calon yang hanya satu pasangan calon kepala daerah dapat
mengakibatkan kekosongan jabatan serta penundaan pemilihan umum kepala daerah
di daerah tersebut.
2. AMAR PUTUSAN
a. Mahkamah Konstitusi Mengabulkan Permohonan
1. Menyatakan Pasal 49 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai mencakup pengertian “termasuk
menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur
peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga) hari dimaksud
terlampaui namun tetap hanya ada 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan
Calon Wakil Gubernur”
39
2. Menyatakan Pasal 49 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup
pengertian “termasuk menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan
Calon Wakil Gubernur peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3
(tiga) hari dimaksud terlampaui namun tetap hanya ada 1 (satu) pasangan
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur”
3. Menyatakan Pasal 50 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai mencakup pengertian “termasuk
menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta 1
(satu) pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota peserta
Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga) hari dimaksud terlampaui
namun tetap hanya ada 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil
Bupati serta 1 (satu) pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”
4. Menyatakan Pasal 50 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
40
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup
pengertian “termasuk menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon
Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil
Walikota peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga) hari
dimaksud terlampaui namun tetap hanya ada 1 (satu) pasangan Calon Bupati
dan Calon Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan Calon Walikota dan Calon
Wakil Walikota”
5. Menyatakan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai mencakup “menetapkan 1 (satu)
pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur dalam hal hanya
terdapat 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur”
6. Menyatakan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup
“menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur
dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon
Wakil Gubernur”
41
7. Menyatakan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai mencakup “menetapkan 1 (satu)
pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan
Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dalam hal hanya terdapat 1 (satu)
pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan
Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”
8. Menyatakan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup
“menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta
1 (satu) pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dalam hal
hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta
1 (satu) pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”
B. Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 Terhadap
Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak
1. Dampak Terhadap Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah
Sebelum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015 setiap
daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon sampai batas waktu perpanjangan
42
habis dan tetap hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah maka di daerah
tersebut akan di tunda pemilihannya sampai pemilihan umum kepala daerah serentak
selanjutnya.
Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015 adanya
mekanisme baru dalam pelaksanaan pilkada serentak mendatang. Dengan diberikannya
peluang bagi satu pasangan calon Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dan
Gubernur/Wakil Gubernur dalam mengikuti kontestasi pilkada serentak melalui
mekanisme memilih “setuju” atau “tidak setuju” berarti adanya mekanisme baru untuk
menentukan pemimpin di daerah dalam pilkada serentak. Menurut beberapa pihak
mekanisme ini disebut juga mekanisme referendum. Kendatipun demikian, menurut
hakim MK Suhartoyo saat membacakan putusan MK. Dia menyebutkan, pola ini tidak
bertentangan dengan konstitusi lantaran masyarakat telah menyampaikan haknya
melalui persetujuan atau ketidaksetujuan atas calon tunggal tersebut.76
Berkaitan dengan mekanisme pemilihan, Mahkamah menyatakan, untuk Pilkada
yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, manifestasi kontestasinya lebih tepat
apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat sebagai pemilih untuk
menentukan pilihannya apakah “setuju” atau “tidak setuju” dengan pasangan calon
tersebut. Sehingga masyarakat dapat menentukan, apabila jumlah suara lebih banyak
menyatakan setuju kepada calon kepala daerah, maka calon kepala daerah tersebut
terpilih oleh masyarakat untuk memimpin daerah tersebut. Akan tetapi, apabila jumlah
suara yang menyatakan tidak setuju terhadap kepala daerah lebih banyak daripada
setuju maka dilakukan penundaan pemilihan kepala daerah. Penundaan tersebut,
menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan konstitusi. Sebab, pada dasarnya rakyat
telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara “tidak setuju” tersebut.
76 Ferdian Andi, “Implikasi Serius MK Putuskan Calon Tunggal Pilkada”, di akses dari
http://nasional.inilah.com/read/detail/2241166/implikasi-serius-mk-putuskan-calon-tunggal-
pilkada pada pukul 21.19 pada tanggal 10 Oktober 2017.
43
Mekanisme itu pun dinilai Mahkamah lebih demokratis dibandingkan dengan
menyatakan “menang secara aklamasi” tanpa meminta pendapat rakyat jika calon tidak
memiliki pesaing. Mahkamah menegaskan, penekanan terhadap sifat “demokratis”
menjadi substansial lantaran merupakan perintah konstitusi, dalam hal ini Pasal 18 ayat
(4) UUD 1945. Dengan mekanisme demikian, amanat konstitusi yang menuntut
pemenuhan hak konstitusional warga negara, dalam hal ini hak untuk dipilih dan
memilih, serta amanat agar Pilkada dilaksanakan secara demokratis dapat
diwujudkan.77
Menurut penulis dalam hal mekanisme pemilihan kepala daerah yang tetap di
laksanakan dengan hanya satu pasang calon telah memenuhi nilai dari kedaulatan
rakyat yang dimana hak rakyat untuk memilih telah terpenuhi, tetapi jika tetap
dipertahankan seperti ini yang hanya semata-mata demi memenuhi hak konstitusional
warga negara agar dapat memilih calon kepala daerah akan berdampak pada kurangnya
respon masyarakat ketika datang ke tempat pemilihan umum untuk memilih calon
kepala daerah yang hanya satu pasang calon saja dan disini Mahkamah Konstitusi
hanya sebatas menetapkan calon tunggal kepala daerah itu sah menang dengan
memiliki suara setuju lebih banyak, jika nantinya suara tidak setuju yang lebih banyak
maka akan berdampak pada kekosongan hukum dimana pemilihan umum kepala
daerah serentak tersebut akan ditunda sampai pemilihan umum kepala daerah serentak
selanjutnya.
77 Maryam Nur Hidayati, “Problematika Hukum Calon Tunggal dalam PemilihaKepala
Daerah Serentak Tahun 2015”,h. 46.
44
Seperti halnya di daerah Tasikmalaya pada pemilihan umum kepala daerah
serentak seorang warga bernama Endi Suwendi mengaku Pilkada kali ini "Kurang
menyenangkan, kalau peserta lebih dari dua, bisa lebih seru."78
2. Dampak Terhadap Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia
Pilihan untuk melangsungkan pemilihan kepala daerah secara langsung tidak
terlepas dari norma yang termaktub dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menghendaki pemilihan secara
demokratis. Mengkhidmati kata demokratis, tidak ada indikator yang mampu
mendefinisikan apakah pemilihan langsung dapat dikatakan demokratis sedangkan
pemilihan yang dilakukan secara tidak langsung dikatakan tidak demokratis. Namun,
pilihan makna demokrasi yang ditetapkan oleh masyarakat melalui wakil-wakilnya di
parlemen menjatuhkan pilihan makna demokratis pada proses pemilihan secara
langsung dengan pemilihan umum oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU).79Pelaksanaan pemilihan kepala daerah merupakan conditio sine quanon dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis. Peraturan perundang-
undangan telah dibentuk untuk memberikan pengaturan terkait pelaksanaan pemilihan
kepala daerah sesuai dengan amanat UUD perubahan kedua Pasal 18 ayat (4) UUD
NRI 1945, yang menyatakan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.” Pengertian frasa “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 tidak harus diartikan dipilih secara langsung oleh rakyat, tetapi dipilih
78 Pilkada serentak 2015 sepi pemilih,di akses dari
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/12/151209_indonesia_pilkadasepi ,
pada 10 Oktober 2017 Pukul 21:38.
79 Wafia Silvi Dhesinta, “Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan
Konsep Demokrasi”, h. 90.
45
secara tidak langsung pun dapat diartika demokratis, sepanjang prosesnya
demokratis.80
Demokrasi yang dikenal selama ini oleh masyarakat adalah dengan adanya
kompetisi yang mensyaratkan adanya dua atau lebih pilihan. Tingkat partisipasi partai
politik ataupun calon independen untuk ikut serta dalam pilkada juga mempengaruhi
tingkat partisipasi masyarakat untuk memilih dan memberikan hak pilihnya. Ini semua
tentunya terlepas dari Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengamanatkan KPU untuk
tetap melangsungkan Pilkada meskipun hanya diikuti oleh satu pasangan calon.81
Mahkamah Konstitusi melakukan terobosan hukum yang mampu mengatasi
persoalan masa kini dengan mengikuti perkembangan yang ada di masyarakat, yaitu
fenomena calon tunggal. Terobosan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
itu berbasis pada makna yang terkandung di dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang
berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokratis” dimana
diterjemahkan bahwa salah satu ukuran kontestasi yang demokratis itu adalah
penyelenggaraannya harus menjamin tersedianya ruang atau peluang bagi rakyat untuk
memanifestasikan kedaulatannya dalam melaksanakan haknya, dalam hal ini baik hak
untuk memilih maupun hak untuk dipilih. Maka baik terdapat banyak calon ataupun
hanya terdapat satu pasangan calon, pilkada harus tetap dilaksanakan untuk
memanifestasikan hak untuk memilih (right to be vote) dan hak untuk dipilih (right to
be candidate) warga negara.82
Dalam hal ini masih banyak perbincangan mengenai pemberlakuan calon tunggal
dalam pemilihan umum kepala daerah serentak apakah sudah dinilai demokratis apa
80 Ni’matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2011, h. 189-190.
81 Wafia Silvi Dhesinta, “Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan
Konsep Demokrasi”, h. 93.
82 Allan Fatchan Gani Wardhana, “Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah Perspektif Hukum Progresif “, h. 225.
46
hanya sekedar agar terciptanya nilai dari demokrasi yaitu rakyat untuk memilih kepala
daerah atau dipilih sebagai kepala daerah, tetapi jika terus terjadi calon tunggal di
daerah pemilihan dan dilaksanakannya pemilihan tersebut melalui putusan Mahkamah
Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015 akan menutup nilai kompetisi demokrasi dalam hal
ini tidak ada pesaing untuk calon kepala daerah pertahanan yang nantinya akan
melahirkan liberalisasi para penguasa untuk tetap bertahan menguasai daerah tersebut.
Diketahui bersama Pilkada pada hakikatnya adalah memberikan pilihan pemimpin
daerah yang mempunyai visi dan misi terbaik bagi daerahnya dalam kontestasi yang
jujur, adil dan transparan. Kekuasaan hanyalah alat bukan tujuan yang diberikan
kepada kepala daerah terpilih untuk melaksanakan visi dan misi menyejahterakan
masyarakat setempat. Jika terus terjadi calon tunggal yang meniadakan nilai kontestasi
masyarakat akan dijebak pada model demokrasi representative karena partai politik
memegang kendali sepenuh tanpa memikirkan hak masyarakat untuk diberikan pilihan.
3. Dampak Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilihan Kepala Daerah
Pada pemilihan umum kepala daerah serentak tahun 2015 masih terdapat
masyarakat yang belum memahami teknis atau cara pemilihan dengan satu pasangan
calon, beberapa warga di Kecamatan Wonodadi mengaku belum memahami teknis
pencoblosan surat-suara yang hanya mencantumkan satu gambar pasangan calon.
Beberapa warga di Kabupaten Blitar masih belum memahami bahwa pada proses
pelaksanaan pemilu dengan calon tunggal dilakukan dengan mencoblos kolom setuju
jika memilih calon pasangan untuk menjadi kepala daerah, atau dengan tidak
mencoblos gambar pasangan calon. Dengan cara demikian, maka pemilih menyetujui
atau memilih paslon tunggal untuk menjadi kepala daerah. Surat suara akan menjadi
tidak sah jika pemilih mencoblos gambar paslon dalam surat suara. Proses sosialisasi
belum secara merata dilakukan karena masih banyak masyarakat yang memahami
47
bahwa Pilkada serentak tahun 2015 di Kabupaten Blitar dilakukan sama dengan proses
pemilihan sebelum-sebelumnya.83
Sumber: Diolah penulis dari website KPU.
Pada pemilihan umum kepala daerah tahun 2017 di Kabupaten Pati terdapat
sebuah kelompok yang menyuarakan “kotak kosong” yang fenomenal. Kelompok yang
menamakan diri dengan Aliansi Kawal Demokrasi Pilkada (AKDP) Kabupaten Pati ini
melakukan kegiatan menyuarakan dan memperjuangkan pilihan “kotak kosong” sejak
Oktober 2016 atau lima bulan sebelum Pilkada. Disini bisa dilihat tidak menutup
kemungkinan suara tidak setuju (kotak kosong) bisa lebih banyak dari suara setuju
karena jika diambil contoh dari Kabupaten Pati suara kotak kosong tembus angka
83 Wafia Silvi Dhesinta, “Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan
Konsep Demokrasi”, h. 92.
NO Nama Daerah Setuju Tidak Setuju
1 Pati 74,51% (519.627) 25,49 % (177.771)
2 Buton 55,08% (27.512) 44,92% (22.438)
3 Tulang Bawang Barat 96,75% (167.512) 3,25% (5.625)
4 Kota Tebing Tinggi 71,39% (41.937) 28,61 % (16.807)
5 Landak 96,72 % (226.378) 3,28 % (7.673)
6 Maluku Tengah 70,78% (147.920) 29,22 % (61.063)
7 Kota Jayapura 84,34% (115.996) 15,66% (21.545)
8 Tambrauw 90,06% (14.608) 9,94% (1.613)
9 Kota Sorong 78.09% (73.974) 21,91% (20.761)
48
177.771 jiwa dan di Kabupaten Buton pun jumlah suara setuju dan tidak setuju (kotak
kosong) berbeda sedikit.
Dengan kondisi yang akan terus seperti ini dimana pemilihan umum kepala
daerah serentak hanya diikuti dengan satu pasang calon saja akan berdampak kepada
antusiasme masyarakat yang menurun karena dari segi kompetisi untuk
membandingkan calon satu dengan calon lainnya hilang, para masyarakat yang
mendukung maju atau memilih calon tunggal merasa hak nya sudah terwakili dengan
calon tersebut jika mengambil contoh di Kabupaten Buton 27.512 suara warga negara
merasa telah terwakili oleh calon tersebut lantas 22.438 suara warga negara tidak setuju
apa bisa terwakili oleh kotak kosong.
“Suara sah di Pilkada Pati 2017 sebanyak 696.310. Ada 15.195 suara tak sah.
Artinya, dari jumlah DPT 1.035.663 orang, hanya 711.402 orang menggunakan hak
pilihnya. Mereka yang tak mencoblos, 324.261 pemilih. Tingkat partisipasi di pilkada
paslon tunggal ini, 68,7 persen. Sebanyak 31,3 persen pemilih tak mencoblos. di
Kecamatan Margoyoso, suara kotak kosong ada 41,9 persen dan pemilih paslon
tunggal, 58,1 persen. Di Kecamatan Pati, suara kotak kosong tercatat 40,4 persen dan
perolehan paslon tunggal, 59,6 persen suara”84
Hampir separuh masyarakat di Kabupaten Pati tidak setuju dengan calon kepala
daerah pertahanan yang artinya masyarakat Pati ingin memiliki atau mencari pasangan
calon kepala daerah yang baru, nilai negatif yang terjadi di pemilihan umum kepala
daerah Kabupaten Pati tidak menutup kemungkinan masyarakat di sana kecewa dengan
hasil kerja dari pasangan calon tersebut, belum lagi suara yang dimiliki pasangan calon
tersebut diunsuri oleh politik uang.
84 Addi M Idhom, “Meski Kalah, Suara Kotak Kosong Signifikan di Pati” di akses dari,
https://tirto.id/meski-kalah-suara-kotak-kosong-signifikan-di-pati-cjgA, diakses pada 10
Oktober 2017 pukul 19 : 20.
49
Sekretaris AKDPP, Itqonul Hakim menuding separuh suara untuk Haryanto-
Saiful Arifin diperoleh berkat politik uang. Organisasinya sudah melaporkan 12 kasus
politik uang ke Panwaslu Pati. Sebagian besar kasus di laporan-laporan itu terjadi di
tujuh hari jelang pemilihan.85
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah menolak pengajuan penempatan
saksi dari relawan kotak kosong pada Pilkada Pati yang akan berlangsung pada 15
Februari 2017. Hal itu ditegaskan dalam surat Nomor 019/KPU-Prov/012/11/1/2017
per 11 Januari 2017, menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum Pati Much Nasich
“Menurut saya, keberadaan kolom kosong yang ada pada surat suara bukan peserta
pemilu. Jadi, KPU tidak bisa memfasilitasi. Bila ada aturan yang bisa menjadi pijakan,
tentu kami siap memfasilitasinya. Namun, aturannya tidak ada,”86
Perlu adanya aturan atau regulasi untuk kotak kosong mengenai tim pemenang
kotak kosong, kampanye kotak kosong dan hak suara kotak kosong untuk di tindak
lanjuti karena jika pasangan calon tunggal kalah dalam pemilihan umum kepala daerah
serentak tim dari koalisi tersebut bisa memperjuangkan hak suaranya ke Komisi
Pemilihan Umum tetapi jika ingin memperjuangkan hak suara kotak kosong siapa yang
berwenang untuk mewakili suara kotak kosong tersebut yang dimana disana terdapat
hak warga negara yang menginginkan calon kepala daerah lainnya yang dimana lebih
baik visi misi dari calon pertahanan
85 Addi M Idhom, “Meski Kalah, Suara Kotak Kosong Signifikan di Pati”,
https://tirto.id/meski-kalah-suara-kotak-kosong-signifikan-di-pati-cjgA, diakses pada 10
Oktober 2017 pukul 19 : 20.
86 Kholistiono, “KPU Tolak Pengajuan Saksi Pilkada Pati dari Relawan Kotak
Kosong”, di akses dari http://www.murianews.com/2017/01/17/105716/kpu-tolak-pengajuan-
saksi-pilkada-pati-dari-relawan-kotak-kosong.html, diakses pada 10 Oktober 2017 pukul 19 :
40.
50
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pemberlakuan calon tunggal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 10
Tahun 2016, menyatakan bahwa calon tunggal kepala daerah akan tetap
dilaksanakan pelaksanaan pemberlakuan calon tunggal di daerah yang hanya
terdapat satu pasang calon dengan syarat ketika awal pendaftaran sampai masa
berakhirnya pendaftaran hanya terdapat satu pasangan calon yang terdaftar di
Komisi Pemilihan Umum dengan catatan calon tersebut telah memenuhi
persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2016 calon tersebut
legal untuk dipilih dalam pemilihan umum kepala daerah serentak. Tidak seperti
pemilihan umum di daerah yang memiliki 2 pasangan calon atau lebih pemilihan
umum kepala daerah serentak yang hanya di ikuti satu pasangan calon mempunyai
mekanisme berbeda yaitu dengan cara masyarakat dihadapkan dengan kertas suara
yang berisi suara “setuju” dan “tidak setuju” jika masyarakat memilih calon kepala
daerah tersebut masyarakat meyuarakan suaranya dikertas “setuju” dan jika
masyarkaat tidak ingin memilih calon kepala daerah terebut masyarakat dapat
menyuarakan suaranya ke kertas “tidak setuju”
2. Pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015 terhadap legalitas
calon tunggal dimana putusan Mahkamah tersebut berdampak pada mekanisme
pemilihan kepala daerah, pelaksanaan demokrasi di Indonesia, dan terhadap peran
masyarakat dalam pemilihan kepala daerah. Sebelum adanya putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut mekanisme pemilihan kepala daerah yang diikuti hanya dengan
satu pasangan calon pemilihan umum kepala daerah serentak tersebut ditunda
sampai pemilihan umum kepala daerah serentak selanjutnya setelah lahirnya
putusan Mahkamah tersebut mekanisme pemilihan umum kepala daerah yang
diikuti hanya satu pasang calon tetap dilaksanakan, Mahkamah menyatakan, untuk
Pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, manifestasi kontestasinya
47
51
lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat sebagai pemilih
untuk menentukan pilihannya apakah “setuju” atau “tidak setuju” dengan pasangan
calon tersebut.
B. Saran
1. Mengusulkan untuk perubahan atas peraturan Undang-Undang No 10 Tahun 2016
yang dimana persyaratan untuk partai politik atau perseorangan mencalonkan diri
untuk menjadi kepala daerah terlalu berat agar lebih diringankan persyaratan untuk
mencalonkan kepala daerah.
2. Perlu adanya peraturan yang lebih rinci jika calon tunggal tetap bertahan sampai
pemilihan umum kepala daerah serentak selanjutnya mengenai hak suara tidak
setuju yang dimana disana terdapat suara masyarakat yang ingin haknya terpenuhi.
3. Setiap kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan nilai nilai yang terkandung
dalam Undang-Undang Dasar 1945 jika tetap terlaksana pemilihan umum kepala
daerah dengan satu pasangan calon walaupun nilai demokrasi untuk terlaksananya
pemilihan itu terpenuhi tetapi nilai kompetisi dalam demokrasi akan hilang dan akan
mematikan budaya pesta demokrasi yang diikuti lebih dari 2 pasangan calon akan
lebih baik persyaratan untuk menjadi kepala daerah diringankan.
52
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Al Marsudi Subandi, Pancasila dan UUD 1945 Dalam Paradigma Reformasi,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001
Amin, Masyur, Agama, Demokrasi dan Transformasi Sosial,(Yogyakarta: LKPSM,
2008
Andrani, Charles F., Kehidupan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1992
Asshiddiqie, Jimly, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme
dan Kolektivisme dalam kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi
Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1994
Asshiddiqie, Jimly, Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah perubahan keempat,
Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2002
Asshidiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. II, Jakarta: Sekretariat
Jendral dan Kepanitiaan MK RI, 2006
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers,
2009
Aziz, Noor M, Pemilihan Kepala Daerah, Badan Pembinaan Hukum dan Ham RI,
Jakarta, 2001
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi, cet. VI, Jakarta: Gramedia,
2013
Budi, Waluyo, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Pusat Kurikulum dan
Perbukuan Kementrian Pendidika Nasional, 2009
Dewata Mukti Fajar Nur dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
Dan Empiris,Jakarta: Pustaka Pelajar 2010
53
Firmanzah, “Mengelola Partai Politik”, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2011
Haris Syamsuddin, Partai Pemilu dan Parlemen, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014
Hendratno Edie Toet, Negara Kesatuan Desentralisasi dan Federalisme, Jakarta:
Graha Ilmu 2009
Huda, Ni’matul, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2011
Hunington, Samuel P., Political Order in Changing Societies, New Heaven and
London: Yale University Press, 1968
Irianto Sulistiyowati dan Shidarta, ed., Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan
Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009
Isjwara F, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Penerbit Binacipta, 1966
Koesnoe Muhammad, Musyawara dalam buku Masalah Kenegaraan yang diedit
Miriam Budiardjo, Jakarta: Gramedia, 1982
Magalatung Salman dan Nu Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, Bandung:
FajarMedia, 2013
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Jakarta: Kencana, 2005
MD, Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, cet. V, Jakarta: Rajawali Pers, 2012
Muluk, Khairul, Desentralisasi & Pemerintahan Daerah, Malang : BayuMedia, 2007
Nurtjahjo, Hendra, Filsafat Demokrasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2006
Purnama, Eddy, Negara Kedaulatan Rakyat Analisis Terhadap Sistem Pemertintahan
Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara Lain, Malang: Nusa
Media, 2007
Samidjo, Ilmu Negara, Bandung: CV Armico, 1986
Sirait, Hasudungan, Politik Pemilu Pilkada, Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI),
2006
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum Jakarta: UI Press, 1983, Pengantar
Penelitian Hukum, Cet. 3, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1942
54
Sorensen G., Demokrasi dan Demokratisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2003
Subagyo, Firman, Menata Partai Politik (Dalam Arus Demokratisasi Indonesia),
Jakarta: RMBOOKS, 2009, Cet. Pertama
Supriyanto, Didik, Penataan Kembali Sistem Pemilihan dalam Pemilukada, dalam
Seminar Nasional Evaluasi Pemilukada: Antara Teori dan Praktik,
diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi pada Rabu-Kamis, 25-26 Januari
2012 di Hotel Sultan Jakarta
Diane Ravitch, Thernstrom Abigail dan, Demokrasi: Klsik dan Modern
Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2005
Triwulan, Tutik Titik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945 Jakarta:Kencana, 2010
Widjaja, Haw, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada, 2008
Jurnal
Anggraini, Titi, “Evaluasi Pilkada Serentak 2015”, Jurnal Pemilu & Demokrasi,
Yayasan Perludem (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi), Jakarta : 2016
Ardipandanto, Aryojati, “Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak 2015”, Pusat
Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR
RI, ISSN 2088-2351, Vol. VII, No. 15/I/P3DI/Agustus/2015
Dhesinta, Wafia Silvi, “Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Konsep Demokrasi”, Jurnal Cita Hukum. Vol. 4 No. 1 Juni 2016
Hardiyanto, Suharso, Budiharto, “Pemilihan Umum Kepala Daerah Periode 2015/
2020 (Studi Politik Hukum Calon Tunggal ”,Varia Justicia Vol 12 No. 1
Oktober 2016
Hidayati, Maryam Nur, “Problematika Hukum Calon Tunggal dalam
PemilihanKepala Daerah Serentak Tahun 2015”, Lex Renaissance No. 1 Vol.
1 Januari 2016
Iza Rumesten RS, “Fenomena Calon Tunggal dalam Pesta Demokrasi”, Jurnal
Konstitusi, Volume 13, Nomor 1, Maret 2016.
55
Pratikno, “Calon Independen, Kualitas Pilkada dan Pelembagaan Parpol”, Jurnal
Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Vol.ID, No. 3, Maret 2007
R. Nazriyah, Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2015 terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015, Jurnal Konstitusi, Volume 13,
Nomor 2, Juni 2016.
Sodikin, “Pemilu Serentak (Pemilu Legislatif Dengan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden) dan Penguatan Sistem Presidensial) Jurnal RechtsVinding, April
2014.
Wardhana, Allan Fatchan Gani, “Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah Perspektif Hukum Progresif “, Jurnal Hukum IUS
QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 23 APRIL 2016
Internet
Addi M Idhom, “Meski Kalah, Suara Kotak Kosong Signifikan di Pati” di akses dari,
https://tirto.id/meski-kalah-suara-kotak-kosong-signifikan-di-pati-cjgA
Ferdian Andi, “Implikasi Serius MK Putuskan Calon Tunggal Pilkada”, di akses dari
http://nasional.inilah.com/read/detail/2241166/implikasi-serius-mk-putuskan-
calon-tunggal-pilkada
Imanuel Nicolas Manafe, “Calon Tunggal Tak Halangi Pilkada Serentak 2017”, di
akses dari http://www.tribunnews.com/nasional/2016/10/01/calon-tunggal-tak-
halangi-pilkada-serentak-2017
Kholistiono, “KPU Tolak Pengajuan Saksi Pilkada Pati dari Relawan Kotak Kosong”,
di akses dari http://www.murianews.com/2017/01/17/105716/kpu-tolak-
pengajuan-saksi-pilkada-pati-dari-relawan-kotak-kosong.html
Kompas.com, “Selain Menang, Faktor Ini Jadi Pertimbangan Parpol Tentukan Calon
di Pilkada DKI”, di akses dari
http://nasional.kompas.com/read/2016/09/11/17480801/selain.menang.faktor.in
i.jadi.pertimbangan.parpol.tentukan.calon.di.pilkada.dki
56
Markus Junianto Sihaloho, “Alasan Minimnya Calon Kepala Daerah Versi PKS”, di
akses dari http://www.beritasatu.com/politik/295096-alasan-minimnya-calon-
kepala-daerah-versi-pks.html
MK Putuskan Gelar Referendum untuk Calon Tunggal Pilkada, di akses di
https://news.detik.com/berita/d-3030763/mk-putuskan-gelar-referendum-untuk-
calon-tunggal-pilkada
Pilkada Calon Tunggal, di akses di
https://www.nasional.sindonews.com/read/1049791/18/pilkada-calon-tunggal-
1443759497
Pilkada serentak 2015 sepi pemilih,di akses dari
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/12/151209_indonesia_pil
kadasepi
Pinter Politik, “KPU: Beberapa Faktor Sebabkan Pilkada Serentak Kurang Semarak”,
di akses dari https://pinterpolitik.com/kpu-beberapa-faktor-penyebab-pilkada-
serentak-kurang-semarak/
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Amandemen
Undang-Undang No 8 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Peneatpan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang
Peraturan Mahkamah Konstitusi No 100/PUU-XIII/2015
57
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2015 Pencalonan Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil
Walikota