imunisasi pada bayi dan anak berisiko

8
IMUNISASI PADA BAYI DAN ANAK BERISIKO Pada bayi dan anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi, harus diimunisasi berdasarkan prioritas. Misalnya pada bayi dan anak yang menderita imunokompromais, transplantasi sumsum tulang/organ dan splenektomi serta bayi premature, imunisasi harus diatur. PASIEN IMUNOKOMPROMAIS Penekanan respons imun (imunokompromais) dapat terjadi pada penyakit defesiensi imun congenital (primer) dan defesiensi imun didapat (sekunder) yaitu pemakaian kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan lama, penyakit keganasan seperti leukemia, limfoma, pasien dengan pengobatan alkilating agents, antimetabolik, radioterapi, bayi/anak menderita HIV dan transplantasi sumsum tulang. Defesiensi imun primer Pada defesiensi imun primer humoral, defesiensi imun primer selular dan kombinasi defesiensi keduanya, seperti pada penyakit X- linked agammaglobulinemia, Bruton, Wiskott-Aldrich, Ataxia telangiectasia dan sindrom di George, kontraindikasi untuk vaksinasi dengan vaksin hidup. Dapat diberikan imunisasi pasif dengan gammaglobulin spesifik atau dengan IGIV. Pada defesiensi komplemen dapat diberikan semua jenis vaksin baik hidup ataupun mati/dilemahkan sedangkan pada defesiensi fagosit misalnya pada penyakit granulomatosis, tidak boleh diberikan vaksin bakteri hidup dan dianjurkan untuk divaksinasi terhadap penyakit influenza dan pneumokokus. Defesiensi imun sekunder 1. Mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi sama atau lebih dari 20 mg sehari atau 2 mg/kgBB/hari dengan lama pengobatan >7 hari atau dosis 1 mg/kgBB/hari lama pengobatan >1 bulan. 2. Pengobatan dengan alkilating agents, antimetabolik dan radioterapi, untuk penyakit keganasan seperti leukemia, dan limfoma.

Upload: ikhsan-ali

Post on 06-Dec-2014

116 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

check it out

TRANSCRIPT

Page 1: Imunisasi Pada Bayi Dan Anak Berisiko

IMUNISASI PADA BAYI DAN ANAK BERISIKO

Pada bayi dan anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi, harus diimunisasi berdasarkan prioritas. Misalnya pada bayi dan anak yang menderita imunokompromais, transplantasi sumsum tulang/organ dan splenektomi serta bayi premature, imunisasi harus diatur.

PASIEN IMUNOKOMPROMAIS

Penekanan respons imun (imunokompromais) dapat terjadi pada penyakit defesiensi imun congenital (primer) dan defesiensi imun didapat (sekunder) yaitu pemakaian kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan lama, penyakit keganasan seperti leukemia, limfoma, pasien dengan pengobatan alkilating agents, antimetabolik, radioterapi, bayi/anak menderita HIV dan transplantasi sumsum tulang.

Defesiensi imun primer

Pada defesiensi imun primer humoral, defesiensi imun primer selular dan kombinasi defesiensi keduanya, seperti pada penyakit X-linked agammaglobulinemia, Bruton, Wiskott-Aldrich, Ataxia telangiectasia dan sindrom di George, kontraindikasi untuk vaksinasi dengan vaksin hidup. Dapat diberikan imunisasi pasif dengan gammaglobulin spesifik atau dengan IGIV.

Pada defesiensi komplemen dapat diberikan semua jenis vaksin baik hidup ataupun mati/dilemahkan sedangkan pada defesiensi fagosit misalnya pada penyakit granulomatosis, tidak boleh diberikan vaksin bakteri hidup dan dianjurkan untuk divaksinasi terhadap penyakit influenza dan pneumokokus.

Defesiensi imun sekunder

1. Mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi sama atau lebih dari 20 mg sehari atau 2 mg/kgBB/hari dengan lama pengobatan >7 hari atau dosis 1 mg/kgBB/hari lama pengobatan >1 bulan.

2. Pengobatan dengan alkilating agents, antimetabolik dan radioterapi, untuk penyakit keganasan seperti leukemia, dan limfoma.

Pada pasien dengan sistem imun tertekan tidak boleh diberikan imunisasi vaksin hidup karena dapat berakibat fatal disebabkan kuman akan bereplikasi hebat karena tubuh tidak dapat mengontrolnya. Vaksin hidup misalnya vaksin polio oral, MMR dan BCG. Vaksinasi dengan mikroorganisme hidup dapat diberikan setelah penghentian pengobatan imunosupresif minimal 3 bulan.

Vaksinasi dengan mikroorganisme mati atau yang dilemahkan dapat segera diberikan seperti hepatitis B, hepatitis A, DTP, influenza dan Hib dosis sama dengan anak sehat. Respons imun yang timbul tidak sama dengan anak sehat, sehingga bila kontak dengan pasien campak harus diberikan imunisasi pasif dengan normal immunoglobulin (human) NIGH dosis 0,2 ml/kgBB intramuscular. Untuk profilaksis varisela dosis lebih besar 0,4-1,0/kgBB, bila mungkin sebaiknya diberikan imunisasi profilaksis (spesifik) dengan varicella-zooster immunoglobulin (VZIG), namun pada saat ini belum ada di Indonesia.

Page 2: Imunisasi Pada Bayi Dan Anak Berisiko

Pengobatan kortikosteroid

Pada pasien dengan pengobatan kortikosteroid (1) topical atau obat semprot hidung, paru, salep kulit, salep mata, injeksi local intraartikular, (2) kortikosteroid dosis rendah yang diberikan setiap hari atau selang sehari, dapat diberikan imunisasi dengan vaksin hidup

Sedangkan pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap hari atau selang sehari dan lama pemberian kurang dari 14 hari, dapat diberikan vaksinasi dengan vaksin hidup segera setelah penghentian pengoabatan, namun ada pendapat yang menganjurkan setelah penghentian 14 hari.

Pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap hari atau selang sehari selama >14 hari, dapat diberikan vaksin hidup setelah penghentian pengobatan 1 bulan. Imunisasi dengan vaksin hidup dapat diberikan pada pasien yang telah menghentikan pengobatan imunosupresi selama 3 bulan atau 6 bulan dengan pertimbangan bahwa status imun sudah mulai membaik dan penyakit primernya sudah dalam remisi atau sudah dapat dikontrol.

Keluarga pasien imunokompromais yang kontak langsung (serumah) dianjurkan untuk mendapatkan vaksinasi polio inaktif (inactivated polio vaccine), varisela dan MMR. Vaksin varisela sangat dianjurkan untuk keluarga imunokompromais, oleh karena walaupun dapat terjadi penularan transmisi virus varisela pada pasien tetapi gejala lebih ringan dari pada bila infeksi alamiah yang akan berakibat lebih buruk dan dapat fatal.

Pengecualian untuk pasien leukemia limfositik akut dalam keadaan remisi lebih dari 1 tahun, dapat diberikan imunisasi dengan virus hidup varisela, oleh karena bila mendapat infeksi alamiah dengan varisela keadaannya dapat fatal.

Pasien defesiensi imun kongenital ataupun yang didapat, imunisasi tidak akan memberikan respons maksimal yang diinginkan, sehingga dianjurkan memeriksa titer antibody serum setelah imunisasi diberikan sebagai data untuk pemberian imunisasi berikutnya.

Infeksi human immunodefesiensi virus (HIV)

Pasien HIV mempunyai risiko lebih dapat besar untuk medapatkan infeksi sehingga diperlukan imunisasi, walaupun responsnya terhadap imunisasi kurang optimal. Yang menjadi pertanyaan, kapan pasien HIV harus diberikan imunisasi? Apabila diberikan terlambat mungkin tidak akan berguna karena penyakit sudah lanjut dan efek imunisasi tidak ada atau kurang, namun apabila diberikan dini, vaksin hidup akan mengaktifkan sistem imun yang dapat meningkatkan replikasi virus HIV sehingga memperberat penyakit HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yang dilemahkan atau yang mati. Vaksin pneumokok konjugasi (PCV7) diberikan pada anak dengan HIV (+). Pada umur kurang dari 23 bulan mendapatkan imunisasi PCV7 3 kali dengan interval 2 bulan, sedangkan anak umur 24-59 bulan karena mempunyai resiko tinggi maka diberikan imunisasi PCV7 2 kali dengan interval 2 bulan dan dilanjutkan dengan imunisasi ke 3 memakai vaksin pneumokok PCV23 (tabel 1)

Penyakit Hodgkin

Page 3: Imunisasi Pada Bayi Dan Anak Berisiko

Pasien penyakit Hodgkin yang berumur lebih dari 24 bulan dan orang dewasa (close contact) dianjurkan mendapat imunisasi pneumokok dan Hib, karena penderita ini berisiko terhadap kedua penyakit tersebut. Respons antibodi paling baik bila imunisasi diberikan 10-14 hari sebelum dilakukan immunoterapi. Apabila diberikan bersama dengan immnuoterapi hasilnya kurang efektif dan harus diulang 3 bulan setelah kemoterapi atau radioterapi dihentikan.

Pada splenektomi dianjurkan untuk pemberian imunisasi pnumokok dan Hib sebelum pengangkatan limpa. Pemberian profilaksis antibiotik dengan penisilin dianjurkan untuk penderita anemi sickle cell, thalasemia terhadap penumokok. Dosis yang dianjurkan 2 x 125 mg sehari untuk anak urang dari 5 tahun dan 2 kali 250 mg sehari untuk anak > 5 tahun. Dapat juga profilaksis dengan amoksisilin 20 mg/kgBB sehari.

Harus dijelaskan kepada orang tua bahwa walaupun sudah mendapat profilaksis antibiotika anakanya masih dapat menderita infeksi kuman lain, sehingga bila demam harus segera berobat untuk menghindarkan sepsis.

Pada pasien keganasan seperti leukemia dan limfoma sebelum memulai pengobatan dengan kemoterapi sebaiknya diberikan dahulu imunisasi. (tabel 2)

Pasien transplantasi sumsum tulang (tst)

Resepien transplantasi sumsum tulang (TST) alogenik akan menjadi defesiensi imun disebabkan 4 komponen (1) pengobatan imunosupresi terhadap penyakit primer, (2) kemoterapi dan radioterapi yang diberikan pada pejamu (3) reaktivitas imunologi antara graft dan pejamu, serta (4) pengobatan imunosupresi yang diberikan setelah transplantasi dilakukan. Sedangkan pada transplantasi sumsum tulang otology hanya komponen (1) dan (2) yang berperan. Rekomendasi yang dianjurkan pada pasien transplantasi sumsum tulang tampak pada tabel 3. Pada TST alogenik, sistem imun resipien digantikan oelh sistem imun pejamu.

Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan, pada pasien diberikan imunisasi polio dan DTP terlebih dahulu ; karena terbukti setelah transplantasi, imunitas terhadap virus polio, tetanus dan difteri hamper tidak ada. Penelitian klinis menunjukkan bahwa bila donor diberikan imunisasi difteri dan tetanus sebelum transplantasi dilakukan kemudian segera setelah itu diberikan imunisasi pada resipien dengan antigen yang sama akan memberikan respons yang baik. Hal yang sama dapat dilakukan dengan vaksin inaktif pertusis, Hib, hepatitis B, pneumokok dan IPV (inactivated polio vaccine).

Pada TST otologus tidak terdapat perbedaan imunologik antara graft dan pejamu, sehingga regenerasi sistem imun lebih cepat dan bahaya infeksi pun tidak seperti pada transplantasi alogenik. Pada transplantasi alogenik, sitem imun resipien digantikan oleh sistem imun pejamu. Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan diberikan imunisasi terlebih dahulu kepada resipien.

Imunisasi influenza dapat diberikan 1 tahun setelah transplantasi, dan diulangi setiap tahun sebelum epidemic tiba. Imunisasi dengan hepatitis B diberikan setelah 1 tahun transplantasi. Pasien berumur diatas 12 tahun yang akan mendapat organ organ transplantasi sebaiknya diperiksa terlebih dahulutiter antibodi campak, rubella dan varisela. Mereka yang berisiko tinggi harus mendapat imunisasi MMR sebelum transplantasi dilakukan. Waktu terbaik adalah 1 bulan sebelum tranpslantasi dilakukan.

Page 4: Imunisasi Pada Bayi Dan Anak Berisiko

Titer antibodi setelah setahun tranplantasi sebaiknya diperiksa. Pada mereka yang rentan infeksi bila kontak dengan pasien campak, varisela dan rubella sebaiknya diberikan imunisasi pasief dengan imunoglobulin dan bilan mungkin titer antibodi diperiksa terlebih dahulu. Karena hanya sedikit data mengenai imunisasi pada pasien transplantasi, setiap senter mempunyai pengalaman dan cara yang berbeda.

Bayi prematur dan berat lahir rendah

Bayi premature dapat diimunisasi sesuai dengan umur kronologisnya dengan dosis dan jadwal yang sama dengan bayi cukup bulan. Vaksin DTwP atau DTaP, Hib dan OPV diberikan pada umur 2 bulan. Bila bayi masih dirawat pada umur 2 bulan sebaiknya pemberian ini harus ditunda sampai saat bayi akan dipulangkan dari rumah sakit/rumah bersalin untuk menghindarkan penyebaran virus polio kepada bayi lain yang sedang dirawat. Pada bayi premature respons imun kurang bila dibandingkan bayi matur terhadap imunisasi hepatitis B, sehingga pemberian vaksin hepatitis B dapat dilakukan dengan 2 cara sebagai berikut :

Ibu positif HbsAg, berat lahir >2000 g : harus diberikan hepatitis B bersamaan dengan HBIG pada 2 tempat yang berlainan dalam waktu 12 jam. Dosis ke-2 diberikan 1 bulan kemudia, dosis ke-3 dan ke-4 diberikan umur 6 dan 12 bulan. Periksa titer anti-HBs dan HbsAg pada umur 9-15 bulan. Bila HbsAg dan anti-HBs negative, reimunisasi dengan 3 dosis dengan interval 2 bulan dan periksa kembali HbsAg dan anti-HBs.

Ibu positif HbsAg, berat lahir <2000 g : harus diberikan vaksin hepatitis B + HBIg pada 2 tempat suntikan yang berlainan dalam waktu 12 jam. Imunisasi vaksin hepatitis B ke-2 diberikan umur 1 bulan dan berat badan mencapai 2000 gr, selanjutnya umur 2-3 bulan dan 6 bulan umur kronologis. Periksa anti-HBs dan HbsAg pada umur 9-15 bulan. Bila HbsAg dan anti-HBs negative, reimunisasi dengan 3 dosis dengan interval 2 bulan dan periksa kembali HbsAg dan anti-HBs.

Ibu negative HbsAg, berat lahir >2000 g : pemberian imunisasi hepatitis B dosis pertama saat lahir, selanjutnya umur 1 dan 6 bulan umur kronologis.

Ibu negative HbsAg, berat lahir <2000 g : imunisasi pertama saat berat badan telah mencapai 2000 g atau secara klinis keadaannya stabil dalam 30 hari umur kronologis atau pada saat keluar dari RS sebelum 30 hari.

Umur kronologis. Imunisasi hepatitis B dalam 3 dosis pada umur 1-2 bulan, 2-4 bulan dan 6-18 bulan umur kronologis.

Ibu tidak diketahui status HbsAg, berat lahir >2000 g : diberikan vaksin hepatitis B dalam 12 jam. Periksa HbsAg ibu segera. Bila hasil positif ditambahkan HBIg dalam waktu 7 hari.

Ibu tidak diketahui status HbsAg, berat lahir <2000 g : diberikan vaksin hepatitis B. periksa HbsAg ibu segera, bila tidak dapat dilakukan dalam 12 jam, berikan HBIg dalam 12 jam.

Saat ini telah beredar vakisn kombinasi hepatitis B dengan DTP, DTaP (DTP/HepB). Vakisn kombinasi baru dapat diberikan pada umur kronologis setelah 6 minggu, jadi vaksin kombinasi tidak dapat diberikan sebagai imunisasi pertama pada bayi premature.

Imunisasi pada anak dengan penyakit kronis

Page 5: Imunisasi Pada Bayi Dan Anak Berisiko

Anak dengan penyakit kronis peka terhadap infeksi, sehingga harus diberikan imunisasi anak sehat, kecuali sudah terjadi defesiensi imun sekunder. Sangat dianjurkan untuk imunisasi terhadap influenza dan pneumokokus.

Vaksinasi pada anak dengan reaksi efek samping

Pada anak yang pernah menderita efek samping yang serius setelah imunisasi, harus diberikan imunisasi berikutnyadi rumah sakit dengan pengawasan dokter.

Air susu ibu dan imunisasi

Tidak terdapat kontraindikasi pada bayi yang sedang menyusui bila ibunya diberikan imunisasi baik dengan kuman atau virus hidup dan kuman yang dilemahkan. Sebaliknya air susu ibu tidak akan menghalangi seorang bayi untuk mendapatkan imunisasi.

IMUNISASI BAYI PADA IBU BERISIKO

Ibu menderita hepatitis B

Ibu yang menderita hepatitis B akut atau uji serologis HBsAg positif, dapat menularkan hepatitis B pada bayinya. Imunisasi hepatitis B pada bayi ditentukan oelh status HBsAg ibu sebagaimana tertulis pada tabel 5 berikut ini/

Ibu menderita tuberculosis

Bayi dilahirkan ibu menderita (TB) paru aktif sesaat sebelum, sesudah lahir dam mendapat pengobatan kurang 2 bulan sebelum melahirkan, tidak cukup terlindungi dengan vaksin BCG. Tindakan yang dlakukan ,

Jangan diberi BCG pada saat setelah lahir. Beri pencegahan dengan isoniazin (INH) 5 mg/kgBB sekali sehari per oral. Pada umur 8 minggu evaluasi bayi kembali, berat badan, dan lakukan pemeriksaan uji tuberculin

dan foto dada bila memungkinkan. Apabila ditemukan kemungkinan TB aktif, mulai diberi pengobatan anti TB sesuaikan

program pengobatan TB pada bayi Apabila kondisi bay baik dan hasil uji tuberculin negative lanjutkan pencegahan dengan

isoniazid dalam waktu 6 bulan. Tunda pemberian BCG sampai 2 minggu setelah pengobatan selesai. Bila BCG sudah

terlanjur diberikan, ulangi pemeriksaan 2 minggu setelah pengobatan INH selesai Yakinkan ibu bahwa ASI tetap boleh diberikan dan catat berat badan bayi tiap 2 minggu.

Ibu menderita HIV

Tidak ada tanda spesifik HIV yang dapat ditemukan pada bayi saat lahir.

Page 6: Imunisasi Pada Bayi Dan Anak Berisiko

Tanda klinis dapat ditemukan pada umur 6 minggu setelah lahir, namun uji antibodi baru dapat dideteksi pada umur 18 bulan, untuk menentukan status HIV bayi.

Bayi yang dilahirkan dari ibu HIV positif, lakukan konseling pada keluarga rawat bayi seperti bayi yang lain dan perhatian khusus pada pencegahan infeksi. Bayi tetap diberi imunisasi rutin seperti layaknya bayi sehat lain.