imunoterapi pada gbs

Upload: fasihah-irfani-fitri

Post on 18-Jul-2015

329 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

IMUNOTERAPI PADA GUILLAIN-BARR SYNDROMEI. I.1. PENDAHULUAN Latar Belakang Guillain Barr Syndrome (GBS) merupakan penyebab paralisis neuromuskular utama dengan insidensi 1.3-2 per 100.000 per tahun di seluruh dunia1, menyebabkan gagal nafas yang membutuhkan ventilator pada 25% pasien, kematian pada 4-15% pasien, disabilitas persisten pada 20% pasien dan kelelahan persisten pada 67% pasien.2 Sindroma ini secara tipikal terdiri dari kelemahan ekstremitas yang bersifat ascending, progresif cepat, relatif simetris yang sesuai dengan poliradikuloneuropati dan dapat disertai dengan keterlibatan saraf kranial. Gejala dan tanda motorik biasanya lebih dominan dibanding gejala dan tanda sensorik. Hilangnya refleks tendon hampir selalu dijumpai. Komplikasi mayor terdiri dari gagal nafas, disfungsi otonom dan tromboemboli. Penyakit ini bersifat monofasik, mencapai kelemahan puncak dalam 2 hingga 4 minggu, diikuti dengan fase plateau dengan lama yang bervariasi dan akhirnya pemulihan bertahap.3,4 Terdapat beberapa subtipe GBS. Bentuk yang paling sering dijumpai, GBS klasik atau acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP), dicirikan

dengan demielinasi segmental saraf perifer. Varian aksonal tanpa demielinasi dapat dijumpai dalam bentuk acute motor axonal neuropathy (AMAN) atau acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN). Varian sindroma Miller-Fisher dicirikan dengan trias klinis yaitu ophtlamoplegia, arefleksia dan ataksia.1,3 Varian lain yang jarang dijumpai antara lain pharyngo-cervico-brachial, pure sensory GBS dan

pandysautonomia. Hingga kini, GBS masih merupakan diagnosis deskriptif dari suatu kelainan tanpa adanya uji diagnostik spesifik. Adanya kelemahan ekstremitas yang simetris dan berkembang cepat dengan atau tanpa gangguan sensorik, hiporefleks atau arefleksia, tanpa adanya reaksi selular CSF (cerebrospinal fluid) merupakan hallmark untuk diagnosis klinis GBS.5 Patogenesis GBS melibatkan reaksi imun selular dan humoral yang menyimpang.6 Bukti eksperimental menunjukkan adanya autoantibodi terhadap gangliosida pada patogenesis GBS. Autoantibodi ini ditimbulkan oleh respon imun terhadap organisme infektif, seperti Campylobacter jejuni,bereaksi silang dengan epitop

1

pada akson.1 Molecular mimicry ini, dimana epitop antigen mikroba menyerupai epitop pada struktur saraf menimbulkan respon sel B dan sel T autoreaktif yang kemudian memicu proses autoimun. Sel T yang teraktivasi kemudian bermigrasi dan melewati sawar darah-saraf dan mengalami reaktivasi in situ dimana autoantigennya dipresentasikan oleh makrofag melalui major histocompatibility complex II dan molekul co-stimulasi. Autoantibodi yang melewati sawar darah-saraf dan mencapai struktur target secara langsung pada bagian saraf yang paling proksimal atau distal berkontribusi terhadap terjadinya proses inflamasi dengan memicu antibody-dependent cytotoxicity dan aktivasi komplemen.6 Kemiripan AIDP dengan experimental autoimmune neuritis (EAN) menunjukkan mekanisme patogenesis yang melibakan demielinasi yang berkaitan dengan makrofag yang diinduksi sel T.1 Dasar autoimun pada GBS ini menyebabkan munculnya konsep imunoterapi, yang bertujuan untuk mengurangi keparahan penyakit dan mempercepat pemulihan.1,4 Imunoterapi yang digunakan secara luas dan terbukti bermanfaat adalah plasma exchange (PE) dan intravenous immunoglobulin (IVIg). Plasma exchange

diperkenalkan sebagai terapi GBS pada tahun 1978 dan menunjukkan manfaat yang signifikan pada uji klinis acak pada tahun 1985 (The Guillain-Barre syndrome Study Group,1985).Intravenous immunoglobulin (IVIG) diperkenalkan sebagai terapi GBS pada tahun 1988. Pada tahun 1992, uji klinis acak pertama yang membandingkan IVIg dan PE menunjukkan efek yang serupa dari kedua terapi ini.1-4

I.2.

Tujuan Tujuan penulisan refarat ini adalah untuk membahas tentang Guillain-Barr

Syndrome secara umum dan imunoterapi secara khusus, yang terdiri dari plasma exchange dan intravenous immunoglobulin.

2

II. II.1.

TINJAUAN PUSTAKA GUILLAIN BARRE SYNDROME

II.1.1. Definisi Guillain Barre syndrome adalah polineuropati yang bersifat akut, simetris dan ascending dan sering terjadi 1 hingga 3 minggu setelah infeksi akut.7

II.1.2. Epidemiologi Guillain Barre syndrome merupakan penyebab paralisis neuromuskular yang sering dijumpai di seluruh dunia. Insiden per tahun nya ilaporkan berkisar 1,2-2,3 per 100.000 penduduk.5,8 Sebagian besar studi menemukan bahwa insidensi meningkat secara linear degan usia dan laki-laki 1,5 kali lebih sering terkena dibandingkan wanita.5 Secara umum penyakit ini tidak musiman dan tidak epidemik namun wabah musiman terisolasi telah dilaporkan di desa di China setelah paparan C.jejuni yang terdapat di feses ayam yang terdapat di tempat penyimpanan beras. Perempuan sedikit lebih rentan dibanding laki-laki. Rentang umur pasien adalah 8 bulan hingga 81 tahun, dengan tingkat serangan paling tinggi pada orang berusia 50 hingga 74 tahun.7 II.1.3. Gambaran Klinis Gejala awal GBS dapat bervariasi dan menggambarkan saraf yang terlibat. Gambaran klinis awal yang paling sering adalah rasa kebas yang diikuti dengan kelemahan ascending dari tungkai ke lengan dan dapat mengenai wajah.9 Gambaran utama adalah kelemahan simetris bilateral yang progresif cepat dengan atau tanpa keterlibatan otot-otot pernafasan atau otot yang dipersarafi nervus kranialis.Kelemahan maksimal tercapai dalam 4 minggu, namun sebagian besar pasien telah mencapai kelemahan maksimum dalam 2 minggu.Pasien kemudian mengalami fase plateau dengan durasi yang bervariasi, dengan rentang beberapa minggu hingga bulan.Fase ini kemudian diikuti dengan fase pemulihan dengan durasi yang bervariasi. Walaupun dengan pemberian IVIg atau PE, sekitar 20% pasien tetap tidak bisa berjalan setelah 6 bulan.5,8 Pemeriksaan neurologis akan menunjukkan kelemahan ekstremitas yang relatif simetris. Pemeriksaan sensorik biasanya normal pada fase awal penyakit. Refleks tendon dapat menurun atau menghilang. Pasien GBS juga dapat mengalami kelemahan saraf kranial, biasanya berupa kelemahan facial atau orofaring. Gangguan otonom

3

terlihat pada leih dari 50% kasus. Gangguan otonom biasanya bermanifestasi sebagai takikardi namun disfungsi otonom yang lebih serius juga dapat terjadi, termasuk aritmia, hipotensi, hipertensi dan dismotilitas gastrointestinal. Sekitar sepertiga pasien GBS memerlukan ventilasi mekanik karena kelemahan otot-otot pernafasan.5,8 Sekitar duapertiga pasien memiliki riwayat infeksi dalam 3 minggu sebelum onset. Pada sebagian besar studi GBS,gejala infeksi yang paling sering dijumpai adalah saluran pernafasan dan gastrointestinal, walaupun tipe infeksi lainnya telah dilaporkan. Perjalanan GBS biasanya bersifat monofasik. (gambar 1). Mikroorganisme penyebab yang paling sering teridentifikasi adalah Campylobacter jejuni. Infeksi lainnya yang berkaitan dengan GBS adalah cytomegalovirus, epstein-barr virus, Mycoplasma

pneumoniae dan haemophilus influenza. Beberapa kondisi lain juga dikaitkan dengan GBS seperti vaksinasi,operasi, kejadian stress namun hubungan yang pasti masih diperdebatkan.4,5,8

Gambar 1. Perjalanan Klinis GBSDikutip dari : Doorn PA, Ruts L, Jacobs BC. Clinical features, pathogenesis, and treatment of GuillainBarre syndrome. Lancet Neurol 2008 ; 7 : 939-50.

Acute Inflammatoruy Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) merupakan bentuk GBS klasik yang biasanya disebut sebagai GBS. Pola kerusakan myelin menimbulkan kelemahan simetris dan kehilangan atau perubahan sensorik, seperti kebas, kesemutan,

4

dan sebagainya.Defisit maksimal pada AIDP terjadi dalam satu hingga 4 minggu.9 Cedera aksonal dapat dijumpai pada banyak kasus GBS, yang biasanya sekunder akibat kejadian patologis demyelinasi. Pada beberapa kasus GBS, kerusakan aksonal sekunder akan terjadi dan mempengaruhi derajat residu kerusakan dan outcome jangka panjang. Kasus-kasus GBS dengan demyelinasi primer dan kehilangan akosn sekunder harus dibedakan dengan bentuk aksonal GBS, yang merupakan bentuk GBS tersendiri dan tampaknya menrupakan 5-10% kasus GBS di Amerika Utara, namun lebih sering di Jepang dan China. Acute motor axonal neuropathy (AMAN) dan acute motor sensory axonal neuropathy(AMSAN) merupakan dua varian yang dicirikan dengan kerusakan pada akson dan bukan pada sel Schwann dan myelin.8 Acute motor axonal neuropathy dijumpai sebagai epdemi pada musim panas di China utara dan secara sporadis di Amerika Utara, Eropa dan Asia. Onset kelemahan motorik bersifat mendadak dan sering didahului beberapa minggu sebelumnya oleh infeksi saluran nafas atau infeksi lainnya. Selain paralisis akut, banyak pasien mengeluhkan kekakuan punggung dan leher pada fase awal penyakit yang menghilang dalam beberapa hari. Tidak dijumpai gejala dan tanda sensorik. Analisa CSF menunjukkan peningkatan konsentrasi protein tanpa sel. Pemulihan biasanya dimulai dalam 3 minggu dan seringnya sempurna. Tingkat mortalitas berkisar 3-5%. Pada varian ini kerusakan terjadi pada daerah dimana akson terekspos, yaitu di nodus ranvier, dan pada ujung akson yang berdekatan dengan serabut otot.8,9 Acute motor sensory axonal neuropathy menunjukkan beberapa gambaran patologis yang sama dengan AMAN namun berbeda secara klinis dengan AMAN, dalam hal usia pasien (biasanya dewasa dibanding anak-anak), distribusi geografis (dapat terjadi di mana saja), waktu onset (tidak hanya saat musim panas), keterlibatan saraf sensorik dan outcome (biasanya residu disabilitas yang berat). Onset mendadak dan cepat berkembang dimana sebagian besar pasien memerlukan ventilasi mekanik dalam beberapa hari onset.8 Acute motor sensory axonal neuropathy merupakan bentuk fulminan yang berat dari GBS dengan pemulihan yang buruk.9 Varian GBS yang paling berbeda adalah Miller Fisher Syndrome (MFS) yang ditandai dengan ophtalmoparesis eksternal, arefkelsia dan ataksia.8

5

II.1.4. Diagnosis Diagnosis GBS ditegakkan terutama berdasarkan gambaran klinis. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis GBS termasuk analisa CSF dan pemeriksaan elektrodiagnostik, dimana keduanya dapat normal pada fase awal GBS. Keterbatasan hasil pemeriksaan penunjang pada fase awal GBS dan pentingnya terapi yang sesuai untuk GBS mengharuskan para klinisi menegakkan diagnosis hanya berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis.8 Peningkatakan konsentrasi protein CSF dengan jumlah sel yang normal hanya dijumpai pada sekitar 50% pasien pada pemeriksaan CSF awal; peningkatan konsentrasi protein CSF dijumpai pada lebih dari 90% pasien pada saat clinical nadir.Pleositosis CSF tidak dijumpai pada GBS dan menimbulkan kecurigaan adanya infeksi (HIV,CMV, Lyme dan sarcoid), carcinomatous, atau lymphomatpus poliradikuloneuropati. 5,8 Tes elekrodiagnostik dilakukan untuk mendukung penemuan klinis bahwa paralisis motorik akut terjadi akibat gangguan saraf perifer. Tes ini biasanya menunjukkan gambaran deielinasi, seperti dispersi temporal, kecepatan hantaran yang melambat secara signifikan, dan distal latency yang memanjang.8 Kriteria diagnosis GBS terlihat pada tabel 1. 5

6

Tabel 1. Kriteria Diagnostik GBSDikutip dari : Doorn PA, Ruts L, Jacobs BC. Clinical features, pathogenesis, and treatment of Guillain-Barre syndrome. Lancet Neurol 2008 ; 7 : 939-50.

II.1.5. Diagnosis Banding Manifestasi klinis GBS dapat bervariasi dan harus dibedakan dari sejumlah kelainan.8

(tabel 2). Diagnosis GBS sulit ditegakkan pada pasien dengan kelemahan

asimetris, pada pasien dengan kelemahan yang awalnya di lengan, pada pasien dengan

7

perburukan progresif pada fungsi paru dengan kekuatan ekstremitas yang relatif tidak terganggu dan pada pasien dengan nyeri atau disfungsi otonom sebagai gejala utama.5 Acute onset myelopathy merupakan kelainan yang paling menyerupai GBS, yang mungkin disebabkan oleh myelitis transversalis, kompresi medula spinalis akut atau infark medula spinalis.8

Tabel 2. Diagnosis Banding GBSDikutip dari : Burns TM. Guillain-Barr syndrome. Semin Neurol 2008 ; 28 (2) : 152-167.

8

II.1.6. Patogenesis Studi pada pasien dan hewan percobaan menunjukkan bukti bahwa GBS disebabkan oleh respon imun menyimpang yang merusak saraf perifer dan dipicu oleh infeksi yang akhirnya menyebabkan rusaknya blood-nerve barrier dan kerusakan selubung myelin dan/atau akson.5,10,11 Terdapat empat faktor penting yang mengendalikan proses ini. 5,10 1. Antibodi antigangliosida Pada sekitar separuh pasien GBS, antibodi serum terhadap berbagai jenis gangliosida telah ditemukan pada saraf perifer, termasuk LM1, GM1,GM1b, GM2,GD1a, GD2,GD3,GQ1b. Gangliosida ini memiliki distribusi spesifik pada saraf perifer dan berperan dalam mempertahankan struktur membran. Menariknya, sebagian besar antibodi ini spesisik untuk subgrup GBS. Antibodi terhadap GM1,GM1b,GD1a dan Ga1Nac-GD1a berhubungan dengan varian aksonal atau motorik murni, sedangkan antibodi terhadap GD3,GT1a dan GQ1b berhubungan dengan ophtalmoplegia dan MFS.5,10 2. Molecular mimicry dan reaksi silang Sekitar dua pertiga pasien GBS terjadi beberapa minggu setelah infeksi C.jejuni, CMV,Mycoplasma pneumonia atau visrus influenza. Agen infeksius ini memiliki epitop pada permukaannya yang menyerupai epitop pada permukaan saraf perifer (yaitu gangliosida, glikolipid) menyebabkan saraf perifer menjadi molecular mimic dari agen infeksius.8 Contohnya C. jejuni yang diisolasi dari pasien

mengekspresikan lipo-oligosakarida (LOS) yang menyerupai karbohidrat dari gangliosida (misalnya GM1,GD1a,GQ1b) yang ditemukan pada permukaan saraf perifer.5,8,10 Antibodi pada pasien ini biasanya mengadakan reaksi silang dan mengenali LOS dan gangliosida. 5,10

9

Gambar 2. Molecular mimicry

3. Aktivasi komplemen Studi post-mortem telah menunjukkan bahwa aktivasi komplemen dijumpai pada lokasi kerusakan saraf, seperti aksolemma pada pasien dengan AMAN dan membran sel Schwann pada AIDP. Pada hewn percobaan, dijumpai pelepasan dramatis dari asetilkolin, yang menyebabkan deplesi neurotransmitter ini pada ujung saraf dan blokadi transmisi saraf dan paralisis otot. Ujung saraf dan sel Schwann perisinaptik juga hancur. Antibodi terhadap GM1 mempengaruhi channel sodium pada nodus ranvier saraf perifer. Seluruh efek ini tampaknya bergantung pada aktivasi komplemen danpembentukan membrane attack complex. (gambar 3) 5,6,10

10

Gambar 3. Aktivasi KomplemenDikutip dari : Lehmann HC, Hartung HP, Hetzel GR, et al. Plasma exchange in Neuroimmunological Disorders. Treatment of Neuromuscular Disorders. Arch Neurol 2006; 63 : 1066-1071.

4. Faktor host Kurang dari 1 dari 1000 pasien yang terinfeksi dengan C jejuni akan menderita GBS. Faktor host dapat mempengaruhi kerentanan terhadap GBS, atau luasnya kerusakan saraf dan outcome. Tidak terdapat hubungan anatara HLA class II dengan GBS. Single-nucleotide polymorphism (SNPs) menunjukkan hubungan yan tidak konsisten dengn GBS. Walaupun begitu, SNPs ini dapat berperan sebagai diseasemodifying factors. Telah ditemukan hubungan antara keparahan penyakit atau outcome dengn SNPs pada gen yang mengkode mannose-binding lectin, Fc gamma receptor III, matrix metalloproteinase 9 dan tumor necrosis factor . Studi ini memerlukan konfirmasi lebih lanjut.5,10

11

Gambar 4. Immunobiologi GBSDikutip dari : Doorn PA, Ruts L, Jacobs BC. Clinical features, pathogenesis, and treatment of GuillainBarre syndrome. Lancet Neurol 2008 ; 7 : 939-50.

12

II.1.7. Penatalaksanaan Pasien GBS membutuhkan pentalaksanaan multidisipliner untuk mencegah dan mengatasi komplikasi yang mungkin terjadi. (tabel). Pasien membutuhkan pemantauan ketat dan teratur dari fungsi paru dan kemungkinan adanya disfungsi otonom, dan pencegahan infeksi. Hal lainnya yang perlu menjadi perhatian adalah profilaksis deep vein thrombosis, gejala disfungsi otonom lainnya, manajemen nyeri, rehabilitasi dan dukungan psikososial.5

Tabel 3. Manajemen GBSDikutip dari : Doorn PA, Ruts L, Jacobs BC. Clinical features, pathogenesis, and treatment of GuillainBarre syndrome. Lancet Neurol 2008 ; 7 : 939-50.

13

II.1.8. Prognosis Prognosis GBS sulit untuk diprediksi karena terdapat variasi outcome yang sangat luas. Beberapa faktor yang dapat menunjukkan prognosis yang buruk adalah usia lanjut, tingkat keparahan GBS pada awal penyakit, blok konduksi pada pemeriksaan KHS dan penurunan vital capacity lebih dari 20%.5,10 Sistem skoring prognostik (The Erasmus GBS Outcome Score (EGOS) kini digunakan untuk menilai prognosis. Skor ini terdiri dari GBS disability score saat 2 minggu setelahmasuk RS, ada atau tidaknya kejadian diare seblumnya, dan usia saat onset, untuk menentukan kecenderungan untuk dapat berjalan tanpa bantuan 6 bulan setelah GBS. Untuk menghitung EGOS, satu poin diberikan untuk tiap GBS disability score (yaitu 1 sampai 5). Poin yang ditambahkan ke GBS dissability score adalah : 1 poin untuk usia di atas 60 tahun, 0.5 poin untuk usia 41-60 tahun dan tidak ada poin untuk usia 40 tahun atau kurang. Satu poin ditambahkan jika ada riwayat diare. Jika nilai EGOS sama dengan 3, data menunjukkan abahwa terdapat 4 minggu sejak onset gejala masihmeragukan.3 Pada pasien yang mengalami relaps setelah periode awal stabilisasi atau pemulihan, pemberian IVIg rejimen kedua dapat dipertimbangkan. Dosis standar IVIg untuk suatu rejimen adalah 2g.kgBB, yang diberikan 0.4 gr/kgBB/hari selama lima hari berturut-turut. 3,5 Rekomendasi 2,13,15

IVIg direkomendasikan pada nonambulant patients dalam 2 minggu onset gejala(Level A, class II)

IVIg direkomendasikan pada nonambulant patients yang dimulai dalam 4 mingguonset (Level B, Class II).

Jika dimulai dalam 2 minggu onset, IVIg memiliki efikasi yang sebanding denganPE pada pasien yang membutuhkan alat bantu jalan jika dimulai dalam 2 minggu onset (Level B, Class I).

IVIg adalah pilihan terapi pada anak dengan severe GBS (level B, berasal dari buktiClass II pada dewasa)

20

II.2.3. Plasma Exchange vs Intravenous Immunoglobulin Sebelum dilakukan studi tentang IVIg, PE telah terbukti bermanfaat pada GBS. Oleh sebab itu, dalam mempelajari pengguunaan IVIg pada GBS, harus dibandingkan dengan PE sebagai terapi yang telah diterima. Tiga RCT class I membandingkan IVIg dan PE. Pasien memiliki tingkat keparahan yang serupa, walaupun tidak persis sama, yaitu kesulitan atau hilangnya ambulasi. Pasien diikutserrtakan dalam studi pada awal penyakit, dalam 2 minggu onset. Hasil dari ketiga studi ini menunjukkan bahwa

perbaikan dari IVIg dan PE seimbang dan tidak berbeda secara signifikan, dalam hal pemulihan disabiilitas setelah 4 minggu, durasi penggunaan vetilasi mekanik, mortalitas atau residu disabilitas.3,5 Studi meta analisis menunjukkan bahwa PE dan IVIg memiliki efek yang serupa dengan limit kepercayaan yang sangat sempit, dimana weighted mean difference 0,11 lebih baik pada grup IVIg dibanding grup PE. Uji lainnya yang tidak diikutsertakan dalam meta analisis tersebut, meunjukkan rerata 1.2 grades of improvement pada grup IVIg dibandingkan dengan 1.0 grades pada grup PE. Maka, ketiga uji ini menunjukkan kecenderungan bahwa terapi IVIg lebih baik dibandingkan PE, walaupun perbedannya tidak signifikan . Pada ketiga uji ini, lebih banyak dijumpai adverse events pada grup PE dibanding grup IVIg.1,3,16

21

Tabel 7. Perbandingan Efek Samping PE dan IVIgDikutip dari : Winters JL, Brown D, Hazard E, et al. Cost-minimization analysis of the direct costs of TPE and Ivig in the treatment of Guillain Barre syndrome. BMC Health Services research 2011; 11:101.

22

Karena IVIg dan PE menunjukkan efikasi yang seimbang, pemuilihan terapi setara umum berdasarkan pada ketersediaan, sisi kepraktisan, kenyamanan, biaya dan kemudahan atau keamananan dalam pemberian. Dalam prakteknya, kepraktisan dan keamanan pemberian IVIg dibandingkan PE telah menjadikan IVIg terapi pilihan. Walaupun begitu, terdapat keadaan dimana PE diindikasikan, yaitu pada : 1. Adanya kontraindikasi terhadap penggunaan IVIg, seperti IgA yang rendah, alergi sebelumnya; 2. Intoleransi atau efek samping serius dari penggunaan IVIg; 3. Ketersediaan PE dibanding IVIg.3 Keputusan untuk menggunakan PE atau IVIg harus dibuat berdasarkan beberapa faktor, termasuk ketersediaan terapi, dan efek samping dalam konteks keadaan dan komorbiditas pasien.8

II.2.4. Kombinasi PE dan IVIg Satu uji acak tersamar ganda yang membandingkan terapi PE diikuti denganIVIg, dengan terapi PE saja atau IVIg saja. Tidak dijumpai manfaat yang signifikan pada grup yang menerima terapi kombiasi jika dibandingkan dengan salah satu grup. Walaupun terdapat kecenderungan untuk terdapat perbaikan yang lebih cepat pada grup yang menerima kedua terapi, perbedaan ini tidak signifian. Komplikasi terapi lebih banyak dijumpai pada grup yang menerima terapi kombinasi.3

Rekomendasi

Terapi PE yang diikuti dengan IVIg tidak menunjukkan efek dan manfaat yang lebihbesar dibandingkan salah satu terapi saja.(level A,class I) 2,13,15

III.

KESIMPULAN Guillain Barr Syndrome (GBS) merupakan penyebab paralisis neuromuskular

yang sering dijumpai. Sindroma ini secara tipikal terdiri dari kelemahan ekstremitas yang bersifat ascending, progresif cepat, relatif simetris yang sesuai dengan poliradikuloneuropati dan dapat disertai dengan keterlibatan saraf kranial. Komplikasi mayor terdiri dari gagal nafas, disfungsi otonom dan tromboemboli. Penyakit ini bersifat monofasik, mencapai kelemahan puncak dalam 2 hingga 4 minggu, diikuti dengan fase plateau dengan lama yang bervariasi dan akhirnya pemulihan bertahap. Diagnosis GBS ditegakkan terutama berdasarkan riwayat perjalanan penyakit dan

23

pemeriksaan klinis, dibantu dengan analisis CSf dan tes elektrofisiologi. Dasar patogenesis GBS adalah autoimun, dimana terdapat autoantibodi terhadap gangliosida pada permukaan saraf perifer yang kemudian memicu kerusakan saraf. Mekanisme autoimun ini menjadi dasar bagi imunoterapi pada GBS. Terdapat dua imunoterapi yang terbukti efektif dan bermanfaat yaitu plasma exchange dan intravenous immunoglobulin (IVIg). Keduanya bermanfaat jika diberikan pada awal penyakit, terutama dalam 2 minggu onset.

24

DAFTAR PUSTAKA1. Hughes RA, Swan AV, Raphael JC, et al. Immunotherapy for Guillain-Barre syndrome : a systematic review. Brain 2007; 130 : 2245-2257. 2. Hughes RA, Widjicks EF, Barohn R, et al. Practice parameter : Immunotherapy for Guillain-Barre Syndrome. American academy of Neurology. Neurology 2003; 61 : 736740. 3. Bringing Consensus to The Use of IVIg in Neurology. Expert Consensus Statements on The Use of IVIg in Neurology. 1st edition. Asia-Pacific IVIG Advisory Board.2004. 4. Parry GJ, Steinberg JS. Guillain-Barre Syndrome From Diagnosis to Recovery.New York. American Academy of Neurology. 2007. 5. Doorn PA, Ruts L, Jacobs BC. Clinical features, pathogenesis, and treatment of Guillain-Barre syndrome. Lancet Neurol 2008 ; 7 : 939-50. 6. Lehmann HC, Hartung HP, Hetzel GR, et al. Plasma exchange in Neuroimmunological Disorders. Treatment of Neuromuscular Disorders. Arch Neurol 2006; 63 : 1066-1071.

7. Gilroy J. Basic Neurology,3rd ed. New York:McGraw-Hill; 2000. p612-6168. Burns TM. Guillain-Barr syndrome. Semin Neurol 2008 ; 28 (2) : 152-167. 9. Steinberg J, Koski CL. Guillain-Barr Syndrome. GBS/CIDP Foundation International. 2010. 10. Doorn PA, Kuitwaard K, Walgaard, et l. IVIG Treatment and Prognosis in GuillainBarr Syndrome. J Clin Immunol 2010 ; 30 (suppl 1): S74-S78. 11. Lehmann HC, Horste GM, Kiesseier BC, et al. Pathogenesis and Treatment of Immunemediated Neuropathies. Ther Adv Neurol Disord 2009 ; 2 (4) : 261-281. 12. Lehmann HC, Hartung HP, Hetzel G. Plasma exchange inNeuroimmunological disorders. Rationale and Treatment of Inflammatory central Nervous System Disorder. Arch Neurol 2006; 63:930-935. 13. Evidence-based guideline update: Plasmapheresis in nuerologic disorders. Report of the Therapeutics and Technology Assesment subcommittee of the American Academy ofNeurology. Neurology 2011; 76: 294-300. 14. Scheinfeld N. Intravenous immunoglobulin. Available fro:

http://www.emedicine.medscape.com/article/210367/review. 15. Immunotherapy for Guillain-Barre Syndrome. AAN Guideline summary for Clinicians. 16. Winters JL, Brown D, Hazard E, et al. Cost-minimization analysis of the direct costs of TPE and Ivig in the treatment of Guillain Barre syndrome. BMC Health Services research 2011; 11:101.

25

26