indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah
TRANSCRIPT
HALAMAN PENGESAHAN
Karya ini diajukan oleh
Nama : Indah Khairunnisah
NPM : 1006698805
Program Studi : Arab
Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya
Jenis Karya : Makalah Non Seminar
Judul Karya Ilmiah : Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Sumatera Thawalib Parabek
Bukittinggi: Transformasi Sistem Halaqah menjadi Sistem
Klasikal (1908-1926)
Telah disetujui oleh pembimbing skripsi untuk diunggah di lib.ui.ac.id/unggah dan dipublikasikan sebagai karya ilmiah sivitas akademika Universitas Indonesia
Pembimbing Skripsi : Siti Rohmah Soekarba, S.S., M.Hum./NIP 196402091990032001 ( )
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 25 Agustus 2014
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
FORMULIR PERSETUJUAN PUBLIKASI NASKAH RINGKAS
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Siti Rohmah Soekarba, S.S., S.Pd., M.Hum
NIP/NUP : 196402091990032001
adalah pembimbing dari mahasiswa s1
Nama : Indah Khairunnisah
NPM : 1006698805
Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya
Program Studi : Arab
Judul Naskah Ringkas : Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi: Transformasi Sistem Halaqah menjadi Sistem Klasikal (1908-1926)
menyatakan bahwa naskah ringkas ini telah diperiksa dan disetujui untuk:
X Dapat diakses di UIANA (lib.ui.ac.id/unggah) saja.
� Tidak dapat diakses di UIANA karena: � Data yang digunakan berasal dari institusi tertentu yang konfidensial � Akan ditunda publikasinya mengingat akan atau sedang dalam proses pengajuan
Hak Paten/Hak Cipta hingga tahun ………………………………… � Akan dipresentasikan sebagai makalah pada Seminar Nasional yaitu:
…………………………………………………………………………………..
yang diprediksi akan dipublikasikan sebagai prosiding pada bulan ..… tahun ….
� Akan ditulis dalam bahasa Inggris dan dipresentasikan sebagai makalah pada Seminar Internasional
yaitu: …..………………………………………………………………………..
yang diprediksi akan dipublikasikan sebagai prosiding pada bulan ..… tahun ….
� Akan diterbitkan pada jurnal Program Studi/Departemen/Fakultasi di UI yaitu:
…………………………………………………………………………………..
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
yang diprediksi akan dipublikasikan sebagai prosiding pada bulan ..… tahun ….
� Akan diterbitkan pada jurnal Nasional yaitu:
…………………………………………………………………………………..
yang diprediksi akan dipublikasikan sebagai prosiding pada bulan ..… tahun ….
� Akan dituliskan dalam Bahasa Inggris untuk dipersiapkan terbit pada Jurnal Internasional yaitu: ……………………………………………………………...
yang diprediksi akan dipublikasikan sebagai prosiding pada bulan ..… tahun ….
Depok, 25 Agustus 2014
(Siti Rohmah Soekarba, S.S., S.Pd., M.Hum)
Pembimbing
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM (LPI) SUMATERA THAWALIB
PARABEK BUKITTINGGI: TRANSFORMASI SISTEM HALAQAH
MENJADI SISTEM KLASIKAL
(1908-1926) Indah Khairunnisah dan Siti Rohmah Soekarba
Program Studi Arab, FIB, UI, Depok, 16424, Indonesia
Email : [email protected]
Abstrak Penelitian ini menjelaskan tentang perubahan sistem halaqah menjadi sistem klasikal di Lembaga
Pendidikan Islam (LPI) Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi, Sumatera Barat. Metode yang digunakan adalah metode penulisan sejarah yang memiliki tahapan heuristik, kritik sumber sejarah, eksplanasi dan kausalitas, serta historiografi. Penemuan-penemuan dalam skripsi ini membuktikan bahwa perubahan sistem pendidikan yang terjadi di Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi merupakan sebuah upaya untuk menghadapi tuntutan zaman. Perubahan sistem tersebut meliputi perubahan dalam kurikulum dan metode pengajaran yang didorong oleh faktor internal berupa ijtihad Syekh Ibrahim Musa dan faktor eksternal berupa munculnya sekolah modern di Sumatera Barat.
Kata kunci : surau, Sumatera Thawalib, Syekh Ibrahim Musa, halaqah, klasikal.
Abstract
This research explains about the transformation from halaqah system to classical system in Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi, West Sumatera. This thesis uses historical writing method with four steps: heuristic, historical source critics, explanation and causality, and also historiography. The results of this thesis proves that the system transformation happened in Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi is an effort to face the ages. The system transformation cover the changes in curriculum and teaching method which are encouraged by internal factor of Syekh Ibrahim Musa’s ijtihad and external factor of the modern school emerging in West Sumatera.
Keywords : surau, Sumatera Thawalib, Syekh Ibrahim Musa, halaqah, classical.
Pendahuluan
Islam telah masuk ke Minangkabau sejak abad pertama hijriah, sekitar abad ke-7 M
melalui pesisir Minangkabau.1 Surau, sebuah tempat peribadatan sejak zaman
1 M.D. Mansoer, Sedjarah Minangkabau, Jakarta: Bhratara, 1970, hal. 43.
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
Hindu/Budha menjadi sebuah media untuk menyebarkan agama Islam. Surau Islam
pertama yang dikenal adalah Surau Ulakan, didirikan oleh Syekh Burhanuddin, yang
digunakan untuk melakukan aktivitas pengajaran dan penyebaran agama Islam. Syekh
Burhanuddin Ulakan juga mengembangkan ajaran tarekat Syattariah sebagai upaya
untuk memperbaiki perilaku masyarakat Minangakabau yang masih jauh dari ajaran
agama Islam.2 Keadaan yang memprihatinkan di Minangkabau menimbulkan
perpecahan dalam masyarakat Minangkabau, sehingga mereka terbagi menjadi dua,
yaitu golongan adat dan golongan tua. Kedua golongan ini mencapai puncak konflik
dan menyebabkan pecahnya Perang Paderi selama 17 tahun sebelum akhirnya dapat
ditumpaskan.
Pembaruan Islam kedua di Minangkabau dimulai oleh salah seorang tokoh yaitu
Syekh Ibrahim Musa. Syekh Ibrahim Musa atau Inyiak Parabek lahir di nagari Parabek,
Bukittinggi, pada hari Minggu, 12 Syawal 1301 H atau bertepatan dengan 1882 M.3
Setelah menuntut ilmu, ia mendirikan pengajian Al-Quran dan kitab di Surau Parabek.
Di suraunya, ia mengajarkan murid-muridnya dengan sistem halaqah yang tidak
memiliki batasan waktu dalam belajar pada 1908. Kemudian, ia melakukan perubahan
terhadap sistem pendidikan di suraunya, yaitu mengganti sistem halaqah menjadi sistem
klasikal pada 1921. Dalam sistem klasikal, murid-murid dibagi ke dalam tingkat-tingkat
dan waktu belajarnya dibatasi.
Metode pendidikan Sumatera Thawalib Parabek yang dibuat Syekh Ibrahim Musa
membawa perubahan yang signifikan pada suraunya. Dari sebuah surau yang
menggunakan sistem halaqah menjadi sebuah lembaga pendidikan Islam dengan sistem
kelas. Hal ini dianggap sebagai cara Surau Parabek menghadapi perkembangan zaman
kolonial Hindia Belanda, yaitu dengan mempertahankan misi pendidikan Islam untuk
mempelajari agama namun lulusannya tetap dapat beradaptasi dengan perkembangan
zaman. Dari penjelasan di atas, sistem pendidikan Sumatera Thawalib Parabek,
Bukittinggi sejak tahun 1908-1926 menjadi menarik untuk dibahas.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dengan empat tahapan yaitu:
a. Heuristik, yaitu menemukan sumber; 2 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992, hal. 22. 3 Subhan Afifi, Syekh Ibrahim Musa: Inspirator Kebangkitan, Jakarta: NHF Publishing, 2010, hal. 9.
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
b. Kritik sumber sejarah, yaitu penyeleksian sumber;
c. Eksplanasi dan kausalitas, yaitu menjelaskan dan merangkai fakta-fakta dalam hubungan sebab-akibat.
d. Historiografi, yaitu penulisan kembali hasil rangkaian fakta.
Teori Masuknya Islam ke Minangkabau
Menurut Mansoer M.D, terdapat dua periode masuknya Islam ke daerah
Minangkabau, pertama, periode pengaruh perkembangan agama Islam Sunni (670-730
M), dan kedua, periode perkembangan pengaruh agama Islam Syi’ah (1000-1350 M).
Islam masuk ke daerah Minangkabau pertama kali pada abad ke-7 Masehi melalui
Minangkabau Timur, yaitu daerah aliran sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri dan
lembah aliran sungai Batanghari dan Sungaidareh yang dibawa oleh pedagang-
pedagang Arab yang juga bertindak sebagai penyebar agama Islam.4
Periode pertama masuknya Islam ke Minangkabau merupakan hasil pengaruh dua
kerajaan yang berkuasa di Asia, yakni (1) negeri Cina di bawah dinasti Tang (607 - 908
M) yang beragama Budha Mahayana yang telah menaklukkan sebagian Asia Tengah;
(2) Kekhalifahan Umayyah (661-750 M) yang beragama Islam yang menguasai
sebagian wilayah Asia Tengah lainnya, juga Timur Tengah hingga Semenanjung
Siberia. Dua kerajaan penguasa Asia tersebut tidak selalu hidup berdampingan secara
harmonis, meskipun keduanya satu sama lain saling bergantung akibat perdagangan
jalur sutera.5
Khalifah pertama Umayyah, Muawiyyah (661-680 M), berusaha menguasai
perdagangan lada, agar kebutuhan bahan dagang yang penting itu tidak harus
bergantung pada dinasti Cina Tang. Bandar-bandar dalam kekuasaan kekhalifahan
Umayyah di Teluk Persia telah melakukan hubungan dagang dengan Minangkabau
Timur. Melalui saudagar-saudagar pelaut dari Teluk Persia, Muawiyyah mengirimkan
surat kepada Raja Sriwijaya, Sri Maharaja Lokitawarman. Isi surat tersebut adalah
ajakan untuk masuk Islam dan mengadakan hubungan dagang secara langsung dengan
Damaskus. Sesudah dia meninggal, politik Muawiyyah dilanjutkan oleh cucunya,
Sulaiman Abdul Madjid (715-717 M). Dia memerintahkan angkatan lautnya di Teluk
4 M.D. Mansoer, Sedjarah Minangkabau, Jakarta: Bhratara, 1970, hal. 44. 5 Ibid., hal. 45.
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
Persia yang terdiri dari 35 buah kapal untuk menduduki Muara Sabak guna memonopoli
perdagangan lada. Pengganti Sri Maharaja Lokitawarman, Sri Maharaja Srindrawarman
akhirnya masuk Islam pada tahun 718 M. Korespondensi antara Raja Sriwijaya Sri
Maharaja Srindrawarman dengan Khalifah Umar Abdul Aziz (717-720 M), masih
tersimpan dan dipelahara baik dalam Museum Spanyol di Madrid.6
Periode kedua proses Islamisasi Minangkabau (1000-1350 M) dimulai kembali
setelah empat abad mengalami vacuum. Pada periode tersebut, kerajaan Sriwijaya
berada di bawah pengaruh Budha Mahayana yang sangat kuat, berkuasa di daerah yang
luas (Jawa bagian barat dan tengah, Kalimantan bagian barat dan timur, Semenanjung
Malaka, dan sebagian daratan Asia Tenggara) sehingga Islam tidak dapat menyebar dan
para pendakwah Islam tidak dapat menanamkan nilai-nilainya. Setelah kekuasaan
maritim Sriwijaya berhasil diruntuhkan pada permulaan abad ke-11, Kampar di
Minangkabau Timur mulai bangkit di bawah pengaruh Islam Syi’ah pimpinan dinasti
Fatimiyyah (976-1168 M).
Islam masuk ke Minangkabau dengan damai, kedatangan utusan-utusan dari Aceh
tidak disambut dengan peperangan. Pada masa Kerajaan Pagaruyung dipimpin oleh
Aditiawarman yang berasal dari keluarga Majapahit dan beragama Budha (Mahayana),
eksistensi Tuhan tidak begitu sulit diterima oleh masyarakat Minangkabau. Susunan
istiadat dalam istana Pagaruyung kemudian diubah, kedudukan raja dibagi menjadi tiga,
yaitu: (1) Raja Alam; (2) Raja Adat; (3) Raja Ibadah. Petinggi-petinggi kerajaan juga
dibagi menjadi empat, yaitu: (1) Indomo Saruaso; (2) Bendahara atau Titah Sungai
Tarab, yang keduanya bertugas untuk menjaga adat-istiadat lama; (3) Makhdul di
Sumanik; (4) Tuan Qadhi di Padang Ganting, yang bertugas untuk mengadakan
hubungan dengan nagari-nagari yang telah menerima Islam, juga sebagai tanda nagari
telah Islam.7
Islam yang masuk ke Minangkabau berbentuk nilai-nilai tasawuf. Islam mengubah
pandangan masyarakat Minangkabau yang memahami konsep Tuhan dengan cara yang
estetis, dibanding filosofis. Mereka tidak sepenuhnya memahami konsep metafisika
Hindu/Budha atau mereka cenderung mengabaikannya dan lebih memilih menerima
konsep weltanschaaung milik mereka sendiri. Agama Hindu/Budha merupakan agama
6 Setelah kekuasaan kekhalifahan Umayyah runtuh di Damsyik pada 750 M, pusat kekuasaan dinasti Umayyah pindah ke Andalusia (sekarang Spanyol). 7 Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984, hal. 10.
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
yang diterima kelompok yang berkuasa, sementara masyarakatnya tidak begitu peduli.
Mengutip Van Leur, bahwa masyarakat Melayu di-Hindu-kan oleh dinasti yang
menguasainya, “telah dilegitimasikan secara sakral oleh hirokrasi (hierocracy) India”.
Melalui tasawuf, semangat beragama masyarakat Minangkabau mulai bangkit yang
menuntut adanya unsur intelektual dan rasional di dalam penganut Islam. Konsep-
konsep Tuhan, wujud, eksistensi, waktu, agama, manusia, diri dan iradah yang di bawa
oleh Islam merubah cara pandang mereka terhadap konsep weltanschaaung.8
Kemudian dengan media tarekat, nilai-nilai tasawuf semakin kuat menyentuh
Minangkabau. Dengan cara yang diplomatis, tasawuf mengkompromikan nilai-nilai
Islam tradisional dengan kultur religius lokal. Tidak heran mengapa para muballigh-
muballigh Islam menyebarkan Islam melalui surau-surau yang awalnya adalah tempat
beribadah umat beragama Budha. Kemudian surau memiliki tradisi keilmuan hingga
membentuk karakter sendiri. Karakter yang dimaksud adalah tradisi keilmuan dalam
tarekat Syattariyah.
Tarekat Syattariyah yang berkembang di Minangkabau berasal dari Aceh. Salah
seorang tokohnya yang terkenal adalah Syekh Burhanuddin Ulakan (w. 1692 M). Syekh
Burhanuddin Ulakan sempat beberapa tahun belajar kepada al-Sinkili, dan sepulangnya
dari Mekah, dia mendirikan surau di daerah Ulakan. Di surau ini, dia mengembangkan
ajaran tarekat Syattariyah dan meneruskan gagasan neo-sufisme, terutama dari jalur al-
Sinkili dan ulama-ulama dalam jaringan tarekat tersebut.
Masyarakat Minangkabau saat itu belum sepenuhnya mempraktikkan nilai-nilai
Islam dalam kehidupan sehari-hari. Burhanuddin mengenalkan dasar-dasar keimanan
kepada masyarakat, terutama ajaran tauhid. Ajaran tarekat yang dibawa Burhanuddin
tidak begitu melekat pada masyarakat, mereka justru lebih mengenal ajaran tauhid.
Agaknya, penyesuaian diterapkan dalam penyebaran agama Islam di Minangkabau.9
Hamka sendiri melihat bahwa tasawuf yang dikembangkan cenderung digunakan
sebagal alat penyesuaian diri terhadap tradisi lokal dan ritual-rutial yang telah dilakukan
sebelum Islam datang, seperti memuja kubur, memuja wali, dan sebagainya. Tasawuf
yang berkembang di Minangkabau juga merupakan media politik, yakni untuk
8 Muhammad Naquib al-Attas, op.cit., hal. 216-217. 9 Ahmad Taufik Hidayat, Tradisi Intelektual Islam Minangkabau: Perkembangan Tradisi Intelektual Tradisional di Koto Tangan Awal Abad XX, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Latihan Kementrian Agama RI, 2011, hal. 59-60.
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
menyuarakan ketidakpuasan di bidang politik agar dapat menjamin kepentingan-
kepentingan ulama-ulama tarekat dalam sebuah jaringan yang lebih luas.10
Hingga tahap ini, Islam yang berkembang di Minangkabau merupakan bentuk
penyesuaian tasawuf, terutama konsep wujud, dengan ajaran tauhid di surau-surau
bertarekat Syattariyah. Tahap berikutnya, adalah tahap pemurnian yang dipelopori kaum
Paderi pada abad ke-19 dan tahap pembaharuan pada abad ke-20 yang menyingkirkan
konsep wujud, dan menggantikannya dengan harmonisasi antara syari’ah dan tasawuf.
Pengetahuan tasawuf tetap ada bersama dengan diajarkannya materi-materi pengetahuan
yang lain di surau-surau Minangkabau.11
“Adat Bersyandi Syarak, Syarak Bersandi Kitabullah”
Islam masuk ke Minangkabau, sejak masa raja Adityawarman hingga sebelum masa
perang Paderi, adalah sebuah proses yang demokratis dan damai. Ajaran Islam
beriringan dengan adat-istiadat Minangkabau. Selama 10 abad, masyarakat
Minangkabau memiliki pepatah adat yang berbunyi, “adat bersandi syarak12, syarak
bersandi adat.” Pepatah tersebut menjadikan harmonisasi adat dan agama sehingga
masyarakat hidup dengan saling melindungi, baik secara adat maupun agama. Hal ini
menjadikan Islam sebagai agama yang kultural dalam masyarakat Minangkabau.
Kemudian, ketika Islam di Nusantara terpengaruh gerakan Wahabi di Arab,
terutama setelah kembalinya ulama-ulama Minangkabau dari Mekah, terjadi upaya
kepercayaan dari praktik-praktik yang melanggar hukum Islam seperti menyabung
ayam, meminum tuak, dan sebagainya. Ulama golongan tua Minangkabau yang saat itu
menganut Islam Syi’ah tidak mampu mengatasi problem tersebut, sementara ulama
yang baru tiba dari Mekah dan bergolongan suni yang tergolong dalam kaum Paderi dan
memberantas praktik tersebut mengalami pergesekan.
Kondisi masyarakat Minangkabau ini dirasa sebagai kelemahan dari proses
Islamisasi kultural. Mereka menganut agama Islam, tetapi tetap menjalankan adat
istiadat yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Pertumpahan darah terus terjadi selama
17 tahun akibat gerakan Islamisasi politik yang dipelopori kaum Paderi. Akhirnya,
10 Hamka, Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Panjimas, 1984, hal. 237. 11 Ahmad Taufik Hidayat, op.cit., hal. 63. 12 Syarak adalah peraturan-peraturan yang didasarkan pada hukum Islam. Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. Ke-3), Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992, hal. 23.
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
sebuah musyawarah yang diselenggarakan di Bukit Marapalam pada tahun 1837
melahirkan ikrar, prinsip baru Minangkabau, yakni “adat bersandi syarak, syarak
bersandi Kitabullah.”
Islam adalah agama Samawi yang terakhir dan paling sempurna dengan kitab suci
Al-Quran. Kitabullah yang dimaksud dalam ikrar di atas adalah Al-Quran. Oleh karena
itu, orang Minang hanya menganut agama tunggal, yaitu Islam. Dari prinsip baru yang
dianut oleh orang Minangkabau tersebut, tercerminlah bahwa Jika agamanya bukan
Islam, maka orang tersebut tidak mungkin disebut orang Minangkabau.13
Surau – Sebuah Gambaran Umum
Surau merupakan istilah Melayu-Indonesia yang banyak digunakan di wilayah Asia
Tenggara, seperti Minangkabau, Sumatera Selatan, Semenanjung Malaysia, Sumatera
Tengah, dan Patani (Thailand Selatan).14 Ada beberapa teori mengenai asal kata Surau.
Steenbrink mengatakan bahwa kata surau berasal dari India.15 Ahmad Taufik Hidayat
memperkuat pernyataan Steenbrink. Ia mengatakan bahwa kata “surau” berasal dari
bahasa Sansekerta surawa yang berubah ke dalam varian bahasa Minang menjadi
“surau” yang berarti “tempat” atau “tempat untuk pertapaan”. Hasil identifikasi Sidi
Gazalba, kata “surau” berasal dari kata bahasa Arab shūra atau ‛āshūra yang secara
harfiah berarti musyawarah. Pengertian ini erat sekali dengan fungsi surau sebagai
tempat bermusyawarah dan sebuah tanda bahwa surau berkaitan dengan masyarakat
luas.16 Menurut pengertian asalnya, surau merupakan bangunan kecil yang didirikan
untuk penyembahan arwah nenek moyang. Oleh karena itu, surau masa awal biasanya
dibangun di atas puncak bukit atau tempat yang lebih tinggi dari lingkungan di sekitar
sebagai tempat peribadatan Hindu-Budha.
Surau tidak lepas dari proses Islamisasi. Dengan datangnya Islam, surau Islam
ditemukan di tengah pemukiman masyarakat, tetapi sisa-sisa kesakralan surau tetap
dipertahankan. Arsitektur surau biasanya memiliki beberapa puncak atau gonjong yang 13 Amir M.S., op.cit., hal. 128-132. 14 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Jakarta: Kencana, 2012, hal. 150. 15 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, Jakarta: LP3ES, 1994, hal. 21. 16 Ahmad Taufik Hidayat, Tradisi Intelektual Minangkabau: Perkembangan Tradisi Intelektual Tradisional di Koto Tangah Awal Abad XX, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012, hal. 1. Lihat juga Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Jakarta: Kencana, 2012, hal. 150.
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
melambangkan kepercayaan mistis tertentu, namun belakangan gonjong berubah
menjadi simbol adat Minangkabau. Kini, surau sudah menjadi bangunan keislaman.
Istilah surau mengacu pada masjid kecil atau langgar. Surau bukanlah masjid secara
umum, tetapi surau digunakan untuk berbagai kegiatan agama Islam.17
Surau Parabek
Awal mula Madrasah Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi adalah surau Parabek.
Surau Parabek didirikan oleh Syekh Ibrahim Musa sepulang ia belajar dari Mekah pada
tahun 1908 M. Selama enam tahun ia membina surau dan pengajiannya ini, suraunya
mulai ramai didatangi orang untuk belajar dan namanya pun mulai populer. Pada tahun
1914, ia pergi meninggalkan nagarinya untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah
sekaligus memperdalam ilmu bersama istrinya, Syarifah, dan anak sulungnya, Thaher
Ibrahim. Surau Parabek tetap berjalan dan ia percayakan kepada murid-muridnya. Dua
tahun lamanya, ia berada di Mekah, akhirnya Syekh Ibrahim Musa memutuskan untuk
kembali ke nagarinya. Saat itu keadaan Mekah memang dalam kacau balau akibat
pertentangan antara Syarif Husein dan pusat pemerintahan Islam di Turki.18
Sepulangnya Syekh Ibrahim Musa ke Parabek, ia langsung melanjutkan pembinaan
terhadap surau dan pengajian yang didirikannya. Di suraunya, ia mengajarkan pengajian
Al-Quran dan pengajian kitab yang dilaksanakan dengan sistem, yakni halaqah.
Halaqah merupakan sering disebut dengan istilah “adu lutut” karena semua muridnya
duduk bersila di surau mengelilingi guru dan sering kali lutut mereka saling beradu satu
sama lainnya namun tetap seksama menyimak penjelasan gurunya. Semua pengajaran
berada langsung di bawah bimbingannya, dan bantuan beberapa guru bantu (Guru
Tuo).19
Adapun metode pengajaran Al-Quran dan kitab di Surau Parabek serupa dengan
metode yang ada di surau-surau Minangkabau. Secara umum, pendidikan surau dibagi
menjadi dua tingkat. Tingkat awal adalah pengajian Al-Quran. Pada pengajian Al-
Quran, terdapat empat pelajaran yang diberikan oleh Syaikh Ibrahim Musa, yakni20:
1. Membaca Al-Quran 17 Azyumardi Azra, op.cit, hal. 150 18 Subhan Afifi, Syekh Ibrahim Musa: Inspirator Kebangkitan, Jakarta: NHF Publishing, hal. 32. 19 Ibid., hal. 25. 20 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992, hal. 33-41.
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
2. Ibadah
3. Keimanan
4. Akhlak
Asal Nama Sumatera Thawalib
Surau Parabek semakin lama semakin ramai didatangi orang-orang dari berbagai
daerah untuk mempelajari agama Islam. Mereka datang dari berbagai daerah di
Sumatera bagian barat, Bengkulu, Riau, Jambi, dan Palembang. Pada tahun 1919,
murid-murid di Surau Parabek mendirikan perkumpulan murid yang mereka beri nama
Jami’ah al-Ikhwan atau Tsamarah al-Ikhwan atau Muzakarah al-Ikhwan. Yang terakhir,
Muzakarah al-Ikhwan dirasa lebih kuat.21
Tujuan dibuatnya organisasi ini adalah untuk mengadakan diskusi-diskusi ilmiah
mengenai segala persoalan yang berkaitan dengan agama Islam, untuk berlatih
berdialog dan berdebat, melatih kecepatan berpikir dan menambah ilmu pengetahuan
hingga melahirkan pemikir-pemikir baru.
Terpengaruh dengan perkembangan yang terjadi di Surau Jembatan Besi Padang
Panjang22 yang telah menyempurnakan namanya menjadi Sumatera Thuwailib, Surau
Parabek ini mengubah nama Thuwailibnya menjadi Sumatera Thuwailib. Penggunaan
Sumatera menunjukkan bahwa murid-murid yang tergabung dalam persatuan ini dan
belajar di Surau Parabek berasal dari berbagai daerah di Sumatera. Sementara menurut
Mahmud Yunus, nama Sumatera Thuwailib maksudnya adalah Thuwailib Sumatera,
Pelajar Kecil Sumatera.23 Hal ini diperkuat oleh hasil wawancara dengan Inyik Khatib
Muzakkir, bahwa penggunaan Thuwailib merupakan bentuk kerendahan hati Syekh
Ibrahim Musa untuk menyebut organisasi murid-muridnya kecil secara diminutif,
padahal memiliki kegiatan yang efektif membangun kualitas pengetahuan murid-
muridnya.24
21 Subhan Afifi, op.cit., hal. 32. 22 Surau Jembatan Besi Padang Panjang lebih dulu didirikan jika dibandingkan dengan Surau Parabek Bukittinggi. Dua tokoh sentral dalam pengembangan Surau Jembatan Besi adalah Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul. Keduanya pernah belajar kepada Syekh Khatib al-Minangkabau di Mekah, guru yang sama dengan Syekh Ibrahim Musa. Lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, hal.52. 23 Mahmud Yunus, op.cit., hal. 94. 24 Wawancara penulis dengan Syekh Khatib Muzakkir (Alumni dan Pengajar Non Aktif Sumatera Thawalib Parabek) di Kediaman Syekh Khatib Muzakkir, Parabek, Bukittinggi, Sumatera Barat, 4 Maret 2014.
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
Surau Parabek dan Surau Jembatan Besi memiliki kedekatan sejak mula didirikan.
Beberapa faktor yang menyebabkan kedekatan ini, di antaranya adalah adanya cita-cita
yang sama, guru utamanya berasal dari satu perguruan dan bersahabat karib, dan murid-
murid di kedua surau tersebut saling berpindah untuk belajar. Berbagai usaha dilakukan
untuk menyatukan dua lembaga surau ini. Ketika murid-murid semakin banyak dan
persatuan murid dirasa semakin bermanfaat, sebuah ide muncul untuk mendirikan satu
organisasi sebagai bentuk sinergi konkrit antara kedua surau. Ide ini dimunculkan untuk
memberikan dukungan terhadap aktivitas kedua surau agar semakin bermanfaat.
Setelah adanya pertukaran pikiran antara pendiri Sumatera Thuwailib Parabek dan
Sumatera Thuwailib Padang Panjang, Syekh Ibrahim Musa dan Haji Rasul, akhirnya
ada kesepakatan untuk membuat suatu organisasi bersama. Pertemuan itu dihadiri oleh
wakil kedua organisasi, dua guru utama mereka, Syekh Ibrahim Musa dan Haji Rasul,
disertai juga oleh Syekh Jamil Jambek sendiri. Hasil pertemuan tersebut adalah
didirikannya sebuah organisasi bersama antara kedua surau, namun belum jelas
wujudnya. Kelanjutan pertemuan tersebut disambung dengan surat-menyurat antara
Sumatera Thuwailib Surau Padang Panjang dan Sumatera Thuwailib Surau Parabek.
Akhirnya, sebuah organisasi yang umum berdiri dengan meleburkan kedua organisasi
Sumatera Thuwailib Surau Padang Panjang dan Sumatera Thuwailib Surau Parabek
menjadi satu dengan nama baru yaitu Sumatera Thawalib pada tanggal 15 Februari
1920.
Sumatera Thawalib berdiri sebagai suatu organisasi tempat seluruh pelajar surau
Jembatan Besi Padang Panjang dan Surau Parabek Bukittinggi bersatu dan saling
mendukung aktivitas mereka yang sebelumnya dikerjakan di organisasi surau masing-
masing. Penggunaan nama Sumatera Thawalib kemudian menjadi nama sekolah bagi
Surau Parabek, namun belum ada perubahan dari metode dan sistem pengajaran di surau
pada umumnya.
Surau Parabek Menjadi LPI Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi
Perubahan surau Parabek menjadi Madrasah Sumatera Thawalib Parabek memiliki
visi dan misi yang tertuang dalam Anggaran Dasar Sumatera Thawalib pasal 2 dan 3
sebagai berikut25:
25 Burhanuddin Daya, op.cit., hal. 94-95.
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
“Fasal 2 Maksoed perkoempoelan ini ialah: Mengoesahakan dan memajoekan matjam-matjam pengetahoean dan pekerdjaan yang membawa kepada kebaikan dan kemadjoean doenia dan akhirat menoeroet kedendak agama Islam. Fasal 3 Akan menyampaikan maksoed-maksoed itoe, perkoempoelan ini berusaha sekoeat-koeatnja: a. Mendirikan dan mengatoer ataoe memberi bantoean sekolah-sekolah yang memberi pengadjaran Agama Islam; serta mengoesahakan soepaja fakpeladjaran ditjoekoepkan djoega dengan peladjaran-peladjaran yang bergoena oentoek keselamatan hidoep. b. Menerbitkan dan membantoe terbitnya boekoe-boekoe yang berguna oentoek peladjaran sekolah-sekolah itu. c. Membangoenkan dan menebarkan benih pengetahoean Agama Islam oentoek menghidupkan roh dan semangat Islam dengan roepa-roepa oesaha.”
Berdasarkan misi yang disebutkan di atas, perubahan yang terjadi difokuskan pada
pendidikan. Surau Parabek semakin lama semakin ramai dikunjungi calon-calon murid
untuk belajar. Mesjid yang biasa dijadikan tempat belajar mengajar dirasa tidak lagi
sanggup menampung murid-murid dengan sistem halaqah. Atas inisiatif Syekh Ibrahim
Musa, akhirnya dibangunlah ruang kelas di sebelah selatan Mesjid Parabek. Seiring
dengan berjalannya pembangunan kelas dan perubahan nama menjadi Madrasah
Sumatera Thawalib Parabek, metode dan sistem pengajaran di Surau Parabek berubah
menjadi sistem klasikal. Jika pada sistem halaqah murid-murid yang belajar disamakan
materi pembelajarannya dan tidak dibatasi lama belajarnya, maka pada sistem klasikal
murid-murid dibagi ke dalam tingkatan-tingkatan sesuai dengan tingkat pemahaman
ilmunya. Jika sebelumnya murid-murid belajar di surau dengan duduk bersila beradu
lutut mengelilingi guru, maka dengan sistem klasikal, murid-murid duduk di dalam
kelas-kelas seperti sistem pendidikan modern yang dapat kita lihat sekarang. Batas
pendidikan kemudian diatur. Dengan transformasi dari sistem halaqah ke sistem
klasikal, waktu belajar di Madrasah Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi dibatasi
menjadi 7 tingkat.26 Perubahan ini terjadi dimulai secara resmi pada tanggal 21
September 1921.27
Dengan perubahan sistem dari halaqah menjadi klasikal, metode dan kurikulum pun
berubah. Meskipun metode pengajaran tetap berada di bawah pengawasan Syekh
Ibrahim Musa, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dibantu oleh majelis guru.
Beberapa nama yang pernah menjadi anggota majelis guru Madrasah Sumatera 26 Mahmud Yunus, op.cit., hal. 73. 27 Wawancara penulis dengan Buya Deswandi (Alumni dan Staf Pengajar Sumatera Thawalib Parabek) di Sumatera Thawalib Parabek, Bukittinggi, Sumatera Barat, 4 Maret 2014. Lihat juga wawancara penulis dengan Syekh Khatib, Syekh Khatib Muzakkir (Alumni dan Pengajar Non Aktif Sumatera Thawalib Parabek) di Kediaman Syekh Khatib Muzakkir, Parabek, Bukittinggi, Sumatera Barat, 4 Maret 2014..
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
Thawalib Parabek di antaranya adalah: Ali Imran Jamil, Amir Hamzah, Hayat Pulau
Tello, Labai Sain al-Makki, A. Gafar Ismail, Saleh Barallah, Ilyas Payakumbuh, H.
Salim, dan lain-lain.28
Kurikulum surau disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan yang telah dibagi dari
kelas I hingga kelas VII. Meskipun tingkat kelas dibagi menjadi tujuh, tetapi lama
belajar yang ditempuh di Sumatera Thawalib Parabek adalah 8 tahun. Hal ini
dikarenakan pembagian tingkat VI menjadi dua tahun, yaitu VI-A dan VI-B. Murid-
murid yang lulus tingkat VI-A tidak langsung naik ke tingkat VII, tetapi terlebih dulu
memperdalam ilmu-ilmu yang di tingkat VI-B. Baru setelah lulus ujian di tingkat VI-B,
murid-murid tersebut belajar di tingkat VII.
Tidak hanya ilmu alat dan ilmu agama Islam yang dipelajari murid-murid Madrasah
Sumatera Thawalib Parabek, tapi ilmu umum kemudian dimasukkan ke dalam
kurikulum. Ini menjadi perubahan yang nyata terlihat dari transformasi Surau Parabek.
Ilmu umum dalam kurikulum madrasah yang baru adalah ilmu ukur, ilmu hitung, ilmu
bumi, bahasa Belanda, bahasa Inggris dan beberapa Perancis.29
Syekh Ibrahim Musa – Sosok Pendiri LPI Sumatera Thawalib Parabek
Syekh Ibrahim Musa lahir pada hari Minggu, 12 Syawal 1301 H, atau bertepatan
pada tanggal 15 Agustus 1884 M.30 Syekh Ibrahim Musa memiliki nama kecil Luthan
Musa. Namun setelah menunaikan ibadah haji, namanya diganti dengan Ibrahim31.
Musa yang melekat pada nama belakangnya adalah penisbahan dari nama ayahnya.
Sementara, Parabek adalah nama tempat kelahirannya. Penggunaan Syekh merupakan
bentuk penghormatan masyarakat Sumatera Barat terhadap seorang alim seperti Ibrahim
Musa yang memiliki ilmu agama Islam yang luas dan mendalam.
Syekh Ibrahim Musa Parabek tampaknya menurunkan keahlian ayahnya. Ayahnya
bernama Syekh Muhammad Musa bin Abdul Malik al-Qarthawiy merupakan seorang
ulama terkenal di kampung halamannya, Desa Karakatau, yang terletak 1 kilo meter dari
Desa Parabek. Ibunya, Maryam Ureh, berasal dari suku Pisang Nagari Parabek.
28 Burhanuddin Daya, op.cit., hal. 128. 29 Ibid., hal. 127. 30 Subhan Afifi, op.cit., hal. 9. 31 Merupakan sebuah kebiasaan pada masa itu, bahwa seseorang yang telah menunaikan ibadah haji namanya diganti dengan nama yang sesuai dengan gelar kehajiannya.
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
Syekh Ibrahim Musa mulai menempuh pendidikan mulai dari rumah tempat ia
dibesarkan di Desa Parabek hingga ke luar negeri, tepatnya ke Mekah, kiblat umat Islam
dalam beribadah juga tempat menuntut ilmu yang didatangi muslim dari seluruh dunia.
Orang tuanya yang merupakan seorang ulama yang terpandang memberikan pendidikan
pertama berupa pelajaran agama, pelajaran membaca dan menulis dalam bahasa Melayu
juga bahasa Arab.32 Keluarga memberi dorongan yang besar agar menjadi seorang ahli
agama. Ibrahim Musa kecil mendapat asuhan dan binaan langsung dari ayahnya yang
seorang alim terpandang di nagarinya. Secara jelas, ayahnya menginginkan Ibrahim
Musa kelak menjadi seorang alim seperti dirinya, bahkan melebihi dirinya dari segi
keilmuan dan pengaruh. Pendidikan awal ini berlangsung hingga ia berumur 13 tahun.
Pendidikannya kemudian dilanjutkan dengan belajar kepada ulama yang berada di
sekitar Sumatera Tengah. Menjadi sebuah hal yang lazim pada masa itu bagi anak
seorang alim, ia akan dilepas untuk berguru pada ulama di ranah Minangkabau. Seorang
santri hendaknya mendatangi seorang guru atau syekh untuk mempelajari satu ilmu
yang dikuasai oleh guru tersebut, jika ingin mempelajari ilmu fikih maka berguru pada
ahli fikih, dan sebagainya.33 Pertama, ia belajar kepada Syekh Mata Air di Pariaman
bersama dengan kakak sepersusuannya, Abdul Malik. Kepada Syekh Mata Air, ia
mempelajari ilmu nahwu dan sharaf selamat satu tahun. Kedua, ia menimba ilmu
kepada Tuanku Angin, seorang alim di Batipuh, Padang Panjang. Di sana, ia
mempelajari ilmu fikih dengan menggunakan kitab Matan Minhaj selama satu tahun.
Ketiga, ia mempelajari Tafsir Al-Qur’an di Batu Tebal, Padang Panjang, pada tahun
1897 M. Keempat, ia melanjutkan pendidikannya dengan belajar pada Syekh Abbas di
Ladang Lawas, Banuhampu, Bukittinggi, selama satu tahun (1898 M). Kelima, ia
memperdalam ilmu tafsirnya kepada Syekh Abdul Shomad.
Di lihat dari penjelasan di atas, Syekh Ibrahim Musa suka menuntut ilmu juga
terbiasa melakukan perjalanan ilmiah (rihlah ilmiah) dari satu kota ke kota lainnya, dari
seorang alim ke alim yang lainnya. Karena keinginannya untuk menuntut ilmu semakin
kuat, ia meneruskan kebiasaan rihlah ilmiah-nya34 dengan belajar kepada Syekh
32 Abuddin Nata, op.cit., hal. 41. 33 Subhan Afifi, op.cit., hal. 12. 34 Melakukan perjalanan dari satu kota ke kota yang lain bagi pemuda Minang adalah sebuah tradisi, yang disebut dengan tradisi merantau. Tujuan merantau pada umumnya adalah menuntut ilmu atau mencari nafkah. Tradisi merantau ini disebabkan oleh tradisi matrilineal pada masyarakat Minangkabau, dimana anak laki-laki tidak memiliki kamar di rumah sehingga mendorong mereka untuk merantau.
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
Jalaluddin al-Kasai di Desa Sungai Landai, Sungai Puar. Selama satu tahun ia belajar
ilmu Tafsir Al-Quran pada Syekh Jalaluddin al-Kasai pada tahun 1900 M. Karena
pengetahuannya yang sudah cukup tinggi hingga mampu membaca Kitab Kuning,
Syekh Jalaluddin al-Kasai mengangkatnya menjadi Guru Tua.
Pendidikan berikutnya, ia tempuh di Kota Kecil Talago Suliki, Payakumbuh, dengan
mempelajari Ilmu Tafsir kepada Syekh Abdul Hamid selama dua tahun (1901). Pada
waktu itu, suasana Minangkabau sedang mengalami pergolakan akibat politik devide et
impera yang dilancarkan pemerintah Hindia Belanda. Terjadi perpecahan antara tokoh
adat dan tokoh agama Minangkabau. Ibrahim Musa yang merasa belum memiliki ilmu
yang cukup mengenai politik belum berani untuk terjun membantu menyelesaikan
masalah tersebut.
Ketika permasalahan di Minangkabau semakin pelik, Ibrahim Musa memutuskan
untuk memperdalam ilmunya ke luar negeri. Bersama dengan kakaknya, Abdul Malik,
mereka meninggalkan tanah air untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah
pada Rajab 1320 H./ 1901 M. Tidak hanya menunaikan ibadah haji di Mekah, Ibrahim
Musa memperdalam ilmunya. Di Mekah, ia belajar hukum Islam kepada Syekh Ahmad
Khatib al-Minangkabau yang sudah menjadi seorang syekh dan Imam Masjid al-Haram.
Selain itu ia belajar Ilmu Falak kepada Syekh Muhammad, dan ilmu-ilmu agama Islam
lainnya kepada Syekh Mukhtar al-Jawiy dan Syekh Yusuf al-Hayyat.
Di antara kesibukannya menjalankan sekolah, mengajar, dan berorganisasi, Ibrahim
Musa merupakan seorang penulis yang produktif. Selama hayatnya, ia telah
menghasilkan karya-karya ilmiah dalam bidang keagamaan, di antaranya adalah (1)
Kitab Hidayah al-Shibyan. Buku ini menguraikan tentang tata cara mendidik anak-anak
murid agar pandai berbahasa Arab. Kitab ini tergolong ke dalam Kitab Ilmu Balaghah.
Buku ini pernah diterbitkan oleh percetakan Typ Drukkerij “Baroe” Fort de Kock pada
tahun 1930; (2) Kitab Ijaba al-Sual. Kitab ini merupakan syarah Husnul Ma’mul yang
ditulis dalam bahasa Arab dan berisi tentang penjelasan atas bermacam-macam
pertanyaan yang diajukan oleh muridnya; (3) Kitab al-Hidayah. Buku ini ditulis dalam
bahasa Melayu dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh salah
seorang muridnya. Kitab ini berisi tentang ilmu tauhid bagi kalangan penganut Ahlu al-
Sunnah wa al-Jama’ah. Di dalam buku tersebut dijelaskan tentang akidah yang
berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan yang berjumlah lima puluh sifat, di antaranya sifat
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
yang wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah, serta sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi
Rasul. Buku ini dicetak oleh Yayasan Syekh Ibrahim Musa pada tahun 1964, dan
merupakan bagian dari naskah kitab Hidayah al-Ahibah ila Ma’rifah Aqaid Ahl Al-
Sunnah wa al-Jama’ah.
Di samping menulis buku, Ibrahim Musa Parabek juga menerbitkan majalah yang
ditujukan sebagai alat berkomunikasi dengan masyarakat, khususnya dalam
menyosialisasikan gagasan-gagasan pembaruannya. Selanjutnya ia juga banyak
menyumbangkan artikel untuk majalah al-Munir yang diterbitkan di Padang di bawah
pimpinan Abdullah Ahmad. Selain itu, ia juga menjadi pengasuh ruang konsultasi dan
tanya jawab hukum Islam dan pendidikan Islam pada majalah al-Manar yang dipimpin
oleh H. Zainuddin Labai el-Yunusiy. Selanjutnya ia juga merupakan pemimpi redaksi
majalah al-Bayan yang dikelola oleh Perhimpunan Pelajar Sumatera Thawalib Parabek
dengan Dewan Redaksinya Yamin Abdul Murad dan Sain al-Maliki.
Selain menulis buku dan artikel pada majalah-majalah di atas, Ibrahim Musa
Parabek juga pernah menjadi editor untuk buku al-Tarhib fi al-Tarbiyah wa al-Tarsib
yang dikarang oleh Abdul Malik al-Shiddiq. Buku tersebut membahas tentang akhlak
dan budi pekerti dan ditulis dalam bahasa Arab pada tahun 1928 M dan dicetak di Fort
de Cock (Bukittinggi) oleh penerbit Tsamarah al-Ichwan.35
Faktor-faktor Penyebab Transformasi Surau Menjadi Madrasah
Dorongan untuk mengubah sistem halaqah menjadi sistem klasikal bisa disebabkan
dari dalam dan dari luar Sumatera Thawalib itu sendiri. Untuk itu, penulis membagi
faktor penyebab transformasi Surau Parabek dari sistem halaqah menjadi sistem
klasikal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal yang mempengaruhi perubahan dari sistem halaqah ke sistem
klasikal salah satunya sosok sentral Surau Parabek yaitu Syekh Ibrahim Musa. Syekh
Ibrahim Musa adalah sosok kharismatik, cerdas dan rendah hati. Gagasan dan
pandangannya disampaikan dengan tutur kata yang halus dan lembut.
Pengajian yang ia selenggarakan sejak pertama kali ia tiba dari Mekah mulai
diterima masyarakat karena melihat kepribadiannya yang baik. Sebuah pepatah Minang
dengan tepat menggambarkan hasil kerja keras Syekh Ibrahim Musa yaitu tali halus
35 Ibid., hal. 46.
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
buaian lanyuang, maksudnya adalah pekerjaan yang dilakukan dengan hati-hati tapi
pasti akan mendapat sambutan baik masyarakat.36
Sosoknya menjadi daya tarik yang membawa Surau Parabek menjadi terkenal
sehingga berdatangan orang-orang dari berbagai daerah untuk menjadi muridnya.
Semakin banyak murid-murid dirasakan Syekh Ibrahim Musa tidak lagi efektifnya
sistem halaqah yang ia gunakan di suraunya selama ini. Sebuah ijtihad yang
mendorongnya untuk berpikir bagaimana dapat terus membagi ilmunya dengan murid-
murid yang semakin banyak dan membuat suraunya agar dapat eksis di tengah
perkembangan sekolah-sekolah modern yang terjadi saat itu.
Hasil pemikiran modernnya dan keinginannya untuk melepaskan diri dari tradisi
yang lama mengukung masyarakat Parabek dan mencapai cita-citanya untuk melahirkan
generasi yang tafaqquh fi al-Din37 membawanya pada keputusan ijtihad-nya untuk
mengubah sistem halaqah ke sistem klasikal. Perubahan-perubahan yang mengikuti
selanjutnya merupakan adalah hasil semangat dan kegigihan Syekh Ibrahim Musa untuk
menyebarkan pemikiran dan cita-citanya ke masyarakat luas. Hal ini adalah proses
alamiah yang dialami setiap organisasi pembaruan Islam di Indonesia.
Faktor eksternal yang mempengaruhi perubahan dari sistem halaqah ke klasikal
adalah munculnya sekolah-sekolah modern di Sumatera Tengah, baik yang didirikan
oleh pemerintah Hindia Belanda maupun yang didirikan oleh pihak pribumi.
Perubahan sistem halaqah menjadi klasikal didorong oleh munculnya misionaris
Kristen yang mendirikan sekolah katholik berbentuk sekolah modern dan pembagian
injil kepada masyarakat serta penyebaran artikel-artikel kaum misionaris yang berisi
propoganda Kristiani. Sekolah-sekolah modern Hindia Belanda menggunakan bahasa
Belanda, kecuali sekolah rendah pribumi yang masih menggunakan bahasa Melayu
sebagai pengantar. Fasilitas yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda sangat
terbatas. Perbandingan pengeluaran per-kapita yang disediakan untuk anak-anak Eropa
36 Abuddin Nata, op.cit., hal. 45. 37 Tafaqquh fi al-Din (memperdalam ilmu agama) yang menjadi cita-cita Syekh Ibrahim Musa sejalan dengan anjuran Al-Quran dalam surat Al-Taubah, (9) ayat 122 yang menyatakan: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu oergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, supaya mereka menjaga diri.
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
87 kali lebih besar dibanding yang disediakan untuk anak-anak pribumi, yakni hanya
0.55 gulden per tahun.38
Pada seluruh sekolah modern prakarsa pemerintah Hindia Belanda sama sekali tidak
diajarkan pelajaran agama. Sistem dan metode yang digunakan seperti sekolah-sekolah
di Belanda, sistem pendidikan Barat, yang mendapat pengaruh mengenai kesukuan dari
budaya Jerman, individualisme dari Yunani-Romawi, dan agama dari Yahudi-Kristen.
Pemikiran-pemikiran yang diajarkan didasarkan pada rasionalisme dan liberalisme. Hal
ini mengesampingkan kehadiran agama Islam bagi masyarakat Minangkabau, sehingga
cendekiawan lulusan sekolah Hindia Belanda menjauhkan diri dari ulama. Mereka
hidup dan dibesarkan dalam lingkungan adat dan agama Islam, tetapi pemikiran dan
perilakunya meniru Barat, sehingga mereka disebut sebagai kelompok the marginal
men, belut bukan ikan pun bukan dalam masyarakat mereka sendiri, ke atas tidak
berpucuk, ke bawah tidak berakar.39
Sekolah modern yang mempengaruhi transformasi Surau Parabek tidak hanya
sekolah modern prakarsa Hindia Belanda, tetapi juga sekolah modern yang diprakarsai
pribumi, beberapa di antaranya merupakan lembaga pendidikan Islam. Diawali dengan
didirikannya sekolah agama untuk Indonesia di Padang Panjang, bernama Adabiah
School (Sekolah Adabiah) pada tahun 1907 oleh Abdullah Ahmad. Sekolah ini telah
menggunakan sistem klasikal, kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di dalam kelas
menggunakan bangku dan meja, papan tulis, serta buku-buku dengan murid awal
berjumlah 20 orang.40 Kurikulum yang digunakan serupa dengan yang terdapat di surau-
surau, yakni pelajaran-pelajaran Agama Islam dilengkapi dengan ilmu baca, ilmu tulis
dan ilmu hitung. Karena Abdullah Ahmad menghadapi kesulitan untuk
mengembangkan sekolah ini, ia menutup Sekolah Adabiah pada tahun 1909. Kemudian
ia mendirikan Sekolah Adabiah keduanya di Padang, sebuah sekolah umum ditambah
dengan pelajaran agama. Abdullah Ahmad bertujuan untuk membentuk manusia yang
cerdas, berkebangsaan dan bertaqwa kepada Allah SWT dengan mendirikan sekolah ini.
Peninjauannya ke Madrasah Al-Iqbal Al-Islamiah (1908) di Singapura yang didirikan
oleh Utsman Efendi Rafat yang berasal dari Mesir, memberikannya inspirasi terhadap
rencana pelajaran di Sekolah Adabiah. Diskusi Abdullah Ahmad dengan Syekh Thaher
38 Ibid. 39 Ibid., hal. 112. 40 Deliar Noer, op.cit., hal. 51.
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
Jalaluddin Al-Azhari41 juga memberinya pengarahan terhadap corak pendidikan Islam
yang seharusnya di Sekolah Adabiah, yakni menurut pada acuan yang ada di Mesir.
Pada tahun 1915, Zainuddin Labai Al-Yunusi mendirikan Diniah School (Madrasah
Diniah) di Padang Panjang. Diniah School merupakan sekolah agama Islam ditambah
dengan pendidikan umum, kebalikan dari Adabiah School. Diniah School masih
diselenggarakan di surau atau mesjid, tetapi menggunakan sistem dan metode
pendidikan umum yang berkelas, berbangku dan meja, berpapan tulis dan berbuku.
Sekolah ini dibagi menjadi dua tingkat: yakni tingkat dasar dan menengah atau
ibtidaiyah dan tsanawiyah. Lama belajar kedua tingkat itu masing-masing tiga dan
empat tahun.42
Sosok Syekh Ibrahim Musa dengan pemikirannya yang moderat dan hubungan-
hubungan baiknya dengan penggiat pendidikan baik Islam dan umum di Sumatera
Tengah menghasilkan sebuah ijtihad-nya adalah faktor internal yang mengubah Surau
Parabek menjadi sekolah, sebuah madrasah. Kemunculan sekolah-sekolah modern di
Sumatera Tengah pun menjadi pemicu eksternal Surau Parabek berubah menjadi
madrasah dengan sistem kelas. Pengadopsian sebagian sistem dan kurikulum dengan
sekolah modern namun tetap mempertahankan misi penyiaran Islam tetap dipertahankan
demi dapat bersaing menghadapi tantangan zaman dan menghasilkan lulusan-lulusan
yang bersaing dengan lulusan-lulusan pendidikan umum.
Kesimpulan
Sumatera Thawalib secara umum adalah sebuah organisasi yang didirikan jauh
sebelum kemerdekaan Indonesia. Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi secara khusus
adalah sebuah lembaga pendidikan Islam yang berada di Sumatera Barat. Awalnya,
Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi berbentuk surau, sebuah lembaga pendidikan
Islam awal khas Minangkabau bernama Surau Parabek yang didirikan oleh Syekh
Ibrahim Musa. Perubahan terjadi di Surau Parabek dari penggunaan sistem halaqah
41 Syekh Thaher Jalaluddin Al-Azhari (1869-1965) adalah putra Minangkabau, saudara sepupu Ahmad Khatib al-Minangkabauwi yang memiliki pengaruh bagi tokoh-tokoh pembaruan Islam di Sumatera Barat. Ia ikut membantu mendirikan Madrasah Al-Iqbal Al-Islamiah dan menerbitkan majalah Al-Imam di Singapura. Ia sendiri merasa pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha selama belajar di Mekah dan Mesir. Lihat Burhanuddin Daya, op.cit., hal. 12. 42 Ibid., hal. 113.
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014
menjadi sistem klasikal. Perubahan ini memiliki lebih banyak nilai positif dibandingkan
nilai negatif.
Perubahan sistem yang terjadi memberi banyak perbaikan dalam berbagai aspek,
seperti kurikulum, metode pengajaran, hingga sarana dan prasarana di surau yang
melengkapinya menjadi sebuah perguruan. Usaha untuk mengubah sistem ini
merupakan cerminan prinsip yang dipegang oleh pendirinya Syekh Ibrahim Musa:
“muhaafazatu ‘alaa qadiimi al-shalih wa al-aqdu bi jadiidi al-ahdhoh” yang artinya
“memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”.
Penggunaan kitab-kitab bermazhab Syafi’i dalam pelajaran fikih dan kitab karangan
Imam Asy’ari dalam pelajaran tauhid menunjukkan kesamaan dengan lembaga-lembaga
pendidikan Islam lainnya di Indonesia, seperti pondok pesantren di Jawa.
Perubahan sistem yang terjadi di Sumatera Thawalib Parabek Bukittingi membawa
pengaruh terhadap pandangan surau dan ulama Minangkabau pasti terpengaruh gerakan
Wahabi di Arab Saudi. Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi justru menunjukkan
kemoderatan dalam aktivitas belajar dan mengajarnya. Perubahan lembaga pendidikan
surau menjadi Sumatera Thawalib telah memberi motivasi bagi surau-surau lain untuk
memperbaiki diri agar dapat menjaga eksistensi mereka sebagai lembaga pendidikan
Islam di Sumatera Barat. Perubahan ini juga telah mewarnai keberagaman lembaga
pendidikan Islam di Indonesia, meskipun kehadirannya dianggap seragam dengan
pesantren yang berasal dari Jawa.
Pada perjalanan penyelesaian skripsi ini, penulis melihat tidak hanya Mekah, sebagai
pusat ilmu agama pada abad awal 20 yang mempengaruhi sistem pendidikan di
Sumatera Thawalib Parabek pada khususnya dan Sumatera Thawalib pada umumnya,
tetapi juga pengaruh Mesir yakni Al-Azhar yang dapat diteliti dan dibuktikan lebih
dalam. Skripsi ini juga merupakan titik tolak untuk penelitian-penelitian selanjutnya
yang lebih luas, seperti pengaruh surau terhadap perkembangan pendidikan Islam di
Nusantara.
Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014